Forest Peoples Programme 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ, UK tel: +44 (0)1608 652893 fax: +44 (0)1608 652878
[email protected] www.forestpeoples.org
Kunjungan Lapangan ke Masyarakat Riding, Sungai Rasau dan Jadi Mulya, OKI, Sumatra Selatan, Juli 2013 oleh Patrick Anderson Peserta: Patrick Anderson dari Forest Peoples Progamme, Aidil Fitri dan Sigid Widagdo dari Wahana Bumi Hijau - WBH. Tujuan: Untuk bertemu dengan masyarakat yang terkena dampak perkebunan pulpwood dan rencana pembangunan pabrik oleh Sinar Mas dan perusahaan-perusahaan afiliasinya di Kabupaten OKI, Sumatra Selatan, untuk membahas dampak-dampak yang mereka alami dari perkebunan yang ada, untuk mencari tahu apakah mereka mengetahu Kebijakan Konservasi Hutan Asia Pulp and Paper (APP), dan untuk mempertimbangkan bantuan seperti apa yang mereka mungkin butuhkan untuk terlibat dengan APP dan perusahaan-perusahaan afiliasinya, yaitu BMH dan BAP. Rangkuman Temuan-Temuan Kunjungan Lapangan Masyarakat yang dikunjungi telah kehilangan akses ke tanah dan sumber daya alam dikarenakan perkebunan HTI oleh perusahaan afiliasi APP yang dibangun lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Hal ini telah menimbulkan hilangnya sebagian besar mata pencaharian setempat, yaitu penangkapan ikan, pengumpulan hasil hutan dan penanaman padi tradisional (Sonor).1 Anggota masyarakat yang berusaha mengakses sumbersumber daya adat mereka telah diintimidasi, ditangkap dan dipidanakan. Masyarakat telah melakukan protes terhadap hilangnya mata pencaharian mereka ini, baik di lokasi maupun di ibukota kabupaten dan provinsi. Mereka telah menulis surat, mengirimkan petisi ke pemerintah dan berupaya terlibat dengan perusahaan HTI. Belum ada satu pun pengaduan masyarakat yang telah diselesaikan. Menurut beberapa anggota masyarakat yang kami temui, nyaris tidak ada niat baik dari perusahaan HTI terhadap masyarakat yang terkena dampak. Meskipun demikian, baru-baru ini PT BMH dan para pemimpin masyarakat Riding telah sepakat untuk mencoba menyelesaikan konflik mereka lewat mediasi. Sebuah kesepakatan antara pihak perusahaan dan pimpinan masyarakat Riding untuk tujuan ini telah ditandatangani pada bulan Juli 2013.
1
Sonor adalah metode penanaman padi tradisional di kawasan rawa dan gambut, di mana para petani menanam padi di musim kemarau saat permukaan air rendah. (http://www.beritanda.com/gaya-hidup/berita-gaya-hidup/budaya/2237-padi-sonor-padi-yang-tumbuh-dari-pembakaran-lahan.html)
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 1
Metodologi Informasi yang terdapat dalam laporan ini dikumpulkan lewat wawancara, pengamatan dan diskusi kelompok kecil (sekitar 12 orang) dengan masyarakat setempat di Desa Riding dan Dusun Sungai Rasau, Kecamatan Pangkalan Lampam, dan di Dusun Jadi Mulya di Kecamatan Air Sugihan. Tim peneliti mengunjungi Desa Riding dan Dusun Sungai Rasau karena masyarakat di sana memiliki sejarah panjang konflik dengan BMH, yang merupakanperusahaan perkebunan afiliasi APP. Kami mengunjungi Dusun Jadi Mulya karena dusun ini adalah yang terdekat dengan lokasi rencana pembangunan pabrik baru APP. Setelah kunjungan lapangan tersebut, kami diberitahu bahwa APP kini berencana untuk membangun parik dan pelabuhan di lokasi berbeda. Latar Belakang FPP dan WBH telah bertemu dengan APP dan para konsultannya di sejumlah kesempatan di tahun 2012 dan 2013 untuk membicarakan penyusunan dan penerapan Kebijakan Konservasi Hutan (FCP – Forest Conservation Policy) APP. FPP dan WBH memutuskan bahwa amatlah berguna jika mengunjungi masyarakat yang terkena dampak operasi APP dan afiliasinya di Sumatra Selatan, dan memberitahu APP tentang niat kami sebelum kunjungan lapangan dilakukan. Temuan-temuan awal dari kunjungan lapangan kami ini telah disajikan kepada APP dan para konsultannya pada tanggal 1 Agustus di Jakarta. Kabupaten Ogan Komering Ilir, atau disingkat OKI, mencakup daerah seluas 1,9 juta hektar, di wilayah timur Provinsi Sumatra Selatan. Daerah ini merupakan daerah tepian sungai dan memiliki banyak sungai, danau, lahan basah dan rawa. Jumlah penduduk saat ini sudah mendekati 1 juta orang dan ibukota kabupaten ini bernama Kayu Agung. OKI memiliki 18 kecamatan dan sekitar 300 desa dan kota. Penduduk OKI saat ini terdiri dari masyarakat asli dari suku Melayu dan sejumlah besar pendatang dari Jawa dan tempat lainnya di Sumatra. Sistem pemerintahan tradisional didasarkan atas Marga atau klan. Tiap Marga terdiri dari lima sampai sepuluh sub-marga. Di tahun 1980-an, setelah pemberlakuan UU Tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan berbasis Marga ini digantikan oleh pemerintahan kabupaten dan pemerintahan desa. Sinar Mas dan afiliasinya memiliki perkebunan di seluruh kabupaten ini.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 2
Peta daerah konsesi anak-anak perusahaan APP di Kabupaten OKI, Sumatra Selatan.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 3
Pertemuan dengan perwakilan Desa Riding, Sumatra Selatan, 22 Juli Desa Riding adalah desa asli yang berkembang di tahun 1970-an dengan pembentukan enam dusun di sekitarnya, yaitu dusun Lebung Gajah/ Pangkal Jerambah, Sungai Setanjung, Lebak Simpanan, Penyabungan, Rengas Abang dan Sungai Rasau. Masyarakat Desa Riding pada awalnya terdiri dari masyarakat Melayu. Karena perkawinan antar suku dan kedatangan para pendatang, suku Melayu kini menjadi minoritas namun hubungan asli mereka dengan tanah dan budaya pengelolaan tanah masih dihormati oleh masyarakat luas. Sumber penghidupan utama di Desa Riding adalah mencari ikan di sungai dan di danau. Meskipun lembaga, aturan dan upacara-upacara adat semakin melemah, keputusan terkait masalah tanah, air dan pernikahan masih membutuhkan keterlibatan pemuka adat dan ketaatan pada praktik-praktik adat. Misalnya, jika seseorang hendak membuka kebun baru, proses pembukaan lahan dilakukan bersama-sama para tetangga dan daerah yang diizinkan dibuka ditentukan berdasarkan aturan-aturan adat. Masyarakat sebagai keseluruhan menyadari dan menghormati wilayah adat/ulayat masyarakat. Ketika anggota masyarakat Desa Riding membentuk enam dusun baru di tahun 1970-an, dusun-dusun baru ini menempati daerah dalam wilayah adat/ulayat masyarakat Riding. Dua puluh tahun yang lalu, seluruh keluarga menyambung hidup dari mata pencaharian yang mencakup penangkapan ikan. Dewasa ini, hanya sepuluh persen keluarga yang masih melakukan penangkapan ikan akibat perubahan pemanfaatan lahan, terutama akibat perusahaan perkebunan pulp dan kertas. “Perusahaan perkebunan pulpwood, Sebangun Bumi Andalas – SBA – pertama kali tiba di daerah kami tahun 1996. Pertama kali kami ketahui tentang perusahaan ini adalah ketika mereka mulai membuka hutan dan mengeringkan rawa-rawa. Tak ada satu pun orang dari perusahaan yang datang ke desa kami menjelaskan apa yang tengah mereka lakukan. Sekitar tahun 2004, perusahaan pulpwood lainnya, PT.Bumi Mekar Hijau – BMH – mulai beroperasi di sini, dan mereka juga mulai membuka lahan dan melakukan penanaman tanpa memberitahu kami sebelumnya. Masyarakat kami khawatir mata pencaharian kami akan terkena dampak namun tidak ada kontribusi dari pihak perusahaan kepada kami. Jadi, masyarakat kami melakukan protes terhadap perusahaan dengan mengirimkan surat, bertemu dengan staf perusahaan di lapangan dan melakukan demonstrasi yang masif dari tahun 2005 sampai 2007. Akibat protes kami, sekitar 10.000 hektar lahan kami belum diubah menjadi perkebunan pulpwood. Meskipun demikian, daerah lain yang merupakan tanah adat kami telah diambil alih, dibuka, dikeringkan dan ditanami dengan pohon akasia. Belum ada pengakuan dari perusahaan bahwa yang mereka buka adalah tanah masyarakat dan juga tidak ada kompensasi apa pun yang mereka berikan. Tahun 2006, setelah serangkaian demonstrasi yang masif dan pertemuan yang difasilitasi oleh pemerintah setempat, antara masyarakat Riding dan pihak perusahaan, PT BMH menandatangani sebuah perjanjian. Surat perjanjian tersebut ditandatangani oleh perwakilan masyarakat, termasuk kepala desa dan pihak perusahaan, yang diwakili oleh Bapak Sambudsir, kepala Humas perusahaan. Dalam perjanjian ini dinyatakan bahwa pihak perusahaan sepakat untuk mengizinkan masyarakat memanfaatkan 10.000 hektar tanah untuk perkebunan karet masyarakat. Namun, masyarakat tidak pernah menerima surat perjanjian yang resmi karena surat perjanjian tersebut dibawa ke kantor perusahaan untuk ditandatangani oleh direktur dan tidak pernah dikembalikan kepada masyarakat. Pihak perusahaan telah menawarkan lapangan pekerjaan di perkebunan dan bantuan kepada kami untuk menanam akasia. Namun, saat kami melihat penawaran tersebut, kami hanya akan menerima Rp5.000 (US$0,50) per ton kayu yang dihasilkan, dengan pembayaran diberikan hanya setelah pohon akasia dipanen, setelah enam tahun.”
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 4
“Kami hanya tahu bahwa pihak perusahaan yang beroperasi di sini telah merubah kebijakan mereka karena WBH telah memberitahukannya kepada kami. Kami belum pernah menerima komunikasi resmi dari perusahaan. Tak satu pun staf perusahaan datang kepada kami untuk menjelaskan kebijakan konservasi hutan mereka yang baru. Dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya ketika kami meminta pejabat perusahaan untuk datang menemui kami di desa, mereka menolak permintaan kami dan mengatakan bahwa mereka merasa tidak aman. Sebaliknya, kami yang diminta pergi ke Palembang, namun kami merasa tidak nyaman menerima uang dari perusahaan untuk membiayai perjalanan tersebut.” (Dewasa ini, perjalanan dari Riding ke Palembang ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Transportasi umum yang beroperasi secara tetap tidak ada.) Pertemuan dengan anggota masyarakat Dusun Sungai Rasau, 23 Juli “Kami mendengar dari teman-teman dan para NGO tentang komitmen baru dari Sinar Mas dan perusahaan perkebunannya, namun kami belum menerima informasi langsung dari pihak perusahaan. Staf Humas perusahaan bahkan dalam tahun ini belum pernah datang ke sini. Kakek dan paman saya pindah ke sini tahun 1973 dari Desa Riding. Mereka adalah orang-orang pertama yang pindah ke sini dan membangun rumah. Mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan seperti Jelutung. Orang lainnya lalu mengikuti, dari Desa Riding dan dari tempat lainnya, termasuk nelayan dan petani dari berbagai daerah di Sumatra dan dari Jawa. Kini dusun kami meliputi 175 keluarga, di mana 25 di antaranya adalah keluarga Melayu yang memiliki sanak saudara di Riding. Di akhir tahun 1970-an, perusahaan penebangan datang ke sini membawa uang tunai, mencari kayu. Masyarakat kemudian jadi terlibat dalam penebangan dan transportasi kayunya: meranti, ramin, dan banyak jenis lainnya. Perusahaan penebangan tersebut adalah Sribunian Trading Company [yang tidak terafiliasi dengan Sinar Mas]. Setelah hutan di sekitar sini habis ditebangi, tumbuh pohon Gelam (dari jenis Melaleuca), dan merupakan jenis kayu utama yang dibalak dewasa ini, sebagai kayu gelondongan kecil. Umumnya digunakan untuk membuat pagar, rumah dan fondasi, karena kayu ini tidak cepat lapuk ketika dipancangkan ke dalam tanah. Masyarakat kami dulunya biasa melintasi Sungai Rasau namun sekitar tahun 1987 pemerintah menyatakan daerah tersebut sebagai hutan lindung dan suaka margasatwa, dan sekitar 70 keluarga digusur. Tahun 2006, perusahaan HTI, PT. Bumi Andalas Permai (PT BAP), mulai memancangkan tapal batas tanpa memberitahu kami. Kami mengadakan demonstrasi untuk memprotes tindakannya, karena tanah yang mereka ambil alih tersebut telah berpuluh-puluh tahun kami gunakan untuk menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan. Kami juga mengadakan demonstrasi ketika perusahaan mulai membuka hutan tersebut. Kami mengadakan 2 demonstrasi di ibukota kabupaten, Kayu Agung, dan 2 demo lainnya di lokasi kerja, ketika hutan kami tengah dibuka. Kami juga pergi ke Palembang dan mengadakan dua demonstrasi di sana. Sebagian besar dari para demonstran berasal dari Desa Riding, karena Dusun Sungai Rasau jauh lebih terisolasi. Karena masalah biaya, hanya sedikit orang dari Sungai Rasau yang mampu mengikuti demonstrasi.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 5
Tanah kami semakin menyempit dan menyempit, akibat operasi kebun HTI dan kelapa sawit, namun tidak ada kompensasi sampai saat ini dan tidak ada upaya dari perusahaan untuk menanggapi tuntutan-tuntutan kami. Sejak kedatangan HTI, kami telah dilarang menggunakan api untuk membuka lahan kami. Kami dulu biasa melakukannya sebelum menanam padi, lima atau bahkan sepuluh hektar tiap kalinya. Ketika perusahaan berkata kami tidak lagi diizinkan membakar rumput, mereka memberi kami herbisida untuk membuka lahan. Namun, sejak tahun pertama larangan membakar diberlakukan, mereka tidak pernah memberi kami cukup herbisida untuk membuka lahan, mereka hanya memberi sebagian dari yang kami butuhkan untuk membuang rumput sebelum menanam padi. Sejak PT BAP datang di tahun 2006, kami hanya diberi janji-janji saja, tidak lebih. Kami dilarang memasuki kawasan HTI. Jika kami mencoba masuk untuk menangkap ikan, seperti yang dulu biasa kami lakukan, kami ditangkap dan ditahan oleh petugas keamanan mereka. Beberapa tahun yang lalu, enam laki-laki dari Desa Riding dan Dusun Rangas Abang dipenjara selama enam bulan, karena menyalakan api di dekat konsesi HTI. Mereka sebelumnya menebang pohon dan memotong kayunya menjadi kayu gelondongan di dekat konsesi HTI, di daerah yang menjadi tanah adat kami namun yang sekarang menurut perusahaan adalah daerah konservasinya. Perusahaan menahan mereka dan menuduh mereka berupaya membakar hutan. Di dalam HTI, setiap 250 sampai 500 meter, tanahnya dikeringkan, dan kanal-kanal selebar 6 meter dibuat. Kanal-kanal ini ditutup selama musim kemarau namun dibuka saat musim hujan, dan membuat tanah-tanah kami terendam karenanya. Air yang datang dari HTI telah mempengaruhi aliran sungai dan danau-danau kami, karena kami tinggal di daerah hilir. Kualitas air kami terkena dampak buruk operasi SBA, yang mencakup ekskavasi, pengeringan lahan gambut, pembangunan jalan, pembukaan lahan dan penanaman. Air di sini kini terasa asam, dan jumlah ikan berkurang dengan drastis, saya perkirakan berkurang sebesar 80 persen, dibandingkan sebelum HTI beroperasi. Di sini kami berada 90 kilometer dari Pangkalan Lampam, ibukota kecamatan, di mana 65 km di antaranya merupakan jalan tanah. Bepergian ke ibukota untuk menemui kalangan pemerintah amat sulit, membutuhkan banyak waktu dan biaya. [ketika tim peneliti mengunjungi Dusun Sungai Rasau, kami tahu lewat sms bahwa lembaga konsultasi, Ekologika, akan mengadakan sebuah konsultasi publik di Pangkalan Lampa keesokan harinya. Tak satu pun masyarakat di Dusun Sungai Rasau diundang, namun, meskipun mereka diundang, dengan pemberitahuan yang terlambat itu, mereka tidak akan sempat mengikuti konsultasi tersebut karena dengan berangkat pagi-pagi pun, mereka baru bisa tiba di Pangkalan Lampang di sore hari, di akhir acara konsultasi. Biaya transportasi satu orang untuk mencapai ibukota kecamatan dari Sungai Rasau, dengan ojek motor, bis dan perahu, mencapai beberapa ratus ribu rupiah.]. Ada satu sekolah dasar di dusun kami dengan jumlah murid sebanyak 70 orang, dan dua orang guru. Sejak tahun 2012, para guru tersebut digaji oleh PT BAP. Departemen Sosial telah membangun rumah untuk kami di tahun 2007, namun tidak cukup untuk setiap keluarga – dari 80 rumah yang telah dibangun, hanya 65 yang ditempati. Rumah-rumah tersebut kecil sekali, hanya berukuran 3 x 4 meter.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 6
Tahun 2011, perusahaan kelapa sawit PT Persada Sawit Mas (PSM) datang ke sini. Perusahaan ini mengambil alih 6.000 hektar tanah kami. Karena kami tidak memiliki sertifikat tanah, mudah saja bagi perusahaan untuk mengabaikan kami. Kami dijanjikan 0,5 hektar kebun kelapa sawit per keluarga. Kami meminta 1 hektar per keluarga namun diberitahu bahwa tanahnya tidak cukup. Tahun 2009 ada pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) datang dan menawarkan bantuan agar kami bisa mendapatkan sertifikat untuk tanah seluas 2 hektar per keluarga. Kami diminta membayar Rp150.000 per keluarga untuk memulai proses tersebut, karena uang tersebut akan digunakan untuk pengukuran tanah. Setelah menerima sertifikat, kami diminta membayar RP750.000 lagi. Hampir semua keluarga di dusun kami, yang berjumlah 170 keluarga, membayar sejumlah ini kepada pegawai BPN tersebut yang datang membawa janji-janji, saya masih ingat nama-nama dan jabatan mereka, namun kami tidak menerima tanda terima untuk pembayaran yang kami lakukan, hanya janji-janji semata. Kami diberitahu bahwa perlu keikutsertaan 1.000 keluarga dalam program ini agar BPN dapat melakukan pengukuran tanah dan menerbitkan sertifikat, jadi ratusan keluarga di Desa Riding juga ikut serta. Sejak saat itu, meskipun kami telah menghubungi BPN berkali-kali, tidak ada tindak lanjut dari program tersebut. Tahun 2011, kami dapati bahwa daerah yang dijanjikan untuk disertifikasi oleh BPN tersebut telah dimasukkan menjadi bagian dari konsesi perusahaan kelapa sawit Persada Sawit Mas. Konsesi tersebut mencakup tanah adat kami seluas 6.000 hektar, dari Baung sampai Biuku. Masyarakat telah meminta pengembalian sebagian tanah tersebut sebagai kebun plasma, seluas dua hektar per keluarga. Perusahaan kelapa sawit tersebut, Persada Sawit Mas, yang tidak terafiliasi dengan Sinar Mas, telah menawarkan 0,5 hektar per keluarga.” Alasan untuk mencantumkan informasi ini dalam laporan ini adalah untuk menunjukkan bahwa masyarakat yang terkena dampak operasi APP juga telah kehilangan banyak tanah untuk perusahaan lain.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 7
Peta yang menunjukkan konsesi perusahaan kelapa sawit Persada Sawit Mas (PSM), dan Dusun Sungai Rasau. Dusun tersebut adalah daerah kecil tanpa garis-garis di tengah peta, karena tanah-tanah ini bukan bagian dari konsesi perusahaan PSM. Konsesi HTI perusahaan BAP, yang merupakan afiliasi APP, berbatasan dengan wilayah timur konsesi perusahaan PSM. Konsesi HTI perusahaan BMH, yang merupakan afiliasi APP, berbatasan dengan wilayah selatan konsesi perusahaan PSM. Di antara konsesi kelapa sawit dan HTI tersebut, Dusun Sungai Rasau telah kehilangan seluruh tanahnya kecuali 200 hektar tanah adatnya yang terletak di OKI.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 8
Pertemuan dengan petani di Jadi Mulya, 24 Juli 2013. Jadi Mulya adalah pemukiman terdekat dengan lokasi awal yang direncanakan untuk pabrik pulp APP. Salah seorang petani yang kami temui di sana mengatakan bahwa ia pindah ke daerah Jadi Mulya di tahun 1970-an, dan bahwa ia merupakan anggota masyarakat Melayu Riding. Masyarakat Riding menganggap Jadi Mulya sebagai bagian dari tanah adat/ulayat mereka. Sejak ia bermukim di sini, orang lain, baik dari Riding maupun dari luar Riding, telah bergabung dengannya. Dulu mata pencaharian di daerah ini juga termasuk menangkap ikan, namun kini seluruh masyarakat di Jadi Mulya menjadi petani. Mereka tidak sepakat untuk melepas tanah mereka ke Sinar Mas. Tidak pernah ada sosialiasi di dusun ini tentang Kebijakan Konservasi Hutan Sinar Mas yang baru, begitu juga tentang komitmen perusahaan, yang hanya mereka ketahui dari para NGO. Masyarakat pun tidak mendapatkan informasi tentang rencana APP dan afiliasinya untuk membangun sebuah pabrik pulp dan pelabuhan di daerah tersebut. “Kami telah mendengar bahwa pabrik tersebut akan menyerap tenaga kerja lebih dari 5.000 orang. Sinar Mas belum pernah menanyakan tentang pendapat kami, atau berupaya mendapatkan izin kami untuk membangun pabrik tersebut.” Satu-satunya keterlibatan masyarakat dusun dengan rencana pembangunan pabrik tersebut adalah ketika salah seorang dari mereka diundang untuk menghadiri sebuah konsultasi AMDAL di pertengahan tahun 2012. Para petani memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah) dari kepala dusun yang mengakui tanah-tanah mereka ini, yang seluruhnya mencakup sekitar 600 hektar. Tanah ulayat dusun jauh lebih luas lagi.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 9
Peta proposal awal untuk pabrik pulp dan kertas APP, di Dusun Jadi Mulya. Daerah berbayang dalam peta adalah tanah petani yang memiliki SKT dari kepala dusun. [barubaru ini APP memindahkan lokasi pembangunan pabriknya ke kecamatan lain].
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 10
Rekomendasi APP harus segera bergerak untuk mensosialisasikan dan memulai pelaksanaan Kebijakan Konservasi Hutannya di OKI. Sosialisasi kebijakannya dan penjelasan akan istilah-istilah FCP, HCV, FPIC dan HCS harus diberikan di setiap dusun dan desa yang terkena dampak. Sosialisasi baru merupakan langkah pertama dalam pengakuan hak masyarakat atas FPIC. APP harus mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah rencana detil untuk menghormati hak masyarakat yang terkena dampak atas FPIC, yang didasarkan atas konsultasi dengan masing-masing masyarakat yang terkena dampak di OKI, dan persetujuan mereka atas rencana APP. Pemetaan partisipatif akan diperlukan untuk menjelaskan luasan hak kepemilikan dan pemanfaatan lahan sebelumnya oleh masyarakat yang terkena dampak. Perundingan tentang ganti rugi harus didasarkan atas penerimaan APP bahwa masyarakat memiliki hak yang sah atas tanah tersebut dan hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka. Dengan demikian, seluruh penyelesaian masalah harus dibuat lewat proses yang disepakati besama yang memungkinkan masyarakat untuk diwakili oleh lembaga yang mereka pilih sendiri. Perwakilan APP dan anak-anak perusahaannya harus ikut serta secara langsung dalam setiap perundingan, dan bukannya mengontrak pihak lain untuk mewakili mereka. Konsultasi dan perundingan dengan masyarakat haruslah, lebih baik, berlangsung di masing-masing masyarakat yang terkena dampak, dan bukannya di ibukota kabupaten atau ibukota provinsi. Ini akan memungkinkan lebih banyak anggota masyarakat terkait untuk ikut serta dan menyaksikan proses konsultasi dan perundingan, dan meningkatkan kemungkinan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang akan diambil dipahami, dihormati dan dilaksanakan oleh masyarakat secara keseluruhan. APP harus mengembangkan sebuah mekanisme yang memungkinkan masyarakat yang terkena dampak untuk mendapatkan nasihat pakar tentang isu-isu hukum, ekonomi, lingkungan dan sosial, dalam persiapan untuk dan selama perundingan yang akan dilakukan.
Samdhana / 2012 / REDD Prep Report - 11