KUMBANG BUBUK Sitophilus zeamais Motsch. (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE) DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA Surtikanti Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi, Kotak Pos 1173, Maros 90514
ABSTRAK Kumbang bubuk (Sitophilus zeamais Motsch.) merupakan hama gudang utama di Indonesia. Serangga ini dapat menyerang biji jagung sejak di pertanaman hingga disimpan dalam gudang. Populasi hama meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Daya simpan dan mutu jagung selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh kondisi awal biji sebelum disimpan (kadar air, persentase biji rusak atau pecah) dan ruang penyimpanan. Populasi S. zeamais perlu dikendalikan, karena selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot juga menyebabkan kadar air biji meningkat sebagai hasil respirasi. Kondisi ini akan memacu pertumbuhan Aspergillus sp. dan kontaminasi aflatoksin. Pengendalian hama kumbang bubuk dapat dilakukan dengan menggunakan varietas tahan, panen yang tepat, serta menggunakan wadah penyimpanan dan bahan nabati yang sesuai. Dari 288 galur S1 jagung yang diuji, 2 galur menunjukkan kerusakan biji < 10% yaitu MCA(FS)C5-14 (6%) dan MCF(FS)C6-61 (10%) dan dari 17 galur famili kandung, terdapat 7 galur dengan persentase kerusakan biji < 10% yaitu AC(FS)C5-TS-4 (1,30%), AC(FS)C5TS-26 (2%), AC(FS)C5-TS-1 (4,70%), AC(FS)C5-TS-17 (5%), AC(FS)C5-TS-7 (6%) dan AC(FS)C5-TS-29 (6%) dan AC(FS)C5-TS-9 (7%). Penggunaan varietas tahan AMATL (HS)C2 dapat menekan kerusakan biji selama 2 bulan penyimpanan. Penundaan waktu panen 3 minggu setelah masak fisiologis dan penyimpanan biji dalam bentuk pipilan menghasilkan biji terserang yang lebih rendah dibandingkan panen pada fase masak fisiologis. Penyimpanan benih dalam jumlah terbatas dianjurkan menggunakan jerigen plastik, sedangkan penyimpanan dalam jumlah banyak (1−3 ton) dapat menggunakan silo. Bahan nabati dringo (Acorus calamus) dapat membantu memperkecil persentase kerusakan biji, dengan cara mencampurkan daunnya ke dalam tempat penyimpanan. Teknologi pengendalian yang perlu dikembangkan pada masa datang adalah pemanfaatan musuh alami. Kata kunci: Kumbang bubuk, biologi, persilangan, wadah penyimpanan, varietas tahan, musuh alami
ABSTRACT Maize weevil Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) and its control strategies Maize weevil (Sitophilus zeamais Motsch.) is a primary insect pest on corn in Indonesia. The insect attacks corn grains since in the field till storage. Insect population increases followed along with storage. Store ability and quality of grains during storage were influenced by initial condition of grains before storage (water content, broken grain percentage), and storage condition. S. zeamais need to be controlled because it not only caused grain damage and decreased grain weight, but also increased water content of grains as a result of respiration. This condition will promote Aspergillus sp. growth and aflatoxin contamination. S. zeamais could be controlled by using resistant varieties, postponed harvest, and suitable storage equipment and natural pesticide. Screening of 288 S1 lines resulted 2 lines which grain damage < 10% that are MCA(FS)C5-14 (6%) and MCF(FS)C6-61 (10%), and from 17 full-sib lines, 7 lines showed grain damage < 10% that are AC(FS)C5-TS-4 (1.30%), AC(FS)C5-TS-26 (2%), AC(FS)C5-TS-1 (4.70%), AC(FS)C5-TS-17 (5%), AC(FS)C5-TS-7 (6%), AC(FS)C5-TS-29(6%), and AC(FS)C5TS-9 (7%). Using AMATL(HS)C2 resistant variety could control maize weevil. Harvest at 3 weeks after physiologyical maturity could minimize grain damage. Storage of seeds in small quantity could use plastic jar, and in abundant capacities (1−3 ton.) can be using silo. Using dringo leaves (Acorus calamus) can minimize grain damage percentage. Pest control technology which needs to be developed in the future is usage of natural enemies. Keywords: Maize weevil, biology, crossing, storage, resistant variety, natural enemies
J
agung selain untuk pangan juga digunakan untuk pakan. Data menunjukkan sekitar 60% jagung digunakan
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
untuk bahan baku industri, 57% di antaranya untuk pakan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004).
