NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER PEREMPUAN : TINJAUAN PSIKOLOGIS TOKOH Oleh : Indiyah Prana Amertawengrum
ABSTRAK Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang. yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi). Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang terlihat lewat perilaku tokoh-tokohnya Psikologi digunakan untuk mengkaji aspek psikologi tokoh karena di dalam karya sastra inilah terkandung proyeksi psikologis pengarangnya yang merupakan hasil olahan dari pengalamannya sebagai seorang perempuan yang bekerja sebagai dokter dan hasil pengamatannya terhadap psikologis manusia-manusia lain di sekitarnya, yang tampak lewat psikologis tokoh imajinernya. Fenomena psikologis yang terjadi pada tokoh ‘Aku” terlihat melalui pergolakan-pergolakan batin tokoh. Benturan psikologis yang muncul dari kekecewaan, kemarahan, kebencian, kemunafikan, ketidakpuasan, kegagalan, perlawanan, dengan kesunyian, kesepian, dan kerinduan tokoh “Aku”, menunjukkan bahwa pengarang berhasil meramu berbagai aspek kejiwaan secara intens dalam karya sastra, dalam hal ini novel Memoar Seorang Dokter Perempuan.
PENDAHULUAN Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan manusia. Dalam hal ini kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono, 1979:1). Hal itu menunjukkan adanya keterkaitan antara pengarang dengan kenyataan sosial yang melingkunginya.
berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa (emosi).
Antara karya sastra dan pengarang memiliki hubungan batin yang sangat erat. Hubungan batin tersebut bukan saja dalam arti hubungan yang menjadi
tidak lain dari pelarian (escapism). Pada awalnya pengarang adalah seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubung adanya tuntutan
sebab timbulnya karya sastra seorang pengarang, tetapi juga hubungan dalam arti mencerminkan segi kejiwaan, segi pendidikan, pandangan sosial, bahkan filsafat hidup dan pandangan keagamaannya (Sukada, 1987: 48). Dengan kata lain, karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang
Freud (Damono, 1979:63) mengemukakan tentang hubungan antara karya sastra dengan diri pengarang. Freud memandang bahwa seorang pengarang adalah “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Menurutnya, kreatifitas seorang pengarang
akan kepuasan-kepuasan nalurinya yang tidak terpenuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakat yang istimewa, khayalan-khayalan dijalinnya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang
Indiyah Prama Amertawengrum : adalah ........
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
83
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga. Dengan melewati jalan tertentu,
digunakan untuk mengamati tingkah laku dan kehidupan kejiwaan tokoh-tokoh dalam novel. Hal
pengarang menjadi raja, pahlawan, dan tokoh-tokoh lain yang diimpikannya.
itu dimungkinkan karena bagaimana pun juga karya sastra itu merupakan ungkapan jiwa seorang pengarang yang dituangkan melalui media bahasa. Hal
Dari segi proses kelahirannya, karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwa pengarang dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi. Hal itu dikarenakan pengarang memiliki kepekaan jiwa yang sangat tinggi. Sementara itu, pengarang hidup berdampingan dengan mmanusia lain dan banyak mengadakan pengamatan terhadap manusia-manusia di sekitarnya, sehingga pengarang mampu menangkap suasana batin manusia lain yang paling dalam. Gejala-gejala kejiwaan yang dapat ditangkap oleh pengarang dari manusia-manusia lain tersebut kemudian diolah dalam batinnya dipadukan dengan kejiwaannya sendiri lalu disusun menjadi suatu pengetahuan baru dan diendapkan dalam batin. Setelah endapan pengalamanpengalaman cukup kuat memberikan dorongan pada batin pengarang untuk melakukan proses kreatif, maka endapan pengalaman tersebut diekspresikannya menjadi sebuah karya sastra. Dengan demikian, pengalaman kejiwaan pengarang yang semula terendap dalam jiwa, telah beralih ke dalam karya sastra yang diciptakannya, yang terproyeksi lewat ciriciri kejiwaan para tokoh imajinasinya. Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang terlihat lewat perilaku tokoh-tokohnya (Roekhan, 1990:93). Berpijak dari hal tersebut, karya sastra tidak mungkin dilepaskan dari pengarangya karena karya sastra tidak akan terlahir tanpa pengarang, sehingga keterangan tentang psikologi pengarang akan bermanfaat bagi kajian psikologi sastra. Psikologi, selain dapat digunakan untuk menganalisis jiwa pengarang melalui karya sastranya, dapat juga
84
itu menunjukkan bahwa di dalam sastra terkandung nuansa suasana kejiwaan pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa atau emosi. Sastra lahir dari proses imajiner yang sarat muatan kejiwaan (Endraswara, 2008: 87). Dengan kata lain, karya sastra tidak akan mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Pengalaman kejiwaan pengarang, dalam proses kreatifnya, beralih ke dalam karya sastra ciptaannya yang terproyeksikan melalui ciri-ciri kejiwaan tokohtokoh imajiner dan terlihat melalui perilaku tokohtokohnya. Dalam relevansinya dengan karya sastra, ada empat model pendekatan psikologis yang dihubungkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca sastra (Wellek dan Warren, 1989: 81). Namun demikian, menurut Ratna (2009:61) pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yakni pengarang, karya sastra, dan pembaca. Dalam penulisan ini kajian psikologi diarahkan pada karya sastra untuk mengkaji psikologis tokoh dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan karya Nawa el Saadawi.
SEKILAS NOVEL MEMOAR SEORANG DOKTER PEREMPUAN Memoar Seorang Dokter Perempuan merupakan karya sastra yang ditulis oleh Nawal ElSaadawi, seorang dokter bangsa Mesir. Selain sebagai dokter, ia dikenal pula sebagai penulis novel dan pejuang hak-hak wanita. Sebagaimana dikatakannya bahwa Memoar Seorang Dokter Perempuan bukan otobiografi, tetapi karya fiksi yang bermodal ‘gairah
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
orang muda, spontan, marah besar pada penindasan kaum perempuan dan dengan harapan besar akan datangnya hari esok yang lebih baik’.Buku ini mengungkapkan perasaan serta pengalamannya sebagai seorang perempuan yang bekerja sebagai dokter, tetapi sekaligus masih harus melakukan perannya sebagai seorang istri dan ibu di rumah (ElSaadawi, 990:xiv). Pada umumnya pengarang menampilkan tokohtokoh cerita dengan memberi nama- nama yang jelas, baik terhadap tokoh sentral maupun tokoh bawahan. Hal tersebut dimaksudkan agar pembaca dapat dengan mudah mengenali dan memahami peranan, karakter, dan kedudukan masing-masing tokoh cerita. Selain itu, pemberian nama kepada tokoh cerita dapat menambah hidupnya suasana cerita. Namun demikian, tidak berarti bahwa karya yang tidak menampilkan penamaan terhadap tokoh cerita, akan membuat karya tersebut tidak hidup. Di dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan tidak dijumpai penamaan terhadap tokohtokoh cerita. Dalam hal ini pengarang menggunakan sudut pandang tokoh (author participant). Ia menggunakan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi pada dirinya, dan mengungkapkan perasaannya sendiri . Oleh karena itu, dalam pembahasan akan digunakan tokoh “Aku” bagi tokoh sentral tokoh ini. Kajian ini hanya difokuskan pada satu tokoh, Aku. Hal itu didasarkan pada hasil pembacaan dan pengamatan terhadap keseluruhan cerita, bahwa tokoh ‘Aku” selain sebagai tokoh utama, tokoh sentral, “Aku” juga merupakan tokoh yang paling menonjol dari aspek psikologisnya.
ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH Freud (Suryabrata, 1993:46) menyatakan bahwa masa kanak-kanak mempunyai peranan penting, bahkan menentukan, bagi kehidupan masa dewasa bagi pembentukan kepribadian serta kesehatan mental. Hal tersebut tampak pada kepribadian tokoh “Aku” yang banyak dipengaruhi oleh masa kanak-kanaknya. Perlakuan yang diterimanya semasa kanak-kanak menjadikannya tumbuh sebagai pribadi yang kuat, pantang menyerah, mandiri, percaya diri, dan tidak mau terkekang. Sejak kecil “Aku” mendapat perlakuan yang berbeda dari saudara laki-lakinya, baik dalam hal makan, bermain, melakukan pekerjaan, berpakaian, atau pun dalam bertingkah laku. Ia merasa tidak bebas sebagaimana saudara laki-lakinya. Dalam hal berpakaian misalnya, Ibunya akan marah bila melihat baju yang dikenakannya tersingkap ke atas paha. Hal yang demikian tidak dapat diterima oleh “Aku” sehingga hal itu menimbulkan tekanan dalam dirinya karena keberadaannya sebagai perempuan. “Aku sering merasa kasihan pada diriku sendiri, mengunci diri dalam kamarku dan menangis. Air mata sungguhan pertama yang kutumpahkan dalam hidupku bukanlah karena aku tidak pandai di sekolah atau karena aku telah memecahkan suatu benda berharga, melainkan karena aku seorang anak perempuan. Aku menangisi kewanitaanku, sebelum aku tahu betul akan artinya. Tepat ketika kubuka mataku terhadap kehidupan, suatu keadaan permusuhan telah berlangsung antara diriku dan ciri pembawaanku. (hal. 3) Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa sejak kecil Aku telah menangkap adanya permusuhan atas keberadaan serta ciri kewanitaan. Bahkan, saat Aku mendapat menstruasi pertama kali, ia
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
85
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
menganggap bahwa kejadian itu merupakan kutukan Tuhan atas diri seorang perempuan. Ia merasa bahwa Tuhan pun membenci dan memusuhi anak perempuan. Tuhan hanya menyenangi anak laki-laki dalam segala hal. Keadaan yang demikian menimbulkan persepsi bagi dirinya bahwa apa yang ada pada diri perempuan adalah hal yang memalukan. Tumbuhnya buah dada semakin membuat “Aku” merasa malu, sedih, dan terhina atas perubahan fisik tersebut. “Aku bangun dari tempat tidur, memaksa diriku berdiri di depan kaca dan memandangi dua bukit kecil yang sedang tumbuh di dadaku. Aduh, rasanya aku ingin mati! Aku tak mengenali tubuhku sendiri yang setiap hari rasanya membawa malu padaku, menambah kelemahanku dan perhatianku pada diriku sendiri. Apa lagi yang akan tumbuh pada tubuhku esok? Gejala apa lagi yang akan diperlihatkan oleh sifat kewanitaan ini padaku?” “Aku benci jadi perempuan. Aku merasa seperti terbelenggu oleh rantai yang ditempa oleh darahku sendiri, mengikatku erat-erat” pada tempat tidurku sehingga aku tak mampu berlari dan meloncat. Rantai yang dibentuk oleh sel-sel tubuhku sendiri, rantai yang membawa rasa malu dan penghinaan! Aku menyembunyikan diri sendiri untuk menutupi kehidupanku yang menyedihkan ini.” (hal. 5) Kebencian “Aku” sebagai perempuan semakin bertambah tatkala seorang penjaga pintu tiba-tiba saja menggerayangi tubuhnya bagian bawah demi melihat ciri kewanitaannya tumbuh. Keadaan tersebut sangat memengaruhi psikisnya sehingga “Aku” sangat membenci kewanitaannya sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Taylor (1991: 197) bahwa peristiwa yang sifatnya negatif menunjukkan
86
hubungan yang kuat terhadap keadaan yang menyedihkan secara psikologis dan gejala kejasmanian.. Peristiwa yang negatif lebih menghasilkan stress daripada peristiwa yang positif. Hal itu terlihat pada apa yang terjadi dalam diri “Aku”. Hukuman mati yang dijatuhkan oleh “Aku” terhadap kewanitaannya adalah akibat peristiwa-peristiwa atau pun perlakuan-perlakuan yang diterimanya sejak kecil. Ia tidak mau lagi main-main, keluar ke jalan. Ia benar-benar menghidarkan diri dari laki-laki yang dianggapnya sebagai makhluk aneh yang bersuara keras serta berkumis. Ketidakberdayaannya melawan keadaan yang ada menyebabkan “Aku” menciptakan dunia pribadi khayalan bagi dirinya sendiri. Dikemukakan oleh Walgito (1990:102) bahwa dengan fantasi manusia dapat melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan “Aku”. Ia berfantasi guna melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya. Ia menghayalkan dirinya sebagai dewa perempuan yang duduk di atas singgasana yang menurut kehendak “Aku”.Ternyata keadaan itu menimbulkan rasa tenteram baginya, bagi seorang anak perempuan yang masih kecil. Seiring dengan pertumbuhannya, “Aku” merasa bahwa ibunyalah yang mengatur hidupnya, hari depannya, dan seluruh bagian tubuhnya. “Aku” mulai bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan ibunya terhadapnya. “Terkadang aku berpikir, perlakuannya yang keras terhadap diriku terasa lebih menyakitkan dibanding kalau ia mengganggu diriku. Dan bila ia benar-benar menyayangiku dan menginginkan aku bahagia, lebih daripada kebahagiaannya sendiri, mengapa permintaan serta keinginannya selalu saja bertentangan dengan kebahagiaanku? Bagaimana mungkin ia menyayangiku jika setiap hari ia memasang rantai belenggu pada lengan, kaki dan leherku?” (hal. 11)
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
Akibat perlakuan ibunya yang selalu bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh “Aku”, maka timbul keinginan “Aku” untuk memberontak. Ia tinggalkan flat tanpa minta izin pada ibunya dan memotong rambutnya yang panjang akibat rasa muak dan jijik terhadap kewanitaan. Ternyata rasa muak tersebut memberi tambahan kekuatan pada dirinya sehingga dengan langkah yang mantap dan potongan rambut yang baru, ia pulang ke rumah. Kemarahan ibunya semakin membuatnya merasa kuat. “ibuku menjerit dengan suara melengking dan menampar wajahku dengan keras! Setelah itu, sekali lagi ia menamparku sementara aku hanya berdiri saja di sana seakan-akan terpaku di tempat itu. Tindakannku yang menentang kekuasaan ini seolah-olah telah mengubah diriku menjadi suatu kekuatan yang tak tergoyahkan, kemenanganku atas ibuku menjelmakan diriku menjadi suatu permukaan yang kokoh, tak terpengaruh sedikit pun oleh serangan. Tangan ibuku menampar wajahku dengan keras, dan setiap kali ia menarik tangannya kembali, rasanya hanya ibarat tangannya memukul sebuah batu granit saja.” (hal. 12) Kemarahan ibunya akibat penentangannya tidak saja makin menumbuhkan kekuatan pada “Aku”,tetapi juga ketakutannya terhadap ibunya menjadi lenyap, dan hal itu ia anggap sebagai suatu kemenangan, sehingga muncul kesadaran baru dari dirinya bahwa rasa dan takut hanya dapat menyebabkan kekalahan dan kemenangan memerlukan keberanian. Selain itu, muncul keinginan “Aku” untuk menunjukkan kepada ibunya bahwa ia bukalah perempuan sebagaimana ibu dan neneknya. Ia tidak bermaksud menghabiskan kehidupannya dengan berkurung di dapur. Ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih pandai dari laki-laki manapun.
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
Untuk itu, ia memilih bidang kedokteran karena bidang kedokteran adalah sesuatu yang mengerikan, mengundang rasa hormat bahkan setengah rasa memuja dari ibu, atau saudara laki-lakinya dan juga ayahnya. Karena itulah ia bertekad menjadi seorang dokter. Ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa ia bisa mengatasi keterbatasan dan kekurangan sosok tubuh lemah yag membungkus dirinya, berikut bagian-bagiannya yang memalukan. Ia telah merencanakan jalan hidupnya dengan jelas, yaitu melalui jalam kerja otak. Ia juga telah menjatuhkan “hukuman mati” terhadap tubuhnya, menentang semua keinginan-keinginan tubuhnya. Ia pun mulai mendalami ilmu kedokteran, sehingga akhirnya ia mampu memahami bagaimana struktur dan cara kerja tubuh manusia. Dalam hal ini, bila diperhatikan bahwasanya tindakan “Aku” memilih bidang kedokteran muncul karena adanya stimulus, baik yang eksternal maupun internal. Mengenai stimulus yang menimbulkan suatu aktivitas dikemukakan oleh Walgito (1990: 15) bahwa perilaku atau aktvitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun internal. Jadi, yang mendorong “Aku” mendalami bidang kedokteran dan belajar dengan keras agar berhasil menjadi dokter adalah karena adanya stimulus eksternal yang berupa lingkungan yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, dan stimulus internal, yakni keinginan dan tekad “Aku” agar dipandang sejajar dengan lakilaki. Dengan mendalami bidang kedokteran “Aku” memperoleh bukti bahwa laki-laki sama dengan perempuan. Seorang perempuan mempunyai jantung, system syaraf dan otak persis seperti seorang laki-laki.
87
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
Dalam diri perempuan ada unsure laki-laki dan dalam diri laki-laki yang paling dalam tersembunyi unsur perempuan. “Aku” sangat gembira dengan dunianya yang baru, dunia ilmu pengetahuan yang menempatkan laki-laki dan perempuan secara berdampingan. “Aku” sangat memuja ilmu pengetahuan. Sikapnya yang mendewakan ilmu pengetahuan dikarenakan ilmu pengetahuan itu sangat tegas dan tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Ketika membantu persalinan, ternyata ilmu pengetahuan yang dipujanya tidak berhasil mencegah kematian seorang perempuan yang baru saja melahirkan bayinya. Bagi “Aku”, kejadian tersebut sangat memukul jiwanya. Ilmu pengetahuan telah merusak keyakinannya selama ini tanpa memberikan petunjuk ke arah keyakinan yang baru. “Aku” menyadari bahwa tekadnya untuk mengikuti jalan akal sehat tidak berlangsung lama, tertumbuk pada hambatan besar yang tidak dapat ditembus. Namun demikian, “Aku” tidak berputus asa dalam menghadapi dan mencari jalan keluar atas masalah tersebut, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut. “Kubuka mataku lebar-lebar. Apa yang sebaiknya kulakukan? Meninjau kembali langkah-langkah atau menyerah pada halangan serta berpegang erat-erat kepadanya untuk mencari perlindungan? Tak satu dari pilihan itu yang dapat kutempuh: tindakan pemberontakan telah memberiku sejenis kekuatan serta daya kemauan tersendiri, yang tak memungkinkan bagiku untuk berpegang kepada sesuatu untuk mencari perlindungan
Kutipan di atas juga mencerminkan bahwa kepribadian yang terbentuk pada masa kanak-kanak dapat muncul pada masa dewasa. Adapun tujuan yang sama sekali baru yang dimaksudkan olh “Aku” adalah menyendiri di desa yang terpencil, jauh dari kesibukan ilmu pengetahuan dan laborat, dan tak seorang pun bersamanya. Ia bebaskan dirinya dari segala pemikiran dan perjuangan yang telah ia geluti selama bertahun-tahun yang akhirnya membawanya pada suatu jalan buntu dalam pemikirannya. Ia mulai belajar merasa. Apa yang dilakukan oleh “Aku” sebenarnya adalah istirahat sejenak agar dapat membantunya dalam memecahkan masalah. Dikemukakan oleh Huffman (1987: 498) bahwa istirahat dan latihan merupakan tingkah laku atau perilaku yang khusus yang dapat membantu seseorang memecahkan masalah stress secara efektif. Akhirnya, di desa yang sunyi tersebut “Aku” merasakan sesuatu yang lain yang tidak ia rasakan selama bertahun-tahun. Ia merasa seolah baru lahir kembali. Kehidupan emosional muncul menuntut haknya untuk hidup. Rasa kemanusiaannya pun tumbuh, juga naluri kewanitaannya. Dan kini baginya misteri dan keajaiban tubuh manusia hidup, kembali pada tempat yang wajar. Naluri kewanitaannya yang muncul secara menantang, mengungkapkan segala ingatan yang semula tersimpan dalam benaknya. Dan gelora jiwanya yang begitu kuat telah menumbangkan citra buruk tentang tubuh yang ada dalam imajinasinya. “Aku” untuk pertama kalinya
Kecuali kepada diriku sendiri, terlebih-lebih bila hal itu adalah hambatan besar yang sulit diatasi.
merasakan perasaan rindu yang amat dahsyat menguasai jiwa dan raganya, kerinduan suatu jiwa yag haus akan cinta yang baru saja dibebaskan dari pertimbangan akal sehat, dan kegairahan tubuh yang
Maka, kusadari kini kakiku tengah membawaku melangkah ke tujuan yang sama sekali baru.”
masih perawan. Ia merindukan hadirnya seorang lakilaki dalam kehidupannya.
(hal. 38-39)
88
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
Ketika ia mulai mendambakan dan mengharapkan cinta, hadir seorang laki-laki yang ternyata lemah. Laki-laki yang kehilangan ibu karena meninggal, dan mengharapkan suatu sosok keibuan yang dapat dimilikinya secara sempurna, seperti yang didapatkannya dari ibunya. Hal itu, menunjukkan adanya pengaruh masa kanak-kanak yang cukup kuat yang memberi pengaruh pada pembentukan kepribadiannya. Kasih sayang yang berlebihan dari ibunya membuatnya tidak dapat lepas dari sosok ibunya. Dikemukakan oleh Freud (Milner, 1992: 131) bahwa kasih sayang ibu yang berlebihan dapat membawa akibat yang fatal bagi diri anak, menentukan nasibnya serta kekurangan diri dan hidupnya. Keadaan yang demikian muncul pada diri laki –laki yang menjadi suami “Aku”. Suamiya menghendaki pengabdian yang sepenuhnya dari istrinya, dan melarang istrinya membuka praktek serta menghentikan pekerjaannya sebagai seorang dokter. “Aku” merasa bahwa menikah dengan laki-laki tersebut adalah masuk perangkap melalui akad nikah yang baginya merupakan kontrak jual beli. Ketergantungan suami “Aku” pada ibunya menyebabkan ia ingin menguasai istrinya. Hal ini tidak dapat diterima oleh “Aku” yang memang sejak kecil tidak pernah tergantung pada orang lain. “Aku” memilih untuk meninggalkan suaminya. Hal itu dipilih karena ia telah merasa salah langkah dengan memercayai kata-kata seorang laki-laki begitu saja tanpa dapat melihat kematangan dalam diri laki-laki tersebut. Ia telah terbujuk oleh kelemahan dan keinginan laki-laki terhadap dirinya. Ia telah melanggar suara hati dan pikirannya sendiri dan telah melakukan apa yang diinginkan oleh laki-laki itu, yakni memasuki gerbang perkawinan. Kenyataan tersebut membuat “Aku” lebih sadar mencari pasangan idaman,waspada dan kemudian secara sadar mencari pasangan idaman. Pada saat
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511
bersamaan, “Aku” makin menyadari ketidakadilan dan kemunafikan yang hidup dalam masyarakat di sekitarnya. Namun demikian, “Aku” gigih mempertahankan hidup melajang selama belum menemukan laki-laki idaman. “Aku” kembali tenggelam dalam kesibukannya sebagai dokter. Ia menjadi kaya dan tenar. Akan tetapi, ia juga merasakan kejamnya kesunyian dan dinginnya kesendirian. Pada akhirnya “Aku” bertemu dengan seseorang yang tepat, seorang seniman yang menganggap bahwa kedokteran pun suatu seni. Mereka saling menemukan kepuasan dalam pekerjaan, dalam kejujuran, tidak perlu berpura-pura. Pertemuan mereka adalah pertemuan dua pribadi yang saling mengagumi dan menghargai. Mereka bahagia.
PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa psikologi dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra. Dalam penulisan ini psikologi digunakan untuk mengkaji aspek psikologi tokoh karena di dalam karya sastra inilah terkandung proyeksi psikologis pengarangnya yang merupakan hasil olahan dari pengalamannya sebagai seorang perempuan yang bekerja sebagai dokter dan hasil pengamatannya terhadap psikologis manusia-manusia lain di sekitarnya, yang tampak lewat psikologis tokoh imajinernya. Fenomena psikologis yang terjadi pada tokoh ‘Aku” terlihat melalui pergolakan-pergolakan batin tokoh. Benturan psikologis yang muncul dari kekecewaan, kemarahan, kebencian, kemunafikan, ketidakpuasan, kegagalan, perlawanan, dengan kesunyian, kesepian, dan kerinduan tokoh “Aku”, menunjukkan bahwa pengarang berhasil meramu berbagai aspek kejiwaan secara intens dalam karya sastra, dalam hal ini novel Memoar Seorang Dokter Perempuan.
89
Novel Memoar Seorang Dokter Perempuan : Tinjauan ........
DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. El Saadawi, Nawal. 1990. Memoar Seorang Dokter Perempuan. Terjemahan Kustiniyati Mochtar.. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Roekhan. 1990. “Penelitian Tekstual dalam Psikologi Sastra; Persoalan Teori dan Terapan” dalam Sekitar Masalah Sastra, Aminuddin (ed.), Malang: YA3. Milner, Max.1992. Freud dan Interpretasi Sastra.Jakarta: Intermassa. Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra: Teori, Langkah dan Penerapannya. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
90
Indonesia. Bandung: Angkasa. Suryabrata, Sumardi 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Walgito, Bimo. 1990. Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
Magistra No. 80 Th. XXIV Juni 2012 ISSN 0215-9511