1 LAJU PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN RAWA KONGSI KECAMATAN PATUMBAK KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA (The Rate of Aquatic Primary Productivity in Kongsi Swamp Patumbak District of Deli Serdang Regency North Sumatra) 1
Dinarta Pardede, 2Ternala Alexander Barus, 3Rusdi Leidonald
Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. 2016
[email protected] 2 Staff Pengajar Departemen Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. 2016 3 Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, 2006 1
ABSTRACT The Rate of Aquatic Primary Productivity (RAPP) is the formation of organic compounds from inorganic compounds with the aid of sunlight and chlorophyll. Kongsi Swamp is stagnant water system utilized by people for agriculture, livestock, fishing and waste disposal that cause a negative effect. This study aims to know RAPP in Rawa Kongsi and to know RAPP relationship with chlorophyll-a and physical chemistry parameters of water. The study took place from February until March 2016. The sampling location choosed by purposive sampling which divided into 4 stations based on different activities. The analysis were method water quality, chlorophyll-a, primary productivity and Pearson correlation. The results of water quality analysis showed that Kongsi swamp was moderately polluted based on the average of DO 2,28 mg/L, the value average of aquatic primary productivity Kongsi swamp 487,968 mgC/m3/hari, levels trophic based on the value average of chlorophyll-a 2.461 mg/m 3 including the category of low fertility (oligotrophic). The correlation between primary productivity with chlorophyll-a and chemical physics of water in Kongsi Swamp is very strong. Keywords: Aquatic Primary Productivity, Chlorophyl-a, Kongsi Swamp, Water Quality PENDAHULUAN Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman atau pun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Genangan air dapat berasal dari hujan
atau luapan air sungai. Rawa musiman pada musim hujan lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau rawa akan menjadi kering. Lahan rawa sering disebut dengan istilah, seperti “swamp”.
2 “Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun, air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur (Gandasasmita, dkk., 2006). Produktivitas primer adalah jumlah total bahan organik yang dibentuk dalam suatu waktu tertentu oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan. Produktivitas primer merupakan persediaan makanan untuk organisme heterotrof seperti bakteri, jamur dan hewan. Produktivitas primer di Indonesia pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim penghujan jika ditinjau bahwa pada musim kemarau langit lebih cerah sedang pada musim penghujan kebanyakan berawan. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau dengan intensitas cahaya matahari tinggi (Bayurini, 2006). Rawa Kongsi merupakan salah satu perairan daratan yang wilayah lahannya sudah jenuh air dimana airnya terdapat sepanjang tahun. Sumber air rawa ini berasal dari air hujan serta menurut keterangan dari masyarakat sekitar bahwa di rawa Kongsi terdapat mata air sehingga perairan ini tidak pernah kering. Kondisi habitat di rawa Kongsi terdapat banyak organisme seperti ikan, eceng gondok dan kangkung air. Perairan Rawa Kongsi terdapat aktivitas masyarakat seperti adanya peternakan, serta beberapa masyarakat melakukan pembuangan limbah rumah tangga ke rawa tersebut sehingga mengakibatkan peningkatan kandungan bahan organik yang pada akhirnya memacu proses penyuburan perairan (eutrofikasi) yang ditandai dengan
perkembangan tumbuhan eceng gondok di perairan Rawa Kongsi sangat banyak. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh masyarakat desa dan sekitarnya sehingga keberadaan rawa penting sebagai sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat maka perlu dilakukan usaha-usaha pengelolaan dan pemanfaatan perairan di Rawa Kongsi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui tingkat produktivitas primer beserta parameter fisika dan kimia perairan, sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat kesuburan di perairan rawa tersebut. Tujuan penelitian adalah 1. Untuk mengetahui laju produktivitas primer di Perairan Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui hubungan laju produktivitas primer dengan klorofil-a dan faktor fisika – kimia air di Perairan Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Februari – Maret 2016, di Perairan Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak Provinsi Sumatera Utara. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember 5 liter, botol winkler, botol terang, botol gelap, pH meter, thermometer, sechidisk, botol sampel, kamera digital, pipet tetes, spektrofotometri, botol kuvet, centrifuge, pompa vakum, dan alat tulis.
