STAIN Palangka Raya
33
KRITIK FEYERABEND ATAS DETERMINISME ILMU PENGETAHUAN Syairil Fadli
Abstrak Ilmu pengetahuan modern yang berangkat dari kekaguman terhadap sesuatu dan berkembang pesat sejak periode renaissance hingga sekarang telah menjadi jenis pengetahuan yang tidak hanya dominan dan meresapi berbagai sendi kehidupan umat manusia tetapi juga memperkuat manusia dalam mendominasi alam. Oleh karena itu diperlukan satu pandangan ilmu pengetahuan yang holistik, Feyerabend salah seorang filsuf ilmu pengetahuan yang mendobrak sudut pandang ilmu pengetahuan melalui penelaahan sejarah dan peranannya, mengkritik pandangan yang menganggap metode, aliran, atau sudut pandang tertentu saja yang benar. Penelitian ini bertujuan menerangkan dan mendiskripsikan kritik Feyerabend atas determinisme ilmu pengetahuan. Peneliti menggali pemikiran feyerabend. Penelitian ini adalah kajian pustaka. Penelitian dimulai dengan mengumpulkan dan memisahkan data. Semua data tersebut kemudian dievaluasi menggunakan metode hermeneutika-eklektis dengan anasir pokok deskripsi, kesinambungan sejarah, komparasi, refleksi, dan sintesis. Feyerabend menyesalkan klaim ilmu positif yang dikembangkan oleh Barat sebagai satu-satunya kebenaran dan satu-satunya jenis pengetahuan yang valid dalam menentukan kehidupan umat manusia, Menurut pandangan Feyerabend, klaim tersebut tidak dapat diterima mengingat aturan main ilmu pengetahuan ditentukan oleh konsensus para ilmuwan dalam lingkungan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akibatnya, konsensus tersebut dapat mengancam demokrasi, tradisi, dan kebenaran relatif. Feyerabend lewat “anarkisme epistemologi” dan “metodologis”nya ingin membebaskan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang didasari atas tradisi-tradisi dari tekanan berat yang menghimpit keduanya dan mengembalikan ilmu pengetahuan kearah yang lebih manusiawi. ilmu pengetahuan hanyalah satu di antara bermacam jenis pengetahuan dalam meraih kebenaran. Tidak ada determinisme universal. Dengan demikian, sistem pemikiran yang berlaku adalah apa saja boleh dan membiarkan segala sesuatu berkembangbiak sealami mungkin. Kata kunci : Anarkisme epistemologis dan metodologis, kebebasan, relativisme
*
Penulis adalah dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Palangka Raya, ia memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di UGM Yogyakarta pada tahun 2002, Program Studi Ilmu Filsafat. Alamat Kantor: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya Jl. G. Obos Komp. Islamic Centre Palangka Raya Kalimantan Tengah 73112
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
34
STAIN Palangka Raya
A. Latar Belakang Masalah Filsafat bermula dari kekaguman terhadap sesuatu yang sederhana, pada gilirannya mampu melahirkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Kekaguman itu ditandai dengan keinginan manusia menjawab rahasia seputar alam, manusia, dan Tuhan. Banyak pertanyaan mendalam menghantui seperti: “Kenapa aku berada di jagad raya ini?”; “Apa yang dimaksud dengan pengetahuan?”; “Apa yang dapat diberikan oleh kesetiaan?”. Apabila diperas hanya menjadi satu pertanyaan menentukan, yakni, “Apakah kebenaran itu?” Permasalahannya adalah menjawab pertanyaan itu tidak mudah karena terdapat perbedaan pandangan dan latar belakang manusia yang menjawabnya, dengan perkataan lain, jika ada orang mempertanyakan apa itu kebenaran, maka pertanyaan sebaliknya akan menyusul, kebenaran dari sudut pandang yang mana?1 Sampai sekarang masih muncul klaim kebenaran ilmu pengetahuan terhadap segala hal, klaim itu juga terdapat di antara bidang-bidang ilmu pengetahuan yang berbeda-beda akibat adanya klasifikasi, misalnya ilmu-ilmu positif seperti: kimia, fisika, dan ilmu kealaman saja yang sanggup memecahkan masalah. Ilmu pengetahuan menyamakan seluruh realitas dengan hal yang dapat dimengerti secara ilmiah saja, sehingga ilmu-ilmu humaniora seperti: sosiologi, psikologi, bahkan ilmu filsafat dipaksakan mengikuti metode-metode yang berlaku pada ilmu alam agar tetap disebut ilmiah. Kebenaran dalam konteks masa kini masuk pada pemahaman kontemporer. Pada tataran hermeneutik, rasionalitas berfokus pada kemasukakalan (reasonable) yang menjadi titik temu antara keyakinan bahwa rasionalitas berhubungan erat pada bahasa, kultur, praktek dan keyakinan bahwa argumentasi dan dialog hermeneutik itu menuntut suatu rasionalitas komunikatif universal, tidak terkecuali kebenaran ilmiah. Padahal, kebenaran ilmiah yang dimotori positivisme mulai ditinggalkan. Kelebihan ilmu positif hanya terletak pada bobot kepastiannya, itu pun karena sistem pengukurannya yang memang serba dipastikan dan keterbukaannya terhadap kritik. Adapun pengukuran dan keterbukaan itu tidak sepenuhnya berdasarkan kenyataan empiris. 2 Manusia terjebak pada relativisme dogmatis karena pemihakan seiring dengan berkembangnya positivisme yang membentuk determinisme secara sektoral. Adalah Feyerabend (1924-1994) salah seorang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru selain Karl Popper, Thomas Kuhn, dan Imre Lakatos, yang mendobrak sudut pandang ilmu pengetahuan melalui penelaahan sejarah ilmu dan peranannya dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan aktivitas ilmiah yang terjadi sesungguhnya.3 Menurut Feyerabend, alangkah baiknya para ilmuwan ketika melakukan penelitian membebaskan diri dari metode-metode yang ada, meskipun terbuka kemungkinan menggunakan metode-metode itu, tidak ada metode tunggal karena setiap orang berhak menerapkan teori, sistem, dan pemikiran sesuai kecenderungan masingmasing.4
1 2 3
4
Pranarka, Epistemologi Dasar, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1987), h. 41-47 Sugiharto, Bambang, Posmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 112. Verhaak, C., dan Imam, R. Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 163. Feyerabend, Paul K., Killing Time, (Chicago: University of Chicago Press, 1995), h. 179-180
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
35
STAIN Palangka Raya
Berdasarkan uraian di depan, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan serta pengembangan determinisme ilmu pengetahuan dengan sudut pandang relativisme-dogmatisme dan pandangan Feyerabend mengenai sejarah ilmu pengetahuan dan meta-metodologi yang ditawarkannya. Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang satu aspek perkembangan filsafat di zaman kontemporer dan sebagai khazanah intelektual, terutama di bidang filsafat. B. Landasan teori Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan telah dirumuskan berbagai pandangan yang bersifat rasionalistik, empiristik, dan pragmatis. Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkannya masih mengalami proses panjang, penuh pertarungan antara mitos dan logos. Logos yang akhirnya menjadi mitos pada masanya kelak akan menjadi dasar logos berikutnya. Sekarang orang menganggap dunia Barat merupakan sentral ilmu pengetahuan, kendati dalam sejarah ilmu pengetahuan terbukti ada sumbangsih dari belahan dunia lain seperti Mesir, Cina, dan India. Tidak boleh dilupakan pula kehadiran para filsuf Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd yang menyebarkan filsafat Aristoteles ke benua Eropa melalui Spanyol dan mewariskannya kepada kaum Patristik dan Skolastik.5 Perkembangan ilmu pengetahuan sebelum abad ke-20 berjalan lamban. Ilmu pengetahuan hanya berkutat pada teori induksi dan deduksi. Ilmuwan yang muncul sekedar menolak atau mendukung teori sebelumnya dengan menambahi fakta yang ada. Menurut The Liang Gie,6 apabila pada Zaman Yunani Kuno ilmu pengetahuan tidak dibedakan dengan filsafat, hal itu karena keduanya merupakan pengetahuan yang didapat dari rasio manusia, sedangkan pada zaman modern muncul kebutuhan untuk memisahkan secara jelas kelompok ilmu pengetahuan modern dari filsafat: Filsafat bercorak spekulatif, sedangkan ilmu pengetahuan modern menerapkan metode empiris, eksperimental, dan induktif. Itulah sebabnya mengapa keberhasilan ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam teknologi diklaim sebagai satu-satunya pengetahuan yang benar secara objektif terhadap realitas. Gambaran semacam ini memunculkan pandangan baru dan dapat menggoncangkan pandangan lama, termasuk kosmologi dan metafisika yang oleh Sudarminta bersumber pada agama-agama,7 oleh Feyerabend disebut tradisi, yang bagi masyarakat Barat dipandang rendah dan tidak masuk akal.8 Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan aspek metodologis, kelahiran, sejarah, dan perkembangan ilmu pengetahuan. C. Metode penelitian Penelitian ini bersifat literer, sumber data sepenuhnya disandarkan pada riset perpustakaan, dalam hal ini, secara langsung menelaah tulisan Feyerabend dan tulisan lain yang mempunyai relevansi dengan masalah pokok penelitian. 1. Materi Penelitian 5
6 7 8
Wibisono, Koento, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu” dalam Tim Dosen Filsafat Illmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997), h. 1-10 Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberti, 2000), h. 11-15 Sudarminta, J., “Sains dan Masalah Ketuhanan” dalam Diskursus Vol. 1, No. 1, h. 35 Feyerabend, Paul K., Science in a Free Society, (London: NLB, 1978), h. 27-28
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
36
STAIN Palangka Raya
Sumber penelitian ini diambil dari literature berupa karya-karya Feyerabend seperti: Against method, Problems of Empiricism, Realism Rationalism and Scientific Method, Science in a Free Society, Three Dialogues on Knowledge, dan Killing Time serta literatur yang membicarakan determinisme. Sumber sekunder berasal dari buku, ensiklopedi, dan jurnal yang dapat menunjang penelitian tersebut. 2. Jalan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini terbagi tiga tahap: 1) pengumpulan data, pada tahap ini data primer dan sekunder didapatkan lewat pengumpulan di berbagai perpustakaan ; b) pengolahan data, data yang sudah terkumpul tersebut kemudian diklasifikasi menjadi tema filsafat ilmu yang akan menjadi objek kajian, kritik Feyerabend atas determinisme ilmu pengetahuan sebagai objek material dan sebagai objek formalnya adalah filsafat ilmu; c) penyajian hasil penelitian, tahap ini berupa pemaparan hasil penelitian secara lengkap. 3. Analisis Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan hermeneutika-eklektis dengan anasir pokok deskripsi, kesinambungan historis, komparasi refleksi, dan sintesis. Pemakaian yang acak ini dilakukan mengingat dua pembahasan yang tampaknya berbeda satu sama lain, pertama karena penelitian ini memaparkan determinisme ilmu pengetahuan dan kedua karena mengetengahkan pemikiran seseorang dalam menyoroti yang pertama tadi. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Latar Belakang Intelektual Feyerabend Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 dari keluarga kelas menengah di Wina, Austria dan meninggal pada tahun 1994 di Zurich, Swiss. Pada usia 6 tahun Feyerabend masuk sekolah dasar. Feyerabend di mata gurunya termasuk anak bandel dan sakitsakitan. Kesehatan Feyerabend membaik begitu mulai suka membaca, terutama tentang keajaiban dunia dan komik-komik misteri. Kebiasaan itu terbawa sampai dewasa. Ada di antara komik-komik itu yang menceritakan hubungan seekor lalat dan seorang pembaca: sang lalat selalu mengganggu dengan dengungan ke mana saja orang itu pergi. Feyerabend menjadi semacam lalat pengganggu bagi orang banyak dan itu dilakukannya ketika ia menulis Against Method, “Saya senang mengejutkan orang.”9 Memasuki sekolah menengah, Feyerabend belajar bahasa Latin, bahasa Perancis, bahasa Inggris, dan seni. Di sini Feyerabend mengenal filsafat untuk kali pertama. Pada tahun tahun 1946 Feyerabend kuliah di Institut für Osterrreichische Geschichtsforschung, Universitas Wina, Austria. Pada tahun 1948, Feyerabend bertemu Karl Popper. Pertemuan tersebut menambah keyakinannya terhadap rasionalitas. Pada tahun 1950, Feyerabend berkeinginan mengikuti kuliah Ludwig Wittgenstein di Cambridge, tetapi malang, Ludwig Wittgenstein meninggal sebelum Feyerabend tiba di Inggris, sebagai gantinya, Karl Popper dipilih menjadi supervisornya, pada tahun 1955, Feyerabend diangkat menjadi dosen di Universitas Bristol, Inggris. Pada tahun 1958 ia diangkat menjadi guru besar di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Setahun kemudian ia resmi menjadi warga negara Amerika Serikat.10 Kejadian penting yang berdampak pada sikap pandang Feyerabend ketika ia bergabung dengan Universitas California dan merasakan benturan budaya Barat (baca: Amerika Serikat). Ia mendukung revolusi mahasiswa menuntut persamaan dan 9 10
Feyerabend., Killing …, h. 143 Ibid, h. 86 dan 100
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
37
STAIN Palangka Raya
perbaikan., serta sikap protes terhadap sistem pendidikan di Amerika Serikat yang kaku (Kekakuan itu dirasakan Feyerabend yang diharuskan memberi kuliah kepada 300-1200 mahasiswa secara bersamaan dalam satu ruangan), itu dibuktikan Feyerabend dengan memberikan nilai ‘A’ kepada seluruh mahasiswa-yang berasal dari beragam etnis: Kulit Putih, Kulit Hitam, dan Indian.11 Feyerabend sepanjang hidupnya pernah menjadi guru besar dengan posisi terhormat di empat universitas terkenal yang berbeda dalam waktu bersamaan. Feyerabend pernah memberi kuliah di Austria, Jerman, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dalam berbagai bidang studi seperti: sejarah ilmu pengetahuan, teologi, dan filsafat. Ia pernah bertemu dan berdialog dengan para filsuf seperti: Wittgenstein, Karl Popper, Imre Lakatos, Thomas Kuhn, Heidegger, dan Richard Rorty. Di luar filsafat, ia bersimpati kepada tokoh masyarakat dan kelompok tertindas, seperti: Malcom X: pemimpin muslim kulit hitam yang memperjuangkan persamaan di Amerika Serikat; rakyat Vietnam yang menderita akibat perang; dan kaum homo sex. Beberapa hari menjelang kematiannya, ia masih bersikeras meneruskan otobiografinya. Pada tanggal 11 Februari 1994 ia meninggal-seperti diakui Grazia dalam catatan tambahan otobiografi Feyerabend-setelah mengalami koma beberapa hari.12 dengan meninggalkan beberapa karya penting. Against method, karya fenomenal Feyerabend yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970 mengupas teori dan observasi tidak dapat berdiri sendiri tanpa rangkaian pembentuknya berupa mitos, hikayat, pengalaman, dan sebagainya; Science in a Free Society diterbitkan pada tahun 1978, sebagai argumentasi tambahan terhadap Against method yang diterbitkan lebih dahulu; Pada tahun 1981, terbit Realisme Rationalism and Scientific Method dan Problems of Empiricism. Kedua karya ini sebenarnya kumpulan paper yang disatukan dalam Philosophical papers volume 1 dan 2; Farewell to Reason diterbitkan pada tahun 1987, menjelaskan relativisme merupakan solusi terhadap problem keyakinan yang menjadi konflik dan solusi terhadap konflik kehidupan. Pada tahun 1991, terbit Three Dialogues on Knowledge, membicarakan epistemologi dan pandangan Feyerabend mengenai subjek, termasuk pemberontakannya terhadap pandangan Karl Popper; Conquest of Abudance mengenai abstraksi, stabilitas, dan objektivitas dalam matematika dan fisika; Killing Time diselesaikan Feyerabend beberapa hari sebelum meninggal, diterbitkan pada tahun 1995. Meskipun otobiografi, ini dapat mengungkapkan pandangan, kejujuran, kecerian, dan alasan Feyerabend menulis buku yang menjadi perhatian orang. 2. Pengertian Determinisme Secara etimologi, determinisme adalah gabungan kata determine dan ism, determine diambil dari bahasa Latin, determinare, yang berarti “menentukan batas”, atau “membatasi”.13 Angeles dalam Dictionary of Philosophy memberikan tiga arti, yakni: 1) pandangan yang menyatakan semua kejadian mempunyai sebab; 2) suatu kondisi (syarat) tertentu akan diikuti kejadian tertentu pula, misalnya, jika X maka hasilnya Y; 3) pandangan yang menyatakan segala sesuatu di jagad raya ini diatur oleh hukum alam14. Secara terminologi determinisme diartikan dengan anggapan semua peristiwa di alam semesta ini disebabkan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya sebelum peristiwa yang sesungguhnya datang. 11
Ibid, h. 122-127 Ibid, h. 181 13 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 159 14 Angeles, Peter Adam, Dictionary of Philosophy, (New York: Barnes and Noble Books, 1981), h. 60-61 12
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
38
Ramsperger dalam Collier’s Encyclopedia menyebutkan:
STAIN Palangka Raya
Doktrin filosofis dan ilmu pengetahuan yang menjelaskan bahwa tidak satupun terjadi di alam ini tanpa hukum-hukum alam. Doktrin ini terkadang dinyatakan menjadi prinsip kejelasan sendiri dan dalam bahasa Latin diungkapkan, ex nihilo nihil fit [dari ketidak-adaan tidak menjadi apa-apa].15 Secara garis besar determinisme adalah doktrin yang menyatakan semua peristiwa ditentukan oleh hukum alam yang menguasai perilaku fisik. Setiap tindakan disebabkan oleh keabadian dan faktor-faktor yang mengkondisikan terjadinya suatu peristiwa sehingga tidak ada kebebasan kehendak dan manusia tidak perlu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Sehubungan dengan itu, ilmu pengetahuan juga berkembang dan tersusun atas dasar prinsip-prinsip hukum alam; prinsip bahwa setiap peristiwa mempunyai penyebab. Lebih jauh lagi, pandangan semua peristiwa terjadi dalam pola-pola yang tersusun rapi dan dapat dirumuskan sebagai sebab-musabab. Berdasarkan hukum itu pula, maka setiap peristiwa dapat diprediksi secara akurat. 3. Kesalahan-Kesalahan Utama dalam Memandang Ilmu Pengetahuan Berangkat dari pandangan para filsuf Yunani yang mencoba membebaskan masyarakatnya dari pengaruh mitologi, ilmu pengetahuan terus berkembang hingga sekarang melalui sejarah panjang dan berbagai macam rintangan yang kemudian membentuk kriteria tersendiri untuk membedakannya dengan pengetahuan keseharian. Kebenaran hasil penelitian ilmu pengetahuan ini berangkat dari konsep-konsep sebuah struktur pemikiran. Menurut Frederick Sontag pembentukan konsep berhubungan dengan empat komponen: 1) kenyataan (reality); 2) teori (theory); 3) kata-kata (words); 4) pemikiran (thought)16. Kenyataan hanya akan menjadi misteri jika tidak dikomunikasikan. Teori merupakan tingkat pemahaman mengenai sesuatu yang sudah teruji dan dipakai sebagai pangkal bagi pemahaman yang lain. Kata-kata merupakan gambaran gagasan yang diverbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal manusia yang diekspresikan ke dalam bahasa. Semua komponen itu membentuk pengertian pada diri manusia sebagai basis utama ilmu pengetahuan. Ini berarti dalam kebenaran ilmiah terdapat tiga sifat dasar. Pertama, berdasarkan struktur yang rasional-logis. Kebenaran ilmiah dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi atau premis-premis tertentu. Proposisi ini dapat berupa teori atau hukum ilmiah yang sudah terbukti benar dan diterima sebagai benar atau sepanjang ia dapat mengungkapkan fakta tertentu. Proposisi ini diambil sebagai kesimpulan baik melalui induksi maupun deduksi. Kedua, empiris, kebenaran ilmiah tidak muncul begitu saja tanpa prosedur yang baku yang harus dilaluinya. Ia perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Ini bukan berarti tidak ada spekulasi dalam ilmu pengetahuan: pada tingkat tertentu spekulasi tersebut dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang real. Ketiga, kebenaran ilmiah secara pragmatis mencoba menggabungkan kedua hal di atas; jika sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris, maka suatu pernyataan itu juga harus bermanfaat dalam kehidupan manusia.17 15
Ramsperger, Albert G., 1971, “Determinism”, dalam Collier’s Ensyclopedia, (Crowell Collier Educational Corporation, 1971) , h. 158 16 Sontag, Frederick, The Element of Philosophy, (New York: Charles Scribner’s, 1984), h. 141 17
Keraf, A. Sonny, dan Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 75-76
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
39
STAIN Palangka Raya
Ilmu pengetahuan seperti digambarkan di depan itu ditentang keras oleh Feyerabend dengan penolakannya terhadap kesatuan metode. Terlebih lagi ilmu pengetahuan modern telah melakukan pengkebirian epistemoligis karena tidak mengakui sudut pandang bidang-bidang lain terhadap alam. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak berbeda dengan ideologi yang pada akhirnya terpuruk menjadi semacam agama dogmatis sebagaimana terjadi pada Marxisme; bagi mereka yang tidak setuju dengan aliran ini akan diganyang habis-habisan. 4. Kesalahan-Kesalahan Utama dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Penemuan ilmu pengetahuan sering tidak terjadi melalui metode yang ketat, tetapi dapat juga melalui ilham, kebetulan, dan imajinasi. Ketika Newton beristirahat di kebun melihat apel yang ‘kebetulan’ jatuh menimpa kepalanya mengilhami dan melahirkan hukum gravitasi Newton. Kenyataan menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dalam sejarah perkembangannya diperkaya metode-metode yang tidak ilmiah berdasarkan hasil kreativitas ilmuwan yang melanggar aturan metodologinya karena mengadopsi gagasan-gagasan kreatif yang berasal dari pengaruh di luar ilmu pengetahuan, agama, mitologi, kekonyolan, dan igauan orang gila, seperti misalnya, konsep heliosentrisme yang dianggap orang kebanyakan berasal dari Copernicus, padahal gagasan tersebut dirintis Philolaos, pengikut Pythagoras. Seperti diketahui, aliran Pytagorean berpendapat pusat alam semesta adalah api yang disamakan dengan matahari. Akan tetapi, disebabkan oleh ketidakcermatan Philolaos saja sehingga konsep heliosentrisme tersingkirkan dan tergantikan oleh kejeniusan Ptolemaeus dengan konsep geosentrisme.18 Feyerabend berpendapat ilmu pengetahuan berbicara tentang hakikat benda, perekayasaan, dan metafisika. Feyerabend mengakui pada awalnya ilmu pengetahuan “berhutang budi” pada antagonisme masa lalu yang terdapat pada pemikir Yunani, tetapi dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan meninggalkan hal-hal metafisis dan doktrindoktrin teologis.19 Plato membagi dua dunia: dunia ide dan dunia nyata. Pada masa modern Descartes berpandangan bahwa manusia itu mempunyai jiwa dan raga yang saling mempengaruhi. Ini berarti Descartes secara tegas memisahkan antara subjek dan objek, roh dan materi, fakta dan nilai. Berbeda dengan pemikir Yunani dan pascapencerahan yang memisahkan antara dua dunia yang akhirnya memunculkan ilmu pengetahuan. Feyerabend membedakan, tetapi tidak memisahkan antara manusia dan dunia. Ibarat laut dan pantai: laut memang bukan pantai, tetapi laut tidak dapat terpisahkan dari pantai. Kehadiran ilmu pengetahuan bukan keramat yang harus dipuji setinggi langit, ilmu pengetahuan tidak lebih dari sekedar fakta biasa sebagai hasil kerja penalaran manusia sejak dahulu hingga sekarang yang dirumuskan secara umum, kemudian diaplikasikan dalam aktivitas keseharian dengan suatu teori yang harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 20 Ini berarti aktivitas ilmu pengetahuan pada dasarnya bukan tertancap begitu saja sebagaimana anggapan pengikut rasionalisme dan empirisme, melainkan aktivitas kehidupan itu sendiri. Contoh menarik adalah perkembangan pandangan Copernicus yang diteruskan Galileo. Pandangan Galileo saat itu merupakan hal baru yang dibangun berdasarkan evidensi yang menghubungkan teori-teori dengan cara-cara baru sehingga menimbulkan 18
Feyerabend, Paul K., Against Method, (London: Verso, 1979), h. 304-305 Feyerabend, Paul K., Realism Rationalism and Scientific Method Philosophical Papers Volume 1, (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), h. 4 20 Feyerabend., Against ……, h. 16 19
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
40
STAIN Palangka Raya
semacam ideologi yang cukup memadai untuk mempersiapkan argumentasi yang berdiri sendiri kapan saja diperlukan. Orang sekarang boleh saja berpendapat Galileo dalam jalur yang benar berkat usaha dan ketabahannya di tengah-tengah otoritas Aristotelian yang mendukung astronomi Ptolemaeus yang diterima di Eropa sejak abad ke-12 dan otoritas institusi agama yang menyandarkan keyakinan berdasarkan teks-teks Kitab Suci yang meyebutkan bumi sebagai pusat alam semesta. 5. Kesalahan-Kesalahan dalam Metodologi Pengetahuan yang dilabeli ilmu pengetahuan menunjukkan koherensi tertentu yang membentuk suatu keseluruhan. Pengikut positivisme berpandangan bahwa interpretasi teori-teori ilmiah adalah suatu fungsi baik dari pengalaman maupun dari bahasa observasi. Ada empat pokok: a) istilah teoritis secara eksplisit dapat diuraikan berdasarkan istilah-istilah observasi; b) istilah teoritis secara luas dapat direduksi menjadi istilah observasi; c) istilah teoritis secara sengaja dapat direduksi menjadi istilah observasi; d) istilah teoritis secara implisit diuraikan dengan pertolongan sistem interpretasi yang mengandung pernyataan probabilitas.21 Begitu juga perantara berupa alat bantu seperti mikroskop, teleskop, dan fotografi mengakibatkan objek kajian yang sesungguhnya seolah-olah hanya dapat diinterpretasikan oleh mereka yang melakukan observasi. Sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam segelas air kelihatan bengkok atau patah-patah. Tidak jelas apakah air yang membengkokkan pensil itu ataukah mata telanjang yang tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya karena pada kenyataannya pensil tersebut tetap lurus.22 Mengetahui para dewa anda membutuhkan manusia, sebaiknya memang demikian. Galaksi-galaksi tidak menghilang ketika teleskop menghilang. Para dewa tidak menghilang ketika manusia kehilangan kemampuan berhubungan dengan mereka.23 Ilmu pengetahuan mengambil langkah maju ketika gagasan Aristotelian yang tahan uji dalam pengalaman sehari-hari selama berabad-abad tergantikan oleh empirisme secara tidak kentara yang diikuti teori-teori yang datang kemudian, bukan melalui observasi, tetapi penyusunan kembali melalui penyesuaian dengan asumsi-asumsi teoritis. Teori dan observasi mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana halnya ilham, kebetulan, dan imajinasi. 6. Ilmu Pengetahuan sebagai Berhala Masyarakat sekarang memandang ilmu pengetahuan tidak berbeda dengan masyarakat Abad Pertengahan dalam memandang agama: Pada Abad Pertengahan orang memandang agama sebagai jalan kebenaran, sekarang orang tunduk pada ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya jalan dalam memecahkan persoalan hidup. Tanpa sadar ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang disakralkan. Mengapa demikian? Karena terdapat kepercayaan bahwa memegang teguh tradisi akan mendatangkan selamat atau sebaliknya, melanggar tradisi akan mendapat kutukan. Penalaran yang dibangun sebagai kritik atas mitos-mitos itu berganti menjadi mitosmitos baru, ilusi-ilusi baru, tuhan-tuhan baru dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkannya. Manusia modern diperbudak oleh hasil kreativitasnya sendiri. Tragisnya, itu berlangsung dalam pengawasan negara. Ketika seorang Amerika sekarang ini dapat memilih agama yang dia sukai, dia tetap tidak diperbolehkan untuk meminta anak-anaknya belajar sihir ketimbang ilmu
21
Feyerabend., Realism ……, h. 73 Feyerabend, Paul K., Three Dialogues on Knowledge, (Oxford: Blackwell Publisher, 1996), h. 6 23 Feyerabend., Realism ……, h. 108 22
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
41
STAIN Palangka Raya
pengetahuan di sekolah. Ada pemisahan antara negara dan gereja; tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu pengetahuan.24 Kehadiran negara yang diwakili pemerintah setempat dan diam-diam disetujui oleh masyarakat, terutama para pendidik dan orang tua siswa, mengindikasikan memang terdapat intervensi kepentingan tertentu di luar ilmu pengetahuan. Feyerabend menggolongkan hal semacam ini sebagai kejahatan yang terorganisasi (the organized crime).25 Ilmu pengetahuan tidak sesulit dan sesempurna yang diperkirakan orang. Bidangbidang ilmu pengetahuan sekarang seperti fisika dan matematika modern kelihatan sulit hanya karena orang kebanyakan mempercayai kesulitan tersebut. Stereotip, Fisika, matemateka, dan Bahasa Inggris adalah sulit menyebakan siswa takut mengikuti bidang studi tersebut. Kesulitan diperparah oleh guru atau dosen yang mengajar secara kurang bijaksana, kurang variasi, terlalu cepat menyampaikan materi, “killer” dan sebagainya karena mempunyai instruksi standar yang sarat materi sehingga menjadi momok bagi siswa. 7. Ilmu Pengetahuan sebagai Konsekuensi Kebebasan Manusia Manusia adalah makhluk yang paling bebas karena mereka dapat melakukan apa saja sepanjang itu masih terikat dengan hukum-hukum universal. Seseorang tidak pernah minta untuk dilahirkan, tetapi ia dapat menentukan bagaimana menjalani kehidupan ini. Permasalahan muncul ketika alam begitu menentukan manusia sehingga kreativitas manusia menjadi terabaikan. Ini tampak pada perkembangan ilmu pengetahuan humaniora yang menggunakan model ilmu pengetahuan alam. Manusia diasumsikan dengan benda alam seperti batu, pohon, dan binatang. Tindak tanduk manusia dipetakan melalui hukum alam yang deterministik. Feyerabend menyetujui pandangan John Stuart Mill yang berkeinginan meningkatkan kebebasan individu menuju kehidupan yang penuh dan produktif.26 Bentuk kebebasan ini tercermin dari masyarakat yang tidak mau terjebak pada pola pemikiran, sudut pandang, atau tradisi tertentu saja.27 Terlepas dari persepsi Barat berkenaan dengan tradisi di luar mereka, pada hakikatnya “ilmu-ilmu” yang lain mempunyai tujuan sama, yakni, demi kebaikan (baca: kesehatan) umat manusia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat modern pada kenyataannya tidak selalu berhasil dalam menangani problem yang timbul. Jika memang ilmu pengetahuan Barat-Modern itu diakui keberadaannya sebagai satu-satunya yang membentuk rasionalitas, maka bukan berarti orang harus menerima superioritas ilmu pengetahuan atas bidang yang lain. Menurut Feyerabend,28 setiap tradisi mempunyai kriteria tersendiri. Tradisi tidak membicarakan persoalan baik atau buruk, tetapi persoalan objektif dari masing-masing tradisi. Hal-hal tertentu dikatakan baik atau buruk karena dinilai oleh pihak luar, seperti yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan Barat modern yang menganggap rendah bidang lain yang berasal dari Timur: pengobatan modern dianggap lebih baik daripada pengobatan tradisional seperti tusuk jarum yang lazim dilakukan masyarakat Cina. Tradisi yang berlaku dalam masyarakat ilmiah sama halnya dengan yang terjadi pada masyarakat keseluruhan. Problem muncul sehubungan dengan penjelasan ilmu pengetahuan yang belum memadai. Para ilmuwan sering keliru dan menghilangkan 24
Feyerabend., Against ……, h. 229 Feyerabend., Science ……, h. 211-212 26 Feyerabend., Against ……, h. 20 27 Feyerabend., Science ….., h. 9 28 Ibid., h. 27-28 25
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
42
STAIN Palangka Raya
fenomena penting sehingga menjadi tidak layak. Mereka hanya melakukan kegiatan rutin dan prosedural monoton di dalam laboratorium. Feyerabend memberikan contoh dalam fisika sekarang yang memisahkan metafisika. 29 Metafisika jika ditelusuri dari sejarahnya termasuk dalam bidang fisika sebagaimana pernah dilakukan oleh Andronikos dari Rhodos ketika ia mengklasifikasikan karya-karya Aristoteles.30 Kekeliruan sedemikian terjadi karena metode-metode tidak dapat saling dibandingkan secara setara dengan standar sama (incommensurability) sebagai ketergantungan observasi pada teori. Bertitik tolak dari konsep ini, mirip dengan Karl Popper, Feyerabend menolak metode induksi sebab mengeneralisasikan keberagaman prosedur yang mungkin. Akan tetapi, berbeda dengan Karl Popper, Feyerabend meradikalkan pendapat Karl Popper dengan mengatakan tidak ada fakta yang netral. Fakta tidak berbicara dengan sendirinya, tetapi diinterpretasikan dalam kerangka konseptual tertentu. Menurut Feyerabend, hasil generalisasi tidak menjamin benar, bahkan dalam tingkat tinggi probabilitas sekalipun dapat dibantah. Begitu pula prinsip falsifikasi yang diajukan Karl Popper masih belum menyelesaikan masalah. Feyerabend menanyakan adakah batasan dalam mencari bukti bahwa memang terdapat angsa berwarna hitam, bagaimana dengan generasi mendatang jika suatu saat menemukan angsa tersebut. Feyerabend memberikan sanggahan yang aneh untuk menggugurkan falsifikasi Karl Popper. Feyerabend tidak mencontohkan semua angsa itu putih, tetapi dengan pernyataan ‘semua gagak hitam’. Apabila ada yang memberikan kepadanya seekor gagak berwarna hitam maka belum jelas apakah peryataan itu salah atau benar: jika ada yang memberikan seekor gagak yang berwarna putih maka pernyataan itu salah. Persoalannya, menurut Feyerabend, bagaimana jika ada orang yang mewarnai satu saja gagak yang hitam itu dengan warna putih.31 Dengan demikian, tampak dalam prinsip Feyerabend, apa pun mempunyai kedudukan sama, meski terdapat perbedaan dalam berbagai hal, apakah itu cara pandang, metode, atau filsafat. Inilah yang kemudian menjadi trade merk Feyerabend. Prinsip dimaksud adalah anything goes atau ‘apa saja boleh’. Akan tetapi, Feyerabend tidak menjadikan anything goes sebagai pengganti metode-metode yang sudah ada karena pada prinsipnya apa saja boleh: Anything goes bukan satu-satunya dan hanya prinsip metodologi baru yang direkomendasikan oleh saya. Ia salah satu cara memperlakukan standar-standar universal dan keinginan memahami sejarah dalam terma mereka yang dapat menggambarkan catatan kebiasaan dan penelitian saya.32 Segala sesuatu masih relatif. Ini bukan berarti pendapat orang atau aliran tertentu itu salah dan yang lain benar. Inteketual takut karena relativisme mengancam peranan mereka dalam masyarakat sebagaimana mereka pernah mengamcam keberadaan teolog pada masa Renaissance. Kebebasan merupakan produk tujuan, motif, dan pilihan. Manusia, bukan sebongkah batu atau sebentuk mekanisme rangsangan-tanggapan pasif, tetapi diri yang melahirkan berbagai kemungkinan baru dalam mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya. 8. Anarkisme sebagai Kritik Ilmu Pengetahuan 29 30
Feyerabend., Against ……, h. 19 Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Aristoteles, Terj., Frans Kowa, (Jakarta : Erlangga, 2001), h. 143
31
Feyerabend, Paul K., Problems of Empiricism Philosophical Papers Volume 2, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), h. 200 32 Feyerabend., Science ……, h. 40
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
43
STAIN Palangka Raya
Kekakuan ilmuwan yang hanya menggunakan metode tunggal dalam penelitian menurut Feyerabend termasuk penyakit. Gagasan ilmuwan harus melakukan penelitian berdasarkan hukum yang mapan sangat tidak realistik dan membahayakan: tidak realistik karena menyederhanakan talenta manusia; membahayakan karena pemberlakuan hukum tersebut cenderung meningkatkan kualifikasi profesional manusia dengan mengorbankan kemanusian.33 Feyerabend menawarkan jalan keluar dengan anarkisme teoritis: Sejarah ilmu pengetahuan, bagaimana pun, tidak hanya terdiri dari fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta tersebut, tetapi juga mengandung gagasan-gagasan, interpretasi-interpretasi terhadap fakta, problem-problem yang timbul sebagai akibat interpretasi yang bertentangan satu sama lain, kekeliruankekeliruan.34 Ilmu pengetahuan hanyalah satu di antara sekian kebenaran yang mempunyai kerangka konsep dan prosedur sendiri-sendiri. Permasalahan muncul sebagai akibat rasa ingin tahu dan teoritis yang berangkat dari sangkaan belaka. Gagasan Plato misalnya, memunculkan pertanyaan bagaimana orang membuktikan kebenaran pendapat Plato tentang alam ide itu jika belum jelas pendapat Plato tersebut berdasarkan keyakinan atau penalaran. Orang juga tidak tahu apakah gagasan Plato itu hanya pemikirannya tentang alam atau alam memang seperti itu adanya. Feyerabend mengajukan dialog dalam mengatasi perbedaan sehingga terjadi saling pengertian. Feyerabend mengimpikan dialog berlangsung antar sesama manusia yang berbeda latar belakang secara terbuka, sehingga mereka memberi, menerima, atau paling tidak, mau mendengarkan pendapat orang lain.35 Ilmuwan perlu menengok keluar dari komunitasnya sebagaimana nenek moyang manusia ketika dahulu mendongkakkan leher dan kemudian mampu berdiri tegak bersamaan tingkat evolusi yang mereka alami. Mereka yang mau menengok keluar dan melebarkan pandangan akan melihat cakrawala lebih luas untuk menemukan konsepsi baru yang lebih variatif dan kreatif, jika perlu mengambil saja sistem yang datang dari luar ilmu pengetahuan seperti agama, mitologi, bahkan yang dari orang gila sekalipun. 36 Banyak yang harus dibenahi sebelum seseorang menyandang gelar ilmuwan sejati: moral, profesionalisme, dan niat baik saja belum cukup jika belum bertindak konkrit.
33
Chalmers, A.F., Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?, Terj., Redaksi, (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), h. 143 Feyerabend., Against ……, h. 19 35 Feyerabend., Three ……h. 164-165 36 Feyerabend., Against ……h. 68 34
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
44
STAIN Palangka Raya
E. Kesimpulan Berdasarkan paparan di depan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Determinisme ilmu pengetahuan mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan ditentukan oleh kebiasaan tempat ilmu pengetahuan itu lahir, tumbuh, dan berkembang. Kendati berbeda zaman, tetapi terdapat pola yang sama, yakni, antagonisme antara dua pihak yang berbeda pandangan melihat alam semesta, sehingga ilmu pengetahuan yang berlaku disusun berdasarkan interpretasi dan intervensi kepentingan sepihak dan tanpa tanggungjawab. 2. Feyerabend tidak menolak metode yang berlaku dalam ilmu pengetahuan, ia hanya tidak setuju jika metode itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran sedemikan rupa sehingga ilmu pengetahuan memandang rendah bidang lain. Feyerabend memasuki lingkaran kompleks, kendati berlawanan, tetapi saling membutuhkan: Feyerabend mengkritik habishabisan metode, sistem, atau sudut pandang tertentu sebagai pembelaan terhadap kebebasan individu dan masyarakat di satu sisi, dan mempersilahkan metode, aliran, atau sudut pandang apa saja berkembangbiak di lain sisi. 3. Feyerabend berusaha membebaskan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang didasari atas tradisi-tradisi dari himpitan yang menimpa keduanya dan memurnikan ilmu pengetahuan ke arah yang lebih manusiawi. Kritik Feyerabend atas determinisme ilmu pengetahuan mengindikasikan, bahwa ilmu pengetahuan beserta filsafat yang mendasarinya tidak pernah berasa puas dan tidak membiarkan segala sesuatu diartikan ‘final’ begitu saja.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007
45
DAFTAR PUSTAKA
STAIN Palangka Raya
Angeles, Peter Adam, 1981, Dictionary of Philosophy, Barnes and Noble Books, New York. Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Chalmers, A.F., 1983, Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?, Terj., Redaksi Hasta Mitra, Jakarta. Feyerabend, Paul K., 1978, Science in a Free Society. NLB, London. __________, 1979, Against Method. Verso, London. __________, 1981, Problems of Empiricism Philosophical Papers Volume 2, Cambridge University Press, Cambridge. __________, 1984, “Consolations for the Specialist”, dalam Criticism and the Growth of Knowledge, Ed., Imre Lakatos, Cambridge University Press, Cambridge. Hlm. 197230. __________, 1987, Realism Rationalism and Scientific Method Philosophical Papers Volume 1, Cambridge University Press, Cambridge. __________, 1995, Killing Time, University of Chicago Press, Chicago. __________, 1996, Three Dialogues on Knowledge, Blackwell Publisher, Oxford. Gie, The Liang, 2000, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberti, Yogyakarta. Pranarka, 1987, Epistemologi Dasar, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Ramsperger, Albert G., 1971, “Determinism”, dalam Collier’s Ensyclopedia, Crowell Collier Educational Corporation, tp. Sontag, Frederick, 1984, The Element of Philosophy, Charles Scribner’s, New York. Strathern, Paul, 2001, 90 Menit Bersama Aristoteles, Terj., Frans Kowa, Erlangga, Jakarta. Sudarminta, J., 2002, “Sains dan Masalah Ketuhanan”, dalam Diskursus,Vol. 1, No. 1. Hlm. 35-46. Sugiharto, Bambang, 2001, Posmodernisme. Kanisius, Yogyakarta. Verhaak, C., dan Imam, R. Haryono, 1989, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Gramedia, Jakarta. Wibisono, Koento 1997, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Intan Pariwara, Klaten. Hlm. 1-10.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2007