LAPORAN HASIL EVALUASI KEGIATAN WORKSHOP MANAJEMEN KONFLIK DI 5 WILAYAH KEPOLISIAN DAERAH
Tim Evaluasi Rudy Harisyah Alam Ahmad Baedowi
Yayasan Wakaf Paramadina Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) – UGM The Asia Foundation
2010
0
BAGIAN 1 PENDAHULUAN
Pada tahun 2009, Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (MPRK-UGM) dengan dukungan The Asia Foundation menyelenggarakan rangkaian workshop tentang manajemen konflik di 5 kepolisian daerah di Indonesia, yaitu Polda Lampung, Bangka Belitung, Banten, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tahun 2010, pelaksanaan workshop dilanjutkan di 5 polda lainnya, yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan aparat kepolisian dalam hal manajemen konflik dalam rangka meningkatkan kualitas penanganan konflik oleh aparat kepolisian di Indonesia. Kegiatan workshop tersebut merupakan bagian dari program ‖Polisi, Masyarakat Sipil, dan Konflik Agama‖ yang dilaksanakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan MPRK-UGM dengan dukungan The Asia Foundation, yang dimulai sejak 2008 hingga 2011. Guna menilai sejauh mana kegiatan workshop itu mencapai hasil yang diharapkan, perlu dilakukan kegiatan evaluasi atas workshop tersebut. Untuk menjamin independensi dan objektivitas evaluasi, pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh sebuah tim yang tidak terlibat dalam implementasi workshop, yang bertindak sebagai external evaluator. Evaluasi dilakukan di 5 wilayah polda dari 10 polda tempat dilaksanakannya workshop tersebut, meliputi Polda Lampung, Bangka Belitung, Banten, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat. Laporan ini menyajikan hasil evaluasi atas kegiatan workshop tentang manajemen konflik tersebut. Sistematika laporan disusun sebagai berikut. Bagian 1 adalah Pendahuluan, yang memaparkan latar belakang dan tujuan dilakukannya evaluasi. Bagian 2 memaparkan definisi, cakupan, dan proses dan metode evaluasi yang digunakan. Bagian 3 menyajikan gambaran umum hasil evaluasi. Bagian 4 memaparkan hasil evaluasi per wilayah. Bagian 5 memuat kesimpulan dan rekomendasi. Bagian lampiran menyajikan lembar angket yang digunakan sebagai instrumen evaluasi. 1
BAGIAN 2 DEFINISI, CAKUPAN, METODE EVALUASI
Definisi Secara umum evaluasi adalah proses menghitung, mengukur dan menilai suatu proses dan hasil yang telah dicapai dari rencana program yang telah dilakukan. Hasil yang dievaluasi antara lain berupa masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Evaluasi dapat menilai keberhasilan yang telah dicapai dari rencana program yang dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi proses dan hasil yang telah dicapai. Hasil evaluasi kemudian dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan proses revisi terhadap keseluruhan aspek program yang telah dilakukan. Dalam konteks kegiatan workshop manajemen konflik yang melibatkan aparat kepolisian, penting pula dikemukakan bahwa proses evaluasi ini dilakukan bukan hanya untuk membuktikan (to prove) apakah kegiatan tersebut berlangsung dengan efektif dan mencapai sasaran, tetapi juga untuk melakukan perbaikan (to improve) berdasarkan temuan selama program berlangsung. Ada banyak definisi tentang evaluasi yang bervariasi menurut kebutuhan pengguna dan tujuan dilakukannya evaluasi. Evaluasi ini dilakukan dengan mengacu pada definisi tentang evaluasi yang dikembangkan Komite Bantuan Pembangunan (DAC) OCED, yaitu ‖penilaian sistematis dan objektif terhadap proyek, program atau kebijakan yang sedang atau telah berjalan, rancangan, implementasi, dan hasilnya. Tujuannya adalah untuk menentukan relevansi dan pencapaian tujuan, efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan dari proyek, prorgam atau kebijakan tersebut‖ (www.oecd.org/dac). Pengertian evaluasi yang dikemukakan di atas merupakan pengertian yang komprehensif karena mencakup seluruh aspek dari objek evaluasi dan mensyaratkan bahwa kegiatan evaluasi telah dirancang sejak awal sebagai bagian integral dari suatu program, proyek atau kebijakan. Evaluasi tentang workshop manajemen konflik dengan peserta yang berasal dari kalangan aparat kepolisian ini tidak dirancang sejak awal sebagai bagian dari kegiatan tersebut dan karena itu tidak dapat menjadikan seluruh aspek dari kegiatan tersebut sebagai objek evaluasi. Oleh sebab itu, pada bagian berikut akan dikemukakan apa yang menjadi dan apa yang tidak menjadi objek evaluasi ini.
2
Cakupan Seperti telah dikemukakan, seluruh aspek dari suatu program atau proyek dapat menjadi objek evaluasi, mulai dari aspek perencanaan, desain, implementasi, keluaran (output), hasil jangka pendek-menengah (outcomes) hingga hasil jangka panjang (impacts). Namun, berdasarkan sumber daya dan sumber dana yang tersedia, hanya sebagian dari keseluruhan aspek kegiatan tersebut yang dijadikan sebagai objek evaluasi ini. Pertama, evaluasi ini tidak ditujukan untuk menilai dampak (hasil jangka panjang) dari kegiatan workshop tersebut, yaitu peningkatan kualitas penanganan konflik oleh aparat kepolisian. Kedua, evaluasi ini tidak ditujukan untuk menilai efisiensi dari kegiatan tersebut, yaitu seberapa efisien dana yang dikeluarkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai dari kegiatan workshop tersebut. Ketiga, evaluasi ini tidak dimaksudkan untuk menilai keseluruhan proses pelaksanaan workshop karena evaluasi ini dilakukan satu tahun sejak berlangsungnya workshop (untuk di empat polda), kecuali untuk kasus Polda NTB, yang baru dilaksanakan Februari tahun 2010 ini. Dengan beberapa catatan di atas, evaluasi lebih difokuskan untuk menilai tingkat efektivitas kegiatan workshop yang difokuskan pada tiga dimensi yang umum menjadi objek evaluasi kegiatan pelatihan yang dikembangkan oleh para praktisi evaluasi, yaitu reaksi, pengetahuan, dan perilaku.1 Terkait dengan hal yang pertama, evaluasi ini hendak menilai seberapa kuat tingkat impresi kegiatan workshop pada diri peserta dan seberapa positif reaksi mereka terhadap kegiatan tersebut. Terkait dengan hal yang kedua, evaluasi ini hendak meggali pandangan peserta mengenai relevansi dan kegunaan materi-materi tersebut bagi pelaksanaan tugas mereka sebagai aparat kepolisian, khususnya dalam hal penanganan konflik. Selain itu, akan digali pula pandangan peserta mengenai kemampuan fasilitator dalam menyampaikan materi pelatihan serta kendalakendala yang mereka hadapi selama mengikuti pelatihan. Terkait dengan hal yang ketiga, evaluasi ini hendak menilai bagaimana peserta menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh dari kegiatan workshop dalam penanganan konflik yang terjadi di masyarakat. Aspek ini digali dengan mempertimbangkan pengalaman 1 Lihat, misalnya, Donald L. Kirkpatrick, Evaluating Training Programs: The Four Levels (Gulf Publishing Co. 1991) dan Jack J. Philips, Handbook of Training Evaluation and Measurement Methods (Gulf Publishing Co. 1997).
3
keterlibatan peserta dalam penanganan konflik, baik sebelum maupun sesudah mengikuti workshop. Selain mengkaji tiga poin di atas, evaluasi ini juga berusaha mengidentifikasi hal-hal yang berguna bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan serupa di masa datang, mencakup aspek materi, peserta, pelaksanaan dan keberlanjutannya.
Proses dan Metode Evaluasi Evaluasi dilakukan pertama-tama dengan menyusun kerangka dan instrumen evaluasi. Hal ini dilakukan dengan melakukan konsultasi dengan wakil-wakil dari pihak pelaksana program, dalam hal ini Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM, serta menggali informasi dari dokumen kegiatan (kerangka acuan dan laporan pelaksanaan kegiatan) yang tersedia. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui konsultasi dan dokumen kegiatan tersebut, tim evaluasi lalu menyusun poin-poin evaluasi dan menetapkan metode pengumpulan data yang akan digunakan. Metode penggalian informasi atau pengumpulan data yang digunakan untuk evaluasi ini berupa angket, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara. Angket digunakan sebagai instrumen untuk menjaring pandangan individual eks-peserta workshop terhadap berbagai poin evaluasi yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan terbuka. Melalui angket itu pula informasi mengenai profil peserta dihimpun. Adapun FGD, yang secara umum didefinisikan sebagai ‖pertemuan beberapa individu yang memiliki kepentingan dan karakteristik yang sama, yang dikumpulkan oleh seorang fasilitator yang menggunakan pertemuan itu dan interaksi yang terjadi di dalamnya sebagai cara untuk mengumpulkan informasi tentang suatu hal.‖2 Dalam konteks evaluasi ini, FGD digunakan sebagai instrumen untuk menggali pandangan kolektif eks-peserta menyangkut berbagai aspek dari kegiatan workshop, berdasarkan poin-poin yang digunakan pula untuk angket. Sesi FGD dirancang sedemikian rupa agar berlangsung dalam suasana yang bersifat informal dan rileks, dengan harapan agar peserta dapat secara leluasa mengemukakan pandangan-pandangan mereka. Adapun wawancara dilakukan terhadap petugas yang bertanggung jawab atas 2 Lihat, antara lain, R. Krueger dan M. Casey, Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research, ed. ke-3 (Newbury Park, CA: Sage, 2000.); A. Gibbs. ―Focus groups.‖ Social Research Update. [On-line], Edisi 19/1997. University of Surrey. Dapat diakses di: http://www.soc.surrey.ac.uk/sru/SRU19.html; Lewis, M. (1995). ―Focus group interviews in qualitative research: A review of the literature.‖ Action Research Electronic Reader. [Online]. Dapat diakses di: http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arr/arow/rlewis.html.