3 Bahan yang digunakan adalah sampel air, MnSO4, H2SO4, KOH-KI, Na2S2O3, akuades, lakban, sarung tangan, tali, aluminium foil, larutan aseton, kertas label dan tissu.
Prosedur Kerja Pengukuran Produktivitas Primer Perairan Pengukuran produktivitas primer perairan dilakukan dengan cara mengambil contoh air pada setiap lokasi penelitian menggunakan botol Winkler yang terdiri dari botol terang (light bottle), botol gelap (dark bottle), satu botol winkler untuk Initial Bottle sebagai oksigen awal (DOo). Botol Terang dan botol gelap setelah terisi sampel air diinkubasi di perairan selama 3 jam. Setelah itu diukur kandungan oksigen terlarutnya dengan menggunakan metode winkler, kemudian dihitung nilai produktivitasnya. Botol – botol winkler gelap dan terang yang telah diinkubasi selama 3 jam di perairan lalu diangkat dari setiap stasiun dan dihitung nilai oksigen terlarutnya dengan menggunakan metode winkler, kemudian dihitung nilai produktivitasnya. Pengukuran Klorofil-a Sampel air diambil dari setiap stasiun masing-masing sebanyak 1000 ml (1 liter), kemudian dibawa ke Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Alam (PUSLIT SDA) Universitas Sumatera Utara kemudian diukur konsentrasi klorofil -a dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan 1. Suhu Suhu air diukur dengan menggunakan thermometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air. Lalu
dibaca skala thermometer tersebut. Pengukuran suhu air dilakukan di lapangan (in-situ) saat melakukan pengamatan. 2. Kedalaman Kedalaman perairan rawa diukur dengan menggunakan tali yang memiliki skala dalam satuan centi meter (cm) yang dimasukkan ke dalam badan air, kemudian dilihat skala panjang pada tali ukur. 3. Kecerahan Pengukuran penetrasi cahaya dengan menggunakan keping sechi yang dimasukkan kedalam badan air sampai keping sechi tidak terlihat, lalu diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (d1). Kemudian turunkan secchi disk dan perlahan-lahan tarik ke atas, jika sudah mulai terlihat bagian secchi disk yang berwarna putih/hitam lalu dicatat kedalamannya (d2), nilai kecerahan diperoleh dengan menggunakan rumus: Kecerahan (cm) = d1+d2 2 4. Intensitas cahaya Intensitas cahaya perairan rawa dapat diketahui dengan menggunakan alat lux meter. Alat tersebut dimasukkan ke dalam badan air, kemudian dilihat angka / nilai yang tertera pada lux meter. 5. pH (Derajat Keasaman) Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari perairan sampai pembacaan konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut. Pengukuran pH perairan dilakukan di lapangan (in-situ). 6. DO (Dissolved Oxygen) Dissolved oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode winkler dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOH-KI, H2SO4 , Na2S2O3, dan Amilum.
