D.ttlil GHttE llltG
Lrir/lJ /:L=/itilt'
lfl' /\Li/rl(r
L'l-l Lt D" /:L
Sttitp,ti ?tt*t
L(r
S!"::- 03
.:': -:1..
,USDA JATENG -f;
6 103'
IJJJJ}
2n\7 ttb /,a-
{,ng
AHMAD HAMAM ROCHANI
DARI GERBANG MAJAPAHIT Saro4ae ?aA MATARAM KENDAL
Seri 03
ASTANA KUilTUL NGLAYANG
PANEMBAFIAN DJOEM I NAE{
PENERBIT INTERMEDIA PARAMADINA bekeria sama dengan DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN KENDAL
Kantor Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah
|il il il il il lllll lllllll lll lll *000001202*
ASTANA KUNTUL NGLAYANG
PANEMBAHAN DJOEMINAH Hak cipta ada pada penulis. Hak cipta dilirdungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seijin dari penngang hak cipta.
Penulis AlililAD l{AIvlAM ffiC}lANl Kata Sambutan MULYADI, SH, MM. Kepala Dinas Pendldikan dan Kebudayaan lGbtpaten Kendal
Pangarso Paguyuban Kerabat lGraton Surakarta Wewengkon Semarang - Kendal
Bagian Produksi Raden Ngabefri Asrnodiproio Lu'lu'atul Qudsiyana Abdullah Noor Hijri Frta Fatmawati Qorri Ariesna Shofiyana Abdullah Rahayuningsih Rochani
Cetakan I : Nopember 2003 Penebit INTERMEDIA PAIilAMADINA bekerja sama dengan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ' Kabupaten Kendal K,A}iTr;,
KATA PENGANTAR KEPAIA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN KENDAL Bi sm i I lah i nah man i r rah i m Assalamu'alaifum wr. wb.
Buku yang ada di tangan pembaca yang budiman ini merupakan
buku ketiga dari buku Dari Gerbang Majapahit Sampai Pintu
-
Mataram Kendal. Buku ketiga ini berjudul Astana Kuntu! Nglayang Panembahan Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang ini mengandung filsafat kehidupan yang sangat tinggi. Bagi seorang sufi atau pengamal ajaran tasawuf,
sebutan Astana itu benar-benar menghantarkan pada tempat kehidupan yang bahagia setelah kematian. Karena pada kenyataannya kematian bukan merupakan akhir dari kehidupan. Filsafat yang terkandung dalam Astana Kuntul Nglayang itu antara lain, bahwa ibadah seseorang sebagai tanda pengabdian kepada Allah Tuhan Yang Esa itu benar-benar menjulang tinggi seperti letak astana itu. Kemudian setelah meninggal dunia, manusia hendaknya menempati posisi yang tinggi seolah-olah dekat dengan Tuhannya.
Mengapa nama yang diambil itu burung kuntul dan bukan burung lainnya atau nama lain yang mungkin mempunyai kelebihan dari burung kuntul. Inilah yang perlu dicermati, sebuah filsafat jawa yang memiliki nilai luhur luar biasa. Burung Kuntul dapat kita lihat bersama. Burung itu berbulu putih. Bila terbang ke angkasa, berbaris rapi dan tidak ada yang saling menyalip. Belum ada catatan yang menerangkan pernah terjadi pertarungan sesama burung kuntul. Burung itu kalau berada di tanah terlihat sangat indah dan bila terbang ke angkasa keindahannya semakin bertambah.
Kiranya kita bisa melangkah sebagaimana burung kuntul, dan kita hidup seperti yang digambarkan filsafat itu. Kuntul Nglayang yang
artinya Kuntul terbang. Ternyata sayap-sayap burung kuntul tetap juga putih dan bahkan mempercantik keindahannya secara utuh. Dan kenmudian pada akhirnya kita mengenal Pangeran .Djominah atau Panembahan Djoeminah walau hanya sebatras sejarah
hidupnya yang kurang lerngkap. Mamang dari perjalanan hidupnya -meskipun sebagian- kita bisa mencontoh, dan pola hidup Panembahan Djoeminah memang patut ditauladani. Putera panembahan Senopati Sutowijoyo ini terdapat dua darah biru yang berkumpul menjadi satu. Dari pihak ayah, terdapat darah Majapahit, dan dari darah ibu terdapat darah Demak. Kehidupan Pangeran Djoeminah lebih suka pada dunia spiritual. Kiranya tidak berlebihan bila ia disebut dengan sebutan seorang ulama sufi. Betapa tidak, kalau ia suka dengan pangkat adipati, rasanya tidak terlalu sulit untuk mencapainya. Namun ia lebih suka dengan hidup seadanya. Pekerjaan yang telah dilakukannya tidak pernah ia hitung dengan balasan material. Tetapi semuan)ra diserahkan sebagai pengabdian.
Kaliwungu sang dibangunnya sebagai sebuah kabupaten, kenyataannya tidak ada niat untuk dinikmati, tetapi diserahkan pada anak cucu dan keturunannnya. Kota Santri yang melekat erat pada Kaliwungu juga tidak lepas dari peran Panembahan Djoeminah yang membangun daerah ini dengan pondasi ilmu wirid hidayat jati atau ilmu thareqot. Semoga buku ini bisa menambah ilmu pengetahun serta menambah wawasan. Kemudian tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada penulis buku ini, yaitu Sdr. Ahmad Hamam Rochani, dan juga keluarga besar Penerbit lntermedia Paramadina yang telah berusaha keras menerbitkan buku ini secara berseri. Semoga menjadi amal baiknya dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Amien. .
Demikian dan terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb.
Kendal, 1 Nopember 2003 Kepala, MULYADI, SH, MM.
DAFTAR ISI 1.
Kata Sambutan Kepala Dinas P dan K Kabupatgn Kgndal ................................................
iii
2. Kata Sambutan Pangarso Paguyuban Kerabat Karaton Surakarta Wewengkon Semarang Kendal....
3. Pengantar Penulis .......... .......... 4. Pgmbuka .......... .....................................r....... 5. Pangeran Djoeminah Siklus Keagungan Demak
V
vii 10
ix
SAMBUTAN PENGURUS PAGUYUBAN KERABAT KARATON SURAKARTA HADININGRAT WEWENGKON KENDAL Bi s m i I Iah i rrah m an i rrah i m
Assalamu alaikum wr.wb.
Dengan mengucap syukur ke hadlirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya kita bisa membaca bersama-sama buku sejarah singkat tentang Astana Kuntul Nglayang dan riwayat hidup secara singkat tentang Kanjeng Pangeran Djoeminah, pembangun Kadipaten Kaliwungu. Sudah barang tentu untuk bisa dimaklumi bahwa buku kecil ini belum secara tuntas untuk meriwayatkan perjalanan Kanjang Pangeran Djoeminah, yang dimulai dari Keraton Mataram sampai dengan Kadipaten Kaliwungu. Hal ini disebabkan minimnya literatur atau nara sumber yang memiliki catatan tentang riwayat hidupnya. Namun demikian dengan terbitnya buku ini paling tidak kita semua bisa mengetahui - walau sedikit - tentang riwayat hidup Kanjeng Pangeran Djoeminah yang terkenal dengan ajaran llmu Wirid Hidayat Jatinya. Kita harus mau jujur dan mau mengakui bahwa Kanjeng Pangeran Djoeminah bukan sosok pribadi yang ambisius ataupun gila pangkat dan deraiat. Kalau saja beliau menginginkan jabatan, tentunya bukan barang yang sulit. Sebab kerton Mataram sejak Panembahan Sutawijaya, Panembahan Anyokrowati sampai dengan Sultan Agung Anyokrokusumo terbentang luas, dan bahkan Kerajaan Mataram telah menjadi besar dan terkenal serta bisa dikatakan dan disebut telah menguasai pulau Jawa sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sunan Giri Kedhaton kepada Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram ketika Kerajaan Pajang masih tegak dengan kebesarannya. Ternyata Kanjeng Pangeran Djoeminah lebih suka hidup dengan menghayati dunia spiritual yang ditekuninya dengan belajar pada Ki Juru Mertani, yaitu mengamalkan llmu Wirid Hidayat Jati. Maka tidak berlebihan bila Sultan Agung mengangkatnya sebagai penasihat sultan dan kemudian memberinya gelar Panembahan kepadanya. Maka
lengkaplah, selain ia seorang putra raja yang sah dipanggil dengan Pangeran, dan selanjutnya dihormati sebagai seorang Panembahan. Sebuah kehormatan yang luar biasa. Begitupula setelah membangun Kadipaten Kaliwungu pasca Kaladuta atau penyerangan Mataram ke Batavia. Kadipaten yang indah dan damai itu juga tidak lepas dari sentuhan ilmu wirid hidayat jati, dan kenyataannya Kanjeng Pangeran Djoeminah tidak mau
menempatkan diri sebagai seorang adipati. Kursi Kadipaten
Kaliwungu diserahkan pada anak, cucu dan keturunannya. lni salah satu bukti bahwa pada diri Kanjeng Pangeran Djoeminah terdapat jiwa yang bersih. Pekerjaan yang telah dilakukan, semata-mata sebuah pengabdian yang didasari rasa ikhlas, semuanya diserahkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Agung. Sikap yang demikian ini kiranya perlu kita tauladani. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada saudara kami, Ahmad Hamam Rochani bersama keluarga yang telah bekerja keras untuk menerbitkan buku ini. Paling tidak dengan terbitnya buku ini wawasan kita menjadi bertambah, terlebih bila buku berjudul DARI GERBANG MA-JAPAHIT SAMPAI PINTU MATARAM KENDAL ( Sunan Katong dan Pakuwojo, Wali Gembyang dan Wali Jaka serta Astana Kuntul Nglayang dan Pangeran Djoeminah ) ini bisa dimiliki secara lengkap. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melimpahkan kepadanya
ilmu yang manfaat dan pemahaman yang !uas, sebagaimana do'anya ; robbiy zidnaa ilmaan naafi-an warzuqna fahman waasi-an. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr.wb.
Kendal, Nopember 2003 PENGURUS PAGUYUBAN KERABAT KARATON SURAKARTA HADIN INGRAT WEWENGKON KENDAL Pangarsa,
KRT. HUTOMOCAHYONAGORO vi
Panyitra,
,
RT. KARTODIPURO
PENGANTAR PENULIS Bi sm i I I ah i r rah m aani nah i m
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah pada akhirnya Allah Subhanahu wa ta'ala mengabulkan niat, do'a dan permohonan saya untuk menulis buku dan kemudian menebitkannya. Harapan yang paling utama dari buku ini adalah semoga bisa memberi manfaat khususnya pada pribadisaya, dan kemudian kepada masyarakat pada umumnya. Amien. Buku kecil ini merupakan petikan dari buku tulisan saya sendiri, BABAD TANAH KENDAL, yang sudah terlcit lebih awal. Sudah tentu dalam buku kecil ini ada sedikit penambahan materi. Hal ini dimaksudkan agar ada tambahan wawasan serta wacana baru dalam memahami perkembangan sejarah atupun cerita tutur yang telah merakyat. Buku kecil ini saya beri judul DAH GEBBANG MAJAPAHIT SAMPAI PINTU MATARAM KENDAL terdiri dari dua seri yang tidak terpisahkan, yaitu: . Seri 01 SUNAN KATONG DAN PAKUWAJA . Seri 02 WALIGEMBYANG DAN WALIJAKA . Seri 03 PANEMBAHAN DJOEMINAH . Seri 04 TUMENGGUNG BAHUREKSO DAN TUMENGGUNG MANDUMRE'A Sudah tentu judul ini bisa memunculkan kontroversi bagi siapa yang belum membacanya secara menyeluruh. Namun tidak demikian maksud dan tujuannya. Anggap saja judul itu merupakan barang baru. Tetapi memang demikian keadaannya. Bumi Kendal ini memang layak disebut Mataram Kenda!, yang bermula dari Gerbang Majapahit. Oleh karenanya, bila ingin mengetahuisecara lengkap, tentunya buku Babad Tanah Kendal harus dimiliki. vii
Materi buku-buku ini lebih banyak mengadopsi dan memadu antara sejarah dan cerita rakyat ataupun cerita tutur, yang juga dikenal dengan sastra lisan. Oleh karena itu temuan-temuan yang sedikit berlceda pada hakekatnya justru semakin menambah khazanah
sastra lisan yang sementara ini sudah berkembang bahkan sudah mendarah daging di masyarakat. Dan kadang mereka mati-matian dalam mempertahankan kebenaran cerita tutur itu. Dan jika ditemukan temuan baru dari cerita yang sudah berkembang, hal itu merupakan perkembangan dari cerita tutur itu sendiri. Memang begitulah uniknya cerita tutur. Kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan buku inimohon untuk bisa dimaklumi, dengan harapan untuk bisa menjadibahan perbaikanperbaikan di masa mendatang, dan sudah tentu harapan yang paling utama adalah tidak mengurangi manfaat dari buku ini. Akhirnya, buku kecil ini saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, HajiAbdullah dan Hajjah SitiShofiyah. Kemudian saya ucapkan banyak terima kasih kepada istri saya, Ny. Rahayuningsih Rochani, anak-anak saya; Lu'lu'atul Qudsiyana Abdullah, l(ama! Bahtiyar Achda, Noor Hijri Frta Fatmawati, dan Qoni Ariesna Shofiyana Abdullah, yang telah
memberi dorongan moril dalam penulisan buku ini serta dengan ikhlas
membantu mencarikan bahan-bahan atau literatur di Perpustakaan Wilayah JawaTengah.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada saudara saya, Raden Ngabehi Asmo Diprojo, yang telah setia mendampingi saya dalam mengumpulkan data sampai dengan terbitnya buku ini. Terima kasih juga saya haturkan kepada saudara-saudara saya, Kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat Wewengkon Semarang-Kendal yang selalu memberi dorongan kepada saya dalam rangka nguri-nguri kebudayaan dan sejarah para leluhur. Semoga kebaikan mereka bisa menjadi amal sholehnya, dan diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Amien. Akhirnya, mengingat masih ada kekurangan dalam penulisan buku ini, baik dari sisi isi ataupun metodologi, maka berbagai saran saya ucapkan terima kasih. Hanya kepada Allah SWT juga kesemuanya ini penulis haturkan, dengan harapan semoga bisa bermanfaat. Robbiy zidniy ilman naafi-an warzuqni tahman waasi-an, Robbiy ighfir liy wa liwalidaiyya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiiro. Amien. Semarang, Nopember 2003 Penulis,
AHMAD HAMAM ROCHANI vilr
PEMBUKA Ki Gede Mataram atau Ki Ageng Mataram atau Ki Ageng Pemanahan bukan seorang nabi ataupun rasul. la manusia biasa. Hanya saja karena keprihatinan dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari Tuhan Yang Maha Kuasa, pada akhirnya iapun diberi sebuah karomah, sebuah kemulyaan, yang biasa diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya yang berpredikat seorang wali atau auliya.
