Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Masyarakat Jepang Modern Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah mampu hidup seorang diri. Sejak lahir hingga dewasa ia memerlukan perawatan manusia lain, baik dalam arti fisik maupun mental. Mereka senantiasa hidup berkelompok dan membina kerja sama dalam mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan bersama. Kehidupan bersama itu menimbulkan kebutuhan tatanan yang menjamin ketertiban hidup bersama. Betapapun kecilnya, setiap kelompok sosial memiliki pranata sosial sehingga kerangka acuan dan pedoman dalam menata kehidupan bersama bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Setiap individu sebagai anggota suatu masyarakat harus mampu membina hubungan dengan sesamanya. Untuk itu, ia harus menguasai pengetahuan budaya agar mampu memainkan peran-peran sosialnya (Madubrangti, 2008:1). Keluarga menurut Osada dalam Prayogo (2007:18-19) adalah sebagai berikut:
. Terjemahan: Definisi dari keluarga adalah ”suami istri sebagai pusat, anggota kerabat dekat yang mempunyai hubungan darah adalah orang tua dan anak, kakak adik dan lain – lain. Anggota tersebut saling mengasihi satu sama lain dan mempunyai ikatan kepercayaan yang mengikat.
Bagi masyarakat Jepang, kelompok merupakan keterkaitan sekumpulan orang-orang yang didasari atas kerja sama dan usaha untuk mencapai kesejahteraan pemenuhan kebutuhan. Masyarakat modern berevolusi dari buyarnya masyarakat desa dan kota yang 7
bersifat komunitas secara ketat. Meskipun setiap orang kain dalam nasyarakat massa ini juga sama saja terlepas dari masyarakat komunitas yang kecil, namun tidak ada ikatan yang mempersatukan mereka bersama-sama; semuanya mempunyai asal-usul pekejaan dan kelas sosial yang berlain-lainan. Latar belakang pendidikan dan asuhan juga berbedabeda. Karena tidak ada komunitas yang dapat meringankan perasaan keterasingan dan suasana tidak berdaya, dan tidak ada pula tradisi atau kebiasaan bersama, maka mereka hidup dalam suasana anomi. Hiruk-pikuk dan kemacetan kota-kota besar itu adalah tambahan yang penting bahkan sering disambut baik, bagi kehidupan orang-orang tersebut, tetapi setelah sepenuhnya menerjunkan diri ke dalam kehidupan yang penuh sesak ini, mereka tetap kesepian karena kurangnya hubungan-hubungan manusiawi. Unsur-unsur pembentuk masyarakat massa ini akhirnya berubah menjadi mayoritas yang anonim dan kerumunan tanpa bentuk (Riesman, 1991:123). Satu-satunya tempat pelarian mereka adalah keluarga mereka. Tetapi keluarga tidak selalu dapat menjadi tempat pelarian yang memadai bagi perasaan keterasingan dan tanpa daya. Bila akhirnya seseorang tidak menemukan rasa aman dalam kehidupan keluarganya, mungkin ia mencari pelarian pada nasionalisme, atau yang lebih buruk ia mungkin tergoda oleh daya tarik fasisme. Pekerjaan hanya membuat orang-orang ini menjadi roda gerigi dalam mesin atau menjadi banyak butir pasir yang bertebaran. Akibatnya mereka selalu mengalami frustrasi. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi pada taraf tertentu dapat menyebabkan meledaknya emosi secara besar-besaran. Masyarakat tidak mendorong tumbuhnya pola-pola perkembangan pribadi yang membawa orang menuju apa yang oleh Riesman, Masyarakat Jepang Dewasa ini (1991:125) disebut manusia yang “diarahkan
8
dari dalam”. Orang-orang Jepang yang “diarahkan oleh tradisi” hanya mempunyai sedikit sumber untuk membuat kepuasan pribadi bilamana mereka diharapkan pada semacam perubahan luar yang ditimbulkan oleh modernisasi, karena dunia sekitarnya mulai menampakkan ciri-ciri masyarakat massa, reaksi mereka adalah menyesuaikan diri. Dalam proses itu, ia belajar menuruti orang-orang yang berwenang serta kecenderungan yang sudah unggul, ia menjadi “diarahkan oleh orang lain”. Menurut Dwianto (2006) menyatakan: Teknologi adalah sesuatu yang tertanam dalam kehidupan masyarakat Jepang, teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan lagi dalam masyarakat Jepang baik dalam ekonomi dan kehidupan mereka. Selain itu, Jepang sendiri telah diakui oleh dunia sebagai negara maju selama dua puluh lima tahun terakhir ini.
2.2 Konsep keluarga Bagi manusia sebagai individu, keluarga merupakan bentuk kelembagaan sosial pertama yang dihadapinya dalam bentang hidupnya. Sedangkan bagi manusia sebagai makhluk sosial, keluarga merupakan kelembagaan social terkecil dan terpenting, dimana manusia itu berada yang merupakan bagian dari suatu sistim masyarakat. Salah satu bentuk pranata sosial yang paling mendasar dan paling banyak mencakup aneka ragam kebutuhan manusia adalah keluarga. Keluarga juga merupakan suatu satuan kekerabatan dan satuan tempat tinggal. Berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan seksual, kemesraan, cinta kasih, melanjutkan keturunan dan sebagainya dapat dilakukan dalam pranata keluarga. Suatu keluarga dapat ditandai dengan adanya kerjasama ekonomi antar anggota keluarga (Suparlan:2006). Keluarga merupakan unit satuan terkecil dari suatu masyarakat atau bangsa. Dengan demikian, keluarga menjadi suatu wadah untuk melestarikan kebudayaan yang dilakukan 9
dengan proses sosialisasi teriyama terhadap anak-anak yang lahir sebagai anggota baru dalam kebudayaan masyarakatnya. Menurut Kiyomi dalam Soelistyowati (2003:18) definisi keluarga Jepang adalah sebagai berikut :
Terjemahan : Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak- adik dan orang tua – anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. Orang tua dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui pelaku orang tua sebagai model yang dapat diamati oleh anak-anaknya, hal ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan kepribadian orang tua sehingga secara tidak sadar mempengaruhi penerapan pola asuh pada anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua pada tiap keluarga berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini bergantung pada pandang hidup, pendidikan, status sosial dan karakteristik yang ada pada diri masing – masing orang tua (Kail, 2001:395). Menurut Morgan (1992:21) keluarga adalah suatu kelompok sosial yang bercirikan tempat tinggal yang sama, adanya kerja sama ekonomis dan kegiatan reproduksi. Keluarga terdiri dari orang-orang dewasa dari kedua jenis kelamin, minimal dua orang yang memelihara hubungan seksual dalam aturan-aturan yang dapat diterima oleh lingkungan sosial atau masyarakatnya, dan satu atau lebih anak-anak, baik anak kandung maupun anak angkat.
10
Menurut Gunarsa (2004:1) pemberian kasih sayang dan pola asuh yang baik serta sesuai
dengan
perkembangan
anak
merupakan
faktor
yang
kondusif
dalam
mempersiapkan anak menjadi pribadi yang sehat. Karena keluarga merupakan suatu wadah atau tempat dalam memenuhi kebutuhan manusia, terutama dalam hal biologis maupun pengembangan kepribadian dan pertahanan hidupnya. Menurut Schneiders dalam Yusuf (2007:43) mengemukakan bahwa keluarga ideal ditandai oleh ciri – ciri sebagai berikut: 1. Minimnya perselisihan antar orang tua atau orang tua dengan anak 2. Ada kesempatan untuk menyatakan keinginan 3. Penuh kasih sayang 4. Penerapan disiplin yang tidak keras 5. Ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berpikir, merasa dan berperilaku 6. Saling menghormati, menghargai (mutual respect) di antara orang tua dengan anak 7. Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah 8. Menjalin kebersamaan (kerjasama antar orang tua dan anak) 9. Orang tua memiliki emosi yang stabil 10. Berkecukupan dalam bidang ekonomi 11. Mengamalkan nilai – nilai moral dan agama Pengertian mengenai kazoku, Toga dalam Torigoe (1993: 8) mengungkapkan: (
)
Terjemahan: Keluarga adalah kelompok kecil yang terbentuk berdasarkan ikatan batin yang kuat di antara sejumlah kecil kerabat dekat, yang beranggota inti orang – orang yang mempunyai hubungan khusus seperti suami istri, orang tua dan anak.
11
Apabila dalam suatu keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan fungsi – fungsi seperti telah diuraikan di atas, keluarga tersebut berarti mengalami stagnasi (kemandegan) atau disfungsi yang pada gilirannya akan merusak kekokohan konstelasi keluarga tersebut (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak). Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menerapkan pola asuh secara tepat dan sesuai kebutuhan pada anak. Kesalahan dalam menerapkan pola asuh akan berakibat buruk pada perkembangan anak (Yusuf, 2007:43-44).
2.2.1 Konsep Keluaga Inti Keluarga inti (kakukazoku) adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anakanak yang dihasilkan dari perkawinan mereka. Munurut Japanese Life Today (1991:7):
Terjemahan : Saat ini di kota-kota besar telah banyak bermunculan keluarga-keluarga yang menggunakan konsep keluarga inti yang terdiri dari suami istri serta anak mereka. Tetapi banyak masalah atau problematika yang timbul pada keluarga yang memakai sistem keluarga inti.
Proses sosialisasi di lingkungan keluarga bermula dari hubungan ibu dengan anak sejak ia dilahirkan. Gerakan menangis, buang air kecil, dan minum ASI adalah gerakan spontanitas anak sejak lahir. Hal ini menunjukan bahwa ada latihan sebagai proses belajar anak pada tahap pertama dalam bentuk pribadinya. Dalam hal ini ibu jari berperan sebagai orang lain,dan hubungan social yang terjadi pada anak hanya dengan ibunya.
12
Hubungan ini kemudian meluas menjaadi adanya hubungan ayah. Keberadaan ayah sama dengan keberadaan ibu, yaitu keberadaan yang menunjukan hubungan sosial secara vertical, antara orang tua dan anak. Apabila ia mempunyai saudara hubungan sosial yang terjadi dengan saudaranya adalah hubungan sosial secara horizontal, di antara mereka mempunyai kedudukan sosial yang sama terhadap kedua orang tuanya. Hubungan sosial dengan kedua orang tua dan dengan saudara ini adalah hubungan saudara yang mempunyai hubungan darah. Kesibukan ayah di kantor menyebabkan munculnya ungkapan “hatarakibachi” (lebah pekerja), yaitu ayah yang tugasnya hanya sebagai pencari nafkah tidak memikirkan kehidupan keluarganya. Selain itu ada juga ungkapan “kaishaningen” (manusia perusahaan), karena keberadaannya lebih banyak di perusahaan dari pada dirumah. Ketidakhadiran ayah diantara keluarga membuat peran ayah dirumah digantikan dengan ibu. Sang ibu mengajarkan aturan – aturan yang menjadi norma masyarakat. Ia sangat memperhatikan perkembangan pendidikan sekolah anaknya, disamping ia melakukan pekerjaan rumah tangganya. Akibatnya, anak menilai bahwa ibu sangat turut campuri urusan anaknya tentang pendidikan sekolah. Ketidaknyamanan anak terhadap peran ibunya dalam ikut campur urusan sekolah dirasakan sudah tidak wajar sehingga muncul ungkapan “kanpukanbo” di dalam kehidupan anak yang berarti ayah yang lembut dan ibu yang sangat ikut campur.(Madubrangti, 2008:10) Sebaliknya, para ibu mengatakan bahwa campur tangan mereka terhadap pendidikan sekolah anaknya ini dikarenakan kasih sayang yang sangat besar terhadap anaknya. Ibu tidak marah terhadap kenakalan anak yang dilakukan di rumah, atau ibu tidak memperhatikan kenakalan anak diluar rumah, tapi ibu sangat marah apabila anak tidak
13
mengikuti keinginannya. Ibu menganggap bahwa keinginan itu bukan keinginannya secara pribadi, tapi keinginan masyarakatnya, yaitu keinginan menjadi masyarakat Jepang sebagai gakurekishakai (masyarakat beriwayat pendidikan). Tuntutan masyarakat yang disampaikan sangat ketat oleh para ibu dirumah terhadap anak – anaknya menyebabkan muncul ungkapan “kyouikumama” , yaitu ungkapan terhadap ibu yang memberikan perhatian berlebihan dalam hal belajar anak yang berhubungan dengan pendidikan sekolah, sehingga anak merasakan kebebasannya hilang. Anak merasa bahwa pendidikan tambahan yang diharuskan oleh ibunya untuk diambil bukan keinginannya. Anak merasa sang ibu menjelalinya secara paksa dengan pelajaran – pelajaran sekolah yang sangat menjenuhkan. Proses sosialisasi yang terjadi didalam keluarga mengakibatkan anak kehilangan kebebasan pribadi. Keinginan untuk bersama temannya lebih dominan dari pada di rumah. Dari sudut pandang orang tua, siklus hidup keluarga inti bermula dari perkawinan, kelahiran anak, membesarkan anak, perkawinan anak sampai akhirnya kembali tinggal pasangan orang tua saja dan keluarga inti tersebut berakhir dengan kematian salah satu dari pasangan tersebut. Munurut Japanese Life Today (1991:7):
Terjemahan : Sekarang beberapa pasangan muda yang telah nenikah dan memiliki beberapa orang anak, mereka harus memikirkan apa yang akan terjadi apa yang harus mereka perbuat ketika mereka tua dan harus hidup sendiri.
14
2.3 Teori Psikologi 2.3.1 Skizofrenia Bleuler dalam Carson (1992:132) adalah orang yang pertama kali menciptakan istilah Skizofrenia pada tahun 1908. Ia menyebut skizofrenia atau split mind karena ia berfikir bahwa kondisinya ditandai pertama-tama oleh proses berfikir, kemudian adanya kelemahan koherensi antara pikiran dan perasaan, dan adanya orientasi ke dalam diri yang menjauhi realitas. Keretakkan melahirkan kepribadian yang ganda, tetapi berupa keretakan di dalam sisi intelektual, antara intelektual dengan emosi, dan antara intelektual dengan realitas. Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis yang ditandai terutama distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya prilaku menarik diri dari masyarakat sosial. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara skizofrenia dengan neurotik, yaitu bahwa penderita neurotik mengalami gangguan terutama bersifat emosional, sedangkan skizofrenia terutama mengalami gangguan dalam pikiran. Skizofrenia merupakan gangguan yang benar-benar membingungkan atau menyimpan teka-teki. Pada saat, orang-orang dengan skizofrenia berfikir dan berkomunikasi dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realita, dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata mereka terbalikbalik, mereka kehilangan sentuhan dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar (Nolen, 2004:134) Gangguan skizofrenia terkadang berkembang pelan-pelan dan tidak nampak dengan jelas. Dalam kasus-kasus tertentu, gambaran klinis didominasi oleh perasaan kurang hangat, minatnya makin lama makin lemah terhadap dunia lingkungannya, dan melamun
15
yang berlebihan serta tidak adanya responsivitas emosional. Akhirnya, respon-respon yang tidak selaras atau ringan saja tampil, misalnya tidak begitu peduli terhadap barang umum milik masyarakat. Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor skizofrenia antara lain anak yang dipelihara oleh ibu yang suka cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya (Nolen, 2004:137). Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samarsamar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet. Mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi (Sutardjo, 2005:146). Orang-orang dengan paranoid skizofrenia secara tinggi melawan argumen-argumen atau pendapat-pendapat yang melawan delusi mereka dan bisa jadi lebih mudah marah terhadap setiap orang yang berdebat dengan mereka. Mereka mungkin bertindak sangat arogan dan seolah-olah mereka superior terhadap orang lain, atau mungkin tetap jauh dan mencurigai. Kombinasi atau gabungan dari delusi penyiksaan dan kebesaran dapat mengarahkan orang-orang dengan tipe skizofrenia ini untuk bunuh diri dan bengis atau kejam pada orang lain (Kendler, 1994:147)
16
Menurut
Sutardjo
(2005:53),
indikator
pra-sakit
skizofrenia
antara
lain
ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang atau berputar-putar. Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin. Menurut Sutardjo (2005:68) gejala-gejala skizofrenia secara umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-Gejala Positif :
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran. Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-Gejala Negatif :
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan atau mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting 17
dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis. Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh (Wolberg, 2001:66).
2.3.1.1 Halusinasi Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentikkan dengan Skizofrenia. Dari seluruh pasien Skizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Menurut Hoeksama (2004:141) halusinasi ada bermacam-macam 1. Halusinasi pendengaran Pada halusinasi ini dimana orang mendengar suara-suara, musik, dan lain-lain, yang sebenarnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering muncul dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Suara-suara tersebut mungkin juga menyuruh mereka melukai seseorang atau melukai diri mereka sendiri. Orang-orang dengan gangguan skizofrenia mungkin bicara balik membalas suara tersebut, bahkan sebagaimana mereka berbicara kepada orang lain. 2. Halusinasi penglihatan Halusinasi ini biasanya seringkali berbarengan dengan halusinasi pendengaran. Pada halusinasi ini dimana orang meihat seseorang, makhluk gaib, bahkan sesuatu barang, yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi yang dialami oleh penderita biasanya berbeda intensitas dan keparahannya. 18
Fase halusinasi terbagi empat tahap : 1. Fase pertama Pada frase ini penderita mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Penderita mungkin atau memfokuskan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara. 2. Fase kedua Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, penderita berada pada tingkat ”listening” pada halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas. 3. Fase ketiga Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol penderita menjadi terbiasa dan tidak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman sementara. 4. Fase keempat Penderita merasa terpaku dan tidak berdaya melepas diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi penderita tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya (Nolen, 2004:12). 2.3.1.2 Delusi Delusi merupakan gagasan (idea) atau pendapat bahwa seorang individu meyakini suatu kebenaran, yang kemungkinan besar bahkan hampir pasti, jelas, dan tidak mungkin. Tentu saja, banyak orang terkadang memegang keyakinan yang kemungkin besar bisa jadi salah dan dikuasai keyakinannya sendiri. Tetapi orang-orang yang mengalami delusi
19
seringkali sangat bertahan untuk mendebatkan fakta-fakta yang berlawanan dengan keyakinan mereka. Penelitian yang membandingkan orang Jepang yang mempunyai skizofrenia dengan orang Eropa Barat yang mempunyai skizofrenia telah membuktikannya, dikalangan orang Jepang, delusi difitnah oleh orang lain dan bahwa orang lain mengetahui sesuatu yang buruk tentang mereka relatif sering muncul, mungkin karena penekanan dalam kebudayaan orang Jepang, dalam hal bagaimana seseorang dipikirkan oleh orang lain.
2.4 Teori Penokohan Dalam pembicaraan sebuah fiksi, istilah ’tokoh’ menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Penokohan dan karakterisasi - karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh2 tertentu dengan watak2 tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002:8). Menurut Nurgiyantoro (2002:8) menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan juga mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada tekhnik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Menurut Mido dalam Abriani (2006:8), sebuah cerita tentu terdiri dari peristiwa atau kejadian. Suatu peristiwa terjadi karena aksi atau reaksi tokoh-tokoh. Mungkin antara tokoh dengan tokoh, antara tokoh dengan lingkungan atau mungkin pula antara tokoh dengan dirinya sendiri
20
Menurut Oemarjati dalam Abriani (2006:9) menerangkan bahwa tokoh hidup dalam cerita ialah tokoh yang mmpunyai tiga dimensi, yaitu: 1. Dimensi fisiologis, yaitu ciri – ciri fisik sang tokoh: jenis kelamin, umur, keadaan tubuh/tampang, ciri – ciri tubuh, raut muka dan sebagainya. 2. Dimensi sosiologis, yaitu unsur – unsur status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, dan lain-lain. 3. Dimensi psikologis, yaitu mentalitas, tempramen, perasaan – perasaan dan keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan, dan lain-lain.
21