4 Analisis Data Menghitung Nilai Produktivitas Primer (PP) Menurut Barus (2004), Produktivitas Primer dapat diukur sebagai produktivitas kotor dan produktivitas bersih. Hubungan antara keduanya dapat dinyatakan dengan:
PN = Produktivitas Kotor (PG) – Respirasi (R) Keterangan: PN = Produktivitas Bersih R = O2 awal – O2 akhir pada botol gelap (mgC/m3/hari) Pg = O2 akhir pada botol terang – O2 akhir pada 3 botol gelap (mgC/m /hari) Untuk mengubah nilai mg/l oksigen menjadi C/m3, maka nilai dalam mg/l dikalikan dengan 375.36, hal ini akan menghasilkan mg C/m3 untuk jangka waktu pengukuran. Untuk mendapatkan nilai produktivitas dalam satuan hari, maka nilai perjam harus dikalikan dengan 12, mengingat cahaya matahari hanya selama 12 jam per hari. Menghitung Nilai Klorofil-a Menurut Geiger dan Osborne (1992), untuk menghitung nilai
konsentrasi klorofil rumus: Klorofil-a (mg/L) =
–a
digunakan
11.58 (OD664) – 1.54 (OD647) – 0.08 (OD630)
Konsentrasi Klorofil-a (mg/m3) = Ca x V1 V2 Keterangan: 11.58= Koefisien absorbs pada λ 664 1.54 = Koefisien absorbs pada λ 647 0.08 = Koefisien absorbs pada λ 630 V1 = Volume ekstrak aseton (L) V2 = Volume sampel yang disaring (m3) Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/L)
Analisis Korelasi Pearson Analisis korelasi pearson dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi SPSS Ver.16,00. Uji ini merupakan uji statistik untuk mengetahui korelasi antara nilai Produktivitas Primer dengan Klorofil –a dan faktor fisik kimia perairan. Menurut Hastono (2001), menyatakan nilai indeks korelasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan Antar Faktor Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0.00 – 0.25 Tidak ada hubungan / hubungan lemah 0.26 – 0.50 Hubungan sedang 0.51 – 0.75 Hubungan kuat 0.76 – 1.00 Hubungan sangat kuat / sempurna Hubungan kedua variable dapat berpola positif maupun negatif. Hubungan positif akan terjadi bila kenaikan suatu variable diikuti dengan kenaikan variable yang lain. Sedangkan hubungan negatif dapat terjadi bila kenaikan satu variable diikuti penurunan variable lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Parameter Fisika Kimia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan Rawa Kongsi maka diperoleh nilai parameter fisika kimia perairan. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 2.
5 Tabel 2. Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi STASIUN PARAMETER I II III Suhu (°C) Kecerahan (cm) Kedalaman (cm) Intensitas Cahaya (Cd) pH DO (mg/L)
IV
30 112 126 397
30 85 112 327
31 71 114 251
30 98 116 332
6.7 2.3
6.6 2.3
6.5 2.16
6.6 2.3
Keterangan: - Stasiun I - Stasiun II
: area terjaga kondisi lingkungannya : aktivitas keramba, ternak itik serta memiliki tanaman liar serta enceng gondok - Stasiun III : berada langsung di sekitar pemukiman penduduk - Stasiun IV : berada di sekitar pertanian dengan pinggiran memiliki tanaman kelapa sawit
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama yaitu 30°C. Kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun I, yaitu 112 cm sedangkan terendah terdapat pada stasiun III, yaitu 71 cm. Intensitas cahaya rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun I, yaitu 397 Cd sedangkan intensitas terendah terdapat pada stasiun III, yaitu 251 Cd. pH rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 6.7 sedangkan terendah pada stasiun III, yaitu 6.5, pada stasiun I, II dan IV memiliki nilai DO yang sama, yaitu 2.33 mg/L dan terendah pada stasiun III, yaitu 2.16 mg/L.
Klorofil dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa Kongsi Nilai klorofil-a dihitung dengan menggunakan metode spektrofotometer. Klorofil-a
mempengaruhi perairan
umumnya
yang
kadar
oksigen
terdapat
akan
pada
fitoplankton, pada saat fitoplankton melakukan fotosintesis maka terjadi
pelepasan O2 di perairan. Nilai klorofila dan produktivitas primer dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa Kongsi Stasiun
Klorofil a (mg/ m3)
II
2,528
I
III IV Keterangan: - Stasiun I
2,587
2,157 2,572
di
Produktivitas Primer Perairan (mgC/m3/hari)
600,576 450,432 300,288 600,576
: area terjaga kondisi lingkungannya
6 - Stasiun II : aktivitas keramba, ternak itik serta memiliki tanaman liar serta enceng gondok - Stasiun III : berada langsung di sekitar pemukiman penduduk - Stasiun IV : berada di sekitar pertanian dengan pinggiran memiliki tanaman kelapa sawit
Dari hasil yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa nilai klorofil-a yang paling tinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 2,587 mg/ m3 sedangkan nilai klorofil-a paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu dengan nilai 2,157 mg/ m3. Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi geografis perairan rawa Kongsi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan botol terang dan botol gelap, maka nilai produktivitas primer tertinggi di perairan Rawa Kongsi terdapat pada stasiun I dan
stasiun IV yaitu 600,576 mgC/m3/hari sedangkan nilai paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu 300,288 mgC/m3/hari. Analisi Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver.18.00 Untuk mengetahui korelasi dari setiap parameter fisika kimia terhadap nilai produktivitas primer perairan, maka dilakukan analisis korelasi pearson dengan hasil seperti yang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Korelasi Pearson antara Sifat Fisika-Kimia Perairan dengan Produktivitas Primer Perairan Rawa Kongsi Korelasi Klorofil -a DO pH Suhu Kecerahan Intensitas Pearson Cahaya PP .918 .870 .853 -.870 .942 .882 Keterangan : Nilai + : Arah korelasi searah Nilai - : Arah korelasi berlawanan Pembahasan Parameter Fisika Kimia Rawa Kongsi Suhu tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama yaitu 30°C. Hal ini dapat disebabkan kisaran waktu yang berbeda pada saat pengukuran sampel air. Suhu perairan Rawa Kongsi masih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton. Kisaran nilai tersebut berbeda sedikit di atas nilai optimum untuk pertumbuhan fitoplankton. Effendi (2003) menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 20 – 30 °C, sedangkan pada stasiun III dimana suhu sudah termasuk tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan fitoplankton kurang baik.
