KUMPULAN PRAKTIK YANG BAIK DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) 2015
TIM PENULIS Edy Priyono, Kwan Men Yon, Irvan Suhendra, Erman Rahman, Hari Kusdaryanto, Masmimar Mangiang
KUMPULAN PRAKTIK YANG BAIK DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP)
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
SAMBUTAN: CHIEF OF PARTY PROGRAM KINERJA-USAID
S
elamat datang di program peningkatan tata kelola pelayanan publik KINERJA-USAID. Buku ini merupakan salah satu Buku Praktik Baik Tata Kelola Pelayanan Publik yang merupakan sumbangsih program kami terhadap
pemerintah Indonesia. Buku ini berisi kumpulan praktik baik penerapan prinsip-prinsip tata kelola di bidang iklim usaha di beberapa daerah mitra Kinerja. Tata kelola merupakan aspek penting dalam peningkatan pelayanan publik karena tata kelola yang baik dapat meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat yang pada akhirnya dapat membantu pemerintah menjalankan programnya secara berkualitas dan sesuai kebutuhan masyarakat. Kami terus mendorong mitra-mitra kami untuk terus berinovasi menciptakan pelayanan yang bermutu, mengatasi segala tantangan menggunakan sumber daya yang ada. Kami juga meminta mereka untuk terus berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan daerah lain, sehingga pelayanan publik yang baik tidak hanya menjadi milik mitra Kinerja. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada organisasi mitra pelaksana, konsultan dan staff Kinerja yang telah bekerja keras mendampingi daerah mitra untuk terus berinovasi. Mereka merupakan ujung tombak kami yang akan siap membantu daerah lain, jika diperlukan. Semoga buku ini dapat menginspirasi semua pihak untuk melaksanakan tata kelola pelayanan baik, khususnya sektor perbaikan iklim usaha, demi kemajuan pelayanan publik di Indonesia.
Jakarta, Juni 2015 Elke Rapp Chief of Party Program KINERJA-USAID
II
DaftarIsi Bab 1 Konsep PTSP dan Masalah Dalam Pelaksanaan 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Pengertian dan Konsep PTSP Masalah dalam Pelaksanaan: Satu Pintu Banyak Jendela? Sekilas tentang Program KINERJA Metode Identifikasi Praktik yang Baik
Bab 2 PTSP Di Mata Pengusaha Kecil-Menengah
1 1 2 3 3
5
2.3. Manfaat Memiliki Izin
5 7 10
Bab 3 Beberapa Praktik Yang Baik
15
2.1. Motivasi Mengurus Izin 2.2. Pengalaman Mengurus Izin
3.1. Aspek Strategis 3.1.1. Memilih Orang yang Tepat untuk Memimpin PTSP 3.1.2. Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan 3.1.3. Penyederhanaan Jenis Izin 3.1.4. Izin sebagai Instrumen Pengendalian 3.1.5. Menarik Investor dari Luar Daerah 3.1.6. Forum PTSP Provinsi sebagai Ajang Belajar 3.1.7. Belajar dari “Teman Sebaya”
15 15 20 23 26 28 31 32
3.2. Aspek Teknis 3.2.1. Membentuk Tim Teknis yang Efektif 3.2.2. Menyusun SOP dan Standar Pelayanan yang Baik 3.2.3. Mengelola Sumber Daya Manusia di PTSP 3.2.4. Menjalin Hubungan Baik dan Membangun Dukungan dari Luar 3.2.5. Mendorong Masyarakat Mengurus Izin 3.2.6. Melibatkan Masyarakat dalam Pengelolaan PTSP 3.2.7. Mencari Umpan Balik dari Masyarakat 3.2.8. Pemanfaatan TIK untuk Kemudahan dan Kecepatan Pelayanan
37 37 38 41 44 47 49 52 54
Bab 4 Beberapa Catatan 4.1. Pungli dan Mutasi 4.2. Pelajaran yang Dapat Dipetik
57 57 59
III
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
BAB 1: KONSEP PTSP DAN MASALAH DALAM PELAKSANAAN
1.1. Pengertian dan Konsep PTSP Istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pertama kali muncul tahun 2006 dalam kebijakan/peraturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri itu sendiri merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kebijakan Percepatan Perbaikan Iklim Usaha. PTSP berbeda dengan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA), model yang dijalankan pemerintah sebelum dikeluarkannya Permendagri No. 24/2006 itu. Kedua-duanya bersifat “terpadu”. Masyarakat hanya perlu mendatangi satu tempat untuk mengurus berbagai izin yang mereka perlukan. Hanya saja, dalam sistem PTSA pemrosesan dokumen perizinan masih dilakukan di masing-masing instansi teknis (sesuai dengan wewenangnya), sehingga dampaknya terhadap percepatan proses pengurusan izin tidak terlalu besar. Berbeda dengan PTSA, PTSP bersifat “paripurna.” Seluruh proses pengurusan izin (pendaftaran, pemrosesan dan penerbitan) dilakukan di instansi penyelenggara PTSP. Oleh karena itu, adanya pelimpahan wewenang pelayanan perizinan dari instansi teknis kepada instansi penyelenggara PTSP merupakan salah satu syarat pokok bagi efektivitas PTSP. Sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi, PTSP dikembangkan untuk memperbaiki birokrasi perizinan, khususnya di daerah, agar menjadi lebih mudah, lebih murah, lebih cepat, lebih transparan dan lebih akuntabel. Keberhasilan PTSP tidak dapat hanya diukur dari jumlah daerah yang telah membentuk dan menyelenggarakan PTSP, tetapi, lebih dari itu, juga perlu diliat apakah PTSP berhasil mewujudkan tujuan tersebut Meski sama-sama mengandung kata “terpadu,” PTSP berbeda dengan PTSA. Dalam PTSA pemrosesan izin dilakukan di SKPD masing-masing (sesuai kewenangan pengelolaan izin), sedangkan dalam PTSP pemrosesan izin dilakukan di PTSP. Koordinasi dengan SKPD Teknis (untuk izin-izin yang memerlukan rekomendasi teknis) dilakukan melalui Tim Teknis. Tim Teknis itu sendiri terdiri dari utusan dari SKPD yang relevan, tetapi bekerja di bawah koordinasi Kepala PTSP. Oleh karena itu, PTSP yang efektif memerlukan dua hal kunci, yaitu: (1) Pendelegasian kewenangan pelayanan perizinan oleh kepala daerah kepada PTSP dan (2) Tim Teknis yang bekerja dan berfungsi sebagaimana mestinya.
1
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
PTSP sendiri lahir karena keprihatinan akan iklim usaha di Indonesia, khususnya hambatan pengurusan izin usaha. Dari sudut pandang yang lain, PTSP dapat dilihat sebagai bagian dari reformasi birokrasi perizinan. Tujuan reformasi birokrasi perizinan itu sendiri adalah adalah mewujudkan pengurusan izin yang murah, mudah, cepat dan transparan tanpa kehilangan fungsi izin sebagai instrumen pengendalian. Oleh karena itu, keberhasilan PTSP harus dilihat dan diukur dari kemampuannya mewujudkan tujuan reformasi birokrasi perizinan tersebut.
1.2. Masalah dalam Pelaksanaan: Satu Pintu Banyak Jendela? Pada dasarnya PTSP di daerah dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe menurut tingkat perkembangan tersebut, yaitu: 1. PTSP Efektif -- Kelompok ini merupakan PTSP yang benar-benar diselenggarakan dengan prinsip “satu pintu” dan memiliki wewenang menerbitkan banyak jenis izin, khususnya izin yang sangat diperlukan dunia usaha. 2. PTSP Kantor Pos -- Kelompok ini adalah PTSP yang melayani banyak jenis izin, tetapi tidak memiliki wewenang menerbitkan izin. Pemrosesan izin masih dilakukan di instansi teknis, atau dengan kata lain sistem pelayanannya masih bersifat “satu atap”, meskipun mungkin nama instansinya “satu pintu”. 3. PTSP Kecil -- PTSP yang masuk kategori ini adalah PTSP yang sudah bekerja dengan sistem “satu pintu”, tetapi hanya memiliki wewenang penerbitan izin dengan jumlah yang sangat terbatas. 4. PTSP Asal Ada -- Kelompok ini merupakan PTSP yang secara formal sudah didirikan (sudah diterbitkan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah untuk pembentukannya), tetapi belum dapat beroperasi karena satu dan lain hal. Adanya perbedaan perkembangan antara satu daerah dengan daerah lain ini menyebabkan manfaat PTSP yang dirasakan masyarakat juga berbeda-beda. Secara hipotetis, masyarakat di daerah yang PTSP-nya sudah berjalan efektif akan merasakan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah yang PTSP-nya belum sampai ke tahap itu. Indikasi di lapangan menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang--salah satu aspek paling krusial dalam pembentukan PTSP--dari instansi teknis kepada PTSP merupakan tantangan terberat yang dihadapi daerah. Di atas kertas, hal itu tidak sulit dilakukan, karena sesungguhnya yang memiliki wewenang adalah kepala daerah, instansi teknis sekadar membantu atau bekerja atas nama kepala daerah. Akan tetapi, dalam praktek, proses itu tidak selalu mudah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, khususnya hubungan antara kepala daerah dengan instansi teknis (yang notabene merupakan bawahannya). Akibatnya, di beberapa daerah terjadi dualisme. Masyarakat bisa datang ke PTSP untuk mengurus izin, tetapi instansi teknis juga masih dapat melayani jika ada permohonan dari masyarakat. Banyak yang menyebut, situasi itu seperti “satu pintu, banyak jendela.”
2
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Dengan latar belakang situasi seperti itu, pertanyaan kritis yang muncul tidak hanya tentang manfaat keberadaan PTSP, tetapi juga pada aspek yang lebih luas dari itu, yaitu manfaat pengurusan izin bagi perkembangan usaha. Masih menjadi pertanyaan, apakah manfaat pengurusan izin usaha terbatas hanya pada berkurangnya hambatan untuk memulai dan/atau menjalankan usaha, ataukah manfaat itu sampai pada terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya.
1.3. Sekilas tentang Program KINERJA KINERJA merupakan program yang bertujuan meningkatkan tata kelola dalam penyediaan layanan publik di Indonesia. Dalam rangka mencapai perubahan dalam penyediaan layanan publik yang berkelanjutan, kerja sama dengan pemerintah daerah dibutuhkan untuk membuat penyediaan layanan publik lebih responsif seraya tetap meningkatkan kapasitas masyarakat sipil dan masyarakat untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari pemerintah. KINERJA bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengatasi kesenjangan penyediaan pelayanan di daerah. Dengan insentif yang lebih baik, inovasi yang lebih luas serta bentuk replikasi yang lebih banyak, pemerintah daerah di Indonesia diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih murah dan lebih baik dan/atau lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan di daerah. Ada empat sektor utama yang ditangani oleh KINERJA, yaitu iklim usaha yang baik, pendidikan, kesehatan dan tata kelola yang baik. Buku ini merupakan salah satu dokumentasi hasil pendampingan KINERJA untuk sektor Iklim Usaha yang Baik (Business Enabling Environment). Perbaikan iklim usaha melalui perizinan usaha yang lebih baik dilakukan agar usaha mikro, kecil dan menengah dapat berkembang merupakan salah satu prioritas pemerintah pusat dan menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh daerah melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
1.4. Metode Identifikasi Praktik yang Baik Ada dua bagian utama buku ini, yaitu perizinan di mata pengusaha dan praktik yang baik dalam hal penyelenggaraan PTSP. Dua bagian utama itu disusun berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam dua kesempatan yang berbeda (tidak bersamaan). Persepsi pengusaha terhadap perizinan (termasuk penilaian terhadap PTSP) digali dari sebuah survei yang dilakukan terhadap pengusaha di Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kabupaten Lamongan (Jawa Timur) dan Kota Yogyakarta (DI Yogyakarta).
3
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Sementara itu, pengumpulan informasi tentang praktik yang baik dalam penyelenggaraan PTSP dimulai dengan penetapan daerah atau lokasi yang dianggap mempunyai PTSP yang bekerja relatif baik. The Asia Foundation menetapkan empat kabupaten yang semuanya merupakan daerah yang mendapatkan bantuan teknis dari program KINERJA, yaitu Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan), Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat) dan Kabupaten Aceh Selatan (Aceh). Peneliti kemudian dikirim ke lokasi tersebut untuk menggali informasi tentang praktik baik apa saja yang dianggap dapat menjadi contoh atau inspirasi bagi daerah lain. Selain bertemu dan berdiskusi dengan pengelola PTSP, peneliti juga menggali informasi dari kalangan pengusaha dan LSM lokal yang menjadi mitra KINERJA dalam implementasi program. Di samping informasi di tingkat kabupaten, peneliti juga mengumpulkan informasi tentang Forum PTSP di tingkat provinsi. Dengan demikian, ada empat Forum PTSP yang menjadi sumber informasi, yaitu forum di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Aceh.
4
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
BAB 2: PTSP DI MATA PENGUSAHA KECIL-MENENGAH
2.1. Motivasi Mengurus Izin Ada berbagai faktor pendorong yang membuat pengusaha merasa perlu mengurus dan mendapatkan izin usaha. Ada pengusaha yang melihat izin sebagai keharusan belaka, karena diwajibkan oleh negara dan tidak ingin mendapat kesulitan manakala di suatu saat ada pemeriksaan oleh aparat pemerintah. Penelitian ini juga menemukan adanya kesadaran pengusaha bahwa jika hendak mengembangkan usaha, izin adalah syarat yang harus dipenuhi. Berbagai urusan yang harus ditempuh ketika hendak mengembangkan usaha mengharuskan adanya izin tersebut, baik untuk keperluan permohonan pinjaman dana dari bank, maupun untuk mendapatkan dan mengembangkan pasar. Mematuhi Peraturan, Agar “Aman” Kiang Kioe, pemilik toko batik “Teratai Indah” di Yogyakarta adalah pengusaha yang sejak pertama kali berbisnis, melengkapi semua izin yang diperlukan. Kiang mengaku bahwa dia mengurus izin itu karena peraturan menggariskan demikian. “Setiap usaha harus memiliki izin lengkap. Karena aturannya begitu, kami turuti,” katanya. Sebetulnya, seperti yang dia akui, bagi Kiang Kioe kalau bisa, usaha apa pun tidak perlu pakai izin. Juga dari Yogyakarta, Sidik Arwadi mengemukakan pendapat yang sama dengan Kiang. Pengusaha bahan batik dan kimia ini berkata, “Sudah jadi kewajiban.” Dia sadari bahwa untuk menjalankan usaha harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan juga Surat Izin Tempat Usaha (SITU) berdasarkan Undang-undang Gangguan atau Hinderordonnantie (HO). Berbeda dengan Kiang dan Arwadi, Guntur Anapu, pedagang kelontong di Bitung, Sulawesi Utara berpendapat bahwa setiap usaha selayaknya punya izin. Menurut Guntur, dalam dunia usaha harus ada kejelasan, resmi dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah dia mengurus izin usahanya. Mengurus dan mendapatkan izin untuk mematuhi peraturan itu tampaknya juga dilakukan sebagai antisipasi, buat menghindari masalah ketika ada pemeriksaan. Pernyataan Kiang Kioe mengisyaratkan itu. “Usaha kami berlokasi di jalan utama. Takutnya didatangi petugas dan bermasalah,” kata Kiang. Sidik juga hendak menghindari kesulitan yang boleh jadi timbul kalau usahanya tanpa izin. “Saya tidak khawatir sih, tapi memang lebih baik memiliki izin, daripada bermasalah di kemudian hari,” kata Sidik.
5
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Yulia Mustika Anissawati, pengusaha souvenir, juga dari Yogyakarta, sebetulnya juga berpikir seperti Kiang dan Sidik. Dia menyadari bahwa adanya izin membuat dia merasa aman. Apalagi para pekerjanya kadang-kadang berisik atau melembur sampai tengah malam. Kalau tidak ada Izin Gangguan, Yulia takut akan ada apa-apa. Rasa aman itu pula yang diperoleh pengusaha perikanan di Bitung, Yusuf Senduk. Dia berkata, “Saya merasa aman berusaha karena legalitasnya jelas.” Bahkan pengusaha warung makan, seperti Naomi Mundung di Bitung melihat izin sebagai sekadar pemberi rasa aman, untuk mencegah timbulnya masalah. “Jika sewaktu-waktu ada yang bertanya,” katanya, “kita siap. Warga negara yang baik, sebaiknya mengikuti aturan yang ada.” Demi Pengembangan Usaha: Kredit dari Bank dan Akses Pasar Selain untuk mendapatkan rasa aman, Yulia juga mempunyai tujuan berikutnya yang membuat dia mengurus dan punya izin usaha. “Izin yang lengkap dapat saya pakai untuk mengembangkan usaha suatu saat nanti,” katanya, “Kalau izin lengkap, semuanya jelas. Jika saya ingin usaha ini berkembang, saya harus menunjukkan bahwa ini adalah bisnis yang serius.” Izin usaha memang berarti penting bagi pengembangan usaha. Peluang mendapatkan pinjaman dana dari bank akan lebih terbuka jika izin ada di tangan. Yusuf Senduk berpendapat demikian. Itu pulalah antara lain yang membuat dia merasa perlu punya izin usaha. “Kalau mau tambah modal dengan pinjaman dari bank, salah satu syaratnya adalah lengkapnya izin usaha,” katanya. Pendapat seperti itu pula yang terdengar dari Guntur Anapu. Selain untuk kejelasan dalam berusaha, Guntur mengurus izin itu karena sadar bahwa izin itu akan berguna jika dia mengajukan permintaan pinjaman ke bank. Dia ingin agar usahanya terdaftar di dinas pemerintahan, terutama di Dinas Koperasi. “Apabila dari pemerintah ada penyaluran kredit mikro bagi usaha menengah, kecil dan mikro, kita punya peluang untuk mendapatkannya,” kata Guntur. Izin juga disadari sebagai syarat untuk membuka dan mengembangkan pasar. Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan di Bitung menyadari izin sebagai jalan untuk membuka pasar. Produk kerajinannya sering diikutsertakan dalam berbagai pameran di dalam dan di luar negeri, mewakili Kota Bitung. Juga demikian dengan pengelola homestay “Family” di Yogyakarta, Renato Asteroida. “Izin berguna untuk mempermudah urusan jika suatu saat nanti ingin memperluas hotel,” kata Renato. Tetapi untuk beberapa jenis usaha tertentu, izin tidak bisa tidak harus ada (bermakna sangat pokok) untuk menjalankan usaha, mendapatkan dan memperluas pasar. Usaha percetakan adalah salah satu contohnya. Anwardin A. Mamonto, pengusaha percetakan di Bitung mengurus dan mendapatkan izin karena izin itulah yang memungkinkan usahanya berjalan dan berkembang. “Kalau saya tidak punya izin, usaha saya tidak bisa jalan,” katanya. Bisnis percetakan yang dia jalankan membuat dia kerap berhubungan dengan berbagai instansi pemerintah dan swasta untuk mendapatkan order cetak. Order hanya mungkin didapat jika dia punya izin usaha, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan rekening di bank. Karena itulah bagi Anwardin izin bersifat tidak bisa tidak dan karena itu pula dia mengurusnya.
6
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Demikian pula halnya bagi Yusuf Senduk, izin bersifat tidak bisa tidak. Untuk penangkapan ikan, dia harus punya izin kapal, berikut berbagai izin pendukung lainnya. Apalagi dia juga mengekspor ikan hasil tangkapannya. Untuk itu dia harus mendapatkan rekomendasi kelayakan mutu dari Dinas Perikanan. Rekomendasi itu hanya mungkin dia peroleh jika usaha yang dia jalankan punya izin lengkap. Kontraktor seperti Hj. Hasimawati (CV Karya Bersama) di Palembang juga dalam posisi seperti itu. Kelengkapan izin adalah prasyarat untuk menjadi peserta tender buat mengerjakan proyek pemerintah. Perusahaan kontraktor harus memiliki SIUP, TDP dan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Begitu pula dengan Dian Asih Novianty, pengusaha biro perjalanan dan pariwisata “DOM Tour dan Travel”. Bagi perusahaannya izin menjadi syarat pokok untuk dapat menjadi agen dari maskapai penerbangan dan syarat untuk dapat tergabung dalam --menjadi anggota-- The Association of The Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA). Izin sebagai syarat pokok yang sifatnya tidak dapat tidak, juga berlaku bagi Hotel Sukarami milik Antonius di Palembang. Untuk keperluan kategorisasi (kelas: bintang atau melati) hotel harus memiliki izin terlebih dulu dan kemudian mendapat rekomendasi klasifikasi hotel dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). PTSP didirikan untuk menjalankan ketentuan undang-undang sebaik-baiknya, memberikan pelayanan perizinan semudah, semurah dan secepat mungkin untuk aneka usaha. Namun dapat dimaklumi, jenis usaha yang dijalankan selalu menentukan sikap dan pandangan pengusaha dalam melihat perlu atau tidaknya izin tersebut. Pedagang seperti Kiang Kioe di Yogyakarta dan Naomi di Bitung, mengurus dan mendapatkan izin lebih banyak didorong oleh antisipasi, buat menghindari kesulitan kalau-kalau ada pemeriksaan. Bagi pengusaha kerajinan dan jasa yang sewaktu-waktu harus berhubungan dengan lembaga keuangan dan mitra kerjasama, izin adalah keperluan yang memungkinkan usahanya berjalan lancar dan berkembang.
