KUALITAS TELUR AYAM RAS YANG DIPELIHARA PADA SISTEM FREE-RANGE DENGAN WAKTU PEMBERIAN NAUNGAN ALAMI YANG BERBEDA
SKRIPSI
NUR AHMAD I 111 11 038
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 i
KUALITAS TELUR AYAM RAS YANG DIPELIHARA PADA SISTEM FREE-RANGE DENGAN WAKTU PEMBERIAN NAUNGAN ALAMI YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh:
NUR AHMAD I 111 11 038
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1.
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Nur Ahmad
NIM
: I 111 11 038
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a.
Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b.
Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama Bab Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka saya bersedia dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2.
Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, 3 Juni 2015
Nur Ahmad
iii
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdullilahi rabbil alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan pertolongan-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Skripsi ini kupersembahkan untuk Keluargaku tercinta Ayahanda Burhan dan Ibunda Sappe serta kakakku Murni, Nurlah, juga adikku Nursalam. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun materil. Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc. sebagai pembimbing utama dan Ibu Dr. Nahariah, S. Pt, MP. sebagai pembimbing anggota yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M. Sc., Prof. Dr. Ir. Ambo Ako M. Sc. dan Ibu Endah Murpiningrum, S. Pt. MP. sebagai pembahas yang telah memberikan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini.
v
3. Dekan, Wakil Dekan I, II, III, serta para dosen Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dan seluruh staf akademik yang telah menerima dan membantu penulis dalam proses perkuliahan dan administrasi dalam akademik. 4. Ibu Dr. Harfiah, S. Pt, MP. selaku penasehat akademik yang senantiasa memberikan motivasi yang sangat berarti bagi penulis selama kuliah. 5. Kepada seluruh keluarga Laboratorium Ternak Unggas terima kasih sebesarbesarnya penulis ucapkan atas bantuan, dukungan, serta motivasinya selama penulis masih kuliah, penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 6. Kepada Sahabat serta rekan sepenelitian dan seperjuangan Nurjannah. S (Jen), Indri Putri Utami (Indri), dan Muh. Ridwan B. 7. Terima kasih Kepada teman-temanku KKN UNHAS Gel. 87 Kecamatan Cina Desa Arasoe, ka Akbar, A. Muh Awal Ridha Syafaat, Nur Munjiah K.P, Rifka Juliani SH, Meti Yundini, Desvirah Gita Arista, Ayu Lestari Hidayat S. Ip. 8. Kepada Teman-teman “KELAS KECIL PROTEK 011”,“SOLANDEVEN 011” dan “UKM SOFTBALL-BASEBALL UNHAS”, terima kasih atas kebersamaan dan motivasinya. Melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya mendidik, apabila dalam penyusunan skripsi ini terdapat kekurangan dan kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca Amin. Makassar, Juni 2015
Nur Ahmad vi
ABSTRAK NUR AHMAD. I 111 11 038. Kualitas Telur Ayam Ras yang Dipelihara pada Sistem Free-Range dengan Waktu Pemberian Naungan Alami yang Berbeda. Dibawah Bimbingan: Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc dan Dr. Nahariah, S. Pt, MP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan free-range yang mendapat perlakuan waktu naungan alami yang berbeda terhadap kualitas eksterior dan interior telur ayam ras. Ayam ras petelur (Lohmann Brown) berumur 43 minggu dipelihara secara free-range dan mendapat perlakuan waktu naungan alami yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan dalam bentuk paddock, setiap paddock terdapat 3 ekor ayam sebagai sub ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah ternaungi dipagi hari (N1), tidak ternaungi (N2), ternaungi disore hari (N3), ternaungi sepanjang hari (N4). Pengamatan sampel dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada pada hari ke 28 (minggu ke 4) dan hari ke 42 (minggu ke 6). Setiap pengamatan digunakan 2 butir telur perulangan sehingga jumlah telur tiap pengamatan sebanyak 24 butir, total keseluruhan telur yang digunakan adalah 48 butir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan naungan pada sistem pemeliharaan free-range tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kualitas eksterior telur (berat telur, tebal kerabang, warna kerabang), dan kualitas interior telur (indeks yolk, Indeks Albumen, berat yolk, berat albumen, warna kuning telur, dan Haugh Unit). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem pemeliharaan free-range yang mendapat perlakuan naungan tidak berpengaruh terhadap kualitas eksterior dan interior telur ayam ras. Kata Kunci : Free-range, Naungan, Ayam Petelur, Kualitas Telur
vii
ABSTRACT
NUR AHMAD. I 111 11 038. Egg Quality of Laying Hen Raised Free-Range System Provision with Different Time of Natural Shade. Under Guidance: Dr. Ir. Wempie Pakiding, M. Sc and Dr. Nahariah, S. Pt, MP. The purpose of this studies was to determine the effect of free-range system that recieved different time of natural shade on exterior and interior quality of eggs. Laying hen (Lohmann Brown) aged 43 weeks was reared in free-range system with different natural shade. The study was carried out using a completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 3 replications. Each paddock as replication consisted of three hens as sub. The treatment applied was provision shaded in the morning (N1), no shaded (N2), shaded in the afternoon (N3) and shaded throughout the day (N5). The observations were conducted 2 times that was day-28 (week-4) and day-42 (week-6). In each observation, two eggs in each replication was investigated so that the number of eggs in each observation was 24 grains. The total egg used was 48 grains. The results showed that the shading treatmenst were not significantly effected (P> 0.05) the exterior quality of egg (egg weight, eggshell thickness, eggshell color), and interior quality (yolk index, albumen index, yolk and albumen weight, yolk color and Haugh Units. Results of this study concluded that the raising of laying hen in free-range system that received shade treatments do not affect the egg quality of laying hen. Keywords: Free-range, Natural shade, Laying hen, Egg quality.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Ayam Ras ...............................................................
4
Pemeliharaan Ayam Petelur dengan Sistem Free Range ..................
5
Pengaruh Naungan Terhadap Struktur Ekologois dan Temperatur Lingkungan ........................................................................................
7
Pengaruh Cekaman Panas Terhadap Kualitas Telur .........................
10
Pengaruh Hijauan Pakan Terhadap Kualitas Telur ............................
12
Komponen Telur ...............................................................................
13
Kualitas Telur.....................................................................................
16
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat.............................................................................
19
Materi dan Alat ..................................................................................
19
Rancangan Penelitian.........................................................................
19
Prosedur Penelitian ............................................................................
20
Manajemen Pemeliharaan Ternak......................................................
21
Parameter Yang Diamati....................................................................
22
Analisis Data......................................................................................
24
ix
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kualitas Eksterior...............................................................................
25
1. Berat Telur ...................................................................................
25
2. Tebal Kerabang............................................................................
26
3. Warna Kerabang ..........................................................................
28
B. Kualitas Interior .................................................................................
29
1. Indeks Yolk (Indeks Kuning Telur)..............................................
29
2. Indeks Albumen (Indeks Putih Telur) ..........................................
31
3. Berat Yolk (Berat Kuning Telur)..................................................
32
4. Berat Albumen (Berat Putih Telur) ..............................................
33
5. Warna Yolk (Warna Kuning Telur)..............................................
35
6. Nilai Haugh Unit..........................................................................
37
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................
39
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
40
RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR TABEL No. 1. Komposisi Ransum Basal Selama Penelitian....................................
Halaman 22
xi
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Skema Paddock ……… .......................................................................
21
2. Rata-rata Berat Telur Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan Perlakuan waktupemberian naungan alami yang berbeda ....................................
25
3. Rata-rata Tebal kerabang Ayam Ras Petelur Lohman Brown Yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda...............................
27
4. Rata-rata Warna kerabang Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda………...................
28
5. Rata-rata Indeks Yolk Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda …….. ........................
30
6. Rata-rata Indeks Albumen Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ……......................
31
7. Rata-rata Berat Yolk Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda …….. ........................
33
8. Rata-rata Berat Albumen Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ……......................
34
9. Rata-rata Warna Yolk Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda …….. ........................
35
xii
10. Rata-rata Haugh Unit Ayam Ras Petelur Lohman Brown yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda …….. ........................
37
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Hasil analisis ragam terhadap berat telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda …………………………..…………………..…….
46
2. Hasil analisis ragam terhadap tebal kerabang telur ayam ras peteluryang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ………………….……………………..
47
3. Hasil analisis ragam terhadap warna kerabang telur ayam ras peteLur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ………………………………………
48
4. Hasil analisis ragam terhadap Indeks Kuning Telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda……………….….……………..………
49
5. Hasil analisis ragam terhadap Indeks Putih Telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ……………………………………………
50
6. Hasil analisis ragam terhadap berat kuning telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ………………….……..…………………
51
7. Hasil analisis ragam terhadap berat putih telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ………………….…………..……………
52
8. Hasil analisis ragam terhadap warna kuning telur ayam ras pete lur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ……………..………………..………
53
xiv
9. Hasil analisis ragam terhadap Haugh Unit telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda ………………………………………….
54
10. Data berat kering hijauan setelah 1 bulan pemeliharaan ayam…………
55
11. Data suhu lingkungan tiap perlakuan….……………………..…………
56
xv
PENDAHULUAN Telur ayam ras yang di peroleh dari usaha peternakan unggas, merupakan produk peternakan yang memiliki permintaan tinggi karena bisa digunakan untuk membuat berbagai produk olahan. Selain itu telur juga merupakan salah satu bahan makanan yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi karena di dalam telur ayam terkandung kalori, protein, asam amino esensial dan mineral. Kehidupan masyarakat yang semakin modern dapat meningkatkan permintaan pangan yang sehat dan bergizi tinggi. Pangan sehat dan bergizi tinggi bisa diperoleh dari produk pangan yang diolah secara organik. Pangan organik sekarang ini banyak diterapkan pada hasil olahan produk pertanian. Saat produk pertanian sudah dikelolah secara organik, produk-produk peternakan pun dituntut untuk organik demi tersedianya produk pangan hewani yang sehat bagi tubuh manusia. Oleh karena itu perlu melakukan suatu pengembangan melalui suatu produk inovasi untuk memenuhi tuntutan tersebut, salah satunya pada sistem pemeliharaan ayam ras yang dilakukan secara free-range (dipelihara secara bebas di padang rumput). Sistem pemeliharaan free-range merupakan sistem pemeliharaan yang memperhatikan kesejahteraan hewan yang lebih dikenal dengan animal welfare, dimana pada sistem ini ayam yang dipelihara diumbar pada lahan atau padang pengembalaan. Sistem pemeliharaan free-range bertujuan untuk mengembalikan sifat-sifat atau insting alami yang dimiliki oleh ayam seperti beradaptasi dengan cuaca ataupun ancaman lain. Selain itu ayam juga bisa mencari makanan tambahan yang tersedia di lahan umbaran seperti hijauan, biji-bijian, serangga, maupun binatang avertebrata dalam tanah. 1
Makanan tambahan yang diperoleh dari lahan umbaran tersebut diyakini bisa memberi dampak pada perbaikan kualitas telur yang dihasilkan oleh ayam ras. Hasil penelitian Wempie et al. (2013) melaporkan bahwa warna kuning telur ayam ras yang dipelihara secara free-range berwarna kuning agak tua lebih baik dibandingkan warna kuning telur ayam ras yang dipelihara secara intensif berwarna kuning terang. Faktor pembatas dalam pengembangan sistem free-range didaerah tropis adalah tingginya intensitas cahaya dan temperatur lingkungan yang menyebabkan waktu ayam berada dilahan umbaran menjadi lebih singkat. Hasil penelitian Wempie et al. (2013) melaporkan bahwa ayam yang dipelihara secara free-range didaerah tropis berhenti merumput dilahan umbaran diatas jam 10.00 dan cenderung memilih untuk bernaung. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dawkins et al. (2003) melaporkan bahwa ayam lebih banyak berada dalam naungan pada siang hari selama musim dingin. Adanya naungan dapat mengurangi cekaman panas yang diterima oleh ayam sehingga mempengaruhi konsumsi pakan, selain itu naungan memberi pengaruh terhadap struktur lingkungan ekologis yang dapat berdampak terhadap kualitas dan kuantitas bahan pakan yang diperoleh dari lingkungan pengembalaan. Pemberian waktu naungan alami yang berbeda akan mempengaruhi struktur ekologi hijauan serta intensitas merumput dari ayam. Hal ini akan mempengaruhi kualitas telur yang dihasilkan, oleh karenanya perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan hal tersebut. Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan
free-range yang mendapat perlakuan waktu naungan terhadap
kualitas eksterior dan interior telur ayam ras. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai
2
informasi tentang alternatif perlakuan pemeliharaan ayam ras petelur untuk sistem freerange, dengan waktu naungan yang tetap terutama dalam upaya peningkatan kualitas telur ayam ras.
3
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Ayam Ras Ayam terbagi ke dalam dua jenis yaitu ayam pedaging dan ayam petelur. Ayam jenis pedaging, dibudidayakan untuk menghasilkan daging dalam jumlah yang banyak dengan kualitas yang baik. Demikian pula ayam petelur dibudidaya untuk menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak dan kualitas yang baik (Zulfikar, 2013). Asal mula unggas petelur adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam petelur memiliki tubuh yang relatif lebih kecil. Produksi telurnya antara 250 sampai 280 butir per tahun. Telur pertama dihasilkan pada saat berumur 5 bulan dan akan terus menghasilkan telur sampai umurnya mencapai umur 2 tahun. Umumnya produksi telur yang terbaik akan diperoleh pada tahun pertama ayam mulai bertelur. Produksi telur pada tahun-tahun berikutnya cenderung akan terus menurun (Zulfikar, 2013). Jenis ayam petelur ras terbagi menjadi dua yaitu tipe ayam petelur ringan, tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini mempunyai badan yang ramping/kurus-mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur murni White leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam petelur ringan komersial banyak dijual di Indonesia dengan berbagai nama. Tipe yang kedua adalah tipe ayam petelur medium, bobot tubuh ayam ini cukup berat. Namun, beratnya masih berada di antara berat ayam petelur ringan dan 4
ayam broiler. Oleh karena itu ayam ini disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi juga tidak terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga dapat menghasilkan daging yang banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam tipe dwiguna. Karena warnanya yang cokelat, maka ayam ini disebut dengan ayam petelur cokelat yang umumnya mempunyai warna bulu yang cokelat juga (Zulfikar, 2013). Pemeliharaan Ayam Petelur dengan Sistem Free-range Secara umum ayam ras dipelihara secara intensif dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan sepanjang hidupnya ayam tidak memiliki kesempatan untuk hidup secara alami. Sistem free-range saat ini telah dikembangkan sebagai alternatif pola budidaya untuk menjawab besarnya permintaan konsumen akan produk alami. Sistem budidaya ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha peternakan ayam ras pada skala usaha yang lebih kecil di pedesaan oleh karena diusahakan secara ekstensif (Fanatico et al., 2006). Produk peternakan unggas yang dihasilkan secara alami merupakan makanan yang lebih sehat dibanding dengan produk peternakan unggas yang dihasilkan dari sistem budidaya intensif. Diyakini pula bahwa produk dari ayam yang dipelihara pada sistem free-range lebih sehat dibanding dengan ayam yang dipelihara secara intensif (Fanatico et al., 2006). Juga diketahui bahwa pemeliharaan secara alami yaitu sistem pemeliharaan free-range menghasilkan ayam dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi yang menghasilkan kualitas produk yang lebih baik (Pavlovski et al., 2009). Hal ini disebabkan ayam yang dipelihara dengan sistem free-range akan mengekspresikan
5
insting yang lebih alami yang mengindikasikan derajat kesehatan ternak (SosnowkaCzajka et al., 2007). Survei terhadap tanggapan publik mengindikasikan bahwa pemeliharaan dengan sistem free-range memberikan peringkat tertinggi di antara berbagai sistem produksi ternak. Lopez-Bote et al. (1998) mengemukakan bahwa komposisi kimia dari rumput meningkatkan konsentrasi
omega-3 fatty acid pada telur dan untuk memperbaiki
kesejahteraan, karena ayam dengan bebas bergerak dan mengekspresikan tingkah laku yang normal. Rumput atau hijauan yang digunakan dalam sistem pemeliharaan free-range dapat di peroleh dari rumput atau hijauan yang tumbuh secara liar ataupun melalui penanaman sendiri dengan memilih jenis rumput yang ingin digunakan pada lahan umbaran atau pengembalaan. Salah satu jenis rumput yang bisa digunakan adalah rumput Pahitan (Axonopus compressus). Rumput ini merupakan jenis rumput yang tumbuh menahun dan membentuk lempengan rapat terutama pada lokasi yang agak terlindung atau agak terbuka, tinggi tanaman 20-50 cm, daun lanset lebar 6-16 cm dan panjang 2,5-37 cm (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968). Menurut Lowry et al (1992) Rumput Pahitan (Axonopus compressus) memiliki kandungan zat berupa abu 10%, Phospor 0,2%, Kalsium 0,5%, Magnesium 0,3%, Sodium 0,03%, Protein Kasar 11%, Ektrak Eter 3%, Energi Kasar 18 Kcal/g, NDF 69%, ADF 41%, Selulosa 33%, Lignin 4%, Total Fenol 0,5%, dan Tannin 0%. Kemampuan ayam dalam mencerna serat kasar tidak terlalu baik yang disebabkan ayam tidak memiliki enzim untuk mencerna selulosa dan karbohidrat
6
kompleks lainnya (Sloan dan Damron, 2003). Hijauan yang berkualitas tinggi belum tentu dapat dimanfaatkan secara penuh oleh ayam untuk memperoleh nutrisi dari material tanaman (Fanatico, 2007). Pada ayam terdapat ceca yang merupakan saluran buntu pada ujung bawah usus kecil yang berisi mikroorganisme yang mampu mencerna sebagian serat kasar dan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan oleh ayam (Duke, 1986). Ceca ayam yang dipelihara pada pastur lebih besar dibanding ayam yang tidak dipelihara pada pastur (Fanatico, 2007). Menurut Korsten et al. (2003) telur dari ayam yang dikembangkan di pastur legum mengandung lebih banyak vitamin A dan E dan juga lebih banyak mengandung asam lemak omega-3 dibandingkan dengan ayam yang dipelihara di dalam kandang. Castellini et al. (2002) melaporkan bahwa kondisi pemeliharaan yang lebih alami dan aktivitas yang meningkat pada ayam dapat menurunkan kadar lemak, kolesterol dan residu antibiotik pada daging dan telur. Ditambahkan oleh Pavlovski et al. (2009) bahwa dalam pemeliharaan yang alami yaitu sistem pemeliharaan ekstensif (free-range) menghasilkan ayam dengan level welfare lebih tinggi yang dapat menghasilkan kualitas produk yang lebih baik. Pengaruh Naungan Terhadap Struktur Ekologis dan Temperatur Lingkungan Pada pemeliharaan free-range dengan mengumbar ternak untuk memperoleh makanan tambahan seperti hijauan turut dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya matahari yang membantu pertumbuhan hijauan.
Secara umum setiap jenis tanaman
membutuhkan cahaya yang berbeda-beda, hal ini karena, setiap tanaman atau jenis
7
pohon mempunyai perbedaan toleransi terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang sepanjang periode hidupnya memerlukan intensitas cahaya yang berbeda. Ada tanaman yang tumbuh dengan baik di tempat terbuka, sebaliknya ada juga beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/bernaung. Tanaman pada umur muda memerlukan cahaya dengan intensitas rendah dan menjelang pemisahan untuk pertumbuhan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi (Sudomo, 2009). Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan menganggu jalannya fotosintesa sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan menyebabkan etiolasi sedangkan naungan yang kurang akan mengurangi perlindungan bibit tanaman dari sinar matahari langsung, curah hujan yang tinggi, angin dan fluktuasi suhu yang ekstrim (Schmidt, 2002). Alrasyid (2000) mengemukakan bahwa proses fotosintesa dan metabolisme suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor luar seperti sinar matahari, tersedianya air, hara mineral dan kondisi tempat tumbuh. Menurut Sudomo (2009) pertumbuhan diameter pada tanaman lebih cepat pada tempat terbuka sehingga cenderung pendek dan kekar dibandingkan tanaman yang hidup dan tumbuh dibawah naungan. Daniel et al. (1997) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang rendah dapat menghambat pertumbuhan diameter tanaman karena fotosintesis dan spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon pada proses pembentukan sel meristematik ke arah
8
diameter batang. Sudomo (2009) yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang relatif sedikit menyebabkan tanaman cenderung memacu pertumbuhan tingginya untuk memperoleh sinar yang diperlukan untuk proses fisiologi, sehingga pertumbuhan tinggi tanaman pada tempat ternaung lebih cepat daripada tempat terbuka. Menurut Sastrawinata (1984) intensitas cahaya terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung dari pada di tempat terbuka, begitupun dengan jumlah luas daun. Jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan (Sudomo, 2009). Keadaan seperti ini dapat dilihat pada hasil penelitian dimana daun-daun yang mempunyai luas daun yang lebih besar mempunyai pertumbuhan yang yang lebih cepat. Tanaman yang hidup hidup dibawah naungan mempunyai permukaan daun yang lebih besar daripada tanaman yang hidup di tempat terbuka. Di tempat terbuka daun mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat ternaungi (Sudomo, 2009). McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Menurut Togatorop (1979) untuk memodifikasi iklim mikro yang ada disekitar lingkungan kandang dapat dilakukan dengan menanam pohon-pohon peneduh disekeliling kandang. Hasil penelitian Sudaryono (2004) melaporkan bahwa dengan adanya naungan suhu udara didalam ruangan pada berbagai perlakuan lebih tinggi dibanding suhu udara diluar naungan. Lama bernaung dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan, ternak akan bernaung lebih
9
lama sebagai upaya untuk mempertahankan panas tubuhnya agar tidak naik akibat cekaman panas dari suhu lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara dan radiasi matahari di sekitar lingkugan maka ternak akan bernaung lebih lama dengan intensitas yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan angin maka ternak akan mengurangi intensitas lama bernaungnya karena angin dapat mereduksi panas tubuh (Yani dan Purwanto, 2006). Pengaruh Cekaman Panas Terhadap Kualitas Telur Ternak unggas memerlukan suhu optimum untuk pertumbuhan dan produksi berkisar 15 – 25oC (Esmay, 1978). Indonesia yang beriklim hutan hujan tropis memiliki suhu rata-rata harian berkisar 27,5oC (Oldeman dan Frere, 1982). Pemeliharaan ayam petelur pada suhu udara kandang yang lebih tinggi dari kebutuhan optimal akan menyebabkan ternak mengalami stress panas atau hipertermia, dimana pada kondisi hipertermia ternak akan menurunkan konsumsi ransum dengan tujuan untuk mengurangi beban panas metabolisme (heat increament) (Nuriyasa, 2003). Cekaman panas akan direspon oleh ternak dengan cara mempercepat frekuensi pernafasan (panting), mengepakkan sayap atau menempelkan badan ke dinding kandang (Nuriyasa, 2003). Menurut Lesson (1986) proses adaptasi untuk mengatasi kondisi lingkungan yang tidak optimal akan menyebabkan penggunaan energi untuk hidup pokok (maintenance) meningkat sehingga penggunaan energi untuk produksi (telur) menurun, hal ini mengakibatkan efisiensi penggunaan ransum menurun.
10
Tingkah laku yang diperoleh pada awal kehidupan adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam kemampuan ayam untuk dapat merumput. Jika ayam mempunyai akses ke pastur setiap hari, maka ayam akan belajar untuk memperoleh rumput dari material tanaman yang masih muda dan sumber protein hidup seperti serangga, cacing dan umbi-umbian. Penelitian yang dilakukan Chisholm et al. (2003) memperlihatkan efesiensi penggunaan makanan dari beberapa sistem produksi unggas. Intensitas sinar matahari dan lama penyinaran menunjukkan pengaruh yang besar terhadap tingkah laku merumput dari ayam. Penelitian yang dilakukan oleh Dowkins et al. (2003) melaporkan bahwa ayam lebih banyak berada pada naungan disiang hari selama musim dingin. Marsdem dan Morris (1987) melaporkan bahwa konsumsi pakan menurun secara tajam seiring dengan temperatur lingkungan mencapai temperatur tubuh ayam. Peningkatan temperatur tubuh ayam diikuti oleh penurunan berat telur dan tebal kerabang, hal ini disebabkan oleh berkurangnya komsumsi energi dan protein (Cowan and Michie, 1977). Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Mowbrag and Sykes (1971) yang menyatakan bahwa produksi telur dapat bertahan pada rate yang sama pada kandang ayam yang dikontrol secara normal dimana temperatur senantiasa konstan pada suhu 30oC atau diubah dari 30oC ke 18oC atau dari 35oC ke 13oC. Selama temperatur panas ayam berada pada kandang naungan dan dapat mempertahankan suhu dingin melalui mandi debu pada litter atau pada tanah yang telah disemprotkan air. Produksi dan berat telur ayam buras yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi (25-31°C) lebih rendah dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu
11
lingkungan rendah (19-25 °C) (Nataamijaya et al., 1990). Menurut Gunawan dan Sihombing (2004), pada suhu lingkungan tinggi diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan suhu tubuh, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk produksi telur. Suhu lingkungan tinggi mengakibatkan konsumsi pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam tubuh, dan akhirnya menurunkan produksi dan kualitas telur yang dihasilkan. Pengaruh Hijauan Pakan Terhadap Kualitas Telur Menurut Narahari et al. (2005), telur merupakan bahan pangan yang dapat difortifikasi dengan komponen yang bermanfaat bagi kesehatan melalui modifikasi pada komposisi pakan, misalnya melalui penambahan ekstrak tanaman. Sehubungan dengan hal tersebut, Thiruvengadam et al. (2006) yang melakukan penelitian mengenai penggunaan campuran berbagai jenis hijauan pada pakan ayam ras petelur, menyimpulkan bahwa telur yang berasal dari ayam yang diberi tambahan campuran hijauan dapat meningkatkan kualitas telur dengan memperbaiki nilai indeks yolk, indeks albumen, nilai haugh unit (HU) serta warna yolk lebih baik dibandingkan dengan control, demikian pula dapat meningkatkan kandungan asam lemak tidak jenuh, selenium, dan pigmen karotenoid menunjukkan peningkatan, namun menurunkan kandungan kolesterol pada telur. Surai et al. (2000) melaporkan bahwa karotenoid yang memberi warna kuning pada yolk memiliki pengaruh terhadap peningkatan sistem imun melalui peningkatan metabolisme vitamin A serta hubungannya dengan antioksidan yang terdapat dalam
12
bahan pakan lainnya, dimana antioksidan dapat melindungi membran sel dari peroksidasi lemak dan menjaga kerja reseptor yang terdapat pada membran sel. Kajian mengenai sumber karotenoid dalam pakan menunjukkan bahwa warna kuning telur merupakan hasil deposisi oksikarotenoid, sehingga karotenoid harus berada dalam keadaan berikatan dengan gugus fungsional yang mengandung oksigen seperti hydroxyl, keto, dan ester yang memiliki sifat polar agar dapat dibawa dari saluran pencernaan menuju ovarium dan yolk (Stadelman dan Cotterill, 1995; Surai et al., 2000). Jenis dan jumlah karotenoid dalam yolk tergantung pada jenis dan jumlahnya dalam pakan. Oleh karena, pigmentasi yolk melibatkan penyerapan dan biotranslokasi karotenoid pakan dari usus menuju ke ovarium (Stadelman dan Cotterill, 1995). Lebih lanjut dikemukakan oleh Narahari et al. (2005) dan Radwan et al. (2008) bahwa keberadaan antioksidan dalam pakan akan meningkatkan deposisi karotenoid pada yolk. Komponen Telur Telur mempunyai tiga komponen pokok yaitu cangkang telur (11%), putih telur (58%) dan kuning telur (31%) (Ensminger dan Nesheim, 1992). Struktur telur tersusun atas: kulit telur, lapisan kulit telur (kutikula), membran kulit telur, kantung udara, chalaza, putih telur (albumen), membrane vitelin, kuning telur (yolk) dan bakalan anak unggas (germ spot). Telur mengandung protein 13%, lemak 12% serta vitamin dan mineral (Winarno dan Koswara, 2002). Telur mengandung 74% air, tetapi telur merupakan sumber makanan yang kaya akan protein bermutu tinggi. Komposisi antara
13
putih telur dan kuning telur berbeda, protein lebih banyak terdapat pada putih telur dan lemak terdapat pada kuning telur. Cangkang telur merupakan bagian yang paling keras dan kaku. Fungsi utamanya sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Komponen cangkang telur terdiri dari 98,2% kalsium, 0,9 magnesium, dan 0,9% fosfor. Umumnya pada setiap butir telur terdapat kira – kira 7.000-17.000 buah pori-pori yang menyebar di seluruh permukaan cangkang telur (Stadelman dan Cotterill, 1977). Menurut Sirait (1986) pada bagian tumpul telur, jumlah pori-pori per satuan luas lebih besar dibandingkan dengan bagian lainnya sehingga terjadi rongga di sekitar daerah ini. Telur yang masih baru pori-porinya masih dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak (Sirait, 1986). Putih telur terdiri dari empat bagian yaitu berturut-turut dari bagian luar sampai bagian dalam adalah lapisan putih telur encer bagian luar, lapisan putih telur kental bagian luar, lapisan putih telur encer bagian dalam dan lapisan calazafereous (Nakamura dan Doi, 2000). Lapisan calazafereous merupakan lapisan tipis tapi kuat yang mengelilingi kuning telur dan membentuk ke arah dua sisi yang berlawanan membentuk chalaza (Buckle et al., 1987). Putih telur mengandung asam karbonat yang merupakan bahan penyusun larutan buffer. Putih telur terurai menjadi CO 2 dan H2O. Sebagian CO2 dan H2O tertinggal dan masuk kedalam kuning telur (Mountney, 1976). Putih telur yang mengelilingi kuning telur merupakan bagian yang terbesar dari telur utuh (kurang lebih 60%) (Stadelman dan Cotterill, 1977). Kandungan air putih telur lebih banyak dibandingkan dengan lainnya sehingga mudah mengalami kerusakan
14
selama penyimpanan (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerusakan ini terjadi terutama disebabkan oleh keluarnya air dari jala-jala ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur (Belitz dan Grosch, 1999). Kuning telur adalah bagian terdalam dari telur, yang terdiri dari membran vitelin, saluran latebra, lapisan kuning telur gelap, dan lapisan kuning terang. Kuning telur merupakan lemak yang mengandung 50% bahan padat, yang terdiri dari 1/3 protein dan 2/3 lemak (Belitz dan Grosch, 1999). Umumnya kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau orange, terletak pada pusat telur dan bersifat elastik (Winarno dan Koswara, 2002). Warna kuning sebagian besar disebabkan oleh zat warna yang disebut kriptoxantin, sejenis xantofil yang larut alkohol yang berasal dari ransum ayam yang diberikan, semakin tinggi kandungan pigmen ini semakin kuning yolknya (Winarno, 1993). Kecerahan kuning telur merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas telur. Telur yang masih segar memiliki kuning telur yang tidak cacat, bersih dan tidak terdapat bercak darah (Sudaryani, 2003). Protein kuning telur yang berkaitan dengan lemak disebut lipoprotein dan yang berkaitan dengan fosfor disebut fosfoprotein (Sirait, 1986). Letak kuning telur berada di tengahtengah bila telur dalam keadaan normal atau masih segar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Selama penyimpanan akan terjadi migrasi air dari bagian putih telur ke kuning telur dan mengakibatkan presentase bahan padat turun selama penyimpanan (Stadelman dan Cotterill, 1977).
15
Kualitas Telur Pengawasan mutu telur dapat dilakukan terhadap keadaan fisik, kesegaran isi telur, pemeriksaan kerusakan dan pengukuran komposisi fisik. Keadaan fisik dari telur mencakup hal ukuran (berat, panjang, dan lebar), warna (putih, agak kecoklatan, coklat), kondisi kulit telur (tipis dan tebal), rupa (bulat dan lonjong) dan kebersihan kulit telur. Kesegaran isi telur merupakan kondisi dimana bagian kuning telur dan putih telur yang kental berada dalam keadaan membukit bila telur dipecahkan dan isinya diletakkan di atas permukaan datar yang halus, misalnya kaca. Penetapan kesegaran isi telur dapat dilakukan dengan metode subyektif (candling) dan cara obyektif (memecah telur), untuk menentukan kondisi telur baru atau lama. Metode obyektif dilakukan dengan cara memecahkan telur dan menumpahkan isinya pada bidang datar dan licin (biasanya kaca), kemudian dilakukan pengukuran Indeks Kuning Telur (Yolk Index), Indeks Putih Telur (Albumin Index) dan Haugh Unit (HU) (Koswara, 2009). Indeks Kuning Telur (IKT) adalah perbandingan tinggi kuning telur dengan garis tengah kuning telur. Telur segar mempunyai IKT 0,33 - 0,50 dengan rata-rata 0,42. Semakin tua/lama umur telur unggas sejak ditelurkan, IKT menurun karena penambahan ukuran kuning telur akibat perpindahan air (dari putih ke kuning telur). Standar untuk IKT adalah sebagai berikut: 0,22 = jelek; 0,39 = rata-rata, dan 0,45 = tinggi. Indeks Putih Telur (IPT) adalah perbandingan tinggi putih telur (albumin) kental dengan rata-rata garis tengahnya. Pengukuran dilakukan setelah kuning telur dipisahkan dengan hati-hati. Telur yang baru mempunyai IPT antara 0,050 - 0,174, tetapi biasanya
16
berkisar antara 0,090 dan 0,120. IPT menurun selama penyimpanan, karena pemecahan ovomucin yang dipercepat oleh naiknya pH (Koswara, 2009). Telur dengan mutu yang baik mempunyai HU minimal 72. Telur yang tidak layak dikonsumsi mempunyai HU kurang dari 30. Pemeriksaan terhadap kerusakan juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk penilaian mutu telur. Cacat atau kerusakan pada telur antara lain adanya bintik-bintik hitam pada permukaan kulit, retak (kulit pecah), adanya bercak darah jika diamati dengan candling, adanya cacing, pertumbuhan janin, perubahan ukuran kantung udara, serta adanya kebusukan (Koswara, 2009). Menurut Yunita (2014) bahwa kualitas telur dapat dibagi menjadi 3 yaitu : a. Kualitas AA (Mutu 1) Kondisi telur bersih, halus, licin, tidak retak, dan bentuknya normal. Kedalaman kantung udara tidak boleh lebih dari 3,2 mm (SNI : < 0,5 cm). Putih telur harus bersih, kental dan stabil, dengan konsistensi seperti gelatin, Ketika diteropong, kuning telur tidak bergerak-gerak, berbentuk bulat, terletak ditengah telur, kuning telur bersih dari bercak darah atau noda apapun. Bayangan batas-batas kuning dan putih telur ketika di teropong tidak terlihat jelas. b. Kualitas A (Mutu 2) Cangkang telur bersih, halus, licin, tidak retak, dan bentuknya normal. Kedalaman rongga udara tidak boleh lebih dari 4,8 mm (SNI : 0,5-0,9 cm). Putih telur harus bersih, dan kental. Bayangan batas-batas kuning dan putih telur
17
ketika diteropong mulai terlihat agak jelas. Kuning telur berbentuk bulat, posisinya di tengah, harus bersih, dan tidak ada bercak atau noda. c.
Kualitas B (Mutu 3) Cangkang bersih, tidak boleh retak, agak kasar, dan mungkin bentuknya abnormal. Kantung udara lebih dari 1,6 mm (SNI : > 1 cm). Putih telur encer, sehingga kuning telur bebas bergerak saat diteropong. Ada noda sedikit, tetapi tidak boleh ada benda asing lainnya dan bagian kuning belum tercampur dengan putih. Kuning telur terlihat gepeng (pipih) bentuknya, agak melebar, bintik atau noda darah mungkin ada, tetapi diameternya tidak boleh lebih dari 3,2 mm.
18
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari - April 2015 bertempat di Laboratorium Ternak Unggas, Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Materi dan Alat Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam ras petelur strain Longman Brown berumur 43 minggu dari salah satu perusahaan pembesaran pullet yang ada di Kabupaten Maros, ransum basal berupa campuran konsentrat, jagung dan dedak, tissue. Alat yang digunakan adalah kandang, alat pencampur pakan, sendok, rak telur (egg tray), timbangan, meja kaca, jangka sorong, Yolk colour fan/Roche, egg quality slide ruler, micrometer, Colorimeter Portable TES 135 Digital Color. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan secara experimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 3 ulangan (setiap ulangan terdiri atas 3 ekor ayam sebagai sub-ulangan). Perlakuan yang diterapkan adalah pemeliharaan dengan perlakuan berikut: N1 = Pemeliharaan free-range yang ternaungi di pagi hari ( pukul 06.30-12.00 ) N2 = Pemeliharaan free-range tanpa naungan ( Pukul 06.30-17.30) N3 = Pemeliharaan free-range yang ternaungi di sore hari ( pukul 12.00-17.30) N4 = Pemeliharaan free-range ternaungi sepanjang hari ( pukul 06.30-17.30 ) 19
Prosedur Penelitian 1. Ternak Penelitian ini menggunakan ternak sebanyak 36 ekor ayam ras petelur strain Longman Brown yang telah berumur 43 minggu. Dalam setiap perlakuan menggunakan 9 ekor ayam ras yang dibagi dalam 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 3 ekor ayam ras. 2. Paddock (Lapangan Rumput Kecil) Untuk pembuatan paddock digunakan lahan yang telah diolah dengan cara mencangkul rumput liar yang ada pada lahan hingga bersih, kemudian mengukur lahan yang akan digunakan menggunakan meteran dengan menyesuaikan ukuran yang diperlukan untuk pembuatan paddock. Untuk meningkatkan kesuburan lahan sebelum ditanami rumput, lahan diberikan pupuk feses ayam kering sebanyak 50 g/m2. Tiga hari kemudian dilakukan penanaman rumput menggunakan anakan dari rumput Pahitan (Axonopus compressus). Lahan yang telah jadi kemudian dikelompokkan untuk pemberian perlakuan. Setiap kelompok perlakuan selanjutnya dibagi kedalam tiga Paddock ulangan yang masing-masing berukuran 4 x 3,25 m dengan tingkat kepadatan 4 m2/ekor. Sebelum paddock digunakan terlebih dahulu dilakukan pemotongan rumput agar tingkat pertumbuhannya bisa seragam dan untuk menghindari ayam berpindah ke paddock lain, setiap Paddock diberi pagar keliling. Lahan dikelompokkan kedalam 4 kelompok perlakuan yaitu ternaungi pagi (N1= naungan berada di sebelah Timur lahan), tidak
20
ternaungi (N2= tidak ada naungan disekitar lahan), ternaungi sore (N3= naungan berada di sebelah Barat lahan), dan ternaungi sepanjang hari (N4= naungan berada di sebelah timur dan barat lahan yang saling menyambung). Berikut ini adalah skema dari perlakuan Paddock: U T
N1
N2
B
N3
1
N4
3
Gambar 1. Skema Paddock
3. Kandang dan Fasilitas Kandang yang digunakan berukuran 1 x 1 m, terbuat dari balok kayu beratap rumbia berdinding rang roket dan dilengkapi dengan tempat bertengger, sarang bertelur serta tempat pakan dan minum juga pipa saluran pakan. Jumlah kandang sebanyak 12 buah dan ditempatkan secara permanen pada bagian pinggir setiap Paddock ulangan. Manajemen Pemeliharaan Ternak Selama proses pemeliharaan dan pengamatan, ayam diberi pakan campuran antara jagung, dedak dan konsentrat komersil yang disusun secara isokalori dan isoprotein sesuai dengan rekomendasi NRC. Pemberian air minum dilakukan secara adlibitum. 21
Tabel 1. Komposisi Ransum Basal selama Penelitian Bahan Pakan
Komposisi (%)
Konsentrat Layer
33,33
Jagung Kuning
50,00
Dedak
16,67
Protein Kasar
17,6*
*
Dihitung berdasarkan rekomendasi Nationel Research Coucil (Anonim,1994).
Jumlah pakan yang diberikan didasarkan pada every day basis (120g/ekor/hari) yang diberikan pada pagi dan sore hari dengan jumlah yang sama masing-masing 60 g/ekor/1 kali pemberian. Pengumpulan telur dilakukan pada pagi hari (jam 10.00), dan sore hari (jam 17.30). Parameter yang Diamati Pengambilan sampel untuk pengamatan kualitas telur dilakukan pada waktu yang sama setelah penerapan perlakuan yaitu pada hari ke 28 (minggu ke 4) dan hari ke 42 (minggu ke 6). Setiap pengamatan digunakan 2 butir telur perulangan sehingga jumlah telur tiap pengamatan sebanyak 24 butir sehingga keseluruhan telur yang digunakan adalah 48 butir dengan pengamatan yang dilakukan sebagai berikut : 1. Kualitas Eksterior a. Berat telur diperoleh dengan menimbang telur. b. Warna kerabang telur, dengan menggunakan alat Colorimeter Portable TES 135 Digital Color.
22
c. Tebal Kerabang; Telur yang telah dipecah dikeluarkan membran bagian dalamnya
selanjutnya
dilakukan
pengukuran
tebal
kerabang
dengan
menggunakan micrometer. 2. Kualitas Interior Pengamatan dilakukan dengan memecah telur diatas kaca datar dan mengamati: a. Indeks Kuning Telur (yolk); adalah perbandingan tinggi kuning telur dengan garis tengah kuning telur dihitung dengan rumus (Koswara, 2009):
Indeks yolk =
a. Indeks Putih Telur (albumen); adalah perbandingan tinggi putih telur (albumen) kental dengan rata-rata garis tengahnya dihitung dengan rumus (Koswara, 2009):
Indeks albumen =
b. Berat yolk dan albumen dipisahkan selanjutnya dilakukan penimbangan pada masing-masing bagian. c. Warna yolk diukur dengan menggunakan Colorimeter Portable TES 135 Digital Color. 3. Nilai Haugh Unit: Menurut Kurnia et al. ( 2012 ) nilai Haugh Unit dapat di hitung dengan rumus:
Keterangan:
HU = 100log (H + 7,57 − 1,7. W
,
)
H = Tinggi putih telur (mm) W= Berat telur (g)
23
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan Program SPSS. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut: Yi j = μ + αi + εij
i = 1,2,3,4 j = 1,2,3
dimana: Yij = Nilai parameter taraf ke i dan pada ulangan ke j. μ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh perlakuan pada taraf ke i
εij
= Pengaruh
galat
dari
satuan
ulangan
ke-j
yang
memperoleh
perlakuan ke-i Apabila perlakuan nyata terhadap perubah yang diukur maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Gaspersz,1991).
24
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kualitas Eksterior 1. Berat Telur Rata rata berat telur ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami
Berat Telur (g)
yang berbeda disajikan pada Gambar 2. 70 60 50 40 30 20 10 0
63,22
62,999
61,963
59,674
N1
N2
N3
N4
Perlakuan Gambar 2. Rata-rata Berat Telur Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa berat telur pada sistem pemeliharaan freerange yang mendapat perlakuan waktu naungan alami yang berbeda berkisar antara 59,674-63,22 g. Menurut BSN (2008), Telur ayam konsumsi diklasifikasi berdasar bobot telur yaitu kecil <50g, sedang 50-60g, besar >60g. Telur ayam komersial memiliki berat sekitar 55-65 g/butir (Anonim, 2011). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda terhadap berat telur ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara secara free-range. Ayam yang mendapat 25
naungan melakukan aktivitas lebih banyak sehingga energi yang diperlukan untuk pembentukan telur berkurang, dan Ayam yang tidak mendapatkan naungan cenderung mengalami stress panas. Zona suhu nyaman (comfort zone) pada daerah tropik untuk ternak ayam adalah antara 15 sampai 250C (El Boushy dan Marle, 1978). Menurut Wahyu (1997) bahwa berat telur dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk genetik, tahap kedewasaan, umur, obat dan zat makanan dalam pakan. Hafez (2000) menyatakan bahwa ukuran telur unggas baik itu besar ataupun kecil sangat dipengaruhi oleh kandungan protein dan asam-asam amino dalam pakan. Menurut Latifah (2007) ukuran telur mempengaruhi bentuk telur dan bentuk telur sendiri ditentukan oleh jumlah albumin yang disekresi oleh bagian magnum pada oviduk. 2. Tebal Kerabang Rata-rata tebal kerabang telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem freerange dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 3. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tebal kerabang telur pada sistem pemeliharaan free-range yang mendapat perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 0,34-0,35 mm. Tebal kerabang telur berkisar antara 0,330,35 mm (Steward and Abbott, 1972).
26
Tebal Kerabang (mm)
0,4 0,3 0,2
0,35
0,35
0,34
0,35
N1
N2
N3
N4
0,1 0
Perlakuan Gambar 3. Rata-rata Tebal Kerabang Telur Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa sistem pemliharaan free-range yang mendapat perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tebal kerabang telur ayam ras petelur strain Lohman Brown. Ayam yang digunakan dalam penelitian ini sudah berumur 43 minggu dan mungkin telah berada pada tahap akhir puncak produksi selain itu di lahan umbaran ayam bisa saja memperoleh sumber kalsium tambahan seperti batu-batu atau pakan lain yang diperoleh saat mengais. Menurut Anonim (2011) puncak produksi telur ayam petelur yaitu sekitar 94-95% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 25 minggu). Hargitai et al. (2011) menyatakan tebal tipisnya kerabang telur dipengaruhi oleh strain ayam, umur induk, pakan, stres dan penyakit pada induk. Salah satu yang mempengaruhi kualitas kerabang telur adalah umur ayam, semakin meningkat umur ayam kualitas kerabang semakin menurun, kerabang telur semakin tipis, warna kerabang semakin memudar, dan berat telur semakin besar (Yuwanta, 2010). Anonim (2011) menyatakan masalah kerabang telur tipis dan lembek bisa bersumber dari nutrisi ataupun karena infeksi penyakit. 27
3. Warna Kerabang Rata rata warna kerabang ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem freerange dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada
Warna Kerabang
Gambar 4. 18 15 12 9 6 3 0
14,474
12,496
13,368
13,285
N1
N2
N3
N4
Perlakuan Gambar 4. Rata-rata Warna Kerabang Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Semakin tinggi nilai maka warna kerabang semakin cokelat. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai warna kerabang telur pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 12,496-14,474, semakin tinggi nilai warna akan menunjukan bahwa kulit telur juga semakin cokelat. Warna kerabang telur ayam ras strain lohman Brown secara umum adalah coklat. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda tidak berpengaruh terhadap warna kerabang telur. Hal ini disebabkan karena warna pada kerabang telur dipengaruhi oleh genetik. Warna kerabang telur ayam ras dibedakan menjadi dua warna utama, putih dan coklat. Perbedaan warna ini dipengaruhi oleh genetik dari masing28
masing ayam (Romanoff dan Romanoff, 1963). Warna coklat pada kerabang dipengaruhi oleh porpirin yang tersusun dari protoporpirin, koproporpirin, uroporpirin, dan beberapa jenis porpirin yang belum teridentifikasi (Miksik et al., 1996). Menurut penelitian Gosler et al. (2005) pigmen protoporpirin pada pada telur coklat memiliki Hubungan dengan ketebalan kerabang, diyakini bahwa protoporpirin memiliki fungsi dalam
pembentukan kekuatan struktur kerabang.Warna kerabang
selain dipengaruhi oleh jenis pigmen juga dipengaruhi oleh konsentrasi pigmen warna telur dan juga struktur dari kerabang telur (Hargitai et al., 2011). Menurut Yuwanta (2010) warna kerabang telur yang memudar dipengaruhi oleh umur ayam. Telur dengan warna coklat tua lebih kuat dan tebal dibanding telur yang berwarna coklat terang (Joseph et al., 1999).Warna kerabang telur dalam pembentukannya juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi atau obat tertentu selain itu Kondisi lingkungan dan penyakit juga bisa berpengaruh terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur (Anonim, 2011). B. Kualitas Interior 1. Indeks Yolk (Indeks Kuning Telur) Rata rata indeks yolk (indeks kuning telur) ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks yolk pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 0,394-0,416. Telur segar mempunyai Indeks Yolk antara 0,33-0,50 dengan ratarata 0,42 (Koswara, 2009). 29
Indeks Yolk
0,5 0,4 0,3 0,2
0,405
0,404
0,394
0,416
N1
N2
N3
N4
0,1 0
Perlakuan Gambar 5. Rata-rata Indeks Yolk Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh (P>0,05) dari sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda terhadap Indeks Yolk. Ayam yang dipelihara secara sistem free-range bisa mendapatkan sumber pakan tambahan secara bebas pada lahan umbaran yang mungkin mengandung nilai gizi tinggi seperti protein. Menurut Tuti (2009) kualitas indeks yolk bergantung pada besar kuning telur. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks yolk antara lain lama penyimpanan, suhu tempat penyimpanan, kualitas membran vitelin dan nutrisi pakan (Argo et al., 2013). Menurut Argo et al. (2013) kualitas membrane vitelin dan pakan dengan kandungan protein yang memenuhi kebutuhan ayam memberikan pengaruh besar bagi indeks yolk, dimana penurunan kekuatan daya ikat maupun keadaan membrane vitelin yang mulai melemah akan menyebabkan nilai indeks menjadi rendah.
30
2. Indeks Albumen (Indeks Putih Telur) Rata-rata indeks albumen (indeks putih telur) ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu
Indeks Albumen
pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 6. 0,1
0,05 0,079
0,067
0,069
0,074
N2
N3
N4
0
N1
Perlakuan Gambar 6. Rata-rata Indeks Albumen Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks Albumen pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 0,067-0,079. Menurut Koswara (2009) telur yang baru memiliki indeks albumen antara 0,050-0,174. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan waktu pemberian naungan alami pada sistem pemeliharaan free-range tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap indeks albumen. Pemeliharaan ayam secara sistem free-range memungkinkan ayam bisa mendapatkan pakan tambahan berupa protein dari lahan umbaran seperti serangga, cacing, hewan avertebrata lainnya, bahkan dari hijauan tanpa ada pengaruh
31
dari adanya naungan. Protein pakan akan memberi pengaruh pada viskositas telur yang kemudian mempengaruhi indeks albumen, dimana indeks albumen itu sendiri ditentukan oleh tinggi putih telur kental dan diameternya, sehingga indeks albumen telur sangat dipengaruhi oleh protein pakan (Argo et al., 2013). Semakin kental putih telur berarti semakin tinggi indeks albumen berarti semakin tinggi pula sumber protein pakan yang dikonsumsi (Sudaryani, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai indeks albumen antara lain lama penyimpanan, suhu tempat penyimpanan dan nutrisi pakan (Argo et al., 2013). Menurut Koswara (2009) indeks albumen telur menurun selama penyimpanan , karena pemecahan ovomucin yang dipercepat oleh naiknya pH. Menurut Romanoff dan romanoff (1963), perubahan kekentalan putih telur atau pengenceran bisa disebabkan oleh umur ayam dan peningkatan lama simpan telur. 3. Berat Yolk (Berat Kuning Telur) Rata-rata berat yolk (berat kuning telur) ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa berat yolk pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 15,3815,693 g. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap berat yolk ayam ras petelur strain Lohman Brown. Pemeliharaan secara sistem
32
free-range memungkinkan ayam mendapatkan pakan tambahan dari lahan umbaran seperti serangga, cacing, hewan avertebrata lainnya, bahkan dari hijauan yang mungkin mengandung protein tinggi.
Berat Yolk (g)
18 15 12 9 6
15,511
15,38
15,562
15,693
N1
N2
N3
N4
3 0
Perlakuan Gambar 7. Rata-rata Berat Yolk Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Berat yolk dan ukuran besar kecilnya dipengaruhi oleh konsumsi protein, kuning telur yang kecil terbentuk apabila konsumsi protein rendah dan sebaliknya jika konsumsi protein tinggi maka akan terbentuk kuning telur yang lebih besar (Sihombing et al., 2006). Menurut Argo et al. (2013) berat yolk dipengaruhi oleh kandungan lemak karena deposit lemak terbanyak berada di dalam kuning telur, dimana asam lemak yang banyak terdapat terdapat pada kuning telur adalah linoleat, oleat dan stearat. 4. Berat Albumen (Berat Putih Telur) Rata-rata berat albumen (berat putih telur) ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 8.
33
Berat Albumen (g)
45
30
15
37,015
38,234
36,586
34,418
N1
N2
N3
N4
0
Perlakuan Gambar 8. Rata-rata Berat Albumen Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Gambar 8 menunjukkan bahwa berat albumen pada sistem pemeliharaan freerange dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 34,418-37,015 g. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda pada sistem pemeliharaan free-range tidak berpengaruh terhadap berat albumen ayam ras petelur strain Lohman Brown. Ayam yang dipelihara secara sistem free-range bisa mendapatkan pakan tambahan berupa protein dari lahan umbaran seperti serangga, cacing, hewan avertebrata lainnya, bahkan dari hijauan tanpa ada pengaruh dari adanya naungan. Kandungan Protein yang tinggi dalam pakan menyumbangkan protein yang tinggi pula didalam putih telur (Argo et al., 2013). Hal yang sama juga di kemukakan oleh Yuanita (2003) bahwa protein yang tinggi dalam pakan akan mempengaruhi sintesis protein albumen dan kuning telur, sedangkan albumen dan kuning telur merupakan komponen terbesar didalam telur yang secara langsung menentukan bobot
34
telur yang dihasilkan. Putih telur memiliki kandungan air lebih banyak dibandingkan bagian telur lainnya sehingga akan mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan (Romanoff dan Romanoff, 1963). 5. Warna Yolk ( Warna Kuning Telur) Rata-rata warna yolk (warna kuning telur) ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna yolk pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda menggunakan alat Colorimeter Portable TES 135 Digital Color memiliki nilai berkisar antara 52,318-55,658. Nilai warna yolk yang semakin tinggi mengartikan bahwa telur memiliki warna kuning yang semakin gelap atau mengarah kewarna orange atau jingga.
Warna Yolk
75
50
25
55,221
53,251
55,658
52,318
N1
N2
N3
N4
0
Perlakuan Gambar 9. Rata-rata Warna Yolk Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Nilai semakin tinggi berarti warna yolk semakin kuning gelap atau orange jingga. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi.
35
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu naungan alami yang berbeda tidak berpengaruh terhadap warna yolk ayam ras petelur strain Lohman Brown. Hasil yang sama juga diperoleh pada penggunaan yolk color fun bahwa warna tiap perlakuan tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena ayam mengkonsumsi hijauan dari lahan umbaran yang memberi pengaruh warna pada kuning telur yang dihasilkan. Jenis dan jumlah karatenoid yang ada dalam kuning telur tergantung pada jumlahnya dalam pakan yang dikonsumsi ayam. Karotenoid memberikan warna kuning pada yolk (Surai et al.,2000). Menurut Winarno (1993), warna kuning sebagian besar disebabkan oleh zat warna yang disebut kriptoxantin, sejenis xantofil. Hal yang sama juga dikemukakan Argo et al. (2013) bahwa warna yolk dipengaruhi zat-zat yang terkandung dalam pakan seperti xanthofil, beta karoten, klorofil, dan cytosan. Pigmen ini secara fisiologis akan diserap oleh organ pencernaan usus halus dan diedarkan ke organ target yang membutuhkan (Sahara, 2011). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) setiap ayam mempunyai kemampuan berbeda untuk mengubah pigmen karoten menjadi warna kuning telur. Menurut Argo et al. (2013) pemberian hijauan segar atau kering yang unggul akan membantu diproduksinya warna yolk yang lebih menarik. Pakan yang mengandung lebih banyak karoten seperti xantofil akan menyebabkan warna yolk semakin jingga kemerahaan (Yamamoto et al., 2007).
36
6. Nilai Haugh Unit Rata-rata Nilai Haugh Unit telur ayam ras petelur strain Lohman Brown yang dipelihara pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda disajikan pada Gambar 10.
Haugh Unit
100 75 50
77,925
72,764
73,632
77,405
N1
N2
N3
N4
25 0
Perlakuan Gambar 10. Rata-rata Haugh Unit Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda. Vertikal bar mengindikasikan standar deviasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Haugh Unit pada sistem pemeliharaan free-range dengan perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda berkisar antara 72,764-77,925. Telur dengan mutu yang baik mempunyai HU minimal 72 (Koswara, 2009). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan waktu pemberian naungan alami yang berbeda pada sistem pemeliharaan free-range tidak berpengaruh terhadap Haugh Unit. Pemeliharaan ayam secara sistem free-range, memungkinkan ayam bisa mendapatkan pakan tambahan berupa protein dari lahan umbaran seperti serangga, cacing, hewan avertebrata lainnya, bahkan dari hijauan tanpa ada pengaruh dari adanya naungan. 37
Stadelman and Cotterill (1977) menyatakan bahwa nilai HU tergantung pada tinggi rendahnya bobot telur dan tebal albumen. Menurut Wilson (1975) bentuk telur merupakan ekspresi dari kandungan protein pakan. Protein pakan akan mempengaruhi viskositas telur yang mengidentifikasi kualitas interior telur, kemudian dapat mempengaruhi indeks haugh telur (Argo et al., 2013). Struktur gel albumen dibentuk oleh ovomucin, jika jala-jala ovomicun banyak dan kuat maka albumen akan semakin kental dan viskositas albumennya tinggi.
38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan penelitian, dapat disimpulkan bahwa sistem pemeliharaan free-range yang mendapat perlakuan waktu naungan alami yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kualitas eksterior (berat telur, tebal kerabang, warna kerabang) dan interior (Yolk Indeks, Albumen Indeks, berat yolk, berat albumen, warna yolk, Haugh Unit) telur ayam ras, tetapi terdapat kecenderungan bahwa pemberian naungan alami pada pagi hari memiliki kualitas telur yang lebih baik pada berat telur, warna kerabang, indeks albumen dan nilai haugh unit
dibanding pada perlakuan
lainnya. Saran Dilihat dari segi kualitas eksterior dan interior telur disarankan untuk pemeliharaan ayam ras petelur secara free-range dapat dilakukan tanpa menggunakan naungan ataupun dengan menggunakan naungan.
39
DAFTAR PUSTAKA Alrasyid, H., Sumarhani dan Yetti Haryati. 2000. Percobaan penanaman padi gogo di bawah tegakan hutan tanaman Acacia mangium di BKPH Parung Panjang. Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan. 621: 27-54. Anonim. 1994. National Research Council/Nutrient Requirements of Poultry. 9 th ed. National Academy Press. Washington, DC. Anonim. 2011. Telur dan Problematikanya. https:// info. Anonim. co. id/index. php/ artikel/ layer/ penyakit/ telur- dan- problematikanya. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015. Argo, L. B., Tristiarti dan I. Mangisah. 2013. Kualitas telur ayam arab petelur fase I dengan berbagai level Azolla microphylla. Animal Agricultural Journal. 2(1): 445-447. Backer, C. A. and R. C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen. Wolters Noordhof. Belitz, H. D and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger. Germany. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. SNI 3926:2008 Telur Ayam Konsumsi. BSN. Jakarta. Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Castellini, C., C. Mugnai, and A. Dal Bosco. 2002. Effect of organic production system on broiler carcass and meat quality. Meat Sci. 60: 219-225. Chisholm, J., D. Trott, C. Zivnuska, J. Cox and M. Seipel. 2003. Pastured poultry research bulletine. Kirksville, MO: Truman State University Agricultural Science. Cowan, P. J and W. Michie. 1997. Environmental temperature and choice feeding of the broiler. Br. J. nutr. 40: 311- 315. Daniel, T. W., J. A. Helms dan F. S Baker, 1997. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Hani'in. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
40
Dawkins, M. S., P. A. Cook, M. J. Whittingham, K. A. Mansell, and A. E. Harper. 2003. What makes free-range broiler chickens range? In situ measurement of habitat preference. Animal Behaviour. 66(1): 151-160. Duke, G. E. 1986. Alimentary Canal: Anatomy, Regulation, Of Feeding, And Motility. In Avian Physiology, 289-32. Pringer-Verlag. New York. El Boushy, A.R. dan A.L Van Morle. 1978. The effect 0f climate on poultry physiology in the tropic and their improvement. World’s Poultry Sci. #4: 155-169. Ensminger, L. E., and M. C. Nesheim. 1992. Poultry Science. 3rd Edition. Interstate Publisher Inc. US. Esmay, M. 1978. Principle of Animal Environment. 2nd Ed. The AVI Publishing CoInc. New York. Fanatico A. C., P. B. Pillai, L. C. Cavitt, J. L. Emmert, J. F.Meullenet, C. M. and Owens. 2006. Evaluation of slower-growing genotypes grown with and without outdoor access: sensory attributes. Poultry Sci. 85: 337-343. Fanatico A. C. 2007. Spesiality Poultry Production: Impact of Alternative Genotype, production System, and nutrition on Performance, Meat Quality and Sensory Attributes of Meat Chickens Free-range and Organic Markets. phD diss., University of Arkans. Gaspersz. 1991. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. Bandung. Gosler, A. G., J. P. Higham, S. J. Reynolds. 2005. Why are bird’s eggs speckled. Ecol Lett. 8: 1105-1113. Gunawan dan D. T. H. Sihombing. 2004. Pengaruh suhu lingkungan tinggi terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam buras. Wartazoa. 14(1): 31-38. Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. P: 385-398. Hargitai, R., R.Mateo, J. Torok. 2011. Shell thickness and pore density in relation to shell colouration female characterstic, and enviroental factors in the collared flyctcher ficedula albicolis. J. Ornithol.152:579-588. Joseph, N. S., N. A. Robinson, R. A. Renema, dan F. E. Robinson. 1999. Shell quality and color variation in Broiler eggs. J. Appl. Poult. Res. 8 :70-74. 41
Korsten, H. D., G. L. Crews, R. C. Stout, and P. H. Patterson. 2003. The impact of outdoor coop housing and forage based diets vs. cage housing and mash diets on hen performance, egg composition and quality. Paper presented at the international poultry scientific forum. Atlanta. Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Telur (Teori dan Praktek). eBook Pangan.com. Kurnia, S. D., K. Praseno dan Kasiyati. 2012. Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU) Telur Puyuh Hasil Pemeliharaan dengan Pemberian Kombinasi Larutan Mikromineral (Fe, Co, Cu, Zn) dan Vitamin (A, B1, B12, C) Sebagai Drinking Water. Anatomi dan Fisiologi. xx(2): 24-31. Latifah, R. 2007. The increasing of afkir duck’s egg quality with pregnant mare’s serum gonadotropin (Pmsg) hormones. Jurnal Protein. 14(1): 21-30. Leeson, S. 1986. The Fire of Life and Introduction to Animal Energitics. John Wiley And Sons Inc. New York. Lopez-Bote, C. J., R. Sanz-Arias, A. Castano, B. Isabel, and J. Thos, 1998. Effect of free-range feeding on n-3 fatty acid and a-tocopherol content and oxidative stability of eggs. Anim. Feed Sci. Tech. 72: 33-40. Lowry, J. B., Petheram, R. J., and Budi Tangedjaja, ed. 1992. Plants Fed To Village Ruminants In Indonesia. Notes On 136 Species, Their Composition, And Significance In Village Farming Systems. ACIAR Technical Reports. Canberra Australia. Marsden, A. and T. R. Morris, 1987. Quantitative review of the effects of environmental temperature on food intake, egg output and energy balance In laying pullets. Br. Poultry. Sci. 28: 693-704. McDowell, R. E. 1974. The Environment Versus Man and His Animals. In: H. H. Cole and M. Ronning (Eds.). Animal Agriculture. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. Miksik, I., V. Holan, dan Z. Deyl. 1996. Avian eggshell pigments and their variability. Comp. Biochem. Physiol. Elsevier Science. 113B: 607-612. Mountney, G. I. 1976. Poultry Technology. The 2nd edition. Avi Publishing company Inc. Westport. Connecticut.
42
Mowbray, R. M. and A. H. Sykes, 1971. Egg production in warm environmental temperatures. Br. Poult. Sci. 12: 25-29 Nakamura, R. dan Doi. 2000. Egg Processing. Dalam: S. Nakai dan H.W. Modler (Editor). Food Proteins: Processing Aplications. Wiley-VCH. Inc. New York. Narahari, D. P. Michealraj, A. Kirubakaran, and T. Sujatha. 2005. Antioxidant, cholesterol reducing, immunomudulating and other health promoting properties of herbal enriched egg. In: Proceeding of XIth European Symposium on The Quality of Eggs and Egg Products. Doorwerth, Netherland. Pp. 194-201. Nataamijaya, A. G., H. Resnawati, T. Antawijaya, I. Barchia dan D. Zainuddin. 1990. Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. J. Ilmu dan Peternakan. Balitnak, Bogor. 4(3): 30-38. Nuriyasa, M. 2003. Pengaruh tingkat kepadatan dan kecepatan angin dalam kandang terhadap indeks ketidaknyamanan dan penampilan ayam pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan. Fak. Peternakan, Univ. Udayana. 2(6): 40-45. Oldeman, L.R., M. Frere. 1982. A Study of Agroclimatology of the Humid Tropics of Southeas Asia. Rome. Food and Agriculture Organization of United Nations. Pavlovski Z., Z. Skrabic, M. Lukic, V.L. Petricevic and S. Trenkovski, 2009. The effect of genotype and housing system on production results of fattening chickens. Biotechnology in Animal Husbandry. 25(2-4): 221-229. Radwan, N.L., R.A. Hassan, E.M. Qota and H.M. Fayek. 2008. Effect of natural antioxidant on oxidative stability of eggs and productive and reproductive performance of laying hens. Int. J. Poult. Sci. 7(2): 134-150. Romanoff, A.L and A. Romanoff. 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sons. New York. Sahara, E. 2011. Penggunaan kepala udang sebagai sumber pigmen dan katin dalam pakan ternak. Agrinak. 01(1): 31-35. Sastrawinata, H.A. 1984. Pengaruh intensitas cahaya matahari terhadap pertumbuhan bibit Shorea laevis RIDL di komplek Wanariset, Kaltim. Laporan Puslitbang Hutan. No. 461: 27-54. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
43
Sihombing, G., Avivah dan S. Prastowo. 2006. Pengaruh Penambahan Zeolit dalam Ransum terhadap Kualitas Telur Burung Puyuh. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 31(1): 28-31. Sirait, C.H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sloan, D. R., and B. L. Damron. 2003. Small Poultry Flock Nutrition. PS29. Ganiesville: University of Florida Institute of Food and Agricultural Sciences. Sosnowka-Czajka, E., I. Skomorucha, E. Herbut, R and Muchaka R. 2007. Effect of management systems and flock size on the behavior of broiler chickens. Annals of Animal Sci. 7(2): 329-335. Stadelman, W.J. and O.J Cotteril. 1977. Egg Science and Technology. The Avi Publishing. Westport, Connecticut. Steward, G.F. and J.C Abbott. 1972. Marketing Eggs and Poultry. Third Printing. Food and Agricultural Organization (FAO), The United Nation. Rome. Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Sudaryono. 2004. Pengaruh naungan terhadap perubahan iklim mikro pada budidaya tanaman tembakau rakyat. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 5(1): 56-62. Sudomo, A. 2009. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit manglid (Manglieta glauca BI). Tekno Hutan Tanaman. 2(2): 59-66. Surai P.F., R.M. McDevitt., B.K. Speake and N.H.C.Sparks 2000. Carotenoid distribution in issues of the laying hen depending on their dietary supplementation. Proc. Nutr. Soc. 58: 30A. Thiruvengadam, R., M. Ahmeed, R. Prabakaran, D. Narahari, and V. Sundararasu. 2006. Herbal enrichment of eggs to improve their health promoting properties. Tamilnadu J. Vet. Anim. Sci. 2(6): 212-219. Togatorop, M. H. 1979. Pengaruh Suhu Udara Terhadap Produksi Ayam. Lembaran LPP. Bogor. No. 3-4: 1-10. Tuti, W. 2009. Pemanfaatan Tepung Daun Pepaya (Carica Papaya. L L ess) dalam upaya peningkatan produksi dan kualitas telur ayam sentul. J. Agroland. 16(3): 268-273.
44
Wahyu, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wempie, S. Banong, A. Ako, M. Mattau. 2013. Pengembangan ayam organik ramah lingkungan melalui sistem pemeliharaan free-range. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Hasanuddin. Wilson, B. J. 1975. The ferformance of male ducklings given starter diets with different concentration of energy and protein. British Poult Sci. 16: 625-657. Winarno, F.G. 1993. Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G dan Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahan. Mbrio Press. Jakarta. Yamamoto, T., L. R. Juneja, H. Hatta, and M. Kim. 2007. Hen Eggs: Basic and applied Science. University of Alberta, Canada. Yani, A dan Purwanto, B.P. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan fries holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya (ULASAN). Media Peternakan. 29(1): 35-46. Yunita. 2015. Penentuan mutu telur. http:// kulinologi. co. id/ acrobat/ index1. php? View & id= 900. Diakses pada tanggal 28 Desember 2014. Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Zulfikar. 2013. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur Ras. Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Thesis. Unsyiah.
45
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil analisis ragam terhadap berat telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N Perlakuan N1
3
N2
3
N3
3
N4
3 Descriptive Statistics
Dependent Variable:berattelur perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
63.2197
1.20755
3
N2 N3 N4
62.9993 61.9630
3.53036 2.15423
3 3
59.6747
1.12008
3
Total
61.9642
2.39892
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:berattelur Type III Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept
23.669
Df
Mean Square
F
Sig.
a
3
7.890
1.593
.266
46074.695
1
46074.695
9.300E3
.000
Perlakuan
23.669
3
7.890
1.593
.266
Error
39.634
8
4.954
Total
46137.998
12
63.303
11
Corrected Total a.
R Squared = .374 (Adjusted R Squared = .139)
46
Lampiran 2. Hasil analisis ragam terhadap tebal kerabang telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:tebalkerabang Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
.3500
.01732
3
N2
.3500
.01732
3
N3
.3400
.01000
3
N4
.3500
.01732
3
Total
.3475
.01422
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tebalkerabang Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.000
a
3
7.500E-5
.300
.825
Intercept
1.449
1
1.449
5.796E3
.000
perlakuan
.000
3
7.500E-5
.300
.825
Error
.002
8
.000
Total
1.451
12
.002
11
Corrected Total
a. R Squared = .101 (Adjusted R Squared = -.236)
47
Lampiran 3. Hasil analisis ragam terhadap warna kerabang telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:warnakerabang Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
14.4737
2.40052
3
N2
12.4963
.53382
3
N3
13.3683
.67288
3
N4
13.2850
1.62648
3
Total
13.4058
1.48452
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:warnakerabang Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
1.983
.868
.497
2156.596
1
2156.596
943.222
.000
5.950
3
1.983
.868
.497
Error
18.291
8
2.286
Total
2180.838
12
24.242
11
Corrected Model Intercept Perlakuan
Corrected Total
5.950
a. R Squared = .245 (Adjusted R Squared = -.037)
48
Lampiran 4. Hasil analisis ragam terhadap Indeks Kuning telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:YI Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
.4053
.02346
3
N2
.4040
.02506
3
N3
.3937
.01328
3
N4
.4163
.01026
3
Total
.4048
.01832
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:YI Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.001
a
3
.000
.707
.575
Intercept
1.967
1
1.967
5.388E3
.000
Perlakuan
.001
3
.000
.707
.575
Error
.003
8
.000
Total
1.970
12
.004
11
Corrected Total
a. R Squared = .209 (Adjusted R Squared = -.087)
49
Lampiran 5. Hasil analisis ragam terhadap Indeks Putih telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:AI perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
.0787
.01474
3
N2
.0670
.00721
3
N3
.0690
.01375
3
N4
.0800
.00755
3
Total
.0737
.01138
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:AI Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
.000
1.019
.434
Intercept
.065
1
.065
505.470
.000
perlakuan
.000
3
.000
1.019
.434
Error
.001
8
.000
Total
.067
12
Corrected Total
.001
11
Corrected Model
a.
.000
R Squared = .277 (Adjusted R Squared = .005)
50
Lampiran 6. Hasil analisis ragam terhadap berat kuning telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:beratyolkk Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
15.5107
.55879
3
N2
15.3807
.67852
3
N3
15.5620
.20072
3
N4
15.6927
.89996
3
Total
15.5365
.55561
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:beratyolkk Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
.050
.123
.944
2896.594
1
2896.594
7.140E3
.000
.150
3
.050
.123
.944
Error
3.246
8
.406
Total
2899.990
12
3.396
11
Corrected Model Intercept perlakuan
Corrected Total
.150
a. R Squared = .044 (Adjusted R Squared = -.314)
51
Lampiran 7. Hasil analisis ragam terhadap berat Putih telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:beratalbumen Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
37.0147
1.94613
3
N2
38.2337
1.89480
3
N3
36.5860
1.34084
3
N4
34.4180
1.82703
3
Total
36.5631
2.08495
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:beratalbumen Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
7.597
2.428
.140
16042.309
1
16042.309
5.128E3
.000
perlakuan
22.790
3
7.597
2.428
.140
Error
25.027
8
3.128
Total
16090.126
12
47.817
11
Corrected Model Intercept
Corrected Total
22.790
a. R Squared = .477 (Adjusted R Squared = .280)
52
Lampiran 8. Hasil analisis ragam terhadap warna kuning telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:warnayolk Perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
55.2210
4.54285
3
N2
53.2510
6.40156
3
N3
55.6577
5.68927
3
N4
52.3183
3.03165
3
Total
54.1120
4.56354
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:warnayolk Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
7.578
.294
.829
35137.303
1
35137.303
1.362E3
.000
22.733
3
7.578
.294
.829
Error
206.352
8
25.794
Total
35366.387
12
229.085
11
Corrected Model Intercept Perlakuan
Corrected Total a.
22.733
R Squared = .099 (Adjusted R Squared = -.239)
53
Lampiran 9. Hasil analisis ragam terhadap Haugh Unit telur ayam ras petelur yang dipelihara pada sistem free-range dengan waktu pemberian naungan alami yang berbeda Between-Subjects Factors N perlakuan
N1
3
N2
3
N3
3
N4
3
Descriptive Statistics Dependent Variable:HU perlakuan
Mean
Std. Deviation
N
N1
77.9253
6.89961
3
N2
72.7643
3.96940
3
N3
73.6320
7.35721
3
N4
77.4053
1.40655
3
Total
75.4318
5.22526
12
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:HU Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
20.467
.685
.586
68279.387
1
68279.387
2.286E3
.000
61.402
3
20.467
.685
.586
Error
238.935
8
29.867
Total
68579.724
12
300.337
11
Corrected Model Intercept Perlakuan
Corrected Total
61.402
a. R Squared = .204 (Adjusted R Squared = -.094)
54
Lampiran 10. Data berat kering hijauan setelah 1 bulan pemeliharaan ayam KOMPONEN HIJAUAN BERAT KERING (g/400cm2) LAMINA STEM N1 2.03 1.46 3.49 N2 3.44 2.66 6.09 N3 2.68 1.68 4.35 N4 0.42 0.42 0.83 Kontrol 2.76 1.94 4.69 Ket. *) Pengukuran dengan menggunakan quadran dengan ukuran 20 x 20 cm. Pengamatan dilakukan setelah perlakuan diterapkan selama 30 hari. PERLAKUAN
55
Lampiran 11. Data Suhu Lingkungan Tiap Perlakuan No
Hari/Tanggal
1
Sabtu/14 Maret 2015
2
Minggu/15 Maret 2015
3
Senin/16 Maret 2015
4
Selasa/17 Maret 2015
5
Rabu/18 Maret 2015
6
Kamis/19 Maret 2015
7
Jumat/20 Maret 2015
SUHU LINGKUNGAN (0C) N1 N2 N3 N4 31 33 31 30 33 36 31 31 38 38.5 30.5 29
Jam (Wita) 10:00 12:00 15:00
25.5 28.5 28 27.5 25 36 30 23 23 22 30 23.5 25 39 24
30 34.5 31 31 28 44 30 24.5 24 20 29 24 27 41.5 25
27 28 27 27 29 31 29 24.5 23 20 27.5 23 34 31 24
24 25 25 25 24.5 30 28 24.5 23 20 27.5 23 24 30 25
9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 14:30 20:00
27 37 29 25 28 38 31 25
30 37 29 26 30 40 30 26
29 34 28 24 29 33 29 24
27 31.5 28 26 27 32 27.5 26
9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
56
No
Hari/Tanggal
8
Sabtu/21 Maret 2015
9
Minggu/22 Maret 2015
10
Senin/23 Maret 2015
11
Selasa/24 Maret 2015
12
Rabu/25 Maret 2015
13
Kamis/26 Maret 2015
14
Jumat/27 Maret 2015
SUHU LINGKUNGAN (0C) N1 N2 N3 N4 27 29 28 27 37 38 34 31 40 39 32 31 20 21 24 20 27 28 28 24 33 33 34 27 24 26 26 24 23 24 23 22 24 27 29 24 28 31 37 26 37 36 33 27 25 26 26 24 26.5 29 30 26 32 33 39 29 41 39 33 30 27 28 27 26 29 35 37 29 32 36 39 30 36 36.5 33 29 24 25 24 23 27 30 30 27 35 37 36 29 40 40 32 30 24 25.5 25 24 27 29 28 27 34 32 32 27.5 41 42 32 30 25 26 25 24
Jam (Wita) 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
57
No
Hari/Tanggal
15
Sabtu/28 Maret 2015
16
Minggu/29 Maret 2015
17
Senin/30 Maret 2015
18
Selasa/31 Maret 2015
19
Rabu/1 April 2015
20
Kamis/2 April 2015
21
Jumat/3 April 2015
SUHU LINGKUNGAN(0C) N1 N2 N3 N4 24 29 29 24 39 36 37 35 41 43 31 29 24 25 25 24 27 29 29 27 38 36 36 30 32 32 32 28 24 26 25 24 25 28 28 27 37 35 38 30 36 36 34 30 23 24 24 22 25 27 27 25 35 35 35 28 24 25 25 23 23 24 24 22 22 24 23 23 40 38 38 24 23 24 24 23 23 24 24 22 26 24 28 24 30 36 36 26 24 25 25 22 22 23 23 21 25 26 26 23 28 29 35 25 23 23 24 21 21 22 22 21
Jam (Wita) 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:30 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
58
No
Hari/Tanggal
22
Sabtu/4 April 2015
23
Minggu/5 April 2015
24
Senin/6 April 2015
25
Selasa/7 April 2015
26
Rabu/8 April 2015
27
Kamis/9 April 2015
28
Jumat/10 April 2015
SUHU LINGKUNGAN(0C) N1 N2 N3 N4 22 22 23 22 32 31 30 27 25 27 27 25 23 24 24 23 27 29 35 27 35 36 38 30 26 27 26 25 23 24 29 22 27 28 27 25 32 35 31 28 28 29 27 26 22 23 23 20 25 25 25 23 35 36 30 26 35 36 27 25 23 24 23 22 26 28 32 26 38.5 40.5 35 29 32 33 31 28 25 26 26 25 27 28 28 27 35 38 34 29 33 34 32 30 25 27 27 25 27 28 29 27 38 40 39 29 25 25 24 22 22 23 23 22
Jam (Wita) 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
59
No
Hari/Tanggal
29
Sabtu/11 April 2015
30
Minggu/12 April 2015
31
Senin/13 April 2015
32
Selasa/14 April 2015
33
Rabu/15 April 2015
34
Kamis/16 April 2015
35
Jumat/17 April 2015
SUHU LINGKUNGAN (0C) N1 N2 N3 N4 21 28 31 22 35 39 33 28 30 38 28.5 27 22 24 23 21 27 30 30 27 31 32 32 26 22 24 24 20 23 24 23 22 25 26 26 23 30 32 29 24 39 40 28 25 23 24 22 22 27 28 28 25 39 40 39 28 44 45 32.5 29 24 25 24 23 29 35 42 30 38 39 35 30 45 32 32 30 27 27 27 25 29 29 30 26 33 33 33 29 30 31 30 26 23.5 25 24 24 26 26 25 24 31 32 30 25 30 30 29 25 23 24 24 22
Jam (wita) 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
60
No
Hari/Tanggal
36
Sabtu/18 April 2015
37
Minggu/19 April 2015
38
Senin/20 April 2015
39
Selasa/21 April 2015
40
Rabu/22 April 2015
41
Kamis/23April 2015
42
Jumat/24 april 2015
SUHU LINGKUNGAN (0C) N1 N2 N3 N4 26 31 30 26 38 38 35 30 36 36 35 28 23 24 23 23 26 29 28 25 36 38 38 31 37.5 38 32 28 24 25 25 24 21 24 23 22 38 39 35 28 29 29 29 22 25 22 25 24 27 29 29 27 41 39 37 31 33 33 31 28 23 24 24 23 28 30 30 28 40 41 35 30 30 32 31 28 23 25 24 33 27 33 33 28 31 39 37 30 30 34.5 34 29 25 26 26 25 23 32 30 22 31 34 33 30 37 39 34 29 25 26 26 26
Jam (wita) 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00 9:00 12:00 15:00 20:00
61
RIWAYAT HIDUP
Nur Ahmad dilahirkan pada tanggal 03 April 1992 di Membura, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Burhan dan Sappe.
Pada tahun 1999 penulis
memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 46 Membura dan tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Enrekang, tamat pada tahun 2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Enrekang pada tahun 2008 dan tamat pada tahun 2011.
Pada tahun yang sama pula, penulis
melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri dan lulus melalui SNMPTN Jalur Undangan dan diterima pada Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
62