4
pelaksanaan workshop di lingkungan polda masing-masing. Evaluasi pada mulanya dirancang untuk dilaksanakan di 5 kepolisian daerah (polda), namun pada akhirnya berlangsung di 4 polda, yaitu Lampung, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Banten, serta di 1 polres, yaitu Polres Klaten, Yogyakarta. Menurut informasi pihak pelaksana, workshop yang diadakan di Polres Klaten merupakan suatu kegiatan uji coba pelaksanaan pelatihan yang didampingi oleh fasilitator yang sebelumnya pernah mengikuti pelatihan untuk pelatih (training of trainers, ToT) tentang manajemen konflik yang diadakan di Polda Yogyakarta. Peserta FGD tidak ditentukan oleh tim evaluasi, melainkan dipilih sendiri oleh pihak polda masing-masing, berjumlah 10 dari 30 peserta yang pernah mengikuti workshop, meskipun pada kenyataannya sesi evaluasi umumnya dihadiri lebih dari 10 orang peserta. Dengan demikian, total peserta yang mengikuti FGD berjumlah 50 orang atau sekitar 30% dari total 150 anggota polisi yang pernah mengikuti workshop manajemen konflik. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010. Proses pengumpulan data dilakukan pertama-tama dengan pengisian angket oleh peserta FGD dan dilanjutkan dengan sesi FGD yang rata-rata berlangsung sekitar 2 jam. Proses FGD didokumentasikan melalui catatan dan rekaman. Selanjutnya dilakukan wawancara terpisah selama sekitar 1 jam dengan petugas penghubung (liason officer) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan workshop. Informasi yang diperoleh dari hasil pengisian angket, catatan dan rekaman FGD, serta catatan wawancara itulah yang menjadi data primer bagi laporan evaluasi ini.
5
BAGIAN 3 TEMUAN UMUM EVALUASI
Profil Informan Sebagaimana telah disebut di atas, total jumlah peserta yang mengikuti FGD dalam rangka proses evaluasi sebanyak 50 orang. Dari jumlah tersebut, 43% adalah polisi laki-laki (polki) dan 7% sisanya polisi wanita (polwan). Dari segi etnis, peserta terbanyak berasal dari suku Jawa (20%), disusul Sunda (12%), Sasak (10%), Melayu (8%), serta Batak dan Palembang, masing-masing 6%. Sisanya, sekitar 18%, berasal dari berbagai suku lainnya, seperti Minang, Lahat, Pegagan, Bima, Bali, dan campuran Jawa-Betawi. Sekitar 90% peserta beragama Islam, 4% masing-masing Protestan dan Hindu, dan sisanya 2% adalah penganut Katolik. Dari segi usia, separuh (50%) peserta berada pada kelompok usia 40-49 tahun, disusul oleh kelompok usia 50 tahun ke atas sebanyak 24%. Seperempat dari jumlah peserta berasal dari kalangan usia muda, yaitu 30-39 tahun (18%) dan 20-29 tahun (8%). Separuh (50%) peserta memiliki latar belakang pendidikan sarjana, sementara 42% peserta adalah tamatan SMA. Sisanya 8% menyandang gelar diploma. Berdasarkan jenjang kepangkatan, 82% peserta berada pada jenjang kepangkatan perwira, sedangkan 18% sisanya bintara. Dari 41 peserta yang berpangkat perwira, sekitar 71% merupakan perwira pertama, dengan pangkat Inspektur Dua (Ipda), Inspektur Satu (Iptu) hingga Ajun Komisaris Polisi (AKP). Sedangkan 29% sisanya merupakan pewira menengah, dengan pangkat tertinggi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP). Adapun rata-rata lama bertugas peserta sebagai aparat kepolisian sekitar 21 tahun, dengan masa paling singkat 1,5 tahun dan masa terlama 34 tahun. Sedangkan rata-rata lama bertugas di unit atau kesatuan terakhir sekitar 44,4 bulan atau 3,7 tahun, dengan waktu paling singkat 0,3 bulan dan paling lama 336 bulan atau 28 tahun.
Tingkat Impresi Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, aspek pertama yang hendak digali melalui evaluasi ini adalah seberapa kuat tingkat impresi kegiatan workshop manajemen konflik pada diri peserta dan seberapa positif penilaian mereka terhadap kegiatan tersebut. Hal pertama yang perlu dikemukakan ialah pengaturan pelaksanaan kegiatan evaluasi ini 6
tidak dilakukan dengan menempuh jalur birokrasi formal, seperti melayangkan surat permohonan resmi ke pihak polda. Sebaliknya, evalusi dilaksanakan dengan menempuh jalur informal melalui kontak personal dengan aparat kepolisian yang menjadi petugas penghubung dan bertanggungjawab atas pelaksanaan workshop. Reaksi dari petugas penghubung terhadap rencana kegiatan evaluasi ini secara keseluruhan bersifat positif. Hal ini terbukti dari relatif singkatnya waktu yang dibutuhkan antara persiapan dan pelaksanaan evaluasi, ketepatan jadual pelaksanaan, kehadiran informan yang dibutuhkan dalam jumlah yang sesuai dengan permohonan, sambutan hangat yang ditunjukkan pada saat kedatangan tim evaluasi, serta berlangsungnya kegiatan evaluasi secara sukses dan relatif tanpa kendala yang berarti. Sambutan yang positif terhadap pelaksanaan evaluasi ini juga dapat dijadikan sebagai indikasi mengenai tingginya apresiasi pihak kepolisian terhadap kegiatan workshop serta keinginan yang kuat untuk memberi masukan bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan serupa di masa datang. Hal penting lain yang menunjukkan kesan mendalam peserta menyangkut
kegiatan
workshop adalah antusiasme yang mereka tunjukkan ketika mengikuti FGD. Berdasarkan pengamatan terhadap proses berlangsungnya FGD, hampir seluruh eks-peserta terlihat aktif dan antusias dalam menyampaikan pandangan dan kesan-kesan mereka menyangkut kegiatan workshop. Meski memiliki jenjang kepangkatan yang berbeda, hal itu tidak menghalangi peserta untuk menyampaikan pandangan-pandangannya secara lugas, dan bahkan mengemukakan kritik menyangkut aspek-aspek tertentu kebijakan pimpinan dalam institusi mereka. Eks-peserta juga memperlihatkan harapan yang tinggi agar mereka dapat dilibatkan kembali dalam kegiatan serupa di masa mendatang. Indikasi lain yang memperlihatkan cukup kuatnya tingkat impresi kegiatan workshop terhadap diri peserta dapat dilihat dari memori peserta menyangkut kegiatan tersebut. Meskipun satu tahun telah berlalu sejak pelaksanaan workshop, hampir seluruh eks-peserta workshop mengaku masih ingat dengan baik partisipasi mereka dalam workshop. Sebagian peserta bahkan mampu menyebutkan sejumlah nama yang pernah berperan sebagai fasilitator pada workshop tersebut, seperti Nanang Pamuji, Samsu Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi. Tingkat impresi yang tinggi juga tercermin dari kemampuan eks-peserta dalam menyebutkan beberapa materi workshop yang mereka peroleh. Materi yang disebutkan masih diingat dengan baik adalah materi tentang isu-isu konflik (yang oleh sebagian peserta, isu konflik menyangkut SARA atau agama disebut secara spesifik), analisis dan pemecahan masalah, 7
penyelesaian konflik segitiga, komunikasi yang efektif, teknik mediasi dan negosiasi, dan penyusunan rencana aksi. Berdasarkan poin-poin tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan workshop manajemen konflik memiliki tingkat impresi yang cukup kuat pada diri peserta. Selain itu, respons pihak kepolisian, baik dari penyelenggara maupun peserta, umumnya sangat positif terhadap kegiatan tersebut.
Materi: Relevansi dan Kegunaan Eks-peserta umumnya menilai pengetahuan tentang manajemen konflik yang mereka peroleh dari workshop sangat relevan dan berguna bagi pelaksanaan tugas mereka sebagai aparat kepolisian. Hal ini diakui oleh mereka yang berada di unit/kesatuan yang secara langsung berhubungan dengan fungsi penanganan konflik maupun yang tidak. Seperti telah dikemukakan, eks-peserta umumnya dapat menyebutkan berbagai materi yang mereka dapatkan dari workshop. Hal yang penting dicatat adalah di antara berbagai materi tersebut, materi tentang teknik mediasi dan negosiasi merupakan materi yang paling umum disebut oleh eks-peserta. Hal ini agaknya mencerminkan kebutuhan praktis eks-peserta ketika menghadapi situasi konflik di lapangan, mengingat jenjang kepangkatan dari sebagian besar peserta adalah perwira pertama, yaitu mulai dari Inspektur Dua (Ipda), Inspektur Satu (Iptu) hingga Ajun Komisaris Polisi (AKP). Ketika ditanyakan apakah eks-peserta sebelumnya pernah memperoleh materi serupa melalui kegiatan kediklatan yang dilaksanakan institusi Polri, eks-peserta umumnya mengaku bahwa sebagian materi memang pernah mereka dapatkan dalam kediklatan, namun karena melulu persoalan anggaran dan kebutuhan rasio jumlah polisi berbanding masyarakat, kualitas dan kuantitas materi kediklatan menjadi sedikit terabaikan. Inilah yang kemudian membuat sebagian besar eks-peserta workshop manajemen konflik merasa bahwa aspek kedalaman maupun kemenyeluruhan materi tentang manajemen konflik merupakan hal baru yang mereka peroleh melalui kegiatan workshop ini. Dari segi cara penyampaian materi, eks-peserta menilai para fasilitator memiliki kapasitas pedagogis dan andragogis yang baik, sehingga penguasaan dan penyampaian materi mampu disampaikan secara jelas dan tidak membosankan. Sesi permainan (game) juga merupakan sesi yang disebutkan menimbulkan kesan yang cukup mendalam. Cara penyampaian materi dan 8
suasana pembelajaran yang tercipta dalam proses workshop diakui eks-peserta sebagai hal yang jarang mereka jumpai dalam berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan serupa yang diadakan oleh institusi Polri. Namun demikian, sebagian peserta menyampaikan penilaian tersendiri terhadap sebagian fasilitator yang berasal dari lingkungan Polri. Sebagai catatan, fasilitator workshop berasal dari luar maupun dalam insitusi Polri. Fasilitator yang berasal dari lingkungan Polri adalah mereka yang pernah mendapat pelatihan untuk pelatih (TOT) tentang manajemen konflik, yang diselenggarakan satu tahun yang lalu di Yogyakarta. Sebagian fasilitator dari lingkungan Polri dinilai belum memiliki kemampuan menyampaikan materi secara memadai. Cara penyampaian mereka dinilai tidak lugas, atau dalam bahasa eks-peserta ‖berputar-putar‖, di samping agak membosankan. Hal ini perlu menjadi catatan bahwa kegiatan pelatihan untuk pelatih (ToT) hendaknya dirancang bukan hanya agar calon fasilitator memiliki penguasaan yang mumpuni atas materi, tetapi juga memiliki ketrampilan fasilitasi dan komunikasi yang memadai. Secara umum eks-peserta mengaku tidak mengalami kendala berarti ketika mengikuti kegiatan workshop. Satu-satunya kendala yang umum dikemukakan eks-peserta adalah soal keterbatasan waktu. Eks-peserta menilai keterbatasan waktu membuat kesempatan untuk melakukan pendalaman terhadap materi menjadi terbatas. Sebagian kecil peserta menyebut masalah keterbatasan sarana dan alat bantu sebagai kendala yang mereka hadapi dalam workshop. Terkait soal keterbatasan waktu, hal yang perlu lebih didalami adalah apakah hal ini memang diakibatkan terlampau singkatnya jadual workshop dibandingkan dengan beban materi pelatihan yang harus diberikan ataukah terkait dengan soal kurangnya efisiensi dalam manajemen waktu pelatihan. Atau, hal ini juga mungkin terkait dengan terlampau banyaknya jumlah peserta pelatihan pada setiap angkatan, sehingga ada eks-peserta yang mengusulkan agar dalam pelaksanaan workshop di masa datang jumlah peserta hendaknya dibatasi pada 25 orang saja. Meskipun secara keseluruhan materi dinilai sangat relevan dan berguna oleh eks-peserta, namun sebagian eks-peserta mengusulkan beberapa materi yang perlu ditambahkan workshop serupa di masa mendatang. Materi yang paling banyak diusulkan adalah tentang pengetahuan untuk mengenal karakteristik masyarakat di lingkungan mereka bertugas. Beberapa contoh materi yang disebut adalah psikologi massa, sosiologi budaya, komunikasi massa, dan pemecahan masalah (problem solving). Beberapa eks-peserta menyebut materi tentang teknik 9
pengendalian massa sebagai materi yang perlu mereka peroleh mengingat kebutuhan mereka ketika menghadapi situasi konflik atau konsentrasi massa di lapangan. Selain itu, sebagian ekspeserta juga menilai perlunya materi yang berkaitan dengan konteks lokal isu konflik di masingmasing wilayah dimasukkan atau diperbanyak dalam kegiatan pelatihan tersebut.