2.2. Pengalaman Mengurus Izin Isa Trianda, pengusaha muda pemilik warung internet “Dazki Net” di Palembang bercerita bahwa saat pertama kali membuka usaha tahun 2008, dia tidak tahu kemana harus mengurus izin. Itulah sebabnya dia menggunakan jasa pegawai pemerintah kota sebagai perantara. Belakangan ketika memperbaharui izin itu Isa mengurusnya sendiri ke Kantor PTSP. Pengurusannya lebih transparan, begitu pengakuan Isa. Biaya yang dia keluarkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya ketika dia memakai jasa perantara. Untuk SIUP Rp 150 ribu, sedangkan untuk SITU sekitar Rp 250 ribu. Pengusaha lain yang juga mendapatkan pelayanan di Kantor PTSP Kota Palembang adalah Hj. Hasimawati. Murahnya biaya pegurusan izin diakui oleh pengusaha kontraktor ini. Biaya itu, katanya, sesuai dengan yang diinformasikan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) maupun yang dipublikasikan oleh media massa. SIUP dan TDP saat ini di KPPT, katanya, gratis tanpa dikenai biaya retribusi. “Dulu sebelum ada PTSP,” kata Hasimawati, “selain pengurusan dilakukan di instansi yang berbeda-beda, biaya yang ditetapkan tidak jelas dan lebih mahal.” Dia mengatakan, dulu untuk mendapatkan SITU, SIUP dan TDP dibutuhkan biaya sampai Rp 1,5 juta. “Waktu itu petugas yang melayani bertindak sebagai calo,” katanya.
7
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Lebih cepat selesainya urusan perizinan di KPPT dan adanya kepastian tentang waktu, juga diakui oleh Isa. Ketika izin usahanya diuruskan perantara pada tahun 2008, diperlukan waktu sampai tiga minggu. Keadaannya sangat berbeda dengan pengalaman dia mengurus sendiri izin itu di KPPT. SITU dan SIUP dia peroleh hanya dalam waktu tujuh hari. Pengalaman Hj. Hasimawati pun seperti itu. Dulu, katanya, urusan belum tentu selesai dalam dua bulan. Di KPPT dia menemukan kenyataan bahwa pengurusan izin itu tidak bertele-tele dan lebih cepat. Antonius Jimmy, pemilik Hotel Sukarami di Palembang juga mengakui bahwa di KPPT urusaan berjalan cepat. Demikian pula pengakuan, Dian Asih Novianty. “Lima hari selesai,” katanya. Itu berbeda sekali dengan yang dulu dia alami saat mengurus SITU, SIUP dan TDP dengan menggunakan jasa perantara yang memakan waktu sampai satu bulan. Efisiensi waktu karena datang hanya ke satu tempat sama-sama dirasakan, baik oleh Isa, Antonius, Tutuk Mosrili (pengusaha Nadisa Salon dan Catering), Dian dan juga Ryan pemilik toko alat-alat listrik “Sinar Cemerlang” di Palembang. Pelayanan yang diberikan di KPPT juga diakui lebih nyaman, baik dalam hal perilaku pegawainya, maupun dalam hal ketersediaan fasilitas. “Ramah,” kata Isa tentang pelayanan itu. Dia tambahkan, “Ruangannya juga nyaman dan terbuka.” Hj. Hasimawati menilai pegawai di KPPT cukup responsif dan bekerja cepat. Dia menyatakan, di situ dia melihat adanya sikap melayani. Pengalaman masa lampau yang kurang menyenangkan, biasanya tidak mudah hilang dari ingatan publik. Karena itulah upaya mengurus dan mendapatkan izin dalam bayangan Yulia pada mulanya akan menjadi urusan yang sulit. Tapi teman-teman dan tetangganya yang juga berbisnis, menyarankan agar dia mengurus izin tersebut. Dari teman-temannya itu pula dia mendapat informasi bahwa pelayanan di lembaga PTSP tidak lagi seperti pelayanan yang dulu. Urusannya lebih cepat, tanpa perlu membayar ini dan itu. Maka Yulia pun mengurus sendiri izin yang dia perlukan. “Saya hanya datang dua kali saat mengurus Izin HO,” kata Yulia. Kedatangan pertama untuk menyerahkan berkas yang diperlukan. Beberapa hari kemudian, petugas dinas datang ke rumahnya untuk meninjau. “Tidak ada pungutan liar,” katanya. Setelah itu dia menerima surat pemberitahuan yang dikirim ke rumah bahwa Izin HO yang dia perlukan telah terbit. “Saya ambil dan bayar. Pengurusan izin TDP juga tidak lama dan tanpa biaya,” kata Yulia. Kini setelah punya Izin HO dan TDP, Yulia berencana mengurus sendiri SIUP. Dia berkata, “Pelayanan di kantor PTSP lebih bagus dari yang lain. Cepat. Kantornya juga nyaman. Antrean teratur.” Kiang Kioe pun mengakui bahwa kini pelayanan perizinan sangat berbeda dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Dia bercerita bahwa dulu dia mengalami sendiri banyaknya pos yang harus didatangi dan “dititipi” uang. Pengusaha toko batik ini mengatakan, sekarang biaya lebih murah, tanpa calo dan prosedurnya pun pendek. “Dulu saya harus membayar RT, RW, kelurahan, kecamatan dan lain-lain hanya untuk perpanjangan Izin HO,” kata Kiang. Sekarang dia hanya mengeluarkan uang untuk RW sebesar Rp 100 ribu. Uang itu pun sebetulnya sumbangan atas kesepakatan warga untuk membantu kas RW.
8
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Karena tahu pelayanan perizinan sudah lebih mudah, Kiang mengurus sendiri izin yang dia perlukan. Di PTSP, katanya, tidak ada lagi suap. “Petugasnya cukup jujur,” kata Kiang, “Mungkin karena saya pernah merasakan pelayanan perizinan yang sangat buruk, rasanya pelayanan saat ini telah sangat berbeda. Belum sempurna memang, tapi jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.” Perihal pengurusan yang lebih cepat dan tepat waktu, juga diakui Sidik Arwadi. “Biaya juga jelas. Dulu, biayanya lebih besar karena harus memberi uang ke banyak pihak agar izin cepat selesai. Sekarang sudah bagus,” kata pengusaha bahan batik dan kimia ini. Sidik bercerita, perpanjangan Izin HO yang dia urus berjalan cepat. Petugas tidak minta uang pelicin. Hanya untuk IMB dia merasakan agak lama karena petugas harus datang untuk mengukur tanah dan bangunan. “Sepertinya petugas perizinan sekarang takut meminta uang. Mereka juga menolak kalau dikasih. Saat petugas IMB datang ke rumah saya untuk meninjau, saya menawarkan sedikit uang sebagai bentuk terima kasih, tapi ditolak,” kata Sidik. Pengakuan yang terdengar di Palembang dan Yogyakarta, juga terdengar di Lamongan. Dody, pemilik usaha R&D Natural Exclusive Product (barang kerajinan dari enceng gondok), berkata, “Saya sendiri yang mengurus izin usaha saya.” Sama dengan Yulia, dulu dia berpikir bahwa mengurus izin itu sulit. Ternyata, kalau syaratnya lengkap, kata Dody, semuanya mudah. “Menurut pengalaman saya selama saya mengurus sendiri izin usaha, tidak ada calo.” Pada tahun 2004 pengurusan izin usaha yang dia lakukan semuanya gratis. Sampai sekarang gratis, kecuali IMB. Orang yang menggambar denah bangunan harus dibayar,” kata Dody. Ratih, pengusaha barang kerajinan, pemilik Gandhis Craft di Lamongan, mengaku bahwa dia dan suaminya langsung mengurus izin usahanya. “Jika semua syarat usaha lengkap pasti dilayani dan tepat waktu,” katanya. Hal yang terpokok dalam mengurus izin usaha adalah lengkapnya data dan berkas yang diperlukan. “Persyaratan saya lengkap. Saya hanya diminta membayar sesuai dengan ketentuan, di bank yang ada di sana. Kemudian saya diminta menunggu. Pelayanannya sudah lumayan bagus dan lebih cepat,” kata Guntur Anapu menceritakan pengalaman di PTSP Bitung. Pengusaha percetakan Anwardin A. Mamonto menilai, “Lebih enak dengan adanya PTSP, karena cukup di satu tempat. Biayanya juga tidak terlalu mahal, hanya sekitar Rp 500 ribu untuk mengurus tiga izin. Waktunya pun lebih cepat. Ketika saya mengurus izin yang terakhir itu, waktunya hanya dua hari. Sebenarnya kalau saya mau menunggu, satu hari pun sudah jadi.” Waktu yang diperlukan menjadi dua hari karena Anwardin baru mengambil izin itu keesokan harinya. “Kesan saya,” katanya, “dengan adanya PTSP, pelayanannya lebih baik. Biaya tertera di papan informasi dengan jelas. Transparan. Petugasnya juga ramah,” kata Anwardin.
9
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pada tahun 2009 Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan dari Bitung, mengurus sendiri izin yang dia perlukan ke PTSP dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Ada empat izin sekaligus yang dia urus yaitu HO, SIUP, TDP dan SITU. Untuk itu, menurut pengakuan Alfianus, dia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Waktunya juga jauh lebih cepat. “Hanya menunggu beberapa saat, izin-izin itu sudah bisa langsung diambil,” katanya. Mudah dan cepat, kesan itu pula yang dirasakan Yusuf Senduk. Pengusaha perikanan dari Bitung ini berkata, “Pengurusan izin saat ini jauh lebih mudah dari yang dulu.” Saat ini misalnya, dia mengurus Izin HO, SIUP, SITU, TDP dan juga Fiskal. Dia hanya harus datang ke satu tempat, PTSP/PMD. Kalau semua syarat sudah lengkap, katanya, prosesnya cepat. “Tidak sampai satu jam, izin sudah selesai dan bisa langsung saya ambil,” kata Yusuf. Biaya yang jauh lebih murah dan transparan, juga diakui oleh Yusuf. Apakah kemudahan dalam pengurusan itu sudah diketahui dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang harus mengurus perizinan? Sayangnya, seperti yang dituturkan Kepala Dinas PSPT Yogyakarta, Heri Karyawan, masih tetap ada pemohon yang mempergunakan dan membayar jasa calo dalam mengurus izin dengan memberikan surat kuasa. “Mungkin karena si pemohon sibuk,” kata Heri. Dia tidak dapat menolak calo yang datang menguruskan izin orang lain, karena dalam ketentuan memang dibuka kemungkinan bagi pengurusan yang mempergunakan jasa orang lain.
2.3. Manfaat Memiliki Izin Selain dari terpenuhinya syarat usaha, izin yang mereka punyai, dirasakan sebagai pemberi kemudahan seandainya mereka memerlukan tambahan modal berupa pinjaman dari bank. Izin juga bermanfaat bagi pengembangan pasar, baik untuk jasa maupun barang produksi yang dihasilkan. Selain itu, izin juga bermanfaat buat menghilangkan rintangan usaha. Keamanan berusaha pun dirasakan kalau izin dimiliki. Terpenuhinya Prasyarat Usaha Yulia Mustika Anissawati, pengusaha souvenir dari Yogyakarta, melihat izin yang harus dipunyai sebagai prayarat untuk suatu usaha. Pandangan Yulia tentang manfaat yang bisa diperoleh, sama dengan pandangan Guntur Anapu, pedagang kelontong dari Bitung yang melihat setiap usaha harus punya izin dan setiap ketentuan tentang itu harus dipenuhi. Yulia kini berencana membuka bisnis wedding organizer. “Untuk itu, saya merasa perlu memiliki SIUP,” katanya. Pemakai jasa wedding organizer tentulah mereka yang akan melaksanakan pernikahan. Yulia berharap bisa menggarap peluang pasar di segmen ini jika dia mengantungi izin. Katanya, “Agar lebih mantap.” Sedangkan Etti Widia Astuti, pengusaha rumah kos di Yogyakarta melihat manfaat izin usaha sebagai sesuatu yang memberikan kepastian hukum.
10
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Adanya Ketenangan dan Kepastian Berusaha Walau begitu, bagi usaha toko alat-alat listrik seperti yang dijalankan Ryan di Palembang, manfaat izin hanya sebatas menghindari pungutan liar oleh oknum birokrasi pemerintah. ”Dengan adanya izin, kami akan lebih tenang terutama bila ada pemeriksaan, misalnya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Toko kami tidak akan terkena razia karena sudah memiliki dokumen legal,” kata Ryan. Apabila tidak ada izin, seperti yang dia ceritakan, ada kemungkinan barang-barangnya diangkut dan disita. Demikian pula halnya bagi Isa pengusaha warung internet di Palembang. SITU, SIUP dan TDP untuk usaha yang dia jalankan itu, dia rasakan memberikan ketenangan dan keamanan dalam menjalankan usaha, terutama apabila ada pemeriksaan oleh aparat pemerintah. “Saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk jaminan keamanan,” katanya. Manfaat izin sebagai jaminan ketenangan dan kepastian usaha diakui pula oleh Yulia, Kiang Kioe dan demikian pula dengan pengelola homestay “Family” di Yogyakarta, Renato Asteroida. Pengakuan yang sama juga diutarakan oleh Anwardi A. Mamonto dan Alfianus Tatambihe. “Dari sisi keamanan usaha lebih terjamin,” kata Alfianus. Sedangkan Naomi Mundung menyatakan merasa lebih leluasa menjalankan usaha jika mempunyai izin. Ada aspek berikutnya yang merupakan manfaat penting dari izin usaha. Pengalaman Cicik, pengusaha kerajinan tikar tenun “Elresas” dari Lamongan adalah contohnya. Beberapa bulan yang lalu, karyawan dia –salesman-menemukan tikar tenun yang meniru merek Elresas di sebuah toko. “Walau ada perbedaan dalam motif tenunannya,” kata Cicik, “peniruan itu dapat membuat konsumen salah pilih, atau tertipu.” Sebetulnya, izin dan merek dia yang terdaftar punya kedudukan hukum yang kuat jika dia menjadikan kasus tersebut sebagai perkara. “Tapi saya mendiamkan kasus ini, karena pengurusan kasus jiplak merek itu bisa rumit,” kata Cicik. Dia abaikan kasus itu, karena dia yakin, konsumen yang kenal produk “Elresas” akan dapat membedakan mana yang asli dan mana produk tiruan. Kredit dari Bank Hampir setiap kali mendapatkan proyek yang akan dia kerjakan, Hj. Hasimawati, kontraktor di Palembang, membutuhkan dana pinjaman dari bank. Contoh terakhir adalah pinjaman yang dia dapat dari Bank Sumatera Selatan. Nilainya Rp 700 juta. Pinjaman itu dia peroleh dengan mudah. Dananya dapat dicairkan empat hari setelah permohonan diajukan. Itu hanya mungkin terjadi, seperti yang dia akui, karena legalitas usahanya pasti, dengan izin yang lengkap. Yulia dari Yogyakarta, menyatakan Izin TDP dan HO bermanfaat untuk menaikkan plafon kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah yang dia jadikan sebagai bengkel kerja dan gudang tempat usaha. Dia menggunakan Izin HO dan TDP untuk jaminan mencicil kredit rumahnya di Imogiri, Bantul, Yogyakarta, yang selain sebagai tempat tinggal, juga dia pakai sebagai tempat produksi dan gudang. Nilai kredit yang diperoleh Yulia dari Bank Mandiri sebesar Rp 130 juta, dengan masa cicilan 15 tahun.
11
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Usaha tikar tenun Siti Na’imah (Nisaz-Kerajinan Tikar Tenun “H. Ashari”) mendapat bantuan berupa pinjaman lunak dari Pemerintah Kabupaten Lamongan sebesar Rp 200 juta. Dia tidak mungkin mendapatkan kredit lunak itu jika izin usahanya tidak lengkap. Ratih, pemilik Gandhis Craft, di Lamongan juga demikian. Selepas dia mengurus dan mendapatkan izin usaha, dia memperoleh pinjaman lunak seperti yang diperoleh Siti Na’imah, dengan bunga enam persen per tahun. “Pinjaman lunak itu sebesar Rp 35 juta. Sebenarnya dana pinjaman itu dari Bank Pasar yang bekerjasama dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) Kabupaten Lamongan,” katanya. Dia tambahkan, “Yang penting, pinjaman itu dilunasi dan pasti tahun depan kita dapat lagi.” Pemerintah Kabupaten Lamongan juga memberikan pembinaan administratif bagi usahanya. Saat ini omzet barang kerajinan berbahan tempurung kelapa yang dia kelola berkisar antara Rp 20 juta dan Rp 25 juta per bulan. Izin yang lengkap juga membuka jalan bagi Lilik Charita, pengusaha Chin Craft, kerajinan ukiran kayu di Lamongan. Dia mengatakan, dengan izin itu dia mendapatkan pinjaman untuk tambahan modal dari Bank BRI dengan angsuran selama dua tahun. Begitu pula dengan pengakuan Alfianus Tatambihe, pengusaha barang kerajinan dari Bitung. “Izin-izin itu,” katanya, “memiliki manfaat yang besar bagi usaha kami, terutama untuk mengajukan tambahan modal ke bank. Prosesnya mudah dan cepat.” Nalti Tatambihe, anak Alfianus, mengaku bahwa belum lama ini dia mengajukan permohonan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke bank untuk tambahan modal usaha. Sebelumnya, Nalti pernah mendapat pinjaman modal dari Bank BRI senilai Rp 50 juta. Manfaat seperti itu pulalah yang dirasakan Siti, pengrajin meubel di Bitung. Dia menyatakan, “Jika ingin mengajukan pinjaman untuk tambahan modal ke bank, lebih mudah.” Suaminya, Nurdin mengatakan, mereka sudah dua kali mendapat pinjaman modal dari Bank BRI. Pertama, Rp 5 juta. Setelah lunas, mereka kini mendapat pinjaman lagi Rp 10 juta. Setelah yang ini lunas, menurut pengakuan Nurdin, dia akan mengajukan permohonan kredit lagi. Menjalin Hubungan dengan Mitra Usaha Dengan izin itu pulalah sebetulnya jalan yang ditempuh Hj. Hasimawati dalam mencari proyek untuk dikerjakan, terbuka lebih lebar. ”Perusahaan saya sering ikut tender di instansi pemerintah. Alhamdulillah, sekarang kami selalu mendapat pekerjaan, selain karena perusahaan kami sudah cukup dikenal, prasyarat menjadi peserta tender lengkap dan terpenuhi.” Apa yang dirasakan Hj. Hasimawati sebagai pemegang izin lengkap yang dapat menjalin kerjasama dengan mitra usaha? “Omzet meningkat,” katanya.
12
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Antonius Jimmy, pemilik Hotel Sukarami di Palembang menyatakan bahwa dokumen izin menjadi salah satu jaminan kepercayaan ketika dia harus melakukan kerjasama dengan pihak lain. Hotel Sukarami (bintang satu) baru operasional sejak Mei 2011. Tingkat huniannya sudah mencapai 70 persen pada bulan Juli 2011. Antonius mengakui, itu karena dia melakukan kerjasama dan memiliki rekanan kerja tetap, yakni perusahaan yang membutuhkan jasa akomodasi hotel. Kerjasama dengan rekan usaha itu dia dapat karena izin usahanya terpenuhi dengan lengkap. Tutuk Mosrilin yang menjalankan usaha salon dan catering di Palembang pun mengakui bahwa untuk mencari dan melaksanakan usahanya kepemilikan SITU, SIUP dan TDP sangatlah penting. Dia mencontohkan, untuk menyewa gedung tempat acara, pemilik gedung selalu menanyakan ada tidaknya izin usaha. Pemilik usaha tour dan travel, Dian, menyatakan, ”Usaha tour dan travel dapat berkembang karena adanya kerjasama dengan berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta.” Izin yang dia punyai dia rasakan bermanfaat untuk menjalin kerjasama itu. Akses untuk Pengembangan Pasar Yulia Mustika Anissawati berkeyakinan bahwa izin sangat penting untuk membuka akses dalam pemasaran jasa maupun barang produksi, seperti souvenir buatannya. Dia menyatakan, klien dan konsumen yang berbelanja online akan lebih yakin terhadap suatu usaha jika mereka tahu bahwa dia memiliki izin usaha. Dody, dari Lamongan, pemilik R&D Natural Exclusive Product juga merasakan manfaat izin yang dia miliki dalam hal meluaskan pasar. Pada tahun 2004 atas dorongan Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Lamongan, Dody mendaftarkan usaha kerajinan enceng gondoknya ke Kantor Perizinan Kabupaten Lamongan. “Ada orang dari Dinas Perindustrian dan Koperasi yang mengatakan kepada saya, bahwa jika ada izin usaha, pokoknya enak,” katanya. Dia mengakui, setelah mendapat izin usaha banyak kemudahan yang dia peroleh. Pemerintah Kabupaten Lamongan menyediakan showroom untuk aneka produk dari daerahnya dan produk Dody dapat dipamerkan di situ. “Paling tidak merek R&D dikenal banyak orang,” katanya. Kini produk kerajinan dari enceng gondok Dody, berupa tas, sandal dan dompet sudah menyebar ke berbagai pelosok di Indonesia. Bahkan ada yang diekspor ke Timur Tengah. “Dalam tahun terakhir ini usaha yang saya kelola alhamdulillah meningkat. Karena itulah Dody harus menambah pegawai. “Dulu di awal usaha saya punya lima pegawai. Sekarang sebelas orang,” ujarnya. Sekarang dia sudah punya showroom sendiri. “Izin usaha itu kayak kartu tanda penduduk,” katanya, “Orang akan tanya, ini produk siapa.” Adalah karena memiliki izin usaha pula, Cicik, pemilik Elresas di Lamongan mengaku mendapatkan berbagai kemudahan, termasuk bantuan diikut-sertakannya produknya dalam pameran, agar merek Elresas dikenal banyak orang. Manfaat yang sama juga didapatkan Ratih yang mengusahakan barang kerajinan dari tempurung kelapa. Belakangan ini, produk Gandhis Craft dipasarkan ke Kalimantan, Yogyakarta, Medan, Makassar dan juga Jakarta. Bersama produk kerajinan enceng gondok dari Dody, produk Gandhis Craft juga dikirim ke Timur Tengah.
