LAMPIRAN I. LIFE STORY PEKERJA ANAK Life Story 1. Pekerja Anak di Konstruksi Rahmat (16) adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ia putus sekolah ketika masih duduk di SD karena ketiadaan biaya. Tapi apa daya, ayahnya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga sudah tak mampu membayar uang sekolahnya. Ia pun terpaksa melupakan cita-citanya menjadi polisi yang gagah seperti di film India yang sering ia tonton. Ketika itu, ia sangat sedih sekali dan tidak ingin kedua adik perempuannya bernasib sama. Sejauh ini Rahmat telah berhasil. Kedua adiknyapun masih tetap bersekolah atas bantuan biaya darinya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Hubungan Rahmat dengan ayahnya tidaklah baik. Sehingga sejak umur 12 tahun, ia sudah tidak tinggal bersama orang tuanya. Penyebabnya bukanlah karena Rahmat terpaksa berhenti sekolah. Tetapi, temperamen tinggi ayahnya yang suka memukuli ibunya, dirinya dan adik-adiknya. Pernah suatu waktu akibat pukulan ayahnya, kepala Rahmat berdarah. Perilaku buruk ayahnya ini hampir tiap hari berulang terutama ketika ayahnya yang hobi minum-minuman keras pulang dalam keadaan mabuk. Sehingga ayahnya dan ibunya hampir tiap hari bertengkar. Tidak tahan dengan perlakuan ayahnya, maka Rahmatpun minggat dari rumah dan tinggal bersama kerabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan uwak. Rumah uwaknya hanya berjarak sekitar 500 M dari rumah orang tuanya. Sejak itulah Rahmat mulai bekerja. Pekerjaan pertamanya adalah membantu pamannya berjualan di pasar. Dari membantu pamannya, ia memperoleh upah per harinya Rp. 3000 – 5000.-.Sebagian dari upah itu diberikan kepada uwaknya dan sisanya digunakan untuk keperluannya sendiri. Setahun bekerja berjualan, ia medapat tawaran bekerja di usaha pembuatan kursi dan lemari. Bekerja di tempat ini, Rahmat mengaku senang. Selain tokenya (pemilik) baik, gajinya juga lebih besar. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, karena hanya bertugas memotong papan, mengangkat triplek, mengampelas dan mengecat lemari. Hanya saja, Rahmat tidak lama bekerja di industri kecil ini. Omset penjualan yang terus menurun memaksa pemilik usaha mengurangi beberapa karyawan termasuk dirinya. Rahmat pun akhirnya menganggur. Ia mencoba mencari pekerjaan tetapi belum ada yang menerima. Setelah beberapa waktu menganggur, akhirnya ia diajak temantemannya untuk kerja sebagai buruh bangunan. Awalnya ia menolak karena tahu bahwa bekerja sebagai buruh bangunan sangat berat. Namun, lama menganggur membuatnya malu dengan uwaknya. Maka ia pun menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh bangunan. Hari pertama bekerja, Rahmat hanya mampu setengah hari. Penghasilannyapun hanya upah setengah hari kerja. Mengangkat pasir, mengaduk semen, dan mengangkut balok membuatnya sangat kelelahan dan tangannyapun melepuh. Akhirnya, ia kembali menganggur. Beberapa hari menganggur membuatnya jadi gelisah dan malu. Akhirnya, muncul tekad di diri Rahmat untuk kembali bekerja. Ia pun mendatangi kepala bangunan (Tukang), dan menyatakan ingin kembali bekerja. Rahmat merasa beruntung, karena Tukang bisa menerimanya kembali bekerja. Rahmatpun dengan sekuat tenaga untuk
Universitas Sumatera Utara
bertahan di pekerjaan ini, karena sadar bahwa ia tidak punya pilihan. Pernah suatu waktu, kakinya terkena paku ketika bekerja. Lukanya cukup dalam dan membuat Rahmat tidak bisa bekerja selama 4 hari. Ia berobat ke Puskesmas terdekat, dan diberi obat anti nyeri dan kompres. Lama bekerja membuat Rahmat terbiasa. Pekerjaan buruh bangunan ia rasakan tidak lagi seberat ketika pertama kali bekerja. Penghasilannyapun lumayan besar menurutnya, karena bisa memperoleh Rp. 600.000 per bulannya. Sebagian besar upah dari hasil keringatnya ini diberika ke ibunya untuk biaya sekolah adik-adiknya. Sisanya dibuat untuk membeli pakaian dan biaya jalan-jalan keliling kota bersama pacarnya ketika sedang tidak bekerja. Keinginan terbesar Rahmat saat ini adalah membeli handphone yang ada kameranya. Kamera yang bisa mengabadikan dirinya bersama pacarnya. Ia pun termotivasi untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena sadar bahwa handphone yang ada kameranya harganya cukup mahal. Saat ini Rahmat sedang sibuk mengurus KTP untuk persiapan berangkat kerja ke Aceh. Ia mendapat tawaran bekerja sebagai buruh bangunan di Aceh dengan upah yang lebih besar. Handphone berkamera telah memotivasinya untuk bekerja lebih keras.Tak peduli jika itu membuatnya harus merantau meninggalkan keluarga dan pacarnya. Rahmat yakin, dengan handphone berkamera, ia bisa selalu dekat dengan pacarnya, dan bisa membawanya kemanapun ia pergi.
