LAPORAN AKHIR PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH
Penyusun: Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof. Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si Harsanto, SH, M.Si Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc Bani Pamungkas, SH
KERJASAMA ANTARA KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
iii
Bab I
Pendahuluan
1
Bab II
Hubungan Wewenang Antara Pemerintah dan Daerah serta Antar Daerah
8
Bab III
Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
25
Bab IV
Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia
32
Bab V
Kesimpulan dan Saran
56
Daftar Pustaka
58
Lampiran : Draft 3 RUU – 1 Desember 2006
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat. Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU. Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari. Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
1
Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada. Untuk itu, kajian dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode desk riset, focus group dicussion, konsinyasi, seminar/lokakarya, serta sosialisasi. Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini. HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA ANTAR DAERAH Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara Provinsi dan Kabuapten/Kota. Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam. Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks terjadi. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya. Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
2
32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut. Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di tingkat pusat. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU. Dalam konteks desentralisasi, pembagian kewenangan Pemerintahan merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undangundang) dan kewenangan yudikatif (peradilan). Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan. Wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan. Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
3
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur dalam UU tersebut. Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih terarah. Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan. Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut. Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/ Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional. TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
4
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut. Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada 1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri hidup dan berkembang pesat. Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada dalam desentralisasi teritorial. Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial) Dalam berbagai pendapat pakar, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah. Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
5
jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah. Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah. Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas (Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis? Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan. Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
6
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan Wilayah. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang baik. Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah, adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
7
semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru. Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris (kesatuan). Dinamika Hubungan Pusat - Daerah Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negaranegara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan Swiss. Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal, tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang berkembang. Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya (Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
8
sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut. Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia, marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54). Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina, Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik, faktor ekonomi dan faktor demografi. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
9
pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259). Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
10
keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya. Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon dan ditindaklanjuti. Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif. Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
11
dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi keberlanjutan program-program inovasi tersebut. Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22 No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka. Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah. Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan tersebut. Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
12
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini, penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan praktek di negara federal. Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batasbatas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk. Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini, karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
13
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12). Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang. Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektorsektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat, Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
14
propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan. Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan. Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama, dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1) kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi, (3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan, dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat dan melemahkan daerah. Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
15
dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga, kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien. Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane, 1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumbersumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara, meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga terjadi. Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, ditawarkan pengungkit yang dapat dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua, keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin kedudukan hukum pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
16
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
17
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat. Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU. Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
1
hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.
Pokok Permasalahan
Dari uraian di atas, kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang ini berfokus pada pokok masalah berikut:
1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah? 2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut? 3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
2
Tujuan
Dari fokus tersebut di atas, maka kegiatan ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undangundang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah disusun sebelumnya. 2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah. 3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan susunan RUU tersebut.
Manfaat Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya, sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.
Metodologi Penyusunan
Berdasarkan naskah akademik Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah, maka penyusunan RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dilakukan melalui serangkaian metoda:
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
3
1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik kegiatan. 2. Focus Group Discussion, merupakan
Diskusi Kelompok Terarah yang
dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan homogen dalam
suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di
semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif 3. Konsinyasi untuk menyusun naskah
Rancangan Undang-Undang Tata
Hubungan. 4. Seminar/Lokakarya
hasil
penelitian
berupa
naskah
akademik
untuk
mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang 5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Ruang Lingkup
Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Dan Pembagian Kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan berikut:
Aktivitas
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Desk Riset Focus Group Discussion Konsinyasi Seminar/Lokakarya Sosialisasi
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
4
Rincian Langkah Kegiatan
Adapun
rincian
langkah
pelaksanaan
kegiatan
berdasarkan
metode
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
Desk Riset
Kegiatan yang dilakukan Penelaahan informasi dari naskah akademik dan informasi lainnya dari berbagai sumber yang relevan dengan topik kegiatan
Durasi Pelaksanaan Dalam kurun waktu 2 (dua) bulan selama kegiatan dilaksanakan
Diskusi 4 (empat) kali Focus Group Pelaksanaan Kelompok Terarah pelaksanaan @ 2 Discussion dengan mengumpulkan jam nara sumber yang homogen dalam suatu ruangan. Penyusunan naskah 2 (dua) kali @ 2 Konsinyasi RUU Tata Hubungan hari pelaksanaan Pemaparan hasil 4 (empat) kali @ 2 Seminar / penelitian berupa jam pelaksanaan Lokakarya naskah akademik dan draft sementara RUU untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan UndangUndang Sosialisasi Mensosialisasikan 3 (dua) kali @ 2 Daraft RUU Tata jam pelaksanaan Hubungan Kewenangan Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Bentuk Keluaran Informasi mengenai urgensi penyusunan RUU berdasarkan peraturan yang ada serta kebutuhan materi yang harus diatur dalam RUU Masukan nara sumber mengenai materi pengaturan RUU
Draft RUU Masukan penyempurnaan Naskah Akademik dan Draft Sementara
Masukan terhadap Akhir RUU
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
Draft
5
Desk Riset
Focus Group Discussion
Konsinyasi
Seminar/Lokakarya
Sosialisasi
Sistematika Laporan
Laporan ini terdiri dari 5 (lima) Bab sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika penyusunan laporan.
Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah. Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
6
Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah yang dapat dilakukan.
Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
7
BAB II HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA ANTAR DAERAH
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah Pasal 18.
Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18, baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.
Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B, masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut, khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.
Kedudukan
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota
terhadap
Pemerintah
bersifat
subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
8
antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah. 2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan. 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah. 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Jika disederhanakan dalam bagan, terdapat pola-pola hubungan yang dapat terjadi sebagai berikut :
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
9
Pemerintah
Provinsi
Kabupaten
Provinsi
Kota
Kabupaten
Kota
Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.
Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks terjadi seperti tergambar dalam bagan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
10
searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.
Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di tingkat pusat. Berbagai Pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memuat secara langsung materi hubungan wewenang antara pemerintah dan Daerah dan antar Daerah dipaparkan dalam tabel berikut : No 1
Pasal Pasal 2 ayat (4)
Pernyataan Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan Pemerintahan Daerah
2
Pasal 2 ayat (5)
3
Pasal 2 ayat (6)
4
Pasal 2 ayat (7)
Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
interpretasi Frasa ’Pemerintahan Daerah’ tidak lazim secara normatif digunakan sebagai frasa yang menunjukkan organ. Lazimnya adalah ’Pemerintah Daerah’ atau ’Daerah otonom’. Hubungan yang terselenggara antar Pemerintah dan Daerah dan antar Daerah meliputi empat aspek
Terdapat prinsip keadilan dan keselarasan
Ayat 7 ini cukup membingungkan karena di dalam ayat sebelumnya telah disinggung hubungan antar susunan Pemerintahan dalam empat aspek, tetapi kemudian
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
11
5
6
kewilayahan antar dinyatakan lebih spesifik susunan Pemerintahan dalam hal administrasi dan kewilayahan. Pasal 10, 11, (Lih. dalam UU) Dasar material bagi 12, 13, dan 14 pembagian urusan yang merupakan koridor bagi hubungan wewenang. Pada pasal 14 ayat (3) dinyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut bagi pasal 10, 11, 12, 13, dan 14 dengan Peraturan Pemerintah Pasal 15, 16, (Lih. dalam UU) Dasar aturan bagi 17, 18 hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Masing-masing pasal memuat pernyataan bahwa aturan pelaksanaan hubungan di tiap aspek tersebut dengan peraturan perundang-undangan.
Seperti tergambar pada tabel di atas, hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.
Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004 juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :
No 1
Pasal Pasal 5 ayat (3)
Pernyataan interpretasi Syarat administratif Hubungan wewenang ini sebagaimana dimaksud dalam rangka asas pada ayat (1) untuk desentralisasi.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
12
2
Pasal 6 ayat (2)
Kabupaten/ Kota meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati/ WaliKota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri dalam negeri Penghapusan dan penggabungan Daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan Daerah yang bersangkutan
Menandakan adanya hubungan hirarkis dan dari bawah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Hubungan wewenang yang dilakukan dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal dari Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Hubungan wewenang dalam ayat ini tidak jelas dalam rangka asas apa? Secara vertikal dari Pemerintah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Dalam rangka asas desentralisasi secara vertikal dari bawah (Daerah) kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi secara Vertikal kepada Pemerintah dan internal kepada DPRD dan masyarakat.
3
Pasal 7 ayat (3)
4
Pasal 9 ayat (4)
5
Pasal 9 ayat (5)
6
Pasal 27 ayat Selain mempunyai (2) kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (HUBUNGAN kepada Pemerintah, dan ADMINISTRATIF) memberikan laporan
Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan Daerah yang bersangkutan Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepeada Pemerintah
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
13
7
8
9
10
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Pasal 27 ayat Laporan penyelenggaraan (3) Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri dalam negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati WaliKota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 29 ayat Pemberhentian kepala (4) huruf a. Daerah dan wakil kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah/ janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan/ atau melanggar larangan. Pasal 29 ayat Presiden wajib (4) huruf e. memproses usul pemberhentian kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut. Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU)
Hubungan wewenang Hirarkis, vertikal, dari atas dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Hubungan wewenang dalam rangka asas Desentralisasi vertikal kepada Pemerintah
(HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Hubungan wewenang dalam rangka asas sentralisasi dan desentralisasi vertikal dari atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) s.d.a perihal penghentian langsung oleh Presiden
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
14
11
Pasal 37 ayat Dalam kedudukannya (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden
12
Pasal 42 ayat 1 Mengusulkan huruf d. pengangkatan dan pemberhentian kepala Daerah/ wakil kepala Daerah kepada presiden melalui Menteri dalam negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/ Kota Pasal 53 ayat Tindakan penyidikan (1) terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atas nama menteri dalam negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/ Kota Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD Kabupaten/ Kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KPUD Provinsi Pasal 111 ayat Gubernur dan wakil (1) gubernur dilantik oleh Menteri dalam negeri atas nama Presiden
13
14
15
terhadap jabatan Kepala Daerah dan wakilnya. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Dalam rangka Dekonsentrasi, dan sifat hubungannya vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Dalam rangka Desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur, hubungannya bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Dalam rangka Desentralisasi, hubungan bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Vertikal dalam kerangka asas desentralisasi (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Sentralisasi, dekonsentrasi, dan desnetralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari atas (HUBUNGAN
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
15
16
Pasal 111 ayat Bupati dan wakil bupati (2) atau waliKota dan wakil waliKota dilantik oleh gubernur atas nama presiden
17
Pasal 130 ayat Pengangkatan, (1) pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Provinsi ditetapkan oleh gubernur Pasal 130 ayat Pengangkatan, (2) pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota ditetapkan oleh Bupati/ waliKota setelah berkonsultasi kepada gubernur Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai (1) negeri sipil antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai (2) negeri sipil antar Kabupaten/ Kota antar Provinsi dan antar Provinsi ditetapkan oleh menteri dalam negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara Pasal 131 ayat Perpindahan pegawai (3) negeri sipil Provinsi/ Kabupaten/ Kota ke
18
19
20
21
ADMINISTRATIF) Dekonsentrasi desentralisasi. hubungannya vertikal atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Dekonsentrasi desentralisasi vertikal bawah ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
dan Sifat dari
dan dari
Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Sentralisasi, Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi dan sifat hubunagnnya vertikal dan diagonal dari bawah • Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
16
22
Pasal 132
23
Pasal 135 ayat 1
24
Pasal 160 ayat (4)
25
Pasal 160 ayat (5)
26
Pasal 165 ayat (2)
departemen/ lembaga Pemerintah non departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh menteri dalam negerisetelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara Penetapan formasi pegawai negeri sipil Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh menteri pendayagunaan aparatur negara Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil Daerah dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri dan pada tingkat Daerah oleh Gubernur Daerah penghasil sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri dalam negeri berdasarkan pertimbangan dari menteri teknis terkait Dasar penghitungan bagian daerah dari Daerah penghasil sumberdaya alam ditetapkan oleh menteri teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan menteri dalam negeri Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh menteri keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri
ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi dekonsentrasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
dan