Ki Gede Mataram adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga bersama-sama Mas Karebet ( Jaka Tingkir ) dan Ki Juru Mertani. Mungkin karena ia lebih mendekati pada unsur kejawen, maka karomah yang diperoleh dari Allah SWT itu banyak disebut orang dengan pulung, dan bahkan ada yang menyebutnya dengan wahyu walaupun sebutan yang terakhir itu hanya diberikan kepada manusia yang berpredikat sebagai seorang nabi ataupun rasul. Wahyu raja yang diperoleh Ki Gede Pemanahan itu terkisah pada sebuah kelapa muda tunggal di daerah Gunungkidul. Awalnya, memang bukan ia yang mendapatkan wahyu raja itu. Wahyu kelapa tunggal itu diperoleh oleh Ki Ageng Giring. Mungkin karena takdir, kewahyuan itu belum melekat pada diri Ki Ageng Giring, ia hanya berposisi sebagai pembawa kelapa muda itu dari ladangnya sampai ke rumah. Ki Gede Mataram yang tidak mengetahui hal itu, akhirnya mendapatkan kelapa tunggal di rumah Ki Ageng Giring, dan airnya diminum hingga habis dan tuntas tanpa sisa 10
sebagaimana bunyi suara gaib yang eret hubungannya dengan kelapa tunggal itu. Demikianlah takdir yang tidak bisa ditolak ataupun dipertahankan kecuali dengan kekuasaan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain wahyu kelapa tunggal itu, ada sebuah catatan yang menerangkan bahwa wahyu raja itu justru datang dari seorang wali Allah, yaitu Panembahan Giri Kedhaton, putera Sunan Giri atau Raden Paku atau Raden Ainul Yakin di Gresik. Tidak berbeda dengan prosesi soal wahyu raja lewat kelapa
tunggal. Pada sebuah paseban atau pasowanan agung, Panembahan Giri Kedhaton dihadapan para adipati dan sentana kerajaan, termasuk Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
" ........ Sultan Pajang, siapakah orang yang duduk di belakang itu .... , " tanya Panembahan Giri tiba-tiba.
" ........ la saudara saya, Ki Pemanahan. !a saudara saya yang membantu kasultanan pajang ......r, " jawab Sultan Hadiwijaya.
' ......... Suruhlah ia mendekat saya, maiu ke depan.
Samakan ia dengan para adipati yang hadir pada saat ini, dan silahkan menikmati hidangan yang ada dihadapan saya. Ketahuilah hai sultan, Ki Pemanahan ini besok akan menurunkan seorang raja penguasa tanah jawa, termasuk daerah saya ini juga menjadi daerah kekuasaannya ........ " kata Panembahan Guru Kedhaton. Dua tanda kebesaran terucap langsung dan tidak langsung. Meski demikian, Ki Pemanahan tetap bersikap biasa, dan justru semakin meningkatkan keimanannya kepada Tuhan.
Perselisihan antara Arya Penangsang dengan Sultan Hadiwijaya tentang tahta kasultanan Demak, kelihatannya sebagai perantara realisasi dari wahyu raja itu. Kata sabda pandita ratu dari Sultan Pajang ; Siapa saja yang berhasil membunuh Arya Penangsang, maka ia akan mendapatkan hadiah tanah Pati dan Mataram. Kematian Arya Penangsang dengan perantara tombak Kiai Plered semakin mempercepat pelakasanaannya. Hutan Mentaok yang merupakan cika! bakal kerajaan Mataram, akhirnya iatuh ke tangan Ki Pemanahan. Hutan itu dibangun menjadi sebuah
11
perkampungan besar. Dua tanda kebesaran akan ada keturunannya
yang menjadi raja penguasa iawa, juga tidak menjadikan Ki Pemanahan lupa pada Pajang. la justru semakin menunjukkan sikap santun sebagai seorang abdi. Danang Sutawijaya atau Ngebehi Loring Pasar putera tertua Ki Pemanahan menggantikannya sebagai seorang pemimpin tanah
perdikan hutan Mentaok. Dalam diri Sutawijaya memang telah terpancar sinar terang. Pada dirinya telah tampak bahwa ia adalah seorang pemimpin yang mumpuni lahir dan batin. Mungkin inilah
yang disebut sebagai wahyu raja yang terdapat pada diri Sutowijaya.
Berakhirnya Kerajaan Pajang, berarti semakin berkibar umbulumbul kebesaran Mataram. Daerah yang semula hanya sebuah perkampungan kini menjadi kerajaan besar pilih tanding. Perluasannya dimulai dari wilayah wetan. Tanpa kecuali, Kabupaten Madiunpun akhirnya harus takluk. Daerah ini tidak hanya takluk, tetapi kerajaan dan tanda-tanda kebesarannya menjadi milik Mataram secara utuh. Pangeran Timur putera Sultan Trenggana harus ikhlas melihat daerahnya menjadi "kukuban" Mataram. Tidak hanya itu, hukum perang berlaku juga. Sang puteri, Raden Ayu Retno Dumilah yang memiliki jiwa keprajuritan pilih tanding pun akhirnya harus rela diboyong ke Mataram.
Dari beberapa istri Sutawijaya, kelihatannya Retno Dumilah menempati posisi yang luar biasa. Betapa tidak, disamping ia sebagai seorang istri permaisuri raja, juga ditempatkan sebagai seorang penasihat raja. Dari Raden Ayu Retno Dumilah ini lahir tiga orang putera yang gagah perkasa ; Raden Mas Julig atau Mas Jolang, Raden Bagus dan Raden Kaniten. Ketiga putera Retno Dumilah itu pada akhirnya dikenal dan bahkan terkenal dengan nama ; Mas Jolang atau Sultan (Agung) Anyokrowati. Raden Bagus dikenal dengan nama Pangeran Djoeminah, yang mengambil kedekatan nama ibunya, Retno Dumilah. Sedangkan Raden Kaniten terkenal dengan Adipati Martoloyo. Putera keduanya yaitu Pangeran Djoeminah akhirnya mengikuti
jejak sang ibu, yaitu menjadi penasihat raja, dan kemudian 12
mendapat gelar sang panembahan, lengkapnya Panembahan Djoeminah. Gelar ini semakin melengkapi dirinya sebagai seorang pangeran, putera raja. Meski masih usia muda, ternyata bukan menjadi penghalang untuk menekuni ilmu kasepuhan. Disebut masih usia muda karena ia baru berusia antara 6-7 tahun ketika yang ayah meninggal dunia. Dan usia baru mencapai sekitar 17-18 tahun ketika sang kakak meninggal dunia. Pada diri Panembahan Djoeminah tidak tampak sikap ambisi untuk menjadi penguasa. la tidak pernah meminta untuk menjadi seorang adipati walaupun kesempatan itu sangat terbuka. la lebih suka mendalami ilmu kasepuhan dari kakeknya, Ki Juru Mertani. la lebih suka mendalami llmu Wirid Hidayat Jati dari Sang kakek itu. Ilmu yang diperoleh dari para wali itu pada akhirnya terpatri kuat pada diri Pangeran Djoeminah. Begitu ia diberi kesempatan untuk membangun sebuah negeri, ternyata tidak ada niat walau seberat biji sawi untuk menjadi penguasa tandingan. Daerah yang dibangunnya dan terkenal dengan nama Kabupaten Kaliwungu itu, diberikan pada cucu-cucu dan keturunannya.
Meski Kabupaten Kaliwungu yang dibangunnya itu termasuk kabupaten kecil, ternyata berhasil mengantarkan rakyat kabupaten itu menjadi makmur. Tanah pertanian terbentang luas dan pendidikan masyarakat sebagaimana dirinya yang haus dengan ilmu pengetahuan, telah tergelar dengan hebatnya.
Tak layak bila persembahan Pangeran Djoeminah yang ditinggalkan pada anak cucu itu tidak diakui. Rasanya kurang santun bila peninggalan Pangeran Djoeminah itu hanya diakui sepotong-sepotong. Rasanya sangat aniaya bila menempatkan diri Pangeran Djoeminah pada pribadi yang kurang layak untuk dihormati. Bahkan sangat tidak manusiawi bila menempatkan Panembahan Djoeminah bukan seorang sufi, terlebih bukan seorang ulama, hanya berdasar pada penglihatan sebuah namanya.
Tidak berlebihan bila Pangeran Djoeminah ditempatkan pada posisi yang terhormat. la seorang panembahan. llmu Wirid Hidayat Jati yang juga disebut ilmu thoriqoh itu telah terpatri kuat pada 13
dirinya. Kabupaten Kaliwungu yang dibangunnya itu menjadi kabupaten yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karta raharja itu berkat pondasi ilmu Wirid Hidayat Jati yang juga disebut ilmu thareqat kelas tinggi atau ilmu makrifat. Kaliwungu yang pada akhirnya terkenal dengan nama Kota Santri itu juga tidak luput dari sentuhan tangan dan do'a-do'a Pangeran Djoeminah. Kabupaten Kaliwungu yang tentram ini iuga tidak lepas dari jiwa Pangeran Djoeminah yang bersih. Pangeran Djoeminah memang sosok seorang pemimpin yang berjiwa sakinah. Perjuangannya untuk dinikmati anak cucu, dan menempatkan kerja kerasnya itu sebagai amal sholeh atau amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Kini ia berdiam tenah di pucuk Astana Kuntul Nglayang.
14
PANGERAN DJOEMINAH Siklus Keagungan Demak dan Maiapahit Bila ditulis secara lengkap silsilahnya baik dari pihak ayah maupun ibu, maka Pangeran Djoeminah itu masih ada garis keatas dengan Prabu Brawijaya V, raja terakhir dari Majapahit. Dari pihak ibu, salah satu putera Brawijaya adalah Raden Hasan atau Raden Fatah, menikah dengan Dewi Murtasiyah puteri Sunan Ampel, mempunyai empat putera, yaitu (1) Pangeran Purbo atau Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (2) Pangeran Trenggono (3) Pangeran Sekar atau Sekar Sedo Lepen atau Sekar Sedo Kali (4) Dewi Ratih. Sedangkan putera Raden Fatah yang bernama Raden Kanduruwan adalah lahir dari istri Nyai Maloka puteri Sunan Padusan putera Oesman Haji putera Raja Pandita putera Maluana Malik lbrahim Asmoro (dari pihak ayah). Sedangkan dari pihak ibu ; Raden Kenduruan putera Raden Fatah dengan Nyai Maloka puteri Sunan Padusan putara Nyai Gede Maloka puteri Sunan Ampel (baca : Babad Sumenep). Menurut catatan De Graaf menyebutkan bahwa Pangeran Trenggono putera Raden Fatah mempunyai empat putera yaitu (1) Pangeran Prawoto atau Raden Mukmin (2) Ratu Kalinyamat (3) Pengeran Timur di Madiun (4) Raden Ayu Cepaka, istri Sultan Hadiwijaya. Sedangkan menurut Babad Tanah Jawi, putera Pangeran Trenggono disebutkan sebagai berikut:
(1) Seorang puteri yang nikah dengan
Ki Ageng Langgar, putera Ki
Ageng Sampang. 15
(2) Pangeran Aryo atau Pangeran Prawoto (3) Ratu Kalinyamat nikah dengan Pangeran Hadiri (4) Seorang puteri yang nikah dengan Jaka Tingkir, Adipati Pajang (5) Raden Ayu Ratu Kembang (6) Raden Pangeran Timur. Disebut Pangeran Timur karena ia merupakan anak bungsu (ragil) Pangeran Trenggono. Setelah ayahandanya wafat, yang menjadi walinya Adipati Pajang, Jaka Tingkir, dan kemudian diangkat menjadi Adipati Madiun dengan gelar Pangeran Emas. Menurut cerita
Babad Tanah Jawi, Pangeran Timur juga menjadi sasaran pembunuhan oleh Arya Penangsang setelah Jaka Tingkir, Adipati Pajang.
Putera Pangeran Trenggono yang menjadi adipati di Madiun sampai Panembahan Senopati. Pengeran Timur mempunyai dua orang putera yaitu (1) Raden Ayu Retno Dumilah atau Raden Ayu Jumilah. Sebagaimana ayahnya, puteri ini mempunyai kelebihan ilmu kesaktian yang luar biasa, dan (2) Raden Mas Lontang. Sehingga garis lurusnya adalah sebagai berikut : Raden Bagus atau Pangeran Djoeminah putera Bendoro Raden Ayu Retno Dumilah istri Panembahan Senopati Sutowijoyo Sayidin
yaitu Pangeran Timur, pemerintahannya hingga
Panotogomo, putera Pangeran Timur, Adipati Madiun, putera Sultan Trenggono, Sultan Demak ketiga, putrera Raden Hasan atau Sultan Akbar Khalifatullah Al-Fatah putera Brawijaya V dari Majapahit. Sedangkan dari pihak ayah garis nasab Pangeran Djoeminah adalah; Pangeran Djoeminah putera Panembahan Senopati Sutowijaya putera Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram putera Sunan Laweyan atau Ki Ageng Henis putera Kyai Ngabdurrahman atau Ki Ageng Selo putera Ki Getas Pendowo putera Ki Bondan Kejawan putera Sang Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Ketika itu, Kabupaten Madiun dibawah kekuasaan Pangeran Timur belum berhasil ditaklukan oleh Panembahan Senopati. Kedua penguasa itu akhirnya sama-sama mempersiapkan diri dalam rangka mempertahankan dan merebut kadipaten. Pangeran Madiun dibantu oleh banyak bupati wilayah wetan atau brang wetan yang belum ditaklukan Penembahan Senopati. Sedangkan Panembahan Senopati sendiri memang berkeinginan untuk melebarkan kekuasaannya dengan menguasai Madiun terlebih dahulu. 16
Pasukan Panembahan Senopati sudah memasuki Kabupaten Madiun di sebelah barat, tepatnya di desa Kalidadung. Kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, dan hanya dihalangi oleh sungai besar.
Sadar karena pasukannya kalah banyak, maka Panembahan Senopti mendapat nasihat dari Ki Juru Mertani atau Ki Patih Mandaraka agar tidak melawan secara fisik. Maka dicarilah akal agar dari pihak Mataram tidak terlalu banyak korban. Maka diutuslah Abdi dalem Adisara, seorang wanita yang punya wajah cukup cantik, untuk menyampaikan surat tanda menyerah/ takluk dari Panembahan Senopati. lsi surat itu hanya strategi dan taktik perang. Maksudnya agar Adipati Madiun segera memerintahkan semua adipati dan pasukannya untuk mundur dan kembali ke daerahnya masing-masing. Abdi Dalem Adisara berpakaian molek dan ditandu sebagaimana seorang puteri persembahan dengan dikawal oleh empat puluh praiurit pilihan dari Mataram. Disebutkan dalam kisah, bahwa puteri Pangeran Madiun, Raden Ayu Retno Dumilah, sampai dengan usia pengantin, tetap tidak mau nikah. Retno Dumilah mau kawin bila ada seorang mertua mau menyembah kepada menantunya. Selain itu Retno mau menikah dengan seseorang yang tubuhnya tidak mempan dipotong dengan pisau penyukur. Jika tidak, maka ia tidak akan mau kawin selamanya. Ketika itu Pangeran Madiun sedang duduk di istana dan dihadap para kerabat, dan kemudian suasa pertemuan dikagetkan dengan datangnya seorang utusan. Dan ketika ditanya, Adasari mengeku terus terang bahwa ia adalah utusan Panambahan Senopati, dan kepadanya ada surat yang harus dihaturkan pada Adipati Madiun. Hati Adipati Madiun berbinar karena Panembahan Senopati telah mengirim surat tanda menyerah. Namun kalau toh panembahan Senopati tidak mengirim surat pun, Adipati Madiun pada dasarnya juga tidak ada niat melakukan peperangan dengan Mataram. Maka sehubungan dengan itu adipati Madiun mengutus utusan kepada para bupati agar menarik pasukannya dari daerah Madiun.