Peserta: Perlu Diperluas Temuan penting lainnya dari evaluasi ini adalah berkaitan dengan audiens atau peserta workshop. Sebagai catatan, rangkaian workshop manajemen konflik yang telah diadakan di 10 polda dirancang dengan sasaran peserta yang berasal dari jenjang kepangkatan perwira, baik perwira pertama maupun perwira menengah. Namun, pada kenyataannya di salah satu polda yang secara kebetulan dijadikan sasaran evaluasi, yakni Polda Banten, peserta workshop juga berasal dari jenjang kepangkatan bintara. Pihak Polda Banten sebagai host kegiatan mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan keterbatasan jumlah perwira yang bertugas di bidang yang berkaitan dengan penanganan konflik yang dapat diutus sebagai peserta workshop. Oleh sebab itu, 14 dari 30 peserta workshop adalah petugas dengan jenjang kepangkatan bintara, mulai dari Brigadir Polisi Dua (Bripda) hingga Brigadir. Sementara itu, satu tempat yang menjadi kunjungan dalam rangka evaluasi adalah Polres Klaten di wilayah hukum Polda DIY. Workshop yang diselenggarakan di Polres Klaten merupakan percontohan bagi kegiatan workshop yang difasilitasi seluruhnya oleh aparat kepolisian yang pernah mengikuti pelatihan untuk pelatih (ToT) manajemen konflik di Polda DIY. Itulah sebabnya seluruh peserta workshop berasal dari jenjang kepangkatan bintara, mulai dari Bripda hingga Ajun Inspektur Satu (Aiptu). Terkait dengan soal peserta workshop, ada dua hal yang umum disebut oleh eks-peserta. Pertama, workshop tentang manajemen konflik yang telah diselenggarakan pada dasarnya memang dirancang untuk kebutuhan pelatihan bagi perwira, kecuali di Polres Klaten yang memang ditargetkan bagi bintara. Namun demikian, eks-peserta umumnya menilai bahwa audiens atau peserta wokrshop dari kalangan aparat kepolisian perlu diperluas hingga mencapai tingkat kepolisian sektor dan aparat kepolisian dengan jenjang kepangkatan bintara. Alasan mengenai hal ini, seperti dikemukakan oleh banyak eks-peserta workshop,
adalah aparat
kepolisian pada tingkat kepolisian sektor (polsek) merupakan ujung tombak dari penanganan berbagai konflik yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu, mereka seharusnya perlu pula 10
mendapat prioritas pelatihan manajemen konflik semacam ini. Hal ini menggarisbawahi kebutuhan penyelenggaraan pelatihan manajemen konflik yang ditujukan bagi aparat kepolisian level bintara, dengan materi yang juga disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Misalnya, materi lebih difokuskan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang lebih sesuai dengan kebutuhan peanganganan situasi konflik di lapangan, seperti teknik mediasi dan negosiasi maupun pengendalian massa dan pencegahan konflik. Poin penting kedua berkaitan dengan peserta adalah perlunya audiens diperluas hingga mencakup unsur-unsur lain di luar aparat kepolisian, seperti pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Hampir seluruh peserta sepakat bahwa penanganan konflik bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab aparat kepolisian, melainkan melibatkan para pemangku kepentingan lainnya, baik pihak pemerintah daerah maupun unsur-unsur masyarakat. Beberapa insiden konflik sering kali terjadi akibat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Misalnya, kebijakan pertanahan, pengelolaan tata ruang dan wilayah, pilkada, pembangunan rumah ibadat dan kebijakan menyangkut aliran-aliran keagamaan/kepercayaan. Kegiatan pelatihan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholders) diharapkan menjadi forum penyamaan persepsi mengenai sumber atau akar permasalahan konflik sekaligus cara-cara yang efektif bagi penanganan konflik. Dalam kaitan ini, pihak kepolisian memberi apresiasi yang tinggi dengan penyelenggaraan FGD yang melibatkan aparat kepolisian dan unsur dari masyarakat pasca diselenggarakannya workshop. Mereka berharap berbagai pemangku kepentingan juga perlu dirancang untuk terlibat dalam pelaksanaan workshop serupa di masa datang. Hal penting lainnya terkait dengan peserta adalah komposisi peserta dari segi gender. Peserta workshop umumnya didominasi oleh polisi laki-laki (polki), sementara partisipasi polisi wanita (polwan) sangat terbatas. Tingkat partisipasi polwan yang cukup baik hanya ditemukan pada workshop yang diselenggarakan di Polda Banten. Dari total 30 peserta workshop, 8 peserta atau lebih dari 25% di antaranya adalah polwan. Namun demikian, pada saat proses FGD dalam rangka evaluasi berlangsung di wilayah Polda Banten, tidak satu pun polwan berkesempatan hadir. Oleh sebab itu, tim evaluasi melakukan wawancara dan pengisian angket terpisah dengan dua polwan eks-peserta. Dari hasil wawancara dengan dua eks-peserta polwan terungkap bahwa secara umum 11
penilaian keduanya sangat positif terhadap pelaksanaan workshop manajemen konflik tersebut. Mereka menilai materi-materi yang diberikan sangat berguna pengetahuan dan ketrampilan profesi mereka sebagai aparat kepolisian. Namun, ada dua hal penting yang terungkap. Pertama, kemampuan fasilitasi dari fasilitator tidak sama. Secara khusus, catatan dikemukakan menyangkut fasilitator dari lingkungan Polri (yaitu mereka yang pernah mengikuti ToT manajemen konflik dan menjadi fasilitator pada workshop tersebut). Fasilitator dari Polri dinilai kurang memiliki kemampuan fasilitasi yang baik. ‖Cara mereka menyampaikan materi tidak lugas dan cenderung membosankan. Hal ini membuat [peserta] mengantuk,‖ ungkap salah seorang polwan eks-peserta. Kedua, peserta sangat tidak seimbang dari segi kepangkatan dan senioritas. Peserta polwan umumnya adalah mereka yang baru lulus dari pendidikan, sedangkan peserta polki rata-rata terpaut jauh dari peserta polwan dalam hal kepangkatan dan senioritas. ‖Hal ini,‖ menurut seorang polwan eks-peserta, ‖mengakibatkan suasana interaksi saat workshop kurang nyaman.‖
Pengalaman Menangani Konflik: Peluang Aplikasi Pengetahuan
Evaluasi ini memang tidak dapat menentukan secara cukup reliabel sejauh mana tingkat materi yang diperoleh dari kegiatan workshop menghasilkan perubahan pada cara penanganan konflik oleh aparat kepolisian eks-peserta workshop, karena evaluasi ini tidak dirancang sejak awal sebagai bagian inheren dari kegiatan tersebut dan tidak menggunakan pendekatan randomized matched control-treatment evaluation, yang lazim digunakan untuk menentukan dampak kegiatan pelatihan terhadap perubahan pada perilaku peserta.3 Yang dapat diperoleh hanyalah informasi berdasarkan pengakuan peserta tentang bagaimana mereka menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh dari workshop dalam penanganan konflik, dengan mempertimbangkan aspek pengalaman keterlibatan mereka dalam penanganan konflik pada masa pra maupun pasca pelatihan. Sebagaimana telah disebut, meski beberapa aspek tertentu dari materi pelatihan manajemen konflik diakui pernah diperoleh eks-peserta dari program kediklatan yang 3 Mengenai kelebihan pendekatan ini untuk evaluasi mengenai hasil (outcomes) atau dampak (impacts), lihat misalnya Independent Evaluation Group (IEG), Monitoring and Evaluation: Some Tools, Methods, and Approaches, edisi ke-2, (Washington: World Bank 2004),
12
diselenggarakan oleh institusi Polri, namun pengetahuan tentang manajemen konflik secara komprehensif diakui baru diperoleh eks-peserta dari workshop yang mereka ikuti. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa eks-peserta secara umum memperoleh sesuatu yang baru dalam hal bagaimana seharusnya mereka menangani konflik. Secara umum eks-peserta mengaku bahwa pengetahuan yang mereka peroleh dari pelatihan sangat berguna dan umumnya dipraktikkan dalam penanganan berbagai konflik setelah mereka mengikuti pelatihan, meski tidak diketahui secara pasti seberapa tinggi tingkat keberhasilan aplikasi pengetahuan tersebut. Jika mengacu pada informasi tentang pengalaman peserta terlibat dalam penanganan konflik pasca mereka mengikuti workshop, maka dapat dikatakan peluang diterapkannya pengetahuan manajemen konflik yang diperoleh eks-peserta dari workshop cukup tinggi. Setelah mengikuti workshop, dari total 50 informan eks-peserta workshop yang mengikuti FGD, sekitar 66% eks-peserta mengaku pernah terlibat dalam penanganan konflik, sedangkan 34% lainnya mengaku belum pernah terlibat. Adapun jumlah eks-peserta yang mengaku pernah terlibat dalam penanganan konflik pada saat sebelum maupun sesudah mengikuti workshop sebanyak 50%. Hanya 10% peserta yang mengaku belum pernah terlibat dalam penanganan konflik, baik sebelum maupun sesudah mengikuti workshop. Hal yang juga penting dikemukakan adalah peluang mengaplikasikan pengetahuan manajemen konflik berkaitan dengan satu faktor penting, yaitu sistem mutasi aparat kepolisian yang bekerja di tubuh Polri. Umumnya peserta yang mengaku belum pernah terlibat dalam penanganan konflik sebelum mengikuti workshop maupun yang mengaku tidak lagi terlibat dalam penanganan konflik pasca workshop menyebutkan soal penempatan mereka dalam unit yang memang secara tidak langsung memiliki fungsi dan tugas penanganan konflik, seperti unit pelayanan atau administrasi. Hal ini pula yang menjelaskan terjadinya penurunan jumlah ekspeserta yang mengaku pernah terlibat dalam penanganan konflik sebesar 16%, dari sekitar 82% sebelum workshop menjadi 66% setelah workshop. Ada dua usulan yang mengemuka terkait upaya meningkatkan efektivitas sasaran peserta workshop. Pertama, seluruh eks-peserta workshop sepakat bahwa pengetahuan manajemen konflik sangat berguna bagi aparat kepolisian, baik yang bertugas di unit yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan penanganan konflik. Dengan kata lain, pelatihan tentang manajemen konflik berguna bagi peningkatan kapasitas pribadi maupun kapasitas profesi aparat Polri. Oleh sebab itu, eks-peserta sependapat mengenai perlunya dirancang suatu mekanisme 13
yang dapat menjamin penyebaran pengetahuan dan ketampilan manajemen konflik di kalangan personel Polri, antara lain, dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum kediklatan Polri dengan mempertimbangkan variasi kebutuhan berdasarkan jenjang, fungsi dan tugas. Kedua, meskipun secara umum pengetahuan manajemen konflik diperlukan bagi seluruh personel Polri, namun secara khusus pengetahuan dan ketrampilan manajemen konflik perlu diprioritaskan untuk personel Polri yang sedang dan akan bertugas di unit-unit yang memang langsung berhubungan dengan penanganan konflik, seperti unit bina mitra, samapta, intelkam dan reskrim. Hal ini perlu dilembagakan melalui kebijakan pimpinan Polri di berbagai tingkatan wilayah tugas, seperti kepolisian sektor (polsek) maupun kepolisian resor (polres).