Peningkatan produksi jagung harus disertai dengan usaha penyelamatan dan penanganan hasil untuk menghindari 123
124
pengendalian hama kumbang bubuk S. zeamais.
BIOLOGI Sitophilus zeamais Motschulsky Kumbang bubuk S. zeamais merupakan hama gudang utama di Indonesia. Hama ini tersebar di daerah tropis dan subtropis dan menyerang biji-bijian yang disimpan, seperti padi, beras, dan jagung. Kumbang bubuk S. zeamais mengalami metamorfosis sempurna dari stadium telur sampai menjadi imago (kumbang dewasa). Larva tidak bertungkai, berwarna putih jernih. Ketika bergerak, larva agak mengkerut, sedang kepompongnya tampak seolah telah dewasa. Imago mempunyai kepala yang memanjang membentuk moncong (snout). Sayap mempunyai dua bercak yang berwarna agak pucat. Sayap dapat berkembang sempurna, sayap belakang berfungsi untuk terbang. Panjang tubuhnya 3,50−5 mm (Kartasapoetra 1987). Serangan hama ini menyebabkan biji berlubang, cepat pecah dan hancur menjadi tepung. Hal ini ditandai dengan adanya tepung pada butiran yang terserang. Biji dan tepung dipersatukan oleh air liur larva sehingga kualitas biji menurun atau rusak sama sekali. Perkembangbiakan, aktivitas, dan kopulasi dilakukan pada siang hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama gudang lainnya. Lama hidup induk hama ini
berlangsung 3−5 bulan. Setiap induk mampu menghasilkan 300−400 butir telur (Kartasapoetra 1987). Menurut Kalshoven (1981), telur yang dihasilkan dapat mencapai 575 butir. Perbedaan jumlah telur disebabkan oleh beragamnya kualitas makanan. Menurut Ryoo dan Clio (1992), jenis makanan atau varietas sangat berpengaruh terhadap perilaku serangga dalam meletakkan telur. Telur diletakkan pada biji yang telah dilubangi, tiap lubang diisi satu butir telur. Masingmasing lubang selanjutnya ditutup dengan sisa gerekan. Lubang gerekan berdiameter ± 1 mm. Stadium telur berlangsung sekitar 7 hari. Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tidak berkaki, dan terus akan berada di dalam lubang gerekan. Demikian pula imago barunya akan tetap berada di dalam lubang sekitar 5 hari (Kartasapoetra 1987) (Gambar 1). Siklus hidup hama ini berlangsung 28−90 hari, tetapi umumnya sekitar 31 hari. Siklus hidup hama ini bergantung pada temperatur ruang penyimpanan, kelembapan atau kandungan air produk yang disimpan, dan jenis produk yang diserang. Pada kelembapan udara (Rh) 70% dan temperatur 18°C, siklus hidup S. zeamais dari telur menjadi dewasa atau imago mencapai 91 hari, namun pada Rh 80% dengan temperatur yang sama, siklus hidup S. zeamais hanya 79 hari (Kartasapoetra 1987). Hama ini bersifat polifag. Selain merusak butiran-butiran beras, hama juga merusak jagung, padi, dan lainnya.
