arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Kristanti Dewi Paramita Tulisan ini bermula dari diskusi iseng yang saya lakukan bersama teman saya, Farid. Dalam obrolan tersebut, kami membahas mengenai beberapa arsitek dunia dan karya-karya mereka. Ketika berbicara satu sama lain, kami cukup sering membuat efek suara dan menambahkan gerak-gerik tertentu. Hal yang menarik dalam pembicaraan kami terjadi ketika saya berusaha menerangkan tentang karya seorang arsitek yang tidak dikenal oleh Farid begitu juga sebaliknya. Bentuk percakapan tersebut kurang lebih dapat disederhanakan sebagai berikut: Saya : Farid, elo tau nggak ya karya Si Arsitek (sebut saja Arsitek A) yang namanya XYZ? Farid : Wah, yang mana ya? Saya : Yang itu lho, yang bentuknya ‘Psssssiiiiuuuuunggggzzzzzzz’ (membuat efek suara meluncur sambil meliuk-liukkan tangan ke depan) Farid : Oh ya ya, gue tahu. Tapi kayaknya lebih ‘Psseezzzuuiiiingggg…tchung’ deh (membuat efek suara meluncur sambil menekuk tangan ke depan seakan ada bagian yang tertekuk dan terjatuh) Pada percakapan di atas, saya dan Farid saling memahami maksud satu sama lain dengan adanya efek suara yang ditambah dengan sedikit gerak-gerik. Hal yang menjadi menarik adalah kami memilih menggambarkan desain seorang arsitek melalui media suara yang ditambah dengan sedikit gerak isyarat daripada melalui media gambar seperti yang biasa digunakan para arsitek pada umumnya. Tulisan ini berusaha mengupas tentang bagaimana manusia memiliki persepsi yang sama terhadap suara yang dihasilkannya dan bagaimana hal tersebut dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu gambaran visual. Menangkap ‘Image’ Bunyi Dalam Karya Arsitektur Istilah image dan bunyi awalnya terasa kurang sesuai untuk dipadankan dalam satu kalimat, karena pada umumnya image seringkali diartikan sebagai suatu kesan visual yang didapat melalui indera penglihatan. Namun pada percakapan yang saya lakukan bersama Farid di atas, terlihat jelas bahwa kami menangkap ‘image’ yang sama mengenai suatu karya arsitektur melalui bunyi yang dihasilkan efek-efek suara yang kami berikan. Bentuk eksplorasi yang serupa dalam menggambarkan keterkaitan antara bunyi dan kesan visual dapat ditemukan pada eksperimen Wolfgang Kohler. Pada tahun 1929, psikolog Jerman tersebut bereksperimen dengan dua buah gambar di bawah ini:
Gambar 1. Ilustrasi eksperimen maluma-takete
2
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Ia menunjukkan gambar tersebut kepada sekian banyak orang, kemudian mengajukan pertanyaan yang sama kepada seluruh responden. Pertanyaannya adalah yang manakah yang disebut ‘maluma’ dan yang mana yang disebut ‘takete’. Sangat menarik bahwa responden yang berpartisipasi memiliki kecenderungan yang kuat untuk memadankan kata ‘maluma’ dengan gambar yang berbentuk melengkung dan ‘takete’ dengan gambar yang berbentuk tajam. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara bunyi dengan kesan visual yang didapat dari gambar. Eksperimen ini diulangi oleh Ramachandran dan Hubbard dengan menggunakan gambar yang sama tetapi menggunakan nama ‘bouba’ dan ‘kiki’ sebagai pengganti ‘maluma’ dan ‘takete’. Kecenderungan kuat penghubungan kata dan gambar tersebut tetap terjadi dengan hampir seluruh responden memadankan kata ‘bouba’ dengan gambar yang berbentuk melengkung dan ‘kiki’ dengan gambar yang berbentuk tajam. Ramachandran dan Hubbard, dalam artikelnya Synaesthesia—A Window into Perception, Thought and Language menyatakan pula bahwa hubungan tersebut sepertinya memiliki kaitan dengan adanya kesamaan antara sifat penggambaran bentuk dan pelafalan bunyi, seperti yang dinyatakan berikut ini: “The reason is that the sharp changes in visual direction of the lines palate…. it suggests that there may be natural constraints on the ways in which sounds are mapped on to objects.” (Ramachandran dan Hubbard, 2001 Kutipan di atas menggambarkan pelafalan ‘kiki’ yang memiliki ragam intonasi suara dan gerak