KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA PETANI PADI SAWAH LEBAK DI KABUPATEN OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
YUNINDYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Yunindyawati NRP I363100011
RINGKASAN YUNINDYAWATI. Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Di bimbing oleh TITIK SUMARTI, SOERYO ADIWIBOWO, AIDA VITAYALA S. HUBEIS, dan HARDINSYAH Penelitian ini penting dilakukan karena masih jarang penelitian yang menganalisis kontribusi perempuan dari aspek sosial terutama kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah; pertama, menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Ketiga, menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Permasalahan ini dikaji dan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, diskusi kelompok dan dokumentasi. Hipotesis pengarahnya adalah maskulinisasi pertanian dan marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan hasil diskursus pemenuhan pangan pemerintah memunculkan resistensi kuasa pengetahuan terstruktur. Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak terjadi dalam hal peningkatan produktivitas pertanian versi pemerintah, pemenuhan pangan sebagai mekanisme survival versi komunitas dan pangan sebagai komoditas ekonomi versi pelaku usaha. Diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, utamanya menekankan pada peningkatan produktivitas padi justru menghasilkan kebijakan yang memarjinalkan kuasa pengetahuan perempuan. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang. Hal ini disebabkan obyek dari berbagai program pertanian adalah kepala keluarga (mayoritas laki-laki). Diskursus pangan pemerintah sesungguhnya merupakan proses maskulinisasi pertanian dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Diskursus pangan komunitas memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus pangan komunitas. Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam
proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari pertanian padi lebak. Menenun songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan karena dengan tenun songket perempuan mendapat uang cash secara langsung, dan pasti tidak rugi. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Proses mengolah hasil perikanan rawa dan membuat atap daun membuka peluang perempuan saling bertukar informasi pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini merupakan metamorfosis dari jaringan informasi yang diperoleh saat mengerjakan panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru (setelah penerapan revolusi hijau). Perbedaan pelapisan sosial menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas disubordinasi oleh kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan laki-laki mendominasi seluruh aspek pemenuhan pangan keluarga; mulai dari peran publik, pengambilan keputusan dan penentu jenis makanan. Kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas hanya nampak pada peran domestik, mengolah masakan untuk konsumsi keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok menengah relatif dominan dibanding kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan mampu dipratikkan pada ranah publik untuk mendapatkan bahan pangan dan pendapatan, mempraktikkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan di ranah domestik. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan kuasa pengetahuan laki-laki pada keluarga kelompok bawah cenderung setara dalam setiap aspek pemenuhan pangan keluarga. Pada ranah publik dan ranah domestik kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan dimainkan demi pemenuhan pangan keluarga. Perbedaan kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak ini menunjukkan dua hal. Pertama, kuasa
pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan seluruh anggota keluarga. Kata kunci: kontestasi, diskursus, resistensi, kuasa pengetahuan perempuan, pemenuhan pangan keluarga
SUMMARY YUNINDYAWATI. The power of women‘s knowledge in the food fullfilment of rice lebak farmer family in Ogan Ilir South Sumatera. Supervised by Titik Sumarti, Soeryo Adiwibowo, Aida Vitayala S. Hubeis, and Hardinsyah This research is very important to be carried out because there is rare research which analyze women‘s contribution from the social structure aspect especially the power of women‘s knowledge in he family food fulfillment. The objective of this study was to analize the discourse contestation of family food fulfillment in the rice lebak farmer family, to analyze the relation of power of women‘s knowledge as a form of resistance in the food family fulfillment, and to anlyze the relation of power of women‘s knowledge in the family based on community social structure. This research was used the qualitative approach and the critical paradigm. The technique of data collection was conducted by in deepth interview, observation, group discussion and documentation. The hypothesis of this research was the masculinization of agriculture and the marginalization of power of women's knowledge as a result of government discourse to food family fulfillment causes the resistance of women based on social structure. The discources contestation of the family food fulfillment occur in terms of increasing agricultural productivity according to government‘s version, the family food fulfillment as a survival mechanism for the community version and the businesses version, the family food fulfillment as an economic commodity. The discourse of the government's food for the family food fulfillment, mainly emphasizes on increasing rice productivity would produce policies that marginalize the power of women's knowledge. The role of women in the process of agricutural are disappeared. This is due to the object of various agricultural programs are the head of the family (the majority of men). Hence the government's discourse is actually a process of masculinization of agriculture and the marginalization of power of women's knowledge. The community discourse of family food fulfillment provide the opportunities for women to contribute in the family food fufillment, ranging from the farming process, take up the food of the swampy land and diversification of work. Therefore, the practice of the power of women's knowledge to fulfill family food dominated by the community discourse. The resistance of power of women‘s knowledge in meeting the family food as a result of the marginalization of women's roles in the agriculture process and the family economic pressure. The resistance of women, among others; the immediate resistance to
against the marginalization of agricultural pocess (the use of local seeds, grass manually and use of agricultural technology) and the indirect resistance by diversification of work in the non rice agriculture, songket weaving, processing of fishery products, making the roof of leaves, forming a non-formal organization, non-formal credit access, and processing of family food consumption. These diversification of work showed the economic stretching of women to the fulfillment of family food. Diversification of the non rice agriculture as a spearheading the power of women‘s knowledge in meeting food family. The swampy ecology provide opportunities to the women to seek and gather of food, so that the women still playing a role in the availability of food, although they were evicted from the rice agriculture process. Songket weaving as a pedestal of the power of women‘s knowledge because the songket make women earn cash directly, and certainly not a loss. This is in contrast to the effort to get money from the agricultural sector,that is very prone to failure. The processing of fishery products, make up the roof leaves, are a moment that giving opportunities for women to exchange information, as a safety networking of the power of women‘s knowledge. This networking is a metamorphosis of the network information from the working on the rice harvest with tarikan system that has been displaced by the new farming system (green revolution). The differences of family social stratification determine the relations of power of women‘s knowledge to fulfill the family food. The relation of power of women‘s knowledge in the upper families subordinated by the power of knowledge of men. The power of men‘s knowledge dominate all of aspects of the family food fulfillment; ranging from public roles, decision-making and determining the type of food. The power of women‘s knowledge in upper family, appear on the domestic role only, cultivate food for family consumption. The relation of the power of women‘s knowledge in the middle class families are relatively dominant than the power of men‘s knowledge. The power women‘s knowledge can be practiced in the public domain; getting food and income, practice in social life and in the domestic sphere. The relation of power of women‘s knowledge in the lowest family tends to equal with power of men‘s knowledge in every aspect of the fulfillment of family food. In the public sphere and the domestic sphere, both the power of knowledge of men and women played for family food fulfillment. The differences of powerof women‘s knowledge based on family social structure showed two aspects; first, the power of women‘s knowledge is different based social structure. This showed that the power of women‘s knowledge was inherent in the family social structure. The second, the power of women‘s knowledge should not be found in the public domain. The domestic domain also provides
opportunities for the practice of power f women‘s knowledge, because of the relational processes in the family between women and the whole of family. Keywords: contestation, discourse, resistance, the power of women‘s knowledge, family food fulfillment
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS 2. Dr. Satyawan Sunito
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Irwan Abdullah 2. Dr. Rilus A. Kinseng MA
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurah pada Muhammad Rasulullah SAW. Penelitian kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 hingga Maret 2013. Penelitian ini bisa selesai karena bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada ruang ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Komisi pembimbing; Dr. Titik Sumarti, Dr. Soeryo Adiwibowo, Prof Aida Vitayala S. Hubeis dan Prof Hardinsyah, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis menyelesaikan disertasi ini.
2.
Rektor IPB, Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Pascasarjana IPB, Dekan FEMA, Ketua Program Studi SPD, Staf Pengajar SPD dan Dirjend Dikti yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Sandwich Program dan Dr Ratna Saptari dari Leiden University.
3.
Para Informan Penelitian: masyarakat desa Ulak Aurstanding, kepala desa, ketua kelompok tani, ketua KUBE, ketua PKK, Penyuluh Pertanian, Dinas Pertanian dan Dewan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
4.
Teman-teman SPD 2010: Pak Viktor, Pak Iyeb, Pak Obie, Bu Lina dan Bu Mira, yang telah bersama-sama dan bekerjasama dalam menuntut ilmu di IPB dan kakak tingkat dan adik tingkat SPD yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaannya dan mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan.
5.
Keluarga besarku terutama Bapak H. Juwaini, Ibu Indarsih (Almh), adik-adikku: Dwi atmojo, Tri Rahmawati, SPd, Agung Catur Rahmawan SPd, Ria Panca Irawati, S.S, atas dukungan materiil, moril serta doa-doa yang senantiasa dipanjatkan.
6.
Keluarga besar Lampung: terutama ayah dan ibu mertua yang berkenan menjaga anak-anak saya pada saat saya harus pergi keluar negeri mengikuti Sandwich program selama kurang lebih 3 bulan.
7.
Suamiku tercinta, Rinto, SPi, MP, atas pengertian, dukungan dan kesabaran yang luar biasa mendampingi saya dalam menjalani kehidupan. Semoga studi S3 di Ilmu Pangan yang sedang dijalani segera selesai dengan lancar dan diberi kemudahan oleh Allah.
8.
Anak-anakku tersayang: Muhammad Barid Fathan Hanan, Muhammad Hafid Hanafi (Alm) dan Muhammad Luthfi Hanafi, kalian adalah permata hati, penyejuk jiwa (qurrota a‘yun) bagi orang tua dan untaian doa mama panjatkan semoga menjadi anak yang sholeh, ahli ilmu, ahli amal dan ahli kebaikan serta suatu saat kelak, kalian diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa menuntut ilmu seperti yang mama peroleh ini.
9.
Karya ini saya persembahkan untuk guru-guruku (dari TK hingga program Doktor) yang telah memberikan tetesan ilmu serta orang-orang yang mencintaiku.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2015 Yunindyawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Signifikansi Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Penciptaan dan Penyebaran Diskursus Kuasa perempuan dan pangan
3
Konsep dan Studi tentang Ketahanan Pangan dan Perempuan Ukuran Ketahanan Pangan dengan Metode Kualitatif Kerangka Pemikiran Penelitian Definisi Konseptual Hipotesis Pengarah Kebaruan Penelitian Metode Penelitian PROFIL KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH LEBAK DAN PERAN
ix x 1 1 3 4 4 5 5 8 10 13 25 27 28 29 29 31
PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN DI KABUPATEN OGAN ILIR 42
4
Profil Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan 42 Profil Kecamatan Pemulutan Selatan 45 Kondisi Ekonomi Komunitas Petani Padi Sawah Lebak di Desa Ulak Aurstanding 48 Kendala dan Strategi dalam Pemenuhan Pangan Keluarga 50 Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Petani Padi Sawah Lebak di Desa Ulak Aurstanding 51 SEJARAH PERTANIAN PADI LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DI DESA ULAK AURSTANDING Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
53 53 53 54 70
5
KONTESTASI DISKURSUS PEMENUHAN PETANI PADI SAWAH LEBAK
6
PANGAN
KELUARGA 71
Pendahuluan 71 Metode 73 Hasil dan Pembahasan 73 Simpulan 96 RESISTENSI KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN ATAS MARJINALISASI PADA PROSES PERTANIAN PADI DAN PRAKTEK KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA 97 Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
7
STRUKTUR SOSIAL KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA 116 Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
8
9
97 98 99 116
PEMBAHASAN UMUM
116 117 117 129 130
Keterbatasan Penelitian
137
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
137
Simpulan Implikasi DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
137 139 141 149
DAFTAR TABEL
11 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu 22 Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan 33 Kepercayaan dasar dari Paradigma-paradigma penelitian alternatif 4 Empat Paradigma Utama 54 Luas Wilayah Kecamatan, Jumlah Kelurahan dan Desa dalam Kabupaten Ogan Ilir tahun 2012 65 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur 76 Tabel tentang Pentahapan Keluarga Sejahtera 87 Karakteristik ekonomi rumah tangga petani 98 Komposisi penduduk berdasarkan jumlah KK dan jenis kelamin 19 Bentuk diversifikasi usaha petani di desa Ulak Aurstanding 10 Kegiatan pertanian sebelum fase revolusi hijau 111 Penerapan Teknologi dan Inovasi oleh Pemerintah 112 Kegiatan pertanian setelah revolusi hijau 113 Perbedaan umum kegiatan pertanian sebelum dan sesudah revolusi hijau 114 Peran perempuan dalam kegiatan pertanian sebelum dan setelah revolusi hijau 115 Pelembagaan dan pengelolaan diskursus pangan antar aktor
DAFTAR GAMBAR 1 Penciptaan diskursus 2 Kerangka pemkiran penelitian 3 Administrasi Kabupaten Ogan Ilir 4 Kondisi Kecamatan Pemulutan Selatan 5 Alur proses diskursus ketahanan pangan pemerintah 6 Strategi keluarga dan komunitas untuk kecukupan pangan 7 Strategi pelaku usaha 8 Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa 9 Perempuan desa Ulak Aurstanding menenun songket 10 Ketrampilan perempuan membuat atap daun dan menyiang ikan 11 Perempuan memanggang krupuk kemplang 12 Alur kuasa pengetahuan dalam pemenuhan pangan keluarga
17 21 33 34 44 46 48 49 50 51 58 61 63 63 70 75
9 27 43 45 76 81 90 104 106 109 112 134
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berbagai studi tentang perempuan menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek kehidupan perempuan selalu tertinggal, tersubordinasi, termarjinalisasi dan mengalami ketimpangan serta kesenjangan dalam hubungannya dengan laki-laki. Kesenjangan yang dialami perempuan di bidang ketenagakerjaan bisa diamati melalui tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Data tahun 1990-2007, perempuan mengalami kesenjangan terhadap laki-laki. Begitu juga menyangkut upah yang diterima, terjadi kesenjangan gender dalam hal upah dimana rasio upah yang diterima perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah 50 persen lebih rendah dari lakilaki dan 70 persen untuk pekerjaan di sektor non pertanian, data tahun 2001-2004. Di bidang pendidikan angka partisipasi murni (APM) tahun 2008, menunjukkan bahwa rataan nasional tahun lama sekolah pada anak perempuan adalah 7,1 tahun dan 8,0 tahun pada anak laki-laki. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) meskipun telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun tetapi tetap masih cukup tinggi yaitu 307/100.000 kelahiran (Hubeis 2010). Studi yang dilakukan oleh Moussa (2011) di Kindia, Guinea, menunjukkan perempuan memiliki peran penting dalam memerangi kemiskinan dan kerawanan pangan. Petani perempuan merupakan tenaga kerja yang menghasilkan pangan sebagai basis konsumsi lokal. Aktivitas petani perempuan merupakan mesin penggerak pertumbuhan dan menyediakan basis bagi kehidupan pedesaan. Proporsi besar produksi pertanian diatributkan pada perempuan, membuat mereka sebagai agen penting bagi perkembangan ekonomi di wilayahnya. Peran penting perempuan dalam produksi pangan tidak diikuti oleh hak pemilikan lahan, hanya 1 persen dari perempuan yang memiliki hak pemilikan atas lahan. Tanpa kepemilikan tanah sulit bagi mereka untuk memperoleh pinjaman uang untuk membeli sarana pertanian seperti benih dan input esensial lainnya. Mereka juga dikeluarkan dari pelatihan dan jaringan pertanian. Kurangnya pengetahuan tentang hak-hak mereka membuat rentan terhadap penyerobotan tanah (land grabbing) dan kehilangan tanah warisan. PBB semakin menegaskan peran perempuan dalam produksi pangan dengan memprediksikan bahwa produksi pangan domestik perempuan di Afrika sebesar 80 persen, di Asia Pasifik 60 persen dan 40 persen di Amerika Latin (FAO 1998 dalam Moussa 2011). Secara umum orang bisa mengakses makanan tergantung pada kerja perempuan pedesaan. Petani perempuan menghasilkan makanan utama dan mereka bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga untuk makan. Sementara itu akses perempuan pada pelayanan keuangan, perluasan pertanian, pendidikan dan kesehatan, dan hak asasi manusia merupakan kunci untuk aman ketahanan pangan bagi semua (Hunger Project at www.thp.org). Peran perempuan di sektor pertanian dan kontribusi ekonominya bisa mendukung ketahanan pangan di tingkat keluarga. Ketahanan pangan menurut World Food Summit (1996) merupakan kondisi dimana manusia memiliki akses yang penuh, baik fisik dan ekonomi dapat mencukupi nutrisi makanan dan keamanan dalam
menyediakan kebutuhan pangan dalam kehidupan yang sehat sesuai dengan nilai dan budaya setempat (Purwanti 2010). Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008). Di bidang pertanian dan pedesaan perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga berperan penting dalam distribusi pemasaran. Kontribusi perempuan semakin terlihat ketika mereka memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi pertanian. Namun, aktivitas domestik tidak dinilai sebagai jenis pekerjaan karena tidak menghasilkan pendapatan. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Berdasarkan data BPS 2012, rasio TPAK menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Pada tahun 2012 proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,91 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 79,57 persen. Kondisi ini sesuai dengan mindset yang ada dalam masyarakat bahwa perempuan berperan mengurus rumah tangga (KPPA 2013). Pada kasus perempuan petani sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan, perempuan terlibat dalam proses produksi padi (on farm) dan juga terlibat dalam kegiatan konsumsi (off farm). Pada proses produksi padi, peran perempuan antara lain; menyiapkan lahan sebelum di tanami (Rencam), menebas rumput, menganyam brondong (media untuk menyemai benih), memindahkan benih sebelum ditanam, menanam benih padi, memindahkan ke sawah lebak, merawat dan memanen padi. Untuk menambah pendapatan keluarga perempuan bekerja menenun songket, menjual gorengan, membuka warung kelontong, mencari ikan dengan menggunakan tangkul atau dengan memancing, menjadi buruh upahan menyiang ikan, mejual ikan dari rumah ke rumah, mencari sayuran ke rawa untuk dimakan dan untuk makanan ternak, mencari gondang (keong rawa) untuk dijadikan lauk dan makan ternak, memelihara ayam dan itik. Studi yang dilakukan oleh Febriansyah (2014) menunjukkan peran istri pada rumah tangga petani sawah lebak di kecamatan Pemulutan Selatan tidak hanya pada usaha tani padi tetapi juga diversivikasi tani non padi dan di luar usaha tani. Perempuan pada komunitas petani padi sawah lebak, dikonstruksikan secara sosial bertanggung jawab atas kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi anggota keluarga. Mereka memegang peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih, mengatur pola makan, jenis makanan dan hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi keluarga. Para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawah/lahan mereka jika tidak didukung oleh perempuan, menyediakan pangan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Hal ini menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan pangan keluarga, karena kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di tingkat keluarga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan. Persoalannya adalah ketika perempuan melaksanakan peran produktif dan reproduktif tersebut bagaimana kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial ekonomi petani padi sawah lebak? Penelitian ini ingin mengkaji
persoalan tersebut pada keluarga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Selatan merupakan propinsi yang memiliki lahan rawa lebak cukup besar yaitu mencapai 2,98 juta ha. Dari jumlah tersebut yang sudah dimanfaatkan sebanyak 368.690 hektar terdiri dari 70.908 hektar lebak dangkal, 129.103 hektar lebak tengahan dan 168.67 hektar lebak dalam (Noor 2007, Yunita 2011). Dua kabupaten yang memiliki luas lahan terbesar adalah Ogan Komering Ilir (27,8%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan dan kabupaten Ogan Ilir (20,6%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan. Lahan lebak sangat potensial untuk pertanian terutama tanaman pangan. Musim tanam padi di sawah lebak hanya setahun sekali yakni pada saat air surut, oleh karena itu produktivitas hasil pertanian padi sawah lebak berbeda dengan produktivitas padi sawah yang menggunakan sistem pengairan. Kondisi ini membuat petani sawah lebak berada pada posisi sulit untuk menuju ketahanan pangan keluarga. Di tambah lagi perubahan iklim yang relatif tidak menentu memberi dampak pada usaha pertanian sawah lebak. Hal tersebut bisa menyebabkan kerawanan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian kabupaten Ogan Ilir, berupaya mengatasi persoalan kerawanan pangan dengan melakukan penyuluhan pertanian sebagai upaya pemberdayaan petani. Berbagai kegiatan tersebut belum menunjukkan hasil yang nyata bagi ketahanan pangan keluarga. Hasil penelitian Yunita (2011) menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir termasuk dalam kategori rendah. Dampak dari rendahnya ketahanan pangan ini, paling berat dialami perempuan karena selama ini perempuan dikonstruksikan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pangan keluarga dan pekerjaan reproduktif lainnya. Konstruksi sosial semacam ini di satu sisi berakibat pada ketidakadilan gender dimana perempuan yang akan disalahkan jika tidak terpenuhi kebutuhan pangan keluarga. Di sisi lain, konstruksi sosial semacam ini membuat perempuan berpeluang untuk memiliki pengetahuan dan kekuasaan di ranah pangan keluarga. Berangkat dari kenyataan tersebut penelitian ini menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, dengan rumusan masalah; pertama, bagaimana kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Kedua, bagaimana kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Ketiga, bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak? Tujuan Penelitian
1. 2.
Penelitian ini bertujuan untuk: Menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Menganalisis kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak.
3.
Menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Signifikansi Penelitian
Penelitian kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak ini memiliki manfaat antara lain; pertama, masih jarang penelitian yang mencoba melihat kontribusi perempuan dari aspek sosial budaya terutama kuasa pengetahuan mereka bagi pemenuhan pangan keluarga. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, menganalisis kuasa pengetahuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dan menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Kedua, dari segi metodologi, banyak penelitian terdahulu tentang pangan rumah tangga menggunakan paradigma dan pendekatan kuantitatif yang melihat pangan dan ketahanan pangan keluarga diukur dengan batasan variabel-variabel tertentu dan indikator-indikator kuantitatif. Oleh karena itu penelitian ini ingin memberikan warna bagi kajian tentang pangan dengan melihat bagaimana kuasa pengetahuan perempuan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan menggunakan paradigma kritis. Ketiga, dari aspek teoritis penelitian ini mencoba menggunakan teori post modernisme dalam melihat relasi kuasa pengetahuan perempuan. Selama ini teori-teori yang digunakan untuk memahami persoalan perempuan adalah teori feminisme yang berupaya memahami relasi perempuan dan laki-laki, yakni antara yang dominan dan didominasi, antara yang ordinat dan subordinat, antara yang kuat dan yang lemah. Dengan menggunakan teori post modernisme ini (teori Foucault) maka relasi kuasa perempuan dilihat bukan hanya dalam konteks siapa yang menang dan kalah tetapi bagaimana proses kekuasaan berjalan dalam relasi tersebut. Keempat: manfaat praktis dari penelitian ini adalah dengan memahami bahwa kuasa perempuan berada dalam proses relasi, negosiasi antara laki-laki dan perempuan maka dalam rangka upaya pemberdayaan perempuan (memiliki kuasa), seyogyanya berbagai kebijakan pemerintah tidak lagi berorientasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah, marjinal, tidak memiliki keberdayaan/kekuasaan sehingga perlu diberdayaan. Jika pemberdayaan dilandasi oleh kondisi-kondisi tersebut bukan tidak mungkin justru akan melanggengkan stigma terhadap perempuan. Dalam konteks Foucault, kekuasaan ada dimana-mana, menyebar dan tidak berpusat, karenanya perempuan bisa berdaya dan memiliki kuasa dalam konteks perempuan itu sendiri tergantung keinginan, kebutuhan dan tendensinya pada relasi-relasi yang dinegosiasikan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji persoalan kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Masalah utama yang diajukan
adalah pertama, bagaimana kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, bagaimana kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Ketiga, bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Permasalahan ini dikaji dan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Penelitian ini dilakukan di desa Ulak Aurstanding kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas lahan sawah lebak terbesar di Sumatera Selatan dan dikelola untuk usaha pertanian padi. Karakteristik ekologis yang unik dan kondisi sosial budaya lokal menjadi alasan tersendiri untuk penentuan lokasi penelitian
1 TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan Konsep dan teori pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini menggunakan teori Foucault yang memahami kekuasaan muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault 2002). Kekuasaan belum muncul ketika relasi sosial belum terjadi, dan baru muncul sejalan dengan relasi tersebut. Perspektif kekuasaan seperti ini berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang memandang kekuasaan melekat pada struktur, status, posisi maupun institusi sosial, sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain atau pihak lain. Di sini kekuasaan berdiam atau menempati seseorang atau kelompok, atau kekuasaan sudah berada dalam diri seseorang atau kelompok (Agusta 2012). Sementara bagi Foucault kuasa tidak bermakna ‘kepemilikan’, atau keadaan dimana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Tyas 2010). Kekuasaan merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah, mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang didalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran. Setiap kekuasaan memiliki pengetahuannya sendiri. Kekuasaan menyebar dimana-mana, kekuasaan datang dari mana-mana. Hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan dan hubungan seksual. Kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan dan ketidakseimbangan. Foucault mendefinisikan kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya (Haryatmoko 2010): 1. Kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, 2. Memberi struktur kegiatan-kegiatan, 3. Tidak represif tetapi produktif, serta 4. Melekat pada kehendak mengetahui. Menurut Foucault, ada lima acara bagaimana kekuasaan beroperasi (Haryatmoko 2010): 1. Kekuasaan tidak diperoleh, diambil atau dibagikan, kekuasaan berjalan berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak. 2. Kekuasan itu cair karena dimana ada perbedaan terbuka hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen, artinya hubungan kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan. 3. Hubungan kekuasaan tidak berada pada hubungan suprastruktur. Kekuasaan datang dari bawah, artinya tidak ada oposisi biner antara yang didominasi
2 dan yang dominan. Hubungan-hubungan kekuatan itu banyak dan terbentuk serta bermain di dalam aparat produksi seperti keluarga, kelompok, institusi, keseluruhan tubuh sosial. 4. Hubungan kekuasaan itu intensional (berdasarkan niat atau keinginan). 5. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran. Foucault tidak memisahkan pengetahuan-kekuasaan. Penelitiannya tentang subjek modern melalui bentuk-bentuk pengetahuan, praktik dan wacana terfokus pada kekuasaan-pengetahuan. Pendekatan Foucault mengenai kekuasaan tidak jauh dari pemikiran Nietzsche yang menyebutkan bahwa semua keinginan untuk mengetahui kebenaran sudah merupakan bentuk keinginan akan kekuasaan. Ia mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek tetapi dalam hubunganhubungan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan. Subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka. Geneologi pengetahuan menunjuk pada kesatuan pengetahuan ilmiah dan ingatan lokal yang memperbolehkan membangun suatu pengetahuan historis mengenai perjuangan dan menjadikan pengetahuan ini secara taktis berguna. Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang telah diproses dan diorganisasikan untuk memeroleh pemahaman, pembelajaran, dan pengalaman yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam kegiatan rutin kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan/realitas, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (obyektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subyektif dan membentuk dunia akal sehat intersubyektif (Berger dan Luckmann 1990). Berger dan Luchmann memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Obyektivasi adalah pelembagaan realitas, dimana proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusionalnya, proses yang dialami manusia untuk ‘mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder (Malik 2010).
3 Semua pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan. Anatomi tubuh politik menunjukkan bahwa teknik kekuasaaan, produksi dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang topik khusus pada periode sejarah tertentu. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa. Praktik sosial memerlukan makna, sedangkan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang dilakukan. Jadi semua praktik sosial mengandung dimensi wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dan praksis sosial (Haryatmoko 2010). Sejumlah syarat metodologis kekuasaan antara lain; pertama, analisis bentuk kekuasaan berdekatan dengan berbagai pokok persoalan tempat ia berubah menjadi kapiler, yaitu dalam bentuk dan institusi-institusi yang lebih regional dan lokal. Kedua, analisis studi kekuasaan dalam wajah eksternalnya, dimana ia merupakan hubungan yang langsung dan tiba-tiba dengan sesuatu yang untuk sementara dianggap sebagai objek, target, atau lahan aplikasi kekuasaan tempat ia memasang dirinya dan memproduksi efek-efek kekuasaan. Ketiga, kekuasaan harus dianalisis sebagai sesuatu yang berputar, sesuatu yang hanya berfungsi dalam bentuk sebuah rantai. Individu sebagai roda-roda kekuasaan bukan hanya titik aplikasinya. Keempat, analisis kekuasaan mengarah ke atas, dimulai dari berbagai mekanisme yang sangat kecil dimana masing-masing memiliki sejarah, jalan, teknik dan taktiknya sendiri-sendiri, dan kemudian melihat bagaimana mekanisme kekuasaan itu diinvestasikan, dipemainkan, ditransformasikan, diganti, diperluas oleh mekanisme yang lebih umum, oleh berbagai bentuk dominasi global. Kelima, mekanisme kekuasaan telah bergabung dengan produksi-produksi ideologi. Ideologi adalah produksi efektif instrumen-instrumen yang ditujukan pada formasi dan akumulasi pengetahuan. Kekuasaan dijalankan melalui mekanisme yang tidak kentara, tidak dapat menghindari keterlibatannya dalampengorganisasian dan perputaran pengetahuan, atau lebih tepatnya menjadi aparat pengetahuan (Foucault 2002). Foucault mengemukakan hipotesis kekuasaan (namun menurutnya perlu dieksplorasi lebih lanjut) sebagai berikut; 1) bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga sosial; tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya, 2) bahwa relasi-relasi kekuasaan saling terjalin dengan jenis-jenis relasi lain (produksi, kekerabatan, keluarga, seksualitas) dimana memainkan sekaligus peran pengkondisian dan yang terkondisikan, 3) bahwa relasi-relasi ini tidak hanya berbentuk larangan dan hukuman, melainkan bentuk-bentuk yang beragam, 4) bahwa kesalinghubungan diantara mereka menggambarkan kondisi umum dominasi, dan dominasi ini diatur ke dalam bentuk strategi yang kurang lebih koheren dan tunggal; 5) bahwa relasi-relasi kekuasaan benar-benar “melayani” karena memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi-strategi yang ada, 6) bahwa tidak ada relasi kekuasaan tanpa halangan (Foucault 2002). Penciptaan dan penyebaran diskursus Foucault mengemukakan teori tentang diskursus. Diskursus didefinisikan sebagai pernyataan yang memungkinkan sekelompok tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault 2002), jenis pernyataan yang memungkinkan sesuatu menjadi muncul, baik berupa habitus, arena maupun benda-benda tertentu
4 (Agusta 2012), penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan (statement) yang bermakna pada satu rentang waktu tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendefinisikan dan memproduksi obyek pengetahuan yang sekaligus merupakan undang-undang sosial menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu (Malik 2010). Proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan berdasarkan prosedur-prosedur tertentu. Salah satu upaya pengaturan diantaranya dengan melakukan aturan pengecualian (exclusion) melalui cara pelarangan (prohibited). Adapun tipe-tipe larangan; obyek-obyek yang ditutupi, ritual-ritual beserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan ekslusif yang dimiliki subyek-subyek tertentu. Larangan-larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling menguatkan dan saling melengkapi membentuk jaringan yang sangat kompleks (Foucault 2003:13). Larangan-larangan ini membentuk mata rantai yang menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan. Penyebaran diskursus juga dilakukan melalui tipe penyisihan lainnya yakni pembagian (division) dan penolakan (rejection). Sesuatu yang berlawanan dengan disursus akan ditolak, dianggap tidak masuk hitungan, tidak benar dan tidak punya nilai, tidak bisa diajukan sebagai bukti. Sementara sesuatu yang sesuai dan sejalan dengan diskursus dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran bergerak dari kegiatan penyampaian-penyampaian yang bersifat ritual menuju pada apa yang disampaikan itu sendiri: makna, bentuk, obyek dan relasi kebenaran tersebut dengan apa yang dirujuknya. Bentuk-bentuk diskursif atas analisis pernyataan anata lain pembentukan obyek, pembentukan subyek, pembentukan konsep dan pembentukan strategi (Agusta 2012, Foucault 2003). Berikut bagan prosedur penciptaan diskursus.
5
Penciptaan diskursus
Pembentukan strategi
Pembentukan konsep
Pembentukan subyek
Pembentukan obyek
Pelembagakan dan pengelolaan diskursus
Aturan penyisihian
Aturan internal
Aturan pengelolaan kekuasaan
Pendisiplinan Gambar 1 Penciptaan diskursus Diskursus diciptakan dan disebarluaskan, kemudian mendapatkan reaksi dari pihak lain sehingga terjadi perdebatan dan adu argumentasi. Perdebatan dan adu argumentasi ini menghasilkan sebuah diskursus yang dominan. Diskursus dominan adalah diskursus yang paling sering dibicarakan dan dipraktikkan, semakin sering dibicarakan dan dipraktikan maka akan menjadi diskursus dominan. Diskursus dikenalkan, disebarluaskan melibatkan kekuasaan. Kekuasaan adalah nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Dalam hal ini diskursus ketahanan pangan menjadi arena interaksi diskursus para aktor antara lain pemerintah, komunitas dan pelaku usaha. Foucault menerapkan prinsip-prinsip geneologis, suatu prinsip yang menekankan bahwa tiap bentuk kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi dan wacana dominan yang melahirkannya. Dengan prinsip ini ia menggunakannya untuk membedah kebenaran yang dimutlakkan. Kebenaran berasal dari penataan yang disebutnya sebagai teknik episteme yaitu konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal ihwal yang membuat beberapa mungkin dan lainnya tidak. Episteme (pemilihan nilai yang menjadi obyek) ini bekerja sangat halus menguasai pola pikir orang pada suatu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen dikursif: disiplin ilmu, institusi dan tokoh (Foucault 2002). Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan menguatkan. Kehendak untuk tahu adalah nama lain kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan
6 bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Apa yang dikira sebagai kodrat manusia adalah dibangun oleh episteme zaman yang berpihak pada pengetahuan, wacana, dan institusi tertentu. Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga the concept of governmentality. Konsep ini mengarah pada organisasi administratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terkait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto dalam Malik 2010). Kuasa perempuan dan pangan Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam ketahanan pangan disinyalir telah dimiliki dan dilakukan perempuan sejak peradaban awal manusia. Pada mayarakat berburu dan meramu, perempuan bertanggung jawab atas pangan keluarga dan perawatan anggota keluarga. Sejarah bercocok tanam juga diawali oleh perempuan, maka lambang dan simbol kesuburan dan pangan adalah Dewi Sri. Artinya sejak awal peradaban telah terjadi pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang kemudian dikenal dengan istilah gender. Perempuan dan pertanian memiliki kaitan erat. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum dikenal berbagai jenis profesi, maka tani merupakan profesi paling awal yang dikenal manusia. Profesi tani menyediakan bahan pangan sehari-hari demi kelangsungan hidup manusia sehingga tani dapat dikatakan sebagai profesi awal dan vital manusia (Soeparto 2011). Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berjalan seiring perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Di Indonesia, ketika membicarakan perempuan dan kaitannya dengan peran gender yang harus dilakukannya maka tidak akan lepas dari sejarah kolonialisasi yang dialami Bangsa. Sejarah kolonialisasi di Indonesia diawali pada tahun 1800 M, saat VOC masuk ke wilayah Indonesia. Kolonialisme merupakan suatu usaha untuk melakukan sistem pemukiman warga dari suatu negara di luar wilayah negara induknya. Seringkali kolonialisme membawa serta imperialisme, suatu usaha memperluas wilayah kekuasaan atau jajahan untuk mendirikan imperium/kekuasaan. Kolonialisasi di Indonesia awalnya muncul dari ide untuk mencari daerah penghasil rempahrempah, mencari harta (emas, perak), menyebarkan agama nasrani, mencari keharuman nama, kejayaan dan kekuasaan. Pada tahun 1825 Vanden Bosh (Hindia Belanda Company) menerapkan Culturstelsel; sistem tanam paksa yang mensyaratkan: petani harus menyediakan 20% tanah untuk tamanan perdagangan dunia seperti nila, kopi, teh dan gula. Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian menggantikannya dengan bekerja di perkebunan/di pabrik selama 66 hari atau 1/5 tahun. Akibat penerapan sistem tanam paksa, pada tahun 1843, terjadi kelaparan di Cirebon. Pada tahun 1846, terjadi wabah tipes di pulau Jawa dan tahun1850 kelaparan melanda Jawa Tengah. Hal ini diakibatkan tanaman pangan diganti tanaman perdagangan (nila, teh, kopi, gula) sehingga produksi tanaman pangan menurun. Pada tahun 1871, terjadi privatisasi pertanian sebagai pengganti tanam paksa karena tanam paksa menyebabkan penderitaan kaum pribumi. Pada tahun 1899, RA Kartini memulai karir menulis
7 surat-surat kepada sahabatnya di Belanda. Tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah istri untuk kaum perempuan. Tahun 1911-1920, Abendanon menerbitkan surat-surat RA kartini dengan judul “Door Duitstemis tot licht” (habis gelap terbitlah terang). Tahun 1913 Yayasan Kartini berdiri di Belanda untuk mendukung pendidikan perempuan Jawa. Tahun 1917, Aisyah; organisasi perempuan Muhammadiyah berdiri (Tata 2000). Gambaran di atas merupakan sekelumit sejarah yang sangat terbatas untuk menunjukkan bagaimana kolonialisasi sangat memberi warna pada sistem sosial kemasyarakatan negara jajahannya,termasuk kondisi perempuannya. Dari aspek hukum agraria, kelembagaan yang dibentuk menyebabkan relasi sosial laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang. Laki-laki bekerja di dalam sistem tanam paksa kemudian perempuan bertanggung jawab penuh segala urusan rumah tangga. Pembagian peran ini jelas memberikan perbedaan kedudukan dalam relasi sosial. Akses pendidikan juga terbatas pada kaum bangsawan dan pengusaha sehingga pendidikan kaum perempuan sangat tertinggal. Hal ini membuat RA Kartini merasa perlu memperjuangkan hak kaum perempuan dengan menulis surat kepada temannya di Belanda. Sejarah juga mencatat bahwa di masa penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat tradisi di dalam keluarga pribumi Jawa yang tidak membolehkan anak perempuannya bersekolah terlalu tinggi menyamai apa yang dicapai laki-laki. Perempuan diharapkan kelak mengurus rumah tangga dan bekerja di ranah domestik. Pranata sosial juga dipersiapkan untuk pendidikan kaum perempuan yang juga berbeda dari pendidikan kaum laki-laki. Perempuan disosialisasikan untuk bisa hidup dengan mengabdikan diri pada keluarga dan berperan sebagai “konco wingking”. Ester Boserup menyajikan bukti empiris tertulis tentang kemiskinan kaum perempuan yang meningkat selama jaman kolonial. Para penguasa yang sudah berabad-abad untuk menundukkan dan melumpuhkan kaum perempuan mereka sendiri sehingga menjadi manusia tidak berarti, tanpa ketrampilan, dan tanpa kemampuan berpikir sendiri, tidak memberi peluang pada kaum perempuan negara jajahan untuk memperoleh lahan, teknologi dan pekerjaan. Proses ekonomi dan politik kolonial untuk mengembangkan keterbelakangan jelas sekali menunjukkan ciri-ciri patriarki barat modern, dan meski proses ini menimbulkan kesengsaraan pada kaum laki-laki dan perempuan, namun kaum perempuan yang lebih menderita. Penjualan lahan pada orang-perorangan untuk mengeruk pendapatan berakibat tergusurnya kaum perempuan karena mengikis hak tradisional mereka memanfaatkan tanah. Perluasan lahan tanaman keras memperlemah produksi pangan. Kaum perempuan sering harus puas dengan satu sumber daya yang tidak seberapa untuk memelihara anak-anak, orang lanjut usia dan yang sakit-sakit, sementara kaum laki-laki pergi bermigrasi atau diwajibkan melakukan kerja paksa oleh penguasa kolonial (Shiva 1997). Pada saat Indonesia merdeka, ketika pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui proses modernisasi maka terjadi pula pergeseran peran perempuan dalam proses produksi pertanian. Untuk meningkatkan produksi pemerintah menerapkan revolusi hiajau yang sangat berdampak pada kondisi perempuan. Modernisasi pertanian diawali dengan isu revolusi hijau yang dikemukakan oleh Norman Borlaugh tahun 1944 (bapak revolusi hijau). Pada waktu itu ia
8 berhasil meningkatkan produktivitas pangan di Meksiko. Sejak saat itu, bisnis teknologi pertanian marak dan mendunia. Empat puluh tahun kemudian (1984) Indonesia mencapai swasembada beras, yang merupakan puncak dari piramida perdagangan benih unggul, pupuk kimia dan pestisida di Indonesia (Tata 2000). Secara sosiologis, keberhasilan revolusi hijau membawa dampak yang besar bagi proses perkembangan masyarakat. Berubahnya pola bercocok tanam membawa perubahan relasi sosial laki-laki dan perempuan dalam proses mengerjakan sawah. Sebelum penerapan revolusi hijau, peran perempuan cukup signifikan. Mulai dari memilih dan memilah bibit unggul secara tradisional, menyemai benih, menanam dan merawatnya dari hama, serta menuai hasil dan menumbuk padi. Ketika teknologi masuk maka peran tersebut direduksi dan bahkan dihilangkan. Dalam konteks ini, partisipasi dan kontrol perempuan terhadap pertanian menjadi lemah. Akibatnya relasi dengan laki-laki pun mengalami perubahan. Revolusi pengetahuan (hijau) mengubah alam/tanah dari “terra matter” (ibu pertiwi) menjadi komoditas yang dieksploitasi untuk keuntungan. Pembangunan pertanian merusak produktifitas perempuan karena merebut dari tangan perempuan: pengelolaan dan pengendalian lahan, air, ekologi sistem lahan, tumbuh-tumbuhan sehingga menurunkan partisipasi dan produktifitas perempuan. Penerapan revolusi hijau menyebabkan terjadinya beberapa pergeseran antara lain: benih unggul baru menggantikan benih pilihan tradisional perempuan, pupuk kimia menggantikan pupuk kompos yang dihasilkan perempuan dengan mengumpulkan kotoran ternak dan sampah organik, penggunaan teknologi baru menggusur tenaga perempuan dalam mengelolan lahan pertanian. Hal ini juga menyebabkan hubungan perempuan dengan mata rantai pangan menjadi lemah. Pekerjaan seorang perempuan lebih banyak (3.485 jam) dari pada kaum lakilaki (1.212 jam) dan ternak/sepasang kerbau (1.064 jam), pada satu hektar lahan pertanian. Seorang perempuan menghabiskan waktu 640 jam untuk pekerjaan interkultur (masa selang waktu tanam satu musim ke musim tanam berikutnya) seperti menyiangi; 384 jam untuk irigasi, 650 jam untuk mengangkut pupuk organic dan menyebarnya ke ladang; 557 jam untuk menabur benih (dengan kaum lakilaki), 984 jam untuk memanen dan menumbuk (Shiva 1997). Revolusi hijau juga menyebabkan peran perempuan menjadi terkurangi, kelestarian alam rusak karena pemakaian pupuk kimia, pestisida, mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Daur kehidupan makhluk hidup di sawah pun terganggu, akibatnya muncul berbagai masalah seperti wabah wereng, meningkatnya populasi tikus perusak tanaman, dan ancaman gagal panen. Tingkat kesuburan tanah mengalami penurunan karena eksploitasi pupuk kimia yang mengkarbit tanaman menjadi banyak dan cepat panen. Peranan mutakhir perempuan dalam hal pangan diteliti oleh FAO, diperkirakan perempuan menghasilkan lebih dari 50% pangan yang tumbuh di dunia secara keseluruhan. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan memegang peranan penting sebagai produsen pangan. Penelitian Walingo (2009) menguatkan temuan FAO dengan menunjukkan hasil penelitiannya di Kenya. Peran perempuan pedesaan di Kenya berhubungan dengan peran sebagai petani (pembeli dan penjual), peran sebagai penghasil pendapatan (dari usaha pertanian maupun non pertanian), peran kritis sebagai penyedia makanan (memilih, mengolah, mengalokasikan, mempersiapkan dan membuat variasi makanan). Kemampuan
9 perempuan dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Temuan tersebut menjadi referensi bagi penelitian ini bahwa peran perempuan sebagai petani (penjual dan pembeli), penghasil pendapatan, penyedia makanan, pengontrol penghasilan merupakan modal perempuan dalam relasi kuasa terhadap suami dan anaknya dalam proses negosiasi sebuah keluarga dalam hal pengelolaan ketahanan pangan keluarga. Kuasa perempuan dalam hal pangan bisa bertambah dan semakin kuat, tergantung pada faktor-faktor yang membuat mereka bisa mempraktikkan pengetahuan tentang pangan. Faktor-faktor tersebut antara lain; ada tidaknya program pemerintah, ada tidaknya peluang untuk mempraktikan pengetahuan tentang pangan, dan ada tidaknya sumber daya penopang untuk bisa mengakses dan mempraktikkan pengetahuan. Kondisi ini mirip dengan konsep elastisitas dalam bidang ekonomi. Secara sederhana elastisitas dapat diartikan sebagai derajat kepekaan suatu gejala ekonomi terhadap perubahan gejala ekonomi lain. Pengertian lain elastisitas dapat diartikan sebagai tingkat kepekaan perubahan kuantitas suatu barang yang disebabkan oleh adanya perubahan faktor-faktor lain. Penyebab kuantitas suatu barang yang diminta/ditawarkan bisa berubah antara lain; harga barang itu sendiri, harga barang lain dan income atau pendapatan. Sementara itu, elastisitas dalam bidang fisika didefinisikan sebagai suatu benda yang jika benda itu diberi gaya maka akan mengembang (berubah) kemudian jika gaya itu dihilangkan, maka benda akan kembali ke bentuk semula.
Konsep dan Studi tentang Ketahanan Pangan dan Perempuan Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah definisi dari organisasi pangan dunia (Food and Agriculture Organization-FAO). Konsep ketahanan pangan FAO dikembangkan sejak pertengahan 1970-an. Pada saat itu ketahanan pangan versi FAO ini hanya terfokus pada masalah ketersediaan pangan, yakni menjamin ketersediaan dan harga pangan utama yang stabil, baik di tingkat internasional maupun nasional. Definisi ini mengalami perkembangan, ketahanan pangan kemudian menyentuh level individu. FAO merumuskan ketahanan pangan diartikan sebagai situasi yang ada ketika semua orang, sepanjang waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap bahan pangan yang cukup, aman dan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan makanan dan makanan yang disukai untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Definisi ketahanan pangan ini diadopsi pemerintah Indonesia dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Undang undang nomor 7 tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki beberapa aspek yaitu; ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan dan kesesuaian pangan (UU Pangan 1996). Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO dan UU RI No 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi FAO, terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan (LIPI 2005) yaitu:
10 1. 2.
Kecukupan ketersediaan pangan Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun 3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadi ketergantungan pangan pada pihak mana pun. Sen (1982) mengungkapkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat bukan pada pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar (entitlement approach). Kelaparan dapat terjadi bagi kelompok masyarakat tertentu sebagaimana terbatasnya dan rendahnya nilai-nilai sumber daya lokal pada sebagian masyarakat pedesaan yang miskin di negara-negara berkembang. Konsep ketahanan pangan pemerintah diperbaharui oleh UU pangan Republik Indonesia yakni Undang-Undang No 18/2012 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan (UU No 18/2012) dinyatakan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dipersyaratkan oleh undangundang No 18/12 tersebut juga bahwa dalam rangka mencapai ketahanan pangan tersebut, negara harus (i) mandiri; yaitu mampu dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebuutuhan pangan yang cukup sampai tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat, dan (ii) berdaulat; yaitu mampu menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, tidak didikte oleh pihak manapun, dan para pelaku usaha pangan mempunyai kebebasan untuk menetapkan dan melaksanakan usahanya sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Aspek kemandirian menitikberatkan pada pentingnya pangan berbasis sumber daya lokal, dan kedaulatan pangan menitikberatkan pada pentingnya peran serta masyarakat lookal; sehingga aspek lingkungan, sosial budaya dan politik pangan masyarakat lokal akan mendapat tempat untuk berkembang (Hariyadi 2013). Konsep ketahanan pangan sering dikaitkan dengan konsep kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas dan negara untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh masyarakat. Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari sebuah ketahanan pangan. Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sejajar dengan ketahanan pangan. Perpedaan antara keduanya adalah elemen didalamnya berikut cara-cara untuk mewujudkannya. Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki oleh rakyat. Jika ketahanan pangan merupakan konsep teknis, kedaulatan pangan adalah konsep politik karena memang sedikit terkait dengan politik formal.