• Sentralisasi • Hubungan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi • Hubungan Keuangan dan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi • Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
17
27
28
dalam negeri dan menteri teknis terkait Pasal 170 ayat Pemerintah Daerah dapat (1) melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari menteri keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan dari menteri dalam negeri Pasal 175 ayat Menteri dalam negeri (1) melakukan pengendalian defisit anggaran setiap Daerah
29
Pasal 175 ayat Pemerintah Daerah wajib (2) melaporkan posisi surplus/ defisit APBD kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan
30
Pasal 185 ayat Rancangan perda Provinsi (1) tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri dalam negeri untuk dievaluasi Pasal 186 ayat Rancangan perda (1) Kabupaten/ Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/ waliKota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Bupati/ WaliKota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
31
• Desentralisasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas • Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Sentralisasi • Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) • Dalam rangka asas Desentralisasi dan hubungan yang tercipta bersifat vertikal ke atas • Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF) Desentralisasi, dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
• Desentralisasi, dekonsentrasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas • Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
18
32
33
34
35
36
gubernur untuk dievaluasi Pasal 195 ayat Dalam rangka (1) meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerjasama dengan Daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan Pasal 196 ayat Pelaksanaan urusan (1) Pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas Daerah dikelola bersama oleh Daerah terkait Pasal 198 ayat Apabila terjadi (1) perselisihan dalam penyelenggaraan funsgi Pemerintahan antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi, gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud Pasal 198 ayat Apabila terjadi (2) perselisihan antar Provinsi, antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di wilayahnya, serta antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di luar wilayahnya, menteri dalam negeri menyelesaikan perselisihan yang dimaskud Pasal 222 ayat (Lih. dalam UU) (1), (2), (3) dan (4)
• Desentralisasi, dan sifat hubungannya horizontal • Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
• Desentralisasi dan hubungannya bersifat horizontal • Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN) • Desentralisasi, dan dekonsentrasi. Sifat hubungannya vertikal • Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN) • Sentralisasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal, horizontal dan diagonal • Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)
• Adanya hirarki vertikal dalam sistem pembinaan dan pengawasan bahkan sampai camat. • Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
19
Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi yang lebih sedikit.
Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan
Pembagian kewenangan Pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada DaerahDaerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah
kewenangan
pemerintahan
saja
(eksekutif),
tidak
termasuk
kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan).
Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
20
BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN
Dinamis dengan landasan; Skala Ekonomi, Esternalitas, Catchment Area dan Lokalitas
Urusan Sektoral Pemerintah Nasional
Local Needs Dapat Didesentralisasikan
Desentralisasi
Diwajibkan
Medebewind
Sentralisasi Murni
Dekonsentrasi
Tidak Dapat Didesentralisasikan
Medebewind
Sentralisasi Dekonsentrasi Murni
Prakarsa Sendiri
PROVINSI Kabupaten/Kota
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
21
Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.
Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.
Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas;
dan (3) efisiensi. Namun masih
dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur dalam UU tersebut.
Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih terarah.
Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
22
Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. Undang-undang
tersebut
harus
menata
proses
hubungan
yang
dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.
Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan
Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/ Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Sekarang ini kita dihadapi oleh diskursus yang menyita perhatian banyak kalangan pasca Tsunami AcehSumut, yakni adanya keinginan Pemerintah membentuk Badan Otorita Khusus Aceh (BOKA). Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam BOKA ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.
UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengakomodasi konsep Badan Otorita secara eksplisit, walaupun terdapat pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat berdimensi milik Pusat atau milik Daerah. Nampaknya, pengaturan kawasan khusus ini tidak mengacu pada konsep desntralisasi fungsional melainkan mengacu kepada “penciptaan organisasi parastatal/semi otonom”. Oleh karena itu, paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 dalam mengatur kawasan khusus ataupun badan-badan seperti BOKA masih bersifat diametral antara menjadi milik Pusat dan menjadi milik Daerah.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
23
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa: (1) sentralisasi merupakan sumber dari bangun distribusi wewenang; (2) antara sentralisasi dan desentralisasi bersifat kontinum; (3) hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terjadi pada wewenang yang bersifat concurrent.
Beberapa hal dapat direkomendasikan : (1) Tata hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan antar daerah perlu diatur dengan undangundang; (2) Perlu mencermati UUD hasil amandemen dan UU lain yang bersinggungan; (3) hubungan yang diatur adalah hubungan resiprokal dan dalam cakupan baik penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah maupun sebagai gubernur, dan (4) hubungan wewenang yang terkait dengan lembaga khusus pun perlu diakomodasi pula mencermati perkembangan ke depan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
24
BAB III TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Pendahuluan
Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary
state;
gedecentraliseerde
eenheidsstaat).
1
Menurut
Profesor
Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah, menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2
“Such Theory has led to the idea of centralization-decentralization continuum, which is really an attempt to describe the power relationships among the various participants in the systems. First, however, it is important to examine some of the assumptions of the continuum and to consider the extent to which they limit its usefulness and applicability. The continuum assumes that there is a certain quantum of power within an organization that can be distributed in differing ways; and it does not account for the fact, now rather well documented, that power is highly variable. The addition of power at one level of hierarchy does not at all mean the automatic withdrawal of power at another.” Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut
secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”.
1
Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar MENPAN-FISIP-UI. 2
Frank P. Sherwood, “Devolution as A Problem of Organization Strategy,” dalam Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65 Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
25
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk mengatur
dan
mengurus
kepentingan-kepentingannya
dengan
aspek
kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada 1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri hidup dan berkembang pesat.
Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada dalam desentralisasi teritorial.
Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)
Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
26
pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.
Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22 Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
Perubahan yang didorong oleh kedua UU tersebut tergolong perubahan yang radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya telah berusaha membenahi kekurangankekurangan pada UU sebelumnya meskipun masih terdapat
berbagai
kekurangan. Sebagai sebuah kebijakan pun tidak terlepas dari kritikan.
Pada dasarnya, terlepas dari polemik mengenai UU tersebut, desentralisasi dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau alat dalam mencapai
tujuan
penyelenggaraan
negara
sehingga
desentralisasi
keseimbangan
dengan
kebutuhan
antara
kebutuhan
kesatuan
bangsa
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
27
merupakan variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian kewenangan
pemerintahan
dalam
konteks
desentralisasi
merupakan
persebaran kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom. Kewenangan pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah merupakan kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), jadi tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan).
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom
itu
adalah
separateness
(disintegrasi)
sehingga
harus
mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.
Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.
Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur merupakan
wakil
pemerintah
maka
apa
saja
kewenangannya
dan
hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
28
Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas (Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis? Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan
atas
pertimbangan-pertimbangan
rasional
akademis
untuk
menghindari polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan: ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
29
Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.
Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan Wilayah.
Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal
pembagian
dan
penyerahan
wewenang
atas
dasar
prinsip
kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang baik. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
30
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut.
Penutup
Penataan hubungan antar Pemerintahan ini dimaksudkan memenuhi kebutuhan empirik yang seringkali terjadi dispute yang tidak diinginkan yang menyangkut mekanisme dan proses timbal balik antara berbagai unsur pemerintahan disamping amanat UUD. Tidak dapat dipungkiri komitmen semua pihak dalam rangka mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik sehingga mendorong kamajuan bangsa sangat menentukan bagaimana penataan hubungan ini dapat berjalan. Oleh karena itu, perlu juga diantisipasi ’remedy’ dalam penataan tersebut. Perselisihan dan Sanksi dalam penataan tersebut juga dibutuhkan.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
31
BAB IV HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Pendahuluan
Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah, adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis).
Hubungan
dinamis
yang
kritis
ini
seringkali
dapat
menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.
Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalahmasalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
32
berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).
Dinamika Hubungan Pusat - Daerah
Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negaranegara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal) dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan kualitas “negara” pada negara bagian. Pada sisi lainnya juga terjadi ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick, Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian (Kantone) oleh pusat (Bund). Demikian juga sentralisasi kewenangan yang terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal, Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
33
tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang berkembang.
Unitaris
Federalis-Unitaris
Federalis
Gambar 1: Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah
Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya (Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
34
disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.
Gambar 2: Gerakan Sentrifugal dan Sentripetal dalam hubungan Pusat dan Daerah
Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia
Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia, marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek hubungan tersebut pada masa
kekinian dalam kontek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki
keterkaitan
dengan
aspek
horizontal
distribution
of
power.
Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18 Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
35
UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun 1974.
Berbagai
konstruksi
hubungan
Pusat
dan
Pemerintah
dalam
perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Hoessein di tahun 1995 menyebutkan bahwa roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Seiring dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia, telah terjadi lagi satu kali perputaran roda desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999.
Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).
Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
36
dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina, Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik, faktor ekonomi dan faktor demografi.
Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan Soeharto.
UU
No.
22
tahun
1999
menghapus
pelaksanaan
azas
dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan.
Demikian
juga
makna
desentralisasi
tidak
lagi
dalam
pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara pemerintah
Kabupaten/Kota
dengan
pemerintah
Propinsi.
Konstruksi
hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini menjadi
sangat lemah, karena para
elite lokal yang
menghendaki
kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
37
antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).
Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997 hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23 Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia. Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1 Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.
Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru
Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah menyebabkan
tensi
politik
yang
lebih
tinggi
daripada
upaya-upaya
peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah kabupaten/kota –tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung, afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
38
seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi perangkat (budget maximizing). Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan “gelar kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).
Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena
keterbatasan
SDM
yang
memenuhi
persyaratan. Mekanisme
Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi.
Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
39
Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk, 2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon dan ditindaklanjuti.
Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan. Pemberian
izin
pemanfaatan
SDA
seringkali
lebih
menguntungkan
pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
40
partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.
Meskipun
demikian,
praktek
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun sangat
bangga
dengan
program-program
yang
telah
memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi keberlanjutan program-program inovasi tersebut.
Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22 No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
41
memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.
Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan tersebut
paling
tidak
memuat
pemikiran
ulang
mengenai
tingkatan
pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; antar
tingkatan
pemerintahan;
partisipasi
perimbangan keuangan
daerah
dalam
pembuatan
keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.
Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia
Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa. Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi untuk mengadopsi bentuk negara federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan vertikal antara pusat dan daerah. Dalam praktek hubungan antara pusat dan daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan satu tanpa membicarakan yang lainnya. “... so haben auch die bisherigen Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
42
Untersuchungen
über
das
Wesen
des
Föderalismus
diesen
fast
ausschließlich und zumindest regelmäßig nur im Zusammenhang mit dem Begriff Unitarisme behandelt” (Denewitz, 1947: 81). Kombinasi berbagai instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah.
Memang dapat dipahami adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman, federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India, dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di masing-masing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin.
Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Padahal melalui penjelasan terhadap beberapa kharakter negara federal kita dapat secara cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis. Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.
Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
43
konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk. Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada dan India.
Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi, melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache” dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo, 2003:403).
Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention), dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang) dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
44
pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama, negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi; Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer. Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel 173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan– tidaklah
melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan
Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir 1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar Kedua Parlemen.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
45
Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi, karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum. Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang diberikan
oleh
pusat
kepada
negara
bagian
terhadap
pelaksanaan
kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.
Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian. Dalam praktek penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam. Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
46
bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang bersifat konsultatif.
Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenisjenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian. Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh “state” yang bukan merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation bagi warga negara. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
47
Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5% Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya kepada negara bagian miskin.
Uraian terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan, jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.
Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan tersebut.
Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
48
Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini, penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan praktek di negara federal. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Bhenyamin Hoessein. Pandangan tersebut demikian adanya. Meskipun demikian, tulisan ini tidak akan melanjutkan polemik tersebut melainkan akan menekankan
pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan
kedudukannya.
Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan
dan
koordinasi
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya
problem-problem
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batasLaporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
49
batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalahmasalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk.
Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini, karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.
Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
50
kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).
Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
51
ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektorsektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.
Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah
diberikan
Undang-Undang.
Bagi
daerah,
inkonsistensi
ini
membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.
Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama, dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang bersifat
nasional
dilakukan
oleh
pusat.
Sedangkan
Propinsi
dan
Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
52
Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1) kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi, (3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan, dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut dapat dikurangi. Dalam tulisan ini diusulkan agar pembagian kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah
sebagaimana
yang
dianut
pada
saat
ini,
cenderung
menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.
Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan
kemandirian
daerah
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan dan
hubungan
keuangan
antara
pusat
dan
daerah.
Dan
ketiga,
kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien. Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
53
terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane, 1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumbersumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara, meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga terjadi.
Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini menawarkan pengungkit yang dapat dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua, keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil pajak.
Kelima,
perlunya
mempertegas
dan
memperjelas
ketentuan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin kedudukan hukum pemerintah daerah.
Penutup Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
54
Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.
Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada produk
Undang-undang
yang
memiliki
keterkaitan
langsung
dengan
kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi juga Undang-undang yang lainnya.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas yang menjadi arahan dalam penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ini, dapat disimpulkan sejumlah hal sebagai berikut:
Penyusunan UU mengenai Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dan Kota merupakan amanat UUD 1945 hasil amandemen khususnya Pasal 18 A ayat (1).
Pengaturan Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah baik dari atas kebawah/downward dan sebaliknya/upward) dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. RUU harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.
RUU harus diarahkan pula kepada kemungkinan penataan badan badan khusus bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan khusus ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini dapat diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan
atas
pertimbangan-pertimbangan
rasional
menghindari polemik. Tata hubungan wewenang adalah
akademis
untuk
mekanisme dan
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
56
proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.
Penyusunan RUU yang telah dilakukan dirasakan belum memadai khususnya dalam mengakomodir pandangan dan pendapat dari segenap stakeholder yang ada mengenai materi yang harus diatur dalam UU Tata Hubungan Kewenangan
Saran
Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan di atas disarankan agar dilakukan pendalaman kajian penyusunan RUU ini di tahun mendatang sehingga dapat mematangkan materi pengaturan dalam Draft RUU Tata Hubungan Kewenangan yang telah dihasilkan dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan pendalaman dan pematangan ini diharapkan Draft RUU tersebut dapat memperoleh
masukan-masukan
materi
yang
lebih
memadai
dan
komprehensif dari segenap stakeholder lain yang belum berkesempatan memberi saran dan masukan dalam pelaksanaan kajian kali ini.
Dalam pendalaman dan pematangan tersebut, perlu juga memperhatikan UU dan RUU lain yang bersinggungan dengan Draft RUU Tata Hubungan Kewenangan ini.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
57
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arthur B. Gunlicks. 2000. “Föderative Systeme im Vergleich: Die USA und Deutschland “, in: Von Arnim, Hans Herbert/Färber, Gisela/Fisch, Stefan (Eds). Föderalismus – Hält er noch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62 Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung Bundesstaates in rechtsvergleichender Sicht. Berlin.
des
modernen
Bell, Daniel. 1988: “The World in 2013“, Journal Dialogue. Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for The 1990’s and Beyond, Longmann UK,. 1991 ____________. General Management in Local Government: Getting the Balance Right. Longmann. UK. 1990 Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University Press, Buckingham. 1993 Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983 Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London. 1990 Crane, Randal. 1995. “The Practice of Regional Development in Indonesia: Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance”. Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140. Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,. Singapore. 1992. Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung. 1992 Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988 De Mello, Luiz R. JR. 1999. “Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination Failures and Fiscal Outcomes”. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1. Hal. 8. Denewitz, Bodo. 1947. Der Föderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte. Hamburg. Deuerlein, Ernst. 1972. Föderalismus. Die historischen und philosophischen Grundlagen des föderativen Prinzips. Bonn. Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989. Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
58
Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in Theorie und Praxis. Wien. Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press. Alabama:1949 Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern. Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London. Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok. Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta. Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan daerah, Paper seminar „Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang. Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt. Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Bundesrepublik Deutschland, Opladen.
Das Foedarative System der
Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local Government. Open Univ. Press. Bristol:1996 Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing Organization and Management of Local Government. London. Mac Millan:1994 Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA, 1970. Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra. Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems. Cornell University Press. Itahca, New York: 1958 Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley & Sons. New York: 1975 Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta. Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA. Washington. 1993 Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government. Edward Elgar:1994, UK Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
59
Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance Zivilgesellschaftliche Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi, Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149. Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt. Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”. Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31. Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance: Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109. Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London. Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and Experiences for Building up Participatory in “Participatory Development”. DCS. USA. 1995 Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George Allen & Unwin Publiher. London: 1985. White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. The World Bank. Washington DC. Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San Francisco, California. Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan. Jakarta.
Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI
60
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH PENJELASAN
URAIAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
TAHUN
TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: a.
Bahwa Pemerintahan Daerah secara keseluruhan merupakan sub
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......TAHUN..... TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH
I. PENJELASAN UMUM 1. Dasar Pemikiran
1
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
sistem
dari
pelaksanaannya
Negara harus
Kesatuan
Republik
memperhatikan
Indonesia
peraturan
yang
Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia
perundang-
merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary
undangan yang berlaku;
konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi
b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah harus berjalan seiring dengan tujuan pemberian otonomi daerah dan tercapainya tujuan-tujuan negara; c.
tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan
Bahwa Hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah perlu diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in
d. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan UndangUndang
state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang
tentang
Hubungan
Kewenangan
Pemerintah
Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah.
unity”.
dan Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial
atau
fungsional.
Desentralisasi
teritorial
atau
kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat
lokal
untuk
mengatur
dan
mengurus
kepentingan-
kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional
berarti
pelimpahan
wewenang
dari
Pemerintah
kepada
2
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.