lidah yang tajam, sehingga memiliki korelasi dengan ‘image’ dari bentuk gambar yang tajam. Gerak lidah tersebut dapat menjadi elemen gestur yang memperjelas penghubungan antara bunyi dengan makna. Ramachandran dan Hubbard berpendapat bahwa dengan cara demikianlah suara dapat terpetakan menjadi obyek, yang merupakan pemicu awal terbentuknya bahasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gerak dan bunyi dapat saling melengkapi dalam menyampaikan makna tertentu. ‘Image’ dari bunyi-bunyian yang dihasilkan manusia merupakan salah satu contoh yang dihasilkan oleh sound symbolism, yakni hubungan logis antara bunyi dan makna (Hunter-Smith, 2007). Hunter-Smith menerangkan pula beberapa jenis sound symbolism yang berbeda-beda . Yang pertama adalah corporeal sound symbolism dan emosi manusia. Contohnya adalah bunyi cegukan atau batuk, atau suara mendengus ketika orang sedang marah atau sedih. Pada umumnya corporeal sound symbolism memiliki elemen yang universal dan sama untuk kebanyakan orang, terlepas dari bahasa yang mereka gunakan. Gerak yang dihasilkan saat cegukan dan batuk pun memiliki kesesuaian irama dengan bunyi yang dihasilkan, Sound symbolism yang kedua adalah imitative sound symbolism, yakni bunyi yang kucing dengan bunyi ‘meong’. Imitative sound symbolism memiliki kemungkinan untuk bervariasi dari bahasa ke bahasa, walaupun memiliki akar elemen bunyi yang mirip satu sama lain. Contohnya adalah dalam bahasa Indonesia bunyi kucing adalah ‘meong’, tapi dalam bahasa Inggris berganti menjadi ‘meow’, bunyi ayam adalah ‘kuk-u-ru-yuk’ dengan ‘cock-a-doodle-doo’, dan lain sebagainya. Sound symbolism yang ketiga adalah conventional sound symbolism, yakni asosiasi antara penulisan maupun lafal bunyi dengan arti tertentu. Contohnya adalah deretan kata bahasa Inggris glassy, glow, glimmer, glint, gleam, glance, 3
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
glare, glower yang seluruhnya memiliki potongan huruf gl- dan berhubungan dengan cahaya ataupun penglihatan yang bergantung pada irama gerak tertentu, apakah itu gerak tiba-tiba atau perlahan. Ataupun clash, bash, smash, crash, splash, lash, gnash, mash yang seluruhnya memiliki potongan huruf –ash serta berhubungan dengan gerakan benturan keras dengan sesuatu. Setiap bahasa mempunyai kecenderungan conventional sound symbolism, namun pada umumnya dengan potongan kata yang berbeda-beda. Sound symbolism yang terakhir merupakan jenis yang menggambarkan keterhubungan antara aspek visual dengan bunyi, yakni synesthetic sound symbolism. Synesthetic sound symbolism pada umumnya menggabungkan dua jenis informasi yang didapat dari sensori yang berbeda, seperti yang dinyatakan berikut ini: “Synesthetic sound symbolism is the imitation with speech sounds of nonacoustic phenomena. Generally this means that certain vowels, consonants, or suprasegmentals consistently represent certain properties such as size, shape, brightness, texture, speed, etc. The representation is not arbitrary, but is based on some similarity between the sound and the sensory signal it symbolizes..” (Hunter-Smith, 2007 ) Kutipan di atas menjelaskan bahwa terdapat bentuk imitasi sifat objek yang diproduksi menjadi bunyi. Sifat-sifat tersebut diantaranya adalah ukuran, bentuk, tekstur, dan lain sebagainya, yang masing-masing memiliki sinyal sensori yang dapat di’gambar’kan kembali dalam bentuk bunyi. Hal tersebut dapat menjelaskan proses penerjemahan gambaran karya arsitektur menjadi bunyi seperti yang saya dan Farid lakukan. Untuk mengeksplorasi lebih lanjut proses tersebut, kami mengadakan beberapa eksperimen untuk menemukan jenis-jenis sinyal sensori tersebut, bagaimana kami sebagai penggiat arsitektur menerjemahkan sinyal tersebut dan apakah terdapat elemen universalitas di dalamnya. Berdasarkan penjabaran sound symbolism di atas, kehadiran gerak tetap kami rasakan perlu sehingga disertakan dalam eksperimen tersebut sebagai elemen tak terpisahkan yang melengkapi sensasi yang diberikan oleh bunyi. Eksperimen ‘Image’ Bunyi dan Gerak Isyarat Untuk eksperimen ini, saya dan Farid memutuskan untuk merekam beberapa demonstrasi ‘image’ bunyi yang dilengkapi isyarat yang menggambarkan beberapa arsitek yang berbeda-beda. Kami memilih arsitek yang namanya sudah cukup terkemuka dan mendunia dengan pertimbangan agar lebih mudah untuk mengenali karakter karyanya dan menerjemahkannya kembali. Dalam pembuatan video tersebut, kami tidak mengacu pada karya tertentu, namun lebih mengacu kepada karakter umum arsitek tersebut dalam berkarya atau sebaliknya langsung kepada karyanya yang paling dikenal. Silakan menonton video-video di bawah ini untuk melihat apakah anda dapat menebak karya siapakah ini sebelum diberi jawabannya. Harap dipahami bahwa ini adalah interpretasi kami secara personal dan tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak manapun. http://www.youtube.com/watch%3Fv%3D_6q7NY79G_A Setelah merekam dan memperhatikan video tersebut, kami melihat bahwa terdapat ‘image’ antara bunyi yang kami hasilkan yang merupakan interpretasi sifat dari karya arsitek yang bersangkutan. Pengamatan ‘image’ bunyi yang dihasilkan oleh eksperimen tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
4
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
1) Pada video Coop Himmelblau, bunyi yang dihasilkan kurang lebih adalah ‘sksiksuksiksiks phkwuuuw……’ yang dilakukan dengan menaikan intonasi di awal dan makin menurun hingga akhir, terutama pada frase ‘phkwuuuw….’. Frase ‘skisksuksiksuk’ menunjukkan adanya benda yang bersudut dan tidak melengkung yang saling beradu atau bersisian satu sama lain. Farid melengkapi bunyi tersebut dengan memberikan gerakan zig-zag menanjak ke atas perlahan, dan kemudian menjatuhkannya ke depan bawah dengan sebuah gerakan tukikan tajam.
Gambar 2. Gerakan menanjak ke atas dan menukik jatuh 2) Pada video Tadao Ando, tidak banyak bunyi yang dihasilkan yang dapat terekam, karena efek suara yang ingin dihasilkan adalah efek hening. Hanya terdapat sedikit sekali bisikan halus dan desiran yang tidak terekam oleh mic, seakan ingin menyatakan ketiadaan. Farid memeragakan bunyi tersebut dengan mengayunkan tangan mendatar dan berekspresi seolah hendak meneriakkan sesuatu tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Gambar 3. Gerakan mendatar dan berdesir halus tanpa perkataan 3) Pada video Frank Gehry, bunyi yang dihasilkan adalah ‘……. ppppprrrrrwwttttttttttt……..’, yang dilakukan dengan memulai intonasi dari sedang ke rendah. Penggunaan konsonan p, w, dan t sekaligus dalam satu frase mencerminkan adanya bentuk yang beragam dan tergabung antara lengkungan dan sudut, serta seperti ada hal yang tercampur baur satu dengan yang lainnya. Farid melengkapi bunyi tersebut dengan gerakan mengangkat kedua tangan ke atas dan kemudian menurunkannya sambil membuka jari-jari tangan lebar-lebar. Kemudian ia membentuk bunyi yang dihasilkan di atas seperti menjatuhkan sesuatu yang bercampur satu dengan yang lainnya.
Gambar 4. Gerakan menabur dari atas dan menyebar ke bawah dengan telapak merentang 4) Pada video Zaha Hadid, bunyi yang dihasilkan kurang lebih adalah ‘ciiiiueeuuuuuuuuuuuuuuw …eee’eh..eee’eh.. eee’eh’ yang mengindikasikan adanya bunyi seperti saat sesuatu yang melengkung meluncur mulus, licin, kemudian sedikit oleng ataupun tergelincir. Gerak gerik yang dilakukan Farid pada video tersebut membantu penggambaran dengan mendemonstrasikan gerak meluncur dengan gerak teratur yang kemudian diikuti dengan gerakan seperti tidak stabil dan berbelok sehingga harus menjaga keseimbangan.
5
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Gambar 5. Gerakan meluncur dan berbelok oleng Agar saya dapat membandingkannya dengan penggambaran visual karya arsitektur yang sebenarnya, saya akan menerjemahkan bunyi-bunyi dan gerakgerik di atas menjadi sekumpulan garis. Kumpulan garis-garis tersebut tidak karakter form dan sensasi keruangan.
Gambar 6. Garis-garis gambaran visual bunyi Selanjutnya saya memilih beberapa gambar karya arsitek terkenal tersebut, baik perspektif luar maupun dalam ataupun produk hasil karyanya dan mengubahnya pula menjadi sekumpulan garis. 1) Coop Himmelblau
Gambar 7. Karya Coop Himmelblau dan kumpulan garisnya 2) Tadao Ando
Gambar 8. Karya-karya Tadao Ando dan kumpulan garisnya
6
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
3) Frank Gehry
Gambar 9. Karya-karya Frank Gehry dan kumpulan garisnya 4) Zaha Hadid
Gambar 10. Karya-karya Zaha Hadid dan kumpulan garisnya Setelah dilakukan penerjemahan form menjadi garis-garis, maka seluruh garis tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan garis yang didapat dari penggambaran bunyi. Perbandingan tersebut dapat terlihat sebagai berikut:
Gambar 11. Perbandingan garis bunyi dan garis form Setelah diamati, walaupun terdiri dari bentuk-bentuk yang agak berbeda, antara garis bunyi dengan kumpulan garis form memiliki kesamaan karakter dan aturan pergerakan. Seluruh garis Coop Himmelblau memiliki pergerakan menaik ke atas dan turun ke bawah, yang biasanya terdiri dari sudut-sudut tidak melengkung. Sedangkan seluruh garis Tadao Ando terdiri dari garis-garis lurus yang sedikit bervariasi dan berbelok dengan hanya sedikit perbedaan sensasi, ketajaman atau malah mendatar. Garis-garis Frank Gehry pada umumnya memiliki sedikit ayunan garis lengkung yang kemudian berlanjut menjadi kumpulan kurva dan sudut yang bercampur baur. Sedangkan garis-garis Zaha Hadid seluruhnya berupa garis lurus sederhana yang berayun melengkung pada satu titik sebelum meluncur kembali ke arah lain. 7
arsitektur.net
2010 vol. 4 no. 3
Kesamaan gambaran visual tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara bunyi dan form secara visual. Karakter dan aturan pergerakan ternyata dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk yang dapat diterima oleh sensori yang berbeda-beda. Kami kemudian mencoba menguji lebih lanjut efektivitas bunyi dalam menyampaikan karakter dan aturan pergerakan tersebut dengan mendemonstrasikan efek suara tersebut ke empat orang mahasiswa arsitektur, lalu meminta mereka menebak karya siapakah yang diwakili oleh setiap efek suara. Eksperimen ini dilakukan untuk memastikan apakah interpretasi bunyi kami yang sifatnya personal itu dapat dikenali pula oleh orang lain. Pada umumnya, rata-rata dapat menebak dengan tepat tiga dari empat karya yang didemonstrasikan. Fakta tersebut tentu menunjukkan bahwa terdapat elemen karakter dalam bunyi yang dapat dikenali secara universal. Berdasarkan artikel Ramachandran dan Hubbard, manusia dapat mengenali beberapa karakter yang umumnya didapat dari sensori visual melalui bunyi, walaupun hal ini tentu bergantung pada persepsi masing-masing individu dan pengetahuan yang dimiliki. Pada kasus ‘desain berbunyi’ di atas, kami dan keempat mahasiswa arsitektur yang menjadi partisipan telah memiliki pengetahuan bawaan tentang karakter desain sehingga memiliki persepsi yang kurang lebih sama. Gerakan yang dilakukan ternyata juga memiliki fungsi memandu kami untuk menggunakan konteks yang sama. Contohnya, dalam video Coop Himmelblau, frase ‘skisksuksiksuk’ dapat pula diartikan sebagai bunyi remasan sesuatu yang makin lama makin keras, namun karena Farid menggerakan tangannya ke atas maka kami dapat memahaminya sebagai sesuatu yang saling bersilangan menuju ke atas. Kehadiran bunyi kemudian menjadi pemberi sensasi utama yang kemudian diwadahi oleh gerakan yang menyertainya. Karakter dalam sebuah desain form dapat terdiri dari ukuran, tekstur, bentuk pergerakan, material, pengulangan, lapisan dan lain sebagainya. Pengetahuan akan variasi dari hal-hal tersebut kemudian membantu dalam menerjemahkan karakter desain form menjadi bunyi dan juga sebaliknya sehingga dapat menjadi penjelajahan baru dalam metode desain maupun perluasan pada penggunaan alat berkomunikasi dalam arsitektur. Referensi Hunter-Smith, S. (2007). Evidence for Universal Sound Symbolism in Natural Languages, (Online), (http:// www.swarthmore.edu, diakses 16 Januari 2011) Ramachandran, V.S., Hubbard, E.M. (2001). Synaesthesia– a window into perception,thought, and language. Journal of Consciousness Studies Vol. 8, p.334, (Online), (http://psy2.ucsd.edu, diakses 16 Januari 2011) www.wikipedia.com
8