KUALITAS NUTRISI AMPAS SAGU HASIL BIOFERMENTASI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) DENGAN WAKTU INKUBASI DAN DOSIS UREA YANG BERBEDA. (The Nutritive Quality of Sago Waste from Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus) Biofermentation Yield with Different Incubation time and Urea Doses) Insun Sangadji, Jerry Salamena dan Christian Patty Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan, Universitas Pattimura, Ambon
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas nutrisi ampas sagu yang telah mengalami proses fermentasi jamur tiram dengan penambahan urea. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 5 x 5 x 3. Faktor pertama dosis urea 0%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1%. Sedangkan faktor kedua adalah waktu inkubasi sebelum fermentasi, belum panen, Panen pertama, Panen kedua dan Panen ketiga. Hasil penelitian menunjukkan BK dan BO pada waktu inkubasi belum panen berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan lain. Sedangkan dosis urea tidak berpengaruh terhadap BK dan BO. Kadar protein hasil biofermentasi dipengaruhi oleh kadar urea dan waktu inkubasi tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut. Komponen serat ampas sagu hasil biofermentasi umumnya menurun, walaupun secara statistik hanya kandungan NDF yang berbeda antar perlakuan waktu inkubasi, sedangkan antara perlakuan dosis urea tidak berbeda nyata. Waktu inkubasi terbaik adalah waktu panen kedua dan dosis urea 0,5%. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa jamur tiram dapat meningkatkan daya guna ampas sagu sehingga dapat digunakan sebagai pakan alternatif ruminansia sebagai pengganti rumput dalam upaya pemanfaatan sumberdaya lokal. Kata kunci : Ampas sagu, Biofermentasi, Jamur tiram, Lama inkubasi, Dosis urea PENDAHULUAN Tingginya permintaan akan daging tidak diimbangi oleh peningkatan populasi dan produktivitas ternak terutama ruminansia. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah karena akan berdampak negatif terhadap ketersediaan protein hewani. Salah satu kendala yang dihadapi oleh usaha peternakan adalah belum tercukupinya kebutuhan nutrisi terutama protein pakan, sehingga ternak belum dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Rumput di daerah tropis kebanyakan bermutu rendah dengan serat kasar yang tinggi. Sementara itu penanaman rumput unggul seperti rumput gajah dan sebagainya juga mendapat kendala karena terbatasnya lahan, yang kebanyakan sudah digunakan untuk pemukiman dan lahan pertanian. Keadaan ini merupakan tantangan bagi sektor peternakan, karena perlu mencari pakan alternatif untuk meningkatkan produksi ternak. Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal merupakan langkah strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha produksi ternak ruminansia di Indonesia. Penetapan prioritas bahan baku lokal perlu didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan daya kompetisi secara ekonomi dan kualitas. Kriteria yang perlu menjadi perhatian dalam kaitannya dengan efisiensi dan kompetisi adalah jumlah dan ketersediaan bahan pakan. Agar efisien, bahan tersebut harusnya tersedia dalam jumlah yang besar, ada sepanjang tahun dan terkonsentrasi. Bahan baku yang mempunyai karakter tersebut umumnya terkait 72
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
dengan industri, yang menghasilkan berbagai produk baik yang bersifat sampingan maupun limbah. Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan tepung sagu, di mana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu. Ampas sagu merupakan limbah dan terdapat dalam jumlah yang banyak, sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Kalaupun ada ternak yang memanfaatkannya, hanya ternak-ternak yang berada di sekitar lokasi pengolahan tepung sagu, yang langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol. Pemanfaatan limbah atau ampas sagu sebagai pakan alternatif merupakan suatu hal yang baik, walau disadari bahwa pemanfaatannya perlu mendapat sentuhan teknologi, karena ampas sagu mempunyai keterbatasan untuk digunakan sebagai pakan yaitu kandungan serat kasarnya tinggi dan proteinnya rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum diberikan kepada ternak. Cara pengolahan limbah yang sudah dikenal antara lain pengolahan fisik, kimia dan biologi. Pengolahan biologi yang bisa dilakukan antara lain adalah biofermentasi dengan menggunakan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur ini dari kelas Basidiomycetes yang dapat dimakan dan dapat dibudidayakan pada berbagai limbah pertanian. Budidaya jamur tiram (Pleurotus ostreatus) meningkat tajam diseluruh dunia selama bebarapa tahun terakhir. Terhitung 14,2% dari total produksi jamur yang dapat dimakan diseluruh dunia adalah pleurotus ostreatus. Kultifasi yang mudah, potensi produksi dan nilai nutrisi yang tinggi menyebabkan jamur tiram meningkat popularitasnya. Meskipun pada umumnya jamur tersebut biasa tumbuh pada jerami padi yang sudah dipasteurisasi, jamur tersebut dapat dikultifasi dalam berbagai macam substrat lignoselulosa, memungkinkan jamur tersebut dapat mengolah semua limbah organik yang menyebabkan permasalahan lingkungan. Saat ini fermentasi bahan padat dengan Pleurotus ostreatus spesies lebih banyak digunakan dalam transformasi limbah ke bentuk pakan atau untuk produksi enzim daripada produksi tubuh buah (Andrej Gregori et al, 2007 ) Jamur tiram dalam biokonversi jerami padi diketahui mampu mendegradasi lignin, dan setelah dicobakan pada ternak ternyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organiknya (Jafari et al. 2007) sehingga apabila jamur tiram putih tersebut digunakan untuk ampas sagu diharapkan dapat memberi hasil yang baik pula. Disamping itu penerapan bioteknologi ini dapat bersifat dwiguna, yaitu dapat mengembangkan agribisnis budidaya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Diharapkan dengan biofermentasi ampas sagu dengan jamur tiram ini dapat memberikan dua keuntungan sekaligus yaitu disatu pihak berupa jamur tiram sebagai komoditi pangan bernilai ekonomi tinggi. Dilain pihak substrat media tumbuh jamur dapat digunakan sebagai pakan ruminansia, sehingga terbuka peluang untuk penggemukan sapi, kambing atau ruminansia lainnya di daerah-daerah penghasil tepung sagu. Dengan demikian pemanfaatan ampas sagu dapat dioptimalkan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani peternak, sekaligus mencegah pencemaran lingkungan. Sangadji (2009) melaporkan bahwa biofermentasi ampas sagu dengan jamur tiram berhasil menurunkan kadar serat kasar secara keseluruhan tetapi tidak meningkatkan kandungan protein. Hal ini disebabkan karena jamur tiram tidak meningkatkan kandungan nitrogen tetapi hanya mengubah nitrogen anorganik menjadi organik. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan ditambahkan urea. Urea yang ditambahkan pada pakan akan mengalami proses ureolitik menjadi NH3 dan CO2 oleh urease bakteri pakan sehingga mampu menyediakan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba rumen bila pakan berprotein rendah tersebut dikonsumsi (Leng, 1991).
73
Insun Sangadji, dkk.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kualitas nutrisi ampas sagu hasil biofermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) pada masa inkubasi yang berbeda dan penambahan urea dengan dosis yang berbeda pula, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai paket teknologi pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan berkualitas dan murah harganya untuk meningkatkan produktifitas ternak dan mencegah pencemaran lingkungan. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada laboratorium Makanan dan Nutrisi Ternak Jurusan peternakan, Fakultas Pertanian Unpatti, kebun jamur rakyat bertempat di desa Rumah Tiga Ambon, Laboratorium Kimia Dasar Unpatti, Laboratorium Biologi Hewan PAU, IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Bahan-bahan percobaan yang digunakan meliputi ampas sagu, yang berasal dari tempat-tempat pengolahan sagu di Provinsi Maluku, bibit jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) dibuat dari jamur segar yang baru dipanen, alkohol 70%, zat-zat makanan tambahan seperti dedak, kapur (CaCO3), urea serta air bersih. Biofermentasi ampas sagu Persiapan proses biofermentasi ampas sagu Ampas sagu yang digunakan dijemur matahari sampai kering (kadar air ±20%) agar tidak berjamur, dipotong halus sesuai dengan ukuran partikel yang dikehendaki (± 3 mm) untuk proses biofermentasi. Pembuatan bibit tanam menggunakan jamur tiram dari kebun jamur. Jamur dibelah dan diambil sepotong kecil jaringan bagian dalam. Bagian ini dipindahkan dengan pinset dan diletakkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA), dibiarkan sampai miselium tumbuh memenuhi cawan petri (± 1 minggu). Pemurnian dilakukan dengan mengambil satu plug (potongan) agar yang berisi miselium dan ditanam kembali kedalam medaia agar, dibiarkan sampai penuh. Stok bibit dibuat dengan menggunakan media biji-bijian (jawawut), sedangkan pembuatan bibit tanam dengan menggunakan media campuran biji-bijian dan ampas gergaji. Pembuatan media tumbuh jamur (Sangadji, 2009) Sebanyak 10 kg ampas sagu ditambahkan 1,5 kg dedak dan 0,15 kg CaCO3. Semua bahan ini dicampur dan ditambahkan air sekitar 60% dari berat campuran. Bila campuran tersebut dikepal tidak terdapat air menetes, maka campuran diaduk dan diberi urea sesuai perlakuan, dimana urea yang diberikan dikurangi nitrogen substrat. Campuran substrat ampas sagu dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan ukuran 12 cm x 25 cm x 0,8 mm, selanjutnya mulut kantong plastik dimasukkan ke dalam cincin paralon dan dilipat ke luar, diikat dengan karet gelang dan ditutup kertas. Substrat tersebut disterilisasi basah melalui pengukusan selama 30 menit pada suhu 121oC, kemudian didinginkan dalam ruang isolasi selama 24-48 jam. Substrat steril ditanami dengan bibit jamur dengan cara penaburan inokulum sampai merata diatas permukaan sebanyak 1 sendok makan ( ±10 g/kg substrat). Kemudian substrat yang sudah ditanami disimpan di atas rak sampai miselium yang berupa benang-benang putih halus telah menutupi penuh seluruh substrat. Suhu harus dipertahankan antara 22-25 oC dengan kelembaban 80-90%. Setelah miselium menutup sempurna, kantung plastik dibuka dan dipindahkan ketempat agak terang, untuk merangsang pertumbuhan tubuh buah jamur. Pengamatan dilakukan pada waktu belum panen ( 30-40 hari setelah tanam), panen pertama (50-60 hari setelah tanam), panen kedua (60-70 hari setelah tanam) dan panen ketiga (70-80 hari setelah tanam). 74
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
Analisis nutrisi ampas sagu hasil biofermentasi Untuk analisis nutrisi maka substrat bekas media tumbuh jamur tiram dikeringkan dan dihaluskan sesuai ukuran untuk sampel analisa yaitu ukuran ≤ 1 mm. Pengukuran menggunakan metode analisis standar berdasarkan AOAC (1990) yang menganalisis kadar air, abu, protein. Dari kadar air dan abu dapat dihitung kadar bahan kering dan bahan organik. Untuk analisis komponen serat seperti NDF, ADF dan lignin digunakan prosedur menurut Robertson dan Van Soest (1981). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancanagan Acak Lengkap pola Faktorial (5x5) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah 5 waktu inkubasi yaitu SF (sebelum fermentasi), waktu BP ( belum panen saat pembentukan miselium selesai), P1 (panen pertama), P2 (panen kedua), P3 (panen ketiga) dan faktor kedua adalah 5 dosis yaitu 0%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1%. Peubah yang diamati adalah kadar bahan kering, bahan organik, protein, komponen serat (NDF, ADF dan Lignin). Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan analisis dengan menggunakan Uji Jarak Barganda Duncan (Steel & Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan kering, Bahan organik dan Protein Ampas Sagu Sebelum ampas sagu difermentasi dinding sel masih kompak, setelah difermentasi struktur anatomi dinding sudah tidak kompak lagi atau longgar disebabkan adanya kerja enzim dalam mendegradasi ikatan-ikatan lignoselulosa pada dinding sel (Sangadji, 2009). Terjadi perubahan nilai nutrisi substrat sesudah biofermentasi. Bahan kering substrat dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan tidak dipengaruhi oleh dosis urea. Penurunan bahan kering terendah terlihat pada perlakuan waktu inkubasi belum panen yang nyata berbeda (P<0,05) dengan perlakuan lain. Tingginya bahan kering pada perlakuan belum panen karena jamur tiram hanya mendegradasi substrat untuk pertumbuhan miselium bukan tubuh buah. Perombakan bahan kering akan terus berlangsung selama proses biofermentasi berjalan sehingga bahan kering substrat semakin berkurang dan kadar air bertambah. Zeng et al (2010) menyatakan bahwa penurunan bahan kering terjadi karena perubahan jumlah biomassa jamur dalam media yang menyebabkan perubahan bahan kering dan perbanyakan jumlah miselia jamur sebagai indikator pertumbuhan. Dengan adanya dekomposisi komponen tubuh jamur akan menurunkan kandungan bahan kering. Tabel 1. Rata-rata kadar bahan kering, bahan organik dan protein ampas sagu hasil biofermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) Perlakuan B. Kering B.Organik Protein
Waktu Inkubasi (Panen) P1 P2 P3
SF
BP
86,40 84,81 1,80
86,48b 74,68c 8,45c
67,22a 57,92b 6,89b
67,06a 56,30b 6,17b
64,92a 50,30a 4,93a
0,00
Dosis Urea (%) 0,25 0,50 0,75
1,00
71,78 59,10 4,98a
72,75 60,78 6,10b
69,28 58,99 7,03c
72,80 61,35 7,91d
71,13 59,08 7,03c
Keterangan: 1) SF= sebelum difermentasi , BP= belum panen (pembentukan miselium selesai), P1= panen pertama, P2 = panen kedua, P3 = panen ketiga. 2) Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
75
Insun Sangadji, dkk.
Bahan organik pada perlakuan BP berbeda nyata (P<0.05) dari Pi,P2,P3 sedangkan P1 sama dengan P2 dan berbeda dengan P3. Bahan makin berkurang seiring bertambahnya waktu inkubasi. Hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak bahan organik yang dirombak untuk pertumbuhan jamur tiram. Menurut Chang dan Miles (1989) bahwa selama proses biofermentasi terjadi perombakan bahan organik (terutama karbohidrat) untuk dijadikan sumber energi bagi pertumbuhan dan aktivitas jamur tiram putih. Karbohidrat akan dipecah menjadi glukosa kemudian dilanjutkan sampai terbentuk energy (Haddadin et al. 2009) Rataan kadar protein ampas sagu hasil biofermentasi jamur tiram nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh dosis urea dan waktu inkubasi, tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut. Kadar protein tertinggi adalah pada perlakuan BP (8,45%) kemudian diikuti oleh P1 (6,89%), P2 (6,17%) dan P3 (4,93). Hasil ini lebih tinggi dari Sangadji (2009) yang menggunakan subsstrat yang sama tanpa penambahan urea. Protein mencapai puncak pada waktu pembentukan miselium selesai, kemudian menurun pada panen pertama dan seterusnya. Peterson (1989) menyatakan bahwa apabila proses biokonversi tersebut sudah mengakhiri pertumbuhan sekunder, maka nitrogen mulai berkurang karena digunakan oleh misileum jamur tiram putih untuk pertumbuhan tubuh buah jamur. Kadar protein mencapai puncaknya pada perlakuan dosis urea 0,5% (7,91%) kemudian turun kembali pada penggunaan urea 0,75% dan 1%. Hal ini berarti untuk meningkatkan kandungan nitrogen ampas sagu hasil biofermentasi jamur tiram hanya dibutuhkan urea sampai 0,5%, karena selebihnya akan dimanfaatkan oleh jamur untuk meningkatkan kadar protein tubuh buah. Suplementasi nitrogen ke dalam media tumbuh akan meningkatkan efisiensi biologis dan nilai nutrisi dari jamur tiram, terutama kandungan β-Glukan, dimana senyawa ini mempunyai sifat pengobatan diantaranya mencegah adanya dan perkembangan penyakit kanker (Mateus et al, 2012). Kadar NDF tidak dipengaruhi oleh dosis urea, tetapi dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut. Penurunan NDF tertinggi terjadi pada perlakuan P1 (29.62%) kemudian diikuti oleh P3dan P2, sedangkan penurunan terendah pada perlakuan BP. Pada panen pertama mulai terbentuk tubuh buah, dan buahnya lebih besar dari penen-panen selanjutnya sehingga lebih banyak energi dan karbon yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan lebih banyak karbohidrat struktural yang dirombak. NDF terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Dengan demikian hemiselulosa yang akan dirombak terlebih dahulu. Karem et al (1992), menyatakan bahwa jamur tiram putih mensekresiikan enzim-enzim ekstraseluler dan intraseluler yang berperan dan degradasi hemiselulosa, selulosa dan lignin, dan akan cenderung mendegradasi yang lebih mudah terlebih dahulu. Tabel 2. Rata-rata kadar NDF, ADF dan lignin ampas sagu hasil biofermentasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) Perlakuan NDF ADF Lignin
SF 63,80 55,10 7,58
Waktu Inkubasi (Panen) BP P1 P2 P3 55,10b 44,90a 47,04a 47,88a 43,44 41,10 41,08 40,04 5,48 5,28 5,38 5,34
0,00 46,95 40,98 4,95
Dosis Urea (%) 0,25 0,50 0,75 49,57 50,10 48,65 39,38 43,40 41,80 5,35 5,48 5,60
1,00 48,38 41,53 5,45
Keterangan: 1) SF = sebelum difermentasi, BP= belum panen (pembentukan miselium selesai), P1= panen pertama, P2 = panen kedua, P3 = panen ketiga. 2) Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Kadar ADF tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi maupun dosis urea. Kadar ADF tertinggi pada perlakuan BP kemudian diikuti oleh P1, P2 dan P3 (Tabel 2). Degradasi ADF ada hubungannya dengan kendungan NDF dan hemiselulosa. Keberlangsungan degradasi 76
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
nilai NDF pada tingkat ADF yang tetap memungkinkan terjadinya peningkatan kelarutan hemiselulosa (Goering and Van Soest, 1970). Fenomena ini akan menyebabkan jumlah material dapat larut dalam sel meningkat, dan pada gilirannya sebagai akibat dari penguraian, struktur ampas sagu menjadi empuk dibandingkan sebelum difermentasi. Pengaruh perlakuan terhadap kadar lignin sama (P>0.05), terlihat bahwa kadar lignin dipengaruhi oleh perlakuan, tetapi apabila dibandingkan dengan media ampas sagu sebelum difermentasi terlihat perbedaan yang cukup menyolok. Fenomena ini menunjukkan bahwa jamur tiram mampu untukmendegradasi semua komponen serat sama baiknya. Hasil yang sama didapatkan oleh Admovic et al (1998), dimana terjadi perubahan yang signisikan pada komposisi nutrisi padi selama pertumbuhan jamur tiram berlangsung. Selama proses biofermentasi terjadi penurunan semua komponen dinding sel, yaitu NDF (29,62%), ADF (28,52%) dan lignin (34,69%). Penurunan lignin tertinggi adalah pada waktu panen pertama, sama dengan penurunan NDF. Dari hasil penelitian ini membuktikan bahwa degradasi komponen serat pada ampas sagu hanya dilakukan oleh jamur tiram seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi tanpa pengaruh dosis urea. KESIMPULAN Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dapat meningkatkan daya guna ampas sagu. Kadar protein ampas sagu hasil biofermentasi dipengaruhi oleh kadar urea dan waktu inkubasi, tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor tersebut. Komponen serat ampas sagu secara umum menurun dibandingkan sebelum difermentasi, walaupun secara statistic hanya kandungan NDF yang berbeda antar perlakuan biofermentasi. Sedangkan perlakuan dosis urea tidak berbeda nyata. Waktu inkubasi terbaik adalah waktu panen kedua dan perlakuan dosis urea terbaik adalah 0,5%. DAFTAR PUSTAKA Andrej Gregorii, Mirjan Vagel and Jure Pohleven. 2007. Cultivation Techniques and Medical Properties of Pleurotus Spp. Food Technol Biotechnol. 45 (3) 238-249 Adamovic M. G., I. Milenkovic, R. Jovanovic, Protic, L. Stretenovic, L. J. Stoisevic. 1998. The biodegradation of Wheat straw by Pleuorotus ostreatus mushroom and its use in cattle feeding. J. Anim. Feed Sci. and Technol. 71: 357-362. Chang S.T. and P. G. Miles. 1989. Edible Mushroom and Their Cultivation CRC. Florida Press Inc. Boca Raton. Haddadin, M. S. Y. O. L. Haddadin, Arabiyat and B. Hattar. 2009. Biological conversion of olive into compost by using Trichoderma harzianum and Phanerochaete chrysosporium. Bioresour. Technol., 100: 4773-4782. Jafari, M. A., A. Nikkhah, A. A. Sadeghi, and M. Chamani. 2007. The Effect of Pleurotus ostreatus. Spp. fungi on chemical composition and in vitro digestibility of rice straw. Pakistan J. Biol. Sci., 10(15): 2460-2464. Karem, Z., D. Friesen, and Y. Hadar. 1992. Lignocellulose degradation during solid state fermentation: Pleuorotus ostreatus versus Phanerochaete. Appl. Environ. Microbiol., 58: 1121-1127. Leng, R. A. 1991. Application of Biotechnology to Nutrition of Animal in Developing Countries. FAO Animal Production and Health Paper. Rome: FAO of the United Nations. 77
Insun Sangadji, dkk.
Mateus, D. N, M. R. Jose, A. P. Sirlaine, J. O. R. Joao, M. de C. Soares da Silva, M. C. M. Kasuya. 2012. Nitrogen supplementation on the productivity and the chemical composition of oyster mushroom. J. Food Res., 1(2): 113-119. Peterson A. 1989. Biodegradation of lignin and cellulosic Materials. Di dalam: Animal Production and Health Division. New York and London: FAO Biotechnology for livestock production plenum press. Hal 245-259. Robertson, J. B., P. J. Van Soest. 1981. The detergent System of analysis. In: James WPT, Theander O (eds) The Analysis of Dietary Fibre in Food, vol. 158. Marcel Dekker, New York, p. 123. Sangadji. 2009. Mengoptimalkan Pemanfaatan Ampas Sagu Sebagai Pakan Ruminansia Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
78