▲ ▲
Telur 7 hari
▲
Larva 7−10 hari
Imago 5−7 hari ▲
kerusakan dan penyusutan hasil baik susut kualitas maupun susut kuantitas. Penanganan pascapanen jagung merupakan serangkaian kegiatan mulai dari panen, pengeringan hingga penyimpanan. Kegiatan tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Biji jagung tidak tahan disimpan lama baik dalam gudang maupun tempat penyimpanan lainnya, karena mudah terserang kumbang bubuk Sitophilus zeamais. Tingkat kerusakan ditentukan oleh intensitas serangan hama tersebut. Hama ini menyerang biji jagung sejak di pertanaman sebelum panen, terutama pada tongkol yang kelobotnya kurang menutup sempurna ataupun yang rusak akibat serangan hama lain seperti penggerek tongkol (Bejo 1992). Daya simpan dan mutu jagung selama penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi awal biji sebelum disimpan (kadar air, persentase biji rusak atau pecah) dan lingkungan ruang penyimpanan. Suharno (1982) menganjurkan menyimpan jagung dalam bentuk pipilan, dengan kadar air awal biji maksimal 13% serta kondisi ruang penyimpanan yang sejuk dan kering (suhu 27°C dan Rh 70%). Kadar air biji lebih dari 13% akan memberi peluang bagi perkembangan hama gudang. Penyimpanan jagung dalam bentuk tongkol atau pipilan dengan kadar air 12−14% dalam pengemas karung goni atau karung plastik pada suhu ruang tidak dapat memperpanjang daya simpan (Setyono dan Soedarmadi 1989). Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan hama gudang diperkirakan mencapai 26−29% (Semple 1985). Di Maros (Sulawesi Selatan), kerusakan biji dapat mencapai 85% dengan penyusutan bobot 17% pada biji yang disimpan selama 6 bulan (Tandiabang et al. 1998). Kehilangan hasil oleh kumbang bubuk di tempat penyimpanan dapat mencapai 30% di daerah tropis Meksiko (Bergvinson 2002). Populasi S. zeamais di tempat penyimpanan perlu dikendalikan, karena selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot, juga menyebabkan peningkatan kadar air biji sebagai hasil respirasi. Kondisi ini akan memacu pertumbuhan Aspergillus sp. dan terjadinya kontaminasi aflatoksin (Payne 1992; Lubuwa dan Davis 1994; Brown et al. 1999). Tulisan ini membahas mengenai biologi dan tinjauan hasil-hasil penelitian
Kepompong 7−12 hari
Gambar 1. Siklus hidup Sitophilus zeamais (Kartasapoetra 1987; IITA 2004). Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
UPAYA PENGENDALIAN Hasil penelitian yang berkaitan dengan hama kumbang bubuk pada jagung sudah cukup banyak. Hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan dalam merancang strategi pengendalian. Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan telaah teknologi yang berbasis pada kajian genotipe tanaman dan hubungan antara serangga dengan lingkungan diuraikan berikut ini.
Penyaringan Galur Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu upaya untuk menekan dan memperkecil kerugian petani akibat serangan hama, termasuk hama gudang. Kang et al. (1995) dan Tadesse et al. (1995) menyatakan bahwa kerusakan biji jagung dalam penyimpanan berkaitan erat dengan faktor genetik. Berkaitan dengan itu telah dilakukan penelitian penyaringan ketahanan galur dari hasil persilangan. Penelitian penyaringan ketahanan galur jagung terhadap hama bubuk S. zeamais telah dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Uji ketahanan 455 famili jagung terhadap S. zeamais mendapatkan 21 famili yang tahan disimpan selama 1,50 bulan, yaitu 5 famili asal galur S1, 5 famili asal full-sib, 1 galur asal half-sib, dan 10 galur asal silang tunggal (Tabel 1) (Masmawati et al. 1999). Surtikanti et al. (1999) menunjukkan bahwa tiap-tiap galur atau varietas mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap S. zeamais. Dari 288 galur Sl jagung yang diuji, setelah disimpan 1,50 bulan ternyata ada 274 galur yang memperlihatkan kerusakan 50−100%, 11 galur mengalami kerusakan
Tabel 1. Jumlah famili jagung dari setiap persilangan dengan tingkat kerusakan biji yang berbeda. Famili
Galur S l Full-sib Half-sib Silang tunggal
Jumlah famili (silang tunggal) pada kerusakan biji (%) 0
1−10
11−20
20
5 5 1 10
26 9 8 24
50 15 17 24
122 -40 30 59
Sumber: Masmawati et al. (1999). Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
30−49%, dan 2 galur dengan kerusakan < 10%, yaitu MCA(FS)C5-14 (6%) dan MCF(FS)C6-61 (10%) (Tabel 2 ). Tenrirawe et al. (1999) menyatakan bahwa dari 17 galur jagung dari famili kandung yang diuji, ternyata hanya 3 galur yang mempunyai tingkat kerusakan di bawah 5% setelah disimpan selama 45 hari. Galur tersebut adalah AC(FS)C5-TS4, AC(FS)C5-TS-26, dan AC(FS)C5-TS-1 dengan tingkat kerusakan masing-masing 1,30%, 2%, dan 4,70%. Galur yang paling tinggi tingkat kerusakannya adalah AC(FS)C5-TS-30 dengan kerusakan 19% (Tabel 3).
Penundaan Waktu Panen Waktu panen jagung yang tepat adalah setelah masak fisiologis, yang ditandai dengan kelobot berwarna kuning dan telah kering atau terlihat lapisan hitam pada ujung biji yang melekat pada tongkol. Panen yang tepat dapat mengurangi serangan S. zeamais setelah biji di simpan. Penelitian pengaruh waktu panen terhadap intensitas serangan S. zeamais dilakukan dengan infeksi alami. Hasil panen dalam bentuk pipilan disimpan selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi S. zeamais paling tinggi terdapat pada biji yang dipanen pada 1 minggu setelah masak fisiologis (msmf), karena kadar air awal biji pada saat disimpan lebih tinggi dibanding waktu panen lainnya. Kadar air biji yang
Tabel 2. Persentase kerusakan biji jagung oleh Sitophilus zeamais setelah disimpan 1,50 bulan. Galur MCA(FS)C5-14 MCF(FS)C6-61 MCF(FS)C6-68 MCF(FS)C6-35 P31(FS)C6-15-8 MCA(FS)C6-60 MCF(FS)C6-70 MCF(FS)C6-122 MCA(FS)C5-77 MCF(FS)C6-126 MCF(FS)C6-127 MCF(FS)C6-92 MCA(FS)C5-79 MCA(FS)C5-53
Persentase kerusakan biji 6 10 26 33 40 41 42 42 42 43 44 44 46 49
Sumber: Surtikanti et al. (1999).
Tabel 3. Rata-rata persentase kerusakan biji jagung oleh Sitophilus zeamais setelah disimpan 1,50 bulan. Galur
Persentase kerusakan biji
AC(FS)C5-TS-4 AC(FS)C5-TS-26 AC(FS)C5-TS-1 AC(FS)C5-TS-17 AC(FS)C5-TS-7 AC(FS)C5-TS-29 AC(FS)C5-TS-9 AC(FS)C6-13 AC(FS)C6-12B AC(FS)C5-TS-19 AC(FS)C5-TS-4# AC(FS)C5-TS-29# AC(FS)C5-TS-30B AC(FS)C5-TS-30 AC(FS)C5-24# AC(FS)C5-43 AC(FS)C6-9B
1,30 2 4,70 5 6 6 7 16 18 12 13 15,30 15,30 19 12 18,50 18
Sumber: Tenrirawe et al. (1999).
disimpan akan cepat berubah sehingga mencapai kadar air yang sesuai dengan perkembangan kumbang bubuk. Faktor inilah yang mungkin menyebabkan populasi kumbang bubuk dan kerusakan biji pada 1 msmf lebih tinggi dibandingkan dengan waktu panen lainnya. Panen pada 2 msmf dan 3 msmf dengan kadar air yang lebih rendah pada saat penyimpanan dapat memperlambat kerusakan biji jagung, walaupun serangan kumbang bubuk tetap ada (Tabel 4). Kadar air biji sesudah penyimpanan 6 bulan mencapai di atas 15%, yang merupakan kadar air optimal bagi perkembangan kumbang bubuk (Kalshoven 1981). Tandiabang et al. (1996) mengemukakan bahwa biji jagung pipilan yang dipanen terlambat mengalami kerusakan yang paling rendah setelah disimpan dalam gudang selama 6 bulan (Tabel 4).
Pemilihan Wadah Penyimpanan Wadah untuk penyimpanan juga menentukan kehilangan hasil akibat serangan hama gudang. Pabbage et al. (1990) melakukan penelitian penyimpanan biji jagung varietas TC1 dengan menggunakan berbagai jenis wadah. Setiap wadah diisi dengan 7 kg biji jagung dan diinokulasi dengan 10 pasang imago S. zeamais. Biji diberi perlakuan insektisida 125
Tabel 4. Populasi Sitophilus zeamais, kerusakan biji, dan penyusutan bobot biji jagung varietas Arjuna pada berbagai kondisi cuaca saat panen dan umur panen. Waktu panen
Masak fisiologis 1 msmf 2 msmf 3 msmf
Kadar air (%) Awal
Akhir
Populasi awal/ tongkol
9,70 9,78 7,27 7,10
18,04 19,50 18,79 20,18
0 0 2 3
Populasi/ liter setelah 6 bulan
Kerusakan biji awal (%)
Kerusakan setelah 6 bulan (%)
413,50 429,67 313,33 176,17
0 0 1,50 2,10
54,27 72,16 31,31 15,95
Penyusutan bobot (%)
Keadaan cuaca saat panen
5,79 7,65 3,42 2,92
Gerimis Gerimis Kering Kering
Msmf = minggu setelah masak fisiologis. Sumber: Tandiabang et al. (1996).
pirimifos metil 1 g untuk setiap 100 kg biji serta abu sekam padi 1 kg/10 kg biji. Hasil penelitian menunjukkan populasi S. zeamais pada berbagai wadah penyimpanan meningkat sejak biji diinokulasi sampai 5 bulan penyimpanan, dan pada bulan keenam populasi tersebut menurun. Populasi S. zeamais tertinggi terdapat pada wadah karung plastik dan karung terigu yang tidak diberi insektisida (Gambar 2). Kepadatan populasi pada kedua wadah tersebut masing-masing adalah 288 dan 284 ekor setiap 200 g biji. Dalam kantong plastik dengan tebal 0,07 mm dan kantong plastik + abu sekam, populasi serangga tidak terlalu tinggi. Pada penyimpanan dalam kantong plastik + insektisida, karung plastik + insektisida, karung terigu + insektisida, dan jerigen plastik + insektisida tidak ditemukan populasi hama (Gambar 2). Setelah 5 bulan penyimpanan, tingkat kerusakan tertinggi terdapat pada benih yang disimpan dalam karung plastik dan kantong terigu, masing-masing 65% dan 61,50% (Gambar 3). Hal ini disebabkan wadah tersebut tidak kedap udara sehingga kadar air meningkat selama penyimpanan. Kerusakan biji dalam wadah kantong plastik tanpa insektisida mencapai 52%, karena serangga dapat melubangi wadah sehingga kadar air biji dalam kantong plastik meningkat. Pada wadah yang diberi insektisida, biji masih tetap utuh. Demikian pula biji jagung pada wadah jerigen plastik dan dalam kantong plastik yang dicampur abu sekam menunjukkan kerusakan biji kurang dari 10%, karena abu sekam dapat pula berfungsi sebagai bahan makanan bagi hama kumbang bubuk (Gambar 3). Pabbage et al. (1990) menyatakan bahwa jerigen plastik merupakan wadah 126
Populasi S. zeamais 350
Periode simpan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan
300 250 200 150 100 50 0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
A = Kantong plastik, B = Karung plastik, C = Karung terigu, D = Jerigen plastik, E = A + pirimifos metil, F = B + pirimifos metil, G = C + pirimifos metil, H = D + pirimifos metil; I = A + abu sekam padi
Gambar 2.
Pengaruh wadah penyimpanan dan penggunaan metil pirimifos terhadap populasi Sitophilus zeamais (Pabbage et al. 1990).
Kerusakan biji (%) 70
Periode simpan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan
60 50 40 30 20 10 0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
A = Kantong plastik, B = Karung plastik, C = Karung terigu, D = Jerigen plastik, E = A + pirimifos metil, F = B + pirimifos metil, G = C + pirimifos metil, H = D + pirimifos metil, I = A + abu sekam padi
Gambar 3.
Pengaruh wadah penyimpanan dan penggunaan metil pirimifos terhadap kerusakan benih jagung oleh Sitophilus zeamais (Pabbage et al. 1990). Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Tabel 5. Penyusutan bobot biji jagung akibat Sitophilus zeamais setelah disimpan 6 bulan. Wadah penyimpanan Kantong plastik Karung plastik Karung terigu Jerigen plastik Kantong plastik + pirimifos metil Karung plastik + pirimifos metil Karung terigu + pirimifos metil Jerigen plastik + pirimifos metil Kantong plastik + abu sekam padi KK (%)
Penyusutan (%) 100 43,30 48,11 22,52 19,70 24,72 24,62 18,92 29,11 7,27
Sumber: Pabbage et al. (1990).
