Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Lahan Nasional Penyunting: UndangKonversi Kurnia, F. Agus,dan D. Produksi Setyorini,Pangan dan A. Setiyanto
KONVERSI LAHAN DAN PRODUKSI PANGAN NASIONAL
LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION Tahlim Sudaryanto
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan
ABSTRAK Konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian terjadi sebagai konsekuensi kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi di perkotaan yang berbasis industri dengan ekonomi pedesaan yang berbasis pertanian. Konversi lahan yang terjadi selama tahun 1981-1999 telah menyebabkan kehilangan produksi padi sebesar 8,89 juta ton. Namun demikian dampak konversi tersebut dapat diatasi pemerintah dan masyarakat dengan perluasan area baru di luar Jawa dan intensifikasi yang meningkatkan produktivitas, sehingga produksi pangan tetap meningkat. Program peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas, perluasan area tanam maupun pengamanan produksi perlu terus diupayakan.
ABSTRACT Agricultural land conversion to non-agriculture use is due to discrepancies of urban economic growth based on industrialization and rural economic growth based on agriculture. Land conversion that accurred within the period of 1991-1999 result in loss of 8.89 million tons of rice production. Nevertheless the land conversion impact has been solved by government and community through the development of new lowland rice farming areas outside Java and intensification to increase productivity. Program to increase food production through productivity enchancement, area expansion, and production stability should be continued.
PENDAHULUAN Konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Hal ini mulai terjadi sejak dikeluarkannya paket-paket kebijakan yang mendorong investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di bidang nonpertanian sekitar pertengahan 1980-an. Keperluan lahan nonpertanian mengikuti trend peningkatan investasi tersebut. Keperluan lahan untuk bidang nonpertanian semakin meningkat pula seiring dengan booming pembangunan perumahan pada awal tahun 1990-an. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas untuk mendorong pembangunan wilayah.
ISBN 979-9474-20-5
57
T. Sudaryanto
Laju perubahan lahan dari yang semula digunakan untuk pertanian menjadi perumahan dan industri tidak dapat dihindari. Departemen Pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian terkait dengan keterbatasan lahan. Peningkatan jumlah penduduk yang masih relatif tinggi dan penyusutan lahan subur untuk keperluan nonpertanian. Masalah konversi lahan ini semakin kompleks pada era otonomi daerah. Pemerintah daerah semakin intensif melakukan upaya-upaya untuk mendorong investor berinvestasi di daerahnya. Kebijakan tersebut bila tidak dilakukan dengan cermat maka akan semakin mempercepat alih fungsi lahan pertanian potensial menjadi penggunaan nonpertanian. Sebagian pendapat mengatakan bahwa konversi lahan pertanian ke nonpertanian terutama yang terjadi di perkotaan adalah proses alamiah sebagai konsekuensi pertumbuhan urbanisasi mengikuti hukum ekonomi dimana lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi tertinggi (Sekretariat DKP, 2002). Pendapat lain mengatakan bahwa konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor. Namun demikian, untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada sumber daya domestik, pemerintah harus tetap mempertahankan lahan pertanian subur yang ada bahkan harus diusahakan bertambah seiring dengan program peningkatan produktivitas melalui inovasi teknologi baru. Makalah ini memfokuskan pada pembahasan mengenai dampak konversi lahan pertanian terhadap kapasitas produksi pangan nasional dan prioritas program peningkatan produksi. INTENSITAS KONVERSI LAHAN Tren Besaran dan penyebab konversi lahan telah dibahas secara terinci dalam laporan Sekretariat DKP (2002). Sebagian besar pembahasan bagian ini diambil dari tulisan tersebut. Pada periode 1981 – 1999, pengurangan lahan sawah di Indonesia mencapai 1.627.514 ha, sedangkan penambahan lahan sawah mencapai 3.218.163 ha, sehingga neraca lahan sawah di Indonesia bertambah seluas 1.593.649 ha (Tabel 1). Di Jawa terjadi konversi ke nonpertanian seluas 1.002.055 ha atau 61,57%, sedangkan di luar Jawa terjadi konversi seluas 625.459 ha atau 38,43%. Sedangkan penambahan lahan sawah, 518.224 ha atau 16,09% terjadi di Jawa dan 2.702.939 ha atau 83,91% terjadi di luar Jawa.
58
Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional
Tabel
1. Neraca lahan sawah di Indonesia periode 1981-1999
Wilayah Jawa Luar Jawa Indonesia
Pengurangan ha % 1.002.055 61,57 625.459 38,43 1.627.514 100
Penambahan ha % 518.224 16,09 2.702.939 83,91 3.221.163 100
Neraca ha (483.831) 2.077.480 1.593.649
Sumber : Irawan et al. 2001
Dari gambaran data tersebut, ternyata pengurangan neraca lahan sawah di Jawa sebagai akibat konversi sebesar 483.831 ha masih dapat di atasi oleh penambahan lahan sawah di Luar Jawa sebesar 2.077.480 ha. Berdasarkan kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa: (1) proses konversi yang terjadi secara alamiah di Jawa telah diantisipasi secara alamiah pula oleh pemerintah dan masyarakat melalui pembukaan lahan sawah baru di luar Jawa, sehingga secara alamiah telah terjadi pergeseran sentra produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa; (2) walaupun telah terjadi konversi lahan sawah subur di Jawa, belum ada indikasi kuat produksi pangan menurun karena adanya konversi tersebut. Peningkatan produksi justru terjadi karena adanya peningkatan produktivitas lahan melalui peningkatan penggunaan teknologi baru. Namun demikian, konversi lahan tersebut tetap berdampak pada pelambatan dalam upaya-upaya peningkatan produksi melalui perluasan areal baru. Dengan mempertimbangkan relatif kecilnya kemungkinan pengembangan lahan sawah di Jawa, serta tingkat konversi lahan sawah di Jawa, sudah relatif tinggi, maka upaya– upaya pengendalian konversi lahan perlu terus dilakukan. Penyebab Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi seperti inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari. Konversi lahan pertanian ke nonpertanian umumnya terjadi di wilayah perkotaan sebagai konsekuensi perluasan kota yang didorong oleh perbedaan pertumbuhan ekonomi yang terlalu besar antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan. Pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan yang berbasis pada sektor nonpertanian jauh melebihi pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Pada tahun 1994-1999 rata-rata pertumbuhan sektor industri
59
T. Sudaryanto
mencapai 8,37%/tahun, sedangkan sektor pertanian hanya 2,73%/tahun. Perbedaan tersebut telah menyebabkan banyaknya penduduk pedesaan melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, sehingga mengakibatkan meningkatnya permintaan lahan di wilayah perkotaan, baik untuk keperluan sarana permukiman, industri maupun keperluan infrastruktur lainnya. Persentase penduduk di perkotaan telah meningkat dari 15,9% tahun 1961 menjadi 36,5% pada tahun 2000 (Tabel 2). Tabel 2. Persentase penduduk perkotaan di Indonesia Tahun
Persentase
1961 1971 1980 1990 2000 Sumber : Sensus Penduduk 2001, BPS
15,9 17,3
22,4 30,9 36,5
Penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di Pulau Jawa karena dipicu oleh laju urbanisasi yang tinggi, mengakibatkan tingkat keperluan lahan nonpertanian terus meningkat. Kenyataan inilah yang menjadi penyebab utama laju konversi lahan pertanian menjadi penggunaan nonpertanian yang meningkat tajam khususnya di Pulau Jawa. Era otonomi daerah ternyata juga mempunyai dampak semakin meningkatnya laju konversi lahan pertanian. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari kebijakan pengembangan daerah dengan mengundang investor untuk menanamkan modalnya. Sehingga pembangunan infrastruktur akan diikuti oleh berkembangnya sektor ekonomi yang lain seperti perdagangan, dan industri yang pada akhirnya juga memerlukan lahan nonpertanian.
DAMPAK TERHADAP PRODUKSI PANGAN Berdasarkan data konversi lahan sawah periode 1981 - 1999 seperti disajikan pada Tabel 1, maka dapat diperoleh gambaran bahwa selama periode tersebut kita telah kehilangan produksi padi sebesar 8,89 juta ton, dimana 6,86 juta ton terjadi di Pulau Jawa dan 2,03 juta ton di Luar Jawa (Tabel 3). Ini berarti bahwa setiap tahun kita kehilangan 0,47 juta ton padi. Kehilangan produksi sebesar itu tentu memerlukan kompensasi perluasan area di luar Jawa minimal seluas lahan yang dikonversi. Menurut Sekretariat DKP (2002), terjadinya konversi lahan tersebut ternyata mampu diantisipasi pemerintah dan
60
Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional
masyarakat dengan perluasan area di luar Jawa maupun upaya intensifikasi. Bila tidak ada konversi, kapasitas produksi pangan nasional tentu lebih besar lagi dan tantangan peningkatan produksi tidak seberat yang dihadapi saat ini. Tabel 3. Perkiraan kehilangan produksi padi periode 1981- 1999 Wilayah
Jawa Luar Jawa Indonesia
Pengurangan luas sawah
Perkiraan luas panen
Produktivitas
Kehilangan produksi
ha
ha
t/ha
t
951.952
4,8
6.859.769
625.459
594.186
3,4
2.034.493
1.627.514
1.546.138
4,1
8.894.262
1.002.055
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (2002) Rata-rata produktivitas periode 1981-1999, index pertanaman 1,5 di Jawa dan 1,0 di luar Jawa
Data produksi tahun 1981, 1990, dan 2001 menunjukkan bahwa berkurangnya luas lahan sawah di Jawa sejauh ini belum menurunkan luas area panen maupun produksi tanaman pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai. Bahkan luas panen dan produksi tanaman pangan utama tersebut mengalami peningkatan. Pada tahun 1981, luas panen dan produksi padi di Jawa mencapai 5,05 juta ha dengan total produksi 20,53 juta ton GKG (Tabel 4). Sedangkan pada tahun 2001 meningkat menjadi 5,7 juta ha dengan total produksi 28,3 juta ton. Ini berarti bahwa selama kurun waktu 1981 - 2001 terjadi peningkatan area panen sebesar 0,65 juta ha dengan peningkatan produksi sebesar 7,77 juta ton. Peningkatan luas area panen di Jawa disebabkan oleh peningkatan intensitas tanam, sedangkan peningkatan produktivitas disebabkan oleh perbaikan penggunaan teknologi, khususnya penggunaan varietas unggul. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa dan tingkat nasional belum berdampak pada penurunan produksi padi, karena adanya pencetakan sawah baru yang relatif lebih besar di luar Jawa. Walaupun demikian area sawah yang baru dicetak tersebut masih memerlukan waktu untuk menghasilkan produktivitas optimal yang diharapkan. Melihat kenyataan konversi lahan sawah di Jawa yang mencapai 1 juta ha selama periode 1981 – 1999, serta mempertimbangkan relatif kecilnya kemungkinan pengembangan lahan sawah di Jawa, maka konversi lahan sawah di Jawa sudah perlu dikendalikan. Bahwa luas panen dan produksi padi masih tetap meningkat meskipun konversi lahan terus berlangsung hendaklah ditafsirkan sebagai kemampuan untuk menetralisir dampak konversi lahan sawah tersebut.
61
T. Sudaryanto
Tabel 4. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi, jagung, dan kedelai Tahun
Luas panen Jawa
Luar Jawa
Produktivitas Jawa
ha
Luar Jawa
Produksi Jawa
Luar Jawa t
t/ha
Padi 5.045.975 5.418.824 5.700.817
4.335.864 5.083.533 5.799.180
4,1 5,0 5,0
2,8 3,5 3,8
20.530.310 27.177.422 28.312.396
12.243.866 18.001.329 22.148.286
2.008.127 1.946.302 1.866.305
946.867 1.211.790 1.419.561
1,7 2,3 3,0
1,3 1,8 2,6
3.313.409 4.496.867 5.662.986
1.195.893 2.237.161 3.684.206
652.463 725.659
156.920 608.441
0,9 1,2
0,8 1,0
579.387 873.806
124.124 613.627
2001 468.082 Sumber : BPS, (2002)
210.766
1,3
1,1
587.167
239.765
1981 1990 2001 Jagung 1981 1990 2001 Kedelai 1981 1990
Luas panen jagung di Jawa pada tahun 1981 sebesar 2 juta ha menurun menjadi 1,87 juta ha pada tahun 2001. Tetapi kondisi sebaliknya terjadi di luar Jawa yaitu dari panen seluas 0,95 juta ha pada tahun 1981 menjadi 1,42 juta ha pada tahun 2001. Namun demikian produksi jagung malah meningkat baik di Jawa maupun di luar Jawa masing–masing sebesar 3,31 juta ton dan 1,2 juta ton pada tahun 1981 menjadi 5,66 juta ton dan 3,68 juta ton pada tahun 2001. Begitu pula yang terjadi pada komoditas kedelai, meskipun luas panen mengalami penurunan pada periode tahun 1981 – 2001 baik di Jawa maupun luar Jawa, tetapi produksi masih mengalami peningkatan meskipun relatif kecil. Disisi lain, pengurangan lahan sawah akibat konversi ternyata menyebabkan penurunan penguasaan lahan sawah per rumah tangga, namun penurunan penguasaan lahan sawah tersebut diikuti oleh peningkatan penguasaan lahan nonsawah. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan petani terhadap lahan sawah semakin meningkat sehingga pendapatan perkapita petani yang berasal dari lahan sawah mengalami penurunan. STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI Potensi lahan sawah yang ada perlu dikembangkan terus untuk meningkatkan produksi sebagai alternatif mengatasi dampak dari konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Strategi yang digunakan dalam mewujudkan upaya tersebut dapat
62
Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional
dilakukan melalui tiga strategi yakni (Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002): a. Peningkatan produktivitas hasil Peningkatan produktivitas hasil komoditas dijalankan secara terencana dan berkelanjutan melalui peningkatan mutu intensifikasi dengan menerapkan rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat mesin pertanian dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan mulai dari tahap praproduksi hingga panen/pasca panen seperti; •
penyiapan lahan secara tepat waktu,
•
pemanfaatan air secara optimal,
•
penggunaan benih varietas unggul dan bermutu,
•
penyediaan sarana produksi enam tepat (tepat waktu, jumlah, jenis, harga, mutu, serta tepat penggunaannya),
•
perbaikan budi daya,
•
pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik,
•
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT),
•
penekanan kehilangan hasil panen, dan
•
penyediaan modal.
Dalam upaya peningkatan produktivitas tersebut, inovasi teknologi berperan penting. Oleh karena itu penelitian untuk menemukan teknologi-teknologi baru perlu terus diprioritaskan. Demikian juga adaptasi teknologi baru dengan lingkungan setempat dan penyebarannya ke tempat lain dengan agroekosistem yang serupa terus dikembangkan. b. Perluasan areal tanam (PAT) Perluasan area tanam (PAT) ditempuh melalui: 1). peningkatan indeks pertanaman (IP) dari IP 100 menjadi 200, atau IP 200 menjadi 300, 2). mengoptimalkan pemanfaatan lahan–lahan potensial seperti lahan kering, lahan pasang surut/rawa/lebak, lahan PIR-BUN, transmigrasi, HTI, hortikultura, serta lahan sawah cetak baru, atau 3). penambahan baku lahan (PBL) terutama di luar Jawa. Pada tahun 2003, optimalisasi lahan direncanakan seluas 23.716 ha tersebar di 29 propinsi, sedangkan penambahan lahan meliputi 17.057 ha, terutama di 16 propinsi di luar Jawa.
63
T. Sudaryanto
c. Pengamanan produksi Pengamanan produksi dimaksudkan untuk mengatasi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) serta bencana alam dan penanganan kehilangan hasil akibat panen dan pasca panen, sehingga produktivitas dapat optimal. Gangguan OPT dibatasi dengan mengintroduksikan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang memprioritaskan penggunaan pengendalian alami, antara lain dengan budi daya tanaman sehat, memanfaatkan musuh alami, dan pembatasan penggunaan pestisida. Untuk keperluan ini pemerintah memberikan dukungan dengan mengoperasionalkan laboratorium pengamatan dan peramalan OPT, laboratorium pestisida, dan pengembangan deteksi dini yang dilakukan oleh para petugas pengamat hama dan penyakit. KESIMPULAN 1. Konversi lahan pertanian ke nonpertanian merupakan proses alami sebagai konsekuensi dari laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama di wilayah perkotaan. Konversi lahan pertanian memang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan pelambatan kapasitas produksi pangan. Namun demikian, dampak konversi tersebut selama ini dapat diatasi dengan perluasan area di luar Jawa dan peningkatan produktivitas sehingga produksi pangan nasional dapat terus tumbuh. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu terus diupayakan alokasi dana lebih proporsional untuk mengoptimalkan lahan pertanian, serta penelitian dan penerapan teknologi pertanian yang mampu mendorong peningkatan produktivitas. 2. Pembukaan lahan pertanian baru ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka mengkompensasi penurunan produksi akibat adanya konversi lahan pertanian ke nonpertanian terutama yang terjadi di Pulau Jawa. Program perluasan area tanaman pangan harus dilaksanakan secara berkoordinasi dan bersinergi antara pemerintah pusat dan daerah serta melibatkan pula dunia usaha.
64
Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan tahun 2003. Departemen Pertanian. Jakarta. (Tidak dipublikasikan) Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. (Tidak dipublikasikan) Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2002. Seputar Isu Konversi Lahan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. (Tidak dipublikasikan)
65