LAMPIRAN
Materi Buku JALAN HIDUP ENAM SENAR: Memoar Seorang Gitaris
INTRO Hanya dari enam senar, seribu satu nada indah dapat dihasilkan. Hanya dari enam senar pula, lahir jalinan musik nan menggetarkan sukma. Komposer besar dunia Ludwig van Beethoven (1770 - 1827) bahkan memuji gitar sebagai miniatur orkestra. Ya, sebuah orkestra yang mudah dijinjing ke mana-mana dan dimainkan kapan saja. Sayangnya, belum banyak yang mengenali kemampuan ini. Dalam kenyataannya, saat ini gitar masih lebih dikenal sebagai instrumen pengiring nyanyian. Paling banter untuk bermain melodi dengan not satu per satu. Padahal, kita bisa memainkan sekaligus bas, chord, melodi, bahkan perkusi hanya dengan satu gitar. Karena itu, jika Beethoven menyebut gitar miniatur orkestra, saya menjuluki gitar sebagai
"one man band
instrument".
Buku
ini bukanlah buku pelajaran atau panduan bermain gitar. Anda tidak akan
menemukan hal itu di sini. Apa yang saya tawarkan di sini adalah cuplikan pengalaman hidup dan proses saya dalam menekuni seni bermain gitar tunggal. Ada dua manfaat yang saya harapkan diperoleh pembaca dari buku ini. Pertama, pembaca bisa mengenal seni bermain gitar akustik tunggal. Namun yang lebih penting
47
48 lagi adalah, pembaca bisa lebih memahami dan menghargai proses untuk untuk meraih suatu hasil. Baik itu di bidang musik, ataupun bidang kehidupan yang lainnya.
Semoga harapan ini tercapai. Selamat membaca.
BERAWAL DARI DUA CHORD Persentuhan saya dengan gitar paling awal terjadi sekitar tahun 1978 di Semarang, kota kelahiran saya. Saya duduk dikelas 5 sekolah dasar. Gitar pertama yang saya mainkan adalah gitar buatan Solo. Ayah saya yang membelinya. Dia memang sejak remaja hobi bernyanyi dan bermain musik. Begitu juga ibu saya.
Semasa mudanya, ayah saya adalah pemain band di Semarang, kota kelahiran saya. Sedangkan ibu saya, pernah beberapa kali menyanyi diiringi band ayah saya. Keduanya bisa memainkan gitar otodidak, belajar sendiri tanpa kursus atau les. Hanya dari temanteman main band. Kemampuan mereka bermain gitar terbatas untuk mengiringi nyanyian. Rumah kami memang tak pernah sunyi dari musik. Selain karena ayah dan ibu senang menyanyi, mereka juga sering memutar koleksi kaset mereka.
Sebetulnya instrumen musik yang saya mainkan pertama kali adalah harmonika --ibu saya yang membeli-- dan kemudian suling recorder Yamaha saat ikut kegiatan musik di sekolah. Keterampilan saya bermain suling cukup bagus. Bahkan lagu-lagu pop yang sulit pun bisa saya mainkan. Saya belajar lagu-lagu itu dengan mendengarkan radio sambil berbaring. Menyanyi dan meniup suling mengikuti lagu-lagu populer yang
49 mengalun dari radio (kebiasaan menyanyi di depan radio ini berlangsung sejak saya balita).
Awalnya saya belum terlalu peduli pada gitar, karena merasa sudah cukup puas dengan suling dan menyanyi. Saya mulai tertarik ketika suatu hari mendengarkan ayah dan ibu saya memainkan sebuah lagu sederhana, lengkap dengan bas, ritem, dan melodinya. Itulah setahu saya, satu-satunya komposisi gitar tunggal yang mereka kuasai. Mereka tidak tahu judul lagu itu karena mempelajarinya dari seorang teman. Kelak, bertahun-tahun kemudian setelah saya les gitar, saya baru tahu: lagu itu adalah sebuah etude --komposisi musik yang diciptakan untuk sebuah instrumen dengan tujuan meningkatkan kemahiran musisi. Komposisi sederhana namun manis ini ciptaan Ferdinando Carulli, komposer gitar dari Italia. Memang, apa yang dimainkan ayah-ibu saya merupakan versi sederhana dan lebih ngepop ketimbang komposisi orisinilnya. Tidak jelas, siapa yang telah "usil" merevisinya.
Pada saat hampir bersamaan, seorang teman SD saya memikat saya pula dengan permainan gitarnya. Memang, hanya dalam bentuk iringan chord. Namun ia punya banyak pengetahuan variasi irama. Tangan kanannya mampu mengocok dawai-dawai gitar dengan lincah dan gesit. Dua faktor inilah yang makin menguatkan saya belajar gitar. Guru pertama saya adalah ibu saya. Lagu pertama yang saya pelajari iringannya adalah lagu anak-anak, Lihat Kebunku, ciptaan Ibu Sud. Chord-nya hanya ada dua C dan G7. Mudah sekali. Sekali diajari sudah bisa langsung dimainkan.
50 Sejak itulah saya mulai keranjingan memainkan gitar berdawai logam itu. Dari dua chord, saya mulai menguasai chord-chord dasar lainnya. Sebuah majalah juga ikut andil mengasah kemampuan saya mengiringi dengan gitar. Nama majalah itu Top Chords. Isi majalah ini adalah kumpulan lagu-lagu barat dan Indonesia yang sedang populer saat itu, lengkap dengan chord dan diagramnya (menujukkan senar dan posisi mana yang mesti dipencet).
Saya juga jadi mulai paham berbagai macam progresi (perpindahan gerak) chord yang enak di kuping dan jadi andalan para pencipta lagu. Segala macam lagu saya coba mainkan chord-chordnya. Beberapa lagu yang saya ingat pada saat awal mulai gandrung bergitar adalah The End of The World (Skeeter Davis) serta Karmila (Farid Harja). Lagu-lagu Koes Plus juga termasuk favorit saya. Saya menyanyikannya sambil bermain iringannya dengan gitar.
Kemampuan mengiringi lagu dengan berbagai jenis irama terus berkembang. Terutama terbantu berkat beragamnya jenis kaset musik yang dikoleksi ayah saya: dari penyanyi pop, musik orkestra Paul Mauriat dan Mantovani, sampai waltz-nya Chopin dan konsertonya Vivaldi. Semua bisa saya nikmati. Tiap hari saya dan adik-adik saya mendengar alunan musik-musik merdu. Empat dari lima adik saya --kami enam bersaudara-- juga bisa main gitar dengan kemampuan lumayan. Andai saja tidak tinggal terpencar, mungkin sekarang kami sudah mendirikan ensambel gitar.
Ketika kelas 6 SD, saya sudah tampil di depan publik main gitar di GOR Semarang dalam sebuah pentas seni sekolah. Tidak sendirian, melainkan bersama ensambel musik
51 sekolah mengiringi teman-teman menyanyikan lagu Dondong Opo Salak. Pengalaman itu sungguh berkesan karena dua hal. Pertama: saya jadi sadar bahwa untuk bisa tampil baik di depan penonton, prosesnya tidak mudah. Kami menghabiskan puluhan jam berlatih agar penampilan mulus, kompak, dan indah. Yang kedua: saya merasakan betapa nikmatnya mendengar tepuk tangan penonton saat usai berpentas. Segala kepenatan dan ketegangan menjelang tampil luruh seketika.
Sebetulnya saat itu saya juga punya hobi lain, yakni menggambar. Kata teman dan guru-guru saya sih saya berbakat. Tiap hari ada saja teman yang minta tolong dibuatkan gambar. Macam-macam obyeknya:. dari gambar mobil sampai superhero. Sejumlah prestasi di bidang menggambar juga saya raih. Yang tertinggi, saya pernah jadi juara umum lomba menggambar SD se-kota Semarang. Juara umum karena nilai saya paling tinggi dari semua pemenang per kategori umur. Bahkan sempat terpikir oleh saya saat itu untuk kelak jadi pelukis.
KEKAGUMAN YANG MUNCUL Suatu hari seorang teman SD saya bercerita, dia pernah melihat orang memainkan lagulagu pop, tanpa menyanyi, hanya dengan satu gitar. "Edan lho! Jari kanannya bisa memetik melodi, sambil nggenjreng chord, dan memetik basnya sekaligus. Katanya dia belajar gitar klasik," kisahnya semangat.
Cerita teman tadi bikin saya penasaran. Mulailah saya mengutak-atik permainan gitar saya. Jika memang gitar bisa dimainkan seperti itu, kenapa saya tidak mencobanya? Saya mulai belajar sendiri memainkan melodi dengan iringannya sekaligus. Pilihan jatuh
52 pada lagu pop Minang Ayam den Lapeh. Lagu ini saya pelajari dari ibu saya yang sering mendendangkannya dengan iringan gitar.
Keistimewaan Ayam den Lapeh, selain lagunya enak, melodinya terjangkau untuk dimainkan dalam tangan kiri diam terus di posisi yang sama. Dengan demikian, memudahkan saya memasukkan chord-chordnya sekaligus. Hanya dua jari --jempol dan telunjuk-- yang saya gunakan memetik. Saya melatihnya tiap malam. Akhirnya eksperimen saya berhasil! Lagu itu bisa saya mainkan komplet dengan iringannya.
Tak lama setelah itu, saya masuk SMP (tahun 1980). Sesuai minat, saya ambil musik sebagai kegiatan esktra-kurikuler. Dalam kegiatan ini, kulintang, suling recorder, dan gitar, disatukan. Di sinilah saya baru menyaksikan ilmu bermain gitar klasik. Pasalnya, ada beberapa teman sesama pesera ekskul yang ikut kursus gitar klasik. Hebat, pikir saya.
Memang, yang mereka mainkan adalah etude-etude sederhana untuk pemula. Tapi buat saya indah luar biasa. Apalagi melihat kerapian jari-jemari mereka saat memetik dan memencet senar. Sungguh efisien gerakannya. Lucunya, mereka sendiri juga heran melihat saya bisa memainkan gitar tunggal tanpa kursus, dan tanpa membaca skor/partitur pula.
Terpikat oleh seni gitar klasik, saya pun minta ayah membolehkan saya kursus gitar klasik. Sebetulnya, ini permintaan yang sulit karena saya tahu persis kondisi ekonomi keluarga kami saat itu sangat pas-pasan. Tapi bagaimana lagi, saya sudah tak tahan lagi.
53 "Paling lama saya cukup belajar setahun saja. Setelah itu saya bisa mencari uang sendiri dengan mengajar gitar," janji saya pada mereka. Kelak, janji ini terlambat saya tepati. Karena ternyata, baru setelah empat tahun belajar saya bisa mengajar.
Mungkin menyadari keinginan anaknya sudah tak terbendung lagi, mereka pun membolehkan saya mendaftar kursus gitar klasik di Sekolah Musik Obor Mas, Semarang, yang memegang lisensi YMI untuk mengajar musik dengan kurikulum Yamaha. Entah dari mana mereka mencarikan tambahan dana untuk membiayai saya les, tapi yang jelas itu salah satu keputusan terbaik mereka untuk saya. Guru gitar saya bernama Pak Hartono. Saat itu dia merangkap mengajar kimia di sebuah SMA di Semarang.
Di SMP pula, saya untuk pertama kalinya saya merasakan main gitar listrik saat diajak gabung dengan band sekolah. Lagu-lagu yang kami mainkan cukup variatif, dari lagu pop macam Mother How Are You Today sampai lagu-lagunya The Police dan Queen. Saya juga jadi gitaris (dengan gitar klasik) grup vokal sekolah. Saya juga ikut menjadi gitaris saat pertandingan grup vokal antar-sekolah se-Semarang. Bahkan kami berhasil menjadi Juara I. Kembali saya merasakan nikmatnya kesuksesan sebuah penampilan setelah melewati perjuangan latihan yang berat dan melelahkan.
KURSUS GITAR, SEBUAH PENGALAMAN TERINDAH Kursus gitar adalah salah satu pengalaman terindah saya selama hidup. Saya sengaja memilih kelas grup (6 orang) yang biayanya paling murah. Hari pertama masuk, Pak Hartono mengecek satu per satu calon muridnya, apakah ada yang sudah bisa bermain
54 gitar. Ada dua atau tiga orang termasuk saya. Kami diminta memainkan gitar. Saya memainkan House of The Rising Sun. Ini lagu kedua yang bisa saya mainkan dengan gitar solo setelah Ayam den Lapeh. Pak Hartono cuma manggut-manggut.
Kursus sejam seminggu sekali itu saya jalani dengan kegairahan luar biasa. Saat itulah saya mulai belajar cara bermain gitar klasik yang benar. Juga belajar cara membaca not balok.
Kemampuan
membaca
partitur
ini
luar
biasa
dampaknya
terhadap
perbendaharaan lagu saya sampai sekarang. Lewat partitur, saya bisa mempelajari banyak komposisi baru yang indah, sekaligus menemukan berbagai teknik maupun jurus baru dalam bermain gitar.
Pendeknya, kemampuan saya berkembang pesat. Baru beberapa minggu, saya sudah "menyalip" rekan-rekan sekelas saya. Sangat mungkin karena saya sebelumnya sudah akrab dengan gitar. Saya juga sudah mulai melupakan menggambar. Sejak les gitar, saya tak pernah lagi senang menggambar, sampai sekarang ini. Yang ada di benak saya hanya gitar dan gitar. Bahkan setiap masuk sekolah, rasanya tak sabar untuk segera pulang dan memainkan gitar.
Mengingat kemajuan saya yang pesat, Pak Hartono menemui ayah saya. Ia minta agar saya dipindahkan ke kelas privat agar bisa mendapat perhatian yang lebih khusus. Artinya, biaya kursus jadi lebih mahal. Sudah tentu ayah saya pikir-pikir. Namun berkat lobi guru saya, pihak sekolah musik bersedia memberi kelonggaran biaya les privat hingga 50 persennya. Jadilah saya pindah ke kelas privat.
55 Orang tua juga membelikan saya gitar klasik (senar nilon) bermerek Osmond. Karena gitar murah, suaranya sebetulnya kurang bagus. Agak sumbang dan juga keras senarnya. Namun masih jauh lebih bagus dari gitar senar logam bikinan Solo sbelumnya saya mainkan. Bagi saya, itu pemberian yang sangat berharga.
Saya beruntung mendapatkan guru seperti Pak Hartono karena ia memiliki kemauan untuk belajar segala jenis musik, di samping musik gitar klasik itu sendiri. Dia pula yang memperkenalkan saya pada jazz, rock, sampai pop dan keroncong. Semuanya dimainkan di gitar tunggal. Dengan begitu, wawasan musik saya bertambah luas. Dari beliau pula saya mulai mengenal adanya festival gitar yang sudah diadakan Yamaha Music di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. "Tahun depan kamu ikut saja untuk bagian bebasnya. Potensi kamu ada di situ," anjurnya.