Keberlanjutan Kegiatan Seluruh eks-peserta sepakat tentang pentingnya pelatihan manajemen konflik bagi aparat kepolisian yang bersifat berkelanjutan. Hal ini tercermin dari keinginan eks-peserta agar dapat memperoleh kesempatan untuk kembali mengikuti pelatihan serupa maupun munculnya berbagai usulan tentang bagaimana pelatihan ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan Polri. Dengan dimasukkannya materi tentang manajemen konflik ke dalam sistem kediklatan Polri diharapkan hal ini dapat membuat pelatihan tentang manajemen konflik bagi aparat kepolisian dapat berkesinambungan. Eks-peserta berharap bukan saja materi, melainkan cara penyampaian materi yang dinilai menyenangkan seperti yang mereka peroleh dalam workshop juga diterapkan dalam sistem kediklatan yang diadakan Polri. Berkaitan dengan ini, satu aspek yang menjadi catatan eks-peserta workshop adalah perlunya materi disesuaikan dengan kebutuhan jenjang aparat kepolisian. Pengetahuan dan ketrampilan yang lebih praktis seperti teknik mediasi dan negosiasi atau komunikasi dan pengendalian massa yang efektif, misalnya, sangat cocok untuk kebutuhan level bintara hingga perwira pertama yang umum bertugas di tingkat kepolisian sektor. Sementara untuk level perwira menengah, materi tentang analisis konflik, pengembangan jaringan, penyusunan rencana aksi, mungkin dapat lebih diperdalam. Usulan lain yang juga mengemuka adalah perlunya kegiatan pelatihan manajemen konflik ini dikoordinasikan atau diintegrasikan dengan program perpolisian masyarakat (polmas), yang telah diinisasi sejak 5 tahun lalu berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Perpolisian Masyarakat 14
dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. ‖Pelatihan semacam ini,‖ menurut salah seorang ekspeserta, ‖dapat diusulkan untuk dimasukkan dalam anggaran program polmas.‖ Dengan demikian, kegiatan pelatihan semacam ini diharapkan dapat berjalan secara berkesinambungan. Sebagaimana telah disebut sebelumnya, eks-peserta juga menilai bahwa pelatihan tentang manajemen konflik perlu melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, seperti pihak pemerintah daerah dan unsur-unsur masyarakat. Oleh sebab itu, muncul pula gagasan agar dijalin komunikasi dengan pihak pemda agar dapat turut berpartisipasi mendukung pembiayaan pelatihan sejenis dengan audiens yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti aparat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan aparat kepolisian.
15
BAGIAN 4 HASIL EVALUASI PER WILAYAH
POLDA LAMPUNG
Profil Informan Dari segi kelompok usia, peserta FGD terbanyak (4 orang) berusia antara 40-49 tahun, disusul dengan kelompok usia 50> tahun (3 orang), <30 tahun (2 orang) dan 30-39 tahun (1 orang). Seluruh peserta adalah pria karena memang tidak ada polisi wanita yang mengikuti kegiatan workshop. Mayoritas (8 orang) peserta beragama Islam, dan sisanya Katolik dan Protestan. Sementara dari segi etnis, peserta terbanyak berasal dari Palembang dan Jawa, masing-masing 3 orang, disusul Lampung (2 orang), dan Sunda dan Batak, masing-masing 1 orang. Dari segi pendidikan, separuh dari total peserta berpendidikan terakhir sarjana (S1), sementara 3 orang lainnya tamatan SMA dan 2 orang tamatan diploma (D3). 7 orang peserta saat ini bertugas di Polda Lampung, yang tersebar di unit reserse dan kriminalitas (reskrim), bina mitra, logistik, dan brigade mobil (brimob). 3 orang lainnya bekerja di unit kepolisian resor (polres), yaitu 2 orang di Tanggamus dan 1 orang di Way Kanan. Sebanyak 6 peserta saat ini berpangkat Komisaris Polisi (Kompol), sedangkan masing-masing 2 peserta berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) dan Inspektur Dua (Ipda). Rata-rata lama bertugas peserta FGD di unit/kesatuan terakhir sekitar 12,3 bulan, dengan lama tugas paling singkat 2 bulan dan paling lama 48 bulan. Adapun rata-rata lama menjadi petugas kepolisian sekitar 20,85 tahun, dengan paling singkat 2,5 tahun dan paling lama 29 tahun.
Hasil FGD dan Wawancara Meski satu tahun telah berlalu sejak berlangsungnya workshop manajemen konflik, seluruh anggota polisi eks-peserta workshop manajemen konflik di Polda Lampung yang dievaluasi mengaku masih mengingat dengan baik partisipasi mereka dalam acara tersebut maupun materi-materi yang mereka peroleh dalam workshop. Ketika ditanyakan tentang salah satu materi workshop yang mereka ingat, eks-peserta menyebutkan materi tentang identifikasi konflik, penyelesaian konflik atau problem-solving, teknik mediasi dan negosiasi, dan konflik 16
agama. Eks-peserta menilai secara umum materi workshop sangat relevan dan berguna bagi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam rangka tugas penanganan konflik. Ekspeserta juga menilai para fasilitator cukup baik dalam menyampaikan materi dan memandu acara sehingga berbagai materi workshop dapat dipahami dengan baik oleh mereka. Eks-peserta umumnya mengaku tidak menemui kendala berarti ketika mengikuti jalannya workshop. Hanya saja sebagian eks-peserta menilai waktu yang dialokasikan terlalu padat atau terbatas sehingga berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses diskusi dipandang belum sepenuhnya dapat terjawab dengan tuntas. Seagian eks-peserta mengaku bahwa sebelum maupun sesudah mengikuti workshop umumnya mereka pernah terlibat dalam upaya penanganan konflik. Kendati demikian, ada sebagian kecil eks-peserta yang mengaku tidak lagi langsung terlibat dalam penanganan konflik, antara lain akibat proses mutasi unit kerja. Beberapa materi yang dipandang paling berguna dalam penanganan konflik pasca mengikuti workshop adalah teknik problem solving, negosiasi dan mediasi. Ada sejumlah rekomendasi muncul baik dari hasil FGD maupun wawancara dengan penanggung jawab program workshop bagi peningkatan program serupa di masa mendatang. Pertama, progam-program pelatihan semacam ini sangat diperlukan mengingat aparat kepolisian jarang sekali menerima pelatihan selain pelatihan yang hanya menyangkut tugas pokok dan fungsi (pelatihan fungsional). Oleh sebab itu, eks-peserta sangat berharap agar progam pelatihan semacam ini dapat dilaksanakan kembali di waktu mendatang. Bahkan, sebagian peserta berharap agar program serupa dapat dilaksanakan dalam tahun ini. Salah satu materi yang diusulkan untuk ditambahkan adalah materi tentang psikologi massa. Selain itu, pelatihan mengenai teknik negosiasi dan mediasi juga dipandang perlu lebih diperbanyak. Kedua, isu konflik yang paling menonjol di wilayah provinsi Lampung adalah konflik berkaitan dengan masalah pertanahan (konflik agraria). Sengketa tanah, baik antarindividu maupun antara masyarakat dan perusahaan menjadi bagian dari konflik pertanahan yang menonjol tersebut. Satu faktor yang perlu dicatat ialah dalam konflik menyangkut isu ini, peran tokoh masyarakat atau tokoh adat dipandang tidak lagi memadai, sehingga dalam banyak insiden konflik pertanahan pihak kepolisian seringkali harus menjadi ujung tombak dari upaya penyelesaian. Oleh sebab itu, eks-peserta berharap agar di masa mendatang perlu diadakan 17
program peningkatan pengetahuan dan ketrampilan manajamen konflik bagi aparat kepolisian di wilayah Lampung, namun dengan lebih difokuskan pada isu konflik menyangkut sengketa tanah atau perebutan lahan. Selain konflik pertanahan, pelatihan lebih lanjut mengenai pengelolaan konflik berkaitan dengan masalah SARA, baik soal pribumi-pendatang maupun konflik antar dan intra agama, mendapat perhatian dari eks-peserta workshop. Di Lampung sendiri insiden-insiden kekerasan berkaitan dengan isu agama memang sangat jarang terjadi. Namun, pentingnya pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan isu agama ini dirasakan aparat kepolisian guna mengantisipasi agar berbagai perbedaan terkait SARA tidak sampai meledak menjadi kekerasan, yang jika hal itu terjadi maka dikhawatirkan akan menimbukan dampak yang mungkin jauh lebih besar dibandingkan konflik jenis lainnya. Ketiga, mengingat semakin besarnya tuntutan masyarakat agar aparat kepolisian bertindak menjadi ujung tombak penyelesaian konflik di lapangan, disarankan agar peserta pelatihan di masa mendatang diperluas hingga mencakup petugas kepolisian yang bertugas di unit-unit kerja terdepan seperti kepolisian sektor (polsek) yang beroperasi di tingkat kecamatan. Jika konflik dapat dikelola dengan baik oleh aparat kepolisian di tingkat ini, diharapkan berbagai pertikaian atau gesekan di masyarakat tidak akan mengalami eskalasi menjadi konflik yang lebih besar dan lebih luas. Keempat, program pelatihan di masa mendatang dipandang penting melibatkan unsur aparat dari instansi pemerintah (dalam hal konflik pertanahan, misalnya, dengan badan pertanahan) maupun unsur masyarakat karena penanganan konflik memang tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pihak kepolisian. Diakui bahwa koordinasi pihak kepolisian dan instansi pemerintah dalam penanganan konflik belum berjalan maksimal, antara lain akibat adanya semacam egoisme kelembagaan di masing-masing pihak. Diharapkan bahwa programprogam pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak ketiga, seperti dari perguruan tinggi, dapat memfasilitasi meningkatnya koordinasi, sinergi, dan kesamaan persepsi dalam penanganan konflik antara kepolisian dan instansi pemerintah maupun dengan pihak masyarakat. Terakhir, perlu diadakan semacam program pilot pengelolaan konflik, khususnya menyangkut isu pertanahan, yang memang menjadi isu konflik yang paling menonjol di wilayah Lampung. Program dapat dilakukan di daerah dengan tingkat intensitas konflik tertinggi, dan dirancang dengan melibatkan unsur kepolisian, pemerintah daerah, dan masyarakat. 18
POLDA BANGKA BELITUNG