penyimpan biji atau benih jagung terbaik, karena dapat menekan perkembangan populasi S. zeamais. Penyusutan bobot biji pada jerigen plastik paling rendah dibandingkan dengan wadah yang lain. Jerigen plastik bersifat kedap udara sehingga kadar air biji yang disimpan tidak berubah (Tabel 5). Baco et al. (2000) melaporkan bahwa kepadatan populasi S. zeamais dan kerusakan biji jagung berbeda pada berbagai cara penyimpanan. Penyimpanan pada tujuh macam tempat, yaitu silo tipe besar, silo tipe kecil, silo tipe Lanrang, silo tipe Maros, karung besar, jerigen, dan cara petani (tongkol) menunjukkan bahwa penyimpanan dalam jerigen, dan tipe silo, kecuali silo tipe Maros, menghasilkan kepadatan populasi S. zeamais yang lebih rendah dibandingkan dengan cara penyimpanan yang biasa dilakukan petani (Tabel 6).
Penggunaan Bahan Nabati Penyimpanan benih jagung pada kondisi kadar air tinggi dapat merusak daya tumbuh. Penyimpanan benih umumnya dilakukan untuk mempertahankan mutu sampai musim tanam berikutnya. Salah satu upaya mempertahankan mutu benih jagung adalah melalui penyimpanan benih dengan dicampur bahan nabati, seperti daun serai (Andropogon nardus), daun bawang merah (Allium ascaJurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
lonicum), daun cengkeh (Syzygium aromaticum), dan daun dringo (A. calamus). Bahan nabati tersebut dapat mengurangi pertumbuhan dan perkembangan serangga. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan bahan nabati dringo efektif menekan serangan Sitophilus sp. pada biji jagung varietas Arjuna (Tabel 7).
Varietas Tahan Penggunaan varietas tahan dalam pengendalian hama sangat menguntungkan, karena mudah dilaksanakan oleh petani, praktis, ekonomis, dan aman terhadap lingkungan. Sebanyak 52 galur (varietas) dari plasma nutfah telah diuji ketahanannya terhadap serangan S. zeamais. Hasil pengamatan terhadap biji yang disimpan selama 2 bulan menunjukkan bahwa dari 52 galur (varietas) plasma nutfah yang diuji, varietas AMATL(HS) C2 yang sekarang dinamakan varietas Sukmaraga paling tahan terhadap S. zeamais dengan kerusakan
biji 0,97% (Tabel 8). Varietas yang paling rentan adalah Lokal Toraja dengan kerusakan 45,91%. Beberapa faktor dari dalam biji yang menyebabkan biji tahan terhadap serangan S. zeamais selama penyimpanan adalah kekerasan biji (Serratos et al. 1987), ukuran, tekstur, kadar air biji, dan permukaan biji yang keras (Kossou et al. 1993). Menurut Melchor (1981), biji jagung yang tahan terhadap serangan S. zeamais memiliki kandungan amilose yang rendah.
Musuh Alami Musuh alami kumbang bubuk S. zeamais belum banyak diketahui dan diteliti. Jenis musuh alami kumbang bubuk meliputi parasit, cendawan, bakteri, virus, dan predator. Anisopteromalus calandrae Howard merupakan parasit larva (Arbogast dan Mullen 1990), begitu pula Lariophagus distinguendus (Ryoo et a1. 1991).
Tabel 6. Padat populasi dan kerusakan biji jagung akibat Sitophilus zeamais per 250 g pada berbagai cara dan lama penyimpanan. Padat populasi (ekor)
Tempat penyimpanan Silo tipe kecil Silo tipe besar Silo tipe Lanrang Silo tipe Maros Jerigen Karung besar Cara petani (tongkol)
Persentase kerusakan biji
2 bulan
4 bulan
2 bulan
4 bulan
0 0,50 0,50 4 0 0 7,25
0,50 1,50 1 5,25 0 0,75 12
0 0,09 0,09 3,06 0 0 11,56
0,15 0,10 0,65 5,34 0 0,19 64,57
Sumber: Baco et al. (2000).
Tabel 7. Rata-rata intensitas serangan, populasi terakhir, dan jumlah Sitophilus sp. yang mati pada lima perlakuan bahan nabati. Perlakuan Kontrol Daun serai Daun bawang merah Daun cengkeh Daun dringo
Intensitas serangan (%)
Populasi terakhir (ekor)
17,21 4,15 16,12 6,65 3,37
112,13 25,10 81,25 20,21 12,19
Jumlah yang mati (ekor) 6,22 27,11 8,14 19,27 31,12
Sumber: Fattah dan Syafaruddin (1996).