13
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Dengan izin di tangan itu pulalah antara lain pengusaha barang kerajinan di Bitung, Alfianus Tatambihe mendapat bantuan pemasaran, dengan mengikutkan produknya dalam pameran industri kecil di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar negeri. “Jika saya memasukkan produk saya ke toko-toko besar, salah satu syaratnya adalah adanya izin usaha,” kata Alfianus. Menurut anaknya, Nalti, produknya telah diikutkan pemerintah baik dalam Pameran Pembangunan di Kota Bitung maupun pameran yang diselenggarakan Provinsi Sulawesi Utara (yang digelar setiap tahun), sejak tahun 2007. Begitu juga di pameran Usaha Menengah Kecil dan Mikro skala nasional, (digelar setiap tahun) mulai tahun 2009 sampai tahun 2011. “Dalam setahun terkadang bisa mengikuti pameran sampai tiga kali,” kata Nalti.
14
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
BAB 3: BEBERAPA PRAKTIK YANG BAIK
3.1. Aspek Strategis 3.1.1. Memilih Orang yang Tepat untuk Memimpin PTSP Sejak diperkenalkan sebagai bentuk reformasi perizinan pada tahun 2006, pengelolaan PTSP merupakan hal baru bagi banyak daerah di Indonesia. Lebih dari sekadar mendirikan instansi atau membuat struktur kelembagaan tambahan, kebaruan PTSP membawa implikasi yang jauh terhadap cara pandang dan esensi pelayanan publik. Publik dalam PTSP adalah ukuran kinerja yang diwujudkan dalam pelayanan yang lebih mudah, cepat, murah, transparan dan akuntabel. Keberhasilannya dengan demikian bergantung kepada sejauh mana birokrasi perizinan bersedia mengubah tata kelola perizinan yang belum baik. Memimpin perubahan. Persis disinilah tugas utama mereka yang ditunjuk mengelola PTSP, sekaligus tantangannya yang terbesar. Berubah berarti melucuti segala praksis lama yang mungkin terlanjur memberikan kenyamanan kepada para pelakunya. Sebaliknya, berubah juga berarti menyambut praksis asing yang dalam prosesnya dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Berubah adalah mengoreksi status quo dengan semua potensi perlawanannya. Maka, berubah tidak pernah merupakan perkara sederhana, apalagi mudah. Tentu saja, lebih sulit lagi daripada itu adalah memimpin perubahan itu sendiri. Pengalaman pembentukan dan pengelolaan PTSP dengan terang benderang menunjukkan kesulitan tersebut. PTSP hampir selalu menghadapi keengganan dari instansi teknis untuk melimpahkan kewenangan, sebuah aspek sentral yang menentukan efektivitas reformasi. Di banyak tempat, PTSP juga harus berurusan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan fasilitas kerja. Ada pula faktor teknis berupa minimnya informasi dan pengetahuan faktual yang bisa dijadikan rujukan untuk mengembangkan PTSP. Yang tak kalah penting, PTSP terus-menerus perlu meyakinkan kepala daerah maupun pihak terkait lain mengenai keniscayaan reformasi perizinan.
15
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Di tengah banyaknya kesulitan dan besarnya tuntutan perubahan itu, PTSP yang sukses adalah yang memiliki pemimpin yang baik dan mampu. Seorang pelaku mengemukakan pandangannya berdasarkan pengalamannya memimpin PTSP demikian:
“Mereka (pemimpin PTSP) harus dekat dengan masyarakat, (mengetahui) apa yang diharapkan warga. Pemimpin juga perlu punya kemampuan manajemen SDM. Mereka tidak harus orang teknis, tetapi harus punya komitmen melayani. Melayani adalah seni. Di sini perlu inovasi karena terkadang kita terbentur dengan aturan. Dalam memimpin, mengkoordinasi saja tidak cukup, tetapi harus menjiwai.” Dalam ungkapan yang lebih padat, pemimpin PTSP harus mampu menggerakkan timnya untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam menggerakkan tim, pemimpin menyiasati kekurangan kualitas maupun kuantitas SDM yang ada serta berupaya menggalang dukungan pihak luar yang strategis. Tim diarahkan kepada perbaikan terus-menerus sambil menjadikan suara masyarakat sebagai indikator pencapaian. Ketika tim mengalami kesulitan atau penurunan semangat, pemimpin membangkitkan. Seorang pelaku PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:
“Saya kumpulkan staf. Saya bilang, ‘Masih semangat tidak? Kalau tidak punya satu visi, semangat, tidak akan jadi nih. Karena ini institusi baru. Kalau tidak kuat, mundur.” Pengalaman Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kubu Raya, Kalimantan Barat, adalah contoh yang baik. PTSP yang kini menjadi acuan bagi PTSP lain yang tidak hanya di Kalbar, tetapi seluruh Indonesia ini awalnya benar-benar dimulai dari nol. Kabupaten Kubu Raya sendiri merupakan daerah pemekaran baru. Ketika dicanangkan pada 28 Desember 2009, PTSP Kubu Raya hanya bermodalkan sebuah ruangan berukuran 4x8 meter persegi dengan lima personel, yakni satu sekretaris sekaligus pelaksana tugas (plt) kepala (eselon 3A) dan empat kepala bidang (eselon 3B).
16
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Bupati menunjuk Maria Agustina, orang yang relatif muda, perempuan yang belum berusia 40 tahun sebagai plt kepala PTSP. Ketika terpilih, sang bupati juga baru berusia 38 tahun. Maria menjalankan jabatan plt kepala hingga bulan Mei 2014. Sebelumnya, yang bersangkutan bekerja sebagai kepala bagian keuangan di Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalbar. Ia berpengalaman di bidang perencanaan, pemerintahan, hukum dan keuangan. Ada yang mengatakan pemilihan ini disebabkan bupati dan orang-orang di sekitarnya melihat besarnya semangat kerja Maria di unit sebelumnya. Bupati Kubu Raya pernah mengunjungi PTSP Sragen di Jawa Tengah. Dalam kunjungan itu, bupati memperoleh gambaran dan masukan mengenai pengelolaan PTSP. Kedua pemerintah, Kubu Raya dan Sragen, bersepakat untuk melaksanakan pendampingan pengembangan BPMPT di Kubu Raya. Meskipun tidak spesifik tentang PTSP, dalam kampanye pilkada tahun 2009, calon bupati telah menjanjikan perbaikan pelayanan publik. Semua latar belakang ini dapat dikatakan berkontribusi kepada keputusan bupati untuk membentuk PTSP dan menunjuk pemimpin dengan semangat tinggi dan rekam jejak karir yang memadai. Pada bulan-bulan pertama kepemimpinannya, Maria dan empat kabid segera dihadapkan pada minimnya informasi yang tersedia mengenai PTSP di tingkat provinsi maupun kabupaten. BKPMD Kalbar baru menjalankan fungsi penanaman modal, belum pelayanan terpadu. Atas saran provinsi, tim Kubu Raya lantas mendatangi kantor BKPM dan Ditjen Pembangunan Daerah Kemendagri di Jakarta untuk mencari informasi. Maria menceritakan pengalamannya saat itu di bawah ini:
“Kami bermodalkan nekat, niat dan semangat. Tidak tahu mesti ketemu siapa. Di BKPM, kami menerima penjelasan mengenai fungsi penanaman modal dan peraturannya, tetapi PTSP belum. Akhirnya kami disarankan ke Sragen.” Karena sudah ada kerjasama, setiba di Sragen tim Kubu Raya langsung menyebar untuk mempelajari apa saja yang bisa dipelajari, termasuk sistem kerja, pelayanan dan lainnya. Kubu Raya telah mempunyai peralatan komputer dan sarana pendukung teknologi informasi, tetapi belum digunakan sebab mereka tidak mengetahui bagaimana penggunaannya untuk pelayanan. Secara keseluruhan, tim Kubu Raya hanya berada satu hari di Sragen dan sehari di Jakarta karena keterbatasan anggaran. Biaya perjalanan yang hanya untuk tiga orang selama tiga hari, disiasati
17
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
agar cukup untuk lima orang. Maria ingin agar semua personelnya bisa ikut belajar mengingat merekalah yang akan menjadi tulang punggung pengembangan PTSP. Anggaran sisa hanya cukup untuk membiayai kunjungan Maria ke Kemendagri. Minimnya informasi diperparah oleh kurangnya penguasaan SKPD teknis di Kubu Raya tentang perizinan di lingkup kewenangan mereka sendiri. Mereka tidak memahami dasar hukum sebagian izin, formulirnya, hingga persyaratan. Dengan jumlah personel sembilan orang pada Mei 2010, tim Kubu Raya melakukan pendalaman untuk menyisir lika-liku perizinan di daerah itu dan bagaimana PTSP dapat berperan. Proses ini berlangsung selama seminggu, seringkali sampai larut malam. Bupati sempat datang meninjau.
Dalam perjalanan itu, ternyata pengelola beberapa instansi teknis tidak menunjukkan kesediaan untuk sepenuhnya bekerjasama dengan PTSP. Ada saja staf yang terpaksa kembali dengan tangan hampa karena instansi teknis menolak memberikan data. Keengganan ini disertai tudingan sejumlah orang bahwa PTSP telah melangkah terlalu jauh. Ada juga staf PTSP yang dipindahkan dari SKPD mulai merasa bekerja sangat keras, tidak seperti di tempat asalnya. Seorang pejabat SKPD mengatakan kepada pejabat PTSP, “Kamu jangan terlalu revolusioner. Tidak semua stafmu punya jiwa yang sama. Mereka ditempatkan di PTSP tidak membayangkan akan bekerja seperti itu.” Menghadapi kendala internal maupun eksternal seperti itu, PTSP mencoba merapatkan barisan. Pejabat PTSP menyemangati staf sambil meminta mereka berkomitmen. Mereka yang benar-benar tidak kuat bekerja keras dan berada di bawah tekanan dipersilakan meminta untuk dipindahkan. Bersamaan dengan itu, PTSP terus mengkomunikasikan seluruh perkembangan kepada bupati. Dalam beberapa kesempatan, pejabat PTSP berhasil membujuk bupati agar meminta instansi teknis yang sulit supaya mau bekerjasama. Maria Agustina mengenang bagaimana ayahnya pergi ke pasar untuk membeli buku bagi cucunya yang akan ujian. “Mungkin itu yang terpola. Saya juga menjadi selalu berusaha mendukung staf,” begitu ia merefleksikan pengalaman memimpin PTSP. Kemajuan dicapai bersama dengan pemimpin (kepemimpinan) yang berfokus pada tujuan perbaikan pelayanan publik serta memberi contoh bagi komitmen dan integritas. Dalam hal PTSP untuk reformasi pelayanan perizinan, ini sungguh-sungguh tidak mudah, tetapi juga bukan mustahil.
18
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pentingnya memilih orang-orang yang tepat untuk memimpin PTSP juga dialami Kantor Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (KP3M) Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. PTSP Barru juga merupakan salah satu PTSP rujukan dalam beberapa tahun terakhir. Kemampuan membangun relasi yang cair dengan bupati membuat kepala PTSP Barru, Syamsir, memperoleh dukungan yang dibutuhkan pada periode awal pembentukan kantor tersebut serta di masa-masa yang sulit, termasuk saat perlu bernegosiasi dengan SKPD. Keinginannya untuk selalu memperbarui pengetahuan mengenai pelayanan perizinan juga memungkinkan dia untuk secara rutin mengkomunikasikan hal-hal baru yang diperolehnya kepada bupati. Kepala daerah pun melihat senantiasa ada perkembangan yang menguntungkan citra pemda di mata publik. Awal mula PTSP Barru juga tidak mudah. Selama kurang lebih dua tahun, konsep PTSP tidak berkembang di daerah itu. Bupati lama tidak memandang PTSP sesuatu yang strategis. Setelah pergantian bupati, Syamsir ditunjuk menjadi kepala PTSP pada tahun 2011. Bupati baru menyampaikan komitmen politik untuk memperbaiki pelayanan publik. Namun, komitmen bupati saja tidak cukup sebab tanpa komitmen dan kemampuan dari pejabat instansi teknis, perubahan mendasar tidak akan terjadi. Ini juga menjelaskan mengapa kinerja sebagian SKPD tetap buruk kendati daerah bersangkutan memiliki pemimpin yang reformatif.
PTSP Barru juga menghadapi persoalan seperti keengganan SKPD untuk melimpahkan kewenangan. Sejumlah sumber yang mengetahui perjalanan PTSP Barru mengatakan Syamsir melakukan audiensi-audiensi resmi dengan bupati disertai komunikasi personal pada kesempatan berbeda untuk menyampaikan persoalan PTSP dan usulan jalan keluarnya. Apa yang akan disampaikan kepada bupati digodok dulu secara internal di PTSP maupun dengan pihak lain yang membantu sebelum diteruskan ke bupati. Bupati biasanya tidak menghambat upaya perbaikan. Selain dengan bupati, komunikasi yang baik juga dibangun dengan pejabat SKPD. Relasi dan komunikasi tersebut disadari merupakan modalitas sosial yang amat berguna bagi upaya perbaikan pelayanan perizinan di Barru. Seiring dengan itu, pemimpin PTSP berusaha meraih kepercayaan kepala daerah dan pejabat lain dengan menunjukkan kemajuan-kemajuan yang konkrit. Mereka tetap bekerja, kendati pada mulanya dengan kewenangan terbatas serta kondisi kekurangan SDM, sarana dan prasarana serta anggaran. Pada tahun 2011, PTSP Barru hanya mengelola tujuh dari 122 izin yang ada di kabupaten itu. Upaya perbaikan ternyata diapresiasi oleh pihak luar. Pada tahun 2011, PTSP Barru mendapatkan penghargaan PTSP kualifikasi bintang satu dari BKPM. Penghargaan ini rupanya membuka mata pemda mengenai PTSP.
19
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pada tahun 2012, kewenangan PTSP diperluas menjadi sembilan izin. Di tahun yang sama bupati menginstruksikan dilakukannya pemetaan perizinan yang menghasilkan penyederhanaan dari 129 izin menjadi tinggal 22 jenis izin. Bupati kemudian memutuskan untuk menyerahkan seluruh pengurusan perizinan ini kepada PTSP pada tahun 2013. PTSP Barru pun tak pernah lagi sepi dari penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional. “Dengan perbaikan pelayanan dan inovasi yang dilakukan, bupati memberikan kepercayaan (yang semakin besar) kepada KP3M. Hal ini tentunya setelah bupati mendapatkan informasi-informasi dari customer,” kata Syamsir merefleksikan perkembangan PTSP di bawah kepemimpinannya. Dalam komunikasi PTSP dengan para pemimpin daerah, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa peningkatan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik memiliki korelasi positif dengan kepercayaan kepada pemda yang juga bernilai dalam konteks politik. Setelah kemajuan dikomunikasikan, PTSP juga menjadi lebih mudah mendorong penerbitan regulasi yang mendukung kinerjanya, baik dalam kaitan dengan program PTSP maupun anggaran untuk mengeksekusi. Syamsir mengatakan ia dan para pejabat PTSP Barru pernah merasakan susahnya mengurus izin saat masih menjadi anggota masyarakat biasa. Bahkan sesama PNS pun kerapkali dipersulit dalam mengurus izin. “Setelah izin dilimpahkan, kami merasa cukup kami yang merasakan sulitnya. Bagaimana kami bisa memberikan kemudahan, sebab kami pernah menjadi masyarakat. Prinsip pelayanan kami adalah bahwa kami juga bagian dari masyarakat di Barru.” Dengan kesadaran seperti itu, maka kemajuan atau kemunduran Barru menjadi tanggung jawab bersama. Pengelola PTSP merasa dapat berkontribusi bagi kemajuan Barru dengan memberikan pelayanan terbaik dalam perizinan. Mereka yang mengenal Syamsir mengatakan bahwa yang bersangkutan memang dikenal cukup dekat dengan masyarakat. Ketika menjadi lurah dan camat, hampir tidak ada cerita miring mengenai dirinya. Latar belakang pendidikan di bidang ilmu pemerintahan serta pengalaman bekerja di lembaga swadaya masyarakat diakuinya turut membentuk pola pikirnya.
3.1.2. Pelimpahan Kewenangan Pelayanan Perizinan PTSP merupakan instansi yang diadakan dengan maksud memberikan pelayanan perizinan yang lebih mudah, cepat, murah, transparan dan akuntabel bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha. Bila sebelumnya pemohon terpaksa berurusan dengan banyak instansi sebelum bisa memperoleh izin yang diperlukan, dalam PTSP pemohon cukup memasukkan permohonan kepada satu instansi. PTSP akan mengurus semuanya sekaligus memberikan persetujuan. Adapun instansi teknis hanya berfungsi memberikan rekomendasi. Persetujuan dari instansi teknis dipersyaratkan sejauh diperlukan, tetapi itu pun PTSP yang akan menguruskannya bagi pemohon. Dengan kata lain, PTSP sejak awal didesain untuk menjalankan kewenangan pemberian izin yang dahulu berada di instansi teknis. PTSP yang berfungsi baik mensyaratkan adanya pelimpahan kewenangan dari instansi teknis. Ketika kewenangan ini terbatas, bahkan lemah, maka keberadaan PTSP relatif tidak akan berdampak terhadap
20
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
pelayanan perizinan. Masalah minimnya kewenangan tersebut dihadapi oleh banyak PTSP di Indonesia. Sebagian besar daerah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi, tidak ada pilihan lain. PTSP hanya mungkin bermanfaat sejauh kewenangan yang diberikan memadai. Praktik baik dari sejumlah PTSP menunjukkan bahwa proses pelimpahan kewenangan membutuhkan adanya kemampuan untuk meraih kepercayaan dari pihak terkait, dalam hal ini terutama kepala daerah dan pejabat SKPD. Kepercayaan dibangun melalui relasi yang baik dan pembuktian kinerja secara terus-menerus. Kinerja dimaksud bukan hanya PTSP saja, tetapi bagaimana kinerja PTSP itu berdampak baik terhadap kinerja pemerintah di mata publik secara keseluruhan. Singkat kata, PTSP harus mampu menyodorkan fakta manfaat positif bagi pihak terkait dengan adanya perbaikan pelayanan perizinan. Seorang pengelola PTSP menceritakan pengalamannya demikian:
“Pendekatan kami di awal adalah menyamakan persepsi dengan menunjukkan asas manfaat. Kami tidak langsung katakan tidak boleh. Samakan persepsi. Buka satu per satu izin. Ada pendekatan formal dan informal. Seri workshop. Di warung kopi.” Penyamaan persepsi dilakukan dengan semua pihak terkait. Di internal pemerintah, pengelola PTSP melakukan pertemuan-pertemuan dengan bidang terkait di kantor bupati, terutama bidang hukum dan organisasi. Dua bidang tersebut strategis sebab ketika maju ke meja sekretaris daerah, hampir pasti sekda akan meminta pendapat atau kajian dari bidang hukum dan organisasi. Setelah dari sekda, barulah usulan dan rekomendasi diteruskan kepada bupati. Meskipun proses ini tidak selalu terencana seperti itu, namun komunikasi dengan pihak-pihak yang disebut itu dinilai merupakan kunci bagi keberhasilan pelimpahan kewenangan. Begitu sekda dan bupati setuju, maka langkah berikutnya relatif lebih mudah. Asas manfaat bagi SKPD teknis antara lain ditunjukkan oleh PTSP Kubu Raya. Kubu Raya memilih 14 izin untuk dilayani pada awalnya juga dengan pertimbangan kemampuan internal. Pro-kontra yang dalam beberapa kesempatan ditunjukkan oleh penolakan SKPD untuk membicarakan pelimpahan kewenangan dijawab oleh
21
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
PTSP dengan membuat database dan laporan pengurusan izin yang baik yang pada gilirannya membantu memperlancar pekerjaan instansi teknis terkait. PTSP juga terus berkoordinasi dengan SKPD, melibatkan mereka dalam rencana-rencana perbaikan. “Akhirnya jumlah izin yang dilimpahkan terus bertambah. SKPD malah bertanya kapan izin mereka ditarik,” kisah seorang pengelola PTSP. Sebelum berargumentasi dengan para pihak tersebut, PTSP mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh memahami regulasi yang ada. Pada titik tertentu, ketika situasi diperkirakan lebih sulit, beberapa PTSP memanfaatkan pihak luar untuk menjadi semacam juru bicara. Ini dilakukan melalui pelaksanaan workshop dan pertemuan teknis. Kehadiran pihak luar ini, terutama dari pemerintah pusat, dirasakan cukup efektif sebab bagaimanapun posisi pengelola PTSP berada di bawah kewenangan bupati maupun sekda, serta tidak lebih tinggi dari Kepala SKPD. Para pejabat dapat dikondisikan untuk lebih bersedia mendengarkan ketika yang berbicara memiliki posisi yang setara atau lebih tinggi. Dalam kasus Kubu Raya, pengelola PTSP meminta waktu kepada bupati untuk berbicara dalam forum pertemuan Kepala SKPD. PTSP mengatakan kepada bupati bahwa keengganan SKPD untuk melimpahkan kewenangan sama artinya dengan membiarkan fungsi PTSP tidak berjalan. Bupati setuju. Dalam forum itu, PTSP mempresentasikan perkembangan terkini dan secara terbuka menyampaikan kendala yang ada. Di akhir presentasi itu, bupati berbicara dan memerintahkan agar izin dimaksud dilimpahkan kepada PTSP. Meskipun dalam pelaksanaan tetap tidak benar-benar mulus, momen ini dianggap menentukan proses pelimpahan kewenangan di Kubu Raya. Dalam hal ini, ada komunikasi untuk memperoleh dukungan kepala daerah, serta proses penyiapan argumentasi yang sungguh-sungguh untuk meyakinkan instansi teknis. Pelimpahan kewenangan membuat pelayanan perizinan terpusat di PTSP. Tergantung pada gradasi pelimpahannya, kepala PTSP di sejumlah daerah dapat menetapkan mekanisme perizinan, kelengkapan persyaratan, hingga menandatangani izin atas nama kepala daerah. Ini memperbesar kewenangan dan, pada gilirannya, kewibawaan kelembagaan PTSP. Di sisi lain, masyarakat menjadi hanya harus berurusan dengan satu pihak sehingga proses perizinan relatif lebih pasti, mudah dan cepat. Dengan kewenangan lebih besar, PTSP juga memiliki ruang kreasi lebih luas untuk memperbaiki pelayanan perizinan. Setelah ada pelimpahan kewenangan, sejumlah PTSP membentuk tim teknis yang anggotanya mewakili SKPD. Tim teknis tersebut selain untuk memenuhi fungsi pelayanan perizinan satu pintu, juga sampai batas tertentu merupakan bentuk keterlibatan instansi teknis terkait dalam PTSP. Tim teknis selanjutnya memungkinkan PTSP untuk memelihara relasi dengan SKPD. Pelimpahan kewenangan yang dilakukan di sejumlah PTSP yang baik juga tidak tertutup kemungkinan dapat dilakukan di daerah lain. Hal ini karena pada dasarnya hanya dibutuhkan keputusan kepala daerah dan strategi lobi yang jitu. PTSP hendaknya tetap melibatkan SKPD dalam proses perbaikan pelayanan tersebut, sehingga kinerja yang dicapai menjadi kinerja bersama.
