KUALITAS AIR SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA The Belawan River Water Quality in District Pancur Batu Deli Serdang Regency of North Sumatera Uzi Zefanya Gulo1), Ternala Alexander Barus2), Ani Suryanti3) 1)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email :
[email protected]) 2) Staff Pengajar Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara 3) Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Belawan River waters are widely used for a variety of community activities. The existence of community activities into the waters of the rivers affecting water quality in Belawan River Pancur Batu subdistrict. This study aims to determine the water quality based on physical and chemical parameters as a result of community activities in Belawan River Pancur Belawan Subdistrict of Deli Serdang Regency. Physical and chemical parameters of water were analyzed with method Storet. The study was conducted in March and April 2015. The method used is purposive random sampling. Stations used consisted of station I (Without Activity), station II (Dredging Sand), and the station III (Recreation and MCK). The value of physical and chemical parameters of water include temperature from 25.00 to 27.00 ° C, turbidity (TSS) from 22.68 to 28.86 mg / l, TDS 156.6 to 187.2 mg / l, DO 4.80 6.00 mg / l, pH 7.20 to 8.10, BOD 1.20 to 2.20 mg / l, nitrate 0.812 to 1.123 mg / l, phosphate from 0.112 to 0.153 mg / l, the organic content of the substrate from 0.372 to 0.705 %. Based on the physical and chemical parameters of water, the station I and II meet the water quality standard Class II (lightly polluted), whereas the third station meet Class II water quality standard (not being). Keywords: water quality, society activities, belawan river PENDAHULUAN Sungai merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Menurut Yulistiyanto (2013) sungai berperan penting bagi sumberdaya air baik secara ekologi, hidrologi dan ekonomi. Baik sebagai habitat berbagai organisme air, sumber air minum bagi masyarakat sekitar, tempat penangkapan ikan, kegiatan transportasi.
Kegiatan tersebut bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air, diantaranya adalah menurunnya kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi mahkluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan lingkungan hidup menjadi buruk. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air yang pada
akhirnya akan menurunkan kekayaan sumberdaya alam (Wijaya, 2009). Sungai Belawan merupakan sebuah sungai yang terletak di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Sungai ini dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas masyarakat seperti MCK (mandi, cuci, kakus), kegiatan rekreasi (permandian) dan aktivitas pengerukan pasir. Kegiatan yang terjadi disekitar sungai menghasilkan limbah yang secara langsung akan manambah beban pencemar pada perairan sungai Belawan. Menurut Salmah (2010), limbah yang dibuang ke sungai mempengaruhi kualitas air serta fungsi dan struktur ekosistem sungai. Aktivitas yang dilakukan masyarakat disekitar sungai Belawan berpotensi meningkatkan pembuangan limbah, baik padat maupun cair. Dengan adanya pembuangan limbah yang mengandung berbagai jenis bahan pencemar ke perairan sungai Belawan, baik yang dapat terurai maupun yang tidak dapat terurai akan menyebabkan meningkatnya beban yang diterima oleh sungai Belawan. Jika beban yang diterima oleh sungai melampaui ambang batas yang ditetapkan berdasarkan baku mutu, maka sungai tersebut dikatakan tercemar, baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang Kualitas Air Sungai Belawan yang bertujuan untuk menganalisis nilai kualitas air berdasarkan parameter fisika dan kimia di Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang dan membandingkan nilai kualitas air (parameter fisika dan kimia) tersebut dengan baku mutu kualitas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 sehingga diketahui kategori peruntukan dan rekomendasi pengelolaannya.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2015 dengan interval waktu pengambilan sampel 2 minggu. Pengambilan sampel dilakukan di Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 stasiun berbeda yaitu stasiun tanpa aktivitas, stasiun pengerukan pasir dan stasiun MCK. Sampel air diidentifikasi di Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PUSLIT-SDAL) Universitas Sumatera Utara. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, GPS (Global Positioning System), pH meter, botol sampel, alat tulis, kamera digital, kertas label, eckman grab, ember 5L, plastik, botol winkler, erlenmayer, jarum suntik, pipet tetes, dan coolbox. Alat penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air yang diukur parameter fisika kimia, substrat, dan larutan MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Prosedur Penelitian Penentuan Stasiun Penelitian Metode yang digunakan dalam menentukan stasiun penelitian adalah Purpossive Random Sampling yaitu dengan cara memilih 3 stasiun penelitian berdasarkan aktivitas di sekitar sungai. Stasiun 1 tanpa aktivitas, stasiun 2 terdapat aktivitas pengerukan pasir dan stasiun 3 terdapat aktivitas rekreasi (permandian) dan MCK. Lokasi dan stasiun penelitian ditampilkan pada Gambar 2. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan selama tiga periode yang masing-masing tiga kali ulangan per stasiun. Pengambilan sampel pada setiap stasiun dilakukan pada tiga titik. Dengan rentang waktu selama 2 minggu. Sampel dijadikan menjadi sampel komposit.