Profil Informan Sebanyak 7 peserta FGD adalah petugas polisi laki-laki, dan 3 lainnya adalah polisi wanita. Dari segi usia, mayoritas 6 peserta FGD berada dalam kelompok umur 40-49 tahun, dan selebihnya kelompok umur 30-39 tahun dan 50 tahun ke atas, masing-masing 2 peserta. Seluruh peserta beragama Islam. Adapun dari segi etnis, peserta terbanyak berasal dari suku Melayu (4 peserta), disusul oleh Jawa (2). Sisanya, masing-masing 1 peserta, berasal dari suku Pegagan (Sumsel), Batak, Minang, dan campuran Jawa-Betawi. Mayoritas (6 orang) peserta berlatar belakang pendidikan S1, disusul SMA (3) dan D1 (1). Saat ini hampir seluruh peserta bertugas di berbagai bagian di Polda Babel, yakni Biro Personalia, Dit Reskrim, Dit Narkoba, Dit Samapta dan Dalmas. Sisanya bertugas di Polresta dan Polres. Sebanyak 4 orang peserta berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP), disusul Komisaris Polisi (3), Inspektur Dua (2) dan Inspektur Satu (1). Rata-rata lama bertugas peserta sebagai polisi sekitar 22,1 tahun, sedangkan rata-rata lama bertugas di unit terakhir adalah 17 bulan atau sekitar 1,5 tahun.
Hasil FGD dan Wawancara Hampir seluruh peserta FGD mengaku bahwa mereka masih ingat terlibat dalam workshop tentang manajemen konflik yang mereka ikuti setahun yang lalu. Mereka umumnya juga masih mampu menyebut materi workshop yang pernah mereka dapatkan. Hanya 1 peserta yang mengaku tidak lagi ingat secara spesifik materi workshop yang pernah diterimanya. Materi yang paling banyak disebut peserta adalah tentang mediasi konflik. Selain itu, materi tentang komunikasi yang efektif, negosiasi, analisis dan pemecahan masalah, serta konflik menyangkut isu SARA, merupakan di antara materi yang masih diingat oleh peserta FGD. Secara keseluruhan, peserta menilai workshop manajemen konflik sangat relevan dan berguna bagi tugas dan fungsi mereka sebagai aparat kepolisian. Namun demikian, mereka juga berpandangan bahwa workshop semacam itu akan lebih relevan jika dapat diikuti oleh aparat yang bertugas di lapangan dan paling sering bersentuhan dengan penanganan berbagai konflik yang muncul di masyarakat, seperti aparat yang bertugas di tingkat kepolisian sektor (polsek) di 19
berbagai kecamatan. Secara spesifik, mereka menyebut bagian bina mitra, intelejen, dan samapta sebagai lapisan petugas yang perlu mendapat pelatihan semacam ini. Dari segi penyampaian materi, peserta juga menilai para fasilitator telah menjalankan peran mereka secara baik. Metode diskusi dan sesi permainan dalam workshop juga disebut sangat berguna untuk dapat membuat jalannya workshop lebih hidup dan tidak membosankan. Peserta mengaku secara umum mereka tidak mengalami kendala dalam mengikuti workshop, meskipun ada di antara mereka yang menganggap alokasi waktu workshop perlu ditambah. Di samping itu, ada pula peserta yang merasa terbebani dengan tugas tertunda yang mereka harus selesaikan pasca mengikuti workshop. Jumlah peserta yang mengaku pernah dan tidak pernah terlibat dalam penanganan konflik sebelum mengikuti workshop hampir berimbang, dengan rasio 6:4. Konflik yang pernah ditangani peserta sebelum mengikuti workshop seperti konflik antara masyarakat dan perusahaan kertas, konflik menyangkut pembebasan lahan, konflik antara nelayan dan penambang apung, konflik antardesa, dan sebagainya. Seluruh peserta yang pernah terlibat dalam penanganan konflik pra-workshop juga terlibat dalam penanganan konflik pasca workshop. Sementara itu, hanya sebagian kecil peserta yang tidak terlibat penanganan konflik pra-workshop juga terlibat dalam penanganan konflik pasca workshop. Teknik komunikasi yang efektif, mediasi dan negosiasi menjadi materi yang paling banyak disebut peserta sebagai materi yang sangat relevan bagi kebutuhan pelaksanaan tugas mereka dalam menangani konflik yang terjadi di masyarakat. Untuk program serupa di masa mendatang, peserta berharap di samping dapat memperoleh pendalaman materi yang sebelumnya mereka peroleh, mereka juga berharap dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai psikologi massa dan kemampuan dalam mengenali dan memahami karakter masyarakat, dan pendalaman terhadap variasi jenis dan isu konflik serta pola-pola penanganannya yang khas. Selain itu, mereka berharap juga mendapat kesempatan melakukan studi banding ke wilayah-wilayah lain, terutama yang memiliki tingkat intensitas konflik yang tinggi. Dari segi cakupan peserta pelatihan, mereka menyarankan agar sasaran workshop atau pelatihan diperluas hingga menjangkau satuan tugas di tingkat terdepan, terutama kepolisian sektor (polsek). Personil yang perlu dilibatkan meliputi kapolsek, kasat intel, kasat serse, kasat samapta, selain tentu saja bina mitra (babinkambtibmas). Pelatihan juga diharapkan dapat berjalan secara berkesinambungan, dengan jumlah peserta tidak lebih dari 25 orang pada setiap 20
angkatan. Menyangkut sustainibilitas program, dalam proses FGD terungkap dua poin penting. Pertama, mengingat pentingnya pelatihan manajemen konflik ini untuk dapat menjangkau lapisan aparat kepolisian yang lebih luas, khususnya yang berada di tingkat lapangan seperti di tingkat kepolisian sektor, ada usulan bahwa pelatihan dengan peserta pada tingkat perwira lebih dirancang sebagai bentuk pelatihan ToT (training of trainers). Selanjutnya, para trainer inilah yang nantinya akan bertindak sebagai fasilitator pelatihan di tingkat polsek. Poin kedua, terkait dengan poin pertama, perlu dipikirkan dukungan pendanaan yang memadai untuk menunjang sustainibilitas program. Ada dua model dukungan pendanaan yang mengemuka. Pertama, melakukan pengarusutamaan tentang pentingnya manajemen dan resolusi konflik di kalangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Melalui strategi ini, diharapkan tersedia atau meningkatnya dukungan pendanaan bagi peningkatan kapasitas resolusi konflik di tingkat lokal, yang juga secara tidak langsung dapat mendukung peningkatan kapasitas aparat kepolisian di tingkat lokal dalam hal manajemen dan resolusi konflik. Kedua, memberikan rekomendasi kepada Mabes Polri agar anggaran program perpolisian masyarakat (polmas) dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya dapat dialokasikan untuk program-program pelatihan di bidang peningkatan kapasitas manajemen dan resolusi konflik bagi aparat kepolisian di tingkat lokal. FKPM Desa Deniang: Kabar Baik dari Program Polmas Pada saat evaluasi, tim assessment juga berkesempatan mengunjungi sebuah desa, yang di wilayah itu kinerja Forum Kerjasama Polisi dan Masyrakat (FKPM), sebagai bagian dari program Polmas, dinilai sebagai yang terbaik sewilayah Provinsi Babel. Desa tersebut adalah Desa Deniang, yang terletak di Kecamatan Sungai Liat Kabupaten Bangka. Desa tersebut bahkan kini dalam proses mendapat penghargaan sebagai desa sadar hukum terbaik seProvinsi Babel. Di desa tersebut, FKPM baru terbentuk pada tahun 2008 silam. Ketua FKPM Desa Deniang, yang juga merangkap Ketua FKPM Kabupaten Bangka adalah Bapak Romadi, mantan aktivis ’66 dan pegawai swasta, yang kini memfokuskan kegiatannya di FKPM. Adapun Komisaris Polisi Muzakkir Akil, yang saat ini menjabat sebagai Kabag Bina Mitra Polres Bangka, berperan sebagai inisiator pembentukan FKPM di wilayah tersebut. Menurut keterangan Kompol Muzakkir Akil, proses pembentukan FKPM di desa tersebut diawali dengan melakukan penjajakan terhadap 21
respons masyarakat setempat mengenai kemungkinan dibentuknya FKPM di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil penjajakan, diperoleh informasi tentang cukup tingginya tingkat antusiasme baik di kalangan warga desa maupun pemerintah desa, dalam hal ini Kepala Desa, menyangkut rencana pembentukan FKPM. Proses berlanjut dengan diselenggarakannya pertemuan yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili semua unsur, baik etnis, agama, dan kewilayahan. Dalam pertemuan tersebut, selain disepakati tentang pembentukan FKPM, juga dilakukan pembentukan kepengurusan melalui pemungutan suara. Guna memenuhi kebutuhan akan sekretariat sekaligus pusat pertemuan warga, secara bergotong-royong warga desa berinisiatif untuk membangun sebuah bangunan dengan luas sekitar 50 meter persegi. Bangunan yang kemudian dinamakan Balai Polmas itu selanjutnya menjadi pusat dilakukannya kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta memelihara keamanan dan ketertiban lingkungan. Selain itu, Balai Polmas juga menjadi tempat dilakukannya mediasi bagi berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Efektivitas kehadiran Balai Polmas sangat dirasakan baik oleh warga desa maupun pemerintah desa. Penyelesaian berbagai insiden konflik skala kecil yang sebelumnya selalu menggunakan pendekatan hukum kini lebih dititikberatkan melalui cara penyelesaian mediasi. Penyelesaian melalui jalur hukum kini hanya dibatasi pada kasus-kasus pidana maupun perdata skala menengah-berat. Intensitas beban tugas kepala desa yang sebelumnya senantiasa menjadi pusat utama pengaduan berbagai keluhan atau masalah yang terjadi di kalangan masyarakat kini mulai terkurangi dengan kehadiran Balai Polmas. Dalam ungkapan sang kepala desa, ―Saya kini sudah dapat tidur lebih sore.‖ Berbagai kasus konflik yang ditangani Balai Polmas sangat bervariasi, mulai dari kasus tindak pidana ringan (seperti pencurian), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyelesaian kasus tindak asusila, sengketa lahan, dan sebagainya. Namun, kini penyuluhan yang dilakukan FKPM melalui Balai Polmas tidak hanya terbatas pada soal-soal yang menyangkut hukum, keamanan dan ketertiban, tetapi mulai melebar ke isu-isu lainnya seperti kesehatan, dengan bekerja sama dengan lembaga lokal terkait, seperti balai kesehatan atau posyandu.