Universitas Sumatera Utara
Life Story 2. PA sebagai Pembantu Rumah Tangga Melda, begitu gadis remaja ini disapa. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Umurnya baru 14 tahun, tetapi sudah turut bertanggung jawab terhadap ekonomi rumah tangga. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada satu keluarga di Tanjungbalai. Melda yang masih duduk di kelas 3 di salah satu SMP di Kota Tanjungbalai ini harus menggantikan peran ibunya setiap pulang sekolah. Kesulitan ekonomi rumah tangga telah memaksanya untuk bekerja. Hidup serba kekurangan dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga setiap pulang sekolah, tidak terbayang di benak Melda sebelumnya. Pasalnya, ketika itu kehidupan Melda dan keluarganya serba berkecukupan. Ayahnya adalah pemborong ikan yang cukup sukses di kota ini. Tetapi penyakit yang menyerang ibunya dan kemudian ayahnya telah membuat keluarga ini jatuh miskin. Ketika itu, ibunya baru saja melahirkan adiknya yang bungsu. Tetapi, dokter mendiagnosa bahwa ibunya mengalami kanker ganas di perut yang jika tidak segera dioperasi akan membahayakan nyawa ibunya. Tanpa berpikir panjang, ayah Melda menyetujui untuk dilakukan operasi berapapun biayanya asalkan ibunya bisa sehat. Tapi apa daya, biaya operasi dan perawatan ibunya telah menguras tabungan orang tuanya. Setelah ibunya mulai sembuh, giliran ayahnya yang jatuh sakit. Maka modal usahapun ikut habis untuk biaya perobatan. Saat itulah ibunya mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh cuci. Padahal ketika itu, bekas operasi belum sembuh total tetapi ibunya memaksakan diri untuk bekerja. Jam 6.00 pagi ibunya mulai mencuci di rumah tetangga, dan setelah itu berangkat ke rumah lainnya dimana ibu sebagai pembantu. Karena ibunya pagi-pagi sekali sudah berangkat, maka pekerjaan di rumah seperti memasak dan membereskan rumah menjadi tanggung jawab Melda sebagai anak perempuan tertua. Setelah semuanya beres barulah dia berangkat ke sekolah. Di sekolah Melda sering mendapat hukuman dari guru. Pasalnya seringkali pekerjaan rumah (PR) yang ditugaskan guru tidak bisa diselesaikannya. Melda bukan tidak mau mengerjakan PR, tetapi waktunya sangat terbatas untuk bisa mengulang pelajaran dan mengerjakan PR. Karena sepulang sekolah, setelah makan siang, ia buruburu ke tempat ibunya bekerja untuk menggantikannya bekerja. Padahal, ia merasa sangat kelelahan sepulang dari sekolah dan ingin istirahat. Itu harus dilakukannya, agar ibunya bisa istirahat setengah hari..Setelah operasi akibat penyakit kankernya, dokter menyarankan ibunya untuk tidak terlalu lelah bekerja. Melda pun khawatir, jika ibunya jatuh sakit maka ia dan saudaranya akan putus sekolah. Di rumah majikan, Melda menggantikannya ibunya mengasuh anak, mencuci piring, membersihkan rumah dan sesekali menyetrika pakaian. Kegiatan ini dilakukannya hingga sore hari. Di waktu libur sekolah, Melda juga menggantikan ibunya sebagai buruh cuci. Sebagai pembantu rumah tangga, ibunya memperoleh upah sebesar Rp. 300.000,-. Ditambah upah sebagai buruh cuci, hanya mampu menutupi sebagian dari kebutuhan rumah tangga. Tambahan lainnya diperoleh dari abangnya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Abangnya, yang umurnya 2 tahun lebih tua dari Melda, juga bekerja sepulang dari sekolah. Ayahnya pun sudah kembali bekerja walaupun tidak memiliki pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
tetap (mocok-mocok). Dengan pengerahan semua sumberdaya yang ada, Melda pun tetap nyakin cita-citanya menjadi guru akan tercapai.