22
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.1.3. Penyederhanaan Jenis Izin Praktik baik berikutnya yang ditemukan pada PTSP sejauh ini adalah penyederhanaan jenis izin. Untuk melakukan hal itu, pada dasarnya PTSP menempuh dua jalan yang berbeda. Jalan pertama adalah menghimpun terlebih dahulu jenis izin yang ada ke dalam PTSP untuk selanjutnya dilakukan penyederhanaan. Jalan kedua berlangsung sebaliknya, yaitu PTSP bersama instansi teknis menyederhanakan izin baru kemudian diserahkan kepada PTSP. Jalan mana yang diambil sangat tergantung kepada situasi dan konteks masing-masing PTSP. Berdasarkan pengalaman yang ada, PTSP yang melakukan cara pertama relatif lebih mudah melakukan penyederhanaan sebab izin telah berada dalam kewenangan mereka. Meski demikian, persoalan yang muncul tidak berbeda dengan jika menempuh cara kedua, yaitu bagaimana meyakinkan para pihak mengenai penting dan perlunya melakukan penyederhanaan jenis izin. Ini karena kendati pun sebagian kewenangan telah berada di tangan PTSP, instansi teknis tetap dibutuhkan untuk memberikan rekomendasi sesuai hasil penilaian mereka. Penyederhanaan jenis izin menentukan sejauh mana PTSP mampu memberikan pelayanan perizinan yang lebih mudah, cepat dan murah. Dengan penyederhanaan, tumpang tindih perizinan yang merugikan publik diharapkan dapat teratasi. Hal-hal seperti itu juga disampaikan oleh PTSP kepada instansi teknis maupun kepala daerah saat mencoba meyakinkan tentang perlunya penyederhanaan. Namun, prosesnya tidak selalu berlangsung mulus. Ada langkah-langkah komunikatif dan strategis yang dilakukan untuk memperoleh persetujuan maupun dukungan pihak terkait. Praktik baik yang ada menunjukkan bahwa kemajuan dicapai secara bertahap. PTSP perlu menjalankan dulu kewenangan yang diberikan, sekecil apapun, sambil memperlihatkan hasil yang baik sebagai bahan tambahan untuk berargumentasi dengan pihak terkait. Upaya meyakinkan tidak dilakukan dengan konfrontatif, tetapi mengakomodasi pendapat maupun keberatan yang lain. Dalam sejumlah kasus, PTSP bahkan membiarkan instansi teknis memutuskan solusi yang terbaik menurut mereka. Dalam memberikan kewenangan memutuskan tersebut, PTSP mempertimbangkan segala kemungkinan dengan menyiapkan argumentasi terbaik yang mungkin. Tetapi, dalam ranah pembuatan kebijakan publik, argumentasi yang sahih saja memang kerapkali tidak memadai. Ini disadari oleh PTSP berdasarkan pengalaman berargumentasi dengan pihak terkait. Belajar dari kondisi itu, PTSP dengan praktik baik mengupayakan adanya keterlibatan pihak luar dalam proses perumusan kebijakan. Pihak luar dimaksud meliputi kepala daerah dan atau sekda, serta pihak non pemerintah.
23
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Sebelum disampaikan kepada pihak terkait, PTSP akan mengidentifikasi seluruh jenis izin yang ada di daerah bersangkutan. “Kami selama satu tahun bekerja untuk mengidentifikasi izin, termasuk bolak-balik berargumentasi dengan instansi teknis,” demikian seorang pengelola menceritakan pengalaman PTSP di wilayahnya. Sebagian PTSP sejak awal hanya fokus pada jenis izin yang terkait dengan penanaman modal dan kegiatan usaha. Sebagian lainnya sampai mencakup izin kependudukan dan catatan sipil. Dari hasil identifikasi, PTSP membuat analisis terhadap izin bersangkutan dengan mengacu antara lain kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, program kerja kepala daerah dan yang tidak kalah penting kebutuhan dan harapan pelaku usaha dan masyarakat. Setelah itu, dibuat skenario-skenario kemungkinan penyederhanaan dalam bentuk penyatuan atau penghapusan izin. Di PTSP Kubu Raya, identifikasi dan pembuatan skenario penyederhanaan jenis izin pada tahap awal dilakukan bersama unit terkait di lingkup pemerintah kabupaten, yakni inspektorat, bagian hukum, bagian ekonomi, Bappeda dan biro organisasi. Ada 215 jenis izin yang teridentifikasi, termasuk izin kependudukan, catatan sipil dan izin non usaha lainnya. Hasil analisis kemudian dikomunikasikan kepada bupati dan pejabat instansi teknis dalam rapat muspika. PTSP juga menyampaikan perkembangan setiap saat melalui komunikasi informal dengan SKPD. Sementara itu di Barru, izin disederhanakan terlebih dahulu baru dilimpahkan ke PTSP. Menurut pengelola PTSP, hal itu lebih efektif karena setelah berulang kali berkomunikasi dan telah menghasilkan penyederhanaan izin, SKPD tampak merasa lebih gampang melimpahkan. Jumlah izin dan karena itu juga kewenangan yang menyertainya, yang tadinya terlihat banyak kini lebih sedikit. Ini dapat terlihat absurd sebab pada dasarnya instansi teknis tetap melepaskan kewenangannya, tetapi itulah yang dirasakan terjadi di lapangan. Selain itu, intensitas pertemuan antara PTSP, instansi teknis dan pihak terkait lainnya juga berpengaruh terhadap kerelaan yang kelihatannya lebih besar untuk melimpahkan kewenangan dan menyederhanakan jenis izin. Barru termasuk progresif dalam penyederhanaan izin sebab mereka sampai menyiasati sejumlah nomenklatur peraturan perizinan atas nama otonomi daerah. Filosofi dasar yang dipegang adalah bagaimana mempermudah pelayanan bagi pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya. Barru mengurangi jumlah izin dari semula 129 menjadi tinggal 22. Seluruh 22 izin tersebut telah dilimpahkan kepada PTSP. Sebagian besar izin lama dihapus, selebihnya disatukan. PTSP bersama SKPD melihat satu per satu izin, mana yang perlu mana yang tidak.
24
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Salah satu kebijakan perizinan yang berbeda di Barru dibanding banyak daerah lain adalah bahwa tidak semua tempat usaha diwajibkan mempunyai Izin Gangguan (HO), kendati tetap wajib memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Kebijakan itu mengurangi pendapatan retribusi pemda dari Izin HO. Tetapi, PTSP berargumen bahwa pemerintah berpeluang memperoleh pendapatan dari sumber lain dengan bergeraknya roda ekonomi. Kebijakan itu membantu usaha mikro yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk Izin HO. Undang-undang otonomi daerah memberi kesempatan kepada daerah untuk membuat jenis izin sendiri. Dalam praktiknya, tidak sedikit daerah yang dapat dikatakan kebablasan dengan membuat sangat banyak izin. Sebagian izin tersebut dibuat dengan alasan menaikkan pendapatan retribusi pemda. Pembuatan jenis izin daerah ini merupakan kewenangan bupati, termasuk apakah dilimpahkan ke SKPD teknis atau lembaga instansi perizinan. Atas dasar itu, PTSP dengan praktik baik selalu berupaya memperoleh dukungan bupati. Langkah ini dilakukan dengan cermat sebab memperoleh dukungan bupati juga dapat berarti dimusuhi oleh SKPD yang menganggap PTSP berlindung di balik otoritas bupati untuk menggerogoti kewenangan instansi teknis. Dalam banyak hal, PTSP meyakinkan instansi teknis bahwa kendati jumlahnya dikurangi, substansi sebagian besar izin tak dihilangkan. Bentuk-bentuk komunikasi yang mengakomodasi kepentingan dan cara pikir instansi teknis dan pihak terkait kerapkali diperlukan dalam rangka mengantongi persetujuan mereka. PTSP juga mengandalkan fakta adanya tuntutan pelaku usaha dan masyarakat untuk penyederhanaan izin dalam berkomunikasi dengan instansi teknis dan pihak terkait. Seorang pelaku mengatakan demikian:
“Ada tuntutan pelaku usaha. Hasil seminar, workshop. Salah satu keluhan bahwa pelaku usaha harus mendatangi banyak tempat dengan aneka ragam izin, tanpa SOP dan standar. Kami lalu berpikir, kalau bisa disederhanakan, mengapa tidak? Kesimpulan workshop dan diskusi, sangat layak dilakukan pengurangan.” Instansi teknis dan pihak terkait diundang dalam pertemuan-pertemuan dengan pelaku usaha dan masyarakat. Guna menambah bobot pertemuan, PTSP juga mengundang akademisi dan media massa. Dalam kasus Barru, bupati langsung menjadi ketua tim kelompok kerja perizinan pemda. Bupati tidak ikut dalam rapat teknis, tetapi hasilnya selalu dikomunikasikan.
25
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.1.4. Izin sebagai Instrumen Pengendalian Salah satu fungsi (birokrasi) perizinan sebenarnya adalah sebagai instrumen pengendalian. Sayangnya, semangat yang berlebihan untuk melakukan pengendalian seringkali berujung pada proses pengurusan izin yang menyulitkan dan memberatkan pengusaha. Sebaliknya, jika terlalu ‘bersemangat’ dalam mempermudah –antara lain didorong oleh motivasi ekonomi, yaitu memperoleh pendapatan-- fungsi izin sebagai instrumen pengendalian dapat hilang. Izin Reklame dapat menjadi ilustrasi menarik bagi kasus tersebut. Semua orang sepakat, bahwa kegiatan usaha membutuhkan promosi, di antaranya melalui pemasangan papan reklame. Akan tetapi papan reklame yang berlebihan akan merusak keindahan kota. Salah satu yang dianggap sebagai berlebihan atau paling mengganggu keindahan adalah papan reklame berukuran besar dan/atau yang dipasang melintang di atas jalan yang sering disebut sebagai “bando jalan” Melalui ketentuan tentang Izin Reklame, pemerintah daerah sebenarnya mempunyai alat dan kesempatan untuk mengatur itu semua. Di satu sisi pengusaha tetap dapat mempromosikan produknya melalui papan reklame, tetapi di sisi lain keindahan dan kerapihan kota tidak terabaikan. Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu contoh bagaimana instrumen tersebut digunakan dengan baik dan efektif. Untuk itu disusun Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Keberadaan Perbup seperti itu sebenarnya tidak istimewa, karena banyak daerah lain yang juga memilikinya. Yang membuat Banyuwangi berbeda adalah karena pemerintah daerah setempat melaksanakannya secara konsisten (sejauh ini). Dalam Perbup tersebut secara eksplisit disebutkan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam pemasangan reklame, yaitu: (1) Reklame yang menyatu dengan papan nama instansi pemerintah, sekolah dan tempat ibadah, (2) Penempatan reklame di jarak kurang dari 25 meter dari tempat pendidikan atau tempat ibadah, (3) Reklame permanen di berbagai fasilitas umum seperti trotoar jalan, tiang penerangan, tiang telepon, pagar pembatas jalan dan sebagainya, (4) Reklame di Ruang Terbuka Hijau (RTH), kecuali media informasi milik Pemda, (5) Penempatan penyangga reklame di dua sisi pembatas jembatan, (6) Reklame yang melintang di atas jalan arteri atau kolektor, serta (7) Reklame di beberapa jalan protokol. Berbagai larangan tersebut ditegakkan secara konsisten. Reklame yang sebenarnya tidak sejalan dengan Perbup tetapi sudah telanjur diizinkan (sebelum adanya Perbup) tidak diberi izin perpanjangan. Dengan demikian, setelah masa berlaku reklame tersebut berakhir, Pemda dapat mengambil tindakan tegas dengan membongkarnya (lihat Gambar 3.7).
26
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Selain berbagai larangan tersebut, Pemda Kabupaten Banyuwangi juga mempunyai kebijakan khusus terkait izin dan pajak reklame. Pajak reklame berlaku untuk 12 bulan, tetapi izin reklame hanya berlaku untuk 10 bulan. Dengan kata lain, Pemda menerapkan tarif pajak reklame yang secara efektif lebih mahal dibandingkan daerah lain. Pada masa awal penerapan kebijakan tersebut ada keberatan dari kalangan pengusaha, tetapi Pemda tetap memberlakukan peraturan tersebut sambil terus mencoba menjelaskan latar belakang dan tujuan peraturan. Karena Pemda konsisten, mau tidak mau kalangan pengusaha mengikuti ketentuan tersebut. Hasilnya, tidak ada lagi bando jalan di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Papan reklame tetap ada, tetapi tidak ada yang berukuran sangat besar. Kalau pun ada, reklame dalam ukuran besar tersebut adalah milik Pemda yang sedang mempromosikan berbagai kegiatan untuk menarik investor atau reklame Pemda yang berisi seruan atau ajakan tertentu. Suasana kota menjadi lebih tertata dan tidak terlalu ramai oleh kehadiran papan reklame. Terkait dengan tingginya tarif pajak reklame, ternyata pendapatan Pemda dari pajak tersebut tidak berkurang.
Apa yang dipaparkan tersebut merupakan sebuah contoh bagaimana izin dapat secara efektif digunakan sebagai instrumen pengendalian. Hal seperti itu tidak hanya dapat diterapkan dalam reklame, tetapi juga untuk bidang-bidang lain seperti pertambangan, perdagangan, tempat wisata dan sebagainya. Kemudahan izin memang diperlukan, karena dengan cara itu diharapkan tidak banyak hambatan yang dihadapi oleh para (calon) pengusaha, tetapi di sisi lain pengendalian kegiatan usaha tetap perlu dilakukan untuk tujuan lain yang tidak kalah pentingnya.
27
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.1.5. Menarik Investor dari Luar Daerah Investasi atau kegiatan usaha sangat penting peranannya dalam pembangunan ekonomi. Selain memproduksi barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, dengan adanya kegiatan usaha orang dapat bekerja dan memperoleh penghasilan. Hal penting lain yang tidak dapat diabaikan adalah adanya multiplier effect. Suatu investasi dapat mendorong munculnya kegiatan usaha lain yang terkait. Dalam beberapa kasus, investasi juga dapat mendorong perbaikan infrastruktur melalui pembangunan berbagai fasilitas yang sebenarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan usaha, tetapi pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat luas. Selain sebagai bagian dari pelayanan publik, PTSP sebenarnya juga merupakan salah satu upaya untuk menarik investor. Seperti telah disampaikan sebelumnya, kelahiran PTSP sendiri dimulai oleh terbitnya Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijaan Percepatan Perbaikan Iklim Usaha. Jelas bahwa secara historis PTSP lahir karena adanya kesadaran akan pentingnya memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Arah kebijakan tersebut dipertegas oleh Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2009 yang antara lain menyatukan fungsi pelayanan perizinan dengan fungsi penanaman modal ke dalam PTSP, sehingga cepat atau lambat PTSP juga dituntut untuk mampu menjalankan fungsi promosi investasi bagi daerahnya. Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu contoh yang baik dalam upaya menarik investor dari luar daerah, bahkan sebelum Peraturan Presiden itu keluar.
28
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Promosi dimulai oleh pucuk pimpinan daerah, yaitu Bupati Abdullah Azwar Anas yang memangku jabatan sejak 2010. Sebagai mantan anggota DPR, Bupati banyak memiliki koneksi dengan kalangan pengusaha dari luar Banyuwangi, khususnya dari Jakarta dan sekitarnya. Banyuwangi juga mendapatkan momentum terbaik dengan mulai dapat dioperasikannya lapangan terbang Belimbingsari, sehingga akses masuk dan keluar Banyuwangi menjadi lebih baik, tidak lagi hanya mengandalkan jalur darat dan laut. Tapi di luar itu semua, yang terpenting adalah semangat dan strategi yang tepat dalam mewujudkannya. Pemda menganalisis bahwa “pergi keluar” untuk berpromosi (melalui kegiatan pameran dan sejenisnya) tidak terlalu efektif. Waktu yang disediakan dalam pameran terbatas, sehingga informasi yang diperoleh oleh calon investor juga terbatas. Berbagai keterbatasan itu menyebabkan potensi besar yang dimiliki oleh Banyuwangi tidak dapat termafaatkan secara optimal. Oleh karena itu dirancang strategi untuk membuat orang tertarik datang dan mengetahui lebih banyak hal tentang Banyuwangi, khususnya potensi ekonominya. Dibuatkan berbagai kegiatan (event) yang terdiri dari berbagai jenis kegiatan seperti oleh raga, budaya, wisata, pameran dan sebagainya. Hampir setiap bulan ada kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai promosi daerah. Beberapa kegiatan yang dimaksud antara lain Banyuwangi Ethno Carnival, Tour de Ijen, Banyuwangi Jazz Festival, Festival Kuwung dan Gandrung Sewu. Dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, Banyuwangi berkembang menjadi daerah yang sangat sering dikunjungi oleh orang dari luar kabupaten. Kunjungan tersebut dapat bersifat kunjungan wisata maupun calon investor yang ingin melihat langsung potensi bisnis di kabupaten tersebut.
29
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Bagaimana pemerintah daerah membiayai semua kegiatan tersebut? Ada alokasi APBD untuk berbagai kegiatan promosi investasi, tetapi diakui sangat kecil nilainya. Bagian terbesar pengeluaran untuk berbagai kegiatan tersebut dibiayai melalui kerjasama dengan sektor swasta, baik dalam bentuk kerjasama sebagai sponsor komersial maupun kerjasama dalam konteks “partisipasi” atau bantuan. Untuk calon investor, PTSP menyediakan ruang presentasi yang sangat nyaman dan dilengkapi dengan sarana yang sangat memadai. Di situ calon investor dapat diberi penjelasan tentang potensi ekonomi, arah kebijakan pemerintah daerah, tata guna lahan, proses perizinan dan informasi lain yang biasanya sangat diperlukan sebelum mereka mengambil keputusan untuk membuka usaha di suatu daerah. Demikian juga sebaliknya. Dalam pertemuan di ruang presentasi itu pemerintah daerah juga bisa menanyakan berbagai hal terkait rencana investasi yang akan dilakukan oleh calon investor. Langkah itu diperlukan untuk meyakinkan bahwa rencana tersebut masih sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Itu menjadi hal yang sangat penting, karena pemerintah daerah bersikap selektif terhadap berbagai rencana investasi. Sebagai contoh, Kabupaten Banyuwangi memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan izin (baru) untuk pembukaan minimarket, supermarket/hipermarket dan tempat penginapan berkelas melati. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah berusaha melayani calon investor semaksimal mungkin. Selain fasilitas pengurusan izin usaha melalui PTSP, pemerintah daerah juga melayani calon investor dengan berbagai fasilitas lain termasuk antar-jemput dan transportasi selama mereka berada di Bayuwangi. Menurut istilah Kepala PTSP: “Pokoknya mereka hanya kami tinggal pas tidur saja.” Pemerintah daerah tahu, bahwa salah satu hal yang menjadi ‘hantu’ bagi investor dari luar adalah pengurusan persetujuan tetangga (sebagai salah satu syarat Izin Mendirikan Bangunan). Di banyak daerah, persetujuan tetangga harus diurus sendiri oleh investor. Hal itu sangat menyulitkan investor, karena sebagai orang luar mereka tidak kenal dengan masyarakat yang akan dimintai persetujuan. Ditambah dengan ketidakjelasan peraturan dan prosedur pengurusannya, tidak jarang investor mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk mengurus persetujuan tetangga itu. Seorang pengusaha hotel menyampaikan bahwa dia sudah mengeluarkan uang sampai Rp1,5 milyar tetapi tetap tidak dapat memperoleh persetujuan tetangga untuk rencana pembangunan hotel berbintang di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Menyadari hal itu, pemerintah daerah membuat kebijakan untuk memfasilitasi pengurusan berbagai izin yang diperlukan oleh investor, termasuk di dalamnya pengurusan persetujuan tetangga. Hasilnya luar biasa. Kombinasi antara berbagai upaya yang sangat intensif dalam menarik investor dari luar dengan kemudahan pengurusan izin membuat nilai investasi di Kabupaten Banyuwangi melonjak sejak tahun 2010 (awal masa jabatan bupati yang sekarang). Pada tahun 2010, nilai penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Banyuwangi adalah sekitar Rp17,8 milyar. Angka ini melonjak menjadi Rp804 milyar pada tahun 2011. Meskipun mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, nilai PMDN di Banyuwangi pada tahun 2012 tetap tinggi, yaitu sekitar Rp645 milyar.