Melihat suasana damai itu, Adisara langsung melakukan sujud di kaki Pangeran Madiun, sebagai tanda dan ungkapan bahwa tugas yang diembannya menuju sukses. 17
"Gusti, Abdi paduka Senopati mohon air cucian kaki paduka, hendak diminumnya dan dipakai mandi, supaya memberikan keselamatan dan kekebalan," begitu kata abdi Dalem Adisara. Seketika itu pula Pangeran Madiun menyiram kakinya dengan air, dan Adisara berusaha menampungnya kedalam bokor dari perak. Pangeran Madiun menambahkan : "Adisara, bendaramu saya angkat anak, saya persaudarakan dengan kedua anakku, seorang puteri dan seorang putera." Adisara selanjutnya mengucapkan terima kasih dan minta pamit untuk menyimpan diijinkan kembali serta menyampaikan pesan Pangeran Madiun kepada Panembahan Senopati. Setelah sampai di hadapan Panembahan Senopati, apa yang ia dapatkan ketika di Madiun, diceritakan secara tuntas pada Panembahan Senopati, termasuk soal puteri Pangeran Madiun yang bernama Raden Ayu Retno Dumilah yang tidak mau kawin, dan bahkan tidak akan mau kawin selamanya jika tidak ada mertua menyembah pada menantunya serta permintaannya tentang pisau penyukur. Memperhatikan pelaporan abdinya, hati Panembahan Senopati merasa bahagia. Ki Patih Mandaraka kemudian memberi nasihat -pada Panembahan Senopati, tentang langkah apa yang harus dilakukan oleh keponakannya itu sehingga bisa menguasai Madiun atau wilayah wetan. Kata Ki Juru Mertani : 'Tole, karena engkau hendak menjadi raja, memerintah seluruh tanah Jawa, lebih baik kamu menghadap Kanieng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Mintalah baju beliau yang bernama Kyai Gundil atau Kyai Antakusuma." Dengan mengucapkan terima kasih kepada pamannya, maka Panembahan Senopati segera menuju ke Kadilangu Demak. Dan mungkin sudah menjadi takdir, maka bisa langsung diterima oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Dihadapan Kanjeng Sunan Kalijaga, Panembahan Senopati langsung menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu minta syarat akan bisa selamat dari peperangan dan jangan sampai terkena luka karena senjata tajam atau lainnya. Kanjeng Sunan Kalijaga memenuhi permintaan Panembahan Senopati. Baju Antakusuma yang terkenal keramat itu, sudah beralih tangan, dari Kanjeng Sunan Kalijaga pada Panembahan Senopati. Dari Demak, Panembahan Senopati langsung menuju perbatasan Madiun, dan keadaan Madiun sudah berubah total. Para 18
bupati dan sebagian pasukannya yang berkumpul di Madiun sudah mulai berkurang. Menjelang waktu fajar, pasukan Mataram langsung merengsek
ke sebelah timur sungai. Perang besar tidak bisa dihindari. Panembahan menaiki kuda kesayangannya berwarna "manis madu" yang diberi nama Puspakencana. Kuda Panembahan Senopati tewas karena terluka, namun masih tetap bisa menjadi kendanaan perang. Ketika menjelang senja, Ki Juru Mertani bertemu dengan Panembahan Senopati, dan dengan spontan mengatakan: Senopati, kudamu itu sudah mati, mengapa masih kau naiki ?" Seketika kuda itu jatuh dan tidak bangun lagi. Diakui oleh Panembahan Senopati bahwa "kudanya itu memang sudah mati karena terluka, terkena senjata lawan sejak fajar dan baru sekarang roboh," jawab Senopati. Bupati Madiun menjadi tersontak dan kaget karena Panembahan Senopati tiba-tiba menyerang, dan pasukan Madiun serta pasukan para bupati yang masih tinggal juga banyak yang gugur. Dengan sepontan Pangeran Madiun berkata bahwa dirinya telah minum "air berbisa", artinya lahirnya air, sebenarnya bisa (upas )." Pangeran Madiun memerintahkan semua kerabat untuk meloloskan diri dari keraton dan hanya puterinya, Retno Dumilah yang diminta tetap tinggal di keraton. Hanya dibekali sebuah pusaka yang bernama Gumarang, Retno Dumilah untuk mempertahankan Madiun. Sedangkan Pangeran Madiun bersama kerabatnya menuju ke Kadipaten Wirasaba (Kabupaten Mojokerto, sekarang). Dengan sikap ksatria, Retno Dumilah tetap tidak mau lari dari istana walaupun pasukan Mataram telah mengepungnya. Meski Retno Dumilah melihat dengan mata kepala sendiri kalau Senopati tidak mempan dengan berbagai senjata, ia tidak merasa gentar sedikitpun. Begitu Panembahan Senopati mendekat, Retno Dumilah membentak dengan kerasnya : "Jika kamu tidak mempan saya tusuk dengan pusakaku ini ternyata kau orang yang sakti." Meski telah memakai baju Antakusuma, Panembahan Senopati ternyata gentar juga, dan dihadapan Retno Dumilah ia justru minta dikasihani. Apakah sikap Panembahan Senopati ini hanya sebuah strategi, itu soal lain. Yang ielas, Hetno Dumilah pantang menyerahkan Kabupaten Madiun dengan tanpa perlawanan. 19
Retno Dumilah akhirnya menyerah setelah Panembahan Senopati benar-benar mau bersujud dihadapannya. Tanpa sadar, pusaka Retno Dumilah lepas dari tangannya. Panembahan Senopati lengsung mengambilnya dan dimasukkan kedalam rangkanya. Setelah itu Panembahan Senopati duduk berdampingan dengan Retno Dumilah, dengan tidak henti-hentinya merayu agar dirinya diijinkan untuk mempersunting Retno Dumilah untuk dijadikan istri. Seketika itu Retno Dumilah berkata: " Senopati, permintaanku masih satu, yaitu jika kamu tidak mempan saya potong dengan pisau penyukurku ini, saya mau disuruh apa saja." Karena kulit Senopati tidak mempan digores dengan pisau pusaka milik Retno Dumilah, maka menyerahlah ia, dan oleh Senopati ditempatkan sebagai istri permaisuri, dan selanjutnya diboyong ke Mataram. Keris wasiat Raden Ayu Retno Dumilah diganti nama dengan Kyai Gupita Sejarawan asal Belanda HJ. De Graaf menuliskan bahwa Panembahan Senopati menundukkan Madiun dan kemudian memperistri Raden Ayu Retno Dumilah tahun 1590. Dalam bukunya Awal Kebangkitan Mataram, De Graaf mencatat : Reno Jumilah (Dumilah) kawin dengan Panembahan Senopati dan bergelar Raden Ayu Jumilah. Dari perkawinannya itu.lahir tiga orang putera : (1) Raden Mas Juling/Joelang (2) Raden Bagus yang kemudian dinamakan Raden Adipati Djoeminah dan akhirnya diangkat menjadi Panembahan (3) Raden Mas Kaniten, kemudian menjadi pangeran Adipati Martalaya ing Madiun. Dengan jelas oleh De Graaf disebutkan bahwa Pangeran Bagus itu adalah Pangeran Djoeminah, putera kedua Panembahan Senopati dari istri Raden Ayu Retno Dumilah, lahir tahun 1595. lni berarti ketika Panembahan Senopati Wafat, Pangeran Djoeminah baru usia 6 tahun. Sedangkan nama Mas Juling ada dua pendapat. Pertama, Javanologi asal belanda Dr. Hermanus Johanes De Graaf menyebut bahwa Mas Juling atau Julig sama dengan Mas Jolang, yang berarti Panembahan Sedo lng Krapyak atau Sultan Anyokrowati, Sultan Mataram kedua setelah Panembahan Senopati Sutowijoyo. Pendapat kedua, berdasarkan catatan dari Kraton Yogyakarta, Mas Juling atau Julig dikemudian hari bergelar Kanjeng 20
Raden Tumenggung Adipati Pringgoloyo yang menguasai Kabupaten Wirasaba ( Mojokerto sekarang ). Sedangkan nama Raden Bagus dan Raden Kaniten, semua penulis sependapat bahwa mereka adalah Pangeran Djoeminah dan Adipati Martoloyo. Pangeran Djoeminah lebih suka menempa dirinya dengan ilmu agama yang sudah mempunyai tingkat ke-sufi-an, dan ia sudah memasuki hidup sebagai orang sufi. Oleh karenanya ketika Sultan Agung menggantikan ayahnya sebagai Sultan Mataram, Pangeran Djoeminah diberi gelar : Panembahan, sebuah gelar kebesaran kerajaan sebagai gelar yang pernah dipakai oleh ayahnya yaitu Panembahan Senopati. Dasar ilmu agamanya diperoleh Pangeran Djoeminah langsung dari ibunya sendiri. B (endoro) R (aden) A (yu) Retno Dumilah dan Ki Juru Mertani, yang juga menempati sebagai penasihat utama dan penasihat spiritual Panembahan Senopati, khususnya ilmu Tasawuf dan ilmu Tarekat Dengan demikian Pangeran Djoeminah telah mewarisi ilmu Ki Juru Mertani yang diperoleh langsung dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Meskipun ia tidak tertarik dalam dunia politiUpemerintahan, namun, HJ. De Graaf menulis dalam Buku Awal Kebangkitan Mataram, bahwa Pangeran Djoeminah pernah manjadi adipati di Blitar dan setelah itu adipati Madiun. ' .......... Yang paling mudah diingat "ialah bahwa Senopati lng Alogo pertama-tama mengangkat kemenakannya, Bagus Petak atas Madiun, dan baru kemudian menyuruh puteranya sendiri, Raden Adipati Djoeminah, setelah cukup dewasa menggantikan kemenakannya itu di Madiun .." Selanjutnya De Graaf menulis bahwa setelah itu Adipati Djoeminah digantikan oleh adiknya, Raden Mas Kaniten dengan gelar Adipati Martalaya ing Madiun. Pangeran Djoeminah memang mendapat tempat yang mulia dihadapan sultan Mataram, baik ketika Panembahan Senopati, Mas Jolang atau Pangeran Sedo lng Krapyak, dan lebih-lebih ketika Sultan Agung.
21
PANEMBAHAN DJOEMINAH Pembangun Mataram Kendal Begitulah bila Tuhan telah menetapkan sunnah-Nya, tidak seorangpun bisa menahan atau menolaknya, dan juga manusia tidak perlu memohon atau menyodor-nyodorkan kemauannya, apalagi memaksa-maksakan kehendaknya. Kala Duta atau yang lebih terkenal dengan penyerangan Mataram terhadap Belanda/VOC di Batavia, sebagai awal penetapan sunnatullah itu. Dimungkinkan tanpa peristiwa itu terjadi, maka tidak akan ada yang disebut dengan nama Kabupaten Kaliwungu, dan bahkan tidak akan muncul sebutan Mataram Kendal. Dalam Kaladuta tersebut, posisi Pangeran Djominah menempati sebagai panglima perang, membawahi pasukan perang yang dikirim oleh Mataram angkatan ketiga, yang lazim disebutnya dengan panglima perang Kaladuta ketiga bersama-sama Pangeran Purbaya. Hanya saja dalam tugas kepanglimaannya, seperti disebut dalam Babad Tanah Jawi ataupun oleh De Graaf dalam bukunya Puncak Kejayaan Mataram, hanya sebagai pengawas, yang mengawasi dua pasukan yang telah berangkat lebih awal, dibawah pimpinan Raden Tumanggung Bahurekso dan Adipati Ukur serta Raden Tumenggung Mandurorejo dan Raden Tumenggung Suro Agul-Agul. Meskipun demikian, dia pun bertanggung jawab atas semua proses penyerangan pasukan Mataram terhadap pasukan VOC di Batavia. Akhir dari penyerangan ke Batavia, pasukan Mataram tidak membawa hasi! dan bahkan semua panglima Mataram mendapat 22
hukuman, yaitu tidak diperkenankan kembali ke Mataram, dan harus tetap berhenti dan tinggal di Kaliwungu. Kalau saja ada panglima Mataram yang sudah terlanjut masuk ke keraiaan, seperti Patih Singaranu, maka jabatan itu dilepas seketika, dan dalam ctatan De Graaf, bahwa Patih Singaranu tidak diperkenankan menghadap tidak kurang dari tiga tahun. Namun dalam catatan sejarahnya memang ada beberapa pertanyaan yang mengakibatkan miringnya proses sejarah yang sebenarnya. Pertama, muncul pertanyaan dalam rangka apa Pangeran Djoeminah memilih Kaliwungu sebagai tempat tinggalnya, dan kapan Pangeran Djoeminah datang ke Kaliwungu ? Kehadiran Pangeran Djoeminah di Kaliwungu, memang ada dua pendapat dan dua perkiraan. Pertama, kehadiran Pdngeran Djoeminah ke Kaliwungu karena mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menghukum Tumenggung Mandurareja yang dinilai oleh sultan tidak bisa melaksanakan tugas sebagai panglima perang melawan VOC di Batavia. Bahkan ada penilaian bahwa kegagalan Mandurareja ini dinilai sangat fatal. Pendapat ini cenderung bahwa kedatangan Pangeran Djoeminah bersamam puteranya Tumenggung Ronggo Wongsoprono itu dalam rangka menghukum Tumenggung Mandurareja. Pendapat ini memang punya alasan yang cukup kuat, bahwa sesuai dengan hukum perang pada waktu itu, apabila ada seorang panglima perang gagal dalam mengemban tugas, dan dirinya sendiri masih dalam keadaan hidup, maka hukum yang berlaku pada dirinya adalah hukuman mati. Selain itu, memang tidak ada tokoh yang sanggup menandingi kesaktian Mandurorejo, cucu Ki Juru Mertani. Dan hanya ada satu tokoh yang bisa mengimbangi Mandurorejo, yaitu Pangeran Djoeminah. Pendapat kedua mengatakan bahwa kedatangannya di Kaliwungu karena panggilan jiwa sebagai seorang ulama yang telah menggeluti ilmu tasawuf/sufiisme. Dan disamping itu ada kewajiban yang mesti diemban yaitu menyampaikan ajaran tentang ketuhanan Yang Maha Esa melalui agama lslam. Dengan tetap menghormati pendapat yang pertama, kiranya pendapat itu perlu juga direnungi secara khusus. Dua pendapat yang berbeda itu perlu dipahami secara benar, dan akan mengalami kesalahan bila pemahamannya dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi pemahaman itu dilakukan secara sepotongsepotong. 23
Perang terhadap VOC di Batavia oleh Mataram dilakukan dengan seSutan Kad Duta atau utusan perang sebanyak tiga kali. Kala duta pertama dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso dan Adipati Ukur. Kala Duta pertama mengalami kegagalan. Selain faktor persenjataan, juga karena ada pengkhianatan dari Adipati Ukur yang menyerang lebih awal dan kembali lebih awal. Setelah itu terus menghilang dan membiarkan pasukan Bahurekso berperang sendirian. Kala duta kedua dipimpin oleh Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Suro Agul-Agul. Kala duta kedua ini juga gagal karena salah strategi, yaitu membendung sungai Ciliwung dengan memakan waktu satu bulan serta 3.000 prajurit yang akhirnya memakan korban pasukan sendiri kanena penyakit menular. Kala duta ketiga dipimpin oleh Pangeran Purbaya dan Pangeran Djoeminah. Kala duta yang ketiga ini memang tidak diterangkan sebagai utusan perang resmi, tetapi hanya sebagai utusan sultan untuk melihat dari dekat bagaimana kiprah Mandurorejo dalam memimpin pasukan. Oleh karena itu Kala duta ketiga ini juga tidak menghasilkan apa-apa yang berarti juga gagal. Ketika diutus menjadi pimpinan perang/kaladuta lll, usia Panembahan Djoeminah disebutkan baru 34 tahun (1629). Dan ketika menyerang Batavia, selain didampingi oleh Pangeran Purbaya, juga didampingi oleh petinggi Mataram antara lain : 1. Kyai Adipati Puger, Adipati Demak. 2. Kyai TumenEgung Singoranu, Patih Mataram pasca Ki Juru Mertani
3. Kyai Tumenggung Aryo Wironotopodo atau Kiai Suropodo atau Kyai Qomarudin, 4. Adipati Madiun atau Adipati Martoloyo, 5. Adipati Sumenep dan 6. Sinduboyo dan Sindukuro ( Sindubuwana dan Sindukara ).
Kedua pimpinan perang ini disebut-sebut putera Raden Ayu Pembayun. Pendapat kedua memberi penjelasan pada kita bahwa keberadaan Pangeran Djoeminah di Kaliwungu itu bukan untuk menghukum Tumenggung Mandurorejo. Selain tidak ada perintah dari Sultan Agung, juga tidak ada sedikitpun sifat kurang kendali (liar) pada diri Pangeran Djoeminah. Sebab, bagaimana mungkin seorang panglima yang samasama (mengalami) kegagalan kemudian menghukum sesama 24
panglima yang gagal juga. Kalau soal kesaktian, memang bisa disebut Pangeran Djoeminah lebih tinggi satu atau dua tingkat diatas Mandurorejo, walaupun Pangeran Djoeminah jauh lebih muda. Dalam keadaan yang sama-sama prihatin karena kalah perang, suatu yang tidak mungkin terjadi adalah tindakan saling membunuh. Disamping itu, pembunuhan biasanya erat sekali dengan kekuasaan. Padahal Pangeran Djoeminah dari awal sudah diangkat sebagai Panembahan kerajaan, yang berarti sudah menjauhkan diri dari sikap ambisi pribadi pada kekuasaan. Sebab, kalau soal jabatan, rasanya tidaklah sulit untuk memperolehnya dengan tidak menggunakan tindakan membunuh lawan. Disamping itu, seorang yang telah memasuki tingkat makrifat dan menjalankan tingkatan sufi, tidaklah mungkin membunuh putera atau keturunan guru besarnya, yaitu Ki Juru Mertani. Oleh karena itu pendapat yang menerangkan bahwa kedatangan Pangeran Djoeminah dalam rangka menghukum Tumenggung Mandurareja ini memang patut diragukan. Sebab, ada keterangan lain yang menjelaskan bahwa Mandurorejo dihukum mati oleh Suro Agul-Agul atas perintah sultan. Tetapi dibalik itu, Suro Agul-Agul sendiri akhirnya juga tewas karena dihukum mati pula. Bahkan dalam buku Babad Tanah Jawi maupun Babad Sultan Agung dan Babad Mangir diterangkan bahwa Sultan Agung sendiri tidak mau bertanggung jawab terhadap kematian Tumenggung Mandurareja oleh Tumenggung Suro Agul-Agul. Dan itulah sebabnya Sultan Agung memerintahkan agar Suro Agu!-Agul harus menerima hukuman mati. Selain itu, catatan Mas'ud Thoyib dengan jelas menerangkan bahwa Pangeran Djoeminah adalah murid tahreqot Ki Juru Mertani. Dari sekian banyak bangsawan kerajan Mataram yang berguru pada Ki Juru Mertani, hanya delapan orang yang mendapatkan ijazah dari Ki Juru Mertani soal ilmu tasawuf yang dihimpun dalam wirid Hidayat Jati, dan hanya mereka yang berhak menyampaikan dan mengajarkan ajaran atau tuntunan wirid Hidayat Jati. Mereka adalah : (1). Pangeran Purboyo (2). Panembahan Djoeminah (3). Panembahan Juru Kiting putera Ki Juru Mertani, (4). Pangeran Kadilangu (5). Pangeran Kudus (6). Pangeran Kajoran, keturunan Ki Ageng Wanabaya, Mangir, 25
(7). Pangeran Tembayat (8). Pangeran Ronggo/Wonggo (9). Panembahan Ratu Pekik Kelihatannya pendapat yang kedua itu lebih bisa diterima, yaitu kedatangan Pangeran Djoeminah ke Kaliwungu dalam rangka mengembangkan ilmu dan menyiarkan agama lslam. Soal kedatangan Pangeran Djoeminah ke Kaliwungu itu tidak ada perselisihan pendapat, bahwa ia datang dan membangun Kabupaten Kaliwungu itu memang pasca Mataram menyerang Batavia atau pasca Kaladuta. Sedangkan tentang Pangeran Djoeminah bersama dengan Pangeran Purboyo menjadi pimpinan perang menyerang Batavia dicatat oleh ahli seiarah akan kebenarannya, dan tidak selisih pendapat diantara penulis sejarah. Dalam catatan Belanda, nama Pangeran Djoeminah disebut dengan Quiyai du pati ln lmina ( Kiai Adipati Djoeminah ). Karena kedatangannya di kaliwungu itu pasca Kaladuta, dan keberangkatan Pangeran Djoeminah pada perang Kaladuta itu pada tahun 1629, maka tidak tertutup kemungkinan ia membangun Kaliwungu hingga menjadi sebuah kabupaten itu kira-kira pada tahun 1629/1630. Masa itu sudah memasuki masa tenang dan kekalahan pada Kaladuta sedikit telah terlupakan. Hanya kapan Kaliwungu secara hirarkhi diakui sebagai kabupaten yang mandiri memang belum ada catatan
yang secara jelas menerangkan hal itu. Namun demikian keberadaan Kabupaten Kaliwungu jelas adanya. ( Baca : Babad Mentawis, Perang China, Babad Untung Suropati, dll ) Ada catatan yang menerangkan bahwa Pangeran Djoeminah sekembalinya dari Batavia, tidak langsung menuju ke Kaliwungu, tetapi juga tidak kembali ke Mataram. Tetapi ia pergi menuju ke Demak. Pangeran Djoeminah terlebih dahulu melakukan ziarah ke makam Kanjeng Sunan Kalilaga di Kadilangu Demak. Kelihatannya catatan ini berdasarkan pada tradisi. Maka tidak ada keraguanraguan lagi bahwa kedatangannya ke Kaliwungu itu pasca perang kala duta. Dalam catatan tersebut banyak yang menyepakati bahwa ; pertama, Pangeran Djoeminah menerima perintah menjadi panglima perang Kaladuta ketiga itu masih berada di pusat kerajaan Mataram. Sedangkan perjalannnya menuju Kaliwungu, banyak yang sependapat bahwa tradisi ziarah ke makam leluhur terutama ke makam Kadilangu sangat mendapat dukungan, dan hal itu memang biasa dilakukan oleh orang-orang keraton sebelum mereka
melakukan pekeriaan yang amat berat, seperti yang dilakukan oleh kakeknya, Ki Gede Mataram yang melakkan bertapa dan kemudian bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga di hutan Kembanglampir. Dugaan-dugaan yang mengatakan bahwa Pangeran Djoeminah menempati status sama dengan penglima-panglima lain yang gagal perang, sehingga dilarang kembali ke Mataram, dugaan ini memang sangat tendensius. Sebab, Pangeran Purbaya yang satu angkatan dengan Pangeran Djoeminah juga tetap hidup sepanjang masa
hingga pemerintahan Sultan Agung selesai, dan bahkan bisa melihat Amangkurat I memerintah Mataram. Kelihatannya hukum itu tidak berlaku secara kaku pada kerabat Mataram. Kebijaksanaan bahkan pengecualian ini berpegang pada pesan atau wasiat Ki Ageng Pemanahan yang menyatakan bahwa bila ada kerabat Mataram yang dinilai melakukan kesalahan berat yang kemudian mendapat hukuman mati, maka hukum itu tidak berlaku, dan digantikan dengan hukuman yang lain dan setimpal, misalnya dengan cara hanya dihukum dengan menderita sakit saja. Bila kerabat Mataram hanya melakukan kesalahan ringan, maka berilah maaf.
Kalau keberadaan Pangeran Djoeminah di Kaliwungu dimasukkan dalam kategori hukuman, maka tidaklah mungkin keturunannya diperbolehkan menjabat bupati hingga tujuh turunan. Jawaban ini memang sangat rasional. Catatan De Graaf menyebutkan bahwa semua panglima Kaladuta (l-lll) tidak mendapat hukuman apa-apa dari sultan. Patih Singaranu, Patih Wiraguna dan Raden Aria Wira Natapada diberi ampunan oleh sultan. Disebutkan oleh De Graaf bahwa Sultan Agung sudah menyadari bahwa hukuman seperti itu sangat membahayakan kerajaan. Hanya saja De Graaf menyebutkan Tumenggung Singaranu maupun Raden Aria Wira Natapada tidak diperkenankan mengikuti paseban selama tiga tahun. Untuk sementara, jabatan patih kerajaan, Sultan Agung menunjuk Tumenggung Danupoyo yang selalu mewakili kedudukan susuhunan. Akhirnya semua menjadi jelas bahwa kedatangan Pangeran Djoeminah datang ke Kaliwungu tidak dalam rangka memberi hukuman kepada Tumenggung Mandurareja yang dinilai bersalah. Seperti sudah disebutkan dalam sebuah catatan bahwa Tumenggung Mandurareja tewas karena kesalahan pemahaman Tumenggung Suro Agul-Agul dalam menerjemahkan perintah Sultan Agung. 27
Pada abad ke 17 (1628-an) Panembahan Djoeminah mendirikan padepokan dan mengembangkan wilayah Kaliwungu, dimulai dari pegunungan Proto atau Prawito. Hutan belukar yang lebat dibangun menjadi sebuah perkampungan dan persawahan. Bila Sunan Katong disebut sebagai tokoh yang meletakkan dasar atau pondasi sebuah daerah, maka Panembahan Djoeminah lah yang membangun daerah itu sehingga menjadi sebuah daerah kabupaten yang ramai. Sebagai seorang auliya, Panembahan Djoeminah dengan khusus melakukan tafakur sehingga beliau mendapatkan tuah kesaktian yang luar biasa. Rasanya memang harus mengingat ulang lagi bagaimana Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani membangun hutan Mentaok atau hutan Mataram hingga menjadi sebuah daerah yang makmur. Prihatin dan ikhtiar dengan cara mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa tidak pernah ditinggalkan sedetikpun. Bahkan ada catatan yang menerangkan bahwa Panembahan Djoeminah melakukan kebiasaan melaksanakan sholat Jum'at di Masjidil Haram, Mekkah. Kegiatan itu dilakukan dalam waktu yang menakjubkan. Artinya, Penembahan Djoeminah berjamaah sholat Jum'at di Mekkah, namun pada sholat ashar beliau sudah meniadi imam dan mengajar para santrinya. lni artinya bahwa tingkat ketaqwaan Panembahan Djoeminah sudah mencapai taqwal auliya, artrinya taqwanya para wali-wali. Diceritakan bahwa sebelum Pangeran/Panembahan Djoeminah berangkat ke Kaliwungu, terlebih dahulu ziarah ke makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak. Langkah ini pun dulu pernah dilakukan oleh Ki Pemanahan, dan pembangunan Mataram tidak bisa lepas dari bimbingan Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam pertemuan dua orang yang mempunyai ilmu khos itu, diceritakan, bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga merestui rencana Panembahan Djoeminah untuk mengembangkan agama lslam di Kaliwungu. Pesan Kanjeng Sunan Kalijaga dituturkan dalam sebuah catatan : "Jebeng Djoeminah yen sliramu arep bubak tanah/hutan belukar sisih lor, sliramu yen wis tekan nggon sing arep dibubak (digawe kutho), sliramu topoho dhisik ono satengahing segoro, Kyai Kaum nunggu ono pesisir. Sing diarani gentur tapamu yen getek sing dienggo.topo ana tengahe segoro wis ono pesisif Apakah seorang yang masih hidup bisa melakukan komunikasi dengan orang yang telah meninggal dunia itu termasuk tindakan 28
atau pekerjaan yang aneh ? Jawabnya memang tergantung pada orang yang bertanya dan orang yang ditanya. Ketika para ulama Ahlussunnah wal Jamaah ingin mendirikan sebuah perkumpulan ulama, yaitu Nahdlatul Ulama, salah seorang tokohnya, yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah pernah melakukan komunikasi dengan Sunan Ampel. Apakah yang dilakukan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah ini termasuk tindakan yang aneh ? Jawabnya juga tergantung pada yang bertanya dan yang ditanya. Ketika Khalifah Umar bin Khath-thab dari Dinasti Khulafaurrasyidin berusaha keras untuk menguasai daerah Mesir, sahabat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam ini terlebih berkirim surat pada sungai Nil. Anehkah ? Ketidak anehan seperti itu ternyata mempunyai dasar yang sangat kuat. Orang-orang sholeh, para auliya para syuhada yang telah meninggal dunia, pada hakekatnya mereka itu tidaklah mati, tetapi mereka tetap hidup di sisi Tuhannya. " Walaa yahsibannaaladziina qutiluu fi sabilillahi amwaatan Ba! hum akhyaa-un "inda robbihim"
-
artinya : Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
meninggal dunia di jalan Allah itu (benar-benar) meninggal. Tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhan-NYA. Sesampainya didaerah yang dituju, Panembahan Djoeminah dengan dibantu oleh Kyai Kaum, membuat sebuah balai untuk bertapa, dengan ukuran yang cukup besar. Lanjutan ceritanya, Panembahan Djoeminah selesai bertapa dan mendapatkan hasil yang bagus. Hal ini ditandai dengan adanya balai yang ada ditengah lautan itu ternyata sudah ada di pesisir, tepatnya di Kampung Gayaman Desa Mororejo. Balai terapung yang dijadikan tempat bertapa Panembahan Djoeminah dikemudian hari disebut-sebut namanya dengan Balai Kambang. Disebut demikian karena balai itu benar-benar terapung.
Selain tugas agama dan juga tugas kerajaan, secara tidak langsung Panembahan Djoeminah juga melestarikan hasil kerja keras yang telah dirintis oleh Sunan Katong, eyangnya sendiri. Pondasi yang kokoh oleh Sunan Katong benar-benar dijaga oleh Panembahan Djoeminah agar tidak roboh apalagi hancur. Usaha keras untuk mewujudkan cita-cita luhur yaitu membangun negeri yang sejahtera dalam lindungan Allah subhanhu wa ta'ala benar29
benar menempati tempat yang utama. Jadilah Kabupaten Kaliwungu yang hidup damai berdampingan dengan Kabupaten Kendal. Ya, Kaliwungu menjadi Kabupaten yang disebut Kabupaten Kaliwungu. Kota Kaliowungu menjadi pusat pemerintahan, dengan bupati pertama. Raden Ronggo Hadimenggolo, cucu Pangeran atau Panembahan Djoeminah hingga turun tujuh. Panembahan Djoeminah yang bersusah payah mewujudkan cita-citanya membangun sebuah negeri, begitu kerja kerasnya menampakkan hasil, kursi kepemimpinan diserahkan pada cucu-cucu dan keturunannya, hingga sampai tujuh turunan. Pada akhirnya dapat dipahami bahwa kursi adipati Kaliwungu I yang diduduki oleh Baden Ronggo Hadimenggola itu bukan karena ayah atau kakeknya berhasil membunuh/menghukum Tumenggung Mandurorejo. Tetapi karena kerabat Pangeran Djoeminah telah bekerja keras membangun daerah yang dulu pernah dibangun oleh leluhurnya, yaitu Sunan Katong. Keterangan yang menyebutkan ada hubungan antara Sunan Katong dengan Pangeran Djoeminah memang sangat sedikit dan nyaris hampir kurang tampak. Hanya saja ada keterangan yang menerangkan sebagai berikut : Pertama, Sunan Katong adalah cucu dari Adipati Urawan, penguasa Madiun. Sebelum Pangeran Timur (Ayah Retno Dumilah) berkuasa di Madiun. Bisa iadi, istri Pangeran Timur itu masih keturunan Adipati Urawan (silsilah dari pihak ibu). Kedua, Bhatara Katong atau Kiai Katong atau Sunan Katong silsilah dari pihak ayah menyebutkan bahwa ia putera Adipati Yunus, Sultan Demak kedua putera Sultan Akbar Al-Fatah. Sedangkan Pangeran Timur putera Sultan Trenggono adik Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus. Bila keterangan itu memiliki kebenaran, maka lengkaplah sudah bahwa Pangeran Djoeminah merupakan siklus Kerajaan Majapahit dan Kasultan Demak bertemu pada diri Pangeran Djoeminah. Tidak berlebihan bila disebut ada darah Katong pada diri Pangeran Djoeminah, dan tidak tidaklah berlebihan juga bila Pangeran Djoeminah membangun Kaliwungu menjadi sebuah Kabupaten, karena bumi Kaiwungu ini ternyata memang peninggalan leluhurnya, Sunan Katong. Dam tidaklah berlebihan bila ada yang menyebut bahwa Kendal-Kaliwungu itu merupakan Gerbang Majapahit dan Pintu Mataram Kendal. Dua kekuatan menyatu di bumi Bahurekso. 30
ILMU WIRID HIDAYAT JATI llmu Tarekat Petuniuk Seiati llmu Wirid Hidayat Jati seperti yang diterima oleh Panembahan Djoeminah dari Ki Juru Mertani, lebih banyak mengajarkan soal ketuhanan dan kehidupan. llmu ketuhanan juga disebut ilmu ilahiyah atau ilmu tauhid atau ilmu theologi. Sedangkan ilmu kehidupan seperti yang dituntun dalam ilmu Wirid Hidayat Jati itu tidak berbeda jauh dengan ilmu thareqot. Dasar-dasar ilmu ketuhanan lebih cenderung pada pengenalan diri seseorang pada tuhannya. Untuk bisa mengenal dan mengetahui tuhannya, maka seseorang harus mengenal pada dirinya sendiri. Setelah itu baru mengembang pada lingkungan. Dalam tuntunan wirid Hidayat jati, manusia diajarkan agar banyak berfikir pada apa yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan jangan berpikir banyak pada zat Yang Maha Kuasa. Sedikit saja melakukan kesalahan dalam berpikir tentang dzat Tuhan Yang Maha Kuasa, maka akan terjadi kesesatan yang sangat menyesatkan. Apa sebenarnya yang diajarkan oleh ilmu tharekat atau wirid Hidayat itu? Wirid Hidayat Jati bukan ajaran soal ilmu "kadon-nyad' atau ilmu "pangkat dan drajat' lahir. Tharekat atau wirid Hidayat Jati itu adalah tuntunan melakukan syari'at agama islam dengan cara berhati-hati dan bersungguh-sungguh. Dalam kehidupan manusia diajarkan untuk berlaku bersih dan menlauhi sesuatu yang belum jelas haram dan halalnya yaitu Syubhat. Melakukan peningkatan ibadah setelah melakukan ibadah yang pokok, seperti merutinkan shalat sunah dan juga merutinkan mohon ampunan atas segala 31
kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya dan mohon dijaga untuk tidak melakukan kesalahan pada masa-masa yang akan datang. Caranya, dengan memperbanyak membaca istighfar, membaca al-qur'an serta menambah amal sholeh dengan ikhlas. Disebutkan dalam pembukaan ilmu wirid Hidayat Jati : "Punika warahing Hidayat Jati, ingkang nedahaken dunungipun pangkating ilmu makripat, medal saking riwayating wiradat, wewejanganipun para wali ing tanah jawa. Sasedanipun Kanjeng Susuhunan ing Ngampeldenta, sami karsa ambuka wewiridin ingkang dados wijining wewejanganipun suraosing ngelmi kasampurnan piyambak-piyambak. Wiyosipun inggih ugi asal saking dalil, kadis, ijmak tuwin kiyas kados ingkang sampun kasebat wonten salebeting wiradat. Jangkeping ing murad maksuding wirid sadaya. Menggah papangkatanipun satunggalsatunggal kapraktekaken ing ngandap puniko. lngkang rumiyin : saangkatan kala jaman awalipun nagaring Demak, para wali ingkang karsa amajeng namung wewolu.
1.
Kanjeng Susuhunan ing giri Kedhaton ; wewejanganipun wisikan ing Dat
2. Kanjeng Susuhunan ing Tandhes ; wewejanganipun wedharan wahananing Dat. 3. Kanjeng Suduhunan ing Majagung : wewejanganipun gelaran kahananing DaL 4. Kanjeng Susuhunan lng Benang ; wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem betal makmur. 5. Kanjeng Susuhunan ing Muryapada : wewejanganipun pambukaning tata malige ing betulmukaram. 6. Kanjeng Susuhunan ing Kalinyamat : Wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem betulmukadas. 7. Kanjeng Susuhunan ing Gunung Jati : wewejanganipun panetep kasantosaning iman. 8. Kanjeng Susuhunan ing Kajenar ; wewejanganipun sasahidan lngkang kaping kalih : lng saangkatan malih kala jaman akhiripun nagari ing Demak dumugi Pajang, para wali ingkang karsa amajeng inggih wolu: 1. Kanjeng Susuhunan ing Giriparapen : wewejanganipun wisikan ananing Dat. Kanjeng Susuhunan ing Drajat ; wewejanganipun wedharan wahananing Dat.
2. 32
3. Kanjeng Susuhunan ing Atasangin ; Wewejanganipun gelar kahananing Dat. 4. Kanjeng Susuhunan ing Kalijaga ; wewejnganipun pambukaning tata malige ing dalem Betulmakmur. 5. Kanjeng Susuhunan ing Tembayat ; Kalilan dening Kanjeng .:-r
Susuhunan Kalijaga amiridaken wewejanganipun pambukaning tata malige ing Betulmakmur.
6. Kanjeng Susuhunan ing Padusai ; Wewejanganipun pambukaning tata malige ing dalem Betulmukadas. 7. Kanjeng Susuhunan ing Kudus ; wewejanganipun panetep santosaning iman. 8. Kanjeng Susuhunan ing Geseng ; wewejanganipun sasahidan. Arti bebasnya sebagai berikut
:
lnilah ajaran Hidayat Jati atau petunjuk sejati, yang menjelaskan kedudukan tingkat ilmu makrifat, lahir dari riwayat karsa, ajaran para wali di Tanah Jawa. Sepeninggal Kanjeng Susuhunan Ampeldentha (Sunan Ampel), mereka bermaksud menjabarkan wiridan yang merupakan inti ajaran maksud ilmu kesempurnaan masing-masing.
Pada dasarnya berasal dari dalil hadits, ijmak dam Qiyas sebagaimana yang sudah disebutkan dalam wiradat atau karsa. Secaia lengkap di datam tujuan dan kehendak wirid itu sendiri. Padahal tingkatan masing-masing dijabarkan dibawah ini. Yang pertama : bersangkutan pada zaman awal berdirinya Negeri Demak, para wali yang mau memberikan ajarannya hanya ada delapan. 1. Kanjeng Susuhunan di Giri Kedhaton : ajarannya berupa ilham adanya Dzat. Kanjeng Susuhunan ing Tandes : ajarannya uraian mengenai wahana Dzat. Kanjeng Susuhunan ing Majagung : ajarannya mengenai gelaran keadaan Dzat. Kanjeng Susuhunan ing Benang (Bonang ) : ajarannya mengenai pembuka atata mahligai di dalam Baitulmakmur. Kanjeng Susuhunan di Muria : wejangannya mengenai pembuka tata mahligai Baitulmakaram ( Baitulharam). Kanjeng Susuhunan di Kalinyamat ; ajarannya mengenai pembuka tata mahligai di dalam Baitulmukadas. Kanjeng Susuhunan di Gunung Jati : ajarannya yaitu penetap kasantosaning lman.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
33
8.
Kanjeng Susuhunan di Kajenar : memberikan ajaran tentang sasahidan atau persaksian. Yang kedua ; dalam seangkatan lagi zaman akhir negeri Dernak sampai Paiang, pawa wali yang mau memberikan wejangan juga ada delapan. 1. Kanjeng Susuhunan di Giriparapen : ajarannya tentang ilham atau bisikan adanya dzat. 2. Kanjeng Susuhunan di Drajat ; ajarannya uraian mengenai wahana Dzat. 3. Kanjeng Susuhunan di atas angin ; ajarannya mengenai gelaran keadaan Dzat 4. Kanjeng Susuhunan di Kal'ljaga ; ajarannya mengenai pembuka mahligai di dalam Baitulmakmur. 5. Kanjeng Susuhunan di Tembayat ; atas perkenan Kanjeng Susuhunan Kalijaga menyampaikan wejangannya mengenai pembuka tata mahligai Baitulmukarram ( Baitulharam ). 6. Kanjeng Susuhunan di Padusan : ajarannya mengenai pembuka tata mahligai di dalam Baitulmukadas. 7. Kanjeng Susuhunan di Kudus ; aiarannya mengenai penetapary' penganut kesentosaning iman. 8. Kanjeng Susuhunan di Geseng ajarannya mengenai sasahidan atau persaksian. Dalam tuntutan wirid Hidayat Jati (Petunjuk yang hakiki/sejati) itu seperti dihimpun oleh Raden Ngabehi Honggowarsito disebutkan sebagai berikut : "lngsun anehseni ing Dat lngsun dewe, Satuhune ora ono Pangeran, anging lngsun, Lan anekseni lngsun satuhune Muihammad iku utusan lngsun, lyo sajatini kang aran Allah iku badan lngsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku rahsaningsun, lyo lngsun kang Urip tan keno ing pati, lyo lngsun kang eling tan keno ing lali, lyo lngsung kang langgeng ora Reno gingsir ing kaanan jati, lyo lngsun kang waskitho, ora kasamaran ing sawji-wiji, lyo lngsun kang amurbo amiseso, kang kawasa wicaksana, ora kekurangan ing pengerti, Byar sampurna pandhang tarawangan, ora kerasan apa-apa, Ora ono katon apa-apa, Amung lngsun kang anglimputi ing alam Rabeh Ralawan kodrat lngsun." Arti bebasnya sebagai berikut : "Aku bersaksi kepada Zal-Ku sendiri, Sesungguhnya tidak ada Tuhan, kecuali Aku, Dan Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, Sesungguhnya yang bernama Allah itu adalah
;
u
badan-Ku, Rasul adalah rahasia-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku. lya Aku yang hidup tidak kenal mati, lya Aku yang ingat tak kenal lupa, u lya Aku yang abadi tidak kenal perubahan keadaan sejati, yang waspada, tidak samar kepada masing-masing, lya Aku y iig berkasa, yang kuasa bijaksana, tidak kekurangan pengertian, Byar t'eranglah seketika, Tidak terasa apa-apa, Tidak ada tampak apaapa, Hanya Aku yang melingkupi di semua alam dengan kodrat-Ku." Wejangan diatas berasal dari Kanjeng Susuhunan di Kajenar yang kejelasannya diterangkan sebagai berikut : " ..... lngkang dipun wastani Pangera,n puniko Dating gesang kita pribadi. lngkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita pribadi. Manawi ingkang kasebat ing dalem dzikir : " Laa ilaaha illallah, Muhammadur rasulullah", tegesepun mboten wonten Pangeran anging Allah, Nabi Muhammad punika utusaning Allah puniko apngaling Rasul, dumunung ing badan kita. Rasul puniko asmaning Muhammad, dumunung ing rahsa kita. Muhammad tuwin sipating cahya, dumunung ing gesang kita. Sajatining gesang kita punika, Dating Pangeran Kang Maha suci. KayeWosanipun kasebat ing dalem daliling Al-Qur'an, manawi Pangeran Kang Maha suci punika kawasa amijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inEkang gesang kita pribadi puniko. Sayekti awit saking pejah, ing wekasan mboten kenging pejah. Dipun basakaken : Kayun pidareni. Tegesipun : gesarlg ing kaanan kekalih, wonten ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir inggih gesang. Serta mboten kasupen ing Dat kita kang agung, mboten ewah gingsir ing sipat kita kang elok, mboten kasamaran ing asma kita kang wisesa, mboten kekirangan ing apngal kita kang sampurna, dados pepuntoning tokid ingkang ambontos dhateng iktikad. Sampurnaning gesang puniko mboten wonten karaos utawi tanpa katingal punapa-punapa. Amung waluya sajati lajeng anglimputi ing alam sadaya ; sampun uwas sumelang." Arti bebasnya sebagai berikut : " .... Yang dinamakan Pangeran/Tuhan yailu Zal hidup kita sendiri. Yang dinamakan Muhammad yakni sifat cahaya kita sendiri. Sedangkan yang disebut didalam dzikir : " Laa ilaaha illallah, Muhamadur Rasulullah", artinya tidak ada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad itu urusan Allah, itu adalah perbuatan Rasul, yang berada pada diri kita. Rasul adalah nama Muhammad, berada dalam rahsa kita. Muhammad dan sifat cahaya, ada dalam hidup kita. Hakikat hidup kita ini adalah Zat Tuhan Yang Maha Suci.
ly
35
Kebenarannya tersebut ada dalam dalil Al-Qur'an bahwa Tuhan Yang Maha Suci itu berkuasa memunculkan hidup dari mati, munculnya mati dari hidup, termasuk hidup kita ini. Sesungguhnya bermula dari mati, akhirnya tidak akan bisa mati. Diibaratkan : hayyun fiddaroini artinya : hidup didalam keadaan keduanya, dalam alam sahir kita hidup, dalam alam kabir juga hidup. Dan tidak lupa kepada zat kita yang agung, tidak berubah dari sifat kita yang elok, tidak ragu-ragu kepada nama kita yang berkuasa, tidak kekurangan kepada afngal/perbuatan kita yang sempurna, menjadi pegangan tauchid yang tembus kepada iktikad. Kesempurnaan hidup kita ini tidak ada terasa atau tanpa terlihat apa-apa. Hanya hidup sejati lalu meliputi alam seisinya janganlah ragu-ragu.... " Tuntunan Wirid Hidayat Jati ini tidak berbeda jauh seperti yang dituntunkan oleh ilmu tharekat. Oleh karena itu perhatikan dengan sungguh-sungguh karena dua tuntunan itu memiliki kesamaan. Dalam tuntunan tharekat diajarkan sebagi berikut : "Thoreqot sing paling gampang kang dilakoni dining para
kawula, yaiku dzikir marang gusti Allah. Karana ora bakal
jumeneng dina kiyamat selagi ana ing lumahe bumi isih ana wong kang dzikir ing gusti Allah kalawan pangucape lisan utawa obahe ati ing Allah, Allah, Allah. Bahasa bebasnya sebagai berikut : " ..... Thareqot yang paling mudah diialankan oleh hamba Allah, yaitu dzikir kepada Gusti Allah. Sebab, tidak akan (cepat ) terjadi hari kiyamat manakala diatas bumi ini masih ada orang yang dzikir kepada Allah dengan mengucapkan dengan lisan atau dengan gerakan hati, Allah, Allah, Allah .... " Baik ilmu Wirid Hidayat Jati maupun ilmu Thareqot memang ada bacaan dzikir dan tuntunan yang khusus. Biasanya dzikir itu dibaca setiap saat, dan paling tidak dibaca setelah shalat fardlu. Bacaan atau wirid lebih banyak berisi puji-pujian kepada gusti Allah Yang Maha Kuasa, wirid ampunan, shalawat, dan mengagungkan dzat Allah, dengan kalimat : Laa ilaaha illaallah serta dilakukan secara sunggung dan khusyuk (muiahadah dan tadlorru', mendekatkan diri pada gusti Allah). Tehnik bacaannya kurang lebih: "Dedungo lan nyuwun ngapura kanthi maca Asytaghfirullahal adhim kang diwiwiti sangka maca shalawat. Nuli ngawiti dzikir " Allah, Allah" ana ing lathifatul qolbi, yaiku aluse ati sanubari kang manggone ono dodo sisih kiwo kira-kira rung driji, kanthi nemuake 36
ilat karing cethak-e, lan ngeremake mripat lorone lan didingklu-ake sirahe." Bahasa bebasnya sebagai berikut : f' ..... Berdo'a dan memohon ampunn dengan membaca astaghfirullahal adhim yang dimulai dari membaca sholawat. Kemudian mulai dzikir, " Allah, Allah, Allah " ada di Latifatul Qolbi, yaitu halusnya hati sanubari yang
di dada sebelah kiri kira-kira dua jari, dengan menemukan lidah dengan langit-langit, dan memejamkan kedua mata, kemudian menganggukkan kepala ... " Dzikir ditujukan untuk membuka lathifatul qolbi karena lathifatul qolbi itu menjadi tempat dzikir sirinya nafsu alluwamah. "Ono dene balane nafsu alluwamah iku ana sanga : (1) Al-laum yaiku modo utowo maidu (2) Al-Hawaa yaiku kesenengane hawa nafsu (3) Al-makru yaiku nipu (4) Al-'ujub yaiku gumun amale dewe rumongsa apik kabeh, yen nyawang amale wong liyone, olo (5) Alghibah yaiku ngerasani (6) Ar-riya'yaiku pameran amale karana manungsa (7) Adh-dhulmu yaiku nganingaya (8) Al-kdzbu yaiku goroh (9) ahghotlah yaiku lali songko iling ing gusti Allah." Bahasa bebas : " ..... Adapun yang tergolong nafsu Alluwamah itu ada sembilan : (1) Al-Laum, yaitu suka mencela, (2) Al-Hawa, yaitu kesenangan hawa nafsu, (3) A-Makru, yaitu menipu, (4) Al'Ujub, yaitu takjub tau bangga dengan amalnya sendiri, dan merasa amalnya sendiri lebih baik, dan kalau melihat orang lain, dianggapnya jelek, (5) Al-Ghibah, yaitu membecarakan kejelekan orang lain dihadapan orang lain juga, (6) Ar-Riya, yaitu memamerkan amalnya sendiri di hadapan manusia lain, (7), adh-dhulmu, yaitu aniaya, (8) Al-Kadzbu, yaitu bohong, (9) Al-Ghoflah, artinya lupa dari ingat kepada Allah .... " Wirid-wirid itu dibaca untuk membuka lathifatul qalbi dan nafsu sembilan itu hilang karna izin Allah dan dimenangkan oleh nafsu muthma-inah. Setelah itu dzikir dilanjutkan pada Latho-ifur rukh yaitu halusnya ruch/jiwa, yang tempatnya di bagian bawah dada agak sebelah kanan. Lathoifuruh itu menjadi tempat bagi Nafsu mulhammah. "ana dene balane nafsu mulhamah iku ana pitu ; (1) Assakhowah yaiku lumo (2) Al-qona-ah yaiku narimo (3) Al-Hilmu yaiku aris (4) at-tawadl-dlu' yaiku andap asor (5) at-taubah yaiku taubat nasucha (6) As-Shobru yaiku shobar (7) At-takhammul yaiku betah-betahake sesakit/shobar nompo sesakit. tempatnya
37
Bahasa bebasnya : " ..... Adapun yang tergolong nafsu Mulhamah itu ada tujuh ; (1) As-Sakhowah, artinya suka berderma, (2) Al-Qona'ah, yaitu menerima apa adanya tidak suka memprotes , (3) Al-Hilmu, yaitu Aris atau Arif, (4) At-Tawadlu', yaitu andap asor atau sopan santun, (5) At-Taubah, yaitu suka meminta ampun (atas kekhilafannya ). (6) As-Shobru, yaitu Sabar, (7) At-Takhamul, yaitu sabar menerima cobaan, sakit ..... " Setelah itu, zikir dilanjutkan pada lathifatus sirri yaitu halusnya rasa. Tempatnya tepat ditengah-tengah dada sebelah kiri. Lathifatus sirri itu sebagai tempatnya Nafsu muthma-innah. "Ono dene bolone Nafsu muthma-innah iku ana nenem (1) Al-Djud yaiku belaba, ateges ora eman ngeto-ake dun-nya kanggu thaat marang gusti Allah (2) at-tawakkal yaiku pasrah ing gusti Allah (3) Al-ibadah yaiku nyembah marang gusti Allah kanthi ikhlas (4) Asy-syukru yaiku syukur karana rumongso kaparingan nikmate gusti Allah (5) Anridlo yaiku ridlo marang hukume gusti Allah (6) AlKhosy-yah yaiku wedi ngelakoni doso sebab wedi marang bendune gusti Allah. Bahasa bebasnya : " ..... Adapun yang tergolong nafsu Muthma-innah itu ada enam, yaitu (1) Al-Jud, artinya suka berderma, yakni tidak kikir mendermakan harta bendanya untuk taat kepada Allah SWT, (2) At-Tawakkal, yaitu pasrah kepada Allah SWT, (3) Al-lbadah, yaitu menyembah kepada Allah SWT dengan
:
ikhlas, (4) Asy-Syukru, yaitu bersyukur karena merasa diberi kenikmatan oleh Allah SWT, (5) Ar-Hidlo, yaitu ikhlas atau rela terhadap hukum-hukum Allah SWT, (6) Al-Khosy-yah, yaitu takut melakukan dosa, sebab, takut terhadap murka Allah SWT ..... " Setelah itu zikir dilanjutkan pada tingkat lathoiful khofiy yaitu halusnya barang yang masih samar/rahasia. Tempatnya ada dibawah dada agak sebelah kanan. Lathoiful khoffiy itu tempatnya Nafsu al-mardliyyah. 'Ono dene balane Nafsu al-mardliyyah iku ana nenem : (1) Khusnul Khuluq yaiku bagus kelakohane (2) turku maa siwallah yaiku ninggal barang kang sakliyane gusti Allah (3) Al-Luthfu yaiku welas asih ing makhluk (4) khamlul kholqi alash sholkhi yaiku ajakajak mahluk supoyo gelem ngelakoni becik (5) ash-shofkhu an dzunubil kholqi yaiku ngapuro saking akehe kesalahane sesami (6) Hubbul kholqi wal mailu ilaihim li-ikhrojihim min dzul kumaati thobaaiihim wa anfusihim ila anwari arwakhihim yaiku seneng kalawan sasami makhluk perlu ngeto-ake tabiat-tabiate sasami 38
makhluk kang ala dileboake marang sitat-sifat kang pinuji lan budi pekerti kang luhur." Bahasa bebasnya : " ..... Adapun teman Nafsu Al-Mardliyyah itu juga ada enam, yaitu (1) Khusnul Khuluq, yaitu baik dan bagus budi pekertinya, (2) Turku Maa Siwallah, yaitu meninggalkan sesuatu selain Allah SWT, (3) Al-Luthfu, artinya kasih sayang sesama makhluk, (4) Khamlul Kholqi alash sholkhi, artinya mengajak sesamna hamba Allah agar melakukan kebaikan, (5) Ash- Shofkhu an dzunubil Kholqi, artinya memaafkan dari banyaknya kesalahan sesama hamba Allah, (6) Hubbul Kholqi wal mailu alaihim li-ikhrojihim min dzul kumaati thobaa-iihim wa anlusihim ila anwari arwakhihim, artinya suka atau senang kepada sesama makhluk guna mengeliarkan watak-watak sesama makhluk, yang jelek dimasukkan dalam sifat-sifat yang terpuji dan budi pekerti yang luhur ...... " Dzikir kemudian ditingkatkan lagi pada Lathoiful akhfa yaitu barang yang lebih samar benarnya. Tempat Lathoiful akhfa ini tepat di tengah-tengah dada, dan menjadi tempat Nafsu al-kamilah. "Ono dene balane Nafsu al-kamilah iku mung ana telu ; (1) ilmul yaqin (2) Ainul Yaqin, dan (3) Haqqul yaqin." Bahasa bebasnya : " .... Adapun yang tergolong Nafsu AlKamilah itu hanya ada tiga, yaitu (1) llmul Yaqin, (2) Ainul Yaqin, dan (3) Haqqul Yaqin ..... " Begitulah tuntunan ajaran Thareqot, yang oleh Ranggawarsito bahasa yang digunakan adalah ilmu Wirid Hidayat Jati. Wirid itu memang tidak hanya berhenti/cukup di tingkat itu saja, tetapi masih ada dua tingkat lagi. Yaitu dzikir atau wirid untuk menghilangkan Nafsu Amarah dan menempatkan Nafsu Radliyah yang mempunyai sahabat enam yaitu ; (1) Al-'karmu (mulya ), (2) Zuhud (topo dari dunia artinya memilih harta dengn cara yang baik), (3) Akhlas (segala sesuatu amal hanya mengharap balasan dari Allah), (4) Wira'i (menjaga dari harta yang tidak diketahui antara halal dan haramnya/syubhat), (5) Riyadlah (mengganti tindakan yang tercela oleh hukum Allah digantikan dengan tindakan yang baik dengan budi pekerti yang baik) (6) Al-Wafa'yaiku nuhoni olehe bai'at utowo nuhoni janji kang wus diuacapake (mematuhi ketika bai'at atau mematuhi janji yang sudah diucapkan ketika bai'at). Adapun tuntunan dzikir pembersih jiwa/nafas atau hifdlul anfas yaitu dengan dzikir : Huwallah ; masuknya dzikir Huwa, dan keluarnya nafas dzikir Allah. Tetapi dua bibir dan lidah tidah bergerak-gerak, namun dibaca dengan rasa ada didalam hati. 39
"Hifdlul anfas tegese ngerekso melebune nafas kalawan dzikir Huwallah ; melebune nafas dzikir ; huwa, metune nafas dzikir Allah,
nanging lambe lorone lan lisane ora obah-obah, balik diroso ingdalem jerune ati." Bahasa bebasnya :'" .... Hifdhul Anfas itu artinya menahan masuknya nafas dengan dzikir huwallah ; masuknya nafas dzikir ; huwa, keluarnya nafas dzikir Allah, tetapi kedua bibir dan lidah tidak berubah-ubah, tetapi dirasa di dalam hati ...... " Dalam tuntunan thareqot juga ada tuntunan yang paling dasar
yaitu pengetahuan tentang hidup dan mati dan cara-cara memperoleh kehidupan di alam akhirat.
"Saktemene wong mukmin kang mukallaf kang kepingin mlebu suwargo sarta ngalap manfaat nikmate suwargo iku kudu nganggu sebab yaiku kudu ngambah dalan kang diarani sulukut thoriq, ngambah dalan kang neka-ake maring lelaning gusti Allah. Saktemene dalan iku ono telu : (l) Syari'at kang ateges ngelakoni perkoro kang diperintah deneng syariat lan ninggal perkoro kang dilarang deneng syariat (2) Thoreqot tegese niti-niti lan ngelekoni tindak lampahe rasul (3) Hakekat ateges titik puncake kang
ngelakoni syariat lan thareqot yaiku makripat dumeteng gusti Allah." Arti bebasnya kurang lebih : " Sesungguhnya orang yang beriman/mukmin yang sudah mukallaf jika ingin masuk surga serta berharap ridla akan nikmatnya surga, yaitu harus melalui jalan yang disebut Sulukuth thorieq yaitu ialan menuju keridlaan gusti Allah. Dan sesungguhnya jalan itu ada tiga tingkatan : (1) Syari'at artinya melakukan semua perkara yang diperintah oleh syari'at atau agama, dan meninggalkan semua perkara yang dilarang oleh syari'at atau agama, (2) Thoreqot artinya melakukan sesuatu yang pernah dilakukan oleh rasul Muhammad salallahu alaihi wasallam, (3) Hakekat artinya titik puncak orang yang melaksanakan syari'at dan hakekat yaitu makrifat kepada Allah subhanahu wa ta'ala .. " Aiaran ilmu keimanan yang merupakan ajaran tharekat ataupun wirid Hidayat Jati itu pernah diterima oleh Panembahan Djoeminah dari Ki Juru Mertani yang diperolehnya dari Kanjeng Sunan Kalijaga, yang berguru pada Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Gunung Jati, yang berguru pada kanjeng Sunan Ampel, Rahmatullah, dan selanjutnya pada sayyidina Ali yang langsung dari Nabi Muhammad salallahu alaihi wasallam, belajar dari Malaikat Jibril sang pembawa wahyu dari Allah subhanahu wa ta'ala. 40
Pangeran Djoeminah telah menghadap pada Tuhannya. Pangeran Djoeminah telah melakukan apa saja yang menjadi tugasnya baik selaku pribadi muslim maupun sebagai tokoh masyarakat. Sudah pasti Tuhan akan menerima apa saja yang telah dilakukannya sebagai amal sholehnya ( lnsya Allah ). Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Adil, Tuhan Maha Rahman dan Maha Rachim. Wallahu Alam Bish-shawab
PANEMBAHAN DJOEMINAH Pembangun Kabupaten KaliwungLt Telah disebutkan bahwa sunatullah atau kehendak Allah SWT tidak satu orangpun yang mampu menolak. Kaliduta yang telah memakann banyak jorban pasukan Mataram dan dihukumnya banyak panglima perang, ternyata ada hikmah yang tidak bisa diduga sebelumnya. Hikmah dari Kaladuta itu adalah berdirinya Kabupaten Kaliwungu. Daerah yang letaknya dibelahan timur Kabupaten Kendal itu semula menjadi wilayah Kabupaten Kendal pada era pemerintahan Raden Tumenggung Bahuresko, dan bahkan konon menjadi pusat pemerintahannya. Pada akhir Kaladuta, daerah Kendal memang dibagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Kendal di bagian barat, dan Kabupaten Kaliwungu bagian timur. Williem Kremlin menyebutnya dengan dua kabupaten kecil yang berdampingan. Pembangunan terus berlangsung, dan kemudian atas ijin kerajaan Mataram, Kaliwungu menjadi sebuah kabupaten yang berdampingan dengan kabupaten Kendal. Dalam membangun kabupaten Kaliwungu, Pangeran Djoeminah dibantu oleh para leluhur Mataram juga yang dulu menjadi pimpinan perang ketika menyerang VOC di Batavia. Disebut-sebut ada nama Tumenggung Wranatapada yang terkenal dengan nama Tumenggung Suropodo, dan seperti dituturkan oleh KH. Dimyati Rais, nama lain dari Ki Suropodo itu adalah Kyai Qomarudin yang merupakan leluhur ulama Kaliwungu.
di
41
Keturunannya antara lain KH. lrfan yang menurunkan KH. Khumaidullah, KH. lbadullah. Dan juga KH. Ridwan yang mnurunkan KH. Asror Ridwan. Bila silsilah nasab itu ditulis lengkap kira-kira sebagai berikut : KH Khumaidullah dan KH. lbadullah putera KH. lrfan putera KH. Musa putera KH. Baqi putera KH. Ma'arif putera Kyai Qomarudin alias Ki Suropodo alias Raden Tumenggung Wiranatapada putera Kyai Jiwa Seto putera Panembahan Senopati Sutowijoyo ( baca : Mengenang KH. lrfan Kauman Kaliwungu ) Pendamping Pangeran Djoeminah ada yang bernama Ki Sindubuwono dan Sindukoro ( ada juga yang menyebut Sindiboyo dan Sindukoro ). Kedua tokoh ini tergolong dekat dengan Pangeran Djoeminah, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai ajudannya. Diperoleh keterangan di Kaliwungu, bahwa Sindubowono dan Sindukoro ini adalah putera dari Puteri Pembayun. Nama ini mengingatkan kita pada nama Pembayun puteri panembahan Senopati yang dinikahkan dengan Ki Ageng Mangir putera Ki Wonoboyo. Hanya saja dalam keterangan itu disebut-sebut ada nama Hasan dipura (Baca : Babad Mangir) Beberapa analisa mengatakan ; Pertama, sepeninggal Ki Ageng Mangir, nama puteri Pembayun memang hilang dari percaturan kerabat kasultanan Mataram. Bisa jadi puteri Pembayun tidak lagi hidup di dalam keraton tetapi hidup bersama dengan pujangga keraton yang bernama Hasandipura. Sehingga ia lebih suka disebut sebagai putri Hasan dipura bin Hasan Munadi, seorang wali yang sampai akhir hayatnya tinggal di kaki gunung Ungaran, dengan namanya yang terkenal Sunan Nyatnyono. Kedua, Dari catatan itu akhirnya juga diperoleh keterangan bahwa Sindibuwono ini yang menurunkan salah seorang Kaliwungu
bernama Alm. Kyai Umar berputera Kyai Akib Umar. Silsilah lengkapnya dituturkan sebagai berikut : Kyai Haji Akib Umar putera Kyai Haji Umar putera Kyai Abdul Hamid putera Kyai Syamsudin putera Kyai Kanidin putera Kyai Thoyib putera Kyai Linah putera Kyai Taman putera Sindubuwono putera Raden Ayu Pembayun. Dan dari sini disebutkan Raden Ayu Pembayun puteri Hasandipura putera Hasanmunadi atau Sunan Nyatnyono. Bila analisa yang menyebutkan bahwa Raden Ayu Pembayun itu benar puteri Panembahan Senopati Sutowijaya, dan juga leluhur KH. Khumaidullah dan KH. lbadullah diketahui juga ada garis keturunan dari Panembahan Senopati Sutowijoyo, maka lengkaplah 42
sudah bahwa bumi Kaliwungu yang terkenal dengan dengan sebutan lain Bumi Katong yang semula bernama Kabupaten Kaliwungu itu memang benar-benar dipaku kuat-kuat oleh leluhur dari Mataram. Pintu-pintu Mataram memang benar-benar menghiasai Kabupaten Kendal. Tidak berlebihan bila ada yang menyebut dengan sebutan sangat bagus bagi Kabupaten Kendal yaitu sebuah daerah yang dibangun dari ; Gerbang Majapahit Sampai Pintu Mataram (Kendal). Kaliwungu yang kemudian dikenal sebagai pusat trah Pangeran Djoeminah itu dilengkapi dengan cucu-cucunya yang memangku kepercayaan sebagai Adipati atau Bupati Kaliwungu. Ada tujuh keturunan Pangeran Djoeminah yang memangku jabatan adipati. 1. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Ronggo Hadimenggolo I Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Ronggo Hadimenggolo ll 3. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Ronggo Hadimenggoa lll Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Ronggo Hadimenggolo lV Bupati keempat ini kemudian pindah menjadi Bupati Batang dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro I 5. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hadinegoro ll 6. Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiwiryo Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro lll, pada tahun 1811 bupati Kaliwungu di pindah menjadi Bupati Demak. Pada akhirnya alam ini berkata lain, dan sejarah luga mencatat bahwa Kabupaten Kaliwungu ini hanya dipimpin oleh tujuh orang bupati. Namun kalau mau jujur, Kabupaten Kaliwungu ini dipimpin oleh sembilan tokoh Mataram yang mengingatkan kita adanga kekuatan angka sembilan sebagaimana sebutan organisasi para wali, yaitu Walisongo. Dua tokoh unggulan itu adalah Panembahan Djoeminah dan Raden Tumenggung Ronggo Wongsoprono atau Ki Ageng Lempuyang. Sehingga jumlahnya menjadi sembilan. Dua tokoh tersebut memang tidak tertulis sebagai Bupati, dan hanya menempatkan diri sebagai peletak dasar dan pembangun kebesaran kabupaten Kaliwungu, sebagaimana Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram dan Juru Mertani. Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram yang meletakkan pondasi kokoh kerajaan Mataram. Sedangkan Ki Juru Mertani yang mengendaliklannya dengan penuh hati-hati dan waspada. Selanjutnya, mulai tahun 1811 sampai 1813 Kabupaten Kaliwungu hanya dipimpin oleh seorang patih. Kondisi alam di Kaliwungu dan kondisi serta perkembangan politik pada waktu itu
2. 4.
7.
43
tidak lagi mendukung keberadaan Kaliwungu sebagai pusat pemerintahan. Maka atas inisiatif Patih Wiromenggolo, seorang patih Kabupaten Kendal (ketika itu Kendal dibawah Adipati Prawirodingrat l) diajukan konsep intregasi, Kabupaten kaliwungu menjadi satu dengan Kabupaten Kendal kepada pemerintah lnggris pada waktu itu. Dan hasilnya bisa disetujui, dan Kaliwungu berubah states menjadi daerah kawedanan atayu distrik. Maka pada tahun 1813 nama Kabupaten Kaliwungu lebur, dan wilayahnya masuk Kabupaten Kendal dibawah kepemimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Prawirodingrat dan Patih Wiromenggolo. Daerah yang dibangun oleh Tumenggung Bahurekso kembali utuh seperti semula. Nama-nama tempat sebagai pertanda bahwa Kaliwungu pernah menjadi pusat pemerintah kabupaten antara lain ; Kranggan, Demangan, Pungkuran, Kepatihan, Sabranglor, Kenduruan, Kandangan, Jagalan, Krajan, dan mungkin masih banyak lagi. Dan peninggalan yang menjadi saksi kuat adalah adanya pemakaman para bupati yang disebut dengan nama Astana Kuntul Nglayang di perbukitan Prawito atau prawoto atau Proto. Dan bahkan ada pula yang menyebutnya dengan perbukitan Penjor, sebuah nama yang terucap pada jaman Bhatara Katong atau Kiai Katong atau Sunan Katong.
ll
44
ASTANA KUNTUL NGLAYANG Persemayaman menghadap Tuhan Astana atau istana itu disebut kuntul nglayang. Kuntul adalah nama jenis seekor burung yang memiliki bulu serba putih dan bila terbang di angkasa sangat indah dipandang mata. Kuntul nglayang atau Kuntul terbang itu bersal dari ucapan Ki Ageng Pandan Aran atau Ki Mode Pandan ayahnda Sunan Tembayat pada Kyai Katong atau Sunan Katong ketika keduanya bertemu di Tirang Amper atau Pulau Tirang atau Bergota. Disebutkan pada pertemuan itu bahwa Kyai Katong akan menemukan kemuliaan hidup bila berhasil mengamalkan ilmunya di bukit kuntul nglayang. Tuturan Ki Ageng Pandan Arang itu mengandung banyak jati kehidupan. Nama bukit memberi pandang pada yang mendengarkan pada sebuah tempat yang agak tinggi. Tempat yang tinggi juga memberi pandang pada yang mendengarkan pada sebuah ketenangan diri menghadap ilahi, Allah azza wa jalla, Tuhan Yang Maha Agung. Di tempat yang tinggi itulah para luluhur jaman dulu mengabdikan dirinya pada sesama dan kepada Tuhannya. Akhirnya dapat diketahui bahwa bukit kuntul nglayang itu peninggalan Sunan Katong. Letaknya di desa Protomulyo. Nama desa itu diambil dari menantu Sunan Katong Ki Ageng Prawito atau Ki Ageng Prawoto asal Bagelen, dan konon diceritakan bahwa tanah yang amat tuas itu dulu milik Ki Ageng Prawito.
Bukit itu kalau dipandangi secara cermat memang seperti bentuk seekor burung yang sedang terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh, dan mungkin itu sudah kehendak 45
Tuhan. Di kemudian hari perbukitan itu disebut dengan Astana Kuntul Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu menjadi istana terakhir para leluhur Kaliwungu atau keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi tempat persemayaman para leluhur Mataram keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi saksi bahwa bumi Kaliwungu itu dulu ditempati oleh orang-orang besar kerajaan. Astana Kuntul Nglayang kelihatannya memang lebih besar dan lebih luas dari pemakaman para raja dan leluhur Mataram baik di lmogori maupun Giriloyo. Kita semua memang belum mengerti secara persis, mengapa begitu indah tataletak Astana Kuntul Nglayang ketika menjadi istana terakhir pada pembesar Mataram yang tinggal di Kaliwungu. Di Ujung barat, disebutnya sebagai letak kepala burung kuntul. Di belahan itu beristirahat secara abadi para leluhur Mataram keturunan Panembahan Djoeminah. Di belahan barat itu merupakan makam para pembesar Mataram keturunan Panembahan Djoeminah. Para leluhur itu antara lain : Panembahan Djoeminah putera Panembahan Senopati Sutawijaya. Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo l, Bupati Kaliwungu Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo ll, Bupati Kaliwungu Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo lll, Bupati kaliwungu Kanjeng Raden Tumenggung Bonggo Hadimenggolo lV, Bupati Kaliwungu Kanjeng Raden Tumenggung Ronodiwiryo, Bupati Batang. Kanjeng Raden Tumunggung Hadinegoro, Bupati Kaliwungu dan Demak. Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiwiryo, Bupati Kaliwungu. Raden Tumenggung Reksonegoro Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro, Bupati Demak, dll.
Sedangkan Bagian dada Astana Kuntul Nglayang ditempati antara lain : 1. Kanjeng Sunan Katong keturunan Prabu Brawiiaya dari Majapahit.
2. Radeng Tumenggung 46
Notohamijoyo, Bupati Kendal,
3. Raden Tumenggung Notohamiprojo, Bupati Kendal. 4. Raden Mas Arionotoprojo. Bupati Kendal, 5. Raden Mas Notonagoro, Bupati Kendal, dll. Bagian sayap kiri Astana Kuntul Nglayang ditempati antara lain Raden Tumenggung Mandurareja, Bupati Pekalongan Kyai Asy'ari atau Kyai Guru, Kyai Puger atau Kyai Pakpak atau Kyai Papak, dll
:
1. 2. 3.
Bagian sayap kanan Astana Kuntul Nglayang ditempati antara lain; Kyai Haji Rukyatullah, Kyai Haji ( Wali ) Musyafak, Kyai Haji Musthofa, Kyai Haji Abu Choir Drs. H. Djoemadi, Bupati Kendal ke 36, dll.
1.
2. 3. 4. 5.
Bagian ekor Astana Kuntu! Nglayang ditempati oleh Empu Pakuwaja. Dibagian-bagian Astana Kuntul Nglayang ada sebuah tempat yang bernama pegunungan Penjor. Nama ini diambil dari sebuah nama tempat yang pernah dijadikan semedi oleh Kyai Katong atau Sunan Katong ketika masih di Panaraga. Sekarang ini terkenal dengan nama Kampung Penjor. Selain nama gunung Penjor ada satu nama lagi yaitu gunung Sentir. Gunung Sentir semula berupa sebuah padepokan atau pesantren yang biasa dijadikan belajar oleh masyarakat pada waktu itu. Tentang siapa yang menjadi guru di pegunungan Sentir itu memang belum ditemukan secara pasti. Namun ada beberapa pendapat yang mendekati kebenaran, tetapi masih sangat relatif. Pertama, dimungkinkan, nama guru itu tidak lain adalah Sunan Katong sendiri. Selain punya padepokan di gunung Sentir, Sunan Katong juga punya padepokan lagi di daerah Ampel yang disebut dengan nama padepokan Ampelgading. Diantara santri Sunan Katong di gunung Sentir itu adalah Pakuwojo, Walijaka dan Pangeran Pakpak atau Pangeran Papak yang konon punya nama asli Pangeran Puger dari Pajang. la adalah putera Sultan Pajang dari istri ampean. Nama Puger ada yang menerangkan bahwa kata
itu berasal dari kata jawa "Paugeran" atau "Panutan" atau 'Tauladan" kemudian lidah terbiasa menyebut dengan "Puger," atau yang lazim disebut dengan guru.
47
Sehubungan dengan sebutan itu ada catatan yang menyebut bahwa Pangeran Papak kemudian biasa menerima panggilan nama Panembahan Guru atau Kyai Guru. Keterangan itu menjelaskan bahwa Pangeran Papak termasuk guru juga sepeninggal Sunan Katong (Paugeran setelah Sunan Katong meninggal) Wallahu Alam. Sedangkan makamnya kini telah menyatu dengan pohon besar yang terletak di seberang jalan, sebelah timur makam Kyai Asy'ari atau Adipati Mandurorejo atau bagian sayap kiri pada Astana Kuntul Nglayang. Kedua, dimungkinkan, nama guru itu tidak lain adalah Syeh Abdurrahman putera Syeh Ya'kub atau Syeh Wali Lanang putera Maulana lshak. Disebutkan, selain punya putera Syeh Abdullah yang dimungkinkan adalah Wali Gembyang yang menjadi imam dan guru di Kendal, Syeh Ya'kub juga punya putera yang men jadi imam dan guru di Kaliwungu. Karena mereka hidup dalam satu masa dengan Sunan Katong, maka tidak tertutup kemungkinan yang disebut Kyai Guru atau Panembahan Guru itu adalah Syeh Abdurrahman yang merupakan guru dari Raden Panggung atau Wali Jaka dan Pangeran Papak. Maka tidak berlebihan bila pada akhirnya mengkristal, siapa sebenarnya yang disebut-sebut dengan Panembahan Guru atau Kyai Guru itu. Apakah Sunan Katong, atau Pangeran Pakpak yang punya nama lain Pangeran Puger, atau Syeh Abdurrahman putera Syeh Wali Lanang yang disebut-sebut menjadi guru dan imam di Kaliwungu, atau justru Panambahan Djoeminah sendiri, atau Kyai Asy'ari yang kedatangannya kira-kira akhir tahun 1700-an atau awal 1800-an menjelang penggabungan Kabupaten Kaliwungu dengan Kabupaten Kendal ? Sebenarnya siapa Panembahan Guru atau Kyai Guru itu tidak terlalu prinsip untuk dijawab apalagi dibahas secara bertele-tele bahkan menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Sebab para ulama yang disebut diatas itu kenyataannya memiliki eksistensi dan telah melakukan tugas-tugas agama yang agung lagi mulya, yaitu memberi pelajaran dan bimbingan pada masyarakat tentang ajaran agama lslam. Mereka melakukan tugas-tugas itu penuh ikhlas dan hgnya mengharap ridla dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Mereka memang layak dan seharusnya dihormati dengan menempatkan merdka sebagai seorang Panembahan Guru atau istilah sekarang Kyai Guru. Begitulah Kaliwungu yang memang ditakdirkan menjadi pusat penyiaran agama lslam, pusat ilmu pengetahuan dan 48
tentunya juga pusat kebudayaan sehingga Kaliwungu memiliki banyak auliya, banyak ulama dan juga banyak guru, yang dimulai sejak Sunan Katong sampai sekarang. Rasanya memang tidak berlebihan bila kita menyebut bahwa apa yang pernah disampaikan oleh Ki Ageng Pandan Aran kepada Sunan Katong itu benar-benar menjadi kenyataan dan mendapat ridla dari Allah subhanahu wa ta'ala. Dari uraian diatas, maka semakin jelas bahwa Astana Kuntul Nglayang itu bukan semata-mata sebuah perbukitan dan kemudian menjadi sebuah makam luhur, tetapi lebih dari itu. Astana Kuntul Nglayang semula dibangun untuk sebuah pusat pengembangan
agama lslam dan sebuah pesantren. Hal ini tidaklah bertolak belakang dengan apa yang pernah dipesankan oleh Ki Mode Pandan atau Ki Ageng Pandan Aran pada saudaranya sendiri yaitu Kyai Katong atau Sunan Katong. lnti dari pesan itu antara lain agar bisa mencapai kehidupan yang mulia Kyai Katong atau Sunan Katong harus mencari tempat di telapak Kuntul nglayang. Ternyata sebuah tempat yang cukup menjulang mendekati langit yang bentuknya seperti burung Kuntul sedang terbang. Semuanya merupakan sanepo ataupun petunjuk pada masyarakat akhir jaman. lnti dari semuanya itu kurang lebih, bahwa manusia diwajibkan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Luhur
baik ketika hidup ataupun sesudah mati. Dalam hal ini pernah diajarkan oleh Syeh Abdul Qodir Jaelani dalam manakibnya : Anta Wahidun fis sama'wa ana wahidun fil ardli. Arti bebasnya, Engkau ya Allah satu-satunya dzal yang maha tinggi, dan saya adalah satusatunya hamba yang paling nista. Renungan Syeh Abdul Qodir Jaelani itu mengandung filsafat yang luhur. Filsafat yang mengajarkan tentang hubungan antara hamba dan Tuhannya. Seorang hamba diharuskan mendekatkan diri pada NYA. Begitulah kira-kira keberadaan Astana Kuntul Nglayang yang tempatnya agak menjulang tinggi seakan menggapai langit. "Demi-masa / Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi / Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, dan mereka yang saling berwasiat dengan barang yang haq dan mereka yang saling berwasiat dengan kesabaran.'l
49
PENUTUP Mempelajari dan kemudian mengakui sebuah kebenaran memang tidak boleh memandang dari siapa kebenaran itu berasal. Mendengarkan sebuah fatwa memang ada tuntunan untuk tidak melihat siapa yang menyampaikan fatwa itu. Tetapi yang diperintahkan adalah mengakui subtansi kebenaran dan fatwa kebenaran itu itu sendiri. "Undhur Maaqoola Walaa tandhur Man qoola Artinya, Kamu lihat perkataannya ( fatwanya ) dan jangan kamu lihat orang yang mengatakannya atau orang yang berfatwa. Akan halnya dalam melihat seorang tokoh memang tidak boleh dengan memicingkan sebuah mata atau menutup telinga terlebih menutup hati. Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, memang tidak boleh hanya cukup kulitnya saja. Tetapi harus mencapai pada zalnya ilmu pengetahuan itu. Jelasnya ketokohan sesorang tidak bisa dilihat dari nama yang melekat dirinya. Kealiman, kesufian dan ketaqwaan seseorang tidak tergantung pada nama yang melekat
"
pada diri seseorang. lnna akromakum indallahi atqookum
-
Sesungguhnya orang yang dipandang mulia dihadapan Allah adalah ketaqwaannya. Dan ada keterangan lagi ; lnnalloha laa yandhuru ila ajsaamikum walaa shuwarukum walakin yandhuru ila quluubikum Sesungguhnya Allah itu tidak akan melihat fisik kamu samua dan juga tidak pada rupa kamu semua, tetapi Allah akan melihat kamu semuanya pada hati atau jiwa.