Universitas Sumatera Utara
Life Story 3. Pekerja Anak sebagai Pencatuk Ayubi (15) belum lama putus sekolah. Ia memilih berhenti sekolah karena takut. Pasalnya, ia terlibat tawuran dengan teman sekolah dan siswa dari sekolah lain. Padahal, Ayubi ketika itu sudah duduk di kelas 3 SMP di Kota Tanjungbalai. Jika sebelumnya Ayubi bekerja sambil sekolah maka saat ini waktunya semakin banyak untuk bekerja. Ayubi sudah bekerja sejak umur 12 tahun. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pencatuk. Ia mulai bekerja karena iri melihat teman-temannya telah menghasilkan uang sendiri tanpa meminta lagi kepada orang tua. Selama lebih kurang dua tahun bekerja sebagai pencatuk, Ayubi sempat beralih pekerjaan menjadi nelayan. Ia ikut ke laut sebanyak dua kali. Pertama kali ke laut, sebagai awak kapal pukat langgar. Menangkap ikan selama 4 hari di laut, ia memperoleh upah Rp.40.000,- di luar penjualan ikan yang dihasilkannya dari memancing di saat waktu luang. Keikutsertaannya untuk kedua kalinya ke laut, membuat Ayubi trauma. Pasalnya, ia bersama dengan 4 orang temannya se kapal mengalami kecelakaan. Ketika itu, malam hari dan mereka sedang tidur di kapal, tiba-tiba datang badai dengan ombak besar yang menghempas ke dinding kapal. Akibatnya ia dan empat temannya terlempar ke ke laut. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan sekuat tenaga untuk naik kembali ke kapal. Dibantu awak lainnya, Ayubi dan seorang temannya selamat, namun tiga teman lainnya tidak terselamatkan dan ditemukan sudah meninggal dunia. Beberapa bulan setelah kecelakaan itu, Ayubi mencoba untuk bekerja di laut namun ia merasa sangat ketakutan karena selalu terbayang kecelakaan yang pernah dialaminya. Trauma akibat kecelakaan itu, maka Ayubi berhenti bekerja di kapal dan kembali bekerja sebagai pencatuk. Pertama kali mematuk, orang tuanya tidak mengetahui kalau ia bekerja. Namun, akhirnya orang tuanya mengetahuinya dan memperbolehkannya. Ayahnya hanya bertanya berapa dapat uang dan ayah tidak pernah meminta uang yang diperoleh anaknya tersebut. Dari hasil mematuk, Ayubi bisa mendapatkan uang sebanyak 20.000 per harinya. Penghasilan yang paling rendah yang ia terima adalah sebanyak 5.000 per hari. Umumnya mulai bekerja yaitu pada pukul 7.30 pagi hingga pukul 12 siang. Dapat dikatakan bahwa jam kerja pematuk setiap hari juga tidak dapat ditentukan. Ayubi dan teman-teman lainnya bekerja ketika kapal pulang dari laut. Sebagai pencatuk, Ayubi juga pernah mengalami kecelakaan. Ketika itu, ia terjatuh dan tergores potongan kayu di sungai. Kakinya berdarah dan berobat ke bidan yang ada di desa. Bekerja sebagai pencatuk, ia pernah dimarahi oleh ABK karena mengambil ikan. Ia juga pernah dilempar pakai es oleh Brimob yang bertugas di gudang sebagai pengawas. Ia juga pernah dikejar Brimob atas perintah toke. Ayubi berlari ke belakang kapal dan kemudian masuk ke air. Responden dikejar oleh Brimob juga karena mencuri ikan. Ia juga pernah ditangkap dan dimarahi oleh Brimob di dalam gudang. Ayubi dan kawan-kawannya sesama pencatuk menyebut Brimob adalah sebagai anjingnya Cina.