Beliau pun memberi saya rekaman final bagian bebas Yamaha Festival Gitar Indonesia (YFGI) tahun 1980. Yang saya ingat, ada Koo Tjoe Liang, arek Surabaya, memainkan lagu tema Hawaii Five O, lengkap dengan tabuhan drumnya (meraih gelar Juara I), dan Ricky Rusady, adik Ully Sigar, memainkan Rock Around The Clock-nya Bill Halley dengan seru dan heboh (dia jadi runner up). Meski hanya mendengar dari rekaman yang kualitasnya pas-pasan, saya betul-betul melongo mendengarnya. Sulit dipercaya, gitar bisa dimainkan seperti itu!
Karena saat itu lagu yang saya kuasai adalah Ayam den Lapeh, saya pun mulai memoles aransemennya. Termasuk di antaranya menambahkan efek perkusi dengan memukulmukul gitar. Begitupun, saya tetap bergairah mempelajari teknik dan lagu-lagu klasik.
56 Sering saya menghabiskan berjam-jam tiap hari untuk belajar memainkan komposisi baru yang ada di buku pelajaran. Ujian-ujian kenaikan grade juga saya ikuti dengan antusias.
Ketika masuk SMA, kegilaan pada gitar makin menjadi. Rasanya tak tahan menunggu bel pulang, mengenjot sepeda lekas-lekas, dan segera memainkan gitar. Bisa dibilang, waktu yang saya habiskan untuk latihan gitar lebih lama dibanding bikin PR atau mengulang pelajaran sekolah. Itu sebabnya, nilai rapor saya saat SMA tak pernah bersih dari warna merah (untungnya selalu naik kelas). Orang tua saya tidak pernah melarang saya bermain gitar. Namun mereka tetap mengingatkan saya agar terus bersekolah sampai dapat gelar sarjana.
GITAR CICILAN MASUK FINAL Hari pelaksanaan festival makin dekat. Saya terus berlatih melancarkan permainan. Ayam den Lapeh yang sudah saya meriahkan dengan atraksi tetabuhan. Satu lagu lagi harus saya siapkan, karena peserta harus memainkan dua lagu. Saya memilih lagu tua Take My Hand for A While. Yang satu syahdu, satunya lagi riang. Saya kurang ingat, kenapa memilih lagu tua itu. Yang pasti keduanya sering saya dengar dari koleksi musik ayah saya. Aransemennya saya bikin sederhana saja.
Karena untuk kompetisi, oleh Pak Hartono saya diharuskan memakai gitar yang bagus. Tidak mungkin memakai Osmond tua saya yang suaranya sumbang dan keruh. Masalahnya, gitar klasik hand-made sangat langka di Semarang. Kalaupun ada, harganya mahal sekali. Syukurlah ada Pak Handana, seorang gitaris teman Pak Hartono
57 yang bersedia menjual gitarnya pada saya. Harganya Rp 250 ribu. Sangat besar waktu itu. Memaklumi kondisi ekonomi keluarga saya, dia pun mempersilakan saya mencicil pembayarannya selama setahun. Saya amat berterima kasih atas bantuannya.
Kompetisi hanya terdiri dari dua babak: penyisihan dan final. Seleksi berlangsung di Jakarta. Bagi peserta dari luar Jakarta sebetulnya cukup mengirimkan rekaman kaset. Namun guru saya bersikeras mengajak saya ke Jakarta untuk mengikuti seleksi finalis secara langsung. Akhirnya, kami pun berangkat ke Jakarta dengan kereta api. Seingat saya, biaya perjalanan dan penginapan disokong SM Obor Mas. Itulah untuk pertama kalinya saya menyaksikan Ibu Kota.
Seleksi berlangsung di sekolah musik Yamaha cabang Jalan Bumi, Jakarta Selatan. Puluhan peserta dengan gitar masing-masing sibuk berlatih menunggu giliran tampil di hadapan juri. Belum pernah saya melihat gitaris klasik sebanyak itu sekaligus! Di sanasini ada beberapa gitaris dengan permainan yang bikin saya geleng-geleng. Permainan peserta yang sedang dapat giliran dipancarluaskan juga keluar ruangan dengan sebuah speaker. Beberapa peserta bagian bebas sebelum saya juga bikin saya keder dengan permainan mereka yang yahud. Tapi sudahlah, saya pasrah saja. Lebih baik berkonsentrasi melemaskan jari-jari yang mulai dingin dan berkeringat.
Giliran saya tiba. Saya masuk ke ruangan dan duduk di kursi yang menghadap ke beberapa juri. Saya bermain sebisa saya. "Tidak usah mikir aneh-aneh. Pokoknya main sesantai mungkin saja," pesan guru saya. Meski jari gemetaran, saya bisa menyelesaikan dua lagu dengan lancar. Begitu keluar ruangan, guru saya memberi selamat.
58
Kami pulang ke Semarang malamnya. Seminggu kemudian, datang kabar: saya masuk final. Kebetulan, Semarang dipilih sebagai penyelenggara final YFGI 1982. Dengan demikian, saya tak perlu keluar kota lagi. Final berlangsung di Gedung BPD Semarang. Gugup dan tegang itu pasti karena baru sekali itu saya bermain gitar tunggal di hadapan banyak penonton. Lagu pertama, Ayam den Lapeh mendapat tepuk tangan dari penonton. Terutama saat saya menyelesaikan bagian tetabuhan dan memasuki bagian pizzicato, teknik memetik tapi sambil meredam bunyi senar dengan telapak tangan. Lagu kedua tidak tampil maksimal. Saya cenderung ngebut membawakannya karena ingin cepat-cepat menyelesaikan permainan.
Saya tidak menang. Juara bagian bebas adalah duet kakak-beradik Mahesh dan Suresh dari Jakarta yang membawakan Sabda Alam ciptaan Ismail Marzuki dan No Mystery karya empu gitar Larry Coryell. Untuk bagian bebas, memang dibolehkan peserta duet atau trio. Nilai mereka untuk poin teknik dan aransemen jauh di atas penampilan saya. Mereka mampu berimprovisasi dengan not-not cepat, saling mengisi melodi, bak adu tembak senapan mesin. Suatu pengalaman baru buat saya menyaksikan permainan gitar mereka.
MULAI DAPAT PENGHASILAN Festival itu menumbuhkan rasa percaya diri. Setidaknya, saya sudah menyandang status finalis tingkat nasional. Terlebih lagi, usai festival saya dipanggil Pak Jaya Suprana untuk berbincang dengan beliau di kantornya. Kebetulan, Pak Jaya termasuk salah satu
59 juri di final festival itu. Dalam pertemuan itu, beliau mengungkapkan kekagumannya pada gitar, sekaligus memberi semangat.
"Terus terang saya mengagumi keberanian gitaris daripada pianis. Mereka berani tampil sendirian di panggung yang besar dengan memainkan alat musik yang kecil. Sedangkan pianis, meski sendirian, tapi ditemani alat musik yang sangat besar ukurannya. Jadi, enggak terlalu takut-lah. Mereka juga enggak menghadap langsung ke penonton," begitu kurang lebih inti ucapan pianis dan pengusaha jamu ini. (lebih dari dua puluh tahun kemudian, Pak Jaya buka rahasia, dia sebetulnya memberi saya nilai tertinggi, tapi rupanya juri yang lain tidak sepaham dengannya). Saya tidak sendirian menemui Pak Jaya, melainkan bersama Judi Krisnadi, sesama siswa gitar dari SM Obor Mas yang akan bertanding di bagian klasik dalam Yamaha South East Guitar Festival 1982 di Jakarta. Tahun sebelumnya Judi memenangkan festival tingkat nasional. Pada masa itu, juara festival tingkat nasional memang mendapat tiket bertanding di tingkat Asia Tenggara. Judi akhirnya jadi juara I. Indonesia memang selalu meraih gelar gelar Juara I di tingkat Asia Tenggara. Sayang, sejak tahun 1984, Yamaha tidak pernah lagi mengadakan festival tingkat Asia Tenggara. Kabar yang saya dengar, karena terbatasnya dana untuk acara-acara gitar.
Saya tidak melulu bermain gitar klasik. Di SMA saya juga ikut bergabung dengan grup vokal (sebagai gitaris) dan band sekolah. Lucunya, dalam band sekolah saya diminta jadi pemain bas. Soalnya, saat itu memang jarang yang bisa main bas. Sedangkan saya tahu sedikit-sedikit karena sebelumnya sering diajak guru gitar saya bermain dalam band Meditation String yang ia dirikan bersama teman-temannya.
60
Karena tak pernah belajar main bas elektrik secara formal, saya lebih banyak mengandalkan kaset untuk mempelajarinya. Juga dengan "memindahkan" teknik-teknik gitar klasik ke dalam permainan bas. Gaya permainan yang mungkin rada aneh ini akhirnya membawa saya menjadi Pemain Bas Terbaik dalam festival band SMA seKodya Semarang.
Niat saya cari duit lewat gitar baru kesampaian saat saya di SMA. Beberapa teman minta kursus privat. Juga ada tawaran melatih grup vokal di sekolah lain. Bersama Meditation String, saya sempat pula manggung di berbagai pesta perkawinan. Honornya tidak terlalu besar, tapi lumayan untuk membeli senar gitar dan kaset-kaset musik yang saya inginkan. Dengan begitu, saya tidak membebani keuangan orang tua yang serba terbatas.Yang lebih penting lagi, pengalaman bertambah dan mental di panggung terasah.
Pengalaman menarik lain saat SMA adalah membentuk ensambel gitar sekolah. Idenya datang dari kepala sekolah SMA saya, Pater Nico Dumais, SJ. Beliau "memerintahkan" saya menyatukan para murid yang bisa bermain gitar dalam sebuah orkes gitar. Namanya juga perintah dari kepsek, saya pun mulai berkeliling kelas ke kelas menanyakan siapa yang mau bergabung.
Setelah didaftar, terkumpul sekitar 40-an siswa-siswi. Ini tugas yang sulit karena kemampuan para gitaris ini amat bervariasi. Apalagi tidak semuanya bisa membaca not. Namun dengan cara lisan dan meniru, grup gitar ini bisa memiliki perbendaharaan lagu
61 yang cukup untuk tampil dalam pesta ulang tahun sekolah di GOR Semarang. Salah satu lagu yang kami tampilkan adalah Gundul Gundul Pacul. Sementara itu les gitar saya terus berjalan. Oleh pimpinan sekolah musik, saya bahkan dibayari ikut kursus teori musik pada Pak Khoen Tjiang, seorang pendidik musik di Semarang. Bukan itu saja, saya juga diikutkan dalam kursus teori improvisasi yang diiberikan oleh pianis jazz Bubi Chen. Kebetulan Om Bubi, saat itu sedang ada tugas melatih grup musik sebuah bank di Semarang. Kursus teori ini juga diikuti semua guru di sekolah musik Obor Mas. Hanya saya satu-satunya perserta yang bukan guru.
Saya juga mengikuti kompetisi-kompetisi gitar selanjutnya. Tahun 1983, lagi-lagi saya cukup puas sebagai finalis. Baru pada final tahun 1984 (di Surabaya), saya menjadi runner up, dengan memainkan lagu Salamku Untuknya yang populer lewat alunan suara Vina Panduwinata, serta lagu tua April in Portugal. Juara pertamanya adalah gitaris Bandung, Vence Manuhutu, yang permainannya amat jazzy. Para juara mendapat hadiah gitar Yamaha. Gitar ini sampai sekarang ada di Semarang dan sering dimainkan ayahibu saya.
PANAS-DINGIN DI HONGKONG Tahun 1984 saya mendapat durian runtuh. Yayasan Musik Indonesia, sebagai sekolah musik lisensi Yamaha meminta saya mewakili Indonesia ke festival gitar Yamaha tingkat Asia Tenggara di Hongkong. Pasalnya, juara dari tahun sebelumnya, trio asal Solo, sudah bubar. Dari Jakarta, diutuslah bos instruktur gitar, Pak Danny Tumiwa. Saya diminta bermain di hadapannya. Hasilnya, kemampuan saya dinilai oke dan boleh
62 berangkat ke Hongkong. Sebuah berkah yang luar biasa. Apalagi pada tahun berikutnya festival gitar tingkat Asia Tenggara sudah ditiadakan. Tentu saja saya girang bukan main. Tak pernah terbayang oleh saya bakal dikirim bermain gitar di luar negeri. Saya berangkat bersama Lanny Astuti, juara bagian klasik dari kompetisi tahun sebelumnya. Kami sama-sama murid SM Obor Mas. Kami dikawal oleh Pak Danny dan juga Bu Tatang dari SM Obor Mas.
Seluruh kegiatan yang saya alami di Hongkong sangat menyenangkan. Kami diperlakukan bak artis penting. Panitia bahkan menyelenggarakan jumpa pers khusus untuk acara ini. Hongkong dipilih jadi penyelenggara karena letak geografisnya bertetangga dengan Asia Tenggara. Mereka juga mengirimkan wakilnya. Hanya Filipina yang saat itu absen lantaran gejolak politik dalam negeri.
Selama di Hongkong, saya tidak terlalu banyak bepergian karena harus banyak berlatih di kamar hotel. Meski begitu, kami sempat diajak panitia mengunjungi beberapa obyek wisata. Yang terpenting bagi saya saat itu adalah adanya kesempatan berinteraksi dengan para gitaris dari berbagai negara, kendati masih dalam lingkup regional.
Acara berlangsung di Academic Community Hall, Kowloon, 9 Desember 1984. Menjelang pertandingan, saya malah demam. Maklum belum terbiasa dengan suhu musim dingin. Untung Bu Tatang membawa balsem dan mengeroki saya. Persis menjelang naik pentas, saya masih merasa lemas dan panas-dingin tak karuan. Ajaib, begitu saya memainkan gitar, tiba-tiba badan kembali segar. Saya memainkan komposisi jazz Captain Caribe karya Earl Klugh dan lagu pop We're All Alone.
63
Juri akhirnya memberi saya Distinguished Award, alias gelar juara II. Bagi saya ini sudah cukup membanggakan karena juara pertamanya, dari Singapura, bermain luar biasa. Ia membawakan lagu iklan rokok Marlboro (dari film tua koboi The Magnificent Seven) dengan banyak teknik perkusi sehingga mengundang tepuk tangan gemuruh. Sedangkan aransemen saya biasa-biasa saja, mengingat persiapan yang mendadak.
Begitupun tradisi kontingen Indonesia menggondol gelar juara masih dipertahankan karena Lanny Astuti dinyatakan sebagai Grand Prize Winner. Lanny mendapat hadiah gitar Yamaha tipe Grand Concert yang saat itu harganya sekitar Rp 5 juta. Sedangkan saya mendapat trofi dan piagam saja.