11 Hal itu terkait dengan banyak elemen, tidak hanya perdagangan, tetapi juga akses pasar, harga, subsidi, cara produksi, kontrol terhadap sumber daya produksi, benih, kredit dan yang lain (Majalah Pangan 2010). Kedaulatan pangan pertama kali dipopulerkan oleh sebuah organisasi petani internasioal La Via Campesina, dalam deklarasi Tlaxcala di Mexico tahun 1996. La Via Campesina menyodorkan pengertian kedaulatan pangan adalah hak rakyat, atau negara dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya mencakup: 1) memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat 2) hak petani untuk memproduksi makanan dan hak mengkonsumsi pangan 3) hak sebuah negara untuk melindungi dirinya dari harga pangan dan pertanian import 4) harga pertanian terkait dengan biaya produksi 5) rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian 6) pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertaniann dan pangan. Definisi kedaulatan pangan yang lengkap dapat ditemukan di dalam Deklarasi Final dari World Forum Sovereignty di Havana, Kuba, tanggal 7 September 2001. Menurut deklarasi ini, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, atau negara untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, kaum nelayan dan bentuk-bentuk adat poduksi pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan, dimana perempuan memainkan peran mendasar (Setiawan 2003). Tidak tercapainya ketahanan pangan berarti terjadi kerawanan pangan. Kerawanan pangan terjadi manakala keluarga, rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis bagi petumbuhan dan kesehatan individu (Siagian 2007). Akibat dari kerawanan pangan adalah menurunnya status gizi dan kesehatan masyarakat. Salah satu indikasi kerawanan pangan adalah tingginya prevalensi kurang gizi pada balita. Analisis data SUSENAS 2003 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5 juta balita (27,5%) menderita kurang gizi. Dari jumlah tersebut1,5 juta (8,5%) menderita gizi buruk. Selain itu kerawanan gizi juga ditandai oleh rendahnya konsumsi energi dan protein (deficit energy dan protein). Saat ini hampir 50% keluarga mengalami deficit energy dan protein (konsumsi rata-rata energi per kapita, lebih kecil dari 2200kkal/hari dan 50 gram/hari). Pembangunan ketahanan pangan dihadapkan pada penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, seperti sumber daya lahan dan air. Dalam periode 1983 sampai 1993 luas lahan pertanian mengalami penurunan dari 16,7 juta hektar menjadi 15,6 juta hektar, atau sekitar 110 ribu hektar pertahun. Penurunan tersebut terutama terjadi di Jawa, yang mempunyai implikasi serius dalam produksi komoditas pangan utama beras. Data BPS menunjukkan bahwa Jawa merupakan kawasan utama produksi di Indonesia. Pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 56% dari total produksi beras nasional (Noor 2007). Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian (2006), mennyebutkan sekitar 70% petani padi merupakan buruh tani dan petani skala kecil, dengan ciri rata-rata skala penguasaan lahan usaha tani hanya 0,3 ha. Mereka merupakan kelompok masyarakat miskin berpendapatan rendah. Umumnya mengalami keterbatasan akses terhadap berbagai layanan khususnya layanan pembiayaan usaha tani. Sekitar 60 persen dari petani padi merupakan net-consumer
12 beras atau bersifat subsisten. Dalam hal inilah petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani sebagai produsen pangan sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan (Yunita, 2011). Kemiskinan di kalangan petani terjadi tidak hanya pada petani beras di Jawa tetapi juga pada petani sawah lebak di kawasan pasang surut. Lahan rawa lebak sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budi daya padi yang dapat dipilah dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah surung). Sawah rintak pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami pada musim kemarau. Apabila dimanfaatkan untuk tanam padi surung (sawah surung) sawah ditanami pada musim hujan. Persiapan dimulai ketika masih kering (macak-macak), yaitu sekitar bulan September-oktober dan panen pada bulan Januari –Februari pada saat air genangan cukup tinggi (1,0-1,5 m). Jenis padi rintak pada dasarnya adalah padi sawah umumnya dipersiapkan pada bulan April, tergantung keadaan genangan. Jenis padi surung adalah padi sawah air dalam, yang mempunyai ciri dan sifat khas, yaitu lebih tinggi dan dapat memanjang mengikuti kenaikan genangan ( Noor 2007). Studi tentang ketahanan pangan rumah tangga telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan peminat tema ini. Mereka melihat ketahanan pangan dari berbagai dimensi dan indikator penelitian. Umumnya studi dalam ketahanan pangan menggunakan metode kuantitatif yang melihat ketahanan pangan diukur dari aspek fisik dan indikator kuantitas. Berbagai penelitian di Indonesia yang berhubungan dengan ketahanan pangan telah dilakukan dari berbagai disiplin ilmu, baik ekonomi, teknologi pertanian, ekonomi manajemen maupun sosial ekonomi. Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:
13
Tabel 1 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu No.
Judul Penelitian
Hasil penelitian
Dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi pangan rumah tangga
Secara nasional krisis ekonomi berdampak pada peningkatan pangsa pengeluaran pangan rumah tangga, peningkatan jumlah rumah tangga deficit energy dan protein. Penurunan tingkat partisipasi konsumsi beras,mie, pangan hewani. Peningkatan konsumsi jagung, ubi kayu, tahu dan tempe. Perubahan ini terjadi pada seluruh segmen rumah tangga baik di desa maupun kota.
2.
Ariani (2000)
Analisis kebijakan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan rendah di pedesaan
3.
Baliwati, F.Yayuk (2001)
Model evaluasi ketahanan pangan rumah tangga petani (Desa sukajadi Ciomas kab Bogor)
4.
Nurmalina, Rita (2007)
5.
Rindayati, Wiwiek (2009)
Model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan nasional Dampak desentralisasi fiscal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah propinsi Jawa Barat
6.
Jaya winata, Ardi (2005)
Dampak kebijakan makro ekonomi terhadap ketahanan pangan nasional
Krisis ekonomi telah menurunkan ketahanan pangan rumah tanga berpendapatan rendah. Indicator yang dapat dilihat adalah: penurunan konsumsi pangan dan non pangan, penurunan pendapatan rumah tanggga sehingga daya beli rendah, kondisi ini dlam jangka panjang akan menurunkan kualitas SDM. Sebagian besar rumah tangga petani berada pada kondisi ketidak tahanan pangan (82,0%) dengan rincian rawan pangan 51 persen, 31 persen sangat rawan pangan. Situasi tahan pangan hanya 18 persen rumah tangga petani. Ketidaktahanan pangan tersebut disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi. Instrumen atau indicator memantapkan sistem ketahanan pangan salah satunya adalah pengetahuan tentang usaha tani berdasarkan agroekosistem. Terdapat lima dimensi yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem ketersediaan beras yakni: ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, teknologi. Desentralisasi fiskal menyebabkan terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan dan peningkatan jumlah penduduk rawan pangan serta peningkatan angka penderita gizi buruk yang disebabkan karena penurunan akses pangan terutama pada golongan pendapatan rendah. Kebijakan makro ekonomi berupa kebijakan kombinasi penurunan suku bunga dan peningkatan pengeluaran pemerintah sangat mempengaruhi indicator outcome ketahanan pangan yaitu kelompok masyarakat yang rawan pangan (anak balita, ibu menyusui dan wanita hamil)
1.
Disiplin ilmu/istansi penelitian Pusat penelitian sosial ekonomi badan penelitian dan pengembangan pertanian, Departemen Pertanian, Bogor
Pusat penelitian sosial ekonomi badan penelitian dan pengembangan pertanian, Departemen Pertanian, Bogor Ekonomi pertanian
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan Ekonomi pertanian
Ekonomi manajemen
17
Nama Peneliti Ariani (2000)
14
No.
Nama Peneliti Taridala, S.A.Adha (2010)
Judul Penelitian
Hasil penelitian
Analisis gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumah tangga petani di Konawe Selatan Sulteng
Perempuan dan laki-laki memegang peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga karena disamping mengalokasikan waktunya dalam pengelolaan usaha tani juga mengelola usaha non tani. Laki-laki lebih berperan dalam usaha tani keluarga, perempuan berperan dalam aktifitas domestic. Sumbangan pendapatan laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
8.
Purwanti, Pudji (2010)
Model ekonomi rumah tangga nelayan skala kecil dalam mencapai ketahanan pangan
9.
Yunita (2011)
Strategi peningkatan kapasitas petani padi sawah lebak menuju ketahanan pangan rumah tangga di kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir propinsi SumateraSelatan
10.
Adiyatna, Hendra (2012)
Pengembangan sistem pendukung manajemen ketahanan pangan beras di tingkat kabupaten
Kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual ikan dan kebijakan bantuan perbaikan teknologi alat tangkap merupakan kebijakan yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga nelayan yang sangat efektif Ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah lebak termasuk kategori rendah, baik dari aspek kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. Strategi peningkatan kapasitas petani melalui pendekatan fasilitasi; perbaikan proses pemberdayaan, penguatan dukungan lingkungan sosial, peningkatan kinerja penyuluh lapangan. Sistem pendukung manajemen (SPM) beras terdiri atas sistem penunjang keputusan berfungsi memberikan informasi kondisi ketahanan pangan beras berdasarkan luaran model-model ketahanan pangan. Sistem pakar berfungsi memberikan rekomendasi keputusan berdasarkan luaran model ketahanan pangan. Sistem informasi eksekutif memberikan dukungan eksekutif berupa informasi yang terkait dengan rekomendasi keputusan sebelum diimplementasikan.
7.
18
Tabel 1 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu (lanjutan) Disiplin ilmu/istansi penelitian Ekonomi manajemen
Sosial ekonomi
Penyuluhan pertanian
Teknik Industri Pertanian
15 Tabel 1 menunjukkan bahwa persoalan ketahanan pangan menjadi perhatian dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini menunjukkan persoalan ketahanan pangan menjadi arena menarik bagi penelitian lintas disiplin ilmu, karena persoalan ketahanan pangan bisa diamati dari berbagai perspektif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengkaitkan ketahanan pangan keluarga khususnya pemenuhan pangan dan kontribusi perempuan, terutama relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Penelitian tentang perempuan telah banyak dilakukan baik oleh mahasiswa, lembaga pemerintah, organisasi atau lembaga peduli perempuan, pusat studi dan lainnya. Secara umum studi tersebut melihat bagaimana agar perempuan bisa mendapatkan akses, peran, kontrol terhadap berbagai aspek kehidupan sehingga tidak tertinggal dari laki-laki. Upaya pemberdayaan perempuan kemudian menjadi isu penting karena untuk bisa berperan, memiliki akses dan kontrol perempuan perlu diberdayakan. Pemberdayaan adalah proses memberikan kemampuan kepada individu atau masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong, memotivasi, agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. Pemberdayaan perempuan diartikan sebagai sesuatu yang memungkinkan perempuan mengambil tempat yang sama dengan laki-laki dan terlibat secara bersama-sama dalam proses pembangunan untuk mencapai kontrol atas faktor-faktor produksi diatas landasan yang sama dengan laki-laki. Ada lima tingkat persamaan untuk menilai tingkat pemberdayaan perempuan di berbagai bidang kehidupan menurut Sara Hlupekile Longwe yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima tingkat pemberdayaan ini bersifat hirarkis dimulai dari yang paling rendah kesejahteraan dan yang paling tinggi adalah kontrol. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Asumsi dasar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan masyarakat berkembang adalah bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi. (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat. Untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki perlu diterapkan langkah nyata dengan menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial yang dapat diakses oleh lapisan masyarakat paling bawah. (3) Melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat (Priyono 1996). Sebuah studi dilakukan oleh Scahlan (2004), menemukan bahwa pemberdayaan perempuan dan melibatkan gender dalam program pembangunan tidak hanya dapat meningkatkan kesempatan hidup perempuan tetapi juga menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Penelitian tentang perempuan dan pemberdayaan juga dilakukan oleh Mabsout, 2004 di Ethiopia, hasilnya menunjukkan bahwa di dalam kelompok dimana terdapat norma gender yang tidak seimbang di tingkat individu maupun rumah tangga maka akan berefek pada bargaining power. Hal ini perlu dimediasi dengan memperluas pendekatan individu kepada pendekatan institusional untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Penelitian tentang gender dan relasi kekuasaan pada kasus tree tenure dilakukan oleh Rocheleau, 1997, hasilnya menunjukkan bahwa gender merupakan
16 faktor kompleks pada sebuah relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di hampir semua masyarakat. Relasi kekuasaan sendiri memungkinkan subyek bisa berubah-rubah. Pada kasus tree tenure domain gender bisa berpengaruh sebagai pelengkap dan dinegosiasikan. Jika regim bisa dinegosiasikan maka akan mempengaruhi perubahan dalam relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Valdivia dan Gilles, 2001 melakukan studi tentang faktor yang mempengaruhi akses rumah tangga dan hasilnya menunjukkan adanya dinamika yang akan mempengaruhi akses rumah tangga untuk bisa mencapai kondisi yang baik. Akses untuk lebih baik tergantung pada negosiasi kapasitas gender. Mereka menunjukkan peran sentral perempuan bermain dalam lingkungan yang memberi kesempatan bagi mereka khususnya ketika suara mereka didengar. Studi tentang kekuasaan dalam pengambilan keputusan dilakukan oleh Haddad dan Kasbur (1990) hasilnya menemukan bahwa jika perempuan memiliki kekuasaan kecil atas keputusan pada penggunaan sumber daya termasuk waktu maka partisipasi perempuan mengalami kegagalan. Lebih lanjut mereka mengemukakan perempuan tidak memiliki peralatan produksi pertanian sebagaimana laki-laki tetapi mereka hanya dapat meminjam dari kelompok lakilaki jika mereka memerlukan. Penelitian tentang kegiatan pertanian dan non pertanian dilakukan oleh Babatunde (2010), hasil penelitian ini adalah bahwa di kalangan petani memang farm income lebih memiliki efek yang mudah dirasakan bagi nutrisi keluarga dari pada off farm. Namun kegiatan on farm dan off farm masih sama-sama marginal, karenanya perlu agenda kebijakan, promosi sektor off farm di pedesaan yang selama ini masih sedikit mendapatkan perhatian. Sejalan dengan pemikiran ini Spring, 2000 dalam bukunya “women farmers and commercial ventures; increasing food security in developing countries” menekankan bahwa: studi tentang perempuan dan pangan bukan lagi berkutat pada pangan subsisten dan menggugat ketidakadilan pada pelaksanaan pembangunan pertanian yang dialami perempuan selama dekade revolusi pertanian yang berdampak negatif pada perempuan, tetapi lebih jauh perlu melihat usaha komersial perempuan yang memiliki dampak positif. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa perempuan yang terlibat dalam produksi komersial, memiliki uang untuk membeli pangan (yang lebih bagus secara kuantitas maupun kualitasnya) termasuk bisa membeli lahan. Perempuan yang melakukan pertanian komersial memiliki strategi yang bagus bagi ketahanan pangan dan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya dibandingkan produksi pertanian subsiten maupun jika hanya tergantung pada pasangannya atau kerabat laki-laki. Selain itu, berbagai studi tentang perempuan dilakukan oleh para mahasiswa strata dua dan strata tiga dari pascasarjana IPB dan UI, seperti dilihat pada tabel berikut:
17
Tabel 2 Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan No 1.
Nama mahasiswa Judul Thesis, Disertasi, tahun Cesilia Afra widyastuti 2000/SPD IPB. Pengetahuan wanita tentang ubi jalar dan Tesis kontribusinya terhadap kelestarian keanekaragaman ubi jalar di Lembah Balliem,
2.
Agus Elia Gunawan 2003/ SPD IPB Tesis
3.
Siti Poerwaningsih 2004/ SPD IPB. Tesis
4.
Tri Aristiyani, 2003/ SPD IPB Tesis Ulfah Hidayati 2007/SPD IPB Tesis,
Strategi nafkah dan kerja perempuan pada rumah tangga petambak penggarap dalam menghadapi resiko.
Arnis 2003/SPD IPB. Tesis
Jaringan sosial perempuan bakul ikan.
5.
6.
Pengaruh Representasi Sosial tentang dan Sosialisasi nilai Gender terhadap Performa kerja Perempuan (Kasus Usaha Pengkalipan mente di Lombe Sulteng) Posisi buruh migrant perempuan dalam jaringan pengiriman buruh migran .
Gerakan konservasi perempuan nyuncung hasil interaksi antara kemiskinan, budaya partiarki, dan pengaruh ornop (women conservation movement in nyuncung ; A result of an interction between poverty patriachy and NGOs influence).
Proposisi yang dihasilkan Pengetahuan lokal wanita dapat menjamin keberlanjutan pengetahuan melalui transfer pengetahuan antar generasi, dan aktualisasi pengetahuan melalui peran wanita dalam masyarakat yang selanjutnya bermanfaat menjaga keanekaragaman jenis ubi jalar sesuai fungsinya dalam masyarakat di lembah Balliem. Representasi sosial tentang kerja yang disosialisasi nilai gender mendukung perempuan dalam kerja reproduktif berpengaruh pada performa kerja perempuan yang ulet, tahan dan kerja keras. Kunci untuk memperoleh posisi yang kuat dalam jaringan adalah intensitas hubungan dan tingginya pemahaman hukum. Semakin tinggi pemahaman hokum semakin kuat posisi BMP. Belum ada suatu organisasi yang dapat mewakili kepentingan perempuan sehingga tidak dapat menampung partisipasi komunitas petambak penggarap/membuat mereka tidak mampu membangun suara dan menjadikannya didengar. Tumbuhnya gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tidak dapat dilepaskan dari menguatnya proses pemiskinan di kalangan perempuan atau feminisasi kemiskinan. Sebagian besar unsurunsur gerakan lingkungan tidak memiliki perspektif kuat untuk memahami dan menganalisis relasi gender di tingkat RT, Kelompok, kampung dan desa. Konsekuensinya, pengetahuan, persoalan dan kebutuhan dan harapan perempuan menjadi terpinggirkan dan tidak menjadi agenda gerakan. Pola hubungan (jaringan produktif dan non produktif) dibentuk agar perempuan bakul ikan bisa menyerasikan peran ganda sebagai pencari nafkah dan ibu rumah tangga.
21
18
22
No
Nama mahasiswa
Judul Thesis, Disertasi, tahun
Proposisi yang dihasilkan Jaringan sosial merupakan modal sosial untuk mengakses sumber daya guna memperoleh keuntungan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rumah tangga.
7.
Ida Ruwaida 2010/Sos UI Disertasi
Respon lokal dalam pemberdayaan ekonomi perempuan: kajian dinamika lokal dalam perspektif gender (analisis komparatif di kabupaten Lombok Timur dan Kab Bima NTB).
8.
Lim Sing Meing 2008/Sos UI Disertasi
Konstruksi Identitas Perempuan Tionghoa dengan Pendekatan Feminisme pasca Kolonial.
9.
Tyas Retno Wulan 2010/ SPD IPB Disertasi
Pengetahuan dan kekuasaan : penguatan remitan sosial sebagai strategi pemberdayaan buruh migrant perempuan.
Pemberdayaan dan revitalisasi ekonomi lokal yang semula diharapkann terbangun kolektivitas kelompok ekonomi lemah menjadi kekuatan yang mampu merekonstruksi tatanan ekonomi berkeadilan secara empiris belum terwujud. Program penguatan ekonomi (perempuan) belum melihat isu bahwa (suami bersikap mendua) sehingga perempuan seolah berdiri di atas dua dunia berbeda dengan pendikotomian peran produktif dan reproduktif. Pemahaman beragama bagi perempuan Tionghoa merupakan pemahaman yang bersifat kontekstual. Pertemuan antara ajaran agama yang liberal, dogmatis, dan realitas yang dijumpai dan dialami telah menghantar mereka pada pemahaman kritis. Remiten sosial berupa pengetahuan, gagasan, dan kapital sosial yang dimilliki BMP dan dengan pengetahuan tersebut bisa membuat mereka menjadi perempuan yang memiliki kemampuan pemberdayaan, perlindungan, dan melakukan perlawanan terhadap komodifikasi yg mereka terima. Kekuatan remiten sosial dibedakan menjadi tiga tipe; tipe inspirator/agen perubahan; tipe follower/pengikut dan tipe pasif. Posisi tsb bukan tidak bisa berubah karena proses pemanfaatan remiten sosial bersifat prosesual, yg mengandung makna bhw sbg agen BMP bukan aktor yg pasif tetap terus menerus melakukan proses dialektika dan mereproduksi pengetahuan mereka dengan struktur (Negara dan pasar). Pentingnya remiten sosial untuk melindungi memberdayakan sekaligus sbg bentuk perlawanan BMP thd ketidakadilan yg mereka alami dalam masyarakat. Remiten sosial dikonsepsikan sbg pengetahuan gagasan dan kapital sosial terbukti menjadi sarana untuk memberdayakan melindungi dan sebagai sarana bagi BMP untuk melakukan perlawanan artinya remiten
19 Tabel 2 Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan (Lanjutan) No
Nama mahasiswa
Judul Thesis, Disertasi, tahun
10.
Imron Rosadi 2010/Sos UI Disertasi
Konsekuensi migrasi Internasional terhadap Relasi gender (studi tentang buruh migran internasional yang telah pulang kembali kepada keluarganya di kecamatan Juntinujuat, Indramayu, Jawa Barat).
Proposisi yang dihasilkan sosial adalah sarana bagi BMP untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat. Perubahan relasi gender terjadi pada aspek peran dan akses dari domestik ke publik. Perubahan dan pergeseran relasi gender dalam keluarga dapat terjadi karena jalinan berbagai determinan baik di level mikro (individu, keluarga), meso (organisasi, pranata dan komunitas), makro (sistem, struktur dan kondisi legislasi dan regulasi sistem kecenderungan di tingkat nasional dan global.
23
20
Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat bahwa studi tentang perempuan lebih melihat aspek realitas yang nyata dan relativisme yaitu realitas dikonstruksikan secara lokal spesifik. Belum banyak studi yang mencoba membongkar (dekonstruksi) bagaimana realitas tersebut terbentuk, apakah perempuan memiliki kesadaran atas realitas yang mereka alami serta kekuatan apa yang menyebabkan perempuan berada pada realitas yang dialami. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya melengkapinya dengan menganalisis kontestasi diskursus pangan keluarga, relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagi bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga, dan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan berdasarkan struktur sosial ekonomi komunitas petani padi sawah lebak. Dengan kata lain penelitian ini menganalisis relasi-relasi perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Sementara itu, beberapa penelitian mencoba menghubungkan ketahanan pangan dan perempuan. Dalam hal ini perempuan dilihat dan diukur dari status mereka yang didasarkan pada variable-variabel tertentu seperti; umur, pendidikan, pendapatan, pengeluaran dan aspek fisik seperti nutrisi dan asupan pangan (Moussa 2011, Walingo 2009, Sukiyo 2007). Penelitian Taridala (2010) tentang analisis gender dalam mencapai ketahanan pangan rumah tangga petani menunjukkan bahwa peran laki-laki berada pada ranah usaha tani sementara perempuan di ranah domestik, pendapatan laki-laki lebih besar sementara perempuan lebih kecil sehingga kontribusi perempuan terhadap ketahanan pangan rumah tangga juga kecil. Hasil penelitian tersebut kontras dengan hasil penelitian FAO yang menunjukkan bahwa perempuan menghasilkan 50 persen pangan yang tumbuh di dunia secara keseluruhan. Peran perempuan di bidang pertanian bervariasi baik antar wilayah maupun antar negara. Perempuan dan laki-laki saling melengkapi berbagai tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, dan perikanan (Taridala 2010). Hal yang menarik adalah peran perempuan di sektor pertanian diseluruh dunia relatif tinggi namun ketika dianalisis dengan analisis gender sebagaimana dilakukan Taridala (2010) maka justru sumbangan/kontribusi perempuan menjadi lebih rendah. Salah satu kemungkinan mengapa ketika dilakukan analisis gender menjadi rendah adalah penggunaan metode dan teknik penelitian. Persoalan kontribusi perempuan direduksi pada ukuran tertentu sehingga menjadi kurang komprehensif. Penelitian yang mencoba melihat kontribusi perempuan dari aspek sosial budaya terutama relasi kuasa pengetahuan perempuan bagi pemenuhan pangan keluarga masih jarang dilakukan. Kajian tentang relasi kuasa pengetahuan perempuan ini, memberikan setidaknya ada dua hal; pertama, relasi kuasa pengetahuan perempuan merupakan bentuk dari perlawanan mereka atas berbagai tekanan dalam pemenuhan pangan keluarga. Kedua, dalam hal pemenuhan pangan keluarga, proses-proses interaksi dan relasional dalam keluarga digali sehingga persoalan ketimpangan peran dalam pemenuhan pangan keluarga bisa diamati dan dicarikan alternatif pemecahannya. Asumsinya, relasi kuasa perempuan dan lakilaki yang relatif setara dalam keluarga diperlukan untuk mengatasi kerawanan pangan keluarga. Laki-laki dan perempuan bersinergi saling mendukung demi menuju pemenuhan pangan keluarga.
21 Ukuran Ketahanan Pangan dengan Metode Kualitatif Beberapa penelitian mengukur ketehananan pangan dengan metode kualitatif, seperti penelitian (Masyitoh 2002, Tanziha 2005) mengadopsi dan menggunakan ukuran kualitatif yang dikembangkan oleh Eillen Kennedy. Metode ini dinilai valid dan reliabel untuk menilai ketahanan pangan di USA. Kennedy menyusun 18 pertanyaan untuk melihat kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan anggotanya secara keseluruhan yang dialami selama satu tahun terakhir. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut (Tanziha 2005): 1. Saya khawatir apakah makanan saya akan habis sebelum saya punya uang untuk membeli lagi? 2. Makanan yang saya beli tidak cukup dan saya tidak punya uang untuk membelinya lagi? 3. Saya tidak mampu untuk makan, makanan yang seimbang? 4. Saya bergantung pada beberapa jenis makanan yang murah untuk anak-anak saya karena saya tidak punya uang untuk membeli makanan? 5. Saya tidak dapat memberikan makanan yang seimbang untuk anak-anak saya karena saya tidak dapat membelinya? 6. Anak-anak saya tidak memperoleh makanan yang cukup karena saya tidak mampu membelinya? 7. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini apakah anda pernah mengurangi makanan karena tidak ada cukup uang untuk membelinya? 8. Berapa sering hal tersebut terjadi: hampir setiap bulan, hanya beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1-2 bulan? 9. Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah makan lebih sedikit dari yang seharusnya anda makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? 10. Dalam 12 bulan terakhir apakah anda perbah merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak mampu membeli cukup makanan? 11. Dalam 12 bulan terakhir apa berat badan anda turun karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? Jika semua pertanyaan dijawab tidak maka wawancara dihentikan (SELESAI). 12. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan? 13. (jika ya) berapa sering hal ini terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan? Jika ada berusia di bawah 18 tahun tanyakan pertanyaan berikut, jika tidak ada maka wawancara diberhentikan (SELESAI). 14. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini, apakah anda pernah mengurangi makanan anak-anak anda karena tidak punya cukup uang untuk membelinya? 15. Dalam 12 bulan terakhir apakah (nama anak) pernah tidak makan karena tidak cukup uang untuk membeli makanan? 16. (jika ya), berapa sering hal tersebut terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan? 17. Dalam12 bulan terakhir, apakah anakanda pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan? 18. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?
22 Hasil pengukuran kemudian diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu: food secure (tahan pangan) terjadi apabila menjawab tidak pada setiap item pertanyaan kecuali pertanyaan kekhawatiran; food insecure hunger non eviden (rawan ketahanan pangan tanpa kelaparan) terjadi pada saat rumah tangga menurunkan kualitas makanan (tidak mampu memberikan makanan seimbang) dan mengganti makanan ke jenis makanan yang lebih murah karena daya beli menurun, dan terjadi pengnurangan porsi makan pada orang dewasa; food insecure with moderate hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan sedang) terjadi pada saat ada penurunan porsi makan untuk anak-anak dan anak-anak merasakan lapar karena kekurangan makanan, dan orang dewasa merasakan lapar berat karena seharian tidak makan yang disebabkan oleh ketiadaan makanan (Tanziha, 2005). Ukuran kualitatif nomor satu sampai dengan empat (dari Eillen Kennedy) digunakan dalam melihat kondisi ketahanan pangan pada keluarga petani sawah lebak di Ogan Ilir Sumatera Selatan dikombinasikan dengan ukuran kualitatif sesuai dengan kondisi lokal/setempat. Melalui metode ini diharapkan ditemukan variasi kondisi ketahanan pangan keluarga untuk kemudian dilihat bagaimana kuasa pengetahuan perempuan pada masing-masing keluarga yang berbeda status sosial ekonominya. Tentunya dikombinasikan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) serta disesuaikan dengan observasi dan kondisi setempat. Kondisi tersebut antara lain kondisi pangan saat panen maupun paceklik, saat musim hujan maupun kemarau, kegiatan pertanian dan non pertanian yang menunjang pertanian padi sawah lebak, pola konsumsi keluarga, prioritas makan keluarga dan lainnya. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak dilihat dengan cara mengkaitkan antara pengetahuan perempuan dan penerapannya/praktiknya dalam tiga aspek/komponen utama ketahanan pangan yakni: 1) ketersediaan dan stabilitas pangan, 2) akses terhadap pangan serta 3) pemanfaatan pangan. Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dianalisis melalui bagaimana kuasa pengetahuan perempuan tentang upaya-upaya memenuhi ketersediaan dan stabilitas pangan keluarga melalui usaha tani dan non tani serta diversifikasi pangan. Pada usaha tani padi, peran apa yang dijalankan serta pengetahuan yang dimiliki terkait usaha tani padi, mulai dari persiapan lahan, pembibitan, memindahkan bibit, menanam, menyiang rumput, memupuk dan memanen. Begitu juga peran dan pengetahuan perempuan diusaha non padi untuk memenuhi pangan keluarga seperti memelihara ternak, buruh tani, buruh menyiang ikan, tenaga upahan menenun songket, berjualan keliling, warung dan lainnya. Kuasa pengetahuan perempuan dalam komponen akses terhadap pangan menyangkut kepemilikan lahan langsung atau tidak langsung; cara memproduksi pangan, memproduksi sendiri atau membeli. Akses terhadap informasi pertanian dan non pertanian, dan akses berkelompok/berkumpul. Kepemilikan lahan langsung artinya lahan pertanian merupakan milik sendiri dan dikelola untuk pertanian padi. Sementara kepemilikan lahan tidak langsung berupa lahan yang bukan milik sendiri akan tetapi bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Contoh kepemilikan lahan tidak langsung adalah menyewa lahan pertanian, atau mengerjakan lahan kosong bukan milik sendiri untuk ditanami. Komponen pemanfaatan pangan menyangkut bagaimana mengolah makanan, mendistribusikan, menjaga kualitas makanan untuk dikonsumsi keluarga.
23 Pengolahan pangan meliputi pengolahan pangan untuk dikonsumsi keluarga dan pengolahan pangan untuk dijual. Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran penelitian ini merupakan rangkaian konsep kuasa pengetahuan perempuan dan ketahanan pangan sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya. Rangkaian ini akan bermanfaat sebagai kerangka pikir yang memberi alur bagi proses penelitian untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan. Untuk mengetahui lebih jelas alur pikir penelitian, maka disajikan pada bagan berikut:
Keluarga
Komunitas
Pelaku usaha
Pemerintah/negara
Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga dan relasinya dengan kuasa pengetahuan perempuan Relasi Kuasa Pengetahuan Perempuan sebagai bentuk resistensi dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Ketersediaan pangan
Keluarga atas
kelompok
Akses pangan
Pemanfaatan pangan
Keluarga kelompok menengah
Keluarga kelompok bawah
Relasi kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak
Gambar 2 Alur pikir penelitian Diskursus pemenuhan pangan keluarga berrelasi dengan kuasa pengetahuan perempuan pada komunitas petani padi sawah lebak. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, kemudian dianalisis pada tiga aspek pemenuhan pangan yakni aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan dan pemanfaatan pangan. Pada saat perempuan memiliki pengetahuan, produk dari relasi dengan diskursus pangan, maka terjadi pertautan dengan kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui merupakan keinginan akan kekuasaan, sehingga strategi kekuasaan adalah melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui modal pengetahuan ini
24 perempuan akan memiliki kuasa dalam ranah pengelolaan dan pemenuhan pangan keluarga. Dalam praktiknya akan pula mempengaruhi relasi kuasa perempuan terhadap laki-laki (suami), anak-anaknya dan pihak lain. Setelah itu analisis diarahkan pada kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga yang berbeda status sosial ekonomi mereka yakni antara keluarga berstatus sosial ekonomi atas, menengah dan bawah. Definisi konseptual (a) Diskursus adalah pengenalan dan penyampaian konsep, pengetahuan melalui cara-cara tertentu, disebarluaskan, mendapatkan reaksi dari pihak lain, terjadi adu argumentasi dan perdebatan kemudian ada yang menang/dominan dan ada yang kalah. (b) Diskursus dominan: diskursus yang sering dibicarakan, diwacanakan dan lebih banyak dipraktikkan. (c) Dekonstruksi: membongkar realitas dengan melakukan pembedaan terhadap bagian yang dikritik, melihat hal-hal yang direpresi, kemudian menghilangkan perbedaan yang berlawanan sembari membangun sesuatu yang baru sehingga pihak-pihak yang berlawanan saling berpautan (Agusta 2014). (d) Kontestasi: suatu ajang atau perlombaan dimana terjadi adu kekuatan atau keunggulan (e) Pengetahuan: informasi yang telah diproses dan diorganisasikan untuk memperoleh pemahaman, pembelajaran, dan pengalaman yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam kegiatan rutin kehidupan sehari-hari. (f) Kekuasaan adalah strategi-strategi yang dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana banyak posisi yang berkaitan satu sama lain. (g) Kuasa pengetahuan perempuan: pengetahuan perempuan yang mampu dipraktikkan sehingga menjadi modal/kekuatan yang digunakan untuk membangun relasi dengan pihak lain. (h) Ketahanan pangan keluarga adalah subyektifitas pengetahuan keluarga tentang pemenuhan pangan melalui sumber-sumber pangan yang tersedia di lingkungan sekitar. (i) Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan memiliki beberapa aspek yaitu; ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, serta pemanfaatan pangan. (j) Ketersediaan pangan diartikan sebagai kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. (k) Akses pangan adalah kemampuan untuk memiliki sumber daya secara ekonomi maupun fisik untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. (l) Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan untuk konsumsi keluarga. (m) Status sosial ekonomi: kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan, pendapatan, pengeluaran serta ukuran subyektif lokal.
25 (n) Keluarga: kelompok orang yang diikat oleh pekawinan atau darah, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, menimbulkan peran ayah, ibu, suami, istri dan anak. (o) Pemberdayaan: proses memberikan kemampuan kepada individu atau masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong, memotivasi, agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya dan mebangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. (p) Pemberdayaan perempuan: diartikan sebagai sesuatu yang memungkinkan perempuan mengambil tempat yang sama dengan laki-laki dan terlibat secara bersama-sama dalam proses pembangunan untuk mencapai kontrol atas faktor-faktor produksi di atas landasan yang sama dengan laki-laki. (q) Agroekosistem: pertanian yang bersifat hubungan timbal balik antara sekelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan fisik dari lingkungan hidupnya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia (masyarakat) itu (KBBI). (r) Petani sawah lebak adalah orang yang bekerja memelihara tanaman dan atau hewan untuk diambil manfaatnya dan guna menghasilkan pendapatan. (s) Resistensi: posisi sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan dan menentang. Hipotesis Pengarah Hipotesis pengarah dalam penelitian ini adalah maskulinisasi pertanian dan marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan hasil diskursus pemenuhan pangan pemerintah memunculkan resistensi kuasa pengetahuan terstruktur. Kebaruan Penelitian Penelitian tentang ketahanan pangan dari waktu ke waktu mengalami transformasi. Pada era 1970an hingga 1990an studi ketahanan pangan menekankan pada level makro ekonomi ke mikro ekonomi menyangkut ketersediaan pangan. Karena itu pembangunan berhubungan dengan ekonomi, pertanian dan ketahanan pangan yang difokuskan pada rumah tangga sebagai unit analisis bagi desain, perencanaan, implementasi serta intervensi evaluasi. Fokus pada rumah tangga didasarkan pada asumsi bahwa rumah tangga sebagai unit yang homogen memiliki kesamaan akses untuk mendapatkan pangan, dan sumber daya lainnya (Nanama 2012). Konsep rumah tangga yang homogen ini banyak dipertanyakan terutama dari aspek empiris dan teoritis. Studi lebih lanjut mencoba menghubungkan antara ketahanan pangan dan kondisi dari dalam masyarakat. Peran masyarakat, akses terhadap pangan pada level rumah tangga dan individu, struktur di dalam masyarakat, kelembagaan lokal, strategi livelihood, pengetahuan lokal dan persepsi lokal terhadap ketahanan pangan, dianggap penting bagi terwujudnya ketahanan pangan. Studi kontemporer telah menghasilkan temuan bahwa terdapat dinamika dalam rumah tangga yang akan mempengaruhi akses untuk bisa menjadi lebih baik/sejahtera. Akses untuk bisa menjadi lebih baik tergantung pada kapasitas
26 negosiasi dalam rumah tangga, yang berarti negoisasi gender dalam rumah tangga (suami, istri, anak). Peran sentral perempuan bermain untuk mendapatkan kesejahteraan dari lingkungan mereka (termasuk rumah tangga) khususnya ketika suara mereka didengar (Valdivia dan Gilles 2001). Untuk melihat bagaimana negosiasi dalam rumah tangga untuk mencapai ketahanan pangan perlu dipertimbangkan untuk menggunakan teori postmodern dari Foucault tentang pertautan antara pengetahuan dan kekuasaan. Peran sentral perempuan akan terlihat jelas ketika perempuan memainkan pengetahuan dan kekuasaan mereka untuk memenuhi pangan keluarga. Carr (2005) menekankan pada pentingnya menggunakan teori postmodern untuk persoalan ketahanan pangan tidak untuk mengikuti, dan membongkar yang modern, tetapi sebagai suatu langkah menuju tujuan pembaharu dalam hal ini sebuah dunia dengan sedikit kasus kelaparan. Penelitian ini secara teoritis memiliki kebaruan karena menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam ketahanan pangan keluarga dengan menggunakan teori Foucault. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam keluarga petani padi sawah lebak antara suami dan istri serta anak terutama dipengaruhi oleh kondisi materi, kebutuhan, peluang/kesempatan, pengetahuan, ketrampilan, musim dan waktu. Pola relasi kuasa ini menunjukkan adanya sebuah proses negosiasi yang bersifat lentur, halus, cair dan bisa berubah terutama karena faktor pemenuhan kebutuhan pangan. Pada keluarga kelompok atas, kebutuhan pangan keluarga selalu tercukupi dan terpenuhi, justru kuasa pengetahuan perempuan cenderung dibatasi oleh kecukupan materi yang diperoleh laki-laki sehingga arah bandul kuasa mengarah pada laki-laki. Hal ini mennyebabkan kuasa pengetahuan laki-laki cenderung dominan sedangkan kuasa pengetahuan perempuan tersubordinasi. Pada keluarga kelompok menengah, dengan kondisi pemenuhan pangan keluarga antara kadang tercukupi dan kadang tidak tercukupi, maka terjadi pola relasi yang relatif dimanis. Pada titik tertentu perempuan memegang kendali kuasa dan pada saat tertentu laki-laki yang pegang kendali, namun dominasi kuasa pengetahuan perempuan lebih terlihat. Sementara itu, pada keluarga kelompok bawah, yang selalu mengalami kekurangan pangan dan kesulitan untuk memenuhi pangan keluarga, terdapat pola relasi dimana terdapat kesetimbangan kuasa pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Mereka dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan lain kecuali mencari pangan keluarga secara bersama-sama. Segala daya yang dimiliki digunakan untuk pemenuhan pangan keluarga sehingga cenderung mengabaikan berbagai faktor penghambat untuk memperoleh pangan keluarga. Oleh karena itu kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan relatif setara. Hasil penelitian ini juga menemukan sebuah formulasi berdasarkan realitas bahwa pada masyarakat petani padi sawah lebak dengan segala keterbatasan ekonomi, ketidakpastian musim dan hasil panen padi, mereka mengembangkan berbagai strategi untuk menemukan sumber penghidupan demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. Keterbatasan dan ketidakpastian ini membentuk pola aturan keterbatasan (the rule of the limit). Sebuah pola dimana ketika keterbatasan, kekurangan mereka alami baik secara individual, parsial maupun bersama, mereka akan senantiasa berbagi di seputar mereka (the circle of sharing). Tidak hanya berbagi keterbatasan ekonomi, tetapi juga berbagi informasi
27 dan pengetahuan (the spread of knowledge). Mereka tidak mengikuti hukum ekonomi dimana semakin langka sumber daya akan membuat orang semakin berebut dan cenderung individualis untuk mendapatkan barang yang terbatas tersebut. Oleh karena itu penelitian ini menemukan sebuah konsep tentang toleransi dan solidaritas dalam pemenuhan pangan yang berkembang pada komunitas petani sawah lebak. Toleransi dan solidaritas ini menjadi salah satu faktor penyebab diskursus ketahanan pangan komunitas menjadi dominan dibandingkan diskursus pemerintah maupun pelaku usaha. Konsep yang ditemukan yakni membangun kedaulatan pangan berbasis toleransi dan solidaritas dalam komunitas. Sementara itu, dari aspek pendekatan penelitian, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori postmodern untuk melihat relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Namun terdapat perbedaan dalam menggunakan metode analisis dimana jika Foucault, kurang mempertimbangkan struktur sosial dalam menganalisis kekuasaan maka penelitian ini menemukan bahwa untuk kasus komunitas petani padi sawah lebak, justru struktur sosial ekonomi petani padi sawah lebak menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan. Oleh karenanya, penelitian ini menemukan satu konsep “kuasa pengetahuan terstruktur”, sebuah konsep yang mengacu pada relasi pengetahuan dan kekuasaan yang sangat melekat pada struktur sosial ekonomi komunitas petani padi sawah lebak. Metode Penelitian Paradigma dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma kritis. Pendekatan kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa ucapan atau lisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan pemahaman informan tentang diskursus pemenuhan pangan keluarga, relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga dan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Paradigma kritis berpandangan bahwa realitas dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, etnik dan gender mengkristal seiring perjalanan waktu ke dalam serangkaian struktur. Secara epistimologis, bersifat transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek/subjek yang diteliti terhubung secara interaktif dengan nilainilai. Oleh karenanya temuan-temuannya diantarai oleh nilai. Metodologi dalam paradima kritis bersifat dialogis dan dialektis. Sifat transaksional penelitian membutuhkan dialog antara peneliti dan subjek-subjek penelitian; dialog tersebut berciri dialektis agar dapat mengubah ketidaktahuan dan kesalahfahaman (yakni menerima struktur-struktur yang diperantarai secara historis sebagai yang tak dapat diubah) menjadi kesadaran yang lebih mendalam/matang (yang menyadari bagaimana struktur-struktur dapat diubah dan memahami tindakan apa saja yang dilakukan untuk menghasilkan perubahan). Dalam hal ini pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam keluarga dideterminasi oleh kondisi sosial politik, ekonomi dan gender.
28 Penelitian kritis dapat dipahami sebaik-baiknya dalam konteks pemberdayaan individu-individu. Penelitian yang berkeinginan untuk menentang ketidakadilan dalam suatu masyarakat tertentu atau kungkungan kekuasaan di dalam masyarakat. Penelitian kritis berkeyakinan bahwa ideologi bukan sekedar relasi mental yang imajiner dan menipu yang dijalani oleh individu dan kelompok terkait dengan kondisi material eksistensi mereka, namun juga tertanam kuat dalam materialitas praktik-praktik sosial dan institusional (Denzin & Lincoln 2009). Penelitian yang didasarkan pada paradigma teori kritis memiliki kekhasan dalam hal ontologi, pilihan fokus penelitian, metode, analisis, interpretasi informasi, wacana, dan refleksi. Pertama, etnografi kritis yaitu mengetengahkan tema represi dan hambatan kultural yang membentuk ketidakadilan serta kontrol. Kedua, pembacaan jarak dekat, atau interpretasi kritis yang intensif. Ketiga, pada tataran yang lebih teoritis, yang dilakukan adalah menggunakan, mensintesiskan, dan menginterpretasi studi-studi yang ada tetapi dengan menambahkan sedikit studi empiris dari peneliti sendiri (Agusta 2014). Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak merupakan realitas yang yang dihadapkan pada struktur sosial yang melingkupi kehidupan perempuan, dari waktu ke waktu, berciri lokal yakni masyarakat petani padi lebak di kabupaten Ogan Ilir sumatera Selatan dengan karakteristik yang berbeda dengan masyarakat petani padi sawah irigasi. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga merupakan realitas sosial yang mengalami proses kesejarahan yang panjang, melibatkan berbagai diskursus ke dalam relasi-relasi kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan serta pengetahuan secara dialektis bertindak selaku pemicu ulang praktik-praktik yang mengatur apa yang dipandang logis dan benar. Dalam hal ini pengetahuan perempuan tentang pangan keluarga melandasi dan menjadi referensi bagi praktik pemenuhan pangan keluarga. Paradigma merupakan seperangkat dasar kepercayaan yang memandu tindakan. Paradigma mengarah pada empat konsep: yaitu, ethic (axiology), epistemology, ontology dan methodology. Ethic berbicara tentang bagaimana seseorang menjadi bermoral di dunia. Epistemology bagaimana kita mengetahui dunia. Ontology adalah pertanyaan mendasar tentang realitas alam dan alam manusia. Setiap upaya penyelidikan/penelitian tidak bisa melepaskan diri dari paradigma, karena setiap peneliti pasti memiliki seperangkat asumsi ataupun kepercayaan dasar yang mengarahkan, memandu proses penyelidikannya. Guba dan Lincoln menyatakan , tiga pertanyaan ini berperan sebagai fokus utama yang menjadi sumber analisis terhadap keempat paradigm; positivistik, postpositivistik, kritis dan konstruktivistik. Perbedaan keempat paradigma ini dapat dilihat pada tabel berikut;
29
Tabel 3 Kepercayaan dasar dari paradigma-paradigma penelitian alternatif Komponen Ontologi
Positivis Realism naïfrealisme “nyata” namun bisa difahami
Postpositivis Realime kritisrealitas”nyata”na mun hanya bisa difahami secara tidak sempurna dan secara probabilistik
Epistemologi
Dualis/objektivi s;temuan yang benar
Metodologi (axiologi)
Eksperimental/ manipulative; verifikasi hipotesis, terutama metode-metode kuantitatif
Dualis/objektivis yang dimodifikasi; tradisi/komunitas kritis, temuantemuan yang mungkin benar Eksperimental/ma nipulative yang dimodifikasi; keragaman kritis, falsifikasi hipotetis; bisa jadi meliputi metode kualitatif
Kritis Realism historisrealitas maya yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, etnik dan gender mengkristal seiring perjalanan waktu Transaksional/sub jektivis, temuantemuan yang diperantarai oleh nilai-nilai
Konstruktivis Relativismerealitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik
Dialogis/dialektis
Hermeunitis/ dialektis
Transaksional/sub jektivis, temuantemuan yang diciptakan
Sumber: Guba dan Lincoln, 2009
Menurut Denzin dan Lincoln (2009), perbedaan dalam berbagai asumsi paradigma menimbulkan konsekuensi penting terhadap pelaksanaan praktis penelitian, demikian juga terhadap interpretasi temuan penelitian dan pilihan kebijakan. Terdapat empat paradigm yang bersesuaian dengan sepuluh masalah sebagai implikasi utama paradigma penelitian sebagai berikut:
30
34
Tabel 4 Empat paradigma utama Masalah Tujuan penelitian
Positivism Penjelasan prediksi dan control
Post positivism Penjelasan prediksi dan kontrol
Teori kritis Kritik dan transformasi pemulihan dan emansipasi
Konstruktivism Pemahaman: rekonstruksi
Sifat ilmu pengetahuan
Hipotesis yang shahih dikembangkan menjadi fakta atau hokum
Hipotesis yang tak dapat difalsifikasi yang berpeluang menjadi fakta atau hokum
Wawasan struktural/historis
Berbagai rekonstruksi individual bersatu membentuk konsensus
Akumulasi pengetahuan
Pertambahan-bahan pembangunan yang menyempurnakan bangunan pengetahuan generalisasi dan hubungan sebab akibat
Pertambahan-bahan pembangunan yang menyempurnakan bangunan pengetahuan generalisasi dan hubungan sebab akibat
Revisionism historis generalisasi melalui similaritas
Rekonstruksi yang lebih matang dan canggih pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri
Kriteria baik buruknya atau kualitas
Keketatan sebagai standar konvensional: validitas internal dan eksternal, reliabilitas dan objektivitas
Keketatan sebagai standar konvensional: validitas internal dan eksternal, reliabilitas dan objektivitas
Keterposisian historis; lenyapnya ketidaktahuan stimulus tindakan
Layak dipercaya dan keotentikan serta kesalahpahaman
Nilai
Tidak ditolak
Tidak tercakup-pengaruh ditolak
Tercakup berciri formatif
Tidak tercakup-pengaruh ditolak
Etika
Ekstrinsik cenderung menipu
Ekstrinsik cenderung menipu
Intrinsik; kecondongan moral kearah ilham (bimbingan ghaib)
Suara
Ilmuwan yang tak memihak sebagai penasihat pembuat kebijakan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan
Ilmuwan yang tak memihak sebagai penasihat pembuat kebijakan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan
Intelektual transformative sebagai pembela dan aktivis
Intrinstik: proses yangcondong ke arah penyingkapan rahasia persoalan-persoalan khusus Partisipan yang penuh empati dan gairah sebagai fasilitator bagi rekonstruksi multi pesan
tercakup-pengaruh
31
Tabel 4 Empat Paradigma Utama (lanjutan) Masalah Pelatihan
Akomodasi Hegemoni
Positivism Teknis dan kuantitatif; teoriteori substansif
Sepadan Pengatur pendanaan, jabatan Sumber: Denzin & Lincoln, 2009
publikasi, promosi dan
Post positivism Teknis; kuantitatif dan kualitatif, teori-teori substantif Sepadan Pengatur publikasi, pendanaan, promosi dan jabatan
Teori kritis Sosialisasi ulang kuantitatif dan kualitatif; sejarah, altruism dan pemberdayaan Tidak sepadan Mencari pengakuan dan masukan
Konstruktivism Sosialisasi ulang kuantitatif dan kualitatif; sejarah, altruism dan pemberdayaan Tidak sepadan Mencari pengakuan dan masukan
35
32 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan. Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas lahan sawah lebak yang dikelola untuk usaha pertanian padi. Karakteristik ekologis yang unik dan kondisi sosial budaya lokal menjadi alasan tersendiri untuk penentuan lokasi penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat kuasa pengetahuan perempuan dalam ketahanan pangan keluarga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Salah satu kecamatan yang memiliki wilayah berupa rawa lebak adalah kecamatan Pemulutan Selatan. Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Ulak Aurstanding, Kecamatan Pemulutan Selatan, Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Studi tentang pangan (ketahanan pangan rumah tangga) sudah banyak dilakukan pada tumah tangga petani padi sawah (irigasi) dan nelayan. Berbeda dengan petani sawah irigasi, petani sawah lebak hanya bisa memanfaatkan sawah ketika musim kemarau saat sungai surut. Pada ekologi seperti ini keluarga memiliki variasi pekerjaan dan diversifikasi usaha lebih banyak untuk mendapatkan dan mengelola ketahanan pangan keluarga. Pada saat musim hujan dimana air sungai meluap maka dipastikan rumah-rumah panggung mereka tergenang air sampai batas lantai rumah, bahkan jika luapan air besar banyak penduduk mengungsi ke tempat tetangganya yang memiliki rumah panggung lebih tinggi untuk menunggu air surut. Karenanya setiap rumah pasti memiliki perahu kecil/sampan sebagai moda transportasi antar rumah. Pola nafkah penduduk pada saat musim penghujan dan musim kemarau berbeda. Sebagai masyarakat petani, bercocok tanam padi merupakan pekerjaan utama dan hal ini hanya bisa dilakukan pada saat air mulai surut, yaitu bulan Maret atau April. Pada saat menunggu air surut untuk siap ditanami banyak kepela keluarga merantau menacari pekerjaan di tempat lain, saat siap tanam mereka kembali untuk bercocok tanam mulai dari menyemai bibit, menyiapkan lahan, menanam, memelihara tanaman serta memanen padi. Sementara pada saat musim setelah panen padi aktivitas pertanian terbatas pada tanah yang relatif dalam (sehingga masih terdapat resapan air) atau di sekitar rumah dengan tanaman selain padi seperti sayur mayur, kacang dan cabe. Jumlah tanah yang bisa ditanami saat musim kemarau juga sangat terbatas. Karenanya para kepala keluarga dan anak laki-laki memiliki diversifikasi pekerjaan antara lain: menjadi buruh bangunan, tukang becak, merantau ke daerah jalur sebagai buruh di tanah pertanian, buruh di perkebunan karet di Sembawa, buruh di perkebunan kelapa sawit di Jambi, mencari ikan, menjadi pekerja seni/pemain orkes atau tanjidor. Sementara para perempuan memiliki aktivitas menenun, menjadi buruh upahan di tanah pertanian, memelihara ternak ayam/itik, mencari ikan, mencari upahan menyiang ikan. Penelitian ini telah dimulai sejak penyusunan proposal penelitian yang diujikan pada prakualifikasi lisan pada tanggal 16 Juni 2012 dengan penguji luar komisi Dr. Arya Hadi Dharmawan dan Dr. Djuara Lubis. Pengumpulan data secara intensif berlangsung mulai bulan Agustus 2012 hingga Maret 2013.
33 Unit Analisis dan Subyek Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga, yakni relasi perempuan dengan/dalam keluarga petani padi sawah lebak di desa Ulak Aurstanding, kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan. Informasi dalam penelitian ini diperoleh dari 9 keluarga sebagai subyek kasus dan 11 informan. Informan penelitian ini adalah individu (subyek) sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami informasi obyek kajian. Seluruh informan dipilih secara sengaja sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan, dan pengalaman informan. Infroman diperoleh melalui cara snow-ball dan key person (Bungin 2006). Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 11 orang antara lain: kepala bidang ketahanan pangan kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan, kepala bidang pertanian tanaman pangan dan holtikultura kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan, kepala UPTD pertanian, perkebunan dan kehutanan (perbuntan) kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir, pengawas wilayah I dinas pendidikan kecamatan Pemulutan Selatan, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa Ulak Aurstanding, ketua KUBE, petugas kesehatan kecamatan Pemulutan Selatan, ketua kelompok tani dan ketua PKK desa Ulak Aurstanding. Subyek kasus penelitian ini sebanyak 9 keluarga terdiri dari tiga keluarga kelompok atas (Indayati, Mustika, Endah), tiga keluarga kelompok menengah (Zainuna, Fatimah, Maimuna), dan tiga keluarga kelompok bawah (Taruna, Jasiyah, Nursam). Kategorisasi keluarga kelompok atas, menengah dan bawah didasarkan pada kondisi status sosial ekonomi keluarga. Penelitian ini menentukan pelapisan keluarga berdasarkan ukuran obyektif dan subyektifitas komunitas petani padi sawah lebak. Berdasarkan ukuran obyektif, kedudukan status sosial ekonomi menurut Melly G Tan bisa dilihat dari jenis pekerjaan, penghasilan dan pendidikan. Berdasarkan hal ini maka masyarakat dapat digolongkan ke dalam kedudukan sosial ekonomi rendah sedang dan tinggi (Koentjaraningrat 1981). Penelitian ini mengkategorisasikan status sosial ekonomi keluarga kelompok atas, menengah dan bawah, berdasarkan; pertama, menggunakan data dari petugas BKKBN kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir tentang status kesejahteraan keluarga. Kedua, mengamati dan menanyakan kepemilikian barang-barang keluarga petani padi sawah lebak yang bernilai ekonomi seperti perahu motor, keramba ikan, penggilingan padi, lumbung padi dan lainnya. Ketiga menanyakan dan mengamati kepemilikan barang-barang elektronik milik keluarga petani padi sawah lebak. Keempat, menanyakan luas dan kepemilikan lahan pertanian dan pekarangan keluarga petani sawah lebak. Kelima, menanyakan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan di luar pertanian dan kedudukan keluarga petani swah lebak di dalam masyarakat. Pendekatan subyektif dilakukan dengan memahami pengalaman, pandangan dan sikap warga komunitas tentang kondisi sosial ekonomi keluarga melalui diskusi kelompok dan wawancara mendalam informan dan subyek kasus. Berdasarkan hasil wawancara mendalam keluarga petani sawah lebak memahami bahwa keluarga yang disebut sebagai keluarga kelompok atas adalah ketika mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam setahun, tidak membeli atau berhutang. Selain itu mereka mengatakan yang dianggap keluarga memiliki status sosial ekonomi
34 atas yaitu keluarga yang memiliki aset seperti kapal motor, keramba ikan dan penggilingan padi. Keluarga kelompok menengah adalah keluarga yang kadang kala bisa memenuhi pangan keluarga dan kadang kala harus berhutang dalam memenuhi kebutuhan pangan selama setahun. Mereka memiliki lahan tetapi tidak luas, tidak memiliki aset ekonomi sebagaimana kelompok atas. Keluarga kelompok bawah adalah keluarga yang selalu berhutang untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tidak memiliki lahan pertanian sehingga pekerjaannya adalah petani penggarap atau buruh tani. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode dialogis dan dialektik yang difokuskan pada kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan panngan keluarga petani padi sawah lebak, relasi kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial ekonomi petani padi sawah lebak. Metode dialogis dilakukan melalui dialog antara peneliti dan tineliti. Metode dialektika mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang perorang. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam pada informan dan subyek penelitian, focus group discussion (FGD) dan pengamatan (observasi). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya. 1. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada saat pengumpulan data di lapangan dengan mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pemenuhan pangan keluarga, baik pada musim pasang maupun pada musim surut. Mengamati lokasi penyimpanan gabah dan beras (lumbung) milik pelaku usaha yang digunakan sebagai tempat menyimpan dan menjual gabah. Mengamati jenis tanaman dan hewan yang ada dan yang dimanfaatkan bagi pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Mengamati praktik-praktik sosial kemasyarakatan terkait pangan keluarga. 2. Wawancara mendalam Wawancara mendalam terhadap subyek kasus penelitian ini dimaksudkan untuk menggali informasi secara holistik tentang subyek penelitian, pemahaman, pemaknaan serta apa yang dipikirkan. Hal yang ditanyakan dan didialogkan dengan para informan dan subyek penelitian mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, berkaitan dengan masa lalu (historis), dan masa sekarang. Wawancara dilakukan dengan Ir. Nurman (kepala bidang ketahanan pangan kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan), tentang; kondisi umum ketahanan pangan, kebijakan ketahanan pangan kabupaten, ketahanan pangan di daerah rawa lebak, program-program ketahanan pangan, lumbung pangan untuk mengatasi persoalan kerawanan pangan, peran pemerintah, swasta dan masyarakat dalam program
35 ketahanan pangan, koordinasi lintas sektoral dalam ketahanan pangan, upaya mengatasi gagal panen/paceklik. Wawancara mendalam dilakukan dengan Ir. Dyah (kepala bidang pertanian tanaman pangan dan holtikultura kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan), yang memberikan informasi tentang; program dinas pertanian terkait ketahanan pangan, koordinasi dinas pertanian dan badan penyuluhan dan ketahanan pangan, proses pengolahan sawah lebak, kerjasama peningkatan hasil pertanian dengan lembaga lain, pemanfaatan lingkungan, peran perempuan dan laki-laki dalam pertanian sawah lebak, program peranian yang fokus pada perempuan dll. Wawancara berikutnya dengan Supandi, SP (Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pertanian, perkebunan dan kehutanan (perbuntan) Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan), yang memberikan informasi yang lebih detail menyangkut teknis pengolahan sawah lebak dan peran lakilaki dan perempuan dalam pertanian lebak serta kehidupan sehari-hari masyarakat sawah lebak. Informasi yang disampaikan lebih terinci mengingat informan sebagai pelaksana teknis yang bersentuhan langsung dengan para petani dan mengamati selama bertahun-tahun aktivitas sosial kemasyarakatan petani padai sawah lebak. Dari informan didapat informasi tentang tata cara menanam padi sawah lebak, sistem mengapung, bibit yang di tanam, bagaimana mengubah pola pikir dan pengetahuan masyarakat untuk menanam padi jenis baru dan penerapan teknologi pertanian, penyaluran bantuan pertanian seperti bibit, pupuk dan lahan percontohan(kelompok) dan lain sebagainya. Pengawas wilayah I dinas pendidikan kecamatan Pemulutan Selatan, Drs Harun memberikan informasi seputar kondisi pendidikan di kecamatan, muatan lokal pertanian dan perikanan, serta kecenderungan putus sekolah pada anak perempuan karena disuruh mengasuh adik dan lainnya. Tokoh masyarakat/adat/agama (bapak Jumali, bapak Alwi) mendeskripsikan tentang sejarah pertanian lebak dan peran nilai budaya, adat dan ritual pertanian jaman dahulu, peran laki-laki dan perempuan dalam pertanian lebak, produksi pangan non pertanian, konsumsi dan pemanfaatan pangan lokal, program-program pemerintah yang masuk ke desa Ulak aurstanding. Kepala desa, Ibu Sainah (55 tahun) menceritakan tentang kondisi desa Ulak aurstanding, gambaran umum karakteristik sosial ekonomi masyarakat desa, program kegiatan perempuan desa, program pertanian, program dari dinas kabupaten yang masuk ke desa dan lainnya. Ketua PKK (Ibu zainab, 45 th) menginformasikan kegiatan PKK yang dijalankan oleh para perempuan desa, program yang dijalankan yang berasal dari kecamatan maupun kabupaten. Ketua KUBE (Saudari Beti, 24 th) menceritakan kegiatan usaha tenun songket yang diikuti oleh kebanyakan remaja perempuan, dana bergulir, serta pelatihan yang diikuti, cara menularkan pengetahuan menenun dan lain sebagainya. Ketua kelompok tani (Bapak Zainuddin, 39 th) menjelaskan kegiatan para petani, pembentukan dan keberlangsungan kelompok tani, kegiatan kelompok tani, program pertanian yang dimanfaatkan oleh kelompok tani dan lain sebagainya. Petugas kesehatan puskesmas kecamatan (Ibu Winda, 32 th dan Bidan Nuri, 27 th ) menginformasikan kecenderungan jenis penyakit yang dialami berdasarkan musim,
36 program kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan, kondisi balita gizi buruk, dan lainnya. Pengusaha padi dan beras di kecamatan Pemulutan Selatan (Bapak Sukadi, 60 th) menuturkan hubungan antara petani (laki-laki maupun perempuan) dan pengusaha padi (pembelian, penggilingan, penyimpanan), proses jual beli padi antara pengusaha dengan petani, pengusaha dengan pedagang keturunan Cina di Palembang, perputaran modal, kepercayaan dan proses penyimpanan dan pengambilan beras di gudang. Suami dari keluarga dengan status sosial ekonomi atas, (Imron 54 th, Makori 30 th) status sosial ekonomi menengah (Mawi 44 th, Saman 55 th) dan status sosial ekonomi bawah (Romzi 42 th, Muzhar 40 th): menceritakan bagaimana sumber nafkah keluarga, cara mendapatkan pangan, peran masing-masing anggota keluarga dalam pangan, proses pertanian, pola konsumsi dalam keluarga, peran perempuan dalam keluarga, kegiatan kelompok tani, kegiatan sosial kemasyarakatan, strategi menghadapi permasalahan pangan. Perempuan dari keluarga yang memiliki status sosial ekonomi atas (Indayati 42 th, Mustika 28 th, Endah 39 th), keluarga keluarga yang memiliki status sosial ekonomi menengah (Zainuna 50 th, Fatimah 33 th, Maimuna 62 th), dan keluarga yang memiliki status sosial ekonomi bawah (Taruna 38 th, Jasiyah 50 th, Nursam 55 th): menceritakan bagaimana sumber nafkah keluarga, cara mendapatkan pangan, peran masing-masing anggota keluarga dalam pangan, proses pertanian, pola konsumsi dalam keluarga, peran perempuan dalam keluarga, kegiatan kelompok tani, kegiatan sosial kemasyarakatan, strategi menghadapi permasalahan pangan, konsumsi dan pemanfaatan pangan, proses mendapatkan pengetahuan pertanian, non pertanian, pengolahan makanan serta pengetahuan menenun dan lainnya. Anak-anak dari keluarga petani (Lastri, Antika, Winda): kegiatan yang dilakukan sehari-hari, peran ibu dalam keluarga, peran ayah dalam keluarga, keikutsertaan dalam usaha pertanian dan pertanian, keikutsertaan dalam menghasilkan pendapatan keluarga, pola makan dalam keluarga, dan lainnya. 3. Diskusi kelompok Selama penelitian, diskusi kelompok dilaksanakan selama dua kali pada lokasi yang berbeda. Pilihan tempat dan waktu diskusi kelompok disesuaikan dengan keinginan para peserta. Diskusi kelompok yang pertama dilakukan di rumah seorang subyek kasus, dihadiri oleh keluarga petani padi sawah lebak (dari kelompok atas, menengah dan bawah), tokoh adat, tokoh masyarakat. Diskusi kelompok pertama dilaksanakan pada tanggal 12 September 2012. Diskusi kelopok kedua, pada bulan Maret 2013 dilakukan di rumah kepala desa, dihadiri oleh kepala desa, ketua KUBE, Ketua PKK, kelompok tani, penyuluh pertanian dan tokoh masyarakat. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut digunakan untuk menjwab rumusan masalah penelitian. Untuk menjawab rumusan masalah pertama, kontestasi diskursus pangan keluarga dan relasinya dengan pengetahuan perempuan tentang pangan keluarga, dilakukan dengan wawancara mendalam kepada para aktor tentang nilainilai yang dikehendaki tentang perempuan dan peran serta statusnya dalam mata rantai pemenuhan pangan keluarga. Relasi diskursus pangan dan pengetahuan perempuan
37 tentang pangan dianalisis pada saat para aktor menyebarkan diskursus pangan mereka. Karenanya digali berbagai informasi dan simbol mengenai perempuan dan pangan berdasarkan konstruksi pihak-pihak tersebut. Selain itu kontestasi diskursus antar aktor dianalisis untuk melihat diskursus yang dominan pada komunitas petani sawah lebak. Untuk menguatkan data dilakukan telaah atas teks-teks seperti kebijakan dan program pembangunan terkait pangan keluarga dan menghubungkannya dengan perempuan. Rumusan masalah kedua yaitu bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga dijawab dengan cara menganalisis praktik kuasa pengetahuan perempuan untuk pemenuhan pangan di luar pertanian padi sawah lebak sebagai bentuk perlawanan atas tersingkirnya peran perempuan. Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam aspek ketersediaan pangan dianalisis bagaimana praktik kuasa pengetahuan perempuan untuk produksi pangan keluarga baik dari usaha tani non padi, diversifikasi pangan keluarga maupun usaha non pertanian, termasuk bagaimana perempuan memanfaatkan sumber daya fisik, manusia dan sosial untuk mengelola pangan keluarga. Kuasa pengetahuan perempuan pada aspek akses terhadap pangan, Akses perempuan bisa digali dari kepemilikan pengetahuan dan ketrampilan untuk menghasilkan uang, lahan baik langsung maupun tidak langsung serta cara memperoleh pangan apakah memproduksi sendiri atau pun membeli. Akses terhadap pangan dalam hal ini dipengaruhi oleh daya beli. Aspek pemanfaatan pangan, dikaji dan dianalisis kuasa pengetahuan perempuan dalam konsumsi pangan keluarga sebagai upaya menunjukkan bhawa perempuan tetap menjadi subyek yang berkontribusi dalam pemenuhan pangan keluarga. Rumusan masalah ketiga yaitu relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan strutur sosial ekonomi petani padi sawah lebak, dijawab dengan melakukan kategorisasi keluarga yang diteliti dalam kategori keluarga kelompok atas, menengah dan bawah, setelah itu dianalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga pada ketiga kategori keluarga tersebut. Metode Analisis data Data dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini mulai dilakukan selama pengumpulan data berlangsung, tetapi proses analisis yang intensif dilakukan sesudah pengumpulan data selesai. Data dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara (guide interview). Pada saat pengumpulan data, peneliti senantiasa menghubungkan dan mendialogkan dengan konsep tertentu untuk menemukan kemungkinan variasi data. Artinya bahwa sebagai peneliti perlu melakukan proses dialektika berfikir ketika mendapatkan apapun temuan di lapangan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kedalaman penelitian. Keberhasilan penelitian kualitatif adalah sangat ditentukan kemampuan peneliti melakukan proses dialektika antara tesis, sintesis dan anti tesis. Peneliti juga dituntut untuk mampu mengobservasi hal-hal penting terkait tema penelitian. Kemampuan menangkap sesuatu di luar yang dijawab dan diceritakan oleh informan menjadikan penelitian ini menjadi mempunyai nilai lebih.
38 Analisis data (Data analysis) terdiri atas tiga sub proses yang saling terkait (Miles & Huberman); reduksi data, penyajian data dan pengampilan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data berarti bahwa data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris disesuaikan dengan kerangka kerja konseptual. Setelah itu, perangkuman data (data summary), pengkodean (coding), dan penyajian cerita tertulis. Penyajian data (data display) merupakan konstruk informasi padat terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan dan penerapan aksi. Penyajian data lebih terfokus pada ringkasan terstruktur dan sinopsis. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi merupakan tahapan analisis data dimana melibatkan peneliti dalam proses interpretasi, penetapan makna dari data yang tersaji. cara yang digunakan bervariasi antara lain metode komparasi, merumuskan pola dan tema, pengelompokan dan penggunaan metafora tentang metode konfirmasi seperti triangulasi, mencari kasus-kasus negatif, menindaklanjuti temuan-temuan, dan cek silang hasil dengan informan (Denzin & Lincoln 2009 ). Setelah data terkumpul akan dianalisis dengan cara mapping data. Data yang diperoleh/didapat diorganisasikan kedalam pola, kategori, satuan uraian sehingga didapatkan suatu tema yang akan menghasilkan suatu rumusan yakni pembentukan kuasa pengetahuan oleh para aktor yang berkontestasi, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam ketahanan pangan keluarga serta variasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga yang berbeda. Langkah selanjutnya menghubungkan hasil kategori/klasifikasi yang telah didapat dengan referensi ilmiah atau teori yang berkaitan dan berlaku serta mencari sifat-sifat kategori. Pada proses ini data didialogkan dengan teori yang menjadi pengarah penelitian. Melalui cara ini akan ditemukan apakah teori kuasa pengetahuan Foucault bisa bekerja pada masyarakat petani padi sawah lebak atau kurang bisa bekerja karena faktor-faktor tertentu. Apakah juga bahwa perempuan memiliki kuasa yang relatif besar meskipun dalam ranah domestik, sehingga bisa didialogkan dengan teori feminisme yang beranggapan bahwa perempuan akan memiliki kuasa ketika ia mampu keluar dari kungkungan ranah domestik. Semua itu bisa terjawab dalam keseluruhan proses analisis data, saat pengumpulan data, setelah pengumpulan data dan saat analisis dan interpretasi secara intensif.
3 PROFIL KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN DI KABUPATEN OGAN ILIR Profil Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan Kabupaten Ogan Ilir terletak di propinsi Sumatera Selatan, terbentuk dari pemekaran wilayah kabupaten Ogan Komering Ilir. Terbentuk berdasarkan UU RI Nomor 37 tanggal 18 Desember 2003. Pusat adimistrasi dan pemerintahan Kabupaten Ogan Ilir berada di kota Indralaya kecamatan Indralaya. Secara Geografis Kabupaten Ogan Ilir terletak diantara 2°55° sampai 3°15° Lintang Selatan dan diantara104°20° Bujur Timur. Kabupaten Ogan Ilir memiliki 16 kecamatan yang terdiri dari 227 desa dan 14 kelurahan dengan batas wilayah administratif sebagai berikut: a. b. c. d.
Sebelah Timur berbatasaan dengan wilayah Kabupaten OKI Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten OKU Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten prabumulih
Gambar 3 Administrasi kabupaten Ogan Ilir Kabupaten Ogan Ilir terdiri dari 16 kecamatan, dengan luas dan jumlah desa sebagaimana terlihat pada Tabel 5 :
Tabel 5 Luas wilayah kecamatan, jumlah kelurahan dan desa dalam Kabupaten Ogan Ilir tahun 2012 No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Muara Kuang Tanjung Batu Tanjung Raja Indralaya Pemulutan Rantau Alai Indralaya Utara Indralaya Selatan Pemulutan Selatan Pemulutan Barat Rantau panjang Sungai Pinang Kandis Rambang Kuang Lubuk Kliat Payaraman Jumlah
Luas wilayah Jumlah (KM2) kelurahan 300,75 1 263,75 2 70,41 4 101,22 3 122,92 62,16 472,33 1 100,26 61,49 60,00 40,85 42,62 1 50,25 528,82 207,67 180,57 2.666,07 14
Jumlah desa 13 19 15 17 25 13 15 14 15 11 12 12 12 13 10 11 227
Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir sebesar 2.666,07 km², memiliki iklim tropis dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai dengan Oktober dan musim penghujan terjadi pada bulan November sampai dengan bulan April (dalam kondisi iklim normal). Curah hujan rata-rata 1.159mm pertahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 59 hari pertahun. Secara topografi Kabupaten Ogan Ilir memiliki hamparan dataran rendah berawa yang sangat luas terletak di wilayah bagian utara mulai dari kecamatan Pemulutan sampai Indralaya. Kecamatan Muara Kuang dan Tanjung Batu memiliki topografi relatif tinggi dengan kondisi topografi tertinggi 10 meter diatas permukaan air laut. Hampir semua kecamatan memiliki wilayah rawa Lebak kecuali kecamatan Tanjung Batu hanya memiliki sedikit wilayah rawa. Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh sungai Ogan termasuk sungai besar yang mengalir mulai dari Kecamatan Muara kuang, Tanjung raja, Tanjung Alai, Indralaya dan Pemulutan selanjutnya bermuara di sungai Musi palembang. Terdapat pula sungai kecil yang mengaliri kabupaten ini antara lain sungai Kelekar, sungai Rambang dan sungai Randu. Semua sungai kecil ini bermuara ke sungai Ogan dan sungai Keramasan kemudian mengalir ke sungai Musi Palembang. Keberadaan sungai tersebut sangat bermanfaat bagi penduduk di sekitar dan sepanjang sungai dengan memanfaatkannya sebagai sumber air untuk mandi, cuci, kakus bahkan untuk memasak.
Profil Kecamatan Pemulutan Selatan Kecamatan Pemulutan Selatan merupakan kecamatan pemekaran dari kecamatan Pemulutan, terbentuk pada tahun 2005 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 22 Tahun 2005. Kecamatan ini memiliki luas wilayah sebesar 61,49 km2 atau 6.149 hektar. Batas wilayah administratif kecamatan Pemulutan Selatan adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Sebelah Selatan : Sebelah Barat : Sebelah Timur :
Kecamatan Pemulutan Kecamatan Rantau Panjang Kecamatan Pemulutan Barat Kecamatan Kecamatan SP Padang Kab OKI.
Gambar 4 Administrasi kecamatan Pemulutan Selatan Kecamatan Pemulutan Selatan merupakan wilayah yang mempunyai Iklim Tropis Basah (Tipe B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai
dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November sampai dengan April. Pada tahun 2011 iklim di Kecamatan Pemulutan Selatan mengalami pergeseran sehingga musim hujan terjadi sepanjang tahun. Musim kemarau dengan sedikit turun hujan terjadi pada bulan-bulan April sampai Agustus 2011. Curah hujan rata-rata berkisar antara 2.000 mm hingga 3.000 mm, dan jumlah hari hujan 66 sampai 100 hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 230 C sampai 320 Celcius. Rata-rata Kelembaban udara harian berkisar antara 69 % sampai 98 % (www.oganilirkab.go.id) Jumlah Desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Pemulutan Selatan adalah 15 Desa. Desa terluas adalah: Desa Pematang Bangsal yang luasnya mencapai 525 hektar, Desa Ulak Aur Standing mencapai 500 hektar, Desa Maju Jaya seluas 481 hektar, dan Desa tersempit adalah Desa Lebak Pering dengan luas 300 hektar dan Desa Sungai Keli dengan luas 325 hektar. Sarana infrastruktur jalan di Kecamatan Pemulutan Selatan meliputi Jalan Kabupaten sepanjang 49,05 km dan selebihnya merupakan jalan desa/kelurahan. Dari jalan Kabupaten sepanjang 49,05 km semuanya masih merupakan jalan dengan kondisi jalan tanah. Dari 15 Desa pada akhir tahun 2010 masih ada 11 desa yang belum memperoleh jaringan listrik dari PT PLN. Sarana telekomunikasi telepon sudah terdapat di wilayah Kecamatan Pemulutan Selatan yakni komunikasi telepon selluler Indosat, dan Telkomsel (www.kaboganilir.go.id) Kecamatan Pemulutan Selatan merupakan salah satu kecamatan dari 16 kecamatan yang dilalui oleh aliran sungai Kedukan Bujang yang bermuara ke sungai Musi Palembang. Selain sungai ini terdapat beberapa sungai kecil seperti sungai Kijang mati yang mengelilingi wilayah desa-desa di kecamatan tersebut. Kecamatan Pemulutan Selatan terdiri dari 15 Desa, dengan karakteristik masyarakat yang relatif sama yakni petani padi rawa lebak. Untuk melihat jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6 Jumlah penduduk kecamatan Pemulutan Selatan berdasarkan umur n
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kategori umur Jumlah 0-<1 tahun 291 1-<5 tahun 1244 5-6 tahun 734 7-15 tahun 3356 16-21 tahun 3893 22-59 tahun 8990 60 tahun ke atas 1598 Total 20096 Sumber: diolah dari PPLKB kecamatan Pemulutan Selatan tahun 2013
Persentase 1,4% 6,1% 3,6% 16,7% 19,4% 44,8% 8% 100%
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa penduduk usia 22-59 sebanyak 44,8%, merupakan mayoritas penduduk di kecamatan Pemulutan Selatan. Jika ditambahkan dengan penduduk usia 16-21 sebanyak 19,4% maka total penduduk usia 16-59 sebanyak 64,2%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk berada pada usia produktif. Kondisi sawah lebak yang hanya panen setahun sekali tentunya hanya bisa
menampung produktifitas mereka pada musim tanam hingga panen, selebihnya mereka akan melakukan aktivitas lain di luar pertanian. Berdasarkan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat diketahui bahwa mereka akan merantau ke Palembang, Jambi, Bangka, daerah jalur untuk bisa bekerja. Namun pekerjaan pokok mayoritas penduduk tetap sebagai petani. Selain petani, sebagian kecil penduduk bekerja sebagai nelayan, serta buruh tani. Penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai buruh tani dan nelayan adalah penduduk yang tidak memiliki lahan pertanian. Umumnya para buruh tani adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya (janda). Hal tersebut senada dengan apa yang termuat dalam RPJMN bab 25 tentang permasalahan internal dan eksternal yang umum di temui di kawasan pedesaan sebagai berikut (Hubeis: 2011): a. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas di luar sektor primer (pertanian). b. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral,antara sektor primer dan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang maupun spasial (perdesaan dan perkotaan). c. Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah dengan alasan kecenderungan untuk meningkatkan PAD. d. Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan. e. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. f. Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana di perdesaan. g. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian berketrampilan rendah (low skilled). h. Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis untuk peruntukan lainnya. i. Meningkatnya degradasi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. j. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat; dan k. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan wilayah perdesaan. Sementara itu, jika dilihat dari tingkat kesejahteraan keluarga, maka di kecamatan pemulutan Selatan, tidak ada keluarga yang memiliki status keluarga sejahtera III Plus. Hal ini bisa difahami karena berbagai studi tentang pedesaan menunjukkan bahwa pedesaan di Indonesia sering mengalami kemiskinan. Berikut tabel tentang kondisi keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraannya menurut data BKKBN.
Tabel 7 Jumlah dan Tipe Keluarga Sejahtera di Kecamatan Pemulutan Selatan Desa N
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10 11 12 13
Sungai Lebung Sungai Lebung Ulu Cahaya Marga Naikan Tembakang Sungai Onduk Kapuk Ulak Aurstanding Mayapati Segayam Lebak Pering Pematang Bangsal Pematang Bungur Maju Jaya Harimau Tandang Sungai Keli Total
Keluarga Pra sejahtera 114
Keluarga Sejahtera I
Keluarga Sejahtera II
Keluarga Sejahtera III plus 0
Jumlah
191
Keluarga Sejahtera III 21
316
102
167
60
6
0
335
145
98
72
9
0
324
82
149
34
2
0
267
56
140
54
3
0
253
87 135
237 255
86 94
10 11
0 0
420 495
97 112 91
267 268 101
53 59 37
16 9 1
0 0 0
433 448 230
64
182
69
7
0
322
121
191
132
6
0
450
131 82
162 168
66 81
4 3
0 0
363 334
0 0
301 5617 (100%)
79 161 58 3 1498 2862 1146 111 (26,7%) (51%) (20,6%) (19,7%) Sumber:Diolah dari PPLKB kecamatan Pemulutan Selatan
642
Berdasarkan data tersebut mayoritas penduduk kecamatan Pemulutan Selatan masuk kategori pra sejahtera dan sejahtera I (77,7%). Kondisi ini menggambarkan penduduk masih belum sejahtera. Sebagaimana temuan dari Yunita (2011) yang mengatakan bahwa mayoritas petani padi sawah lebak berada pada ketahanan pangan yang rendah. Ukuran kesejahteraan yang digunakan BKKBN dan ketahanan pangan yang digunakan Yunita menggunakan ukuran kuantitatif. Oleh karena itu maka penelitian ini mencoba melihat kondisi kesejahteraan dan ketahanan pangan dari sudut pandang petani padi sawah lebak sendiri dengan menggunakan metode kualitatif. Melalui cara ini diharapkan bisa mendapatkan informasi yang berasal dari pengetahuan, pengalaman serta persepsi penduduk lokal atas kondisi mereka sendiri. Kondisi ekonomi komunitas petani padi sawah lebak di Desa Ulak Aurstanding
Komunitas petani padi sawah lebak di Desa Ulak Aurstanding Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir, merupakan komunitas petani yang sudah berpuluh-puluh tahun menempati lokasi rawa lebak. Komunitas ini mempunyai ikatan solidaritas yang kuat antar anggotanya sebagai akibat kesamaan tempat tinggal dan hubungan kekerabatan, memiliki perasaan membutuhkan satu sama lain serta adanya keyakinan bahwa rawa lebak memberikan kehidupan kepada mereka. Desa Ulak Aurstanding terletak di tepi sungai besar yang meluap setiap musim pasang (hujan). Pada saat penelitian berlangsung sempat pasang hingga 2 meter sehingga sebagian besar rumah penduduk yang berada di tepi sungai terendam dan sebagian yang lain sampai pada tiang atas rumah panggung mereka. Pada saat musim pasang, penduduk menggunakan perahu untuk berjalan dari satu rumah ke rumah lain. Desa Ulak Aurstanding memiliki tiga Dusun yakni Dusun I, Dusun II dan Dusun III. Dusun I terletak di sepanjang tepian sungai Kedukan Bujang (sungai besar yang bermuara ke Sungai Musi), berbatasan dengan wilayah desa Kapuk. Dusun II juga masih terletak di tepian sungai Kedukan Bujang dimana tempat penyeberangan ketek bermotor, alat transportasi ke luar desa. Dusun ini berada di tengah desa diantara dusun I dan dusun III. Sementara dusun III berada agak jauh kedalam dan penduduk setempat menyebutnya sebagai darat ( dusun I dan II di sebut laut). Dusun III berbatasan dengan wilayah desa Pematang Bungur dan wilayah desa Kapuk. Luas wilayah Desa Ulak Aurstanding sebesar 222 Ha (Sumber: monografi Desa 2013). Peruntukannya terbagi menjadi: Luas Persawahan: 121 Ha Luas Pemukiman : 35 Ha Luas Lahan Tidur: 20 Ha Luas sungai : 28 Ha Luas jalan: 18 Ha Karakteristik ekonomi rumah tangga petani di desa Ulak Aurstanding adalah sebagai berikut: Tabel 8 Karakteristik ekonomi rumah tangga petani No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komponen Umur kepala keluarga Luas lahan garapan Produktivitas usahatani padi Jumlah anggota keluarga Angka partisipasi tenaga kerja Pendapatan total rumah tangga
Satuan Tahun Hektar Ton GKP/ha Orang % Rp juta/tahun
Kisaran 25-65 0.25-7.50 0.401-4.020 2-6 15-87 8.98-40.80
Rata-rata 48 1.08 3.695 4.16 37 21.55
Sumber: Febriansyah 2014
Desa Ulak Aurstanding merupakan salah satu desa di Kecamatan Pemulutan Selatan yang menjadi sentra produksi padi di Kabupaten Ogan Ilir. Padi hasil pertanian sawah lebak disalurkan untuk memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Ogan Ilir dan Propinsi Sumatera Selatan.
Jumlah penduduk desa Ulak Aurstanding sebanyak 1676 jiwa menyebar di 6 RT. Sebanyak 813 penduduk berjenis kelamin laki-laki, sementara jumlah pend uduk perempuan sebanyak 683. Untuk mengetahui lebih jelas komposisi penduduk berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK) dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 9 Komposisi penduduk berdasarkan jumlah KK dan jenis kelamin No. 1 2 3 4 5 6
RT
KK laki-laki
01 75 02 64 03 59 04 71 05 78 06 81 Jumlah 428 (80%) Sumber: Data Desa Ulak Aurstanding
KK perempuan 12 18 26 20 15 16 107 (20%)
Jumlah 87 82 85 91 93 97 535 (100%)
Dari tabel tersebut diketahui bahwa kepala keluarga perempuan cukup banyak yakni 20%. KK perempuan ini umumnya adalah janda yang ditinggal mati suaminya dan sudah lanjut usia. Berdasarkan keterangan dari kepala desa, mereka biasanya bekerja sebagai buruh upahan di lahan pertanian dan menjadi penerima bantuan beras miskin (raskin). Sebagian dari hidup mereka juga tergantung pada kedermawanan sosial dari para saudara dan tetangga sekitar. Seorang janda lansia mengungkapkan bahwa dia tidak memiliki lahan pertanian, untuk makan sehari-hari, sering berhutang pada petani pemilik lahan, dan akan dibayar dengan tenaga saat musim tanam dan panen. Mayoritas pekerjaan pokok penduduk desa adalah petani, diikuti nelayan dan buruh tani. Pengetahuan petani dalam usahatani padi sawah lebak di Desa Ulak Aurstanding meliputi pengetahuan pengolahan lahan, penyemaian, penanaman, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama penyakit panen dan pasca panen. Studi yang dilakukan oleh Febriansyah (2014) menunjukkan bahwa pengetahuan petani mengenai usahatani padi sawah lebak sudah tinggi, begitu juga dengan ketrampilan petani. Pendapatan petani sawah lebak di desa Ulak Aurstanding dari produksi padi sawah lebak rata-rata 3.558,33 kg/lahan garap atau 3.632,89 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi sawah lebak sudah cukup baik. Pendapatan perhektar rata-rata Rp. 9.845.591 (Febriansyah 2014). Kendala dan strategi dalam pemenuhan pangan keluarga Keluarga petani padi sawah lebak mengandalkan hasil panen padi untuk makanan pokok keluarga. Hasil panen padi menjadi tumpuan bagi ketersediaan pangan pokok. Mereka mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Jenis nasi yang disukai adalah jenis nasi yang berasal dari padi lokal (Pegagan). Padi lokal Pegagan dianggap lebih pera dan mengenyangkan.
Pertanian padi sawah lebak dilakukan setahun sekali, yakni pada saat Air yang menggenangi sawah lebak mulai surut. Aktivitas pertanian padi sawah lebak dimulai sekitar bulan April hingga September (tergantung iklim), hanya sekali tanam setahun. Ketergantungan terhadap iklim menyebabkan produktivitas padi tidak menentu bahkan sering gagal panen. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Kendala ketidakpastian hasil panen padi sawah lebak ini diantisipasi dengan cara melakukan diversifikasi pekerjaan di luar pertanian seperti, buruh bangunan, buruh karet dan sawit, buruh timah, dan pekerjaan lainnya untuk mendapatkan penghasilan. Pada saat musim kemarau, dimana tidak ada aktivitas pertanian padi sawah lebak, para laki-laki di keluarga petani melakukan migrasi ke luar desa untuk bekerja. Mereka memiliki jaringan informasi pekerjaan yang bisa dilakukan seperti buruh tani di daerah pertanian padi dengan sistem pengairan (daerah Belitang dan daerah jalur), menjadi tukang becak di Palembang, buruh bangunan, buruh di perkebunan kelapa sawit, buruh timah di Bangka dan buruh pada perkebunan karet. Sementara itu para perempuan bekerja memanfaatkan lingkungan sekitar dan sumber daya yang ada untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga, seperti mencari ikan di sungai dengan memancing, menjadi buruh menyiang ikan, menjual ikan dari rumah ke rumah, menenun songket dan menjadi buruh tenun songket, mencari sayuran rawa (telepuk) dan gondang (keong rawa) untuk dimasak maupun untuk dimakan ternak. Semua usaha dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Peran perempuan dalam usaha pemenuhan pangan keluarga dengan melakukan diversifikasi pekerjaan juga ditemukan oleh Febriansyah. Menurut Febriansyah, isteri pada keluarga petani padi sawah lebak 100% melakukan diversifikasi usaha. Diversifikasi rumah tangga petani umumnya merupakan diversifikasi horisontal yaitu memperbanyak jenis usaha, sedangkan diversifikasi vertikal hampir tidak berkembang sama sekali. Berikut tabel diversifikasi usaha petani: Tabel 10 Bentuk diversifikasi usaha petani di desa Ulak Aurstanding No. 1. 2. 3.
Usaha Padi UT non padi Luar usaha tani Suami Istri Sumber : Febriansyah 2014
% 100 44 89 100
Diversifikasi pekerjaan dilakukan sebagai strategi pemenuhan pangan keluarga menghadapi kendala ketidakpastian hasil panen padi. Selain diversifikasi pekerjaan, pemenuhan pangan keluarga ditopang oleh adanya nilai-nilai lokal. Nilai-nilai tersebut antara lain; tolong menolong, senasib sepenanggungan, hubungan kekerabatan yang kuat, berbagi informasi pekerjaan dan hubungan pertetanggan yang erat.
Kondisi lingkungan sosial budaya petani padi sawah lebak di desa Ulak Aurstanding Lingkungan sosial budaya masyarakat Kecamatan Pemulutan Selatan khususnya desa UlakAustanding, tidak jauh berbeda dari masyarakat Kabupaten Ogan Ilir pada umumnya. Terdapat tiga suku masyarakat di kabupaten Ogan Ilir yakni Suku Ogan, Suku Penesak dan Suku Pegagan. Ketiga suku ini tersebar di seluruh wilayah kabupaten, termasuk di kecamatan Pemulutan Selatan. Seni kerajinan masyarakat kabupaten Ogan Ilir, diantaranya adalah Seni Ukir Kayu, Seni Kerajinan Emas dan Perak, Seni Membuat Hiasan Pakaian Penganten, Seni ukir Keramik, Seni Tenun Songket dan Tenun Ikat, Seni Pertukangan Kayu, dan Seni pandai Besi dan Aluminium. Namun untuk Kecamatan Pemulutan Selatan seni kerajian yang ditekuni adalah tenun songket. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Kata“Songket “ itu sendiri berasal dari kata “Tusuk“ dan “Cukit“ yang diakronimkan menjadi “Sukit” kemudian berubah menjadi “Sungki” dan akhirnya menjadi kata “songket”. Usaha pembuatan tenun songket bisa dilakukan oleh seluruh anggota keluarga, terutama para perempuan yakni ibu dan anak perempuan, namun tidak menutup kemungkinan para laki-laki (suami) ikut terlibat meskipun dalam porsi yang relatif kecil. Proses pewarisan pengetahuan dan ketrampilan menenun dilakukan sejak masih anak-anak, sehingga usaha tenun songket dapat berlangsung secara Produk tenun Songket dipasarkan ke kota Palembang dan kota kabupaten yakni Indralaya. Kain songket banyak dipakai oleh kaum perempuan dalam upacara adat perkawinan, baik oleh mempelai perempuan, penari perempuan maupun tamu undangan perempuan yang menghadirinya. Selain itu, songket juga di pakai dalam acara-acara resmi penyambutan tamu (Pejabat) dari luar maupun dalam kabupaten. Pemakaian songket terbatas pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu tersebut disebabkan karena songket merupakan jenis pakaian bernilai seni budaya yang tinggi, dan mendapatkan penghargaan dalam masyarakat. Sementara itu, nama Kecamatan Pemulutan memiliki sejarah asal usul tersendiri. Nama Pemulutan berasal dari sejarah yang dianggap mistis oleh masyarakat. Diceritakan bahwa ada seorang muyang yang memiliki kemampuan menangkap buaya dengan menggunakan getah pohon pulai. Cerita ini bukan sekedar mitos karena sampai saat ini daerah Pemulutan masih terdapat banyak buaya. Hal ini disebabkan wilayah Pemulutan berada di sepanjang sungai Ogan yang sangat luas dan panjang sehingga banyak buaya. Berdasarkan informasi yang bersumber dari website kabupaten Ogan Ilir (www.oganilirkab.go.id) diceritakan bahwa salah satu keturunan muyang bernama Abdul Hamid (77), dikenal sebagai pawang buaya. Pada saat penduduk mengalami gangguan buaya sungai maka mereka meminta bantuan Abdul Hamid untuk mengusir buaya agar tidak mengganggu masyarakat. Sampai saat ini keahlian Abdul Hamid telah dimanfaatkan oleh banyak oranng dari berbagai daerah seperti; desa Tanjung Jabung, Muara Tembesi, Sarolangun Jambi, desa Permis dan Serdang Bangka Belitung,
kawasan Selapan dan Gasing Banyuasin dan Sembawa. Yang bersangkutan juga pernah bekerja di Singapura sebagai anggota sirkus dalam sebuah program “Crocodile Show”.
4 SEJARAH PERTANIAN PADI LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DI DESA ULAK AURSTANDING Pendahuluan Kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) merupakan salah satu kegiatan yang dikenal di awal peradapan manusia. Indonesia adalah negara agraris yang memiliki lahan pertanian cukup luas serta mayoritas pekerjaan penduduknya adalah sebagai petani. Namun dalam periode 1983 sampai 1993 luas lahan pertanian mengalami penurunan dari 16,7 juta hektar menjadi 15,6 juta hektar, atau sekitar 110 ribu hektar pertahun. Penurunan tersebut terutama terjadi di Jawa, yang mempunyai implikasi serius dalam produksi komoditas pangan utama beras. Data BPS menunjukkan bahwa Jawa merupakan kawasan utama produksi di Indonesia. Pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 56% dari total produksi beras nasional (Noor, 2007). Menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian (2006), sekitar 70% petani padi merupakan buruh tani dan petani skala kecil, dengan ciri rata-rata skala penguasaan lahan usaha tani hanya 0,3 ha.mereka merupakan kelompok masyarakat miskin berpendapatan rendah. Umumnya mengalami keterbatasan akses terhadap berbagai layanan khususnya layanan pembiayaan usaha tani. Sekitar 60 persen dari petani padi merupakan net-consumer beras atau bersifat subsisten. Begitu juga dengan petani padi sawah lebak. Pertanian padi sawah lebak merupakan salah satu jenis pertanian yang dilakukan di tanah rawa pasang surut. Penanaman hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun pada saat air mulai surut setelah tergenang air selama musim penghujan. Propinsi Sumatera selatan merupakan propinsi yang memiliki lahan rawa lebak cukup besar yaitu mencapai 2,98 juta ha. Dari jumlah tersebut yang sudah dimanfaatkan sebanyak 368.690 hektar terdiri dari 70.908 hektar lebak dangkal, 129.103 hektar lebak tengahan dan 168.67 hektar lebak dalam (Noor 2007, Yunita 2011). Dua kabupaten yang memiliki luas lahan terbesar adalah Ogan Komering Ilir (27,8%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan dan kabupaten Ogan Ilir (20,6%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan. Lahan Rawa lebak dimanfaatkan untuk berbagai jenis pertanian, terutama tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sejarah perkembangan pertanian padi sawah lebak dan peran perempuan di Kabupaten Ogan Ilir dengan melakukan penelitian di Kecamatan Pemulutan Selatan. Metode Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam (in depth interview) dan diskusi kelompok. Sebanyak 11 informan memberikan informasi tentang sejarah pertanian padi lebak dan perkembangannya hingga saat ini. Informan tersebut terdiri dari tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, warga masyarakat serta aparat pemerintah terkait. Penelitian
berlangsung dari bulan Agustus 2012 hingga Maret 2013. Lokasi penelitian di kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir, propinsi Sumatera Selatan. Hasil dan Pembahasan Masa kejayaan padi lokal jenis Pegagan Petani padi sawah lebak desa Ulak Aurstanding telah menjalankan proses pertanian padi secara turun temurun dari jaman nenek moyang mereka. Mereka menanam padi lokal yang sering disebut padi pegagan. Jenis padi ini diakui sebagai benih padi yang tahan terhadap serangan hama dan burung. Ukuran padi relatif lebih tinggi dengan waktu tanam hingga panen yang lebih lama. Nasi yang dihasilkan dari padi pegagan lebih keras sesuai dengan kebiasaan makan penduduk yang menyukai nasi yang cenderung keras dan pera. Menurut mereka dengan nasi keras dan pera, perut mereka akan kenyang lebih lama jika dibandingkan dengan memakan nasi yang lembut. Benih padi lokal jenis pegagan, memiliki karakteristik; tanamannya tinggi, bisa ditanam saat air pasang, tidak perlu pupuk buatan, tahan hama tikus dan burung. Informan mengatakan bahwa padi lokal lebih tahan hama jika dibandingkan dengan padi sekarang, berikut penuturan informan Jamali (63 th): “Kalu tahan hama kuraso yang lamo, yang baru ni muncul bibitnyo pendek, kalo yang lamo klo burung makannyo dikit, kerne keras padinye, sudah tu batangnye keras, dan tahan panas,” [Padi lokal lebih tahan hama, kalau padi lama burung yang makannya juga sedikit karena padinya keras, Batangnya juga keras dan tahan panas] Sejarah penanaman padi di desa Ulak Aurstanding diceritakan oleh tokoh adat setempat. Menurut informan Jamali (63 th), masyarakat di Desa Ulak Aur Standing dari sejak jaman nenek moyang bekerja sebagai petani sawah lebak. Awalnya para petani menanam jenis padi tinggi sebagai benih lokal yang telah ditanam secara turun temurun, berikut penuturan informan : “...dari zaman nenek moyang sudah nanam padi ini, sekitar tahun 55 berasil padi tinggi tu, merosot ini sejak padi digebuk itu, sudah diaret digebuk-gebuk itu, kalu orang yang ahli petani tu dak galak begebuk padi itu, oleh karene, dah kebanyaan manusio yang ngikut, ilang semangat” (...Dari zaman nenek moyang mereka sudah menanam padi, tahun 1955 padi tinggi yang ditanam relatif berhasil. Sejak pengolahan melalui aret, di gebuk, jika yang ahli/tahu pertanian pasti tidak mau mengikuti, tetapi karena sudah banyak yang mengikuti, petani juga kehilangan semangat) Jenis padi tinggi yang ditanam penduduk pada tahun 1955 mengalami keberhasilan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Setiap tahun keluarga
petani padi sawah lebak bisa menikmati hasil panen. Mereka memanen padi dengan cara ani-ani, karena padinya memiliki batang yang tinggi. Petani padi sawah lebak pada sekitar tahun 1955-an memiliki kebiasaan dan tata cara dalam melakukan pertanian. Mereka masih sangat memegang nilai-nilai adat, dalam pengelolaan lahan persawahan. Sebagai contoh pada saat hendak memanen padi harus ada ritual adat sebelumnya. Begitu juga pada saat setelah panen padi. Berikut penuturan informan Alwi (66 th) : “Nak mutong padi harus pakai ayam panggang, nak sedekah dulu, sawah nak dikeliliggi dulu oleh wong punyo, sekitar tahun 52an masih” (Waktu dulu sebelum panen padi harus melakukan acara adat, pemilik sawah mengelilingi sawah mereka, sedekah dan memotong ayam bakar, waktu itu sekitar 1952-an) Sebelum pelaksanaan panen padi diadakan pesta sedekah dengan memotong ayam bakar untuk dibagikan kepada tetangga mereka. Pada saat padi hendak di potong (ani-ani) pemilik sawah mengelillingi areal persawahan mereka. Ritual ini dijalankan sebelum adanya intervensi pemerintah dalam proses penanaman padi. Namun seiring perubahan pola dan tata cara tanam, ritual ini mulai hilang. Bahkan hingga saat ini hanya segelintir penduduk yang masih melaksanakan adat tersebut dan biasanya mereka adalah para petani yang berusia tua. Selain proses ritual tersebut, pada saat mengetam padi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan petani agar panen mereka berkah. Pada saat memperoleh dua atau tiga bagian sawah sudah diketam maka proses di berhentikan sejenak sekitar dua sampai tiga hari. Pada saat proses mengetam para petani tidak boleh bersiul atau bicara terlalu keras agar padi yang dipetiknya bisa berkah. Berikut penuturan iforman Jamali (63 th): “Sudah diketem dikit sekitar 2, 3 pelang berenti dulu sekitar 2, 3 hari baru pacak ngetam lagi, dak boleh 4 group ngetam, sudah tu ditengah ume besiul dak jadi, ngomong mekik-mekik dak boleh, memang padinye berkah dulu” [Pada saat panen tidak boleh dilakukan secara berbarengan, selesai di panen sekitar beberapa bagian, setelah 2 sampai 3 hari baru di panen kembali. Selain itu tidak boleh melakukan panen secara bersamaan lebih dari 4 sawah yang dipanen. Ditengah sawah juga dilarang bersiul dan meberteriak-teriak. Pada waktu itu padi yang didapat memang memberikan berkah] Pelaksanaan panen padi juga tidak boleh dilaksanakan secara serempak. Setidaknya dibolehkan 4 bidang lahan yang bisa di panen secara bersamaan, dengan 4 kelompok petani pemanen. Hal ini dilakukan mengingat pada saat itu sistem tarikan masih berlaku. Sistem tarikan adalah sistem panen padi yang dikerjakan oleh 5-6
petani tanpa diupah, tetapi setelah selesai panen padi, petani tersebut (yang panen duluan/tarikan pertama) ikut membantu panen di tempat para petani yang membantu proses panen di ladangnya. Namun sistem ini sekarang sudah tidak berlaku lagi digantikan dengan sistem upahan perhari. Hal ini karena perubahan pola tanam dan karena tuntutan ekonomi. Sebenarnya secara umum, proses dan tahapan pengerjaan sawah lebak memiliki kesamaan antara padi lokal dan benih baru. Misalnya diawali dari macakmacak (mempersiapkan lahan, menyemai benih (nugal), memindahkan benih, menanam padi, menyiang dan memanen padi. Namun padi lokal memilki keunggulankeunggulan. Berikut keunggulan padi lokal menurut informan Alwi (66 th): “Kalu ulahan samo, nak betanam, nak ngelulun segale macam tu, cuman padinye tu bukan macam ini IR, padi kite dulu tinggi air kesini masih pacak betanam, itu sangka dak kecul itu, dikatekah dak kecul itu ngetama tulah. cakmane bae pasti ngetam, sebabnye die dulu” [Cara pengolahan sama dengan padi sekarang, ditanam, merumput, menyemai, padi yang ditanam pada waktu itu tinggi, beda dengan sekarang. Air masih pasang sudah bisa menanam padi, setiap nanam padi pasti berhasil karena jarang kurang air, karena ditanam waktu air masih tinggi] Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa padi lokal tidak menunggu air surut untuk bisa ditanam (sebagaimana padi bibit unggul yang harus menunggu air surut karena bibit pendek), sehingga saat musim tidak menentu tetap masih bisa panen karena masih kebagian air untuk bisa sampai panen. Berbeda halnya dengan padi bibit IR, karena saat tanam menunggu air surut, maka pada saat padi mulai keluar dan tidak ada hujan, sementara air genangan sudah habis maka kemungkinan gagal panen akan tinggi. Selain itu, dari segi benih yang digunakan, banyak keunggulan benih jenis lokal dengan benih padi sekarang yang ditanam petani, berikut penuturan informan Alwi (66 th): “Benih sekarang sesekat nak 2-3 kaleng, kalo kami dulu sekaleng lebih dari sesekat, benih padi dulu tahun 55-an” [Benih sekarang seperempat hektar hampir 2-3 kaleng kalau padi lokal dulu hanya perlu bibit satu kaleng, (1kaleng= 10 kg atau Rp 40.000,-), untuk menanam seperempat hektar] Setiap seperempat hektar memerlukan benih padi lokal sebanyak satu kaleng atau Rp. 40.000,-. Sementara untuk benih IR membutuhkan benih lebih banyak. Oleh karena itu input jenis tanaman padi baru relatif lebih mahal. Padi lokal untuk pembenihan lebih hemat jika dibandingkan dengan padi jenis baru.