Dalam penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.
3
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala daerah juga memiliki fungsi dekonsentrasi yaitu sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual
function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga
harus
mengintegrasikan
kembali
(how
to
reintegrated).
Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.
Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan
daerah
dalam
Negara
kesatuan
Republik
Indonesia
berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling
4
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai Negara
kesatuan
Republik
Indonesia;
(c)
tuntutan
globalisasi
menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling bersinergi; (d) bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirintahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, hal pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta antar Pemerintahan Daerah adalah amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan:”Hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang daerah.”
Frasa
dengan “diatur
memperhatikan dengan
kekhususan
Undang-undang”
dan secara
keragaman eksplisit
mengindikasikan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud
bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.
5
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang baik.
Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut. Disamping hubungan kewilayahan, maka hubungan kewenangan juga meliputi hubungan jabatan, hubungan organ, keuangan, kepegawaian, intervensi pemerintah terhadap pemerintahan daerah, dan pelaporan serta pertanggungjawaban pemerintahan daerah.
Mengingat: 1.
Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;
6
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
2.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH BAB I
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Bagian Pertama
Pengertian
Pengertian
Pasal 1
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
7
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
1.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau
kabupaten/kota
desa,
dari
dan/atau
pemerintah
desa
serta
provinsi dari
kepada
pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 4. Pemerintah
Pusat, selanjutnya disebut, Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar 1945 5. Pemerintahan Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota bersama
Dewan
Kabupaten/Kota
Perwakilan dan
Rakyat
perangkat
Daerah daerah
Provinsi sebagai
atau unsur
penyelenggara pemerintahan daerah 6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
8
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang bersifat lokal dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia 7. Instansi Vertikal adalah perangkat Pemerintah yang ditempatkan di Daerah untuk melaksanakan dan mengurus urusan pemerintahan tertentu berdasarkan asas dekonsentrasi. 8. Wewenang adalah hak, kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. 9. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan sejenis yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, negara dan bangsa Bagian Kedua Tujuan Pasal 2 Undang-Undang ini bertujuan memperjelas dan mempertegas distrubsi kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta antar daerah.
9
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Bagian Ketiga Azas-azas Pasal 3 Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan, pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan. Bagian Keempat Ruang Lingkup Pasal 4 Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan organisasi, kepegawaian,
hubungan
wilayah,
hubungan
dan
keuangan,
hubungan
jabatan,
hubungan
hubungan
pelaporan
dan
pertanggungjawaban, dan hubungan intervenasi.
BAB II
BAB II
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN
PENYELENGGARAAN URUSAN
PENYELENGGARAAN URUSAN
Pasal 5
Pasal 5
10
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi, koneksitas dan subsidaritas
(1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang paling dekat.
(2) Urusan Pemerintah
Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik
(2) Cukup Jelas
luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal nasional, mempunyai daya laku berskala nasional dan mengikat bangsa secara keseluruhan sebagaimana diatur oleh UndangUndang.
(3) Urusan
Pemerintah
Provinsi
meliputi
urusan
perencanaan,
(3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan
urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan
11
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta
oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan
urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur.
situasi
dan
kondisi
masyarakat
setempat.
Urusan
yang
didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah. Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang diserahkan kepada daerah otonom.
(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan
Cukup Jelas
dan pemberdayaan masyarakat setempat. Pasal 6 Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan
Pasal 6
Cukup Jelas
Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak dapat melaksanakan urusan tersebut.
(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur
Pasal 7
(1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan daerah tidak mampu melaksanakannya. (2) Cukup Jelas
oleh Peraturan Pemerintah
12
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah jika: (a)
terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau
(b)
daerah tidak dapat melaksanakannya
(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh
(3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi ekonomi nasional.
(4) Cukup Jelas
Peraturan Pemerintah Pasal 8
Pasal 8
Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi
Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan
kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau
kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat,
melaksanakan.
sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 9 Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas:
Pasal 9
Cukup Jelas
(1) Kewenangan mengatur yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah; (2) Kewenangan mengatur bersifat yang konkuren; (3) Kewenangan mengatur bersifat kerangka;
13
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(4) Kewenangan mengatur bersifat paralel Pasal 10
Pasal 10
(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang.
(1)
Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu UndangUndang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk mengaturnya.
Jika
tidak,
maka
Pemerintahan
Daerah
harus
melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah.
(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan
(2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-
daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah
undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan
belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan
mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah.
Presiden maupun melalui peraturan lainnya. (3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah
(3) Cukup Jelas
menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan pemerintah daerah mengaturnya lebih lanjut dalam Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.
(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan Pemerintah
Daerah
berwenang
mengatur
pemerintahan tertentu secara bersamaan.
urusan-urusan
(4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit menyerahkan kewenangan tersebut.
14
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 11
Pasal 11
Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
Cukup Jelas
terdiri atas: (1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi; (2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas desentralisasi; (3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas dekonsentrasi; (4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan; (5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas dekonsentrasi. Pasal 12 (1) Pembagian
urusan
pemerintahan
Pasal 12 berdasarkan
kewenangan
(1) Cukup Jelas
mengatur dan mengurus yang menjadi wewenang Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran. (2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan
(2) Cukup Jelas
15
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
perundang-undangan yang mengaturnya sesuai dengan pembagian urusan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) Pasal 13
Pasal 13 (1)
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
(1) Cukup Jelas
berdasarkan Undang-Undang sebagai urusannya sendiri, jika dan selama Undang-Undang tidak menetapkan lain.
(2)
Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi
(2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pemerintah
melakukan
pengawasan
terhadap
tujuan
dan
kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas desentralisasi.
(3)
Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4)
Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum
(4) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas
16
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
desentralisasi
pemerintah
dapat
membatalkan
peraturan
daerah/peraturan kepala daerah.
(5)
Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan
(5) Cukup Jelas
pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan dan atau sanksi terhadap suatu pemerintahan daerah.
(6)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)
(6) Cukup Jelas
terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
(7)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)
(7) Cukup Jelas
terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Gubernur.
Pasal 14
Pasal 14 (1)
Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas pembantuan,
pemerintahan
daerah
menetapkan
(1) Cukup Jelas
perangkat
pelaksana urusan tersebut jika tidak ditetapkan secara khusus oleh Peraturan Perundang-undangan.
17
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
(2) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan dan perencanaan untuk pelaksanaan tugas pembantuan.
(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan perangkat
pemerintah
daerah
melaksanakan
petunjuk
(3) Cukup Jelas
yang
ditetapkan oleh pemerintah.
(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas
(4) Cukup Jelas
pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan urusan yang diserahkan.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
perangkat pemerintah yang bersangkutan.
(6) Pelaksanaan
urusan
pemerintahan
(5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau
oleh
pemerintahan
(6) Cukup Jelas
kabupaten/kota berdasarkan tugas pembantuan yang berasal dari pemerintahan propinsi dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.
(7) Dalam
hal
urusan
pemerintahan
berdasarkan
azas
tugas
(7) Cukup Jelas
18
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
pembantuan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka level pemerintahan yang memberikan tugas pembantuan dapat menarik kembali tugas pembantuan tersebut. Pasal 15
Pasal 15 (1)
Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi,
Departemen/Lembaga
Pemerintah
(1) Cukup Jelas
Non
Departemen menyerahkan urusan pemerintahan kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau kepada perangkat pemerintahan propinsi atau perangkat pemerintahan kabupaten/kota jika tidak terdapat instansi vertikal di daerah.
(2)
urusan
(2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan
dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur
Instansi
koordinasi
vertikal
dengan
bersangkutan.
di
daerah
perangkat
yang
melaksanakan
pemerintahan
daerah
yang
mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan perangkat pemerintahan daerah terkait.
(3) C k
J l
19
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(4)
Dalam hal Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen tidak memiliki instansi vertikal maka urusan pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi diselenggarakan oleh perangkat pemerintahan daerah berdasarkan tugas pembantuan.
(5)
Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
(4) Cukup Jelas
teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan dan perencanaan untuk pelaksanaan urusan berdasarkan azas dekonsentrasi.
(6)
Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas
(5) Cukup Jelas
dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
(7)
Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan
(6) Cukup Jelas
pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.
(8)
Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas dekonsentrasi
meliputi
kesesuaian
hukum
dan
(7) Cukup Jelas
tujuan
20
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
penyelenggaraan urusan.
(9)
(8) Cukup Jelas
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan bersama-sama dengan Gubernur. Pasal 16
Pasal 16
(1) Cukup Jelas
(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan bantuan bagi terlaksananya urusan tersebut sejauh tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Cukup Jelas
(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB III
H
TATA HUBUNGAN ORGANISASI
TATA HUBUNGAN ORGANISASI
Pasal 17
(1) Dalam
Penyelenggaraan
urusan
BAB III
Pasal 17
pemerintahan
daerah
setiap
(1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah
21
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki
non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-
hubungan satu dengan lainnya.
badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis lainnya.
(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
(2). Cukup jelas
dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan daerah menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. azas
(3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari
dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat
tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil
(3) Perangkat
Pemerintah
dalam
rangka
pelaksanaan
pemerintah daerah. (4) Dalam
penyelenggaraan
perangkat
pemerintah
urusan propinsi
menurut dan
azas
desentralisasi
perangkat
pemerintah
kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.
urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi. (4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan koordinasi
dan
sepengetahuan
perangkat
pemerintah
Kabupaten/Kota. (5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat
(5) Cukup Jelas
pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan koordinasi dan pembinaan terhadap perangkat pemerintah daerah yang menerima tugas pembantuan. (6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu
(6) Cukup Jelas
22
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
daerah otonom perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan wajib melakukan koordinasi dan kerjasama.
(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan
(7) Cukup Jelas
dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan.
Pasal 18 Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan
Pasal 18
Cukup Jelas
Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta Lembaga Teknis Lainnya pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Pasal 19 (1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam
Pasal 19
(1) Cukup Jelas
penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama antara satu dengan lainnya berdasarkan hak, kewajiban dan wewenangannya masing-masing serta berlandaskan atas dasar kepentingan dan kesatuan nasional secara keseluruhan.
(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah
(2) Cukup Jelas
23
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
daerah
Propinsi
dilakukan
melalui
Departemen/Lembaga
Pemerintah Non Departemen dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat
(3) Cukup Jelas
pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi yang bersangkutan atau melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri.
(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu
(4) Cukup Jelas
propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah tersebut atau dikoordinasikan oleh Gubernur propinsi yang bersangkutan.
(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah propinsi
yang
berbeda
dilakukan
sendiri
oleh
(5) Cukup Jelas
pemerintah
kabupaten/kota yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh Gubernur Propinsi yang bersangkutan.
Pasal 20
Pasal 20
24
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan
(2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan
perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan
terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan,
pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara
batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik pembiayaan dan penerimaan.
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azasazas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah
(2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar
propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui
tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak,
Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara
kewajiban dan kewenangannya masing-masing.
adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah
(3) Cukup Jelas
kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah
(4) Cukup Jelas
25
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
kabupaten/kota dalam wilayah propinsi yang berbeda diselesaikan melalui Gubernur propinsi yang terkait secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azasazas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud
(5) Cukup Jelas
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masingmasing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.
(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
(6) Cukup Jelas
dilakukan upaya gugatan di Peradilan.
(1)
Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan
(1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.
(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
jika
pembentukan
(2) Cukup Jelas
pemerintahan
khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,
26
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
sosial dan hukum.
BAB IV
BAB IV
TATA HUBUNGAN JABATAN
TATA HUBUNGAN JABATAN
Pasal 21
Pasal 21
(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam
(1) Cukup Jelas
semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan, tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya.
(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan
(2) Cukup jelas
pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Bupati/Walikota di wilayahnya.
(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
(3) Cukup Jelas
pemerintahan
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom
(4) Cukup Jelas
berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,
27
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Ketua Komisi, Ketua Dewan Pemerintah, ketuan Badan, pimpinanBadan Hukum Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara harus melakukan koordinasi dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung
(5) Cukup Jelas
dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui Gubernur propinsi yang bersangkutan.
(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan
(6) Cukup Jelas
kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.
(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri
(7) Cukup Jelas
harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah.
(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan koordinasi
dengan
Kepala
Dinas
dan
lembaga
(8) Cukup Jelas
teknis
kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan. BAB V
BAB V
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN
TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN
28
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 22
Pasal 22
(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan
(1) Cukup Jelas
Pegawai Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah
menetapkan
standar
dan
norma
perekrutan,
(2) Cukup Jelas
penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan pegawai antar daerah, insentif tambahan, pengembangan kapasitas, pengawasan dan pensiun Pegawai Pemerintah Daerah.
(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah
(3) Cukup Jelas
Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.
BAB VI
BAB VI
TATA HUBUNGAN KEUANGAN
TATA HUBUNGAN KEUANGAN
Pasal 23 (1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah
Pasal 23
(1) Cukup Jelas
maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian antara kewenangan, penguasaan sumber penerimaan dan kewajiban
29
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
pembiayaan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan.
(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
(2) Cukup Jelas
dapat meliputi: A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah; B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak antar tingkat pemerintahan; C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan pemerintahan daerah miskin; D. subsidi
dan
bantuan
dari
pemerintah
pusat
kepada
pemerintahan daerah. (3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah
(3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan
memperhitungkan
kekuatan
keuangan
pemerintahan
daerah pada setiap tahapan.
(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan
(4) Cukup Jelas
bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan
30
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
daerah tidak boleh berada dalam kesenjangan yang terlalu tinggi.
BAB VII
BAB VII
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 24
Pasal 24
(1) Bupati/Walikota
berkewajiban
memberikan
laporan
(1) Cukup Jelas
pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta
wewenangnya
kepada
Menteri
Dalam
Negeri
melalui
Gubernur setiap tahun.
(2) Gubernur berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban
(2) Cukup Jelas
tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta wewenangnya kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri setiap tahun
BAB VIII
BAB VIII
HUBUNGAN INTERVENSI
HUBUNGAN INTERVENSI
31
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 25
Pasal 25 (1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah dapat
melakukan
intervensi
terhadap
pelaksanaan
(1) Cukup Jelas
tugas
Pemerintahan Daerah.
(2) Pemerintah
dapat
melakukan
tindakan
eksekusi
terhadap
(2) Cukup Jelas
pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan sanksi yang diberikan oleh pemerintah.
(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
(3) Cukup Jelas
pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif militer.
(4) Tindakan
represif
militer
dapat
dilakukan
hanya
dengan
(4) Cukup jelas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
BAB IX
BAB IX
TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA
TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA
32
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 26
Pasal 26 (1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah
(1) Cukup Jelas
kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.
(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di
(2) Cukup Jelas
wilayah daerah otonom.
(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan
(3) Cukup Jelas
propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.
Pasal 27 (1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki
Pasal 27
(1) Cukup Jelas
hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya
(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi
(2) Cukup Jelas
hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan hubungan pelayanan. (3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih
(3) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
33
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 28 (1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
Pasal 28
(1) Cukup Jelas
adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang luasnya sama dan atau berhimpit dengan daerah otonom propinsi.
(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi
(2) Cukup Jelas
vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan wilayah kerja satu atau beberapa daerah otonom dimana instansi vertikal itu bekerja.
(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu
(3) Cukup Jelas
unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di daerah otonom yang luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau meliputi beberapa daerah otonom.
(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala
(4) Cukup Jelas
daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam UndangUndang pembentukan daerah otonom tersebut.
34
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur berwenang
menyelaraskan
dan
mengkoordinasikan
(5) Cukup Jelas
seluruh
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan khusus dan pemerintahan administrasi lapangan di tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota.
(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan
(6) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upayaupaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi masing-masing urusan pemerintahan.
(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri
(7) Cukup Jelas
Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6). Pasal 29 (1)
Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara
Pasal 29
(1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah daerah otonom dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan.
(2)
Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(2) Cukup Jelas
35
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
meliputi kewenangan mengatur dan mengurus, pembiayaan dan bagi hasil, dan hak dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi
(3) Cukup Jelas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Pasal 30
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka administrasi lapangan
Cukup Jelas
dan pemerintahan khusus/tertentu di wilayah daerah otonom harus memperhatikan pelaksanaan azas desentralisasi dan otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, azas keadilan dan keselarasan pemerintahan secara menyeluruh. Pasal 31
Pasal 31
(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan
(1) Cukup Jelas
pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.
(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
jika
pembentukan
(2) Cukup Jelas
pemerintahan
khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan
36
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan hukum.
BAB X
BAB X
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN
PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN
Pasal 32
Pasal 32
(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
(1) Cukup Jelas
dan antara Pemerintahan Daerah
dengan Pemerintahan Daerah lainnya dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui
(2) Cukup Jelas
upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak dapat diperoleh kesepakatan antara para pihak maka perselisihan diselesaikan melalui upaya hukum BAB XI
BAB XI
SANKSI
SANKSI
37
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
Pasal 33
Pasal 33 (1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan
(1) Cukup Jelas
Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang ini dan Peraturan PerundangUndangan lainnya.
(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih
(2) Cukup Jelas
lanjut oleh Peraturan Pemerintah
BAB XII
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Pasal 34
(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan
(1) Cukup Jelas
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama belum diatur dan/atau ditetapkan lain oleh Undang-Undang ini.
(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri
(1) Cukup Jelas
38
LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang ini.
BAB XIII
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pasal 35
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Disahkan di Jakarta Pada Tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAM
39