Analisis Sampel Air Pengukuran parameter seperti suhu, DO, pH dilakukan secara in situ sedangkan parameter seperti kekeruhan (TSS), TDS, BOD5, nitrat, fosfat, kadar organik substrat dilakukan secara ex situ. Data yang diperoleh dianalisis dengan Metode Storet dengan mengacu Kriteria Baku Mutu Air Kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Penentuan Status Mutu Air dengan Metode storet 1. Skor = 0 memenuhi baku mutu 2. Skor = -1 s/d -10 tercemar ringan 3. Skor = -11 s/d -30 tercemar sedang 4. Skor = ≤ -31 tercemar berat Tabel 8. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air
Jumlah Contoh < 10
≥ 10
Parameter Fisika Kimia Maksimum -1 -2 Minimum -1 -2 Rata-rata -3 -6 Maksimum -2 -4 Minimum -2 -4 Rata-rata -6 -12 Nilai
Tabel 7. Kriteria Mutu Air Berdasarkan PP No. 82/2001 Parameter Fisika Suhu Kekeruhan (TSS) TDS Kimia DO pH BOD5 Nitrat (NO3¯ -N) Fosfat (PO4³¯ -P)
Satuan o
C
mg/l mg/l
mg/l mg/l mg/l mg/l
Kelas I
II
III
IV
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 5
50 1000
50 1000
400 1000
400 2000
≥6 6-9 2
≥4 6-9 3
≥3 6-9 6
≥0 5-9 12
10
10
20
20
0.2
0.2
1
5
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada saat pengamatan meliputi suhu, kekeruhan (TSS), TDS, DO, pH, BOD5, nitrat, fosfat dan kadar organik substrat. Dari masing-masing stasiun, yaitu stasiun I yang merupakan tanpa aktivitas, stasiun II yang terdapat aktivitas pengerukan pasir, dan stasiun III yang terdapat aktivitas rekreasi dan MCK. Tabel 9. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu Parameter
I
Baku Mutu Air Kelas II III
IV
I
Stasiun II
III
Fisika Suhu (oC)
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 5
Kekeruhan (TSS)(mg/L)
50
50
400
400
TDS (mg/L)
1000
1000
1000
2000
DO (mg/L)
≥6
≥4
≥3
≥0
pH
6-9
6-9
6-9
5-9
BOD (mg/L)
2
3
6
12
Nitrat (mg/L)
10
10
20
20
Fosfat(mg/L)
0,2
0,2
1
5
-
-
-
-
25-27
26-27
26-27
22,6823,68 156,6168,4
28,4228,86 182,6187,2
25,1226,76 170,4176,8
5,66,0 7,27,6 1,21,4 0,8120,869 0,1120,126 0,6120,705
4,85,4 7,37,7 1,82,0 1,0121,025 0,1350,138 0,4380,465
5,05,2 7,58,1 2,02,2 1,1061,123 0,1470,153 0,3720,408
Kimia
Kadar Organik Substrat (%)
Suhu Hasil pengukuran suhu di Perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu yang terdapat pada gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu air pada setiap stasiun yaitu 26ºC pada stasiun I (tanpa aktivitas), 26,66 ºC pada stasiun II (Pengerukan Pasir) dan 26,66 ºC pada stasiun III (Aktivitas Rekreasi dan MCK). Cuaca pada saat pengamatan cenderung kurang stabil. Kondisi cuaca stasiun I pada saat pengamatan cukup panas sedangkan pada stasiun II cuaca mendung dan pada stasiun III hujan. Namun perbedaan cuaca tidak menunjukkan adanya perbedaan yang cukup drastis terhadap suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Azwir (2006) bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh 4 faktor, yakni : (1) variasi jumlah panas yang diserap (2) pengaruh konduksi panas (3) pertukaran tempat massa air secara lateral oleh arus dan (4) pertukaran air secara vertikal. Hasil pengukuran suhu air selama penelitian memperlihatkan bahwa suhu air pada masing-masing stasiun penelitian tidak menunjukkan variasi yang tinggi, yaitu berkisar antara 26 ºC – 26,66 ºC. Rata-rata suhu air tertinggi pada stasiun II dan III (26,66 ºC) dan rata-rata suhu air terendah pada stasiun I (26 ºC). Tingginya suhu disebabkan oleh aktivitas yang terjadi disekitar sungai. Kondisi rata-rata nilai
suhu air pada semua stasiun penelitian, masih berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh organisme akuatik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan organisma pada perairan adalah berkisar 20 ºC–30 ºC.
Gambar 6. Nilai Rata-Rata Suhu Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Kekeruhan (TSS) Nilai kekeruhan yang dilihat pada gambar 7 berbeda dari masing-masing stasiun. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun II (pengerukan pasir) yaitu 28,61 mg/l dan nilai kekeruhan terendah terdapat pada stasiun I (tanpa aktivitas) yaitu 23,19 mg/l. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun II disebabkan oleh adanya aktivitas pengerukan pasir yang menyebabkan pengadukan tanah atau pasir sehingga dapat memicu terjadinya kekeruhan perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manik (2009) bahwa kekeruhan air disebabkan oleh tanah liat halus, berbagai jenis bahan organik, dan sel-sel mikroorganisme. Menurut Fisesa., dkk (2014) nilai kekeruhan perairan merupakan gambaran dari banyaknya bahan-bahan yang tersuspensi di perairan diantaranya, liat, debu, plankton dan organisme renik. Kekeruhan dapat menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang masuk keperairan. Nilai kekeruhan semakin meningkat semakin ke arah hilir yang disebabkan oleh masukan dari arah hulu serta masukan dari limpasan air dari daratan yang dibawa oleh air hujan.
Kondisi yang sama juga ditemukan di Sungai Belawan yang telah mengalami penurunan kualitas perairan akibat adanya masukan bahan organik dan tingginya tingkat kekeruhan terutama pada stasiun 2 (pengerukan pasir).
Gambar 7. Nilai Rata-Rata Kekeruhan (TSS) Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
TDS (Padatan Terlarut Total) Nilai TDS yang dapat dilihat pada gambar 8 berbeda pada masing-masing stasiun. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun II (Pengerukan Pasir) yaitu 184,8 mg/l dan nilai TDS terendah terdapat pada stasiun I (tanpa aktivitas) yaitu 162,9 mg/l. Tingginya nilai TDS di stasiun II disebabkan oleh aktivitas pengerukan pasir. Dimana aktivitas tersebut menambah beban masukan limbah keperairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yazwar (2008) bahwa tingginya padatan terlarut pada suatu perairan dikarenakan area tersebut dekat dengan aktivitas manusia sehingga banyak menghasilkan limbah yang masuk ke badan perairan dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut. Rendahnya nilai padatan terlarut di stasiun I (tanpa aktivitas) dikarenakan lokasi stasiun I jauh dari aktivitas manusia dan diasumsikan tidak adanya aktivitas yang dominan sehingga limbah yang masuk keperairan masih dapat ditolerir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yazwar (2008) bahwa rendahnya nilai TDS pada suatu perairan dikarenakan perairan tersebut jauh dari segala aktivitas manusia dan tidak adanya limbah yang masuk ke perairan.
pH
Gambar 8. Nilai Rata-Rata TDS Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Dissolved Oxygen (DO) Nilai DO terendah terdapat di stasiun III yaitu 5 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun I yaitu 5,8 mg/l yang dapat dilhat pada gambar 9. Rendahnya nilai DO disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan buangan limbah detergen dari bekas pencucian yang langsung dilakukan di sungai. Limbah tersebut meningkatkan suhu perairan sehingga menurunkan kelarutan oksigen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2001) bahwa kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Konsentrasi menurun sejalan dengan meningkatnya suhu air. Nilai DO dari masing-masing stasiun penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu menunjukkan kualitas perairan yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) yang menyatakan bahwa nilai DO yang mengindikasikan kualitas air yang baik adalah berkisar diantara 6-8 mg/l.
Hasil pengukuran pH air yang diperoleh (gambar 10) didapat bahwa nilai pH air pada masing-masing stasiun penelitian tidak memperlihatkan perbedaan yang cukup jauh. Rata-rata pH antar stasiun berkisar 7,4 – 7,7. Rata-rata nilai pH air tertinggi ditemukan pada stasiun III (rekreasi dan MCK) sebesar 7,7, dan ratarata nilai pH air terendah ditemukan pada stasiun I (tanpa aktvitas) sebesar 7,4. Tingginya nilai pH pada stasiun III disebabkan oleh pengaruh buangan limbah penduduk yang masuk ke perairan sungai. Limbah atau sampah seperti buangan detergen mengandung senyawa kimia yang dapat meningkatkan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ginting (2011) yaitu perubahan pH bisa dipengaruhi oleh adanya buangan senyawa-senyawa yang masuk kedalam lingkungan perairan. Secara umum nilai pH yang didapatkan dari semua stasiun penelitian, baik stasiun I (tanpa aktivitas), stasiun II (pengerukan pasir), maupun stasiun III (rekreasi dan MCK) masih berada dibawah nilai ambang batas baku mutu air untuk kelas I (Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001), dan mampu mendukung kehidupan setiap biota perairan seperti yang dinyatakan dalam keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 6.50 - 8.50.
Gambar 10. Nilai Rata-Rata pH Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan Gambar 9. Nilai Rata-Rata DO Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Biochemichal Oksigen Demand (BOD) Berdasarkan hasil yang diperoleh dari 3 stasiun pengamatan (gambar 11),
maka nilai BOD tertinggi berada pada stasiun III yaitu 2 mg/l. Sedangkan nilai BOD terendah berada pada stasiun I dengan nilai 1,3 mg/l. Pada stasiun II nilai BOD yaitu 1,8 mg/l. Tingginya nilai BOD pada stasiun III disebabkan oleh buangan limbah domestik yang mengakibatkan meningkatnya proses dekomposisi oleh organisme pengurai, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi BOD. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pujiastuti, dkk., (2013) bahwa perairan dengan nilai BOD yang tinggi mengindikasikan bahwa bahan pencemar yang ada dalam perairan tersebut juga tinggi, yang menunjukkan semakin banyaknya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai BOD5 didapat bahwa perairan sungai Belawan merupakan perairan yang tidak tercemar dimana nilai BOD5 ≤ 2 mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fadil (2011) bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/l merupakan perairan yang tidak tercemar. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Lensun dan Sipriana (2011) pada perairan Sungai Tondano Manado sangat jauh berbeda dengan perairan Sungai Belawan. Nilai BOD pada perairan Sungai Tondano Manado berada pada kisaran 15,5-44 mg/L berasal dari buangan limbah domestik.
Nitrat (NO3-N) Nilai rata-rata konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 1,113 mg/l dan terendah pada stasiun I yaitu 0,838 mg/l (gambar 12). Nilai konsentrasi nitrat tinggi di perairan karena nitrat merupakan hasil oksidasi dari amonium dan amoniak yang berasal dari limbah domestik. Karena stasiun III berada pada lokasi yang dekat dengan aktivitas penduduk maka buangan limbah domestik yang banyak mengandung amoniak jelas akan menyebabkan jumlah nitrat menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yazwar (2008) bahwa nitrat merupakan hasil oksidasi terakhir dari amonium dan amoniak yang berasal dari limbah domestik. Buangan limbah domestik yang mengandung amoniak menyebabkan meningkatnya kandungan nitrat. Budiharjo dan Huboyo (2007) menyatakan sumber polutan seperti nitrat yang berasal dari perairan mempunyai jumlah lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari aktivitas manusia. Kandungan nitrat pada perairan Sungai Belawan yang berkisar antara 0,838 – 1,113 mg/l masih sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 dimana baku mutu parameter nitrat (NO3) untuk peruntukan air kelas I adalah 10 mg/l. Jika dilihat dari kandungan nitratnya, perairan Sungai Belawan tergolong tidak memiliki kesuburan yang tinggi. Menurut Nugroho (2006), klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat 1,13 – 11,29 mg/l tergolong perairan dengan kesuburan yang tinggi.
Gambar 11. Nilai Rata-Rata BOD Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan Gambar 12. Nilai Rata-Rata Nitrat Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Fosfat (PO4-P) Nilai rata-rata konsentrasi fosfat tertinggi berada pada stasiun III yaitu 0,15 mg/l dan konsentrasi fosfat terendah berada pada stasiun I yaitu 0,118 mg/l (gambar 13). Nilai konsentrasi fosfat yang tertinggi bersumber dari aktivitas domestik karena setiap sisa atau buangan rumah tangga (mandi, cuci, kakus) dan penggunaan detergen yang mengandung fosfat dialirkan melalui tanah dan bergabung dengan buangan lain masuk ke dalam perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sasongko (2006) bahwa fosfat dapat bersumber dari air buangan penduduk, penggunaan detergen, dan sisa makanan yang dibuang ke perairan. Dilihat dari kandungan fosfatnya, yaitu antara 0,118–0,15 mg/l perairan Sungai Belawan tergolong jenis perairan yang memiliki kesuburan cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugroho (2006) bahwa klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat 0,10–0,20 mg/l tergolong perairan dengan kesuburan tinggi.
dan mengendap ke dasar perairan. Menurut Agnitasari (2006), kandungan C (karbon) organik pada substrat menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik hasil dekomposisi maupun bahan organik yang terbawa oleh arus air dan mengendap ke dasar perairan. Nilai rata-rata kandungan kadar organik substrat pada tiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,391 – 0,666 %. Secara keseluruhan nilai kadar organik substrat yang diperoleh pada setiap stasiun pengamatan di Sungai Belawan termasuk dalam kategori sangat rendah. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) yang diacu oleh Simamora (2009), kriteria tinggi rendahnya kandungan kadar organik substrat berdasarkan presentase, sangat rendah < 1 %, rendah 1 % - 2 %, sedang 2 % - 3 %, tinggi 3 % - 5 %, sanggat tinggi > 5 %. Tinggi rendahnya kandungan kadar organik substrat pada suatu perairan bersumber dari alam, sintesis dan fermentasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa bahan organik pada suatu perairan berasal dari tiga sumber utama yaitu alam, sintesis dan fermentasi. Agnitasari (2006) mengatakan umumnya dasar perairan yang berlumpur mengandung C-organik yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe sedimen yang tidak berlumpur.
Gambar 13. Nilai Rata-Rata Fosfat Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Kadar Organik Substrat Nilai rata-rata kandungan kadar organik substrat tertinggi berada pada stasiun I yaitu 0,666% dan kandungan kadar organik substrat terendah berada pada stasiun III yaitu 0,391% (gambar 14). Tingginya kandungan kadar organik substrat pada stasiun I dikarenakan stasiun ini merupakan stasiun dimana tidak adanya aktivitas sehingga banyaknya kandungan bahan organik yang terbawa oleh arus air
Gambar 14. Nilai Rata-Rata Kadar Organik Substrat Pada Stasiun I, II dan III di Sungai Belawan
Status Mutu Air Nilai hasil pengukuran pada stasiun I diperoleh skor -8 pada kelas I yang
artinya perairan dalam keadaan tercemar ringan. Namun pada stasiun I yaitu pada kelas II, III dan kelas IV memilki skor 0 yang berarti perairan masih dalam keadaan memenuhi baku mutu. Pada stasiun II diperoleh skor -10 pada kelas I yang artinya perairan dalam keadaan tercemar ringan. Namun pada stasiun II yaitu pada kelas II, III dan kelas IV memilki skor 0 yang berarti perairan masih dalam keadaan memenuhi baku mutu. Pada stasiun III diperoleh skor -18 pada kelas I yang artinya perairan dalam keadaan tercemar sedang. Namun pada stasiun III yaitu pada kelas II, III dan kelas IV memilki skor 0 yang berarti perairan masih dalam keadaan memenuhi baku mutu. Pemberian skor pada masing-masing stasiun dilakukan menggunakan metode storet untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan sehingga dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Hal ini sesuai dengan KMNLH tahun 2003 bahwa prinsip metode storet adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Stasiun I (tanpa aktivitas) dan stasiun II (pengerukan pasir) merupakan stasiun yang tercemar ringan, meskipun pada stasiun I tidak terdapat aktivitas yang dominan jika dibandingkan dengan stasiun II namun tercemarnya perairan pada stasiun I dikarenakan alur sungai yang berasal dari hilir sungai yang membawa sisa-sisa unsur hara. Ada dua sumber pencemar air yaitu sumber dari titik tetap dan sumber tidak tetap. Sumber tidak tetap bisa berasal dari hujan dan salju cair mengalir melewati lahan dan menghanyutkan pencemar seperti pestisida dan pupuk. Dini (2011) menyatakan sumber tidak tetap juga bisa berasal dari hujan salju cair mengalir melewati lahan dan pencemar-pencemar diatasnya seperti pestisida dan pupuk dan mengendapkannya dalam perairan dan air bawah tanah serta kota-kota dan
pemukiman yang juga menjadi penyumbang pencemar. Aktivitas pengerukan pasir berpengaruh terhadap penurunan kualitas air karena adanya pengadukan pada saat pengambilan pasir dengan menggunakan alat sehingga merusak struktur tanah dan meningkatkan kekeruhan. Penggunaan alat berat dan mobil pengangkut pasir yang langsung kesungai juga merusak keadaan tanah dan kesuburannya. Namun demikian pengerukan pasir saat ini tidak berpengaruh besar apabila dilihat dari pengukuran kualitas airnya. Hal ini dikarenakan pengerukan pasir hanya merusak struktur tanah dan meningkatkan kekeruhan dan tidak terlalu banyaknya buangan limbah yang masuk keperairan. Dyahwanti (2007) menyatakan dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tidak hanya bersumber dari pembuangan limbah, tetapi juga karena perubahan terhadap komponen lingkungan yang berubah atau meniadakan fungsifungsi lingkungan. Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula seperti perubahan topografi tanah termasuk karena mengubah aliran sungai. Aktivitas rekreasi dan MCK sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas air sungai. Hal ini dikarenakan komposisi limbah cair yang masuk keperairan meliputi bahan organik dan anorganik yang dapat mengalami degradasi oleh mikroorganisme. Limbah cair ini berasal dari kegiatan yang manusia di pemukiman baik itu pembuangan kertas, tinja, urin, sabun, lemak detergen dan sisa makanan. Tarigan., dkk (2013) menyatakan limbah cair adalah limbah yang mempunyai sifat cair di mana komposisinya meliputi bahan organik (kertas, tinja, urin, sabun, lemak, deterjen dan sisa makanan kertas, tinja, urin, sabun, lemak, deterjen dan sisa makanan) dan anorganik yang berasal dari
kegiatan manusia di permukiman yang dapat mengalami degradasi oleh mikroorganisme. Agustina, dkk., (2012) manyatakan aktivitas manusia di sepanjang perairan dapat memberikan dampak buruk terhadap perairan tersebut yang ditandai dengan masuknya sejumlah beban pecemar ke dalam lingkungan perairan yang mengganggu ekosistem. Apabila dilihat dari pengukuran parameter kualitas air BOD tertinggi terdapat pada stasiun III. Semakin tingginya nilai BOD maka kandungan limbah organik semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tarigan., dkk (2013) bahwa biological oxygen demand (BOD) akan semakin tinggi jika kandungan limbah organik semakin besar. Rekomendasi Pengelolaan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu diperoleh data bahwa pada stasiun I (tanpa aktivitas), stasiun II (aktivitas pengerukan pasir) dan stasiun III (aktivitas rekreasi dan MCK) digolongkan dalam kelas II yang berarti perairain tersebut masih dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama. Sejauh ini keberadaan aktivitas pengerukan pasir dapat dikatakan belum banyak mempengaruhi dalam penurunan kualitas air sungai. Namun apabila aktivitas pengerukan pasir tersebut terus menerus dilakukan maka dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk terhadap perairan Sungai Belawan. Perairan Sungai Belawan Kecamatan pancur Batu terdapat aktivitas rekreasi dan MCK yang tergolong kelas II mengakibatkan air tidak dapat digunakan sebagai bahan baku air minum atau tercemar ringan. Dalam memperbaiki dan mempertahankan kualitas perairan sungai, perlu dilakukan pengelolaan setiap aktivitas yang ada di sekitar sungai dan pengawasan terhadap kualitas air serta