Universitas Sumatera Utara
Life Story 4. Pekerja Anak di Sektor Prostitusi Tia (17), anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai supir truk pengangkut pasir dan ibunya mencari upahan mencuci pakaian tetangga. Ia putus sekolah ketika duduk kelas 2 di salah satu SMU swasta di Kota Tanjungbalai. Putus sekolah karena ayahnya selalu marah jika ia meminta uang SPP dan biaya keperluan sekolah lainnya. Ayahnya yang pemarah membuatnya tidak betah tinggal di rumah dan memutuskan meninggalkan rumah tanpa permisi dan pergi ke rumah salah satu kerabatanya di Kota Sibolga. Dua bulan di Kota Sibolga, Tia bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Akhirnya Ayahnya menjemputnya karena ibunya sakit keras. Di saat itu, keluarganya sangat membutuhkan dana yang cukup besar untuk biaya pengobatan ibunya. Tia menyangyangkan sikap ayahnya yang dalam keadaan ibunya sakit keras bukannya membuat ayahnya semakin giat bekerja justru sebaliknya semakin malas. Dua orang Abang Tia pun tidak bisa banyak membantu biaya perobatan. Abangnya yang pertama bekerja sebagai buruh nelayan dengan penghasilan yang tidak memadai. Abangnya yang kedua masih menganggur. Menghadapi situasi keuangan keluarga yang kacau, muncullah keinginan Tia bekerja untuk mencari biaya bagi perobatan ibunya serta biaya sekolah adik-adiknya. Ia pun menggantikan peran ibunya sebagai seorang pencuci pakaian. Namun hasil yang dicapai tidak cukup untuk situasi keluarga pada saat itu. Disaat kondisi yang serba krisis tersebut, kenalan Tia seorang gay memberi jalan dengan mengenalkannya kepada seorang pengusaha asal Kota Tanjung Balai yang berdomisili di Kota Medan. Setelah mengatur segalanya dengan dalih memberi pekerjaan, Tia disuruh untuk menjumpai orang dimaksud di Medan tepatnya di Hotel Danau Toba. Pengusaha tersebut, memberi Tia uang sebanyak 4 juta rupiah setelah melakukan pelayanan seksual selama seminggu. Tia pun kembali ke Kota Tanjungbalai dan membawa ibunya ke rumah sakit. Tak lama setelah itu, ibunya pun sembuh. Ketika itu, ibunya sempat mempertanyakan darimana uang sebanyak itu, ia peroleh. Tia pun terpaksa berbohong dengan menyatakan dibantu oleh kawannya. Setelah sembuh dari penyakitnya, kondisi ibu informan sangat lemah dan tidak memungkinkan untuk bekerja lagi. Informan pun berinisiatif kembali untuk mencari pekerjaan. Karena merasa sudah tidak suci lagi dan kepalang basah ia pun bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Tetapi, ia melakukannya tidak secara terbuka tetapi penghubungnya menghubunginya via telepan selular ketika ada pelanggan. Dalam memilih pelanggan, Tia sangat selektif. Ia terlebih dahulu mengamati kebersihan dan tingkah laku pasiennya. Dari pekerjaannya ini, Tia tidak mengalami kesulitan dana. Tia yang berwajah cantik berkulit putih tidak kesulitan memperoleh pelanggan. Tujuh bulan sebagai PSK, Tia merasa jengah dan bosan. Ia beralih pekerjaan sebagai pelayan rumah makan di Pantai Pasir Kota Tanjung Balai. Di rumah makan ini ia berkenalan dengan seorang Duda keturunan China berusia sekitar 50-an tahun. Hubungan Tia dengan duda tersebut semakin akrab, dan kemudian duda tersbut menawari Tia untuk menjadi simpannya. Dengan berbagai pertimbangan, Tia pun akhirnya menerima tawaran lelaki tersebut. Sebagai wanita simpanan, Tia memperoleh upah sebesar Rp 1,5 juta setiap bulannya. Duda tersebut juga membantunya membayar kredit sepeda motor yang
Universitas Sumatera Utara
dibelinya. Dengan statusnya sebagai wanita simpanan, maka aktivitasnya menerima pelanggan lain pun turut berkurang. Ia hanya berhubungan dengan pelanggan lainnya seringkali tidak lagi semata-mata karena uang. Orang tuanya mengetahui pekerjaan Tia dan mengetahui statusnya saat ini sebagai wanita simpanan. Orang tuanya pun tidak banyak berkomentar karena Tia sudah menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga. Hanya ibunya menyarankan untuk menikah saja dengan duda tersebut agar statusnya lebih jelas. Pekerjaan yang digelutinya saat ini, tidaklah membuatnya bahagia. Ia seringkali merenungi nasibnya dan merasa sangat terhina. Hampir setiap hari, Tia mencurahkan isi hatinya dengan menulis puisi dan cerita. Ia berharap kelak mendapat pekerjaan yang layak dan terhormat.
Universitas Sumatera Utara
Life Story 5. Pekerja Anak Pada Sektor Pemulung Charli Silalahi (13) adalah pelajar kelas 2 SMPN I Kota Tanjungbalai. Ia memulung sepulang dari sekolah. Tinggal di Desa Teluk Ketapang bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, Saut Silalahi dan ibunya Delimayeti Hutasoit yang juga bekerja sebagai pemulung. Kedua orang tuanya memulung di tempat pembuangan akhir (TPA) di jalan arteri simpang stasiun KUPJ. Dari pekerjaan memulung, keluarga ini memperoleh penghasilan sekitar Rp. 700.000 per bulannya. Sementara Charli bersama teman-teman sebayanya memulung di sekitar pemukiman penduduk. Barang-barang yang dikumpulkan berupa botol minuman mineral bekas, besi, kuningan dan berbagai jenis logam lainnya. Dari memulung ini, Ia bisa menghasilkan uang sebanyak Rp. 200.000 per bulannya. Rumah orang tua Charli adalah rumah papan gandeng dengan fasilitas air dan listrik. Di rumah ini Charli hanya tinggal bertiga dengan orang tuanya, karena 5 saudaranya sudah menikah dan sudah tinggal terpisah dengan orang tuanya. Abangnya yang saat ini bekerja di berbagai sektor, dulunya juga ikut memulung. Orang tua Charli tidak memaksanya untuk memulung. Namun orang tuanya merasa senang, karena dengan bekerja Charli bisa memenuhi uang jajannya sendiri. Sebahagian penghasilannya juga diberikan kepada orang tuanya. Hanya saja, orang tua Charli juga mewan-wantinya untuk tetap lebih memprioritaskan pendidikannya dibanding bekerja. Sehingga jika Charli sedang banyak PR dan kegiatan ekstrakurikuler, Charli tidak ikut bekerja. Saat ini Charli ikut kegiatan ekstrakurikuler sepak bola di sekolahnya. Ia juga secara rutin latihan renang. Di kolam renang ini, Charli bisa datang untuk latihan renang kapanpun ia suka tanpa harus membayar. Pasalnya, tempat renang itu salah satu penjaganya adalah abang kandungnya. Dari latihan rutin yang ia lakukan, Charli menjadi anak yang terampil berenang. Dalam uji coba yang dilakukan antar sesama pelajar seusianya, Charli sering menjadi juara. Namun, ia mengaku tidak pernah mengikuti kejuaraan-kejuaraan resmi. Sehingga tidak memiliki koleksi piala atau penghargaan apapun. Charli yang bercita-cita jadi polisi ini, berharap kelak akan menjadi juara renang di event-event kejuaraan resmi. Sebagai pemulung kecelakaan yang menurut Charli bisa kapan saja mengancamnya adalah tertusuk dan tergores paku, besi dan logam lainnya. Selama ini, ia belum pernah terkena benda tersebut yang mengakibatkan ia harus ke rumah sakit. Namun, orang tuanya selalu menganjurkannya untuk selalu memakai sandal dalam memulung. Charli sering mendapat makian ketika memulung di sekitar pemukiman. Warga yang curiga padanya, biasa mengusirnya karena khawatir barang-barangnya dicuri. Charli merasa tidak pernah mencuri dan hanya mengambil barang-barang bekas yang sudah tidak digunakan lagi. Untuk menghindari perlakuan buruk seperti makian tersebut, orang tuanya hanya berpesan untuk tidak mencuri.
Universitas Sumatera Utara