30
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Angka penanaman modal asing (PMA) juga memperlihatkan perkembangan menarik. Pada tahun 2010 nilai PMA di Banyuwangi adalah Rp9,5 milyar. Peningkatan luar biasa terjadi pada tahun 2011, yaitu menjadi Rp959 milyar. Sebagaimana untuk PMDN, nilai PMA juga menurun pada tahun 2012 (menjadi Rp62 milyar), tetapi tetap jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2010. Perkembangan nilai PMA dan PMDN tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah daerah sangat efektif. Kuncinya adalah komitmen pemerintah daerah, pemilihan strategi yang tepat (yaitu bukan dengan pergi ke luar, tetapi membuat orang datang), kerjasama yang saling menguntungkan dengan sektor swasta, serta fasilitasi pengurusan izin usaha oleh pemerintah daerah. Dengan kemauan yang kuat, langkah dan strategi yang diterapkan oleh Kabupaten Banyuwangi sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ditiru oleh daerah lain. 3.1.6. Forum PTSP Provinsi sebagai Ajang Belajar Di era otonomi daerah, dimana urusan pemerintahan lebih banyak ditangani oleh kabupaten/kota, pemerintah provinsi sebenarnya masih dapat memainkan fungsi penting. Dalam penyelenggaraan PTSP, selain menyelenggarakan layanan perizinan yang menjadi kewenangan provinsi, PTSP Provinsi juga dapat berfungsi sebagai simpul informasi bagi PTSP kabupaten/kota. Ide sederhana itulah yang menjadi dasar pembentukan Forum PTSP di tingkat provinsi. Secara kelembagaan, Forum PTSP bersifat non-struktural dan tidak berpretensi untuk menjadi koordinator bagi PTSP Kabupaten/Kota. Forum PTSP lebih berfungsi sebagai ajang saling tukar informasi dan saling belajar antar penyelenggara PTSP Kabupaten/Kota. Untuk mencapai tujuan tersebut, PTSP Provinsi dapat memainkan peran sebagai inisiator, terutama dalam mengundang PTSP Kabupaten/Kota dan menyusun agenda diskusi. Agenda diskusi dapat berjalan secara vertikal (dari provinsi ke kabupaten/kota) maupun secara horisontal (antar kabupaten/kota). Sulawesi Selatan dan Jawa Timur adalah contoh bagaimana PTSP Provinsi dapat menjalankan fungsi tersebut dengan baik. PTSP Provinsi menjadi sumber informasi bagi kabupaten/kota mengenai berbagai kebijakan pemerintah terbaru, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan PTSP.
31
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Hal itu dimungkinkan karena PTSP Provinsi memiliki akses informasi yang baik terhadap berbagai kebijakan pusat. Akses itu bisa merupakan hasil inisiatif mereka sendiri, melalui kontak langsung dengan Kementerian Dalam Negeri, maupun melalui LSM yang menjadi mitra kerja mereka (baik yang ada di daerah maupun di pusat). Secara alamiah, sebagai ‘perpanjangan tangan’ pemerintah pusat, memang sudah seharusnya provinsi mempunyai akses informasi yang lebih baik daripada kabupaten/kota. Contoh: Sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan oleh pemerintah pusat kepada semua provinsi. Dalam kasus Jatim, PTSP Provinsi kemudian meneruskan hasil sosialisasi (khususnya yang terkait dengan perizinan) kepada PTSP Kabupaten/Kota melalui Forum PTSP Provinsi. PTSP Provinsi tidak harus menjadi narasumber. Mereka juga dapat bertindak sebagai fasilitator forum dan mendatangkan narasumber yang relevan. Oleh karena itu, sebaiknya PTSP Provinsi juga mengalokasian anggaran untuk keperluan Forum PTSP Provinsi sebagai bagian dari anggaran operasional PTSP. Adanya Forum PTSP Provinsi juga penting bagi para pejabat penyelenggara PTSP yang baru saja ditunjuk. Dalam beberapa kasus, pejabat baru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang PTSP. Dalam kondisi demikian, para pejabat tersebut dapat menggunakan Forum PTSP Provinsi sebagai kesempatan belajar tentang apa, mengapa dan bagaimana PTSP diselenggarakan. 3.1.7. Belajar dari “Teman Sebaya” Sebagian daerah di Indonesia telah membentuk forum PTSP. Ada keragaman alasan pembentukan forum. Namun, secara umum, dapat dikatakan keberadaan forum dimaksudkan sebagai wadah pertemuan antara pejabat PTSP untuk membahas persoalan-persoalan yang muncul, di mana PTSP dapat saling belajar dari satu sama lain. Dalam perjalanannya, sebagian forum mampu bertahan, bahkan terus eksis menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh anggotanya. Sementara itu, ada pula forum yang gagal berlanjut karena berbagai sebab.
32
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Terdapat dua tingkatan formal forum PTSP. Tingkat pertama adalah tingkat nasional, di mana anggotanya adalah PTSP provinsi dan kabupaten/kota. Dua lembaga, yaitu Kemendagri dan BKPM masing-masing memiliki corak forumnya sendiri. PTSP provinsi dan kabupaten/kota dapat bergabung dengan kedua-duanya atau memilih salah satu tergantung kebutuhannya sebab ada PTSP yang hanya fokus kepada aspek penanaman modal. Tingkat kedua adalah PTSP provinsi. Anggotanya adalah PTSP kabupaten/kota. Oleh karena lingkupnya provinsi, biasanya PTSP provinsi ditunjuk sebagai ketua atau pengarah forum. Dengan kata lain, tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan forum berada di tangan provinsi. Ini termasuk melakukan agenda setting dan penganggaran. Di lapangan ada juga variasi seperti PTSP provinsi menjadi pengarah, sedangkan salah satu PTSP kabupaten/kota ditetapkan sebagai ketua. Tanggung jawab pengelolaan dan keberlangsungan kemudian dibagi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Ada persoalan mendasar yang lazim mengemuka dalam forum PTSP tingkat provinsi, yaitu apabila pemerintah provinsi sendiri belum memiliki PTSP atau telah memiliki namun belum berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut biasanya disiasati dengan memberi peran lebih besar kepada PTSP kabupaten/kota yang lebih maju, sedangkan provinsi mengambil peran mendukung. Siasat ini tentu saja tidak solutif ketika provinsi pada dasarnya tidak memberikan dukungan kepada forum maupun pengembangan PTSP itu sendiri. Terlepas dari berbagai keragaman situasi itu, Forum PTSP seperti apakah yang terbukti berhasil? Berhasil di sini tidak dimaknai sebagai hanya berupa pertemuan seremonial, tetapi sungguh-sungguh bermanfaat bagi PTSP. Dalam kerangka cara pandang tersebut, pemahaman tentang forum kemudian menjadi melampaui formalisme forum, tetapi bergerak menuju intensitas relasi dan kesediaan untuk saling berbagi di antara PTSP. Temuan di lapangan dari praktik baik forum PTSP menunjukkan terdapat dua macam forum PTSP yang berhasil. Pertama adalah forum PTSP formal yang berjalan dengan dukungan penuh pemerintah provinsi. Kedua adalah forum yang lebih dekat kepada relasi informal yang berlangsung relatif tanpa keterlibatan maksimal dari provinsi. Pada forum jenis pertama, forum formal digunakan sebagai ajang untuk mewacanakan perkembangan terbaru yang terkait dengan PTSP, baik mengenai regulasi, mekanisme kerja, kelembagaan, sumber daya manusia dan sebagainya. Forum semacam ini diisi dengan pertemuan seluruh anggota, termasuk dengan mengundang pihak terkait. Dalam pertemuan, semua pihak saling berdiskusi sambil masing-masing menjajaki kemungkinan penerapan gagasan atau wacana yang muncul dalam forum di tempatnya. Daerah yang telah menjalankan akan menceritakan pengalamannya, sedangkan daerah yang belum akan bertanya untuk mencari tahu. Forum semacam ini memberi kesempatan kepada semua untuk belajar.
33
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Bagi petinggi PTSP, forum formal tersebut juga merekatkan hubungan dengan sesama pejabat di daerah lain. Ada banyak kisah di mana hubungan yang cair lewat pertemuan-pertemuan memungkinkan para pejabat PTSP untuk bekerjasama maupun saling berkomunikasi di luar forum. Ada saja kepala PTSP yang memanfaatkan jaringan di forum untuk menanyakan kalau-kalau PTSP lain dapat membantu menemukan solusi atas masalah yang dihadapi instansinya. Forum PTSP pun menciptakan komunitas komunikatif yang sehari-hari bergulat dengan isu yang sama. Temuan di lapangan menunjukkan efektivitas forum semacam itu cukup baik, dilakukan dengan agenda setting yang Sejumlah PTSP kemudian menginisiasi perubahan daerahnya setelah mengikuti forum. Daerah yang mengikuti forum tetapi sepenuhnya mengoperasionalisasikan PTSP didorong untuk mulai mengambil langkah berbeda. Hal terakhir ini dialami antara lain oleh Pemkab Toraja Utara yang setelah hampir tahun memiliki perda tentang perizinan akhirnya melengkapi kelembagaan dan SDM PTSP.
sejauh tepat. d i belum akan
d u a
Meski demikian, forum formal seperti ini umumnya membutuhkan dukungan pihak luar untuk melakukan agenda setting. Ini dikarenakan PTSP provinsi sendiri kadangkala masih belajar mengenai pengelolaan PTSP. Sejumlah PTSP menggandeng Kemendagri atau BKPM untuk membantu, sebagian lainnya bekerjasama dengan lembaga konsultan. Forum PTSP bisa saja tidak merancang sendiri agendanya, tetapi pembelajaran dari praktik baik di lapangan memperlihatkan bahwa forum perlu selalu membuka dan menjalin komunikasi dengan sumber informasi maupun pengetahuan tentang PTSP. Sumber ini bisa apa atau siapa saja sejauh memungkinkan forum memenuhi fungsinya untuk tempat belajar dan berdiskusi. Tanpa suplai informasi dan pengetahuan dari ‘pihak yang lebih tahu,’ forum PTSP formal menjadi rentan terjatuh kepada formalisme kegiatan. Forum kemudian menjadi sekadar pertemuan seremonial dengan agenda pembahasan yang tak jarang basi atau ketinggalan. Ketika ini terus berlanjut, pejabat PTSP pun kehilangan alasan untuk rutin mengikuti forum. Sebagai ganti, mereka hanya mengutus stafnya untuk menghadiri forum. Dengan demikian, fungsi ideal forum sebagai tempat berkomunikasi melemah. Adapun forum jenis kedua, adalah forum informal, di mana tidak ada struktur yang jelas dan peran provinsi biasanya minimal, untuk tidak mengatakan tidak ada. Peran provinsi yang minimal juga terkadang disebabkan persoalan yang dihadapi PTSP provinsi berbeda dengan yang sehari-hari dialami PTSP kabupaten/kota.
34
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pengalaman menunjukkan PTSP kabupaten/kota yang bertanya kepada provinsi kerapkali tidak memperoleh solusi karena provinsi juga tidak memiliki informasi maupun pengalaman yang relevan. PTSP provinsi umumnya lebih difokuskan pada perizinan di bidang penanaman modal, sedangkan PTSP kabupaten/kota malah cenderung tidak banyak menggeluti bidang tersebut. Sebaliknya, provinsi tidak terlalu memahami perizinan ‘kecil,’ seperti SIUP, IMB dan lain-lain, yakni makanan sehari-hari PTSP kabupaten/kota. Dalam hal ini, proses belajar memang lebih cocok antara sesama PTSP kabupaten/kota. Dalam forum semacam ini yang berelasi akhirnya adalah satu PTSP dengan PTSP lain secara langsung. Mereka mengikat kerjasama, entah tertulis resmi maupun lisan untuk saling belajar. Karena sama-sama di tingkat kabupaten yang menangani persoalan teknis, pembelajaran yang terjadi juga menjadi terasa lebih mengena. Praktik di lapangan memperlihatkan cara berelasi dan belajar yang beragam. Ada PTSP yang mengirimkan stafnya untuk menjalani magang di PTSP yang sudah baik. Ada pula PTSP yang meminta PTSP yang sudah baik untuk mendampingi upaya pengembangan di tempatnya. Apapun model kerjasama yang dipilih, dipersyaratkan adanya PTSP yang sudah baik di wilayah bersangkutan. Tanpa itu, model ini menjadi sulit dilakukan. Di sini sudah baik tidak berarti PTSP berhenti belajar. Seorang pengelola PTSP mengungkapkan pengalamannya sebagai berikut:
“Kami mengambil paparan praktik baik dari daerah-daerah. Bagus di kami belum tentu di daerah lain. Begitu juga bagus di daerah lain belum tentu di kami. Selalu masih dapat sesuatu.” Saling belajar ternyata tidak terbatas di antara PTSP dalam satu provinsi. Tidak jarang ada PTSP yang belajar ke luar provinsinya karena di wilayahnya belum ada PTSP yang dapat dijadikan rujukan. Namun, hal ini dapat dikatakan telah di luar lingkup ‘forum’ provinsi. PTSP yang saling belajar dengan PTSP di provinsi yang sama akan tetap mengikuti forum formal di wilayahnya apabila sudah ada. Namun, karena berbagai keterbatasan yang ada, keikutsertaan dalam forum formal tersebut lebih untuk menjaga relasi dengan sesama PTSP di tingkat provinsi. Guna meningkatkan mutu forum, PTSP akan mengundang pihak luar sebagai narasumber. Kehadiran pihak luar, apalagi jika dari pemerintah pusat, juga diharapkan memotivasi anggota forum untuk menjalankan agenda perubahan. Pembelajaran antar PTSP seringkali berlanjut hingga tahap yang serius, di mana PTSP yang belum baik mengadopsi sistem, SOP, maupun manual kerja di PTSP yang sudah baik. Ketika disepakati bahwa perlu pendampingan yang intensif, PTSP yang didampingi biasanya akan menyediakan anggaran yang dibutuhkan. Meski demikian, PTSP pendamping tidak mengenakan biaya jasa asistensi. PTSP pendamping akan mengutus staf teknis untuk secara periodik memeriksa kemajuan.
35
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Relasi yang langsung dan cair semacam itu membuat setiap PTSP juga berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari. PTSP yang sudah baik dijadikan tempat bertanya tentang bermacam hal, termasuk informasi terbaru mengenai PTSP. Ada daerah di mana antar PTSP tidak terdapat kesepakatan kerjasama, tetapi komunikasi tetap dilakukan pada berbagai kesempatan. Pengelola PTSP membagikan pandangan pihaknya mengenai bantuan bagi PTSP yang belum baik melalui wadah forum demikian:
“Kami mau karena kami ingin menciptakan satu visi PTSP, yaitu orang masuk provinsi ini bisa dilayani dengan satu sistem. Bisa online sama. Ini semestinya provinsi yang memikirkan. Ini perasaan yang sama di kabupaten/kota. Investor masuk, syaratnya sama semua, tapi inikan tidak mudah.” “Begitu ada daerah bilang mau punya sistem layanan seperti di kami, mereka bilang sudah kami ikut kalian saja, kami bilang kalau begitu pakai saja. Akhirnya syarat dan sistemnya sama. Tidak ada imbalan apa-apa untuk kami. Perangkat mereka sediakan sendiri. Mereka hanya beri uang lelah untuk staf teknis (tim IT).” PTSP Kubu Raya merupakan salah satu PTSP yang menjadi teman belajar bagi PTSP lain. Belakangan ini, mereka memfungsikan situs web untuk menyampaikan informasi terbaru mengenai PTSP yang tidak saja dapat dibaca oleh pihak luar, tetapi juga sesama PTSP. Situs web tersebut diperbarui secara rutin. Selain situs web, Kubu Raya menggunakan media sosial Facebook, juga situs blog. “Kami sampaikan kepada teman-teman PTSP kabupaten/ kota bahwa mereka bisa mengakses website kami untuk memperoleh informasi. Kalau ada hal tertentu yang belum dimengerti, kami persilakan mengontak kami,” kata seorang pengelola PTSP Kubu Raya. Kubu Raya bersedia memberikan contoh dokumen bila diminta. Forum PTSP yang baik mampu bertahan karena ada kesediaan untuk saling berbagi. Ada keterbukaan dan kerendahan hati untuk mendengarkan dan membantu. Forum menjadi tempat bagi PTSP untuk mencari tahu bagaimana mereka dapat mencapai kinerja yang lebih baik, pun ketika dukungan dari pemda masing-masing dirasakan kurang memadai. Mereka bisa saja mencari informasi ke BKPM atau Kemendagri, atau pihak lain dengan kewenangan dan pengetahuan yang melampaui mereka. Namun, yang dialami oleh PTSP yang saling belajar dengan sesama PTSP sejenis berbeda. Dengan bertanya kepada yang konteksnya kurang lebih sama dan telah menjalani sendiri, PTSP bisa berharap mendapatkan informasi yang lebih sesuai dengan masalah spesifik yang dihadapinya.
36
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.2. Aspek Teknis 3.2.1. Membentuk Tim Teknis yang Efektif Sebagaimana disampaikan di bagian awal buku ini, salah satu ciri utama PTSP adalah keberadaan Tim Teknis yang terdiri dari unsur-unsur SKPD Teknis tetapi bekerja di bawah koordinasi Kepala PTSP. Dengan adanya Tim Teknis, koordinasi kelembagaan antara PTSP dengan SKPD dalam pemrosesan izin tidak perlu lagi secara langsung, cukup melalui Tim Teknis. Dalam praktik, tidak mudah membentuk Tim Teknis yang efektif. Dalam beberapa kasus, SKPD Teknis enggan mengirim orangnya untuk bertugas sebagai anggota Tim Teknis dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus lain, Tim Teknis ada, tetapi tidak diberi kewenangan yang cukup, sehingga dalam pemrosesan izin masih diperlukan rekomendasi teknis yang harus ditandatangani oleh Kepala SKPD. Hal seperti itu tentu saja menyebabkan pemrosesan izin memakan waktu labih lama, karena meskipun sudah ada PTSP, tetapi pemrosesan izin lebih mirip dengan sistem pelayanan satu atap. Kabupaten Aceh Selatan adalah contoh daerah yang mampu membentuk Tim Teknis yang efektif untuk PTSP-nya. Tim Teknis dibentuk melalui SK Bupati dan beranggotaan unsur-unsur dari dinas. Orang yang terlibat dalam Tim Teknis adalah mereka yang mendapat mandat dan penugasan dari Kepala SKPD untuk bertindak untuk dan atas nama SKPD dalam pemrosesan izin. Jika ada permohonan izin yang membutuhkan survei lapangan, Kepala PTSP mengundang Kepala SKPD yang relevan untuk memutuskan apakah benar diperlukan survei lapangan atau tidak. Jika dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa memang diperlukan tinjauan/survei lapangan, maka Kepala PTSP akan menugasi Tim Teknis dari unsur SKPD terkait untuk melaksanaan survei lapangan tersebut. Setelah survei lapangan dilakukan, Tim Teknis membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pada intinya berisi kesimpulan apakah permohonan izin tersebut layak diproses lebih lanjut atau tidak.
37
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Mekanisme kerja Tim Teknis tersebut di atas memperlihatan bahwa rekomendasi teknis dari Kepala SKPD tidak diperlukan lagi, cukup dari Tim Teknis. Hanya saja, perlu dicatat bahwa khusus untuk izin-izin bidang kesehatan masih membutuhkan rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan, karena ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mensyaratkan rekomendasi hal itu. Sejak tahun 2014, anggaran untuk Tim Teknis berasal dari KPPT. Total anggaran untuk pelaksanaan tinjauan lapangan per tahun adalah sekitar Rp 80 juta. Dalam satu minggu Tim Teknis melakukan satu hingga dua kali survei lapangan dengan model pendekatan per wilayah (untuk beberapa izin yang sedang diproses). Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efesiensi waktu dan biaya, terutama untuk lokasi izin yang relatif jauh. Tim Teknis yang melakukan survei ke lapangan biasanya eselon berasal dari pejabat eselon IV (bahkan kadang-kadang eselon III) didampingi sejumlah staf. Hambatan dalam pelaksanaan tim teknis secara umum adalah keterbatasan sarana dan prasarana untuk melakukan kunjungan ke lapangan. Kendaraan operasional yang digunakan untuk survei lapangan terbatas, yaitu satu unit mobil dan empat unit sepeda motor. Hal itu pula yang menjadi pendorong dilakukannya tinjauan lapangan dengan sistem wilayah (bukan satu izin satu tinjauan), karena dengan demikian penggunaan kendaraan menjadi lebih efisien. Masalah dukungan SKPD Teknis yang menjadi kendala di banyak daerah tidak dihadapi oleh PTSP Aceh Selatan. Ada beberapa faktor yang menjadi menyebabkan tidak ada masalah dalam hal koordinasi dengan SKPD di Aceh Selatan, yaitu: • SKPD Teknis dilibatkan dalam penyusunan SOP, sehingga tercapai kesamaan pemahaman dan persepsi serta kesepakatan bersama terkait standar waktu, persyaratan dan prosedur pelayanan, termasuk di dalamnya tugas, peran dan fungsi Tim Teknis. • Pendekatan persuasif dan kekeluargaan dengan cara mendatangi/mengunjungi SKPD Teknis oleh kepala KPPT sehingga mereka merasa dihargai dan diakui eksistensinya • Dukungan dan komitmen yang kuat dari pimpinan (bupati) terhadap PTSP KPPT Aceh Selatan yakin bahwa SKPD memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap izin yang diterbitkannya. Tanggung jawab muncul karena itu sesuai dengan tupoksinya, bahwa pengawasan, pembinaan dan pengendalian masih menjadi kewenangan SKPD. SKPD merasa bahwa PTSP (beserta Tim Teknis sebagai salah satu perangkatnya) saling mendukung dengan SKPD. Selain itu, adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara menjadi motivasi bagi pegawai. Semakin bagus kinerja seseorang, maka akan semakin banyak tugas dan pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. 3.2.2. Menyusun SOP dan Standar Pelayanan yang Baik Sebelum upaya reformasi pelayanan perizinan mulai dilakukan, salah satu kendala utama yang dihadapi pengelola perizinan adalah ketiadaan standar pelayanan baku sebagai rujukan. Standar ini meliputi bermacam aspek, termasuk lama waktu pengurusan, syarat kelengkapan berkas, besaran biaya, pihak yang harus ditemui dan berwenang dan sebagainya. Ada ketidakpastian dan dalam ketidakpastian itulah segala jenis penyimpangan dan buruknya pelayanan menjadi hampir niscaya.