POLRES KLATEN
Profil Informan 8 dari 10 peserta FGD yang diadakan di Polres Klaten adalah eks-peserta workshop manajemen konflik yang diadakan setahun yang lalu. Adapun 2 orang peserta FGD lainnya
22
berperan sebagai fasilitator pada kegiatan workshop tersebut. Dari segi jenis kelamin, 8 dari 10 eks-peserta workshop adalah polisi laki-laki (polki), dan 2 sisanya adalah polisi wanita (polwan). Dari segi usia, mayoritas (6) peserta FGD berada dalam kelompok umur 40-49 tahun, sedangkan 3 lainnya berada dalam kelompok umur 30-39 tahun, dan 1 sisanya berusia 50 tahun ke atas. Seluruh eks-peserta beragama Islam dan berasal dari suku Jawa. Dari segi tingkat pendidikan terakhir, 6 peserta adalah tamatan SMA, sedangkan 4 sisanya berlatarbelakang pendidikan sarjana (S1). Dua peserta kini tengah menempuh program magister. Berdasarkan jenjang kepangkatan, 7 peserta FGD adalah bintara, 3 di antaranya berpangkat Brigadir Polisi Kepala (Bripka), sedangkan 4 lainnya berpangkat Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu). Sisanya, masing-masing berpangkat Inspektur Dua (Ipda), Inspektur Satu (Iptu) dan Ajun Komisaris Polisi (AKP). Rata-rata lama bekerja sebagai polisi sekitar 21,2 tahun, sedangkan lama bekerja di unit terakhir selama 156 bulan atau sekitar 13 tahun. Separuh peserta FGD saat ini bekerja di unit bina mitra di tingkat polsek, sedangkan sisanya tersebar di unit bina mitra dan unit lainnya di tingkat polres dan di SPN Purwokerto.
Hasil FGD dan wawancara
Secara keseluruhan, peserta mengaku masih ingat dengan baik partisipasi mereka dalam kegiatan workshop manajemen konflik yang diadakan setahun yang lalu. Materi workshop yang diingat oleh peserta mencakup jenis-jenis konflik, perbedaan antara konflik dan kekerasan, analisis konflik, teknik mediasi dan negosiasi, serta perpolisian masyarakat (polmas). Peserta menilai materi yang mereka peroleh sangat bermanfaat bagi pelaksanaan tugas mereka sebagai aparat keamanan, khususnya bagi penanganan dan penyelesaian konflik di masyarakat. Pengetahuan dan ketrampilan yang dianggap paling berguna yang diperoleh peserta dari workshop bagi penanganan konflik ialah tentang teknik negosiasi dan mediasi. Hal ini agaknya mencerminkan kebutuhan praktis aparat keamanan ketika mereka tengah berhadapan dengan situasi konflik. Secara umum, peserta menilai para fasilitator memiliki penguasaan yang baik atas materi dan teknik penyampaian materi yang digunakan juga menarik dan tidak membosankan. Satusatunya kendala yang umumnya dikemukakan peserta ialah menyangkut keterbatasan waktu, sehingga kesempatan untuk melakukan pendalaman terhadap materi menjadi terbatas. Selain 23
waktu, ada sebagian peserta yang menilai kekurangan pelaksanaan workshop menyangkut ketersediaan sarana dan alat bantu. Dari 8 peserta FGD, 5 orang di antaranya mengaku pernah terlibat dalam penanganan konflik sebelum mereka berpartisipasi dalam workshop, sedangkan 3 peserta lainnya mengaku belum pernah terlibat. Kasus konflik yang pernah ditangani peserta ialah konflik politik menyangkut pemilihan presiden pada tahun 1998, kasus sengketa lahan, kasus penebangan pohon, relokasi pasar, dan pertikaian antarkampung. Sejumlah rekomendasi yang muncul bagi pelaksanaan workshop manajemen konflik di masa mendatang ialah sbb: Pertama, meskipun secara keseluruhan materi workshop dianggap sudah memadai, namun peserta mengharapkan adanya tambahan materi, terutama menyangkut sosiologi budaya masyarakat, penanganan pra-konflik, dan peningkatan mental aparat. Selain itu, materi tentang negosiasi dan mediasi dipandang perlu diberikan alokasi waktu yang lebih banyak. Sesi permainan (games) dinilai berhasil menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, dan oleh sebab itu perlu lebih diperkaya. Kedua, masih terkait soal materi, eks-peserta berharap agar workshop di masa mendatang lebih banyak memberikan pendalaman terhadap konteks lokal konflik. Di wilayah Yogyakarta, isu konflik umumnya terkait dengan proses politik, seperti pilkada, serta konflik menyangkut sumber daya alam, seperti sengketa lahan dan pertikaian antarkampung. Ketiga, peserta workshop perlu diperluas hingga mencakup aparat keamanan yang bekerja di tingkat kepolisian sektor (polsek) karena aparat keamanan pada level inilah yang berhadapan langsung dengan situasi konflik. Adapun unit atau kesatuan yang dipandang perlu dilibatkan selain bina mitra adalah reserse kriminal (reskrim) dan intelejen keamanan (intelkam), di samping unsur pimpinan seperti kapolsek dan wakapolsek. Keempat, eks-peserta workshop menilai pentingnya upaya untuk mengintegrasikan manajemen konflik ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan yang ada di dalam institusi polri, seperti melalui SPN (sekolah polisi negara) untuk calon bintara maupun Secapa (sekolah calon perwira), maupun di tingkat pusat melalui Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri
24
POLDA BANTEN
Profil Informan Dari 10 orang yang menjadi informan evaluasi ini, baik melalui FGD maupun wawancara, 6 di antaranya berada pada kelompok usia 40-49 tahun. Sementara itu, sisanya, masing-masing 2 orang berada pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 tahun ke atas. Seluruh informan beragama Islam dan separuhnya (5 orang) berasal dari etnis Sunda, disusul 4 orang etnis jawa dan 1 orang etnis minang. Dari segi tingkat pendidikan terakhir, tamatan SMA dan sarjana (S1) memiliki komposisi seimbang, masing-masing 4 orang. Sisanya, masing-masing 1 orang, berpendidikan terakhir D3 dan S2. Dari segi kepangkatan, profil informan relatif tersebar di jenjang kepangkatan perwira menengah, perwira pertama maupun bintara. Yang terbanyak (3 orang) berpangkat Inspektur Satu (Iptu), disusul Inspektur Dua (Ipda) dan Ajun Komisaris Polisi (AKP), masing-masing 2 orang. Sisanya, masing-masing 1 orang, berpangkat Komisaris Polisi (Kompol), Brigadir Polisi Satu (Briptu) dan Brigadir Polisi Dua (Bripda). Rata-rata lama bekerja informan sebagai petugas Polri ialah 20 tahun, sedangkan lama bekerja di kesatuan terakhir ialah sekitar 15,4 bulan atau 1,3 tahun. Mereka kini bekerja di berbagai kesatuan di tingkat polda (3 orang), polres (5 orang) dan polsek (2 orang). Hasil FGD dan Wawancara Dari hasil FGD dan wawancara, terungkap bahwa seluruh eks-peserta workshop mengaku masih mengingat partisipasi mereka dalam workshop manajemen konflik yang diselenggarakan sekitar setahun yang lalu. Materi-materi yang disebutkan masih diingat dengan baik antara lain jenis-jenis konflik, penyelesaian konflik segi tiga, dan teknik mediasi dan negosiasi. Eks-peserta juga menilai bahwa materi workshop sangat relevan dan berguna bagi pelaksanaan tugas mereka sebagai aparat keamanan, khususnya dalam penanganan berbagai konflik yang terjadi di masyarakat. Para fasilitator dinilai telah menyampaikan materi workshop dengan baik. Sesi permainan yang digunakan dalam workshop juga dipandang sebagai suatu hal baru dan menyenangkan yang jarang mereka peroleh dalam pelatihan serupa yang diadakan oleh institusi polri. Sesi tersebut membuat proses pembelajaran tidak membosankan dan membantu menciptakan kesan yang mendalam terhadap materi yang disampaikan. 25
Hampir seluruh peserta berpendapat bahwa materi tentang penyelesaian konfik, khususnya teknik mediasi dan negosiasi, merupakan materi yang dipandang paling berguna. Hal ini agaknya terkait dengan kebutuhan praktis aparat kepolisian dalam penanganan konflik di lapangan. Secara umum peserta mengaku tidak menghadapi kendala yang berarti dalam mengikuti workshop. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, soal alokasi waktu yang terbatas, yang membuat pendalaman terhadap sejumlah materi tidak dapat dilakukan. Kedua, dari hasil wawancara dengan eks-peserta polisi wanita, terungkap bahwa fasilitator yang berasal dari kalangan polri terkesan agak monoton dalam penyampaian materi. Hal ini membuat suasana dalam beberapa sesi workshop agak membosankan. Selain itu, polwan eks-peserta juga mengeluhkan soal ketidakberimbangan komposisi peserta dari segi gender maupun kepangkatan. Peserta polwan umumnya berasal dari kalangan usia muda dan jenjang kepangkatan yang lebih rendah (level bintara) dengan umumnya mayoritas peserta workshop yang merupakan polisi laki-laki dengan usia yang lebih senior dan memiliki jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Hal ini dirasakan sebagai salah satu faktor yang menjadi kendala bagi interaksi peserta polwan dalam workshop tersebut. Ketiga, ada eks-peserta yang menilai bahwa meski materi workshop sangat berguna bagi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mereka sebagai aparat kepolisian, namun ketidaksesuaian jabatan mengakibatkan terbatasnya peluang untuk mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh. Adapun dari segi keterlibatan dalam penanganan konflik, hampir semua peserta mengaku pernah terlibat. 9 dari 10 eks-peserta mengaku pernah terlibat penanganan konflik sebelum mengikuti workshop, dan 8 dari 10 peserta mengaku pernah berhadapan dengan situasi konflik pasca mengikuti workshop. Eks-peserta berharap agar di masa mendatang dilakukan pendalaman terhadap sejumlah materi workshop seperti mediasi dan negosiasi dan teknik penyelesaian masalah. Selain itu, beberapa materi tambahan yang diusulkan adalah teknik pengendalian massa, psikologi massa dan komunikasi. Di samping itu, contoh-contoh dari pengalaman lokal perlu lebih banyak diintegrasikan ke dalam materi workshop dan eks-peserta workshop dapat dibentuk ke dalam satu tim untuk penanganan konflik yang timbul. Para informan eks-peserta workshop menilai workshop tentang manajemen konflik sangat berguna bagi aparat kepolisian, dan karena itu mereka menaruh perhatian besar pada 26
sustainibilitas program di masa mendatang. Beberapa usulan yang mengemuka adalah pengintegrasian materi tersebut ke dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) di lingkungan Polri, seperti SPN (Sekolah Polisi Negara) dan Secapa (Sekolah Calon Perwira) dengan mempertimbangkan variasi kebutuhan untuk masing-masing jenjang. Misalnya, untuk level bintara, materi lebih dikembangkan untuk kebutuhan praktis dan aplikatif dalam penanganan konflik di lapangan, seperti pengendalian massa, teknik mediasi dan negosiasi. Adapun untuk level perwira, materi yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan analisis situasi, baik dalam rangka antisipasi maupun pemecahan masalah, maupun kapasitas pengembangan jaringan dapat lebih diperbanyak dan diperdalam. Hal lain yang juga menjadi perhatian para informan ialah persoalan mutasi petugas Polri yang relatif berlangsung cepat. Petugas Polri sering berpindah dari dan ke kesatuan atau jabatan yang tidak langsung berkaitan dengan penanganan konflik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kelanjutan dari kegunaan pengetahuan dan ketrampilan tentang manajemen konflik yang diperoleh. Namun demikian, seluruh informan sepakat tentang pentingnya seluruh aparat kepolisian dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dasar tentang manajemen konflik, meski prioritas atau pendalaman materi tentu saja perlu diberikan pada aparat yang menempati unit-unit yang bertanggung jawab langsung untuk menangani kasus-kasus konflik yang timbul di masyarakat, seperti samapta, bina mitra, dan intel keamanan (intelkam), serta level kesatuan yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus konflik, yakni kepolisian sektor (polsek). Terakhir, para informan berharap adanya kegiatan pasca pelatihan berupa asistensi atau pendampingan penanganan konflik. Hal ini dapat memberi peluang bagi penerapan atau aplikasi pengetahuan dan ketrampilan manajemen konflik yang diperoleh melalui pelatihan, sekaligus peluang pembelajaran dari keterlibatan dalam penanganan kasus-kasus yang nyata terjadi.
POLDA NUSA TENGGARA BARAT
Profil Informan Jumlah peserta FGD pada saat evaluasi di wilayah Polda NTB sebanyak 10 orang, meski kegiatan FGD juga dihadiri oleh sejumlah aparat yang tidak mengikuti workshop. Peserta FGD seluruhnya adalah polisi laki-laki, yang terbanyak (4 orang) berusia 50 tahun ke atas. Sedangkan sisanya, masing-masing 3 orang, berada pada kelompok usia 30-39 tahun dan 40-49 tahun. Latar 27
belakang pendidikan peserta sebanding antara tamatan SMA dan mereka yang menamatkan pendidikan sarjana (S1). Dari segi etnis, separuh peserta (5 orang) berasal dari suku Sasak, dan sisanya suku Jawa dan Bali, masing-masing 2 orang, dan suku Bima 1 orang. Mayoritas peserta (8 orang) beragama Islam, dan 2 orang sisanya beragama Hindu. Dari segi kepangkatan, 8 orang merupakan petugas berpangkat perwira pertama, yaitu Inspektur Satu 2 orang serta Inspektur Dua dan Ajun Komisaris Polisi, masing-masing 3 orang. Sedangkan 2 orang lainnya merupakan perwira menengah (masing-masing berpangkat Komisaris Polisi dan Ajun Komisaris Besar Polisi). Rata-rata lama bertugas peserta sebagai aparat kepolisian adalah 21 tahun, dengan masa tugas paling singkat 10 tahun dan paling lama 28 tahun. Adapun rata-rata lama bertugas peserta di unit atau kesatuan terakhir adalah 43,6 bulan atau sekitar 3,6 tahun, dengan waktu paling singkat 0,3 bulan dan paling lama 156 bulan atau 13 tahun. Saat ini, peserta bertugas di Biro Bina Mitra, Humas dan Satuan Brimob Polda NTB, serta di tingkat kepolisian resor (Polres) di Lombok Barat dan Mataram.
Hasil FGD dan Wawancara Seluruh informan peserta FGD mengaku masih ingat dengan baik keikutsertaan mereka dalam kegiatan workshop tentang manajemen konflik yang diadakan di Polda NTB beberapa bulan yang lalu. Sejumlah informan bahkan mampu menyebutkan dengan tepat nama-nama fasilitator yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Sebagian informan menyebut secara umum materi yang mereka peroleh dalam workshop, yakni polisi dan manajemen konflik, sementara sebagian lainnya menyebut secara khusus materi tentang gaya konflik, jenis-jenis konflik, teknik mediasi dan negosiasi, serta polmas. Eks-peserta megaku tidak mengalami kendala berarti selama mengikuti workshop. Selain menilai workshop sangat relevan dan berguna dari segi materi, eks-peserta juga menilai bahwa cara penyampaian materi oleh fasilitator cukup baik. Seperti di wilayah lain, satu-satunya hal yang paling banyak disebut sebagai kendala atau kekurangan pada pelaksanaan workshop adalah soal keterbatasan waktu, yang berakibat pada terbatasnya waktu untuk pendalaman materi. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pihak penyelenggara untuk melakukan perbaikan dalam segi manajemen waktu, baik dengan cara meningkatkan efisiensi waktu maupun membatasi jumlah peserta, sehingga sesi interaksi, diskusi dan pendalaman materi bisa mendapat alokasi waktu 28
yang lebih lama. Seluruh informan mengaku pernah terlibat dalam penanganan konflik baik pra maupun pasca mengikuti workshop. Meski aspek—aspek tertentu dari materi tentang konflik diakui informan pernah didapat melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diadakan lembaga diklat Polri, namun pengetahuan yang cukup komprehensif tentang manajemen konflik diakui baru diperoleh melalui workshop tersebut. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari workshop itu dinilai semakin meningkatkan kapasitas profesional para personel Polri dalam menangani berbagai konflik yang terjadi di masyarakat. Isu konflik yang menonjol di wilayah NTB, menurut pengakuan informan, adalah isu agama, khususnya konflik sektarian menyangkut aliran-aliran keagamaan. Mengingat dominannya isu tersebut, pihak kepolisian di NTB juga telah mencoba mengembangkan strategi penanganan konflik dengan menggunakan pendekatan agama. Misalnya, di sana berkembang apa yang disebut sebagai PHH Zikir, yaitu dengan cara melantunkan bacaan-bacaan keagamaan, seperti zikir dan salawat, ketika aparat keamanan berupaya menghadapi terjadinya huru-hara atau konsentasi massa yang cukup besar. Hal yang menarik, pendekatan ini tidak hanya digunakan untuk menangani masyarakat dari komunitas Muslim semata. Dalam kasus massa yang berasal dari agama lain, seperti Hindu misalnya, aparat keamanan juga memanfaatkan kerja sama dengan tokoh agama setempat untuk menenangkan massa dengan melantunkan ayat-ayat suci atau bacaan keagamaan. Dalam banyak kasus, pendekatan semacam ini diakui cukup efektif bagi upaya penenangan massa dan pencegahan konflik berkembang ke arah tindak kekerasan. Terkait dengan hal ini, peserta berharap agar di masa datang, workshop manajemen konflik juga memperbanyak materi yang berkaitan dengan isu konflik yang menonjol di tingkat lokal. Selain itu, berbagai pelajaran penanganan konflik di tingkat lokal juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan materi workshop, yang selanjutnya dapat dijadikan pelajaran bagi penanganan konflik di wilayah-wilayah lain. Peserta FGD juga berharap agar kegiatan pelatihan ini dapat berjalan berkelanjutan mengingat pentingnya pengetahuan dan ketrampilan manajemen konflik bagi pelaksanaan tugas aparat kepolisian dalam penanganan konflik. Sasaran peserta juga perlu diperluas dengan melibatkan petugas pada level bintara yang terutama bertugas di tingkat kepolisian sektor. Hal ini karena aparat pada level itulah yang berhadapan langsung dengan berbagai insiden konflik yang terjadi di lapangan. Hal ini pula yang antara lain mungkin menjelaskan mengapa para 29
peserta menyebut materi tentang teknik mediasi dan negosiasi konflik sebagai materi yang paling berguna. Selain itu, peserta FGD menilai bahwa peserta workshop perlu diperluas dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan lainnya, seperti pihak pemerintah daerah maupun unsur masyarakat. Hal ini diperlukan karena sebagai insiden konflik terkait dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah, di samping berbagai pertikaian yang memang terjadi di kalangan masyarakat sendiri, terutama yang berkaitan dengan perbedaan paham atau pandangan keagamaan.
30
BAGIAN 5 PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan temuan evaluasi, ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan dari pelaksanaan workshop manajemen konflik yang melibatkan aparat kepolisian sebagai peserta. Pertama, dari segi tingkat impresi, evaluasi menemukan bahwa tingkat impresi kegiatan terhadap para peserta cukup tinggi. Tingkat impresi yang tinggi itu tercermin dari kuatnya memori peserta baik menyangkut partisipasi mereka dalam kegiatan workshop maupun materimateri yang mereka peroleh dari workshop. Selain itu, tingkat impresi yang tinggi juga tercermin dari antusiasme mereka yang teramati sepanjang proses FGD dan wawancara, serta harapan mereka untuk dapat terlibat dalam program serupa di masa mendatang. Kedua, materi-materi yang disampaikan dalam workshop secara umum dinilai sangat relevan dan berguna bagi pelaksanaan tugas aparat kepolisian dalam penanganan konflik. Meskipun beberapa aspek tertentu dari materi-materi tersebut pernah diperoleh dari program kediklatan yang diselenggarakan institusi Polri, namun diakui bahwa materi tentang manajemen konflik secara komprehensif baru mereka peroleh dari workshop tersebut. Ketiga, kemampuan fasilitasi dan penguasaan materi dari para fasilitator dinilai cukup baik. Meskipun demikian, ada keluhan dari sebagian kecil peserta menyangkut kemampuan fasilitasi dari fasilitator, khususnya yang berasal dari aparat kepolisian, yang sebelumnya pernah mengikuti ToT manajemen konflik. Sementara itu, secara keseluruhan eks-peserta mengaku tidak mengalami kendala berarti selama mengikuti kegiatan workshop. Satu-satunya hal yang umum disebut sebagai kendala adalah keterbatasan waktu, sehingga porsi pendalaman materi juga menjadi terbatas. Keempat, peserta yang mengikuti workshop secara umum telah sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya, yaitu aparat kepolisian dari level kepangkatan perwira. Hanya di dua tempat yang dievaluasi, komposisi peserta berbeda dari yang diharapkan. Pertama, di Polda Banten, yang hampir 50% peserta berasal dari dengan jenjang kepangkatan bintara, yang hampir separuhnya adalah polisi wanita. Alasan dari perubahan komposisi ini terkait dengan terbatasnya aparat level perwira di masing-masing Polres di Banten yang memiliki tugas dan fungsi yang relevan dengan tema pelatihan. Sementara itu, di Polres Klaten, penyelenggaraan workshop 31
memang dimaksudkan sebagai kegiatan pilot untuk memberikan kesempatan kepada aparat kepolisian yang telah mengikuti pelatihan untuk pelatih (TOT) manajemen konfli di Polda Yogyakarta untuk berperan sebagai fasilitator workshop. Oleh sebab itu, seluruh peserta berada pada jenjang kepangkatan bintara yang berasal dari polsek-polsek di wilayah Polres Klaten. Terakhir, berdasarkan informasi yang diperoleh berdasarkan pengakuan eks-peserta serta dengan mempertimbangkan tingkat pengalaman keterlibatan eks-peserta dalam penanganan konflik pasca berlangsungnya kegiatan workshop, dapat dikatakan bahwa tingkat peluang aplikasi pengetahuan manajemen konflik oleh eks-peserta cukup tinggi. Namun, hal yang juga perlu digarisbawahi ialah tingkat peluang aplikasi pengetahuan itu dipengaruhi oleh satu faktor penting, yaitu sistem mutasi aparat kepolisian yang berlaku di tubuh institusi Polri sendiri. Umumnya eks-peserta yang mengaku belum pernah terlibat dalam penanganan konflik sebelum workshop maupun mereka yang tidak lagi terlibat langsung dalam penanganan konflik sesudah workshop menyebut faktor perpindahan mereka ke unit-unit yang secara tidak langsung memiliki tugas dan fungsi penanganan konflik sebagai penyebabnya.
Rekomendasi Terkait dengan sejumlah temuan evaluasi di atas, ada sejumlah rekomendasi yang dapat dikemukakan. Pertama, meskipun secara umum materi dinilai telah relevan dan sangat berguna bagi tugas penanganan konflik oleh aparat kepolisian, namun dalam proses evaluasi mengemuka usulan-usulan mengenai perlunya ditambahkan sejumlah materi ke dalam pelatihan, seperti komunikasi massa, psikologi massa, teknik pengendalian massa. Workshop juga perlu memasukkan materi yang berkaitan dengan keterampilan menganalisis pencegahan konflik dan pemecahan masalah (problem solving). Selain itu, materi yang berasal dari konteks lokal juga disarankan untuk ditambahkan dan porsi waktu untuk materi tentang teknik mediasi dan negosiasi diusulkan untuk ditambah. Kedua, satu-satunya kendala yang banyak disebut peserta dalam kegiatan workshop adalah keterbatasan waktu, yang mengakibatkan porsi untuk melakukan pendalaman materi menjadi terbatas. Setidaknya ada dua hal yang dapat dipertimbangkan terkait dengan hal ini: meningkatkan efisiensi waktu penyampaian materi pelatihan dan/atau membatasi jumlah peserta pelatihan, dari 30 menjadi 20-25 peserta per angkatan. 32
Ketiga, peserta pelatihan disarankan untuk diperluas hingga mencakup aparat kepolisian pada level bintara yang bertugas di tingkat kepolisian sektor. Hal ini disebabkan karena merekalah yang umumnya berada pada garis terdepan penanganan konflik yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, selain menyasar pada level perwira untuk membekali mereka dengan kemampuan strategis dan analitis dalam pengelolaan konflik, pelatihan manajemen konflik juga perlu dirancang untuk menyasar level bintara untuk menyediakan mereka dengan kemampuan praktis penanganan konflik di lapangan. Keempat, terkait dengan poin ketiga, peserta juga diperluas hingga melibatkan para pemangku kepentingan lain, baik yang berasal dari unsur pemerintah daerah maupun unsur masyarakat. Hal ini disebabkan tugas penanganan konflik bukan semata-mata berada di pundak aparat kepolisian. Pelatihan manajemen konflik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan itu diharapkan dapat menjadi wadah penyamaan persepsi untuk melakukan identifikasi terhadap sebab-sebab terjadinya konflik serta cara-cara yang paling efektif untuk menanganinya. Kelima, hal
yang juga penting dipertimbangkan adalah aspek keberlanjutan
(sustainibilitas) kegiatan maupun hasil-hasil yang diharapkan dapat dicapai dari kegiatan tersebut. Guna menjamin keberlanjutan kegiatan, diperlukan upaya untuk memasukkan materi manajemen konflik ke dalam kurikulum kediklatan Polri, baik yang ditujukan pada level bintara (antara lain melalui SPN atau sekolah calon bintara) maupun level perwira (antara lain melalui sekolah calon perwira atau akademi kepolisian). Strategi lainnya adalah mengintegrasikan pelatihan manajemen konflik ke dalam program polmas (perpolisian masyarakat) yang baru diinisiasi dalam beberapa tahun terakhir oleh institusi Polri sendiri. Keenam, terkait dengan aspek sustainibilitas kegiatan, diusulkan adanya kegiatan lanjutan yang dirancang bagi eks-peserta workshop. Bentuknya dapat berupa kegiatan asistensi penanganan konflik. Kegiatan semacam ini memberi peluang bagi aplikasi pengetahuan tentang manajemen konflik oleh eks-peserta dalam penanganan nyata konflik di lapangan, sekaligus memungkinkan dilakukannya penilaian yang didasarkan atas observasi tentang bagaimana ekspeserta menerapkan pengetahuannya dalam penanganan konflik di masyarakat. Terakhir, untuk keperluan memperoleh informasi yang lebih reliabel menyangkut efektivitas kegiatan maupun dampak yang dihasilkan, kegiatan evaluasi perlu dirancang sejak awal sebagai komponen yang terintegrasi dengan kegiatan pelatihan. Hal ini akan 33
memungkinkan dilakukannya evaluasi dampak yang lebih cermat, antara lain dengan menggunakan pendekatan randomized matched control-treatment evaluation. Penggunaan pendekatan semacam ini umumnya diakui dapat menyediakan informasi yang relatif andal dan akurat mengenai dampak kegiatan pelatihan terhadap perubahan perilaku peserta, dalam hal ini khususnya untuk mengetahui dampak perolehan pengetahuan tentang manajemen konflik terhadap perubahan cara penanganan konflik oleh aparat kepolisian***
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Angket Peserta Workshop Manajemen Konflik Polisi Profil Responden Nama Tempat/Tgl. Lahir Jenis Kelamin Suku Agama Pendidikan Terakhir Unit/Kesatuan Pangkat Lama di Unit/Kesatuan Terakhir Lama Menjadi Polisi
: : : : : : : : : :
1. Sekitar bulan Mei tahun 2009 lalu Bapak/Ibu pernah mengikuti workshop tentang manajemen konflik bagi polisi yang diadakan oleh Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) – Universitas Gajah Mada. Apakah Bapak/Ibu masih ingat acara workshop tersebut? 2. Jika Bapak/Ibu ingat, apakah Bapak/Ibu dapat menyebutkan salah satu materi yang diberikan dalam workhsop tersebut? 3. Secara keseluruhan, bagaimana penilaian Bapak/Ibu terhadap worskhop tersebut menyangkut hal berikut: i) relevansi dan kegunaan materi ii) cara fasilitator menyampaikan materi 4. Kendala apa yang Bapak/Ibu alami ketika mengikuti workshop tersebut? 5. Sebelum mengikuti workshop tersebut, apakah Bapak/Ibu pernah terlibat dalam penanganan suatu situasi konflik? Jika ya, konflik macam apa? (Sebutkan satu pengalaman yang paling berkesan di diri responden) 6. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang Bapak/Ibu peroleh dari workshop tersebut yang dianggap paling berguna untuk menghadapi/menangani situasi konflik? (Berikan alasan) 7. Setelah mengikuti workshop tersebut, apakah Bapak/Ibu pernah terlibat dalam penanganan suatu situasi konflik? Jika ya, konflik macam apa? (Sebutkan satu pengalaman yang paling berkesan di diri responden) 8. Jika di masa mendatang workshop semacam ini diadakan kembali, menurut Bapak/Ibu pengetahuan dan ketrampilan tentang apa yang Bapak/Ibu harapkan dapat peroleh dari workshop tersebut? 35