Perubahan bibit yang ditanam oleh petani berakibat pada perubahan cara tanam, dan petani sering diatur oleh air untuk bertanam, berikut penuturan informan Jamali (63 th): “Terjadinye zaman padi kecik ini IR 42. mulai tubuh diatur air tadi, air keraing baruh tubuh betanam, namun katek ujan kering sebatang, ini penyakit. memang ghule padi nak due lipat, dibandingkan padi leme. Cuma ume dak merumput ni merumput, betanam jero sekarng betanam kering”. [Saat perubahan petani menanam padi kecil IR 42, mengakibatkan masyarakat diatur oleh air, karena harus menunggu air kering baru bisa menanam. Memang produksi padi baru menghasilkan hampir dua kali lipat dibandingkan pada lama. Dulu tidak merumput sekarang harus merumput, dulu bertanam air pasang sekarang harus menunggu kering] Menanam padi jenis baru harus menunggu kering, dan harus merumput, kondisi ini berbeda ketika menanam padi lama karena saat pasang sudah bisa menanam padi, tidak harus di bersihkan rumputnya terlebih dahulu. Membersihkan rumput akan memakan biaya sendiri untuk mengupah buruh dan atau memerlukan tenaga ekstra dari petani untuk merumput. Selain itu para petani kemudian diatur oleh air, karena menanam padi harus menunggu saat lahan lebak surut dari genangan air. Untuk mempermudah memahami proses kegiatan penanaman padi dan keunggulannya pada fase sebelum penerapan revolusi hijau dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 11 Kegiatan pertanian sebelum fase revolusi hijau di Desa Ulak Aurstanding Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir No. 1. 2.
3.
Jenis kegiatan pertanian Ritual adat sebelum panen: memotong ayam dan pemilik sawah mengelilingi lahan yang hendak dipanen. Ritual dan aturan saat panen: dikerjakan oleh sekelompok petani 5-6 orang, tidak boleh bersiul dan berbicara keras saat memanen. Dalam sehari hanya boleh maksimal 4 kelompok yang memanen padi. Sistem pengerjaan sawah: secara gorong royong dengan sistem tarikan (sistem giliran dalam pengerjaan sawah lebak)
4. 5.
Racun hama/insektisida Pemeliharaan tanaman padi
6.
Bibit lokal Pegagan dan padi Siam (masa tanam 6 bulan) Air masih pasang (lahan masih tergenang air)
7. 8.
Jumlah benih lokal
9. 10.
Kualitas padi lokal hasil panen Kemungkinan gagal panen
Keunggulan/manfaat Sedekah kepada tetangga agar selamat dalam proses panen dan mendapat keberkahan hasil panen Tidak boleh bersamaan agar bisa saling membantu dan bergiliran memanen padi.
Sistem tarikan dari menanam, mengolah maupun memanen (bergantian siapa yang mengambil tarikan awal akan membantu mengerjakan petani lain yang membantunya). Tidak memerlukan racun hama Lebih simpel karena tidak perlu merumput/menyiang rumput (rumput tidak banyak) Tahan hama (tikus dan burung), dan tahan panas. Bisa menanam padi saat air masih tinggi, tidak perlu menunggu air sangat surut (karena bibit lokal relatif tinggi). Lebih sedikit untuk satuan luas yang sama dibanding benih baru Lebih keras dan mengenyangkan Relatif kecil karena lebih cepat menanam sehingga masih kebagian air saat padi berbunga dan berbulir hingga panen.
Revolusi Hijau: munculnya benih unggul dan teknologi pendukung Seiring perkembangan jaman, proses pertanian padi sawah lebak juga mengalami perubahan dari cara-cara lokal (konvensional) menuju ke arah penerapan teknologi dan inovasi pertanian. Perubahan proses pertanian terlihat sangat jelas sejak penerapan revolusi hijau sekitar tahun 1995. Hal ini dijelaskan oleh tokoh adat setempat yang mengatakan sejak dikenalkan cara pertanian oleh petugas pertanian, maka para petani mulai beralih ke cara-cara modern (penggunaan pupuk buatan, alatalat pertanian, insektisida, racun rumput, serta cara panen padi). Sebagai contoh para petani mulai memilih bibit unggul IR 42 (bibit unggul yang pertama kali diperkenalkan pemerintah kepada para petani) untuk menggantikan bibit lokal karena melihat ada petani yang menerapkan bibit tersebut berhasil dan produksinya meningkat. Berikut penuturan informan Jamali (63 th):
“Pertame masuk bibit IR 42, sudah itu masuk mac em-macem unggul, IR 10, ade perubahan lebih lumayan, perolehan IR 42 tadi lebih lumayan, itulah petani ni jingok wong beroleh lebih banyak jadi ditinggalkah, benih kami dak katek lagi habis, lenyap” [Bibit yang pertama kali masuk menggantikan padi lokal, yaitu IR 42, setelahnya masuk Unggul, IR 10, hasil yang didapat lebih banyak dibandingkan dengan pada lokal. Hal ini yang mengakibatkan petani berpindah menanam padi jenis baru. Hingga kini benih lokal sudah habis tidak ada lagi] Para petani berpindah ke bibit baru setelah melihat contoh nyata peningkatan jumlah hasil panen padi dibanding menggunakan bibit padi lokal. Sejak dikenalkan padi kecil IR 42 kepada masyarakat oleh pemerintah dan petani merasakan keberhasilan jenis baru tersebut, maka sebagian besar masyarakat petani berpindah dan meninggalkan bibit lokal. Hal ini terjadi sekitar awal tahun 2000-an sebagian besar petani beralih ke padi kecil. Kelebihan jenis IR tidak hanya dari sisi peningkatan jumlah panen tetapi juga harga jualnya yang relatif lebih mahal dari pada padi lokal. Menurut informan padi jenis Ir 42, untuk hasil panen biasanya lebih banyak dan harga jual juga lebih mahal, dibanding pada lama, berikut penuturan informan Jamali (63 th): “Jenis IR 42, bejual lemak, makanye mak itulah lemak, hargenye mahal, ditanam disini sekarang 42 dan serang. Kalu hasil lebih lumayan padi baru ini” (jenis IR 42, lebih mudah dijual, harganya lebih mahal, yang ditanam disini sekarang IR 42 dan Serang. Kalau hasilnya lumayan padi jenis baru ini) Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan petani berpindah ke cara baru (penggunaan bibit unggul dan teknologi pendukkung) yaitu menurunnya produksi padi lokal karena pengaruh berkurangnya air sejak dibuat bendungan di hulu sungai yang memberikan dampak terhadap penurunan produksi padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan. Sekitar tahun 1990-an di daerah Belitang (daerah pertanian padi irigasi) dibangun bendungan untuk keperluan pengairan sawah. Hal ini menyebabkan air sungai Ogan dan Komering yang mengalir sampai ke wilayah desa, menyusut volume airnya. Bahkan semenjak dibangun bendungan hanya sungai Ogan yang mengalir dan bisa dimanfaatkan petani padi sawah lebak. Kondisi ini mengakibatkan tidak ada irigasi bagi pertanian sawah lebak. Saat tidak turun hujan pasti akan berakibat gagal panen, kondisi ini terjadi hingga kini, berikut penuturan informan Alwi (66 th): “Sejak dibendung daerah Belitang, sejak itu sampai sekarng merosot, kendalanye air dak kuat. Sekitar tahun pangkal 95-an, dulu daerah pamulutan ini banyunye komring dan ogan. nak itu orang yang langsung
ini, sedangkan ogan kurang besak banyunye, jadi pemerintah ini makmano caronye nahan banyu tu, rugi men petani disini, sejak tahun 90an, lak 22 tahun merosot perolehan, duli ghuleh 100 nurun 75, nurun ladi 50, taun ini kuraso 40 % dak sampai” Pembuatan bendungan tersebut bagi petani padi sawah lebak cenderung merugikan, karenanya informan juga mempertanyakan mengapa pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut. Penurunan hasil padi dirasakan dari tahun ke tahun, hingga terakhir penuruan mencapai 60%. Kondisi ini semakin mendorong para petani sawah lebak untuk memilih pertanian cara baru. Hal ini terjadi pada sekitar tahun 1995an. Tanaman padi sawah lebak hanya bisa ditanami setahun sekali dan keberhasilannya sangat tergantung pada curah hujan dan air sungai. Berhubung terdapat jenis sawah lebak, yakni lebak pematang, tengahan dan dalam maka penanaman padi dalam satu lahan tidak serentak tergantung jenis lebak dan surutnya air. Pada saat lebak pematang siap ditanami maka tengahan dan lebak dalam masih belum bisa di tanami karena masih tinggi kedalaman airnya. Umumnya penanaman hingga panen berlangsung mulai bulan April hingga bulan Semptember setiap tahunnya. Baik sebelum revolusi hijau maupun setelah revolusi hijau, lahan rawa lebak hanya mungkin ditanami petani padi sawah lebak sekali dalam setahun. Menurut informasi petugas UPTD pertanian, masing-masing jenis lebak berbeda waktu masa tanam. Dalam kondisi iklim normal, lebak pematang mulai ditanami pada bulan AprilMei, lebak tengahan Mei-Juni dan lebak dalam Juli-Agustus. Penanaman padi unggul menunggu air surut, dan proses penanaman diawali dengan macak-macak (persiapan lahan) yaitu ketika posisi air sekitar 0,1 cm hingga 5 cm. Bibit disemai 2-3 kali, dengan proses persemaian di rencam, di pecah dan disemai ke sawah. Proses ini dikenal sebagai sistem tugal. Sementara untuk persemaian dengan sistem ngapung, proses pembibitan menggunakan media. Medianya berupa rumput panjang (brondong) yang dipecah dan direndam kemudian dianyam, di atasnya diberi reamun ( semacam rumput-rumput di lebak), tingginya sekitar sekilan, kemudian dipindahkan ke lahan yang agak basah atau ke galengan (dipecah) sambil menunggu air surut. Setelah air surut bibit siap ditanam. Penerapan teknologi pertanian diintrodusir oleh pemerintah melalui dinas pertanian, dinas pekerjaan umum, badan perencanaan daerah dan badan penyuluhan dan ketahanan pangan daerah kabupaten Ogan Ilir. Menurut informasi kepala desa setempat, dinas pekerjaan umum memberi bantuan lewat program PNPM untuk perbaikan sarana fisik berupa cor beton untuk jalan (lebar sekitar 2 m). Program ini berjalan dari tahun 2009 sampai 2011. Kemudian dinas pertanian pada tahun 2011 memberi bantuan jalan usaha tani dan memberi mesin perontok padi. Di tahun yang sama Bapeda juga memberikan bantuan 4 mesin traktor, 4 mesin pompa air, 4 mesin perontok padi dan 4 titik sumur bor. Pada tahun 2012 dibangun jaringan irigasi desa (JIDES) oleh dinas pertanian. Untuk melihat teknologi pertanian diberikan kepada petani dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 12 Penerapan teknologi dan inovasi oleh pemerintah kepada petani sawah Lebak di desa Ulak Aurstanding Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir No. 1.
Instansi Dinas Pekerjaan Umum
2.
Dinas pertanian
3.
Badan Daerah
4.
Dinas pertanian
5.
Pemerintah Provinsi (Kesejahteraan Sosial)
Perencanaan
Jenis teknologi Cor jalan beton melalui program PNPM Jalan usaha tani dan mesin perontok padi
Tahun 20092011 2011
4 mesin traktor, 4 mesin pompa air, 4 mesin perontok padi dan 4 titik sumur bor JIDES (Jaringan Irigasi Desa) SLPTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) Bantuan dana melalui KUBE Usaha Tenun Songket
2011
2012
2012
Respon petani Berpartisipasi dengan bantuan tenaga Memanfaatkan dengan menyewa mesin perontok padi Ditempatkan di rumah kepala desa, petani memanfaatkan dengan sistem sewa Membentuk kelompok dan menerima pengetahuan dan bantuan saprodi bagi kelompok terpilih Memanfaatkan pinjaman dana bergulir
Selain bantuan teknis, dalam upaya peningkatan pengetahuan petani padi sawah lebak mengenai usaha pertanian, dinas pertanian membuat program dan bantuan diantaranya dibentuk sekolah lapangan pengelolaan terpadu (SLPT). Tujuan dari program ini adalah pertama, terjadi peningkatan produksi, kedua, peningkatan produktivitas dan mutu, dan ketiga, peningkatan tanaman pangan. Melalui program ini para petani diberi materi cara bertani secara intens dengan membentuk kelompok tani. Materi yang disampaikan meliputi cara memupuk, meracun serangga, pembibitan dan lainnya. Selain itu, diberikan bantuan sarana produksi pertanian (saprodi) secara gratis berupa pupuk, benih, racun serangga, obat, serta bantuan sosial yang masuk ke rekening kelompok, bagi kelompok terpilih sebagai laboratorium lapangan. Para petani diharuskan membentuk kelompok, dalam satu kelompok terdiri dari 25 orang petani dan maksimal luas lahan 25 hektar. Dalam satu desa akan dipilih satu kelompok sebagai laboratorium lapangan sebagai contoh bagi kelompok lain. Tujuannya adalah keberhasilan pertanian kelompok contoh ini akan ditiru oleh kelompok lain. Semenjak diperkenalkan pupuk, benih baru, herbisida (racun rumput), obat insektisida (serangga), para petani mulai beralih ke cara-cara modern. Mereka tertarik setelah peningkatan produksi hasil panen dan harga padi yang lebih mahal dari pada padi jenis lokal. Namun biaya untuk produksi semakin meningkat dibanding dengan cara tradisional. Sebagai contoh pada waktu menggunakan padi lokal, mereka tidak menggunakan pupuk buatan, obat pestisida serta racun rumput, setelah mengunakan bibit baru, mereka harus mengeluarkan biaya lebih bannyak. Biaya benih, dari benih pilihan sendiri, menjadi membeli benih. Satu kantong benih seharga 40.000 rupiah.
Kemudian untuk pupuk dua pikul seharga 280.000,- rupiah/ha. Untuk racun rumput dan racun hama perbotol 160.000,- rupiah. Berikut penuturan informan Saman (55 th): Kami ni, menanam padi Ciherang, duo hektar pacak ngasilke 13 ton dalam kondisi normal, tahun 2012 mak ini hari padi banyak puso, 2 ha hasilnyo 5 ton. Habis panengalak dijual separo, untuk keperluan bayar utang, mbeli pupuk, racun rumput banyak macam rendomen, bismilang, racun hama, puradon. Kami biaso mbeli di warung pak haryono, hargo pupuk duo pikul sehargo 120 kali empat, 480 ribu, racun sepuluh botol 10 kalike 160.000 jadi sejuta enam ratus ribu. Kalo belinyo cash sikok botol harganyo 100 ribu. Seorang petani dengan sawah seluas 2 hektar, harus mengeluarkan biaya pupuk dan racun sebesar 2.080.000,- rupiah. Belum lagi biaya upah untuk panen padi, sewa mesin perontok padi, mesin traktor untuk mengolah sawah dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masuknya teknologi dan inovasi pertanian disamping memberikan peningkatn jumlah panen tetapi juga peningkatan biaya produksi. Bahkan tidak jarang petani justru harus berhutang dan membayarnya setelah panen untuk keperluan biaya produksi. Berbeda ketika mereka menanam padi lokal, mereka tidak memerlukan pupuk buatan dan racun hama, sehingga tidak membuat mereka terlilit hutang karena biaya produksi pertanian. Mayoritas petani menanam bibit baru (Ciherang) sampai saat ini. Menurut informan dari dinas pertanian, penerapan bibit Ciherang memungkinkan petani memanen padi lebih cepat karena usia padi tidak selama padi lokal yang mencapai 6 bulan. Kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan terjadi kemarau panjang, kadang kala hujan terus menerus sehingga air besar/pasang dan bahkan banjir. Hal ini menyebabkan terjadinya gagal panen, karena keberhasilan menanam bibit lokal sangat terpengaruh oleh iklim. Terdapat beberapa manfaat penerapan inovasi dan teknologi pertanian yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13 Kegiatan pertanian setelah revolusi hijau di Desa Ulak Aurstanding Kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir No. 1.
Jenis kegiatan pertanian Penggunaan bibit unggul
2.
Pemakaian pupuk
3.
Pemakaian obat serangga
4.
Penggunaan traktor untuk mengolah lahan
5. 6.
Pemanfaatan mesin perontok padi (grentek) Pembentukan kelompok tani
7.
Berbagai program pendukung pertanian dari berbagai instansi pemerintah Harga jual padi serta produktivitas jenis unggul
8.
Keunggulan/manfaat Lebih cepat panen/waktu lebih singkat Meningkatkan kesuburan tanaman sehingga produksi meningkat Mengurangi bahkan membasmi serangga pengganggu tanaman padi Mempercepat pekerjaan menyiapkan lahan siap tanam Mempercepat proses panen Media untuk mendapatkan bantuan dan informasi pertanian Membantu memecahkan permasalahan pertanian Lebih mahal serta hasil lebih banyak persatuan luas
Berdasarkan uraian di atas, proses pertanian sebelum dan sesudah revolusi hijau diterapkan memiliki kelebihan namun juga memiliki kekurangan masing-masing. Secara garis besar perbedaan proses pertanian sebelum dan sesudah revolusi hijau dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14 Perbedaan umum kegiatan pertanian sebelum dan sesudah revolusi Hijau di Desa Ulak Aurstanding Kecamatan Pemulutan Selatan No.
Jenis kegiatan
1.
Ritual dalam proses pertanian
2.
Sistem pengerjaan sawah Bibit
3. 4. 5. 6. 7.
8.
Pupuk Hama Masa tanam Ketinggian air untuk siap tanam Panen Rumput pengganggu
Sebelum revolusi hijau (penerapan teknologi dan inovasi pertanian) Menyembelih ayam sebelum panen, mengelilingi sawah, tidak boleh berbarengan, maksimal ada 4 kelompok pemanen dalam sehari Sistem tarikan, bekerja gotong royong bergiliran Bibit lokal, pegagan, siam Tidak pakai pupuk buatan Diusir secara manual 6 bulan Bisa lebih besar dari 5 cm Diketam menggunakan aniani Dibersihkan secara manual
Setelah revolusi hijau (penerapan teknologi dan inovasi pertanian Tidak ada
Sistem upah, sistem borongan, sistem bawon Bibit unggul, IR 42, Ciherang, INPARA 1-13 Tergantung dengan pupuk buatan Dibasmi secara kimiawi 3-4 bulan 0,5-5 cm Dipanen menggunakan sabit, traktor Dibasmi menggunakan racun rumput
9.
Produktivitas
10.
Sistem penguasaan tanah
Padi lebih keras dan lebih disukai Petani pemilik, penggarap dengan hasil bagi
Hasil berlipat tetapi kurang disukai untuk konsumsi Petani pemilik, petani penggarap dengan menyewa tanah pertahun
Perampasan Peran Perempuan dalam Pertanian Padi Lebak dan Pangan Keluarga Dalam sejarah manusia, sebelum dikenal berbagai jenis profesi, maka tani merupakan profesi paling awal yang dikenal manusia. Profesi tani menyediakan bahan pangan sehari-hari demi kelangsungan hidup manusia sehingga tani dapat dikatakan sebagai profesi awal dan vital manusia (Soeparto 2011). Perempuan dan pertanian memiliki kaitan erat. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian petani padi sawah lebak sebelum penerapan revolusi hijau sangat besar; mulai dari pemilihan bibit untuk ditanam kembali, pembersihan rumput sebelum ditanami (rencam), penyiangan rumput, pemanenan padi dan pasca panen. Bibit lokal pegagan yang dihasilkan perempuan ditanam kembali untuk penanaman padi tahun berikutnya. Padi jenis pegagan ini memiliki batang tinggi dan memanennya dengan ketam. Proses pemanenan padi lokal menggunakan ketam (ani-ani) memberikan peluang bagi peran perempuan dalam proses pertanian padi lebak. Selain itu pada saat sebelum menanen padi dilakukan ritual dimana keterlibatan perempuan menjadi sebuah kewajiban yakni memasak ayam dan makanan yang diperlukan sebagai persyaratan. Namun semenjak intervensi pemerintah dengan penerapan revolusi hijau, peran perempuan memilih bibit lokal dirampas digantikan bibit unggul yang berasal dari luar komunitas. Kebijakan ini juga telah mematikan ritual proses sebelum panen padi di komunitas petani padi sawah lebak. Keterlibatan perempuan dalam pemilihan bibit diungkapkan informan (Jasiyah, 50 th) sebagai berikut: “Bibitnye sendiri, kalu guleh taun ini dibuat bibit lagi, ibu yang buatnye, yang nyemaikan….akuni bapaknye lak meninggal. Anakku yang bujang due bantu kesawah. [Bibit yang disemai bibit sendiri yang dipilih dari hasil padi yang didapat. Ibu yang membuatnya, menyemaikan, karena bapak sudah meningggal. Selain itu dibantu juga oleh dua orang anak laki-laki] Setelah panen padi para perempuan petani padi sawah lebak menyisakan padi untuk dijadikan bibit untuk ditanam kembali. Biasanya mereka memilih padi yang bagus dengan cara menampi, menggunakan alat tampir dari bambu. Dengan digoyanggoyangkan akan terpisah antara padi yang bernas dan padi yang tidak berisi. Kemungkinan tumbuh yang ditampi (padi bernas) cukup tinggi dibanding padi yang tidak ditampi. Padi ini kemudian disemai dengan cara ditugal, ditanam dengan menggunakan alu dari batang kayu. Setelah tumbuh agak tinggi dan air rawa surut maka padi dipindahkan ke lahan pertanian.
Selain itu perempuan juga terlibat dalam persiapan lahan dan menyemaikan padi, bahkan sebagian besar pekerjaan pertanian dilakukan oleh perempuan, kecuali pekerjaan yang berat. Berikut penuturan informan (Jasiyah, 50 th): “Kalu nugal atau buat anak padi biasenye ibu-ibu, ngambil mindahkan ibu-ibu, yang mikul-mikul untuk mindahke kesawah bapak. Merumput gotong royong bapak ibu, kalu banyak rumput ibu, kalu dikit rumput bapak” Setelah lahan rawa agak surut, maka akan ditemui banyak rumput yang tumbuh selama air pasang (tumbuhan rawa). Oleh karena itu perlu dibesihkan terlebih dahulu sebelum ditanami. Mayoritas perempuan terlibat dalam kegiatan ini. Secara manual mereka membersihkan rumput tersebut namun setelah revolusi hijau dan dikenalkan dengan racun rumput, mereka menggunakan obat tersebut (jika memiliki kecukupan uang untuk membeli dan jika tidak maka dilakukan secara manual). Peran perempuan tergusur oleh penggunaan herbisida untuk membersihkan rumput. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan penggunaan herbisida untuk membasmi rumput telah merampas peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Setelah lahan bersih dari rumput maka para perempuan mengambil padi yang sudah ditugal (dibibit sebelumnya), dipindahkan ke tempat yang agak tinggi sebelum ditanam ke sawah rawa lebak. Begitu air rawa surut hingga tinggal 0,5-5 cm maka para perempuan banyak terlihat bertebaran di lahan menanam padi. Umumnya perempuan yang menanam padi sementara petani laki-laki hanya memikul bibit dari tempat pembibitan ke tempat perempuan menanan padi. Secara umum jenis pekerjaan perempuan di pertanian sawah lebak tidak banyak perubahan dan perbedaan antara sebelum dan setelah revolusi hijau. Namun peran perempuan sangat tergusur dari berbagai jenis pekerjaan pertanian padi sawah lebak. Jenis pekerjaan perempuan yang paling tergusur adalah pada pemilihan bibit, yang semula seluruh bibit dipilih dan dipilah oleh para perempuan sekarang hampir semua tergantung pada bibit dari membeli (bibit unggul). Kuatnya intervensi bibit unggul pada proses pertanian padi sawah lebak ini merampas pengetahuan dan ketrampilan perempuan dalam pemilihan bibit unggul. Meskipun cengkeraman kebijakan bibit unggul ini begitu kuat, namun masih ada juga petani yang menggunakan bibit lokal (bibit tradisional pegagan) hasil panen yang dipilih untuk ditanam kembali. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat resistensi dari segelintir petani untuk tidak mengikuti program pemerintah. Selain itu pada saat belum dikenalkan proses pemanenan menggunakan sabit, para perempuan memanen dengan menggunakan ani-ani (mengetam). Setelah proses panen menggunakan sabit dan mesin grentek maka peran perempuan terkurangi. Pengoperasi mesin grentek umumnya laki-laki meskipun ada juga perempuan telah bisa menggunakan alat ini. Teknologi pertanian yang diintrodusir kepada komunitas petani padi sawah lebak didesain untuk laki-laki. Sosialisasi pengoperasian juga diberikan kepada petani laki-laki sebagai target sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk peningkatan produktivitas padi sawah lebak lebih
berorientasi untuk laki-laki, sehingga yang terjadi adalah maskulinisasi pertanian di komunitas petani padi sawah lebak. Untuk melihat peran perempuan sebelum dan setelah revolusi hijau dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 15 Peran perempuan dalam kegiatan pertanian sebelum dan setelah revolusi hijau di desa Ulak Aurstanding kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir No. 1.
Jenis kegiatan Pemilihan bibit
2.
Penyemaian (nugal)
3.
Pemindahan bibit
Dilakukan oleh perempuan, lakilaki memikul bibit
4. 5.
Penanaman bibit Pembersihan rumput
Dilakukan perempuan Dilakukan perempuan secara manual dibantu laki-laki
6.
Pemanenan padi
Dilakukan oleh perempuan dengan menggunakan ani-ani (ketam) sistem tarikan
7.
Pemupukan
8.
Ritual sebelum panen Ritual saat panen
Tidak memerlukan pupuk buatan tetapi kompos Perempuan menyiapkan makanan untuk keperluan ritual Perempuan berkelompok memanen padi, menyiapkan bekal makanan
9.
Sebelum revolusi hijau Perempuan menampi padi untuk dijadikan bibit bibit
Menyemai, menugal dilakukan oleh perempuan
Setelah revolusi hijau Mayoritas petani membeli, sedikit perempuan yang menampi padi untuk bibit Menyemai, menugal dilakukan oleh perempuan dibantu laki-laki Dilakukan oleh perempuan, laki-laki memikul bibit Dilakukan perempuan Dilakukan laki-laki dengan menggunakan racun rumput, perempuan sedikit terlibat Perempuan menggunakan sabit yang mengoperasikan mesin grentek mayoritas lakilaki (sistem upahan/bawon) Perlu pupuk buatan yang memupuk para laki-laki Tidak ada ritual Tidak ada ritual kelompok
Tabel tersebut menunjukkan bahwa ketika revolusi hijau diterapkan, terjadi beberapa pergeseran antara lain: benih unggul baru menggantikan benih pilihan tradisional perempuan, pupuk kimia menggantikan pupuk kompos yang dihasilkan perempuan dengan mengumpulkan kotoran ternak dan sampah organik, penggunaan teknologi baru menggusur tenaga perempuan dalam mengelola lahan pertanian. Prosesi ritual sebelum dan sesudah panen menjadi tidak ada. Hal ini juga menyebabkan hubungan perempuan dengan mata rantai pangan menjadi lemah. Kenyataan ini menunjukkan telah terjadi marjinalisasi perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Peran perempuan terampas karena adanya intervensi pemerintah (revolusi hijau) dalam pengolahan sawah lebak. Marjinalisasi perempuan dalam proses produksi pertanian juga ditjunjukkan oleh White dan Wiradi yang menemukan adanya marjinalisasi perempuan Indonesia terhadap proses produksi pertanian dimana perempuan semakin dijauhkan dari hak-hak dan akses terhadap pelayanan pertanian termasuk penyuluhan, input produksi dan kredit. Dalam hal mendapatkan kredit, perempuan menderita ganda, yaitu ada
diskriminasi langsungberdasarkan jenis kelamin, dan diskriminasi tidak langsung berdasarkan fakta bahwa perempuan cenderung tidak memiliki hak atas tanah keluarga yang didaftar atas nama mereka (White & Wiradi 2009). Revolusi hijau juga mendapatkan beberapa kritik yang diarahkan pada dampak negatif terhadap ekologi dengan penggunaan bahan kimia yang merusak ekosistem sawah. Revolusi hijau mengakibatkan para petani cenderung berhutang untuk membeli input pertanian sebagaimana diungkapkan Spring 2000, berikut ini: Many program of green revolution was directed to the head of household (man) such as agricultural extension information, group of farmer and some innovation of agricultural technology. It is relevant with Boserup’s arguments in early 1970s, development efforts focused on men as the recipients of the new technology and inputs. Women were thought to do the drudgery of subsistence food production, whereas men were targeted for the intensified commercial cash crops. Development process usually harms or overlooks women farmers and that man often garner the development “goodies” (land, capital, technology, project services, and so on) for themselves and restrict women’s access (Spring, 2000). Meskipun peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak telah dirampas, tergusur dan termarjinalisasi, terkurangi namun kontribusi perempuan bagi pemenuhan pangan keluarga masih cukup tinggi. Hal ini karena perempuan memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menyediakan bahan pangan keluarga dengan mengumpulkan berbagai jenis pangan yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Perempuan mengetahui jenis pangan yang aman dikonsumsi keluarga yang beasal dari ekologi rawa baik berupa tumbuhan maupun hewan. Mereka memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis tanaman yang aman dikonsumsi yang berada di lingkungan sekitar untuk pangan keluarga seperti buah telepuk, gondang dan tumbuhan lokal lainnya. Pengetahuan ini diperoleh secara turun temurun melalui sosialisasi dalam keluarga dan komunitas. Selain memiliki pengetahuan, perempuan juga memiliki ketrampilan untuk mendapatkan bahan pangan tersebut dan mengolahnya menjadi makanan yang aman dikonsumsi keluarga. Pengetahuan dan ketrampilan perempuan dijadikan bekal untuk melakukan diversivikasi pekerjaan. Diversifikasi ini disesuaikan dengan pengetahuan, kemampuan serta kondisi lingkungan. Pengetahuan dan kemampuan menenun songket dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan. Perempuan terlibat sebagai penenun songket, menjadi buruh tenun songket untuk mendapatkan uang. Uang tersebut digunakan untuk membeli bahan pangan, dan kebutuhan keluarga lainnya. Berikut penuturan informan Jamali (63 th) tentang diversifikasi pekerjaan perempuan untuk mendapatkan penghasilan. “Untuk betino disini lumayanlah, dikatakan lumayanlah, soal pekerjaan betino disini dak katek pengangguran, dienye nenun, sudah tu nenun ngerjekah sawah ini. sudah tu ade bae budak-budak ye mude pekerjaannye ke palembang, begawe rumah tangge”
[Keadaan perempuan disini cukup baik, dalam hal pekerjaan disini tidak ada penganguran. Mereka membuat kerajinan songket, dan sekaligus ke sawah. Selain itu ada juga yang bekerja diluar, misalkan ke palembang untuk menjadi pembantu rumah tangga] Sejarah kegiatan menenun yang dilakukan oleh perempuan di komuitas petani padi sawah lebak bermula pada tahun sekitar 1992an, seiring dengan penerapan revolusi hijau di komunitas petani padi sawah lebak. Penggusuran dan perampasan peran perempuan dari proses pertanian padi sawah lebak membuat perempuan berinisiatif memperoleh pendapatan dari luar pertanian padi sawah lebak yakni dengan menenun. Masuknya kerajinan tenun di Ulak Aur Standing khususnya dusun II, mulanya sekitar tahun 1992. Dibawah oleh Sofiah dari Ulak Kembahang setelah ia menikah dengan orang Ulak Aur Standing. Berikut penuturan sejumlah subyek kasus yang menceritakan proses memeroleh pengetahuan tentang menenun dan menyiang ikan sebagaimana kutipan wawancara berikut ini: “Nenun ini sebabnyo baru didusun ini (Zainuna 50 th), Tahun sembilan due waktu aku tamat sekolah SD tahun sembilan satu. Tahun sembilan due akulah nenunlah itu kebakaran di Ulak Kembahang (Fatima 33 th). Yang bawaknye dieni Sofiah ni, orang Ulak Kembahang dienye kawin dengan mamangnye, jadi dieni yang ngajar-ngajari, dietu dari kecik lak nenun (Jasiyah 50 th)”. (Kerajinan tenun baru di Desa Ulak Aur Standing khususnya dusun III (Zainuna :50 th). Tahun 1991 saya tamat SD, tahun 1992 saya sudah memulai menenun (Fatima33 th). Orang pertama yang mengajari masyarakat khususnya Dusun II, dari Sofiah, orang Ulak Kembahang yang menikah dengan mamangnya. Ia yang mengajari, karena dia dari kecil sudah menenun (Jasiyah 50th) Pengetahuan menenun para informan (subyek kasus) didapatkan dari keluarga inti maupun keluarga luas. Seperti pernyataan informan Ftm diatas ia memeroleh pengetahuan menenun dari bibinya. Umumnya jika ada anggota keluarga bisa menenun maka akan ditularkan pada saudara perempuannya. Proses belajar menenun, menurut informan, tidak memakan waktu lama hanya sekitar 10 hari dan bahkan ada yang hanya 3 hari. Berikut penuturan subyek kasus: “Belajar nenun sekitar 10 harianlah sudah pacak, ado jugo yang cuman tige hari (Zainuna 50 th), pacak bikin bae kalau nyangbung itu lambat (Fatima 33th)” (Lama waktu belajar menenun sekitar 10 hari, ada juga yang hanya 3 hari (Zainuna;50). Tapi baru bisa membuat belum bia untuk menyambung benang, karena agak sulit (Fatima:33th)
Waktu yang dibutuhkan untuk menenun satu kain tenun dan satu selendang (sepasang) biasanya memerlukan waktu satu bulan. Berikut penuturan Fatima (33 th): “Nenun satu setel sebulan, itu kalu ditenun, kalu dak lebih sebulan. Kami beranak ni jangan dek bantu suami be. Kalu urang gadis gancang, setengah bulan jual, ape lagi lampu lak masuk ni”. (Waktu menenun satu stel kain dan selendang sekitar satu bulan. Saya lagi punya anak kecil belum bisa maksimal untuk menenun. Kondisi ini berbeda saat masih lajang dalam setengah bulan bisa menyelesaikan satu stel, apalagi setelah masuknya penerangan listrik) Kualitas tenun, menurut informan ditentukan oleh ketelatenan dari penenunnya. Penenun yang sudah memiliki jam terbang tinggi cenderung memiliki hasil tenunan yang relatif bagus dibandingkan dengan penenun pemula. Kain tenun yang bagus menurut Nursyam (55 th) adalah sebagai berikut: “...Bagus tu yang keras, kalu dak keras jarang. Kadang sungkap melorok, dietu jingo e keras idaknyo, kadang kembangnye betumpuk, itu wong yang baru belajar, kalu lak biase cak kite ni dak dek lagi”. (Ftm) (...Kualitas tenun yang bagus yaitu yang keras, kalau tidak keras benangnya agak jarang. Kadang tidak seimbang saat dipakai, kadang kembangnya atau motif bertumpuk. Biasanya yang membuatnya orang yang masih belajar kalau sudah terbiasa kualitasnya sudah bagus) Hasil tenun biasanya dijual ke pasar 16 Ilir Palembang. Uang hasil penjualan kain tenun ini akan dibelikan benang rongse untuk ditenun kembali dan sisanya adalah keuntungan yang didapat penenun. Keuntungan ini digunakan untuk membeli kebutuhan hidup keluarga. Sistem penjualan kain tenun bersifat langganan, dimana penenun relatif terikat dengan pembeli kain tenun. Hubungan jual beli seperti ini sudah terjalin erat dan sejak lama, seperti penuturan subyek kasus, Fatima (33 th) : “Pasaran jual yang polos enam setengah, ade jugo yang berayo beli disini tapi jual dilangganan kepalembang, kageknyo jual disini, nak jual diplembang dik diterimo lagi. Langgagan sudah lame sejak awal nenun dulu, kadang tu dietu tau benang dio ape bukan. Pembelinye banyak wong ayib” (Harga jual songket yang polos sekitar 650 ribu, ada juga pembeli yang datang ke desa, tetapi kami menjual ke Palembang karena sudah langganan. Karena kalau menjual di sini, nanti pembeli di Palembang tidak mau membeli hasil tenun. Langganan sudah sejak lama sejak awal menenun. Pembelinya kebanyakan orang arab)
Perampasan peran, pengetahuan dan ketrampilan perempuan pada proses pertanian padi sawah lebak tidak menyurutkan perempuan untuk berperan aktif dalam pemenuhan pangan keluarga. Mereka tetap berusaha terlibat dalam pertanian (meskipun sedikit) dan mencari bentuk lain dalam pemenuhan pangan keluarga melalui kegiatan off farm, sebagai bentuk diversifikasi pekerjaan perempuan. Dalam hal ini perempuan di komunitas petani sawah lebak terlibat baik dalam kegiatan on farm maupun off farm demi pemenuhan pangan keluarga. Hal ini senada dengan penelitian Babatunde, 2010 yang menemukan bahwa di kalangan petani memang farm income lebih memiliki efek yang mudah dirasakan bagi nutrisi keluarga dari pada off farm. Namun kegiatan on farm dan off farm masih samasama marginal, karenanya perlu agenda kebijakan, promosi sektor off farm di pedesaan yang selama ini masih sedikit mendapatkan perhatian. Mengingat peran perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga sangat penting maka perlu kiranya memberikan peluang berusaha pada perempuan untuk menambah penghasilan keluarga dengan berbasis pada pengetahuan dan keahlian mereka. Dengan modal pengetahuan dan keahlian maka diharapkan akan mengoptimalkan kemampuan mereka menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Peluang tersebut bisa dilakukan dengan memberikan stimulus berupa modal usaha maupun kesempatan meningkatkan ketrampilan dengan memberikan tambahan pengetahuan sehingga mereka bisa mengakses kebutuhan pasar. Perlu juga memikirkan jaringan pemasaran sehingga mereka bisa memasarkan produk kepada konsumen yang lebih luas. Hal ini penting karena berdasarkan studi Prihartini ( 2006) menunjukkan bahwa 1) pendapatan ibu rumah tangga memiliki kaitan positif yang sangat sifnifikan dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga 2) adanya kredit dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan ibu rumah tangga (Taridala 2010). Simpulan Sejarah pertanian padi sawah lebak menunjukkan adanya proses transformasi dari sistem pertanian padi sawah lebak lokal menuju ke sistem pertanian padi sawah lebak modern melalui penerapan revolusi hijau. Revolusi hijau menggantikan bibit padi lokal jenis pegagan dengan bibit unggul jenis IR 42, Ciherang dan INPARA, mengintrodusir sarana produksi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, insektisida, herbisida dan alat-alat teknologi pertanian. Intervensi pemerintah dalam proses pertanian padi sawah lebak menyebabkan adanya dua sistem pengetahuan pertanian yang berkembang di komunitas. Pengetahuan pertama adalah sistem pengetahuan lokal komunitas yang selama ini dipegang dan dijalankan untuk proses pertanian padi sawah lebak. Sistem pengetahuan lokal komunitas mengutamakan ketersediaan pangan dari produksi padi dan sumber pangan dari ekologi rawa lebak. Kedua, sistem pengetahuan pemerintah yang berbasis pada pengetahuan modern dalam upaya peningkatan produktivitas padi sawah lebak untuk pemenuhan pangan keluarga dan pangan nasional. Pengetahuan pemerintah telah memarjinalisasi pengetahuan dan peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Marjinalisasi ini mengakibatkan perempuan mencari jenis pekerjaan diluar pertanian padi sawah lebak untuk pemenuhan pangan keluarga.
5 KONTESTASI DISKURSUS PEMENUHAN KELUARGA PETANI PADI SAWAH LEBAK
PANGAN
Pendahuluan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin didalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (UU Pangan No 18 Tahun 2012). Ketahanan pangan adalah sebuah ide dinamis yang telah mengalami transformasi signifikan dari waktu ke waktu. Pada era tahun 1970an hingga 1990an studi ketahanan pangan menekankan pada level ekonomi makro menyangkut ketersediaan pangan. Kemudian terjadi dinamika dalam memahami ketahanan pangan yang mendorong pergeseran dari paradigm level ekonomi makro menuju level ekonomi mikro. Karena itu, pembangunan berhubungan dengan ekonomi, pertanian dan ketahanan pangan yang difokuskan pada rumah tangga sebagai unit analisis bagi desain, perencanaan, implementasi serta intervensi evaluasi. Fokus pada rumah tangga didasarkan pada asumsi bahwa rumah tangga sebagai unit yang homogen memiliki kesamaan akses untuk mendapatkan pangan, dan sumber daya lainnya, meskipun konsep rumah tangga yang homogen ini banyak dipertanyakan terutama dari aspek empiris dan teoritis (Nanama 2012). Sejumlah konsep detil tentang ketahanan pangan, baik berupa review artikel maupun hasil diskusi konseptual dalam beberapa dekade telah dilakukan sebagai bagian dari diskusi konseptual yang lebih luas, Meskipun dikonstruksikan untuk tujuan yang berbeda, hasil tersebut cenderung mengikuti pola yang sama dari pengembangan konseptual dari tahun 1970an sampai 1990an. Secara umum mereka mengatakan bahwa konsep ketahanan pangan masih bersumber pada tahun 1970an (era global) yang perhatiannya terarah pada menejemen ketersediaan pangan melalui kebijakan pertanian untuk ekonomi makro. Beberapa usaha difokuskan pada ketersediaan pangan sebagai variabel penentu bagi ke(tidak)tahanan pangan. Oleh karena itu isu-isu seperti kelaparan di suatu wilayah diselesaikan dengan menambah sejumlah ketersediaan pangan melalui penyesuaian perdagangan, teknologi, atau bantuan pangan. Praktisi pembangunan dan para donor memperhatikan kegagalan upaya untuk meningkatkan hasil pangan sebagai produk dari ketidakcukupan ketersediaan pangan lokal, aliran bantuan, atau restukturasi pertanian. Karenanya, persoalan kegagalan panen atau kerawanan pangan diataso dengan memberikan pasokan pangan (ketersediaan pangan). Konsep ketahanan tersebut merupakan perluasan konsep ketahanan pangan tahun 1970an sampai 1990an yang memfokuskan pada ketersediaan, ternyata gagal mengidentifikasi hubungan kausal antara keadaan sosial/material kelompok tertentu. Seperti kasus kerawanan pangan yang terjadi di Afrika tahun 1984-1985 yang menyebabkan kelaparan (Maxwell dalam Carr 2005).
Selanjutnya studi kontemporer mencoba menunjukkan sejumlah bukti empiris tentang pentingnya masyarakat dalam hasil pangan, telah mendorong perhatian studi ketahanan pangan memperhatikan masyarakat, pengetahuan dan persepsi lokal, meskipun kurang disertai teori sosial yang bisa memberinya kedalaman dan koherensi cross-contextual. Sementara literatur livelihoods berusaha mempertimbangkan aspek sosial bagi pemenuhan pangan dan hasil penghidupan, namun belum juga menunjukkan sebuah alat sistematis bagi pendekatan masyarakat dalam studi mereka. Literatur kontemporer ketahanan pangan memusatkan peran masyarakat dalam hasil pangan ditelusuri secara induktif dari sebaran strategi livelihoods dan hubungannya pada konteks tertentu Akibatnya literatur ketahanan pangan kontemporer belum diarahkan bagaimana masyarakat dipahami secara produktif bagi kondisi biofisik/ekonomi dalam studi sistematis tentang hasil pangan (Carr 2005). Tulisan Carr (2005) mengidentifikasi sebuah alat pendekatan sistematis untuk memahami faktor-faktor kompleks dan negosiasi aktor yang berhubungan dengan pangan dengan penerapan teori-teori post modernism. Konsep kekuasaan dan pengetahuan digunakan untuk mempelajari peran masyarakat dalam hasil pangan. Dalam mengembangkan pendekatan ini Carr mengikuti saran Lyotard’s bahwa menggunakan teori post modern tidak sebagai yang mengikuti, dan membongkar yang modern, tetapi sebagai suatu langkah menuju tujuan pembaharu dalam hal ini sebuah dunia dengan sedikit kasus kelaparan. Carr memulai dengan review sederhana tentang konsep pembangunan ketahanan pangan dari hasil diskuksi skala global. Review singkatnya menunjukkan bahwa ketahanan pangan telah mengalami evolusi secara konseptual dengan ketidakhadiran sebuah pertimbangan serius dari dinamika sosial. Carr kemudian mempertimbangkan kontribusi potensial teori postmodern dalam pendekatan literatur ketahanan pangan dari beberapa teori untuk memahami masyarakat dan hasil pangan. Mengacu pada aspek teori post modern dari Foucault (1994), tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, Carr menunjukkan sebuah pendekatan baru bagi peran masyarakat dalam hasil pangan. Diskusi hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan dalam masyarakat, membolehkan kreasi dari pendekatan yang sudah umum bagi ketahanan pangan untuk menyelesaikan dua tujuan penting. Pertama, sebuah fokus pada hubungan antara kekuasaan dan masyarakat membolehkan kita mengintegrasikan masyarakat, khususnya persepsi dan pengetahuan lokal, dan kondisi biofisik/ekonomi dalam suatu cara yang keduanya merupakan mata rantai yang menghubungkan antara keadaan sosial material dan strategi matapencaharian. Kedua, dengan memfokuskan pada konteks sosial dimana kekuasaan dibentuk dan diproduksi, pendekatan ini membuat beberapa kompleksitas yang dapat dimengerti dan dibandingkan dengan konteks lain. Carr menyimpulkan dengan sebuah diskusi tentang studi ke depan/mendatang bisa memperluas pendekatan postmodern untuk memahami hasil pangan. Menindaklanjuti pendekatan yang dikemukakan oleh Carr, maka penelitian ini memfokuskan pada diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, terutama bagaimana diskursus pangan diwacanakan dan bagaimana realasinya dengan kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam (in depth interview) dan diskusi kelompok.Sebanyak 11 informan dan 9 keluarga sebagai subyek kasus memberikan informasi tentang pembentukan kuasa pengetahuan perempuan. Informan penelitian ini antara lain: aparat pemerintah (kabupaten, kecamatan dan desa), tokoh masyarakat/agama, pelaku usaha dan keluarga petani padi sawah lebak (sebagai subyek kasus). Data yang dibutuhkan antara lain: program pemerintah terkait ketahanan pangan, pandangan tentang makna ketahanan pangan serta pembentukan kuasa pengetahuan perempuan. Waktu penelitian mulai bulan September 2012 hingga Maret 2013 di desa Ulak Aurstanding di kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Hasil dan Pembahasan Kontestasi pembentukan diskursus pemenuhan pangan keluarga: antara pemerintah, komunitas dan pelaku usaha Pembentukan diskursus pemenuhan pangan para aktor bisa diamati melalui: pembentukan konsep, pembentukan strategi, pembentukan subyek, dan pembentukan objek. Diskursus didefinisikan sebagai pernyataan yang memungkinkan sekelompok tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault, 2002), jenis pernyataan yang memungkinkan sesuatu menjadi muncul, baik berupa habitus, arena maupun benda-benda tertentu (Agusta, 2012). Diskursus ketahanan pangan dalam penelitian ini adalah pengenalan dan penyampaian konsep, pengetahuan tentang pemenuhan pangan melalui cara-cara tertentu, disebarluaskan, mendapatkan reaksi dari pihak lain, terjadi adu argumentasi dan perdebatan kemudian ada yang menang/dominan dan ada yang kalah.Wacana pangan keluarga dalam konteks negara, nilai agama/adat (lokal) komunitas, dan pelaku usaha berbeda sesuai dengan kepentingan mereka masingmasing. Diskursus pemenuhan pangan menurut pemerintah dikenal luas dengan konsep ketahanan pangan, yakni suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU No 18/2012). Keluarga dan komunitas memiliki diskursus pemenuhan pangan dengan konsep yang sederhana yakni cukup makan selama setahun dari hasil panen padi sawah lebak dan lingkungan sekitar serta tidak berhutang. Konsep ini disebut dengan kecukupan pangan. Menurut para informan dan subyek kasus, mereka tidak mengerti konsep ketahanan pangan keluarga. Bagi mereka yang dimaksud ketahanan pangan keluarga adalah cukup makan dalam setahun dan tidak berhutang, sebagaimana penuturan para informan Sainah (55 th) berikut;
“ bagi kami wong dusun ini... idak tahu apo ketahanan pangan...mun caro pikir kami tahan pangan tu iyo pacak makan setahun dari panen kami, atau pacak beli beras.. idak berutang...mun lauk apo, sayur apo..basing baelah ngambek di laut (sungai), rawa apo di pekarangan..ado bae yang pacak dimasak...” Sementara itu, Diskursus pangan menurut pelaku usaha adalah pangan sebagai komoditas ekonomis, menyangkut untung, rugi dan modal. Pelaku usaha memanfaatkan persoalan pemenuhan pangan keluarga melalui produksi padi sawah lebak sebagai pasar untuk menjual sarana produksi pertanian, seperti pupuk, herbisida, pestisida dan alat pertanian. Hasil panen padi menjadi barang ekonomi yang bisa dijualbelikan untuk diambil keuntungan. Masing masing aktor memiliki strategi tersendiri untuk menyampaikan konsep pemenuhan pangan. Konsep ketahanan pangan pemerintah disebarluaskan dan dicapai dengan membentuk strategi; membuat berbagai kebijakan, membuat peraturan dan berbagai program pemerintah. Konsep kecukupan pangan dari keluarga dan komunitas disebarluaskan dan dicapai dengan cara tolong menolong, gotong royong, perasaan senasib sepenangggungan, hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga untuk pemenuhan pangan keluarga. Konsep pemenuhan pangan pelaku usaha yaitu pangan sebagai komoditas ekonomis, (menyangkut untung rugi dan modal) disebarluaskan dan dicapai dengan jalan melakukan simpan pinjam uang/padi, pembelian dan penjualan padi, dan menyewakan lumbung padi. Langkah selanjutnya, masing-masing aktor akan menentukan subyek dan obyek dari diskursus dan konsep yang diusungnya. Pemerintah dalam program ketahanan pangannya menentukan subyek dari program ketahanan pangan (kasus di penelitian ini) adalah rumah tangga, dalam hal ini rumah tangga petani padi sawah lebak. Konsekuensi dari pemilihan subyek ini adalah pemilihan obyek yang dituju yakni kepala rumah tangga petani padi sawah lebak. Berbagai program pemerintah terkait pangan terutama tertuju pada kepala rumah tangga, yang pada umumnya adalah lakilaki. Perempuan menjadi orang kedua yang memperoleh pengetahuan atau program dari suami mereka, atau jika suami sudah meninggal maka perempuan sebagai kepala keluarga bisa menjadi obyek dari program pemerintah. Desa sebagai arena bagi program percontohan pertanian dan program ketahanan pangan lainnya. Aktor keluarga dan komunitas, juga menentukan subyek dan obyek dari diskursus dan konsep kecukupan pangan. Subyek yang ditentukan adalah laki-laki dan perempuan yang bisa dijadikan subyek bagi kecukupan pangan keluarga. Baik laki-laki maupun perempuan menjadi pelaku aktif dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak. Obyek yang dituju dari kecukupan pangan keluarga adalah seluruh anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan dan terutama adalah anak balita. Aktor pelaku usaha menentukan subyek dan obyek dari diskursus dan konsep pemenuhan pangan sebagai komoditas ekonomis, yaitu para petani baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada perbedaan perlakuan dalam transaksi jual beli dan simpan pinjam padi antara perempuan dan laki-laki.
Para aktor berupaya melembagakan dan mengelola diskursus melalui berbagai aturan. Aturan tersebut sengaja diciptakan agar bisa mencapai tujuan. Aktor akan menentukan dan mengatur siapa saja sebagai objek yang hendak dituju. Pemerintah misalnya, untuk melaksanakan program-program pemerintah maka akan membatasi siapa menerima program tersebut. Setelah itu akan dilanjutkan dengan membuat aturan internal dalam bentuk aturan perundangan dan kebijakan tertentu dalam program tersebut. Kemudian untuk mengelola diskursus maka akan ada aturan pengelolaan kekuasaan yakni melakukan penyisihan sosial dengan cara membentuk kelompok tani percontohan dan kelompok tani bukan percontohan, kelompok doktrinal dalam hal ini adalah penyuluh lapang pertanian. Berikut tabel tentang pelembagaan dan pengelolaan diskursus pangan antar aktor. Tabel 16 Pelembagaan dan pengelolaan diskursus pangan antar aktor No.
Aktor
Aturan penyisihan
Aturan internal
1.
Pemerintah
mengatur siapa yang dikenai program, dilibatkan, diberi bantuan dan siapa yang tidak
kebijakan, undangundang, peraturan, program
2.
Komunitas lokal
mengatur jenis pekerjaan yang sebaiknya dilakukan lakilaki dan perempuan,
aturan adat, nilai agama, kebiasaan untuk mengatur pola hubungan dalam keluarga
3.
Pelaku usaha
aturan main dan perjanjian simpan pinjam
prinsip kepercayaan (trust), aturan penyimpanan dan pengambilan padi, harga jual
Aturan pengelolaan kekuasaan melakukan penyisihan sosial dengan membentuk kelompok tani dan bukan kelompok tani, yang diberi bantuan dan yang tidak, menciptakan kelompok doktrinal seperti penyuluh lapangan, badan ketahanan pangan, dinas pertanian ritual atau kebiasaan setelah panen dan sebelum panen, penyisihan antara keluarga mampu dan tidak mampu dalam bentuk tidak mau menerima bantuan. ritual mendatangi sawah yang sedang panen utnuk menjaga agar padi dijual dan disimpan di lumbung ritual mendatangi sawah yang sedang panen utnuk menjaga agar padi dijual dan disimpan di lumbung
Pengelolaan diskursus pangan juga dilakukan dengan proses pendisiplinan. Setiap aktor yang mengusung diskursus berusaha melakukan pendisiplinan diskursusnya dengan mengunakan cara-cara tersendiri. Pendisiplinan oleh para aktor bisa beruapa sangsi sosial (komunitas), reward and punishment (pemerintah), dan boleh tidaknya meminjam uang/barang produksi pertanian (pelaku usaha). Program pemerintah seperti bantuan sarana produksi pertanian hanya diberikan pada kelompok percontohan, jika kelompok ini tidak berhasil maka tahun berikutnya tidak akan
mendapatkan bantuan lagi. Keluarga dan komunitas juga memiliki mekanisme untuk pendisiplinan diskursus pangannya yakni akan memberikan sangsi sosial jika ada warga masyarakat yang tidak mengikuti aturan komunitas. Pendisiplinan merupakan salah satu cara pengaturan internal diskursus. Diskursus pemenuhan pangan pemerintah: maskulinisasi pertanian dan marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Pemerintah memiliki diskursus pemenuhan pangan keluarga yang termanifestasi dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 yang mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki beberapa aspek yaitu; ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan dan kesesuaian pangan (UU Pangan 1996). Undang-undang ini disempurnakan oleh UU no 18 tahun 2012, dimana ketahanan dinyatakan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Diskursus pemenuhan pangan pemerintah merujuk pada definisi ketahanan pangan FAO, dimana definisi ketahanan pangan FAO paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Diskursus pemenuhan pangan pemerintah ditindaklanjuti dengan mengimplementasikannya melalui kebijakan dan program pembangunan dari tingkat pusat hingga daerah. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi diskursus pangan internasional/global (FAO) mempengaruhi kondisi nasional dan berimbas pada kondisi lokal. Sistem pengetahuan pangan global merayah sampai ke tingkat lokal melalui diskursus pangan pemerintah dan praktiknya dalam penerapan Undang-Undang sampai ke tingkat lokal. Setiap propinsi dan kabupetan kota baik yang memiliki wilayah rawan pangan maupun tidak tetap membentuk badan ketahanan pangan. Dari sini terlihat bahwa terjadi proses penyeragaman ini sebagai akibat adanya relasi dengan diskursus global. Secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut:
Diskursus ketahanan pangan (food security) FAO, United Nation
Diskurkus ketahanan pangan pemerintah/Negara (UU No 7 tahun 1996, No 68 tahun 2002, UU No 18/2012) Diskursus ketahanan pangan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten kota
Badan ketahanan pangan pemerintah daerah kabupaten/kota
Pemerintah kecamatan dan desa
SKPG (sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) Koordinasi dengan Dinas: Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Peternakan, PKK, Perindag, Kesehatan
Masyarakat lokal/desa
Gambar 5 Alur proses diskursus ketahanan pangan pemerintah Gambar 5 menunjukkan masyarakat lokal (komunitas petani padi sawah lebak) menjadi obyek dari sebuah diskursus pangan global dan nasional yakni diskursus FAO dan pemerintah. FAO dan pemerintah menjadi kekuatan supralokal yang mengintervensi persoalan pangan di tingkat lokal. Masyarakat lokal telah berpuluhpuluh tahun hidup dengan sistem pangan lokal, menyediakan padi jenis pegagan
sebagai pangan utama, memanfaatkan sumber pangan yang berasal dari lingkungan sekitar dan diversifikasi pekerjaan demi pemenuhan pangan keluarga dihadapkan pada sebuah kekuatan supralokal yang memperkenalkan pengetahuan dan inovasi pertanian melalui penyampaian diskursus pangan. Diskursus ini menyelinap sampai ke komunitas petani padi sawah lebak melalui serangkaian prosedur dan strategi kebijakan, yang diperkuat melalui undang-undang dan peraturan pemerintah. Undang-undang dan peraturan pemerintah ini menjadi alat pemaksa pelaksanaan pertanian di tingkat komunitas petani padi sawah lebak. Komunitas petani padi sawah lebak mau tidak mau, suka maupun tidak suka menerima program pertanian dan berbagai program pemerintah lainnya. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Ogan Ilir menjalankan kebijakan pertanian yang menjadikan Kecamatan Pemulutan Selatan sebagai sentra padi untuk ketahanan pangan di wilayah Sumatera Selatan. Pada titik ini dominasi pemerintah atas komunitas petani padi sawah lebak sangat kuat karena unsur represif melalui aturan dan kebijakan. Strategi pemerintah untuk mendukung diskursus pangan setelah mengeluarkan undang-undang adalah membuat program-program yang berhubungan dengan ketahanan pangan. Program dari pusat (nasional) antara lain: penyediaan cadangan pangan, desa mandiri pangan, program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP). Selain itu pemerintah membentuk tim koordinasi untuk waspada terhadap kondisi rawan pangan dengan program sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG), yang melibatkan dinas dan instansi terkait seperti dinas: Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Peternakan, Perindag, dan Kesehatan. Pemerintah propinsi menindaklanjuti program tersebut dengan melakukan sharing kegiatan APBD1. Selanjutnya pemerintah kabupaten menindaklanjuti dengan sharing kegiatan APBD2. Program ketahanan pangan di tingkat Kabupaten Ogan Ilir pada dasarnya sama dengan program nasional dan propinsi. Perbedaannya program nasional menggunakan dana APBN biasanya berupa bantuan sosial (bansos) dan dalam bentuk bantuan tunai. Sementara sharing program dengan APBD berupa barang yakni bibit, pupuk dan lainnya. Program dari badan ketahanan pangan dan dinas lain yang terkait dengan pangan, memberi dampak terhadap proses pertanian padi sawah lebak. Petani padi sawah lebak diperkenalkan teknik pertanian baru seperti pembibitan menggunakan media apung, menggunakan racun (herbisida) untuk membasmi rumput/gulma sebelum menanam, menggunakan mesin traktor untuk mengolah sawah, menggunakan mesin perontok padi untuk memanen. Proses pengenalan pengetahuan pertanian melalui berbagai program penyuluhan pertanian. Sebagai contoh penyuluhan tentang penggunaan media apung untuk pembenihan padi, penggunaan racun rumput (herbisida), penggunaan pupuk kimia, penggunaan bibit unggul dan cara menggunakan mesin traktor dan perontok padi dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan pertanian. Berbagai program/pengetahuan tersebut diberikan kepada para laki-laki sebagai kepala keluarga petani padi sawah lebak, sementara petani perempuan tidak dilibatkan. Laki-laki mendapatkan penyuluhan pertanian sehingga pengetahuan pertanian (modern) yang diintrodusir pemerintah dinikmati oleh laki-laki. Hal ini karena kepala keluarga menjadi obyek dari program peningkatan produksi pertanian di Desa Ulak Aurstanding.
Pada proses ini terlihat bahwa terjadi ketidakadilan dalam penyampaian pengetahuan dan inovasi baru di bidang pertanian berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki cenderung mampu mengakses pengetahuan dan inovasi karena diperlakukan lebih utama dari pada perempuan oleh kebijakan pemerintah, sementara perempuan tidak memiliki kesempatan. Proses ini melahirkan subordinasi perempuan dalam pertanian padi sawah lebak dimana perempuan dinomorduakan dalam program dan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, pengetahuan dan inovasi baru di bidang pertanian ini telah menggusur pengetahuan lokal dan ketrampilan perempuan petani padi sawah lebak. Pengetahuan dan ketrampilan perempuan tersebut antara lain; pemilihan dan pemilahan bibit, ketrampilan menyiang rumput, ketrampilan memanen padi tinggi (menggunakan ani-ani) diganti dengan memanen padi pendek (menggunakan sabit), pelaksanaan ritual sebelum dan sesudah panen (perempuan memegang peran utama) dan penggunaan teknologi (traktor dan mesin perontok padi) yang menggusur peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Kondisi ini menyebabkan pengetahuan perempuan tidak bisa dipraktikkan yang berarti mengurangi kuasa perempuan dalam pertanian pada sawah lebak (kuasa pengetahuan perempuan dibungkam). Program pemerintah yang semakin memarjinalkan kaum kuasa pengetahuan perempuan dalam pertanian padi sawah lebak sangat terlihat dalam program sekolah lapang pertanian. Petani diminta membentuk kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 25 orang. Anggota kelompok adalah kepala keluarga petani padi sawah lebak, sedangkan mayoritas kepala keluarga petani padi sawah lebak adalah laki-laki. Kondisi ini menutup peluang perempuan untuk bisa mengakses secara langsung pengetahuan melalui kelompok tani dan program sekolah lapang pertanian. Program sekolah lapang pertanian membuat salah satu kelompok tani (yang dibentuk atas dasar instruksi pemerintah) untuk dijadikan percontohan bagi kelompok tani dan petani diluar kelompok tani percontohan. Kelompok percontohan diberi pupuk gratis, bibit gratis dan racun hama untuk mengerjakan sawah mereka. Diharapkan dengan keberhasilan pertanian kelompok percontohan maka kelompok lain akan menirunya. Program ini utamanya dimaksudkan untuk peningkatan produktivitas pertanian dan untuk mewujudkan ketahanan pangan keluarga. Pemerintah mengharapkan melalui terbentuknya kelompok tani percontohan, akan terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman terhadap petani kelompok percontohan kepada kelompok petani yang tidak menjadi kelompok percontohan. Strategi ini ditempuh untuk meningkatkan produksi pangan yang selanjutnya dapat mewujudkan ketahanan pangan di tingkat keluarga petani padi. Peserta kelompok tani adalah kepala keluarga, mayoritas laki-laki, karenanya transfer pengetahuan pertanian lebih banyak dinikmati laki-laki dari pada perempuan. Hal ini seperti disampaikan oleh kepala bidang ketahanan pangan Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan kabupaten Ogan Ilir, bapak Nurman (54 th) sebagai berikut: …kelompok tani…objeknya bapak-bapak, sasaran utama bapak-bapak. Ibu-ibu sebagai pelaksananya…bagi ibu-ibu yang penting beras tersedia..pemanfaatan dan penyediaannya ibu-ibu..kalo di daerah bukan
rawa terdapat program yang dikhususkan untuk ibu-ibu yakni program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Namun karena kondisi di kecamatan Pemulutan Selatan berupa rawa, tidak memungkinkan adanya program tersebut… Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh ibu Dyah (50 th) kepala bidang pertanian tanaman pangan dan hortikultura Dinas Pertanian kabupaten Ogan Ilir berikut: …untuk kasus sawah lebak…kelompok tani dominan bapakbapak..perempuan tidak menonjol..peran perempuan menanam, menyiang rumput dan panen.. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa inovasi baru di bidang pertanian, lebih di akses laki-laki dibanding perempuan karena berbagai program pemerintah menjadikan laki-laki sebagai objek utama. Hal ini mengakibatkan peran perempuan dalam pertanian padi sawah lebak terpinggirkan bahkan tergusur. Berbagai program pemerintah terkait pertanian padi sawah lebak menunjuk pada proses maskulinisasi pertanian dan cenderung memarjinalkan petani perempuan. Pertanian padi sawah lebak, saat ini berwajah laki-laki karena dominasi peran mereka dalam pelaksanaan pengelolaan sawah lebak. Diskursus pemenuhan pangan keluarga dan komunitas: kuasa pengetahuan perempuan sebagai penjaga pangan keluarga Diskursus pemenuhan pangan keluarga dan komunitas intinya kecukupan pangan bagi keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak. Berbeda dengan konsep ketahanan pangan pemerintah, ketahanan pangan keluarga di komunitas petani padi sawah lebak merupakan kondisi terpenuhinya pangan keluarga melalui sumbersumber pangan yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak memiliki strategi tersendiri dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Strateginya antara lain menjaga rasa saling tolong menolong diantara tetangga dekat, karena merasa senasib sepenanggungan. Pada saat ada keluarga tidak mampu, memerlukan uang untuk kebutuhan pangan, maka tetangga dekat memberi pinjaman. Pinjaman tersebut dibayar dengan tenaga pada saat musim tanam dan panen. Saling tolong menolong juga menjadi mekanisme bagi penyelesaian persoalan pangan pada komunitas ini. Seperti penuturan seorang subyek kasus, Taruna (38 th) bahwa meskipun ia janda hidup sendirian karena tidak memiliki anak tetapi tetangganya memberi pinjaman uang saat ia membutuhkan untuk membeli beras dan kebutuhan makan lainnya. Pada saat musim tanam dan panen tiba maka ia akan membayar hutang tersebut dengan tenaga yang dimilikinya.
…kalu dak katik beras..aku ni pinjem tetanggo yang punyo..kagek kalu musim panen aku melok untuk mbayar utang…musim tanam jugo melok..mak itu seterusnyo… Selain itu bantuan beras miskin dari pemerintah disalurkan bagi keluarga kurang mampu dengan mekanisme bahwa berhubung mayoritas keluarga di desa Ulak aurstanding termasuk keluarga miskin, maka bagi keluarga yang memerlukan dipersilahkan mengambil jatah beras miskin. Bagi keluarga yang merasa mampu mereka tidak akan mengambil beras yang dijatahkan bagi keluarga miskin tersebut. Terdapat perasaan malu jika masih memiliki cadangan beras tetapi mengambil beras miskin. Berikut informasi dari seorang tokoh masyarakat ; “…beras miskin, dibagikan galo ke seluruh keluarga di sikak, olehnyo masyarakat sini tergolong miskin galo…lagi pulo biar idak ado kecemburuan…tapi yo..ado jugo uwong dak galak ngambiknyo..karno dio malu..olehnyo lebih mampu dari yang lain… Solidaritas sosial dan toleransi dalam komunitas petani padi sawah lebak menjadi senjata untuk mensikapi berbagai intervensi supralokal (program pemerintah) yang masuk ke komunitas. Diantaranya ketika beras miskin digulirkan maka pengaturan pembagiannya mengikuti mekanisme komunitas lokal. Mekanisme yang dijalankan yakni membagikan beras (raskin) kepada seluruh penduduk desa. Warga desa yang merasa memerlukan akan mengambil bagian bagian beras (raskin) dan yang merasa mampu maka akan malu jika mengambil beras miskin tersebut. Tidak hanya beras miskin tetapi juga program pertanian sekolah lapang, dimana terdapat bantuan pada kelompok percontohan berupa bibit, pupuk, herbisida dan insektisida yang seharusnya diterapkan untuk pertanian padi di kelompok pertanian percontohan, justru dibagikan kepada petani di kelompok lain dengan alasan kebersamaan dan solidaritas. Keluarga luas masih memberi peran bagi terpenuhinya kebutuhan pangan keluarga miskin. Pada saat salah satu keluarga tidak memiliki uang sama sekali untuk makan, sementara keluarga tersebut sudah banyak berhutang kepada tetangga dekat, maka mereka pergi kepada sanak saudara untuk meminjam bantuan. Bantuan dari sanak saudara ini biasanya bukan dalam bentuk hutang tetapi pemberian. Sanak kerabat melakukan gotong royong membantu keluarga yang kurang mampu. Kondisi ini membuat keluarga tidak mampu masih bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. Seperti yang diungkapkan oleh informan Taruna (38 th) berikut: Pengeluaran kami ni sehari limo ribu..itu di luar beras, kalo dak katek duit samo sekali..kami minjem tetanggo..mun la sering minjem.. kemaluan kami pergi ke sanak kami di daerah jalur..kami ni bayar utang ke tetanggo kalo ado pemberian dari saudara.. Hal ini menunjukkan di tingkat komunitas terdapat mekanisme yang memungkinkan keluarga kurang mampu tetap bisa makan sehari-hari; dari kedermawanan saudara dekat maupun saudara yang tinggal jauh dari tempat tinggal
mereka. Secara lebih jelas strategi keluarga dan komunitas untuk mencapai kecukupan pangan dapat dilihat pada bagan berikut:
Pemenuhan pangan keluarga
Kegiatan on farm
Macak-macak, nugal, menanam, meracun rumput,
Kegiatan off farm
Kerja bangunan, buruh di pertambangan, buruh di perkebunan karet dan sawit, buruh tani di daerah pertanian, bergabung di kelompok musik, mencari ikan
Mensiasati program pemerintah
Bantuan beras miskin Bantuan pertanian
Tolong menolong antar tetangga Perasaan senasib sepenanggungan Bantuan sanak saudara Pertolongan untuk yang kurang mampu/miskin Tukar informasi pekerjaan, menerima tenaga kerja tetangga sekitar Gambar 6 Strategi keluarga dan komunitas untuk pemenuhan pangan Strategi komunitas dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, bukan merupakan strategi yang bersifat sesaat dan didesain untuk keperluan tertentu, tetapi bersumber pada proses sosial yang panjang. Secara turun temurun masyarakat melakukan kegiatan pertanian padi sawah lebak untuk dan mengembangkan pola nafkah di luar pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Berdasarkan temuan data, sudah sejak lama hingga saat ini, mereka mengembangkan sikap saling tolong menolong dan saling tukar informasi pekerjaan.
Secara sosiologis, proses sosial yang terjadi adalah pada saat realitas kebutuhan pangan perlu dicukupi, maka terjadi proses eksternalisasi yakni adanya pencurahan kedirian manusia ke dalam dunia baik fisik maupun mental untuk memenuhi pangan keluarga. Berbagai cara dilakukan baik secara fisik (pelibatan diri dalam kerja) maupun secara mental (mengembangkan dan mengaplikasikan pengetahuan) supaya pangan keluarga tecukupi. Setelah proses ini berlangsung maka akan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini terjadi karena adanya proses internalisasi yakni pembiasaan (habitualisasi) penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Pada saat penerimaan definisi situasi ini individu akan menafsirkan melalui aras subjektifnya dan disini pengetahuan bekerja dan diarahkan oleh kekuasaan, disiplin, norma dan institusi yang melingkupinya. Makna ketahanan pangan bagi keluarga dan komunitas menjadi pemenuhan pangan keluarga selama setahun, tidak berhutang, memanfaatkan sumber-sumber pangan yang berasal dari lingkungan sekitar, melibatkan strategi toleransi dan solidaritas sosial masyarakat. Konsep ini lebih dekat dengan konsep kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas dan negara untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh masyarakat. Keluarga dan komunitas memiliki hak dan strategi sendiri bagi pemenuhan pangan keluarga dengan berbasis lingkungan sekitar serta toleransi dan solidaritas sosial masyarakat. Pemenuhan pangan keluarga dalam komunitas petani padi sawah lebak melibatkan peran perempuan. Persoalan jenis masakan, mengolah makanan dan pembagikan makanan dalam keluarga menjadi urusan perempuan. Selain pangan dalam lingkup keluarga, perempuan terlibat pada aspek ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Kuasa pengetahuan perempuan di dalam keluarga petani padi sawah lebak dalam hal ketersediaan pangan keluarga antara lain pengetahuan bercocok tanam di sawah lebak, meskipun secara signifikan peran mereka terpinggirkan namun masih memiliki beberapa jenis pekerjaan dalam proses pertanian padi sawah lebak, seperti membersihkan rumput di sawah lebak sebelum ditanami padi dan menjemur padi pada saat panen. Berkurangnya peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak membuat mereka mengembangkan ide, berkreasi dengan bercocok tanam di sekitar pekarangan rumah. Mereka menanam sayuran, cabe dan kacang tanah di lahan yang kosong dan bisa dimanfaatkan. Tujuannya bukan untuk dijualbelikan, untuk memenuhi kebutuhan pasar global, namun lebih ditujukan untuk pemenuhan pangan keluarga. Pengetahuan bercocok tanam disosialisasikan secara turun temurun dalam keluarga petani sawah lebak. Sosialisasi merupakan proses penanaman dan transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu kelompok atau masyarakat. Sosialisasi bisa dilakukan oleh siapa saja terhadap siapa saja, termasuk dirinya sendiri untuk memastikan, meyakinkan, merealisasikan hubungan yang konsisten antara peran dan status (Lawang 2005). Sosialisasi yang dilakukan dalam keluarga inti termasuk jenis sosialisasi primer yakni sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota keluarga. Sementara sosialisasi yang dilakukan oleh keluarga luas termasuk sosialisasi sekunder
yakni proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok atau masyarakat. Semenjak anak usia sekolah dasar sudah dikenalkan praktik bercocok tanam seperti menyiram tanaman disekitar pekarangan dan menyemai benih padi. Seorang informan (subyek kasus) memiliki tiga orang anak, (anak pertama sudah putus sekolah berusia 17 tahun, anak kedua berusia 15 tahun kelas 3 MTs dan anak ketiga beusia 9 tahun kelas 3 SD, mengatakan seluruh anaknya terlibat dalam proses pengerjaan sawah. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya upah jika menyuruh orang lain mengerjakannya. Berikut penuturan subyek kasus (Taruna, 38 th): “ayuk ajak anak ke sawah sejak mereka kecik biar pacak betanam..olehnyo kami ni makan dari sawah tu lah..jadi yo harus biso begawe di sawah..anak paling kecik sering kusuruh angkat banyu dari sungai untuk nugal bibit padi...yang lain jugo melok begawe..kalu nyuruh wong biso mabuk mbayarnyo...anak yang paling besak malah lah pacak jadi buruh tempat wong..mun ado panen galak diajak ikut.. dapat upah sebagian dienjukken umaknyo sebagian untuk dio dewek tu” (saya mengajak anak bekerja di sawah sejak mereka kecil agar bisa menanam karena kami mendapatkan makan dari hasil sawah..maka anak-anak harus bisa bekerja di sawah..anak saya yang paling kecil saya suruh membantu mengambil air sungai untuk menyirami bibit padi dan anak yang lain juga ikut mengerjakan.jika harus mengupah orang lain untuk pekerjaan ini saya tidak bisa membayar upahnya. Anak saya yang paling besar sering diajak orang untuk membantu mengerjakan sawah dengan diupah harian. Sebagian upah diberika kepada saya dan sebagaian untuk dirinya sendiri..) Kuasa pengetahuan perempuan dalam ketersediaan pangan keluarga sangat jelas terlihat ketika perempuan terlibat dalam mencari sumber-sumber pangan di rawa lebak. Perempuan sering mengajak anak mereka baik laki-laki maupun perempuan untuk mencari bahan pangan dari rawa lebak seperti keong rawa, kangkung, genjer, buah telepuk dan berbagai jenis ikan seperti ikan sepat, patin, lais, gabus, ruan, betok dan lainnya. Seorang informan (subyek kasus) penelitian menjelaskan bahwa ia memperoleh pengetahuan jenis-jenis pangan dari rawa lebak yang bisa dikonsumsi dari orang tuanya. Berikut penuturan Jasiyah (50 th): “Kami ni ngumpulke keong...telepuk...apo be yang pacak kami masak...iyolah di kasih tau samo wong tuo kami dulu. Mun keong kadang kami masak untuk lauk makan nasi... selebihnyo pacak untuk pakan itik..dicampur siso makanan. Itik galak pulo buah telepuk yang lah diirisiris..” (kami mengumpulkan keong...buah telepuk...apa saja yang bisa kami masak..kami diberi tahu oleh orang tua kami. Keong dimasak untuk lauk
nasi...selebihnya bisa dimanfaatkan untuk memberi makan itik dengan dicampur sisa makanan dan irisan buah telepuk) Kuasa pengetahuan mencari sumber pangan yang berasal dari lingkungan sekitar ini disosialisasikan melalui kehidupan sehari-hari dalam keluarga sekaligus dipraktikkan untuk pemenuhan pangan keluarga. Sosialiasi dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang jenis-jenis pangan yang bisa diambil, memberikan contoh dengan mengikutsertakan dalam mengambil jenis pangan tersebut dan menyuruh mengambil sendiri jenis pangan di rawa lebak. Oleh karenanya para anggota keluarga telah memahami jenis-jenis pangan dari rawa lebak yang bisa digunakan untuk pemenuhan ketersediaan pangan keluarga. Selain itu, keluarga petani padi sawah lebak juga menanam berbagai jenis sayuran untuk ketersediaan pangan keluarga. Berbagai jenis tanaman dimanfaatkan sebagai sayuran seperti diungkapkan Maimuna (50 th) berikut: “Ade nanam misalnye taruk ubi nanam, ibaratnye bayam ni nah nanam kami, labu putih ade, jadi kalu itu dak beli kami, kates ade. Kalu nak beli tu kubis, beli orang beraye” (Sayuran ubi kayu, bayam, labu putih menanam sendiri jadi tidak beli untuk dimasak. Kalau sayuran yang beli misalkan kubis, beli dengan orang yang jual keliling) “Kami ni iwak nyari, sayuran ngabek daun ubi, kangkung, kadang nanam kacang, ngambek jantung pisang. Men beras beli tulah, mentapinye sayur dak katek duit dak beli”. (Kami disini biasanya mencari ikan untuk lauk, sayuran mengambil daun ubi, kangkung, kadang kacang panjang, jantung pisang, sayuran itu tidak membeli. Tapi beras kalau dalam keadaan gagal panen harus membeli) Ketersediaan pangan keluarga juga dipenuhi dari usaha perempuan memelihara hewan piaraan seperti ayam, itik, kambing maupun sapi. Binatang ternak ini sangat bermanfaat bagi ketersediaan pangan terutama lauk untuk makan nasi. Selain itu hasil ternak juga dijual untuk mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan pangan lainnya seperti kopi, gula dan bahan pangan yang tidak bisa diperoleh di alam sekitar mereka. Berikut penuturan Zainuna (50 th): “...Kami tu idak jual bebek, tapi make bae sampe nelokkan jadi jual teloknyo bae. Teloknyo dijual tengah duo ribu. Tiap malem betelok bebek tu, kadang 8, kadang 9 teloknyo. Kadang lebih dari makan, ghuleh 50 ikok seminggunye, kadang 45 seminggu” (...Kami hanya memelihara bebek untuk diambil telornya. Harga telor Rp. 1.500,- per butir. Setiap malam bebek bertelor 8 sampai 9 butir, dijual
setiap minggu. Biasnya lebih dari konsumsi pribadi sekitar 45 sampai 50 butir dijual kepasar setiap minggunya) Kuasa pengetahuan perempuan dalam akses pangan untuk pemenuhan pangan keluarga juga terlihat dari pekerjaan yang menghasilkan uang seperti buruh menyiang ikan dan menjadi buruh harian di sawah. Dari pekerjaan tersebut perempuan memeroleh uang untuk dibelikan kebutuhan bahan pangan keluarga (mengakses pangan). Berikut pengakuan Jasiyah (50 th); “Ngambek upahan pule, kalu ade urang ngaret aku ni keume pule, sehari due puluh lime. Kalu dapat duit tu beli beras, hasil belum panen. Anu iwaknye kadang itu nyari, sayur kadang katek jauh dari pasar” (Saya juga bekerja upahan, kalau ada tetangga yang mau mengupah di sawah. Sehari dibayar 25 ribu. Dapat uang dibelikan beras, karena panen masih lama. Untuk lauk makan biasanya ikan bisa cari sendiri, kalau sayuran jarang karena disini jauh dari pasar) “Upah nyiangi ikan tadi 500 sekilu, ame dapat 10 kg ge 5000. Iwak untuk buat kemplang, kami nyianginye 500 sekilu, kalu kami dak gotong royong buat atap ni kami nyiangi ikan, ade yang nenun”. (Upah membersihkan ikan 500 rupiah/kg. Ikan tersebut untuk bahan membuat kemplang/kerupuk. Hari ini karena ada gotong royong kami tidak ikut upahan membersihkan ikan) Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dalam hal pemanfaatan pangan meliputi pemanfaatan pangan untuk konsumsi sehari-hari, pengolahan pangan untuk mengawetkan pangan, dan membuat jenis makanan yang bisa dijual belikan. Makanan untuk konsumsi sehari-hari antara lain nasi, sayur dan lauk. Memasak nasi atau menanak nasi merupakan kegiatan yang umum dilakukan perempuan dan anak perempuan. Seorang informan (subyek kasus) menjelaskan bahwa ia mengajari anak perempuan memasak nasi semenjak kelas empat SD. Hal ini dilakukan agar anak perempuannya bisa memasak nasi sebagai pangan pokok keluarga. Berikut penuturan Maimuna (50 th): “Anak biso masak pacak sendiri, sudah lamo masak tiap hari. Kami ni kicik maini sudah disuruh masak dewek, sejak kelas empat. Kami didusun ni katek yang bantu jadi anak tula yang masak” (Anak bisa masak sejak lama, tidak diajari tapi bisa masak sendiri. Orang disini sejak kecil dari kelas 4 sd sudah disuruh masak. Karena orang disini tidak ada yang membentu jadi anak yang disuruh masak)
“Masak nasik tula kami ni, lauk nye macem-macem, yang masak pagi-pagi aku kalu malam anak aku yang SMP tadi kalu die balik sekulah. Kalu makan anak aku yang sekolah tadi yang didulukan. Yang nak kesawah bujang tadi ndulu makan” (Biasanya kami masak nasi, jenis lauknya tidak tentu. Yang masak pagi saya, kalau malam anak perempuan yang SMP. Makan yang didahulukan anak-anak yang sekolah, dan anak yang mau kesawah juga didahulukan) Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dalam pengolahan pangan terlihat dari kemampuan mengolah bahan ikan menjadi makanan seperti empek-empek, tekwan, model, kemplang. Selain itu untuk mengolah ikan agar bisa bertahan lama, permpuan membuatnya menjadi ikan asin, ikan sale dan ikan asap. Melimpahnya jumlah ikan pada musim air pasang memungkinkan keluarga petani mengolah berbagai produk berbahan ikan. Kuasa pengetahuan perempuan bukan hanya diaplikasikan pada keluarga tetapi juga berkontribusi bagi keberlangsungan pangan di tingkat komunitas. Pada level komunitas perempuan memiliki peran yang sangat dominan terutama pada acara hajatan (baik acara pernikahan, sunatan, sedekah dan syukuran). Kuasa pengetahuan di dalam komunitas ditentukan oleh proses kehidupan, proses berkarya, dalam percakapan sehari-hari maupun pengetahuan berdasarkan peristiwa dalam komunitas. Pada aspek ketersediaan pangan di dalam komunitas perempuan menjadi agen bagi transfer pengetahuan secara turun temurun, bagaimana bahan pangan bisa didapatkan dari alam di sekitarnya, bahan makanan yang bisa dijadikan pangan keluarga melalui, sosialisasi di dalam keluarga. Seorang informan tokoh adat pak Jamali (63 th) menjelaskan perempuan terlibat dalam ketersediaan pangan keluarga dengan mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa lebak sebagaimana kutipan berikut: “Sekitar bulan 2-3 banyu jero, dieni dak pacak betanam, jadi cari ikan, sebab disini besawah sekali setaun, besawah sudah itu cari ikan. Ado ibu yang galak masang jaraing, kadang-kadang itu idak bapaknyo bae” (Sekitar bulan 2-3 air pasang, petani tidak bisa mengolah lahan, jadi mereka mencari ikan. Ada juga ibu-ibu yang mencari ikan, masang jaring, kadang-kadang bersama dengan bapaknya juga) “Macam-macam ikan, nangkap biasenye ade jaring, jele, penggilar, ade empang, musim air besar nangkap ikan, sudah ketam ni air datang sampai bekering” (Macam-macam ikan yang didapat, biasanya menggunakan jaring, penggilar, jala, bubu. Masyarakat disini kalau musim air besar menanggkap ikan sampai saat kering dan musim tanam tiba) “Ikan tu dapat dijual, kalu musim banyak-banyak, kalu gabus 20an regennye, musim cari ikan bulan 1-bulan 6, enam bulannye kering nanam, paling lebung, sungai”
(Ikan yang didapat biasanya dijual kalau musim banyak, ikan gabus biasanya dengan harga 20 ribu. Musim tangkap ikan dari bulan 1 – bulan 6, enam bulan setelahnya kering, tetapi ikan masih ada disungai dan lebung) Perempuan masih terlibat (meskipun banyak peran tergusur oleh teknologi dan inovasi pertanian) di dalam komunitas petani sawah lebak, dalam hal bercocok tanam untuk ketersediaan pangan keluarga. Mereka turut ambil bagian dalam pengolahan sawah lebak meskipun tanggung jawab utama bagi pengolahan sawah adalah laki-laki. Berikut penuturan Alwi (66 th): “Yang ngolah sawah ibu-ibu juga mekot, macem-macem pembersihan sawah,caro kami disini caro melulun (membersihkan sawah),tapi mak ini lah lemak bersihke sawah, sebab semprot rumput, matek,,racun rumput,kito gawekenyo sehat idak payah,biaya racun rumput tuk 2 hektar itu 10 liter cukup,,seliter Rp. 40.000, jadi Rp. 400.000,,yang ngeracun kito sendiri” (ibu-ibu juga ikut mengerjakan sawah...bermacam-macam pekerjaan sawah, melulu (membersihkan sawah dari rumput sisa air pasang), tapi sekarang sudah enak karena ada racun rumput sehingga pekerjaanya tidak terlalu payah...) Pada aspek akses terhadap pangan, kuasa pengetahuan perempuan di dalam komunitas termanifestasi melalui kelompok usaha bersama (KUBE) menenun songket. Usaha songket telah memberikan peluang bagi perempuan untuk bisa mengakses pekerjaan. Perempuan bekerja menenun songket untuk mendapatkan uang demi pemenuhan pangan keluarga. Pengetahuan menenun songket ini diperoleh dari teman, keluarga juga oleh kelompok usaha bersama dengan bantuan pemerintah. Jadi pengetahuan akses pekerjaan menenun songket ini merupakan pengetahuan yang berasal dari komunitas dan juga pemerintah, seperti penuturan informan Jamali (63 th) dan Alwi (66 th) berikut ini: “Masuk tenun paling tahun 90-an, ade dari pemerintah tulah, ade dari jauh yang merantau die balik, umpame die balik dari nenun upahan mintan bahan dengan tubuh, jadi nenun dari sini. sesudahnye balik dusun” (Masuknya kerajinan tenun sekitar tahun 1990-an, dari pelatihan pemerintah, ada yang balajar dari tempat lain (sanak keluarga), membeli bahan kemudian menenun didesa) “Tapi lak adu bantuan pemerintah 6 juta, untuk urang nenun tadi, itu proposal asenye, itu turun. Kalu baru tenunnye sejuta nik beli alat, untuk modal. dieni setengah bulan bejual. siape yang nunggak dicabut. ame aku dengar sejuta setangah nik beli alat tu (Alwi). Jadi kalo dak salah bayar nyetor seratus limo puluh, bararti sepuluh bulan, dak mungkin paling 12 bulan, nik bayar pengurus. nik banyak didusun tige”
(Tapi sekarang sudah ada bantuan dari pemerintah 6 juta, untuk orang menenun. Untuk yang baru belajar menenun 1,5 juta untuk bantuan modal membeli alat, tiap satu bulan harus mengangsur 150 ribu, (Alwi: 66). Kuasa pengetahuan perempuan dalam pemanfaatan pangan di komunitas petani padi sawah lebak, terlihat pada berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh PKK desa Ulak Aurstanding. Berbagai kegiatan pengolahan pangan dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan perempuan dalam diversifikasi pengolahan makanan. Menurut ketua PKK, kegiatan penyuluhan dan praktik pengolahan pangan berbasis bahan pangan lokal diolah menjadi beberapa jenis makanan, misalnya labu diolah menjadi kue, singkong diolah menjadi keripik dan lainnya. Pengetahuan pengolahan pangan juga diperoleh dari para tetangga dekat, yang biasanya membicarakan menu masakan apa yang diolah sehari-hari. Berdasarkan perbincangan ini mereka mendapatkan pengetahuan baru tentang cara mengolah masakan dan penggunaan bumbu tertentu. Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dalam pemanfaatan pangan lainnya adalah pengetahuan penyimpanan pangan. Pengetahuan menyimpan padi dan memilih padi untuk dijadikan benih merupakan pengetahuan yang diperoleh perempuan secara turun temurun baik di dalam keluarga maupun di tingkat komunitas. Setelah panen padi tiba, masyakat segera mengelola padi untuk kebutuhan konsumsi dan sebagian dijual. Para perempuan berusaha menyimpan padi dan atau beras untuk bisa dikonsumsi selama setahun. Biasanya mereka menjemur padi terlebih dahulu hingga kering setelah itu disimpan dalam karung yang bersih dan dimasukkan dalam bilik-bilik khusus menyimpan padi atau ke dalam kotak dari kayu ukuran besar. Namun jarang petani padi sawah lebak memiliki kotak kayu penyimpan padi kecuali para petani yang tergolong kaya. Berikut penuturan Makori (30 th) tentang penyimpanan padi untuk ketersediaan pangan selama setahun: “Dijual dalam bentuk padi, tige sembilan sekaleng, ade ninggali makan. Ninggali paling lime puluh, ukuran setaun. Walaupun kurang dak banyak, lime puluh itu cukup,...” (Padi setelah panen biasanya dijual dalam bentuk padi. Selait itu ada juga yang disimpan untuk kebutuhan pangan selama setahun, sekitar 50 kaleng. Kalaupun kurang tidak banyak, 50 kaleng biasanya cukup) Kuasa pengetahuan perempuan dalam pengolahan ikan pada level komunitas terlihat saat mengolah ikan bersama para tetangga dan kerabat. Mereka terbiasa mengolah ikan menjadi berbagai produk seperti empek-empek, tekwan, model, kemplang, ikan asin, ikan sale, ikan asap dan kerupuk. Pengetahuan mengolah produk tersebut sudah menjadi penngetahuan umum yang dimiliki komunitas petani padi sawah lebak. Berikut penuturan informan subyek kasus Indayani (42 th) yang berjualan model di warung kelontongnya:
“ kami betino di dusun ni pacak galo mbikin model mak ini..iyolah dinjuk tau samo wong tuo, tetanggo pacak galo...kalo ada hajatan kami sering bikin makanan cak ini...makanan sinilah..” (kami para perempuan di dusun ini bisa memasak model seperti ini..pengetahuan memasak diberi tahu oleh orang tua, selain itu para tetangga ...semua juga bisa membuat makanan ini. Jika ada hajatan kami sering memasak makanan ini sebagai makanan asli sini)
Kuasa pengetahuan perempuan yang begitu besar dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak sebagaimana dijelaskan di atas, disosialisasikan oleh keluarga dan komunitas sebagai upaya menjaga terpenuhinya pangan keluarga. Perempuan dikonstruksikan secara sosial sebagai penjaga pangan keluarga terutama pada saat laki-laki bermigrasi untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Pada saat para laki-laki tidak berada di rumah untuk kurun waktu 3-6 bulan, perempuan mengelola pangan keluarga mulai dari menyediakan bahan pangan, mengolah dan mengatur terpenuhi pangan keluarga. Karenanya kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga petani padi sawah lebak menjadi penjaga pangan bagi keluarga. Diskursus pemenuhan pangan pelaku usaha: laki-laki dan perempuan sebagai target pasar Diskursus pangan pelaku usaha adalah pangan sebagai komoditas ekonomis. Dalam banyak kasus mereka mendapatkan keuntungan diantaranya; dalam penyediaan sarana produksi pertanian, penampungan beras/padi, pembelian dan penjualan padi/beras, dan sebagai mitra pemerintah daerah dalam program ketahanan pangan. Berdasarkan penuturan informan (pelaku usaha), dalam rangka pemenuhan pangan keluarga di komunitas petani sawah lebak, mereka berperan sebagai penampung dengan meyediakan tempat penyimpanan padi (lumbung), pembeli gabah, menyediakan penggilingan padi serta memberikan pinjaman uang untuk membeli sarana produksi pertanian. Strategi yang dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip menjaga kepercayaan. Pelaku usaha percaya bahwa petani akan membayar hutang mereka setelah panen tiba. Kepercayaan pelaku usaha ini ditepati oleh petani dengan membayar hutang dengan hasil panen. Kepercayaan (trust), menjadi salah satu modal sosial dalam menjalin hubungan sosial. Inti kepercayaan antar manusia ada tiga hal yang saling terkait (Lawang 2005). 1) hubungan sosial antara dua orang atau lebih, 2) harapan yang terkandung dalam hubungan yang jika direlaisasikan tidak merugikan kedua belah pihak, 3 )interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Pelaku usaha menerapkan prinsip saling tolong menolong disamping menerapkan prinsip kepercayaan. Menurut informan, petani ditolong pelaku usaha dalam bentuk pinjaman uang dan petani menolong pelaku usaha dalam bentuk menjual padi kepada mereka.
Pelaku usaha membentuk jaringan dengan pedagang beras di Palembang. Menurut mereka, jaringan ini penting untuk memasarkan beras agar sudah ada kepastian penerima/penampung beras mereka. oleh karena jaringan dan kepercayaan ‘bos palembang’—demikian pelaku usaha menyebut—tidak jarang mereka mendapatkan pinjaman modal untuk membeli padi petani. Jaringan yang dibangun pelaku usaha memiliki fungsi akses, yakni dengan adanya jaringan, memberikan kesempatan pada mereka untuk penyediaan barang (beras). Berikut bagan strategi pelaku usaha dalam diskursus pangan;
Pemenuhan pangan
Sarana produksi pertanian
Pupuk Racun hama Racun rumput Alat-alat pertanian
Lumbung padi (penyimpanan padi)
Menyimpan padi, menjual, membeli
Petani memiliki ketergantungan
Gambar 7 Strategi Pelaku Usaha
Menjual beras
Penggilingan padi
Menerima penggilingan padi dari petani dan menggiling untuk menjual beras ke kota ( Palembang dan sekitarnya)
Menjual beras
Aliran: barang, modal, pasar
Pada aspek ketersediaan pangan keluarga, pelaku usaha memberikan layanan untuk membeli beras di lumbung padi milik mereka. Lumbung padi dibangun di atas tanah yang relatif lebih tinggi dibanding jalan sehingga pada saat musim air pasang, bangunan ini tidak akan terendam air. Lumbung padi dibangun permanen dengan lantai dicor semen sehingga bisa digunakan untuk menyimpan padi para petani. Hal ini berbeda dengan kondisi umum rumah penduduk desa yang berupa panggung dengan dinding kayu, lantai juga kayu serta atap dari daun. Pada musim air pasang rumah panggung ini sering mengalami kebanjiran sehingga banyak petani mencari aman menyimpan padi di lumbung pelaku usaha. Pengetahuan dan informasi penyimpanan padi yang relatif aman jika dibanding disimpan dirumah petani ini sudah menjadi pengetahuan umum di desa ini dan banyak petani yang mempraktikkannya. Seperti penuturan pak Sukadi (60 th) pemilik lumbung padi, tengkulak padi berikut ini: “petani sini galak nyimpan padi di bapak...olehnyo takut banyu besak rumah mereka rubuh..mereka ngambek beras mingguan...biasanyo hari sabtu ambek 2 kaleng ado yang sekaleng tergantung jumlah wong di rumahnyo... ...jadi petani menyimpan di lumbung bapak.. biar rumah mereka tidak rubuh...kalo air naik petani takut rumah mereka rubuh laju dititipke bapak...hubungan kami ni..cak ini..kami nulung petani..petani nulung pedagang..saling betulungan... Hubungan antara petani dan pelaku usaha terjalin karena mereka saling membutuhkan. Pelaku usaha memerlukan padi milik para petani untuk dibeli dan kemudian dijual ke Palembang, sementara para petani memerlukan pelaku usaha untuk membeli hasil panen mereka, menampung simpanan padi di lumbung serta tempat meminjam uang dan beras ketika membutuhkan. Hubungan ini sekilas merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme), namun jika dicermati keuntungan lebih banyak diterima oleh pedagang/pelaku usaha. Mereka bisa memutar padi petani menjadi uang. Pada saat panen tiba, petani menjual gabah dan menyimpan gabah kepada pedagang. Pelaku usaha/pedagang membeli gabah petani dengan uang milik sendiri maupun pinjaman dari pengepul beras di Palembang, kemudian menggilingnya menjadi beras untuk dijual ke pengepul. Dari sini pedagang memperoleh selisih harga beli dan jual (keuntungan), padahal beras yang dijual pada dasarnya sebagian adalah milik petani yang dititipkan. Pada saat musim tanam, dimana petani cenderung mengambil beras simpananya, pedagang akan membeli beras kepada tengkulak di Palembang jika persediaan di lumbung menipis. Dalam hal ini pedagang mendapat keuntungan selisih harga beli dan jual kepada petani. Berikut pengakuan pelaku usaha padi, Sukadi (60 th): “ bapak ni dapat untung dari selisih hargo dari petani ke tengkulak Plembang ...dari tengkulak Plembang ke petani. Dapatlah dikit-dikit cukup untuk makan samo biayo anak sekolah..keuntungan dak pulo banyak olehnyo bapak jugo mbayar tenago yang jemur...yang nggiling...yang
ambil padi dari petani...gajian mereka tu tiap mingguan..kadang belum seminggu lah ngambik karno ado keperluan...cak itulah..” Pelaku usaha memberikan kebebasan baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk menjual maupun membeli padi dan beras ke lumbung mereka. Transaksi penjualan dan pembelian pada atau beras di lumbung mereka tidak membedakan jenis kelamin, semua akan dilayani. Berikut pernyataan pelaku usaha, Sukadi (60 th): ...bagi kami ni, idak lanang idak betino boleh galo nak jual apo beli padi, beras..., biasanyo jual gabah wong lanang tulah, mun beli beras kadang lanang kadang betino… Pada aspek akses terhadap kredit, pelaku usaha memberikan pinjaman uang untuk membeli sarana produksi pertanian. Jumlah pinjaman tersebut disesuaikan dengan kemampuan petani, biasanya pelaku usaha mengukur kemampuan membayar berdasarkan jumlah panen padi yang biasa dihasilkan tiap kali panen. Pertarungan diskursus pangan pemerintah versus komunitas dalam proses Pemenuhan pangan keluarga Pada saat diskursus masing-masing aktor dipraktikkan dan disebarluaskan maka yang terjadi adalah pertarungan diskursus pada praktik di lapangan. Sebagai contoh diskursus pemerintah untuk meningkatkan produktivitas padi sawah lebak, petani diwajibkan membentuk kelompok tani untuk penyaluran kredit usaha tani. Petani padi sawah lebak membentuk kelompok tani hanya untuk keperluan mendapatkan kredit dari pemerintah, namun tidak mengikuti seluruh anjuran pemerintah. Pembentukan kelompok tani percontohan dalam program sekolah lapang pertanian, dimana kelompok percontohan ini mendapatkan bantuan bibit, pupuk dan insektisida dan herbisida untuk diterapkan dalam proses usaha tani padi sawah lebak, ternyata justru disiasati oleh para petani. Mereka membagikan sarana produksi pertanian tersebut kepada petani di kelompok lain dengan dasar nilai kebersamaan dan saling berbagi. Hal ini menunjukkan terjadi perbedaan kepentingan diantara pemerintah dan petani padi sawah lebak. Selain itu, program pemerintah yang masuk ke desa harus sepengetahuan dan sepersetujuan dari tokoh adat dan tokoh masyarakat desa, begitu pula dengan usulan program yang diajukan kepada pemerintah daerah. Berikut informasi dari tokoh adat dan tokoh Jamali (63 th) dan Alwi (66 th) masyarakat: “Program pemerintan masuk, cuman secare petani memang masuk, secare pengobatan, secare traktornye lak masuk semua itu. Bantuan itu melalui apa ?, iye melalui kelompok tani. Aku ndak ikut, cuman aku turut menandatangani usulan, semacam proposal ataupun penerimean, name tubuh tu pasti ade” (Program pemerintah banyak yang masuk, misalkan bantuan untuk pertanian melalui kelompok tani. Saya tidak masuk tapi ikut
menandatangani, kalau ada proposal atau bantuan langsung dari pemerintah) Hal ini menunjukkan komunitas petani padi sawah lebak memiliki filter sebagai penyaring program, yakni kesesuaian dengan nilai adat setempat. Pada aspek ini, komunitas memiliki kewenangan untuk menentukan boleh tidaknya program pemerintah masuk ke komunitas petani padi sawah lebak. Berdasarkan sejarah pertanian padi sawah lebak, proses pertanian padi sawah lebak mengalami perubahan sangat fundamental setelah intervensi program revolusi hijau. Program revolusi hijau oleh pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas padi sawah lebak. Hal ini karena sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan dipetakan sebagai sentra penghasil padi di Kabupaten Ogan Ilir. Program revolusi hijau mulai masuk pada tahun 1995, dimana introdusir sarana produksi pertanian sangat gencar dan mengintervensi pola pengolahan padi sawah lebak. Dalam banyak hal; seperti bibit padi, pola tanam, penggunaan pestisida dan herbisida, serta sistem pengerjaan sawah mengalami perubahan frontal. Pada titik ini diskursus komunitas mengalami kekalahan atas diskursus pemerintah yang memang diintervensikan secara kuat melalui peraturan pemerintah. Meskipun begitu, sampai hari ini masih terdapat segelintir petani yang setia menanam padi jenis lokal (pegagan). Perlawanan komunitas petani padi atas program pemerintah juga tampak jelas dalam hal pembentukan lumbung padi. Lumbung padi bentukan pemerintah tidak berkembang dan bahkan mati karena tidak mendapat dukungan masyarakat setempat. Petani padi sawah lebak terbiasa dengan pola penyimpanan padi di lumbung padi milik pelaku usaha karena sudah terbangun trust yang kuat antara petani dan pelaku usaha. Karenanya, pemerintah kemudian menggandeng pelaku usaha untuk penyediaan cadangan gabah/beras. Berikut penjelasan hubungan antara pemerintah daerah dan pelaku usaha pertanian dari bapak Nurman (54 th) (Kepala bidang ketahanan pangan daerah ogan Ilir). “program ketahanan pangan antara lain lumbung pangan masyarakat. Pertama yang dilakukan adalah membuatkan lumbung, dikerjakan oleh petani setempat. Kedua, pemerintah memberikan gabah cadangan pangan, ..ini murni bantuan jika musibah terjadi, sebanyak 5 ton gabah...50% bentuk simpan pinjam (2,5 ton) dan 2,5 ton dalam bentuk gabah dicadangkan sebelum masa panen. Pengadaan gabah untuk cadangan pangan juga melibatkan swasta. Ketiga, bantan dana kepada kelompok. Pada tahap awal sebesar 20 juta, tahap kedua 40 juta dan berikutnya 150 juta. Jika kelompok tani tidak bisa memanfaatkan stimuli ini maka akan distop bantuan dana tersebut. Dana berasal dari APBD1(propinsi) yang ditransfer ke rekening kelompok. Bantuan dana ini juga dalam bentuk tunda jual. Mekanismenya melibatkan pihak swasta untuk membeli gabah dan disalurkan melalui kelompok.
Diskursus pangan keluarga dan komunitas relatif lebih sering dan lebih utama dipraktikan (dominan) oleh keluarga dan perempuan petani padi sawah lebak. Hal ini bisa difahami karena keluarga petani padi sawah lebak dimana perempuan termasuk didalamnya, telah bertahun-tahun hidup dalam komunitas. Mereka telah terbiasa memenuhi kebutuhan pangan keluarga dengan memanfaatkan hubungan sosial kemasyarakatan dan sumber pangan di ekologi rawa. Dominasi diskursus keluarga dan komunitas terbentuk karena adanya hubungan antara seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan yang tetap dipegang teguh oleh anggota masyarakat. Menurut teori strukturasi, nilai dan aturan disebut sebagai struktur, dan anggota masyarakat sebagai pelaksana aturan disebut agen. Hubungan agen dan struktur ini bersifat timbal balik (dualitas). Anggota masyarakat termasuk perempuan juga menjadi aktor atau agen (Giddens menggunakan kedua istilah ini secara bergantian), memiliki kemampuan untuk memahami tindakan mereka saat mereka melakukannya. Kemampuan refleksif aktor manusia terlibat secara terus menerus mengiringi rangkaian perilaku sehari-hari dalam konteks aktivitas sosial. Pengetahuan mereka sebagai agen tentang apa yang mereka perbuat dan alasan kenapa mereka berbuat –kemampuan mengetahui yang mereka miliki sebagai agen— kebanyakan diperoleh dalam kesadaran praktis (practical consiousness). Kesadaran praktis ini terkait dengan rutinitas (apa saja yang dilakukan berdasarkan kebiasaan) merupakan unsur mendasar dalam aktivitas sosial sehari-hari. Aktivitas-aktivitas berulang yang dilakukan setiap hari merupakan unsur penopang dari watak rekursif (rutin) kehidupan sosial. Giddens mengartikan watak rekursif aktivitas sosial adalah sifat-sifat terstuktur aktivitas sosial—melalui dualitas struktur—terus menerus direproduksi dari sumber-sumber pembentuknya sendiri (Giddens 2010). Dominasi pengetahuan komunitas terungkap dari pernyataan tokoh masyarakat bahwa setiap apapun program pemerintah harus melalui tokoh adat di desa Ulak Aurstanding. Peran tokoh adat sangat sentral menyangkut permasalahan masyarakat, dimana setiap kegiatan harus diketahui oleh tokoh adat Jamali (63 th), berikut penuturan informan : “…adat disini, dimane jalan kades die ade, segi pembangunan, sampai dipersidangan harus ade hukum adat” (…adat disini dimana ada aturan pasti ada adat, misalkan pembangunan, penyelesaian masalah dan lain sebagainya) Masih menurut informan adat istiadat sangat penting dan sangat teguh tidak bisa diubah, berbeda dengan kebiasaan yang tidak menjadi adat, berikut penuturan tokoh adat Jamali (63 th) : “Hukum adat ini secare adat istiadat, kalu adat bae teguh, kalo teradat tebiase bae, adat istiadat distel kuncinya, diperkawinan, sejajar ngi ketip, untuk melestarikan milu, segaenye milu”(Hukum adat itu dilakukan secara adat, kalau adat pasti teguh. Kalau hanya kebiasaan tidak teguh dan bisa diubah. Tokoh adat sejajar dengan khatib dalam perkawinan, dan untuk melestarikan semua yang ada didalam masyarakat).
Selain itu, komunitas petani padi sawah lebak memiliki siasat dalam menyikapi berbagai program pemerintah. Sebagai contoh ketika ada bantuan program beras miskin yang seyogyanya dikhususkan untuk keluarga miskin (menurut ukuran pemerintah), ternyata di bagi rata seluruh masyarakat. Keluarga yang mampu akan memiliki kepedulian dan rasa malu jika turut menerima beras tersebut, seperti yang diungkapkan kepala desa Sainah (55 th) sebagai berikut; “…nurut pemerintah warga kami ni tergolong miskin galo..makonyo kalau ado program misalnyo raskin, kami bagikan bae galo…sapo nak ngembeknyo..iyolah dio miskin, mun dak galak ngambik dionyo mampu..(menurut ukuran pemerintah seluruh warga desa tergolong miskin…makanya kalau ada program pemerintah seperti beras miskin, dibagikan kepada semua warga, jika tidak mengambil jatah tersebut berarti termasuk keluarga mampu) Program pertanian berupa kelompok tani percontohan yang memperoleh bantuan bibit, pupuk dan racun serangga juga di kelola sendiri oleh komunitas ini tanpa mengikuti aturan yang diinstruksikan. Alasannya adalah perasaan senasib sepenanggungan dan agar tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan petani. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat petani padi sawah lebak dengan segala keterbatasan ekonomi, ketidakpastian musim dan hasil panen padi, mereka mengembangkan berbagai strategi untuk menemukan sumber penghidupan demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. Keterbatasan dan ketidakpastian ini membentuk pola aturan keterbatasan (the rule of the limit). Sebuah pola dimana ketika keterbatasan, kekurangan mereka alami baik secara individual, parsial maupun bersama, mereka akan senantiasa berbagi di seputar mereka (the circle of sharing). Tidak hanya berbagi keterbatasan ekonomi, tetapi juga berbagi informasi dan pengetahuan (the spread of knowledge). Mereka tidak mengikuti hukum ekonomi dimana semakin langka sumber daya akan membuat orang semakin berebut dan cenderung individualis untuk mendapatkan barang yang terbatas tersebut. Oleh karena itu penelitian ini menemukan sebuah konsep tentang solidaritas dan toleransi yang berkembang pada komunitas petani sawah lebak untuk membangun kedaulatan pangan keluarga dan komunitas. Toleransi dan solidaritas ini menjadi salah satu faktor penyebab diskursus pangan komunitas menjadi dominan dibandingkan diskursus pemerintah maupun pelaku usaha. Simpulan Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak terjadi dalam hal peningkatan produktivitas pertanian versi pemerintah, pemenuhan pangan sebagai mekanisme survival versi komunitas dan pangan sebagai komoditas ekonomi versi pelaku usaha. Pertarungan diskursus terjadi antara pemerintah dan komunitas petani padi sawah lebak, dalam hal sistem pengolahan pertanian padi sawah lebak. Pemerintah dengan strategi kebijakan peningkatan produktivitas padi demi pemenuhan kebutuhan pangan kabupaten dan propinsi, mengintervensi pola pertanian
padi sawah lebak dengan kebijakan revolusi hijau pada tahun 1995 dan dilanjutkan dengan upaya penerapan berbagai program pertanian seperti sekolah lapang pertanian terpadu. Pola pertanian padi sawah lebak berubah sesuai keinginan pemerintah. Pada titik ini komunitas mengalami kekalahan karena kekuatan pemerintah merupakan kekuatan supralokal yang disenjatai oleh kebijakan yang bersifat top down. Namun komunitas memiliki strategi melawan berbagai program pemerintah dengan mengandalkan nilai-nilai toleransi dan solidaritas dalam komunitas. Nilai-nilai ini mendasari sikap dan tindakan mereka untuk mensiasati program pemerintah. Pada akhirnya program pemerintah dalam praktiknya tidak sepenuhnya dijalankan, namun disesuaikan dengan kepentingan dan nilai-nilai komunitas. Diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, utamanya menekankan pada peningkatan produktivitas padi justru menghasilkan kebijakan yang memarjinalkan kuasa pengetahuan perempuan. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang. Hal ini disebabkan obyek dari berbagai program pertanian adalah kepala keluarga (mayoritas laki-laki). Karenanya diskursus pangan pemerintah sesungguhnya merupakan proses maskulinisasi pertanian dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Diskursus pangan komunitas memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus pangan komunitas.
6 RESISTENSI PEREMPUAN ATAS MARJINALISASI PADA PROSES PERTANIAN PADI DAN PRAKTIK KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA Pendahuluan Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008). Di bidang pertanian dan pedesaan perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga berperan penting dalam distribusi pemasaran. Kontribusi perempuan semakin terlihat ketika mereka memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi pertanian. Peranan perempuan dalam produksi pertanian adalah penting dalam menentukan status nutrisi rumah tangga dan juga sumbangan mereka dalam pendapatan rumah tangga. Studi yang dilakukan Sukiyono dan Sriyati (1997) menemukan bahwa konstribusi perempuan transmigran berdagang sayuran sebesar 45% dari total pendapatan rumah tangga mereka. Hal ini menunjukkan selain dalam produksi pertanian, perempuan juga menyumbang ekonomi keluarga melalui sektor perdagangan. Selain itu, secara sosial perempuan dikonstruksikan bertanggung jawab atas kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi anggota keluarga. Mereka memegang peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih, mengatur pola makan, jenis makanan dan hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi keluarga. Tanpa terpenuhi kebutuhan pangan keluarga, para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawah/lahan mereka. Hal ini menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan pangan keluarga. Selain itu, kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di tingkat keluarga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan, dan pada akhirnya menurunkan ketahanan pangan. Secara universal, peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran sosial (masyarakat). Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran produktif menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan. Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik (Hubeis 2010). Dalam sebuah keluarga, terdapat suami, istri dan anak. Masing-masing individu memiliki status dan peran yang dilekatkan dan dijalankan. Untuk mengatur hubungan antara mereka masuklah kelembagaan-kelembagaan dalam keluarga. Kelembagaan inilah yang akan mengatur interaksi dan hubungan antara anggota keluarga. Sebagai contoh kelembagaan perkawinan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Kelembagaan pangan dalam sebuah keluarga biasanya memuat nilai-nilai dan aturan main yang dijalankan untuk menjaga kecukupan, stabilitas, aksesibilitas dan kualitas pangan. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi FAO, terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan (LIPI 2005) yaitu: 1. Kecukupan ketersediaan pangan 2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun 3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan Dari keempat aspek tersebut secara gender, perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk memainkan peran menuju ketahanan pangan keluarga. Persoalannya adalah konstruksi sosial masyarakat melihat bahwa persoalan pangan keluarga adalah tanggung jawab perempuan. Umumnya perempuan diperankan sebagai aktor yang bertanggungjawab atas pangan keluarga. Mulai dari penyediaan makanan sehat dan bergizi, pola pengasuhan gizi keluarga bahkan termasuk pada proses produksi pangan keluarga sehingga tetap tersedia, terjangkau dan stabil keberadaannya dalam keluarga. Dilihat dari hal tersebut secara sekilas terdapat dugaan bahwa peran perempuan relatif tinggi. Peran perempuan yang relatif tinggi dalam pemenuhan pangan keluarga ini tidak diimbangi dan didukung oleh kebijakan yang berpihak pada perempuan. Pada kasus perempuan petani padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir, kebijakan pertanian terutama peningkatan produktivitas padi dengan penerapan revolusi hijau dan program pertanian yang menyertainya justru memarjinalkan peran perempuan. Kuasa pengetahuan perempuan dalam bercocok tanam padi tergusur oleh teknologi dan inovasi pertanian, meskipun demikian perempuan mencari bentuk lain sebagai praktik atas kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, diantaranya melakukan diversifikasi pekerjaan. Praktik-praktik kuasa pengetahuan perempuan pada aspek di luar sektor pertanian padi sawah lebak sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan atas tertutupnya peluang praktik kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak. Bentuk-bentuk perlawanan kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak menjadi menarik dikaji lebih lanjut. Tujuan penelitian ini menganalisis resistensi perempuan atas marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak dan praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada 11 informan dan 9 keluarga sebagai subyek kasus penelitian. Subyek kasus dalam penelitian ini adalah keluarga petani padi sawah lebak, yakni suami, istri dan anak. Informan penelitian ini adalah kepala desa,
ketua PKK, ketua KUBE, ketua kelompok tani, petugas kesehtan, tokoh adat dan tokoh agama. Observasi dan diskusi kelompok dilakukan untuk memperdalam data yang diperoleh serta validasi data dari para informan dan subyek kasus. Analisis data dilakukan secara kualitatif, data dikategorikan dalam satuan uraian, kemudian dihubungkan dengan teori yang relevan. Waktu penelitian mulai bulan September 2012 hingga Maret 2013 di desa Ulak Aurstanding di kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Hasil dan pembahasan Pada bagian sebelumnya (sejarah pertanian padi sawah lebak) telah dijelaskan proses transformasi pertanian padi sawah lebak dari sistem pengetahuan lokal komunitas menuju sistem pengetahuan pemerintah dalam pengolahan pertanian padi sawah lebak. Proses transformasi ini membawa dampak marjinalisasi peran perempuan dan matinya ritual sebelum panen, saat panen dan setelah padi sawah lebak. Marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak melahirkan resistensi terhadap proses pertanian yang diintrodusir oleh pemerintah. Resistensi merupakan sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan dan menentang. Bentuk resistensi terhadap proses pertanian yang dilakukan perempuan meliputi resistensi atas benih unggul, resistensi atas penggunaan herbisida dan resistensi atas teknologi pendukung pertanian. Resistensi atas penggunaan bibit unggul yang menggantikan bibit lokal tradisional pegagan dilakukan dengan cara; perempuan tetap menggunakan bibit pegagan untuk menanam padi meskipun hanya segelintir orang yang melakukannya. Secara umum, bibit yang ditanam petani padi sawah lebak (saat ini) telah berganti ke bibit unggul yang diintrodusir pemerintah melauli kebijakan revolusi hijau. Pada titik ini, pada persoalan bibit telah terjadi perampasan kuasa pengetahuan perempuan untuk memilih dan memilah bibit yang layak ditanam, namun masih ada perempuan yang tetap menggunakan bibit lokal pegagan. Pada saat penelitian berlangsung (tahun 2012) dimana terjadi gagal panen di Kabupaten Ogan Ilir), justru benih padi lokal (padi tinggi) yang bisa bertahan sehingga tidak gagal panen. Namun jumlah petani yang menanam padi lokal sangat sedikit, hanya sebagai pemenuhan ketersediaan pangan keluarga dan bukan untuk dijual. Resistensi atas penggunaan herbisida dilakukan perempuan dengan tetap membersihkan rumput ( rencam) secara manual. Kegiatan rencam masih banyak dilakukan di kalangan petani perempuan sebagai upaya perlawanan atas penggunaan herbisida. Penggunaan herbisida dirasakan merugikan secara ekonomi karena harus mengeluarkan uang untuk membeli racun rumput (sebutan herbisida oleh komunitas petani padi). Dengan membersihkan secara manual maka petani lebih bisa berhemat serta memberi peluang bagi keterlibatan peran perempuan. Pada titik ini, intervensi pengetahuan pemerintah dalam membersihkan rumput menggunakan herbisida tidak sampai merampas kuasa pengetahuan perempuan tetapi hanya menggusurnya dari proses pertanian padi sawah lebak. Resistensi atas penggunaan teknologi pertanian seperti mesin grentek, perontok padi, sabit dan pembajak sawah (traktor) yang didominasi laki-laki dilakukan dengan
cara perempuan berusaha untuk bisa menggunakan alat-alat pertanian tersebut meskipun tidak mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Perempuan melawan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan laki-laki sebagai obyek dari program pertanian. Perlawanan ini membuahkan hasil dimana terdapat perempuan yang bisa mengoperasikan alat-alat pertanian modern (meskipun jumlahnya sedikit). Bentuk-bentuk resistensi yang dikemukakan diatas adalah resistensi langsung atas marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan dalam proses produksi padi sawah lebak. Selain resistensi langsung atas marjinalisasi di sektor pertanian padi sawah lebak, resisten perempuan juga dilakukan dalam bentuk tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan diluar sektor pertanian padi, yakni pekerjaan tani non padi dan usaha non pertanian. Diversifikasi pekerjaan menjadi bentuk resistensi simbolik atas tergusurnya peran perempuan dari sektor pertanian padi. Perempuan menunjukkan bahwa meskipun mereka termarjinalkan dalam proses pertanian padi sawah lebak untuk pemenuhan pangan keluarga, mereka tetap bisa berkontribusi dengan melakukan pekerjaan tani non padi seperti menanan sayur mayur dan kacangkacangan di sekitar rumahnya dan pekerjaan non tani dengan mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan untuk mendapatkan uang seperti menenun songket, menyiang ikan, membuat atap daun dan berjualan makanan. Diversifikasi pekerjaan perempuan menjadi simbol perlawanan tidak langsung, artinya tidak berhubungan dengan proses produksi padi sawah lebak. Perlawanan simbolik untuk menunjukkan bahwa perempuan dan pangan memang tidak bisa dipisahkan, selalu berhubungan dalam pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan perempuan semakin terlihat setelah tergusurnya peran perempuan karena intervensi revolusi hijau. Pada saat perempuan terlibat pada seluruh proses pertanian padi lebak (sebelum penerapan revolusi hijau) belum banyak variasi jenis pekerjaan perempuan, karena waktu mereka banyak dihabiskan untuk produksi padi sawah lebak. Pekerjaan mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa telah dilakukan sejak dahulu namun seiring marjinalisasi peran perempuan, pekerjaan mengumpulkan bahan pangan dari rawa semakin banyak dilakukan. Begitu juga dengan kerajinan tenun songket, dimana komunitas petani padi sawah lebak baru mencoba kerajinan tenun songket pada tahun 1992, seiring masuknya revolusi hijau di komunitas petani padi sawah lebak. Hal ini menunjukkan perempuan tetap kreatif untuk memberikan kontribusinya bagi pemenuhan pangan keluarga. Kreatifitas perempuan dalam pemenuhan pangan sesungguhnya bukan hanya karena sebagai bentuk perlawanan atas marjinalisasi pada proses pertanian padi lebak tetapi juga disebabkan oleh tekanan ekonomi keluarga yang menuntut terpenuhinya kebutuhan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi: resistensi atas marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak dan ujung tombak bagi pemenuhan pangan keluarga. Perempuan petani padi sawah lebak di desa Ulak Aurstanding melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Pekerjaan tani non padi tersebut antara lain; mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa lebak. Hilangnya kontribusi kuasa pengetahuan perempuan di bidang pertanian
padi sawah lebak, tidak menyurutkan perempuan untuk tetap berperan bagi pemenuhan pangan keluarga. Hal ini dilakukan bukan hanya karena persoalan kebutuhan pangan keluarga namun merupakan bentuk resistensi mereka untuk tetap memiliki kuasa pengetahuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Para petani dan perempuan petani padi sawah lebak menyadari bahwa sejak masuknya revolusi hijau terjadi peningkatan produktifitas padi, namun juga memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap sarana produksi pertanian. Ketika terjadi gagal panen maka kerugian yang dialami juga besar, yang berakibat pada hutang petani membengkak. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi sangat penting dilakukan oleh keluarga petani jika menginginkan mereka tetap bisa makan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Pertanian padi sawah lebak sangat rentan dipengaruhi musim memaksa petani melakukan strategi nafkah demi terpenuhinya pangan keluarga. Kondisi inilah yang menjadi pemicu bagi para petani khususnya perempuan petani padi sawah lebak yang telah tergusur perannya, melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi sebagai penopang bagi terpenuhinya pangan keluarga. Oleh karenanya diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi suatu keharusan untuk melawan marginalisasi perempuan petani pada proses pertanian padi sawah lebak dan juga sebagai ujung tombak bagi pemenuhan pangan keluarga. Kuasa pengetahuan perempuan dalam memenuhi ketersediaan pangan keluarga petani padi sawah dipraktikkan dengan mencari dan mendapatkan bahan pangan dari lingkungan sekitar. Usaha-usaha perempuan memperoleh pangan dari ekologi rawa sesungguhnya membuktikan betapa perempuan dan alam memiliki hubungan erat. Perempuan mampu memilih bahan pangan rawa yang aman dikonsumsi keluarga, namun tidak mengeskploitasi untuk kepentingan ekonomis. Perempuan mengambil bahan pangan dari ekologi rawa secukupnya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Oleh karena tidak ada unsur eksploitasi terhadap alam, sehingga ekologi rawa tetap terjaga keberlanjutannya (sustainability). Maria Mies dalam Shiva 1997, menyatakan kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis yang di dalamnya perempuan dan alam bekerjasama sebagai mitra telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian padi sawah lebak masih dijumpai hingga saat ini, meskipun sangat jauh berbeda kontribusi perempuan pada saat sebelum penerapan revolusi hijau dan setelah penerapan revolusi hijau. Revolusi hijau telah mereduksi, menggusur dan memarginalisasi peran perempuan petani padi sawah lebak. Shiva 1997, bahkan menyebutkan revolusi hijau merupakan proses dominasi dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan Selatan (negara berkembang). Pada masa sebelum revolusi hijau perempuan memiliki peran dihampir seluruh proses pertanian padi sawah lebak. Mulai dari penyiapan lahan, pemilihan bibit, hingga ke proses pemanenan. Keterlibatan perempuan dalam pemilihan bibit diungkapkan (Jasiyah 50 th) sebagai berikut:
“Bibitnye sendiri, kalu guleh taun ini dibuat bibit lagi, ibu yang buatnye, yang nyemaikan….akuni bapaknye lak meninggal. Anakku yang bujang due bantu kesawah. (Bibit yang disemai bibit sendiri yang dipilih dari hasil padi yang didapat. Ibu yang membuatnya, menyemaikan, karena bapak sudah meningggal. Selain itu dibantu juga oleh dua orang anak laki-laki) Para perempuan menyisakan padi untuk dijadikan bibit, segera setelah panen usai. Perempuan memilih dan memilah padi yang diperkirakan bagus untuk ditanam kembali. Biasanya mereka memilih padi yang bagus dengan cara menampi, menggunakan alat tampir dari bambu, dengan digoyang-goyangkan akan terpisah antara padi yang bernas dan padi yang tidak berisi. Kemungkinan tumbuh yang ditampi (padi bernas) cukup tinggi jika dibandingkan dengan padi yang tidak ditampi. Padi ini kemudian disemai dengan cara ditugal, ditanam dengan menggunakan alu dari batang kayu. Setelah tumbuh agak tinggi dan air rawa surut, kemudian bibit padi dipindahkan ke lahan pertanian. Kuasa pengetahuan perempuan dalam memilih bibit lokal ini kemudian digantikan dengan bibit unggul yang diintrodusir oleh pemerintah. Pemerintah mengganti bibit padi lokal Pegagan dengan IR 42, Ciherang dan INPARA 1-13. Bibit dari pemerintah disebut sebagai bibit unggul dan ajaib karena waktu tanam hingga panen lebih cepat dan produktivitas lebih tinggi, sementara bibit tradisional komunitas yakni pegagan dianggap sebagai bibit primitif. Kuasa pengetahuan perempuan memilih dan memilah padi untuk menghasilkan bibit unggul mau tak mau tergusur dan kehilangan kesempatan untuk dipraktikkan. Pada titik ini, revolusi hijau telah merampas hak perempuan memproduksi bibit lokal. Perempuan juga terlibat dalam persiapan lahan dan menyemaikan padi, bahkan sebagian besar pekerjaan pertanian dilakukan oleh perempuan, kecuali pekerjaan yang berat. Berikut penuturan Maimuna (50 th): “Kalu nugal atau buat anak padi biasenye ibu-ibu, ngambil mindahkan ibu-ibu, yang mikul-mikul untuk mindahke kesawah bapak. Merumput gotong royong bapak ibu, kalu banyak rumput ibu, kalu dikit rumput bapak” Pada saat air yang menggenangi lahan rawa agak surut, maka ditemui banyak rumput sisa tumbuhan dan rumput yang tumbuh selama air pasang (tumbuhan rawa). Oleh karena itu perlu dibersihkan terlebih dahulu sebelum ditanami. Mayoritas perempuan terlibat dalam kegiatan ini. Secara manual mereka membersihkan rumput tersebut menggunakan tangan dan sabit, namun setelah revolusi hijau dan dikenalkan dengan racun rumput, mereka menggunakan obat tersebut (jika memiliki kecukupan uang untuk membeli dan jika tidak maka dilakukan secara manual). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan herbisida mengurangi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Herbisida merupakan racun membunuh rumput, yang diperkenalkan oleh pemerintah untuk memudahkan membasmi rumput, namun di sisi lain mengurangi keterlibatan perempuan petani padi sawah lebak.
Setelah lahan bersih dari rumput maka para perempuan mengambil padi yang sudah ditugal (dibibit sebelumnya), dipindahkan ke tempat yang agak tinggi sebelum ditanam ke sawah rawa lebak. Begitu air rawa surut hingga tinggal 0,5-5 cm maka para perempuan banyak terlihat bertebaran di lahan menanam padi. Umumnya para perempuan bertugas menanam padi, sementara petani laki-laki hanya memikul bibit dari tempat pembibitan ke tempat perempuan menanam padi. Penggunaan mesin perontok padi bagi proses panen padi dilakukan oleh lakilaki. Hal ini karena mesin tersebut didesain untuk laki-laki, dan disosialisasikan kepada laki-laki melalui kelompok tani. Perempuan tidak diperhitungkan dalam penggunaan teknologi panen padi sehingga lagi-lagi peran perempuan terkurangi. Pengoperasi mesin grentek umumnya laki-laki meskipun ada juga perempuan yang bisa menggunakan alat ini. Ketergusuran kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak pada aspek ketersediaan padi mengakibatkan perempuan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi. Perempuan bekerja sebagai pengumpul bahan pangan dari ekologi rawa. Kuasa pengetahuan perempuan tentang pangan yang bersumber dari ekologi rawa dipraktikkan untuk memilih jenisjenis pangan yang bisa diolah menjadi makanan keluarga. Pada posisi demikian perempuan tetap bisa berperan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekosistem rawa lebak memiliki keanekaragaman tumbuhan (flora) dan hewan (fauna) yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Tumbuhan yang hidup di lahan rawa lebak sangat beragam dari jenis pohon, perdu, semak, dan rumput. Macam, jenis dan keragamannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan fisik (iklim, hidrologi, tanah, vegetasi, tipologi) serta pemanfaatannya. Jenis fauna yang hidup di rawa lebak sangat beragam dari golongan reptil, unggas, dan berbagai jenis ikan. Pengembangan perikanan pada ekosistem rawa lebak ditopang oleh adanya vegetasi rawa. Pada umumnya didapati empat jenis vegetasi, yang dipakai sebagai pakan ikan yaitu 1) Vegetasi dibawah permukaan (emerged), 2) Tipe berdaun terapung (floating leaved) 3) Terapung bebas (free floating) 4) Tipe jenis rumput. Jenis ikan yang hidup pada ekosistem rawa tidak kurang dari 100 jenis, diantaranya ikan hitam; gabus, papuyu, sepat, biawan, patin, toman dan ikan putih, ikan yang umum berada di perairan sungai dan bisa ditemukan di rawa sebagai ikan pendatang. Selain ikan, hewan piaraan yang bisa terdapat di rawa adalah itik Alabio dan kerbau rawa (Noor, 2007). Perempuan memanfaatkan ekosistem rawa tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak. Berbagai pengetahuan tersebut dimanfaatkan untuk menghadapi masalah pangan berdasarkan musim, yakni musim pasang (hujan) dan musim surut (kemarau). Pada musim pasang, para perempuan mencari ikan dengan cara memancing, menggunakan tangkul, dan jala. Hasil yang diperoleh dimanfaatkan untuk lauk makan keluarga petani padi sawah lebak. Jika mendapatkan tangkapan dalam jumlah banyak maka dijual kepada para tengkulak yang datang ke desa. Biasanya pada musim pasang, jumlah tangkapan ikan banyak berkonsekuensi pada murahnya harga ikan. Para perempuan tetap mencari ikan meskipun harga ikan mengalami penurunan untuk menambah tambahan pendapatan keluarga. Berikut penuturan para subyek kasus;
“Kalu dapat ikan ninggali untuk makan, makan dulu baru dahnye dijual. Iwak itulah pendaping nasik tu. Neman makan ikan tulah, jarang ame makan buah-buahan tu. Ikan tu sepanang tau ade tulah, air pasang die ade, air surut ade disungai ni”. (Nursyam, Fatimah, Jasiyah) (Biasanya hasil tangkapan ikan untuk masak, kalau ada lebih baru dijual. Ikan menjadi menu tiap hari. Masyarakat disini lebih sering makan ikan daripada makan buah-buahan. Karena ikan disini ada sepanjang tahun, baik musim surut maupun pasang) Jenis-jenis ikan yang bisa mereka dapatkan adalah ikan seluang, betok, gabus, dan ikan putih lainnya yang berasal dari luapan sungai kedukan kijang yang mengitari desa Ulak Aurstanding. Bahkan beberapa perempuan sengaja menjadi pencari ikan sebagai pekerjaan utama saat musim pasang. Biasanya mereka membentuk kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang mencari ikan bersama. Setelah terkumpul mereka menjual menggunakan perahu sampan dari rumah ke rumah. Pada musim pasang perahu sampan menjadi alat transportasi di desa ini. Ada juga perempuan yang menjual ikan tangkapannya dengan berjalan kaki di sepanjang ruas jalan utama yang tidak tergenang air. Biasanya ikan dijual ketengan dimasukkan dalam plastik kecil setiap plastik seharga Rp. 2.000,- dengan jumlah berat sekitar ¼ kilogram. Melimpahnya jumlah ikan saat musim pasang membuat hasil tangkapan melimpah sehingga muncul pekerjaan baru yakni buruh menyiang ikan. Para tengkulak ikan ada yang membeli ikan dalam bentuk ikan hidup, ada juga yang membeli ikan dalam bentuk sudah bersih (disiangi/diperut). Biasanya ikan yang sudah disiangi ini digunakan untuk membuat tekwan, model, empek-empek serta untuk krupuk kemplang. Upah menyerut/menyiang ikan ini sebesar Rp. 500,- perkillogram ikan bersih. Memang membutuhkan waktu lama, tetapi para perempuan mengambil pekerjaan ini daripada menganggur di rumahnya. Ikan diantara ke salah satu rumah penduduk kemudian tetangga sekitar datang untuk menyerut ikan bersama-sama. Perempuan memanfaatkan keong rawa, masyarakat menyebutnya gondang, untuk dimasak sebagai lauk makan dan juga digunakan sebagai pakan itik peliharaan mereka. Gondang ini banyak ditemukan saat musim pasang. Perempuan membuka cangkang, menukil isi/dagingnya dan mengolahnya menjadi lauk atau sebagai pakan itik. Jika untuk lauk maka keong direbus terlebih dahulu sebelum diolah dengan bumbu sesuai selera, sedangkan untuk pakan itik, keong tersebut dicampur dengan dedak atau sisa makanan dan buah telepuk. Buah telepuk ini banyak hidup mengambang di permukaan air saat musim pasang. Selain untuk campuran makan itik, buah telepuk juga dmanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat desa Ulak Aurstanding. Para perempuan menggunakan sampan untuk mendapatkan buah telepuk dan keong rawa, sampai ke tengah rawa. Berikut gambar jenis bahan pangan keluarga petani padi sawah lebak yang diambil dari ekosistem rawa lebak:
Gambar 8 Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa; telur itik, keong/gondang dan buah telepuk Itik yang dipelihara masyarakat adalah itik jenis Alabio. Pengembangan itik ini dilakukan secara ekstensif dan intensif. Secara ektensif dilakukan dengan menggembalakannya ke luar kandang, ke lahan-lahan di sekitarnya. Pakan itik sangat tergantung pada keberadaan tanah rawa lebak yang secara alami menyediakan makanan seperti ikan-ikan kecil, cacing serta berbagai gulma air seperti eceng gondok, kangkung, kayu apu dan tumbuhan air lainnya. Sementara secara intensif dipelihara di dalam kandang. Setiap keluarga biasanya memiliki peliharaan bebek dan ayam dengan jumlah yang berbeda. Hewan peliharaan ini sangat bermanfaat untuk menambah pendapatan keluarga karena mereka menjual telur ayam dan bebek jika memerlukan uang. Telur bebek dijual seharga Rp. 1.500,- perbutir. Mereka menjual ayam dan hewan piaraan tersebut di pasar kalangan. Pasar kalangan adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk menjual dan membeli barang keperluan hidup sehari-hari. Pasar kalangan diadakan pada hari tertentu, satu kali dalam seminggu. Banyak pedagang dari luar desa, sengaja datang untuk menjual barang-barang yang tidak diproduksi masyarakat setempat. Para tengkulak juga datang untuk membeli barang seperti telur bebek, ayam kampung dan ikan. Pada musim air mulai surut, perempuan terlibat dalam proses pertanian padi sawah lebak. Dimulai dari pembuatan brondong (rumput panjang dianyam untuk media penyemaian bibit padi), menyingkirkan rumput yang tumbuh pada saat air pasang, menyemaikan bibit, memindahkan bibit, menanam padi dan memanen padi. Setelah panen padi perempuan menjemur padi sebelum padi simpan, atau digiling menjadi beras. Perempuan memanfaatkan lahan yang sudah surut lebih awal (lebak dangkal) untuk menanam berbagai jenis sayuran seperti kacang panjang, kangkung, cabai, tomat dan labu. Tanaman biji-bijian yang sering ditanam yaitu jagung dan kacang tanah. Setiap jengkal tanah yang memungkinkan ditanami dimanfaatkan untuk tanaman tersebut. Pengetahuan perempuan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut di atas, membuat perempuan mempunyai kuasa atas pangan keluarga. Sejalan dengan ini, Foucault mengungkapkan adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan
pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan (Foucault 1980). Tenun Songket: tumpuan kuasa pengetahuan perempuan bagi pemenuhan pangan keluarga Songket merupakan jenis kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Kain songket mendapat tempat yang dihargai di masyarakat Sumatera Selatan karena digunakan sebagai bahan seserahan untuk calon pengantin perempuan, dipakai para perempuan di acara pernikahan, penari dan acaraacara resmi penyambutan tamu. Pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dalam tenun songket digunakan untuk menghasilkan pendapatan keluarga demi pemenuhan pangan. Pada saat pengetahuan tersebut digunakan, perempuan akan berkuasa atas pengetahuan tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Foucault bahwa pengetahuan mampu menjadi alat berkuasa (Fakih 1996). Praktik pengetahuan menenun songket bagi perempuan petani padi sawah lebak, pada dasarnya bukan dimaksudkan untuk berkuasa, namun sebagai bentuk resistensi atas hilangnya sebagian besar peran mereka di bidang pertanian padi sawah lebak. Ketika perempuan termarjinalkan dari peran penting proses pertanian padi sawah lebak, mereka mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan menenun songket. Usaha tenun songket tumbuh pesat seiring tergusurnya peran perempuan. Songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan yang termarjinalkan, selain diversifikasi pekerjaan tani non padi yang mereka jalankan. Usaha tenun songket memberikan cash money yang sangat dibutuhkan keluarga petani padi sawah lebak untuk membeli kebutuhan pangan yang tidak bisa disediakan oleh alam sekitanya dan kebutuhan hidup lainnya. Tenun songket di komunitas petani padi sawah lebak menjadi tumpuan harapan memperoleh uang secara langsung, melalui proses jual beli songket. Berbeda dengan produksi padi yang menunggu waktu relatif lama, belum tentu berhasil karena tergantung musim, maka tenun songket memberikan hasil yang pasti dan tidak ada kata rugi. Songket inilah yang menjamin keluarga mendapatkan uang. Kuasa pengetahuan perempuan menenun songket dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, diungkapkan oleh informan tokoh adat Jamali (63 th) tentang usaha tenun songket perempuan petani padi sawah lebak untuk mendapatkan penghasilan berikut ini; “Untuk betino disini lumayanlah, dikatakan lumayanlah, soal pekerjaan betino disini dak katek pengangguran, dienye nenun, sudah tu nenun ngerjekah sawah ini. sudah tu ade bae budak-budak ye mude pekerjaannye ke palembang, begawe rumah tangge” (Keadaan perempuan disini cukup baik, dalam hal pekerjaan disini tidak ada penganguran. Mereka membuat kerajinan songket, dan sekaligus ke
sawah. Selain itu ada juga yang bekerja diluar, misalkan ke palembang untuk menjadi pembantu rumah tangga) Pada musim pasang, dimana aktifitas pertanian belum dimulai banyak perempuan menenun songket di dalam rumah. Mereka menenun songket dengan menggunakan alat tenun miliki sendiri dan hasil tenun songket dijual kepada pedagang langganan di Palembang. Ada juga yang menjual tenun songket kepada pedagang songket yang datang ke desa untuk dijual lagi ke Palembang. Setiap penenun songket biasanya sudah terikat perjanjian dengan pedagang pembeli songket yang sudah menjadi langganan. Pedagang tersebut memberi benang (Rongse) dengan harapan si penenun akan menjual kepada pedagang tersebut. Harga jual kain songket dari penenun berkisar Rp. 850.000,-. Pedagang menjualnya sekitar Rp. 1.500.000,- atau bisa lebih tergantung kerapihan dan motif dari songket tersebut. Jika dikurangi modal maka seorang penenun songket bisa mendapat untung Rp. 250.000,-Rp. 300.000,- untuk sepasang songket. Dalam sebulan jika sudah mahir menenun bisa menghasilkan 3 pasang kain songket. Aktivitas menenun songket para perempuan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 9 Perempuan desa Ulak Aurstanding sedang menenun songket Selain sebagai penenun sendiri, ada juga perempuan yang hanya mengambil upah dari songket yang ditenunnya. Ia tidak membeli benang maupun peralatan songket tetapi dipinjami alat dan diberi benang untuk ditenun. Pengambil upahan ini mendapatkan penghasilan lebih sedikit dibanding penenun dengan peralatan sendiri. Penghasilan dari menenun songket ini bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pangan seperti gula, teh, kopi, bawang, dan bahan makanan lain yang tidak tersedia secara alami sehingga untuk memperolehnya mereka harus membeli di warung atau di pasar kalangan. Kuasa pengetahuan perempuan petani sawah lebak menenun songket tidak lepas dari perhatian pemerintah. Pemerintah mengintervensi songket dengan memberikan bantuan kredit bergulir untuk usaha tenun songket dikomunitas petani sawah lebak. Sejauh ini, intervensi pemerintah belum merugikan kuasa pengetahuan
perempuan karena masih dalam lingkup kecil dan sebatas pemberian kredit bergulir. Belum terjadi penetrasi pengetahuan songket yang dipaksakan pada perempuan dalam hal songket. Namun pemerintah tetap saja membuat kategori sesuai kepentingannya dalam menggulirkan dana. Tidak semua penenun bisa mengakses kredit bergulir tersebut. Dalam hal ini kuasa pengetahuan pemerintah mampu meregulasi kredit bergulir bagi perempuan. Perempuan yang memiliki usaha tenun dan membentuk kelompok usaha bersama, bisa memiliki akses terhadap kredit ini. Kredit bergulir usaha tenun berasal dari program pemerintah propinsi Sumatera Selatan melalui dinas perindustrian. Berikut informasi dari ibu Sainah (55 th) kepala desa Ulak Aurstanding: “ perempuan di desa ini banyak yang menenun songket saat pekerjaan sawah kosong,..terutama anak gadis banyak sekali yang menenun songket...ibu-ibu juga banyak yang menenun songket.. Sudah dibentuk kelompok usaha bersama untuk tenun songket, ketuanya betty,..dia pernah mendapatkan pelatihan di Palembang di perindustrian. Ketrampilan tersebut disuruh menularkan kepada perempuan lain...setiap kelompok mendapat pinjaman sebesar 6 juta untuk usaha...kalau sudah setahun digulirkan ke kelompok lain..lumayan juga sudah berkembang, bisa menambah pendapatan keluarga..” Kuasa pengetahuan perempuan mengakses kredit bergulir ini, membuat perempuan memiliki pekerjaan produktif yang menghasilkan uang. Pendapatan perempuan dari usaha tenun ini sangat bermanfaat bagi pangan keluarga, terutama pada saat paceklik dan musim tanam hingga panen. Pada saat seperti ini simpanan padi keluarga petani umumnya telah menipis bahkan ada yang sudah habis sama sekali. Pendapatan dari memenun bisa digunakann untuk membeli pangan baik beras maupun kebutuhan lauk dan sayur. Berikut penjelasan Mustika (28 th), seorang subyek kasus: “Hasil nenun habis nik belanje tulah, nik pakaian budak. Kalu dulu nenun ni tuk beli beras untuk makan. Waktu belum jualan, makitulah. Nenun itu untuk beli beras, beli bahan didapur, banyaklah” (Hasil menenun biasanya habis untuk belanja, untuk pakaian anak. Kalau nenun untuk beli beras. Waktu belum jualan, menenun untuk membeli beras, bahan dapur dan banyak liannya). Pengolahan hasil perikanan rawa lebak dan pembuatan atap daun: jaringan pengaman kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga Kuasa pengetahuan perempuan mendapatkan ranah aplikasi pada aspek pengolahan hasil perikanan rawa lebak dan pembuatan atap daun. Kedua jenis aktivitas ini membuka peluang bagi peran perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Perempuan membentuk jaringan informasi tentang jenis pekerjaan
yang bisa dilakukan bersama-sama. Kebersamaan perempuan petani padi sawah lebak memanen padi, menyiang rumput yang telah tergusur (karena penerapan revolusi hijau) bermetamorfosis menjadi kebersamaan menyiang ikan dan membuat atap daun. Perempuan menjadi buruh menyiang ikan dan membuat atap daun. Dari pekerjaan ini, mereka mendapatkan upah, sehingga tetap bisa membantu pemenuhan pangan keluarga. Secara ekonomis bekerja sebagai buruh menyiang ikan dan membuat atap daun tidak sebesar pendapatan menenun songket, namun dari pekerjaan ini para perempuan memeroleh jaringan informasi tentang banyak hal. Jaringan informasi yang didapat menyangkut jenis pekerjaan yang memungkinkan mereka memeroleh bahan pangan maupun informasi pekerjaan yang menghasilkan uang untuk pemenuhan pangan keluarga maupun kebutuhan hidup lainnya. Kebersamaan ini menjadi bentuk perlawanan atas hilangnya kebersamaan memanen padi dengan sistem tarikan, dimana perempuan berkelompok memanen padi sawah lebak. Kebersaman ini juga menjadi obat bagi rasa kehilangan kebersamaan saat membersihkan rumput sebelum penanaman padi, yang digantikan oleh herbisida (racun rumput). Pengetahuan dan ketrampilan perempuan dalam mengolah hasil perikanan seperti membuat empek-empek, model, tekwan maupun kerupuk kemplang, dimiliki secara turun temurun. Ketrampilan ini bermanfaat bagi upaya diversifikasi makanan selain nasi. Selain itu, melalui pengolahan ikan menjadi jenis makanan tersebut akan memperpanjang/ mengawetkan ikan menjadi produk olahan. Model, tekwan, empek-empek dan kerupuk kemplang merupakan produk makanan yang biasanya dijual diwarung makan. Ketrampilan mengolah makanan tersebut dimiliki perempuan dan dimanfaatkan untuk membuka warung. Harga semangkok tekwan dan model Rp. 3.000,-. Sementara harga empek-empek berkisar Rp. 500,- hingga Rp.1.000,- tergantung banyak atau sedikitnya ikan yang dicampurkan. Kerupuk kemplang dijual bijian satu biji seharga Rp.500,-. Ketrampilan perempuan menyerut/menyiang ikan juga dimanfaatkan utnuk menambah penghasilan keluarga. Pada saat musim ikan, sungai pasang banyak hasil tangkapan ikan, maka perempuan menjadi buruh upahan dengan upah Rp. 500,perkilogram ikan bersih. Dalam sehari satu orang bisa menyiang ikan senayak 10 kg, sehingga bisa mendapat upah Rp. 5.000,-. Uang ini teramat berarti untuk membeli keperluan keluarga seperti sabun mandi, sabun cuci dan lainnya. Berikut pengakuan subyek kasus, Jasiyah (50 th); “Upah nyiangi ikan tadi 500 sekilu, ame dapat 10 kg ge 5000. Iwak untuk buat kemplang, kami nyianginye 500 sekilu, kalu kami dak gotong royong buat atap ni kami nyiangi ikan, ...”. (Upah membersihkan ikan 500 rupiah/kg. Ikan tersebut untuk bahan membuat kemplang/kerupuk. Hari ini karena ada gotong royong kami tidak ikut upahan membersihkan ikan)
Keahlian lain yang dimiliki perempuan adalah membuat atap daun. Rumahrumah penduduk desa Ulak Aurstanding umumnya menggunakan atap daun, sehingga para perempuan terbiasa membuat atap daun untuk keperluan rumah mereka. Biasanya mereka bergotong royong membuat atap daun jika ada rumah yang hendak diganti atapnya karena sudah bannyak yang rusak. ada juga yang membuat atap daun untuk dijual kepada tetangga desa. Harga satu atap daun sekitar Rp. 2.500,- hingga Rp. 3.000,-. Berikut gambar keahlian perempuan menyiang ikan dan membuat atap daun di desa Ulak Aurstanding kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir.
Gambar 10 Ketrampilan perempuan membuat atap daun dan menyiang ikan Pengetahuan perempuan untuk mengakses informasi pekerjaan diperoleh dari sanak saudara, teman, dan tetangga dekat. Mayoritas pekerjaan perempuan adalah sebagai petani. Jika musim air pasang, dimana tidak ada pekerjaan di lahan pertanian, maka mereka mengakses informasi untuk melakukan diversifikasi pekerjaan antara lain; sebagai buruh upahan menyiang ikan, dan buruh songket. Informasi pekerjaan juga diakses pada saat musim pekerjaan di lahan pertanian, dari musim tanam hingga panen. Berikut penuturan beberapa orang subyek kasus: “Kadang urang sepuluh yang diupah, sehari selesai. Kebanyakan ibu-ibu yang upahan, bapaknye galak jaring, yang ngolah sawah banyak ibu. Bapaknye banyak jaring, jale cari ikan, untuk jual ikannye tu. (Nursian, Fatimah, Jasiyah)” (Untuk menanam padi kadang 10 orang diupah dalam sehari selesai. Kebanyakan perempuan yang upahan. Karena bapaknya biasanya menangkap ikan (jaring, jale) jadi yang untuk kerja upahan kebanyak an perempuan) (Nursian, Fatimah, Jasiyah)
Kredit non formal: katub penyelamat kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
Kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga selain dihadapkan pada peminggiran peran di sektor pertanian padi sawah lebak juga dituntut oleh tekanan ekonomi keluarga. Keluarga petani sawah lebak tergolong sebagai petani yang subsisten, sangat tergantung pada hasil padi setahun sekali. Sementara pertanian padi sawah lebak sangat rentan gagal panen karena tergantung pada musim. Gagal panen menyebabkan tekanan ekonomi tersendiri bagi keluarga petani padi sawah lebak. Pada kondisi demikian keluarga melakukan diversifikasi pekerjaan, namun meningkatnya kebutuhan keluarga seringkali memaksa mereka berhubungan dengan kredit non formal. Kredit non formal yang berkembang pada komunitas ini adalah kredit berupa uang dan berupa barang. Kedua jenis kredit ini menjadi katub penyelamat bagi keluarga untuk mendapatkan uang dan barang yang dibutuhkan secara cepat dan tidak berbelit-belit, meskipun disertai dengan bunga yang relatif tinggi. Kredit non formal dikenal oleh kebanyakan perempuan petani padi sawah lebak adalah kredit yang dikelola secara pribadi, oleh orang perorang. Di desa ini berkembang kredit berbunga (rentenir) dengan mekanisme pembayaran perminggu. Menurut infomasi kepala desa Ulak Aurstanding setidaknya terdapat tiga orang rentenir di desa ini. Ketiganya adalah perempuan. Seorang informan (subyek kasus) menyebutkan bahwa ia mendapat pinjaman dari tetangga yang biasa meminjamkan uang 500 ribu dengan membayar secara mingguan, jika dihitung total pengembalian 600-650 ribu. Berikut penuturan Taruna (48 th): “ ayuk ni ndak katik uang nian untuk beli beras waktu itu. Olehnyo musim paceklik mak ini, padi gagal galo...idak panen...raso malas nan ngetamnyo yo karno ndak katik yang dimakan seadonyo kami ketam boleh didkit nian...banyaklah capeknyo. Ayuk ni minjem bae duwit ke tetanggo tu...dionyobiaso minjemkan duwit iyolah misalnyo minjam 500 ribu kagek totalnyo baliken 600-650 ribu. Dicicil tiap hari rabu...kalo biso bayar kubayar minta tempo...kalo idak biso galak diambil barang yang ado...” (saya waktu itu tidak punya uang sama sekali karena musim paceklik, panen padi gagal sehingga tidak panen..rasanya malas untuk memanen padi di sawah karena hasilnya sangat sedikit dibanding tenaga memaneny. Saya meminjam uang ke tatangga yang biasa meminjamkan uang. Jika meminjam sejumlah 500 ribu maka mengembalikannya sekitar 600-650 ribu. Saya membayarnya dengan mencicil setiap hari rabu peminjam menagih cicilan...kadang saya minta tempo namun jika sudah sering maka barang yang berharga diambil...) Subyek kasus terpaksa meminjam uang kepada rentenir untuk bisa membeli pangan bagi keluarga. Hal ini terpaksa dilakukan karena sudah tidak ada lagi upaya yang bisa dilakukan selain berhutang, sehingga berhutang adalah jalan paling akhir diantara upaya-upaya lainnya. Praktik dari pengetahuan mengakses kredit non formal ini memberi solusi bagi akses pangan keluarga petani yang secara ekonomi sangat rentan.
Organisasi non formal: sarana aktualisasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga Kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan telah di praktikkan pada aspek ketersediaan pangan, dengan mengumpulkan bahan pangan dari ekologi rawa, mengembangkan jaringan informasi pekerjaan untuk bisa mengakses pekerjaan di luar pertanian padi, dan menenun songket. Di sela-sela rutinitas keseharian perempuan petani padi sawah lebak membentuk organisasi non formal. Organisasi non formal yang dikembangkan adalah pengajian mingguan dan arisan. Mereka membentuk organisasi ini sebagai wadah mengaktualisasikan diri, saling berkumpul mendapatkan pengetahuan agama sekaligus menjaga hubungan sosial antar induvidu dalam masyarakat. Berbagai jenis arisan berkembang; ada yang lima ribu sampai sepuluh ribu perminggu (paling umum), ada yang 50-60 ribu perbulan dan 100-200 ribu perbulan. Selain arisan uang terdapat pula arisan dalam bentuk barang seperti karpet, panci, kompor dan alat-alat rumah tangga lainnya. Praktik dari pengetahuan mengakses organisasi ini berhubungan dengan informasi-informasi yang diperoleh perempuan dan bermanfaat bagi pendapatan keluarga, misalnya informasi menjadi buruh tenun, informasi pekerjaan pertanian dan lainnya. Informasi untuk mengakses lahan, juga diperoleh dari pembicaraan saat berkumpul dalam organisasi informal. Bentuk akses lahan perempuan petani padi sawah lebak dapat dikategorikan menjadi dua, yakni; (1) akses langsung (direct acces), jika perempuan memiliki lahan/sawah dan (2) akses tak langsung (indirect acces), jika perempuan tidak memiliki lahan/sawah. Pada umumnya kepemilikan lahan/sawah pada keluarga petani sawah lebak terletak pada suami sehingga hitam di atas putih nama suami mereka yang tercantum dalam sertifikat kepemilikan tanah. Perempuan akan memiliki lahan/sawah ketika suami mereka sudah meninggal (janda), sebagai hasil dari pembagian warisan. Akses tidak langsung perempuan terhadap lahan dalam bentuk pemanfaatan lahan pekarangan disekitar rumah panggung mereka. Selain itu, ditemui perempuan menyewa lahan sawah untuk beberapa musim. Pada komunitas ini berkembang pola penguasaan sawah yaitu (1) pemilikan sendiri (2) menyewa untuk beberapa musim. Pola menyewa banyak dilakukan oleh keluarga yang biasanya memiliki aset produksi sehingga memiliki kelebihan uang uantuk menyewa lahan pertanian padi sawah lebak. Organisasi non formal memberi kesempatan bagi perempuan petani padi sawah lebak untuk saling mencurahkan permasalahan dan saling memberikan masukan atas masalah yang dialami. Masalah bagaimana cara mengelola keuangan keluarga pada musim panen dan paceklik juga menjadi perbincangan dalam pertemuan mereka. Pada saat musim panen dan musim paceklik, pengelolaan keuangan akan berbeda. Perbedaan pengelolaan keuangan ini sebagai pengetahuan spesifik yang dimiliki perempuan dalam rangka strategi menyambung hidup keluarga. Pengetahuan perempuan dalam pengelolaan keuangan agar bisa mengakses pangan bisanya berdasarkan pengalaman sehari-hari mereka. Foucault memandang bahwa pengalaman yang diperoleh melalui perjuangan sehari-hari dapat berdasarkan ujian, menghasilkan pemahaman kritis tentang cara-cara menjalankan kekuasaan dan proses pengabsahan ilmu pengetahuan (Denzin dan Lincoln 2009).
Penelitian ini belum terlalu mendalam dalam menganalisis peran organisasi di desa Ulak Aurstanding, namun pengetahuan dan praktik berorganiasi sangat memberikan manfaat bagi perempuan baik yang berhubungan dengan pangan maupun hal lainnya. Oleh karena itu dalam hal kuasa pengetahuan perempuan dalam organiasasi perlu dilakukan kajian tersendiri.
Konsumsi keluarga: induk kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dalam konsumsi pangan keluarga termanifestasi dalam pekerjaan mengumpulkan/menyediakan bahan pangan, memasaknya dan mendistribusikannya kepada seluruh anggota keluarga. Konsumsi keluarga menjadi induk kuasa pengetahuan perempuan karena berawal dari dalam keluarga sesungguhnya kuasa pengetahuan perempuan berasal. Pada saat perempuan memainkan peran domestik tersebut, perempuan mampu menunjukkan kuasanya, menjadi penentu jenis makanan yang aman dikonsumsi, mengolahnya menjadi berbagai jenis makanan dan membagikannya kepada seluruh anggota keluarga. Kuasa pengetahuan perempuan dimanfaatkan untuk memilih jenis-jenis tanaman dan hewan yang aman dikonsumsi yang berada di lingkungan sekitar untuk pangan keluarga seperti buah telepuk, kangkung rawa, gondang/keong, berbagai jenis ikan rawa dan tumbuhan lokal lainnya. Selain itu perempuan juga memiliki kuasa pengetahuan bagaimana mengolah dan mengawetkan pangan. Pada saat musim pasang, banyak ikan bisa diperoleh para petani padi. Sebagian dijual, namun sebagian diawetkan oleh perempuan dengan cara diasinkan, dibikin selai ikan, ikan asap, dibuat kerupuk ikan (kerupuk kemplang), dibuat model, tekwan dan lainnya. Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak dipraktikkan dalam memanfaatkan pangan (mengolah dan memasak) untuk pangan keluarga. Berikut penuturan Zainuna (50 th) (subyek kasus): “ mun musim pasang banyak ikan, kami galak njaring ikan, nyari gondang kami masak...ikan kami jual jugo...ado yang dimasak jadi empek-empek, tekwan, model, kemplang...macem macem..” Selama ini belum ada program pemerintah yang secara spesifik mengintervensi pengetahuan lokal dalam memanfaatkan pangan untuk meningkatkan nilai tambah dari pangan lokal. Pengetahuan pemanfaatan pangan perempuan di desa Ulak Aurstanding merupakan pengetahuan tradisional, dimanfaatkan untuk memperpanjang rantai keberfungsian pangan demi pemenuhan pangan keluarga. Salah seorang subyek kasus membuat kemplang ikan pada saat musim ikan dan bisa diawetkan sehingga bisa dikonsumsi pada saat tidak musim ikan. Berikut gambar perempuan yang sedang memanggang krupuk kemplang pada saat tidak musim ikan:
Gambar 11 Perempuan memanggang krupuk kemplang Kuasa pengetahuan perempuan dipraktikkan juga dalam penyimpanan pangan keluarga. Setelah panen padi maka perempuan berusaha menyimpan padi dan atau beras untuk bisa dikonsumsi selama setahun. Biasanya mereka menjemur padi terlebih dahulu hingga kering setelah itu disimpan dalam karung yang bersih dan dimasukkan dalam bilik-bilik khusus menyimpan padi atau ke dalam kotak dari kayu ukuran besar. Namun jarang petani padi sawah lebak memiliki kotak kayu penyimpan padi kecuali para petani yang tergolong kaya. Kuasa pengetahuan perempuan dalam pendistribusian pangan juga sangat bermanfaat ketika musim hajatan tiba. Pada saat panen tiba banyak petani mengadakan hajatan baik pesta perkawinan, sunatan maupun syukuran. Perempuan yang mengatur pendistribusian makanan, jenis makanan yang dijadikan suguhan saat pesta. Berikut penuturan Romzi (42 th), informan (subyek kasus): “ ibu-ibu tulah yang masak kalo ado sedekah...mereka yang nentukan masaknyo apo..apo pindang ayam apo tekwan..tergantung mereka tulah...kami ni tinggal makannyo be..jamuan sedekah disini..ditaruhke dimeja panjang..ado macem-macem..pindang ayam, nasi, krupuk lalapan ado galo aiyo putih, buah...” Selain itu, pada tingkat keluarga distribusi makanan juga diatur oleh perempuan. Mereka akan memisahkan makanan untuk anak dan orang dewasa. Menurut beberapa informan ketua PKK Zainab (45 th) dan subyek kasus (Jasiyah, Zainuna, Nursyam dan Fatima), makanan anak menjadi prioritas karena anak harus makan yang cukup dan bergizi. Berikut pernyataan mereka; “ makanan anak kecik itu yang paling penting, biar sehat idak keno sakit...budak kecik galak sakit kalo kurang makan...makanyo galakkami pisahke makan untuk budak kecik..yang idak pedas beda samo yang tuo” Perempuan juga mengatur pola konsumsi pangan keluarga disesuaikan dengan kondisi ekonomi/pendapatan keluarga. Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang tersedia dan dapat dikonsumsi oleh individu atau keluarga. Harper et al (1989) menyatakan bahwa ketersediaan pangan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran uang untuk pangan dan produksi pangan untuk keperluan rumah tangga
itu sendiri (Sangian 2001). Sementara pola konsumsi pangan merupakan cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih bahan makanan dan cara makanannya sebagai tanggapan terhadap fungsi fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Konsumsi pangan keluarga petani padi sawah lebak tergantung pada ketersediaan pangan baik yang berasal langsung dari alam yakni pertanian padi dan pemanfaatan ekologi rawa, dan ketersediaan yang berasal dari membeli karena tidak bisa ditemukan di komunitas mereka. Berbagai jenis bahan pangan lokal menjadi preferensi bahan pangan bagi perempuan untuk memanfaatkannya demi pemenuhan pangan keluarga seperti keong rawa, bunga telepuk, dan kangkung rawa. Preferensi atas pangan didefinisikan sebagai tingkat menyukai atau tidak menyukai atas pangan tertentu. Preferensi dan cara memilih bahan pangan merupakan bagian dari kebiasaan makan yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi preferensi pangan yakni karakteristik individu, lingkungan dan pangan itu sendiri. Karakteristik individu yang mempengaruhi preferensi pangan antara lain, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, faktor psikologis dan situsional individu. Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah nilai-nilai sosial dan budaya darimana individu berasal, musim dan perubahan musim dan kemampuan wilayah dimana individu tinggal dalam mennyediakan pangan tertentu. Sementara itu, karakteristik pangan yang mempengaruhi preferensi antara lain jenis pangan itu sendiri, kemudahan dalam mempersiapkan pangan tersebut untuk dikonsumsi, kemudahan untuk dicerna dan ketersediaan pangan tersebut ketika diperlukan (Sangian 2001). Perempuan memanfaatkan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Mereka memanfaatkan anak untuk mengambil air sungai yang digunakan untuk keperluan air minum dan memasak. Anak yang sudah dewasa dan tidak sekolah lagi/putus sekolah, biasanya diajak bekerja ke sawah, atau pun diajak bekerja sebagai buruh upahan di lahan untuk memanen padi. Berbagai cara dilakukan perempuan dalam memenuhi konsumsi pangan keluarga dengan mencari bahan pangan dari alam sekitar atau mencari pendapatan/penghasilan untuk kebutuhan hidup bermasyarakat. Berbagai pengetahuan perempuan untuk ketersedianan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan menjadi referensi bagi mereka untuk mempraktikannnya dalam pemenuhan pangan keluarga. Ketika perempuan mampu mempraktikkan pengetahuan tersebut berarti perempuan memiliki kuasa atas pengetahuan yang dimilikinya. Peran perempuan dalam pemanfaatan sumber daya lokal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia tidak terlepas dan berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Pengetahuan dan ketrampilan memanfaatkan sumber daya alam ini diperoleh secara turun temurun melalui proses sosial dalam keluarga. Sosialisasi dalam keluarga sangat efektif bagi transfer pengetahuan pemenuhan pangan. Selain itu, tampaknya persoalan pangan bagi keluarga petani padi sawah lebak merupakan hal utama yang harus dipenuhi. Hal ini disebabkan pertanian padi sawah lebak sangat rentan terhadap gagal panen, apalagi di tengah musim yang tidak menentu.
Keluarga petani melakukan berbagai strategi nafkah untuk bertahan hidup (mekanisme survival) dengan melakukan diversifikasi pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan demi pemenuhan pangan keluarga. Strategi nafkah (livelihood strategy) adalah seperangkat pilihan tindakan dari berbagai alternatif yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada (baik sumber daya berupa barang atau kegiatan ekonomi maupun dengan memanfaatkan modal sosial) untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup guna mempertahankan kelangsungan hidup. Strategi nafkah sebenarnya dilakukan pada level individu, tetapi bentuk akhir tindakan tersebut didefinisikan pada level rumah tangga. Scoones 1988 (dalam Dharmawan 2001) menggolongkan strategi nafkah petani setidaknya dalam tiga golongan yakni 1) rekayasa sumber nafkah pertanian artinya, usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas garapan pertanian (ekstensifikasi). 2) pola nafkah ganda, artinya usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan lain selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan) 3) rekayasa spasial, artinya usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkuler atau komutasi (migrasi). Simpulan Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari proses pertanian padi sawah lebak. Menenun songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan karena dengan tenun songket perempuan mendapat uang cash secara langsung, dan pasti tidak rugi. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Proses mengolah hasil perikanan rawa dan membuat atap daun membuka peluang perempuan saling bertukar informasi pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini merupakan metamorfosis dari jaringan informasi
yang diperoleh saat mengerjakan panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru (setelah penerapan revolusi hijau).
1 STRUKTUR KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA
Pendahuluan Perbedaan kondisi sosial ekonomi keluarga diasumsikan mempengaruhi praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam ketahanan pangan keluarga. Hal ini didasarkan pada berbagai literatur dan penelitian yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi mempengaruhi bidang kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap tingkat prestasi anak, status gizi anak, dan lainnya. Status sosial ekonomi adalah suatu posisi atau jenjang sosial yang dimiliki seseorang dalam hidup bermasyarakat yang dilihat dari tingkat pendidikan, status pekerjaan, sarana dan prasarana, dan mobilitas (Suhariadi 1989). Penelitian ini memaknai status sosial ekonomi selain berdasarkan indikator tersebut, juga ditambah dengan ukuran status sosial ekonomi menurut pendapat komunitas. Keluarga petani padi sawah lebak umumnya memiliki karakteristik terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah, atau sering disebut keluarga inti. Ketika anak menikah maka akan membuat rumah sendiri di pekarangan dekat rumah orang tua mereka. Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit terkecil dalam masyarakat dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis struktur kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga pada komunitas petani padi sawah lebak. Untuk menganalisis struktur kuasa pengetahuan perempuan maka keluarga petani padi dikategorikan berdasarkan kondisi sosial ekonomi yang berbeda, yaitu antara keluarga kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok bawah.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma kritis. Data dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan diskusi kelompok. Informasi digali dari para subyek kasus terdiri dari 3 keluarga kelompok atas, 3 keluarga kelompok menengah dan 3 keluarga kelompok bawah, dan informasi dari para informan tokoh agama, tokoh masyarakat dan kepala desa. Penentuan kategori keluarga dilakukan dengan cara; pertama, menggunakan data dari petugas BKKBN kecamatan tentang status kesejahteraan keluarga. Kedua, mengamati dan menanyakan kepemilikian barang-barang yang bernilai ekonomi seperti perahu motor, keramba ikan, penggilingan padi, lumbung padi dan lainnya. Ketiga, menanyakan dan mengamati kepemilikan barang-barang elektronik. Keempat,
menanyakan luas dan kepemilikan lahan pertanian dan pekarangan. Kelima, menanyakan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan di luar pertanian dan kedudukan dalam masyarakat. Analisis data dilakukan secara kualitatif, data dikategorikan dalam satuan uraian, kemudian dihubungkan dengan teori yang relevan. Waktu penelitian dimulai bulan September 2012 hingga Maret 2013 di desa Ulak Aurstanding di kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Hasil dan Pembahasan Status sosial keluarga petani padi sawah lebak dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. obyektif Berdasarkan ukuran obyektif, kedudukan status sosial ekonomi menurut Melly G Tan bisa dilihat dari jenis pekerjaan, penghasilan dan pendidikan. Berdasarkan hal ini maka masyarakat dapat digolongkan ke dalam kedudukan sosial ekonomi rendah sedang dan tinggi (Koentjaraningrat 1981). Penelitian ini mengkategorisasikan status sosial ekonomi keluarga kelompok atas, menengah dan bawah, berdasarkan; pertama, menggunakan data dari petugas BKKBN kecamatan Pemulutan Selatan kabupaten Ogan Ilir tentang status kesejahteraan keluarga. Kedua, mengamati dan menanyakan kepemilikian barang-barang keluarga petani padi sawah lebak yang bernilai ekonomi seperti perahu motor, keramba ikan, penggilingan padi, lumbung padi dan lainnya. Ketiga menanyakan dan mengamati kepemilikan barang-barang elektronik milik keluarga petani padi sawah lebak. Keempat, menanyakan luas dan kepemilikan lahan pertanian dan pekarangan keluarga petani sawah lebak. Kelima, menanyakan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan di luar pertanian dan kedudukan keluarga petani swah lebak di dalam masyarakat. Pendekatan subyektif dilakukan dengan memahami pengalaman, pandangan dan sikap warga komunitas tentang kondisi sosial ekonomi keluarga melalui diskusi kelompok dan wawancara mendalam informan dan subyek kasus. Berdasarkan hasil wawancara mendalam keluarga petani sawah lebak memahami bahwa keluarga yang disebut sebagai keluarga kelompok atas adalah ketika mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam setahun, tidak membeli atau berhutang. Selain itu mereka mengatakan yang dianggap keluarga memiliki status sosial ekonomi atas yaitu keluarga yang memiliki aset seperti kapal motor, keramba ikan dan penggilingan padi. Keluarga kelompok menengah adalah keluarga yang kadang kala bisa memenuhi pangan keluarga dan kadang kala harus berhutang dalam memenuhi kebutuhan pangan selama setahun. Mereka memiliki lahan tetapi tidak luas, tidak memiliki aset ekonomi sebagaimana kelompok atas. Keluarga kelompok bawah adalah keluarga yang selalu berhutang untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tidak memiliki lahan pertanian sehingga pekerjaannya adalah petani penggarap atau buruh tani. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki dalam pemenuhan pangan keluarga dianalisis pada tiga aspek utama. Pertama, relasi kuasa pengetahuan dalam pembagian peran publik antara laki-laki dan perempuan. Peran publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran mencari nafkah/pendapatan di luar rumah. Kedua,
relasi kuasa pengetahuan dalam pembagian kerja domestik, yakni pekerjaan-pekerjaan di dalam keluarga antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, relasi kuasa pengetahuan dalam pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing aspek dibahas lebih lanjut dalam sub bagian berikut; Relasi kuasa pengetahuan perempuan kelompok atas dalam pemenuhan pangan keluarga a. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran publik: peran publik didominasi kuasa pengetahuan laki-laki Peran publik untuk memperoleh pendapatan dan bahan pangan keluarga pada keluarga-keluarga kelompok atas dilakukan oleh para suami. Keluarga kelompok atas memiliki aset lahan pertanian cukup luas, namun istri tidak diperbolehkan bekerja di sektor pertanian padi sawah lebak dengan alasan ketersediaan pangan keluarga sudah dipenuhi oleh laki-laki. Di bidang pertanian padi, perempuan kelompok atas sama sekali tidak terlibat sehingga pengetahuan mereka tentang bercocok tanam menjadi tidak berkembang dan kemampuan mempraktikkan di sawah lebak bisa jadi akan luntur karena jarang dilakukan. Suami mereka lebih menguasai pengetahuan bercocok tanam, terutama ketika program ketahanan pangan digencarkan. Hal ini disebabkan kepala keluarga adalah orang yang memiliki akses informasi, pengetahuan bertani dan akses berkelompok. Sementara perempuan tidak memiliki akses langsung untuk berkelompok dan memperoleh pengetahuan dari program pertanian selama masih memiliki suami namun jika suami meninggal ada kesempatan untuk masuk kelompok tani, sebagaimana penuturan Jasiyah (50 th) berikut: “..tubuh ni masuk juge kelompok tani, bantuan benih, bibit, yang ngajak Kades tulah, Kades ni betine Saina. Satu kelompok tani sepuluh urang, dienye ade bapak-bapak.”. (Saya juga ikut kelompok tani, ada bantuan bibit. Awalnya yang ngajak untuk masuk kelompok tani yaitu Kades. Satu kelompok terdiri masingmasing RT atau dusun. Biasanya bapak-bapak yang ikut kelompok tani) Jika di teropong menggunakan teori feminisme, maka pada keluarga kelompok atas, relasi kuasa pengetahuan antara laki-laki dan perempuan didominasi kuasa pengetahuan laki-laki. Hal ini terlihat ketika pengetahuan laki-laki lebih banyak dan digunakan dalam melakukan relasi dengan istrinya, misalnya pengetahuan berdagang, membeli barang, menentukan harga serta pengetahuan pertanian. Perempuan mengikuti apa yang dianjurkan oleh suaminya. Budaya yang melingkupi kehidupan komunitas petani sawah lebak turut mempengaruhi cara pikir suami di keluarga berstatus sosial ekonomi atas. Menurut pemahaman mereka, tujuan utama suami adalah memenuhi kebutuhan hidup keluarga
dan melindungi istri dan anggota keluarga lainnya, sehingga ketika kebutuhan pangan tercukupi maka istri tidak perlu bekerja keras membantu suami. Dalam hal ini proses relasional antara suami dan istri pada keluarga dengan status sosial ekonomi atas, turut melanggengkan nilai budaya tersebut. Berikut penuturan tokoh adat Jamali (63 th); “...didunie ni ade siang ade malam, setiap betine ni dipertanggung jawaban oleh laki-laki, dak katek lanang dipertanggungjawabkan perempuan. contoh nabi Muhammad bebini banyak, betine katek belaki banyak, tanggung jawab nian” Nilai-nilai tersebut secara sekilas menguntungkan bagi perempuan, namun jika dikaji lebih dalam akan muncul ketidakadilan gender dimana ruang gerak perempuan terbatasi oleh nilai budaya ini. Ketidakadilan gender adalah suatu kondisi tidak adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menyebabkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki. Dalam kasus keluarga dengan status sosial ekonomi atas maka pihak yang mengalami ketidakadilan gender adalah perempuan. Penelitian Mabsout (2004) di Ethiopia menunjukkan bahwa di dalam kelompok dimana terdapat norma gender yang tidak seimbang di tingkat individu maupun rumah tangga maka akan berefek pada bargaining power. Hal ini perlu dimediasi dengan memperluas pendekatan individu kepada pendekatan institusional untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Di sisi lain perempuan “terhegemoni” oleh nilai budaya yang disosialisasikan oleh suami maupun komunitas. Hegemoni menurut Gramsci adalah bentuk kekuasaan dimana pihak yang dikuasai secara sukarela menerimanya. Perempuan secara sukarela menerima kenyataan bahwa ketika suami mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga, maka perempuan tidak perlu bekerja. Nilai semacam ini menempatkan perempuan seakan-akan berada pada zona aman secara ekonomi. Namun faktanya kondisi ini memasung peran, pengetahuan, ide dan mobilitas perempuan. Menurut perempuan sendiri mereka merasa nyaman atas apa yang dialami. Kondisi ini bisa dipahami karena komunitas petani sawah lebak merupakan komunitas yang tergolong petani subsisten maka ketika kebutuhan pangan terpenuhi perasaan aman akan tercipta. Kenyamanan perempuan berstatus sosial ekonomi atas ini, akan menjadi rentan ketika ada faktor luar yang tidak diinginkan terjadi, misalnya suami sakit, suami meninggal dan suami berselingkuh sementara perempuan tidak memiliki ketrampilan, pengetahuan dan keberdayaan. Hal ini terjadi karena proses sosial dalam relasi keluarga didominasi laki-laki. Faktor yang mendorong dominasi antara lain nilai-nilai budaya dalam komunitas serta berbagai program pemerintah yang digulirkan yang cenderung menguntungkan laki-laki. Basis pengetahuan lokal yang bersumber pada nilai budaya dan agama yang diyakini komunitas menyangkut ketersediaan pangan menuntut laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Nilai ini dianut oleh keluarga kelompok status sosial ekonomi atas sehingga secara tidak langsung melanggengkannya dalam kehidupan sosial komunitas petani padi sawah lebak. Dominasi laki-laki di urusan publik tidak hanya pada sektor pertanian padi lebak, tetapi juga dominasi kuasa pengetahuan mengembangkan usaha non pertanian
padi lebak seperti dibidang perdagangan dengan membuka warung dan menjadi tengkulak padi. Laki-laki juga memiliki aset untuk usaha di bidang angkutan jasa transportasi sperti perahu motor dan motor ojek. Perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai di kecamatan Pemulutan Selatan harus melalui jalan darat dengan menggunakan ojek, kemudian menyeberangi sungai dengan menggunakan perahu ketek. Keluarga kelompok atas menyewakan motor kepada para tukang ojek, dengan sistem setoran perhari. Jumlah setoran perhari tidak tetap tergantung pendapatan tukang ojek. Perahu motor juga disewakan pada orang lain dengan sistem sewa setoran harian. Jumlah setoran disesuaikan dengan pendapatan perhari. Usaha lain yang dikembangkan adalah peternakan ikan mas dan ikan nila dengan membuat keramba di pinggiran sungai Ogan. Tidak jarang keluarga status sosial ekonomi atas memiliki sapi yang dipeliharakan kepada petani lain, yang mengurus pola bagi hasilnya adalah laki-laki. Usaha-usaha menambah penghasilan di sektor publik tersebut dikelola oleh para suami dan istri tidak terlibat sama sekali.
b. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran domestik: kuasa pengetahuan perempuan relatif dominan namun tetap ada intervensi kuasa pengetahuan laki-laki. Keluarga kelompok atas juga memiliki lahan pertanian padi sawah lebak yang luas, diatas dua hektar. Pada kondisi normal, sekali panen bisa menghasilkan 13 ton gabah. Kondisi ini memungkinkan terpenuhi kebutuhan beras untuk pangan keluarga kelompok atas, sehingga para suami menginginkan istri mereka tidak lagi terlibat pada kegiatan pertanian. Menurut penuturan informan Imron (54 th) jika laki-laki sudah bisa memenuhi kebutuhan keluarga tidak perlu istri ikut ke sawah, istri cukup bekerja di rumah mengurus anak dan memasak, dan di suruh menjaga warung. Berikut penuturan informan; “... sebenarnye menurut pernikahan, arti perempuan itu bertanggung jawab dirumah, kebutuhan di rumah kalu ade belum dimasak die masak, yang beli iyo suami kepala keluarga, harus kepala keluarga” Nilai-nilai tersebut mendasari konstruksi sosial perempuan diposisikan pada ranah domestik. Inisiatif untuk ”merumahkan” istri muncul dari kehendak laki-laki, berangkat dari asumsi mereka bahwa kalau laki-laki mampu memenuhi kebutuhan nafkah istri tidak perlu capek-capek bekerja. Kondisi ini di satu sisi mengkibatkan kuasa pengetahuan perempuan dalam ketersediaan pangan (dari sektor publik) terkurangi, namun di sisi lain kuasa pengetahuan perempuan untuk domestik menjadi dominan. Dominasi kuasa pengetahuan perempuan tampak pada pekerjaan seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, membersihkan rumah dan pekerjaan rumah lainnya. Pada kegiatan ini pengetahuan perempuan tidak diragukan lagi dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari pada kelarga kelompok atas. Para laki-laki sama sekali tidak menyentuh pekerjaan domestik tersebut, hanya saja seringkali mereka
mengintervensi dalam bentuk keinginan/kehendak sesuai kebutuhan laki-laki, seperti menyuruh memasak jenis makanan tertentu. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pekerjaan domestik yang dominan ini dalam perspektif feminisme merupakan bentuk ketidakberdayaan perempuan untuk keluar dari kungkungan ranah domestik yang menyebabkan perempuan tidak memiliki kekuasaan atas pekerjaan produktif yang menghasilkan uang. Berbeda dengan pandangan tersebut, Foucault memihat kekuasaan berada pada hubungan relasional, antar subyek dimana subyek yang memiliki pengetahuan dan mampu mempraktikkannya dalam relasi adalah subyek yang berkuasa, sehingga pengetahuan menjadi alat berkuasa. Pada titik ini kuasa pengetahuan pada ranah domestik bisa dipahami sebagai bentuk kungkungan menurut perspektif feminisme dan sebagai bentuk pertautan pengetahuan menurut Foucaut (pengetahuan memproduksi kekuasaan dalam hubungan relasional perempuan dan laki-laki).
c. Relasi kuasa pengetahuan dalam pengambilan keputusan: kuasa pengetahuan laki-laki mendominasi Relasi kuasa pengetahuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan pada keluarga kelompok atas banyak didominasi oleh laki-laki. Laki-laki sebagai penentu atas usaha produktif untuk menambah pendapatan keluarga seperti membuka warung, membuat keramba ikan, menyewakan motor dan kapal/perahu, memutuskan proses pengolahan pertanian padi sawah lebak dan bahkan memutuskan jenis makanan tertentu untuk diolah dan dikonsumsi keluarga. Pengambilan keputusan ini jarang didiskusikan dengan isttri, istri cenderung mengikuti apapun keputusan suaminya. Di bidang pertanian padi, perempuan kelompok atas sama sekali tidak terlibat dalam proses pertanian maupun pengambilan keputusan atas bibit, penggunaan pestisida, pemanenan sehingga pengetahuan mereka tentang bercocok tanam menjadi tidak berkembang dan kemampuan mempraktikkan di sawah lebak akan luntur karena jarang dilakukan. Suami mereka lebih menguasai pengetahuan bercocok tanam dan penentu keputusan dalam proses pertanian padi sawah lebak. Kuasa pengetahuan lakilaki dalam pengambilan keputusan ini semakin dipicu oleh program ketahanan pangan untuk peningkatan produktivitas padi yang digencarkan pemerintah. Kepala keluarga adalah orang yang memiliki akses informasi, pengetahuan bertani dan akses berkelompok. Hal ini menyebabkan pengetahuan laki-laki lebih berkembang dibandingkan perempuan sehingga dalam relasi dengan perempuan, laki-laki lebih memiliki pengetahuan pertanian yang menjadi alat berkuasa bagi laki-laki. Keputusan berada di tangan suami untuk menentukan berbagai aspek di dalam keluarga. Kenyataan ini membuat partisipasi perempuan lebih kecil dibanding suaminya. Senada dengan itu, Haddad dan Kasbur (1990) melakukan studi dan menemukan bahwa jika perempuan memiliki kekuasaan kecil atas keputusan pada penggunaan sumber daya termasuk waktu maka partisipasi perempuan mengalami kegagalan. Selain itu, sengaja maupun tidak, terjadi menyingkiran (marjinalisasi) ide kreatif perempuan untuk mengambil keputusan dalam keluarga. Perempuan pada kelompok ini hanya mampu menuruti suami mereka, karena secara ekonomi kebutuhan ketersediaan pangan sudah terpenuhi oleh suami mereka. Perempuan menjadi tidak kreatif untuk mengembangkan gagasan dan praktik dalam pemenuhan pangan keluarga sehingga inisiatif perempuan menjadi tidak muncul. Laki-laki menjadi lebih superior dalam keluarga. Pada posisi demikian terjadi subordinasi laki-laki atas perempuan. Subordinasi adalah suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelami lainnya, sehingga ada jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengar suaranya, bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya. Jika dilihat dari perspektif teori Foucault, ketidakmunculan ide dan gagasan mengakibatkan ketidakmampuan untuk berkuasa, karena kehendak untuk tahu adalah kuasa itu sendiri. Ketika perempuan tidak memiliki kemampuan untuk berbicara, mengatakan dan mempraktikkan maka sesungguhnya mereka tidak memiliki kuasa pengetahuan.
Kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga kelompok menengah a. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran publik: peran publik dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, pada aspek akses informasi dan kredit kuasa pengetahuan perempuan lebih dominan. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki pada sektor publik di keluarga kelompok menengah relatif setara, dimana baik laki-laki maupun perempuan sama-sama terlibat dalam mencari pendapatan di luar rumah. Baik-laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama mempraktikkan kuasa pengetahuannya pada sektor pertanian padi sawah lebak (meski peran perempuan tidak sebanyak lakilaki), mengumpulkan bahan pangan dari rawa, dan bekerja untuk memeroleh uang. Pengetahuan dan ketrampilan perempuan senantiasa bertambah dan berkembang karena perempuan memiliki akses terhadap pengetahuan yang berbasis komunitas, pemerintah dan swasta/pelaku usaha. Basis pengetahuan komunitas dimanfaatkan untuk praktik bercocok tanam, memanfaatkan ekologi rawa untuk pemenuhan pangan serta pengetahuan bersosialisasi dan berinteraksi dalam komunitas termasuk pengetahuan tentang menenun songket. Berikut penuturan Mustika (28 th): “Sudah lame nenun, sejak tamat MTS la nenunlah. belajar same keluarge tulah dengan bibik ape misan. Belajarnye seminggu taroklah, belajar ngi keluarge disnilah. Baru mulai belajar tadi lak beli alat...” (Menenun sudah lama, waktu tamat MTS sudah belajar menenun. Belajar dengan bibi dan sepupu. Belajar seminggu sudah bisa. Balajar nenun langsung praktek buat kain. Menggunakan alat sendiri yang dibeli...) Perempuan kelompok menengah memiliki akses untuk mendapatkan modal KUBE untuk menenun songket. Mereka menjadi penenun songket sendiri setelah mendapatkan modal usaha, sehingga tidak lagi menjadi buruh songket. Awalnya perempuan kelompok menengah ini menjadi buruh songket dari pengusaha songket dari kota Palembang, umumnya pedagang songket di Pasar 16 Ilir. Seorang informan Alwi (66 th) membenarkan adanya bantuan modal melalui kelompok usaha bersama dan memberi manfaat bagi masyarakat: “...tapi lah adu bantuan pemerintah 6 juta, untuk urang nenun tadi, itu proposal asenye, itu turun. Kalu baru tenunnye sejuta nik beli alat, untuk modal. dieni setengah bulan bejual. siape yang nunggak dicabut. ame aku dengar sejuta setangah nik beli alat tu. Jadi kalo dak salah bayar nyetor seratus limo puluh..”
(..tapi sekarang sudah ada bantuan dari pemerintah 6 juta, untuk orang menenun. Untuk yang baru belajar menenun 1,5 juta untuk bantuan modal membeli alat, tiap satu bulan harus mengangsur 150 ribu,...) Kemampuan sosialisasi dan interaksi ini sangat bermanfaat bagi mereka ketika melakukan relasi dengan perempuan pada keluarga berstatus sosial ekonomi atas maupun bawah. Kemampuan untuk memanajemen relasi ini dimiliki dan diterapkan oleh perempuan kelompok menengah. Oleh karena itu mereka memiliki ketrampilan dalam bernegosiasi yang bisa dimanfaatkan pada saat menjual barang kreditan dan menawarkan pinjaman uang. Selain itu mereka juga berani “melawan” nilai-nilai adat dan agama untuk mempraktikkan pengetahuan demi memenuhi pangan keluarga. Sebagai contoh mereka bersedia menjadi rentenir meskipun mengetahui dan menyadari bahwa rentenir itu dilarang oleh agama. Nilai-nilai solidaritas dari komunitas juga dilanggarnya saat mereka harus meminjamkan uang dengan bunga dan harus tega saat menagih hutang yang sudah jatuh tempo. Keberadaan rentenir di kalangan komunitas petani sawah lebak ini dibenarkan oleh tokoh masyarakat, Alwi (66 th) berikut: “... menuhi kebutuhan itu dalam keluarge, itu masing-masinglah kalu dulu ade duit beranak. tapi sekarang idak katek, lintah darat, tapi sekarang dihalusi kembang, bunge itu masih haram hukumnye. Ade juge yang pinjam, misalnye 10 juta bayar 15 atau 20 juta dak tau nak rusuh, nak ngadu kemane same kene. Mentak katek urang ngambek katek wong beri” (... memenuhi kebutuhan dalam keluarga masing-masing, kalau dulu ada uang beranak, tapi sekarang tidak ada lagi, diperhalus dengan sistem bunga, itu juga haram hukumnya. Misalkan pinjam 10 juta bayar 15 atau 20 juta, semuanya sama-sama salah) Pendapatan perempuan diluar pertanian padi pada keluarga kelompok menengah ini berimplikasi pada relasi gender dalam keluarga mereka. Perempuan memiliki posisi tawar pada saat berinteraksi dengan suami mereka. Perempuan menjadi bebas berkreasi untuk menambah pendapatan keluarga, seperti menjual barang kreditan menjual ikan keliling, menenun songket bahkan meminjamkan uang kepada para tetangga. Mereka juga bisa mengikuti kelompok usaha bersama dan berbagai penyuluhan di balai desa tanpa adanya hambatan dari suami. Pada saat ada negosiasi gender inilah perempuan bisa memberikan tambahan pendapatan demi kondisi yang lebih baik bagi pemenuhan pangan keluarga. Hal ini sesuai dengan temuan Valdivia dan Gilles, 2001 menunjukkan adanya dinamika yang akan mempengaruhi akses rumah tangga untuk bisa mencapai kondisi yang baik. Akses untuk lebih baik tergantung pada negosiasi kapasitas gender. Mereka menunjukkan peran sentral perempuan bermain dalam lingkungan yang memberi kesempatan bagi mereka khususnya ketika suara mereka didengar.
Di sisi lain, pengetahuan dan ketrampilan di bidang non pertanian juga mampu dipraktikkan seperti menenun songket, menjadi pedagang keliling, menjadi peminjam uang dengan bunga, mengkreditkan barang serta memanfaatkan ekologi rawa untuk pemenuhan pangan keluarga. Pengetahuan dan ketrampilan ini mengenalkan mereka pada sektor komersial diluar sektor pertanian padi. Berbeda dengan temuan Savitri dan Fremerey (2008) tentang pergeseran peran dan akses perempuan petani Bolapapu di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang menunjukkan pergeseran dari pertanian subsitensi ke pertanian produksi komersial kakao mengakibatkan akses dan kontrol perempuan termarjinalkan, maka penelitian ini menemukan justru komersialisasi yang masuk ke komunitas memungkinkan perempuan kelompok menengah mampu mempraktikkan kuasa pengetahuannya. Hal ini karena komersialisasi yang terjadi tidak merubah sektor utama pertanian mereka dan menjadi pelengkap bagi perolehan pendapatan keluarga. Sejalan dengan pemikiran ini Spring, 2000 dalam bukunya “women farmers and commercial ventures; increasing food security in developing countries” menekankan bahwa: studi tentang perempuan dan pangan bukan lagi berkutat pada pangan subsisten dan menggugat ketidakadilan pada pelaksanaan pembangunan pertanian yang dialami perempuan selama dekade revolusi pertanian yang berdampak negatif pada perempuan, tetapi lebih jauh perlu melihat usaha komersial perempuan yang memiliki dampak positif. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa perempuan yang terlibat dalam produksi komersial, memiliki uang untuk membeli pangan (yang lebih bagus secara kuantitas maupun kualitasnya) termasuk bisa membeli lahan. Perempuan yang melakukan pertanian komersial memiliki strategi yang bagus bagi ketahanan pangan dan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya dibandingkan produksi pertanian subsisten maupun jika hanya tergantung pada pasangannya atau kerabat laki-laki. b. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran domestik: dilakukan bersamasama laki-laki dan perempuan Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki dalam peran domestik relatif setara, dimana laki-laki sering bertukar peran dalam pekerjaan domestik. Pada saat perempuan sedang keluar rumah mencari uang dari pekerjaan menyiang ikan, memutar uang kredit maka laki-laki tak segan membereskan rumah. Begitu juga ketika perempuan menenun songket, laki-laki mau mencuci piring. Kondisi ini dilakukan karena adanya proses komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, tekanan kebutuhan pangan membuat mereka (laki-laki dan perempuan) bekerja sama melakukan pekerjaan domestik. Para subyek kasus menunjukkan antara suami dan istri saling berbagi peran bahkan bertukar peran. Semua dilakukan demi tercukupinya makan sehari-hari. Berikut penuturan Zainuna (50 th); ...kami ni lanang betino samo be gawenyo,..kalo aku ni lagi sibuk nenun.. lakiku yang cuci piring...dionyo galak nyuci piring..mun aku sibuk masak...suami aku ngantiken nenun songket...dionyo pacak nenun tapi selendangyo be..mun kainnyo di belum biso...
Kesetaraan relasi kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan ini menjadi modal bagi mereka untuk memenuhi pangan keluarga. Dengan adanya kesetaraan ini, tidak ada penghalang bagi mereka merasa tabu melakukan pekerjaan domestik maupun publik. c. Relasi kuasa pengetahuan dalam pengambilan keputusan: kuasa pengetahuan perempuan mendominasi Pola pengambilan keputusan pada keluarga kelompok menengah lebih didominasi perempuan meskipun kadangkala ada kompromi dan fluktuasi dominasi. Perempuan memiliki akses informasi dan pengetahuan lebih banyak dibanding suaminya. Pola pengambilan keputusan mengandung pengertian adanya suatu mekanisme proses pengambilan keputusan yang terstruktur dan teratur dalam suatu kelompok atau unit-unit tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Pudjiwati Sajogya (1981) membedakan pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga ke dalam lima kategori ; Pertama, keputusan dibuat oleh isteri seorang diri tanpa melibatkan suami. Kedua, keputusan dibuat bersama oleh suami-istri tetapi dengan pengaruh istri lebih besar. Ketiga, keputusan dibuat bersama dan senilai tanpa tanda-tanda salah satu berpengaruh relatif lebih besar dari yang lain. Keempat, keputusan dibuat bersama oleh suami-istri dengan pengaruh suami lebih besar. Kelima keputusan dibuat oleh suami sendiri tanpa melibatkan istri. Untuk kasus keluarga kelompok menengah maka pola pengambilan keputusan lebih sering dilakukan oleh istri (perempuan). Kuasa pengetahuan perempuan dalam pengambilan keputusan menyangkut keputusan untuk memeroleh pendapatan keluarga melalui kredit uang, menenun songket, menyiang ikan, mengakses informasi dan pengetahuan dari berbagai sumber. Perempuan kelompok menengah memiliki ide dan kreatifitas untuk menambah pendapatan serta memiliki kebebasan menentukan apa yang harus dilakukan dalam pemenuhan pangan keluarga. Berikut penuturan subyek kasus Fatima (33 thn); “...ayuk begawe katik larangan dari suami,...nak nyiang ikan laju...nyongket laju..segalonyo ayuk putuske dewek, makmano nak nglarang...dapur kami ni pingin ngepul, kami betino ni harus pacakpacak kito apo bae digaweken..” “ayuk (kakak) bekerja tidak ada larangan dari suami,...mau bekerja sebagai buruh menyiang ikan boleh...menyongket juga boleh..segalanya saya putuskan sendiri, bagaiman mau dilarang..keperluan dapur harus dipenuhi sehingga para peempuan harus pintar-pintar mencari pendapatan...” Berdasarkan penjelasan tersebut, kuasa pengetahuan perempuan mampu dipraktikkan dalam menentukan dan memutuskan jenis pekerjaan perempuan untuk memeroleh pendapatan keluarga. Suami mereka tidak kuasa melarang perempuan bekerja karena perempuan memiliki berbagai pengetahuan baik domestik dan publik yang bisa membantu pemenuhan pangan keluarga. Pandangan komunitas bahwa laki-
laki sebagai pencari nafkah utama tidak dihiraukan karena keterdesakan kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi ini menunjukkan persoalan ekonomi mampu merubah pandangan dan kebiasaan dalam komunitas. Desakan ekonomi keluarga menjadikan kuasa pengetahuan perempuan bisa dipraktikkan dalam relasinya dengan laki-laki. Oleh karena itu, faktor ekonomi membuat kuasa pengetahuan perempuan dalam pengambilan keputusan di keluarga kelompok menengah menjadi dominan dibandingkan kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga kelompok bawah a. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran publik: peran publik dilakukan bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki dalam peran publik pada keluarga kelompok bawah lebih setara dibandingkan dengan perempuan dengan status sosial ekonomi atas dan menengah. Hal ini terjadi karena baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama dan bekerja sama dalam mencari nafkah. Bagi keluarga kelompok bawah, yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa makan seharihari. Kondisi ekonomi yang lebih sering mengalami kekurangan membuat mereka semakin solid dalam mencari nafkah. Mereka bersama-sama terlibat sebagai buruh upahan pada pertanian padi keluarga kelompok atas, seperti penuturan tokoh masyarakat (Jamali dan Alwi) berikut: “Yang terlibat mengelola tanah samo bae perempuan dan laki-laki. Yang bantu ngelolah biasenye dimane ade yang kaye pasti ade yang miskin, jadi yang miskin nilah yang bantu ngelolah segale macem itu, ngambek upah”. (Yang terlibat dalam mengelola lahan laki-laki dan perempuan -mengerjakan pekerjaan bertani padi. Selain itu orang-orang yang punya uang mengupah ke keluarga yang kurang mampu, laki-laki dan perempuan ikut terlibat dalam upahan tersebut) Kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki kelompok bawah dalam ketersediaan pangan antara lain pengetahuan dan ketrampilan dalam bercocok tanam yang dimanfaatkan untuk menjadi buruh tani, mencari sumber pangan di rawa dan pekarangan seperti keong, telepuk, ikan dan kangkung. Peran mereka mencari pangan keluarga merupakan peran publik utama yang dijalankan, sementara peran publik terkait urusan sosial kemasyarakatan tidak menjadi perhatian mereka. Himpitan ekonomi mereka rasakan setiap hari, berhutang dari satu tetangga ke tetangga lain,meminta bantuan kerabat dan sanak saudara untuk bisa makan. Ketersediaan pangan menjadi persoalan hidup dan mati, karenanya pangan keluarga menjadi fokus perhatian. Berbagai sumber daya yang ada diarahkan pada pemenuhan pangan keluarga, mulai dari suami, istri dan anak bersama-sama mencari
pangan. Tidak jarang anak mereka dilibatkan menjadi buruh tani padi dan buruh menyiang ikan. Sehabis pulang sekolah anak-anak bekerja menjadi buruh menyiang ikan bersama teman-teman sebaya untuk mendapatkan upah sebesar limaratus rupiah perkilo. Dalam sehari (tidak setiap hari ada pekerjaan menyiang ikan), mereka mendapatkan upah tiga ribu rupiah, digunakan untuk membeli keperluan sekolah dan uang jajan. Tidak jarang mereka memberikan kepada orang tua untuk membeli beras. Perempuan pada keluarga kelompok bawah memiliki ketrampilan menenun, namun karena tidak memiliki alat tenun maka pengetahuan dan ketrampilan menenun digunakan untuk menjadi buruh tenun songket. Kuasa pengetahuan perempuan menenun songket menjadi salah satu sumber daya untuk menghasilkan uang demi pemenuhan pangan keluarga. Laki-laki tidak jarang membantu perempuan menenun songket sebisa mereka. Laki-laki hanya menguasai teknik menenun selendang karena ukurannya lebih kecil sehingga tidak susah. b. Relasi kuasa pengetahuan dalam peran domestik: peran domestik dilakukan bersama-sama laki-laki dan perempuan Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan laki-laki dalam peran domestik lebih setara dibanding keluarga kelompok atas dan menengah. Baik laki-laki maupun perempuan menguasai pekerjaan rumah tangga mulai dari menyapu, mencuci, memasak dan pekerjaan lainnya. Mereka tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai komunitas sebagai hambatan, bahkan nilai-nilai komunitas yang cenderung menguntungkan bagi mereka akan diambil sementara yang merugikan akan ditinggalkan. Contoh nilai komunitas yang menghambat adalah bahwa pencari nafkah adalah laki-laki, pekerjaan dapur urusan istri, namun karena situasi dan kondisi nilai tersebut tidak berlaku dan tidak mereka ikuti. Berikut pernyataan subyek kasus Nursyam (55 thn): “...kami dak peduli apo kato uwong tu...laki betine samo be nak makan tulah...gawe nyari duwit gawe dapur samo be...sapo ado waktu ngawekkelah, katik bedanyo,...anak-anak cak itu pulo..” “...kami tidak peduli apa kata orang...laki-laki dan perempuan menurut kami sama saja pingin dan butuh makan...pekerjaan mencari uang dan pekerjaan rumah tangga bisa dikerjakan laki-laki dan perempuan, siapa yang memiliki waktu bisa mengerjakan...anak-anak juga begitu...” Nilai-nilai komunitas yang menguntungkan bagi mereka adalah ikatan kekeluargaan yang kuat serta hubungan sosial yang erat antar tentangga. Nilai-nilai ini sangat membantu mereka terutama ketika tidak memiliki pangan untuk dimakan, mereka meminjam pada kerabat maupun tetangga. Berikut penuturan Taruna (48 th), seorang janda yang harus menghidupi tiga orang anaknya dan memanfaaatkan nilainilai solidaritas tetangga dan kerabatnya:
Mun kami dak katik beras...ngutang ke tetanggo...mbayarnyo kalo ado pemberian dari saudara, kali idak kami minjam ke saudara di daerah jalur..kalo modal habis...katik masakan, hutang lah banyak..ke saudara kami tulah minta bantuan... Keluarga kelompok bawah meminjam kepada tetangga terdekat, sebagai langkah pertama pada saat tidak memiliki ketersediaan pangan untuk dimakan. Ketika hutang kepada tetangga sudah banyak sementara kebutuhan pangan mendesak harus dipenuhi, mereka meminjam pada kerabat untuk membayar hutang dan memenuhi pangan keluarga. Mekanisme ini dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. c. Relasi kuasa pengetahuan dalam pengambilan keputusan: laki-laki dan perempuan saling berdiskusi untuk pengambilan keputusan keluarga Pengambilan keputusan dalam keluarga kelompok bawah dilakukan secara bersama. Suami dan istri membicarakan persoalan yang dihadapi untuk memeroleh penyelesaian. Persoalan himpitan ekonomi diputuskan dengan mendayagunakan sumber daya untuk memeroleh bahan pangan dan pendapatan. Seluruh anggota terlibat sebagai buruh upahan demi memeroleh pendapatan keluarga, mencari bahan pangan dari rawa lebak dengan memancing ikan mengambil kangkung, gondang dan menjadi buruh menyiang ikan serta buruh songket. Pendapatan berupa uang digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya. Hal ini senada dengan temuan Hendratno (2006) yang menemukan bahwa pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan produksi dan konsumsi dalam rumah tangga petani, selalu ada kompromi kooperatif antara suami dan istri. Pengambilan keputusan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu indikator adanya kesetaraan gender dalam keluarga. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak dan potensinya. Kesetaraan gender menjadi faktor penting dalam pemenuhan pangan keluarga. Melalui kesetaraan ini, baik laki-laki maupun perempuan memiliki rasa tanggung jawab untuk bekerja demi pangan keluarga. Kesetaraan menjadi modal bagi pemberdayaan perempuan kelompok bawah. Adanya kesetaraan gender dalam keluarga, telah menghilangkan hambatan dalam upaya peningkatan pendapatan keluarga. Hal ini senada dengan penelitian Scahlan (2004) yang menemukan bahwa pemberdayaan perempuan dan melibatkan gender dalam program pembangunan tidak hanya dapat meningkatkan kesempatan hidup perempuan tetapi juga menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, Rocheleau, 1997 mengemukakan bahwa gender merupakan faktor komplek pada sebuah relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di hampir semua masyarakat. Relasi kekuasaan sendiri memungkinkan subyek bisa berubahubah. Pada kasus tree tenure domain gender bisa berpengaruh sebagai pelengkap dan dinegosiasikan. Jika regim bisa dinegosiasikan maka akan mempengaruhi perubahan dalam relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
Simpulan Perbedaan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas disubordinasi oleh kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan laki-laki mendominasi seluruh aspek pemenuhan pangan keluarga; mulai dari peran publik, pengambilan keputusan dan penentu jenis makanan. Kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas hanya nampak pada peran domestik, mengolah masakan untuk konsumsi keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok menengah relatif dominan dibanding kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan mampu dipratikkan pada ranah publik; mendapatkan bahan pangan dan pendapatan, mempraktikkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan di ranah domestik. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan kuasa pengetahuan laki-laki pada keluarga kelompok bawah cenderung setara dalam setiap aspek pemenuhan pangan keluarga. Pada ranah publik dan ranah domestik kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan dimainkan demi pemenuhan pangan keluarga. Perbedaan kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak ini menunjukkan dua hal; pertama, kuasa pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan seluruh anggota keluarga.
8 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum dalam bab ini berisikan pokok-pokok pikiran (jawaban) dari rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, yang dirangkai dan dibahas secara mendalam serta menemukan kelebihan dan keterbatasan dari hasil penelitian. Peran perempuan dalam produksi pangan keluarga sudah tidak diragukan lagi, baik di tingkat lokal, regional maupun global (Moussa 2011, Walingo 2009, Sukiyo 2007). Peran sebagai produsen pangan ini semakin dikuatkan oleh struktur sosial budaya yang menempatkan perempuan sebagai simbol pangan. Dewi Sri simbol pangan adalah seorang perempuan. Begitu juga dengan perempuan di komunitas petani padi sawah lebak. Perempuan sangat identik dengan pangan keluarga, karena berbicara tentang pangan berarti membicarakan perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan pada komunitas petani padi sawah lebak terlibat dalam proses ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan keluarga. Bekal pengetahuan dan ketrampilan tentang pangan menjadikan perempuan berkontribusi besar bagi pemenuhan pangan keluarga. Realitas ini menunjukkan pemenuhan pangan keluarga selalu melibatkan perempuan, baik dalam ranah domestik (pemanfaatan pangan) maupun ranah publik (ketersediaan pangan dan akses pangan), baik pada kegiatan on farm maupun off farm. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kegiatan on farm memang memberikan efek langsung yang mudah diamati bagi pemenuhan pangan keluarga, namun ketidakpastian musim membuat panen sering mengalami kegagalan. Kondisi ini membutuhkan dukungan kegiatan off farm untuk membantu pemenuhan pangan keluarga. Di kalangan petani kegiatan on farm dan off farm masih sama-sama marginal, sehingga perlu agenda kebijakan, promosi sektor off farm di pedesaan yang selama ini masih kurang mendapatkan perhatian (Haddad dan Kabur 1990). Kontribusi perempuan yang besar dalam pemenuhan pangan keluarga tidak diikuti oleh program yang perpihak pada perempuan. Berbagai program pemerintah terkait pangan, seperti revolusi hijau, sekolah lapang pertanian dan bantuan teknologi pertanian tidak berpihak pada perempuan petani padi sawah lebak. Program-program tersebut justru memarjinalisasi peran perempuan dalam pengolahan sawah lebak. Kuasa pengetahuan perempuan memilih bibit lokal dirampas oleh penggunaan bibit unggul yang diintrodusirkan oleh pemerintah. Kuasa pengetahuan perempuan dalam membersihkan rumput tergerus oleh penggunaan herbisida. Kuasa pengetahuan perempuan memanen padi menggunakan ani-ani digusur oleh proses pemanenan menggunakan sabit dan mesin perontok padi (grentek). Shiva (1997) menguatkan terjadinya perampasan kuasa pengetahuan perempuan dengan menyatakan bahwa: ...perempuan digusur dari kegiatan produktif oleh pembangunan yang makin meluas, karena proyek-proyek pembangunan menyita atau merusak sumber daya yang menjadi landasan bagi produksi pangan dan untuk kelangsungan hidup. Pembangunan menghancurkan produktivitas perempuan karena pembangunan merebut dari tangan perempuan
pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan, dan merusak ekologi sistem lahan, air dan tumbuhan, sehingga menurunkan produktivitas dan daya alam untuk memulihkan diri... Kuasa pengetahuan perempuan petani sawah lebak yang termarjinalkan karena proses penerapan revolusi hijau mengambil bentuk lain sebagai ranah aplikasi kuasa pengetahuan yakni mengumpulkan sumber-sumber pangan yang berasal dari lingkungan sekitar dan memanfaatkan ketrampilan untuk mendapatkan uang. Kegiatan ini menjadi strategi untuk mendapatkan sumber nafkah pangan keluarga diluar kegiatan pertanian padi sawah lebak. Strategi nafkah merupakan seperangkat pilihan tindakan dari berbagai alternatif yang ada dengan memanfaatkan sumber daya yang ada (baik sumber daya berupa barang atau kegiatan ekonomi maupun dengan memanfaatkan modal sosial) untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup guna mempertahankan kelangsungan hidup (Dharmawan 2011). Pengetahuan tentang pemenuhan pangan keluarga diperoleh secara turun temurun dari keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak melalui proses sosialisasi. Sosialisasi primer berlangsung di dalam keluarga, sementara sosialisasi sekunder berlangsung di komunitas. Kuasa pengetahuan perempuan tentang pangan keluarga mengalami dinamika setelah bersentuhan dengan dunia luar yakni pemerintah dan pasar. Pengetahuan perempuan tentang pangan tidak hanya bersumber dari pengetahuan keluarga dan komunitas tapi ditentukan juga oleh diskursus pangan pemerintah dan komunitas. Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak terjadi dalam hal peningkatan produktivitas pertanian versi pemerintah, pemenuhan pangan sebagai mekanisme survival versi komunitas dan pangan sebagai komoditas ekonomi versi pelaku usaha. Pertarungan diskursus terjadi antara pemerintah dan komunitas petani padi sawah lebak, dalam hal sistem pengolahan pertanian padi sawah lebak. Pemerintah dengan strategi kebijakan peningkatan produktivitas padi demi pemenuhan kebutuhan pangan kabupaten dan propinsi, mengintervensi pola pertanian padi sawah lebak dengan kebijakan revolusi hijau pada tahun 1995 dan dilanjutkan dengan upaya penerapan berbagai program pertanian seperti sekolah lapang pertanian terpadu. Pola pertanian padi sawah lebak berubah sesuai keinginan pemerintah. Pada titik ini komunitas mengalami kekalahan karena kekuatan pemerintah merupakan kekuatan supralokal yang disenjatai oleh kebijakan yang bersifat top down. Namun komunitas memiliki strategi melawan berbagai program pemerintah dengan mengandalkan nilainilai toleransi dan solidaritas dalam komunitas. Nilai-nilai ini mendasari sikap dan tindakan mereka untuk mensiasati program pemerintah. Pada akhirnya program pemerintah dalam praktiknya tidak sepenuhnya dijalankan, namun disesuaikan dengan kepentingan dan nilai-nilai komunitas. Diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, utamanya menekankan pada peningkatan produktivitas padi justru menghasilkan kebijakan yang memarjinalkan kuasa pengetahuan perempuan. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang. Hal ini disebabkan obyek dari berbagai program pertanian adalah kepala keluarga (mayoritas laki-laki). Karenanya diskursus pangan pemerintah sesungguhnya merupakan proses maskulinisasi pertanian
dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Hal ini senada dengan ungkapan Shiva (1997) bahwa pertanian menjadi kegiatan yang bertujuan utamanya adalah produksi komoditas pertanian untuk laba sehingga alam, perempuan dan petani kecil tidak lagi dilihat sebagai produsen utama pangan. Munculnya kelompok “ahli pertanian” dengan menciptakan benih-benih hibrida, pupuk dan pestisida kimia, mekanisasi dan teknologi pertanian dengan sistem pengetahuannya, mengarah pada penggusuran “ahli-ahli pertanian tradisional” (kaum perempuan dan petani). Diskursus pemenuhan pangan komunitas memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus pangan komunitas. Diskursus pemenuhan pangan komunitas memiliki kebijakan dan strategi sendiri untuk menjamin keberlanjutan pangan bagi komunitas dengan melibatkan perempuan pada peran-peran mendasar bagi pemenuhan pangan keluarga. Peletakan perempuan sebagai bagian dari proses pemenuhan pangan keluarga selaras dengan deklarasi World Forum Sovereignty di Havana Kuba 7 September 2001 yang berisi diantaranya melibatkan perempuan sebagai aktor pangan yang memiliki peran mendasar (Setiawan 2003). Konsep pemenuhan pangan pemerintah berbeda dengan konsep pemenuhan pangan keluarga di komunitas padi sawah lebak. Konsep pemenuhan pangan keluarga menurut pemerintah dikenal dengan ketahanan pangan (food security). Konsep ini diwacanakan, disebarkan melalui berbagai strategi kebijakan dari tingkat pusat hingga ke desa. Konsep pemenuhan pangan keluarga menurut komunitas petani padi sawah lebak lebih cenderung pada konsep kedaulatan pangan (food sovereignty) dari pada ketahanan pangan (food security). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa komunitas berupaya memenuhi kebutuhan pangan dari sumber daya alam dan sumber daya sosial yang dimilikinya. Ketersediaan pangan dari ekologi rawa dioptimalkan untuk pemenuhan pangan. Kebutuhan beras diperoleh dari hasil panen padi mereka sendiri, sementara kebutuhan lauk diperoleh dengan mengambil ikan di sungai maupun lebak saat surut. Kebutuhan sayuran dipenuhi dengan menanam berbagai jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan untuk sayur seperti labu, kangkung rawa, oyong, kemangi dan lainnya. Sementara untuk sayur yang tidak bisa tumbuh di lokasi rawa, mereka membelinya di pasar. Pemanfaatan pangan juga dilandasi oleh pengetahuan lokal dalam mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kenyataan ini membuktikan bahwa komunitas memiliki sistem pangan tersendiri yang berbasis pada kondisi ekologi lokal. Selain itu, komunitas membangun pengetahuan dan ketrampilan untuk pemenuhan pangan keluarga melalui proses sosiologis yakni sosialisasi, eksternalisasi dan internalisasi yang berlangsung terus menerus dalam keluarga dan masyarakat. Komunitas juga melakukan kontrol atas berbagai program yang hendak masuk ke desa, melalui mekanisme bahwa program apapun harus sepengetahuan dan sepertujuan tokoh adat. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas memiliki kontrol atas berbagai program yang masuk termasuk program ketahanan pangan. Aspek penting lain yang ditemukan terkait kedaulatan pangan pangan komunitas adalah mereka bekerja dengan alam dalam pemenuhan pangan keluarga. Sejalan dengan fakta
tersebut, deklarasi Nyeleni 2007 menyebutkan terdapat 6 prinsip dari kedaulatan pangan (food sovereignty) (Schiavoni 2009); Pertama memfokuskan pada pangan bagi rakyat. Kedua, nilai-nilai penyedia pangan. Ketiga, lokalisasi sistem pangan. Keempat, meletakkan kontrol secara lokal. Kelima, membangun pengetahuan dan ketrampilan dan kelima, bekerja dengan alam. Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian). dalam hal benih, perempuan melawan dengan tetap menggunakan bibit lokal pegagan untuk kebutuhan pangan keluarga (meskipun hanya segelintir orang) karena kuatnya cengkeraman diskursus benih unggul hibrida milik pemerintah. Dalam hal intervensi dan instruksi penggunaan herbisida, perempuan melawan dengan tetap membersihkan rumput secara manual dengan alasan penghematan keuangan. Dalam hal penggunaan teknologi pertanian, meskipun perempuan bukan obyek program yang mendapatkan sosialisasi dan pelatihan, perempuan berusaha belajar menggunakan alat-alat tersebut. Sementara itu resistensi tidak langsung dilakukan dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Kuasa pengetahuan perempuan bertransformasi dari petani padi sawah lebak ke pengumpulan bahan pangan dari rawa lebak serta diversifikasi pekerjaan untuk memeroleh uang. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari pertanian padi lebak. Perempuan dan alam memiliki hubungan yang lekat, memproduksi kehidupan dan inisiator bagi pemulihan alam (Shiva 1997). Menenun songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan karena dengan tenun songket perempuan mendapat uang cash secara langsung, dan pasti tidak rugi. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Songket menjadi usaha komersial yang menjanjikan dampak positif bagi kebutuhan hidup keluarga. Geliat perkembangan tenun songket yang mulai masuk tahun 1992, dirasakan oleh perempuan sebagai bentuk aktualisasi diri bagi pemenuhan pangan keluarga. Marjinalisasi perempuan dari proses pertanian padi sawah lebak mendorong banyak perempuan petani padi sawah lebak tertarik dan belajar menenun songket, karenanya perlu studi lebih lanjut yang memfokuskan pada peran songket sebagai usaha perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. Hal ini senada dengan pendapat Spring (2000) bahwa studi tentang perempuan dan pangan perlu menganalisis usaha komersial perempuan yang memiliki dampak positif bagi pangan keluarga. Perempuan yang melakukan kegiatan komersial memiliki strategi yang bagus bagi pemenuhan pangan keluarga dan
memiliki kehidupan yang lebih baik baik daripada mengandalkan pertanian subsisten dan hanya tergantung pada suami dan kerabatnya. Proses mengolah hasil perikanan rawa dan membuat atap daun membuka peluang perempuan saling bertukar informasi pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini merupakan metamorfosis dari jaringan informasi yang diperoleh saat mengerjakan panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru (setelah penerapan revolusi hijau). Jaringan ini sangat bermanfaatkan bagi perempuan untuk mendapatkan pengetahuan dalam banyak hal. Keinginan perempuan memperoleh pengetahuan mencirikan adanya kehendak untuk tahu, yang menurut Foucault berarti perempuan memiliki kehendak untuk berkuasa (Foucault 2002). Kuasa pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Perbedaan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Hal ini senada dengan temuan Valdivia dan Gilles (2001) yang menunjukkan bahwa dinamika dalam rumah tangga akan mempengaruhi akses untuk bisa menuju kondisi kesejahteraan rumah tangga. Akses untuk bisa menjadi lebih baik tergantung pada kapasitas negosiasi dalam rumah tangga, yang berarti negosiasi gender (suami, istri dan anak). Peran sentral perempuan bermain khususnya ketika suara mereka didengar. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas disubordinasi oleh kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan laki-laki mendominasi seluruh aspek pemenuhan pangan keluarga; mulai dari peran publik, pengambilan keputusan dan penentu jenis makanan. Kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas hanya nampak pada peran domestik, mengolah masakan untuk konsumsi keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok menengah relatif dominan dibanding kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan mampu dipratikkan pada ranah publik; mendapatkan bahan pangan dan pendapatan, mempraktikkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan di ranah domestik. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan kuasa pengetahuan laki-laki pada keluarga kelompok bawah cenderung setara dalam setiap aspek pemenuhan pangan keluarga. Pada ranah publik dan ranah domestik kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan dimainkan demi pemenuhan pangan keluarga. Perbedaan kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak ini menunjukkan dua hal; pertama, kuasa pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan seluruh anggota keluarga. Keterlekatan kuasa pengetahuan perempuan pada struktur sosial ini menunjukkan bahwa pada kasus keluarga petani padi sawah lebak, struktur sosial sangat menentukan kuasa pengetahuan perempuan. Berbeda dengan pendapat Foucault bahwa kekuasaan tidak berada pada struktur, institusi maupun posisi tertentu, namun berada pada jaringan relasional, ternyata relasi kuasa pengetahuan perempuan pada
keluarga petani padi sawah lebak justru sangat dipengaruhi oleh struktur yang melingkupi kehidupan perempuan. Di sisi lain, konsep Foucault sangat bermanfaat untuk menunjukkan bahwa relasi-relasi antar subyek dalam keluarga petani bisa dianalisis relasi kuasanya melalui pertautan pengetahuan dan kekuasaan. Pada saat subyek memiliki pengetahuan tentang pemenuhan pangan keluarga, maka pengetahuan tersebut akan menjadi alat berkuasa ketika mampu mempraktikkan pengetahuan saat berelasi dengan subyek lain.
Kontestasi diskursus pemenuhan komunitas, pemerintah, pelaku usaha
Diskursus pemerintah: peningkatan produktivitas sawah lebak
pangan
keluarga:
pangan padi
Marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak
RESISTENSI KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN KELUARGA
Resistensi langsung terhadap marjinalisasi proses pertanian padi sawah lebak PERAN PUBLIK
Resistensi tidak langsung dengan diversivikasi pekerjaan (resistensi simbolik)
PERAN DOMESTIK
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
STRUKTUR KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN PETANI PADI SAWAH LEBAK
KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN TERSTRUKTUR
Gambar 12 Alur kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah baru menganalisis kuasa pengetahuan perempuan dalam lingkup keluarga sehingga belum bisa menjelaskan kuasa pengetahuan perempuan di tingkat organisasi baik organisasi formal maupun informal. Kuasa pengetahuan perempuan di tingkat organisasi perlu dikaji mengingat pentingnya sebuah organisasi sebagai wadah mengaktualisasikan diri dan sarana untuk mengembangkan kreatifitas perempuan.
9 SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan Para aktor (pemerintah, komunitas dan pelaku usaha) berkontestasi dalam diskursus pemenuhan pangan keluarga di komunitas petani padi sawah lebak. Diskursus pemenuhan pangan pemerintah menekankan pada peningkatan produktivitas pertanian. Pemenuhan pangan menurut komunitas adalah kecukupan pangan dengan melakukan mekanisme survival dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Pelaku usaha memaknai pangan sebagai komoditas ekonomi. Pertarungan diskursus terjadi antara pemerintah dan komunitas petani padi sawah lebak, dalam hal sistem pengolahan pertanian padi sawah lebak. Pemerintah dengan strategi kebijakan peningkatan produktivitas padi demi pemenuhan kebutuhan pangan kabupaten dan propinsi, mengintervensi pola pertanian padi sawah lebak. Komunitas mensiasati berbagai program pemerintah dengan mengandalkan nilai-nilai toleransi dan solidaritas dalam komunitas untuk melakukan perlawanan. Dalam praktiknya program pemerintah tidak sepenuhnya dijalankan, namun disesuaikan dengan kepentingan dan nilai-nilai komunitas. Terjadi marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan karena penerapan diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan keluarga, karena orientasi peningkatan produktivitas padi. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang. Laki-laki menjadi obyek dari berbagai program pertanian sehingga yang terjadi adalah proses maskulinisasi pertanian dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Pemenuhan pangan keluarga di komunitas petani bukan hanya persoalan produksi padi tetapi mencukupi pangan keluarga dengan memanfaatkan alam sekitar. Diskursus ini memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus pangan komunitas. Marjinalisasi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga menjadi pemicu bagi resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak. Terdapat dua jenis resistensi perempuan, yakni resistensi langsung terhadap marjinalisasi proses pertanian padi sawah lebak dan resistensi tak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan di luar usaha tani padi. Resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non
formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Geliat ekonomi perempuan semakin terlihat dengan semakin berkembangnya jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan. Pemenuhan pangan keluarga yang dilakukan perempuan terfokus pada pekerjaan tani non padi yang menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari pertanian padi lebak. Kuasa pengetahuan perempuan untuk mendapatkan uang cash secara langsung dilakukan dengan menenun songket. Usaha tenun songket menjadi tumpuan bagi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Hal ini karena menenun songket memberi kepastian memeroleh uang dan tidak akan mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Pengolahan hasil perikanan rawa dan pembuatan atap daun yang dilakukan secara bersama-sama oleh para perempuan memungkinkan dan membuka peluang perempuan saling bertukar informasi pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini merupakan metamorfosis dari jaringan informasi yang diperoleh saat mengerjakan panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru (setelah penerapan revolusi hijau). Dalam struktur sosial komunitas petani padi sawah lebak, pelapisan sosial menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas disubordinasi oleh kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan laki-laki mendominasi seluruh aspek pemenuhan pangan keluarga; mulai dari peran publik, pengambilan keputusan dan penentu jenis makanan. Kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas hanya nampak pada peran domestik, mengolah masakan untuk konsumsi keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok menengah relatif dominan dibanding kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan mampu dipratikkan pada ranah publik; mendapatkan bahan pangan dan pendapatan, mempraktikkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan di ranah domestik. Relasi kuasa pengetahuan perempuan dan kuasa pengetahuan laki-laki pada keluarga kelompok bawah cenderung setara dalam setiap aspek pemenuhan pangan keluarga. Pada ranah publik dan ranah domestik kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan dimainkan demi pemenhan pangan keluarga. Perbedaan kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak ini menunjukkan dua hal; pertama, kuasa pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan seluruh anggota keluarga. Implikasi
a. Teoritis Penelitian ini menggunakan teori Foucault tentang pertautan kuasa pengetahuan sebagai kerangka penelitian. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan, begitu pula sebaliknya pengetahuan bisa memproduksi kekuasaan. Kekuasaan tidak melekat pada struktur, institusi maupun posisi tertentu tetapi berada pada proses relasi antar subyek maupun institusi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga justru sangat ditentukan oleh struktur sosial yang melingkupi perempuan. Pada titik ini konsep Foucault bahwa kuasa tidak melekat pada struktur kurang relevan diterapkan pada masyarakat dimana struktur sosial sangat kuat mengintervensi kehidupan anggota masyarakatnya. Di sisi lain, teori Foucault mampu menjelaskan bahwa pada relasi di tingkat mikro (keluarga) kuasa itu ada pada saat pengetahuan mampu dipraktikkan dalam hubungan relasional antara lakilaki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan tidak hanya berada di ranah publik namun di ranah domestik juga terdapat kuasa pengetahuan perempuan. Kuasa pengetahuan perempuan petani padi sawah lebak melekat pada struktur sosial keluarga, karenanya konsep yang dihasilkan dari penelitian ini adalah kuasa pengetahuan terstruktur. b. Kebijakan Perempuan petani padi sawah lebak menunjukkan kontribusi besar dalam pemenuhan pangan keluarga sebagai wujud dari praktik kuasa pengetahuan perempuan. Kuasa pengetahuan perempuan dimainkan dalam seluruh aspek pemenuhan pangan mulai dari ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Pada aspek ketersediaan pangan berupa padi dari sawah lebak, kuasa pengetahuan perempuan telah dimarjinalkan, tergusur dan terampas. Kuasa pengetahuan perempuan bertransformasi ke bentuk pengumpulan bahan pangan dari rawa lebak dan pekerjaan yang menghasilkan uang. Transformasi kuasa pengetahuan ini sangat membantu pemenuhan pangan keluarga, karena produktivitas padi rentan gagal panen. Kuasa pengetahuan perempuan ini sangat bersahabat dengan ekologi rawa karena tidak pernah mengeksploitasi sumber daya rawa. Relasi perempuan dan alam sekitarnya yang selaras dan tidak ekploitatif ini menjadi pelajaran bagi pihak manapun yang ingin membangun pangan keluarga baik melalui kebijakan maupun praktik di lapangan. Konsep pemenuhan pangan pemerintah adalah ketahanan pangan yang menekankan pada peningkatan produktivitas pertanian padi sebagai pangan pokok rakyat (komunitas petani padi sawah lebak). Konsep ini berbeda dengan konsep pemenuhan pangan komunitas yang mengedepankan kecukupan pangan dengan memanfaatkan sumber pangan dari lingkungan sekitar (bukan hanya bertumpu pada padi). Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam pemenuhan pangan komunitas petani padi sawah lebak seyogyanya bukan berfokus pada peningkatan produksi padi sawah lebak tetapi juga perlu mempertimbangkan keberlanjutan sumber pangan lain selain padi yang bisa dimanfaatkan sebagai pangan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Adiyatna H. 2012. Pengembangan Sistem Pendukung Manajemen Ketahanan pangan Beras di Tingkat Kabupaten [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agger B. 2009. Teori Sosial Kritis. Terjemahan: Critical Social Theories: An Introduction. Yogyakarta (ID): Kreasi Wacana. Agus EW. 2003. Pengaruh Representasi sosial tentang Sosialisasi Nilai gender terhadap performa kerja Perempuan (Kasus Usaha Pengkalipan Mente di Lombe Sulteng) [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Agusta I. 2012. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agusta I. 2014. Paradigma metodologi ilmu sosial simpang jalan konstruksi teori. Bogor (ID): IPB Press Aistara G. 2013. Food sovereignty: reconnecting food, nature, and community. The Journal of Peasant Studies.Vol 40 No.1 p. 314-318 Alfiasari 2007. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Peranan Modal Sosia [Tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Aminah S. 2013. Model Komunikasi Partisipatif untuk Keberdayaan Petani Kecil dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Halmahera Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010 Majalah Pangan Anwar. 2006. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung (ID): Alfabeta Ariani M. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Konsumsi Panngan Rumah Tangga. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor (ID): Balitbang Pertanian. ______. 2000. Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor (ID): Balitbang Pertanian. Arifin B. 2007. Diagnosis ekonomi politik pangan dan pertanian Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada Arifin I.1989. Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan: Malang (ID): Kalimasahada Press. Aristiyani T. 2003. Strategi Nafkah dan Kerja Perempuan pada Rumah Tangga Petambak penggarap dalam Menghadapi Resiko [Tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arnis. 2003. Jaringan Sosial Permpuan Bakul Ikan [Tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Babatunde, O. Raphael., & Qoim, Martin, 2010. Impact of off-farm income on food security and nutrition in Nigeria. Food Policy 35 (2010) 303-311. Elsevier Ltd Baliwati FY. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan rumah Tangga Petani (Desa Sukajadi Cioma Bogor) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Baxter J. 2003. Positioning Gender in Discourse, A feminist Methodology. London: Palgrave Macmillan. Berger PL, Luchmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Brennan. MA & Israel, G.D. 2008. The Power of Community. Journal of Community Development Society, Vol 39. No. 1. 2008. Bungin B. 2006. Analisis data penelitian kualitatif: pemahaman filosofis dan metodologis ke arah penguasaan model aplikasi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Carr R. Edward, 2006. Postmodern conceptualizations, modernist applications: Rethinking the role of society in food security. Food Policy 31 (2006) 14-29. Elsevier. www.sciendirect.com Castles S. 2001. Studying Social Transformation. London (UK): Sage Publication Cesilia AW. 2000. Pengetahuan Wanita tentang Ubi Jalar dan Kontribusinya terhadap Kelestarian Keanekaragaman Ubi Jalar di Lembah Balie [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa mulai dari belakang. Jakarta (ID): LP3ES Chung K, Haddad J, Rama K, Riely F. 1997. Identifying The Food Insecure, The Application on Mixed Method Approacher in India, International Food Policy Research Institute, Washington DC. Denzin NK, Lincoln YS. 2009. Handbook of Qualitative Research. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Dharmawan AH. 2010. Teori Sosial Barat Kontemporer (Terpilih), Hand out materi kuliah tidak dipublikasikan: pascasarjana IPB. ______________2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Gottingen: Doctoral Dissertation Ellis F. 2000. Rural livelihoods and Diversity in Developing Countries. New York: Oxford University Press. Eko S. 2005. Pemberdayaan kaum marjinal, Yogyakarta (ID): APMD Press. Fakih M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta (ID): Insist, KPA dan Pustaka Pelajar. Febriansyah A. 2014. Analisis kesejahteraan petani padi sawah lebak di kecamatan Pemulutan kabupaten Ogan Ilir Palembang: Jurnal Ilmiah AgrIBA No 2 Edisi September tahun 2014. Foucault M. 1980. Power/knowledge, edited by Colin Gordon. New York (USA): Pantheon Books, Harvester Press. ___________2002. Pengetahuan dan Metode. Terjemahan Aesthetic, method, and epistemology Essensial Works of Foucault1954-1984. Yogyakarta (ID): Jalasutra.
___________1999. Agama, seksualitas, kebudayaan. Yogyakarta (ID): Jalasutra. ___________2002. Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan Power/Knowledge. Yogyakarta (ID): Bentang Budaya. ___________2002. Kegilaan dan peradaban, Terjemahan Madness and Civilization. Yogyakarta (ID): Ikon Teralitera. ___________2012. Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan The Archeology of Knowledge. Yogyakarta (ID):IRCiSoD. ___________2003. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan The Discourse of Language. Yogyakarta (ID):IRCiSoD. ___________2002. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archeology of Knowledge. Yogyakarta (ID):IRCiSoD. ___________2008. Ingin Tahu Sejarah Seksualitas. Terjemahan La Volante de Savoir (Histoire de la Sexualite, tome I). Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Freire P. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas (Terj). Jakarta (ID): LP3ES Gardiner OM dkk. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Giddens A. 2010. Teori Strukturisasi, Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Terjemahan: The Constitution of Society: Outline of the theory of Structuration. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Gimenez EH & Shattuk A. 2011. Food crises, food regimes and food movements: rumblings of reform or tides of transformation? The Journal of Peasant Studies. Vol 38, No. 1 January 2011, 109-144. Gladwin H, Cristina, Thomson M, Anne. Peterso S, Jennifer & Anderson SA. 2001. Adressing food security in Africa via multiple livelihood strategies of women farmers. Food Policy 26 (2001) 177-207. Elsevier Ltd Haddad L, Kasbur 1990. Intrahousehold Resource Allocation: Methods, Models, and Policy. John Hopkins University Handayani CS, Novianto A. 2008. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta (ID): LKIS Handayani T dkk. 2005. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang (ID): UMM press Hardiman FB. 1993. Menuju masyarakat komunikatif. Yogyakarta (ID): Kanisius Hardinsyah. Kusno SR. Khomsan A. 2000. Ukuran Sederhana Diversifikasi Konsumsi Pangan untuk Identifikasi Keluarga Rawan Pangan. Media Gizi dan Keluarga Juli th. XXIV (1). Hardono SG. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Beberapa Propinsi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hariyadi P. 2009. Food Security: A prerequisite of National Security. Bogor (ID): Seafast IPB Hariyadi P. 2013. Simposium pangan Indofood. Jakarta (ID): Indofood Riset Nugraha.
Hariyadi P. Dahrul S. Nuri A. 2003. Mewaspadai Jebakan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Haryatmoko. 2010. Kekuasaan-Pengetahuan sebagai Rezim Wacana. Sejarah Seksualitas; Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan menurut Foucault. Makalah Kuliah Umum Michel Foucault tentang Seksualitas. Jakarta (ID): Komunitas Salihara. Harker R. Mahar. dan Wilkes C. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Terjemahan: An Introduction to the work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory. Yogyakarta(ID): Jalasutra. Herdiawan D. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme. Jakarta (ID): Republika. Hidayati U. 2007. Gerakan Konservasi Perempuan Nyuncung Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarki, dan Pengaruh Ornop [Tesis] Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Hubeis AV. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa. Bogor (ID): IPB Press Ife J. Tesoriero. 2008. Community Development. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar Ihromi dkk. 1991. Kisah Kehidupan wanita untuk Mempertahankan Kelestarian Ekonomi Rumah tangga. Jakarta (ID): Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jayawinata A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan Pangan Nasional [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Johnson P. 2006. Habermas: Rescuing the public sphere. London(UK): Roudledge Taylor and francis Group. Jovchelovith S. 2007. Knowledge in Context. London and New York: Routlegde. Khomsan A. 1999. Indikator Ketahanan Pangan di Jawa. Media Gizi dan Keluarga. Juli XXIII (1). Kimura A H. 2013. Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Foods. (USA): Cornell University Press. Latif Y dan Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung (ID): Mizan. Lawang R. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik; Suatu Pengantar. Jakarta (ID): FISIP UI Press Layder D. 1994. Understanding Social Theory. London. Sage Publications. __________. 1998. Sociological Practice Linking Theory and Social Research. London. Sage Publications. Li TM. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Mabsout R, Staveren V. 2010. Distentangling Bargaining Power from Individual and household Level to Institutions: Evidence on Women’s Position in Ethiopia. World Development, vol 38, No. 5, pp. 783-796. Elsevier Ltd
Malik A. 2010. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat (Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat di Jambi dan Sumatera Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McCullum C, Pelletier D. Barr D. & Wilkins J. 2003. Agenda Setting within a Community-Based Food Security Planning Process: The Influence of Power. Research Brief. Society for Nutrition Education. McEwan C. 2001. Postcolonialism, feminism and development: intersections and dilemmas. Birmingham: Sage Publication McMichael, P. 2009.A food regime geneology. The Journal of Peasant Studies. Vol.36 No. 1, January 2009, 139-169. Maxwell S. Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: concepts, indicators, measurement, A technical Review. Rome: International Fund for agriculture Development. United Nations Children’s Fund. Meing LS. 2008. Konstruksi Identitas Perempuan Tionghoa dengan Pendekatan Feminisme Pasca Kolonial [Disertasi] Jakarta: Universitas Indonesia. Megawangi R. 1999.Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung (ID): Mizan. Moghadam M V. 2000. Transnasional Feminist Networks; Collective Action in an Era of Globalization. Illionis: Sage Publication Moleong LJ. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya Moussa C. 2011. Impact Assesment of Women Farmer Activity on Poverty Reduction and Food security: A case of Kindia Region/Guinea. Journal of Agriculture Science. Canadian Centre of Science and Education. Nanama S. & Frongillo A E. 2012. Women’s rank modifies the relationship between huosehold and women’s food insecurity in complex households in northern Burkina Faso. Food Policy 37 (2012) 217-225. Elsevier Ltd Nasution Z. 2008. Gender dalam Rumah Tangga Masyarakat Nelayan. Jakarta (ID): Balai Riset Sosek kelautan dan perikanan dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Noor M. 2007. Rawa Lebak Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada. Nurmalina R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelajutan untuk mendukung Ketahanan Pangan Nasional [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Patel, Raj. 2009. What does food sovereignty look like? The Journal of Peasant Studies.Vol. 36 No. 3 July 2009, 663-706. Poerwaningsih S. 2004. Posisi Buruh Migran Perempuan dalam Jaringan Pengiriman Buruh Migran [Tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Poloma M.M. 1984. Sosiologi Kontemporer. terjemahan: Contemporary Sociological Theory. Jakart (ID): CV Rajawali. Priyono OS. Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta (ID): CSIS
Purwanti P. 2010. Model ekonomi Rumah Tangga Nelayan Sekala Kecil dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Malang (ID): Universitas Brawijaya Press. Redfield R. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Terjemahan the Little Community, Peasant Society and Culture. Jakarta (ID): CV Rajawali. Rindayani W. 2009. Dampak Desentrallisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ritzer G dan D.J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern, edisi ke-6. Terjemahan: Modern Sociological Theory, 6th Edition. Jakarta (ID): Prenada Media. Rocheleau D. & Edmunds D. 1997. Women, Men and Trees:Gender, Power and Poverty inForest and Agrarian Landscapes. World Development, Vol 25, No 8, pp.1351-1371. Pergamon. Elsevier Science Ltd Rosadi I. 2010. Konsekuensi Migrasi Internasional terhadap Relasi Gender (Studi tentang Buruh Migran Internasional yang telah pulang Kembali kepada Keluarganya di Kecamatan Juntinujuat Indramayu, Jawa Barat) [Disertasi] Jakarta: Universitas Indonesia. Ruwaida I. 2010. Respon Lokal dalam Pemberdayaan Ekonomi Perempuan: Kajian dinamika Lokal dalam Perspektif Gender (Analisis Komparatif di Kabupaten Lombok Tmur dan Kabupaten Bima NTB [Disertasi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Sangian R. Altje. 2001. Pola Konsumsi Pangan Keluarga dan Gaya Hidup Orang Minahasa [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Satori D, Komariah A. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Savitri L A, Fremerey M. 2008. The shift of domination: Agrarian change and genderedlocal knowledge in the Lore Lindu area. Berlin: Lit Verlag Sayogyo. 1999. Ketahanan Pangan dalam Pola Ketahanan Pertanian. PANGAN BULOG . Jakarta. Scanlan J. Stephen. 2004. Women, Food Security, and Development inLessIndustrialized Societies: Contributions and Challenges for fhe New century. World Development Vol. 32, No 11, pp. 1807-1829. Elsevier Ltd Schiavoni C. 2009. The global struggle for food security: from nyeleni to New York. The Journal of Peasant Studies.Vol. 36 No. 3 July 2009, 682-689. Sen A. 1982. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivatio. Oxford (GB): Clarendon Press Setiawan B. 2003. Globalisasi Pertanian, Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Jakarta (ID): Institute for Global Justice. Siagian A. Peranan Perempuan dalam Peningkatan Ketahanan Pangan keluarga. Medan (ID): USU Shiva V. 1997. Bebas dari Pembangunan; Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Jakarta (ID): Yayasan Obor Spring A. 2000. Women Farmer and Commercial Ventures:
increasing Food Security in Developing Countries. USA: Lynne Rienner Publisher, Inc Soeparto H. 2011. Petani Indonesia dan Sejarah perjuangannya. Bekasi Barat (ID): Miron & Associates Subari S. 2009. Politik pertanian, menakar peran pemerintah dalam era globalisasi. Malang (ID): Lembaga Penelitian Unibraw. Sugiono. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta Suharjo. 2006. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta(ID): UIP Suhariadi. 1989. Sosiologi Pembangunan. Bandung (ID): Tarsito Sukiyono. 2008. Status Wanita dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan dan Petani Padi Di Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi Volume 26 no 2 Oktober 2008. Sunarti E. 2001. Studi ketahanan keluarga dan ukurannya: telaah kasus pengaruhnya terhadap kualitas kehamilan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutanto I. 2003. Prancis dan kita. Jakarta (ID): Wedatama Widya Sastra. Suyanto B. 2011. Metode Penelitian Sosial. Jakarta (ID): Prenada Media Group. _____________. 2010. Anatomi dan Perkembangan Ilmu Sosial. Malang (ID): Aditya Media Publishing. Tata I. 2000. Menggugat Revolusi hijau. Yayasan KEHATI Tanziha I. 2005. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosial Ekonomi rumah tangga untuk menentukan determinan dan indikator kelaparan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Taradila SA. 2010. Analisis Peran gender Dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Thompson D. 2008. Counterknowledge. How we surrendered to conspiracy theories, quack medicine, bogus science and fake history. London. Atlantic Books Tyas RW. 2010. Pengetahuan dan Kekuasaan: Penguatan Remiten Sosial sebagai Strategi Pemberdayaan Buruh Migran Perempuan [Dissertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Udvardy LM. 1998. Theorizing Past and Present women’s Oorganizations in Kenya. World Development Vol. 26, No. 9, pp. 1749-1761. Elsevier Ltd Valdivia C, Gilles J. 2001. Gender and Resource management: household and groups, trategies and transitions. Agriculture and human Value vol 18, 5-9 Wahono F. 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta (ID): Cindelaras. Walingo M, Khakoni. 2009. Role of Livestock Projects in Empowering Women Smallholder Farmers for Sustainable Food Security in Rural Kenya. AJFAND Vol 9 No 7 Tahun 2009.
Wasito. 2012. Strateg coping dan nafkah serta dampaknya terhadap keberfungsian dan ketahanan fisik keluarga petani miskin di kabupaten Blora [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yunita. 2011. Strategi Peningkatan Kapasitas Petani Padi Sawah Lebak menuju Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Ogan Ilir dan OKI Propinsi Sumatera Selatan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zahri I, Febriansyah A. 2014. Diversivikasi usaha dan pengaruhnya terhadap pendapatan rumah tangga petani padi lebak Malang (ID); Jurnal AGRISE Vol XIV No 2 Bulan Mei 2014. Zid M. 2012. Migrasi internassional perempuan, penguasaan lahan dan kesetaraan gender [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.