38
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Empat daerah yang menjadi studi kasus dalam identifikasi praktik yang baik (Barru, Kubu Raya, Banyuwangi dan Aceh Selatan) semua mencoba menyelesaikan persoalan ketidakpastian tersebut dengan menyusun SOP dan standar pelayanan minimal. SOP dan standar layanan disahkan sebagai rujukan bagi SKPD teknis maupun PTSP sendiri. Sebagian PTSP mempublikasikan SOP dan standar layanan ini kepada masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memiliki ekspektasi terhadap pelayanan yang diterima, bahkan mempersoalkan apabila tidak dipenuhi. Atas dasar itu, dapat dikatakan langkah penyusunan SOP dan standar layanan serta mengumumkannya kepada publik merupakan sesuatu yang amat berani dan progresif. Karena keberanian dan progresifitas itulah, penyusunan SOP dan standar pelayanan sungguh bukan hal yang mudah. Berdasarkan pengalaman PTSP di beberapa daerah, kegiatan ini membutuhkan waktu untuk dibahas bersama pihak terkait. Pihak terkait, terutama instansi teknis dilibatkan, sebab SOP dan standar pelayanan juga akan mengikat kinerja mereka. Ini menjadi indikator pencapaian bersama. Tanpa keterlibatan instansi teknis, SOP dan standar menjadi serupa macan ompong, hanya mengaum di atas kertas, tetapi tumpul dalam implementasi. Beberapa PTSP mengalami bahwa keinginan menyusun SOP dan standar pelayanan juga perlu dibawa dalam forum multipihak, selain dengan membangun komunikasi formal antara PTSP dengan SKPD. Ini karena forum multipihak memungkinkan perihal SOP dan standar pelayanan dibicarakan secara terbuka sehingga ada semacam tekanan publik yang didengarkan oleh semua. Proses ini juga menjadi lebih berhasil karena PTSP melibatkan bupati dan sekda. Di beberapa tempat, sekda yang memimpin langsung proses penyusunan. Posisi yang lebih tinggi membuat suara sekda memiliki otoritas yang mau tidak mau harus didengarkan oleh SKPD. Meski demikian, PTSP belajar bahwa perubahan semacam ini tidak dapat dilakukan dengan tangan besi. Bagaimanapun, SKPD juga yang akan melaksanakan SOP dan standar pelayanan itu. Selalu terbuka kemungkinan mereka tidak sepenuh hati menjalankannya jika sejak awal merasa diabaikan, bahkan dipaksa. Penetapan SOP dan standar pelayanan memiliki implikasi terhadap mekanisme kerja maupun hasil yang dianggap baik bagi pihak terkait. Dalam hal mekanisme kerja, misalnya, pihak terkait dituntut mempercepat dan mempermudah proses pengurusan izin. Waktu penerbitan IMB yang ambil contoh semula 14 hari jika ditetapkan menjadi maksimal enam hari dengan sendirinya membuat SKPD harus bekerja lebih cepat. Standar kinerja yang lebih tinggi menuntut kerja yang lebih keras.
39
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Perubahan SOP dan standar pelayanan juga dimungkinkan tidak hanya berlangsung sekali. Apabila jumlah izin yang dilimpahkan kepada PTSP bertambah, SOP dan standar pelayanan biasanya akan disesuaikan. Setelah SOP dan standar pelayanan jadi pun, masih ada kebutuhan untuk memastikan ketentuan tersebut ditaati. Menjadi wajar bila dalam prosesnya, ada keengganan dari pihak-pihak yang merasa terganggu atau terbebani oleh perubahan itu. Berdasarkan pengalaman PTSP yang baik, proses penyusunan SOP dan standar pelayanan dimulai dengan mewacanakan hal itu dalam pertemuan dengan instansi teknis, sekda dan akhirnya kepala daerah. Pewacanaan dilakukan pada beberapa kesempatan, baik melalui pertemuan formal dalam bentuk workshop multipihak dan forum PTSP maupun informal lewat komunikasi antar pimpinan instansi. PTSP sengaja mengundang pihak luar yang berkompeten sebagai narasumber untuk memperkuat wacana. Dari hasil pewacanaan, PTSP mulai mengkomunikasikan implementasinya dengan instansi teknis. PTSP mendorong agar kepala daerah menunjuk sekda sebagai pemimpin kelompok kerja. Sejumlah pertemuan bertukar pikiran dilakukan. Setelah itu, sekda meminta instansi teknis bersama-sama menelusuri kemungkinan penetapan standar kinerja dan mekanisme kerja. Seorang pengelola PTSP yang terlibat penuh dalam proses penyusunan membagikan pengalamannya di bawah ini:
“Ketika menyusun standar untuk IMB, kami bersama-sama menelusuri pekerjaan tim teknis dalam mengurus IMB. Kami dipimpin sekda. Beliau kebetulan mantan kepala dinas PU sehingga mengetahui persis. Kami buka, berikan alasan, apa sih kerja tim teknis di lapangan. Penelusuran itu menjadi dasar kami untuk menetapkan bisa tidak kalau menjadi enam hari. Akhirnya sepakat dan bisa jalan.”
40
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Syamsir, kepala PTSP Barru, mengatakan komitmen dari pimpinan daerah sangat diperlukan dalam proses ini. Penunjukan sekda untuk memimpin tim membuat semuanya lebih mudah. “Kalau sesama SKPD yang rapat, bertengkarnya bisa 10 jam,” tukas dia. Menurutnya, keterlibatan unsur di luar pemerintah sebagai pengawas dan penekan juga memberi kontribusi. Dalam pengalamannya, unsur non pemerintah dapat membantu menjaga agar pemerintah tetap berjalan di koridor pelayanan publik. Karena itu, keterlibatan unsur non pemerintah secara nyata perlu selalu dimungkinkan, bahkan disyaratkan dalam proses pembahasan serupa. Secara konkrit, adanya SOP dan standar pelayanan juga membantu kelancaran pelaksanaan tupoksi PTSP maupun instansi teknis. Bagi PTSP, SOP membuat sistem dapat berjalan, pun ketika terjadi pergeseran staf atau pejabat. “Secara umum pergantian staf tidak menjadi masalah karena SOP sudah memberikan kepastian dan kejelasan prosedur dan mekanisme. Sudah diatur siapa mengerjakan apa dan lain-lain,” jelas seorang pengelola PTSP. Dengan SOP dan standar pelayanan, siapapun yang melayani atau mengerjakan tugas hasilnya diharapkan sama. “Sekarang kalau saya meninggalkan kantor untuk urusan di luar, sistem sudah jalan. Kebijakan dari atas sudah berjalan,” kata seorang kepala PTSP tentang manfaat SOP dan standar pelayanan. SOP di beberapa daerah telah disahkan dengan SK kepala daerah. Sementara itu, ada daerah yang menggunakan SK kepala PTSP. Dasar hukum yang lebih kuat dengan SK kepala daerah memberi daya paksa yang lebih besar pula kepada pihak terkait untuk menjalankannya. Meski demikian, sekali lagi, pembelajaran di lapangan menunjukkan proses ini sebaiknya tidak dipaksakan. PTSP selalu dapat memulai dari apa yang memungkinkan, untuk ditingkatkan saat ada kesempatan. “Kalau mau sekalian, resistensi akan besar. Semua ada resistensi termasuk dari SKPD. Tidak bisa langsung,” papar seorang pengelola PTSP. 3.2.3. Mengelola Sumber Daya Manusia di PTSP PTSP yang baru dibentuk pada umumnya menerima suplai tenaga kerja dari instansi pemerintah lainnya. Dalam perjalanannya pun, model transfer pegawai ini tetap dilakukan, terutama ketika belum ada jatah untuk merekrut PNS sendiri. Cara tersebut cukup ampuh mengisi kekurangan jumlah SDM. Masalahnya, yang kerapkali terjadi adalah instansi lain hanya memberikan orang yang tidak mereka inginkan di tempat mereka, entah karena yang bersangkutan dinilai kurang mampu bekerja atau tidak lagi dibutuhkan. Dengan profil SDM yang tidak ideal tersebut, upaya perbaikan pelayanan perizinan pun menemui tembok tinggi. Sejumlah PTSP mengalami bahwa orang yang dipindahkan dari instansi lain tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam pelayanan perizinan. Ada juga orang yang membawa serta etos kerja di tempat lama ke PTSP, sehingga menghambat perubahan. Dengan demikian di samping problem pola pikir, PTSP menghadapi SDM yang tidak kapabel secara teknis. Maka, tantangan besar yang perlu diatasi adalah mengelola sumber daya manusia tersebut sedemikian rupa sehingga kinerja yang dihasilkan memenuhi standar pelayanan minimal.
41
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Praktik baik dari sejumlah PTSP menunjukkan bahwa problem pola pikir diatasi dengan mendorong staf mematuhi SOP dan standar pelayanan yang ditetapkan. Secara berkala, PTSP melakukan pertemuan internal untuk membahas persoalan yang muncul serta mengevaluasi pencapaian. Diciptakan situasi di mana staf PTSP bersikap terbuka. Ini dimulai dengan sikap terbuka dari pucuk pimpinan. Pertemuan tidak untuk mencari kesalahan, tetapi semua diajak melihat ke depan, dalam hal ini, bagaimana memperbaiki kekurangan. Pada awalnya, keterbukaan belum muncul. Namun, seiring dengan waktu dan contoh yang diberikan, staf menjadi lebih terbuka satu sama lain. Pemimpin memberikan contoh kepada staf. Ketika ada staf yang kurang optimal dalam bekerja, pemimpin mencoba mendekati dan menanyakan apa penyebabnya. Sebagian orang yang ‘dibuang’ dari instansi asalnya diketahui bukan karena malas atau tidak mampu. Ada juga yang tidak diberi peran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Pemimpin mencoba menggali potensi dan minat masing-masing orang dan sedapat mungkin memberikan pekerjaan yang sesuai, kecuali jika sama sekali tidak memungkinkan karena semua peran yang ada telah terisi. “Kami coba memanusiakan mereka,” tutur seorang kepala PTSP. Di PTSP Kubu Raya, staf diminta agar rajin membaca dan mencari pengetahuan baru dengan melakukan browsing di internet menggunakan fasilitas kantor. Sesekali kepala PTSP mengecek berapa kali dalam sehari staf juga membuka situs web PTSP. Pemimpin terus memberikan semangat kepada staf agar selalu mau berkembang menjadi lebih baik setiap hari. Perubahan pola pikir juga pada akhirnya berkaitan dengan sejauh mana staf bersedia melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbal balik. Harus diakui, PTSP, kendati hanya di tingkat kabupaten, merupakan lahan yang basah bagi peluang terjadinya pungutan liar. PTSP Barru mencoba menangani persoalan pungli dengan penerbitan peraturan bupati tentang tunjangan kesejahteraan pegawai. Sebelumnya, ada semacam biaya tidak resmi untuk setiap permohonan pengajuan izin sebesar Rp 50.000. Sejauh ini, peraturan bupati tersebut belum diimplementasikan tanpa alasan yang jelas. Bersamaan dengan itu, PTSP berupaya mengatasi dengan menerbitkan ketentuan mengenai biaya pengurusan izin yang ditampilkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat pemohon di kantor PTSP. Di samping itu, besaran biaya pengurusan untuk sebagian besar izin juga dicantumkan pada blanko pendaftaran. Sementara itu, PTSP Kubu Raya juga menetapkan sejumlah langkah untuk menekan kemungkinan pungli. Selain membuat Perda Retribusi Perizinan dan Peraturan Bupati tentang Standar Operasional Prosedur sebagai payung hukum. PTSP juga bekerjasama dengan BPD Kalbar untuk membuat kantor kas di kantor PTSP. Dengan begitu, pembayaran retribusi langsung dilakukan di kantor bank. PTSP juga mencetak nilai biaya retribusi atau pajak pada sertifikat perizinan maupun non perizinan.
42
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Seiring dengan upaya mengubah pola pikir, sejumlah PTSP juga menyiasati relatif rendahnya kemampuan teknis SDM dengan beberapa cara. Salah satu yang paling sering dilakukan adalah mengikutkan staf dalam pelatihanpelatihan, baik yang diadakan secara internal (in-house training) secara mandiri atau bersama lembaga konsultan maupun yang diselenggarakan pihak luar, seperti BKPM dan Kemendagri. Diklat-diklat semacam ini dianggap cukup bermanfaat bagi staf sebab memperkaya pengetahuan dan pengalaman mereka. Hanya saja, kekurangan dari pelatihan semacam ini adalah singkatnya waktu dengan agenda pelatihan yang tak jarang juga meleset dari kebutuhan karena tidak dirancang khusus (customized) bagi setiap PTSP dengan konteks dan permasalahan yang berbeda-beda. Kelemahan dari sisi kualitas dalam sejumlah kasus juga ditambah dengan kekurangan secara kuantitas. Untuk menyiasati kekurangan tenaga, PTSP menambah pekerjaan dari staf yang dianggap memiliki kemampuan lebih. Karena sistem remunerasi staf PTSP belum banyak memungkinkan staf yang rajin atau memiliki beban kerja lebih besar juga memperoleh imbalan yang lebih tinggi, maka beberapa PTSP menyiasati dengan sengaja memberikan lebih banyak kesempatan tugas keluar kepada staf tersebut. Dengan banyak tugas keluar, staf akan menerima uang perjalanan dinas lebih besar. Ini semacam penghargaan kepada staf yang rajin dan pandai. Mengingat pelayanan perizinan pada dasarnya bersifat jasa, maka staf PTSP diminta untuk meneladani bagaimana pegawai di sektor jasa, seperti perbankan dan asuransi, melayani nasabahnya. Kepuasan nasabah diutamakan dengan perhatian kepada detail kecil saat memberikan pelayanan, seperti tidak lupa untuk selalu tersenyum. Staf selalu diingatkan tentang hal ini dalam pertemuan berkala maupun langsung secara personal dalam waktu kerja sehari-hari. Seorang pengelola PTSP menyampaikan pengalamannya demikian:
“Yang harus kami lakukan adalah bagaimana mengubah mindset dari mental priyayi menjadi pelayan masyarakat. Sangat susah sebenarnya.” Perubahan pola pikir dan peningkatan kemampuan teknis diakui membutuhkan waktu. Bahkan, setelah sekian lama, selalu saja ada staf yang belum mampu bekerja sesuai harapan. Praktik baik PTSP menunjukkan bahwa perubahan pada aspek SDM pada akhirnya juga dilakukan dengan berkonsentrasi mengembangkan sebagian staf yang mampu dan menunjukkan keinginan untuk bekerja dengan sepenuh hati. Adapun mereka yang masih ogah-ogahan diharapkan mengikuti saja dengan penekanan kepada penegakan SOP dan standar pelayanan. Dengan demikian, pelayanan PTSP sesungguhnya digerakkan oleh sebagian staf saja, sedangkan yang lain dibiarkan mengikuti. “Orang yang bandelnya 10, sekarang kami dorong limalah,” begitu seorang pengelola PTSP menggambarkan upaya pihaknya.
43
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
PTSP Barru membuat slogan bersama bagi seluruh staf yang berbunyi: ‘ikhlas bekerja, simpatik melayani.’ Slogan ini dirumuskan bersama-sama staf dan disepakati sebagai nilai yang diperjuangkan bersama. Slogan dibuat untuk memotivasi staf. Bahwa berubah secara pribadi mungkin sulit, tetapi karena ini dilakukan secara tim maka diharapkan semua mengikuti. PTSP Barru belakangan menggunakan slogan masiga, yaitu akronim dari Ramah, Pasti dan Gampang. Dalam bahasa Bugis, masiga juga berarti ‘cepat.’ “Itu menjadi ruh. Kalau tidak, Anda bukan masiga,” begitu Kepala PTSP Barru Syamsir mengulang-ulang menyampaikan kepada staf maupun anggota tim teknis dari instansi lain yang bekerja bersama PTSP. Ada PTSP yang mengadakan semacam pemilihan staf terbaik bulan ini (best employee of the month) sebagai bagian dari upaya memotivasi secara positif. Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga kualitas pelayanan secara umum dengan SDM yang ada adalah meminta kepada kepala daerah agar tidak melakukan mutasi selama periode tertentu terhadap staf yang telah dilatih. Pelatihan bagi staf diusahakan berlangsung rutin dengan aspek yang menjadi fokus adalah cara melayani (service excellence) dan pengetahuan teknis. Berdasarkan pengalaman beberapa PTSP, upaya meningkatkan kapasitas SDM dengan cara-cara tersebut dapat dikatakan telah membuahkan hasil. Di Kubu Raya, sejumlah staf bahkan mampu menjadi pendamping bagi PTSP lain. Kepala PTSP memberikan kepercayaan kepada staf untuk menggantikan pada sejumlah forum. Penugasan kepada staf untuk mewakili kepala PTSP dengan demikian tidak dilakukan tanpa dasar, tetapi dengan maksud menumbuhkan sekaligus menunjukkan kepercayaan. Kepercayaan dibangun dengan secara konkrit memberi peran kepada setiap orang sesuai dengan kapasitasnya. Seorang kepala PTSP menyampaikan pengalamannya sebagai berikut:
“Kalau ada anggota forum PTSP ingin berkomunikasi di level teknis, saya sarankan langsung ke staf teknis. Kenapa saya yakin memberikan referensi ke staf? Karena saya yakin dengan kemampuan mereka karena praktik yang sudah kami lakukan. Saya budayakan mereka harus tahu. Saya mulai dari saya. Saya selalu mencari informasi aturan terbaru. Saya sampaikan ke mereka. Akhirnya mereka terpola.” 3.2.4. Menjalin Hubungan Baik dan Membangun Dukungan dari Luar Ini sebuah paradoks PTSP: Instansi ini menerima pelimpahan kewenangan dari instansi teknis, tetapi pada saat yang sama tidak dapat berfungsi tanpa keterlibatan instansi teknis. Pada sebagian besar jenis izin, dibutuhkan rekomendasi teknis dari instansi lain. Dalam prosesnya, instansi lain juga perlu memenuhi standar pelayanan perizinan agar apa yang baik dari konsep PTSP, yaitu pelayanan perizinan yang mudah, cepat, murah, akuntabel dan transparan dapat tercapai. Tanpa instansi terkait di luar PTSP mengikuti irama gendang standar pelayanan, PTSP akan sangat sulit menghadirkan pelayanan yang secara signifikan lebih baik bagi pelaku usaha dan masyarakat.
44
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Berdasarkan pengalaman PTSP, ada dua pilihan cara yang dapat ditempuh untuk menangani masalah tersebut. Cara pertama menggunakan pemaksaan lewat otoritas yang lebih tinggi. PTSP bisa saja mengadukan instansi teknis yang tidak kooperatif kepada kepala daerah. Ini tentu saja mengandaikan bahwa kepala daerah mempunyai keberpihakan kepada reformasi pelayanan perizinan. Dalam kasus tertentu, cara ini digunakan oleh sejumlah PTSP. PTSP akan menyampaikan kepada kepala daerah mengenai situasi yang dihadapi dan meminta intervensi. Meski demikian, disadari cara ini tidak dapat dilakukan terus-menerus, apalagi secara frontal, sebab PTSP membutuhkan instansi teknis dalam pelaksanaan kebijakan, apapun itu. Maka, cara kedua diperlukan, yaitu dengan mengupayakan kerjasama dari instansi teknis secara organik, dalam arti tanpa tekanan atau paksaan dari otoritas lebih tinggi. Cara ini jelas berdasarkan pengalaman menelan waktu yang lebih lama. PTSP harus berulang kali, terus menerus, bernegosiasi dan berargumentasi dengan instansi teknis mengenai hampir semua hal sepanjang berurusan dengan kewenangan instansi teknis. Persoalannya, cara ini tidak jarang menemui jalan buntu ketika PTSP gagal meyakinkan instansi teknis. Kepala SKPD dan PTSP biasanya memiliki eselon yang sama. Dalam tidak sedikit kasus, eselon kepala PTSP bahkan berada di bawah Kepala SKPD teknis. Hal ini menyulitkan PTSP untuk bernegosiasi. Tantangan meyakinkan rekan di pemerintahan tidak hanya berlaku dalam hal SKPD teknis. Ada saja PTSP yang justru masih harus meyakinkan kepala daerah mengenai usulan perbaikan pelayanan. Dengan posisi yang lebih inferior, PTSP memang harus mematuhi keputusan kepala daerah. Secara internal yang dapat dilakukan hanya menyiapkan argumentasi terbaik untuk disampaikan kepada kepala daerah. Dalam hal itu, PTSP akan sangat sulit untuk berhasil jika bekerja sendirian. PTSP membutuhkan dukungan pihak luar. Dukungan pihak luar tersebut terutama berupa dukungan moril dan informasi. Pihak luar membantu memberikan tekanan kepada pemerintah untuk melaksanakan agenda perubahan. Pihak luar juga menyediakan informasi mengenai berbagai hal yang membantu PTSP berargumentasi dengan pihak terkait. Beberapa pengelola PTSP menceritakan pengalamannya demikian:
“PTSP sangat terbantu oleh Kinerja USAID (program donor), MSF (multistakeholder forum) perizinan dan media yang mempromosikan perbaikan pelayanan perizinan. Hal ini menjadi pressure bagi SKPD teknis agar mereka bersedia melimpahkan izinnya ke PTSP.” “Kami berkomunikasi dengan BKPM, Menpan, Bangda, PTSP Sragen dan lainnya tentang hal-hal tertentu ketika sudah mentok. Sampai sekarang kami masih berkomunikasi dengan mereka, bahkan makin baik.”