MENUJU JAKARTA Tahun 1985 saya terpaksa meninggalkan Semarang karena diterima di Jurusan Kriminologi. Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI). Masuk perguruan tinggi negeri memang keinginan saya karena biaya SPP-nya murah. Kalaupun saya pilih jurusan kriminologi, itu karena peminatnya masih langka (meski saat ini sudah termasuk jurusan favorit).
Sempat terbersit memang masuk perguruan tinggi musik, hanya saja saya masih gamang, apa iya saya mau jadi gitaris. Terlebih pula, biayanya ternyata tidak murah juga. Karena itulah kesempatan emas belajar di UI tidak saya sia-siakan. Toh yang penting bisa tetap main gitar, pikir saya. Apalagi UI waktu itu ada di Jakarta, di mana kesempatan berkembang sebagai gitaris bisa lebih besar.
64
Pemikiran saya tidak keliru. Di bangku kuliah saya terus berlatih dan mengembangkan permainan gitar saya. Tentu saja saya kembali ikut festival gitar. Tahun 1986 saya kembali masuk final. Malam final diadakan di Erasmus Huis, Jakarta. Saya memainkan Madu dan Racun, serta Hai Becak, lagu anak-anak ciptaan Ibu Soed. Baru dalam festival ini saya bertekad ingin menang dan jadi juara nasional. Sudah sekian kali jadi runner up (termasuk di tingkat Asia Tenggara), masak iya tidak bisa jadi juara nasional?
Itu sebabnya saya memilih Madu dan Racun karena lagu itu sedang top-topnya saat itu. Begitu juga alasan saya memilih Hai Becak yang sudah akrab di telinga semua orang. Prinsip saya ketika itu, aransemen harus bisa membetot perhatian penonton sekaligus menghibur mereka. Bila itu sudah bisa saya dapat, tentu penilaian juri tidak jauh berbeda. Lagu pertama saya bikin dengan irama sedikit dangdut dan rame. Variasinya tidak banyak. Sedangkan lagu kedua justru sebaliknya, saya buat dalam banyak variasi (ritmik, melodi, tempo, warna suara, sampai harmoni) karena lagu aslinya sangat pendek.
Untuk pertama kalinya, saya merasa sangat percaya diri tampil dalam festival. Dan memang, sambutan penonton amat meriah. Tepuk tangan dan celetukan kekaguman meletup di sepanjang saya bermain gitar. Terutama saat saya memainkan Hai Becak. Hanya saja, juri punya pendapat lain. Saya kembali mendapat gelar runner up. Mereka memilih David Bangun, mahasiswa dari Bandung yang memainkan Layang-Layang dan All Things You Are, sebagai juara I. David memang bermain lebih mulus dengan harmoni lebih kaya. Meski harapan tak kesampaian, saya sama sekali tak kecewa. Justru
65 saya gembira karena di festival inilah saya merasa menemukan gaya permainan gitar seperti apa yang disukai penonton.
YFGI tahun 1986 ini juga menjadi pemicu bagi saya untuk mulai belajar menuliskan aransemen saya ke dalam partitur. Pasalnya, banyak gitaris yang ingin bisa memainkan Hai Becak dan meminta saya menuliskan partiturnya. Karena desakan amat banyak, saya pun mulai belajar cara menulis skor untuk gitar tunggal. Mulailah saya mencicil memindahkan aransemen yang ada di otak saya ke atas kertas. Karena mesti ditulis hati-hati dengan tangan dan aransemennya juga lumayan panjang, tiga bulan berikutnya barulah saya merampungkannya. Segera saya membagikannya kepada mereka yang berminat. Gratis, memang, tapi saya senang bisa berbagi sesuatu pada pecinta gitar. Pengalaman menulis partitur itu sangat berarti karena kelak setelah itu saya jadi makin terbiasa menulis partitur untuk gitar tunggal.
Gaya aransemen yang kurang lebih sama saya terapkan dalam lagu Rame-Rame (Funk Section) dan Naik Delman (Pak Kasur) saat mengikuti YFGI 1987. Kedua lagu itu saya buat sangat ramai dengan berbagai trik efek suara dan variasi harmoni, tanpa mengganggu keaslian lagu. Kali ini saya tidak mengharapkan kemenangan. Yang ada dalam benak saya hanyalah keinginan memamerkan pada penonton, betapa kayanya suara dan teknik permainan gitar.
Niat saya kesampaian. Baru saja saya memainkan intro lagu pertama, penonton sudah "heboh". Kali ini selera juri sama dengan selera penonton. Saya menjadi juara pertama, untuk pertama kalinya. Hadiah sebuah organ mini saya jual dan saya gunakan untuk
66 menyambung kontrakan di Depok (karena kampus UI dipindah ke kota itu). Itulah kali pertama saya merasakan menjadi juara gitar nasional.
MENJADI WARTAWAN Di samping berfestival, antara tahun 1986 - 1987 itu saya juga memberi les-les privat, dan ikut bermain band di kampus. Saya juga sempat mencicipi masuk studio rekaman berkat bantuan teman saya Djono, mahasiswa antropologi yang gemar main keyboard dan sering mengajak saya ngeband. Kesempatan itu saya peroleh karena orang tuanya memiliki studio rekaman. Bersama Djono, saya sempat mendapat order membuat jingle iklan sebuah merek keripik kentang.
Pengalaman serupa juga saya peroleh dari gitaris Renee Nessa Sahir, yang sempat jadi teman akrab semenjak bertemu di final YFGI 1986 (ia kini tinggal di Amerika Serikat). Bedanya, Djono mengajak saya rekaman band, dan Nessa mengajak rekaman gitar. Sayangnya, saya tak lagi memiliki salinan rekaman pribadi itu.
Berkat Nessa pula, saya mendapat kesempatan menjadi gitaris di Indonesia Petroleum Club (IPC), Jakarta. Tugas saya adalah bermain gitar menemani makan malam di restoran
IPC.
Pekerjaan
itu
sebelumnya
milik
Nessa.
Dia
meminta
saya
menggantikannya karena hendak merantau ke Amerika. Selama tiga bulan (seminggu sekali) saya mendapat pengalaman baru, bagaimana bermain gitar tunggal di hadapan umum selama dua kali 1,5 jam. Termasuk pula meningkatkan spontanitas memainkan langsung lagu-lagu yang diminta tamu, kendati sebelumnya saya belum pernah memainkannya.
67
Sampai tahun 1991 saya absen ikut festival karena lebih berkonsentrasi menyelesaikan kuliah dan juga mengajar gitar di SMP-SMA Kolese Kanisius, Jakarta. Saya memberi kursus gitar, dan menulis artikel tentang kriminologi di media massa. Saat itu saya tak lagi minta uang dari orang tua karena mereka sedang berat-beratnya membiayai kuliah adik-adik saya.
Mengenai kemampuan menulis, saya pelajari di bangku kuliah serta dari teman-teman saya di jurusan kriminologi yang memiliki bakat menulis (banyak kini lulusannya jadi wartawan). Salah seorang teman ini, Maman, mengajak saya bergabung di Tabloid NOVA. Karena saya sudah tinggal menyusun skripsi, dan juga murid gitar sedang tidak ada, saya sanggupi.
Saya masih ingat sewaktu datang membawa surat lamaran (serta contoh-contoh tulisan) saya hanya ditanya oleh editornya, "Kapan bisa mulai kerja?" Saya jawab kapan pun saya siap. "Kalau begitu, mulai sekarang ya..." sahutnya.
