FAKTOR- FAKTOR KEBERHASILAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
OLEH FATMAWATI H14070081
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
FATMAWATI. Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Kabupaten/Kota di Indonesia (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO)
Wilayah
Era reformasi telah membuat banyak perubahan khususnya dalam tata pemerintahan. Pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, kini menjadi desentralistik. Desentralisasi membuat pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya masing-masing sesuai Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004). Adanya desentralisasi membuat wilayah yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan daerahnya dapat membentuk daerah baru, yang disebut pemekaran wilayah. Sebelum disahkannya kedua undang-undang tersebut, pemekaran wilayah telah terlaksana. Namun kedua undang-undang tersebut membuat syarat pemekaran menjadi lebih jelas dan pemekaran semakin mudah untuk dilaksanakan. Hal ini mengakibatkan pemekaran wilayah, khususnya untuk pemekaran kabupaten dan kota menjadi semakin marak terjadi. Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga kondisi masyarakat dapat lebih baik. Namun kini tujuan dari pemekaran ditengarai telah berubah. Tidak jarang pemekaran dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan politik, sumber pembiayaan yang lebih, serta hal-hal lainnya yang dapat menggagalkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Hal inilah yang membuat banyaknya pemekaran menjadi belum berhasil. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kinerja (khususnya berdasarkan ukuran ekonomi) bagi daerah yang telah minimal lima tahun menjadi daerah otonom baru dan menelaah faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan tersebut. Penilaian kinerja menggunakan teknik indeksasi, sementara dalam menentukan faktor-faktor keberhasilan pemekaran menggunakan metode regresi berganda dengan metode OLS untuk mengestimasi parameter. Variabel yang digunakan sebagai variabel dependen adalah selisih Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) antara daerah otonom baru (DOB) dengan daerah induknya. Sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan jenis pemekaran kabupaten ataukah kota. Berdasarkan penilaian keberhasilan, didapatkan hasil bahwa hanya 41 persen DOB yang berhasil mencapai tujuan ekonomi pemekaran. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan pencapaian tujuan ekonomi pemekaran adalah PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran.
FAKTOR- FAKTOR KEBERHASILAN PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
OLEH FATMAWATI H14070081
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Faktor-Faktor Keberhasilan Kabupaten/Kota di Indonesia
Nama
: Fatmawati
NRP
: H14070081
Pemekaran
Menyetujui, Dosen Pembimbing
D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
Wilayah
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Fatmawati H14070081
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fatmawati, lahir pada tanggal 10 September 1989 di Rangkasbitung, Provinsi Banten. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan M. Ferdinand dan Anah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis mengawali pendidikan di TK Kuncup Harapan dan menyelesaikannya pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SDN Bantarjati V Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa kuliah di IPB, penulis aktif pada kegiatan seni dan budaya, seperti tergabung dalam kegiatan ekstrakulikuler Gentra Kaheman, dan Community of Art Sport and Culture (COAST) FEM dibidang Seni Tari. Selama tergabung dalam Gentra Kaheman dan COAST Tari FEM, penulis sering mengisi acara dengan membawakan tarian tradisional Indonesia, diantaranya Saman, Yapong, dan Jaipong. Selain aktif di kegiatan seni, penulis sempat mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Pengabdian Masyarakat, dan lulus hingga tahap monitoring dan evaluasi. Penulis juga merupakan anggota dari Onigiri Japan Club, yaitu perkumpulan mahasiswa yang menyukai budaya Jepang. Pada tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia”. Pemekaran wilayah merupakan sesuatu yang sudah lama terlaksana, namun dalam perjalanannya pemekaran tersebut banyak yang tidak berhasil, ditandai dengan tidak tercapainya tujuan pemekaran. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tokpik ini dan melihat faktor apa saja yang dapat memengaruhi keberhasilan pemekaran khususnya di kabupaten dan kota. Sehingga diharapkan kedepannya kabupaten dan kota yang belum berhasil dapat memeperbaiki kinerja perekonomiannya dan menjadi daerah yang berhasil dalam pemekarannya. Selain itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik, terutama kepada: 1.
Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Dr. Yeti Lis Purnamadewi yang telah menguji hasil karya ini. Semua kritik dan saran yang beliau berikan merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3.
Dr. Wiwiek Rindayati atas masukan dan perbaikan mengenai tata cara penulisan dari skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang ada pada penelitian ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
ii
4.
Seluruh dosen, staf, dan civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEMIPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
5.
Keluarga tersayang, papih M. Ferdinand, mama Anah, dan segenap keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan dukungan baik moril maupun material, serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan pendidikan sarjana ini dengan baik.
6.
Teman-teman satu bimbingan skripsi, Hesti Ayu Hapsari, Putri Nilam Kencana, dan Ni Luh Putu Aria atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang telah dilalui bersama.
7.
Teman-teman dari Departemen Ilmu Ekonomi, Sari Rina Fitriyah, Ika Mustika Sari, Pramita Kurnia W, Risya Utami, Ida Nur’Aini, Destia Harum, Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Nurul Andelisa dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doanya.
8.
Sahabat-sahabatku M. Fahri Arfanto, Annita Arraafi R, Ryanda Agung W, Ayu Azriani Azahari, Irena Titin Kartika, dan teman-teman Onigiri Japan Club atas sharing, motivasi, dukungan, dan doanya kepada penulis.
10. Teman-teman peserta Seminar Hasil Penelitian Skripsi yang telah hadir dan memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini. 11. BPS Pusat, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan. Bogor,
Juli 2011
Fatmawati H14070081
iii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii I.
II.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah........................................................................
6
1.3. Tujuan.............................................................................................
7
1.4. Manfaat Penulisan ..........................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10 2.1. Tinjauan Teoritis ............................................................................ 10 2.1.1. Teori Pemekaran Wilayah .................................................... 10 2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi .............................................. 15 2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ..................... 19 2.1.2.2. Kemiskinan .............................................................. 21 2.1.3. Desentralisasi Fiskal ............................................................. 23 2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ............................... 24 2.1.3.2. Dana Perimbangan ................................................... 25 2.2. Tinjauan Empiris ............................................................................ 28 2.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 31 2.4. Hipotesis ......................................................................................... 33
III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 35 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... 35 3.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 35 3.3. Metode Analisis Data ..................................................................... 36 3.3.1. Analisis Deskriptif ................................................................ 36 3.3.2. Metode Indeksasi .................................................................. 36
iv
3.3.3. Analisis Regresi Berganda .................................................... 39 3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis ............................................ 40 3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ..... 40 3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model......................................... 41 IV. Kondisi Ekonomi Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ........................... 47 4.1. Indeks Kinerja Ekonomi ................................................................. 47 4.2. PDRB per Kapita ............................................................................ 49 4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ...................................................... 51 4.4. Dana Perimbangan ......................................................................... 52 4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ............................................ 53 4.6. Angka Kemiskinan ......................................................................... 55 4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota ................................................ 57 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 59 5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah .......................................................................................... 59 5.2. Pengujian Model dan Hipotesis ..................................................... 68 5.2.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ................. 68 5.2.2. Pengujian Hipotesis............................................................. 68 5.2.3. Pengujian Asumsi Model .................................................... 69 5.2.3.1. Uji Normalitas ....................................................... 69 5.2.3.2. Uji Multikolinearitas.............................................. 69 5.2.3.3. Uji Heteroskedastisitas .......................................... 69 5.2.3.4. Uji Autokorelasi .................................................... 70
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 71 6.1. Kesimpulan..................................................................................... 71 6.2. Saran ............................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74 LAMPIRAN ................................................................................................... 79
v
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
3.1. Pengambilan Keputusan padaUji Durbin Watson................................ 45 4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) ........................................ 48 4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah................ 50 4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB ...................... 51 4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru .................................. 53 4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah ........................................................................................ 53 4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah..................................... 55 4.7. Angka Kemiskinan Beberapa DOB Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah............................................................................................... 57 4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata Variabel yang Dianalisis ...................................................................... 58 5.1. Hasil
Estimasi
Model
Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi
Keberhasilan Pemekaran ...................................................................... 59 5.2. Nilai IPM DOB dan Komponen Pembentuknya .................................. 67
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Propinsi di Indonesia .... 4 1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru ............ 5 2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota ............................. 15 2.2. Kurva Lorenz........................................................................................ 18 2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal ....................................... 22 2.4. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 32 4.1 Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru .................... 50 4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru ................................. 54 4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran ............. 56 5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota .................................... 63
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan Kabupaten/Kota .......................... 80 2. PDRB per Kapita ................................................................................ 85 3. Perkembangan PAD DOB .................................................................. 89 4. Perkembangan IPM DOB................................................................... 93 5. Komponen Pembentuk IPM ............................................................... 97 6. Angka Kemiskinan DOB ................................................................... 104 7. Tabel Statistika Deskriptif .................................................................. 108 8. Matriks Korelasi Pearson ................................................................... 109 9. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah ............................................................................ 110 10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 110 11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 111 12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia ............................................................. 111
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pemecahan wilayah, dari sebuah wilayah provinsi, kabupaten, ataupun kota menjadi lebih dari satu wilayah. Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah merupakan pembagian kewenangan administratif suatu wilayah menjadi dua atau beberapa wilayah. Pemekaran wilayah mencakup pembagian luas wilayah beserta potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan jumlah penduduk. Pemekaran wilayah menunjukkan adanya suatu proses reformasi birokrasi yang diwujudkan dengan adanya perubahan pola pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi dalam bentuk pemerintahan yang awalnya bersifat sentralistik, menjadi diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing untuk mengatur urusan pemerintahan daerah yang disebut desentralisasi. Desentralisasi mulai dilaksanakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004). Tujuan utama desentralisasi adalah mendukung terwujudnya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi kriteria pemekaran yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dilakukannya pemekaran wilayah
bertujuan
untuk
meningkatkan
penyediaan
pelayanan
publik,
2
mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat dengan pengembangan perekonomian daerah yang berbasiskan potensi lokal, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Hal ini membuat pemekaran wilayah sering dianggap sebagai salah satu jalan keluar untuk mencapai pemerataan pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal tujuan awal pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 (direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 78/2007) yaitu untuk membentuk dearah otonom baru yang mandiri. Alasan dilakukannya pemekaran daerah seperti yang dituliskan oleh Tarigan (2010), pertama adanya historical ethnic yaitu selain adanya faktor sejarah dari etnis tertentu, juga adanya keinginan untuk membuat satu kelompok etnis berada dalam satu wilayah yang sama sehingga kegiatan ekonomi dan politik dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Hal ini pun telah dibuktikan oleh Fitriani et, al. (2005) dengan menggunakan model ekonometrika. Kedua yaitu adanya fiscal spoil yang berupa jaminan dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Jaminan ini membuat daerah berkeyakinan bahwa pengeluaran daerahnya akan dibiayai melalui alokasi untuk pegawai negeri sipil daerah sehingga akumulasi aktivitas ekonomi diharapkan berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum. Sayangnya hal ini justru dijadikan suatu alat untuk mendapatkan anggaran pendapatan yang besar, berupa DAU. Ketiga, bureaucracy and political rent seeking yaitu munculnya wilayah kekuasan politik baru sehingga aspirasi politik masyarakat jauh lebih dekat, adanya kesempatan mendapatkan kekuasaan eksekutif maupun legislatif di
3
daerah, dan menjadi peluang untuk mendapat dukungan politik yang lebih besar. Keempat, administrative dispersion yaitu, mengatasi masalah rentang kendali pemerintahan. Rentang kendali pemerintahan yang telalu luas dapat menyebabkan pelayanan publik yang sulit dijangkau, pembangunan yang tidak merata, dan kemiskinan yang tinggi pada wilayah yang letaknya jauh dari ibu kota pemerintahan. Sehingga posisi ibukota pemerintahan menjadi faktor penentu mana wilayah yang akan memekarkan diri. Jika daerah mekar menjadi kabupaten baru, maka daerah tersebut awalnya merupakan daerah yang letaknya jauh dari ibu kota di kabupaten lama, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan fasilitas dan sarana umum. Namun, jika daerah mekar menjadi kota, maka yang memisahkan diri bukanlah daerah yang sulit dijangkau, melainkan pusat kota dari kabupaten induk. Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Otonomi Daerah, Kemeterian Dalam Negeri (2009), sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu tahun 1998, jumlah kabupaten dan kota di Indonesia hanya 298 kabupaten/kota. Namun semenjak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999, jumlah kabupaten/kota di Indonesia terus meningkat. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa hingga bulan Juni tahun 2009 telah terjadi penambahan jumlah kabupaten/kota dari 298 menjadi 497, yaitu sebesar 67 persen. Peningkatan jumlah kabupaten/kota terbesar terjadi pada tahun 2003, yaitu sebanyak 49 kabupaten/kota.
4
Jumlah Kabupaten/Kota
jumlah kabupaten/kota 600 500 400 300 200 100 0
298
341
341
353
391
440
440
440
440
465
495
497
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun Pemekaran
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)
Gambar 1.1. Perkembangan Jumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah terutama daerah yang baru mekar dalam melaksanakan desentralisasi membuat kesiapan setiap daerah berbeda-beda. Perbedaan ini diatasi oleh pemerintah dengan memberikan Dana Perimbangan kepada setiap daerah agar dalam pelaksanaan desentralisasi setiap daerah memiliki kondisi yang sama. Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah diwujudkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang pemberiannya disesuaikan dengan kondisi keuangan setiap daerah. Pemekaran wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian setiap daerah pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Kemandirian setiap daerah otonom baru yang ditunjukkan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat (Gambar 1.2) ternyata tidak diimbangi dengan penurunan jumlah Dana Perimbangan yang diterima oleh setiap daerah. Dana Perimbangan yang diterima pada kenyataannya juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah pusat memang merencanakan adanya peningkatan Dana
5
Perimbangan setiap tahunnya. Peningkatan Dana Perimbangan dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan investasi di daerah, sebab Dana Perimbangan digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas di daerah seperti fasilitas pelayanan publik dan infrastruktur. Meningkatnya jumlah Dana Perimbangan yang diterima setiap tahunnya dan persentasenya yang besar terhadap penerimaan daerah membuat ketergantungan daerah terhadap pendanaan yang berasal dari pusat meningkat. Juta Rupiah 80000 55571.11
60000 40000
45510.81
59655.24
45416.25 Dana Perimbangan
20153.76
20000 0
61710.53
1034.21
1892.39
3245.89
3101.42
3611.73
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
4414.76 PAD 2010
Sumber : DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Gambar 1.2. Alokasi PAD dan Dana Perimbagan di Daerah Otonom Baru Ketergantungan fiskal yang terjadi jika terus dibiarkan dapat mengganggu perekonomian nasional, sebab sebagian besar pembiayaan daerah bergantung kepada pendanaan yang berasal dari pusat, baik itu berbentuk DBH, DAU, dan DAK. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009a) disebutkan perlu adanya desain besar (grand design) penataan daerah yang diantaranya berisi syarat jumlah maksimal kabupaten dan kota dalam suatu provinsi serta jumlah provinsi di Indonesia. Desain besar penataan daerah ini nantinya akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan apakah dalam suatu provinsi masih diperbolehkan ada daerah yang dimekarkan atau tidak.
6
1.2. Rumusan Masalah Desentralisasi telah berjalan lebih dari sepuluh tahun semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (direvisi menjadi UndangUndang Nomor 32/2004) tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33/2004) tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Mulai saat itu setiap daerah terkesan berlomba-lomba untuk memekarkan diri, dengan tujuan ingin meningkatkan perekonomian daerahnya. Tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah ternyata hingga
saat
ini
belum
tercapai.
Banyak
faktor
yang
dapat
memicu
ketidakberhasilan ini, diantaranya seperti yang disebutkan dalam Jurnal Otonomi Daerah (2009b) yaitu banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, baik pelanggaran sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain seperti pengusaha. Beberapa pelanggaran tersebut diantaranya adanya mark-up ataupun mark-down harga aset pemda, pemberian izin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan yang sesuai guna kepentingan pribadi, penyusunan APBD yang diatur Kepala Daerah, pemberian dana kepada pejabat dengan dibebankan ke anggaran, dan hal lain yang tidak diperkenankan. Hal ini tentu memengaruhi keberhasilan dari pemekaran dan mungkin ini yang menjadi alasan mengapa banyak pemekaran dinyatakan belum berhasil. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penelitian ini ingin mengevaluasi keberhasilan pemekaran, kemudian melihat faktor-faktor apa saja yang
7
memengaruhi keberhasilan dari pemekaran wilayah yang telah berjalan hingga saat ini. Sehingga dapat disimpulkan beberapa perumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun? 2. Apa saja faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis kondisi ekonomi kabupaten/kota selama lima tahun pertama setelah pemekaran. 2. Menganalisis keberhasilan pemekaran kabupaten/kota yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun. 3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran kabupaten/kota.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Menjadi masukan bagi pemerintah pusat dalam menilai kinerja perekonomian kabupaten dan kota yang telah memekarkan diri. 2. Menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. 3. Sebagai bahan pustaka dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta rujukan untuk penelitian selanjutnya.
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dengan menilai kinerja ekonomi dari setiap kabupaten/kota hasil pemekaran yang biasa disebut Daerah Otonom Baru (DOB) beserta daerah induknya. Penilaian tersebut dilakukan dengan menghitung Indeks Kinerja Ekonomi (IKE). Perhitungan penilaian menggunakan metode IKE ini mengikuti studi evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan oleh BAPPENAS bekerjasama dengan UNDP (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS dan UNDP adalah hasil dari evaluasi hanya merumuskan urutan DOB, namun dalam penelitian ini dihasilkan mana saja daerah yang berhasil dalam pemekarannya. Komponen pembentuk IKE adalah pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Nilai IKE ini menjadi dasar penilaian keberhasilan dari pemekaran wilayah, yaitu jika DOB memiliki nilai IKE yang lebih besar dari daerah induknya maka daerah tersebut telah berhasil dalam melaksanakan otonomi. Namun jika nilai IKE daerah induk lebih besar dibandingkan DOB maka pemekaran wilayah dinyatakan belum berhasil. Alat yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor keberhasilan adalah regresi berganda dengan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS). Penentuan faktor-faktor keberhasilan ditentukan berdasarkan tujuan dari pemekaran itu sendiri. Pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah, kemandirian ini dapat dilihat melalui besarnya PAD dan Dana Perimbangan (yang diwakili dengan DAU karena memiliki persentase yang
9
tebesar) dalam total pendapatan daerah. Kemandirian daerah pun dibahas dalam penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu dengan melihat PAD sebagai indikator kemandirian di Kabupaten Kediri. Pemekaran juga dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari masalah pembangunan ekonomi yang tidak merata. Indikator pembangunan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita, Indeks Pembagunan Manusia (IPM), dan angka kemiskinan. PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat, sementara IPM dan angka kemiskinan merupakan indikator tingkat kemerataan pembangunan yang dirumuskan oleh BPS. Daerah yang dianalisis dalam penelitian ini dikhususkan pada DOB berstatus kota dan kabupaten. Pemekaran provinsi tidak masuk dalam daerah yang akan dianalisis karena jumlah pemekaran provinsi hanya sedikit, dan tingkatan provinsi lebih tinggi dari kabupaten dan kota, sehingga tidak bisa dibandingkan. Tarigan (2010) merumuskan bahwa DOB yang lebih baik dibandingkan daerah induknya merupakan daerah yang secara administratif adalah kota. Maka dari itu, jenis pemekaran kabupaten dan kota juga dirumuskan sebagai faktor keberhasilan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep dan Teori 2.1.1. Konsep Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah merupakan sebuah pembentukan daerah baru, baik berbentuk provinsi, kabupaten, ataupun kota. Pembentukan daerah baru ini diatur dalam
Undang-Undang
Nomor
32/2004
tentang
pemerintahan
daerah.
Pembentukan daerah baru pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik, kehidupan demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang selaras antar daerah (USAID, 2006). Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam pemekaran wilayah, yaitu mendorong daerah induk dan DOB dapat melaksanakan otonomi daerah secara maksimal. Tarigan (2010) menyebutkan bahwa pemekaran bisa dilakukan pada level provinsi maupun level yang lebih kecil, yaitu kabupaten atau kota. Pada level provinsi terdapat satu pola pemekaran, yaitu satu provinsi mekar menjadi satu provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten/kota terdiri dari tiga pola yaitu, pertama, dari satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru (DOB) dan kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi lebih dari satu kabupaten baru (DOB) dan kabupaten induk. Pemekaran wilayah di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sebelum tahun 1999, yaitu sebelum disahkannnya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
11
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pada masa tersebut, pemekaran ditentukan oleh pemerintah pusat dan memerlukan tahap persiapan yang lama. Namun setelah disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah yang dapat mengusulkan pemekaran wilayah adalah daerah yang telah memenuhi kriteria kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kriteria tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129/2000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan 43 sub indikator. Menurut Wagiyo (2009) proses pembentukan daerah didasari pada tiga syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 dimana dalam pembentukan daerah baru (pemekaran wilayah), setiap daerah harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
12
pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi wilayah yang akan dimekarkan (dalam pembentukan provinsi meliputi minimal lima kabupaten/kota, dalam pembentukan kabupaten minimal lima kecamatan, dan dalam pembentukan kota minimal empat kecamatan), lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis dan Nazara (2007), secara garis besar suatu daerah akan dimekarkan apabila daerah tersebut terletak di luar Jawa dan Bali, daerah berstatus kabupaten, memiliki rasio pendapatan daerah sendiri terhadap pengeluaran total yang besar, bukan daerah baru hasil pemekaran, memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku), seluruh kabupaten/kota yang akan dimekarkan berada dalam satu provinsi, mempunyai jumlah penduduk yang besar, mempunyai wilayah yang cukup luas, mendapatkan alokasi DAU yang besar, dan memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Tarigan (2010) juga menyebutkan bahwa ciri khas dari suatu DOB yang dapat berhasil dalam pemekaran, bahkan lebih baik dibandingkan daerah induknya yaitu merupakan daerah yang secara administratif adalah kota, daerah dengan sumberdaya alamnya melimpah, khususnya migas, untuk menopang sumber keuangan daerahnya, dan memiliki banyak inovasi di bidang tata pemerintahan yang memungkinkan pelayanan publik jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pada daerah-daerah tersebut akan terlihat sarana pendidikan, kesehatan, tata ruang, kapasitas fiskal daerah, dan pertumbuhan ekonomi berkembang dengan baik dan tumbuh lebih cepat, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.