127
Tabel 8. Kerusakan biji jagung akibat serangan Sitophilus zeamais di laboratorium. Varietas
Kerusakan biji (%)
AMATL(HS)C2 M-Bita-86MBRChilo AMATL(S1)C3 Wisanggeni Batara Cilla Harapan Baru Pop corn Limproved Tini Quib Lokal Bantaeng Tabongo MR-14 Rama CIR-1 Lokal Palopo Baku-baku Jawa Kuning IKENE 8149 Bastar Kuning High Oil Pakelo Trp.White Lite Pop SZR-C2 Pulut Maros Kresna Pulut Bantaeng Lokal Gorontalo
0,97 1,31 1,82 2,05 2,82 3,04 3,10 3,12 3,66 4,09 4,39 4,39 4,72 4,74 5,83 5,98 6,02 6,44 6,52 6,66 6,95 7,14 8,17 8,57 9,29 9,60
Varietas Pulut Barru Lagaligo MR-10 SATP-1(s2)C6 Bisma Takfa-8531 Krasehan Tanrang Lokal Ciamis Lokal Madura Pulut Takalar SW-89D-301 SA-4(S1)C1 MGL Comp.G-2 Penjalinan Koasa Maros Batara Punu Cilla GM-27 Gumarang Bromo SW-89A-121 Permadi CIR-3-3 GM-26 Lamuru Lokal Toraja
Kerusakan biji (%) 10,09 10,12 10,18 10,63 11,37 11,67 13,09 13,30 13,92 17,23 18,47 19,10 19,51 19,55 21,38 23,09 23,81 26,90 27,18 29,85 29,96 32,12 32,14 34,88 39,04 45,91
Sumber: Surtikanti dan Suherman (2003).
KESIMPULAN Serangan Sitophilus zeamais dapat dikendalikan dengan menggunakan hasil persilangan tanaman, menunda waktu panen, dan menggunakan wadah penyimpanan yang tepat. Dalam jumlah yang relatif sedikit, penyimpanan dapat menggunakan jerigen plastik, sedangkan untuk penyimpanan dalam jumlah banyak (1−3 t) dapat menggunakan silo. Penggunaan varietas tahan dan musuh alami juga dapat menekan serangan S. zeamais selama penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA Arbogast, R.T. and M.A. Mullen. 1990. Interaction of maize weevil (Coleoptera Curculionidae) (Hymenoptera: Pteromalidae) in a small bulk of stored corn. J. Econ. Entomol. 83(6): 2.462−2.468. Baco, D., M. Yasin, J. Tandiabang. S. Saenong, dan T. Lando. 2000. Penanggulangan
128
kerusakan biji jagung oleh hama gudang Sitophilus zeamais dengan berbagai alat dan cara penyimpanan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 19(1): 1−5. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Laporan Tahunan 2003. Inovasi Pertanian untuk Kesejahteraan Petani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 15. Bejo. 1992. Pengaruh kadar air dan kerusakan awal biji jagung terhadap laju infestasi kumbang bubuk. Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Bergvinson, D. 2002. Postharvest Training Manual. Major Insect Pest Maize in Storage. CIMMYT, Mexico. Brown, R.L., Z.Y. Chen, T.E. Cleveland, dan J.S. Russia. 1999. Advances in the development of host resistance in corn to aflatoxin contamination by Aspergillus flavus. Phytopathology 89: 113−117. Fattah, A. dan Syafaruddin. 1996. Pengaruh bahan nabati, arang, abu sekam, dan abu dapur terhadap intensitas serangan hama Sitophilus sp. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X, PEI, PFI, dan HPTI Komda Sulawesi Selatan. hlm. 85−90.
IITA. 2004. Maize Weevil. Sitophilus zeamais Motschulsky. Image Courtesy of G. Goergen. Page 1 of 1. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translate by D.A van der Laan. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Kang, M.S., Y. Zhang, and R. Magari. 1995. Combining ability for maize weevil preference of maize grain. Crop Sci. 35: 1.556− 1.559. Kartasapoetra, A.G. 1987. Hama hasil tanaman dalam gudang. Bina Aksara, Jakarta. 146 hlm. Kossou, D.K., J.H. Mareck, and N.A. BosquePerez. 1993. Comparison of improved and local maize varieties in the Republic of Benin with emphasis in susceptibility to Sitophilus zeamais Motschulsky. J. Stored Products Res. 29: 333−343. Lubuwa, A.S.G dan J.S. Davis.1994. Estimating the social cost of the impacts of fungi and aflatoxin in maize and peanut. p. 1.017− 2.042. In E. Highly, E.J. Wright, H.J. Banks, and B.R. Champ (Eds.). Stored Product Protection. Proceeding of the 6 th International Working Conference on Stored Product Protection. Vol. 2. CAB International, UK. Masmawati, O. Suherman, dan D. Baco. 1999. Uji ketahanan beberapa galur jagung terhadap Sitophilus zeamais Motsch. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI, dan HPTI Komda Sulawesi Selatan hlm. 86−92. Melchor, D.J. 1981. The effect of density on the survival and development of Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) in different maize varieties. In Plant Protection News, Philippines 10(4): 4−25. Pabbage, M.S., S. Saenong, dan D. Baco. 1990. Pengaruh wadah penyimpanan benih jagung dan pirimifos metil terhadap populasi Sitophilus zeamais dan viabilitas benih. Agrikam 5(2): 62−70. Payne, G.A. 1992. Aflatoxin in maize. Crit. Rev. Plant Sci. 10: 423−440. Ryoo, J.D., R.L. Barney, B.D. Price, and M. Siddiqui. 1991. Effect of several management tactic on adult mortality on progeny production of Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) on stored corn in the laboratory. J. Econ. Entomol. 84: 1.041− 1.046. Ryoo, M.I. and H.W. Clio. 1992. Feeding and oviposition preferences and demography of rice weevil (Coleoptera: Curculionidae) reared on mixtures of brown polished and rough rice. Environ. Entomol. 21(3): 549−555. Semple, R.L. 1985. Problems relative to pest control and use of pesticides in grain storage, the current situation in ASEAN and future requirement. Proceeding of International Seminar on Pesticides and Humid Tropical Grain Storage Systems. ACIAR, Canberra.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Serratos, A., J.T. Arnason, C. Nozzolillo, J.D.H. Lambert, B.I.R. Philogene, G. Fulcher, K. Davidson, L. Peacock, J. Atkinson, and P. Morand. 1987. Factor contributing to resistance of exotic maize populations to maize weevil, Sitophilus zeamais. J. Chem. Ecol. 3: 751−762. Setyono, A. dan Soedarmadi. 1989. Usaha memperpanjang daya simpan jagung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(1): 15−19. Suharno, P. 1982. Postharvest insect pest of maize. National College of AgriculturaI Engineering. Surtikanti, O. Suherman, dan D. Baco. 1999. Seleksi galur S1 jagung terhadap hama gudang (Sitophilus zeamais). Jurnal Tanaman Tropika (2): 1−7.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Surtikanti dan O. Suherman. 2003. Reaksi 52 galur/varietas jagung terhadap serangan kumbang bubuk. Berita Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 26: 3−4.
panen. Hasil-hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman Tahun 1995/1996. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Maros. hlm. 28−34.
Tadesse, A., T.G. Medhin, dan M. Hulluka. 1995. Comparison of some maize genotypes for resistance to the maize weevil Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) in Ethiopia. p. 198−201. In D.C. Jewell, S.R. Waddington, J.K. Ramson, and K.V. Pixley. (Eds.). Maize Research for Stress Environments. Proceedings of the Fourth Eastern and Southern Africa Regional Conference, 28 March − 1 April 1994. CIMMYT, Mexico D.F.
Tandiabang, J., M.S. Saenong, dan D. Baco. 1998. Kehilangan hasil jagung oleh kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motsch. pada berbagai umur simpan dan wadah penyimpanan. Laporan Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tahun 1997/1998. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Maros hlm. 36−39.
Tandiabang, J., S. Mas’ud, dan M.S. Pabbage. 1996. Kehilangan hasil jagung oleh kumbang Sitophilus zeamais dengan penundaan waktu
Tenrirawe, O. Suherman, dan D. Baco. 1999. Evaluasi famili saudara kandung terhadap hama bubuk Sitophilus zeamais. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI, dan HPTI Komda Sulawesi Selatan. hlm. 110−115.
129