BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan
Kepmenkes
Nomor
128/MENKES/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja dengan salah satu fungsi puskesmas adalah pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat
pertama
secara
menyeluruh,
terpadu,
dan
berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung-jawab puskesmas meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai
pusat
pelayanan
kesehatan
strata
pertama
yang
bertanggung-jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama, puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Selain dua upaya kesehatan tersebut, masih terdapat upaya kesehatan yang merupakan upaya pelayanan penunjang dari setiap upaya kesehatan 1
wajib dan upaya kesehatan pengembangan. penunjang
tersebut
terdiri
dari
upaya
Upaya pelayanan
laboratorium
medis,
laboratorium kesehatan masyarakat dan upaya pencatatan dan pelaporan. Menurut Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Menurut Hatta (2011) fungsi utama rekam medis/rekam kesehatan (kertas) atau rekam kesehatan elektronik (RKE) adalah untuk menyimpan data dan informasi pelayanan pasien. Rekam
medis,
selain
merupakan
upaya
pencatatan,
juga
merupakan upaya pelaporan. Hal ini disebutkan dalam kegunaan rekam medis secara umum yang salah satunya menyebutkan bahwa rekam medis menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan serta sebagai bahan pertanggung-jawaban dan laporan (Depkes RI, 1997). Unit rekam medis mempunyai sistem penerimaan pasien, sistem pengolahan berkas, rekam medis, dan sistem statistik. Sistem pengolahan berkas rekam medis sendiri terdiri dari subsistem assembling, coding (pengodean), indexing, filing (penyimpanan), dan retensi. Coding atau kegiatan pengodean adalah pemberian penetapan 2
kode dengan menggunakan huruf dan angka atau kombinasi antara huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dalam pengodean meliputi kegiatan pengodean diagnosis penyakit dan pengodean tindakan medis. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggung-jawab atas ketepatan kode (Budi, 2011). Berdasarkan hasil observasi di Puskesmas Dlingo I pada tanggal 28 Oktober 2014, kegiatan pengodean diagnosis penyakit dilaksanakan oleh dokter, bidan dan perawat. Menurut Budi (2011), dijelaskan bahwa untuk menjalankan pekerjaan di rekam medis diperlukan sumber daya manusia yang memenuhi kompetensi perekam medis. Permenkes Nomor 55 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Rekam Medis Pasal 13, menyebutkan bahwa perekam medis mempunyai kewenangan sesuai dengan kualifikasi pendidikannya, dalam hal ini sebagai ahli madya rekam medis dan informasi kesehatan, perekam medis berwenang melaksanakan sistem klasifikasi klinis dan kodefikasi penyakit yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis sesuai terminologi medis yang benar. Selain itu, saat observasi ditemukan bahwa ICD-10 yang dimiliki oleh Puskesmas Dlingo I hanya ICD-10 volume 1, sehingga saat tim PKM UGM datang dan memberikan pengarahan penggunaan ICD-10 menggunakan volume 1 dan volume 3 petugas pengodean merasa kesulitan saat menggunakan ICD-10 volume 3. Ditemukan pula, bahwa 3
banyak diagnosis penyakit yang dikode dengan tiga karakter, sehingga angka ketidaktepatan kode cukup tinggi. Padahal di Puskesmas Dlingo I terdapat pasien BPJS, sehingga apabila terjadi kesalahan atau ketidaktepatan pengodean maka akan berpengaruh dan berakibat fatal pada klaim biaya. Di Puskesmas Dlingo I, kode diagnosis penyakit tidak semua terdapat dalam databse SIMPUS. Dikarenakan kegiatan pengodean tidak dilakukan oleh perekam medis melainkan oleh dokter, bidan dan perawat serta kesulitan petugas dalam menggunakan ICD-10 volume 3, maka kegiatan job training pengodean dibutuhkan untuk memastikan bahwa petugas tersebut telah memahami penggunaan ICD-10 volume 1 dan volume 3 serta klasifikasi dan kodefikasi penyakit di Puskesmas. Diperlukan studi untuk mengetahui kebutuhan materi kegiatan job training dan tanggapan petugas setelah kegiatan job training dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian
ini
adalah
“Bagaimana
upaya
pemahaman petugas Puskesmas Dlingo I terhadap
peningkatan kodefikasi
penyakit?”
4
C. Batasan Masalah Peneliti
membatasi
penelitian
ini
pada
lingkup
kegiatan
peningkatan pemahaman petugas dan kegiatan pre-test dan post-test saja. Peneliti tidak melakukan pendampingan kepada petugas dalam pengimplementasiannya di dunia kerja setelah job training diberikan.
D. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui peningkatan pemahaman kodefikasi penyakit bagi petugas Puskesmas Dlingo I Kabupaten Bantul melalui job training. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain : 1. Mengetahui pelaksanaan pengodean di Puskesmas Dlingo I. 2. Mengetahui kebutuhan materi untuk kegiatan job training bagi petugas Puskesmas Dlingo I. 3. Mengetahui pelaksanaan kegiatan job training pengodean di Puskesmas Dlingo I sesuai kebutuhan petugas. 4. Mengetahui nilai pre-test dan post-test petugas. 5. Mengetahui
tanggapan petugas
terkait kegiatan
job training
pengodean yang telah diberikan.
5
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis a. Bagi Puskesmas 1) Dapat dijadikan bahan bagi masukan puskesmas dalam pelaksanaan pengodean diagnosis penyakit pasien. 2) Dapat dijadikan bahan masukan bagi puskesmas untuk meningkatkan ketepatan kode. b. Bagi peneliti 1) Dapat menambah pengetahuan peneliti terkait pelaksanaan pengodean di puskesmas. 2) Mendapatkan pengalaman dan ketrampilan dalam bidang pengodean, terutama di puskesmas. 3) Mendapatkan wawasan dan pengalaman secara langsung dalam pengaplikasian teori yang didapatkan di institusi pendidikan di lapangan.
2. Manfaat teoritis a. Bagi institusi pendidikan Sebagai tambahan ilmu pengetahuan atau referensi dalam mempelajari
pengodean,
khususnya
pengaruh
antara
pengetahuan petugas pengodean akan terminologi medis dan ICD-10 dengan ketepatan kode diagnosis. 6
b. Bagi peneliti lain Sebagai referensi dan acuan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis atau untuk kelanjutan penelitian yang relevan.
F. Keaslian Penelitian Penelitian tentang peningkatan pemahaman klasifikasi dan kodefikasi menggunakan ICD-10 terhadap ketepatan kode diagnosis di Puskemas Dlingo I melalui kegiatan job training belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, namun terdapat beberapa penelitian yang serupa, antara lain : 1. Ninawati (2009) yang berjudul “Pengetahuan Petugas Coding Rawat Inap dalam Pelaksanaan Pengodean Diagnosis Pasien Obstetri di RSUP Moewardi Surakarta” yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan
pengetahuan pengodean
petugas diagnosis
coding pasien
rawat
inap
obstetri
di
dalam RSUP
Moewardi Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan rancangan cross sectional. Hasil dari penelitian ini diketahui persentase pengetahuan petugas coding rawat inap tentang penggunaan ICD-10 sebesar 69,23% untuk petugas A dan 61,53% untuk petugas B. Kedua petugas mempunyai pengetahuan tentang ICD-10 dan penggunaannya, akan tetapi kedua 7
responden tidak mempunyai pengetahuan tentang konvensi makna tanda
baca
yang
terdapat
pada
buku
ICD-10.
Persentase
pengetahuan tentang terminology medis obstetric adalah 25,00% untuk petugas A dan 37,50% untuk petugas B. persentase pengetahuan kedua petugas tentang pengodean diagnosis obstetric dan ketepatannya adalah sama, yakni 64,70%. Petugas tidak pernah menambahkan kode Z37 (outcome delivery) pada rekam medis ibu melahirkan karena tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Ninawati (2009) adalah sama-sama meneliti tentang pengetahuan petugas coding. Sedangkan perbedaannya terletak pada tujuan penelitian. Jika pada penelitian Ninawati (2009) bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan petugas
coding rawat inap dalam pelaksanaan
pengodean diagnosis pasien obstetri di RSUP Moewardi Surakarta, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman kodefikasi penyakit bagi petugas Puskesmas Dlingo I Kabupaten Bantul. Selain itu, terdapat perbedaan pula pada rancangan penelitiannya. Jika pada penelitian Ninawati (2009) menggunakan rancangan penelitian cross sectional, sedangkan rancangan penelitian ini adalah fenomenologis. 2. Pratiwi (2013) yang berjudul “Persepsi Petugas Rekam Medis Terhadap Pelatihan Kerja Terkait Peningkatan Kinerja Petugas 8
Rekam Medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta” yang bertujuan untuk mengetahui persepsi petugas rekam medis terhadap pelatihan kerja terkait peningkatan kinerja petugas rekam medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data secara cross sectional. Hasil dari penelitian ini adalah latar belakang pelaksanaan pelatihan kerja untuk petugas rekam medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta adalah peningkatan kemampuan kerja dan pengembangan SDM. Namun, realisasi perencanaan pelatihan belum dapat terlaksana sepenuhnya. Pelatihan yang didapatkan oleh petugas rekam medis berbeda-beda,baik dari segi materi pelatihan, lamanya pelatihan, bentuk pelatihan maupun penyelenggara pelatihan. Terdapat petugas yang belum pernah mendapatkan pelatihan yang spesifik ke unit kerjanya. Secara
umum,
petugas
mempersepsikan
bahwa
setelah
mendapatkan pelatihan kinerjanya meningkat. Peningkatan kinerja tereebut merupakan kinerja individu (perseorangan) dan berupa peningkatan kecakapan atau kemampuan petugas dalam melakukan pekerjaan (performance). Akan tetapi, masih terdapat petugas yang merasa
bahwa
pelatihan
belum
cukup
membantu
dalam
memberikan solusi atas hambatan pekerjaan, karena pelatihan hanya bersifat umum dan tidak semua yang didapatkan dari pelatihan 9
dapat diterapkan di unit kerja rekam medis. Pelatihan yang dibutuhkan oleh petugas rekam medis adalah pelatihan yang menunjang kebutuhan atau kinerja petugas dan disesuaikan dengan unit kerjanya, serta diselenggarakan secara internal. Ada pula petugas yang merasa bahwa di unit kerjanya tidak memerlukan pelatihan, karena petugas merasa sudah cukup memahami rekam medis dengan bekerja mengacu pada prosedur tetap (protap). Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Pratiwi (2013) adalah sama-sama menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
menggunakan
pendekatan
kualitatif.
Sedangkan
perbedaannya terletak pada tujuannya. Jika pada penelitian Pratiwi (2013) bertujuan untuk mengetahui persepsi petugas rekam medis terhadap pelatihan kerja terkait peningkatan kinerja petugas rekam medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman kodefikasi penyakit bagi petugas Puskesmas Dlingo I Kabupaten Bantul. Selain itu, terdapat perbedaan pula pada rancangan penelitiannya. Jika pada penelitian Pratiwi (2013) menggunakan rancangan penelitian cross sectional, sedangkan rancangan penelitian ini adalah fenomenologis. 3. Larasati (2014) yang berjudul “Pemahaman Petugas Pengodean Terhadap Pelaksanaan Pengodean Diagnosis Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Pleret” yang bertujuan untuk mengetahui pemahaman 10
petugas pengodean terhadap pelaksanaan pengodean diagnosis penyakit rawat jalan. Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan dengan rancangan penelitian
fenomenologis.
Hasil
dari
penelitian
ini
adalah
pelaksanaan pengodean diagnosis penyakit pasien rawat jalan dilaksanakan oleh perawat,perawat gigi, dokter, dokter gigi dan bidan. Belum ada prosedur tetap yang mengatur tentang pengodean. Rata-rata pengetahuan petugas pengodean tentang ICD-10 sebesar 33,33% , persentase pemahaman petugas pengodean terkait dengan penggunaan ICD-10 sebesar 16,67% dan pengetahuan petugas pengodean terkait dengan makna tanda baca adalah 43,74%. Pemahaman petugas pengodean terhadap terminologi medis rataratanya
adalah
96,92%.
Sedangkan
pemahaman
petugas
pengodean tentang pengodean diagnosis penyakit respoden pada BPU adalah 33,33%, pada BPG adalah 100% dan pada KIA adalah 33,33%. Persentase kode yang tepat adalah 37,5% dan kode yang tidak tepat adalah 62,5%. Dari kode yang tidak tepat kemudian diklasifikasikan berdasarkan 4 kriteria. Ketidaktepatan yang sesuai dengan kriteria A 20%. Ketidaktepatan yang sesuai dengan kriteria B yaitu 64%. Yang sesuai dengan kriteria C yaitu 1,33%. Sedangkan ketidaktepatan yang memenuhi kriteria D sebesar 14,67%.
11
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Larasati (2014) adalah sama-sama menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan dengan rancangan penelitian fenomenologis. Sedangkan perbedaannya terletak pada tujuan penelitian. Jika pada penelitian Larasati (2014) bertujuan untuk mengetahui pemahaman petugas pengodean terhadap pelaksanaan pengodean diagnosis penyakit rawat jalan, pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman kodefikasi penyakit bagi petugas Puskesmas Dlingo I Kabupaten Bantul.
12