13
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, jenis pemekaran daerah ada tiga, yaitu pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota. Provinsi merupakan wilayah administratif di bawah wilayah nasional. Provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur. Kabupaten dan kota merupakan wilayah administratif yang berada dibawah provinsi. Kabupeten dipimpin oleh seorang Bupati, sementara kota dipimpin oleh seorang Walikota. Dahulu sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 kabupaten dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten, sementara kota dikenal dengan nama Daerah Tingkat II Kotamadya. Semenjak disahkannya undang-undang tersebut, kabupaten dan kota menjadi daerah otonom yang diberi wewenang untuk mengatur sendiri urusan pemerintahannya. Kabupaten dan kota memiliki beberapa perbedaan, di antaranya: 1. Berdasarkan luas wilayahnya, wilayah kabupaten lebih luas daripada wilayah kota (dalam satu provinsi). Sehingga banyak wilayah di kabupaten yang masih tertinggal karena adanya permasalahan rentang kendali yang terlalu luas yang mengakibatkan pemerataan pembangunan menjadi tidak tercapai. 2. Berdasarkan kependudukan, kepadatan penduduk di kabupaten lebih rendah daripada kota. Kepadatan penduduk ini akan menjadi permasalahan manakala pemerintah daerah belum mampu dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan masalah-masalah sosial. Berbagai permasalahan yang mungkin timbul adalah pengangguran, angka putus sekolah yang tinggi, tingkat kesehatan masyarakat yang buruk, tidak tersedianya fasilitas seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal, air bersih, dan listrik, serta meningkatnya tingkat kriminalitas. Namun kepadatan penduduk yang
14
tinggi apabila diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai, maka tidak akan lagi menjadi suatu permasalahan, bahkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk. 3. Berdasarkan mata pencaharian penduduk, penduduk kabupaten umumnya bergerak di bidang pertanian atau bersifat agraris, sementara penduduk perkotaan lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Sehingga sesuai pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007, dalam hal pembuatan kebijakan pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kondisi dan potensi unggulan daerah, sehingga akan terdapat perbedaan prioritas kebijakan antara kabupaten dan kota. 4. Berdasarkan struktur pemerintahan, di wilayah kota hanya dibentuk wilayah kecamatan dan kelurahan. Sementara di wilayah kabupaten selain dibentuk wilayah kecamatan dan kelurahan, terdapat pula wilayah desa. Kecamatan dan kelurahan merupakan bagian dari pemerintah daerah kabupaten dan kota, yang menyatu dalam hal pembuatan kebijakan dan anggaran dengan pemerintah daerah, sementara desa merupakan daerah otonom tersendiri di wilayah daerah kabupaten. Berdasarkan Permendagri Nomor 37/2007, wilayah desa memiliki sumber pendapatan sendiri dan juga sumber pendapatan yang dialokasikan dari APBD kabupaten. 5. Berdasarkan aspek sosial budaya, penduduk kota memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik daripada kabupaten. Fasilitas pelayanan publik juga lebih mudah dijangkau oleh masyarkat di kota dibandingka masyarakat di kabupaten.
15
6. Berdasarkan aspek perekonomian, rata-rata PDRB di kabupaten lebih rendah daripada PDRB kota. Jika dilihat berdasarkan jumlah pemekaran, pemekaran provinsi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pemekaran kabupaten dan kota (gambar 2.1). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999,
provinsi haya bertambah
tujuh provinsi baru, sementara kabupaten dan kota bertambah 205 kabupaten/kota. Tingkatan provinsi dalam pemerintahan pun berbeda dengan kabupaten/kota, sehingga hanya pemekaran kabupaten dan kota saja yang akan dianalisis dalam penelitian kali ini. Jumlah Pemekaran 600 500 400 300 200 100 0
298
26
341
341
353
28
31
31
391
32
440
440
440
440
465
495
497
32
33
33
33
33
33
33
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Kabupaten dan Kota
Provinsi
Sumber : Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI, 2009 (diolah)
Gambar 2.1. Jumlah Pemekaran Provinsi, Kabupaten, dan Kota
2.1.2. Teori Pembangunan Ekonomi Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan pembangunan ekonomi yang tidak merata. Permasalahan ini timbul karena adanya masalah rentang kendali yang terlalu luas dalam pemerintahan. Rentang kendali yang terlalu luas mengakibatkan letak pusat pemerintahan sulit dijangkau oleh
16
seluruh masyarakat, baik itu karena jarak yang jauh maupun karena sarana transportasi yang kurang memadai. Sehingga dampak akhirnya adalah pembagunan pelayanan publik, seperti sekolah dan puskesmas menjadi tidak merata, serta adanya ketimpangan penduduk akibat tingginya jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu saja. Tambunan (2003) menyebutkan terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis pemerataan pembangunan ekonomi, yaitu PDRB per kabupaten, distribusi PDRB kabupaten dalam pembentukan PDRB provinsi, PDRB per kapita, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan. PDRB merupakan jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (BPS, 2008). Terdapat dua cara perhitungan PDRB, yaitu atas dasar harga berlaku (at current price) dan atas dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil (Tambunan, 2003). Pertumbuhan PDRB yang positif menunjukkan adanya penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak. Distribusi PDRB provinsi menurut wilayah kabupaten/kota merupakan indikator untuk menentukan derajat penyebaran hasil pembangunan. PDRB yang relatif sama di setiap kabupaten/kota menunjukkan bahwa distribusi PDRB provinsi relatif merata di setiap kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan yang terjadi di setiap kabupaten/kota di Indonesia semakin kecil.
17
Namun untuk menilai suatu pembangunan sudah berjalan baik atau belum tidak cukup dengan melihat dari kesenjangan ekonomi yang terjadi, tetapi juga melihat tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Penentuan keberhasilan pembangunan ekonomi selain dilihat dari distribusi PDRB menurut wilayah, juga dapat dilihat dari besarnya PDRB per kapita. PDRB per kapita merupakan pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal disuatu wilayah. PDRB per kapita menggambarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita. PDRB per kapita yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi pula, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Tingkat pemerataan ini dapat dilihat berdasarkan kurva Lorenz, indeks Gini, dan kriteria Bank Dunia. Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula (Dumairy, 1996). Kemerataan dalam kurva Lorenz digambarkan dengan bentuk kurva yang semakin dekat dengan diagonal atau semakin lurus (gambar 2.2). Indeks Gini merupakan suatu koefisien yang angkanya berkisar dari nol hingga satu. Semakin kecil nilai indeks Gini maka semakin merata tingkat pendistribusiannya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan terendah, 40 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan menengah, 20 persen dinikmati oleh penduduk berpendapatan tertinggi.
18
100
80
60
40
20
0
20
40
60
80
100
Persentase Jumlah Penduduk
Gambar 2.2. Kurva Lorenz Perbedaan tingkat pembangunan antarwilayah kabupaten/kota juga dapat dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Sektor-sektor ekonomi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan (termasuk penggalian). Sektor sekunder terdiri atas sektor industri manufaktur; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan. Sektor tersier terdiri atas sektor perdagangan, hotel, dan restoran; transportasi dan komunikasi; keuangan, penyewaan dan jasa bisnis; serta sektor jasa lainnya. Sektor sekunder merupakan sektor yang memiliki nilai tambah terbesar, sementara sektor primer memiliki nilai tambah terkecil. Persentase penduduk miskin juga baik jika digunakan sebagai alat untuk mengukur ketimpangan ekonomi antar daerah. Persentase penduduk miskin menunjukkan seberapa besar proporsi penduduk miskin terhadap total penduduk
19
di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan yang tinggi bisa disebabkan kepadatan penduduk yang tinggi dan juga tingkat pembangunan yang rendah. Jika suatu daerah memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka lahan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi akan semakin berkurang artinya kesempatan kerja semakin kecil. Hal ini mengakibatkan semakin besar jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) telah merumuskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan dari pembangunan, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Kemiskinan. Melalui dua indikator ini, penentuan keberhasilan pemerataan pembangunan menjadi semakin mudah. Jika nilai IPM semakin tinggi maka tingkat pembangunan manusia (yang dilihat dari empat indikator, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMF), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), dan pengeluaran riil per kapita) menjadi semakin baik. Jika tingkat kemiskinan semakin rendah, maka tingkat pembangunan semakin merata dan semakin banyak penduduk yang sejahtera (berada diatas garis kemiskinan). 2.1.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) United Nations Development Programme (UNDP) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk merupakan tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Terdapat empat hal pokok yang perlu diperhatikan untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia,
20
yaitu produktivitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Produktivitas Penduduk harus mampu meningkatkan produktivitas sehingga mampu berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan manusia. 2. Pemerataan Penduduk harus memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang dapat memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihilangkan, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup. 3. Kesinambungan Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat dinikmati pula oleh generasi yang akan datang. Sehingga semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan harus selalu diperbaharui. 4. Pemberdayaan Penduduk harus dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta dapat mengambil manfaat dari proses pembangunan.
21
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digagas oleh UNDP bertujuan untuk menghitung kemampuan dasar dari setiap penduduk. Kemampuan dasar itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang diidentifikasi dengan menghitung umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup (AHH). Pengetahuan meliputi kemampuan baca dan tulis yang diidentifikasi dengan menghitung Angka Melek Huruf (AMF) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Daya beli merupakan kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak diidentifikasi dengan menghitung pengeluaran riil per kapita. Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu. 2.1.2.2. Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah besar dalam upaya pembangunan perekonomian Negara Sedang Berkembang (NSB). Damanhuri (2010) menyebutkan bahwa salah satu teori yang berkaitan dengan kemiskinan adalah teori lingkar setan kemiskinan (the vicious cyrcle of poverty) yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal, seorang guru besar di Universitas Stockholm sebelum Perang Dunia ke-II. Lingkar setan kemiskinan merupakan serangkaian kekuatan yang saling memengaruhi satu sama lain, sehingga sangat sulit bagi
22
NSB untuk terbebas dari masalah kemiskinan. Menurut G. Myrdal, kemiskinan bukan disebabkan karena tidak tersediaannya modal, melainkan karena tidak tercukupinya basic needs seperti kurangnya gizi, pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut G. Myrdal dalam Damanhuri (2010), keadaan miskin diawali dari pendapatan penduduk yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas gizi mereka. Rendahnya kualitas gizi penduduk membuat rendahnya kesehatan penduduk dan menyebabkan produktivitas penduduk menjadi rendah. Karena produktivitas penduduk rendah, maka pendapatan penduduk akan tetap rendah sehingga nantinya dapat menyebabkan negara miskin. Pendapatan Penduduk Rendah
Negara Miskin
Produktivitas Penduduk Rendah
Pendapatan Rendah
Kualitas Kesehatan Penduduk Rendah
Kualitas Gizi Rendah
Sumber : Damanhuri 2010
Gambar 2.3. Teori Lingkar Setan Kemiskinan G. Myrdal Berdasarkan
Gambar
2.3,
jumlah
penduduk
miskin
di
suatu
kabupaten/kota menentukan tingkat produktivitas dari para pekerjanya. Jika produktivitas menurun, maka perekonomian di kabupaten/kota akan berjalan lambat. Jumlah PAD menjadi berkurang sehingga daerah tidak mampu membiayai pengeluaran daerahnya, dengan kata lain desentralisasi fiskal tidak akan berjalan
23
dengan baik. Hal ini membuat pelaksanaan otonomi daerah menjadi terganggu dan pemekaran wilayah dapat menjadi gagal. Pengukuran kemiskinan yang digunakan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan (dari sisi ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Garis Kemiskinan digunakan sebagai suatu batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang. BPS (2010) mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
2.1.3. Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2004, desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya masing-masing. Secara umum desentralisasi terbagi atas empat bidang, yaitu desentralisasi di bidang politik, desentralisasi di bidang administrasi, desentralisasi di bidang fiskal dan
24
desentralisasi di bidang ekonomi. Desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi di bidang keuangan yang diwujudkan dengan pembagian wewenang untuk mengurus keuangan daerah (anggaran daerah) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sinaga dan Siregar (2005) mengartikan desentralisasi fiskal sebagai pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa tujuan desentralisasi fiskal adalah untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar daerah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik, sehingga tidak terjadi kesenjangan pelayanan pubik antar daerah; (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai konsekuaensi dari adanya desentralisasi fiskal, maka daerah memerlukan sumber pembiayaan yang cukup untuk
membiayai
keperluan
penyelenggaraan
pemerintahannya.
Sumber
pembiayaan tersebut dapat berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dari pemerintah pusat, ataupun pendapatan lainnya. 2.1.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, keuntungan bersih perusahaan daerah, dan sumber PAD lainnya yang sah. Sumber PAD lain-lain yang sah terdiri atas: (1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; (2) jasa giro; (3)
25
pendapatan bunga; (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Sesuai
tujuan
awal
pelaksanaan
otonomi
daerah,
yaitu
untuk
meningkatkan kemandirian daerah, maka PAD diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan utama dari suatu wilayah. Untuk itu, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatan PAD setiap daerah yang dipimpinnya. Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman (Sinaga dan Siregar, 2005). Namun, dalam upaya peningkatan PAD tersebut, setiap daerah dilarang untuk: (1) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang dapat menyebabkan biaya ekonomi menjadi tinggi; dan (2) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor. 2.1.3.2. Dana Perimbangan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan dengan adanya Dana Perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
untuk
desentralisasi.
mendanai Dana
kebutuhan
Perimbangan
daerah ini
dalam
rangka
pelaksanaan
bertujuan
untuk
mengurangi
ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya. Dana Perimbangan ini terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
26
(DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak dan sumber daya alam. 1. Dana Alokasi Umum (DAU) Sesuai Undang-Undang Nomor 33/2004, DAU merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sesuai dengan laporan desentralisasi yang ditulis oleh Percik (2007), DAU adalah hibah (block grant) dan merupakan sumber utama anggaran pemerintah daerah, di mana jumlahnya sekitar 80 persen dari total pendapatan kabupaten/kota dan sekitar 30 persen untuk tingkat provinsi. DAU dialokasikan untuk setiap daerah berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah (persamaan 2.1). Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal daerah. Sementara alokasi dasar dihitung berdasarkan banyaknya jumlah PNS di suatu daerah. DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF).................................. (2.1) Keterangan: AD = Gaji PNS daerah CF = Kebutuhan fiskal – kapasitas fiskal Besarnya jumlah celah fiskal akan memengaruhi jumlah alokasi DAU yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka DAU yang diterima sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan
27
daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Secara singkatnya, semakin besar pendapatan yang dihasilkan suatu daerah untuk membiayai pengeluarannya maka akan semakin kecil DAU yang diterima oleh daerah tersebut. Daerah yang telah mampu membiayai pengeluaran daerahnya berarti daerah tersebut merupakan daerah yang mandiri. Hal ini sesuai tujuan dari pemekaran daerah yang ditulis dalam PP No. 78 tahun 2007, yaitu untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang terus menurun setiap tahunnya menunjukkan bahwa daerah tersebut telah berhasil meningkatkan kemandirian serta pelaksanaan pemekarannya telah sesuai dengan tujuan awal dari otonomi daerah. 2. Dana Alokasi Khusus (DAK) DAK merupakan dana alokasi penyeimbang untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan prioritas nasional atau kebutuhan khusus yang tidak bisa dimasukkan ke dalam DAU. Menurut Rosidin (2010) kebutuhan khusus tersebut terdiri atas: (1) kebutuhan yang tidak bisa diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan (2) kebutuhan yang merupakan komitmen yang berasal dari prioritas nasional. Pembagian DAK diprioritaskan bagi pemerintah-pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata. Berdasarkan penelitian PSKN FH UNPAD (2009), DAK berbeda dengan Dana Perimbangan lainnya. DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu, melainkan sudah ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dalam Undang-Undang Nomor 33/2004
28
disebutkan bahwa kebutuhan khusus mencakup pelayanan dasar bagi masyarakat. Selain itu, perbedaan DAK dan Dana Perimbangan lainnya terletak pada penggunaannya, dimana tujuan penggunaan DAK sudah ditentukan misalnya untuk dana reboisasi. 3. Dana Bagi Hasil (DBH) Komponen DBH menurut Undang-Undang Nomor 33/2004 terdiri atas pembagian beberapa jenis pajak yang berasal dari pusat dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Pajak pusat yang menjadi sumber DBH adalah dari pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 mengenai Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Penerimaan sumber daya alam yang menjadi sumber DBH berasal dari enam bidang sumber daya alam yaitu: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (PSKN FH UNPAD, 2009). DBH umumnya digunakan oleh daerah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum di daerah.
2.2. Tinjauan Empiris Evaluasi
efektivitas
pelaksanaan
pemekaran
wilayah
yang
telah
berlangsung semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 telah dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI). Pelaksanaan evaluasi ini dimulai pada tahun 2010 dan perhitungannya selesai pada bulan April 2011. Evaluasi ini dilakukan terhadap DOB yang telah mekar lebih dari tiga tahun, sehingga terdapat 205 daerah yang dievaluasi. Terdapat empat hal yang
29
akan dilihat dari evaluasi ini, yaitu kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing. Evaluasi ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada setiap daerah yang akan dievaluasi kemudian perhitungannya dilakukan dengan metode indeksasi. Dari hasil perhitungan didapatkan peringkat urutan DOB kabupaten dan kota. Perbedaan evaluasi yang dilakukan oleh KEMDAGRI dan penelitian ini terletak pada usia DOB yang dianalisis. Pada penelitian ini usia DOB yang di analisis adalah lima tahun, sehingga jumlah DOB yang dianalisis lebih sedikit. Metode evaluasi yang dilakukan juga berbeda, KEMDAGRI melakukan evaluasi menggunakan data primer dan sekunder mengenai kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing, sementara penelitian ini menggunakan data sekunder untuk menganalisis kinerja ekonomi DOB. Penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS (2008) bekerja sama dengan UNDP berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Wilayah tahun 2001-2007 merupakan acuan utama dalam penelitian ini. Metode evaluasi yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi kinerja dan kondisi DOB. Terdapat empat hal yang dievaluasi, yaitu kinerja ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Hasil evaluasi yang didapatkan adalah setelah lima tahun pemekaran DOB yang menjadi sampel memiliki kondisi yang tidak lebih baik dari daerah induknya. Hal ini digambarkan dengan kondisi DOB yang tetap berada di bawah daerah induk. Dari keempat hal yang dievaluasi oleh BAPPENAS dan UNDP, hanya kinerja ekonomi yang akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan keberhasilan pemekaran dalam
30
penelitian ini. Pemilihan kinerja ekonomi didasarkan atas ketersediaan data untuk seluruh kabupaten/kota yang telah memekarkan diri. Santosa dan Rahayu (2005) menganalisis mengenai PAD dan faktor-faktor yang memengaruhinya dalam upaya pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Kediri. Dalam penelitian ini, PAD menjadi indikator untuk menganalisis kemandirian daerah. Penelitian dilakukan menggunakan alat analisis regresi berganda dengan data time series dari tahun 1989 hingga tahun 2002. Dari penelitian ini didapatkan hasil faktor-faktor yang memengaruhi PAD adalah pengeluaran pembagunan, jumlah penduduk, dan PDRB. Perbedaan penelitian Santosa dan Rahayu dengan penelitian ini yaitu Santosa dan Rahayu menggunakan PAD sebagai variabel dependen, sebab PAD menggambarkan kemandirian daerah, sementara dalam penelitian ini PAD digunakan sebagai variabel independen, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh kemandirian daerah terhadap keberhasilan pemekaran. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian Santosa dan Rahayu (2005) yaitu regresi berganda. Namun terdapat perbedaan data yang digunakan, yaitu bukan menggunakan data time series, melainkan data cross section, sebab terdapat perbedaan tahun pemekaran dari setiap kabupaten/kota yang mekar sehingga akan sulit apabila menggunakan data time series. Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat bagaimana kinerja daerah-daerah yang telah memekarkan diri lebih dari lima tahun, sehingga dengan merata-ratakan data maka akan terlihat mana saja daerah yang telah berhasil dalam lima tahun pertama pelaksanakan desentralisasi. Namun
31
untuk beberapa variabel independen tidak digunakan data rata-rata selama lima tahun awal pemekaran, melainkan menggunakan data pada tahun ke lima. Variabel-variabel tersebut adalah PAD, DAU, dan IPM. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan data dari beberapa kabupaten.
2.3. Kerangka Pemikiran Pemekaran wilayah sudah berlangsung semenjak disahkannya UndangUndang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor. 25/1999. Semenjak saat itu pula telah terjadi banyak pemekaran baik itu pemekaran provinsi, kabupaten, maupun kota. Namun ternyata banyak pemekaran yang dinyatakan kurang berhasil terutama pada pemekaran kabupaten dan kota. Sehingga penelitian ini dilakukan
untuk
membuktikan
keberhasilan
pemekaran
kabupaten/kota
berdasarkan kinerja perekonomian yang dilakukan dengan metode indeksasi. Pemekaran wilayah yang terjadi umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengatasi masalah rentang kendali yang menyebabkan adanya ketidakmerataan pelayanan publik. Sehingga diharapkan setelah dilakukannya pemekaran, kondisi DOB dapat lebih baik dibandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induknya. Namun untuk membandingkan dengan kondisi DOB apabila masih bergabung dengan daerah induk sulit untuk dilakukan sebab datanya tidak tersedia. Sehingga penentuan keberhasilan dilakukan dengan membandingkan kondisi DOB dan daerah induk pada tahun yang sama, dengan asumsi DOB akan berhasil dalam pemekarannya (dari sisi ekonomi) jika kondisi perekonomiannya lebih baik dari daerah induknya.
32
Kondisi DOB dan daerah induk dilihat melalui nilai IKE masing-masing daerah, sehingga didapatkan IKE daerah induk dan IKE DOB. DOB yang berhasil dalam lima tahun awal pemekarannya adalah DOB yang memiliki nilai IKE yang lebih besar dibandingkan IKE daerah induknya. Setelah diketahui apakah suatu daerah berhasil atau tidak dan didapatkan nilai selisih IKE DOB dan daerah induk (sebagai variabel dependen), maka dapat dilihat faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan menggunakan metode analisis regresi berganda. Secara sistematis kerangka pemikiran dapat dijelaskan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Keterangan: : Metode yang digunakan : Alur analisis
33
2.4. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup merata. Peningkatan kesejahteraan masyarakat ini merupakan salah satu tujuan dari pemekaran. 2. PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Semakin tinggi persentase PAD terhadap pemasukan daerah maka wilayah tersebut semakin mandiri. Hal ini merupakan tujuan dari otonomi daerah. 3. DAU memiliki hubungan yang negatif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah sebab DAU menunjukkan mampu tidaknya sebuah daerah membiayai pengeluaran
daerahnya.
Daerah
yang
semakin
mampu
membiayai
pengeluarannya, maka daerah tersebut akan mendapatkan DAU yang semakin kecil. Hal ini berarti daerah tersebut telah berhasil dalam pelaksanaan pemekaran wilayahnya. 4. IPM memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah. semakin tinggi nilai IPM, maka akan semakin tinggi kemampuan dasar dari setiap penduduk. Selanjutnya peningkatan ini akan berdampak pada meningkatnya produktivitas dari masyarakat, kemudian berlanjut pada pembangunan yang semakin baik, dan daerah dapat semakin berkembang.
34
5. Angka kemiskinan memiliki hubungan yang negatif dengan keberhasilan pemekaran wlayah, sebab semakin besar jumlah penduduk miskin berarti semakin
banyak
jumlah
penduduk
yang
tidak
produktif,
sehingga
ketergantungan DOB terhadap pemerintah pusat akan bertambah. 6. DOB yang berbentuk kota akan lebih berhasil dibandingkan DOB yang berbentuk kabupaten. Hal ini sesuai dengan karakteristik kota yang secara umum lebih baik dibandingkan kabupaten.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan terhadap semua kabupaten/kota di Indonesia yang merupakan daerah hasil pemekaran semenjak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999. Daerah yang dianalisis adalah daerah yang mekar pada tahun 1999 hingga tahun 2003, sebab telah melaksanankan otonomi daerah lebih dari lima tahun. Pemilihan waktu lima tahun ini didasari atas terlaksananya Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RJPM) pada awal pemerintahan DOB, sehingga dapat dilakukan analisis terhadap keberhasilan pelaksanakan pemekaran. Selain itu, data yang dibutuhkan dari setiap daerah yang dianalisis sudah tersedia. Penilaian keberhasilan dilihat melalui selisih kinerja perekonomian setiap DOB dengan daerah induknya. Pengumpulan data dilakukan pada awal Maret hingga pertengahan April 2011.
3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Penentuan daerah yang dianalisis berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI. Data-data lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data PDRB, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten atau kota terhadap PDRB propinsi, IPM, dan angka kemiskinan. Seluruh data PDRB yang digunakan menggunakan dasar harga berlaku dengan tujuan untuk menghindari perbedaan harga dasar dan data berdasarkan harga berlaku tersedia untuk seluruh variabel.
36
Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu digunakan pula data APBD yang didapatkan dari DJPK Kementrian Keuangan.
3.3. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, metode indeksasi, dan model analisis regresi berganda. Teknik analisis deskriptif untuk memberikan gambaran awal mengenai DOB. Metode indeksasi digunakan dalam penentuan keberhasilan pemekaran dengan bantuan program Ms. Excel. Penentuan faktorfaktor penentu keberhasilan digunakan model analisis regresi berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Eviews 6.
3.3.1. Analisis Deskriptif Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal mengenai keberhasilan pemekaran, IKE, PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM, dan angka kemiskinan di setiap DOB yang dianalisis. Selain itu dilihat pula pengaruh
perbedaan
jenis
pemekaran
kabupaten
dan
kota,
dengan
membandingkan besarnya nilai variabel-variabel yang dianalisis dikedua jenis pemekaran tersebut. Selain itu, pada beberapa variabel dilihat perbedaan dari kabupaten dan kota yang memiliki urutan IKE tertinggi dan terendah, sehingga dapat dilihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap daerah-daerah tersebut.
3.3.2. Metode Indeksasi Metode indeksasi selain dilakukan oleh KEMDAGRI (2011) dalam evaluasi DOB hasil pemekaran dan BAPPENAS (2008) dalam evaluasi dampak
37
pemekaran wilayah, juga digunakan oleh BPS dalam menentukan nilai IPM. Adanya variabel yang kompleks dan kondisi yang berbeda antardaerah mengharuskan dilakukan standarisasi data. Dilakukannya standarisasi data membuat data yang dihasilkan berada dalam range nol sampai satu, sehingga saat membandingkan antara daerah induk dengan DOB menjadi semakin mudah. Keuntungan dari digunakannya metode ini yaitu cukup mudah untuk dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan dan keahlian khusus, sebab hanya menggunakan operasi matematika sederhana. Metode perhitungan yang digunakan untuk menstandarisasi data adalah: ′
......................................... (3.1)
Dimana: ′
= Nilai Kabupaten ke-i untuk variabel ke-j, yang terstandardisasi = Nilai data asal kabupaten ke-i untuk variabel ke-j = nilai minimum variabel ke-j = nilai maksimum variabel ke-j Dari hasil standardisasi data tersebut kemudian dihitung rata-rata pada
masing-masing kelompok variabel. Untuk mendapatkan hasil Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) di setiap daerah yang terdiri atas beberapa variabel, maka seluruh variabel akan dirata-ratakan dengan mengunakan rumus: Index
,
................................ (3.2)
38
Dimana: Indeks
= indeks yang akan dihitung untuk daerah ke-i = indeks variabel ke-n untuk daerah ke-i
,
= jumlah variabel Dalam penyusunan indeks kinerja ekonomi perlu diperhatikan konsistensi dari setiap variabel yang digunakan, artinya setiap variabel yang digunakan adalah searah. Sehingga apabila terdapat variabel yang berbeda arahnya perlu dilakukan penyesuaian dengan reverse index, yaitu dengan menggunakan rumus: 100
.......................................... (3.3)
Dimana: ,
= riverse index variabel untuk daerah ke-i Variabel yang akan digunakan untuk menghitung IKE adalah PDRB
berdasarkan harga berlaku, PDRB per Kapita, rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi, dan persentase kemiskinan. Semua variabel kecuali persentase kemiskinan memiliki pengaruh yang positif terhadap IKE, sehingga nilai IKE dapat diperoleh dengan rumus: IKE
4
................. (3.4)
Dimana: IKE
= indeks kinerja ekonomi untuk daerah i = indeks variabel PDRB berdasarkan harga berlaku untuk daerah ke-i = indeks variabel PDRB per Kapita bardasarkan harga berlaku untuk daerah ke-i
39
= indeks variabel Rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB propinsi untuk daerah ke-i = rivers indeks variabel persentase kemiskinan untuk daerah ke-i Berdasarkan hasil perhitungan IKE terhadap daerah induk dan DOB, maka dapat dilihat tingkat keberhasilan dari pemekaran wilayah. Keberhasilan ini didapatkan dengan menghitung selisih antara IKE DOB dengan IKE daerah induk. Jika selisihnya adalah positif, maka DOB telah berhasil dalam pemekaran, namun jika selisihnya adalah negatif, maka DOB belum berhasil dalam pemekaran.
3.3.2. Analisis Regresi Berganda Model persamaan regresi berganda mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pemekaran wilayah dirumuskan dari berbagai literatur mengenai pemekaran wilayah. Metode pendugaan yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least Square (OLS). Pemilihan metode analisis ini didasari kemudahan dalam penggunaannya dan model yang dihasilkan cukup menjawab tujuan yang ingin dicapai (Juanda, 2009). Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebagai variabel dependen dan yang menjadi variabel independennya adalah PDRB per kapita, PAD, DAU, IPM, angka kemiskinan, dan dummy jenis pemekaran kabupaten atau kota. Secara umum persamaan regresi berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: ....... (3.5) Dimana : = Selisih Indeks Kinerja Ekonomi DOB dengan daerah induk
40
= PDRB per kapita (juta rupiah) = Pendapatan asli daerah (juta rupiah) DAU
= Dana Alokasi Umum (juta rupiah)
IPM
= Indeks Pembangunan Manusia = Jumlah penduduk penduduk miskin (jiwa) = Dummy jenis pemekaran (0 jika pemekaran kabupaten, dan 1 jika pemekaran kota) = Konstanta (intercept) = Parameter yang diduga (n = 1,2,…,5) = daerah ke-i = random error PDRB per kapita digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu
masyarakat. PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. DAU menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap pembiayaan yang berasal dari pusat. Penggunaan data DAU berdasarkan persentase terhadap dana perimbangan, dimana DAU memiliki persentase terbesar dibandingkan jenis dana perimbangan lainnya. Angka kemiskinan menunjukkan seberapa besar jumlah penduduk yang tidak produktif.
3.3.3. Pengujian Model dan Hipotesis 3.3.3.1. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Koefisien determinasi (R2) menunjukkan kesesuaian (goodness of fit) dari model yang telah dibuat, sehingga model tersebut memiliki kualitas yang baik. Winarno (2002) menyebutkan bahwa nilai R2 berada diantara nol (0) dan satu (1).
41
Semakin mendekati satu nilai R2 maka semakin baik model yang dibuat. Jika nilai R2 sama dengan nol (R2 = 0), hal ini berarti variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya, atau dengan kata lain tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Jika nilai R2 sama dengan satu (R2 = 1), maka variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independennya secara sempurna. Namun nilai R2 yang tinggi tidak selalu membuktikan bahwa kualitas dari suatu model sudah baik. Hal ini umumnya terjadi pada analisis time series, dimana dalam setiap variabelnya cenderung mengalami kenaikan seiring berjalannya waktu, sehingga akan menghasilkan nilai R2 yang cukup tinggi. Tetapi dalam analisis cross section nilai R2 cenderung rendah, karena tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan variabel setiap tahunnya. Secara umum R2 dapat dihitung menggunakan rumus: R2 = RSS/TSS............................................. (3.6) Dimana : RSS = Jumlah kuadrat residual (Ressidual Sum Square) TSS = Jumlah kuadrat total (Total Sum Square)
3.3.3.2. Pengujian Asumsi Model Pengujian model dilakukan dengan kriteria statistik dan ekonometrika. Pengujian kriteria statistik dilakukan dengan menggunakan uji-t dan uji-F. Uji-t dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Sedangkan uji-F dapat dilihat dari nilai F-statistiknya. Jika nilai kedua probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf
42
nyatanya, maka peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya. Suatu variabel yang digunakan dalam sebuah model memerlukan adanya pengujian asumsi yang terdapat pada metode OLS. Hal ini dimaksudkan agar estimasi variabel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimation), sehingga didapatkan kebenaran suatu model dalam penelitian. Adapun uji asumsi yang dilakukan terdiri atas uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. 1. Uji Normalitas Firdaus (2004) menyebutkan bahwa uji normalitas merupakan salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi secara normal. Model regresi seperti itu disebut model regresi linear normal klasik. Regresi normal klasik mengasumsikan bahwa setiap i didistribusikan secara normal dengan: Rata-rata : E ( i) = 0 .............................................................................. (3.7) Varians : E ( i) = Cov ( i,
j)
: E ( i,
............................................................................... (3.8) j)
= 0 i≠j ............................................................... (3.9)
Asumsi ini secara ringkas dapat dinyatakan: i
~ N (0,
........................................................................................ (3.10)
Di mana ~ berarti “didistribusikan sebagai” dan N berarti “distribusi normal”. Angka dalam tanda kurung menunjukkan rata-rata
i
= 0 dan varians
i
= . Perlu
ditegaskan bahwa dua variabel yang didistribusikan secara normal dengan
43
kovarian atau korelasi nol berarti dua variabel tersebut independen. Jadi, asumsi itu berarti bahwa
i
dan
ij
bukan hanya tidak berkorelasi, tetapi juga independen.
Pada software Eviews 6, uji normalitas dilakukan dengan uji Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α), maka hasil estimasi tersebut memenuhi asumsi kenormalan atau error term telah terdistribusi dengan normal. Uji normalitas juga bisa dilakukan dengan melihat pola sisaan. Apabila sisaan berpola linear, yaitu berbentuk lonceng terbalik maka bisa dikatakan sisaan dalam model dianggap sudah terdistribusi dengan normal. 2. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan hubungan linear yang kuat antarvariabel independen dalam analisis regresi berganda. Ciri-ciri terjadinya multikolinearitas adalah sebagai berikut : a. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan. b. Tanda koefisien banyak yang tidak sesuai dengan harapan. c. Matriks korelasi antarvariabel tinggi (rij > │0,8│). d. Nilai R2 lebih kecil dari nilai rij. Multikolinearitas menyebabkan koefisien kuadrat terkecil tidak dapat ditentukan, serta varians dan kovarians dari koefisien yang hampir sempurna menyebabkan persamaan yang dibentuk secara statistik mempunyai standar error yang besar dan menyebabkan selang kepercayaan menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan nilai estimasi koefisiennya menjadi tidak tepat.
44
3. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah varians kesalahan tidak sama untuk setiap periode, padahal salah satu syarat model yang baik adalah varians kesalahannya sama. Dampak dari adanya heteroskedastisitas adalah dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tidak bias, tetapi masih konsisten, standar errornya bias ke bawah, dan penduga OLS tidek efisien lagi (Juanda 2009). Heteroskedastisitas dapat muncul karena beberapa sebab, diantaranya : a. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model. b. Sifat data yang digunakan dalam analisis, yaitu data cross section lebih sering memunculkan masalah heteroskedastisitas dibandingkan data time series. Pada
Program
Eviews
6,
untuk
mengetahui
ada
tidaknya
heteroskedastisitas dalam suatu model dapat digunakan uji Breusch Pagan Godfrey. Jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared > α) berarti tidak ada heteroskedastisitas. Namun jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih kecil atau sama dengan dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared ≤ α) berarti ada heteroskedastisitas. 4. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah terjadinya hubungan antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan. Autokorelasi terdeteksi ketika terjadi hubungan antara galat estimasi suatu observasi dengan galat estimasi observasi lainnya. Masalah autokorelasi umumnya terjadi pada data time series, namun tidak jarang pula terjadi pada data cross section. Juanda (2009) menyebutkan autokorelasi pada data cross section dengan obyek pengamatan kecamatan biasa disebut
45
autokorelasi spasial. Hal ini terjadi saat kecamatan yang menjadi sampel saling berdekatan dan memiliki karakteristik yang mirip. Dampak dari adanya autokorelasi yaitu dugaan variabel dari suatu model menjadi tidak bias, masih konsisten, mempunyai standar error yang bias ke bawah atau lebih kecil dari nilai sebenarnya, dan tidak efisien. Semua hal tersebut membuat hipotesis menjadi tidak valid. Penentuan ada tidaknya autokorelasi dapat ditentukan dengan dua cara yaitu uji Durbin-Watson (DW) dan uji Breusch-Godfrey. Winarno (2002) menyebutkan dalam mendeteksi autokorelasi dapat menggunakan nilai d (yang menggambarkan nilai DW), dimana pengambilan keputusannya adalah : Tabel 3.1 Pengambilan Keputusan pada Uji Durbin-Watson Tolak H0 berarti ada autokorelasi positif 0
Tidak tolak H0 Tolak H0 berarti tidak Tidak dapat berarti ada ada diputuskan autokorelasi autokorelasi negative du 4 - du 4 - dL 4
Tidak dapat diputuskan dL
Sumber : Gujarati, 2004
Namun Uji DW memiliki kelemahan yaitu hanya berlaku pada variabel independen yang bersifat stokastik (random) dan tidak dapat digunakan pada model rata-rata bergerak (moving average). Sehingga untuk mengatasi permasalahan ini dapat digunakan uji Breusch-Godfrey. Uji autokorelasi Breusch-Godfrey dapat dilakukan apabila menggunakan program eviews saat mengolah data. Uji autokorelasi ini dalam eviews dikenal dengan nama Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared > α)
46
berarti tidak ada autokorelasi. Namun jika nilai probabilitas obs*R-squared lebih kecil atau sama dengan dari taraf nyata (nilai probabilitas obs*R-squared ≤ α) berarti terdapat autokorelasi.
IV. KONDISI EKONOMI KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN
Tujuan dilakukannya pemekaran wilayah yaitu untuk memperkecil rentang kendali
pemerintahan
dan
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
melalui
pembangunan daerah yang lebih baik lagi, serta meningkatkan kemandirian daerah. Pemekaran wilayah sebenarnya merupakan sesuatu yang sudah lama dilaksanakan, bahkan sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 22/1999 pemekaran sudah banyak terjadi. Namun semenjak disahkannya undang-undang tersebut, pemekaran justu semakin banyak terjadi karena persyaratan pemekaran menjadi semakin mudah. Padahal dulu sebelum adanya undang-undang pemekaran, suatu daerah yang ingin dimemekarkan memerlukan perencanaan yang cukup lama dan matang. Perbedaan trend inilah yang membuat maraknya pemekaran, namun sayangnya pemekaran tersebut umumnya tidak diikuti oleh kesiapan setiap daerah untuk mandiri, sehingga banyak daerah dinyatakan belum berhasil dalam melaksanakan pemekaran wilayah.
4.1. Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) Penentuan keberhasilan pemekaran dalam skripsi ini lebih difokuskan pada nilai IKE. DOB yang memiliki IKE yang lebih tinggi dibandingkan daerah induknya merupakan DOB yang dianggap berhasil dalam melaksanakan pemekaran wilayah. Sedangkan DOB yang memiliki IKE lebih rendah dibandingkan daerah induknya disebut daerah yang belum berhasil dalam pemekaran wilayah. Dari hasil penelitian terlihat bahwa dari 141 daerah yang
48
mekar, jumlah daerah yang berhasil setelah lima tahun pemekaran sebanyak 58 daerah atau 41 persen (Lampiran 1). Tabel 4.1. Urutan Daerah Tertinggi dan Terendah Berdasarkan Hasil Perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) No Urut 1 2 3 4 5 137 138 139 140 141
Daerah Induk Kab. Fak-Fak Kab. Kep Riau (Bintan) Kab. Sumbawa Kab. Bangka Kab. Serang Kab. Manokwari Kab. Jayawijaya Kab. Jayawijaya Kab. Nabire Kab. Jayawijaya
Nilai IKE 0.882 1.433 1.182 1.737 1.528 0.979 0.615 0.615 0.789 0.619
DOB Kab. Mimika Kota Batam Kab. Sumbawa Barat Kab. Bangka Barat Kota Cilegon Kab. Teluk Wondama Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya
Nilai IKE 2.890 2.369 2.345 1.973 1.885 0.688 0.656 0.608 0.565 0.521
Kriteria Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
Berdasarkan hasil perhitungan IKE dari setiap daerah otonom baru (Tabel 4.1), maka kabupaten/kota yang memiliki IKE tertinggi adalah Kab. Mimika, Kota Batam, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Bangka Barat, dan Kota Cilegon. Kelima kabupaten/kota tersebut seluruhnya telah berhasil dalam pemekaran daerahnya, sebab memiliki nilai IKE yang lebih besar disbanding daerah induknya. Sedangkan yang memiliki IKE terendah adalah Kab. Teluk Wondama, Kab. Pegunungan Bintang, Kab. Yahukimo, Kab. Paniai, dan Kab. Puncak Jaya. Kab. Pegunungan Bintang merupakan daerah yang telah berhasil dalam pemekaran wilayah, sedangkan keempat daerah lainnya merupakan daerah yang belum berhasil dalam pelaksanaan pemekaran. Sehingga terlihat bahwa nilai IKE yang kecil dari suatu wilayah tidak berarti daerah tersebut belum berhasil dalam pelaksanaan pemekaran wilayah. Tetapi keberhasilan ini lebih disebabkan adanya peningkatan kinerja perekonomian pada DOB setelah pemekaran, sehingga saat
49
dibandingkan dengan daerah induk, maka DOB akan memiliki nilai IKE yang lebih tinggi. Hasil perhitungan IKE jika dibandingkan dengan evaluasi yang dilakukan oleh KEMDAGRI, maka terdapat perbedaan dari urutan DOB. Lima urutan teratas dari hasil evaluasi yang dilakukan KEMDAGRI adalah Kota Banjarbaru, Kota Cimahi, Kab. Dharmas Raya, Kab. Bangka Tengah, dan Kab. Samosir. Sementara dari hasil penelitian ini daerah-daerah tersebut menempati urutan 27, 35, 56, 11, dan 99. Selain itu kelima urutan teratas tersebut dalam penelitian ini tidak semuanya merupakan daerah yang berhasil dalam pemekaran. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun daerah berada dalam urutan teratas, namun tidak semuanya memiliki kondisi yang lebih baik dari daerah induknya terutama saat lima tahun pertama setelah pemekaran.
4.2. PDRB per Kapita Pemekaran wilayah merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan pembangunan ekonomi. Tambunan (2003) menyebutkan indikator pembangunan ekonomi diantaranya PDRB per kapita. PDRB per kapita menggambarkan tingkat kesejahteraan yang terjadi di suatu masyarakat, sejauh tingkat pemerataannya cukup merata. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka dapat dikatakan masyarakat semakin sejahtera.
50
PDRB per Kapita (ribu rupiah) 2000000 1500000 1000000 1122418
1272965
500000
1647349
1525027
1379680
PDRB per kapita (ribu rupiah)
0 1
2 3 Tahun Pemekaran Ke-
4
5
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)
Gambar 4.1. Jumlah PDRB per Kapita Seluruh Daerah Otonom Baru Gambar 4.1. menunjukkan besarnya PDRB per kapita seluruh daerah hasil pemekaran. Dari gambar tersebut terlihat bahwa PDRB per kapita di setiap tahun pemekaran mengalami peningkatan. Hal ini berarti tingkat kesejahteraan masyarakat secara agregatif meningkat, dan dapat dikatakan bahwa tingkat pembangunan ekonomi juga meningkat. Tabel 4.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Ribu Rupiah) No. Urut
Tahun Ke1
2
3
4
5
RataRata
DOB
1
Kab. Mimika
142894
152855
135701
131899
119094
136488
2
Kota Batam
36570
38667
38303
36254
39974
37953
3
Kab. Sumbawa Barat
90152
99512
105938
131172
110337
107422
4
Kab. Bangka Barat
20392
22533
24289
26441
32154
25162
5
Kota Cilegon
22506
26259
30028
31564
35200
29111
4829
5458
6184
7379
9204
6611
2267
1657
1858
2075
2589
2089
872
833
935
1000
1141
956
137 138
Kab. Teluk Wondama Kab. Pegunungan Bintang
139
Kab. Yahukimo
140
Kab. Paniai
2195
2489
2851
3067
3227
2766
141
Kab. Puncak Jaya
2513
2636
2761
4135
2939
2997
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)
51
Jika dilihat pada Tabel 4.2, lima urutan tertinggi DOB memiliki nilai ratarata PDRB per kapita yang besar pada lima tahun pertama setelah pemekaran. Sementara lima urutan terendah DOB memiliki nilai rata-rata PDRB per kapita yang kecil pada lima tahun pertama setelah pemekaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada daerah-daerah yang memiliki IKE tertinggi memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.
4.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD digunakan untuk menunjukkan kemandirian daerah. Persentase PAD yang tinggi terhadap total pendapatan menunjukkan bahwa daerah tersebut mampu membiayai sebagian besar pengeluaran daerahnya. Hal ini berarti daerah sudah tidak terlalu bergantung pada pendanaan yang berasal dari pusat. Inilah yang menjadi salah satu tujuan dari pemekaran wilayah, yaitu meningkatkan kemandirian daerah. Tabel 4.3. Persentase PAD terhadap Total Pendapatan pada DOB (Juta Rupiah) 2005 1034.21
2006 1892.39
2007 3245.89
2008 3101.42
2009 3611.73
2010 4414.76
PAD Total 22966.33 49972.87 50716.81 64502.27 71736.04 71095.30 Pendapatan 5% 4% 6% 5% 5% 6% Persentase Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Jika dilihat pada Tabel 4.3, maka persentase PAD untuk DOB masih sangat kecil, yaitu kurang dari 10 persen. Hal ini berarti ketergantungan DOB terhadap pusat tidak berkurang. Padahal pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada setiap pemerintah daerah untuk meningkatan PAD setiap daerah yang dipimpinnya. Kewenangan tersebut berupa kebebasan pemungutan
52
pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman (Sinaga dan Siregar, 2005). Hal ini menunjukkan keberhasilan pemekaran belum tercapai.
4.4. Dana Perimbangan Dana perimbangan menunjukkan ketergantungan suatu daerah terhadap pembiayaan yang berasal dari pusat. Dana perimbangan terdiri atas DBH, DAU, dan DAK. Jika dilihat pada Tabel 4.4, ketergantungan anggaran daerah terhadap dana perimbangan sangat besar, yaitu lebih dari 80 persen. Sumber dana perimbangan yang memiliki kontribusi terbesar adalah DAU. Hal ini menunjukkan ketergantungan daerah yang masih tinggi terhadap pendanaan yang berasal dari pusat (daerah belum mandiri dalam hal keuangan). Jika diteliti lebih lanjut, hal ini disebabkan karena anggaran dasar yang besar di setiap daerah. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.5 bahwa PAD yang besar di suatu daerah tidak menjamin dana perimbangan yang diterima akan kecil. Daerah yang memiliki PAD yang tinggi seperti Kota Batam dan Kota Cilegon tetap mendapatkan dana perimbangan, khususnya DAU yang besar. Dana perimbangan setiap tahunnya memang direncanakan terus meningkat oleh pemerintah pusat. Peningkatan ini terutama dari sisi DAK dan DBH. Diharapkan dengan adanya peningkatan dana perimbangan ini (terutama yang bersumber dari DBH), dapat dialokasikan untuk memperbaiki dan meningkatkan
infrastruktur
setiap
daerah,
sehingga
kedepannya
dapat
meningkatkan iklim investasi. Peningkatan jumlah investasi dapat meningkatkan jumlah PAD dan menjadi sumber PAD baru bagi daerah. Sehingga, adanya
53
peningkatan dana perimbangan diharapkan kedepannya dapat meningkatkan jumlah PAD setiap daerah serta mengurangi tingkat ketergantungan fiskal setiap daerah. Tabel 4.4. Total Dana Perimbangan Daerah Otonom Baru (Juta Rupiah)
Total Pendapatan (TP) PAD Persentase PAD terhadap TP Dana Perimbangan (DP) Persentase DP terhadap TP
2005
2006
2007
2008
2009
2010
22966.33
49972.87
50716.81
64502.27
71736.04
71095.30
1034.21
1892.39
3245.89
3101.42
3611.73
4414.76
5%
4%
6%
5%
5%
6%
20153.76
45510.81
50188.07
55571.11
61710.53
59655.24
88%
91%
99%
86%
86%
84%
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
Tabel 4.5. Jumlah PAD dan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Juta Rupiah) No. Urut
DOB
PAD
Dana Perimbangan
DAU
DAK
DBH
1
Kab. Mimika
94.46
873.09
225.21
45.82
602.06
2
Kota Batam
141.87
599.59
214.25
21.23
304.75
3
Kab. Sumbawa Barat
22.14
274.53
157.64
37.52
70.31
4
Kab. Bangka Barat
18.45
285.97
207.96
34.84
40.12
5
Kota Cilegon
115.06
342.07
244.12
12.57
85.31
80.48
297.01
213.82
42.56
40.62
137
Kab. Teluk Wondama
138
Kab. Pegunungan Bintang
4.25
496.19
373.90
76.73
45.57
139
Kab. Yahukimo
3.51
511.24
379.89
66.20
36.91
140
Kab. Paniai
6.21
453.24
360.57
51.98
34.93
141
Kab. Puncak Jaya
9.06
445.74
339.23
53.44
48.47
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2005-2010 (diolah)
4.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Nilai IPM menunjukkan seberapa jauh suatu wilayah dapat mencapai sasaran yang ditentukan. Sasaran tersebut terdiri atas empat komponen, yaitu angka harapan hidup mencapai 85 tahun, pendidikan dasar dan kemampuan baca dan tulis bagi semua lapisan masyarakat (tanpa terkecuali), serta tingkat
54
pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, maka semakin baik kondisi pembangunan manusia di suatu wilayah. Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa secara agregatif terlihat nilai IPM untuk DOB terus meningkat setiap tahun. Peningkatan ini menunjukkan bahwa kondisi masyarakat di daerah-daerah tersebut semakin baik. Dapat dilihat pada Lampiran 4 bahwa kondisi IPM hampir di semua daerah mengalami kenaikan. Begitu pula dengan tiga komponen pembentuk IPM, yaitu angka melek huruf, rata lama sekolah, dan angka harapan hidup. IPM (persen) 70.00 69.00 68.00
68.87
69.18
69.63
68.01 67.21
67.00 IPM
66.00 65.00 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005-2010 (diolah)
Gambar 4.2. Rata-Rata Nilai IPM pada Daerah Otonom Baru Terlihat pada Tabel 4.6 bahwa IPM kota lebih tinggi dibandingkan IPM kabupaten. Sementara kabupaten urutan tertinggi dan terendah memiliki IPM yang tidak jauh berbeda. Perbedaan IPM antara kabupaten dan kota ini sangat terlihat terutama dari komponen rata lama sekolah (RLS). RLS sekolah untuk kota lebih besar dari angka sembilan, yang berarti wajib belajar sembilan tahun sudah terlaksana. Sementara di kabupaten, tingkat pendidikan masih sangat rendah,
55
khususnya untuk daerah yang berada di urutan terbawah, yang ditunjukkan dengan angka RLS yang kecil. Angka melek huruf (AMH) menunjukkan kemampuan baca dan tulis. Berdasarkan nilai AMH pada setiap kabupaten/kota, dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat di setiap wilayah sudah cukup mengenal huruf. Hal ini ditunjukkan dengan AMH yang cukup tinggi, kecuali untuk Kab. Pegunungan Bintang dan Kab. Yahukimo.
Pada komponen IPM lainnya, yaitu angka harapan hidup (AHH), untuk kabupaten/kota urutan tertinggi dan terendah tidak jauh berbeda, yaitu kesemuanya berada diatas angka 60. Hal ini menunjukkan angka harapan hidup setiap masyarakat adalah sekitar 60 tahun, sayangnya hal ini belum mencapai sasaran AHH yang ditetapkan, yaitu 85 tahun. Tabel 4.6. IPM Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Persen) No. Urut
DOB 1 Kab. Mimika 2 Kota Batam 3 Kab. Sumbawa Barat 4 Kab. Bangka Barat 5 Kota Cilegon 137 Kab. Teluk Wondama 138 Kab. Pegunungan Bintang 139 Kab. Yahukimo 140 Kab. Paniai 141 Kab. Puncak Jaya Sumber: Badan Pusat Statistik (2005-2009)
AHH 69.276 70.636 60.502 67.426 68.414 66.786 65.11 65.942 66.85 66.938
RLS 6.662 10.702 7.012 6.472 9.616 6.084 2.25 2.404 6.202 6.102
AMH 86.438 98.834 90.25 92.152 98.702 79.506 31.592 31.782 62.882 86.722
IPM 67.53 76.958 65.146 68.7856 74.414 63.208 47.6 54.346 58.842 67.382
4.6. Angka Kemiskinan Angka kemiskinan menunjukkan banyaknya jumlah penduduk miskin yang ada di suatu daerah. Jika dilihat dari jumlah penduduk miskin yang ada di
56
seluruh kabupaten dan kota, maka secara agregatif jumlah penduduk miskin terus menurun. Hal ini berarti tujuan pemekaran untuk meningkatkan kondisi masyarakat telah tercapai. Keberhasilan ini disebabkan banyaknya program pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah, seperti Upah Minimum Regional (UMR), Jaminan Kesehatan Mayarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan kebijakan-kebijakan lainnya. jumlah penduduk miskin daerah pemekaran Ribu Jiwa 4828.1 5000 4800 4600 4400 4200 4000 3800
1
4592 4355.3
2 3 Tahun pemekaran ke-
4231.3
4
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2009 (diolah)
Gambar 4.3. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Besarnya jumlah penduduk miskin tidak mencerminkan bahwa daerah tersebut pasti berhasil dalam pemekaran. Jika dilihat pada Tabel 4.7, terlihat bahwa hampir semua daerah tingkat kemiskinannya fluktuatif. Namun untuk daerah Kab. Sumbawa Barat dan Kab. Bangka Barat jumlah penduduk miskinnya terus turun. Hal ini berarti kebijakan pengentasan kemiskinan di daerah tersebut sudah terlaksana dengan baik. Selain ketiga daerah tersebut terdapat 49 daerah lainnya yang juga mengalami penurunan jumlah penduduk miskin selama lima tahun awal pemekaran (Lampiran 6).
57
Pada daerah kab. Mimika dan kota Batam, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan. Hal ini justru bertentangan dengan keberhasilan kedua daerah tersebut, sebab kedua daerah tersebut merupakan daerah yang telah berhasil dalam pemekaran, bahkan nilai IKE kedua daerah tersebut merupakan urutan teratas. Sehingga dapat disimpulkan keberhasilan tidak hanya dilihat melalui angka kemiskinan saja, tetapi bayak faktor lain yang memengaruhi keberhasilan dari pemekaran wilayah. Selain kedua daerah tersebut masih ada enam daerah lain yeng mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin, yaitu Kab. Aceh Singkil, Kab. Bireun, Kab. Simeuleu, Kab. Pelalawan, Kab. Tanjung Jabung Timur, dan Kab. Lembata (Lampiran 6). Tabel 4.7. Angka Kemiskinan Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah (Ribu Jiwa) DOB
Tahun Pemekaran Ke1 2 3 33.2 38 38.8 25.2 28.1 28.1 29.1 28.7 25.2 14.1 10.5 7.4 19.9 17.5 14.5 11.9 11.5 12 44.8 48 45 66.7 71 69.4 64.1 50.8 54.6 54.5 34.9 55.8
4 42.3 50.3 24.3 7.6 18.7 11.1 42 72.7 59 60
Kab. Mimika* Kota Batam* Kab. Sumbawa Barat* Kab. Bangka Barat* Kota Cilegon* Kab. Teluk Wondama Kab. Pegunungan Bintang* Kab. Yahukimo Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Keterangan : daerah yang diberi tanda * adalah daerah yang berhasil dalam pemekaran Sumber: BPS, 2002-2009 (diolah)
4.7. Perbandingan Kabupaten dan Kota Kabupaten dan kota sama-sama merupakan wilayah administratif yang berada di bawah provinsi. Namun kabupaten dan kota berbeda secara
58
karakteristik, baik itu dalam hal luas wilayah, kepadatan penduduk, mata pencaharian mayoritas penduduk, struktur wilayah, sosial budaya, dan perekonomian. Jika dilihat per variabel, secara umum kota lebih baik dibandingkan daerah induk. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata kota untuk tingkat keberhasilan (Y), IKE, PAD, dan IPM lebih tinggi dari kabupaten, serta nilai rata-rata kota untuk dana perimbangan dan angka kemiskinan lebih kecil dari kabupaten. Namun, nilai PDRB per kapita kabupaten lebih tinggi dari kota. Jika dilihat berdasarkan sektor pembentuk PDRB, maka kabupaten didominasi oleh sektor primer, yang terdiri atas pertanian dan pertambagan. Sementara kota didominasi oleh sektor sekunder, yang terdiri atas industri manufaktur; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi dan bangunan. Tabel 4.8. Perbandingan Kabupaten dan Kota Berdasarkan Rata-Rata Variabel yang Dianalisis Variabel Y IKE PDRB per Kapita PAD DAU DAK DBH IPM AHH RLS AMH Angka Kemiskinan PDRB sektor primer PDRB sektor sekunder PDRB sektor tersier
Kabupaten -0,04 1,27 9871,90 18,70 260,12 36,50 86,24 67,78 67,12 7,06 89,98 32,07 1112560,00 226953,86 317867,32
Kota 0,15 1,50 9781,15 167,50 208,58 26,86 70,90 73,07 69,03 9,33 97,57 21,27 196878,63 1401924,40 953738,93
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah Analisis regresi berganda dengan menggunakan software Eviews 6 memberikan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. Dengan melihat dari nilai probabilitas yang dihasilkan, dapat ditarik kesimpulan mana saja variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran. Selain itu dengan melihat nilai koefisien variabel dapat diketahui besarnya pengaruh dari variabel independen terhadap keberhasilan pemekaran. Setelah dilakukannya perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6 didapatkan hasil variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan pemekaran adalah sebagai berikut: Tabel 5.1. Hasil Estimasi Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Variable C PDRBK PAD DAU IPM AK DKK
Coefficient -0,137318 1,38E-05 0,000225 0,000132 -0,001115 3,11E-05 0,172543
t-Statistic -0,517633 10,03624 2,192300 0,680270 -0,317227 0,056558 3,857553 R-squared 0,647381 Adjusted R-squared 0,631592 F-statistic 41,00218 Prob(F-statistic) 0,000000 Keterangan : tanda * menunjukkan signifikan pada α = 5%
Probability 0,6056 0,0000* 0,0301* 0,4975 0,7516 0,9550 0,0002*
Model persamaan regresi untuk faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran adalah sebagai berikut:
60
Y=
-0,137318 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU – 0,001115*IPM – 3,11E-05*AK + 0,172543*DKK ............................... (5.1) Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6
diperoleh variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran (Y) yaitu PDRB per kapita, PAD, dan dummy kabupaten dan kota. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya probabilitas ketiga variabel independen tersebut, yaitu 0,000 untuk PDRB per kapita, 0,0301 untuk PAD, 0,0002 untuk dummy kabupaten dan kota. Nilai-nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf nyata (α) lima persen. Nilai koefisien dari variabel PDRB per kapita adalah 1,38E-05, artinya setiap terjadi penambahan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah, akan meningkatkan keberhasilan pemekaran sebesar 0,0000138 satuan, ceteris paribus. Hipotesis penelitian ini adalah PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PDRB per kapita menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, sejauh tingkat kemerataannya cukup merata. Sehingga hasil penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesisnya, yang ditunjukkan dengan koefisien yang bernilai positif. Selain itu, tujuan dilakukannya pemekaran wilayah yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Meningkatnya PDRB per kapita setiap tahunnya (lampiran 2) merupakan gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat juga telah meningkat, terutama apabila tingkat pemerataannya cukup merata. Berdasarkan hasil Simposium Nasional Akuntansi yang diadakan di Makassar tanggal 26-28 Juli 2007, disebutkan bahwa daerah yang memiliki
61
tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki tingkat PDRB per kapita yang lebih baik. PAD merupakan salah satu sumber pembelanjaan daerah, sehingga peningkatan PAD mengakibatkan dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula, sehingga pemerintah daerah akan berinsisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu. Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah. Oleh karena itu, daerah tidak akan berhasil bila daerah tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun terjadi peningkatan penerimaan PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa diindikasikan adanya eksploitasi PAD terhadap masyarakat secara berlebihan tanpa memperhatikan peningkatan produktifitas masyarakat itu Variabel PAD memiliki nilai koefisien sebesar 0,000225, artinya setiap terjadi peningkatan PAD sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan keberhasilan pemekaran sebesar 0,000225 satuan, ceteris paribus. Hipotesis penelitian ini adalah PAD memiliki pengaruh yang positif terhadap keberhasilan pemekaran wilayah, sebab PAD menunjukkan kemandirian daerah. Hasil penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesis, yang ditunjukkan dengan koefisien PAD yang positif. Semakin tinggi persentase PAD terhadap total pemasukan daerah maka wilayah tersebut semakin mandiri. Nilai PAD hampir di semua DOB terus meningkat setiap tahunnya (lampiran 3). Sehingga persentase PAD terhadap
62
pemasukan daerah juga terus meningkat, walaupun peningkatan tersebut tidak terlalu besar. Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan kemandirian daerah setiap tahunnya. Sayangnya saat ini persentase PAD terhadap pendapatan daerah sangat kecil, yaitu kurang dari sepuluh persen, sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi. Untuk itu setiap daerah perlu mengupayakan peningkatan PAD melalui kewenangan yang telah diberikan oleh pusat, sehingga PAD yang dihasilkan dapat meningkat. Namun perlu dicermati bahwa peningkatan PAD ini harus sesuai dengan peraturan, terutama bila PAD tersebut ditingkatkan melalui pajak dan retribusi. Hal ini karena banyak sekali peraturan mengenai pajak dan retribusi di setiap daerah yang tidak sesuai dengan aturan dan saling bertentangan dengan peraturan yang sudah ada. Keberadaan perda tersebut dapat merugikan masyarakat terutama pihak pengusaha, karena beban biaya produksi menjadi meningkat. Peningkatan PAD dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan, khususnya yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah yang dititikberatkan pada penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan meningkatkan kontribusi pendapatan dari Badan Usaha Milik Daerah terhadap pendapatan daerah. Jenis pemekaran ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran. Dummy 0 (nol) dalam penelitian ini menggambarkan bentuk daerah kabupaten, sedangkan dummy 1 (satu) menggambarkan bentuk
63
daerah kota. Sehingga dihasilkan persamaan keberhasilan pemekaran untuk kabupaten adalah: Y = -0,137318 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU – 0,001115*IPM – 3,11E-05*AK ............................................................... (5.2) Sementara persamaan keberhasilan pemekaran untuk kota adalah : Y=
0,035225 + 1,38E-05*PDRBK + 0,000225*PAD + 0,000132*DAU – 0,001115*IPM – 3,11E-05* AK.............................................................. (5.3)
Berdasarkan persamaan tersebut, maka dapat digambarkan grafik sebagai berikut : Y
X
Gambar 5.1. Keberhasilan Pemekaran Kabupaten dan Kota Apabila dilihat dari persamaan 5.2 dan persamaan 5.3, dan diasumsikan bahwa variabel independen lain bernilai sama, maka daerah kota yang akan memiliki keberhasilan yang lebih tinggi (dalam grafik ditunjukkan dengan kurva kota yang berada di atas kurva kabupaten). Hal ini sesuai dengan teori bahwa kota lebih berhasil dibandingkan kabupaten. Adapun variabel-variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran adalah:
64
a. Dana Alokasi Umum (DAU) DAU merupakan dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk mengalokasikan DAU menurut DJPK KEMENKEU dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal pemerintah daerah. Formula DAU yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan model alokasi IRA (Internal Revenue Allotment) yang merupakan bentuk dana transfer di Filipina, dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja (menggunakan variabel luas wilayah dan jumlah penduduk). Formula DAU juga berbeda dengan alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya hanya berdasarkan kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal daerah). Disebutkan pula dalam Undang-Undang No. 33/2004 bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Masih adanya belanja pegawai dalam formula DAU, mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya, dengan tidak mempertimbangkan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran daerah, karena DOB beranggapan bahwa sebagai daerah yang baru mekar membutuhkan pegawai yang banyak dan
65
pembiayaannya akan dijamin oleh alokasi DAU. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa DAU tidak berpengaruh secara segnifikan. Anggapan bahwa DOB memerlukan jumlah pegawai yang banyak membuat pemekaran wilayah sering kali dianggap sebagai salah satu jalan keluar dari masalah ketenagakerjaan dan memperluas kesempatan kerja. Sehingga pemerintah daerah terus berusaha untuk menambah jumlah pegawai negerinya. Penambahan jumlah pegawai negeri yang terus dilakukan oleh pemerintah daerah membuat jumlah DAU yang diterima menjadi terus meningkat setiap tahunnya. Akibatnya, akan sulit untuk mengurangi jumlah DAU sebab pemerintah daerahnya pun terus berupaya agar DAU yang diterima terus meningkat jumlahnya. Hal ini lah yang membuat DAU tidak sesuai dengan hipotesis, dimana hipotesisnya yaitu DAU akan berpengaruh negatif, namun dari hasil regresi DAU memiliki hubunga yang positif. Selain itu, alasan lain yang membuat DAU tidak berpengaruh secara segnifikan terhadap keberhasilan pemekaran adalah bahwa perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya. Seperti yang disebutkan disebutkan dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, saat ini perhitungan kebutuhan fiskal masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), seperti jumlah penduduk, luas wilayah, IPM dan PDRB. b. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) IPM terdiri atas angka melek huruf, rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan besarnya pengeluaran riil per kapita. Jika dilihat dari nilai, maka IPM
66
memiliki nilai terus meningkat setiap tahunnya (Tabel 5.2). Namun jika dilihat dari nilainya, maka IPM kabupaten/kota hasil pemekaran sekitar 60 persen. Nilai ini masih jauh dari angka 100, sehingga dapat disimpulkan angka pembangunan manusia masih kecil. Seperti yang disebutkan dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, nilai IPM yang dikeluarkan oleh BPS merupakan angka proxy. Angka ini bisa saja tidak sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga mengakibatkan hubungan IPM dan keberhasilan menjadi tidak sesuai dengan hipotesis. Jika dilihat dari masing-masing komponen pembentuknya, AMH menggambarkan kemampuan masyarakat untuk membaca dan menulis. Namun saat ini kemampuan membaca dan menulis saja bukan merupakan syarat cukup untuk
mendapatkan
pekerjaan
yang
layak.
Sehingga
walaupun
AMH
menunjukkan angka yang tinggi, namun hal ini tidak menjamin masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan yang layak bila tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Jika dilihat berdasarkan rata lama sekolah, maka wajib belajar sembilan tahun belum terpenuhi. Sehingga dapat disimpulkan tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Standar AHH yang ditetapkan adalah 85 tahun. Apabila dilihat berdasarkan Tabel 5.2, maka AHH dari DOB masih dibawah 70 setiap tahunnya, sehingga nilai AHH belum mencapai standar pembangunan manusia. Dapat disimpulkan dari ketiga variabel pembentuk IPM, maka hanya AMH yang memiliki nilai yang tinggi, namun AMH yang tinggi saja bukan merupakan syarat cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Dengan
67
kondisi seperti ini, wajar bila IPM bukan merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap model. Tabel 5.2. Nilai IPM DOB dan Komponen Pembentuknya (Persen) Tahun IPM AHH RLS AMH 2005 67.21 66.89 7.22 90.21 2006 68.01 67.24 7.38 91.40 2007 68.87 67.46 7.94 91.87 2008 69.18 67.62 7.52 91.76 2009 69.63 67.81 8.07 92.12 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005-2009 (diolah) c. Angka Kemiskinan Pada Lampiran 6 terlihat bahwa angka kemiskinan di setiap kabupaten bersifat fluktuatif. Walaupun secara agregatif angka kemiskinan terus berkurang, namun hanya sedikit daerah yang selalu berkurang jumlah penduduk miskinnya setiap tahun. Selain itu, persentase perubahan angka kemiskinan di setiap kabupaten/kota
tidak terlalu
tinggi.
Jika
dilihat
dari
program-program
pemberantasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, maka tidak sedikit program yang belum berhasil dilaksanakan. Contoh program tersebut adalah beras miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT). Pada penyaluran kedua proram tersebut masih banyak terjadi permasalahan seperti tidak tepat sasaran, jumlah, waktu, maupun pelanggaran lain yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sebagai penyalur. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan daerah dalam penyaluran bantuan untuk masyarakat miskin menjadikan angka kemiskinan menjadi tidak signifikan. Seperti yang disebutkan dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, selain nilai IPM, nilai angka
68
kemiskinan yang juga dikeluarkan oleh BPS merupakan angka proxy. Angka ini bisa saja tidak sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga mengakibatkan hubungan angka kemiskinan dan keberhasilan menjadi tidak sesuai dengan hipotesis.
5.2. Pengujian Model dan Hipotesis 5.2.1.
Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Dari hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pemekaran kabupaten/kota di
Indonesia pada Tabel 5.1, diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 65 persen. Artinya sebesar 65 persen variasi variabel dependen (keberhasilan pemekaran) dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel independennya, yaitu PDRB per kapita, PAD, DAU,
IPM, angka kemiskinan dan lokasi pemekaran. Sementara 35 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar persamaan atau model yang digunakan. Jika dihubungkan sengan penelitian yang telah dilakukan oleh BAPPENAS, maka faktor-faktor lain dapat berupa kinerja pemerintah daerah dan kinerja pelayanan publik yang memang tidak dibahas dalam penelitian ini. 5.2.2.
Pengujian Hipotesis Nilai probabilitas F-statistik (0,0000) lebih besar dari taraf nyata lima persen
(Lampiran 9). Maka model yang digunakan dalam penelitian ini sudah lulus uji-F. Artinya, variabel-variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya, yaitu keberhasilan pemekaran. Uji t-statistik dapat dilakukan dengan melihat nilai P value dari masing-masing variabel independen yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Hasilnya menunjukkan
PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran berpengaruh secara signifikan terhadap model faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran wilayah
69
kabupaten/kota di Indonesia. Sementara
variabel
DAU,
IPM,
dan
angka
kemiskinan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap model faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai probabilitas dari masing-masing variabel tersebut yang lebih besar dari taraf nyata lima persen. 5.2.3. 5.2.3.1.
Pengujian Asumsi Model Uji Normalitas Uji Normalitas dilakukan dengan melihat nilai probability Jarque Bera. Pada
Lampiran 10 diperoleh bahwa nilai probability Jarque Bera sebesar 0,962157. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata lima persen, artinya error term terdistribusi normal. 5.2.3.2.
Uji Multikolinearitas Ciri-ciri dari adanya maslah multikolinearitas adalah nilai R2 tinggi tetapi banyak
variabel independen yang tidak signifikan. Dari Tabel 5.1. terlihat bahwa nilai R2 tidak terlalu besar, yaitu 65 persen dan variabel yang signifikan jumlahnya sama dengan variabel yang tidak signifikan. Selain itu jika dilihat pada Lampiran 8, tidak terlihat korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari │0.8│. Sehingga dapat disimpulkan dalam model yang digunakan tidak terjadi masalah multikolinearitas. 5.2.3.3.
Uji Heteroskedastisitas Pengujian
terhadap
masalah
heteroskedastisitas
dapat
dilkukan
dengan
menggunakan uji Breusch Pagan Godfrey. Tujuan dari dilakukannya uji ini yaitu untuk melihat apakah ragam sisaan (εi) sama atau homogen. Hasil pengujian pada Lampiran 11 dengan menggunakan uji tersebut menunjukkan nilai probabilitas obs*R-Squared sebesar 0.7894. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata lima persen, sehingga dapat
70
disimpulkan bahwa ragam pada model yang digunakan adalah homogen, atau tidak mengalami masalah heteroskedastisitas. 5.2.3.4.
Uji Autokorelasi Salah satu asumsi dari model regresi linier adalah tidak ada autokorelasi atau
sisaannya menyebar bebas. Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Dari hasil uji autokorelasi, didapatkan nilai probabilitas obs*R-Squared pada model persamaan sebesar 0.0656. Nilai ini lebih
besar dari taraf nyata lima persen, artinya model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi (Lampiran 12).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Kondisi ekonomi DOB pada lima tahun awal pemekaran dianalis dengan melihat perkembangan PDRB per kapita, PAD, Dana Perimbangan, IPM, dan angka kemiskinan. PDRB per kapita meningkat setiap tahunnya, artinya tingkat kesejahteraan masyarakat juga ikut meningkat. Di DOB, PAD meningkat namun peningkatan ini tidak diimbangi dengan penurunan dana perimbangan. Bahkan peningkatan PAD lebih kecil dibandingkan peningkatan Dana Perimbagan. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan fiskal DOB masih tinggi. IPM meningkat dan angka kemiskinan berkurang, hal ini membuktikan tingkat pemerataan semakin baik setiap tahunnya. Secara umum kota memang lebih berhasil dibandingkan kabupaten, terutama dari sisi keberhasilan pemekaran, IKE, PAD, DAU, IPM, dan Angka Kemiskinan. Jika dilihat dari sektor pembentuk PDRB, maka kabupaten masih didominasi oleh sektor primer, sedangkan kota didominasi oleh sektor sekunder. Sejak tahun 1999 hingga bulan Juni tahun 2009, sebanyak 208 kabupaten dan kota telah memekarkan diri. Penilaian keberhasilan dilakukan terhadap daerah-daerah yang telah melaksanakan pemekaran lebih dari lima tahun, sehingga didapatkan 141 daerah yang telah mekar pada tahun 1999-2003. Dari hasil penelitian didapatkan daerah yang berhasil dalam pemekaran sebanyak 57 daerah, dan besar persentase keberhasilan seluruh kabupaten/kota hanya 40 persen. Hal ini berarti desentralisasi belum dapat berjalan dengan maksimal.
72
Berdasarkan hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pemekaran, terdapat tiga variabel yang memengaruhi secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran. Ketiga variabel tersebut adalah PDRB per kapita, PAD, dan jenis pemekaran. Sementara variabel lain yang tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pemekaran adalah DAU, IPM, dan angka kemiskinan. 6.2. Saran Melihat dari hasil analisis regresi yang telah dilakukan, maka saran dari penelitian ini yaitu: 1. Perlu ditingkatkan kinerja perekonomian dari daerah otonom baru, terutama untuk daerah yang belum berhasil dalam pemekaran. Peningkatan kinerja ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah PDRB per kapita dan PAD dari daerah dengan menggunakan hak yang telah diberikan oleh pemerintah pusat. Namun perlu diperhatikan aturan-aturan yang berlaku, sehingga apabila suatu daerah ingin menerapkan kebijakan baru guna terjadinya penningkatan PDRB per kapita dan PAD, maka aturan tersebut tidak akan saling bertentangan dengan aturan lain yang sudah ada terlebih dahulu. 2. Pada penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penilaian keberhasilan tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Evaluasi dan penilaian keberhasilan juga perlu mencakup sisi keuangan, pelayanan publik, dan aparat pemerintah. Jika hal ini dilakukan, maka penilaian keberhasilan akan lebih menyeluruh dan hasilnya dapat digunakan sebagai acuan yang lebih tepat dalam menilai keberhasilan.
73
Namun pencarian data akan lebih sulit dilakukan terutama jika hanya mengandalkan data sekunder. 3. Kegagalan dalam pemekaran wilayah juga disebabkan karena adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Sehingga, apabila ingin meningkatkan keberhasilan dan kinerja daerah, perlu adanya transparansi kebijakan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat, sehingga tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian. Archie. 2 Maret 2010. Presiden: Desentralisasi Merupakan Amanah Reformasi. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2010/03/02/5177 .html [3 Pebruari 2010]. Agustiar, Dwi R. 14 Juli 2010. Presiden Ungkap 80% Pemekaran Wilayah Gagal. http://www.tempointeraktif.com [30 November 2010]. Bachrul, Elmi. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Jakarta: UI-Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuasin dan BAPPEDA. 2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Banyuasin. Banyuasin: Badan Pusat Statistik. http://www.banyuasinkab.go.id [9 April 2011]. Badan Pusat Statistik. 2000 – 2008. Tabel Produk Domestik Regional Bruto per Kabupaten atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha. (tidak diterbitkan). __________________. 2002 – 2009. Data dan Informasi Kemiskinan Buku II: Kabupaten. Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________. 2005 – 2010. Indeks Pembagunan Manusia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. BAPPENAS-UNDP. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah. Jakarta: BRIDGE. Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan KEMENKEU. 2000-2009. Alokasi DAU. http://www.djpk.depkeu.go.id [2 Maret 2011]. ________________________________________________. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. http://www.djpk.depkeu.go.id/ document.php/document/article/395/708/ [3 Juli 2011]. Ditjen Otonomi Daerah KEMDAGRI. 2009. Daftar Daerah Otonom Baru Pembentukan Tahun 1999-2009 (205 Daerah). http://www.kppod.org [2 Pebruari 2011].
75
_________________________________. 2009a. Grand Strategi Penataan Daerah Sangat Urgen dan Mendesak. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 5-9. _________________________________. 2009b. Modus TPK dalam Penyalahgunaan Anggaran Daerah. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 33-34. _________________________________. 2009c. Perda-Perda “Ngawur” akan Menggagalkan Cita-Cita Otonomi Daerah. Jurnal Otonomi Daerah Vol. IX No. 1 Februari-Maret 2009 : 46-50. [DPR] Dewan Perwakilan Rakyat RI. 1999. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. ______________________________. 1999. Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ______________________________. 2000. Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. ______________________________. 2004. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. ______________________________. 2004. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ______________________________. 2007. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ______________________________. 2007. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Effendy, Arif R. 19 Mei 2008. Pemekaran Wilayah Kabupaten dan Kota. www.dsfindonesia.org [5 Pebruari 2010]. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara.
76
Fitriani, Fitria, Hofman B. dan Kai K. 2005. Unity in Diversity ? The Creation of New Local Government in a Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesia Studies. Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometrics, 3th edition. New York: The McGrawHill Companies. Harianto, David dan Adi, Priyo H. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di UNHAS Makassar. Salatiga: FE Universitas Kristen Satya Wacana. Hastuti. Desember 2007. Efektivitas Pelaksanaan Raskin. Hasil evaluasi Lembaga Penelitian SMERU. www.smeru.or.id [5 Oktober 2010]. Hermawan, Agus. 16 Agustus 2007. Kegamangan Otonomi Daerah. dalam: Kompas. www.docstoc.com/docs/21399449/ Kegamangan-OtonomiDaerah [4 Pebruari 2010]. Hirawan, Susiyati B. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pengukuhan pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi. Jakarta: FE Universitas Indonesia. http://web.mac.com/adrianpanggabean/Loose_Notes_on_Indonesia/Decent ralization_and_Local_Finance_files/Prof%20Susiyati%20Hirawan%20(Pi dato%20Pengukuhan).pdf [3 Juli 2011]. Irmawan, Riswandha. 2002. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance. dalam: Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Karimi, Ahmad F. 1 Desember 2010. Desentralisasi Pasca Reformasi. http://ahmadfk.wordpress.com/ [4 Pebruari 2010]. [KEMDAGRI]Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. ____________________________________. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2010 tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
77
____________________________________. 2011. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran tahun 1999-2009. Laode, Ida. 22 Maret 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. dalam: Media Indonesia. Mardiasmo. 2009. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi: 2005-2008. dalam: Era Baru Kebijakan Fiskal hal 561-578. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Nurkholis dan Nazara S. 2007. Ukuran Optimal Pemerintaha Daerah di Indonesia: Studi Kasus Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota dalam Era Desentralisasi. dalam Jurnal Ekonomi dan Pembagunan Indonesia, Vol. VII No. 02, Januari 2007. http://isjd.pdii.lipi.go.id [23 April 2011]. Percik, Institute for Social Research, Democracy, and Social Justice . 2007. Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton. http://www.drsp-usaid.org [4 Pebruari 2011]. Ratnawati, Tri. 12 Februari 2010. Evaluasi Pemekaran Daerah dan Saran Perbaikan ke Depan. www.jurnalnasional.com [4 Pebruari 2010]. Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia. Santosa, Purbayu B dan Rahayu R. 2005. Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kediri. dalam: Dinamika Pembangunan Vol. 2 No.1/Juli 2005: 9-18. http://eprints.undip.ac.id [28 Januari 2011]. Sarundajang. 2003. Birokrasi dalam Otonomi Daerah : upaya mengatasi kegagalannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sinaga, Bonar M. dan Siregar, H. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan, Antonius. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah. dalam: Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 01: 22-26. UNDP. 1995. Human Development Report. New York: Oxford University.
78
UNPAD-DPD. 2009. Pola Hubungan Antara Pusat dan Daerah. Bandung: Pusat Studi Kajian Negara Fakultas Hukum UNPAD. USAID. 2006. Membedah Reformasi Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: Democratic Reform Support Program. Wagiyo. 2009. Tiga Syarat Pemekaran Wilayah. dalam: Lesung edisi Maret: 5-7. http://desentralisasi.net/ [28 Januari 2011]. Winarno, Wing Wahyu. 2002. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Bogor: M-BRIO Press.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai IKE dan Tabel Keberhasilan kabupaten/Kota No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Daerah Induk Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Utara Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Utara Kab. Aceh Timur Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Tenggara Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Timur Kab. Aceh Tengah Kab. Tapanuli Selatan Kab. Nias Kab. Dairi Kab. Tapanuli Utara Kab. Deli Serdang Kab. Toba Samosir Kab. Padang Pariaman Kab. Pariaman Kab. Sawah Lunto/Sijunjung Kab. Solok Kab. Pasaman Indragiri Hulu Kampar Kampar Bengkalis Bengkalis Bengkalis Kab. Kerinci Kab. Bungo Tebo (Bungo) Kab. Batanghari Kab. Tanjung Jabung (Barat)
IKE 1.018 0.986 0.830 1.049 1.048 1.031 1.031 1.244 1.145 1.146 1.223
Daerah Otonom Baru Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah
IKE 1.004 1.078 0.872 1.484 1.294 1.040 1.054 0.996 1.069 1.175 1.111
Kriteria Tidak Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil
1.138 Kota Padang Sidempuan 1.087 Kab. Nias Selatan 1.354 Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang 1.305 Hasundutan 1.768 Kab. Serdang Bedagai 1.389 Kab. Samosir
1.342 Berhasil 1.455 Tidak Berhasil 1.157 Tidak Berhasil
1.398 Kab. Kep Mentawai 1.445 Kota Pariaman
1.262 Tidak Berhasil 1.548 Berhasil
1.430 1.429 1.378 1.419 1.474 1.474 1.655 1.655 1.655 1.544
1.421 1.331 1.523 1.279 1.433 1.288 1.489 1.609 1.771 1.308
Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun
1.476 Kab. Tebo 1.360 Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung 1.501 Timur
1.376 Berhasil 1.001 Tidak Berhasil 1.193 Tidak Berhasil
Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil
1.461 Tidak Berhasil 1.516 Berhasil 1.472 Tidak Berhasil
81
No. 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
Daerah Induk Kab. Muara Enim Kab. Lahat Kab. Musi Rawas Kab. Musi Banyuasin Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Bengkulu Utara Kab. Rejang Lebong Kab. Rejang Lebong Kab. Bengkulu Selatan Kab. Bengkulu Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Lampung Tengah Kab. Lampung Tengah Kab. Bangka Kab. Bangka Kab. Bangka Kab. Belitung Kab. Kep Riau (Bintan) Kab. Kep Riau (Bintan) Kab. Kep Riau (Bintan) Kab. Bintan Kab. Bintan Kab. Bogor Kab. Bandung Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Malang Kab. Serang Kab. Bima
IKE 1.369 1.071 1.005
Daerah Otonom Baru Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau
IKE 1.437 1.338 1.296
Kriteria Berhasil Berhasil Berhasil
1.170 Kab. Banyuasin
1.365 Berhasil
1.410 Kab. OKU Selatan
1.304 Tidak Berhasil
1.410 Kab. OKU Timur
1.380 Tidak Berhasil
1.272 Kab. Ogan Ilir
1.264 Tidak Berhasil
1.381 Kab. Muko-Muko 1.601 Kab. Lebong 1.601 Kab. Kepahiang
1.345 Tidak Berhasil 1.380 Tidak Berhasil 1.401 Tidak Berhasil
1.085 Kab. Kaur
0.999 Tidak Berhasil
1.085 Kab. Seluma
1.048 Tidak Berhasil
1.076 Kab. Way Kanan
0.999 Tidak Berhasil
1.431 Kab. Lampung Timur
1.171 Tidak Berhasil
1.431 1.737 1.737 1.737 1.589
1.404 1.660 1.669 1.973 1.530
Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur
Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil
1.433 Kab. Karimun
1.564 Berhasil
1.433 Kab. Natuna
1.566 Berhasil
1.433 1.539 1.617 1.494 1.456 1.253 1.368 1.341 1.528 1.176
2.369 1.500 1.138 1.539 1.510 1.444 1.438 1.422 1.885 1.344
Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima
Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil
82
No. 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
Daerah Induk Kab. Sumbawa Kab. Flores Timur Kab. Kupang Kab. Manggarai Kab. Sambas Kab. Pontianak Kab. Bengkayang Kab. Sintang Kab. Sanggau Kab. Kotawaringin Timur Kab. Kotawaringin Timur Kab. Kotawaringin Barat Kab. Kotawaringin Barat Kab. Kapuas Kab. Kapuas Kab. Barito Utara Kab. Barito Selatan Kab. Banjar Kab. Kotabaru Kab. Hulu Sungai Utara Kab. Bulungan Kab. Bulungan Kab. Kutai Kab. Kutai Kab. Kutai Kab. Pasir Kab. Kep. Sangihe Talaud Kab. Minahasa Kab. Minahasa Kab. Minahasa Kab. Buol Toli-Toli (Toli-Toli) Kab. Poso Kab. Banggai Kab. Donggala Kab. Poso
IKE 1.182 1.326 1.056 0.992 1.449 1.697 1.411 1.383 1.612
Daerah Otonom Baru Kab. Sumbawa Barat Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau
IKE 2.345 0.898 0.982 1.113 1.290 1.114 1.481 1.242 1.429
Kriteria Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
1.705 Kab. Katingan
1.548 Tidak Berhasil
1.705 Kab. Seruyan
1.518 Tidak Berhasil
1.659 Kab. Sukamara
1.526 Tidak Berhasil
1.659 1.720 1.720 1.540 1.495 1.619 1.805
Kab. Lamandau Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu
1.506 1.453 1.437 1.538 1.443 1.528 1.676
Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
1.399 1.200 1.200 1.578 1.578 1.578 1.580
Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara
1.528 1.230 1.198 1.439 1.744 1.681 1.299
Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Berhasil Tidak Berhasil
1.277 1.610 1.610 1.610
Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara
1.333 1.524 1.439 1.544
Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
1.262 1.066 1.402 1.443 1.191
Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una
1.096 1.169 1.096 1.439 1.068
Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
83
No. 99 100 101 102
122 123 124
Daerah Induk Kab. Luwu Kab. Luwu Kab. Luwu Utara Kab. Buton Kab. Kendari (konawe) Kab. Buton Kab. Buton Kab. Kolaka Kab. Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Polmas Kab. Mamuju Kab. Maluku Tengah Kab. Maluku Tenggara Kab. Maluku Tengah Kab. Maluku Tengah Kab. Maluku Tenggara Kab. Maluku Utara (Halmahera Barat) Kab. Halmehera Tengah Kab. Halmehera Barat Kab. Halmehera Barat Kab. Halmehera Barat Kab. Halmehera Tengah Kab. Sorong Kab. Sorong
125 126 127 128 129
Kab. Sorong Kab. Manokwari Kab. Manokwari Kab. Fak-Fak Kab. Nabire
103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
IKE 1.191 1.255 1.346 1.193
Daerah Otonom Baru Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau
IKE 1.310 1.389 1.651 1.389
Kriteria Berhasil Berhasil Berhasil Berhasil
1.293 1.285 1.285 1.556 1.536 1.506 1.270 1.534 1.921
Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara
1.421 1.320 1.245 1.259 1.209 1.301 1.348 1.267 1.667
Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
1.133 Kab. Buru Kab. Maluku Tenggara 0.948 Barat
0.990 Tidak Berhasil
1.100 Kab. Seram Bagian Barat
0.947 Tidak Berhasil
1.100 Kab. Seram Bagian Timur
0.847 Tidak Berhasil
0.919 Kab. Kepulauan Aru
0.882 Tidak Berhasil
1.748 Kota Ternate
1.703 Tidak Berhasil
1.144 Kota Tidore Kepulauan
1.558 Berhasil
1.345 Kab. Halmehera Selatan
1.600 Berhasil
1.345 Kab. Halmehera Utara
1.661 Berhasil
1.345 Kab. Kepulauan Sula
1.526 Berhasil
1.144 Kab. Halmehera Timur 0.969 Kota Sorong 1.122 Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja 1.122 Ampat 0.979 Kab. Teluk Bintuni 0.979 Kab. Teluk Wondama 1.018 Kab. Kaimana 0.789 Kab. Paniai
1.309 Berhasil 1.008 Berhasil 1.105 Tidak Berhasil
0.863 Tidak Berhasil
1.133 0.779 0.688 1.133 0.565
Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil
84
No. 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
Daerah Induk Kab. Fak-Fak Kab. Jayawijaya Kab. Jayapura Kab. Jayapura Kab. Jayawijaya Kab. Jayawijaya Kab. Jayawijaya Kab. Yapen Waropen Kab. Merauke Kab. Merauke Kab. Merauke Kab. Biak Numfor
Total DOB Berhasil Persentase
IKE 0.882 0.619 1.104 1.104 0.615 1.030 0.615
IKE 2.890 0.521 1.070 1.122 0.656 0.608 0.734
Kriteria Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Berhasil
Kab. Waropen 0.721 Kab. Boven Digoel 1.229 Kab. Mappi 1.020 Kab. Asmat 0.993 Kab. Supiori 0.787 Total DOB Belum 57 daerah Berhasil 40% Persentase
Tidak Berhasil Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil
0.776 1.196 1.196 1.196 0.828
Daerah Otonom Baru Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara
84 daerah 60%
85
Lampiran 2. PDRB per Kapita (Ribu Rupiah) DOB Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah Kota Padang Sidempuan Kab. Nias Selatan Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang Hasundutan Kab. Serdang Bedagai Kab. Samosir Kab. Kep Mentawai Kota Pariaman Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun Kab. Tebo Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau Kab. Banyuasin Kab. OKU Selatan
1 3695.502 4658.889 2704.471 11962.03 6717.868 4412.59 6078.12 4084.84 4336.98 4699.11 8001.6 5812.56 4746.77 4947.73 7317.82 7850.01 7798.82 5609.853 8716.6 6707.44 5126.77 7961.74 6824.914 10371.07 4402.664 5474.781 5593.927 7906.174 3289.074 2401.056 2450.764 3487.214 5881.134 4649.24 5061.325 4684.18 3825.2
PDRB per kapita 2 3 4090.776 5323.695 3072.08 11736.14 5862.4 5758.09 10116.08 5654.74 6585.78 5407.62 7990.87 6504.33 5398 5470 9023 8498 8433 6367.501 9585.66 7811.24 5598.46 9413.33 8908.625 15747.87 6007.783 6911.881 7978.96 13489.2 3610.203 2783.825 2605.735 4041.884 6302.12 5140.16 5416.45 5074.11 4324.84
4498.747 5758.56 3379.996 14886.89 6811.86 5914.32 10168.57 6063.33 6866.28 5792.87 10152 6388 5725 5961 10052 9386 9157 7228.567 12335.07 8884 6359 10880 11280.92 20523.32 9091.963 7847.543 9107.865 16303.65 4027.101 3228.326 2872.581 4518.274 7047.48 5593.05 5968.62 5612.34 5222
4
5
3443.03 6130.61 2886.99 15207.41 7279.37 6926 12375 7638 7366 6546 10318 7263 6222 5967 11228 10392 9813 7678.28 14497 10180 7067 12556 13552.34 21185.4 10583.58 8191.51 10600.5 19809.34 4955.2 3995.11 3382.18 5249.35 8109.46 6197.45 6597.73 6471 5916
4482.29 6818 3390.3 17587 7623 7893 15353 8041 8089 6725 11941 8166 6797 6303 12770 11848 10585 8431.86 15972 11663 8074 14661 17362.9 24474.64 12820.78 9141.5 12982.05 24476.67 5745.32 4610.49 4201.24 6095.95 9364 6832 7289 7380 6810
86
DOB Kab. OKU Timur Kab. Ogan Ilir Kab. Muko-Muko Kab. Lebong Kab. Kepahiang Kab. Kaur Kab. Seluma Kab. Way Kanan Kab. Lampung Timur Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur Kab. Karimun Kab. Natuna Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima Kab. Sumbawa Barat Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau Kab. Katingan Kab. Seruyan Kab. Sukamara Kab. Lamandau
1 4135.99 4800.35 4569.96 5978.2 6114.26 2692.85 2252.73 2479.209 2779.983 2745.154 8901 11273 20392 10717 6881.584 5526.404 36569.81 11969.09 6563.84 3051.692 10874.8 3937.337 4262.2 5314.957 22506.17 3574.29 90152.41 1236.44 2936.42 2596.75 4009.392 4431.487 6626.903 3274.18 3477.74 9506.65 11219.78 16038.04 10166.75
PDRB per kapita 2 3 4681.61 5328.71 5437.72 7156.97 7581.67 3006.38 2760.79 2760.166 3280.602 2997.278 10139 13443 22533 13570 8209.482 6977.508 38667.14 11890.61 7396.86 3470.917 11820.11 6054.19 4779.83 6039.74 26258.81 3916.11 99512 1439.32 3145.31 3007 4590.558 4666.446 6619.65 3531.67 3917.36 10117.74 12565.98 17139.36 11098.56
5434 5972 5979 7899 8454 3212 3120 2957.154 3631.115 3306.663 11107 14390 24289 15124 9424.87 8253.41 38302.72 13535.94 7870 3957.922 12178.95 6574.86 5955.57 6910.01 30027.94 4299 105938 1705.12 3182 3029 3992.047 5394.319 7325.05 3829 4355 11213.69 14099.08 19808.56 12867.03
4
5
6351 6664 6540 8716 9428 3508 3488 3152.93 3847.73 3632.32 12112 15603 26441 16786 9637.51 9297.54 36253.92 15658.27 8534 4216.01 13178.55 7921.49 6880 8298.05 31564.11 4708 131172 1671.03 3386 3453 4838.19 4683.94 8364.76 4182 4947 12920 16653 21950 14220
7404 7542 7148 9616 10674 3876 3903 3463.05 4211.65 3949.54 14271 18437 32154 19710 10922.78 11004.33 39973.73 17419 9491 4793.73 14678 9413 7759 9587 35199.87 5313 110337 1860.34 3702 4008 5445.33 5113.11 9285 4598 5472 14111 16428 21498 14024
87
DOB Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara Kab. Buru Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Seram Bagian Barat
1 7566.55 5554.84 11327.18 7530.31 4401.86 14350.45 14578.52 4555.366 9209.298 11108.97 35819.91 19327.18 7393.45 4553.28 7242.89 7015.77 7607.25 3300.201 4585.975 2611.385 6412.6 2848.57 9157.101 5589.06 21562 4400.608 3953.72 3662.26 2456.44 9386.69 2662.626 3142.81 4173.14 3635.8 5570.73 1690.196
PDRB per kapita 2 3 8414.02 5920.04 12775.81 8510.08 5159.543 15871 15064 5642.17 10974 12336.13 44336.18 21084.57 7745.93 5263.81 8243 8152 8477 3923.558 5239.268 3071.768 7105.53 3191.07 8967.32 6175 24274 5257.79 4816.69 4878.3 3629.55 10889.91 2891.313 3677 4611 3900.55 6149.38 1867.904
4
5
9580.62 10306 10434 6416.53 7183 7781 14736.69 16238 16309 9677.22 11386 11932 5254.575 5537.61 5915.1 16247 18490 20905 17111 18518 19963 6184.997 6651.06 7462.7 13234.15 12486.08 13852.6 14889.55 17048.34 19244.07 41947.47 36828.1 56034.67 22880.68 29318.37 29128.66 8224.38 9092 10073 6034 7024 7609 10143 10952 12638 8476 9594 10890 9101 10164 11659 4390.426 4541.02 4956.34 5830.132 6352.7 6985.43 3418.598 3609.16 3971.49 8415.83 9601 10994 3479 3858 4423 8421.139 9593.01 4331 6912 7628 8412 26358 29005 30152 6058.23 7495.4 8682 4817 5489 6290 4878 5641 6380 3630 4161 4624 11970 13267 13403 3327.175 3223.32 2970.77 4217 4738 5517 5337 6330 7755 4357.92 4801 5431 6873 7936 9370 2045.699 2281.02 2476.69
2142.339 2374.657 2755.561 2200.83 2567 2727
3150.45 3013
3353.64 3342
88
DOB Kab. Seram Bagian Timur Kab. Kepulauan Aru Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kab. Halmehera Selatan Kab. Halmehera Utara Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmehera Timur Kota Sorong Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kab. Paniai Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Supiori Jumlah PDRB per kapita
1
PDRB per kapita 2 3
1690.42 1908 2120 2994.8 3406 3757 2081.108 2123.22 2487.132 2845.39 3091.29 3240 2718.83 2948.01 2991 2368.13 2636.84 2793 2283.32 2465.16 2701 3611.14 3709.22 3793 4660.084 5465.991 6473.099 4477.32 4414.57 4480
4
5
2334 4146 2726.19 3552 3208 2975 2953 4351 5972.36 4941
2521 4567 2808.4 4176 3783 3433 3433 5203 6617.33 5422
8444.29 8032.66 7185 7627 8237 7730.41 8681.68 9819 12037 13458 4829.31 5457.68 6184 7379 9204 8117.02 9064.44 10467 11427 12926 2195.355 2489.012 2851.174 3067.15 3226.93 142893.6 152854.7 135701.3 131898.6 119093.5 2513.402 2635.988 2760.982 4134.75 2939.13 6572.03 9384.92 10938.01 10427 11797 6707.67 7154.57 8245.82 10423 11684 2267.4 1657.44 1858.39 2075 2589 871.93 833.14 935.26 1000 1141 2969.62 3189.73 3596.2 3980 4982 5082.17 5869.78 6695.41 10289 7162 8831.09 13248 16324.5 21571 25693 2302.68 2613.93 3238.89 4537 5629 2096.55 2334.61 2954.66 4128 5356 7187.49 8313.28 14933 20703 24021 1122418 1272965 1379680 1525027 1647349
89
Lampiran 3. Perkembangan PAD DOB (Juta Rupiah) No.
DOB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah Kota Padang Sidempuan Kab. Nias Selatan Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang Hasundutan Kab. Serdang Bedagai Kab. Samosir Kab. Kep Mentawai Kota Pariaman Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun Kab. Tebo Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
2006 5.666 14.195 4.537 19.012 9.814 13.579 8.346 1.777 4.811 7.241 4.691
2007 0.000 15.100 4.028 20.356 15.243 8.466 0.000 4.837 10.212 20.650 0.000
PAD 2008 9.750 22.097 7.001 25.211 21.744 13.830 16.437 6.027 15.000 20.644 6.333
7.262 8.894 0.000
10.081 3.347 2.415
11.400 8.383 3.200
2009 13.160 37.097 20.000 25.010 24.442 19.830 16.791 8.516 15.000 22.896 8.535
2010 13.960 35.000 20.200 26.081 24.970 16.091 17.507 9.431 16.125 22.010 14.020
12.061 9.437 4.778
16.200 14.075 4.379
RataRata 8.507 24.698 11.153 23.134 19.243 14.359 11.816 6.118 12.230 18.688 6.716 11.401 8.827 2.954
6.333 4.578 6.891 13.949 14.203 9.191 21.677 20.018 21.776 25.439 26.418 23.065 0.000 9.193 10.711 23.652 20.994 12.910 12.663 17.580 19.052 22.958 26.285 19.707 7.316 7.532 8.372 8.917 10.030 8.433 12.296 16.198 22.116 37.631 54.670 28.582 7.566 5.979 8.656 15.938 15.591 10.746 14.293 18.312 21.021 24.320 28.068 21.203 21.390 17.195 21.867 24.284 34.305 23.808 24.581 12.444 26.537 21.398 30.623 23.116 21.049 21.762 36.615 25.386 24.734 25.909 40.867 41.469 43.268 37.106 49.001 42.342 71.615 59.037 67.041 105.793 110.891 82.875 140.416 249.921 559.075 385.701 294.725 325.968 9.894 3.149 13.176 20.210 25.001 14.286 11.346 16.957 12.677 16.762 29.000 17.348 6.973 14.877 0.000 15.512 16.796 10.832 9.908 14.904 5.670 15.920
11.863 12.093 4.683 15.515
14.484 15.009 6.277 22.071
17.946 16.826 10.000 25.378
17.067 21.146 12.502 28.830
14.254 15.995 7.826 21.543
90
No. 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
DOB Kab. Banyuasin Kab. OKU Selatan Kab. OKU Timur Kab. Ogan Ilir Kab. Muko-Muko Kab. Lebong Kab. Kepahiang Kab. Kaur Kab. Seluma Kab. Way Kanan Kab. Lampung Timur Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur Kab. Karimun Kab. Natuna Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima Kab. Sumbawa Barat Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau Kab. Katingan Kab. Seruyan
2006 2007 15.904 12.197 7.174 2.922 10.726 9.555 12.975 12.629 0.000 12.000 2.402 8.001 3.768 6.511 2.738 2.637 3.977 21.969 8.404 7.668 16.137 15.032 17.543 17.045 21.626 12.673 8.189 10.000 17.156 18.202 24.976 25.469 60.100 53.800 24.840 38.250 95.147 105.329 24.311 28.003 17.129 5.500 67.218 72.080 50.326 54.659 0.000 0.000 18.542 16.150 0.000 11.341 112.243 102.712 4.970 7.620 11.124 18.456 9.099 9.478 8.758 10.058 7.169 0.000 8.028 7.500 13.046 4.011 16.164 19.273 5.448 7.279 3.157 0.000 18.655 16.265 9.821 8.335
PAD RataRata 2008 2009 2010 15.194 20.005 20.005 16.661 11.503 4.555 6.594 6.550 9.587 11.087 31.717 14.534 16.033 15.252 25.867 16.551 12.058 12.000 25.789 12.369 8.001 11.420 23.895 10.744 9.581 10.666 15.097 9.125 4.861 7.641 11.001 5.776 21.918 9.857 12.465 14.037 8.000 10.423 15.600 10.019 20.729 18.572 20.000 18.094 19.081 18.580 25.179 19.486 20.146 21.466 22.034 19.589 12.000 10.088 17.000 11.455 15.600 19.421 21.847 18.445 27.165 32.924 29.871 28.081 128.084 223.613 236.916 140.502 47.801 13.792 14.344 27.805 129.409 184.208 195.282 141.875 28.552 41.954 46.824 33.929 6.501 29.380 12.021 14.106 80.425 88.872 103.379 82.395 60.199 74.163 78.719 63.613 58.129 60.880 79.762 39.754 24.000 24.400 28.648 22.348 18.104 22.581 30.000 16.405 93.090 128.846 138.393 115.057 8.107 9.728 9.763 8.038 21.984 22.631 36.526 22.144 9.819 11.425 12.508 10.466 14.779 15.700 17.474 13.354 11.617 18.794 23.370 12.190 6.985 8.609 10.282 8.281 5.237 6.820 6.828 7.188 22.686 24.286 28.369 22.156 15.195 17.737 22.141 13.560 6.481 12.393 20.296 8.465 17.251 18.436 27.899 19.701 13.321 13.591 14.719 11.957
91
No.
DOB
75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
Kab. Sukamara Kab. Lamandau Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara Kab. Buru
89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
2006 2007 7.338 5.355 5.466 7.269 0.000 6.000 7.391 6.000 8.530 11.022 4.133 5.101 16.890 16.000 0.000 114.888 6.820 3.228 26.880 23.730 13.741 10.125 18.901 29.948 12.335 20.954 0.000 21.363
PAD 2008 8.675 8.068 10.400 6.412 8.794 9.047 19.635 104.581 4.044 27.412 15.735 34.452 30.696 21.581
2009 9.555 10.334 11.557 10.359 13.023 13.011 23.250 32.623 11.621 37.061 16.743 39.458 59.286 42.241
2010 13.106 11.317 20.423 12.900 20.050 20.068 27.360 52.713 13.653 40.437 60.038 52.344 86.936 42.744
RataRata 8.806 8.491 9.676 8.612 12.284 10.272 20.627 60.961 7.873 31.104 23.276 35.021 42.041 25.586
28.263 5.769 4.808 0.000 5.516 4.637 17.088
27.068 10.061 3.319 5.625 6.202 7.901 8.767
29.082 15.421 3.538 27.983 8.264 10.613 18.603
30.834 7.226 6.992 8.751 11.088 15.539 16.368
46.434 4.487 7.137 7.597 11.081 21.777 35.637
32.336 8.593 5.159 9.991 8.430 12.093 19.293
10.290 7.214 6.787 14.042 15.496 19.656 7.887 0.000 9.752 0.000 4.784 8.986 2.864 9.119 0.000 5.446 4.586
8.082 5.696 5.062 13.500 16.788 31.759 11.461 7.556 4.950 5.185 3.943 7.769 5.003 9.424 4.515 3.927 5.615
8.469 7.599 8.332 14.054 19.422 35.686 14.166 10.668 5.949 10.601 4.552 10.423 5.503 10.428 5.303 4.279 8.500
17.768 7.745 15.395 18.831 19.032 59.125 19.380 11.934 64.751 12.012 8.000 15.099 8.203 12.106 5.094 4.654 9.660
15.000 12.812 16.655 26.706 26.310 49.954 19.799 12.699 10.600 12.881 8.150 15.493 14.403 13.669 5.399 5.285 10.215
11.922 8.213 10.446 17.427 19.410 39.236 14.539 8.571 19.200 8.136 5.886 11.554 7.195 10.949 4.062 4.718 7.715
92
No. 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
DOB Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Seram Bagian Barat Kab. Seram Bagian Timur Kab. Kepulauan Aru Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kab. Halmehera Selatan Kab. Halmehera Utara Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmehera Timur Kota Sorong Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kab. Paniai Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Supiori Jumlah
2006
2007
PAD 2008
5.313
6.861
10.937
23.653
35.232
16.399
5.110
6.241
11.754
14.483
15.314
10.580
1.640 0.000 16.765 5.237
3.289 6.167 17.845 4.143
5.352 7.630 23.075 6.166
7.484 8.086 29.205 8.379
7.484 12.926 31.010 8.436
5.050 6.962 23.580 6.472
18.200 6.101 1.777 27.746 14.886 5.498
23.000 6.134 5.100 3.520 11.618 2.533
41.652 22.000 5.600 23.849 11.619 5.641
77.088 49.479 40.247 156.479 13.544 20.000 24.739 25.953 17.581 17.607 4.436 5.398
41.884 46.192 9.204 21.161 14.662 4.701
3.366 2.968 4.389 5.934 2.979 370.000 6.961 1.724 8.987 2.253 50.355 45.560 4.745 2.776 2.799 2.472 2.723 1.650
4.141 11.241 10.173 1.781 3.695 32.281 7.122 2.605 4.650
8.227 9.268 17.282 35.353 7.681 11.544 8.241 13.971 5.617 10.477 45.434 298.650 13.136 17.538 5.205 4.292 5.000 20.000
5.594 14.840 80.475 6.535 6.206 94.456 9.064 3.475 6.805
2009
2010
RataRata
2.724 2.435 3.951 4.850 7.290 4.250 3.901 0.000 2.500 3.500 7.638 3.508 0.000 0.000 0.000 1.270 7.000 1.654 0.000 700.000 4.740 4.916 4.622 142.856 19.290 5.326 7.463 8.827 6.417 9.464 0.000 5.790 6.659 6.534 12.799 6.356 0.000 8.696 7.207 12.298 16.526 8.945 3.996 5.990 6.000 9.625 2.434 5.609 1892.39 3245.89 3101.42 3611.73 4414.76 3253.24
93
Lampiran 4. Perkembagan IPM DOB DOB Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah Kota Padang Sidempuan Kab. Nias Selatan Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang Hasundutan Kab. Serdang Bedagai Kab. Samosir Kab. Kep Mentawai Kota Pariaman Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun Kab. Tebo Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau Kab. Banyuasin Kab. OKU Selatan
2005 66.5 71.5 65.2 73.1 70.4 66.8 66.3 66.1 66.9 68.3 67.4 73.3 63.9 68.7 69.8 71.2 72.2 67.4 71.3 64.5 65.8 67 71.6 69.2 70.1 75.3 68.6 73.5 70 70.1 70.4 69.4 71.1 69.9 66.3 67.2 68.8
2006 67.17 72.2 66.38 73.8 71.51 67.77 66.88 66.16 67.52 68.73 68.12 73.61 64.51 69.11 70.48 71.55 72.75 67.46 72.6 66.43 67.12 68.26 71.89 69.96 71.01 75.52 70.89 74.55 70.3 70.68 70.89 69.49 71.7 71.06 67.97 68.05 70
IPM 2007 67.97 72.45 67.97 74.65 72.22 68.23 67.66 67.08 68.37 69.17 68.88 73.79 65.06 69.47 70.79 72.2 72.87 67.72 72.82 67.48 67.54 68.84 72.47 71.43 71.43 76.31 71.06 75.15 70.74 70.81 71.59 70.23 72.51 71.7 69.24 68.6 70.28
2008 68.12 72.6 68.6 75 72.79 68.94 68.47 67.17 69.38 69.81 69.77 74.26 65.59 69.95 71.24 72.59 73.24 67.97 73.43 67.99 68.06 69.33 72.95 72.07 71.84 76.91 71.51 75.64 71.36 71.08 71.99 70.61 73.2 72.16 69.69 69.08 70.66
2009 68.29 72.86 68.92 75.54 73.2 69.39 68.74 67.59 69.81 70.5 70.38 74.77 66.27 70.36 71.64 72.94 73.42 68.42 74.05 68.6 68.67 69.87 73.38 72.69 72.29 77.33 71.98 76.05 72 71.34 72.18 71.17 73.69 72.48 70.18 69.45 71.02
94
DOB Kab. OKU Timur Kab. Ogan Ilir Kab. Muko-Muko Kab. Lebong Kab. Kepahiang Kab. Kaur Kab. Seluma Kab. Way Kanan Kab. Lampung Timur Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur Kab. Karimun Kab. Natuna Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima Kab. Sumbawa Barat Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau Kab. Katingan Kab. Seruyan Kab. Sukamara Kab. Lamandau
2005 65.4 66 67.7 66.5 63.8 67.4 63.6 67.4 67.9 74.5 63 67.6 67.6 68.8 71.7 68.4 76.5 72.7 69.4 77.1 73.1 72.1 69.4 71 73.7 64.2 63.4 65.1 62.1 63.2 64.6 64.2 64.7 63.8 64.5 71.3 70.9 70 70.2
2006 67.5 67.24 68.56 67.59 65.35 67.58 64.97 68.08 68.64 75.19 64.29 69.22 67.998 69.49 72 69.2 76.68 72.88 69.85 77.67 73.35 72.27 69.64 71.45 74.11 65.94 65.01 65.6 64.26 63.5 65.7 66.08 65.46 65.97 65.29 71.54 71.44 70.45 70.9
IPM 2007 68.14 68.17 69.19 68.38 66.36 67.99 65.66 68.46 69.23 75.31 65.85 70.34 69.06 70.58 72.4 69.36 76.82 73.46 70.25 77.89 74.42 72.75 70.17 72.83 74.33 67.13 65.52 66.1 64.61 63.99 66.32 66.43 67.61 67.61 65.75 71.59 71.62 70.65 71.54
2008 68.88 68.67 69.62 69.08 67 68.63 66.11 68.98 69.68 75.71 66.18 70.68 69.5 71.18 72.8 69.81 77.28 73.92 70.74 78.36 74.79 73.35 70.61 73.33 74.94 67.52 65.64 66.61 65.29 64.44 66.81 66.74 68.02 67.91 66.13 72.06 72 71 71.98
2009 69.39 69.17 70.11 69.63 67.59 69.21 66.48 69.46 70.2 75.98 66.5 70.9 69.77 71.64 73.15 70.11 77.51 74.31 71.05 78.77 75.17 73.96 70.98 73.88 74.99 68.02 66.16 67.15 65.8 64.91 67.18 67.21 68.47 68.45 66.63 72.33 72.28 71.62 72.08
95
DOB Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara Kab. Buru Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Seram Bagian Barat Kab. Seram Bagian Timur
2005 71.5 69.3 71 70.1 73 67.3 64.3 71.7 70.3 69.2 69.3 74.9 71.5 72.3 73.3 71.6 73.7 67.2 67.4 64.7 65.6 65.9 71.5 73.8 69.4 69.7 67.6 63.8 63 67.2 65.9 67.3 66 67.5 64.5 66.4 65.5 67.1 64.8
2006 72.27 69.87 71.6 71.57 73.2 67.72 64.83 72.02 71.45 70.5 69.84 75.13 71.7 73.03 74.65 72.34 74.23 67.98 68.31 65.39 66.62 66.79 72 74.45 70.69 70.55 68.2 64.03 64.16 67.32 66.4 68.61 67.42 68.72 67.88 66.75 66.47 67.81 65.31
IPM 2007 72.4 70.1 71.62 71.66 73.58 67.88 65.13 72.17 71.68 71.93 70.46 75.61 72 73.77 75.12 73.32 74.9 68.17 69.23 65.93 67.15 67.28 72.55 75.37 71.67 71.56 68.37 65.35 65.54 67.57 67.24 69.97 67.77 69.16 68.84 67.49 67.14 68.28 66.18
2008 72.85 70.63 72.18 72.17 74.09 68.8 65.6 72.86 71.78 72.16 70.84 76.08 72.69 74.34 75.65 73.79 75.33 68.84 69.75 66.59 67.81 67.81 73.15 75.8 71.73 72.14 68.86 66.05 66.03 67.91 67.75 70.5 68.93 69.79 69.27 68.03 68.5 68.67 67.06
2009 73.13 71.18 72.46 72.72 74.43 69.24 66.06 73.48 72.3 72.6 71.23 76.52 73.11 74.83 76.09 74.18 75.75 69.45 70.46 67.21 68.37 68.38 73.65 76.11 72.29 72.87 69.24 66.63 66.7 68.5 68.03 71.19 69.43 70.18 69.55 68.7 69.5 69.21 67.66
96
DOB Kab. Kepulauan Aru Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kab. Halmehera Selatan Kab. Halmehera Utara Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmehera Timur Kota Sorong Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kab. Paniai Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Supiori Rata-Rata IPM
2005 68.3 74.2 65.6 65.6 65.7 65.6 65.3 74.3 63.1 60.9 60.1 60.1 66.9 58.3 66.2 66.7 64.8 66.5 46.9 47.4 49.2 61.3 47.6 47 47.2 65.9 67.21
2006 68.54 74.63 67.18 66.16 66.02 66.26 65.82 74.89 63.88 62.27 62.93 62.48 67.11 58.47 67.13 67.02 65.17 66.93 47.24 47.95 49.62 61.6 48.33 47.95 48.27 66.23 68.01
IPM 2007 68.91 74.93 68.13 66.93 66.58 66.46 66.68 75.59 65.38 62.47 64.4 63.4 68.8 58.74 67.84 67.2 65.9 67.99 47.38 78.31 50.38 61.97 48.65 49.53 49.53 66.92 68.87
2008 69.36 75.66 68.9 67.25 67.18 67.04 67.06 76.52 65.77 63.57 65.29 64.79 69.27 59.17 67.99 67.78 66.35 68.55 47.94 48.85 50.85 62.46 49.2 49.59 50.27 67.55 69.18
2009 69.93 76.13 69.28 67.62 67.57 67.5 67.5 76.84 66.09 64.08 65.65 65.27 69.8 59.53 68.49 68.21 66.65 68.89 48.54 49.22 51.48 62.85 49.56 49.88 50.86 68.06 69.63
Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah Kota Padang Sidempuan Kab. Nias Selatan Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang Hasundutan Kab. Serdang Bedagai Kab. Samosir Kab. Kep Mentawai Kota Pariaman
DOB
68.79 69.52 68.28 68.56
68.89 69.62 68.36 68.79
68.6 69.3 68.1 68.1
68 68.5 68.1 67.7
68.76 69.46 68.24 68.15
67.5 67.64 67.69 67.78
8.6 9.5 6.5 8.7
8.6
8.6 9.5 6.5 9.3
8.6
9.8 6.3 8.1
8.6 9.5 6.5 9.3
8.65
9.8 6.3 8.1
8.6 9.5 6.5 9.33
8.74
9.8 6.3 8.1
8.63 9.51 6.51 9.73
9.05
10.1 6.32 8.14
98.2
98.2
99.6 84.8 96.5
98.2 98.21
99.6 99.62 84.8 85.19 96.5 96.51
97
96.4 96.4 97.39 97.39 97.44 96.6 96.6 96.6 96.6 96.61 92.2 92.37 92.37 92.37 92.44 96.6 98.24 98.24 98.24 98.36
98.2
99.6 99.6 84.8 84.8 95.3 96.22
95.7 95.7 96.22 96.25 98 98 98 98.25 96.4 97.19 97.19 97.45
66.8
9.7 6.2 8.1
7.63 8.77 8.53
69.1 69.18 69.35 69.47 68.4 68.85 69.2 69.6 66.5 66.81 67.05 67.32
7.5 8.4 8.49
68.8 67.9 66.3
7.5 8.4 8.49
95.7 98 96.4
7.5 8.4 8.1
66 66.3 66.49 66.74 68 68.09 68.18 68.27 67.2 67.31 67.41 67.52
65.4 67.8 66.4
7.4 8.3 8
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 96.2 96.2 96.2 96.2 96.22 96.8 98.34 98.34 98.34 98.37 94.8 98.3 98.3 98.3 98.58 98.6 98.82 98.82 98.82 99.22 97 98.47 98.75 98.75 99.1 89.9 91.06 91.76 93.73 93.78 89.7 89.7 89.7 89.7 89.78 86.7 86.7 86.7 86.7 86.9
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 63.2 64 64.27 64.46 64.69 7.7 7.7 7.7 7.7 7.74 72.2 72.2 72.22 72.28 72.32 9.1 9.2 9.2 9.2 9.23 62.5 62.7 62.75 62.84 62.91 6.1 6.2 7.6 8 8.3 68.4 69.2 69.7 70 70.41 9.7 9.7 9.7 9.7 9.91 68.9 69.7 69.96 70.14 70.36 9.3 9.4 9.7 9.88 10.04 67 67.8 67.84 67.91 67.97 8.7 8.7 8.7 8.7 8.71 69.1 69.2 69.31 69.42 69.53 6.4 6.7 7.32 7.32 7.34 66.2 66.6 66.73 66.84 66.96 8.6 8.7 8.7 8.7 8.71
Lampiran 5. Komponen Pembentuk IPM
Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun Kab. Tebo Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau Kab. Banyuasin Kab. OKU Selatan Kab. OKU Timur Kab. Ogan Ilir Kab. Muko-Muko Kab. Lebong
DOB
69.33 70.71 69.52 65.24 66.88 69.16 68.16 65.4 67.4 65.55
69.71 71.1 69.74 65.39 67.05 69.24 68.23 65.68 67.5 65.87
70.06 71.51 69.95 65.54 67.23 69.3 68.29 65.98 67.65 66.26
6.2 8.3 7.6 7.6 7 6.9 6.5 6.6 7 7.1
6.2 8.4 8.4 7.8 7 7.1 6.8 6.6 7 7.2
7.8 7.3 7.5 9.7 7.2 8.8 6.9 6.8 7.1 6.2 8.88 8.42 8.98 7 7.1 6.8 7.36 7 7.47
7.8 7.67 7.5 9.7 7.2 8.8 6.9 6.8 7.53 6.2 8.88 8.42 8.98 7 7.1 6.8 7.46 7 7.47
7.8 7.93 7.5 9.7 7.2 8.8 6.9 6.8 7.53 6.25 9 8.54 9.11 7.01 7.15 6.87 7.52 7.32 7.78
7.81 7.95 7.55 9.72 7.48 9.03 7.4 6.88 7.55 92.4 97.7 95 95 93.5 93.7 91.2 94.2 90.8 94.3
92.4 97.7 97.38 98.03 95.93 97.49 94.47 97.24 93.37 94.49
97.8 93.6 97.38 99.1 97.37 98.21 93.7 94.9 94.46
92.4 97.9 97.82 98.03 95.93 97.49 94.63 97.24 93.43 94.49
97.8 97.6 97.38 99.28 97.37 98.21 93.7 94.9 95.89
92.4 98.29 98.21 98.03 96.08 97.49 94.63 97.32 93.43 95.19
97.8 97.6 97.38 99.28 97.37 98.21 93.7 94.9 95.89
98
92.42 98.66 98.24 98.33 96.24 97.8 94.67 97.47 93.45 95. 2
97.81 98.44 97.98 99.3 97.8 98.48 93.82 94.91 95.9
69 70.3 69.3 65.1 66.7 69.1 68.1 65.1 67.2 65.1
7.8 7 7.1 9.7 7 8.8 6.6 6.5 7.1
68.9 70 69.2 64.7 66.6 68.9 67.8 64.8 66.9 64.3
68.22 68.69 67.13 71.33 67.11 71.52 68.95 68.98 69.19
97.8 93.6 96.4 99.1 88.8 94.1 93.7 94.9 93.9
68.11 68.56 67.09 71.02 67.04 71.34 69.12 68.86 69.13
67.9 68.3 67 70.4 66.9 71 68.8 68.6 69
67.6 67.6 66.3 70.3 66.6 70.9 68.6 68.1 68.5
68.05 68.48 67.08 70.77 67.01 71.23 68.93 68.7 69.11
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 87.7 92.56 95.54 95.54 95.83 94.4 97.21 97.21 97.24 97.38 95.7 97.83 97.83 97.83 98.18
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 64.1 65 65.31 65.5 65.75 6.8 7.2 7.34 7.37 7.66 63.2 64.1 64.32 64.35 64.48 7.2 7.4 7.4 7.57 7.76 63.8 64.1 64.42 64.62 64.88 7.2 7.9 7.9 7.9 7.98
Kab. Kepahiang Kab. Kaur Kab. Seluma Kab. Way Kanan Kab. Lampung Timur Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur Kab. Karimun Kab. Natuna Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima Kab. Sumbawa Barat
DOB
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 62.5 63 63.37 63.63 63.95 6.9 7 7.16 7.16 7.44 65.7 66 66.36 66.61 66.92 7.5 7.5 7.5 7.5 7.56 63.9 64.7 65 65.2 65.45 7.3 7.3 7.3 7.5 7.56 68.5 68.7 68.93 69.07 69.26 6.5 6.5 6.5 6.5 6.96 69.4 69.4 69.65 69.81 70.02 6.4 6.9 6.9 6.9 6.98 71.9 71.9 72.11 72.22 72.38 9.4 9.8 9.8 9.8 9.82 66.2 66.9 67.22 67.31 67.51 5.9 5.9 5.9 5.92 5.97 67.2 67.4 67.64 67.66 67.79 6 6.5 6.73 6.73 6.75 67.1 67.3 67.53 67.54 67.66 6.1 6.2 6.67 6.67 6.72 67.6 67.9 67.99 68.36 68.6 7 7.1 7.45 7.45 7.47 69.5 69.7 69.76 69.81 69.86 7.8 7.8 7.8 7.8 7.81 67.5 67.9 67.96 68.1 68.21 6.7 6.9 6.9 6.9 6.93 70.5 70.6 70.62 70.7 70.76 10.7 10.7 10.7 10.7 10.71 69.1 69.4 69.4 69.51 69.56 9.2 9.2 9.2 9.2 9.24 69.2 69.6 69.7 69.88 70.02 7.1 7.2 7.2 7.2 7.22 72.5 72.6 72.72 72.85 72.97 10.2 10.5 10.5 10.5 10.77 68.7 68.9 68.97 69.04 69.11 9.6 9.7 10.26 10.26 10.42 68.3 68.4 68.78 69.13 69.49 8.4 8.4 8.4 8.4 8.59 65.6 65.8 65.91 66.03 66.15 7.8 7.8 7.8 7.8 7.97 68.1 68.3 68.64 68.87 69.16 8 8 8.19 8.2 8.34 68.2 68.4 68.45 68.49 68.53 9.5 9.64 9.64 9.64 9.66 61.9 62.5 62.61 62.74 62.86 8.3 8.84 9.24 9.24 9.25 59.1 60.6 60.76 60.94 61.11 6.9 7 7 7 7.16
99
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 92.8 95.12 95.35 95.84 95.88 94.3 94.3 94.3 95 95.03 93.8 93.8 93.8 95 95.03 94.1 94.1 94.1 94.6 94.61 91.3 92.4 92.4 92.4 93.32 96.4 97.26 97.26 97.26 97.36 89.2 92.54 92.54 92.55 92.7 91.7 94.74 95.71 95.79 95.8 91.6 91.6 92.12 92.59 92.85 95.4 96.46 96.46 96.62 96.63 95 95 95 95 95.19 95.3 95.7 95.75 95.75 95.92 98.8 98.84 98.84 98.84 98.85 97.3 97.3 97.3 97.3 97.31 90.9 90.9 90.9 90.9 91.11 97.2 98.39 98.9 98.9 98.93 99.6 99.63 99.63 99.63 99.64 98.8 98.8 99.2 99.42 99.45 96.2 96.2 96.43 96.65 97.16 94.9 94.9 97.3 97.3 97.78 98.7 98.7 98.7 98.7 98.71 86.2 89.96 92.49 92.59 92.84 88.6 90.61 90.61 90.71 0.72
Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau Kab. Katingan vKab. Seruyan Kab. Sukamara Kab. Lamandau Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat
DOB
65.99 68.57 64.98 66.95 67.63 67.27 67.3 67.9 67.73 67.05 67.68 67.38 67.95 67.73 67.14 64.32 61.36 71.07 68.11 69.89
66.19 68.7 65.22 67.08 67.69 67.31 67.4 67.94 67.79 67.13 67.82 67.47 68.03 67.79 67.31 64.63 61.55 71.3 68.22 70.08
6.2 5.2 6.3 6.2 5.7 6 7.8 7.7 6.8 7.6 8.4 7 6.6 7.6 9.3 6.8 6.3 7.4 6.7 6.8
6.2 6.03 6.86 6.7 6.26 6.06 7.76 7.7 7.02 7.6 8.68 7 6.96 8.44 9.3 6.8 6.3 7.4 7.43 7.06
6.23 6.03 6.86 7.3 7.2 6.06 7.76 7.7 7.02 7.6 8.68 7.22 6.96 8.44 9.54 6.8 6.3 7.4 7.61 7.75
6.23 6.03 6.86 7.3 7.2 6.06 7.76 7.7 7.02 7.6 8.68 7.22 6.96 8.44 9.54 7 6.3 7.4 7.61 7.75
6.3 6.09 8.92 7.34 7.21 6.07 7.77 7.72 7.05 7.61 8.7 7.23 7.12 8.5 9.74 7.09 6.48 7.42 7.67 7.79
88.67 86.79 91.45 86.9 90.58 88.98 99.4 99.3 94.83 95.84 99.3 93.21 99.3 97.26 97.2 93.4 94.9 93.3 92.33 91.88
88.7 88.68 91.45 89.62 92.32 88.98 99.4 99.3 95.53 98.64 99.51 93.21 99.3 97.45 97.75 93.4 94.9 93.3 92.33 95.49
88.7 88.68 91.45 89.62 92.32 88.98 99.4 99.3 95.53 98.64 99.51 93.84 99.93 97.95 97.75 94.08 94.9 93.3 92.33 95.49
100
88.75 88.7 91.48 89.65 92.36 89.02 99.41 99.31 95.56 98.65 99.53 93.85 99.94 97.97 98.1 94.27 94.91 93.94 92.65 95.97
88.6 85.9 89.2 86.7 84.9 87 99.4 99.3 94.7 94.4 98.3 91.6 99.3 94.6 97.2 93.4 94.9 93.3 90.1 88.3
65.75 68.4 64.72 66.8 67.53 67.22 67.18 67.85 67.67 66.93 67.55 67.3 67.83 67.67 66.94 63.99 61.12 70.84 68.01 69.7
65.4 68 64 66.4 67.2 67 67 67.2 67.2 66.8 67 66.9 67.6 67.5 66.6 63.3 60.2 70.5 67.8 69.4
65.6 68.3 64.5 66.7 67.5 67.2 67.1 67.8 67.6 66.9 67.4 67.2 67.8 67.6 66.8 63.7 61 70.6 67.9 69.5
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 91.3 91.3 92.57 92.57 92.76 82.1 87.52 88.14 88.55 88.88
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 65.8 66.1 66.17 66.34 66.46 6.1 6.34 6.34 6.47 6.5 65.8 66.4 66.78 67.22 67.64 5.6 6.17 6.17 6.18 6.2
Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara
DOB
62.1 63.9 63.3 70.7 71.6 70.5 69.2 67 66.9 67.6 65
62.66 64.27 63.39 70.91 72.02 70.61 69.5 67.16 67.1 67.69 65.14
63.09 64.53 63.59 71.13 72.03 70.72 69.79 67.31 67.3 67.83 65.27
63.59 64.84 63.73 71.34 72.25 70.84 70.09 67.47 67.51 67.95 65.41
6.8 6.6 7.5 7 9.1 6.9 8.8 7.6 5.9 5.8 7.4
6.98 7.02 7.5 7 9.18 7.39 9.36 7.6 5.94 6.25 7.4
8.44 9.07 7.9 7.23 7.09 7.02 7.81 7 9.66 7.47 9.55 7.6 6.2 6.5 7.4
8.54 9.07 7.9 7.59 7.09 7.02 7.81 7 9.66 7.47 9.55 7.6 6.23 6.52 7.4
8.54 9.07 8.15 7.63
8.47 9.6
7.3 7.1 7.89 7.04 9.73 7.75 9.75 7.62 6.59 6.85 7.51
8.54 9.09 8.18 7.85
8.65 9.89
94.9 89.3 97.3 90.5 97.3 90.1 93.8 94.1 85.3 84.4 92.3
94.92 91.67 97.44 91.13 97.3 92.08 95.01 94.1 85.3 85.45 92.3
94.92 93.06 97.44 92.03 97.3 93.13 95.16 94.1 87.56 88.78 93.02
94.92 93.55 97.44 92.03 97.3 93.13 95.16 94.1 88.2 88.8 93.02
101
94.93 93.68 97.46 92.05 97.32 93.24 95.3 94.11 88.49 88.13 93.04
99.4 99.4 99.4 99.4 99.42 99.5 99.68 99.68 99.68 99.7 98.2 98.2 98.2 98.2 98.22 94.2 94.82 97.24 97.24 97.44
97.5 97.5 99.3 99.3 99.36 99.6 99.83 99.83 99.83 99.84
93.8 94.46 94.93
61.5 63.7 62.5 70.5 70.9 70.3 69 66.9 66.7 67 65.4
8.4 8.7 7.9 7.1
8.47 9.6
93.8
71.5 71.72 71.89 72.09 71.8 72.1 72.2 72.4 64.5 64.77 64.94 65.16 64.9 65.61 65.22 65.38
8.21 9.6
7.58
71.4 71.6 64.2 64.2
7.9 9.2
7.57
70.7 70.86 71.29 71.59 71.7 71.96 72.16 72.39
7.53
70.3 69.6
7.4
93.8
7.4
70.9
70.9
71.4 71.18 71.32
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 93.2 94.79 95.48 95.48 95.89 98.1 98.1 98.1 98.34 99.08
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 67.8 67.9 68.08 68.25 68.43 7.3 7.29 7.57 7.61 7.65 71.7 71.8 71.89 72.11 72.26 9.9 9.9 9.9 9.97 10.01
Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara Kab. Buru Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Seram Bagian Barat Kab. Seram Bagian Timur ab. Kepulauan Aru Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kab. Halmehera Selatan Kab. Halmehera Utara Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmehera Timur Kota Sorong Kab. Sorong Selatan
DOB
64.6 64.82 65.03 65.25 64.6 64.92 65.23 65.55 63.6 63.96 64.3 64.65 64 64.33 64.66 64.99 70.3 70.75 71.12 71.53 66 66.19 66.33 66.49
64.1
63.6 63.4
63.5 70.2 65.5
7.8 10.1 7
7.6 7.6
7.4
7.9
7.8 10.1 7
7 7.6
7.4
7.94
7.23 7.7
7.4
8.45
7.33 7.72
7.44
8.55
7.8 7.8 7.81 10.1 10.52 10.54 7.9 7.9 7.94
7.23 7.6
7.4
8.27
7.62 7.52
8.23
95.8
95.8
95.8 95.82
97.6 97.61
92.4 99.1 87.9
102
92.4 95.42 95.42 95.44 99.1 99.1 99.1 99.12 87.9 87.9 88.07 88.2
95.9 95.9 95.9 95.9 95.91 95.9 97.33 97.33 97.33 97.37
95.8
92.8 96.82 96.82
97.7 97.93 97.93 97.93 98.14 98.8 98.8 98.8 98.8 99 98.4 98.4 98.43
98 98.22
64.3 64.49 64.68 64.87
7.6 7.5
8.2
98
63.5
7.6 7.6 7.6 7.5 7.5 7.5 10.2 10.34 70.43
8.2
98
65 65.21 65.43 65.64 66.9 67.11 67.31 67.52 68.9 69.3
8
98
64.6 66.8 68.8
8
8.54
66.1 66.21 66.33 66.45
8.51
65.2
8.51
98.6 98.97 99.34 99.34 99.35
8.11
63.7 63.73 63.99 64.13
62.9
7.8
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009 95.2 95.2 95.2 95.2 95.26 92.8 96.71 97.1 97.1 97.15 94.5 97.03 97.03 97.03 97.04 81.1 83.18 84.1 84.62 85.12 82.3 93.17 95.33 95.33 95.56 92.8 92.8 92.8 92.8 92.82
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 66.9 67 67.32 67.52 67.78 6 6 6 6 6.07 66.9 67.2 67.6 67.88 68.22 6.3 6.56 7.45 7.45 7.77 66.6 66.8 67.07 67.23 67.44 6 6.05 6.05 6.05 6.42 70.5 70.7 70.78 70.94 71.07 5.8 6.38 6.38 6.38 6.55 67.1 67.4 67.44 67.47 67.51 5.7 6.45 6.62 6.62 6.71 66.1 66.3 66.75 67.17 67.61 7.2 7.2 7.2 7.2 7.21
Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kab. Paniai Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Supiori Rata-Rata
DOB 65.15 67.26 66.78 69.6 66.85 69.26 66.96 66.13 66.62 65.17 66.03 65.66 64.59 66.17 65.64 65.62 65.29 67.46
64.8 66.9 66.5 68.8 66.5 68.9 66.6 66 66.4
64.6 64.9 65.2 65.7 65.4 65.5 64.1 64.2 65.6 65.8 65.2 65.4 64.5 65 64.8 65 66.89 67.24
64.7 66.8 66.4 68.8 66.4 68.8 66.4 65.8 66.2 65.33 66.25 65.72 64.86 66.43 65.79 66.1 65.48 67.61
65.43 67.55 67 69.26 67.1 69.55 67.21 66.17 66.75 65.55 66.53 65.84 65.19 66.75 65.99 66.66 65.72 67.81
65.75 67.88 67.25 69.48 67.4 69.87 67.52 66.26 66.93 2.2 2.4 2.4 6.2 2.4 2.2 3.1 7.7 7.22
7 5.7 5.8 7.1 6.2 6.5 6.1 6.4 7.3 2.2 2.4 2.4 6.2 3 2.8 3.7 7.7 7.38
7 5.84 5.8 7.1 6.2 6.7 6.1 6.4 7.3 2.2 2.4 2.4 6.27 3 3.8 3.86 7.7 7.94
7 6.44 5.99 7.1 6.2 6.7 6.1 6.4 7.3 2.2 2.4 2.4 6.27 3 3.8 3.86 7.7 7.52
7 6.85 6.39 7.1 6.2 6.7 6.1 6.4 7.3
86.3 89.93 89.93 92.69 92.77 70 78.53 80.84 82.67 82.98 70.1 80.43 81.02 82.85 83.13 91.2 91.2 95.48 65.48 95.49 62.8 62.9 62.9 62.9 62.91 84.2 86.9 86.9 86.9 87.29 86.4 86.8 86.8 86.8 86.81 87 87.1 87.1 87.1 87.11 90.9 91.1 91.1 91.1 91.12
Angka Melek Huruf (AMH) 2005 2006 2007 2008 2009
103
2.45 31.4 31.6 31.6 31.6 31.76 2.42 31.7 31.8 31.8 31.8 31.81 2.94 32 32 32.86 32.68 32.87 6.29 76 76.5 76.5 76.5 76.88 3.1 31.4 31.7 31.7 31.7 31.75 3.89 31.2 31.3 31.3 31.3 31.35 3.94 30.9 31 31 31 31.07 7.97 93.5 94.1 95.37 95.37 95.71 8.07 90.21 91.40 91.87 91.76 92.12
7.26 6.88 6.44 7.32 6.21 6.71 6.11 6.41 7.32
Angka Harapan Hidup (AHH) Rata Lama Sekolah (RLS) 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
104
Lampiran 6. Angka Kemiskinan DOB (Juta Rupiah) DOB Kab. Aceh Singkil Kab. Bireun Kab. Simeuleu Kota Lhoksemawe Kota Langsa Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Gayo Lues Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Tamiang Kab. Bener Meriah Kota Padang Sidempuan Kab. Nias Selatan Kab. Pak Pak Bharat Kab. Humbang Hasundutan Kab. Serdang Bedagai Kab. Samosir Kab. Kep Mentawai Kota Pariaman Kab. Dharmas Raya Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Kuantan Singingi Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kota Dumai Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Sarolangun Kab. Tebo Kab. Muaro Jambi Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau Kab. Banyuasin
1
Tahun Pemekaran Ke2 3
4
36.6 86.7 21 20.7 20.5 18.7 44.9 24.3 32.8 57.5 30.2 20.6 97.2 9.2
50.9 104.9 26.7 24.4 20.6 18.6 43.7 24.5 33 56.7 28.1 20.5 91.1 8.6
41.9 101.5 24.3 22.2 19.4 19.5 40 23.1 33.5 50.8 31.3 23.9 65.8 6.1
43.1 104.2 26.6 19.4 19.1 17.2 33.2 18.9 27.4 50.8 28.5 20 59.9 5.9
28.1 72.8 31.2 11.2 6.2 25.4 22.7 45.5 64.4 46.3 82.2 22.9 48.5 23.5 40.5 31.4 25.2
28.4 72.6 36.1 12.9 5.5 23.8 21.3 42.7 63.5 51.9 92.7 21 48.3 25.8 38.9 26 27
20 66.3 24.4 11.8 3.9 21.4 16.7 34.4 61.6 52.5 95.9 21.3 49.4 27 39.6 26.2 26.5
17.6 60.4 22.8 12.7 3.5 19.9 14.6 30.4 58.8 55.5 91.4 19.6 42.4 22.9 39.6 26.2 26.5
22.3 15.8 16.9 28 149.5
22.8 15.5 15.2 28.4 149.9
23.5 12.3 13.7 28.5 165.6
27.8 10 11.2 25.6 122.4
105
DOB Kab. OKU Selatan Kab. OKU Timur Kab. Ogan Ilir Kab. Muko-Muko Kab. Lebong Kab. Kepahiang Kab. Kaur Kab. Seluma Kab. Way Kanan Kab. Lampung Timur Kota Metro Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Belitung Timur Kab. Karimun Kab. Natuna Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kab. Lingga Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Batu Kota Cilegon Kota Bima Kab. Sumbawa Barat Kab. Lembata Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Kab. Bengkayang Kab. Landak Kota Singkawang Kab. Melawi Kab. Sekadau Kab. Katingan Kab. Seruyan Kab. Sukamara
1
Tahun Pemekaran Ke2 3
67.8 103.1 82.7 27.9 16.4 20.8 41 60 118 273.2 12.5 13.5 16 14.1 15.1 9.2 3.8 25.2 17 27.7 68.5 43.5 48.6 17.1 20.2 19.9 16.9 29.1 31.3 28 58.9 59.1 77.8 16 36 21.8 17.4 14 4.2
61.2 90.7 79.6 28.7 16.7 21.2 44.5 60.9 112.3 263.5 11.3 9.6 13.4 10.5 12.6 12.3 4.8 28.1 23.5 26.9 65 50.8 52.9 13 17.2 17.5 17.5 28.7 32.2 30.7 53.5 34 82.4 18.6 35 19.3 13.4 12.8 3.8
47.7 69.6 67.1 23.5 13.7 21 31.4 42.5 112.3 257.2 10.7 8.2 11.2 7.4 10.4 11.5 4.5 28.1 25.8 28.8 64 42.2 59.5 12.9 21.2 14.5 15.7 25.2 33.5 30.1 48.3 29.5 75.2 14.3 27.1 14.8 13 13.4 3.7
4 42.1 57.7 60.1 23.6 13.6 20.7 29.1 40.1 108.4 248.4 8.6 8.9 10.4 7.6 9.3 20.1 8.8 50.3 23.7 15.4 39.6 43.7 54.5 15.7 17.3 18.7 19.5 24.3 34.4 38.8 45.9 29 87.1 13.1 23.5 12.3 11.9 13 3.4
106
DOB Kab. Lamandau Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau Kab. Murung Raya Kab. Barito Timur Kota Banjarbaru Kab. Tanah Bumbu Kab. Balangan Kab. Nunukan Kab. Malinau Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kota Bontang Kab. Panajam Paser Utara Kab. Kepulauan Talaud Kota Tomohon Kab. Minahasa Selatan Kab. Minahasa Utara Kab. Buol Kab. Morowali Kab. Banggai Kepulauan Kab. Parigi Moutong Kab. Tojo Una-Una Kab. Luwu Utara Kota Palopo Kab. Luwu Timur Kota Bau-Bau Kab. Konawe Selatan Kab. Bombana Kab. Wakatobi Kab. Kolaka Utara Kab. Boalemo Kab. Bone Bolango Kab. Pohuwato Kab. Mamasa Kab. Mamuju Utara Kab. Buru Kab. Maluku Tenggara Barat
1
Tahun Pemekaran Ke2 3
4
5.4 10.2 13.8 9.8 12 6.4 22.1 13.8 18.7 10.1 21.3 27.7 8.7 18.1 10.1 7.1 37.3 17.5 29 46.2 94.6 84.4 51 71.6 14.6 24.9 22.1 48.2 24.2 24.5 26.7 63.7 39.1 35.1 37.2 10.9 48.7
4.9 9.3 12.6 8.9 10.9 8.1 17.8 11.5 22.4 11.2 19.8 28.5 8.2 21.4 11.7 7 24.9 17.5 29.8 46.4 42.9 90.3 54 41.8 17.4 22.9 21.3 47.1 23.6 26 26.8 33.8 36.1 31.3 31.4 9.2 38.3
4.8 9 12 8.7 11.6 6.6 12.9 7.8 22.7 11.3 19.9 27.9 7.9 21.4 11.9 6.3 21.4 14.7 29.5 42.6 40.1 90.1 53.8 40.7 17.4 25.3 23.1 43.7 21.8 24.9 29.3 34.3 27.1 24.5 31 7 38.3
4.6 8.7 11.1 8 11 6.6 13.5 7.3 21.3 10.8 20.1 26.6 7.6 16.1 9.7 6.1 20.5 14.2 34.1 49.4 42.1 84.5 52.3 42.3 18.2 21 22.6 40.4 20.2 23 28.4 32.5 24.1 22.5 24.7 7.1 41.8
66.9
62.1
62.5
67.8
107
DOB Kab. Seram Bagian Barat Kab. Seram Bagian Timur Kab. Kepulauan Aru Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kab. Halmehera Selatan Kab. Halmehera Utara Kab. Kepulauan Sula Kab. Halmehera Timur Kota Sorong Kab. Sorong Selatan Kab. Kepulauan Raja Ampat Kab. Teluk Bintuni Kab. Teluk Wondama Kab. Kaimana Kab. Paniai Kab. Mimika Kab. Puncak Jaya Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Waropen Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Supiori
1
Tahun Pemekaran Ke2 3
4
55.7
53.6
50.7
48
31.8 26.9 7.9 6.6 24 18.5 19.3 14.2 56.2 17.1
31.8 25.9 6 5.9 23.3 17.5 17.7 13.5 16.9 16
30.8 29.8 6 5.2 23 16.6 17.4 13.8 21.6 16.4
29.3 28.5 7.8 4.9 20.8 15.2 14.7 13.5 71 16.3
12.2 27.5 11.9 14.2 64.1 33.2 54.5 9.5 11.5 44.8 66.7 21.6 10.5 9.8 21.4 21 7.1
11.4 25.9 11.5 14.7 50.8 38 34.9 10.4 11.7 48 71 21.1 10.3 9.6 23.5 22 6.9
10.4 30.1 12 13.7 54.6 38.8 55.8 10.2 11 45 69.4 21.1 9.9 9.1 23 21.5 6.1
9.7 28.5 11.1 10.6 59 42.3 60 8.3 11.5 42 72.7 21.9 6.7 9.3 24.4 25.7 6.2
Y -0.000206 -0.016780 2.007851 -0.582945 0.275538 3.340502 23.71985
2784.446 0.000000
-0.028998 10.62899
141
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
Jarque-Bera Probability
Sum Sum Sq. Dev.
Observations
141
1389488. 3.16E+10
13618.90 0.000000
PDRBK 9854.523 6571.082 136488.3 956.2660 15024.50 6.393711 49.41759
Lampiran 7. Tabel Statistika Deskriptif
141
6654.279 2554129.
6205.211 0.000000
PAD 47.19347 14.20257 990.2920 1.270000 135.0695 5.413320 33.64294
141
35285.47 1022985.
9.813094 0.007398
DAU 250.2515 243.0416 534.2230 22.70800 85.48120 0.375682 4.051554
141
9699.410 3726.192
328.0651 0.000000
IPM 68.79014 69.28000 77.10000 47.94000 5.159036 -2.120129 9.153136
141
4230.000 117085.4
3294.439 0.000000
AK 30.00000 22.50000 248.4000 3.400000 28.91928 3.767814 25.44928
141
27.00000 21.82979
Observations
Sum Sum Sq. Dev.
59.02611 Jarque-Bera 0.000000 Probability
DKK 0.191489 Mean 0.000000 Median 1.000000 Maximum 0.000000 Minimum 0.394876 Std. Dev. 1.568140 Skewness 3.459064 Kurtosis
108
0.747405 0.0000
0.208119 0.0133
-0.106423 0.2091
0.126889 0.1338
-0.077479 0.3611
0.274749 0.0010
PAD
DAU
IPM
AK
DKK
Y 1.000000 -----
PDRBK
Correlation Probability Y
Covariance Analysis: Ordinary Date: 06/04/11 Time: 05:48 Sample: 1 141 Included observations: 141
-0.002385 0.9776
-0.064616 0.4465
0.065054 0.4434
-0.112228 0.1852
-0.001206 0.9887
1.000000 -----
PDRBK
Lampiran 8. Matriks Korelasi Pearson
1.000000 -----
DAU
1.000000 -----
IPM
1.000000 -----
AK
0.405449 -0.147429 0.0000 0.0811
0.289875 -0.120933 0.0005 0.1532
0.435001 -0.238070 0.0000 0.0045
-0.089890 0.2891
0.155761 -0.448844 0.0651 0.0000
-0.127492 0.1319
1.000000 -----
PAD
1.000000 -----
DKK
109
110
Lampiran 9.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota
Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 06/04/11 Time: 05:49 Sample: 1 141 Included observations: 141 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRBK PAD DAU IPM AK DKK C
1.38E-05 0.000225 0.000132 -0.001115 3.11E-05 0.172543 -0.137318
1.38E-06 0.000103 0.000193 0.003516 0.000549 0.044729 0.265281
10.03624 2.192300 0.680270 -0.317227 0.056558 3.857553 -0.517633
0.0000 0.0301 0.4975 0.7516 0.9550 0.0002 0.6056
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.647381 0.631592 0.167243 3.747987 55.67130 41.00218 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.000206 0.275538 -0.690373 -0.543981 -0.630884 1.453883
Lampiran 10. Uji Kenormalan Model Keberhasilan Kabupaten/Kota di Indonesia
Pemekaran
Wilayah
12
Series: Residuals Sample 1 141 Observations 141
10
8
6
4
2
0 -0.50
-0.25
0.00
0.25
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4.62e-17 -0.001657 0.425823 -0.486082 0.163619 0.020268 2.892809
Jarque-Bera Probability
0.077156 0.962157
111
Lampiran 11. Uji Homoskedastisitas Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.510807 3.152833 2.694941
Prob. F(6,134) Prob. Chi-Square(6) Prob. Chi-Square(6)
0.7993 0.7894 0.8460
Lampiran 12. Uji Autokorelasi Model Keberhasilan Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.747592 17.41713
Prob. F(10,124) Prob. Chi-Square(10)
0.0774 0.0656