Maka, Juli 1990 itu resmilah saya jadi wartawan. Pekerjaan ini ternyata bagi saya sangat menyenangkan. Betapa tidak, kita bisa berkeling berbagai tempat, ke berbagai peristiwa, dan berkenalan dengan bermacam-macam orang. Tapi yang paling asyik, bisa sering nonton konser musik dengan gratis hanya dengan berbekal kartu pers!
GITAR DI KOLONG MEJA
68 Di tengah kesibukan sebagai reporter, saya tetap bermain gitar. Semasa sibuk sebagai reporter, saya bahkan sempat tiga kali mengikuti kembali YFGI (tahun 1992, 1994, dan 1995). Saya menjuarai ketiganya. Seperti sebelumnya, pada tiap festival itu saya berusaha menampilkan berbagai aransemen yang sedapat mungkin unik dan berkesan. Saya pribadi menyukai aransemen lagu tema film Mission Impossible, ciptaan Lalo Schriffin, yang saya mainkan tahun 1994.
Lagu ini jadi populer setelah film versi layar lebarnya (dibintangi Tom Cruise) jadi film laris. Namun saya sudah tertarik pada keunikan lagu ini sejak film serinya diputar di TVRI dan RCTI (versi baru). Dari dulu saya penasaran membayangkan lagu itu dimainkan dengan gitar tunggal. Pelan-pelan saya amati struktur bas dan melodinya, lalu saya gabungkan. Sampai kini, banyak sekali gitaris yang meminta saya menulis partitur lagu ini. Hanya saja, saya masih malas melakukannya karena penulisannya rumit. Banyak sinkopasi di dalam aransemennya yang bagi saya lebih mudah memainkannya ketimbang menuliskannya.
Keinginan ikut festival sebetulnya tak pernah padam. Motivasi saya bukan lagi untuk menang, namun lebih pada keinginan berbincang-bincang dengan para gitaris klasik yang sulit saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, semenjak 1995, peserta untuk bagian bebas makin sedikit, hingga akhirnya pihak YMI meniadakan bagian ini. Tinggal bagian klasik saja yang masih diadakan. Praktis sejak itu saya selalu jadi penonton dalam tiap YFGI.
69 Para finalis dari bagian klasik ini memiliki keterampilan yang luar biasa. Bahkan teknik saya pun kalah jauh dibanding mereka. Sebaliknya, mereka menilai saya punya kelebihan dalam membuat aransemen. Apa pun, saya tetap merasa masih banyak teknik gitar klasik yang tidak saya kuasai. Karena itulah, setelah 13 tahun tidak pernah belajar gitar secara formal, tahun 1998 saya kembali "mengulangi" pelajaran gitar klasik dari Pak Arthur Sahelangi, instruktur gitar YMI Pusat. Bahkan saya juga mengikuti ujian kenaikan grade instruktur.
Agar tetap bisa berlatih tiap saat, saya bawa gitar ke kantor. Saya simpan di kolong meja saat menyelesaikan tuga kantor. Jika capek dan perlu refreshing, saya tinggal mengambil gitar dan memainkannya. Untungnya bos saya bisa mengerti. Mesti terkadang dia suka mengeluh pusing jika saya memainkan lagu-lagu klasik yang berat. Ia paling girang jika dibolehkan nyanyi sambil saya iringi. Pak Arthur inilah yang kemudian mencetuskan ide mengadakan konser para eks-juara gitar YFGI. Rencana itu disetujui pihak YMI, karena dianggap dapat membantu mempromosikan gitar. Setelah melacak jejak para juara ini, Pak Arthur memilih lima orang untuk tampil. Salah satu dasar pemilihannya adalah, yang bersangkutan masih aktif bermain gitar dan punya nyali untuk tampil membawakan banyak lagu di atas pentas. Bukan cuma dua seperti saat festival. Saya terpilih bersama Nelson Rumantir, Rahmat Raharjo, Fernandez Setiahadi Candra, Ridwan Tjiptahardja, dan Wildan Kamil Arifin. Kecuali saya dan Nelson, selebihnya adalah para jawara gitar klasik.
Konser ini berlangsung 22 dan 28 Oktober 2000 di Jakarta dan Surabaya. Meski harus membayar Rp 15.000 dan Rp 10.000, penonton memadati kedua pertunjukan itu.
70 Melihat begitu "haus"nya penonton akan pertunjukan gitar, pihak YMI sampai berniat mengadakan acara ini secara rutin tiap tahun. Sekali di Jakarta, dan sekali di luar Jakarta. Sebuah langkah yang patut dipuji. Dan memang terbukti, hingga tahun 2004 konser ini terus digelar. Namun sayang, setelah itu tidak lagi ada kabarnya. Konon karena Yamaha lebih memfokuskan pada kegiatan yang mempromosikan alat-alat band.
A SONG FOR RENNY Ada pertanyaan yang mengusik saya setelah sekian lama bekerja di NOVA, "Apakah saya akan sampai pensiun tetap di NOVA?" Pertanyaan itu mulai mulai muncul tahun 2000, ketika saya diangkat menjadi redaktur pelaksana. Ketika itu, saya sudah 10 tahun lebih bekerja di sana. Dan lingkup bidangnya di tempat yang sama: redaksi. Pekerjaan saya cukup luas, dari menentukan isi, mengatur penugasan reporter, mengumpulkan tulisan, menyunting, mengawasi kualitas cetak, sampai ikut rapat bersama bagian iklan dan promosi. Yang lebih berat lagi adalah tanggung jawabnya. Di mana saat itu saya mesti ikut merekrut karyawan, mendidiknya, mengevaluasi, sampai memecatnya jika perlu. Belum lagi tuntutan dari manajemen untuk terus meningkatkan jumlah oplah yang terjual. Pekerjaan ini tidak lagi semenyenangkan masa-masa saya menjadi reporter.
Dalam kurun waktu yang sama, saya merasakan kegairahan saya bermain gitar juga meningkat. Bahkan saya sempat bersama teman-teman menggelar konser gitar sendiri. Konser ini mendapat respon sangat bagus, termasuk dari media massa. Pengetahuan dan kemampuan saya bermain gitar juga malah bertambah. Ini gara-gara mulai adanya
71 internet. Saya bisa menemukan banyak artikel, musik, dan partitur gitar lewat internet. Bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan para gitaris di dalam dan luar negeri.
Tahun 2000 itu saya mulai memiliki web pribadi. Awalnya dari kegemaran saya berburu lokasi situs yang menyediakan partitur gitar. Karena mulai banyak, saya pun terdorong untuk membagikan informasi ini pada para peminat gitar. Yakni dengan menaruhnya di sebuah web pribadi. Agar lebih seru, saya pikir ada bagusnya juga saya masukkan pula beberapa partitur karya saya sendiri. Ternyata tanggapan atas web itu luar biasa. Saya pun serasa mendapat suntikan semangat dan mulai sering menulis aransemen maupun komposisi untuk dipasang di situ.
Berbagai peristiwa ini makin menguatkan dugaan saya, "Jangan-jangan. saya akan lebih berguna untuk masyarakat jika sebagai gitaris, ketimbang sebagai jurnalis." Kendati demikian tak serta merta saya memutuskan ganti haluan. Hampir tiga tahun lamanya saya menimbang-nimbang, apakah sebaiknya saya tetap bekerja atau jadi gitaris saja?
Baru pada tahun 2003 saya mengambil keputusan besar: meninggalkan NOVA demi bisa bermain gitar. Keputusan ini mengejutkan semua pihak, teman-teman maupun keluarga. Mereka umumnya ragu, apakah saya bisa hidup hanya dari gitar. Padahal karier saya sudah mapan. Saya punya gaji, aneka tunjangan, serta beragam fasilitas yang lumayan. Pendeknya, sebuah pekerjaan dan posisi yang nyaman.
Sebagian orang menganggap itu keputusan bodoh, gila, ngawur, nekat, dan sejenisnya. Tapi ada juga yang berpendapat itu keputusan yang tepat karena kecintaan saya pada
72 gitar. "Merupakan anugerah bila kamu melakukan pekerjaan yang kamu cintai dan kamu dibayar untuk itu," begitu kata seseorang. Dukungan terbesar saya peroleh dari istri saya. Ia mengatakan, "Jika memang menjadi gitaris membuatmu lebih bahagia, lakukan saja!"
Jujur, awalnya saya juga ragu. Setelah resmi jadi pengangguran, saya sempat berpikir, apa iya saya bisa hidup hanya dari gitar? Karena bagaimana pun, jika tidak ada pemasukan, bagaimana nanti saya hidup? Kendati begitu, saya tetap percaya, rezeki kita sudah diatur. Selebihnya adalah bagaimana upaya kita untuk menemukannya. Jika hanya berpangku tangan, tentu saja tak ada hasilnya.
Saya sempat mengalami hari-hari tanpa pekerjaan. Namun saya tak merasakannya, karena waktu luang itu saya manfaatkan untuk menulis buku (yang kemudian terbit sebagai Gitarpedia: Buku Pintar Gitaris). Berbekal sertifikat guru Yamaha yang saya raih semasa saya masih jadi karyawan, saya juga mendaftar sebagai guru gitar. Tidak ada kesulitan saat audisi karena bahannya setingkat dengan bahan ujian yang pernah saya ikuti. Resmilah saya dikontrak sebagai guru Yamaha.
Saya beruntung diminta mengajar di sekolah musik yang tak jauh dari rumah. Awalnya hanya satu hari saja dengan beberapa murid. Honornya jelas tidak ada apa-apanya dibanding dengan pendapatan saya sebelumnya. Namun seiring waktu, saya mendapat tambahan hari lagi.
Kini saya sudah mengajar lima hari (sudah seperti masa ngantor dulu) . Total pendapatan dari mengajar saja sudah tidak beda jauh dari yang dulu. Meski demikian,
73 saya mengambil ujian kenaikan grade lagi. Setelah lulus, standar honor saya naik. Plus saya kini diminta jadi penguji dan seminator untuk guru. Beberapa kali pula saya diminta memberi workshop serta menjadi penguji tamu di berbagai institusi pendidikan musik formal maupun nonformal. Untuk menjaga kemampuan menulis, saya mengirim tulisan ke majalah edukasi musik Staccato dan diminta menulis rutin sejak 2004 hingga sekarang. Sejak 2009 Majalah Gitar Plus juga meminta saya menulis rutin tentang gitar akustik.
Selain dari mengajar, beberapa teman memberi job bagi saya untuk main di berbagai event (kawinan, ultah, launching, gathering, farewell party, dan sebagainya). Baik sebagai solois maupun dalam format grup atau band. Termasuk bersama Pak Jaya Suprana yang mengajak saya membentuk Kwartet Punakawan untuk memperkenalkan keindahan musik Indonesia di berbagai kota dalam dan luar negeri.. Boleh dibilang, saya sudah puas merasakan konser gitar di segala tempat dan suasana. Beberapa lokasi konser yang unik: 1) Di penjara (saat SMA, kuliah, dan saat bersama Kwartet Punakawan) 2) Di atas rakit yang melaju di kolam renang (acara ulang Global TV). 3) Di lapangan sepakbola (acara di Univeristas Satya Wacana Salatiga) 4) Di gedung olahraga (acara olimpiade sains di Bulungan, Jakarta) 5) Di pusat-pusat perbelanjaan (Yogya, Solo, Jakarta) 6) Di lapangan parkir timur Senayan 7) Di atas mobil (acara promosi NOVA)
74 Lokasi konser lainnya yang lebih umum adalah gedung-gedung pertemuan, restoran, hotel (berbintang maupun tidak), studio televisi, studio radio, sekolah dan kampus, rumah tinggal, dan tentu saja gedung konser. Hampir semua gedung konser bagus di Jakarta sudah pernah saya jadikan tempat konser. Di luar negeri, saya bersama Kwartet Punakawan sudah bermain di Tokyo, Singapura, dan beberapa kota Australia. Pengalaman tak terlupakan adalah tampil di Sydney Opera House yang termasyhur itu, Agustus 2008.
FANTASY TRILOGY Suatu ketika, ada yang minta saya mengisi gitar untuk album rekaman. Tawaran serupa mulai berdatangan setelah itu. Dari situ, saya mulai termotivasi untuk membuat sendiri album solo gitar. Mulailah saya mencicil rekaman, lagu per lagu, di sebuah recording studio di Jakarta. Biaya semua dari kantong sendiri.
Gagasan awalnya adalah mendokumentasikan karya-karya aransemen saya saat ikut kompetisi gitar, Dalam bayangan saya, tiap main di mana, saya akan bawa CD itu untuk dijual. Setidaknya biar orang bisa tahu bahwa bermain solo gitar adalah karya seni tersendiri. Hanya saja, karena belum ada waktu dan biaya untuk memproduksinya, master rekaman itu tersimpan di lemari selama dua tahun. Saya sempat berkenalan dengan dua peroduser rekaman, namun mereka tidak tertarik saat saya menyodorkan album itu. Mereka yakin, pembelinya akan sangat sedikit.
Tahun 2007 saya diminta membantu mengisi gitar untuk sebuah album rekaman seorang penyanyi. Ketika berkenalan dengan produsernya saya sampaikan bahwa saya punya
75 master rekaman solo gitar. Maukah memproduksi dan mengedarkannya? Pak Wandy, produser itu. tak langsung setuju. Ia memperdengarkannya dulu
pada teman dan
kerabatnya. Karena banyak yang suka, akhirnya ia pun oke.
Kini album berjudul Becak Fantasy itu sudah beredar di pasaran. Kata "fantasy" artinya adalah komposisi musik yang bersifat bebas, tidak memiliki bentuk tertentu, namun tetap terikat pada tema utama. Ini tepat untuk menggambarkan aransemen lagu Hai Becak yang saya jadikan andalan pada album itu.
Buntut dari lahirnya CD itu, permintaan wawancara dari koran, majalah, radio, dan televisi jadi meningkat. Di luar dugaan pula, album ini cukup laku (untuk ukuran album instrumental). Hingga Januari 2009 sudah terjual lebih dari 10 ribu keping CD. Ini mendorong lahirnya album kedua tahun 2008. Hujan Fantasy, yang sama larisnya. Saya menerima banyak tanggapan positif baik lisan maupun lewat e-mail atas album-album ini. Pada umumnya mereka merasakan ada kenyamanan dan ketenangan saat mendengar musik saya. Tahun 2009, album ketiga kembali dibuat dengan konsep yang tidak jauh berbeda, yakni menyuguhkan lagu-lagu terkenal lewat petikan enam senar gitar akustik.
Dampak dari album rekaman ini, tawaran manggung bertambah lagi. Setiap kali manggung, selalu saja ada yang minta tanda tangan dan foto bersama. Tawaran membuat musik rekaman juga bermunculan, baik itu untuk album musisi/penyanyi lain, musik latar untuk audio-book, hingga musik film. Alhasil, pendapatan saat saya saat ini sudah menyamai, dan terkadang melebihi pendapatan saya semasa menjadi jurnalis. Yang lebih penting lagi, kini saya bekerja di bidang yang memang saya cintai.
76
Jadi, jika saat ini ada yang bertanya mungkinkah bisa hidup hanya dari gitar, maka jawabnya: sangat mungkin. Saya hanya salah satu contoh. Saya tahu persis, masih banyak lagi orang lain yang bisa hidup berkecukupan lewat profesi sebagai gitaris. Sering saya dengar teman-teman saya berkomentar, "Alangkah enaknya kamu: senangsenang tapi malah dibayar."
Ada betulnya. Kendati demikian, hendaknya jangan melihat sekilas hasil yang ada sekarang. Untuk mencapai hasil itu, tentu diperlukan proses yang tak mudah. Proses inilah yang terkadang terlewatkan dari pandangan banyak orang. Ada banyak hal pula yang harus kita lakukan agar tetap eksis berkarier sebagai gitaris. Beberapa di antaranya yang saya pelajari dari pengalaman: 1) Tidak pernah berhenti belajar Hal-hal baru yang dipelajari umumnya terbagi dua: yakni berkaitan dengan teknik /keterampilan memainkan instrumen, serta yang berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang musik. Sumber pengetahuan bisa dari buku, majalah, jurnal, partitur, radio, video, CD, acara televisi, internet, nonton konser, dan orang lain. Dengan demikian, mustahil rasanya jika kita tidak menemukan hal baru apa pun dalam sehari.
2) Perluas pergaulan Berkenalan-lah dengan musisi-musisi yang non-gitaris. Juga dengan musisi dari aliranaliran musik yang beragam. Bergabunglah dengan berbagai komunitas musik. Jangan batasi diri dengan musik jenis tertentu. Jika memungkinkan, ajak mereka main musik bersama. Bila kemampuan kita masih kurang dibanding mereka, jangan malu
77 mengakuinya. Belajarlah dari mereka. Pengalaman saya, dengan pergaulan yang lebih luas, serta pengalaman bermain jenis musik yang beragam, maka peluang kita mendapatkan tawaran main akan lebih besar.
3) Promosikan diri Ada banyak cara mempromosikan diri. Yang paling simpel adalah memiliki kartu nama (business card istilah keren-nya).Buatlah pula biodata diri Anda beserta foto yang bagus. Biasanya, event organizer atau panitia sebuah acara akan meminta sebelum mereka memutuskan memakai Anda. Memasang iklan di media massa juga bisa menjadi sarana promosi. Iklan kolom pun sudah cukup. Bagi yang bisa komputer, ada baiknya juga membuat website atau blog pribadi. Membuat buku, menulis di majalah, tampil dalam konser, dan membuat album rekaman juga bisa menjadi sarana promosi. Dua yang pertama tidak perlu biaya banyak, namun hasilnya optimal karena penyebarannya luas.
4) Jaga sikap dan karakter Dengan orang manakah Anda lebih suka bekerja sama: orang yang bicaranya kasar atau yang tutur katanya santun? Orang yang suka datang terlambat saat latihan atau yang selalu tepat waktu? Orang yang sombong atau yang rendah hati? Orang yang percaya diri atau yang selalu minder? Orang yang selalu berkata "wah, itu sulit" atau orang yang berkata "OK, saya akan kerjakan!" Orang yang suka mengeluh atau yang selalu berpikir positif? Orang yang berani menyatakan pendapat di depan kita atau orang yang lebih suka ngomel di belakang kita? Tentu Anda mengerti maksud saya bukan? Intinya, sikap dan karakter Anda berpengaruh pada kemajuan karier Anda. Sehebat apa pun seorang
78 musisi, bila karakter dan sikapnya senantiasa negatif, kecil peluangnya untuk berkembang.
5) Kreatif Definisi paling simpel dari "kreatif" adalah upaya untuk menghasilkan sesuatu yang baru, unik, berbeda dari yang lazim. Sebagai guru, kita bisa kreatif dalam metode pengajaran hingga murid senantiasa gembira dan termotivasi dalam belajar.Sebagai musisi, tentunya kita kreatif dalam menghasilkan karya. Memang, karya yang kreatif belum tentu bisa diterima semua orang. Kendati demikian, sesuatu yang unik dan berbeda biasanya akan lebih menarik perhatian. Dan ini merupakan hal penting dalam upaya memasarkan sebuah produk. Termasuk produk musik. Sebagai penutup, saya hendak menegaskan bahwa potensi dan kemampuan luar biasa di satu bidang, itu tidak cukup. Ada banyak faktor lain yang menentukan apakah kita akan mampu sukses dan bertahan di bidang itu.
POSTLUDE: MASA DEPAN GITAR Meski Indonesia memiliki banyak gitaris tunggal yang tekun dan berpotensi luar biasa, apresiasi masyarakat terhadap alat musik ini masih kurang. Gitar sering kali dianggap tak lebih dari alat musik pengiring belaka, sekadar untuk digenjrang-genjreng. Banyak pula yang mengidentikkan gitar sebagai alat musik pengamen jalanan yang kalah gengsi dengan piano, biola, atau elekton. Tak heran jika jarang ada pengusaha yang mau memasok buku, kaset, CD, ataupun video gitar.
79 Kebanyakan orang pun jarang yang tertarik belajar gitar klasik. Kalaupun ada, berdasar pengalaman saya mengajar, mereka selalu dihinggapi "penyakit " tidak mau sabar. Maunya ingin cepat bisa memainkan lagu, tanpa melakukan latihan-latihan jari. Ibaratnya, mereka ingin segera bisa membuat rumah tanpa harus menyusun batu batanya satu per satu lebih dulu.
Namun belakangan ini saya mendapati mulai banyak anak muda yang terrik mempelajari seni bermain solo gitar. Baik itu klasik ataupun bukan. Beberapa sekolah sudah mulai berani mengadakan kompetisi solo gitar. Misalnya, saya sudah dua kali dimnta menjadi juri lomba gitar solo di sekolah. Beberapa sekolah musik juga rajin menggelar konser dan kompetisi gitar intern. Meski memang tak segencar instrumen piano, namun belakangan ini terasa ada peningkatan yang signifikan. Perkembangan teknologi, terutama komunikasi dan internet juge mempercepat meluasnya popularitas seni bermain solo gitar. Di situs Youtube, misalnya, kita bisa menemukan ribuan video permainan gitar tunggal dari gitaris amatir hingga kelas dunia, yang mencakup segala genre musik. Saya beberapa kali dikejutkan oleh murid saya yang tiba-tiba saja bisa memainkan dengan bagus sebuah lagu yang saya sendiri tidak bisa memainkannya. Mereka rupanya belajar langsung dari Youtube.
Melihat semua gejala ini, saya optimis, masa depan seni gitar (khususnya seni bermain solo gitar klasik maupun non-klasik) akan cerah. Akan lebih banyak orang yang mengetahui, memahami, dan menghargai permainan gitar tunggal. Akan lebih banyak pertunjukan, liputan dari media, dan juga rekaman gitar tunggal. Karena bagi saya gitar adalah instrumen terindah. Harganya relatif terjangkau, mudah ditenteng ke mana-mana,
80 hanya punya enam not, namun memiliki kemampuan seperti sebuah orkestra jika ditangani dengan tepat.
Mudah-mudahan catatan saya ini juga bisa menjadi salah satu penyumbang bagi tercapainya kondisi tersebut. ***