penetapan peraturan dan sanksi dari pemerintah setempat atau instansi terkait karena seringkali terjadi pembuangan sisa aktivitas manusia sembarang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan parameter fisika dan kimia air yang dianalisis dengan menggunakan metode Storet, pada stasiun I, II dan III memenuhi baku mutu Kelas II. 2. Aktivitas pengerukan pasir, rekreasi dan MCK berpangaruh terhadap kualitas air di perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu namun masih berada dalam baku mutu kualitas air kelas II PP No. 82 Tahun 2001. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian selanjutnya mengenai dampak yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas yang ada disekitar sungai terhadap kualitas air dari segi parameter fisika dan kimia dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat diketahui sejauh mana perubahan yang ditimbulkan dari aktivitas di perairan Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu terhadap baku mutu dan pengelolaan diharapkan bersifat efektif dan efisien agar tidak merugikan masyarakat maupun lingkungan di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Agnitasari, S. N. 2006. Karakteristik Komunitas Makrozoobentos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta. [Skripsi] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Agustina, Y., Amin, B dan Thamrin. 2012. Analisis Beban dan Indeks Pencemar Ditinjau dari Parameter Logam Berat di Sungai Siak Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan Riau. 6 (2): 2-3.
Azwir. 2006. Analisa Pencemaran Air Sungai Tapung Kiri Oleh Limbah Industri Kelapa Sawit Pt. Peputra Masterindo Di Kabupaten Kampar. Universitas Diponegoro. Semarang. Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. USU Press, Medan. Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press, Medan. Budiharjo, M.A dan H.S. Huboyo. 2007. Pola Persebaran Nitrat dan Phospfat dengan Model Aquatox 2.2 serta Hubungan terhadap Tanaman Enceng Gondok pada Permukaan Danau. Jurnal Presipitasi. 2 (2): 5. Dini, S. 2011. Evaluasi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000-2001. [Skripsi] Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok. Dyahwanti, I.N. 2007. Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir Pada Daerah Sabuk Hijau Gunung Sumbing di Kabupaten Temenggung. [Tesis] Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Fisesa. E.D., I. Setyobudiandi dan M. Krisanti. 2014. Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Belumai, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Depik. 3 (1): 1-9. Ginting, O. 2011. Studi Korelasi Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung dengan Pengayaan Nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Klorofil-a di Perairan Danau Toba. Jurnal Perikanan. 1 (2): 4-25. Lensun, M dan S. Tumembouw. 2013. Tingkat Pencemaran Air Sungai
Tondano di Kelurahan Ternate Baru Kota Manado. 1 (2): 43-48. Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta. Salmah, S. 2010. Penataan Bantaran Sungai Ditinjau Dari Aspek Lingkungan. CV. Trans Info Media. Jakarta. Sasongko, A. L. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di Sekitar Sungai Tuk terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang serta Upaya Penanganannya. [Tesis] Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. Simamora, D.R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [Skripsi] Universitas Sumatera Utara. Medan. Tarigan, A., M.T. Lasut., dan S.O. Tilaar. 2013. Kajian Kualitas Limbah Cair Domestik di Beberapa Sungai yang Melintasi Kota Manado dari Aspek Bahan Organik dan Anorganik. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 1 (1): 1-2. Wijaya, H. K. 2009. Komunitas Perifiton Dan Fitoplankton Serta Parameter Fisika-Kimia Perairan Sebagai Penentu Kualitas Air di Bagian Hulu Sungai Cisadane, Jawa Barat. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yazwar. 2008. Keanekaragaman Plankton dan Keterkaitannya dengan Kualitas Air di Parapat Danau Toba. [Tesis] Universitas Sumatera Utara. Medan. Yulistiyanto, B. 2013. Pelestarian dan Pemanfaatan Sungai Secara Terpadu dan Berkelanjutan bagi Kemaslahatan Manusia. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.