45
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa PTSP yang baik pasti memperoleh dukungan dari pihak luar. Pihak luar sengaja dilibatkan dalam pertemuan mengenai PTSP, entah sebagai narasumber atau pemantau, sehingga pemerintah menjadi tidak hanya ‘berhadapan’ dengan PTSP, tetapi dengan PTSP dan ‘pendukungnya.’ Sejumlah PTSP secara rutin berkomunikasi dengan pihak luar, termasuk BKPM, Kemendagri, LSM, pers dan asosiasi pelaku usaha untuk bertukar informasi. Komunikasi dengan pihak luar dilakukan secara formal dan informal. Komunikasi formal melalui pertemuan dalam kegiatan resmi, seperti workshop, rapat dan sebagainya. Adapun komunikasi informal melalui pertemuan sambil makan bersama atau bahkan lewat telepon. Seorang pengelola PTSP mengatakan ia biasanya bertemu secara informal dengan pihak luar di warung kopi. “Hampir tidak ada warung kopi di kota ini yang belum saya pakai sebagai tempat berdiskusi informal dengan pihak luar dari berbagai latar belakang, mulai dari politisi, LSM, pers dan lain-lain.” Komunikasi di warung kopi dianggap cukup efektif, termasuk saat hendak membicarakan persoalan yang muncul dengan pejabat SKPD teknis. Bila dimaknai lebih luas, warung kopi dapat dilihat melampaui sekadar sebuah tempat untuk menikmati kopi dan penganan ringan. Warung kopi mewakili suatu situasi di mana ada kesetaraan dan keleluasaan. Semua orang bisa mampir ke warung kopi. Kesetaraan dan keleluasaan itu memungkinkan orang untuk bersikap lebih terbuka. Apapun dapat dibicarakan di warung kopi. Praktik baik dari PTSP menunjukkan bahwa dukungan dari pihak luar perlu digalang secara aktif. PTSP harus terus mendekati semua pihak, berkomunikasi dengan baik dan dengan cerdik memanfaatkan dukungan pihak luar itu ketika diperlukan. Beberapa PTSP yang ditemui dalam studi ini memang memiliki pemimpin dengan kemampuan komunikasi di atas rata-rata. Mereka adalah orang yang senang berbagi, suka berdiskusi dan selalu haus akan informasi. Sementara itu, dukungan dari pihak luar hanya mungkin sejauh PTSP mampu menjalin hubungan baik dengan para pihak yang terkait. Ini termasuk dengan pihak-pihak yang mungkin menghambat upaya perbaikan pelayanan perizinan. Seorang kepala PTSP mengatakan ia selalu berusaha tetap menempatkan Kepala SKPD teknis sebagai senior yang dihormati baik ketika bertemu di forum maupun personal. “Saya memanggil mereka yang mempersulit proses ini dengan panggilan Abang,” kata seorang pelaku. Sejumlah PTSP sengaja terus berkoordinasi dengan SKPD dan melibatkan mereka. Ini tidak berhenti setelah pelimpahan kewenangan maupun penetapan standar pelayanan, melainkan terus-menerus. PTSP Kubu Raya, misalnya, setiap tiga bulan menggelar evaluasi bersama SKPD. Dalam pertemuan itu, PTSP menyampaikan kendala dan kemajuan yang ada. Semua persoalan dibicarakan dengan baik, dengan sedapat mungkin menghormati pendapat pihak lain, terlepas dari apakah pendapat itu berlawanan dengan usulan PTSP.
46
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.2.5. Mendorong Masyarakat Mengurus Izin Kepemilikan izin merupakan bentuk legalitas yang bersifat perlu sekaligus dapat berguna bagi pelaku usaha dalam pengembangan usahanya. Legalitas, kita tahu, seringkali menjadi prasyarat untuk memasuki pasar tertentu, di samping dapat dipakai untuk mengakses kredit perbankan dan sumber daya lainnya. Bagi masyarakat umum pun, kepemilikan izin bisa mendatangkan berbagai manfaat dalam aktivitas mereka. Meski demikian, selalu ada pelaku usaha maupun masyarakat yang enggan mengurus izin. Buruknya pelayanan perizinan yang telah berlangsung lama membuat masyarakat tetap mempunyai persepsi negatif terhadap pelayanan perizinan. Apalagi, tidak semua anggota masyarakat berkepentingan dengan kepemilikan izin. Bagaimanapun, tujuan akhir dari perbaikan pelayanan perizinan adalah mendukung aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat dengan mempermudah, mempercepat dan menurunkan biaya perizinan. Tetapi, bila masyarakat yang enggan mengurus izin tetap tidak mau mengurus, maka perbaikan menjadi tidak berdampak luas. Situasi rendahnya minat pelaku usaha dan masyarakat mengurus izin dialami oleh cukup banyak PTSP. Beberapa PTSP yang baik pun mencoba mendorong masyarakat mengurus izin. Seorang pengelola PTSP mengatakan demikian:
“Kami harus berinisiatif menjemput bola. Ukuran keberhasilan PTSP adalah jumlah izin yang dikeluarkan. Kami didukung oleh bupati karena di sisi pelaku usaha ini menunjukkan ada keberpihakan, khususnya kepada pelaku usaha mikro.” Perbaikan pelayanan perizinan dipandang bukan pertama-tama dengan paradigma pendapatan daerah, yakni seberapa besar pendapatan daerah yang diperoleh setiap tahun dari aktivitas penerbitan izin, tetapi sejauh mana pelayanan yang mudah, cepat dan murah dapat dirasakan oleh masyarakat, sebagaimana ditunjukkan dari peningkatan jumlah pemohon. Itu sebabnya, bagi PTSP, penurunan biaya penerbitan izin merupakan hal yang dengan mudah bisa diupayakan. Sebaliknya, peningkatan jumlah penerbitan izin menjadi hal yang dikejar. Setelah atau sambil memperbaiki pelayanan, PTSP berusaha agar masyarakat mengetahui perbaikan yang telah dilakukan dan atas dasar itu lebih berminat mengurus izin. PTSP di beberapa daerah yang baik melakukan sosialisasi yang cukup intensif melalui sejumlah cara. Ada PTSP yang menggunakan media massa, seperti iklan di radio komersial dan surat kabar lokal. Di samping beriklan, PTSP mengadakan acara talkshow tentang pelayanan perizinan secara berkala dengan mengundang narasumber terkait. Pada acara itu, staf PTSP akan menjawab pertanyaan langsung dari para pendengar radio. Untuk acara semacam ini, PTSP harus membayar sejumlah uang kepada radio. PTSP Barru, misalnya, mengeluarkan biaya sekitar Rp 300.000 per jam untuk siaran radio.
47
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Kegiatan diskusi radio dianggap cukup efektif untuk memberi kesempatan kepada masyarakat menanyakan langsung persoalan mereka. Bagi PTSP Barru, sejumlah masukan yang diterima dari masyarakat lewat radio juga dijadikan bahan dalam pertemuan evaluasi. Sesekali, PTSP mengundang pejabat daerah sebagai narasumber. Dengan menyediakan panggung untuk tampil, PTSP dapat berharap pejabat daerah tersebut memberi apresiasi dengan mendukung perbaikan pelayanan perizinan. Sosialisasi juga dilakukan dengan menggelar kegiatan di pusat kegiatan masyarakat, seperti sekolah, pameran, festival rakyat dan lainnya. Pada kesempatan itu, PTSP Barru menampilkan informasi mengenai pelayanan perizinan dan membagikan brosur maupun formulir bagi anggota masyarakat yang berencana mengurus izin. Staf PTSP juga disiapkan di lokasi untuk berinteraksi dengan masyarakat. Selain mengenai tata cara pengurusan izin, PTSP biasanya lagi-lagi menerima masukan dan keluhan dari masyarakat mengenai pelayanan perizinan. Semua ini ditampung dan dibicarakan dalam pertemuan evaluasi PTSP. Beberapa PTSP bekerjasama dengan kantor kecamatan dan kelurahan untuk penyediaan informasi mengenai pelayanan perizinan. Masyarakat yang membutuhkan informasi lebih lanjut diminta menghubungi nomor kantor PTSP atau datang langsung. Kerjasama dengan kecamatan dan kelurahan memiliki manfaat lain berupa literasi bagi pegawai kecamatan dan kelurahan mengenai perbaikan pelayanan. Dengan demikian, ini diharapkan membantu membuat pegawai kecamatan dan kelurahan dapat melayani masyarakat dengan standar yang kurang lebih sama dengan PTSP. Beberapa PTSP, seperti di Barru mengalokasikan pengadaan izin tertentu secara gratis setiap tahun dalam rangka menambah jumlah anggota masyarakat yang mengurus izin. Di Barru setiap tahun rata-rata diterbitkan IMB bagi 95 kepala keluarga. “Ada plafon anggaran di APBD untuk operasional dan biaya gambar,” kata Kepala PTSP Barru, Syamsir. Mereka yang menerima IMB gratis adalah keluarga yang dinilai kurang mampu. Syamsir mengatakan aspek legalitas usaha menjadi perhatian di daerahnya sebab data menunjukkan masih rendahnya jumlah usaha yang dikategorikan legal. Pada tahun 2010, usaha yang berizin diketahui hanya 26%. Dia mengklaim bahwa angka itu pada tahun 2014 telah mencapai 85%. Pemkab Barru bersama PTSP pernah menyelenggarakan penerbitan izin gratis massal bagi 2.000 usaha mikro dan kecil dalam sehari. Syamsir mengemukakan tantangan PTSP dalam mendorong pengurusan izin sebagai berikut:
“Tantangan kami adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan masyarakat atas perbaikan pelayanan. PTSP baik kalau masyarakat menikmati.”
48
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Cara lain yang digunakan PTSP untuk mendorong masyarakat adalah menyediakan informasi mengenai pelayanan perizinan di situs web maupun SMS gateway (layanan pesan pendek). Di situs web, masyarakat dapat membaca informasi dasar tentang perizinan dan mengirim email jika ada pertanyaan. Penggunaan situs web disadari masih terbatas karena persoalan akses internet di daerah non perkotaan. Meski demikian, situs web juga justru bermanfaat untuk menjangkau calon pemohon izin yang tinggal di luar kota/kabupaten bersangkutan. Sebagai contoh, pelaku usaha asal Makassar yang ingin mengurus izin di Barru dapat membaca terlebih dahulu persyaratan yang dibutuhkan di situs web sebelum mendatangi kantor di Barru yang berjarak sekitar tiga jam dari Makassar. Sementara itu, dengan SMS gateway, masyarakat dapat mencari informasi sekaligus memantau perkembangan penerbitan izinnya. SMS gateway dianggap lebih mudah dan lebih akrab bagi masyarakat karena mayoritas mereka yang berdiam di daerah terpencil, telah memiliki telepon seluler. Tantangan yang dihadapi pengelola PTSP sejauh ini adalah membuat masyarakat mengetahui adanya fasilitas semacam ini. Dalam rangka mendorong masyarakat mengurus izin, cara yang dipandang tidak kalah penting, bahkan sangat menentukan adalah penyampaian informasi dari mulut ke mulut. Cara ini ibarat pedang bermata dua. Ia dapat berguna jika informasi yang disampaikan baik, sebab orang cenderung mempercayai informasi yang disampaikan oleh orang yang dikenal. Sebaliknya, ia bisa merugikan bila informasi yang diberikan buruk. PTSP yang baik menyadari bahwa pelayanan kepada anggota masyarakat satu akan diteruskan kepada anggota masyarakat lainnya. Justru karena itu, perbaikan pelayanan perizinan menjadi prasyarat dari semuanya.
3.2.6. Melibatkan Masyarakat dalam Pengelolaan PTSP Masyarakat demokratis modern berdiri di atas keyakinan terhadap pemisahan antara urusan privat dan urusan publik. Dalam hal urusan publik, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dan mempengaruhi kehidupan publik, selalu diandaikan adanya ruang bagi publik untuk terlibat dalam penanganannya. Lebih jauh, pelayanan perizinan diselenggarakan oleh pemerintah selaku yang menerima mandat rakyat untuk mengelola urusan publik. Maka, pelayanan perizinan adalah urusan publik yang seharusnya juga melibatkan publik dalam perumusan dan pelaksanaannya.
49
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Masyarakat adalah tujuan akhir perbaikan pelayanan perizinan dan merupakan pihak yang dikenai kebijakan. Masyarakatlah, dengan demikian, yang sesungguhnya mengetahui kebutuhan mereka. Pelayanan hanya baik sejauh pelayanan memenuhi kebutuhan tersebut. Sejumlah PTSP menyadari keniscayaan peran publik tersebut dalam pengelolaan pelayanan perizinan. “Tanpa pelibatan masyarakat, kita tidak akan pernah tahu apakah perubahan telah sesuai dengan harapan atau keinginan mereka,” kata seorang pengelola PTSP. Ada dua dimensi dalam pengelolaan pelayanan perizinan, di mana masyarakat berperan yang ditemukan pada PTSP yang baik. Pertama, dimensi evaluatif, di mana masyarakat menjadi penilai tertinggi bagi segala bentuk implementasi pelayanan perizinan. Kedua, dimensi perencanaan, di mana masyarakat memberikan pandangan dan masukan atas rencana kebijakan dan program. Dalam hal itu, baik buruknya pelayanan perizinan ditempatkan dalam bingkai keseluruhan kinerja pemerintahan yang mempengaruhi penerimaan atau penolakan publik terhadap seorang kepala daerah. Kesadaran mengenai posisi sentral masyarakat tersebut telah muncul pada beberapa PTSP yang baik. Beberapa PTSP membentuk forum para pihak (multistakeholder forum) yang berisi perwakilan kelompok masyarakat sipil sebagai wadah bertemunya pemerintah dan publik untuk pengelolaan pelayanan perizinan. Di Barru, forum para pihak diisi oleh unsur asosiasi pelaku usaha, LSM, pers, akademisi dan tokoh masyarakat. Total anggota 25 orang yang disahkan dengan surat keputusan kepala PTSP. Mereka mewakili kelompoknya dan sewaktu-waktu dapat diganti oleh kelompok yang bersangkutan. Pengelola PTSP dan perwakilan SKPD duduk sebagai anggota unsur pembina dan pengarah, sedangkan anggota masyarakat menjadi pengurus. Tentu saja, problem mendasar dari forum semacam ini adalah tingkat independensinya, yaitu sejauh mana forum dapat mengawasi dan bersikap kritis terhadap pemerintah, tidak untuk merusak atau menghancurkan, tetapi memberikan arahan yang diperlukan bagi perbaikan. Pemerintah Barru tidak menyediakan honor bagi anggota forum, tetapi mengalokasikan anggaran untuk pertemuan dan sebagainya. PTSP menentukan kelompok masyarakat yang ditawari masuk dalam forum, tetapi siapa orangnya ditetapkan sendiri oleh kelompok tersebut. Forum para pihak hanya akan bermakna jika memiliki independensi. Selain itu, kapasitas dalam pelayanan perizinan itu sendiri. Hal ini diakui masih menjadi tantangan. Tetapi, pemerintah menjamin tidak hendak mengintervensi atau mengkooptasi forum. Bila itu terjadi, forum hanya akan menjadi stempel bagi kebijakan publik. Seorang pengelola PTSP di daerah yang memiliki forum para pihak mengatakan demikian:
“Prinsipnya kami ingin menampung banyak aspirasi. Keputusan terbaik adalah yang kolaboratif, keputusan bersama. Dalam penyusunan kebijakan dan regulasi perizinan, kami upayakan libatkan masyarakat. Ada saran, masukan.”
50
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Di Barru, forum para pihak terlibat dalam meloloskan upaya penyederhanaan jenis izin. Langkah itu diwacanakan dalam forum para pihak yang dihadiri Kepala SKPD dan pihak terkait. Dengan berada dalam satu forum, mereka yang menentang rencana penyederhanaan jenis izin dapat mendengarkan pendapat dari kalangan yang lebih luas, tidak hanya dari PTSP. Akibatnya, peluang penerimaan cenderung membesar. Masyarakat menyampaikan keluhan dan masalah yang dihadapi selama ini dalam pengurusan izin dan mengusulkan perbaikan-perbaikan, mulai dari aspek yang paling teknis hingga yang berkaitan dengan kebijakan. Daerah studi yang mempunyai forum para pihak mengadakan pertemuan forum secara berkala. Ada yang tiga bulan sekali. Di sela-sela pertemuan rutin, forum sewaktu-waktu dapat bersua jika muncul persoalan yang dinilai memerlukan respons segera. Dalam pertemuan forum, PTSP mengklaim tidak anti kritik. Beberapa PTSP bahkan mendorong anggota masyarakat untuk mengemukakan pendapat apa adanya agar PTSP dapat mengetahui secara persis pikiran masyarakat. Seorang pengelola PTSP berkata begini:
“Kritik sebagai vitamin, bukan racun. Jangan takut minum kritik. Kami mendapatkan sejumlah gagasan inovatif dari MSF (multistakeholder forum).” Berdasarkan pengalaman PTSP, forum para pihak juga menjadi tempat yang baik untuk menyampaikan perkembangan perbaikan pelayanan perizinan kepada masyarakat. Adanya anggota forum dari unsur pers membantu PTSP untuk mensosialisasikan informasi terbaru. Di sisi lain, dari pers dan LSM, juga anggota forum lainnya, PTSP dapat mendengarkan isu yang berkembang dan pada beberapa kesempatan bisa mengklarifikasinya sebelum terlanjur meluas di masyarakat. Upaya pelibatan masyarakat tidak hanya dilakukan melalui forum para pihak. Ada PTSP yang sengaja meminta para staf menampung cerita-cerita mengenai perizinan di warung-warung kopi maupun pusat kegiatan masyarakat lainnya. Meskipun tidak secara langsung, apa yang disampaikan masyarakat tersebut dijadikan bahan evaluasi dan masukan untuk perbaikan pelayanan. PTSP Barru berencana mengadakan tempat bagi sekretariat forum di kompleks kantor PTSP. Anggota bisa datang setiap saat untuk berdiskusi. Dengan pelayanan yang membaik, ekspektasi masyarakat juga dirasakan semakin besar. Ini menuntut PTSP untuk melanjutkan perbaikan tersebut agar dapat berpacu dengan harapan masyarakat. Dalam upaya tersebut, mendengarkan masyarakat dan melibatkan mereka dalam pengelolaan pelayanan perizinan telah dianggap oleh sejumlah PTSP sebagai sesuatu yang perlu bahkan hampir niscaya. Seorang pengelola PTSP merangkum manfaat pelibatan masyarakat dalam pengalamannya demikian, “Kadang kami tidak punya ide karena kerja business as usual. Lewat MSF, ide-ide muncul.”
51
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
3.2.7. Mencari Umpan Balik dari Masyarakat Apakah ukuran yang sahih bagi perbaikan pelayanan perizinan? Mereka yang memahami pelayanan perizinan sebagai pelayanan publik tentu akan menjawab: masyarakat. Dalam hal ini, kepuasan masyarakat. Atau, lebih spesifik lagi, pelaku usaha. Tetapi, bagaimana mengetahui bahwa kepuasan itu ada? Cukup banyak PTSP telah mengupayakan berbagai macam hal untuk meningkatkan pelayanan perizinan. Sejumlah PTSP memperoleh umpan balik berupa penghargaan dari pemerintah pusat atau lembaga non pemerintah atas hasil kerja yang dianggap melampaui rata-rata. Sebagian penghargaan itu diberikan berdasarkan perbandingan antar PTSP. Sebagian lagi diklaim lebih mengacu kepada pendapat masyarakat. Tetap saja, karena penilaian tersebut tidak bersifat langsung dari masyarakat, selalu ada ruang untuk mempertanyakan validitasnya. Disinilah kebutuhan akan umpan balik langsung dari masyarakat yang mengalami pelayanan perizinan muncul. Sejumlah PTSP bersama Kinerja USAID telah mencoba menangkap umpan balik itu dengan melakukan Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Survei ini sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Survei IKM PTSP tersebut berangkat dari pedoman dalam surat keputusan Menpan ini, tetapi melampauinya dengan menambahkan hal-hal lain. Salah satu yang ditambahkan adalah daftar dan jenis pertanyaan. Pertanyaan yang terlalu umum dibuat lebih spesifik sesuai konteks dan isu PTSP setempat. Agar hasil survei tidak sekadar ‘asal bapak senang,’ PTSP perlu memastikan bahwa pihak surveyor yang direkrut mampu dan berintegritas. PTSP yang bekerjasama dengan Kinerja USAID relatif lebih mudah mencari mitra surveyor dengan memanfaatkan keluasan jaringan lembaga donor tersebut. Adapun PTSP yang menghadapi keterbatasan relasi dan informasi dipandang dapat tetap menemukan mitra yang baik dengan banyak bertanya kepada PTSP yang berpengalaman melakukan survei. Fungsi hubungan baik dengan banyak pihak menjadi penting. Berdasarkan pengalaman PTSP, efektivitas survei juga bergantung kepada isi survei itu sendiri. PTSP dapat memilih mengajukan pertanyaan berdasarkan apa yang disukai oleh PTSP atau justru mencoba mencari tahu mengenai apa yang baik bagi masyarakat. Survei pertama akhirnya hanya menjadi semacam upaya terselubung untuk memuaskan diri sendiri. Survei kedua membukakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk melanjutkan perbaikan pelayanan. PTSP Barru telah tiga tahun berturut-turut melakukan survei. Survei terakhir melibatkan 150 responden di tujuh kecamatan. Responden dipilih dari antara pemohon izin (perorangan maupun perusahaan) dalam periode setahun. PTSP menunjuk pihak eksternal sebagai surveyor untuk menemui responden. Pemilihan pihak eksternal dimaksudkan agar lebih obyektif. Laporan hasil survei kemudian disampaikan kepada PTSP. Kuesioner survei dikembangkan dari pedoman survei IKM Kemenpan. Sejumlah pertanyaan terbuka dicantumkan untuk memperoleh kedalaman informasi, melengkapi pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban.
52
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
PTSP Barru mengeluarkan anggaran sekitar Rp 26 juta untuk sekali survei. Jumlah itu dipakai untuk membiayai workshop pembahasan metode survei, gaji/honor tenaga surveyor, pelatihan enumerator, administrasioperasional, pembuatan laporan dan diseminasi hasil IKM. Sebuah lembaga donor sempat membiayai kegiatan survei ini untuk PTSP Barru. Namun, pada pelaksanaan survei terakhir, PTSP mendanai sendiri. PTSP Barru berencana untuk terus melakukan survei serupa di masa mendatang. Besar kecilnya anggaran yang dikeluarkan untuk survei tentu bersifat relatif terhadap berbagai faktor. Sepanjang hasil survei sungguh membantu PTSP mengevaluasi dan merencanakan perbaikan, survei berbiaya lebih mahal mungkin terasa murah. Sebaliknya, kendati pun biayanya lebih murah, tetapi selama hasil survei tidak memberikan informasi yang berguna, maka akan menjadi mahal. Dalam kasus PTSP Barru, hasil survei disebut telah berulang kali mendatangkan manfaat bagi perbaikan pelayanan. Masukan dan kritik masyarakat sangat beragam. Ada yang mencatat bahwa AC di kantor PTSP tidak menyala sehingga suasana kurang nyaman. Ada yang mengeluh PTSP tidak menyediakan air minum, padahal pemohon harus menunggu di tempat selama beberapa waktu. Ada pula yang meminta petugas frontliner PTSP lebih ramah kepada pemohon dengan meniru tata karma yang biasa dipraktikkan pegawai bank. Semua keluhan itu ditampung dan dijadikan dasar perbaikan. Beberapa masukan bersifat sangat substantif dan ditindaklanjuti dengan serius pula. Sebagai contoh, pada tahun 2011, ada responden yang mengkritik mengenai ketidakjelasan tarif. Ia merasa dikenai pungutan liar sebab membayar lebih mahal dibanding orang lain. Berdasarkan masukan itu, PTSP Barru mulai mencantumkan biaya retribusi izin pada blanko yang diisi pemohon. Selanjutnya, setelah izin diterbitkan dan pemohon akan mengambilnya, petugas PTSP akan bertanya apakah yang bersangkutan merasa dikenai pungli selama proses pengurusan. Bila tidak, pemohon diminta mengisi surat pernyataan bahwa tidak ada pungli. Sebaliknya, jika ada, pemohon akan diarahkan ke bagian pengaduan PTSP. Selain survei IKM, PTSP Barru juga mengeluarkan kuesioner saran dan kritik yang sifatnya sewaktu-waktu. Kuesioner ini ditaruh di frontliner kantor PTSP. Pemohon biasanya diminta mengisi setelah izinnya terbit. Kuesioner tersebut, kendati isinya tidak serumit survei dan memang bukan dimaksudkan untuk survei, dijadikan salah satu bahan rapat rutin staf PTSP setiap minggu. Kepala PTSP Barru Syamsir mengatakan selama ini umpan balik masyarakat selalu menjadi bahan evaluasi pihaknya. Umpan balik itu dikomunikasikan kepada semua staf agar diperhatikan. Laporan IKM setiap tahun juga disampaikan kepada kepala daerah sebagai bagian penyampaian pencapaian dan evaluasi. Laporan kepada kepala daerah tersebut juga menjadi salah satu cara untuk mengkomunikasikan PTSP. Menurut Syamsir, karena menjadi laporan kepada pimpinan, data survei harus valid. Pihaknya mengaku justru mengharapkan adanya pengaduan masyarakat. “Saat masyarakat tidak mengadu, ada banyak kemungkinan. Bila tidak ada, mungkin itu menunjukkan kami tidak ada hubungan dengan masyarakat,” tukasnya. Pengaduan berdasarkan pengalaman selama ini efektif untuk mengevaluasi kinerja.
53
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Pada titik ini, fokus pencarian umpan balik dari masyarakat bukan lagi nilai atau skor hasil survei, tetapi bagaimana mendapatkan informasi sebagai bahan koreksi. PTSP pun sampai batas tertentu menjadi milik bersama pemerintah dan masyarakat. 3.2.8. Pemanfaatan TIK untuk Kemudahan dan Kecepatan Pelayanan Beberapa PTSP telah melangkah cukup jauh dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) guna meningkatkan kemudahan dan kecepatan pelayanan perizinan. Sejumlah produk TIK perizinan diluncurkan dan dapat digunakan oleh publik. PTSP Kubu Raya, misalnya, menerapkan sistem pelayanan terpadu (Simyandu), yaitu sistem pengurusan dan penerbitan izin terkomputerisasi yang dapat diakses dengan internet dan telepon seluler. Sistem ini juga telah dipakai oleh beberapa PTSP di wilayah Kalbar dan sekitarnya. Contoh lain adalah PTSP Barru dengan situs web dan SMS gateway. Secara internal, PTSP Barru juga telah menerapkan sistem komputerisasi pelayanan perizinan.
Terlepas dari persoalan akses, khususnya pada penggunaan TIK berbasis internet, sejumlah PTSP mengaku telah merasakan manfaat yang besar dari TIK. Bagi masyarakat, pemanfaatan TIK memungkinkan adanya transparansi pengurusan izin, di mana masyarakat praktis hanya perlu dua kali mendatangi kantor PTSP, yakni pertama untuk menyerahkan berkas dan kedua mengambil izin, dengan interaksi minim dengan staf PTSP. Pemohon dapat memantau hasil permohonannya lewat situs web atau SMS yang terkomputerisasi. Masyarakat juga dapat bertanya dan menerima jawaban secara elektronik.
54
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Sementara itu, bagi PTSP sendiri, pemanfaatan TIK meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga. Staf dapat bekerja lebih cepat. Pimpinan PTSP bisa memantau proses kerja sehari-hari lewat layar komputer di meja kerja atau bila sedang bepergian melalui telepon seluler atau laptop selama ada akses internet. Pimpinan PTSP bahkan dapat memberikan persetujuan izin secara online. “Kami biasa memantau berkas dari luar kantor,” kata seorang pengelola PTSP. Baik PTSP Kubu Raya maupun Barru mengembangkan sistem dengan TIK tersebut bersama konsultan pendamping. Kubu Raya pada awalnya dibantu oleh PTSP Sragen, sedangkan Barru didukung program Kinerja. Dalam perkembangannya, dua PTSP tersebut mengupayakan sendiri pengembangannya setelah merasakan manfaatnya. PTSP merekrut staf dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang TIK. Di Kubu Raya, jumlah staf TIK merupakan salah satu yang terbanyak sekaligus paling kuat karena besarnya dukungan manajemen PTSP. Selain pekerjaan sehari-hari di kantor PTSP Kubu Raya, tim TIK belakangan ini juga bepergian ke sejumlah daerah untuk membantu pengembangan sistem yang sama. Dengan adanya sistem tersebut, PTSP mencoba mensosialisasikan penggunaannya kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan melalui pengumuman di kantor PTSP dan tempat lain yang dianggap strategis. Masyarakat didorong untuk mengakses layanan tersebut setiap kali membutuhkan informasi mengenai pelayanan perizinan. Pengelola PTSP yang menerapkan sistem berbasis TIK mengaku pada mulanya tidak mudah untuk meyakinkan pemerintah daerah agar mau menginvestasikan sejumlah besar uang untuk pengembangan sistem ini. Jangankan membangun sistem, ada PTSP yang mengalami kesulitan saat mengajukan anggaran penambahan peralatan komputer untuk kerja. Saat itu, PTSP bersangkutan memang relatif baru sehingga kinerjanya belum kelihatan. Namun, alasan sebaliknya juga dapat disampaikan: bila tidak didukung dengan fasilitas minimal yang diperlukan, bagaimana kinerja dapat diharapkan baik? Meski demikian, pengadaan sistem TIK tidak diperlakukan sebagai cek kosong. Kepala PTSP Kubu Raya Maria Agustina mengatakan, “Setelah memberi fasilitas kepada staf, saya tuntut staf untuk menunjukkan kinerja. Saya kontrol.” Pemanfaatan TIK di Kubu Raya juga meliputi pemasangan kamera CCTV di sudut-sudut kantor, termasuk di ruang pimpinan PTSP. Menurut Maria, CCTV dipakai untuk memantau proses pengurusan izin sehari-hari dan mencegah kemungkinan ada oknum yang nakal, entah dari pihak PTSP dengan meminta pungli maupun dari pemohon yang memberikan pungli. Maria mengatakan pihaknya juga memantau aktivitas calo perizinan. PTSP Kubu Raya tidak melarang praktik calo dengan alasan ada kemungkinan pemohon memang tidak sempat datang sendiri mengurus izinnya. Namun, PTSP Kubu Raya membatasi satu calo mengurus maksimal satu izin per hari. Calo juga harus merupakan perusahaan resmi dengan status minimal CV. Calo yang memalsukan data atau bertindak curang akan diperingatkan bahkan dimasukkan daftar hitam. “Kami sudah pernah black list calo,” tutur Maria.
55
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
PTSP yang mendampingi PTSP lain untuk mengembangkan sistem TIK beralasan bahwa mereka rata-rata pada awalnya juga dibantu oleh pihak lain. “Kami dulu mencontoh dan dibantu (PTSP) Sragen. Mereka membuka diri berbagi ilmu, kenapa kami dengan daerah sendiri tidak?” demikian seorang pengelola PTSP menjelaskan. Bantuan diberikan baik kepada PTSP yang menjalin MoU maupun yang hanya meminta langsung secara lisan. Tidak ada biaya yang dikenakan atas jasa pendampingan tersebut. PTSP pengundang biasanya hanya menanggung biaya perjalanan dan uang saku sesuai ketentuan tunjangan pegawai negeri sipil. Pemanfaatan TIK disadari hanya mungkin berhasil dan berkelanjutan jika PTSP melihat ini sebagai lebih dari sekadar teknologi itu sendiri. Teknologi mengikuti manusia, bukan sebaliknya. Maka, sistem seperti apa yang dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan konteks dan kapasitas PTSP bersangkutan serta masyarakat yang dilayani. Tidak ada gunanya PTSP memakai sistem yang canggih dengan peralatan komputer terkini apabila manusianya tidak siap. Pemanfaatan TIK dalam perspektif ini merupakan sebuah budaya atau kultur, yakni cara kerja baru yang dipilih karena dengan begitulah pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan dengan lebih baik. Fasilitas TIK mudah saja diadakan sepanjang tersedia anggaran. Kerapkali yang terjadi adalah orang terpukau kepada aspek teknologinya sembari melupakan bahwa informasi dan komunikasi untuk mencapai tujuan akhir dari TIK tersebut yang seharusnya menjadi perhatian. Akhirnya orang menjadi budak dari teknologi sambil gagap memaknai TIK sebagai alat bantu bagi kerja-kerja manusia dan kemanusiaan.
56
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
BAB 4: BEBERAPA CATATAN
4.1. Pungli dan Mutasi Meskipun di bagian terdahulu telah disampaikan berbagai praktik baik dalam penyelenggaraan PTSP di daerah, bukan berarti tidak ada kekurangan sama sekali. Bahkan ada kekurangan yang sifatnya sangat umum, karena terjadi di hampir semua PTSP. Kekurangan yang dimaksud adalah masih adanya pembayaran tidak resmi (pungutan liar) dengan berbagai modus. Hal itu terjadi karena berbagai faktor, baik yang berasal dari penyelenggara layanan (pemerintah daerah), pengguna layanan (masyarakat) maupun sistem kerja yang secara tidak langsung memberikan ruang bagi adanya pungutan liar. Dari sisi penyelenggara, faktor yang paling sering dikeluhkan adalah rendahnya insentif terkait beban kerja staf PTSP. Penyelenggara PTSP sering merasa bahwa beban mereka lebih berat dibandingkan perangkat daerah lain, sehingga mereka merasa layak diberi penghargaan khusus di luar tunjangan atau insentif lain yang sifatnya umum (berlaku untuk semua pegawai). Pemikiran seperti itu tentu saja bisa benar dan bisa juga tidak benar, tetapi yang jelas hal itu menjadi salah satu faktor mengapa penyelenggara merasa ‘berhak’ menerima pembayaran tidak resmi dari masyarakat pengguna layanan. Di samping itu, memang ada oknum-oknum yang secara sadar memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan penghasilan tidak sah. Dari sisi masyarakat, pemberian “uang terima kasih” tampaknya sudah menjadi semacam budaya, sehingga justru ada semacam ‘rasa bersalah’ jika hanya membayar sesuai dengan tarif resmi. Selain itu, tidak sedikit pengguna layanan yang menggunakan pembayaran tidak resmi sebagai kompensasi ketidaklengkapan persyaratan atau keinginan untuk mempercepat penyelesaian pemrosesan izin. Dari sisi sistem kerja, pemenuhan persyaratan pengurusan izin merupakan salah satu obyek pungutan liar yang bisa ditemui di semua daerah, termasuk di daerah yang layanan PTSP-nya relatif bagus. Pemenuhan persyaratan tidak dapat dikontrol oleh PTSP, karena secara prosedural PTSP memang memroses permohonan izin hanya jika semua persyaratan telah dipenuhi. Dalam banyak kasus, tarif layanan izin tertentu sudah sangat murah (bahkan beberapa di antaranya gratis), tetapi biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memenuhi persyaratan tidak hanya besar, tetapi juga tidak terkendali.
57
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Ketiga faktor itu saling terkait dan berimplikasi pada kenyataan bahwa pembayaran tidak resmi merupakan satu gejala yang dengan mudah ditemui di semua daerah. Dengan kata lain, dari sisi biaya, diperlukan kerja yang sangat keras untuk mewujudkan biaya pengurusan izin yang benar-benar murah sebagaimana yang menjadi salah satu tujuan reformasi birokrasi perizinan. Masalah lain yang sifatnya umum (ditemui di semua daerah) adalah ketidakstabilan kinerja PTSP akibat proses mutasi PNS di lingkungan pemerintah daerah. Pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan terkait pemberian layanan perizinan merupakan hal yang spesifik. Diperlukan proses pembelajaran secara khusus pula untuk membuat orang siap bekerja di PTSP, termasuk dan terutama bagi jajaran pimpinannya. Pada awal penyelenggaraannya, biasanya PTSP dimpimpin oleh orang yang memang sejak awal terlihat dalam pendirian PTSP tersebut. Demikian juga mayoritas staf pelaksana di PTSP, mereka biasanya dilatih secara khusus sebelum menjalankan tugas sebagai pegawai PTSP. Oleh karena itu, masa awal penyelenggaraan PTSP seringkali disebut sebagai masa ‘bulan madu’, karena pelayanannya biasanya sangat baik. Seiring berjalannya waktu, terutama kalau terjadi pergantian pimpinan daerah, biasanya terjadi mutasi. Beberapa staf dan pimpinan PTSP dipindah ke SKPD lain, termasuk beberapa di antaranya mungkin mendapatkan promosi. Tentu saja juga terjadi sebaliknya, PTSP kedatangan orang-orang baru, baik sebagai pimpinan maupun staf pelaksana. Sayangnya, biasanya orang-orang baru tersebut tidak punya bekal pengetahuan yang cukup tentang PTSP, karena pelatihan tentang PTSP biasanya hanya diberikan kepada pimpinan dan penyelenggara PTSP. Akibatnya, tidak ada kesinambungan kualitas layanan. Situasi itu akan semakin parah kalau PTSP tidak memiliki SOP sebagai dokumen tertulis yang menjadi pedoman bagi seluruh komponen penyelenggara PTSP. Implikasinya, banyak PTSP yang bukannya semakin baik kualitas layanannya, tapi sebaliknya mengalami penurunan kualitas layanan seteleh jangka waktu tertentu. Selain masalah umum tersebut di atas, ada masalah-masalah spesifik yang dialami oleh PTSP tertentu. Ada PTSP yang pelayanannya sangat bagus, tetapi dari sisi kelembagaan tidak sepenuhnya sejalan dengan ketentuan pemerintah. Sebaliknya ada PTSP yang bagus dari sisi kelembagaan, tetapi pelayanannya tidak terlalu baik. Selain persoalan kelembagaan, memang ada variasi yang cukup besar antar PTSP di daerah dalam hal pelayanan dan efektivitasnya. Misalnya, ada PTSP yang pelayanannya sangat bagus, tetapi tidak diberi kewenangan untuk mengelola banyak banyak izin. Dalam kasus lain, ada PTSP yang fasilitasnya dan pelayanannya sangat bagus, tetapi suasanya kantornya sepi karena sangat sedikit masyarakat yang memanfaatkan pelayanan PTSP tersebut.
58
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Berbagai persoalan tersebut di atas menyebabkan praktis tidak ada PTSP yang dapat dianggap ideal dalam arti segalanya berjalan seperti yang diharapkan. Setiap PTSP mempunyai plus-minus, meskipun tentu saja ada PTSP yang mempunyai banyak sekali kelebihan sebagaimana juga ada PTSP yang mempunyai banyak sekali masalah.
4.2. Pelajaran yang Dapat Dipetik Berbagai persoalan yang dihadapi PTSP beserta kisah suksesnya merupakan hal yang wajar, karena reformasi birokrasi menuju pelayanan perizinan yang mudah, murah, cepat dan transparan (tanpa kehilangan fungsi izin sebagai instrumen pengendalian) merupakan sebuah proses. Tujuan mulia tersebut tidak dapat dicapai dalam sekejap, perlu waktu untuk mewujudkannya. Dalam konteks itu, mengharapkan semua PTSP secara segera dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa hambatan dan masalah berarti merupakan sesuatu yang berlebihan. Dalam kondisi demikian, semua pihak harus pandai-pandai menarik pelajaran dari berbagai kasus yang ada di seputar penyelenggaraan PTSP. Satu hal yang patut selalu diingat adalah tidak ada PTSP yang sempurna. Oleh karena itu, mencari satu PTSP yang dianggap ideal dan kemudian meniru keseluruhan sistem kerjanya untuk diterapkan di daerah lain bukan merupakan langkah yang bijaksana. Untuk meningkatkan kualitas layanan PTSP, yang perlu dilakukan adalah melihat hal-hal baik yang dilakukan oleh berbagai PTSP (di berbagai daerah) untuk kemudian mencoba menerapkannya di daerah sendiri. Untuk itu asumsi tentang perbedaan kondisi antara yang sangat sering disampaikan oleh daerah yang merasa tidak mampu meniru hal-hal baik dari daerah lain sebaiknya dibuang jauh-jauh. Semangat yang mesti dikembangkan justru adalah keyakinan bahwa “kalau daerah lain bisa, maka daerah saya juga bisa”. Bahkan, perbaikan kualitas layanan juga dapat dilakukan dengan melihat hal-hal buruk yang terjadi di PTSP daerah lain, yaitu dengan tidak meniru atau mengulangi kesalahan tersebut di daerah sendiri. Untuk itu kebiasaan untuk mengesahkan suatu praktik buruk karena “daerah lain juga begitu” sebaiknya dibuang jauh-jauh. Terkait persoalan mutasi di jajaran pemerintah daerah yang seringkali menyebabkan terjadinya instabilitas kualitas layanan PTSP, solusinya bukan dengan tidak melakukan mutasi. Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah mutasi itu sendiri, melainkan terlalu sedikitnya jumlah pegawai/pejabat di jajaran pemerintah daerah yang mendapat pelatihan tentang PTSP. Seperti disampaikan sebelumnya, pelatihan tentang PTSP biasanya hanya diberikan kepada pimpinan atau staf pelaksana yang sudah bertugas di PTSP.
59
Kumpulan Praktik yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Di masa mendatang, pelatihan PTSP perlu diperbanyak dan dilakukan dengan melibatkan lebih banyak peserta, bukan hanya mereka yang sudah bekerja di PTSP, tetapi juga mereka yang bekerja di SKPD lain. Pada gilirannya, pemerintah perlu mempertimbangan untuk membuat peraturan bahwa orang yang ditunjuk untuk menjadi pimpinan PTSP adalah mereka yang setidaknya pernah mengikuti pelatihan PTSP. Selain itu, PTSP atau pemerintah daerah perlu berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan dengan mendatangkan narasumber atau instruktur yang kompeten. Dengan kata lain, pemerintah daerah sebaiknya tidak hanya mengandalkan pelatihan-pelatihan tentang PTSP yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, akan semakin banyak orang yang bisa dilatih tentang PTSP dan pada gilirannya mutasi di jajaran pemerintah tidak akan lagi menjadi masalah serius bagi keberlanjutan kinerja PTSP.
60
Koordinator fasilitasi proses dan isi: