7
BAPPENAS
BAGIAN PROYEK PEMBINAAN PEMBANGTJNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA
KAJIAN PERENCANAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN MELALUI PENINGKATAN KELEMBAGAAN NELAYAN DAN MASYARAKAT PESISIR
LAPORAN AKHIR (Frr,lAL REPORT) 7/ {7/,<.2
DOKUMENTASI
s
&
ARSIP
BAPPENAS tr././
fcc. No. , 4{.:.9/...:...?,
Ctrqr :
....../.(5.*J-........
Chcchd,'.?i.'.,t'f.."'..?";';
LEMBAGA PENELITIAN, UNTVERSITAS INDONESIA PUSAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN BTJDAYA KAMPUS ITNTVERSITAS II\DONESIA, DEPOK 16424
200L
KATA PENGAIITAR
Laporan Akhir *Studi Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya pesisir dan
Laut Melalui Peningkatan Kelembagaan Nelayan" ini merupakan hasil
studi
berdasarkan pengamatan lapangan dan studi literature yang telah dilakukan, ditujukan
untuk membantu dalam pengambilan kebijakan untuk pengembangan institusi pada masyarakat pesisir dalam melakukan perencanarm pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
Dengan selesainya laporan akhir studi ini, perkenankanlah kami dan staf pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya Bappenas yang telatr memberikan kepercayaan dan kerjasama yang baik, sehingga tersusunnya laporan akhir ini.
Jakarta, Oktober 2001 Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Budaya, LP-UI
Ttd Dr. Anggadewi Moesono
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR Daftar Isi Daftar Gambar
lll
I
I
U
PENDAHULUAN
l.l
Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan
4
1.3 Metodologi dan Ruang Lingkup Studi 1.4 Metode Penulisan
5
2.1 Definisi Pesisir
2.2Percncannn Sumber Daya Alam Wilayah pesisir 2.3 Unsur-unsur Perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu 2.4 Mekanisme Penyusunan Renstra pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
IV
PEMBAI\TGIJNAN KELEMBAGAAN/INSTITUSI DAI\I ORGANISASI 3.1 Konsep Pembangunan Kelembagaan dan Organisasi 3.2 Sistem Kelembagaan pada Masyarakat Nelayan 3.3 Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Alam/pesisir di Amerika Serikat dan Jepang A. Kelembagaan pengelolaan Sumberdaya Alam di Amerika Serikat B. Kelembagaan pengelolaan Sumberdaya Alam di Jepang
MODEL PEMBAI\TGUNAN KELEMBAGAJN\I DAI\ ORGAI\ISASI PENGELOLAAI{ SUMBERDAYA PESISIR DAI\T KELAUTAIY 4.I Model Pengembangan Kelembag andan organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan 4.2 Model Pengembangan Kelembagaan dan Organisasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pesisir (pEMp) 4.3 Model Pengembangan Kelemb agaandan Organisasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat di Sulawesi Selatan
V
5
PERENCANAAN PENGELOLAAI\ SUMBERDAYA
KELAUTAN
III
I
7 7 9
l0
ll l6 l6 22
24 24 32
34 34 37
4l
KESIMPULAIY 5.1 Kesimpulan
5.2 Saran-saran
45 46
DAIITAIT PUSTAKA
48
DAFTAR GAMBAR 2.1 3.1
4.1
Kerangka kerj a perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu Kerangka Pembangunan Kelembagaan Stnrktur Kelembagaan PEMP 2001
ll l9 38
lll
BAB I PENDAHULUAI\
1.1
Latar Belakang Mulai berubahnya orientasi pembangunan yang bergeser dari wilayah daratan
ke
lautan karena keterbatasan lahan yang tersedia, menyebabkan
kompleksnya aktivitas
di
semakin
pesisir. Dengan demikian para pengambil keputusan
dihadapkan pada permasalahan yang semakin kompleks pula.
Wilayah pesisir (Coastal Zone) memiliki karakteristik yang dinamis sebagai pertemuan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Berbagai aktivitas manusia
tumbuh berkembang
di
wilayah pesisir memanfaatkan semua sumberdaya yang
tersedia.
Peningkatan kegiatan ekonomi dan tekanan penduduk yang tinggi di wilayah
pesisir menyebabkan adanya tuntutan pemanfaatan sumberdaya alam yang terus meningkat dari waktu
ke waktu. Kondisi ini memicu te{adinya pengelolaan
sumberdaya pesisir secara ekshaktif dan eksploitif sehingga pada gilirannya keseimbangan lingkungan akan dapat terganggu. sumberdaya
di wilayah pesisir perlu
oleh sebab itu
pemanfaatan
mempertimbangkan kemampuan daya dukung
wilayah setempat. Daya dukung tersebut tidak hanya terdiri dari aspek fisik saja tetapi juga meliputi aspek non fisik. Di antara aspek non fisik tersebut adalah kelembagaan/
institusi (organisasi dan tata laksana) yang ditengarai dapat membangkitkan energi
sosial melalui pemberdayaan kelompok guna memelihara dan memanfaatkan sumberdaya pesisir pada suatu wilayah tertentu.
Peningkatan kemampuan kelembagaan nelayan/petani tambak dan masyarakat
pesisir
dapat dipandang sebagai
salah satu cara yang dapat ditempuh guna
memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat di
wilayah pesisir. Karena itu upaya ke arah peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan dan masyarakat pesisir perlu untuk dilakukan dalam rangka perencanaan pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pembentukan dan penguatan
institusi baik untuk institusi baru maupun yang lama dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kepedulian nelayan di bidang konservasi, khususnya pelestarian
lingkungan laut. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan menambah pendapatan masyarakat nelayan khususnya dan secara tidak langsung akan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pengembangan kapasitas
dan kelembagaan pada masyarakat pesisir
dan
kelautan perlu segera dilaksanakan dalam rangka peningkatan kinerja pengelolaan bidang kelautan dan perikanan untuk kemakmuran ralcyat sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, khususnya sejalan dengan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor
25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Selain untuk pembangunan di daerah, pengembangan kapasitas dan
kelembagaan pada masyarakat pesisir diharapkan dapat mendorong upaya
peningkatan daya saing
global
serta berpacu dengan negara-negara tetangga yang
sekarang ini telah menunjukkkan kinerja yang sangat tinggi.
Masyarakat pesisir perlu berusaha secara sungguh-sungguh mempersiapkan
diri dan meningkatkan kemampuannya
dalam rangka pelaksanaan kewenangan
pemerintahan, termasuk bidang kelautan dan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam peraturan yang berlaku.
Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu pengertian batas wilayah pesisir. Batas wilayah laut secara hukum ditetapkan berdasarkan garis pantai pada waktu air
surut terendah (pasal 3
jo
pasal 10 ayat (3) Undang-undang No. 22 Tahun 1999).
Dalam praktek di lapangan dan pemetaan, garis pantai dapat diterjemahkan menjadi garis-garis lurus yang menghubungkan dua titik yang jaraknya tidak melampaui 12
mil. Dalam pengukuran dan penetapan batas wilayah laut perlu ditetapkan terlebih dahulu titik-titik acuan di darat. Sehingga dengan berbagai tipe pantai seperti pantai cekung dan mulut sungai yang lebarnya tidak melebihi 12
mil dapat ditutup dengan
garis lurus. Demikian pula bagi pantai cembung tanpa pulau di depannya, penetapan dan pengukurannya dapat mengikuti kecenderungan garis pantai dan pada pantai yang
berlekuk-lekuk dapat ditarik garis lurus sepanjang tidak lebih dari 12 mil. Salah satu bentuk kegiatan dalam rangka pengembangan ekonomi berbasis kelautan adalah pengembangan kapasitas SDM termasuk nelayan dan peningkatan kapasitas dan sistem pembinaan penyuluh perikanan, serta pbngembangan usaha skala besar
milik masyarakat kecil. Peningkatan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan
dan pelatihan. Selain itu perlu dikembangkan pula hubungan kerjasama lembaga-lembaga yang mempunyai jaringan informasi yang luas baik maupun di luar negeri.
antar
di dalam
Unsur penting lainnya dalam perencanaan pengelolaan sumber daya kelautan
adalah pengembangan pengawasan masyarakat (WASMAS) atau pemantauan, pengendalian, pengamatan lapangan dan evaluasi/monitoring, conholling and surveillance (MCS)
di wilayah pesisir oleh masyarakat
pesisir untuk melakukan
pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya alam atau kegiatan usaha yang menetap/tidak bergerak. Secara umum perlu dikenali permasalahan yang ada pada masyarakat pesisir sebagai berikut:
l.
Bio fisik dan lingkungan pesisir
(kerusakan terumbu karang; konversi hutan
mangrove; sedimentasi dan abrasi pantai; pencemaran rumah tangga, industri, tumpahan minyak, dan pertanian; banjr).
2.
Sosial, ekonomi dan budaya (konflik antar berbagai sector, konflik antar nelayan
kecuil dan industri, konflik antara konservasi dan eksploitasi).
3.
Hukum dan kelembagaan (open access dan common property, konflik antara UU dan hukum adat, pelaksanaan peraturan yang tidak konsisten).
1.2
Maksud dan Tujuan Tujuan umum disusunnya studi dan kajian ini adalah agar terjadi penguatan
kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir. Ditingkat yang lebih
rendal/desa bertujuan untuk mencari contoh atau metode yang terbaik dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir berbasis masyarakat melalui metode pembangunan dan penerapan strategi-strategi, kegiatan-kegiatan, peraturan dan perencanaan
lokal yang dapat meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup
masyarakat pesisir, serta kualitas kondisi sumber daya pesisir dimana tempat bergantungnya kehidupan mereka.
Tujuan khusus dari penyusunan studi
ini
adalah untuk membantu para
pengambil kebijakan dalam memanfaatkan penguatan kelembagaan di wilayah pesisir secara lebih efektif. Dengan perencanaan pengelolaan sumber daya kelautan melalui penguatan kelembagaan masyarakat pesisir
ini dapat dikaji model kelayakan ekologis
dan ekonomis pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir dan lautan sebagai
masukan bagi kebijakan (policy) dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Selanjutnya dengan terwujudnya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
maka setiap kebijakan yang diambil memiliki justifikasi yang kuat dan efisien. Dengan demikian, tujuan pembangunan yang berkelanjutan
di wilayah pesisir dapat
tercapai.
1.3
Metodologi dan Ruang Lingkup Studi Metodologi yang digunakan dalam perencanaan pengelolaan sumber daya
kelautan melalui peningkatan kelembagaan nelayan dan masyarakat pesisir adalah
metode kualitatif, deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui pengumpulan data sekunder dan primer dari berbagai sumber.
1.4
Metode penulisan
Studi Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan melalui Peningkatan Kelembagaan Nelayan dan Masyarakat Pesisir ini akan diuraikan ke dalam empat bab,
yang strukturnya dibuat sedekat mungkin dengan arah dan tujuan studi ini. Secara ringkas susunannya dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan - menjabarkan latar belakang dan tinjauan yang melandasi
diperlukannya studi ini, arah dan tujuan, metodologi dan ruang lingkup pembahasan, sumber data serta struktur dan sistimatika studi.
Bab
II Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya
Kelautan
- menguraikan
kondisi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Bab III Pembangunan Kelembagaan dan Organisasi - menguraikan tentang konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam pembangunan kelembagaan dan organisasi.
Bab
IV Model
Pembangunan Kelembagan dan Organisasi Pengelolaan
sumberdaya pesisir dan kelautan dikembangkan
di
-
berisi contoh-contoh model yang
telah
masyarakat oleh berbagai stakeholders yang perduli dengan
sumberdaya pesisir dan kelautan.
Bab V Kesimpulan - berisi hasil yang bisa disimpulkan setelah melakukan evaluasi dan perbandingan terhadap hasil-hasil yang diuraikan dalam tiga bab sebelumnya. Bab
ini
diharapkan dapat memberikan gambaran dan saran tentang
berbagai cara untuk meningkatkan kelembagaan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan perencanaan sumber daya kelautan.
BAB
II
PERENCANAAN PENGELOLAAI\ SUMBERDAYA KELAUTAN
2.1
Dcfinisi Pesisir
Definisi wilayah pesisir yaitu daerah peralirahan (interface area) ekosistem darat dan laut. Karena
itu wilayah pesisir (Coastal Zone)
antara
memiliki
karakteristik yang dinamis sebagai pertemuan antara ekosistem laut dan dan ekosistem darat. Dengan batas terdiri atas ke arah: a) darat, dan b) laut dan masing-masing dibagi dalam tiga kategori yaitu :
l) ekologis,2) administratit, dan 3) perencanaan.
a. Batas ke arah darat:
l.
Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses -proses laut seperti pasang surut, intrusi air laut, dan percikan air gelombang.
2. Administratif, batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbitrer (2
km,20 km, dst dari garis pantai)
3. Pcrencanaan: bergantung pada permasalahan yang menjadi fokus pengclolaan wilayah pesisir seperti;
r
Pencemaran dan sedimentasi: suatu kawasan darat dimana pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan disini berdampak pada kawasan pesisir.
r
Hutan mangrove: batas terluar sebelah hulu kawasan hutan mangrove.
b. Batas ke arah darat:
l.
Ekologis: kawasan perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses -proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan sperti aliran air sungai, limpasan air
permukaan, sedimen dan bahan-bahan pencemar. seperti pasang surut, intrusi
air laut, dan percikan air gelombang.
2.
Administratif: 4 mil, l2 mil, dst dari garis pantai.
3.
Pcrcncanaan: bcrgantung pada permasalahan (kawasan yang masih dipcngaruhi
oleh dampak pencemaran dan sedimentasi atau proses proses ekologis).
Karakteristik wilayah pesisir yaitu:
l.
Terdapat keterkaitan ekologis yang erat antara wilayah pesisir dengan daratan dan lautan.
2.
Memiliki produktivitas hayati yang tinggi.
3.
Terdapat lebih dari satu sumber daya alam (sDA) dan jasa lingkungan di wilayah pesisir.
4.
Terdapat lebih dari dua kelompok masyarakat dengan preferensiyang berbeda.
5.
Terdapat lebih dari satu jenis pemanfaatan sumber daya pesisir. Pemanfaatan secara "single use" lebih rentan dari
"multi use" baik secara ekologis maupun
ekonomis.
6.
Sumberdaya wilayah pesisir merupakan sumberdaya
milik bersama (common
property).
7.
Merupakan tempat penampungan akhir limbah baik dari lahan atas maupun laut Iepas.
2.2
Perencanaan sumber daya alam wilayah pesisir
Untuk kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir sesuai dengan tujuan pembangunan nasional maka diterapkan kebijakan dan strategi
pcmbangunan wilayah pesisir dan laut yang mantap dan berkesinambungan. Usaha menjaga kesinambungan dan keseimbangan pembangunan wilayah pesisir dan laut memerlukan upaya partisipasi aktif masyarakat dengan cara memelihara kemampuan
lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan
oleh suatu kegiatan sehingga mampu mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berbasis masyarakat dilaksanakan
secara swadaya dan partisipasi
kerjasama
aktif dari, oleh dan untuk masyarakat
aktif antara lembaga pemerintah dan swasta yang
dengan
menjamin
kesinambungan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir di desa. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (PPWPT) merupakan dasar
bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai perencanaan pesisir yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta perencanaan pembangunan
daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial budaya dan biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah yang berbeda. Daerah akan memiliki PPWTP yang berbeda karena penentuan prioritas kebijakan, ruang lingkup dan tingkat rincian yang disusun berbeda tetapi menggunakan pendekatan dan unsur-unsur PPWPT yang sama.
2.3
Unsur-unsur perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu Unsur-unsur utama kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
terpadu
di
daerah terdiri dari perencanaan strategis, rencana zonasi, rencana
pcngelolaan dan rencana aksi. Kerangka kerja PPWPT dapat digambarkan sebagai
piramida hirarki yang terdiri dari empat unsur utama dengan masing-masing unsur mempunyai peran khusus yaitu:
l.
Perencanaan strategis PPWPT (stategic plan) yang berperan dalam menentukan
visi dan misi serta tujuan dan sasaran pengelolaan sumberdaya pesisir.
2.
Rencana tata ruang (zoning) yang berperan dalam pengalokasian ruang, memilah
kegiatan yang sinergis dengan yang tidak kompatibel dan pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan tata cara yang diijinkan.
3.
Rencana pengelolaan (management
plan) yang berperan
untukmenuntun
pengelolaan wilayah prioritas maupun pemanfaatan sumberdaya
sesuai
karakteristiknya.
4. Rencana aksi (action plan) yang berperan
dalam menuntun penetapan dan
pelaksanaan proyek sebagai upaya dalam mewujudkan rencana pengelolaan.
Perencanaan Strategis PPWPT merupakan fondasi untuk mengintegrasikan pelaksanaan rencana pengelolaan dari s-etiap sektor dunia usaha, pemerintah daerah dan masyarakat.
t0
Rencana Aksi Rencana Pengelolaan Rencana Zonasi Rencana Strategi Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Gambar
2.1
Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu
Dari gambar diatas maka hubungan antar unsur pengelolaan pesisir terpadu tersebut berbentuk hierarki piramida yaitu unsur yang di bawah merupakan landasan
bagi unsur yang
di
atas. Perpaduan unsur tersebut merupakan dasar yang
komprehensif untuk alokasi, pengendalian, dan pemanfaatan sumberdaya pesisir daerah. Dalam pengelolaan wilayah pesisir, suatu rencana aksi menuntun kegiatan
sehari-hari para staf pelaksana dan disusun dengan mengacu pada rencana pengelolaan. Rencana pengelolaan disusun berdasarkan rencana zonasi dan penetapan zona yang prioritas untuk dibangun dirumuskan berdasarkan kebijakan perencanaan shategis.
2-4
Mekanisme Penyusunan Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Rencana PPWPT merupakan dokumen dasar, dimana semua rencana zonasi,
pengelolaan dan aksi disusun menjadi tunrnannya (sub-ordinate) yang berisi visi,
tujuan dan basaran yang menjadi arahan bagi ketiga tingkat perencanaan tersebut. Keberhasilan suatu rencana aksi tergantung pada sejauh mana kedua lapisan rencana
lt
sebelumnya dapat mencapai sasaran, tujuan dan visi yang dituangkan dalam dokumen renstra. Renstra PPWPT merupakan salah satu komponen dari perencanan wilayah pesisir terpadu yaitu hubungan keterkaitan antra renstra dengan GBHN, Propenas dan Propeda. Peran rensha PPWPT daerah adalah sebagai berikut;
l. Untuk
memfasilitasi pemerintah daerah dalanr mencapai tujuan-tujuan
pembangunan wilayah pesisir propinsi, kabupaten/kota dan nasional yang relevan, sebagaimana tercantum dalam Peopeda dan Propenas.
2. Untuk menyusun visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah disepakati bersama dari segenap stakeholders
di
daerah, dan memberikan landasan yang konsisten bagi
pen)rusunan rencana tata ruang pesisir, rencana pengelolaan, dan rencana aksi di suatu daerah.
3. Untuk mengidentifikasi tujuan, sasaran dan indikator kinerja sehingga bisa diukur tingkat keberhasilan pengelolaan pesisir dalam mencapai out put dan out come. Penyusunan renstra PPWPT dan perumusan visi akan lebih efektif bila ditulis dengan bahasa yang jelas, lugas dan dilakukan dengan menampung berbagai aspirasi
pihak terkait mulai dari wilayah pesisir di daratan sampai di perairan pesisir. Pihak
terkait tersebut diberi kebebasan dan demokrasi untuk mengungkapkan berbagai aspirasi, asran, dan rencana serta pengalaman empirik yang ada di benak mereka bagaimana seharusnya mengelola wilayah pesisir tersebut. Masyarakat pesisir yang
tinggal secara turun temurun mempunyai pengalam empirik mengenai kejadian dan perubahan ekosistem pesisir yang tidak terdata. Pengalaman empirik tersebut merupakan data
dan informasi yang sangat berharga dalam
menyususuatu
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Banyak cara dalam menampung
t2
aspirasi, rencana dan pengalaman empirik tersebut, antara lain dengan
cara
brainstorming, focus group discussion dan public meeting dengan stakeholders.
Mcngingat renstra adalah merupakan harapan berbagai pihak terkait darr masyarakat tentang asa depan kelestarian sumberdaya pesisir, maka harapan tersebut perlu dijabarkan secara lebih rinci dalam bentuk visi, maksud dan tujuan serta sasaran dari PPWPT. Semua tujuan
ini
harus sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional dan
daerah, khususnya yang berkaitan pemanfaatan sumberdaya pesisir,
guna
mewujudkan vsisi yang telah disepakati bersama oleh segenap stakeholders. Tujuan juga merupakan landasan untuk merumuskan shategi secara terarah dan spesifik, serta
kegiatan guna mewujudkan hasil-hasil yang diinginkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Tujuan tersebut dikelompokkan menjadi empat kategori:
l.
Secara ekonomi, pembangunan wilayah terpadu mampu memberikan keuntungan
bagi seluruh pelaku ekonomi dan pertumbuhan ekonomi.
2.
Secara sosial, memberikan jaminan akses bagi masyarakat pesisir untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan meningkatkan kesejahteraannya terutama meningkatkan pendapatan masyarakat miskin.
3.
Secara ekologis, terpeliharanya kelestarian sumberdaya dan daya dukung lingkungannya.
4.
secara politik, mampu menciptakan
iklim yang kondusif bagi
pengelolaan
sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan bagi penguatan kesatuan dan persatuan bangsa dalam kerangka kesatuan dan persatuan nasional.
l3
Untuk setiap tujuan di atas ditetapkan sejumlah sasaran agar tercapai tujuan
dimaksud. Sasaran adalah suatu pernyataan yang spesifik tentang bagaimana mcncapai tujuan yang diinginkan bersama. Sasaran juga mencerminkan hasil yang diharapkan melalui strategi yang dikembangkan agar tujuan tercapai.
Untuk setiap sasaran, sejumlah strategi harus disusun agar sasaran tercapai. Dengan perkataan lain shategi adalah suatu pendekatan spesifik untukmencapai sasaran yang telah ditetapkan. Jadi peran suatu dokumen renstra pengelolaan pesisir
adalah memberikan suatu kerangka atau kebijakan dalam penyusunan jenis-jenis
kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para pengelola untuk mencapai
atau
mewujudkan sasaran, fujuan dan visi pesisir. Peran renstra bukan unfuk menuntun para pengelola di dalam menyusun jenis-jenis kegiatan secara rinci akan tetapi renstra
berperan mengarahkan para pengelola apa yang seharusnya dicapai melalui penyusunan dan pelaksanaan sejumlah kegiatan pengelolaan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
terpadu
dilakukan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosisalekonomi-budaya dan aspirasi pengguna sumberdaya pesisir dan koflik kepentingan yang sudah ada dengan cara:
1. keterpaduanwilayah/ekologis,
2.
keterpaduan sektor
3.
keterpaduan disiplin ilmu
4.
keterpaduan stakeholder
5.
keterpaduan internasional
t4
Dalam tahap akhir perencanaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut dilaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi sangat penting unfuk memantau sejauh mana konsistensi antara perencanaan dan pelaksanaan. Dalam perencanaan tersebut ditentukan indikator kinerja pengelolaan wilayah pesisir sebagai
benchmark Berdasarkan indikator tersebut, lembaga atau dinas teknis melakukan monitoring dan evaluasi
l5
BAB
III
PEMBAI\GUNAIY KELEMBAGAAN/ INSTITUSI DAIY ORGANISAS I
3.1
Konsep Pembangunan Kelembagaan dan Organisasi
Di dalam literatur pembangunan (development) pengertian kata kelembagaan (institusi) dapat diartikan sebagai:
l.
Organisasi yang khusuVspesifik pada suatu negara seperti Departemen Kelautan dan Perikanan
2.
Hubungan antar manusia yang sudah mantap pada suatu komunitas (society), seperti struktur keluarga (kelembagaan dari keluarga).
3.
Peraturan yang dipergunakan individu untuk mematuhi hubungan yang khusus dengan individu lainnya.
Pengertian yang dipergunakan dalam tulisan
ini
adalah pengertian yang
terakhir yaitu peraturan yang dipatuhi oleh individu untuk berhubungan dengan individu lain.
Institusi adaiah suatu kumpulan peraturan yang sederhana yang dipergunakan sehari-hari (peraturan yang berlaku atau aturan yang dipergunakan) oleh sekumpulan
individu untuk mengorganisasikan kegiatan-kegiatan yang berulang yang memproduksi suatu keluarar/outcomes yang mempengaruhi individu-individu tersebut dan mempunyai potensi berpengaruh/berdampak terhadap individu lainnya.
Peraturan yang berlaku sehari-hari dipergunakan untuk menentukan: a) siapa
yang patut untuk membuat putusan
di
suatu daerah,
b)
tindakan apa yang
t6
diperbolehkan atau dilarang, c) prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak harus diberikan dan akibatnya pada biaya dan hasil akhir (pay-off) yang akan disepakati oleh individu sebagai akibat dari tindakan individu tersebut (E.
Ostrom, 1986).
Seluruh peraturan berisi resep-resep yang melarang, membolehkan
atau
dibutuhkan/membutuhkan beberapa tindakan/aksi atau outcomes. Peraturan yang
berlaku adalah yang saat ini dipergunakan, dimonitor, dan mengarahkan individu
untuk membuat pilihan mengenai tindakan-tindakan yang akan diambil dalam operasional "setting" ketika mereka membuat pilihan bersama (Commons, 1957).
Kelembagaan
di bidang
sumberdaya alam terdiri dari berbagai organisasai
yang ada seperti lembaga formal yang mempunyai fungsi atau peranan di bidang sumberdaya alam, organisasi-organisasi swasta ataupun LSM, nonna dan nilai-nilai
sosial, termasuk framework politik, program-program sumberdaya alam, pola komunikasi dan gerakan-gerakan sosial.
Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu struktur dari institusi. Strukrur kelembagaan/institusi adalah merupakan hubungan dan interaksi yang kompleks diantara tiga variabel: a) individu, b) organisasi, dan c) norma-norma sosial.
Institutionalisation merupakan proses dimana perilaku dan interaksi dari ketiga variabel yang terkait dalam sistem institusi dipertegas, distandarisasi, diperkuat, dan digerakkan dalam suatu proses jangka panjang sehingga terbentuk pola institusi sesuai dengan harapan untuk menyelesaikan permasalahan sumberdaya alam. Hasil proses
ini
misalnya: pembaharuan organisasi, kebijakan baru, peraturan baru, ataupun
mungkin perubahan nilai dan norma.
t7
Pengembangan kelembagaan/institusi
di bidang sumberdaya alam merupakan
suatu proses supra sektoral dan supramedia dimana sfiuktur institusi dibangun dalam
suatu sistem interaksi dan hubungan diantara ketiga variabel penentu sehingga
diperoleh networking diantara variabel. Juga merupakan
metode/prosedur
mengembangkan pengetahuan, keahlian/skill, standar, dan struktur dalam suatu proses
partisipasi, yang terdiri dari empat komponen: human resource departemen (HRD), konsultasi organisasi, peraturan yang sesuai, konsultasi soaial dan ekonomi, serta komunikasi, kerjasama, dan konsultasi konfl ik. Pembangunan kapasitas (capacity development) adalah suatu proses nasional
yang panjang dimana kemampuan dan keahlian individu- individu
dalam
memmecahkan masalah menjadi semakin meningkat berdasarkan pengembangan pengalaman mereka, sehingga peronnance kapsitas organisasi dan kelembagan
menjadi kuat dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah atau negara berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta tingkat penguasaan terhadap teknologi.
Suatu organisasi dapat dikatakan sebagai lembaga pembaharuan bila memiliki sifat ganda (Esman, 1972)
l.
yain:
Bangun lembaga ini merupakan organisasi yang secara teknik dan social dapat lestari, efektif dan dinamis serta dapat merupakan wahana pembawa inovasi baru.
2.
Mampu mengembangkan hubungan dengan organisasi dan kelompok lain yang
memiliki sifat ketergantungan maupun dukungan atau pelengkap yang
pada
gilirannya dapat dipengaruhi oleh lembaga pembaharuan.
t8
Pembangunan ekonomi pedesaan dilakukan melalui dinamika interaksi antara
komponen pembangunan yaitu: peran masyarakat sebagai pelaku pembangunan, masyarakat sebagai obyek pembangunan, kelembagaan serta potensi sumber daya
tersedia untuk pembangunan. Selanjutnya
ia
mendefinisikan pembangunan
kelembagaan adalah perencanaan (planning), penyusunan (structuring) dan pengarahan (guidance) atau pembentukan dari suatu organisasi baru yang mana,
a.
Mewujudkan perubahan-perubahan
di dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi,
unsure-
unsur fisik dan teknologi di bidang sosial.
b. Melaksanakan,
membantu perkembangan dan melindungi yang berkaitan dengan
aturan-aturan normatif yang baru dan pola-pola kegiatannya.
c.
Memperoleh dukungan dan saling melengkapi di dalam suatu lingkungan.
Institusi
Linkages
- Variable institusi
- enabling linkages
- Leadership
- functional linkages
- Doktrin
Hubungan
- Program
- normative linkages - diffused linkages
- Resources - Internal structure Sumber: Esman dalam Eaton, (1972) Gambar
3.1
Kerangka Pembangunan Kelembagaan
Pada dasarnya dalam institusi harus mencakup lima variabel utama yaitu: a)
kepemimpinan (leadership), b) doktrin, c) program, d) sumberdaya, dan e) struktur
t9
internal. Kepemimpinan merupakan sekelompok orang yang secara
langsung
bertanggung jawab pada kegiatan operasional institusi dan mengelolanya untuk
menjalin hubungan dengan lingkungannya maupun pihak lain. Doktrin merupakan pernyataan tujuan utama institusi dan metoda operasional yang mendasarinya. Program merupakan kegiatan yang diselenggarakan institusi dalam memproduksi danmendistribusikan output baik yangberupa barang maupunjasa. Sumberdaya dapat
berupa fisik, finasial, manusia, teknologi, informasi dan input-input lain yang diperlukan untuk berfungsinya suatu institusi. Sedangkan struktur internal merupakan
teknis pembagian kerja, distribusi kekuasaan dan aturan jalur-jalur komunikasi dimana keputusan akan diambil, kegiatan-kegiatan dilaksanakan beserta pedoman dan pengawasannya.
Kerangka konseptual
ini sangat berarti untuk
mengidentifikasikan metoda-
metoda oprasional dan shategi-shategi kegiatan, terutama sekali dalam situasi crosscultural. Masing-masing variabel kelembagaan tersebut mempunyai hubungan dengan masing-masing bentuk keterkaitan kedua kelompok variabel merupakan faktor
penting yang berguna
di
dalam memahami dan mengarahkan
pembangunan
kelembagaan.
Dengan demikian konsep pembangunan kelembagaan, pada akhimya diharapkan memenuhi beberapa criteria sebagai berikut:
l.
Technical capacity,
2.
Normative commitments,
3.
Innovative thrust,
4.
Environmental image,
5.
Spread elfect
20
Menurut Uphoff dan Ilchman (1972), pembangunan kelembagaan bukan hanya mengenai masalah perubahan social saja akan tetapi juga perubahan-perubahan
soaial yang tidak direncanakan, ekonomi dan hubungan politik akan selalu muncul sepanjang waktu dengan sesuatu usaha ataupun tanpa usaha mereka, sehingga di dalam tujuan pembangunan kelembagaan haruslah diperhatikan faktor dimensi waktu
(time dimension) yang terdiri dari unsur-unsur: a.
Aspirasi
b. ProduWifitas c. Perencanaan d. Institusional koherensi e. Ketergantungan
Unsur-unsur dimensi waktu kelembagaan
ini
akan sangat mempengaruhi variable dari
yaitu: resources (economic resources, informative, status, force,
authority, legitimacy, support/dukungan), leadership, doctrine, program dan intemal structure.
Berhasilnya suatu program pembangunan wilayah ditentukan oleh keselarasan
dengan progran peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal
ini
berarti program
pembangunan wilayah hendaknya dapat mendorong pemanfatatan potensi ekonomi setempat secara timbal balik antar sector.
Gagasan teoritis pembangunan wilayah pedesaan mencakup pula berbagai kegiatan pembinaan aspek social.
Dengan demikian secara teoritis menunjukkan bahwa untuk menumbuhkan
dan membahgun suatu kelembagaan secara efektif dan berkelanjutan diperlukan
adanya keselarasan diberbagai aspek pembangunan kelembagaan
dengan
2l
mempertimbangkan faktor dimensi waktu dan lingkungan. Dukungan terhadap pembangunan wilayah perdesaaan memerlukan tranformasi struktural diberbagai
bidang seperti pembinaan, dukungan, pengorganisasian sesuai dengan apsirasi masyarakat yang berkembang
di
daerah tersebut. Jika aspirasi tersebut tidak dapat
dipenuhi maka oreganisasi tersebut tidak mendapatkan dukungan masyarakat dan dapat dianggap gagal.
3.2
Sistem kelembagaan pada masyarakat nelayan
3.2.1
Sistem bagi hasil
Sistem ini sudah umum pada masyarakat nelayan di hampir seluruh Indonesia. Menurut Jacobs dalam Kreemer (1923) pendapatan yang diperoleh
dari usaha penangkapan ikan akan dibagikan menjadi empat bagian pada tiap
akhir bulan yaitu seperempat bagian untuk pawang, dua perempat untuk para awk dan seperempat bagian untuk para penarik pukat. Pembagian hasil dari seluruh penangkapan dibagikan pada setiap hari Jumat yaitu hari dimana semua nelayan dilarang untuk menangkap ikan (hari
pantangan menurut hukum adat), Jumlah pembagian dilakukan setelah dikurangi dengan sejumlah biaya-biaya yang telah dikeluarkan sebagai modal
awal untuk modal operasional dan biaya maintenance yaitu dari hari Sabtu hingga Kamis, dan persentase pembagian
ini sangat
bervariasi antara tiap
kelompok nelayan tergantung kesepakatan bersama.
3.2.2
Sistem pengelolaan penangkapan, pengelolaan hasil dan pasca panen
Sektor perikanan merupakan tempat bergantungnya nelayan baik sebagai tempat penampungan kerja (tempat peluang terbesar penciptaan
22
kesempatan kerja) dan sebagai sumber pendapatan. pelaksanaan kegiatan perikanan sangat tergantung kepada sistem distribusi yang efisien.
Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan diperlukan pengetahuan dan infomasi sifat dari unit populasi yang merupakan suatu komunitas dalam
sumber daya perikanan. Sehingga keberhasilan pengelolaan perikanan mencakup perencaan yang mantap berdasarkan informasi tentang semua aspek
yang mempengaruhi sumberdaya tersebut terutama sumber kehidupan dan penggunaannya. Keberhasilan
ini
ditentukan oleh pengelolaan yang
bertanggung jawab sehingga kelestarian sumberdaya alam tersebut dapat dinikmati juga oleh generasi selanjutnya.
Prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri dari dua macam yaitu:
l.
Prinsip pengelolaan perikanan statis.
2. Prinsip pengelolaan perikaan yang bersifat dinamis. cara pertama sulit untuk dilaksanakn karena sumberdaya ikan tidak dapat diketahui secara pasti seperti kondisinya, jumlh stok dan lain-lain. Pengelolaan perikanan yang dinamis dilakukan dengan cara:
l.
Melarang penangkapan ikan pada suatu musim tertentu
2.
Menutup daerah penangkapan tertentu
3.
Membatasi jumlah ikan yang ditangkap.
4. Sistm lisensi 5.
Kerjasama operasi penagkapan ikan
6.
Kerjasama dalam pengelolaan
7.
Pengaturan pajak dan pungutan
23
3.3
Lembagaan Pengelolaan sumberdaya Alam/pesisir di Amerika serikat dan Jepang
Sebagai bahan perbandingan berikut diuraikan bentuk-bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam yang berkembang dan dilaksanakan di negara
Amerika Serikat dan Jepang. A. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam di Amerika Serikat
L
Soil Conservasion Service (SCS) SCS, United States Departement of Agriculture (USDA) merupakan
organisasi dengan misi membekali kepemimpinan nasional dalam pelaksanaan
konservasi dan penggunaan sumberdaya tanah, air, dan sumberdaya lainnya secara bijaksana melalui prinsip keseimbangan dan pelaksanaan program
bersama yang bertujuan melindungi, memperbaiki, dan meningkatkan kegunaan sumberdaya tersebut. SCS adalah organisasi yang bercirikan
lini dan staf. Lini organisasi
SCS
terdiri dari kantor pusat, pusat teknologi nasional, kantor propinsi, kantor wilayah, kantor lapangan dan district conservation. pengaturan kewenangan
lini
adalah dari kepala ke State Conservationl'sl kemudian kepada Area
Conseruationrsl dan terakhir kepada District Conservationist. Staf
lini
SCS
terdiri dari praktisi yang meiliki karir dalam pengelolaan sumberdaya atau ahli konservasi (soil conservationist). Secara struktural, SCS bertanggung jawab langsung kepada Secretary of Agriculture (Menteri pertanian).
24
Kantor pusat scS berkedudukan di washington DC dan dipimpin oleh seorang kepala yang dibantu oleh 3 orang wakil kepala yaitu untuk bidang
:
program, teknologi, dan administrasi. Tugas dan wewenang kantor pusat yaitu: a) koordinasi seluruh program nasional yang berkaitan dengan konservasi dan
pengembangan tanah,
air, dan
sumberdaya lainnya,
b)
merencanakan,
mengarahkan, mengkoordinasikan dan mengendalikan seluruh progrm dan adminishasi aktifitas SCS, c) menusun prosedur dan kebijakan nasional. SCS memiliki empat pusat teknorogi nasional dengan tugas memberikan
bimbingan untuk menjamin kualitas tekniVteknologi dan transfer teknologi dalam pelaksanaan program SCS pada setiap tingkatan manajemen.
Selain itu,
scs memiliki 50 kantor negara
bagian yang masing-masing
dipimpin oleh seorang State conservationist yangbertanggung jawab mengatur kegiatan konservasi tanah dan air di tingkat negara bagian. Tanggungiawabnya
meliputi: a) mengembangkan dan melaksanakan kebojakan teknis
dan
administrasi untuk tingkat negara bagian, b) mengembangkan standar teknis
dan melaksanakan kajian, pemeriksanaan dan evaluasi pekerjaan,
c)
mengarahkan kegiatan adminishasi staf, d) mengarahkan kegiatan informasi
dan pendidikan, e) menetapkan.dan memerihara hubungan dengan tingkat pusat, negara bagian dan dinas daerah setempat atau LSM.
scs memiliki
sekitar 200 kantor wilyah (area offrce) yang merupakan
ujung tombak dari kantor negara bagian dan dibentuk dengan pertimbangan lokasi geografis, tipe program dan kegiatannnya, pora organisasi konservasi di
tingkat kabupaten(district concervation), wilayah perencanaan propinsi dan lainlain.
25
organisasi kantor wilayah meliputi kantor lapangan dan kantor lainnya
yaitu: a) daerah aliran sungai/DAS (watershed), b) pengembangan dan konservasi sumberdaya, serta c) survai tanah. Distrik Conservation adalah
dinas otonom yangdibentuk oleh distrik bersangkutan dengan mengarahkan kegiatan SCS pada tingkat peke{aan lapangan
tugas
.
Kantor lapangan terdiri dari 3000 unit dan merupakan tingkat terbawah
dari lini operator. Kantor lapangan dapat memberikan pelayanan pada satu atau mungkin lebih dari satu wilayah kabupaten. Tugas kantor lapangan yaitu:
a)
sebagai representasi
scs
melayani pemerintah daerah/lokal dalam
mengembangkan dan memelihara rencana pekerjaan dan program, b) bekerja sama dengan pemerintah federal, negara bagian dinas daerah,kelompok dan
LSM dalam
merencanakan pengelolaan sumberdaya,
c) membimbing
dan
membantu pengguna lahan, LSM, dan dinas daerah dalam perencananan tata
guna lahan dan menerapkan serta memelihara perencanaan konservasi tanah dan sumberdaya lainnya, d) memberikan bantuan teknis menyeluruh baik
farm maupun on-farm, e) memberikan
off
pertanggunjawaban teknis terhadap
permanent cost sharing program dafi kegiatan pembangunan perdesaan, f) menyelenggarakan program informasi untuk umum tentang kegiatan SCS, g)
sebagai representasi
scs
melayani kegiatan pengembangan DAS dan
konservasi sumberdaya lainnya.
Program-progrcm yang mendukung SCS terdiri dari: conservation Technical Program, Inventory and Monitoring program, Soil Survey, Snow Survey and water Supply Forcasting, Conservation plant Materials Centers,
River Basin Surveys and Investigtion, small watershed planning and
26
operation, Flood Prevention, Emergency watershed protection, Resource concervation and Development program, and Rural Abandoned Mine Program.
Saat
ini SCS telah berubah mcnjacli Natural Itesources Conscrvatiorr
Service dengan sifat organisasi yang tetap sama yaitu pelayanan etapi dengan
lingkup playanannya diperluas tidak hanya aspek konservasi tanah dan air melainkan juga mencakup seluruh aspek pengelolaan sumberdaya alam.
2. New Oceans and Atmosphere Agency (NOAA)
Lembaga yang khusus menangani permasalahan
di bidang pesisir ini
berdiri di Amerika Serikat dengan latar belakang permasalahan yang muncul pada tahun 1960 an seperti:
l.
Bertambahnya jumlah populasi penduduk disepanjang pesisir Amerika Serikat
2. Bertambahnya polusi dan permasalahan pembangunan di daerah pesisir 3.
Mulainya timbul kesadaran dan tekanan untuk pemecahan permasalahan pesisir
4. Kurangnya
pengetahuan ilmiah di bidang pesisir
5. Kurangnya koordinasi pemerintahan di bidang pesisir Untuk itu pada tahun 1960 an dan 1970 an Amerika Serikat mengadakan antisipasi terhadap permasalahan di bidang pesisir dengan mengadakan:
l.
Pembentukan spesial komisi untuk melakukan sudi ( sratton commission)
2. Membentruk lembaga NOAA. 3. Membentuk lembaga lingkungan baru (US EpA)
27
4. Menetapkan peraturan perundangan baru (Environmental procedures, clean Air Act, clean water Acl
Endangered species Act, Marine Mammals Act,
Fisheries Act, Forestry Act, CoastalZone Management Act).
Filosofi dasar dari CZMA yaitu desenhalisasi dan integrated coastal management. Pada United States
CzM[tahun
1972 bagian 302 (i) disebutkan
bahwa kunci dari perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan
perairan wilayah pesisir yang lebih efektif adalah dengan mendorong pemerintah negara bagian untuk melaksanakan wewenang penuh mereka atas sumberdaya tersebut dengan membantu mereka membentuk program-program pemanfaatan lahan dan perairan, termasuk
di dalamnya kebijakan, kriteria,
standar, meode yang terpadu, dan proses-proses yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan pemanfaatan lahan dan perairan yang bukan hanya penting bagi wilayah lokal saja.
Prinsip dasar dalam menjalankan Coastal Zone Management Act
(CZMA) yaitu adanya keseimbangan antara economic
prosperity
dan
protection of the environment. Inti dari CzM{adalah:
l.
Protect natural resources
2. Meminimalkan kehilangan dari kehidupan
dan property
3. Mengatur pembangunan dengan tujuan memperbaiki kualitas air
4. Memprioritaskan pembangunan pada kegiatan yang terkait dengan wilayah
pesisir 5.
Melindungi akses publik ke wilayah pesisir/pantai.
6. Menata ulang pembangunan dari pelabuhan/waterfronts
28
7. Address sea-level rise Dalam implementasi GZMA dilakasanakan berdasarkan manajemen yang baik dan terdiri dari:
l.
Koordinasi dan proseduryang sederhana
2. Koordinasi dinatara lokal, pemerintah negara bagian, dan
lembaga
pemerintah pusat
3. Meningkatkan kulaitas partisipasi penduduk lokal 4. Mendukung
perencanaan yang komprehensif dan konservasi
5. Mendukung management yang adaptif. 6. Mendukung riset. Unsur CZMA terdiri dari:
l.
Pengumpulan fakta dan kebijakan oleh Congress
2. Definisi dari GZMA yaitu "coastal waters (including land under)
and
adjacent shorelands (including waters therein) shongly influenced by each
other. seaward to state ownership... landward to extent becessary to control shorelands, the uses of which have a direct impact on the coastal waters".
3. Program hibah yang terdiri dari hibah pembangunan , hubah administrasi, hubah oengembangan
4. Coordination
dan cooperation
5. Bantuan teknik 6. Review dan laporan 7. AWards dan spesial program
29
Stnrktur dari Coastal Zone Management Act yaitu
L
National law, regulation and guidelines
2.
State plane, laws and policies
3. Local laws and implementation
Dalam implementasinya GZMA dikembangkan dengan
integrated
coastal management program berdasarkan National Guidelines pada tingkat
negara bagian. selanjutnya program disetujui oleh pemerintah federal.
Selanjutnya program dapat diimplementasikan
oleh
negara bagian,
pemerintahan lokal atau pemerintahan federal. Kemudian program dievaluasi oleh pemerintah federal atau negara bagian.
Jika pembangunan pesisir memenuhi standar pemerintahan
federal
maka program akan mendapatkan bantuan keuanagn, atau bantuan teknis dari pemerintah federal. Manfaat teknik dat'.CZMAbagi pemerintahan lokal adalah:
l.
NOAA (National Government) mengaturprogram bantuan teknik
2. NOAA mendukung publikasi, workshop dll. 3. NOAA berkonsultasi dengan pemerintah negara bagian pada regular basis.
Manfaat pengunaan CZMA adalah:
l.
Pemerintah federal harus memberitahukan pemerintah negara bagian yang aktivitasnya berdampak pada wilayah pesisir.
2. Kegiatan oleh Negara Federal harus konsisten dengan program pemerintah Negara bagian
30
-
termasuk semua kegiatan yang berdamapak terhadap wilayah pesisir, di dalam maupun di luar wilayah pesisir.
- ternrasuk aplikasi untuk lisensi dan perijinan pemerintah federal
Efektifitas pengelolaan wilayah pesisir di Amerika Serikat berdasarkan laporan dari tahun 1995 adalah sebagai berikut:
l.
Sebelum adanya
czMA,
badan atau institusi dari pusat, negara bagian, dan
lokal tidak terkoordinasi dengan baik.
2. Dengan czMA, program-program peneglolaan pesisir efektif mengelola dan mengatasi isu atau masalah dari pemanfaatan sumberdaya pesisir.dan pantai. 3. Melindungi pantai dan sumberdaya 4. Negara-negara
meralui pengelolaan pesisir terpadu.
bagian adalah ujung tombak bagi perbaikan
akses
keterlibatan dari masyarakat pesisir dan pihak-pihak yang berkepentingan. 5.
Dua belas (12) negara bagian yang memiliki pelabuhan-pelabuhan lebih
efektif mencapai tujuan dari GZMA karena memiliki kebijakan-kebijakan
dan perangkat pengelolaan yang lebih spesifik untuk memfasilitasi pengembangan pelabuhan.
6. Dari 80% negara bagian pesisir yang dilihat
seksama, telah melaksanakan
perlindungan lahan basah dan sumberdaya pesisir pada tingkat yang diharapkan atau bahkan lebih baik dari yang diharapkan.
3t
B. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam di Jepang
Kelestarian fungsi sumberdaya alam (sDA) di Jepang telah dikenar selama berabad-abad dan telah ditulis dalam berbagai literatur. Studi oleh
McKean (1993), dilakukan mengenai sistem institusi pengelolaan "the common lands" atau lahan milik bersama di tiga desa tradisional Jepang yaitu Yamanaka, Hirano, dan Nagaike yang terletak
di lereng Utara Gunung Fuji.
Dari studi ini disimpulkan bahwa salah satu faktor keberhasilan
tersebut
terutama berkaitan dengan disepakatinya sistem institusi pengelolaan SDA dan implementasinya oleh setiap stakeholders, sejak dari unit terkecil yaitu rumah tangga petani, aparatdi tingkat daerah hingga tingkat pusat.
Menurut hasil studi
ini,
keberhasilan pengelolaan SDA dalam
kaitannya dengan kinerja sistem institusi yang diterapkan
di tiga desa
di
Jepang yang ditelitinya antara lain ditunjang oleh beberpa fakta sebagai berikut: Hingga kini keberadaan "lahan miliki bersama" masih dapat dipertahankan oleh masyarakat Jepang karena adanya komunitas "pemilik bersama" yang
teridentifikasi dengan jelas dan tertulis. Meskipun banyak diantara "lahan
milik bersama" ini
sekarang telah berubah status sebagai "hak
atau publik" karena dijual, fakta menunjukkan bahwa hingga
milik privat kini
Jepang
masih lebih dari 2,5 juta hektar "lahan milik bersama" yang terkelola dengan baik. b. Dalam sejarahnya, desa-desa
di
Jepang berkembang mengikuti perubahan
?:rman dengan selalu mengacu kepada aturan-aturan atau kesepakatankesepakatan, beberapa diantaranya bahkan dalam bentuk tertulis.
32
Dalam rangka mengimplementasikan atau to enforce aturan-aturan tersebut, masyarakat Jepang juga menerapkan "sangsi atau penalti" bagi pelanggar aturan sebagai suatu sistem kontrol perilaku sosial, dimana pada desa-desa
tradisional penalti tersebut dapat berupa "pengucilan" dari kehidupan sosial masyarakat.
Keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan di Jepang merupakan bagian dari hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya aturan (rules) yang jelas dan disepakati yang dilaksanakan dengan baik.
b. Setiap stakeholders, khususnya pada unit terkecil yaitu rumah tangga petani, memiliki identitas komunal yang sangat kuat karena adanya aturan perwakilan yang jelas dimana kelompok rumah tangga petani sebagai unit terkecil bersama-sama pemerintah pusat dan daerah yang
bersifat otonom juga merupakan unit pengambil keputusan dan penentu kebijakan (decision making unit).
c. Adanya 'rasa' saling ketergantungan yang bersifat mutualis
yang
diperkuat oleh suatu struktur yang formal dalam kaitannya dengan tanggung jawab kolektif terhadap kelestarian fungsi sumberdaya alam
yang memungkinkan setiap skema aturan yanl dibuat
dapat
dilaksanakan dan disempurnakan dengan baik.
33
BAB IV
MODEL PEMBAI\GUNAIY KELEMBAGAAIY DAi\ ORGANISASI PENGELOLAAI\ SUMBERDAYA PESISIR DAN KELAUTAN
4.1
Model Pengembangan Kelembagaan dan organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan. sebagai institusi baru dalam Kabinet Reformasi, Departemen Kelautan
dan Perikanan mengembangkan kapasitas dan kelembagaan di bidang kelauthn
dan perikanan
di
tingkat Propinsi, Kabupaten, dan Kota dalam rangka
peningkatan kinerja pengelolaan bidang kelautan dan perikanan. Kebijakan ini sejalan dengan pelaksanaan undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor ZS Tahun
lggg
tentang
Perimbangan Keuangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah
otonom. Selain untuk pembangunan kelembagaan
di
di daerah, pengembangan
kapasitas
bidang kelautan dan perikanan dapat mendorong upaya
peningkatan daya saing global, berpacu dengan negara-negara tetangga yang sekarang telah menunjukkan kinerja yang sangat tinggi. untuk memperlancar
proses desenhalisasi kewenangan bidang kelautan dan perikanan perlu dikembangkan kapasitas dan kelembagaan di daerah. Dengan diratifikasinya konvensi hukum laut PBB 1982 oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-
34
undang Nomor 17 tahun 1985 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
g
(delapan) rejim hukum laut maka pemerintah daerah perlu memahaminya
yaitu: a) peraiaran pedalaman (internal waters), b) perairan (archipelagic waters),
c) laut teritorial (territorial
sea),
nusantara
d) zona tambahan
(contiguous zone), e) zona ekonomi eksklusif (sxclisive economic zone),
f
laut lepas (high seas), g) landas kontinen (continental shelf) dan h) dasar laut (international sea-bed).
Salah satu kelembagaan yang terah dibentuk untuk
menangani
pengelolaan kelautan dan perikanan adalah satu unit kerja dalam bentuk kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan di Propinsi karena semua propinsi
mempunyai laut sehingga setiap propinsi perlu mempunyai suatu lembaga yang menangani bidang kelautan dan juga Kelautan dan perikanan mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga pengelolaannya perlu dilakukan oleh satu lembaga.
Di tingkat Kabupaten dan Kota dapat mengikuti pola propinsi, namun bagi Kabupaten dan Kota yang tidak mempunyai laut dapat membentuk Dinas Perikanan, tanpa menyertakan kata "Kelautan" dengan alasan bahwa daerah
tidak begitu memerlukan unit kerja khusus yang menangani bidang Kelautan. Tetapi tidak tertutup bagi daerah untuk menampung fungsi Kelautan dalam Dinas Perikanan, sepanjang diperlukan.
Wilayah kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi di laut meliputi
wilayah laut propinsi selebar 12 mil laut dari garis pantai sebagaimana diatur dalarh pasal 3 Undang-Undang No 2zll999 tentang pemerintah Daerah. untuk
wilayah kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dan Kota selebar l/3
35
dari wilayah laut propinsi sebagaimana diatur dalam pasal
l0 ayat 3 undang-
Undang 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
Selain kelembagaan dinas diupayakan pula terbentuknya Dewan Maritim Daerah. Di tingkat Propinsi pembentukan ini diperlukan karena dapat menjadi lembaga koordinasi baik di wilayah laut Propinsi maupun lintas batas, Kabupaten dan Kota serta lintas sektor. Dewan Maritim daerah
ini berfungsi
sebagai forum konsultasi antar para pihak terkait (pemerintah, swasta, lembaga
kemasyarakatan dan masyarakat) dan bertugas membantu Gubernur dalam perumusan kebijakan di bidang Kelautan. Kabupaten dan Kota
Peningkatan kapasitas kelembagaan Kelautan dan Perikanan terdiri
dari tiga unsur yaitu: a) penguatan kelemba$aan, b) pengembangan sistem investasi, dan c) sistem informasi bidang Kelautan dan perikanan. Ketiga
unsur tersebut merupakan suatu kesatuan sistem peningkatan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sistem atau pendekatan
tersebut memerlukan komitnen dan kerjasama seluruh
komponen
pembangunan, baik masyarakat, dunia usaha, maupun jajaran pemerintah.
Forum Ekonomi Kelautan dibentuk untuk memfasilitasi dan menjadi wahana komunikasi kepada para peminat bidang Kelautan dan perikanan
untuk bekerjasama secara sinergis dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang optimal dan berkelanjutan. Forum
ini
menjadi
tempat untuk konsultasi langsung secara informal diantara para pelaku yang
berkaitan dengan bidang kelautan dan pertemuan secara nasional akan diadakan setiap tahun. Tujuan utama dari forum
ini
adalah dalam rangka
36
meningkatkan kinerja Pembangunan Ekonomi yang berbasis pada bidang Kelautan
4.2
Model Pengembangan Kelembagaan dan Organisasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pesisir (pEMp) Tujuan program PEMP adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir dengan cara peningkatan pendapakn masyarakat yang dilakukan melalui pengembangan kegiatan ekonomi, penguatan kelembagaan sosial ekonomi dan partisipasi masyarakat dengan mendayagunakan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan.
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan ada empat aspek yang perlu
diperhatikan yaitu: a) aspek ekonomi (peningkatan pendapatan), b) aspek sosial (peningkatan iptek dan iman dan taqwa serta sikap dan perilaku), c) aspek lingkungan (pelestarian sumberdaya pesisir dan laut), dan d) aspek
infrastruktur (untuk kelancaran mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan sosial). Meskipun demikian keempat aspek tersebut belum cukup sempurna
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat bila tidak ada pengembangan kelembagaan sosial ekonomi yang kuat di masyarakat.
Pengembangan organisasi
dan
kelembagaan sosial ekonomi
masyarakat yang berbasis pada budaya
lokal perlu dilakukan untuk
mendukung aktivitas sosial ekonomi yang akan dikembangkan terutama untuk
mengantisipasi
dan menyelesaikan konflik sosial yang terjadi
dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
37
Organisasi dan pengelolaan program PEMP yang dikembangkan adalah seperti gambar berikut,
Bappenas dan Departemen Keuangan
r--------------------j ll
ll ll lt
Sekretariat PEMP Daerah Mitra Pengembangan Pengusaha
Camat
Lembaga Keuangan Perguruan Tinggi
Mitra Desa Aparat Desa
Tokoh Masyarakat KCD/PPL
KMPAI KMP BI
KMP 82
KMP 83
Gambar 4.1 Struktur Kelembagaan PEMP 2001
38
Penanggung jawab program
pEMp pusat adalah Direktur
Jenderal
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan perikanan. Koordinasi dilakukan dengan Ditjen Anggaran,Departemen Keuangan dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Regional dan Daerah, Bappenas. Dalam pelaksanaan sehari-hari dibentuk sekretariat PEMP Pusat untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan program pEMp
seperti pengaduan masyarakat dan penanganan permasalahan. Untuk operasionalisasi kegiatan PEMp
di tingkat pusat, dibantu oleh
Konsultan
Manajemen (KM) Pusat yang berfungsi memfasilitasi sekretariat pEMp pusat.
Agar proyek dapat langsung dinikmati oreh masyarakat maka bantuan langsung disampaikan ke Kabupaten dan Kota yang memenuhi kriteria program PEMP.
Di tingkat
kabupaten, penanggung jawab program adalah
Bupati/walikota dengan penanggung jawab operasional pEMp Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas perikanan Kabupaten/Kota, atau Dinas
Teknis yang menangani bidang Kelautan dan perikanan
di
tingkat
Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan tugasnya berkoordinasi dengan Bappeda
Kabupaten/Kota dan instansi terkait lainnya serta diobantu oleh Konsultan Manajemen Kabupaten/kota (KM Kabupaten/Kota). Dalam operasionalisasi sehari-hari Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dibantu oleh sekretariat
PEMP Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh pemimpin proyek pEMp Kabupater/Kota.
Masyarakat yang terpilih sesuai dengan kriteria program pEMp
membentuk lembaga&elompok yang disebut Kelompok Masyarakat Pemanfaat
(KMP) yang akan mendapatakn dana ekonomo produktif
39
.
masyarakat untuk dapat melaksanakan danmengembangkan usaha ekonomi. Penentuan
KMP dilaksanakan oleh KM Kab/Kota dan Mitra Desa dimana
pembentukan Miha Desa ifasilitasi oleh
KM Kab/Kota, camat dan aparat
desa. Anggota Mitra Desa terdiri dari aparat desa,
tokoh
masyarakat/adat/agama, dan dari petugas teknis perikanan(KCD atau pplperikanan). Pengesahan Miha Desa oleh Kepala Desa/Lurah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Desa/kelurahan. Konsultan Manajemen (KM) dalam operasionalisasinya dibantu oreh Tenaga Pendamping Desa/Kelurahan (TPD) yang merupakan ujung tombak keberhasilan program PEMP. TPD yang juga adalah staf
KM
Kab/Kota,
bertindak sebagai tenaga ahli dalam bidang pengembangan masyarakat yang berfungsi juga sebagai pendamping KMP dan Miha Desa. Tugas utamanya memberikan bantuan teknis kepada KMP dalam menyusun usulan kegiatan.
Tugas lainnya sebagai motivator, fasilitator, komuniktor dan dinamisator
KMP. Dalam menjalankan tugasnya, TPD mengikuti pedoman dari
buku
panduan khusus sebagai rambu-rambu dan agar kinerjanya terpenuhi.
Inti pengembangan kelembagan sosial ekonomi pada program pEMp adalah Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir "Mikro Mitra Mina" (LEpp
M3) yang merupakan lembaga ekonomi di daerah. Pembentukan organisasi ini difasilitasi oleh Dinas Perikanan Kabupaten/Kota, KM Kab/Kota, dan Camat. Anggotanya terdiri dari KMP Desa dan bila diperlukan dapat mengangkat seorang profesional sebagai karyawan. Stmktur lembaga
ini terdiri dari Ketua,
Sekretaris dan Bendahara yang dipilih dari perwakilan KMP Desa dan disahkan oleh Kepala Dinas Perikanan. Fungsi dari lembaga LEPP M3 adalah
40
mengembangkan kegiatan ekonomi
dan kemitraan untuk
mendukung
kemajuan KMP. Tugas utarnanya adalah untuk menerima dan menyalurkan dana ekonomi produktif masyarakat ke
KMp dan bertindak sebagai manajer
bagi KMP seperti melakukan verifikasi usulan usaha ekonomi produktif masyarakat dan pembentukan KMP baru. selain
itu tugas lainnya
adalah
mencatat dan mendokumentasikan kegiatan PEMP, membukukan penggunaan
dana PEMP, melaporkan perkembangan kegiatan program pEMp
dan
permodalan kepada penanggung jawab operasional pEMp Kab/Kota/Kepala
Dinas Perikanan Kab/Kota. Lembaga
ini
setelah program pEMp berakhir
berperan untuk mengelola dana pengembangan modar usaha
dan
menyalurkannya kepada KMP baru terutama di desa yang belum memperoleh program PEMP.
4.3
Model Pengembangan Kelembagaan oreh LSM di surawesi Selatan Pembangunan yang berorientasi untuk mengoptimalkan sumberdaya
pesisir dan laut masih kalah prioritas
di tingkat daerah.. Ini terlihat dari'
kebijakan yang belum mengatur tentang pengembangan potensi pesisir dan
laut
di
Sulawesi selatan meskipun daerah
masyarakat maritim sejak abad ke
ini terkenal dengan budaya
XVII.
seperti beberapa suku bangsa Indonesia lainnya, masyarakat sulawesi Selatan terkenal dengan budaya merantaunya. Pada umumnya, motif merantau
didorong keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan. Motivasi yang tinggi
untuk meningkatkan kesejahteraan
ini
sering kali dilakukan dengan cara
mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa batas dan cenderung bersifat
4l
destruktif tanpa mengindahkan aspek lingkungan atau tanpa mengindahkan aspek konservasi.
Lembaga Pengkajian Pedesaan Pantai dan Masyarakat (LP3M) di Sulawesi Selatan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan akses nelayan
di bidang konservasi melalui
nelayan di bidang ekonomi. Akses
akses peningkatan kemampuan
di bidang konservasi dilakukan
melalui
kegiatan-kegiatan kelompok nelayan untuk mendukung kegiatan konservasi
dan mencegah kegiatan-kegiatan terlarang (illegal) baik dari aparat tertentu ataupun oleh masyarakat
di lingkungan sekitar yang
bertentangan dengan
program konservasi. Akses peningkatan di bidang ekonomi dilakukan melalui kemudahan nelayan untuk mendapatkan modal untuk meningkatkan produksi,
kelancaran untuk memasarkan produksi dan teknologi tepat guna yang didukung oleh manajemen yang sederhana.
Lokasi kegiatan berada Kepoposang, dan
di: a) pulau
c) taman laut nasional
Barrang Caddi,
Takabonerate.
b)
pulau
Di pulau Barrang
Caddi, sumberdaya manusia nelayan mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki kemampuan untuk mensuplai ikan segar dua
kali sehari
ke
tempat pelelangan ikan (TPI) di Makasar dibandingkan dengan nelayan lain di pulau lainnya yang hanya dapat mensuplai satu kali sehari.
Lokasi di pulau Kapoposang, potensi sumberdaya pesisir dan laut yang
dimiliki
adalah potensi ekologis yang bernilai ekonomis yaitu terumbu karang
dan keanekaragaman hayati biota laut. Potensi terbesar di taman nasional laut Takabonerate adalah memiliki atol terbesar ketiga di dunia. Jenis karang yang
dimiliki berjumlah 167 buah, 200 jenis atol,
l2l
jenis gastropoda, 78 jenis
42
bivalva dan
I
scaphopoda yang ditemukan. selain
itu lokasi ini memiliki
potensi wisata bahari.
Strategi LP3M untuk penguatan kelembagaan/institus adalah dengan pembentukan kelompok nelayan seperti kelompok usaha bersama (KUB),
kelompok konservasilpelestari lingkungan, dan kelompok perempuan. Setiap kelompok diberikan pendampingan. Peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok dilakukan meralui
:
a) Sosialisasi program melalui pertemuan masyarakat umum dengan tokoh tdat/agama, tokoh masyarakt, punggawa, nelayan, petugas teknis, pemerintahan desa untuk mempertemukan pandangan masing-masing stakeholders.
b) pelatihan motivasi dan pembentukan kelompok, dilakukan setelah tercapai kesepakatan persamaan persepsi terhadap permasalahan. pelatihan bertujuan untuk memotivasi masyarakat untuk berprestasi dan mewujudkan
keinginan dalam bentuk program aksi.
out put dari pelatihan
adalah
terbentuknya kelompok yang dilengkapi dengan aturan main pengurus dan
anggota, struktur kepengurusan dan progrcm kerja masing-masing kelompok.
c) pelatihan teknis, dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan kelompok (capacity building) baik pengurus maupun anggotanya. Jenis pelatihan
terdir dari: manajemen keuangan, ketrampilan perempuan, identifikasi potensi, penyegaran pengurus kelompok, penyuluhan di bidang kelestarian
lingkungan laut, dan pelatihan TPL serta Motivator.
43
d) pemantapan koordinasi, dilakukan terutama dalam rangka perlindungan dan pengembangan kawasan terutama
di
daerah penyangga kawasan taman
nasional laut Takabonerate.
Beberapa hasil yang diperoleh adalah:
a) meningkatnya pendapatan nelayan yang didampingi sampai 600%
pada
tahun I 995, dan 1200%opada tahun 1996.
b) Bertambahnya jumlah konsumsi listrik dengan kenaikan permintaan kebutuhan barang elektronik sampai 1500%.
c) Penyaluran kredit oleh perbenkan kepada kelompok nelayan
di
pulau
Barrang Caddi.
d) Kelompok nelayan turut berprtisipasi dalam penyelesaian permasalahan konservasi dan pengawasannya.
44
BAB V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan Meskipun fenomena keberhasilan sistem institusi dalam pengelolaan
sDA di Indonesia masih memerlukan waktu yang panjang tetapi
dengan
mempelajari keberhasilan beberapa negara lain walaupun tidak begitu saja dapat diterapkan di dalam negeri karena kondisi dan situasi yang berbeda, paling tidak dapat ditarik beberapa pelajaran berharga. Agar terjaga kelestarian fungsi SDA maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
l.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di pesisir relatif masih jauh tertinggal
jika dibandingkan
dengan masyarakat darat yang telah menikmati
berbagai fasilitas pembangunan karena prioritas dan orientasi pembangunan yang bertumpu pada daratan.
2.
Adanya kesadaran dan pemahaman untuk selalu mempertahankan bahkan
meningkatkan efisiensi pengelolaan sDA oleh semua stakeholders dan untuk itr'r diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman bersama.
3. Adanya perhatian yang mendalam mengenai perlunya equity (modal), dan bukannya equality, dalam mengimplementasikan sistem kelembagaan yang
dibangun dimana setiap unit terkecil dalam sistem tersebut terjamin untuk mbmperoleh keuntungan dan menanggung pengorb anan y angfolr sehingga
tercipta insentif bagi setiap unit untuk selalu meningkatkan kinerja dan
45
selalu berupaya secara bersama-sama untuk menyelesaikan dan bukannya
lari dari permasalahan yang mungkin timbul.
4. Adanya pemahaman bersama bahwa konservasi SDA merupakan tujuan bersama yang penting bagi kelangsungan hidup dari generasi ke generasi
sehingga harus dibuaf aturan-aturan berikut sangsi atau hukuman yang
legitimate (dipatuhi) dalam arti penyusunannya harus melibatkan semua pihak dan harus diterapkan secara tegas sehingga dapat dipergunakan untuk membedakan kinerja enforcement
ini
unit yang baik dan yang buruk. Untuk
law
diperlukan suatu sistem kontrol yang memungkinkan
semua mengawasi semua.
5. Adanya suatu sistem atau kondisi
yang memungkinkan
adanya
penyempumaan afuran-aturan dan sangsi melalui suatu mekanisme konsultasi dan konsensus bersama yang demokratis yang bila hal ini dapat dilaksanakan pada gilirannya akan merupakan suatu mekanisme tersendiri yang dapat meningkatkan legitimasi terhadap aturan-aturan tersebut.
5.2 Saran-saran
l.
Untuk mengatasi konflik perencanaan dalam pengelolaan
sumberdaya
pesisir dan laut perlu ditetapkan standar perencanaan terpadu yang berbasis pada masyarakat untuk wilayah pesisr dan laut.
2. Untuk menghasilkan pembangunan wilayah pesisir dan
laut
yang
berkelanjutan diperlukan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan konservasi sumberdaya pesisir dan laut.
46
3. Pengelolaan sumberdaya darat dan air di pesisir harus dilakukan
secara
terkoordinasi.
4. Perlu dibentuk suatu badan yang bertanggung jawab dan
melaksanakan
koordinasi pembangunan yang mempergunakan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir dan lautan
47
DAFTAR PUSTAKA
l. B. Mitchell, at. all. Pengelolaan sumberdaya
dan Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, 2000.
2.
Penataan Kelembagaan Perikanan dan Kelautan Daerah, Hasil rapat kerja teknis
regional dan nasional serta forum ekonomi kelautan tahun 2000, Departemenm Eksplorasi Laut dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pengembangan Kapasitsa dan Kelembagaan, Jakarta2000
3. H.
S.
Alikodra, Pengembangan Institusi Lingkungan Hidup, Bogor 2000.
4. H. Kartodihardjo, et. all, Kajian Institusi
Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah,
Koperasi Sodaliti, Bogor 2000
5. Supriharyono, Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya Alam di wilayah Pesisir tropis, Gramedia, Jakarta 2000.
6. Yulfrita Adamy, Aspek Kelembagaan Masyarakat Nelayan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Aceh Utara, Bogor 1995. Thesis Master IPB
DAFTAR PUSTAKA
l. B. Mitchell, at. all. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, 2000.
2. Penataan Kelembagaan Perikanan dan Kelautan Daerah, Hasil rapat kerja teknis regional dan nasional serta fonrm ekonomi kelautan tahun 2000, Departemenm Eksplorasi Laut dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pengembangan Kapasitsa dan Kelembagaan, Jakarta2000
3. H.
S.
Alikodra, Pengembangan Institusi Lingkungan Hidup, Bogor 2000.
4. H. Kartodihardjo, et. all, Kajian Institusi
Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah,
Koperasi Sodaliti, Bogor 2000
5. Supriharyono, Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya Alam di wilayah Pesisir hopis, Gramedia, Jakarta 2000.
6. Yulfrita Adamy, Aspek Kelembagaan Masyarakat Nelayan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Aceh Utara, Bogor 1995. Thesis Master IPB
48