Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
87
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Penyusun: Bhenyamin Hoessein Irfan Ridwan Maksum Mohammad Riduansyah Puji Nur Hanafi
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP-UI 2004
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
88
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Kata Pengantar Penyusunan Naskah Akademik adalah sesuatu yang bersifat wajib dalam mengawali sebuah Rancangan Undang-undang (RUU). Amandemen Pasal 18 UUD 1945 mengisyaratkan adanya Undang-undang (UU) yang mengatur Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu bangsa Indonesia diwajibkan merenungi bagaimana pengaturan tersebut dibuat. Adalah kewajiban bagi kita kemudian merenungi hakekat penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan. Hahekat akan adanya hubungan kewenangan antar pemerintahan tersebut kemudian nantinya direfleksikan ke dalam berbagai materi pengaturan. Untuk sampai ke sana, renungan akan tata hubungan tersebut haruslah mencakup legitimasi perlunya pengaturan akan hal ini. Renungan tersebut juga mencakup bagaimana konstruksi yang pantas untuk organisasi negara bangsa kita Republik Indoensia. Untuk meyakini perlunya penataan hubungan beserta konstruksi tata hubungan juga perlu dipelajari bagaimana pengalaman negara lain. Kantor Kementerian pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) berinisiatif untuk memfasilitasi Kajian tersebut sejak tahun 2003. Pada Tahun 2004 MENPAN tetap meneruskan memfasilitasi kajian tersebut untuk dilanjutkan dengan pekerjaan Penyusunan Naskah Akademik. Kepercayaan yanng dalam dari kantor MENPAN kepada Universitas Indonesia melalui Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota (PKPADK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menjadikan pekerjaan penyusunan tersebut melibatkan kami. Meskipun kami telah melakukan serangkaian kajian dalam menyusun Naskah Akademik tersebut, namun masih terbuka kesempatan bagi khalayak di dalam mengkoreksi dan mengkritisi. Apalagi RUU yang akan menjadi hasil akhir dari penataan hubungan tersebut akan berdasarkan kepada Naskah akademik ini. Bahkan nantinya RUU pun terbuka dari kritik sebelum sampai menjadi UU – dan seterusnya UU pun terbuka dari kritik dan perbaikan. Sarana untuk menjangkau kritik dan sarana untuk memberitahukan bahwa proses penyusunan RUU adalah berliku yang paling tepat adalah publikasi. Buku ini adalah cara untuk mempublikasikan bagaimana Naskah Akademik penataan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah dibuat. Buku ini adalah hasil dari pekerjaan penyusunan naskah akademik kerjasama Kantor Menpan dan PKPADK-FISIP-UI tersebut. Oleh karena itu, di dalam berbagai bab mengalami perubahan penghalusan agar khalayak lebih memamahinya semata-mata ke arah substansi dari penataan hubungan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kami ucapkan terimakasih kepada pihak Kantor Menpan yang telah memberi kesempatan kepada kami mengerjakan proyek Penyusunan Naskah Akademik ini. Kepada kalangan Universitas Indonesia, khususnya di Departemen Ilmu Administrasi yang telah menyokong dan mendorong penerbitan pekerjaan kami, dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu kami ucapkan terimakasih. Semoga Buku naskah Akademik ini bermanfaat.
Bhenyamin Hoessein Irfan Ridwan Maksum M. Riduansyah Puji NH.
(Ketua Tim) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
89
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Daftar isi
Halaman Balik Sampul Hal i Pengantar Hal ii Daftar Isi Hal iii Bab I PENDAHULUAN Hal 1-6 Bab II TINJAUAN LEGAL-HISTORIS TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA Hal 7-47 Bab III PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA DALAM TATA HUBUNGAN ANTAR PEMERINTAHAN DAN KONDISI KEKINIAN INDONESIA DI BAWAH UU No. 22 Tahun 1999 Hal 48-72
Bab IV ALASAN PERLUNYA TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTAR PEMERINTAHAN Hal 73-86 Bab V KELEMBAGAAN TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH, DAN ANTAR DAERAH DI INDONESIA KE DEPAN Hal 87-128 Bab VI REKOMENDASI Hal 129-130 Daftar Pustaka
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
90
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Beranjak dari pasal 1 jo Pasal 37 (5) dan pasal 18 (A), (B), (C), dan (D) UUD 1945 Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary state; Gedecentraliseerde Eenheidsstaat). Dengan demikian perancang UUD 1945 tidak memandang sentralisasi dan desentralisasi sebagai dikotomi melainkan sebagai kontinum. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin
terwujudnya
penyelenggaraan
aspirasi
pemerintahan
dan secara
kepentingan
nasional,
desentralisasi
sedangkan
dimaksudkan
untuk
mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”. Sebagai perwujudan desentralisasi terdapat tiga pola daerah otonom. Provinsi yang wilayahnya terdiri atas beberapa Kabupaten dan Kota; Kabupaten yang wilayahnya sebagian besar bermasyarakat perdesaan dan Kota yang sebagian besar bermasyarakat perkotaan. Selanjutnya, dalam wilayah Kabupaten terdapat
desa
sebagai
kesatuan
pemerintahan
yang
terkecil
menurut
desentralisasi tradisional.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
91
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Kepada daerah otonom dan desa tersebut didistribusikan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 butir d ditandaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Definisi (pengertian) desentralisasi tersebut mengandung makna yang dalam. Pertama, wewenang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom terbatas pada wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah adalah Presiden dan para Menteri. Kedua, penyelenggaraan wewenang pemerintahan tersebut, baik oleh Pemerintah maupun oleh Provinsi, dan Kabupaten/ Kota dalam ikatan negara Kesatuan RI. Hal ini berarti terdapatnya sistem pemerintahan secara nasional. Karena merupakan sebuah sistem, jalinan hubungan antar pemerintahan tersebut adalah saling bergetergantungan. Dalam sistem pemerintahan nasional terdapat dua sub-sistem: sub-sistem Pemerintahan pusat dan sub-sistem pemerintahan daerah. Di dalam sub-sistem pemerintahan daerah terdapat sub-sub sistem yang terdiri atas sub-sub sistem pemerintahan Provinsi, sub-sub sistem pemerintahan Kabupaten/ Kota dan bahkan sub-sub sistem pemerintahan Desa. Jalinan sitemik tersebut terkait erat dengan tata hubungan kewenangan antar susunan pemerintahan. Pasal
7 UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan
adanya sejumlah rambu-rambu dalam distribusi wewenang pemerintahan tersebut. Menurut pasal tersebut dapat dikelompokkan karakter wewenang pemerintahan atas dua bagian besar: (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
92
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
(2) wewenang yang dapat didesentralisasikan. Dalam
wewenang yang dapat
didesentralisasikan ini dapat pula dilakukan sentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind sebagaimana dalam wewenang Kabupaten/ Kota. Jalannya sistem pemerintahan nasional yang terbagi atas sub-sistem pemerintahan pusat dan sub-sistem pemerintahan daerah tersebut didorong oleh penyelenggaraan
wewenang
pemerintahan.
Penyelenggaraan
wewenang
pemerintahan oleh masing-masing susunan pemerintahan tersebut terbagi dalam lembaga-lembaga
pemerintahan.
Di
pemerintah
pusat
terdapat
jalinan
kelembagaan antara Presiden/ Waikl Presiden dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah
Non
Departemen.
Dalam
Provinsi
sebagai
daerah
otonom,
penyelengagraan wewenang pemerintahan oleh KDH dan DPRD, dan terdapat sejumlah lembaga perangkat daerah seperti Setda, Setwan, Dinas, dan Lembaga Pelaksana Teknis Daerah. Sebagai
wilayah
administrasi
dalam
rangka
dekonsentrasi,
penyelenggaraan wewenang pemerintahan Provinsi merupakan jalinan kaitmengkait antara Gubernur sebagai wakil pemerintah dan berbagai lembaga instansi vertikal yang beroperasi di wilayahnya. Dalam lingkungan daerah Kabupaten/ Kota pun demikian terdapat berbagai jalinan kelembagaan yang sistemik. Penyelenggaraan wewenang pemerintahan daerah Kabupaten/ kota dilakukan oleh KDH dan DPRD dengan sejumlah perangkat daerahnya, termasuk Camat dan Lurah. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
93
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Dengan demikian, jalannya sistem pemerintahan tersebut adalah pertanda dari terjalinnya
tata hubungan
kewenangan
antar pemerintahan.
Jalinan
kelembagaan yang sistemik tersebut tentu diharapkan berjalan sinergi, tidak menimbulkan konflik dan mampu menguatkan kapasitas pemerintah secara keseluruhan menghadapi dinamika lingkungan yang serba tidak pasti dan berjalan cepat. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam sub-sistem pemerintah pusat berjalan sinergi secara internal maupun eksternal dengan sub-sistem pemerintah daerah. Oleh karena itu diperlukan kerangka hukum yang menjadi dasar bagi tata hubungan yang terjalin tersebut secara jelas. Dengan demikian, diperlukan rancangan Naskah Akademik (dasar filosofis, yuridis, sosiologis) untuk lebih mematangkan langkah menuju suatu implikasi kebijakan tertentu dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar Daerah. Tata hubungan dan Pembagian kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebagai sebuah naskah akademik, maka uraian isi buku ini berikisar pada empat hal pokok yang menjadi kerangka, yakni: (1) Bagaimana kondisi legalhistorik tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia? (2) Bagaimana pengalaman berbagai negara lain dalam penataan hubungan antar Pemerintahan dan bagaimana keadaan di Indonesia di bawah UU No. 22 Tahun 1999? (3) Apa dasar akademik tata hubungan kewenangan antara Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
94
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pemerintah dan pemerintah daerah di Indonesia? (4) Bagaimana tata hubungan kewenangan
antara
Pemerintah
dan
Provinsi,
antara
Pemerintah
dan
Kabupaten/Kota, dan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ke depan? Naskah akademik ini diharapkan bermanfaat secara praktis, menjadi landasan
yang
kuat
bagi
Pemerintah
untuk
membuat
kebijakan
guna
penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi. Untuk memperkuat susunan naskah akademik ini, selama prosesnya dilakukan serangkaian kajian dengan metode yang disiapkan sejak dini. Adapun teknik penelusuran data yang dilakukan oleh tim penyusun naskah akademik ini antara lain: 1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik kajian. 2. Focus Group Discussion, merupakan
Diskusi Kelompok Terarah yang
dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan homogen dalam
suatu ruangan. Suasana didisain sedemikian agar peserta cukup santai
dalam mengemukakan berbagai pendapat dan komentarnya mengenai topik yang didiskusikan. Diskusi ini sendiri dipandu oleh seorang moderator yang kompeten dalam bidangnya. FGD diharapkan bisa dilaksanakan di semua daerah kajian yang dianggap representatif 3. In-depth interview, dimaksudkan untuk memperoleh berbagai masukan yang mendalam dari berbagai perspektif berkenaan dengan topik yang dibahas. Nara Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
95
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
sumbernya berasal dari kalangan
birokrat (pejabat pemerintahan), LSM,
perguruan tinggi setempat serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada dianggap cukup berpengaruh. Adapun pelaksanaannya diharapkan bisa di seluruh lokasi penelitian. 4. Konsinyasi untuk menyusun hasil penelitian 5. Seminar/Lokakarya pada akhir kegiatan
B. Outline Buku Sesuai dari kerangka naskah akademik yang tertulis di muka, maka kepada khalayak pembaca, buku ini terdiri dari 6 Bab, Bab I adalah pengantar; Bab II berisi uraian kondisi legal historik penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan di Indonesia; Bab III berisi, urian pengalaman berbagai negara lain dalam penataan hubungan antar Pemerintahan dan bagaimana keadaan di Indonesia di bawah UU No. 22 Tahun 1999; Bab IV menguraikan apa dasar akademik tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah di Indonesia; Bab V berisi penjelasan bagaimana tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Provinsi, antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota, dan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia ke depan; dan Bab VI adalah rekomendasi dari naskah akademik ini. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
96
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
BAB II TINJAUAN LEGAL-HISTORIS TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA
A. Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia Sebelum Kemerdekaan Sebelum
tahun
1903
organisasi
Hindia
Belanda
sangat
tersentralisasi
(gecentraliseerde geregeerd land). Dianutnya dalam sistem organisasi tersebut didasarkan pada pendapat yang berlaku pada waktu itu bahwa dalam wilayah yang sebagian besar rakyatnya terjajah dan bersifat majemuk (higly fragmented), kepentingan negara hanya dapat ditegagkan oleh pemerintah yang sangat tersentralisasi dengan mengandalkan pada kekuatan birokrasi (PA.Kleintjes:1929). Sebagai
penghalusan
sentralisasi
dijalankan
dekonsentrasi
dengan
cara
membentuk wilayah (daerah) administrasi yang sangat hirarkis untuk keperluan penetrasi politik. Di Jawa daerah administrasi itu secara hirarkis terdiri dari gewest (kemudian disebut residentie), afdeeling (meliputi satu atau dua kabupaten) district (kawedanan) dan onderdistrict (kecamatan). Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang politik dan ekonomi, baik di belanda maupun di Hindia Belanda tidak meningkatkan sentralisasi, tetapi justru membuatnya lemah (J.S. Furnifall:1944). Sejak itu bergulirlah isu mengenai perlunya desentralisasi di Hindia Belanda. Isu tersebut melibat tiga struktur politik. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
97
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Struktur atas terdiri dari Raja, parlemen, Dewan Pertimbangan Agung, dan Menteri Urusan Jajahan di Negeri Belanda. Struktur menengah terdiri dari Gubernur Jenderal, Dewan penasehat dan para Pamong Praja Eropa di Hindia Belanda. Sedangkan struktur bawah terdiri dari penduduk Hindia Belanda, utamanya penduduk Eropa. Masing-masing struktur memiliki pendekatan sendiri. Struktur bawah menghendaki menegemen local untuk menangani kepentingan setempat. Pendekatan ini menuntut terbentuknya lembaga perwakilan di tingkat local. Struktur atas berusaha untuk menutup anggaran bagi urusan setempat dari luar APBN. Sedangkan struktur menengah mengupayakan desentralisasi birokrasi (dekonsentrasi) agar tidak kehilangan kekuasaan. Pendekatan yang ditempuh oleh struktur menengah lebih berpengaruh terhadap program desentralisasi yang dianut Hindia Belanda. (J.J.M. Nas: 1988). Dalam tahun 1903 lahirlah UU Desentralisasi yang pertama bagi Hindia Belanda. UU ini terdiri dari tiga pasal. Ketiga pasal itu adalah pasal 68 a, 68 b. dan 68 c yang dimasukkan ke dalam RR 1854. Semula rancangan ketiga pasal tersebut hanya mengenai desentralisasi. Namun atas desakan seorang anggota parlemen kemudian disepakati untuk memasukkan medebewind dalam pasal 68 c. (PA. Kleintjes: 1929). Argumentasi yang berkembang pada waktu itu adalah kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan desentralisasi di negara jajahan. Selaras dengan pendekatan yang ditempuh struktur menengah maka perlu diutamakan penyelenggaraan medebewind. (A.D.A. Dekat Angelino: 1931). Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
98
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Secara keseluruhan sekalipun UU desentralisasi didasarkan atas pertimbangan politik, namun tujuan desentralisasi waktu itu untuk mencapai efisiensi administrasi dan mengurangi beban administrasi dengan menyertakan elemen rakyat dalam pemerintahan lokan (J.S. Furnivall: 1944). Menurut UU desentralisasi, apabila dimungkinkan bagi gewest atau bagian dari gewest (gedeelte van een gewest) akan disediakan dana sendiri untuk membiayai kepentingan daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan dana tersebut diserahkan kepada sebuah dewan (raad) yang akan dibentuk di daerah yang bersangkutan. Sistem desentralisasi itu hanya sekedar membuka kemungkinan bagi terbentuknya lembaga pemerintahan setempat yang disebut “locale raden”, namun tidak secara tegas untuk memberikan kesempatan bagi rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan secara demokratis. Dewan yang dibentuk di gewest dengan sebutan gewestelijke raad dan dewan yang dibentuk di bagian gewest disebut plaatselijke raad, sedangkan dewan yang dibentuk di suatu kota disebut gemeenteraat. Berdasarkan UU Desentralisasi tersebut maka dibentuk 15 buah gewestelijk resort dengan gewestelijke raad-nya di gewest yang sudah terbentuk di pulau Jawa, 32 gemeentelijk resort dengan gemeenteraad-nya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perkotaan) di Jawa dan di luar Jawa dan 10 plaatselijk resort dengan plaatselijk raad-nya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat pedesaan) di luar Jawa. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah membentuk gewestelijk Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
99
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
resort berikut gewestelijk raad di gewest yang telah terbentuk (dalam rangka dekonsentrasi) di luar Jawa. Dengan demikian gewest di luar Jawa merupakan merupakan daerah administrasi belaka. Sebaliknya daerah otonom yang terbentuk selalu berhimpit dengan daerah adminidtrasi. Di bawah daerah otonom masih terdapat daerah-daerah administrasi yang sangat hirarkis. Kepala dari ketiga daerah otonom tersebut berperan sebagai Kepala Wilayah (wakil pemerintah pusat), dan bahkan juga sebagai Ketua Raad. Keanggotaan raad bersifat multi ras dengan komposisi sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Khusus untuk gemeente sebagai pemerintahan untuk golongan Eropa, mayoritas keanggotaan gemeenteraad-nya mutlak harus dari golongan Eropa. Para pejabat tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Pusat serta bertanggungjawab kepadanya. Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kemudian diperbaharui dengan Wet op de Besttuurs-herforming 1922. Dalam memori penjelasan perubahan susunan pemerintahan itu antara lain dinyatakan bahwa : “tujuan reformasi adalah untuk memberikan jaminan mengenai otonomi dan
partisipasi
kepada
penduduk
pribumi
dan
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan seperti dimiliki penduduk eropa” (A.D.A. De Kat Angelino: 1931). Di bawah UU baru di Pulau Jawa dibentuk tiga provincie (propinsi), dan 76 regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Sebaliknya dewan-dewan yang telah Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
100
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
terbentuk di gewest (residentie) dilikuidasi. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente. Selanjutnya di luar Jawa dibentuk sejumlah groepsgemeenschap. Provincie, regentschap, stadsgemeente dan groepsgemeenschap masingmasing dipimpin oleh gouverneur, regent, burgemeester dan voorzitter. Disamping sebagai organ otonom, pejabat itu juga sebagai wakil pemerintah pusat. Para pejabat tersebut juga berperan sebagai Ketua Raad (dewan). Keanggotaan dewan keempat macam daerah otonom di atas bersifat multi rasial, sebagian diangkat oleh pemerintah pusat dan sebagian dipilih melalui pemilihan. Mayoritas keanggotaan dewan provincie dan stadsgemeente adalah dari ras Eropa, sedangkan mayoritas keanggotaan dari regentschap dan groepsgemeenschap berasal dari ras pribumi. Namun terdapat kecenderungan mayoritas anggota dewan dari berbagai daerah otonom tersebut berasal dari kalangan pejabat. Dalam upaya membandingkan keanggotaan dewan antara regentschap dan stadsgeneente, Milone (1966) mengutarakan bahwa: otonomi lebih besar diberikan kepada stadsgemeente daripada regentschap sebagaimana tampak pada kenyataan terdapatnya keanggotaan dewan di stadsgemeente dari ketiga ras juga dipilih, sedangkan keanggotaan dewan di regentschap dari kelompok Eropa dan Timur Asing diangkat dan dari kelompok pribumi sebagian dipilih dan sebagian diangkat. Disamping itu, tugas-tugas yang dijalankan oleh stadsgemeente
lebih
besar
dibanding
otonomi
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
(desentralisasi)
daripada 101
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
(medebewind, sedangkan tugas-tugas yang dujalankan oleh regentschap lebih besar dalam rangka medebewind. Seperti dalam periode UU 1903, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemeintah belanda dalam membentuk
daerah otonom selalu diawali dengan
pembentukan daerah administrasi. Dengan demikian, daerah otonom selalu berhimpit dengan daerah administrasi. Didamping itu terdapat daerah administrasi belaka, baik yang belum disertai dengan pembentukan daerah otonom maupun yang akan bersifat langgeng secara hirarkis. Dengat
Wet
6
Februari
1922
(Ind.
Staatsblad
1922
No.
216)
Regeringsreglement ditambah pula dengan 4 pasal baru, yaitu 67 a, 67 b, 67 c dan 68 baru; 119, 120, 121, 122 Ind. Staatsregeling) yang memberi kemungkinan untuk dekonsentrasi dan desentralisasi kekuasaan pusat secara besar-besaran. Dalam pasal-pasal itu dituntut pembagian wikayah Hindia Belanda dengan Algemene Verordening (Ind. Staadsregeling: Ordonantie) atas: a. Propinsi-propinsi otonom yang dapat diserahi juga tugas Medebewind. b. Gewest-gewest lain. Pembagian itu dijalankan sedemikian rupa, sehingga Hindia Belanda dibagikan kembali atas sejumlah Gewest yang dikepalai oleh Gubernur-gubernur. Dimana, mungkin Gewest besar itu diberi status propinsi otonom dimana gubernurnya mempunyai fungsi dua, yaitu sebagai Pegawai Pusat tertinggi dalam propinsi, dan sebagai Organ Propinsi Otonom. Dimana belum mungkin mewujudkan propinsi otonom maka dibentuk dahulu Gewest besar administrative (Gouvernement), dimana gubernurnya berfungsi semata-mata sebagai pegawai tertinggi dalam Gewest. Tetapi baik kepada gubernur propinsi (sebagai pegawai pusat) maupun kepada gubernur gewest besar administrative itu dapat dioper kekuasaan Gubernur Jenderal dan Kepala Departemen dengan jalan dekonsentrasi, sedang dalam Gewest Besar administrative sebagai langkah pertama ke arah status Propinsi Otonom, dimungkinkan juga mengadakan Dewan Penasehat Gubernur.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
102
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pasal 67c (121 Ind. Staatsregeling) juga dibuka kemungkinan untuk mewujudkan daerah-daerah otonom bawahan dalam wilayah propinsi otonom itu, dengan Algemene Verordening (Ind. Staatsregeling: Ordonantie). Kepadanya juga dapat dapat ditugaskan Medebewind oleh Algemene Verordeningen dan peraturan-peraturan propinsi itu.
Penyelenggaraan asas-asa itu ditugaskan kepada Algemene Verordening (Ind. Staatsregeling: Ordonantie) dan berdasarkan ketentuan ini maka ditetapkan: 1. “Provincie Ordonnantje”, Ind. Staatblad 1924 No. 78 (perubahan terakhir: Ind. Staatsblad 1940 No. 226, 251). 2. Algemene Maatregel van Bestuur Ind. Staatsblad 1926 No. 28 yang memuat beberapa ketentuan mengenai pembentukan Propinsi, Regentschap Autonom dan Stadsgemeente Autonom. 3. “Regenschapsordonantie”, Ind. Staatsblad 1924 No. 79 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 226) 4. “Stadsgemeenteordonantie” Ind Staatsblad 1926 No. 365 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 226) 5. “Java Provincie Kiesordonantie” Ind Staatsblad 1927 No. 528 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1929 No. 488) 6. “Java Provincie Kiesordonantie” Ind Staatsblad 1927 No. 529 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1933 No. 213) 7. “Kiesordonantie Gemeenteraden” Ind Staatsblad 1925 No. 673 (perubahan terakhir : Ind. Staatsblad 1940 No. 451) yang berlaku baik untuk “Gemeenteraden-Decentralisatiewet” maupun “Stadsgemeenteraden-Bestuurshervormingswet”. Berdasarkan Ordonantie tersebut di Jawa-Madura dengan sejumlah Ordonantie Pembentukan (Instellingsordonanties) diwujudkan berturut-turut Propinsi Jawa Barat (Ind. Staatsblad 1925 No. 285), Jawa Timur (Ind. Staatsblad 1927 No. 558), Jawa Tengah (kecuali Yogyakarta dan Surakarta: Ind. Staatsblad 1927 No. 559), Governement Surakarta (Ind. Staatsblad 1927 No. 560), dan Gouvernement Yogyakarta (Ind. Staatsblad No. 561). Ordonantie Pembentukan Propinsi tersebut didahului oleh suatu Ordonantie Pembentukan Gewest Administratif yang mengubah ketika itu juga Geweslijke Raden dalam Gewest (berdasarkan “Decentralisatie-wet”) menjadi Plaatselijk Raden. Ordonantie Pembentukan Propinsi Otonom lantas mengubag Gewest Administratif menjadi propinsi otonom, memberi nama kepadanya menyebut hal-hal yang diserahkan kepadanya sebagai Autonomi dan hal-hal yang ditugaskan kepadanya sebagai Medebewind, menentukan susunan “Provinciale Raad”, menghapuskan “Plaatselijke Raden” dalam wilayah propinsi dan mengatur pengoperan kekuasaan danntugastugasnya oleh propinsi.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
103
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Kemudian dalam tiap-tiap propinsi otonom juga dengan ordonantie pembentukan diwujudkan sejumlah Regentschap autonom. Ordonantie pembentukannya memberi nama kepadanya, menyebut hal-hal yang diserahkan kepadaya sebagai Medebewind, menentukan susunan “Regentschapsraar” dan mengatur Regentschap otonom terhadap “Plaatselijke Raden” yang dihapuskan. “Locale Ressorten” (Plaatselijke Raden) yang berbentuk Gemeente berdasarkan Decentralisatie-wet dalam wilayah propinsi otonom itu diubah menjadi Stadsgemeente berdasarkan Bestuurshervormingswet dan Stadgemeenteordinnatie 1926 tersebut di atas. Juga Stadgemeenten itu diwujudkan dengan Ordonantie Pembentukan. Dengan Java Provincie Kiesordonantie 1927, Java Regentschaps Kiesordonantie 1927 Kiesordonantie Gemeenteraden di Jawa-Madura dan untuk Stadsgemeenten (dan Gemeenten). Dalam Ind. Staatblad 1931 No. 168 diatur suatu pembagian tugas yang baru di kalangan Korps Pegawai BB (nieuwe taakverdeling) yang dikehendaki karena perubahan-perubahan tersebut di atas. Gubernurgubernur menjadi Hoofd van Gewestlijke Bestuur dan Residen-residen turun pangkat menjadi kepala Afdeling saja, pun sebagian dari tugas-tugas Kepala Afdeling dahulu (ass. Residen) diserahkan kepada Regent. Di luar Jawa-Madura pelaksanaan ‘Bestuurhervorming’ itu agak terhalang. Sistem Jawa-Madura memang tak dapat dipergunakan karena agak berbeda. Dengan Ordonantie Pembentukan Ind. Staatblad 1925 No. 579, diwujudkan ‘Gubernemen Maluku’ dengan maksud supaya kemudian ‘Gubernemen’ itu diubah menjadi Propinsi otonom Maluku, tetapi usaha-usaha selanjutnya baru dijalankan dalam tahun 1936-1938. Dalam masa itu terdapat konsepsi baru:
1. dengan Ordonantie Ind. Staatblad 1936 No. 68 jo. 1938 No. 264 (mulai berlaku 1 Juli 1938) diwujudkan 3 Gubernemen besar, yaitu: Sumatera, Borneo, dan ‘Grote Oost’ yang dikepalai oleh Gubernur di Medan, Banjarmasin dan Makasar.
Tentu ketiga Gubernemen Besar itu
dimaksudkan sebagai bakal Propinsi-propinsi otonom di luar JawaMadura. 2. dengan Ordonantie Ind. Staatblad 1938 No. 371 diatur pemindahan kekuasaan-kekuasaan
dari
Gouverneur
General.
Kepala-kepala
Departemen dan Instansi-instansi lain kepada Gubernur dan Residen.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
104
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
3. Ordonantie Ind. Staatsblad 1939 No. 67 yang mengatur hubungan finansia; antara Hindia Belanda dan Stadsgemeenten (di luar JawaMadura) Dengan itu bila dikecualikan Inlandse Gemeenten (desa dan lain-lain) Waterschappen dan Swapraja, maka dalam masa 1940 –1942 rencana desentralisasi pemerintah Hindia Belanda telah menjadi terang. Maksudnya ialah supaya seluruh wilayah Hindia Belanda terbagi atas propinsi-propinsi otonom besar yang berotonomi luas dan diberi tugas-tugas Medebewind yang penting, yaitu c (c.q. 5) di Jawa-Madura, dan 3 (Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur) di luar Jawa. Irian Barat pada waktu itu termasuk Gouvernement “Grote Oost” seperti juga “Afdeling Noord Nieuw Guinea” dan Afdeling “West Nieuw Guinea” (Resedensi Ambon) Di Jawa-Madura propinsi itu dibagi atas kabupaten-kabupaten dan kotapraja otonom. Di Luar Jawa-Madura propinsi dibagi atas Groepsgemeeschappen autonom dan kotapraja autonom. Pada waktu Hindia Belanda diduduki ileh Jepang di Jawa-Madura rencana utu dapat dikatakan telah menjadi kenyataan, kecuali dalam Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta daimana masih terdapat 4 Swapraja, “Locale Ressorten” telah lenyap . Di luar Jawa-Madura pelaksanaanya hanya sampai pada tingkat pembentukan 3 propinsi asministratif, 3 Groepsgemeenschap dan 6 Stadsgemeente. Disamping itu masin terdapat “Locale ressorten” (juga Gemeente), sedang sebagian besar dari wilayah 3 propinsi administrative itu terdiri atas Swapraja. Ketika Jepang mendekati kekalahan, mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu komite beranggotakan pemimpinpemimpin nasional untuk persiapan akhir kemerdekaan Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang berakhir seiring dengan kekalahan mereka dalam Perang Asia Timur Raya dan Rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan Proklamasi Kemerdekaan tersebut dimulailah era Pemerintahan Daerah pasca Kemerdekaan.
B. Sistem Pemerintahan Pasca Kemerdekaan sampai Masa Orde Baru
Deskripsi sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia Pasca Proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem Pemerintahan Daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
105
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dasarnya terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem Pemerintahan Daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam undangundang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini. 1. Masa Undang-Undang No. 1/1945 Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sebuah Komite Nasional Daerah didirikan pada setiap level kecuali di tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislative dan anggota-anggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan ekskutif yang dipimpin oleh Kepala Daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan. Sistem ini mencerminkan kehendak pemerintah untuk menerapkan prinsip Desentralisasi dan Dekonsentrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip Dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figure Kepala Daerah. Status Kepala Daerah adalah adalah diangkat dan diambil dari anggota komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh pemerintah dan bukan dipilih. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
106
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
2. Masa Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 Undang-undang No. 22 tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 juli 1948 yang dumaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggat sudah tidak sesuai dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administrative. Disamping itu UU tersebut juga hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Ekskutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walaupun demikian terdapat kausul dalam pasal 46 UU 22/1948 yang memungkinkan pemerintah untuk
mengangkat orang-orang yang umumnya
diambil dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut pemerintah sering menempatkan para calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD. Dewan Pemerintahan Daerah yang menjalankan urusan Pemerintahan Daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendirisendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
107
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain Kepala Daerah tetap menjalankan dwi fungsi; sebagai Ketua DPRD pada satu sisi dan sebagai Wakil Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat pusat, Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai ketua DPD, ia bertindak selaku wakil dari daerah yang bersangkutan. Posisi ini bias jadi menimbulkan dilemma, manakala terdapat perbedaan atara kepentingan Daerah dan Pusat. Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan Kota Kecil sebagai Pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan Pemerintah Daerah tingkat
atasnya.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pemberian
otonomi
mengesampingkan kemampuan riil dari Pemerintah Daerah. Keinginan pemberian otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Walaupun
UU
22/1948
menyiratkan
keinginan
untuk
memberikan
aksentuasi pada prinsip desentralisasi, kebijakan ini tetap belum cukup untuk melonggarkan kontrol pusat terhadap daerah. Ada dua alas an pokok kenapa pusat tetap mempertahankan kontrol yang kuat terhadap daerah. Pertama, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih di bawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem Federal. Sedangkan wilayar Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
108
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
sebagian Sumatera dan Kalimantan. UU 22/1948 hanya berlaku pada wilayah Republik, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem Federal diatur sistem Pemerintahan Daerahnya menurut UU No.44/1950. Kedua, Sistem pemerintahan negara Republik Indonesia pada waktu itu berdasarkan sistem parlementer. Terjadi persaingan politik yang cukup sengit pada waktu itu dari berbagai partai politik yang pada dasarnya melemahkan persatuan Indonesia. Pemberian otonomi yang tinggi akan cenderung memicu gerakan separatisme dalam kondisi politik yang tidak stabil. 3. Masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek Dekonsentrasi dan UU 22/1948 pada aspek Desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah Desentralisasi. UU 1/1957 adalah produk dari sistem Parlemen Liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya Pemerintahan Daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintah Pusat di Daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana dan Asisten Wedana
atau
Camat
(Suryaningrat, 1980). Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan Otonomi Daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
109
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada propinsi. Penyebabnya adalah bahwa urusan harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan Prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama. Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggungjawab kepada DPRD. Kepala Daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaanya dengan UU 22/1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggungjawab kepada pusat. Kepala Daerah dan DPD baik secara sendidisendiri maupun kolektif bertanggungjawab kepada DPRD, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menter Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Tingkat III. Sistem ini mendapatkan tantangan yang keras terutama dari pihak Pamong Praja dan Angkatan Darat. Mereka Menuntut diadakannya evaluasi kembali terhadap Otonomi Daerah, posisi yang jelas untuk Pamong Praja. Pengawasan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
110
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
yang efektif terhadap Pemerintah Daerah, dan larangan terhadap pegawai negeri untuk ikut dalam partai politik. Mereka juga menyarankan bahwa bila Kepala Daerah tidak menjadi wakil pusat di daerah, alternatifnya haruslah ada pejabatpejabat pusat di daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota untuk menjalankan urusan-urusan Pusat di Daerah (syafrudin, 1976). Undang-undang No. 1/1957 telah menyebabkan dualisme kepemimpinan di daerah. Pertama, Kepala-kepala Daerah bersama DPD bertindak selaku Ekskutif Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD dan mereka bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Pemerintahan Daerah sehari-hari. Pada sisi lain, Gubernur, Bupati dan Walikota yang bertanggungjawab kepada pusat mempunyai tanggung jawab melaksanakan urusan-urusan pusat yang ada di daerah. Dalam kenyataan, rakyat
lebih
mengenal
jabatan-jabatan
Guberbur,
Bupati
dan
Walikota
dibandingkan dengan Jabatan Kepala Daerah dalam mengacu kepada pimpinan pemerintah di daerah. Akibatnya timbul kekaburan di masyarakat mengenai siapa figur Gubernur atau Bupati/Walikota; Apakah mereka agen pusat atau daerah. Bahkan anggota DPD seringkali mengklaim diri mereka sebagai Wakil Bupati atau Wakil Walikota (Syafrudin, ibid). Inilah alas an utama mengapa UU 1/1957 dianggap telah menciptakan dualisme kepemimpinan di daerah. Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan social dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet di bawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
111
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu: mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guide Democracy) 4. Masa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 Nopember 1969, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai Ekskutif Daerah dan Wakil Pusat di Daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai Eksekutif Daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bias dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil pusat ia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tetapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menter Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai Eksekutif Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik. Penpres 6/1959 menandai beralihnya kebijaksanaan Pemerintahan Daerah ke arah prinsip Dekonsentrasi. Kekuasaan Daerah pada dasarnya terletak di tangan Kepala Daerah, dan Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap Kepala Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
112
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Daerah, yang umumnya direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon Kepala Daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan Bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan Kepala Daerah terisi, dari 238 Kepala Daerah, atai 150 orang atai 63% berasal dari pamong praja (legge, 1961). Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 50 tahun 1963 tentang penyerahan urusan-urusan pusat yang sebelumnya dijalankan oleh pamong praja kepada pemerintah daerah. Urusan-urusan yang dijalankan oleh residen diserahkan kepada gubernur, dan urusan-urusan yang dijalankan wedana atau camat dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No. 18 tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari Dekonsentrasi ke Desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dan pencaturan politik nasional. 5. Masa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
113
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Presiden Soekarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasional, Agama dan Komunis. Berdasarkan UU 18/1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di daerah. Meskipun prinsip Desentralisasi
dan
Dekonsentrasi
dianut
dalam
sistem
tersebut,
namun
Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi label pelengkap “vital”. Perubahan-peubahan mendasar yang terjadi dalam sistem Pemerintahan Daerah adalah bahwa kepala daerah bukan lagi bertindak sebagai ketua DPRD, dan dia juga diijinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom, yaitu propinsi, kabupaten atau kotamadya dan kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Ini hampir serupa dengan Otonomi daerah UU 1/1957. UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan Sentralisasi menuju Desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada pemerintah pusat. Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partaipartai politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut pada akhit tahun 1950-an. Partai politik berusaha memperoleh akses ke kelompok Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
114
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
eksekutif daerah melalui adanya ketentuan yang membolehkan para eksekutif tersebut menjadi anggota partai. Telah terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah Otonom Tingkat III yang berbasis pada kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan parpol untuk untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat bertempat tinggal. Pada sisi lain terasa bahwa Demokrasi Terpimpin ditujukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi ke arah entusias politik dan konfrontasi seperti dengan Malaysia dan neger-negara barat pada umumnya. Kondisi tersebut terjadi sampai dengan meletusnya kudeta yang gagal dari PKI melalui Gerakan 30 September 1965. Era Demokrasi Terpimpin telah berakhir dan diganti oleh Pemerintahan Orde Baru. Dalam Pengaturan Pemerintahan Daerah UU 18/1965 diganti dengan UU 5/1974. 6. Masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974 yaitu: Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dalam praktek prinsip Dekonsentrasi yang lebih dikedepankan. Bangunan Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah mempunyai dua peran utama; sebagai Kepala Daerah Otonim dan sebagai Kepala Wilayah yaitu wakil pemerintah di daerah. DPRD mempunyai kewenangan untuk melakukan pemilihan calon kepala daerah, namun keputusan akhir ada di tangan pusat. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
115
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Bangunan pemerintah daerah yang demikian sangat kondusif sekali untuk menciptakan stabilitas daerah yang sangat diperlukan untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Kontrol pusan sangat kuat terhadap daerah sehingga daerah lebih merupakan perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program yang dirancang pemerintah. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas dan kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi laian, kondisi tersebut telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dari daerah dalam melaksanakan otonominya seperti ketegantungan dalam aspek pelayanan, kewenangan, kelembagaan, personel, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah. Akibatnya inisiatif dan kreatifitas daerah menjadi sulit dikembangkan karena ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah. Lahirnya UU no. 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU ini, pada awalnya membawa banyak harapan. Namun sejumlah masalah terjadi baik bersifat makro institusional maupun yang bersifat teknis manajerial pemerintahan. Pada Oktober 2004 kemudian ditetapkan pengganti UU No. 22 tahun 1999 tersbeut dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 2004. Substansi kedua UU ini menjadi inspirasi lanjutan dalam naskah akademik ini. Oleh karena itu tidak diuraikan di sini.
B. Aspek Legal-Konstitusional Pemerintahan Daerah di Indonesia Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
116
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Negara merupakan organisasi. Secara teoritik dan empirik setiap organisasi, termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahiran sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu diperlukan juga asas desentralisasi. Kedua asas tersebut tidak dikotomis, tetapi berupa kontinum. Kita tidak dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi kita memilih alternatif yang ketiga:
sentralisasi dan
harus
desentralisasi bagi organisasi
negara Indonesia, Sentralisasi berperan untuk menciptakan keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan desentralisasi berperan untuk
menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan
berbagai
fungsi
organisasi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat. Tidak ada negara yang menganut desentralisasi 100%. Sebaliknya, kecuali bagi negara yang menyerupai negara-kota, hampir tidak ada negara yang menyelenggarakan sentralisasi 100%. Dengan mengikuti pendapat Hans Kelsen, tidak mengkin terdapat total centralization atau total decentralizaion. Disamping itu, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi, tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun di negara kesatuan yang sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
117
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Penyelenggara asas desentralisasi selalu oleh unsur sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan
negara federal. Dalam
negara kesatuan
desentralisasi
diselenggarakan oleh Pemerintah (Pusat), sedangkan dalam negara federal desentralisasi diselenggarakan oleh (Pemerintah) Negara Bagian. Walaupun
istilah
desentralisasi
berasal
dari
istilah
asing,
namun
pengertiannya dapat berlainan. Dalam pustaka berbahasa Inggris, konsep decentralization mempunyai arti yang bervariasi, mulai dari arti yang sempit sampai ke arti yang luas. Disamping sebagai padanan konsep desentralisasi Indonesia, dalam pustaka Inggris konsep decentralization acapkali mencakup sub konsep: devolution dan deconcentration. Sedangkan dalam pustaka Amerika Serikat konsep decentralization mencakup sub konsep political decentralization dan administrative decentralization. Sub sedangkan
konsep sub
political
konsep
decentralization
administrative
sebagai
padanan
decentralization
sebagai
devolution, padanan
deconcentration. Luas atau sempitnya arti konsep decentralisatie juga dapat dijumpai dalam pustaka Belanda.
Dalam arti luas konsep tersebut mencakup
staatskundige decentralisatie dan ambtelyke atau administratieve decentralisatie. Sejak tahun 80-an, konsep decentralization mempunyai arti yang lebih luas. Konsep tersebut mencakup sub konsep devolution, deconcentration, delegation
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
118
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dan privatization.
Konsep desentralisasi Indonesia kurang lebih sama dengan
political decentralization atau devolution atau staatskundige decentralisatie. Pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah dalam negara kesatuan serta antara negara bagian dan daerah otonom tercipta sebagai konsekuensi terselenggaranya desentralisasi. Secara konseptual, desentralisasi mengandung makna yang berbeda dengan dekonsentrasi. Desentralisasi menciptakan local self government, sedangkan dekonsentrasi menciptakan local state government atau Field Administration Dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirarki organisasi
Pemerintah
Pusat,
sedangkan
dalam
dekonsentrasi
Field
Administrations berada dalam hirarki organisasi Pemerintah Pusat. Desentralisasi menunjukan pola hubungan kewenangan antar organisasi. Sekalipun hubungan antara local government dengan Pemerintah merupakan hubungan antar organisasi, namun local government (daerah otonom) ciptaan Pemerintah. Oleh karena itu keberadaan local government adalah dependent dan sub-ordinate terhadap Pemerintah. Berbeda dengan desentralisasi, dekonsentrasi melahirkan pola hubungan kewenangan intra organisasi. Secara teoritis terdapat dua model dari Field Administration: Fragmented Field
Administration dan
Integrated
Field
Administration.
Model pertama
membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen di lapangan (Instansi Vertikal) secara berbeda menurut pertimbangan fungsi dan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
119
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
organisasi departemen induknya. Dalam hal ini tidak terdapat apa yang dalam sistem
Indonesia
disebut
Daerah
(Wilayah)
Administrasi
dengan
Wakil
Pemerintahnya untuk keperluan koordinasi dan kegiatan pemerintahan umum lainnya. Model kedua mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar Daerah (Wilayah) Administrasi beserta Wakil Pemerintah. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, maka model ini mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan Daerah Administrasi dan perangkapan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah. Sistem pemerintahan lokal dengan karakteristik tersebut dikenal dengan sebutan Integrated Prefectoral Sistem.
Konsekuensi sistem tersebut
adalah terdapatnya hirarki daerah otonom. Pola
hubungan
kekuasaan
yang
tercipta
dalam
desentralisasi,
memperlihatkan pula bahwa desentralisasi mempunyai unsur keterpisahan (separateness)
dan
kemajemukan
struktur
dalam
sistem
politik
secara
keseluruhan. Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat. Moh. Hatta juga berpendapat bahwa otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
120
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Otonomi juga mengandung integritas sistem, dalam arti memiliki batasbatas (boundaries). Oleh karena itu, otonomi juga memiliki identitas. Dengan perkataan lain, tidak terdapat otonomi apabila tidak terdapat batas-batas. Penetapan batas-batas tersebut mengingatkan pada suatu sistem keseluruhan. Dengan mengikuti pemikiran di atas, otonomi dalam wadah daerah otonom yang merupakan selfcontained memiliki batas-batas aktivitas yang secara nyata dan fungsional disepakati dan berinteraksi dengan suatu lingkungan yang menerima outputs dan memberikan inputs. Walaupun konsep desentralisasi tidak bersifat hirarkis, dalam arti konsep ini menempatkan sejumlah pemerintah memiliki sistem hubungan koordinasi satu sama lain atas dasar kemandirian dan resiprokal. Namun harus disadari bahwa dalam konstelasi negara bangsa otonomi yang benar-benar penuh hampir tidak pernah tercapai. Secara konseptual, desentralisasi kerap kali dipandang oleh pakar administrasi publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat pemerintahan
demokrasi
berupa kesatuan
(democratic
bangsa
government),
(national unity),
kemandirian
sebagai
penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial ekonomi. Tujuan-tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional, peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan-pertanyataan politik dari elit nasional Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
121
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, tujuan-tujuan tersebut adalah sesuatu yang mendasar (filosofis) dalam penyelenggaraan desentralisasi di sebuah negara bangsa. Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi, maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas tujuan desentralisasi antar negara dan bahkan antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatankekuatan yang berpengaruh. Pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan kemandirian.
Pengaturan tentang desentralisasi di berbagai negara terdapat dalam UUD negara kesatuan atau dalam UUD negara bagian dan/atau UUD negara federal. Pengaturan dekonsentrasi tidak lazim terdapat dalam UUD, karena dekonsentrasi merupakan penghalusan sentralisasi. Baik wacana di kalangan the founding fathers sewaktu pembahasan Rancangan UUD maupun rumusan yang muncul dalam pasal 18 UUD 1945 mengandung kerancuan pemikiran yang dapat menyesatkan pada tahap penjabarannya dalam undang-undang pemerintahan daerah. Dalam rancangan UUD terdapat pasal 17 di bawah Bab IV yang berjudul “Tentang Pemerintahan Daerah”. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
122
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan mengingat dasar permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerahdaerah yang bersifat istimewa.
Rancangan pasal 17 tersebut, kemudian disempurnakan menjadi pasal 18 di bawah Bab VI yang berjudul Pemerintah Daerah. Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Kemudian oleh Soepomo pasal 18 UUD 1945 diberi penjelasan - di bawah Bab yang diberi judul sebagaimana draft semula yaitu “Pemerintahan Daerah”. I.
Oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Daerah di Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan pula dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan locale rechtgemeenchappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir negara Indonesia terdapat + 250 “Zelfbesturende Landschappen” dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asalusul daerah tersebut.
Dilihat dari judul Bab, yaitu Pemerintah Daerah maka pasal 18 mengatur desentralisasi.
Pembagian daerah yang dimaksud adalah pembagian wilayah.
Sedangkan daerah besar dan daerah kecil adalah
daerah otonom dilihat dari
perspektif spasial. Kata-kata “dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
123
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
negara” dalam pasal tersebut tidak diragukan lagi mengandung makna demokrasi. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan secara jelas bahwa pemerintahan yang bersendi atas dasar permusyawaratan menuntut adanya lembaga perwakilan rakyat. Secara ekplisit keberadaan lembaga tersebut ditonjolkan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Lembaga perwakilan raktyat daerah hanya relevan dengan desentralisasi dan bukan dekonsentrasi. Baik secara teoritis maupun empiris lembaga ini merupakan salah satu elemen yang esensial dalam pemerintahan demokrasi. Pernyataan dalam penjelasan UUD 1945: “…di dalam lingkungannya yang bersifat “staat”, juga dapat ditafsirkan dialamatkan kepada daerah otonom (desentralisasi) dan bukan kepada daerah administrasi (dekonsentrasi) dalam konteks local state government atau fragmented field administration Namun, dengan munculnya kata-kata “Di daerah-daerah yang bersifat autonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka,” pada kalimat ke tiga penjelasan, maka pasal 18 dicerna oleh UU No. 5 tahun 1974 mengatur pula penyelenggaraan dekonsentrasi. Penjelasan tersebut mempunyai makna bahwa di Indonesia akan terdapat daerah otonom yang secara serta merta sebagai daerah administrasi dan akan terdapat pula daerah administrasi belaka tanpa disertai daerah otonom. Oleh karena itu, dalam UU No. 5 Tahun 1974 dimungkinkan pembentukan Wilayah (Daerah) Administrasi tanpa disertai Daerah Otonom, tetapi sebailknya setiap pembentukan Daerah Otonom diharuskan berhimpit dengan Daerah (Wilayah) Administrasi yang setara. Atas Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
124
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dasar penafsiran tersebut UU No. 5 Tahun 1974 diberi judul Pemerintahan di Daerah yang mengatur baik local government maupun local state government Dalam memberikan penjelasan pasal 18 UUD 1945 ternyata Soepomo sangat dipengaruhi oleh pengalaman empirik penyelenggaraan pemerintahan daerah semasa Hindia Belanda yang dirintis oleh RR. 1854 melalui pasal 68a, 68b dan 68c yang dikenal dengan Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (S 1903/329) yang kemudian direformasi dengan Wet op de Bestuursherforming 1922. Berdasarkan undang-undang desentralisasi tersebut maka dibentuk geweestelijke ressort dengan gewestelijke raad-nya di gewest yang sudah terbentuk di pulau Jawa, gemeentelijke ressort dengan gemeenteraadnya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perkotaan) di Jawa dan luar Jawa dan plaatselijke ressort dengan plaatselijkeraadnya (sebagai bagian dari gewest yang bersifat perdesaan) di luar Jawa. Kepala dari ketiga bentuk daerah otonom tersebut berperan sebagai Kepala Wilayah (Wakil Pemerintah), dan bahkan juga sebagai Ketua raad. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah membentuk gewestelijke ressort. berikut gewestelijke raad di gewest yang telah terbentuk (dalam rangka dekonsentrasi) di luar Jawa. Dengan demikian gewest di luar Jawa merupakan Daerah Administrasi belaka. Sebaliknya daerah otonom yang terbentuk selalu berhimpit dengan daerah administrasi. Di bawah daerah otonom masih terdapat daerah-daerah administrasi belaka yang sangat hierarkis seperti afdeling, district (kawedanan) dengan onderdistrict (kecamatan). Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
125
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 isu mengenai otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kecaman terhadap perwakilan lokal menjadi lebih terdengar. UU desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan Wet op de Bestuur hervorming 1922. Di bawah UU baru di pulau Jawa dibentuk provincie (propinsi), dan regentschap (kabupaten) berikut dewannya. Sebaliknya dewan-dewan yang telah terbentuk di gewest (residentie) dilikuidasi. Kedudukan gemeente dipertahankan dengan perubahan sebutan menjadi stadsgemeente. Selanjutnya di luar Jawa dibentuk
sejumlah
groepsgemeenstchap
dengan
tetap
mempertahankan
gemeente yang secara bertahap dikonversi menjadi staadsgemeente. Provincie, regenstchap, stadsgemente dan groepsgemeenschap masingmasing dipimpin oleh gouverneur, regent, burgermeester dan voorzitter. Disamping sebagai organ otonom, pejabat itu juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Para pejabat tersebut juga berperan sebagai ketua raad (dewan). Staadsgemeente merupakan daerah otonom yang bercorak perkotaan, sedangkan Regentschap dan groepsgemeenschap merupakan daerah otonom yang bercorak perdesaan. Kedudukan gewest (residentie), district dan onderdistrict sebagai daerah administrasi belaka dipertahankan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa penyebutan propinsi sebagai daerah besar oleh Soepomo dalam penjelasan pasal 18 UUD 45 memperkuat kesimpulan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
126
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
adanya referensi Soepomo kepada sistem pemerintahan daerah dalam jaman Hindia Belanda dan bukan pada sistem pemerintahan daerah jaman Pendudukan Jepang. Daerah kecil tidak disebut namanya oleh Soepomo, karena dalam Jaman Hindia Belanda dikenal dua pola daerah otonom kecil yaitu regentschap yang hanya dikenal di pulau Jawa dan groepsgemeenschap di luar Jawa serta stadsgemeente (gemeente) sebagai daerah otonom yang
bercorak Eropa.
Regentschap sebagai terjemahan dari Kabupaten merupakan indigenous political institution yang hanya dianut di Jawa. Sementara staadsgemeente (gemeente) yang tersebar di berbagai pulau belum memperoleh terjemahan Indonesia yang mantap.
Melalui
keputusannya
pada
tanggal
19
Agustus
1945
PPKI
menterjemahkannya sebagai kota. Sementara dalam keputusan PPKI tersebut kabupaten tetap tidak disebutkan. Dengan hati-hati kedua pola tersebut sengaja tidak disebut dalam penjelasan pasal 18 untuk dapat diterima secara nasional. Istilah kota yang muncul dalam UU No. 22 Tahun 1999 berasal dari istilah yang dipakai oleh keputusan PPKI tanggal 19 Agustus 1945 Penafsiran secara lebih luas daripada isi pasal yang sebenarnya juga dilakukan oleh Soepomo terhadap pasal 131 UUDS 1950 yang terletak pada Bab IV dengan berjudul “Pemerintahan Daerah dan Daerah-daerah Swapraja”. 1. Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonoom) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. 2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
127
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
3. Dengan Undang-Undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Disamping pasal 131 di bawah Bab IV terdapat dua pasal lain yang mengatur swapraja. Selagi masih berupa rancangan UUDS 1950 hasil panitia bersama RIS-RI yang diketuai oleh Soepomo (RIS) dan Abdoel Hakim (RI), pasal 131 semula merupakan pasal 132 yang terletak pada Bab IV dengan judul Pemerintah Daerah dan Daerah-daerah Swapraja. Baik jumlah ayat maupun isi dan redaksinya adalah sama. Perbedaannya terletak pada judul bab. Semula dalam rancangan UUDS judul bab IV adalah Pemerintah Daerah dan Daerah-daerah Swapraja menjadi Pemerintahan Daerah dan Daerah-daerah Swapraja dalam UUDS 1950. Menurut Soepomo dalam artikelnya di Mimbar Indonesia (1950), ayat 1 merupakan perbaikan dari pasal 18 UUD 45. Namun Soepomo tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai perbaikan yang dimaksud. Maryanov (1958) mencoba menjelaskannya dengan menyatakan bahwa ayat tersebut secara eksplisit menyebut otonomi. Di dalam bukunya (1954), kemudian Soepomo memberi penjelasan pasal 131 sebagai berikut: Negara kesatuan tidak akan bersifat sentralistis, bahkan daerah Indonesia akan dibagi atas daerah besar dan kecil yang autonoom (pasal 131 ayat 1). Autonomi daerah akan diberikan seluas-luasnya (pasal 131 ayat 2) bahkan “ medebewind “ akan diberikan juga kepada daerah-daerah (pasal 131 ayat 3).Dasar demokrasi dalam pemerintahan daerah adalah dijamin oleh pasal 131 ayat 1, yang menentukan bahwa undang-undang yang mengatur bentuk susunan pemerintahan daerah harus memandang dan mengingat dasar Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
128
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. Ketentuan ini adalah sesuai dengan pasal 18 UUD Republik Indonesia.
Selanjutnya Soepomo mengemukakan bahwa pasal 131 ayat 1 “ memuat dekonsentrasi dan dasar desentralisasi dalam urusan negara “. Seperti pasal 18 UUD 1945, pasal 131 UUDS 1950 lebih menekankan pada pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil. Bagaimanapun kedua pasal tersebut mendapat pengaruh pasal 119. Indishe Staatsregeling Wet op de Staatsinrichting Van Nederlands Indie. . Dalam kedua ayat pertama pasal tersebut terlihat jelas persamaannya dengan pasal dari kedua UUD tersebut sebagai berikut: (1) (2)
Pembagian daerah Hindia Belanda dalam Propinsi dan daerah lainnya dilakukan dengan ordonansi Di dalam Propinsi dibentuk Dewan Propinsi dengan ordonansi untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
Berbeda dengan pasal-pasal dalam UUD tersebut, pasal IS ini menekankan pada pembentukan daerah otonom. Disamping itu, konsep otonomi daerah menurut ayat (2) pasal 119 IS mencakup mengatur (regelend) dan mengurus (bestuur), sedangkan menurut pasal 131 UUDS 1950 hanya mencakup mengurus rumah tangga. Menurut Logemann (1954) kata autonomi dalam ayat (2) berarti zelfstandigheid dan mestinya digunakan istilah tersebut. Tanpa sikap mengamandemen
yang jelas terhadap
judul Bab
VI,
MPR RI telah
pasal 18 UUD 1945. Dalam amandemen pasal 18 dirinci
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
129
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
menjadi pasal 18, 18 A dan 18 B. Isi pasal 18 dan 18 A jelas sangat dipengaruhi oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan dilatarbelakangi oleh penjelasan pasal 18 UUD 1945
(sebelum
amandemen)
serta
TAP
MPR
No.
IV/MPR/2000,
yang
menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang. Pasal 18 A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususnan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.
Berbeda dengan pasal 18 UUD 1945 yang diamandemen dan pasal 131 ayat (1) UUDS 1950 yang lebih menekankan pada pembagian daerah, maka ayat Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
130
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
(1) pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen lebih menekankan pada pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan ayat (1) tersebut secara konseptional sangat keliru dan dikhawatirkan dicerna secara sesat. Pembagian NKRI dapat ditafsirkan melahirkan negara majemuk seperti dalam negara federal. Perumusan apapun akan membawa konsekuensi dalam pengaturan lebih lanjut. Sebagai contoh, dalam UU No.22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom”. Hal itu membawa konsekuensi pada pembagian laut, karena laut merupakan bagian dari wilayah negara. Penggunaan kata-kata “pembagian daerah’ seperti dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen dan pasal 131 UUDS 1950 serta kata-kata “NKRI dibagi” dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen, hasil pengaruh pasal 119 IS sebenarnya sangat tidak lazim pada tataran konstitusi negara lain. Bukannya tidak mungkin rumusan pasal 119 mengandung unsur kesengajaan sebagai bagian dari politik devide et empira. Dalam konstitusi Belanda sendiri rumusannya sebagai mana dapat dibaca pada pasal 123 ayat (1) Provinces and Municipalities may be dissolved and new ones established by Act of Parliament. Penyebutan provinsi, kabupaten dan kota secara definitif jauh lebih baik daripada daerah besar dan daerah kecil. Sebutan daerah selama ini ditafsirkan bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai wewenang otonomi. Namun akan lebih baik lagi apabila dibelakang kata provinsi, kabupaten dan kota Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
131
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
juga ditambah dengan kata-kata “sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki otonomi.” Pembagian provinsi ke dalam kabupaten dan kota menurut pasal 18 di atas bersifat imperatif. Oleh karena itu di wilayah DKI Jakarta kelak juga harus di bangun kabupaten dan kota otonom. Dengan demikian dianutnya otonomi tunggal di wilayah DKI Jakarta harus ditanggalkan. Pemakaian konsep Pemerintah Daerah dan Pemerintahan Daerah terlihat tidak pada context yang tepat. Sekalipun kedua konsep tersebut berasal dari konsep local government,
namun sebagaimana telah diutarakan konsep local
goverment yang mengacu pada organ lebih tepat diterjemahkan menjadi Pemerintah Daerah, sedangkan konsep local government yang mengacu pada fungsi (aktifitas; kegiatan) lebih tepat diterjemahkan menjadi Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, pemakaian konsep Pemerintahan Daerah pada ayat (1), (2), (3), (6) pasal 18 dan ayat (1) tidak tepat. Pada beberapa ayat tersebut berarti fungsi melakukan fungsi dan bukan organ melakukan fungsi. Ayat (2) pasal 18A juga seyogyanya memakai istilah Pemerintah Daerah untuk disinkronkan dengan Pemerintah Pusat di depannya. Walaupun demikian, konsep pemerintah (an) daerah yang dianut oleh hasil amandemen pasal 18 UUD 1945 dilihat dari content sesuai dengan konsep local government dan konsep yang pernah dianut dalam UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965 dan UU No. 5 Tahun 1974. Tetapi Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
132
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
diantara keempat UU tersebut terdapat perbedaan pada penonjolan kelembagaan. Baik dalam UU No. 22 Tahun 1948 maupun UU No. 1 Tahun 1957 konsep pemerintah daerah mencakup DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Anggota-anggota DPD dipilih dari anggota-anggota DPRD atas dasar perwakilan berimbang. KDH karena jabatannya menjadi anggota merangkap ketua DPD. Sedangkan dalam UU No. 18 Tahun 1965 dan UU No. 5 Tahun 1974 konsep pemerintah daerah mencakup Kepala Daerah dan DPRD. Label “seluas-luasnya” di belakang kata otonomi pada ayat (5) pasal 18 menambah kemajemukan jargon yang sudah ada. Dalam ayat (1) pasal 131 UUDS 1950 muncul “otonomi seluas-luasnya”. “Otonomi yang riil” muncul dalam UU No: 18 Tahun 1965, “Otonomi yang seluas-luasnya” muncul kembali dalam TAP MPRS No: XXI/MPRS/1966 yang kemudian diganti dengan “Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab” dalam TAP MPR No: IV/MPR/1973 dan UU No: 5 Tahun 1974. Label otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab muncul dalam TAP MPR No: IV/MPR/1978. UU No. 22 Tahun 1999 menyebut otonomi yang luas. Seribu jargon mungkin akan bermunculan. Namun secara konseptual, otonomi daerah merupakan pengejawantahan dari desentralisasi dan desentralisasi tidak melahirkan otonomi daerah dengan label tertentu. Ayat (2) pasal 18 mengisyaratkan hanya dianutnya desentralisasi (otonomi) dan tugas pembantuan. Asas dekonsentrasi tidak disebut ataupun diatur dalam UUD 1945. Sikap demikian sangat bijaksana, karena dekonsentrasi sebagai Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
133
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
penghalusan dari sentralisasi. Asas sentralisasi mutlak dianut dalam organisasi negara. Disamping itu, asas dekonsentrasi memang hampir tidak pernah diatur dalam konstitusi khususnya Fragmented Field Administration Sistem. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang menganut pemakian istilah wewenang pemerintahan, dalam amandemen UUD 1945 digunakan istilah urusan pemerintahan. Namun pengaturan materi pasal 18 ayat (5) hampir dapat diikatakan
tergolong langka dalam konstruksi negara kesatuan. Walaupun
kewenangan daerah otonom dalam negara kesatuan berasal dari Pusat, namun tidak berarti kewenangan yang diemban daerah otonom didasarkan atas penyerahan secara aktif dengan rincian oleh Pusat. Konsep penyerahan kewenangan dapat diperluas sebagai pengakuan Pusat terhadap kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom. Oleh karena itu dalam UU No. 22 Tahun 1999 ditinggalkan cara penyerahan kewenangan dengan rincian, dan dianut cara penyerahan kewenangan dengan rumusan umum (open end arrangement), dalam arti daerah otonom berwenang melakukan berbagai fungsi di luar fungsi yang menjadi kompetensi Pusat. Cara penyerahan kewenangan semacam ini akan lebih memperkuat daerah otonom dan membuka diskresi yang besar. Mengingat daerah otonom tersusun dalam Propinsi dan Kabupaten/Kota, maka UU No. 22 Tahun 1999 menggariskan kewenangan Propinsi hanya dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Kompetensi Pemerintah Pusat di bidang hankam, moneter, politik Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
134
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
luar negeri, peradilan dan agama serta bidang pemerintahan yang bercirikan kepentingan nasional. Dalam kaitan ini pula, asas medebewind hanya dianut oleh Pemerintah Pusat terhadap Propinsi, Kabupaten dan Kota. Dalam hal ini tidak diselenggarakan medebewind oleh Propinsi terhadap Kabupaten dan Kota. Implementasi desentralisasi dan medebewind dilakukan oleh Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten dan Dinas Kota. Sedangkan dekonsentrasi hanya terjadi dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur. Implementasinya dilakukan oleh Dinas Propinsi. Metode desentralisasi dengan open end arrangement yang dianut oleh UU No. 22 Tahun 1999 tidak perlu ditafsirkan bahwa Indonesia telah mengalami metamorfose dari Negara Kesatuan ke arah Federalisme. Oleh karena pembagian kewenangan dimaksud tidak dirumuskan dalam konstitusi. Dengan mengikut pendapat Robert A. Dahl, Juan J Linz (1998) menegaskan bahwa: By federalism we intend to mean the sistem in which some matters are exclusively within the competence of certain local units – cantons, state and provinces and are constitutionally beyond the scope of the authority of the national government, and where certain other matters are constitutionally outside the scope of the authority of smaller units
Oleh karena terdapat konsitusi Federal dan konstitusi negara bagian, maka bila terjadi konflik penafsiran diselesaikan oleh mahkamah konstitusi. Di samping itu menurut Juan J. Linz (1998), Negara Federal menganut sistem bicameral parlemen. Selanjutnya pakar tersebut menguraikan latar belakang politik pembentukan konstitusi federal. There are two main functions that federalism can play and lead to the enactment of federal constitutions. One is to bring together, to unite, in a single state originally Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
135
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
separate political entities which want to reserve themselves some powers as a condition for their joining in a larger state. The function is bringing together what was separate. The other function has been to hold together within the boundaries of a state those who otherwise might question the legitimacy of the state, may feel oppressed by the state if their distinctive interests are not guaranteed by a constitutionally protected autonomy, and who might even threaten with seceding from the state to better protect those interests. Penyelenggaraan otonomi daerah yang besar memerlukan posisi kuat dan peran yang besar dari DPRD. Posisi dan peran tersebut dicapai dengan cara pemisahan DPRD dari konsep Pemerintah Daerah. Di samping itu KDH yang semula tidak bertanggung jawab kepada DPRD kini wajib bertanggung jawab kepadanya. Dalam pemilihan KDH-pun DPRD mempunyai kata akhir. Bahkan DPRD mempunyai kekuasaan impeachment terhadap KDH untuk memperbesar akuntabilitas KDH. Untuk memperkuat kontrol DPRD terhadap KDH, DPRD dapat menggunakan hak penyelidikan tanpa adanya UU yang mengatur hak tersebut. Kebijakan daerah otonom yang tertuang dalam Perda pun tidak perlu pengesahan terlebih dahulu dari pemerintah. Dalam Revisi UU No. 22 Tahun 1999 melalui UU No. 32 Tahun 2004, kata ‘wewenang’ ditambahkan dengan frasa ‘untuk menjalankan urusan pemerintahan’. Disamping itu sejumlah materi mengaami perubahan baik yang berkaitan dengan tata hubungan kewenangan antar pemerintahan maupun yang berkaitan dengan aspek manajemen pemeirntahan daerah. Berkaitan dengan Perda, UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan terdapatnya sejumlah materi Perda yang membutuhkan pengesahan Pemerintah c.q. pejabat yang berwenang. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
136
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
BAB III PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA DALAM
TATA HUBUNGAN ANTAR PEMERINTAHAN DAN KONDISI KEKINIAN INDONESIA DI BAWAH UU No. 22 Tahun 1999
A. Kerangka Perbandingan Berbagai pakar telah menulis cara membandingkan sistem pemerintahan di berbagai negara. Sebagai sebuah sistem, pemerintahan daerah adalah kompleks. Dapat didekati dari berbagai macam sudut pandang. Pakar-pakar pemeirntahan daerah telah lama menawarkan penyederhanaan dalam mengurai sistem tersebut. Fried (1963) menawarkan konsep perbandingan sistem pemerintahan daerah dengan alat apakah sebuah negara menganut penempatan ‘wakil pemerintah’ atau tidak. Hasil kajian tersebut membentuk adanya dua sistem utama di dunia, yakni: (a) negara-negara yang menganut sistem prefektur; dan (b) negara-negara yang menganut sistem funsgional (tidak dianut Wakil Pemerintah di Daerah). Di tempat lain, AF Leemans (1970) menggunakan pola pertalian dalam pemerintahan daerah sebagai alat perbandingan. Leemans menyebutkan adanya tiga pola: (1) dual hierarchy model; (2) fused/ single hierarchy model; dan (3) split model seperti ditulis Leemans: “Various basic patterns of relationship exist between central government
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
137
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
field administration and representative local government institutions.” Selanjutnya dikatakan sebagai berikut: “There are two hierarchies of decentralization: the central government field administration (…) and the representative local government institutions. Each hierarchy is composed of several levels of local government or administration, each responsible for areas of decreasing size. This pattern may be called the dual hierarchy model.” Dari uraian di atas, dual hierarchy model menganjurkan adanya dua jenis lembaga yang muncul karena dekonsentrasi dan desentralisasi bersama-sama tanpa terjadi pertautan di setiap level. Model ini secara murni tidak mungkin terjadi karena diktum desentralisasi selalu kontinum dengan dekonsentrasi. Berbeda dengan model tersebut, model fused/ single hierarchy dalam berbagai level pemerintahan yang tercipta selalu terjadi pertautan antara penggunaan asas (mekanisme) desentralisasi dan dekonsentrasi. Leemans menyatakan sebagai berikut: “The central government field organization is fused with local representative institutions. This pattern may be called or single hierarchy model. In such a case, only one integrated organization for government and administration exist at each level, composed of central government officials and local representatives.”
Dalam hal split model, terdapat jenjang pemerintahan yang memisahkan atau berdiri sendiri penerapan baik asas (mekanisme) desentralisasi maupun dekonsentrasi seperti diungkapkan oleh Leemans sebagai berikut: “In what might be termed the split-hierarchy model, only central government field organizations are found on some levels of the Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
138
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
local government and administration hierarchy, and only local representative institutions on others.”
Berbeda dengan analisis tersebut, Alderfer (1964) merujuk Fried meringkas adanya empat pola pemerintahan daerah di dunia ini yang mengikuti pola (1) Perancis; (2) Inggris; (3) Uni-Soviet; dan (4) sistem tradisional. Tiga pola pertama mewakili sistem pemerintahan daerah modern yang sampai kini dikiblati oleh ebrbagai negara. Namun, menurutnya masih terdapat sistem tradisional yang berkembang di tingkat lokal dalam sebuah negara. Menurut Alderfer, Jerman sesungguhnya mirip Perancis dari sisi diacunya sistem Prefektur seperti apa yang dikatakan oleh Fried. Tidak ada satupun sistem pemerintahan daerah yang dianut oleh negara-negara maju meninggalkan penataan hubungan antar pemerintahan. Humes IV menggunakan indikator bagaimana
sistem
pengawasan
yang
dikembangkan
di
masing-masing
negara
dikembangkan sehingga membentuk sistem pemerintahan daerah. Hampir sama dengan Alderfer, Menurut Humes IV, kalau dapat dikelompokkan di dunia ini terdapat 4 sistem utama yang dianut oleh berbagai negara: (1) sistem uni-soviet; (2) sistem perancis; (3) sistem Jerman; dan (4) sistem Inggris. Para pakar mengakui bahwa distribusi kewenangan dalam pengembangan institusi pemerintahan daerah merupakan hal yang pokok. Pemikiran distribusi kewenangan dapat dikembangkan atas dua basis: (a) areal; dan (b) fungsional. Dituliskan oleh Humes IV (1991: 3) sebagai berikut: “The power to govern locally is distributed two ways: areally and functionally. On an areal (also called territorial) basis, the power to Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
139
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
manage local public affairs is distributed among a number of general purpose regional and local governments. On the functional basis, the power to manage local public services is distributed among a number of specialized ministries and other agencies concerned with the operation of one or more related activities. Thus the way power is distributed affects which central agencies exert control over which local institutions”
Dari sini terdapat gambaran umum struktur kelembagaan pemerintahan daerah yang muncul sebagai berikut:
Bagan Distribution of Power: Functional and Areal Channels level
National
General Governments
National Governments
Areal/ Territorial
Regional
National Ministries/ Agencies
Regional Governments
Municipal
Functional Agencies
Regional Governments departments/ agencies
Ministries Field Agencies
Municipal Governments Regional Governments departments/ agencies
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
140
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Kemudian
Humes
(1991:
4)
dalam
menganalisis
perbandingan
pemerintahan daerah menuliskan sebagai berikut: “In comparing system of local governance it is useful to consider at least two criteria for distinguishing approach. One is the extent to which hierarchical control is essentially either inter-organizational or intraorganizational. Second is the extent to which such control is focused in a single agency or spread among many functional or specialized hierarchies. These two criteria provide the vertical and horizontal dimensions for a framework for comparing the major approach to local governance.”
Saripati uraian di atas adalah bahwa Humes IV mengembangkan instrumen perbandingan pemerintahan daerah dari sisi pengawasan kelembagaan (formal) yang dibangun. Ada dua dimensi, yakni: (1) dimensi I -–sebutan Humes IV adalah ‘control hierarchy’—- yakni pengawasan yang pola spektrumnya dari antarorganisasi1 sampai intra-organisasi2; dan, (2) dimensi II –sebutan Humes IV ‘functional control’--, yakni pengawasan yang spektrumnya antara sektoral (functional basis) ataukah holistik (areal basis), yang dilakukan oleh Pemerintah. Artinya semakin sektoral, semakin mengandalkan Departemen sektoral untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah. Tentu dalam praktek yang diawasi adalah tugas-tugas pemerintah daerah yang terkait bidangnya.
1
yang artinya terdapatnya ruang yang lebih luas dari pemerintah daerah untuk mengembangkan tugas-tugasnya jauh dari kontrol Pemerintah tetapi semakin banyak dikontrol di tingkat lokal sendiri melalui banyaknya organisasi atau lembaga-lembaga yang bertugas mengawasi jalannya pemerintah daerah, terutama DPRD; 2
yakni bahwa Pemerintah Daerah adalah bagian dari Pemerintah Pusat, sehingga pengawasannya tidak lain adalah pengawasan internal semata. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota 141 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Sebaliknya, semakin holistik pengawasan Pemerintah dilakukan, maka semakin ke arah digunakannya Wakil Pemerintah Pusat (Gubernur, major, Bupati, Burgomeester, dll.) untuk mengawasi pemerintahan daerah. Baik sektoral maupun holistik dapat dibuat percampuran, sehingga dalam praktek meskipun sudah ditempatkan seorang wakil pemerintah di daerah dan bahkan dia adalah Kepala Daerah (dual function), masih terdapat lembaga instansi vertikal di daerah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Atas dasar konsepsi di atas, Humes IV mengembangkan model perbandingan pemerintahan daerah dalam matriks berikut:
Matrix: Four Traditional approach to Local Governance: A Conceptual Framework Type of Control: General to Functional Extent of control intra- to interorganizational
Areal: a general ministry/ agencies for coordinating local affairs has a strong role vis a vis functional ministries/ agencies
Areal: a general ministry/ agencies for coordinating local affairs has a limited role vis a vis functional ministries/ agencies, some of which directly provide local services
Dual
Dual
Subordinations (Intraorganization)
Subordination (Soviet)
Supervision (Hybrid)
Dual Supervision (Perancis)
Subsidiarization (Hybrid)
Areal
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Subsidiarization Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Regulation (Interorganization)
(West Germany)
142 Functional regulations
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Sumber: Humes IV (1991)
Dari matriks di atas, masing-masing dimensi dirinci oleh Humes IV menjadi beberapa karakter. Di satu sisi, dimensi I (Pengawasan Hirarkis) dirinci menjadi empat
macam
karakter,
Subsidiarization-hybrid;
(3)
yakni:
(1)
Supervision
inter-organisasi (hybrid);
dan,
(regulations); (4)
(2)
intra-organisasi
(subordination). Di sisi lain, dimensi II (Pengawasan fungsional), terdiri atas 3 karakter: (1) areal, jika hanya mengandalkan Wakil Pemerintah Pusat (WPP) di daerah atau WPP memiliki peran yang sangat kuat di daerah; (2) dual, jika terjadi percampuran antara WPP dan administrasi lapangan departemen sektoral/ LPND3; dan (3) functional, jika hanya mengandalkan administrasi lapangan departemen sektoral/ LPND. Matriks tersebut juga menggambarkan adanya empat pola utama (4 pendekatan tradisional) yang berkembang di dunia yang kemudian dikiblati oleh hampir seluruh negara-negara di dunia ini dengan variasinya masing-masing (Humes IV: 1991). Variasi di masing-masing negara menurut Humes IV muncul sesuai kondisi negara masing-masing: politik, sejarah, budaya dan lain-lain.
A.1. Sistem Uni-Soviet 3
Karakter yang disebut ‘Dual’ oleh Humes IV dalam dimensi II ini terbagi menjadi dua: (1) Dual-areal, jika dominasi WPP lebih besar katimbang Departemen sektoral/ LPND; dan (2) Dual-functional, jika dominasi WPP lebih kecil (terbatas) katimbang Departemen sektoral/ LPND di tingkat lokal. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota 143 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Dahulu ketika Soviet belum runtuh, praktek pemerintahan daerahnya ditandai oleh kuatnya sistem kepartaian yang ada di tingkat nasional. Uni-Soviet dikuasai oleh Partai Komunis, dan hampir semua kegiatan kenegaraan dikendalikan oleh partai tersebut. Bahkan, lebih utama lagi adalah polit biro di tingkat nasional. Pemerintahan
daerah
yang dikembangkan
dengan
sendirinya
juga
didominasi pula oleh Partai Komunis Soviet. Oleh karena itu, pengawasan yang ada tidak lain adalah pengawasan antara ‘atasan’ dan ‘bawahan’ semata karena pada hakekatnya tidak ada demokrasi di luar partai tersebut dan sistem yang dikembangkan tidak mengakomodasi adanya keterwakilan masyarakat dalam pemerintahan.
“Local Government departments are field agencies of central
government ministries.” (Humes IV: 1991). Pemerintahan Uni-Soviet mengenal adanya wakil pemerintah di daerah yang menjabat pula sebagai kepala daerah dengan syarat adalah tunduk kepada partai Komunis. Disamping itu, dikembangkan pula instansi vertikal, dengan dominasi wakil pemerintah. Artinya, instansi vertikal dikoordinir dan dapat dikendalikan oleh wakil pemerintahnya. Di daerah DPRD relative dapat dikatakan sebagai lembaga penasehat Pemerintah sebab hanya Partai Komunis yanga da di sana dan KDH sudah ditentukan oleh partai tersebut. Disamping itu, KDH yang juga adalah wakil Pemeirntah menjadi Ketua DPRD pula. Untuk itu, justru DPRD Uni Soviet bertanggungjawab kepada Wakil Pemerintah tersebut.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
144
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Sebutan wakil pemerintah dalam sistem Uni-Soviet sebenarnya muncul karena Politbiro sebagai penguasa Partai di tingkat nasional sangat menentukan kementerian dan DPR yang secara simultan hirarkis menentukan hirarki di bawahnya. Jenjang yang ada antara lain: (1) nasional; (2) Republik (negara bagian); (3) Oblast (Province) dan (4) Raion (district). Pada jenjang Negara bagian ke bawah terdapat biro-biro dari perpanjangan Partai Komunis yang bersamasama menentukan struktur pemerintahan. Di dalam pemeirntahan daerahnya, secara keseluruhan merupakan perpanjangan dari hirarki atasannya. Oleh karena itu sangat ter-subordinasi.
A.2. Sistem Perancis Perancis dikenal sebagai negara yang berkarakter dominasi Pemerintah Pusat walaupun tidak sepenuhnya benar. Undang-undang terakhir bagi dasar praktek Pemerintahan daerah di perancis adalah UU Pemeirntahan daerah Tahun 1982 yang hingga kini dilakukan beberapa kali Amandemen (Lugan: 2001)4. Di sana terdapat 96 department (pemerintah lokal), yang dikelompokkan ke dalam 22 regions (pemerintah regional), ditambah adanya 36,000 communes. Masing-masing memiliki lembaga perwakilan dan kepala daerahnya (Owen: 2000).
4
Beberapa hal yang di-amandir adalah: (1) aturan amalgamasi terhadap ‘commune’ Tahun 1983; (2) aturan terhadap ‘intercommunal charter Tahun 1983; (3) aturan bagi warga masyarakat ‘commune’ dan ‘town’ Tahun 1992; (4) aturan terhadap kerjasama antar ‘commune’ Tahun 1999. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota 145 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Owen (2000), Lugan (2001) menuliskan sebagai berikut: “Government in France is complex. There are four levels: central government; regions; departments; and municipal government (the communes). But of these, the last three are all regarded, in varying degrees, as ‘local government’: they are at the same time administrative districts of the state (i.e., districts where national decisions are carried out) and local authorities with elected representatives and their own specific powers, area, budget etc. This dualism is a feature of French government; at all levels, politics and administration are ‘profoundly integrated’.”
Humes IV (1991: 19) menggambarkan struktur pemerintahan di Prancis sebagai berikut:
NATION
Executive Parliament
REGION
Executive
Interior Ministry
Regional Prefecturate REGION LEVEL BRANCHES OF MINISTRIES
Assembly
DEPARTMENTS
Executive COUNCIL
OTHER MINISTRIES
PREFECTURATE
DEPARTMENTS LEVEL BRANCHES OF MINISTRIES/ FIELD AGENCIES
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
146
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Arrondissement
Sub-Prefect
Executive COMMUNE COUNCIL
LOCAL STAFF
Daerah-daerah otonom tersebut memiliki kewenangan yang cukup beragam. Meskipun demikian sistem pemerintahan daerahnya condong sebagai ‘local administration forms’ dimana status yang dimiliki oleh daerah-daerah tersebut bersifat ganda karena sebagai bagian juga dari mesin Pemerintah Pusat. Selama 20 tahun terakhir dilakukan modernisasi terutama dengan penciutan beberapa daerah otonom yang lemah menjadi satu bagian dari daerah otonom lainnya. Perubahan signifikan terjadi terhadap sistem prefektoral, yakni diberi sebutan ‘komisioner prefek-republikan’ dimana lembaga perwakilan dapat mengambil kebijakan tanpa harus melalui persetujuan prefek atasan –dan bukan sub-perfect pada level ‘arrondissement’ (Owen: 2000). Dari bagan di atas, pada level nasional Eksekutive membawahi Para Menteri termasuk Menteri dalam Negeri yang mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Menteri Dalam Negeri mengawasi para wakil Pemerintah (perfect) di daerah mulai dari level ‘region’ sampai ‘arrondissement’. Level terbawah (Commune) dalam pemerintahan daerah di Perancis tidak terdapat ‘perfect’, namun di atas ‘commune’ yakni ‘arrondissement’ ditempatkan wakil Pemerintah yang disebut sub-perfect dan tidak ada lembaga pemerintahan daerah di sana. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
147
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Sub-perfect ini mengawasi ‘commune’. Sampai pada level ‘departments’ terdapat kantor instansi vertikal dari Departemen/ Lembaga Non-departemen yang beroperasi di wilayahnya sebagai administrasi lapangan. Nampaknya susunan tersebut menjadi dasar analisis Humes IV menempatkan Perancis pada pola ‘dual supervision’ dalam kerangka di depan yang condong ke arah digunakannya pengawasaan dari departemen sektoral lebih banyak berperan. Dimensi I: Dari antar organisasi sampai inter-organisasi Hybrid-supervision
Perancis dikenal sebagai negara yang kuat dominasi eksekutifnya (Owen: 2000). Tampaknya ini berpengaruh terhadap praktek pemerintahan daerahnya seperti dituliskan oleh Humes IV (1991: 17) berikut: “French local governance possesses several distinctive characteristics, including the pervasive role of the central ministries, the executive prerogatives of the perfects, and the political prominence of the majors.” Set-up kelembagaan tersebut memberi sedikit gambaran bahwa pemerintahan daerah di Perancis tidak pernah sepenuhnya dianggap lepas dari struktur Pemerintah Pusat sebagai pemegang kendali roda pemerintahan negara. Humes IV (1991: 6) menerangkan pemerintahan daerah di Perancis seperti dalam kalimat berikut: “…the local executive is partially responsible to council and, as a designated agent of the central authority or a member of a central hierarchy, is directly responsible to it and supervised by it.” Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
148
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Dari pernyataan tersebut, secara parsial, Pemerintah Daerah di Perancis bertanggungjawab kepada DPRD dan Kepala Daerah (Eksekutif)-nya berperan juga sebagai agen Pemeirntah pusat atau sebagai bagian dari struktur (hirarki) Pemerintah Pusat yang secara langsung bertanggungjawab kepada Pemerintah dan diawasi pula oleh Pemerintah. Penjelasan di atas, bila dicerna menurut kerangka di depan, Perancis berada di antara dua titik esktrim dimensi I. Humes IV (1991: 6) menyebut pola Pemerintahan seperti ini dalam pengembangan pemerintahan daerah sebagai pola ‘HYBRID-SUPERVISION’. Terdapat gabungan pertanggungjawaban yang dikembangkan dengan peran yang cenderung bersifat supervisi. Ditulis oleh Humes IV (1991) sebagai berikut:
“As the French national government has evolved into highly centralized state, is has relied on its ministries and their field agencies, virtually excluding the communes from new activities while continuing to impose control on them. Bahkan Norton (1994) lebih terang menyatakan bahwa: “Majors and Local Councils have served as agents for the center in implementing national policy”. Dimensi II: Dari Penggunaan Wakil Pemerintah (generalis) sampai Instansi vertikal di daerah (Spesialis) DUAL-FUNCTIONAL Struktur yang digambarkan Humes IV di atas, menjadi salah satu indikator utama bahwa Pemerintahan daerah Perancis dijalankan dengan dominasi adanya Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
149
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
penggunaan wakil Pemerintah di setiap levelnya. Hanya level paling bawah (commune) yang tidak terdapat adanya wakil pemerintah. Namun, di level atasannya terdapat ‘arrondissement’ yang menjadi tempat bagi ‘sub-perfect’ sebagai wakil Pemerintah (generalis) terakhir. Disamping itu, di Perancis juga tidak kurang peran bagi departemen sektoral dalam memberi warna jalannya roda pemerintahan di daerah karena ditempatkan berbagai instansi vertikal di daerah. Sampai pada level ‘departments’ masih terdapat instansi vertikal dari Departemen/ LPND. Baik pada level arrondissement maupun commune tidak ada instansi vertical beroperasi di sana. Bahkan subperfect pada level ‘arrondissement’ tidak memiliki perangkat fungsional-sektoral seperti di commune atau di ‘departments’ karena sub-perfect ini adalah ‘field officenya perfecturate atasannya (departments). Norton (1994: 153) menuliskan perihal peran perfect di Perancis sebagai berikut: “In the words of senior member of the prefectoral corps, the perfect is the actor and guarantor (l’ acteur et le garant) of the decentralization reform. As representative of the state he exercises the essential and irreducible competence of sovereignty –a role deriving from the Constitution (tutelege power).” Kondisi menurut dimensi II dilengkapi oleh beroperasinya departemen sektoral di daerah dimana Perancis menganut bahwa instansi vertikal dapat muncul sampai di level departments. Pada level ‘commune’ peran instansi vertikal masih ada dalam
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
150
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
rangka pembinaan dan pengawasan pelayanan yang dilakukan oleh Dinas-dinas di ‘commune’. Oleh karena itu, di ‘commune’ tidak ada instansi vertikal. Dalam dimensi ini, Humes IV (1991) menyebut Perancis menganut ‘Dual Functional’, yakni: “a system in which specialized ministries/ agencies control specific local services. A general purpose one supervises local governments and generally oversees and coordinates local affairs.” Beroperasinya departemen sektoral/ LPND hingga ke tingkat lokal melalui administrasi lapangannya, membawa dominasi unsur fungsional/ sektoral dalam pemerintahan daerah di Perancis. Menurut Humes IV (1991: 20-22) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap dominasi departemen sektoral/ LPND di Perancis. Pertama, faktor besarnya struktur organisasi Pemerintah Pusat yang tajam (the sheer of the national civil service). Kedua,
menguatnya
peran
yang
prestisius
dari
kelompok
senior
Departemen/ LPND (enhancing the role of the ministries is the prestige and authority of the members of French civil service senior corps). Ketiga, fragmentasi pemerintahan daerah terjadi karena kuatnya fungsi spesifik yang diemban oleh Departemen/ LPND yang berpengaruh. Keempat, keterlibatan langsung para menteri dalam masalah-masalah lokal. Atas dasar itu, Humes IV (1991) dalam bukunya menempatkan pola Pemerintahan daerah di Perancis sebagai ‘dual-supervision’. Pola ini dikiblati oleh berbagai negara terutama jajahan dari Perancis sendiri seperti Maroko. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
151
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
A.3. Sistem Jerman Jerman, dikenal sebagai bangsa yang kuat institusi kenegaraanya. Di Negara ini demokrasi berkembang kuat dengan dianutnya federalisme, dan diakomodasinya secara luas kebebasan individu dalam koridor institusi negara. Negara bagian adalah atasan dari pemerintahan daerah, walaupun UUD Federal (konstitusi Negara Jerman) mengatur keberadaan umum pemerintahan daerah. Di Jerman sangat terkenal dalam sistem pemerintahan daerahnya dengan ‘subsidiary’-nya
karena
kuatnya
institusi
Pemerintah
daerah
dalam
mengembangkan kewenangan dan demokrasinya sesuai Konstitusi. Dikenalnya lembaga wakil pemerintah tidak sampai kepada level paling bawah di dalam struktur pemerintahan daerahnya. Intansi vertikal pun tidak sampai menjangkau kepada level terendah pemerintahan daerah tersebut. Namun, di dalam menempatkan Wakil pemerintah pada level tertinggi pemerintahan daerahnya disertai dengan peran yang kuat. Instansi vertikal dikoordinasikan oleh Wakil pemerintah ini.
NATION
EXECUTIVE
Parliament
L and
MINISTERIES
Executive Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
152
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Parliament
Regierungsbezirke
Interior
Land Ministries
Executive
Departments
EXECUTIVE
Kreis
Council
Gemeinde
Field Division
EXECUTIVE
Council
Dari bagan di atas, tampak desentralisasi lebih dominan katimbang dekonsentrasi. Dekonsnetrasi tidak sampai kepada level paling bawah bahkan level Kreis pun hanya dikenal pada executive-nya saja. Artinya dia adalah wakil pemerintah disamping sebagai Kepala Daerah, sedangkan birokrasi lokalnya cenderung tidak didominasi oleh Instansi vertikal. Diselenggarakannya penyerahan secara luas menjadikan banyak tugas-tugas pemerintahan diselenggarakan oleh departemen (unit organisasi) milik daerah. A.4. Sistem Inggris Negara Inggris adalah negara yang kuat unsur eksekutif nasionalnya namun sangat memperhatikan kebebasan individu. Institusi negara yang kuat juga adalah Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
153
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
label bagi negara kepulauan yang berbentuk kesatuan ini. Kebebasan Individu dikembangkan
dengan
adanya
sistem
pemerintahan
daerah
yang
mirip
‘parlementer tingkat lokal’. Pemerintahan daerah di negeri ini dikuasai oleh ‘Council’ dimana birokrasi lokal bertanggungjawab kepadanya. Inggris tidak mengenal wakil pemerintah hanya saja instansi vertikal sangat kuat bekerja menjangkai wilayah Inggris. Fried (1963) menyebutnya sebagai ‘functional system’ berbeda dari prefectoral system’ yang menganut adanya wakil pemerintah. Di antara intansi vertikal yang ada tidak memiliki kesamaan jangkauan yurisdiksi wilayah kerjanya. Departemen di Pusat, satu sama lain tidak memiliki acuan yang sama dalam mengembangkan instansi vertikalnya. Oleh karena itu disebut ‘fragmented field adminstration’. Inggris menganut ‘ultravires doctrine’ dalam mengembangkan distribusi kewenangannya kepada daerah otonom. Oleh karena itu DPRD dan Birokrasi lokal yang merupakan organ pemerintah daerah di Inggris dengan pola ‘commissioner’ sangat terbatas dalam hal jumlah dan variasi urusan yang diembannya. Namun, mereka memiliki kebebasan yang tinggi dalam masing-masing urusan. DPRD menjadi sumber kewenangan dari birokrasi lokal karena pertanggungjawaban birokrasi lokal dilakukan hanya kepada DPRD. Pemerintah hanya dapat mengintervensi dalam persoalan standard dan fasilitasi. Jika digambarkan dalam sebuah bagan maka struktur pemerintahan daerah di Inggris adalah sebagai berikut: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
154
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
NATION
Executive Parliament
MINISTRIES Ministeries Field Agencies
REGION
Council Committee Departments
DEPARTMENTS
Council Committee DEPARTMENTS
B. Kondisi Indonesia Era UU No. 22 Tahun 1999 Pada masa lalu kita telah menganut sistem Perancis yang dibawa oleh Belanda sebagai negara jajahannya ke negara kita yang juga dijajah oleh Belanda. Kemudian hingga UU No. 5 Tahun 1974 sisem tersebut masih sangat kental, baru pada UU No. 22 Tahun 1999 kita sebenarnya hendak dibawa ke model Jerman. Pada kondisi yang serba cepat dari keluarnya UU tersebut menyebabkan ‘tidak tuntas’ nya menganut sistem Jerman. Secara empirik banyak terjadi tumpang tindih (overlapping) kewenangan yang kalau dibiarkan dapat menimbulkan friksi dan ketegangan antar tingkatan
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
155
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pemerintahan berkaitan dengan kewenangan daerah. Tiga jenis tumpang tindih tersebut yakni: 1. tumpang tindih antara kewenangan Pusat dan Daerah 2. tumpang tindih antara kewenangan Propinsi dengan Kabupaten/ Kota 3. tumpang tindih antar kewenangan Kabupaten/ kota itu sendiri. Hasil suvery menunjukkan bahwa penyebab utama dari berbagai tumpang tindih tersebut adalah tidak sinkronnya antar berbagai peraturan perundangan yang mengatur masing-masing kewenangan tersebut baik di tingkat UU, PP, maupun di tingkat Keputusan Menteri terkait dnegan kewennagan tersebut. Di sisi lain, terjadi juga permasalahan yang berpangkal dari persepsi yang berbeda dalam menyikapi UU No. 22 Tahun 1999 itu sendiri. Permasalahan tersebut disebabkan oleh adanya pengaturan-pengaturan baru yang dianut oleh UU No. 22 Tahun 1999. dengan dianutnya otonomi luas, sebagaimana dnyatakan dalam pasal 7 (2) dan pasal 9, Daerah cenderung menafsirkannya secara ‘litterlijk’ dan menganggap bahwa semua kewenangan di luar kewenangan Pusat adalah menjadi kewenangan daerah. Friksinya berpangkal pada siapa yang mempunyai kewennagan secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut. Motif utamanya lebih pada bagaiman menguasai sumbersumber pen dapatan dari kewenangan yang disengketakan tadi, bukan kepada persoalan untuk memberikan pelayanan masyarakat pada kewenangan yang disengketakan. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
156
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Setelah 24 Tahun lamanya Indonesia menerapkan UU No. 5 Tahun 1974 sebagai dasar bagi praktek pemerintahan daerahnya, pada 1999 ditetapkan UU baru sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 yakni UU No. 22 Tahun 1999. Mengiringi perubahan tersebut, secara umum terdapat perubahan-perubahan dalam praktek pemerintahan daerah misalnya jumlah daerah otonom yang membengkak di tingkat Kabupaten/ Kota, di level Propinsi walaupun Timor-timur telah memerdekakan diri jumlahnya bertambah menjadi 33 Propinsi dengan dipecahnya Irian Jaya (PAPUA) dan Propinsi lainnya. Secara organisatoris dapat digambarkan dalam bagan berikut:
NATION DPR
PROPINSI
GUBERNUR (KDH)
DEPDAGRI
WAKIL PEMERINTAH
DPRD
KAB/ KOTA
DEPARTEMEN di LUAR 5 Bidang
PERANGKAT DAERAH
BUP/ WALI (KDH)
DPRD
PERANGKAT DAERAH
Dalam hal level pemerintahan, perlu menjadi catatan UU No. 22 Tahun 1999 KADES DESA mengakui Kecamatan dan Kelurahan hanya sebagai Perangkat Daerah berbeda BPD Perangkat Desa Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
157
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dari UU sebelumnya yang menjadikannya sebagai alat Pemerintah Pusat. Selain itu, tidak dikenal lagi ‘Kota Administratif’ dan wilayah-wilayah kerja baik pembantu Gubernur maupun Pembantu Bupati/ Walikota. Oleh karena itu, UU yang baru nampak mengembangkan struktur yang lebih ‘flat’ katimbang UU No. 5 Tahun 1974. Dari bagan di atas, ada dua level daerah otonom: Propinsi dan Kab/ Kota. Namun tedapat pemerintah Desa dalam daerah Kabupaten yang diakui secara otonom sebagai bentuk pemerintahan paling bawah yang dikoordinir oleh Bupati. Pada level Propinsi, disamping sebagai KDH, Gubernur berperan pula sebagai Wakil pemerintah (perfect), sedangkan pada level Kab/ Kota tidak demikian, Bupati/ Walikota hanya sebagai KDH. Para menteri/ kepala LPND tidak lagi memiliki instansi vertikal di daerah kecuali 5 bidang. Pada level Propinsi, mereka harus mengoperasikan pekerjaannya di Daerah melalui Gubernur, sedangkan pada level Kabupaten/ Kota dapat dilakukan melalui Tugas Pembantuan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi dapat melakukan tugas pembantuan kepada Pemerintah Desa. Perubahan mendasar dari diterapkannya UU No. 22 Tahun 1974 telah banyak diulas oleh para pakar. Banyak kritikan tetapi tidak sedikit yang menyanggah kritikan. Tulisan ini tentu tidak berada pada problema tersebut, tetapi berusaha memolakan berada di mana Pemerintahan Daerah di Indonesia menuruti UU terbaru berdasarkan kerangka Humes IV. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
158
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Berkurangnya aparatus dekonsentrasi di dalam praktek pemerintahan daerah di Indonesia di bawah UU Baru menurut Bagan struktur di atas bukan tanpa sandaran. Struktur baru dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengacu pada ‘local democracy model’ yang berbeda dari ‘structural efficiency model’ yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1974. Dasar pikir ini menganggap bahwa ‘pemerintah daerah’ sebagai organisasi yang terpisah dari Pemerintah Pusat. Keterpisahan tersebut berawal dari pemahaman akan desentralisasi dan otonomi yang memang mengandung unsur ‘separateness’. Oleh karena itu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sesungguhnya adalah hubungan antar organisasi. Desentralisasi menunjukkan Pola hubungan kekuasaan antar organisasi, sedangkan
dekonsentrasi
menunjukkan
pola
hubungan
kekuasaan
intra
organisasi…Pola hubungan kekuasaan yang tercipta dalam desentralisasi, memperlihatkan pula bahwa desentralisasi mempunyai unsur keterpisahan (separateness) dan kemajemukan struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Dalam upaya reformasi terhadap UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 tidak lagi menganut model efisiensi struktural melainkan model demokrasi lokal. Disamping mengacu pada paparan teoritik terhadap hakekat desentralisasi dan otonomi daerah, penyusunan RUU (yang menjadi UU No. 22 Tahun 1999) berpegang pada TAP MPR No. XV/MPR/1999 yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan kemajemukan masyarakat dalam menyelenggarakan desentralisasi Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
159
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dan pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Menurut pendapat di atas, penyusun UU No. 22 tahun 1999 berupaya sejalan dengan pandangan normative-teoritik yang berkembang. Konsekwensi dari model di atas, otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 lebih besar daripada UU No. 5 Tahun 1974, dan sebaliknya kontrol Pemerintah Pusat menjadi lebih kecil. Di satu sisi, berkurangnya proporsi pengawasan Pemerintah Pusat dapat dilihat paling tidak dari dua hal: (1) mengkerucutnya aparatus dekonsentrasi hanya kepada Gubernur; (2) Pengawasan Produk hukum daerah dengan menggunakan prinsip represif. Di sisi lain, di tingkat lokal pengawasan dari masyarakat dan stakeholder lain mulai diberi tempat. Dalam konteks tersebut, pemerintahan daerah yang dikembangkan menurut UU No. 22 Tahun 1999 menganut ‘hybrid-subsidiary’ seperti di Jerman. Pemerintah Pusat maupun masyarakat dan stakeholder termasuk DPRD, memiliki andil dalam mengawasi pemerintahan daerah. Namun, dalam praktek keberadaan peran dan fungsi DPRD yang kian membesar di era UU No. 22 Tahun 1999 terdapat kecenderungan ke arah pola ‘regulation’ seperti di Inggris berdasarkan peraturan perundangan yang menjadi norma organik UU tersebut. Dalam UU No. 22 tahun 1999 terkandung keinginan yang kuat untuk memberdayakan posisi dan peran DPRD. Penyelenggaraan otonomi daerah yang besar memerlukan posisi kuat dan peran yang besar dari DPRD. Posisi dan peran tersebut dicapai dengan cara pemisahan DPRD dari konsep Pemerintah Daerah. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
160
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Disamping itu KDH yang semula tidak bertanggungjawab kepada DPRD kini wajib bertanggungjawab kepadanya. Dalam pemilihan KDH-pun DPRD mempunyai kata akhir. Bahkan DPRD mempunyai kekuasaan ‘impeachment’ terhadap KDH untuk memperbesar akuntabilitas KDH. Dalam setiap penyelenggaraan daerah, peran DPRD terlihat sangat menentukan. Pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui proses pencalonan terlebih dahulu. Bahkan penentuan atau pengisian jabatan eselon 2 (a dan b) yakni bagi Kepala Dinas, Kepala Kantor, badan, UPT atau Camat di Kabupaten/ kota, dalam praktek DPRD dimintai persetujuan. Kondisi kuatnya DPRD sangat kentara di level Kabupaten/ Kota. Pada level ini, seperti diketahui dari struktur di atas, KDH untuk kedua daerah tidak menjabat sebagai Wakil Pemerintah. Oleh karena itu, tidak salah dalam beberapa Media Cetak dan Elektronik para Bupati/ Walikota pernah menyatakan bahwa sekarang ini mereka adalah pekerja dari pada anggota DPRD, sementara anggota DPRD adalah pemberi kerja. Praktik kuatnya DPRD ini menyerupai kedudukan yang kuat di negaranegara yang menganut ‘regulation’ seperti di Inggris padahal diketahui DPRD (council) di sana memang adalah lembaga yang langsung membawahi birokrasi (commissioner system). Dari kondisi tersebut, secara normative kita diarahkan kepada pola ‘hybridsubsidiary’ ala Jerman tetapi dalam praktik tercampur aduk dengan pola ‘regulation’ Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
161
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
nya Inggris. Oleh karena itu, persoalan yang menyangkut hubungan antara KDH dan DPRD (juga stakeholder lain) dan juga antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam hal pengawasan (pertanggungjawaban) berbuntut panjang mewarnai praktek pemerintahan daerah di Bumi Indonesia sejak diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999. Seperti
diketahui
bahwa
Gubernur
memiliki
peran
ganda
dalam
Pemerintahan daerah di bawah UU No. 22 Tahun 1999 sebagai Kepala Daerah (KDH) dan sebagai Wakil Pemerintah. Kedudukan seperti itu tidak dimiliki oleh Bupati/ Walikota berbeda dari UU sebelumnya. Lebih jauh, ‘channel’ dekonsentrasi menurut UU No. 22 Tahun 1999 hanya melalui Gubernur dan tidak berlaku untuk Bupati/ Walikota. Oleh karena itu Pemerintah Pusat baik Presiden maupun para pembantunya dapat melakukan operasi di daerah dengan hanya melalui Gubernur. Ada beberapa hal yang kini menjadikan aturan tersebut mengalami problem di lapangan. Pertama, tidak dioperasionalkannya tugas dan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah. Kedua, Luasnya wilayah kerja Gubernur tidak didukung oleh ‘field office’ (pembantu Gubernur) di dalam wilayah kerjanya (Propinsi). Ketiga, tingginya ego sektoral di tingkat Pusat yang membawa adanya kelemahan di dalam mekanisme praktik ‘dekonsentrasi’ departemen sektoral kepada Gubernur. Nampaknya UU No. 32 tahun 2004 sebagai UU pengganti UU No. 22 Tahun 1999, diarahkan untuk memperkuat posisi Gubernur walaupun tidak dimunculkan kemungkinan adanya ‘field office’ Gubernur sebagai Wakil Pemerintah. Hal tersebut Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
162
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
berhubungan dnegan dipilihnya secara langsung oleh masyarakat daerah, sehingga aparatus yang berperan sebagai wakil pemerintah tidak bisa dilimpahkan kepada aparatusnya di bawah lagi. Namun, Gubernur dapat mengembangkannya atas nama dia sebagai Kepala daerah untuk membantu pekerjaannya di wilayahnya sebagai wakil Pemerintah. Aparatus tersebut bukan wakil pemerintah melainkan kepanjangan dari Gubernur semata.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
163
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
BAB IV ALASAN PERLUNYA TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTAR PEMERINTAHAN
Ada berbagai kelompok sudut pandang yang dapat menjadi alasan perlunya tata hubungan kewenangan antar pemerintahan, sebagai berikut: (1) sudut pandang filosofis; (2) sudut pandang yuridis; (3) sudut pandang politik; (4) sudut pandang manajemen dan administrasi publik dan, (5) sudut pandang sosiologis.
A. Sudut pandang Filosofis Alasan mengapa penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan dari sudut filosofis beranjak dari hakekat terdapatnya pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lahir dari instrumen desentralisasi. Pemerintahan daerah yang lahir dari instrumen tersebut ditujukan untuk meraih sejumlah tujuan (nilai). Di antara nilainilai tersebut adalah nilai demokrasi, nilai-nilai otonomi masyarakat lokal, efisiensi pemerintahan, nation building, dan Pembangunan sosial ekonomi. Desentralisasi sebagai instrumen bersifat netral seperti diungkap oleh PBB sebagai berikut: “Desentralization itself is neither good nor bad. It is a means to an end, often imposed by political reality. The issue is wheter it is successful or not. Successful decentralization improves the efficiency and responsiveness of the public sector while accomodating potentially explosive political forces. Unsuccessful Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
164
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
decentralization threatens economic and political stability and disrupts the delivery of public services.” Bagaimanapun instrumen ini selalu terdapat di dalam praktek pemerintahan di berbagai negara di dunia dewasa ini. Secara hakiki adanya instrumen ini dalam pemerintahan selalu membutuhkan pertalian dengan aspek-aspek lain dan juga instrumen utama dalam pemerintahan, yakni sentralisasi itu sendiri yang kemudian sebagai penghalus dilakukan dekonsentrasi. Oleh karena itu, dalam pemerintahan daerah yang paling hakiki adalah bagaimana pertalian antar berbagai instrumen dilahirkan dalam bangun holistik pemerintahan. Dengan demikian hakekat sesungguhnya adalah sebagai satu kesatuan sistem organisasi negara (pemerintahan). Pada akhirnya, yang paling mendasar adalah model pemerintahan daerah yang dianut dalam sebuah organisasi pemerintahan negara bangsa. Model pemerintahan daerah ini-lah yang sesungguhnya nampak di permukaan digunakan untuk meraih sejumlah nilai tadi. Namun demikian, model tersebut pun tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Smith (1985) misalnya mencatat
adanya
dua
kelompok
besar
kepentingan
penyelenggaraan
desentralisasi dan pemerintahan daerah yakni (1) kepentingan Pemerintah Pusat; dan (2) kepentingan pemerintah daerah itu sendiri. Dua kelompok besar kepentingan tersebut dapat berjalan beriringan namun tidak menutup kemungkinan dapat bertentangan satu sama lainnya. Dengan demikian, desentralisasi dan
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
165
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
model pemerintahan daerah tidak muncul dalam ruang hampa. Ia hadir sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, dan kehadirannya pun tidak bebas nilai. Di antara nilai hakiki yang ada adalah nilai demokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dengan tercuptanya efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Apabila dikaitkan dengan konteks perjalanan sistem pemerintahan daerah di Indonesia terkait dengan sejumlah nilai yang ingin diraih, sejak awal negeri ini telah mengalami pergerakan perubahan nilai-nilai yang ingin diraih seperti diungkap oleh Hoessein (1995): “Dilihat dari dimensi tujuan yang akan dicapai, maka roda desentralisasi telah mengalami lima kali putaran. Dari putaran kedua ke putaran ketiga roda tersebut mengalami kerusakan di masa pendudukan Jepang. Namun berkat the founding fathers roda tersebut berhasil diperbaiki, disempurnakan dan diperkuat sehingga berputar dalam putaran ketiga dan seterusnya. Putaran pertama dalam kurun waktu tahun 1903-1922 menuju efisiensi. Putaran kedua dalam kurun waktu 1922-1942 menuju ke efisiensi dan partisipasi. Putaran ketiga dalam kurun waktu 1945-1959 menuju demokrasi (kedaulatan rakyat). Putaran keempat dalam kurun waktu 1959-1974 menuju stabilitas dan efisiensi pemerintahan. Putaran kelima dalam masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 menuju ke efisiensi (dan efektivitas) layanan dan pembangunan. Akan berputarkah roda tersebut menuju ke demokrasi di masa yang akan datang? Menurut saya, dalam putaran keenam kelak tempat yang harus dituju berupa tempat yang subur dengan demokrasi dan efisiensi. Kedua nilai tersebut sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia.” Nilai demokrasi yang melekat kuat dalam UU No. 22 Tahun 1999 belum diimbangi dengan
nilai
efisiensi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah.
Bersandingnya kedua nilai tidak berarti bertolak belakang, nilai efisiensi adalah jaminan adanya tanggungjawab pemerintah daerah dalam mengembangkan pelayanan publik secara berkualitas. Dari sisi ini, penguatan masyarakat lokal Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
166
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
sebagai pemegang otonomi yang hakiki adalah jawaban pertama. Masyarakat harus
diikutsertakan
pengembangan
dalam
pelayanan
mengawasi
publik.
dan
Disamping
itu,
menentukan penjamin
bagaimana terakhir
dari
berlangsungnya pelayanan yang berkualitas adalah Pemerintah sendiri sebagai penyelenggara desentralisasi. Pemerintah sebagai penjamin ini bukan melakukan intervensi yang merusak sendi-sendi demokrasi. Proses penjaminan tersebut harus melalui suara masyarakat lokal sebagai penentu utama. Dalam hal ini penguatan kapasitas masyarakat lokal adalah kuncinya. Pada dimensi tersebut UU No. 22 Tahun 1999 memiliki arah dan paradigma yang kental. Namun dalam praktek masih dinilai sebagai desentralisasi dalam pemerintahan semata belum menyentuh otonomisasi masyarakat lokal. Dalam praktek,
desentralisasi
merupakan
arena
pembagian
kekuasaan
antar
Pemerintahan. Pengembangan mekanisme desentralisasi ini tidak terlepas dari keberadaan negara sebagai organisasi. Seperti ditulis dalam Bab Tinjauan teoritis di depan bahwa: “Negara merupakan organisasi. Secara teoritik dan empirik setiap organisasi, termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahiran sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu diperlukan juga asas desentralisasi”
Secara filosofis dengan demikian penataan hubungan antar pemerintahan menjadi penting karena dalam hal ini harus diidentifikasi peran-peran Pemerintah Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
167
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
yang proporsional apa saja yang perlu dikembangkan tanpa merusak sendi-sendi demokrasi dalam pemerintahan daerah. Materi Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dapat dijadikan dasar filosofis bagi penataan hubungan tersebut. Bagaimana kerangka hubungan antar pemerintahan harus dikembangkan sejalan dengan nilainilai demokrasi yang ingin diwujudkan oleh UU tersebut. Haris (2003) mencatat adanya konsekwensi logis yang perlu direnungi sehubungan dengan paradigma demokrasi yang ditonjolkan dalam UU No. 22 Tahun 1999; (1) dibutuhkannya otonomi daerah yang situasional (fleksibel); (2) perlunya reorganisasi bagi pemerintah daerah yang sesuai dengan potensi, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah; (3) pelembagaan mekanisme bagi partisipasi masyarakat lokal; (4) pelembagaan pengawasan masyarakat lokal; (5) perluasan bagi sumber pendapatan daerah. Semangat dari pendapat tersebut adalah bagaimana instrumen desentralisasi dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat lokal demi keadilan, demokrasi dan kesejahteraan sosial seperti ditulis oleh Haris (2003) berikut: “Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepada kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokratisasi.” Pada saat ini baik UU No. 22 Tahun 1999 maupun revisinya belum menggambarkan secara utuh demokratisasi yang menyentuh tata hubungan antar pemerintahan dengan semangat penguatan masyarakat lokal. Oleh sebab itu, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
168
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
semangat UU tersebut sudah seharusnya mendorong kita semua untuk mencari formula bagi tata hubungan yang dimaksud. B. Sudut Pandang Yuridis Materi Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tidak sampai pada menata hubungan antar pemerintahan melainkan baru pada tahap pendemokratisasian pemerintahan dan mengubah paradigma dalam pembagian kewenangan antar pemerintahan. Sementara
itu,
UUD
1945
hasil
amandemen
menghendaki
perlunya
penegmbangan tata hubungan kewenangan antar pemerintahan. Dalam amandemen pasal 18 dirinci menjadi pasal 18, 18 A dan 18 B. Isi pasal 18 dan 18 A jelas sangat dipengaruhi oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan dilatarbelakangi oleh penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) serta TAP MPR No. IV/MPR/2000, yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Ketetapan MPR tersebut juga mengisyaratkan perlunya
produk UU
yang mengatur tata
hubungan
kewenangan
antar
Pemerintahan. Disamping dua produk hukum tertinggi tersebut, kini isu diperbaikinya UU No. 22 Tahun 1999 sangat kuat. Namun UU tersebut jika pun direvisi, persoalan tata hubungan yang dikembangkan antar pemerintahan memerlukan porsi pengaturan yang besar. Oleh karena itu kembali secara yuridis tata hubungan antar pemerintahan diperlukan. Dengan demikian, pengaturan tata hubungan antar
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
169
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pemerintahan melalui sebuah produk UU dimaksudkan mendampingi UU No. 22 Tahun 1999 bukan menggeser apalagi menandingi. Dalam konteks UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, permasalahan yang cukup menguat adalah dikembangkannya Pemilihan Kepala Daerah secara kangsung
yang berakibat kepada tata hubungan yang
harus berubah pula bagi DPRD dan KDH di dalam pemerintahan daerah. Namun, hirarki pemerintahan nampaknya akan diperkuat dengan susunan kebijakan lokal yang hirarkis. Akhirnya, kedua materi pun amat berpengaruh kepada tata hubungan antar pemerintahan.
C. Sudut pandang Politik Alasan penataan hubungan antar pemerintahan sebagaimana termaktub dalam judul di atas berkaitan dengan kondisi riil Indonesia dewasa ini yang sedang mengalami
transisi
dalam
demokratisasi.
Kehidupan
negara
demokratis
didasarkan pada prinsip-prinsip good governance yakni: transparansi, partisipasi aktif, akuntabilitas, dan responsif dari masing-masing lembaga pemerintah sesuai dengan bidangnya masing masing. Sebagai sebuah negara yang sedang mengalami proses transisi menuju kehidupan demokratis, negara Indonesia beserta pemerintahannya tidak bisa melepaskan diri dari prinsip- prinsip tersebut. Transparansi memiliki arti bahwa informasi pemerintah akan tersedia dan terbuka bagi siapa saja. Dari sisi publik, hal tersebut memunculkan dua prasyarat. Pertama, kesadaran masyarakat akan ketersediaan dan keterbukaan informasi sudah harus ada. Yang kedua, biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh publik untuk memperoleh informasi haruslah minimum. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
170
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Selain itu, informasi yang disediakan juga harus memudahkan si pengguna (user-friendly). Partisipasi aktif mempunyai makna memberdayakan seluruh lapisan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut maka dibutuhkan kapasitas pemerintah untuk menganalisis dan mengerti kehendak masyarakat serta bertindak atas berbagai rangsangan partisipasi tersebut. Responsif berarti mendengarkan apa pandangan, perhatian, dan pengakuan masyarakat atas praktek dan kebijakan pemerintah. Lembaga pemerintah harus membangun mekanisme umpan balik dalam bangun struktur pemerintahan yang ada. Akuntabilitas menunjukkan kemampuan menjawab kebutuhan masyarakat dan lembaga pemerintah lainnya dengan berbagai karakter bangun pemerintahan secara holistik.
Prinsip-prinsip dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis tersebut tidak bisa berjalan tanpa adanya suatu tata hubungan kewenangan antar pemerintahan yang teratur dan berlandaskan pada dasar hukum yang jelas dan terarah. Adanya tumpang tindih dalam fungsi ‘pengaturan’ dari berbagai level pemerintahan pada bidang yang sama bisa menjadi sumber malapetaka secara politik. Sementara itu, perkembangan politik Indonesia dewasa ini yang menyentuh permasalahan pemerintahan daerah antara lain: (1) adanya kamar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang telah diisi melalui Pemilu tersendiri sebagai corong Daerah; (2) perubahan hubungan
antar DPRD dengan Kepala Daerah
sehubungan Peraturan Perundangan Susduk DPRD yang tidak lagi bertugas memilih Kepala Daerah atau dengan kata lain akan dipilihnya KDH secara langsung oleh masyarakat di masa depan; (3) penguatan elemen masyarakat madani (civil society) di tingkat lokal yang sudah semakin nyata; (4) adanya arena tarik-menarik berbagai urusan, proyek, dan kegiatan pemerintahan antara Pusat-
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
171
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Daerah atau antara Propinsi-Kabupaten/Kota yang sebenarnya merugikan Pemerintah secara umum. Dikembangkannya DPD dalam salah satu kamar tersendiri di tubuh MPR-RI pada hakekatnya memperkuat posisi tawar Daerah kepada Pemerintah dalam matra pengambilan kebijakan. Namun demikian pada kondisi riil-teknis dari sisi pemerintahan tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena kunci hubungan tetap ada dalam bangun pemerintahan daerah yang ada. Dimulainya periode Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat sangat jelas berpengaruh pada bangun pemerintahan secara umum. Kondisi ini harus diimbangi penguatan masyarakat lokal secara signifikan karena Kepala Daerah akan merasa lebih tertuju pada masyarakat konstituen-nya katimbang kepada DPRD. Pada keadaan demikian diperlukan tata hubungan yang proporsional antar pemeirntahan. Masyarakat sipil di tingkat lokal tengah dalam keadaan berubah secara terus menerus sejak bergulirnya reformasi. Penguatan elemen masyarakat sipil menjadi penentu dalam roda pemerintahan daerah sejalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam suasan perubahan ini masih terdapat ketidakjelasan dan ketidak sinkronan di berbagai bidang, lebih khusus lagi belum adanya dimensi penataan hubungan antar pemerintahan akibat distribusi kewenangan tersebut. Oleh karena
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
172
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
itu secara politik Indonesia dewasa ini membutuhkan penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan.
D. Sudut pandang Manajemen dan Administrasi Negara Perkembangan pemikiran manajemen dan administrasi publik tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berkembangnya pandangan ‘the new public sector management’ sangat berpengaruh dewasa ini dalam pengembangan bangun kepemerintahan, sehingga lahir konsep yang salah satunya adalah ‘good governance’. Di satu sisi, good government is the least government merupakan jargon utama dalam pandangan ini, di sisi lain peran swasta dalam pandangan ini menjadi perhatian utama. Reposisi peran pemerintah daerah di Indonesia dalam pengaturan dan pelaksanaan berbagai kebijakan dipengaruhi bagaimana jaminan operasional pandangan ‘the new public sector management’ dapat dipahami oleh banyak pihak di tingkat praktek. Pandangan tersebut banyak menjadi inspirator dalam pengembangan kelembagaan pemerintah daerah. Pemerintah daerah kini menghadapi era globalisasi dan kompetisi yang kian tajam. Oleh karena itu dari sisi kelembagaan tidak dapat ditolak perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian menghadapi segala macam tuntutan.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
173
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Apakah
terdapat
jaminan
good
governance
akan
tercapai
dalam
pemerintahan daerah? Oleh karena itu, dari sudut manajemen dan administrasi negara menghendaki satu penataan hubungan antar pemerintahan.
E. Sudut Pandang Sosiologis Indonesia adalah salah satu negara terluas di dunia. Hal ini bisa dilihat
dari
luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.500 pulau dan dihuni oleh 206. 264. 595 penduduk yang tersebar tidak merata di 32 provinsi. Selama 59 tahun keberadaannya sebagai sebuah negara, Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan ini berhubungan dengan kondisi geografis, demografis, dan dinamika sosial politik ekonomis masyarakat Indonesia. Topografi Indonesia yang sangat beragam, mulai dari gunung yang tinggi hingga lautan yang dalam menyebabkan wilayah Indonesia memiliki degradasi iklim tropis. Keragaman ini kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia pun beragam. Secara demografis, Indonesia terdiri dari lebih 200 juta penduduk yang tersebar sangat tidak merata. Sebagian besar penduduk, lebih kurang enam puluh persen (60%), bermukim di pulau Jawa sedangkan sisanya tersebar di ribuan pulau lainnya. Mayoritas penduduk Indonesia bermukim di daerah pedesaan delapan puluh persen (80%) dengan mata pencarian umumnya sebagai petani dan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
174
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
nelayan. Sebagian lainnya bermukim di daerah perkotaan dengan mata pencarian beragam terutama di bidang jasa. Malah ada sebagian kecil penduduk Indonesia yang masih hidup berpindah-pindah (nomaden) di daerah-daerah terpencil. Jumlah penduduk Indonesia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak sama, penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
Banyaknya
jumlah penduduk Indonesia yang tersebar di wilayah yang luas menyebabkan Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman budaya, bahasa, dan agama. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa ini berbicara dengan lebih dari 400 bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda. Bahkan banyak diantara bahasa yang mereka gunakan sangat berbeda dengan bahasa resmi negara Indonesia yaitu bahasa Indonesia. Dari segi kepercayaan yang dianut, masyarakat Indonesia memiliki agama dan kepercayaan yang berbedabeda. Kondisi ini sering menimbulkan perbedaan persepsi dan pengamalan nilainilai serta norma-norma antara masyarakat di satu daerah dengan daerah yang lain. Ketidakmerataan pembangunan yang terfokus di daerah perkotaan menyebabkan semakin tertinggalnya pedesaan dilihat dari hampir semua aspek, baik aspek fisik maupun non fisik. Selain itu, kesenjangan pembangunan juga menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di masyarakat, bahkan di beberapa wilayah, masyarakat pedesaan masih belum bisa membaca dan menulis.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
175
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Ketertinggalan-ketertinggalan
tersebut
meyebabkan
tingkat
kesejahteran
masyarakat pedesaan rendah. Akibatnya, banyak masyarakat pedesaan yang memutuskan pergi dari daerahnya menuju ke kota untuk memperbaiki kondisi ekonominya. Namun dengan keterbatasan ilmu, keterampilan, dan informasi keberadaan mereka di perkotaan malah menjadi beban tersendiri bagi kota yang didatangi. Banyak diantara mereka yang kemudian menjadi penganggur dan hanya memperbesar jumlah pengangguran yang sudah besar semenjak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Saat ini, diperkirakan jumlah pengangguran di Indonesia telah lebih dari 40 juta orang.
Selain dari merosotnya perekonomian Indonesia, kondisi stabilitas
sosial, ekonomi dan politik Indonesia juga merosot. Puncak dari kemerosotan ini terjadi setelah krisis moneter berkepanjangan tidak bisa diselesaikan dengan baik dan berujung pada pergantian kepemimpinan nasional. Pergantian kepemimpinan ini sekaligus menjadi penyebab terjadinya pergantian sistem pemerintahan, dari otoriter menjadi demokrasi. Namun proses pergantian sistem ini tidak bisa berlangsung dengan spontan, melainkan harus melalui proses dan masa yang cukup lama. Catatan Johan (2003) mengatakan terdapatnya gejala ‘etnosentrisme’ yang sudah sangat mengental di dalam masyarakat Indoensia dewasa ini antara lain dapat dikenali melalui: (1) gejala pemekaran daerah; (2) pengisian anggota DPRD; Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
176
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
(3) pemilihan KDH yang menginginkan Putra Daerah; (4) pengisian jabatan dan posisi dalam birokrasi daerah yang juga Putra Daerah; (5) kebijakan lokal yang pro-putra daerah. Menurut catatan Pulukadang (2003), masyarakat Indonesia dewasa ini juga dikenali melalui adanya dikotomi Jawa-Luar jawa, Jakarta-Luar jakarta, Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur. Keberagaman kondisi masyarakat Indonesia ini membutuhkan kehadiran lembaga yang mampu menjadi ‘balancing agent’ dan ‘change agent’ sekaligus. Lembaga tersebut tidak lain adalah pemerintah secara keseluruhan. Hadirnya pemerintahan daerah menjadi penentu bagaimana mengelola keberagaman tersebut. Disamping itu lembaga pemerintah ini dituntut mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi masyarakatnya. Oleh karena itu kembali kepada penataan hubungan kewenangan antar pemerintahan menjadi kunci baik secara vertikal berupa hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun horizontal berupa hubungan antar daerah.
#
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
177
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
* *
++ BAB V KELEMBAGAAN TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH, DAN ANTAR DAERAH DI INDONESIA KE DEPAN
A. Materi Distribusi Kewenangan Antar Pemerintahan Pada hakekatnya desentralisasi adalah mengotonomikan suatu masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan konstitusi, pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Disamping itu desentralisasi juga merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi, kabupaten dan kota. Dalam kerangka hukum selama ini pengertian desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja. Desentralisasi yang terjadi hanya berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi Pemerintah (Presiden dan para Menteri). Lihat gambar berikut: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
178
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Gambar. 5.1 Penyerahan Wewenang Pemerintahan
Menurut UU 22 Tahun 1999, desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom. Dalam Pasal yang sama ayat 1 Butir H, dikatakan Pemerintah adalah Presiden dan para Menteri, seumpama
MPR masih tetap berada diatas, setelah mengalami
amademen UUD 45, maka sebenarnya desentralisasi kita itu hanya desentralisasi yang bersumber dari Presiden dan para Menteri; tidak ada penyerahan wewenang dari lembaga-lembaga tinggi negara lain. Tidak ada dari MA, kecuali untuk kasus NAD, tidak ada penyerahan wewenang dari DPR apalagi dari MPR. Dengan demikian istilah provinsi, kabupaten dan kota membutuhkan definisi yang jelas sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki otonomi. Otonomi provinsi, kabupaten dan kota tersusun secara hirarkis. Agar tercipta kondisi hirarkis tersebut perlu pengaturan hubungan antara Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota bersifat hirarkis. Disamping itu,
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
179
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
sistem pengawasan oleh pemerintah kepada provinsi dan kabupaten/kota bersifat hirarkis pula. Bahwasannya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
diselenggarakan
secara
sentralisasi
beserta
penghalusannya
dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya
diselenggarakan
secara
sentralisasi
dan
dekonsentrasi.
Urusan
pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Pembagian urusan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin
urusan
diselenggarakan
secara
100%
sentralisasi
atau
100%
desentralisasisi dalam satu Negara Bangsa. Terdapat urusan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah yakni: Luar Negeri, Hankam, Moneter, dan Agama. Dalam UU No.22 Tahun 1999 tertulis adanya urusan Peradilan, sebenarnya urusan itu sudah diluar Urusan Pemerintah (eksekutif). Oleh karena itu otomatis diselenggarakan secara sentralisasi. Diluar urusan-urusan tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintah terpola menjadi dua bagian besar yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintah yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi.
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
180
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Urusan pemerintah yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1) urusan yang 100% memungkinan didesentralisasikan yang terbagi atas: (a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Keduanya
atas
dasar
Local
needs.
Selain
itu,
urusan
yang
dapat
didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh Pemerintah karena berbagai hal --tidak memungkinan 100% didesentralisasikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga dapat dilakukan melalui (a) medebewind; (b) sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung dari: (1) skala ekonomi; (2) eksternalitas; (3) lokalitas; dan (4) catchment area nya. Pasal UU 22 Tahun 1999, urusan Provinsi dirinci dalam peraturan perundangan, sedangkan Kabupaten/kota bersifat terbuka (luas) kecuali urusan yang diwajibkan dan itu semua juga adalah berdasarkan local needs. Provinsi dan Kabupaten/kota adalah daerah otonom yang menerima urusan pemerintah yang didesentralisasikan. Sementara itu, urusan pemerintah yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi dapat dilakukan melalui : (a) medebewind; dan (b) Sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi. Urusan Pemerintah yang didekonsentrasikan dalam UU No.22 Tahun 1999 diselenggarakan pula oleh Pemerintah daerah Provinsi. Dalam hal ini kabupaten/kota tidak menerima urusan dekonsentrasi walaupun secara teoritis di wilayahnya dimungkinnkan adanya instansi vertikal Pemerintah Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
181
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
bekerja disana. Disamping itu, daerah otonom juga menerima tugas pembantuan (medebewind).
Baik
provinsi,
maupun
kabupaten/kota
menerima
urusan
pemerintah dengan cara medebewind ini, bahkan Pemerintah Desa dalam UU No.22 Tahun1999 pun menerima tugas pembantuan dari kabupaten. Untuk urusan-urusan Luar Negeri, Hankam, Moneter dan Agama juga dapat diselenggarakan melalui tiga mekanisme tersebut: (a) medebewind; (b) sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi. Daerah provinsi dapat melaksanakan urusan-urusan di
bidang-bidang
tersebut
jika
dimungkingkan
melalui
medebewind
dan
dekonsentrasi, sedangkan Daerah Kabupaten/Kota hanya melalui medebewind. Secara teori juga, memungkinkan bahwa wilayah Kabupaten/Kota terdapat instansi vertikal dari bidang-bidang diatas dengan acuan ’catchment area’. Departemen Dalam
Negeri
mengemukakan
berbagai
kriteria
untuk
menata
distribusi
kewenangan yang dimaksud sebagai berikut. Eksternalitas berpatokan kepada siapa yang trekena dampak dialah yang mengurus. Argumennya adalah bahwa unit pemerintahan yang menyebabkan terjadinya dampak harus bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkannya. Makin luas eksternalitas yang ditimbulkan akan makin tinggi otoritas yang dipelrukan untuk menangani urusan tersebut. Contoh, sungai atau hutan yang mempunyai
eksternalitas
regional
menjadi
tanggungjawab
Propinsi
untuk
mengurusnya, sedangkan persampahan dengan eksternalitas lokal akan menjadi tanggungjawab Kabupaten/ kota. Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
182
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Skala ekonomis, berpatokan kepada unit pemerintahan yang paling efisien mengerjakan
sesuatu
urusan
dialah
yang
pantas
menerimanya
atau
melaksanakannya. Sementara itu, lokalitas berpatokan kepada unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang diciptakan dari adanya pengelolaan suatu urusan dialah yang pantas mengerjakan atau melaksanakannya. Catchment area sendiri berpatokan kepada kriteria yang lebih luas dari sekedar kriteria di atas dengan menambahkan bagaimana pengawasan (akuntabilitas) dapat diciptakan dan juga keterlibatan masyarakat mana yang paling memungkinkan tinggi dan kondusif. Selain kriteria di atas, terdapat hubungan antar tingkatan pemerintahan, antara kewenangan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota yang bersifat inter-relasi, inter-koneksi serta interdependensi dan tidak ada hirarki. Kewenangan dari masing-masing tingkatan membawahi satu sama lain (non hirarki). Dalam melaksanakan kewenangannya, masing-masing mempunyai diskresi yang tinggi (independensi). Intervensi dari Pusat akan bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standard yang diciptakan oleh Pusat. Konsekwensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa pelayanan-pelayanan yang
bersifat
dasar (basic
service)
maupun
pelayanan-pelayanan
untuk
pengembangan sektor unggulan atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas yang bersifat lokal seyogyanya menjadi urusan Kabupaten/ Kota, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
183
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
yang bersifat lintas Kabupaten/ Kota menjadi urusan Propinsi dan yang lintas Propinsi menjadi kewenangan Pusat. Namun, terdapat kewenangan yang bersifat concurrent
yang menjadi
domain dari suatu tingkatan pemerintahan tetapi tidak dapat berdiri sendiri, dan berhubungan satu sama lainnya. Sebagai contoh bidang urusan jalan negara harus berhubungan dan saling tergantung dengan bidang urusan jalan Propinsi dan Kabupaten/ Kota karena seluruhnya merupakan suatu sistem jaringan transportasi. Urusan jalan negara, tidak lebih tinggi dari urusan jalan Propinsi atau jalan
Kabupaten/
mempunyai
Kota.
diskresi
Namun,
(independensi)
masing-masing untuk
tingkatan
melaksanakan
pemerintahan
kewenangannya
mengurus bidang urusannya dengan harus berkoordinasi satu sama lain. Intervensi dari pemerintah pusat akan terjadi kalau Daerah tidak mampu menjalankan kewenangannya tersebut dalam koridor norma dan standard yang ditentukan Pusat. Argumennya adalah bahwa penanggungjawab akhir dalam penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Pemerintah Pusat. Lihat bagan berikut:
Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
184
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Gambar 5.2.
BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN Dinamis dengan landasan: Skala Ekonomi,, eksternalitas, Catchment Area, dan Lokalitas.
Urusan Luar Negeri, Hankam, Moneter, PERADILAN (?), dan Agama
Urusan Sektoral Pemerintah Nasional
Dapat didesentralisasikan
Tidak Dapat didesentralisasikan
Local Needs
Memungkinkan didesentralisasikan 100%
Diwajibkan
Prakarsa Sendiri
medebewind
Tidak Mungkin didesentralisasikan 100%
medebewind
Sentralisasi Murni
Sentralisasi Murni
Dekonsentrasi
Dekonsentrasi
PROPINSI KABUPATEN/KOTA Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
185
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom dalam rangka otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang terdiri atas DPRD dan Gubernur atau Bupati atau Walikota.
Dalam hal ini
wewenang pengaturannya melibat kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusannya dilakukan oleh Gubernur atau Bupati atau Walikota dengan instrumennya birokrasi setempat yang disebut perangkat daerah. Penyelenggaraan
pemerintahan daerah oleh Pemerintah Daerah untuk
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian layanan. Dalam rangka good governance, pemberian layanan tersebut melibatkan sektor swasta dan masyarakat madani dengan tetap menjunjung tinggi berbagai prinsip: transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan lain-lain. Dekonsentrasi dari Menteri kepada perangkatnya di lapangan tidak dapat dielakkan.
Dalam hal ini sebaiknya dengan Fragmented Field Administration
System. Sekiranya dipertahankan dianutnya Integrated Perfectoral System pada Propinsi, maka perlu dipahami bahwa sebagai Wakil Pemerintah Gubernur bukan saja membawahi Kabupaten dan Kota tetapi juga Propinsi.
Secara konsepsional
ini didasarkan pada pemahaman kenyataan bahwa hubungan antara daerah otonom dan Pemerintah adalah dependent dan subordinate.
Tetapi hubungan
antar daerah otonom adalah independent dan coordinate.
B. Materi Hakekat Otonomi clxxxvi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Menurut Bung Hatta, setiap orang itu otonom, tetapi otonominya harus tunduk kepada otonomi kelompok. Kelompok itu bisa desa. Otonomi desa itu harus tunduk kepada otonomi yang lebih luas yaitu otonomi kabupaten, selanjutnya otonomi kabupaten harus tunduk kepada otonomi Provinsi, dan otonomi Provinsi harus tunduk kepada otonomi negara. Dengan demikian, otonomi itu: pertama, hirarkis secara normlogis. Oleh karena itu di dalam berbagai UU Pemerintahan Daerah selalu dikatakan bahwa PERDA Kabupaten tidak boleh bertentangan dengan PERDA Provinsi dan tidak boleh bertentangan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Undangundang No.22 Tahun 1999 tidak memuat pernyataan seperti itu. Pemikiran tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut: Gambar 5.3. Otonomi Hirarkis
Demikian juga tidak ada pernyataan keputusan desa tidak boleh bertentangan Peraturan Daerah Kabupaten, sehingga terjadi kesimpang-siuran dalam berbagai peraturan desa tersebut karena tidak ada rambu-rambunya di dalam UU 22/ 1999. clxxxvii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Kedua, harus tercermin pada pola pengawasan yang dikembangkan. Kontrol yang harus kita lakukan agar jelas adalah kontrol Pusat terhadap Provinsi dan juga pada Kabupaten/ Kota kontrol melalui Provinsi,
misalnya melalui
Gubernurnya terhadap Kabupaten dan Kota. Jadi andai kata dekonsentrasi seperti yang sekarang terjadi itu tidak diwujudkan lagi sesuai amademen pasal 18 UUD 45, untuk revisi yang akan datang kalau kita mengikuti kemauan dari amademen pasal 18 tersebut yang baru, tidak berarti terhalang kemungkinan Pemerintah melimpahkan wewenang kepada Gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten dan kota. Arti dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah dalam UU No.22 Tahun 1999, adalah daerah otonom itu sub-ordinate dan dependent (bergantung) pada Gubernur. Hal ini karena daerah otonom itu sub-ordinate dan dependent kepada Pemerintah. Dengan
demikian,
meskipun
otonomi
itu
berprinsip
keterpisahan
(separetness), dalam praktek membutuhkan mekanisme hirarkis dengan cara: (1) secara normlogis ada pernyataan bahwa PERDA Kabupaten kota tidah boleh bertentangan juga dengan PERDA Provinsi; (2) penciptaan pengawasan (kontrol) hirarkis melalui pelimpahan wewenang kepada Gubernur oleh Pemerintah. Hubungan
antar
Pemerintahan
adalah
hubungan
antara
aparatur
Pemerintahan di berbagai tingkat baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu hubungan tersebut bersifat fungsional. Secara vertikal, hubungan tersebut dirinci atas dasar hubungan kerja antara aparatur Pemerintahan. Oleh akrena itu terdapat beberapa macam hubungan yang terjadi: clxxxviii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pertama, Hubungan antara pemerintah dengan Propinsi yang terbagi atas: (1) hubungan antara Presiden dan gubernur; (2) hubungan antara Menteri (departemen/
LPND) dan
Gubernur; dan
(3) Hubungan antara menteri
(departemen/ LPND) dan Perangkat Daerah Propinsi. Kedua, hubungan antara Pemerintah dengan Kabupaten/ Kota; yang terbagi atas: (1) Hubungan antara Presiden dan Bupati/ Walikota; (2) hubungan antara Menteri (departemen/ LPND) dengan Bupati/ Walikota; dan (3) hubungan antara Menteri (Departemen/ LPND) dengan Perangkat Daerah Kabupaten/ kota. Ketiga, hubungan vertikal pun dapat terjadi antara Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/ kota yang terbagi atas; (1) Gubernur dengan Bupati/ walikota; (2) Perangkat Daerah Propinsi dengan Bupati/ Walikota; (3) Perangkat Daerah Propinsi dengan Perangkat Daerah Kabupaten/ Kota.
Hubungan antar
pemerintahan pun dapat tercipta secara horizontal yakni (1) antar Propinsi berarti adanya hubungan antar Gubernur dan hubungan antar Perangkat Daerah; (2) hubungan antar Kabupaten/ kota yang berarti adanya hubungan antar bupati/ Walikota dan hubungan antar Perangkat Daerah. C. Materi Kelembagaan Tata Hubungan Kewenangan Antar Pemerintahan Oleh karena Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, maka fungsi pemerintah daerah hanya menyelenggarakan sebagian fungsi Pemerintahan Negara secara keseluruhan. Penyelenggaraan pemerintahan di Daerah yang berdasarkan
asas
desentralisasi,
dekonsentrasi,
dan
tugas
pembantuan
mendudukkan Gubernur baik selaku wakil Pemerintah pusat di daerah maupun
clxxxix
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
sebagai Kepala daerah. Di Kabupaten, Bupati/ walikota ditempatkan hanya sebagai kepala derah bukan sebagai wakil pemerintah. Dari hasil FGD diketahui bahwa tata hubungan kewenangan antar pemerintahan berangkat dari adanya pemahaman sistem pemerintahan secara nasional. Tata hubungan kewenangan tersebut tercipta karena dua hal: (1) organisasi administrasi negara didasarkan atas asas sentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan desentralisasi. (2) Administrasi negara kesatuan RI merupakan sebuah sistem, yang meliputi (a) sub sistem administrasi negara sentral, sub sistem administrasi negara dekonsentral, (c) sub sistem administrasi negara tugas pembantuan, dan (d) sub sistem administrasi negara desentral. Ketiga sub sistem negara yang terakhir kerapkali disebut sub sistem administrasi negara lokal. Sub sistem administrasi negara dekonsentral terdiri atas dua sub sistem: (a) sub-sistem administrasi negara bidang pemerintahan umum yang dijalankan oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah; dan (b) sub-sub sistem administrasi negara bidang pemerintahan khusus yang dijalankan oleh instansi vertikal. Sub sistem administrasi negara desentral juga terdiri atas tiga sub-sub sistem: (a) sub-sub sistem Administrasi Negara Propinsi (b) sub-sub sistem administrasi negara kabupaten, dan sub-sub sistem administrasi negara Kota. Tata hubungan tersebut merupakan mekanisme yang mengatur hubungan satu dengan yang lainnya dan berfokus kepada tata hubungan kerja dan merupakan interaksi antar sub-sistem pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Tata hubungan juga merupakan hasil dari kernagka cxc
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
hubungan antar sub sistem yang menyangkut kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan sumberdaya lainnya. Disamping itu merupakan keterkaitan secara funsgional bersifat vertikal, horizontal ataupun diagonal antar unit pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (pengganti UU No. 22 Tahun 1999) yang sudah disyahkan oleh DPR disebutkan kata-kata Hubungan wewenang disebut dalam pasal 1 Bab Ketentuan Umum sebagai berikut: “Ayat (4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Ayat (5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.” Pasal 11 ayat 2 mengkaitkan dengan pembagian urusan dengan kalimat sebagai berikut: “Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.” Pasal 13 ayat (1) merinci wewenang Provinsi sebagai berikut: “Urusan
wajib
yang
menjadi kewenangan pemerintahan
daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. b. c. d. e.
perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan;
cxci
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.”
Wewenang Pemerintah Kabupaten/ kota pun dirinci dalam pasal 14 ayat (1) sebagai berikut: ” Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
cxcii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Wewenang Pemerintah Pusat disebutkan diawal daripada wewenang kedua jenjang Pemerintahan di atas, yakni dalam pasal 10 di berbagai ayatnya sebagai berikut: (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Adapun kriteria dalam menentukan wewenang bagi Pemerintah Provinsi dan kabupaten Kota adalah eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan seperti disebut dalam pasal 11 ayat (1).
cxciii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Penempatan kedudukan aparatur pemerintah apakah sebagai wakil pemerintah pusat atau hanya sebagai kepala daerah merupakan prasyarat utama di dalam disain hubungan antar pemerintahan secara vertikal. Dari sini ada beberapa model yang dapat dikembangkan menurut berbagai dimensi. Dalam
hal
apakah
dekonsentrasi
selalu
bertalian
aparatur
dan
kewilayahannya dengan desentralisasi. Dalam hal ini terdapat tiga pola: (1) fused model, jika dalam setiap level pemerintahan daerah yang ada terdapat pertalian kedua asas pemerintahan. (2) dual model, jika tidak terjadi pertautan sama sekali di setiap jenjang pemerintahan. Masing-masing memiliki strukturnya sendiri-sendiri di daerah. Adapun tugas pembantuan dapat dilaksanakan di kedua model tersebut. (3) split model, dalam jenjang tertentu saja terjadi pertalian, sedangkan yang lainnya tidak. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 adalah split model dengan penekanan desentralisasi karena pada level Kabupaten/ kota hanya desentralisasi (dan tugas pembantuan) saja. Dalam hal penempatan wakil pemerintah apakah menjabat sebagai kepala daerah sekaligus atau tidak, terdapat model: (1) integrated prefectoral dimana wakil pemerintah sekaligus menjabat kepala derah dengan wilayahnya yang berhimpit pula (daerah otonom juga wilayah administratif); atau (2) un-integrated prefectoral, dimana tidak terjadi rangkap jabatan dan rangkap perwilayahan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 adalah integrated prefectoral system yang parsial karena hanya di Propinsi saja terjadi rangkap jabatan dan rangkap perwilayahan. Kabupaten/ Kota tidak terjadi hal yang sama. Dalam hal ini
cxciv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah adalah sesuatu yang sentral di sini baik kepada Pemerintah maupun kepada Bupati/ Walikota. Jika dibangun satu spektrum penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah, maka terdapat paling tidak dua model kutub yang bisa dibangun: (a) Jika gubernur diberi porsi yang besar sebagai Wakil pemerintah di daerah (di wilayahnya); (b) jika sama sekali dicerabut kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, sehingga otomatis bukan lagi split model yang dianut melainkan dual model dan bukan prefektur terintegrasi, melainkan tak terintegrasi murni. Secara yuridis mengarah kepada pilihan pertama di atas. Posisi gubernur dalam konteks UU Nomor 22 tahun 1999 didasari pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Daerah-daerah sebagaimana disebut pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain. Penjelasan ayat (2) tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama lain adalah bahwa Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tetapi dalam praktek
penyelenggaraan
pemerintahan
terdapat
hubungan
koordinasi,
kerjasama,dan atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukannya masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Kepala Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil cxcv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Isi pasal 4 ayat (2) tersebut dalam prakteknya telah diterjemahkan secara parsial dan bukan secara keseluruhan, dimana Pemerintah Kabupaten dan Kota menganggap tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan Daerah Propinsi, sehingga Propinsi tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Padahal sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) tersebut, antara pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Propinsi mempunyai hubungan yang cukup erat terutama dalam kedudukan propinsi sebagai wilayah administrasi, dimana Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat (dalam rangka tugas dekonsentrasi) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa pembinaan
atas
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dilakukan
oleh
Pemerintah dan atau wakil pemerintah di Daerah, sedangkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah dan atau wakil pemerintah di Daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dasar Pemerintah
pelaksanaan pengawasan diatur dalam Pasal 7 Peraturan tersebut,
yaitu
(a)
pemerintah
melakukan
pengawasan
atas
penyelenggaraan pemerintah daerah, dan (b) Pemerintah dapat melimpahkan cxcvi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten dan Kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Gubernur mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
Kabupaten/Kota
sepanjang
telah
dilimpahkan oleh pemerintah (Pusat). Pengawasan tersebut dilakukan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, sebagaimana ditegaskan
dalam peraturan pemerintah Nomor 39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Dalam pasal 3 huruf k dinyatakan bahwa kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada Gubernur adalah pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah
dan Keputusan DPRD serta
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota. Pengawasan represif dilakukan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah, berupa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah (Pasal 8 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2001) Dengan pengawasan represif, maka Perda maupun Keputusan Kepala Daerah tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Namun demikian, Perda ataupun Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dapat menerbitkan keputusan pembatalan (Pasal 10 PP Nomor 20 tahun 2001). Pembatalan Perda dan
Keputusan
Kepala
Daerah
tersebut,
diberitahukan
kepada
Daerah
(Kabupaten/Kota) yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya. cxcvii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Gubernur selaku wakil Pemerintah menerbitkan Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah Kabupaten dan Kota, sesuai kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Apabila Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah terlebih dahulu mengajukan kepada pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Daerah Kabupaten/Kota yang tidak dapat menerima Keputusan Pembatalan oleh Gubernur, dapat mengajukan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah. Dengan demikian, hubungan antara Pemerintah (Pusat) dengan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, merupakan hubungan pengawasan, bukan merupakan hubungan antara bawahan dengan atasan, atau hubungan menyelenggarakan pemerintahan seperti halnya hubungan antara Pemerintah Wilayah dengan Pemerintah Pusat.
(i) Hubungan Vertikal Manakala dalam pelaksanaan otonominya, daerah tidak mampu memberikan pelayanan-pelayanan publik sesuai dengan standar yang ditentukan Pemerintah, maka Gubernur atas nama pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembinaan
dalam
bentuk
fasilitasi
dan
kegiatan-kegiatan
pemberdayaan lainnya sehingga daerah ybs mampu kembali melaksanakan kewenangannya memberikan pelayanan public sesuai standard yang ditentukan pemerintah. Gubernur dalam upaya pemberdayaan tersebut dapat meminta bantuan dari Pemerintah Pusat apabila ybs menganggap perlunya keterlibatan cxcviii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pusat dalam upaya-upaya pemberdayaan kapasitas daerah dalam melaksanakan otonominya. Dari tata hubungan tersebut akan nampak adanya independensi dari Daerah dalam melaksanakan otonominya. Namun pada waktu yang bersamaan akan nampak juga inter-koneksi antar tingkatan pemerintahan manakala daerah memerlukan bantuan tingakatn pemerintahan atasannya dalam menyelenggarakan otonominya. Intervensi hanya dimungkinkan apabila daerah secara nyata-nyata tidak mampu menjalankan otonominya yang dibuktikan dari ketidak-mampuanya memberikan pelayanan publik sesuai standard yang ditetapkan Pemerintah.
(a) Hubungan antara Pemerintah dengan Propinsi menurut prefektoral terintegrasi Parsial Secara umum, penempatan sebagai Wakil Pemerintah hanya di tangan Gubernur dan tidak menurun di tangan para Bupati/ walikota, menjadikan kepentingan Pemerintah Pusat yang tersalur di daerah harus melalui Gubernur apalagi intansi vertikal di luar lima bidang dilebur menjadi Dinas Propinsi. Disamping itu, Gubernur merupakan pengawas kegiatan apapun yang dilakukan badan-badan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah di wilayahnya. Bentuk asli sistem ini bahkan menempatkan Gubernur sebagai Ketua Dewan tingkat Propinsi. Di bawah UU No. 22 Tahun 1999 sistem ini dimodifikasi. Lihat bagan berikut:
cxcix
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Oleh karena itu, kerja aparatur pemerintah Kabupaten/ Kota pun sudah patut diawasi oleh Gubernur. Dinas Propinsi menjadi tangan Gubernur untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sektoral di Kabupaten dan kota. Permasalahan utamanya adalah apakah Gubernur cukup kapabel untuk melakukan tugas tersebut di wilayahnya apalagi dengan wilayah yang cukup luas. Kesulitan dimungkinkan karena rentang kendali kewilayahan, sehingga apakah diperlukan lagi Wakil Pemerintah di atas Bupati/ Walikota di bawah Gubernur yang hanya menjadi perangkat Pemerintah Pusat dengan catatan tidak menciptakan birokratisasi baru di Daerah. cc
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 TAHUN 1999 hal tersebut diatur pada berbagai pasal, yakni: pasal 37 dan pasal 38 sebagai berikut: Pasal 37 (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 38 (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a.pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b.koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c.koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN. (3) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(a) (1) Hubungan antara Presiden dan Gubernur Dalam sistem ini hubungan antara Presiden dan Gubernur adalah cerminan kesatuan. Gubernur adalah Wakil Pemerintah di daerah. Presiden akan berhubungan dengan Gubernur dalam rangka pembinaan kewilayahan (law and order) dan pengawasan. Gubernur menjadi mata Presiden untuk melakukan pengawasan terhadap konsistensi kebijakan Pusat di Daerah baik sektoral maupun secara umum serta mengawasi tingkah laku masyarakat. Perubahan UU
cci
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 terarah pada kuatnya posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah.
(a) (2) Hubungan antara Menteri (Departemen/ LPND) dengan Gubernur
Undang-undang No. 22 tahun 1999 menganut asas bahwa para Menteri (departemen/ LPND) sektoral yang akan melakukan aktivitas pelayanan dan pembangunan ke daerah harus melalui Gubernur. Dalam masa UU No. 5 Tahun 1974 terdapat berbeda sistem tersebut para Menteri (departemen/ LPND) dapat langsung melakukan kegiatannya melalui instansi vertikalnya di daerah dan hanya pemberitahuan saja dari Menteri kepada Gubernur. Pada masa UU No. 22 Tahun 1999 pun dapat saja sekarang melakukan hal yang sama, tetapi tidak logis karena instansi vertikal telah dilebur menjadi Dinas. Oleh karena itu harus melalui Gubernur. Ir. Sujamto sudah lama menyetujui dileburnya kanwil menjadi Dinas hanya dengan catatan bahwa kewenangan yang ditangani oleh departemen yang bersangkutan telah didesentralisasikan secara baik. Namun, UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 menganut dimungkinkannya adanya instansi vertikal di daerah atau dengan kata lain adanya kemungkinan hidupnya kembali instansi vertikal, dengan catatan Gubernur dapat melakukan koordinasi terhadap pekerjaan mereka sebagai wakil Pemerintah. Pada masa UU No. 22 Tahun 1999, dengan dipilihnya Gubernur oleh DPRD,
pertanggungjawaban
Gubernur
juga
meliputi
pertanggungjawaban
pekerjaan Pemerintah yang dilimpahkan kepadanya sebagai wakil Pemerintah ccii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
dengan dilengkapi leburnya instansi vertikal di Propinsi menjadi Dinas Propisni. Persoalannya adalah apakah Gubernur harus mempertanggungjawabkan kepada DPRD Propinsi? Dalam
sistem
prefektoral
yang
murni
tidak
pernah
terjadi
pertanggungjawaban total kerja Wakil pemerintah kepada Dewan Lokal yang ada adalah sebaliknya atau pemberitahuan. Untuk itu modifikasi dalam sistem ini adalah bahwa sepanjang kegiatan dari departemen/ LPND, Gubernur tidak diwajibkan melaporkan kepada DPRD, namun jika menyangkut pekerjaan murni desentralisasi Gubernur tetap harus mempertanggungjawabkannya kepada DPRD. Secara teoritis pula, Menteri (Departemen/ LPND) memiliki karakter hubungan yang konkrit fungsional berupa subordinasi bahwa Gubernur akan meneruskan kepentingan Departemen di Daerahnya untuk dioperasionalkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan di Jakarta. Rincian Peraturan Pemerintah 106, tampak tidak jelas sampai ke arah mana pelaksanaan tugas Dekonsentrasi melalui Gubernur. Sementara itu, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti UU No. 22 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa Pemerintah c.q. Departemen Sektoral yang ada dapat mengembangkan instansi vertikalnya di daerah bahkan sampai Kabupaten/ Kota jika diperlukan tanpa harus dilebur ke dalam dinas sesuai amanat pasal 10 ayat (5) huruf a. dan Pasal 228 ayat (1), (2), dan (3) Revisi UU tersebut. Disamping itu, UU No. 32 Tahun 2004 (pengganti UU No. 22 Tahun 1999) tidak menganut pertanggungjawaban
KDH
kepada
DPRD
melainkan
kepada
Presiden
(pemerintah). cciii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pasal 228 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemeirntahan Daerah (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah. (2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah. (3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata laksana instansi vertikal di daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah.
Oleh karena itu, Para Menteri dapat melakukan kontak langsung dengan instansi vertikalnya atau dengan catatan berkoordinasi dengan Gubernur dari wilayah kerja instansi vertikalnya. Warna hubungan koordinatif antara Para Menteri dengan Gubernur sehubungan adanya instansi vertikal di wialayahnya akan kembali mewarnai Pemeirntahan daerah di Indonesia ke depan sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (pengganti UU No. 22 Tahun 1999). Pemicunya adalah di satu sisi Peran Gubernur menguat, di sisi lain kemungkinan dihidupaknnya kembali instansi vertikal sangat besar.
(a) (3) Hubungan antara Menteri (Departemen/ LPND) dengan Perangkat Daerah Propinsi Secara teoritis, prefektoral terintegrasi yang murni tidak membenarkan adanya lembaga daerah sektoral murni. Oleh karena itu, generasi pertama sistem ini membawa pada hubungan antara Menteri dan Lembaga Sektoral (Dinas) seperti dengan bagiannya saja. Dalam bentuk yang asli, para Menteri (Departemen/ LPND) tidak memiliki hubungan apapun kepada Dinas Daerah (Propinsi) tersebut, melainkan melalui Wakil Pemerintah. cciv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Namun pada saat UU No. 5 Tahun 1974 telah dimodifikasi bahwa para Menteri melalui Instansi vertikalnya di Daerah melakukan hubungan fungsional berupa pembinaan kepada Dinas-dinas Daerah. Bahkan terdapat mal-praktek bahwa Kepala Instansi vertikal di Daerah yang sama menjabat sekaligus sebagai Kepala Dinas. Untuk itu, modifikasi sekarang ini dapat saja Menteri (Departemen/ LPND) melakukan hubungan fungsional pembinaan kepada Dinas-dinas Propinsi, tentu saja sepengetahuan Gubernur. Hubungan seperti ini ke depan akan lebih mewarnai karena menurut Pasal 10 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004 sangat dimungkinkan kembali adanya instansi vertikal di daerah bahkan sampai Kabupaten/ Kota. Dengan demikian, adanya dinas daerah sebagai bagian dari lembaga Pemerintahan daerah yang akan menjalankan otonomi daerah dibarengi oleh adanya instansi vertikal di daerah dari berbagai departemen/ LPND yang akan beroperasi. Idealnya keberadaan instansi vertikal bersifat fasilitasi dan pembinaan. (b) Hubungan antara Pemerintah dengan kabupaten/ Kota (c) (1) Hubungan antara Presiden dan Bupati/ Walikota Walaupun Undang-undang No. 22 Tahun 1999 belum optimal menganut asas penempatan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, tetapi Bupati/ walikota dapat melakukan hubungan fungsional dengan Presiden melalui para Gubernurnya. Dalam praktek, Presiden karena hak prerogatifnya, dapat saja menciptakan hubungan resmi yang langsung dengan para Bupati/ Walikota sebagai Kepala Daerah. Namun, hubungan seperti ini bersifat temporer karena amanat UU No. 22 tahun 1999 yang tidak menempatkan Bupati/ Walikota sebagai Wakil pemerintah. ccv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Hubungan antara Presiden dan Para Bupati/ Walikota, disamping karena hak Prerogatif Presiden, dapat diciptakan melalui mekanisme Tugas Pembantuan. Tugas pembantuan tersebut diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pada Pasal 10 ayat 5 huruf c. Di dalam implementasi Tugas Pembantuan, Daerah harus mengatur dirinya sendiri melalui sebuah produk Perda yang menyatakan akan menerima tugas tersebut seperti diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 136 ayat (2) “Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.” Dari pasal-pasal tersebut Tugas Pembantuan dapat saja diberikan oleh Presiden kepada Daerah sehingga dimungkinkan terjadinya hubungan fungsional antara Presiden dan Bupati/ walikota. Dalam praktek, tugas pembantuan banyak sekali terkait dengan Departemen sektoral atau tugas para Menteri. Oleh karena itu, Tugas pembantuan menyangkut (1) kesiapan daerah menerima tugas tersebut, dan (2) adanya program Pemerintah Pusat baik dari Presiden maupun
dari
Departemen/ LPND. Di sini peran Gubernur menjadi saluran komunikasi pengembangan tugas Pembantuan sangat besar. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeirntahan daerah (pengganti UU No. 22 Tahun 1999), akan diwarnai komunikasi dengan menguatnya peran dan posisi Gubernur baik sebagai Kepala Daerah maupun wakil Pemerintah.
(b) (2) hubungan antara Menteri (departemen/ LPND) dengan Bupati/ Walikota;
ccvi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Baik menurut UU No. 22 Tahun 1999 maupun Revisinya, para Bupati/ Walikota bukanlah wakil Pemerintah. Secara teoritis, hubungan fungsional antara Menteri (departemen/ LPND) dengan Bupati/ walikota tidak lazim. Oleh karena itu, Para Menteri dapat melakukan hubungan fungsional dengan Bupati/ walikota melalui para Gubernurnya sebagai wakil Pemerintah. Demikian pun sebaliknya, kecuali di luar hal-hal formal kepemerintahan. Konstruksi UU No. 32 Tahun 2004 pun mengarahkan sistem ini secara tegas kepada peran Gubernur. Hubungan antara Menteri (Departemen/ LPND) dengan para Bupati/ Walikota dibenarkan, jika dalam rangka tugas pembantuan (Subsisidary). Tugas Pembantuan dari Para Menteri akan diteruskan dengan serangkaian tahapan yang nampak belum baku. Di dalam pasal 136 ayat (2) seperti ditulis di atas, Daerah harus mengeluarkan Perda yang akan menyatakan menerima tugas pembantuan. Adanya tugas pembantuan kepada Kabupaten/ Kota membawa kontak antara Para Menteri dengan para Bupati/ Walikota.
(b) (3) Hubungan antara Menteri (Departemen/ LPND) dengan Perangkat Daerah Kabupaten/ kota.
Secara teoritis, Negara yang menjalankan sistem prefektoral terintegrasi murni, Perancis pada masa Napoleon –generasi I, tidak pernah terdapat instansi milik Daerah murni tanpa merupakan perpanjangan yang pemerintah. Membahas hubungan antara Menteri dengan lembaga sektoral di Daerah sama saja membahas hubungan antara Menteri dengan instansi vertikalnya di Daerah.
ccvii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tidak menganut prefektoral terintegrasi secara murni. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Bupati/ Walikota bukan lagi sebagai Wakil Pemerintah. Oleh karenanya hubungan fungsional instansi milik Daerah di bawah Bupati/ Walikota dengan Departemen/ Menteri hanya bisa dicapai melalui tugas Pembantuan (Subsidiary). Di bawah UU No. 22 Tahun 1999 dirancang dengan mengandalkan sistem subsidiary. Di luar tugas pembantuan harus dilakukan melalui Gubernur sebagai Wakil pemerintah. Perlu menajdi catatan pula bahwa Tugas Pembantuan pun dilakukan melalui Bupati/ Walikota sebagai pimpinan Daerah. Jadi hubungan langsung antara Perangkat Daerah dengan para Menteri di Pusat tidak dimungkinkan.
(c) Hubungan antara Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/ kota © (1) Hubungan antara Gubernur dengan Bupati/ walikota Gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki hak dan wewenang yang cukup menentukan bagi jalannya pemerintahan di wilayahnya. Gubernur adalah garda terdepan dalam menangani permasalahan yang timbul dari dalam negara itu sendiri. Oleh karena itu, Gubernur tentu superior terhadap Bupati/ Walikota, hanya saja pada saat sekarang, era demokrasi membawa dituntutnya pendekatan yang koordinatif bagi seorang Wakil pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sesungguhnya secara rasional-ideal penempatan Gubernur sebagai Wakil pemerintah adalah superior terahdap Bupati/ Walikota, atau sebaliknya Bupati/ Walikota adalah subordinate. Dalam hal ini kepentingan yang dibawa adalah kepentingan Pemerintah Pusat, bukan Gubernur sebagai Kepala daerah Propinsi. ccviii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Gubernur sebagai Kepala Daerah berhubungan secara koordinatif dengan para Bupati/ Walikota. Inilah titik kritis UU No. 22 Tahun 1999, ambivalent. Pada saat yang bersamaan harus bersikap mendua, satu hal yang sangat sulit dilakukan. Hasilnya adalah ketidakefektifan kepemrintahan Gubernur dalam berhubungan dengan Bupati/ Walikota. Sistem prefektur menghendaki subordinasi Gubernur terhadap Bupati/ walikota. Modifikasinya adalah dalam gaya kepemimpinan masing-masing Gubernur, apakah dapat menyesuaikan diri pada saat euphoria politik seperti sekarang? Menurut UU No. 32 Tahun 2004 dapat diwarnai kuatnya kepentingan Gubernu sebagai Kepala Daerah Propinsi untuk mengawasi kelembagaan pemerintahan daerah di wilayahnya disamping sebagai wakil pemerintah karena makin kuatnya kedudukan Gubernur.
© (2) Hubungan antara Perangkat Daerah Propinsi dengan Bupati/ Walikota Hubungan Perangkat Daerah Propinsi dengan Bupati/ Walikota dapat terjadi dalam prefektur terintegrasi jika Bupati/ Walikota pun sebagai Wakil pemerintah. Oleh karena tidak berperan, hubungan fungsional di antara mereka menjadi bersifat fakultatif dalam pemerintahan. Tidak harus dibangun hubungan fungsional.
© (3) Perangkat Daerah Propinsi dengan Perangkat Daerah Kabupaten/ Kota Dinas Propinsi sebagai perangkat Propinsi wilayah kerja Gubernur, memiliki tugas pembinaan sektoral kepada Dinas di Kabupaten/ kota sesuai bentuk asli prefektur terintegrasi. Sujamto meragukan fungsi Pembinaan jika dilakukan secara ccix
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
permanen dalam artian terdapat cabang dinas Propinsi di Kabupaten/ kota. Untuk itu, cukup dilakukan dari Ibukota Propinsi. Dalam prefektoral murni, harus dilakukan melalui Bupati/ Walikota. Problemnya baik Bupati/ Walikota bukan lagi sebagai Wakil pemerintah. Oleh karena itu bisa saja hanya pemberitahuan kepada Bupati/ Walikota.
(ii) Hubungan Horizontal Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pasal 87 butir a, disebutkan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Butir b-nya menyebutkan bahwa Daerah dapat membentuk badan kerjasama antar daerah. Oleh karena itu, sekarang ini menurut pasal tersebut dapat terjadi hubungan fungsional berikut: (1) antar Propinsi berarti adanya hubungan antar Gubernur dan hubungan antar Perangkat Daerah; (2) hubungan antar Kabupaten/ kota yang berarti adanya hubungan antar bupati/ Walikota dan hubungan antar Perangkat Daerah. Untuk meningkatkan efisiensi serta untuk memacu laju pembangunan, beberapa Daerah dapat mengadakan kerjasama. Guna menyelenggarakan kerjasama tersebut dapat dibentuk Badan Kerjasama Antar Daerah dengan suatu keputusan bersama. Disamping itu Daerah juga dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dan pelaksanaanyajuga diatur dengan suatu keputusan bersama. ccx
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Dalam hal kerjasama yang membebani masyarakat dan Daerah, harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Daerah juga dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga/badan di luar negeru dengan prinsip saling menguntungkan yang diatur dengan keputusan bersama. tata cara mengadakan kerjasama dengan lembaga/badan di Luar Negeri lebih lanjut diatur oleh Pemerintah Pusat. Kerjasama dengan luar negeri ini tidak menyangkut kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan daan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan dalam bidang agama. Apabila dalam pelaksanaan kerjasama tersebut terjadi perselisihan antar Daerah, akan diselesaikan oleh Pemerintah Pusat dengan cara musayawarh dan apabila ada pihak-pihak yang merasa belum puas, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan pemyelesaian ke Mahkamah Agung. Dalam UU No. 32 tahun 2004, hubungan horizontal diatur dalam pasal 195, 196, 197, dan 198 Bab IX tentang KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN sebagai berikut:
Pasal 195 (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga.
ccxi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Pasal 196 (1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. (2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. (3) Untuk pengelolaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah membentuk badan kerja sama. (4) Apabila daerah tidak melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh Pemerintah. Pasal 197 Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 dan Pasal 196 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 198 (1) Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud. (2) Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. (3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
Tampak dari UU No. 32 tahun 2004 (pengganti UU No. 22 Tahun 1999), peran Pemerintah Pusat sangat menentukan jika terjadi perselisihan dengan tidak lagi mengkaitkan Mahkamah Agung. Kerjasama antara daerah ini dalam teori pemerintahan dapat dikembangkan kelembagaannya dengan mengacu pada konsep ‘desentralisasi fungsional’. Namun, UU No. 32 tahun 2004 tidak mengakui konsep ini walaupun terdapat ccxii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat berdimensi milik Pusat atau milik daerah yang tidak ditujukan kepada konsep tersebut melainkan kepada ’penciptaan organisasi parastatal/ semi otonom’. Oleh karena itu tampak paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 pun masih bersifat diametral antara Pusat dan daerah. Kerjasama yang ada seolah-olah akan bukan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan tidak perlu dikembangkan secara kelembagaan makro dalam UU pemerintahan daerah melainkan cukup pada level kebijakan masing-masing daerah. Pada masa UU No. 22 Tahun 1999 berlaku melalui pasal 119, terdapat kesimpulan kuat bahwa praktek desentralisasi fungsional terpisah dari praktek pemerintahan daerah. Dimasukkannya otorita sebagai bagian dari kewenangan Kabupaten/ Kota justru menimbulkan suasana konflik yang berkepanjangan. Antara pengembangan otorita, Kawasan Bebas, dan Subak sebagai wujud konkrit dari desentralisasi fungsional di tanah air dengan praktek pemerintahan daerah sebagai wujud desentralisasi (teritorial) berjalan sendiri-sendiri. Pada suasana khusus, jalannya operasi otorita Batam tidak pernah melibatkan pemerintah daerah atau masyarakat setempat. Dikembangkannya kawasan bebas melalui UU belum memberi jaminan dipraktekkannya desentralisasi fungsional dalam administrasi negara RI terarah dan optimal. Perpindahan dari sangat terpusatnya pengaturan otorita pada sebelum UU tersebut berlaku kepada suasana yang sangat desentralistik berdasarkan Pasal 119 UU tersebut membawa kepada suasana yang tidak menuju titik temu antara
ccxiii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Otorita di satu sisi dan Pemerintah Daerah di sisi lain. Suasana inilah yang menyebabkan kekecewaan timbul di sana-sini. Dalam pasal 126 draft 8 September 2003 Rancangan Undang-undang tentang
Perubahan
Atas
Undang-undang
No.
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah diatur perihal desentralisasi fungsional dengan 3 ayat atas perbaikan pasal 119 UU No. 22 Tahun 1999. Ketiga ayat tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fungsional Pemerintah dapat membentuk lembaga fungsional untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu; (2) Penyelenggaraan desentralisasi fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan aspirasi dan budaya masyarakat setempat. (3) Daerah berhak memperoleh kompensasi atas kegiatan yang dilakukan oleh lembaga fungsional tersebut yang akan diatur pada saat pembentukan lembaga fungsional tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dalam UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999, terdapat pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan ’kawasan khusus’ bersandingan
dengan
’daerah
otonom’
bahkan
sebagai
Judul
Bab
II
’PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS’. Adanya judul bab seperti itu, membawa harapan dirincinya secara terpisah masing-masing ’genre’ pemerintahan daerah dan mulai diakuinya desentralisasi fungsional sebagai instrumen walaupun tidak disebut satu katapun dari awal tentang desentralisasi ini sampai akhir bab berbeda dari draft September 2003. Namun, hampir seluruh
ccxiv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
pasal dalam bab tersebut maupun pasal-pasal sesudahnya lebih banyak merinci daerah otonom mulai dari kelembagaanya sampai keuangannya. Kawasan Khusus dirinci dalam pasal 9 dengan 6 ayat. Ayat (1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan Kawasan Khusus dalam wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/ Kota. Ayat (2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan
bebas
ditetapkan
dengan
undang-undang.
Ayat
(3)
Fungsi
pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan Daerah yang bersangkutan. Ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah. Ayat (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Kawasan khusus sendiri didefinisikan dengan tidak memperhatikan kaidah hukum administrasi negara yang membedakan secara tegas antara ’organ’ dan ’fungsi’ dalam sebuah administrasi negara. Definisi tersebut tertuang dalam Bab I Ketentuan umum pasal 1 angka 19: ” Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
yang bersifat khusus bagi
kepentingan nasional.” Bagian wilayah dalam Hukum Administrasi Negara tidak ccxv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
ditujukan dan tidak bisa ditujukan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan karena yang dapat melakukan fungsi demikian adalah ’organ’. Oleh karena itu semestinya ditentukan pula ’organ’ daripada ’kawasan khusus’ yang akan menjalankan fungsi tersebut. Konstruksi tersebut mengandung kelemahan karena tidak diaturnya konsepsi desentralisasi fungsional terlebih dahulu. Pada draft September 2003, walaupun sudah berupaya mempertimbangkan aspirasi dan budaya lokal namun dominasi Pemerintah tampak kuat karena Daerah seakan-akan hanya diberi peluang sebatas mendapatkan kompensasi. Disamping itu lembaga desentralisasi fungsional tampak dari kalimat tersebut menjadi hak dan kewenangan pemerintah setelah berjalan. Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, sangat jelas dominasi Pemerintah Pusat walaupun sudah dinyatakan adanya kemungkinan Daerah mengusulkan pembentukan kawasan khusus. Tampak UU tersebut lebih berupaya mengamokomadasi siapakah pemilik atau penguasa
dari
kawasan
khusus,
sehingga
yang
sudah
ada
sebaiknya
dikembalikan pada fakta sejarah. Oleh karena itu, persoalan sosial-politik akan tetap timbul kelak di kemudian hari pada lembaga-lembaga atau kawasan dimana telah
dikuasai
oleh
Pemerintah
atau
lembaga
(unit)
Pemerintah
Pusat
sebagaimana telah terjadi selama ini dalam masa UU No. 22 tahun 1999. Perubahan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah ini tidak menunjukkan adanya integrasi pemerintahan ccxvi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
daerah dengan praktek desentralisasi fungsional. Justru yang tersirat adalah praktek desentralisasi fungsional bukanlah lembaga otonom yang ditempatkan sejajar dengan pemerintahan daerah. Paradigma yang ada adalah jika tidak diambil alih pengaturannya oleh Pemerintah maka oleh Pemerintah daerah. Nampaknya integrasi yang ada tidaklah menuju pengembangan praktek desentralisasi fungsional yang utuh. Oleh karena itu dapat disimpulkan adanya kecenderungan lembaga-lembaga praktek desentralisasi fungsional di Indonesia akan bervariasi pada tipikal siapa yang berhak mengaturnya yakni antara bertipikal menjadi kewenangan pemerintah pusat dan /atau pemerintah daerah (diametral). Lembaga yang telah lama menjadi wewenang Pemerintah Pusat akan dengan sendirinya dibiarkan beroperasi tanpa melibatkan Daerah, kecuali yang dibentuk baru pada saat ini. Lembaga yang dibentuk atas usulan daerah akan menjadi wewenang Daerah. Persoalan akan tetap timbul di wilayah yang menjadi tempat beroperasinya lembaga desentralisasi fungsional lama milik Pemerintah Pusat. Tingkat resistensi masyarakat lokal terhadap lembaga ini mungkin tidak surut seperti telah terjadi di Batam. Pada lembaga baru milik Pemerintah Pusat, persoalan timbul jika Daerah tidak dilibatkan sampai beroperasinya lembaga tersebut sebab menurut UU hanya pada saat pembentukan melibatkan Daerah. Sementara itu pada lembaga milik Daerah kapabilitas lembaga desentralisasi fungsional seperti ini masih merupakan tanda tanya besar.
ccxvii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Lembaga semacam ini dapat muncul secara wajar dalam kerangka mekanisme penciptaan organisasi parastatal dalam sebuah sistem administrasi negara. Namun, terminologi kawasan khusus atau otorita sangat sulit muncul dalam kaidah organisasi parstatal. Oleh karena itu, jika UU No. 32 Tahun 2004 konsekuen dilaksanakan dan konsisten dengan terminologi tersebut maka akan bergerak sebagai ujud praktek desentralisasi fungsional. Persoalannya apakah pengembangan pasal-pasal kawasan khusus dalam UU tersebut kemudian juga didasari oleh paradigma desentralisasi fungsional yang ada? Kondisi ini akan cukup menyulitkan perkembangan kawasan yang mengalami kemajuan pesat yakni di dalam kawasan perkotaan. Anehnya juga di dalam UU No. 32 Tahun 2004 perihal kawasan perkotaan tidak ditangkap sinyalemen bagi pengembangan kelembagaan yang merupakan bentuk antara untuk mengakomodasi ketidakberdayaan pemerintah daerah, dan ketidak mungkinan pemerintah melakukan operasi pengembangan pelayanan dan pemerintahan. Kawasan perkotaan yang ada seolah-olah juga menjadi domain Pemerintah daerah semata. Kondisi ini menyulitkan bagi daerah dalam mensistematisir
kerangka
hukum
dan
kelembagaan
untuk
secara
cepat
mengantisipasi perkembangan sosial-ekonomi dan politik lokal.
ccxviii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
BAB VI REKOMENDASI
1. Konstruksi Hubungan Kewenangan Antar Pemerintahan harus berpegang kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 2. Distribusi kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah harus mengacu kepada Tata Hubungan Antar Pemerintahan dengan berpegang pada kriteria akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas. 3. Tata Hubungan Hewenangan Antar Pemerintahan di Indonesia berlandaskan kepada model prefektoral terintegrasi parsial dimana Gubernur sebagai Kepala Daerah mengemban tugas sebagai wakil pemerintah di daerah, sedangkan Bupati Walikota semata-mata hanya kepala daerah. 4. Tata Hubungan Hewenangan Antar Pemerintahan yang menempatkan Gubernur sebagai wakil pemerintah ditujukan dalam kerangka pelayanan publik yang berkualitas, handal, dan inovatif. 5. Dalam tata hubungan horizontal perlu dilakukan kajian mendasar akan konsep desentralisasi fungsional khususnya dalam mengantisipasi perkembangan kawasan maju (perkotaan). Kajian ini diperlukan mengingat UU Pemerintahan daerah belum memiliki kejelasan arah dalam menampung konsep ’kawasan khusus’. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai fungsi pemerintahan yang tidak dapat dikembangkan secara lokalitas tetapi sulit pula Pemerintah mengambil alih.
ccxix
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
6. Diperlukan pelembagaan penataan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan antar Daerah dalam sebuah UU yang menyangkut pengaturan beberapa hal mendasar: (a) definisi-definisi dan nilai-nilai yang ingin
dicapai
dalam
pengaturan
tata
hubungan
kewenangan
antar
pemerintahan; (b) dasar kriteria distribusi kewenangan Pemeirntah Pusat dan Pemerintah daerah; (c) operasionalisasi mekanisme model prefektoral terintegrasi parsial pada Propinsi/ Gubernur; (d) penjaminan pelaksanaan penataan hubungan kewenangan antar Pemerintahan yang menyangkut: (i) pihak-pihak berkompeten; (ii) mekanisme penjaminan penataan hubungan; (iii) akses publik dalam penjaminan penataan hubungan; (iv) sanksi-sanksi dan insentif dalam pengembangan penataan hubungan dan (v) mekanisme penerapan sanksi dan insentifnya
ccxx
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Adrian, Charles, R,.State and Local Governments. McGraw-Hill: 1976. USA. Antoft, Kell dan dan Novack, Jack,. Grassroots Democracy: Local Government in The Maritimes. Canadian, Henson College: 1998. Atmosudirdjo, Prajudi,. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia. Cet. X. Jakarta. 1995. _______________,. Dasar-dasar Ilmu Administrasi Publik. Ghali Indonesia. Jakarta: 1997. Ed. 6. Baker, Randall,. The Role of The State and Bureaucracy in Dveloping Countries Since World War II dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comaparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA, Bailey, Harry A,. Jr,. and Shafritz, Jay, M,. State and Local Government and Politics. FE. Peacock Publichers Inc., Itasca Illinois. 1993 Bingham, Richard, D., dan Hedge, David., State and Local Government in A Changing Society, McGraw-Hill, : 1991 Blackman, Tim. Urban Policy in Practice. Routledge. London: 1995. Boeke, JH,. ‘Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda’ dalam Sayogyo (Editor). Bunga Ranpai Perekonomian Desa. Kerjasama Yayasan Obor-IPB. Jakarta/Bogor:1982 Bromley, Daniel, W,. Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Politcy. Basil Bacwell. Oxford. 1989. Bryant, Coralie,. dan White, Lousie, G,. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. Terj. Rusyanto L Simatupang. LP3ES. Jakarta Burns, Danny,. Hambleton, Robin,. Hoggett, Paul,. The Politics of Decentralization: Revitalizaing Local Democracy. London Mac Millan: 1994 Carino, Ledivina, V,. Regime Changes, the Bureaucracy, and the Political Development,. dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comaparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA Chandler dalam ‘Comparative Public Administration, Routledge, (New York: 2000)
ccxxi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis, A,. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication. London: 1983. Cohen, James, M., dan Peterson, Stephen, B., Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries, Kumarian Press, Connecticut: 1999. Creswell, John W,. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. Sage Publication. USA: 1994 Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co., Singapore: 1992 Downs, Anthony,. Inside Bureaucracy. Little, Brown and Co,. Boston. 1967 Etzioni, Amitai,. A Comparative Analysis of Complex Organizations. Revised and Enlarged Edition. Free Press. MacMillan. London: 1975. E. Koswara dalam ‘Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, (Jakarta: 2001) Esman , Milton, J,. CAG and teh Study of Public Administration dalam Frontiers of Development Administration. Edited by Riggs, Fred, W,. North Carolina. Duke University Press: 1970. Farazmand, Ali,. Bureaucracy, Agrarian Reforms, and Regime Enhancement: The Case of Iran., dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comaparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA, Fesler, James W., Area and Administration, Alabama Univ.Press, Alabama: 1949. Frankle, Yoseph,. dalam Teori Kontemporer tentang Tingkah Laku Negara. Bina Aksara. Jakarta: 1988. Frederickson, H, George,. Administrasi Neara Baru. Terj. Al-Ghozei-Usman. Cet IV. LP3ES. Jakarta: 1994. Fried, Robert C., The Major Traits of Prefectoral Systems, Reprinted from ‘The Italian Projects: A Study in Administrtive Politics (New Haven and London: Yale University Press, 1963), pp. 301-314 by Permission Hahn Been Lee ‘Systematization of Knowledge on Public Administration: The Perspective of Development Administration’ dalam “A Dragon’s Progress: Development Administration in Korea”,. Editor Gerald E. Caiden. Kumarian Press. USA: 1991. Henderson, Keith,. Indigenization Versus Internationalization. Dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comaparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA,
ccxxii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Heaphey, John J,. Spatial Aspect of Development Administration, dalam Spatial Dimensions of Development Administration, CAG, Duke University Press, North Carolina: 1971. Heady, Ferrel,.dalam Public Administration: Comparative Perpsective, Ed. IV., Marcel Dekker, New York: 1991,. Henry, Nicholas,. Administrasi Negara Berkembang dan Masalah-masalah Kenegaraan. Rajawaali Press. Terj. Luciana D. Lontoh,. Jakarta:1988 Humes IV, Samuel., Local Governance and National Power, IULA-Harvester Wheatsheaf, New York: 1991. Jreisat, Jamil, E,. The Organizational Perpsctive in Comparative and Development Administration, dalam Farazmand, Ali,. Handbook of Comaparative and Development Public Administration. Marcel Dekker: 1991. USA Kaho, Josef, Riwu,. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI,. Rajawali Press. Jakarta: 1991. Kartasasmita, Ginanjar. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. LP3ES. Jakarta:1997. Kortmann, Constantijn AJM., dan Bovend’Eert, Paul, PT,. Dutch Constitutional Law. Kluwer Law International. The Hague. 2000. Lapolombora, Joseph,. Values and Ideologies in the Administrative Evolution of Western Constitutional System dalam Political and Administrative Development. Duke University Press, Durham. 1969., Leemans, AF., The Changing Patterns of Local Government, Netherlands, IULA: 1970 Maas, Arthur,. Area and Power: A Theory of Local Government. The Free Press Glencoe. Illinois: 1959. Miller, David, Y., The Regional Governing of Metropolitan America, Westview, Colorado: 2002. Montgomery, John D., Source of Bureaucratic Reform: A Typology of Purpose and Politics dalam ‘Political and Administrative development’. Editor Ralph Braibanti. Due University Press. 1969 Muslim, Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, (Bandung: 1978). Niessen, Nicole., Muncipal Government in Indonesia, CNSW, Leiden (1999) Peter, Guy, B,. The Future of Governing. University Press of Kansas. Ed.II. 2001.
ccxxiii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Pierre, Jon,. Bureaucracy in the Modern State: An Introduction to Comparative Public Administration. Edward Elgar. 1994 Riggs, Fred. W., The structures of government and administrative reform dalam Political and Administrative development. Editor Ralph Braibanti. Due University Press. 1969 Sarwoto. Administrasi Pemerintahan Perancis. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1981. Shahab, Halim,. Peranan Kawasan Industri dalam Pembangunan Nasional: Masalah Pengadaan Tanah dan Alternatif Pemecahannya, dalam Kebijakan Tata Ruang Nasional dan Aspek Pertanahan dalam Perpsektif Pertumbuhan dan Pemerataan. Nazarudin, Nazwar,. Dan Darto, Mariman, (Editor). CIDES. Jakarta: 1996 Syafrudin, Ateng,. Pasang Surut Otonomi Daerah. Bina Cipta. Bandung: 1985. Stoker, Gerry., The Politics of Local Government, Ed. II., MacMillan, London: 1991. So, Alvin dan Suwarsono dalam Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarta: 1991. cet I., Stoker, Gery,. The Politics of Local Government. Mac Millan. London. Ed. II. 1991 Tjokroamidjojo, Bintoro,. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES. Jakarta: 1994. Cet. XVI. Thomas, Clayton, John,. Public Participation in Public Decision: New Skill and Strategies for Public Managers. Josey bass Inc,. California: 1995 Turner, Mark,. Dan Hulme, David,. Governance, Administration and Development: Making the State Work. Mac Millan. London: 1997. United Nations, Development Administration: Current Approaches and Trends in Public Administration for National Development.. Department of Economic and Social Affairs. 1975. Weidner, Edward W,. ‘The Element of Development Administration’ dalam ‘Development Administration in Asia’ Editor Weidner, Edward W,. CAG-ASPA. Duke Univeristy Press. 1970. Wolhoff, GJ,. dalam bukunya ‘Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Cet. II Timun Emas. Jakarta: 1960.
ccxxiv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Referensi Lain: Armin,. Hubungan Pusat Daerah: Konflik di Bidang Keuangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Provinsi Kalimantan Timur (2001-2002). Disertasi FISIP-UI. 2003 Asian Development Bank. Reevaluation of The Bali Irrigation Sector Project in Indonesia. Desember. 1997. Axel Tschentscher,. The Basic Law (Grundgezets). Last updated 18 July 2003. Article 28. Bode, Harro,. River Basin Management, Legal background, Quality Monitoring, Purification Techniques and costs. VI Jornadas del CONAPHI- Chile: 2002. Budisetyowati, Dwi Andayani,. Keberadaan Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disertasi-FH-UI. 2004. Conyers, Diana., Decentralization and Development: A Framework for Analysis, tidak diketahui Tahun Penerbit dan Terbitannya. Federal Ministery for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety, Federal Republic of Germany. German Country Profile. World Water Council. 2003. Hart, David, K,. Theories of Government Related to decentralization and Citizen Participation. Dalam Public Administration review. January/February: 1976. Hoessein, Bhenyamin., Kedudukan dan Peran DPRD dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi dengan tema “Menelaah Kinerja DPRD Kabupaten di Era Desentralisasi: Tinjauan Kritis Terhadap Proses Revisi UU Otoda” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Jakarta. Tanggal 28 Maret 2002 (a). ____________ Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta: 1993. hal 56-85 (b) ____________,. Birokrasi dan Pembangunan. Makalah.Tanpa Tahun. Hoessein, Bhenyamin.et al, dalam Laporan Penelitian Kajian Tata Hubungan Kewenangan antara Pemeirntah dan Pemerintah Daerah, Kerjasama antara PKPADK-FISIP-UI dengan Kantor Menpan (2003) INPIM-FAO papers,. WUA Legislation Country Profiles: Netherlands. International e-mail conference on irrigation management transfer. January. 2003. Mizany, Kimia and Manatt, April,. What’s So Special About Special District? Ed. III. A citizen’s Guide to Special District in California. February. 2002
ccxxv
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Mostert, Erik,. Kamps, Dille,. And Ensrink, Bert,. Public Participation in River Basin Management in the Netherlands. RBA-Centre, Delf Univerity of Technology. 2003. Neff, J., dan Dwivendi, OP,. Development Theory and Administration: A Fence Around an Empty Lot. dalam Development Theory and Administration. 1982. Rondinelli, Dennis, A., Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response, dalam Development and Change (Vol. 21, 1990). Rondinelli, Dennis A., Nellis, John R., Cheema, G. Shabir., Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience, Washington DC., Worldbank Staff Working papers: 1983 Schnur, Roman, Area and Administration, International Social Science Journal, (Vol. XXI/ No. 1/ 1969). Shah,
Anwar,.”Balance, Accountability, and decentralization. Worldbank Report: 1997
Responsiveness:
Lesson
about
Situmorang, Sodjuangon,. Model Pembagian Urusan Pemeirntahan Antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi FISIP-UI Jakarta: 2002 Suarja, IG,. Dan Thijssen, Rik,. Dalam ‘Traditional Water Management in Bali. LEISA MAGAZINE, September 2003 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud-RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) . Jakarta. Balai Pustaka. Cet. 1995. UNDP., Decentralization: A Sampling of Definitions, Working Paper, Oktober: 1999 Vermillion, Douglas, L,. Management Devolution and the Sustainability of Irrigation: Results of Comprehensive versus Partial Strategies. FAO-Worldbank-technical Consultation: 1997 Wayan (2002),. Kelestarian Sumber Daya Air di Bali Terancam. dalam Pembaharuan Daily. Com
ccxxvi
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
Para Penulis Hal iii
Para Penulis Bhenyamin Hoessein. Lahir di Tegal Jawa Tengah pada 10 Agustus 1939. Guru Besar Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI). Sekarang menjabat Ketua Senat Guru Besar FISIP-UI dan Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi. Disamping itu, kesibukan yang banyak menyita waktunya sejak 1996 adalah sebagai Direktur Pusat Kajian Pembangunan Administrasi daerah dan Kota (PKPADK) FISIP-UI. Meraih gelar Doktor Ilmu Administrasi pada 1993 di FISIP-UI. Berbagai seminar Nasional dan internasional telah diikuti baik sebagai pembicara maupun peserta terutama bidang Pemerintahan Daerah. Dikukuhkan sebagai Guru Besar FISIP-UI bidang ilmu Administrasi pada 1995. Menjadi salah satu anggota perumus UU No. 22 tahun 1999 dan tim ahli pada sebagian dari proses penyusunan UU No. 32 tahun 2004. Irfan Ridwan Maksum. Lahir di Tegal Jawa Tengah 14 Maret 1972. Staf pengajar pada Departemen Ilmu Administrasi di Program Sarjana dan Program Pascasarjana. Sehari-hari juga berperan sebagai peneliti PKPADK FISIP-UI. Meniti karirnya dengan membantu Profesor Bhenyamin Hoessein dalam berbagai mata kuliah dan kegiatan risetnya. Kini menjabat Sekretaris Program Sarjana Reguler Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. Menyelesaikan S1 dan S2 nya pada tahun 1995 dan 2000 di Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI dengan skripsi berjudul ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perluasan Wilayah Kota dan Efektifitasnya (Studi di Kota Tegal)” dan Tesisnya berjudul ”Catchment Area: Studi Penataan Organisai dan Batas Daerah di Kota Depok”. Kini sedang menempuh jenjang S3 pada departemen yang sama dengan Judul rencana Disertasinya adalah ”Praktek Desentralisasi Fungsional di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Administrasi Pembangunan terhadap Otorita Batam, Kawasan Bebas Sabang dan Subak di Bali)”. Mohammad Riduansyah. Lahir di Barabai Kalimantan Selatan 13 Desember 1957. Menempuh S1 dan S2 di Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI. Tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil di FISIPUI dan aktif mengajar pada jenjang Diploma, S1 dan S2 di Departemen Ilmu Administrasi serta aktif melakukan penelitian pada berbagai bidang seperti organisasi, keuangan, dan lain-lain yang berkaitan dengan Pemeirntah Daerah dan Kota. Sekarang menjabat sebagai Pelaksana Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi, Program Pascsarjana Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.
Puji Nur Hanafi. Lahir di Wonosobo Jawa Tengah 14 Maret 1972. beralamat di Jl. Pengadegan Barat III No. 8 Pancoran Jakarta Selatan. Aktif sebagai peneliti sejak 1995. Pernah berperan sebagai manajer pelatihan1997-1998,s ebagai sekretaris eksekutif pada Center for Social and Development Studies di bandung 2000-2001, sekretaris eksekutif pada Indonesian Public Policy Society JanuariMei 2001, Research Associate Pasific Rekan Prima Management Service Juni 2001-sekarang, Divisi Riset dan Konsultansi pada Inline Management Consulting Group. Gelar S1 diraih dari Ilmu Administrasi Negara FISIP UNPAS Bandung pada tahun 1997, dan S2 dari Program Magister Ilmu Administrasi Program Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Bisnis FISIP-UI pada tahun 2000.
ccxxvii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
ccxxviii
Penyusunan Naskah Akademik RUU Tata Hubungan dan Pembagian Kewenangan
ccxxix