!lmu Wirid Hidayat Jati, sekilas memang ilmu jawa atau kejawen. Tetapi kalau direnungi dengan jujur bahwa llmu Wirid 50
Hidayat Jati itu tidak berbeda dengan ilmu thoreqot, sebuah ilmu tuntunan kehidupan untuk mencapai tingkat kehidupan yang tinggi - fidun-ya hasanah wa fil akhiroti khasanah wa qinaa adzaban naarDan juga bisa disebut sebagai ilmu untuk mencapai kesempurnaan hidup ( sampurnaning urip ). Wirid bisa jadi berasal dari kata Aroda yang artinya mengharap. Hidayat memang berasal dari kata bahasa arab yang artinya petunjuk. Jati bisa diartikan dengan kehidupan yang sesungguhnya. Jati dikenal sebagai nama sebuah pohon yang berkualitas. Pohon adalah lambang kehidupan. Dengan demikian llmu Wirid Hidayat Jati memiliki pengertian ilmu yang dipelajari dan diamalkan oleh orang-orang yang mengharapkan petunjuk kehidupan yang sesungguhnya. Sebagaimana ilmu Thoriqot yang mengantar manusia pada tatataran kehidupan dan keimanan ; Syari'at Hakekat - Makrifat. Para walisanga dalam memberi pelajaran keimanan benar-
-
benar sesuai dengan petunjuk dari Nabi Muhammad SAW ; Khotibinnas biqodri uqulihim - Ceramahilan manusia itu sesuai dengan kemampuan akalnya. ltulah sebanya ajaran Thoreqot disebutnya dengan nama Wirid Hidayat Jati, yang menjadi sumbernya adalah Sunan Ampel. Sebagaimana dalam hirarkhi ilmu
thoreqot, Sunan Ampel menempati kursi khalifah. Dari Sunan Ampel ilmu itu diajarkan pada para wali lainnya. Para wali kemudian mengajarkan pada murid-muridnya. Posisi para wali itu sebagai mursyid atau guru petunjuk suatu posisi satu tingkat dibawah khalifah. Namun dihadapan orang awam kurun sekarang ini, para
walisanga itu dalam ilmu thareqot menempati posisi sebagai khalifah.
Panembahan Djoeminah memperoleh ajaran ilmu wirid hidayat jati itu dari Ki Juru Mertani putera Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Sueb atau Pangeran Wali putera Sunan Giri Kedhaton ( Sunan Giri ll ) atau Sunan Kidul putera Sunan Girinoto I atau Raden Paku atau Ainul Yakin putera Maulana lshak ( Baca : Babad Demak, Atmodarminto, R ).
Sedangkan ayah Nyai Ageng Saba adalah Kyai Ngabdurrahman atau Ki Ageng Selo putera Ki Getas Pendowo. Disebut dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa tulisan Drs. H. Wiji Saksono diterangkan bahwa istri dari Ki Getas Pendowo adalah puteri Syeh Mojogung atau Syeh Mojoagung atau Syeh Alim Abu Huraerah atau Syeh Ali Mukhid. Dengan demikian, dalam diri Ki Juru 51
Mertani terdapat jiwa atau ruh auliya. Hal ini dapat diperhatikan pada silsilah nasabnya baik dari garis ayah maupun garis ibunya. Ki Juru Mertani memperoleh ilmu wirid hidayat jati itu dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang mendapatkan dari Sunan Bonang, dan Sunan Bonang mendapatkan dari Sunan Ampel. Dengan demikian ilmu itu memiliki rantai atau silsilah yang tidak putus. Peninggalan Panembahan Djoeminah cukup banyak yang bisa dinikmati oleh masarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masjid Al-Muttaqin Kaliwungu, konon merupakan peninggalan Panembahan Djoeminah. Menurut tuturan H. Farchan, penduduk Krajan kulon dan masih keturunan Kyai Asy'ari, bahwa peresmian masjid Al-Muttaqin ditandai dengan pemasangan mustaka sebagai simbul keagungan sebuah masjid yang dilakukan oleh Pangeran Puger. Bentuk mustoko masiid Al-Muttaqin semula seperti mustoko maslid Demak, dan memang Mustoko itu dibawa dari Demak (duplikat) oleh Pangeran Puger, saudara seayah Panembahan Djoeminah. Selain itu, juga ratusan hektar sawah yang membentang luas dari barat ke timur. Tanah sawah peninggalannya diwakafkan untuk bondo masjid Kaliwungu dan masjid Kendal, dan juga para penjaga masjid dan makam (Makam Protomulyo, Kuntul Nglayang dan makam Walijaka Kendal). Secara material, jumlah harta yang ditinggalkan oleh Panembahan Djoeminah tidaklah sedikit. Dan secara azaz manlaat, betapa besar manfaatnya, karena bisa menjadi biaya rawat kedua masjid yang sangat besar dan megah itu. Kini Panembahan Djoeminah telah menghadap Allah rabbul izzali. Semoga amal sholehnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala sebagai buah pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dan kesalahan selama hidupnya semoga diampuni oleh NYA. Robbana ighfirlana wa li-ikhwanina alladzina sabaquuna bil iman Ya Allah ampunilah saya dan ampunilah saudara-saudara saya, yaitu saudara-saudara saya yang terdahulu dengan keteguhan iman. Wallahu A'lam bish-shawab.
TAMAT Bersambung Seri 04 RADEN TUMENGGUNG BAHUREKSO Bupati Kendal Peftama, Gubernur Pesisir Pulau Jawa Utara, dan Panglima Angkatan Perang 52
DAFTAR PUSTAKA
1. 2.
Al-Qur'an dan Teriemahannya, Departemen Agama, 1 989. Abdullah Salim Zarkasi, H, Dr, MA, Walisanga, Siti Jenar dan Ki Ageng Pandan Aran, Unissula Pers, 2002. Semangat Sultan Agung Dalam memaknai budaya dan nilai-nilai lslam, Makalah diskusi, Unissula, 2002. Amen Budiman, Artikel, Berkat pangeran Benowo lahirlah Kendal, Bhatara Katong Pendiri Kaliwungu. Para Bupati Kaliwungu dari Trah Hadimenggolo. Dari Tetesan darah Kaliwungu lahir raia-raja di Surakarta. Amen Budimon, Babad Diponegoro, Tanjungsari, 1 980. Orang-orang Islam Tionghoa di lndonesia, ibid. Walisanga, Tanjungsari, 1 980. Asroi Thohir, Drs, H, dkk, Al-Muttaqin Potret Kota Kaliwungu, 1988. Ahmad Hamam Rochani, Babad Tanah Kendal, lntermedia Paramadina, 2003.
-
3.
4.
5.
6.
53
Sunan Katong dan Pakuwojo, lntermedia, 2009 Wali Gembyang dan Wali Jaka, lntermedia, 2003
7. Asri Bintoro, Seri Kejawen 20A2, Aggra Institut, 2002. Atmodarminto, Radeo, Babad Demak, Mellinium Publisher, 2000. 9. Bisri Musthofa, KH, Tarikhul Auliya, Menara Kudus, 19S7. Apa dan siapa, Ahlussunnah wal Jamaah, Ya Mualim, 1967. 10. Brotodiningrat, BRA, Danang Sutowijaya, Stensilan, 1 989. 11 . Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Babad Mangir, Depdikbud, 1980. Babad Mentawis, Depdikbud, 1979. 12. Baidlowi Syamsuri, Walisongo, Apollo, 1995. 13. Danuhadiningrat, Panembahan Senopati, Catatan, 2000. 14. Hermanus Johanes De Graaf, Dr, Puncak Kejayaan Mataram, Grafiti Pers, 1985. Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti
L
illtg"-
Terbunuhnya Kapten Tack, Grafiti Pers, 1989, Runtuhnya lstana Mataram, Grafiti Pers, 1989. Disintregasi Mataram, Grafiti Pers, 1989. Awal Kebangkitan Mataram, Grafiti Pers, 1985.
15. Hanafi, MA,
H,
Theologi lslam, Bulan Bintang, 1979. 16. Hamka, Prof, Dr, H, lslam dan Kebatinan di lndonesia, Bulan Bintang. 17. lbnu Masud, dkk, Brousur Syawalan, Panitia Syawalan , 1977. Kaliwungu Tempo doeloe, dua jilid, 54
18. lbrahim Said, KH,
Periuangan Sunan Ampel, Menara Kudus, 1967. 19.
lan Musthofa, Syeh Siti Jenar menantang Maut, Indah Jaya, 1
985.
20. Masud Thoyib, Pangeran Djoeminah, Studio 80, TMII, Jkt, 1987. Sunan Katong dan Pakuwaja, Studio 80, TMll, 987. Mindra, 1
21
.
F,
Melacak Penyebuan Sultan Agung, Suara Karya. 22. Mulyono Sastronaryatmo, Babad Nitik Ngayogya, De@ikbud, 1981 . Babad Tembayat, Depdikbud, 1986. 23. Muslih bin Abdurrahman, KH Tuntunan Thareqot, Menara Kudus, 1976. Annurul Burhani fi Manaqib Syeh Abdul Qodir Jaelani, ibid. 24. Ngadijo, Panembahan Senopati, Aneka llmu, 1986. 25. Pemda Kendal, Aspek Budaya di Kabupaten Kendal. Mengenal Kabupaten Kendal. 26. Panji Prawiroyuda, Raden, Babad Majapahit dan Babad Para Wali, Depdikbud, 1988. 27. Ronggowarsito, Raden, Ngabehi, Wirid Hidayat Jati, Dah ara Prize, 1 997. 28. Rasyidi, Prof, Dr; H, lslam dan Kebatinan, Bulan Bintang. 29. Riptosuwarno, Ny, Babad Alit, Depdikbud, 1981 . 30. Sajimin Kusumadirio, Babad Pajang, Sadu Budi, Stensilan, 1983.
------
55
31
. Sudibyo Z
32. 33.
34. 35. 36.
37. 38"
39.
Hadisutjipto,
Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka. Perang Betawi, Buana Minggu. Suwito Santoso, Dr, Babad Tanah Jawi, Klaten, 1991 . Suroyo, Babad Tanah Jawi, Depdikbud, 1981 Sunarko H. Puspito, Babad Sultan Agung, Depdikbud, 1980. Suradipura, Raden Ngabehi, Serat Tembung Andapura, Dahara Prize, 1990 Umar Hasyim, H, Sunan Giri, Men ara Kudus, 1979. Sunan kalijaga, Menara Kudus, 1979. Wiryop!'anitro, Babad Thnah Jawi, Dahara prize, 1991 . Wiji Saksono, Drs, H. Mengislamkan Thnah Jawi, Mizan, 1995. Williem Kremlin, Dr, Perang China dan Ru ntuhnya Negara Jawa,
-fr.O"'r-r**
40. Wignyo Wiryono, Raden Ngabehi, Babad pagedogan, Dahara Prize, 1990
56
Ahmad Hamam Rochani, lahir-di Kendal,
3
Maret 1959. Putera kedua dari tiga bersaudara
dari pasangan H. Abdullah dengan Hj. Siti Shofiyah. Pendidikan SD/SMP diselesaikan pada tahun L973 di Mangkang Kulon, Semarang (tahun 1973 masih masuk Kabupaten Kendal). Poncol, Popongan SLTA diselesaikan Kabupaten Semarang (I976). Melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang dan Fakultas Da'wah Institut Agama Islam Walisembilan Semarang (IlWS-sekarang STIA WS). Aktif di jurnalistik mulai tahun 1990 di Majalah Beringin Nusantara, Jakarta, dengan tulisan aftikel (kenangan) peftamanya berjudul"Irak Suka Berperang". Setelah itu di Majalah Kriminalitas dan Pencegahan. Pernah di Koran Bidik Pos, Surakafta, dan sebentar di Koran Dialog, Jakafta. Bersama beberapa teman mendirikan Yayasan Lilin Mas Perkasa, sebagai Sekretaris dan dariyayasan itu lahir Mingguan Umum Siasat Pos, dengan jabatan Pemimpin Redaksi. Saat ini berkiprah bersama Yayasan Intermedia Paramadina, sebagai Ketua, dan yayasan ini yang melahirkan Surat Kabar Umum DEKRIT, dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi. Setelah itu mendirikan CV. Prima Media Mandiri yang bergerak di bidang penerbitan dan percetakan. Berkiprah di dunia pers, memilih dan menjadi anggota organisasi Persatuan Waftawan Indonesia (PWD. Pernikahannya dengan Ny. Rahayuningsih dianugerahi empat orang ana( yakni Lu'lu'atul Qudsiyana Abdullah (semester tujuh,Eakulta5 Ekonomi Akuntansi Universitas Wahid Hasyim Semarangfi -Kamal
di
Bahtiyar Achda (anggota TNI AD), Noor Hijri Fita ffimawati tiga Fakultas Ilmu Keperawatan, UniVersitas Muhammadiyah Semarang, dan Qorri Ariesna Shofiyana'fibdullah (kelas tiga SLTP Negeri 02 Kendal).
(semester