Suhu yang cukup tinggi pada stasiun III yaitu 31°C tidak baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Secara tidak langsung pengaruh suhu dapat dipengaruhi melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen, sesuai dengan pernyataan Salwiyah (2011) tingginya nilai suhu dapat meningkatkan kebutuhan fitoplankton akan oksigen. Hal ini disebabkan karena suhu dapat memicu aktivitas fisiologis fitoplankton sehingga kebutuhan oksigen semakin meningkat. Kecerahan matahari merupakan salah satu komponen mutlak yang diperlukan dalam proses fotosintesis hingga fitoplankton dapat menghasilkan produksi dan didukung dengan
7 Salwiyah (2011) bahwa kecerahan merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan fitoplankton karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan dan dan cahaya yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk perkembangannya. Semakin tinggi intensitas kecerahan maka akan semakin tinggi juga intensitas cahaya dan diikuti juga dengan meningkatnya nilai klorofil-a seperti yang terlihat pada stasiun I dan begitu juga sebaliknya, maka kecerahan akan mempengaruhi produktivitas primer perairan. Sesuai dengan Isnaini (2011), menyatakan apabila kecerahan berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air berkurang. Nilai kedalaman air yang diperoleh pada setiap stasiun berbedabeda dengan substrat berlumpur. Kedalaman suatu ekosistem perairan dapat bervariasi tergantung pada zona kedalaman dari suatu perairan tersebut, semakin dalam perairan tersebut maka intensitas cahaya matahari yang masuk semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nita dan Eddy (2015), bahwa kedalaman suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik dan bahan anorganik seperti lumpur dan pasir halus. Tingkat intensitas yang sangat rendah dapat menghambat proses pertumbuhan dari fitoplankton yang berkaitan dengan laju fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi. Sesuai dengan Barus (2004), intensitas cahaya matahari mempengaruhi produktivitas primer, hasil perubahan energi matahari menjadi energy kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesa sangat tergantung pada intensitas
cahaya matahari, oksigen terlarut dan suhu perairan. pH perairan pada setiap stasiun berkisar antara 6.5 - 6.7, pH mempunyai pH dalam suatu perairan dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Banerjea (1971), menyatakan bahwa nilai pH yang berkisar antara 6,5-8,5 menunjukkan tingkat kesuburan perairan tersebut berkisar antara cukup produktif sampai produktif. Menurut Sutrisno (1991), bahwa kebanyakan mikroorganisme seperti fitoplankton tumbuh baik pada pH 6,0-8,0. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pH air di Rawa Kongsi cocok untuk kehidupan ikan dan plankton. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH terendah ada pada stasiun III dengan nilai 6.5, hal ini diduga akibat pengaruh limbah rumah tangga penduduk sekitar yang dibuang langsung ke perairan rawa sehingga limbah menumpuk di dasar perairan maka banyak mikroorganisme melakukan proses dekomposisi secara anaerob yang akhirnya menyebabkan pH di perairan menurun. Sesuai dengan Ayu (2009) yang menyatakan bahwa semakin berkurangnya nilai pH didukung oleh semakin meningkatnya masukan senyawa- senyawa yang berasal dari aktifitas penduduk. Aktivitas penduduk umumnya membawa limbah bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai DO yang terdapat pada perairan Rawa Kongsi berkisar 2.16mg/L – 2.33mg/L, Oksigen diperlukan oleh organisme air untuk menghasilkan energi yang penting bagi proses pencernaan. Menurut Wardana (1995) kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/L sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan secara normal.
8 Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun III diikuti dengan tingginya suhu pada stasiun III, kandungan oksigen terlarut berbanding terbalik dengan suhu. Menurut Bahri, dkk (2015) suhu rendah sehingga meningkatkan kelarutan oksigen dalam air tinggi. Oksigen dari atmosfer akan lebih mudah berdifusi tidak hanya pada suhu rendah. Menurut Connen dan Miller (1995) bahwa sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik.
Klorofil-a Rawa Kongsi Hasil analisis klorofil-a pada ke empat stasiun diperoleh nilai klorofil-a berkisar antar 2.157 mg/m3 – 2.587 mg/ m3. Dari hasil penelitian nilai klorofil-a tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 2.587 mg/ m3, hal ini disebabkan oleh tingginya kecerahan yang dapat meningkatkan laju fotosintesis pada fitoplankton. Sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun III yaitu 2.157 mg/ m3, hal ini disebabkan oleh karena pembuangan limbah rumah tangga langsung ke lokasi stasiun III sehingga menjadikan perairan lebih keruh sehingga kecerahan berkurang. Sesuai dengan Pitoyo dan Wiryanto (2002) semakin banyak jumlah klorofil dalam suatu satuan luas akan meningkatkan penangkapan cahaya Sebagai parameter biologi , klorofil-a sering dijadikan sebagai indikator kestabilan dan kesuburan. Oleh sebab itu, klorofil-a mempunyai peranan penting dalam rantai makanan di ekosistem perairan. klorofil-a merupakan pigmen yang paling dominan dimiliki oleh fitoplankton. Menurut Ryding and Rast (1989), pembagian tingkat trofik perairan berdasarkan klorofil-a, bahwa perairan Rawa Kongsi termasuk ke dalam kategori oligotrofik (> 2,5 mg/m3) yaitu
tingkat kesuburannya rendah dengan nilai rata – rata 2,461 mg/m3.
Produktivitas Primer Rawa Kongsi Produktivitas primer bersih lebih tinggi pada stasiun I dimana stasiun ini memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dimana cahaya sangat mempengaruhi produktiitas perairan karena cahaya dan klorofil digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, hal ini sesuai dengan Pitoyo dan Wiryanto (2001) menyatakan cahaya merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan. Tingginya konsentrasi nilai klorofil-a pada stasiun I sangat baik untuk melakukan proses fotosintesis sehingga nilai produktivitas primer perairan juga tinggi. Sebaliknya rendahnya nilai produktivitas primer pada stasiun III diduga karena keanekaragaman fitoplankton pada stasiun III lebih rendah, hal ini dapat dilihat berdasarkan konsentrasi klorofil-a pada stasiun III cenderung lebih rendah. Menurut Barus (2004), pengaruh keanekaragaman plankton di suatu ekosistem perairan dapat menyebabkan laju fotosintesis yang tinggi sehingga menghasilkan produktivitas primer yang tinggi. Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver 18.00 Klorofil-a, DO, pH, kecerahan dan intensitas cahaya mempunyai korelasi searah dengan produktivitas primer perairan Rawa Kongsi sedangkan suhu memiliki korelasi yang berlawanan arah dengan produktivitas primer perairan. Menurut Hastono (2001), berdasarkan interval koefisien korelasi yang diperoleh maka tingkat hubungan antar faktor dapat diketahui. Nilai korelasi antara produktivitas primer
9 dengan klorofil-a sebesar 0.918, maka hubungan korelasi antara klorofil-a dengan produktivitas primer memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat, diikuti dengan DO memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat dengan nilai 0.870, suhu dengan nilai - 0.870 tingkat hubungannya yang sangat kuat. Kecerahan dengan nilai korelasi 0.942 memiliki hubungan yang sangat kuat serta intensitas cahaya dengan nilai 0.882 juga memiliki hubungan yang sangat kuat. pH memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat dengan nilai 0.853. Parameter suhu menunjukkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan produktivitas primer, maksudnya adalah semakin tinggi suhu perairan maka produktivitas primer perairan akan rendah dan sebaliknya jika suhu perairan semakin menurun maka produktivitas primer perairan akan meningkat.
Rekomendasi Pengelolaan Upaya yang dapat dilakukan supaya perairan Rawa ini tidak masuk ke dalam kategori tercemar berat maka harus melibatkan stake holder / pemegang kepentingan dari perairan rawa Kongsi. Diharapkan supaya stake holder langsung membuang tumbuhan eceng gondok pada saat pembersihan rawa Kongsi serta tidak meninggalkan sampah pada saat memancing di rawa. Aktivitas pertanian menggunakan pupuk yang tidak mengandung bahan kimia yang berlebihan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Nilai rata-rata produktivitas primer pada perairan Rawa Kongsi adalah 487,968 mgC/m3/hari, sedangkan nilai rata-rata klorofil-a adalah 2,461 mg/m3 Tinggi rendahnya produktivitas primer pada perairan
Rawa Kongsi dipengaruhi oleh kecerahan, intensitas cahaya dan klorofil-a. 2. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara laju produktivitas primer perairan dengan klorofil-a dan faktor fisika kimia perairan (suhu, kecerahan, intensitas cahaya, DO dan pH) dengan nilai > 0,76 . Berdasarkan kandungan klorofil-a maka tingkat trofik perairan Rawa Kongsi termasuk dalam oligotrofik yaitu tingkat kesuburannya rendah dan produktivitas rendah dengan nilai rata – rata klorofil-a adalah 2,461 mg/m3. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan perlu adanya penelitian lanjutan mengenai produktivitas primer perairan di Rawa Kongsi berdasarkan musim sehingga data yang diperoleh dapat dibandingkan untuk menentukan kesuburan perairan Rawa Kongsi pada musim penghujan dengan musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA Ayu, W. F. 2009. Keterkaitan Makrozoobenthos dengan Kualitas Air dan Substrat di Situ Rawa Besar, Depok. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bahri, S., F. Ramadhan dan I. Reihannisa. 2015. Kualitas Perairan Situ Gintung Tangerang Selatan. Jurnal Ilmiah Biologi. Vol. 3 (1) Hal 16-22. ISSN 23021616. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Banerjea, S. M. 1971. Water Quality and Soil Condition of Fish Pond in Some Water of Indian Relation
10 Fish Education Indian. Journal of Fisher Voinn. New York.
Bayurini. D. H. 2006. Hubungan antara Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Distribusi Ikan di Ekosistem Perairan Rawa Pening Kabupaten Semarang. [Skripsi]. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Barus, T. A. 2004. Usupress. Medan.
Limnologi.
Connen, W. D dan J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Gandasasmita. K., Suwarto., W. Adhy dan Sukmara. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Isnaini, A. 2011. Penilaian Kualitas Air dan Kajian Potensi Situ Salam sebagai Wisata Air di Universitas Indonesia, Depok. [Tesis]. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, Depok.
Nita dan S. Eddy. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di Danau OPI Jakabaring Kota Palembang. Vol 12 (1) : 56-66. ISSN 1829. 586x. Universitas PGRI Palembang. Palembang.
Pitoyo, A dan Wiryanto. 2002. Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali. Fakultas Matematikan Ilmu Pengetahuan Alam. ISSN: 1412033X. Universitas Negeri Surakarta. Semarang. Ryding, S and W. Rast. 1989. The Control of Eutrophication of Lakes and Reservoirs. Vol 1. UNESCO. Paris.
Salwiyah. 2011. Kondisi Kualitas Air Sehubungan dengan Kesuburan Perairan Sekitar PLTU NII Tanasa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari. Sutrisno, T. C. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Wardana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta