KORELASI METODE PENGECAMBAHAN IN VITRO DENGAN PEWARNAAN DALAM PENGUJIAN VIABILITAS POLEN
Oleh: WARID A34404010
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
RINGKASAN WARID. Korelasi Metode Pengecambahan In Vitro dengan Pewarnaan dalam Pengujian Viabilitas Polen (Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI). Percobaan ini dilakukan untuk mempelajari media pengecambahan dan pewarnaan polen yang dapat digunakan untuk sebagian besar spesies dan mempelajari korelasi antara metode pengecambahan polen secara in vitro dengan pewarnaan dalam menduga viabilitas polen. Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2008 bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB Darmaga dan Laboratorium Biologi Bidang Zoologi LIPI Cibinong. Penelitian meliputi pengamatan morfologi polen dan dua percobaan, masing-masing menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor, yaitu faktor media atau pewarna dan spesies. Percobaan 1 menggunakan empat media pengecambahan serbuk sari yaitu (1). Media Brewbaker & Kwack (BK) : 10% sukrosa, 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2.4H2O, 200 ppm MgSO4.7H2O, dan 100 ppm KNO3 dalam 1000 mL aquades, (2). Media BK tanpa sukrosa, (3). Media sukrosa 10%, dan (4). Modifikasi PGM (Pollen Germination Medium) : 10% sukrosa, 0.005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05% mM KH2PO4, dan 4% PEG 6000. Percobaan 2 merupakan penelitian pewarnaan polen untuk menduga viabilitas polen. Percobaan ini terdiri atas empat pewarna, yaitu (1). Aniline blue 0,2%, (2). Asetocarmin 0,75%, (3). Iodine Kalium Iodide 1%, dan (4). 2,3,5triphenyl tetrazolium chloride (TTC) 1%. Selain itu, dilakukan pula pengamatan morfologi masing-masing famili dengan menggunakan mikroskop pemindai elektron (SEM). Polen yang digunakan berasal dari empat famili yang masing-masing famili diwakili oleh tiga spesies, yaitu Euphorbiaceae (jarak pagar, batavia, dan puring), Solanaceae (cabai, tembakau, dan takokak), Poaceae (padi, jagung, dan sorgum), dan Myrtaceae (jambu biji, jambu air, dan jamblang). Polen diambil pada pagi hari sebelum bunga mekar (antesis) kemudian dimekarkan di laboratorium. Setelah itu, diberikan perlakuan dengan cara menaburkan polen pada masing-masing media dan pewarna, kemudian diinkubasi dalam tupper ware yang dialasi tisu lembab dalam ruangan bersuhu 24°C. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6, 8, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan di bawah mikroskop cahaya. Hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa morfologi polen setiap famili menunjukkan keragaman yang merupakan ciri khas dari setiap famili karena dalam satu famili menunjukkan morfologi yang serupa. Berdasarkan periode pengamatan perkecambahan polen Euphorbiaceae lebih lambat berkecambah (rata-rata 24-48 JSP) daripada Solanaceae, Poaceae, dan Myrtaceae (rata-rata 2-8 JSP), kecuali jambu air (Myrtaceae). Berdasarkan daya berkecambah polen, PGM secara umum lebih baik dibandingkan media lain. Untuk Solanaceae, PGM menghasilkan daya berkecambah yang sama antar spesies, sekitar 71-84%, sedang untuk Euphorbiaceae, Poaceae, dan Myrtaceae, PGM menghasilkan daya berkecambah yang bervariasi antar spesies, yaitu masing-masing sekitar 19-48%, 12-27%, dan 10-96%.
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
Secara umum acetocarmine dapat mewarnai polen lebih cepat daripada pewarna lain. Polen Euphorbiaceae, Solanaceae, dan Poaceae sudah terwarnai pada 2-6 JSP dengan aniline blue maupun acetocarmine, sedangkan polen Myrtaceae lebih cepat terwarnai dengan acetocarmine (2-6 JSP) daripada dengan aniline blue (4-24 JSP). PGM berkorelasi positif dan nyata dengan aniline blue (r = 0.624), sehingga aniline blue dapat digunakan untuk menduga perkecambahan polen sebaik apabila menggunakan media PGM.
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
KORELASI METODE PENGECAMBAHAN IN VITRO DENGAN PEWARNAAN DALAM PENGUJIAN VIABILITAS POLEN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Instiut Pertanian Bogor
Oleh: Warid A34404010
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
Judul penelitian : KORELASI METODE PENGECAMBAHAN IN VITRO DENGAN
PEWARNAAN
DALAM
PENGUJIAN
VIABILITAS POLEN Nama
: WARID
NIM
: A34404010
Program Studi
: Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc NIP : 131 842 407
Mengetahui : Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopiandie, MAgr NIP : 131 142 019
Tanggal Lulus:
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 7 Maret 1985 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Raskib dan Ibu Odah. Setelah lulus dari SDN 1 Kudumulya di Babakan Cirebon tahun 1998, Penulis melanjutkan studi ke SLTPN 1 Babakan Cirebon dan lulus pada tahun 2001. Setelah itu, Penulis melanjutkan ke SMUN 1 Babakan Cirebon dan lulus tahun 2004. Sejak di SLTP, Penulis aktif dalam OSIS dan beberapa organisasi ekstrakurikuler, seperti Palang Merah Remaja SLTPN 1 Babakan Cirebon, Pramuka, Pencak Silat, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum PASKIBRA Brigade XVIII SMUN 1 Babakan Cirebon pada tahun 2002-2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 di Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH). Penulis mengambil Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, spesifikasi Teknologi Benih. Selama kuliah, Penulis aktif di organisasi kemahasiswaan diantaranya Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (KOPMA IPB) tahun 2004-2008 dan pernah menjabat sebagai Manajer Umum retail Green Smart tahun 2006, Manajer Produksi Toko Souvenir IPB Green Co tahun 2006-2007, dan Kepala Biro Entrepreneurship tahun 2007-2008. Selain itu, Penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah, yaitu Ikatan Kekeluargaan Cirebon di IPB (IKC-IPB) tahun 2004-2008 dan pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Kekeluargaan tahun 2006. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa prestasi, yaitu Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri Regional V Bogor periode 2006-2008 dan pernah menjabat sebagai Ketua Asrama program tersebut pada tahun 2008. Selain itu, Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Kimia untuk Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB tahun 2006 dan Koordinator Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasar Ilmu dan Teknologi Benih tahun 2008. Penulis juga pernah mendapatkan dana dari DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan sebanyak dua proposal pada tahun 2008.
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
-1-
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim. Alhamdulillahirrabbil ‘alamin. Segala puji selalu Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya sehingga Penulis dapat melaksanakan penelitian serta menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga dan Laboratorium Biologi Bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Penelitian ini dilakukan atas dasar masih belum adanya kesepakatan baik nasional maupun internasional dalam menentukan metode pengujian viabilitas polen yang berlaku umum sebagai standar pengujian. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setingitingginya kepada : 1. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc selaku dosen pembimbing penelitian dan skripsi yang telah sabar dalam memberikan bimbingan, bantuan, arahan, dan saran kepada Penulis sejak awal penelitian hingga skripsi ini selesai. 2. Ibu, Bapak, Kakak, dan Adik-adikku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada Penulis. 3. Ir. Ketty Suketi, MSc selaku dosen penguji atas saran dan perbaikan yang diberikan selama ujian. 4. Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi selaku dosen penguji atas saran dan perbaikan selama ujian, serta selalu menyambut baik kehadiran Penulis ketika mengkonsultasikan data penelitan. 5. Dr. Ir. H. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan pengarahan dalam pengambilan mata kuliah. 6. Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS yang telah berbaik hati membantu Penulis menyediakan bahan kimia dalam pembuatan media. 7. Dr. Ir. Eny Widajati, MS yang telah membantu Penulis dalam penyediaan alat dan media penelitian, serta bimbingannya dalam perhitungan komposisi media.
8. Ibu Retno Untari selaku teknisi laboratorium Departemen Biologi bagian foto mikroskopi atas bantuan dan bimbingannya dalam pemotretan polen. 9. Ibu Endang dan Tika selaku teknisi laboratorium Zoology LIPI Cibinong yang membantu Penulis dalam pengamatan morfologi polen dengan SEM. 10. Ibu Lilik dan Bapak Dedi yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mempelajari dan mengikuti metode asetolisis. 11. Dudin Supti Wahyudin, SP yang telah membantu Penulis dalam berbagi jurnal penelitian dan tukar informasi selama penulisan. 12. dr. Iris Rengganis yang telah mengizinkan Penulis untuk menggunakan hasil penelitiannya (SEM polen jagung) untuk disampaikan pada seminar hasil. 13. Bapak Prasetyo, Staf PAU IPB, atas informasi dan bahan kimia yang diberikan kepada Penulis. 14. Teman-teman PMTTB angkatan 41 (2004) terutama Arif, Irwan, Mbak Ami, Imel, Ipik, Rahmasyahraini, Wulan, Nobita, Cipunk, Irfan, Gani, Ida, Endah, Rika, Yanti, Desi, dkk. 15. Teman-teman satu perjuangan, Eva, Ita, dan Rofiq atas semangat dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan. 16. PPSDMS NF Regional V Bogor 2006-2008, terutama Mas Fachri, Soib, Feri, Gema, Bowo, Ihsan, Ikin, dkk atas dukungan dan inspirasi selama penelitian. 17. Teman-teman WAKASIBA Home Kani, Sigit, Bachtiar atas semangat dan properti yang diberikan. 18. Arda dan Eneng Horti atas bantuannya dalam pembuatan larutan media. 19. Heru, Indra, Ashar, Tetuko, Irna, Ela dan teman-teman satu KKP Desa Cileungsing Cikakak, Sukabumi atas kebersamaan dan saran yang diberikan. Kepada semua pihak yang telah membantu Penulis baik spiritual maupun material yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, meskipun demikian Penulis sangat berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2009 Penulis
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
DAFTAR ISI Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... 1 Tujuan ...................................................................................................... 3 Hipotesis .................................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA Polen Sebagai Plasma Nutfah ................................................................... 4 Viabilitas Polen ........................................................................................ 6 Metode Pengecambahan ........................................................................... 8 Metode Pewarnaan ................................................................................... 9 Korelasi.................................................................................................. 11 III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan ............................................................. 12 Bahan dan Alat ....................................................................................... 12 Rancangan dan Metode Percobaan ......................................................... 13 3.1 Morfologi Polen……………………………………………………... 13 3.2 Percobaan I…………………………………………………………...13 3.3 Percobaan II…………………………………………………………. 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Polen ..................................................................................... 18 Percobaan I ............................................................................................ 21 Percobaan II ........................................................................................... 30 Korelasi Metode Pengecambahan dengan Pewarnaan ............................. 36 V. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN ...................................................................................... 37 SARAN .................................................................................................. 37 VI. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 38 VII. LAMPIRAN………………………………………………………...............42
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
-1-
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Teks Morfologi polen keempat famili……………………………………………20
2.
Periode pengamatan perkecambahan dengan PGM dan BK……………… 26
3.
Daya berkecambah polen (%) masing-masing spesies pada berbagai media perkecambahan…………………………………………….27
4.
Hasil uji DMRT pengaruh faktor media terhadap viabilitas polen dengan rancangan petak terbagi (split plot design).............. 27
5.
Periode pengamatan pewarnaan pada masing-masing famili………………32
6.
Nilai duga viabilitas polen (%) masing-masing spesies pada berbagai pewarna…………………………………………………….. 33
7.
Hasil uji DMRT rancangan petak terbagi pengaruh faktor utama dan interaksi pewarna dengan famili terhadap pendugaan viabilitas polen……………………………………….. 35
8.
Nilai koefisien korelasi antara metode pengecambahan (PGM dan BK) dengan pewarnaan (aniline blue, asetocarmin, dan tetrazolium)pada keempat famili………………………... 36 Lampiran
1.
Rekapitulasi hasil uji F pengaruh perlakuan media, spesies, dan interaksinya terhadap viabilitas polen empat famili………………….. 43
2.
Analisis ragam perkecambahan polen Euphorbiaceae……..……………… 43
3.
Analisis ragam perkecambahan polen Solanaceae…………..……………. 43
4.
Analisis ragam perkecambahan polen Poaceae…………..……………….. 44
5.
Analisis ragan perkecambahan polen Myrtaceae…………………………. 44
6.
Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh utama dan interaksi media dengan famili terhadap viabilitas polen……………………………………………. 44
7.
Hasil uji DMRT pengaruh faktor utama (famili) dalam metode pengecambahan terhadap viabilitas polen…………………. 45
8.
Analisis ragam pewarnaan polen Euphorbiaceae…………………………. 45
9.
Analisis ragam pewarnaan polen Solanaceae………………………………45
10. Analisis ragam pewarnaan polen Poaceae………………………………… 46 11. Analisis ragam pewarnaan polen Myrtaceae……………………………… 46 12. Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh faktor utama dan interaksi pewarna dengan famili terhadap viabilitas polen…………………………………….46 13. Nilai koefisien korelasi masing-masing famili……………………………. 51
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Teks Morfologi polen keempat famili dalam keadaan terdehidrasi dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM). Foto (A) Codiaeum variegatum (Euphorbiaceae), (B) apsicum annuum (Solanaceae), (C) Sorghum bicolor (Poaceae), dan (D) Psidium guajava (Myrtaceae)………………………………………………………………... 18
2.
Permukaan polen famili Euphorbiaceae yang membentuk pola (perbesaran 5000X)……………………………………... 19
3.
Perkecambahan polen Jatropha pandurifolia (A) Normal/viabel (a), Tidak viabel (b) (perbesaran 200X) dan (B) Polen yang memiliki tabung polen bercabang (perbesaran 300X)………………………………………………………… 21
4.
Daya berkecambah polen Euphorbiaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan………………............ 22
5.
Daya berkecambah polen Solanaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan.................................... 23
6.
Daya berkecambah polen Poaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan………………............ 24
7.
Daya berkecambah polen Myrtaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan………………............ 25
8.
Hasil pewarnaan pada polen jagung : (A) Aniline blue (perbesaran 200X), (B) Acetocarmine (perbesaran 200X), (C) IKI (perbesaran 100X) dan (D) Tetrazolium (perbesaran 150X)…………………………………………………………. 31
1.
2.
Lampiran Viabilitas polen Euphorbiaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)…………………………………………...47 Viabilitas polen Solanaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)…………………………………………………... 48
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
3.
Viabilitas polen Poaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)…………………………………………………... 49
4.
Viabilitas polen Myrtaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)…………………………………………………... 50
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
-1-
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Polen dapat digunakan sebagai plasma nutfah. Teknik penyimpanan polen yang baik telah memungkinkan polen untuk digunakan dalam konservasi plasma nutfah terbaik dari metode manapun karena polen merupakan materi genetik yang paling sedikit mengandung penyakit1 (Bajaj, 1979; Card, 2007). Polen merupakan pembawa materi genetik jantan kepada gametofit betina ketika terjadi fertilisasi (Malik, 1979). Fertilisasi tidak mungkin dapat terjadi tanpa kehadiran polen dengan viabilitas yang tinggi. Masa viabilitas polen secara alami hanya berlangsung selama beberapa hari bahkan beberapa jam setelah bunga mekar (anthesis) (Song, 2001; Wang et al., 2004). Oleh karena itu pengelolaan polen untuk mempertahankan viabilitasnya tetap tinggi merupakan hal yang penting agar fertilisasi yang diharapkan dapat terjadi. Kegiatan pengelolaan polen ini mencakup pemanenan, penyimpanan, dan pengujian viabilitas polen. Pemanenan polen dapat dilakukan sebelum atau sesudah antesis. Dalam pemanenan polen, kegiatan yang dilakukan berupa pembersihan dan pemilahan polen agar tidak tercampur dengan spesies atau varietas lain. Penyimpanan polen bertujuan agar viabilitasnya tetap terjaga. Berbagai penelitian telah dilakukan agar viabilitasnya tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama. Pada prinsipnya, penyimpanan polen mirip dengan penyimpanan benih (news.bioversityinternational.org). Kualitas polen dapat ditentukan dari tingkat viabilitasnya (Kelly, 2002). Pengetahuan mengenai viabilitas polen sangat berguna bagi pemulia tanaman, ahli genetika, penanam buah (Bolat dan Pirlak, 1999), dan teknolog benih/seed technologist (Malik, 1979). Pengujian viabilitas polen harus dilakukan dalam kegiatan pengelolaan polen terutama untuk tanaman yang memerlukan penyerbukan terkendali (misalnya kelapa sawit). Penggunaan metode pengujian viabilitas polen yang cepat, mudah, dan murah sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi program pemuliaan dan seleksi maupun produksi benih (Bolat dan Pirlak, 1999). | 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
2
Saat ini, metode yang banyak digunakan untuk menduga viabilitas polen adalah metode pengecambahan polen secara in vitro, pengamatan dengan metode pewarnaan pada polen yang tidak dikecambahkan, pengujian in vivo melalui pengamatan tabung polen pada jaringan stylus (tangkai putik), dan pengamatan terhadap benih yang terbentuk (seed set) dari hasil penyerbukan pada pohon contoh
(Galleta,
1983).
Diantara
metode
pengujian
tersebut,
metode
pengecambahan polen secara in vitro merupakan metode uji viabilitas polen yang dianggap paling baik. Metode ini biasanya menggunakan formula Brewbaker dan Kwack (10% sukrosa, 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2.4 H2O, 200 ppm MgSO4.7H2O, dan 100 ppm KNO3 dalam 1000 mL aquades) sebagai media dasar. Meskipun media Brewbaker dan Kwack dapat digunakan untuk beragam spesies tanaman, tetapi hasilnya sangat bervariasi, sehingga untuk masing-masing spesies perlu dibuat modifikiasi media pengecambahan polen. Sementara itu, metode pengujian lain yang juga cukup banyak digunakan oleh peneliti, yaitu pewarnaan. Pengujian pewarnaan yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan acetocarmin, propione carmin, anilin blue, Alexander’s stain, IKI (Iodine + Potassium Iodide), FDA (Flourescein diacetate), NBT (p-nitro blue tetrazolium), MTT ( 2,5-diphenyl tetrazolium bromide) dan TTC (2,2,5-triphenyl tetrazolium chloride) (Bolat dan Pirlak, 1999). Metode pewarnaan cenderung lebih mudah, murah, dan cepat, sedangkan metode pengecambahan polen secara in vitro sebaliknya. Metode pengecambahan polen secara in vitro ini merupakan metode yang relatif lebih mahal, sulit, dan lama dibandingkan dengan metode pewarnaan. Pada pengujian viabilitas polen dengan menggunakan metode pengecambahan polen secara in vitro dibutuhkan uji pendahuluan terlebih dahulu untuk menemukan media perkecambahan yang sesuai pada masing-masing spesies. Pada tanaman buah umumnya hanya membutuhkan air atau sumber gula untuk perkecambahan polen, tetapi pada spesies yang lainnya membutuhkan media yang lebih lengkap. Tingkat perkecambahan pada beberapa spesies dan kultivar tanaman buah bervariasi tergantung pada medium atau konsentrasi bahan kimianya (Bolat dan Pirlak, 1999).
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
3
Penelitian mengenai hubungan antara metode pewarnaan dengan pengecambahan polen secara in vitro masih jarang dilakukan di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mempelajari hal tersebut. Pengetahuan mengenai korelasi antara metode pewarnaan dengan metode perkecambahan dalam pendugaan viabilitas polen dapat digunakan untuk menggantikan metode pengecambahan polen secara in vitro yang selama ini dianggap paling akurat dalam menduga viabilitas polen. Selain itu, secara internasional belum terdapat metode standar dalam pengujian viabilitas polen ini, sehingga pengetahuan mengenai metode pengujian viabilitas pada berbagai famili sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dalam program perbaikan tanaman.
Tujuan 1. Mempelajari media pengecambahan dan pewarnaan polen yang dapat digunakan secara umum untuk sebagian besar spesies. 2. Mempelajari korelasi antara metode pengecambahan in vitro dengan metode pewarnaan dalam pengujian viabilitas polen.
Hipotesis 1. Tersedia media dan pewarna yang dapat digunakan untuk sebagian besar spesies dalam satu famili. 2. Ada korelasi antara metode pengecambahan dengan pewarna dalam pengujian viabilitas polen.
2) http://www.actahort.org/books/740/index.htm diakses pada tanggal 27/10/2007
-1-
II. TINJAUAN PUSTAKA Polen Sebagai Plasma Nutfah Dalam program pemuliaan tanaman, untuk menghasilkan varietas unggul baru dengan produktivitas dan stabilitas hasil tinggi membutuhkan sumbersumber gen dari sifat – sifat tanaman yang mendukung tujuan tersebut (Allard, 1960). Sumber-sumber gen dari sifat-sifat tanaman tersebut perlu diidentifikasi dan ditemukan pada plasma nutfah melalui kegiatan karakterisasi dan evaluasi untuk dapat diberdayakan dalam program pemuliaan (Hawkes, 1981). Gen – gen yang sekarang ini tampaknya belum berguna, di masa yang akan datang mungkin akan diperlukan dalam pembentukan varietas unggul baru. Oleh karena itu, plasma nutfah yang sudah ada perlu dilestarikan agar selalu tersedia untuk masa kini dan masa mendatang. Polen (serbuk sari) merupakan bagian dari alat kelamin jantan bunga yang membawa material genetik jantan (Malik, 1979). Menurut Card (2007), polen merupakan sumber plasma nutfah yang berharga bagi kegiatan perbaikan tanaman. Dalam kegiatan konservasi keanekaragaman tanaman terutama untuk genotipe yang unik, polen memiliki peranan yang sangat penting untuk tujuan pemuliaan1 (Walt dan Littlejohn, 1996). Menurut Card (2007), polen merupakan bentuk materi genetik yang baik untuk pengiriman atau pertukaran keragaman genetik antar negara karena hanya sedikit sumber penyakit yang terbawa bersama polen1. Selain itu, tidak ada invertebrata, bakteri, fitoplasma, atau spiroplasma yang terbawa bersama polen. Polen juga dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi untuk mendapatkan tanaman yang memiliki toleransi terhadap suhu udara yang tinggi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Song (2001) dan Kakani et al. (2005) bahwa identifikasi suhu kardinal bagi perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen dapat digunakan untuk memahami mekanisme toleransi tanaman terhadap suhu udara tinggi. Zebrowska (1997) menyatakan bahwa pada strawberry hanya
| 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
5
polen yang memiliki viabilitas tinggi yang mampu melakukan fertilisasi dalam keadaan suhu udara yang rendah atau tinggi selama pembungaan. Kemajuan pemuliaan tanaman berjalan dengan lambat apabila hanya mengandalkan kondisi alami, seperti misalnya lamanya fase juvenil, pendeknya masa viabilitas polen, dan waktu pematangan antara polen dan stigma yang tidak bersamaan. Fertilisasi terjadi ketika tanaman telah mencapai fase reprodukif, polen yang viabel menempel pada stigma yang reseptif, pada tanaman yang sejenis. Penyimpanan polen merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan polen, sehingga sewaktu-waktu diperlukan dapat digunakan. Selain itu, penyimpanan polen untuk jangka panjang memberi kesempatan untuk melestarikan dan memanipulasi sumber genetik. Pengelolaan polen juga mulai dikembangkan dan diadopsi produsen benih untuk mencegah terjadi pencurian materi genetik. Dengan metode penyimpanan polen kepada petani mitra untuk produksi benih hibrida hanya disediakan tanaman induk betina, sedangkan induk jantan hanya disediakan polen. Dengan demikian pencurian dan pemalsuan benih hibrida akan semakin sedikit. Dalam situs news.bioversityinternational.org dinyatakan bahwa polen, seperti halnya benih ortodoks, dapat disimpan dengan viabilitas tetap terjaga dalam jangka waktu yang lama. Polen Carica papaya kultivar Washington dan Carica cauliflora yang disimpan secara kriogenik selama enam dan delapan tahun tidak mengalami perubahan vigor yang berarti. Polen yang disimpan pada suhu 196ºC
selama delapan tahun ini dapat digunakan untuk penyerbukan dan
menghasilkan pembentukan buah dan benih sebesar 80–86%2. Penyimpanan polen dalam suhu rendah merupakan solusi dari beberapa kendala yang dihadapi oleh pemulia tanaman berkaitan dengan daya hidup polen (Bajaj, 1979). Perkembangan teknologi penyimpanan polen jangka panjang akan memungkinkan persilangan antar spesies yang memiliki waktu pembungaan yang berbeda (Walt dan Littlejohn, 1996). Oleh karena itu, penyimpanan polen jangka panjang sangat penting untuk menjamin ketersediaan polen, sehingga dapat mempercepat perakitan varietas baru dan pemeliharaan plasma nutfah.
6
Pemeliharaan plasma nutfah di Indonesia saat ini baru dilakukan dalam bentuk benih, plantlet, atau pertanaman langsung di suatu lahan konservasi. Di negara maju, pemeliharaan plasma nutfah sudah menggunakan polen. Penggunaan polen sebagai plasma nutfah sangat penting dan berharga, terutama untuk komoditas yang tidak bisa disimpan lama dalam bentuk benih (rekalsitran) dan tanaman yang tidak menunjukkan respon positif terhadap metode kultur jaringan. Beberapa polen juga bersifat rekalsitran, tetapi tidak ada korelasi antara benih rekalsitran dengan polen rekalsitran sehingga penyimpanan polen jangka panjang dapat menggantikan pemeliharaan plasma nutfah untuk tanaman yang mempunyai benih rekalsitran1 (Wang et al., 1993). Menurut Wang et al. (1993), keuntungan penggunaan polen dalam pemeliharaan plasma nutfah antara lain (1) ukuran polen yang kecil lebih ekonomis dalam penyimpanan karena tidak banyak memerlukan tempat sehingga jumlahnya lebih banyak daripada penggunaan benih, (2) komoditas yang memiliki benih rekalsitran dan tanaman yang menunjukkan respon kurang baik terhadap metode kultur jaringan dapat disimpan lama dengan menggunakan polennya, (3) bank polen dapat mewakili populasi secara luas dan sifat haploid polen sangat berpotensi dalam pengembangan sejumlah klon tanaman androgenik, dan (4) penyerbukan terkontrol akan lebih mudah dilakukan, polen mudah dikirim, dibekukan, dan direhidrasi sehingga untuk mendapatkan polen yang memiliki viabilitas baik tidak harus menunggu tanaman sampai menghasilkan bunga. Viabilitas Polen Kualitas polen dapat ditentukan salah satunya dengan melihat tingkat viabilitasnya (Kelly, 2002). Peningkatan pengetahuan mengenai viabilitas polen, penyimpanan, dan perkecambahannya sangat membantu para pemulia tanaman dalam mempercepat tujuan mereka untuk meningkatkan penyediaan kebutuhan hidup (Malik, 1979). Bolat dan Pirlak (1999) menambahkan bahwa pengetahuan mengenai viabilitas polen dapat dimanfaatkan oleh para pekebun buah untuk estimasi produksi buah yang akan mereka dapatkan.
7
Polen merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam produksi benih. Persaingan antar polen tergantung dari kualitas polen yang ditentukan secara genetik. Polen yang secara genetik bersifat superior akan lebih cepat membentuk tabung polen dan bergerak menuju sel telur daripada polen yang inferior. Sel telur yang dibuahi lebih awal akan lebih dahulu berkembang menjadi embrio daripada sel telur yang dibuahi kemudian. Embrio yang terbentuk lebih awal mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan fotosintat untuk pertumbuhan dan perkembangannya dalam pembentukan biji sehingga dengan demikian embrio tersebut dapat berkembang menjadi biji yang memiliki viabilitas yang tinggi (Hoekstra, 1983). Jadi, viabilitas polen yang digunakan akan mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan. Polen dengan viabilitas tinggi akan lebih dahulu membuahi sel telur sehingga akan menghasilkan buah dengan mutu yang baik dan benih dengan viabilitas yang tingi pula (Widiastuti, 2005). Jumlah biji yang terbentuk tergantung pada jumlah ovulum yang dapat dibuahi agar ovulum tersebut terus berkembang dan tidak gugur. Maheswari dan Kanta (1964) menyatakan bahwa jumlah biji yang dihasilkan tergantung pada : 1) jumlah butiran polen yang digunakan untuk menyerbuk, 2) jumlah polen yang menempel pada stigma, 3) lamanya waktu perkecambahan polen, dan 4) jumlah polen yang berkecambah pada stigma. Ada berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk menguji viabilitas polen. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode pewarnaan dan metode perkecambahan polen secara in vitro. Menurut Galletta (1983) ada empat metode umum pengujian viabilitas polen, yaitu (1) pengecambahan polen secara in vitro, (2) pengamatan dengan metode pewarnaan pada polen yang tidak dikecambahkan, (3) pengujian in vivo melalui pengamatan tabung polen pada jaringan stylus (tangkai putik), dan (4) pengamatan terhadap produk benih yang terbentuk (seed set) dari hasil penyerbukan pada pohon contoh. Diantara metodemetode tersebut, pengujian viabilitas melalui perkecambahan polen secara in vitro merupakan metode yang paling diandalkan.
8
Metode Pengecambahan Metode pengecambahan polen secara in vitro merupakan metode yang paling akurat untuk menduga viabilitas polen (Galletta, 1983; Bolat dan Pirlak, 1999). Meskipun demikian, metode ini cukup sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama (Pline, 2002). Dalam metode pengecambahan polen secara in vitro perlu diadakan pencarian media yang tepat terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian pengecambahan, sehingga metode ini tergolong sulit, lama, relatif mahal , dan memerlukan keterampilan khusus. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan polen secara in vitro diantaranya adalah spesies tanaman, waktu pengambilan polen dari lapang, musim, metode pengambilan polen, sejarah penyimpanan, dan kondisi perkecambahan seperti suhu, RH, media, dan pH (Brewbaker dan Kwack, 1964). Perkecambahan polen memerlukan suhu antara 15 – 350C (Darjanto dan Satifah, 1990). Mascarenhas dan Altschuler (1983) melaporkan bahwa polen tumbuh terus menerus pada suhu 25, 29, 33, 37, dan 410C. Suhu optimum untuk perkecambahan polen pada spesies buah-buahan adalah 20 – 300C. Media perkecambahan polen pertama kali diformulasikan oleh Brewbaker dan Kwack pada tahun 1963. Komposisi media tersebut adalah 10% sukrosa, 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2.4 H2O, 200 ppm MgSO4.7H2O, dan 100 ppm KNO3 dalam 1000 mL aquades. Formulasi ini dikenal dengan sebutan Brewbaker’s solution (Brewbaker dan Kwack, 1963). Schreiber dan Dresselhaus (2003) dalam percobaannya menggunakan media pengecambahan polen yang berbeda, yaitu PGM (Pollen Germinaton Medium). Media ini konon telah mendapatkan jaminan efisiensi pengecambahan polen lebih dari 90% untuk polen jagung, dari paling sedikit tujuh genotipe. Media ini juga dikabarkan cocok bagi perkecambahan banyak polen tanaman monokotil dan dikotil lainnya. PGM terdiri atas 10% sukrosa, 0.005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05% mM KH2PO4, 6% PEG 4000. Media yang digunakan untuk menumbuhkan polen sangat bervariasi. Pada sub kelas Angiospermae, untuk mengecambahkan polen selalu membutuhkan kehadiran gula disamping boron dan nutrisi lain dalam perkecambahannya (Galletta, 1983). Vassil (1964) menyebutkan bahwa perkecambahan polen dan
9
pertumbuhan tabung polen Tectona radicans, boron berfungsi untuk menstimulasi pemecahan gula seperti sukrosa oleh sel. Hrabetova dan Tupy (1964) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa efek spesifik sukrosa terhadap perkembangan tabung polen berbeda untuk masing-masing spesies tanaman, gula utama yang diperlukan adalah dalam bentuk sukrosa, sementara boron berperan sebagai pendorong pemecahan sukrosa untuk menunjang pertumbuhan tabung polen. Berbagai senyawa gula lain juga pernah digunakan sebagai pengganti sukrosa. Rafinosa, galaktosa, glukosa, maltosa, dan fruktosa pernah dicobakan oleh Rihova et al. (1996) untuk menguji perkecambahan polen kentang. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa penggantian maltosa terhadap sukrosa tidak meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen, sedangkan senyawa gula lainnya pada konsentrasi 10% dan 15% berpengaruh sama atau lebih rendah bagi perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen dibandingkan dengan sukrosa 15%. Tetapi penggantian laktosa terhadap sukrosa justru meningkatkan daya berkecambah polen kentang dan penggantian sukrosa dengan manitol tidak menghasilkan perkecambahan. Polen bunga coklat (Theobroma cacao L.) menurut Darjanto dan Satifah (1990) dapat dikecambahkan dengan baik pada medium yang terdiri atas 15% sukrosa, 100 ppm asam borat, 100 ppm kalsium nitrat yang dilarutkan dalam aquades dengan suhu antara 15 – 250C. Dalam perkecambahan polen Petunia hybrida dan Lycopersicon esulentum dapat digunakan 1 ml larutan sukrosa (10 – 15%) yang mengandung 300 ppm kalsium nitrat dan 100 ppm asam borat pada suhu 200C (Mulcahy dan Mulcahy, 1983). Metode Pewarnaan Metode pewarnaan yang umum digunakan untuk menduga viabilitas polen adalah acetocarmin, propione carmin, aniline blue, Alexdaner’s stain, FDA, NBT, TCC, MCC, dan larutan lugol atau Iodine Potassium/Kalium Iodide (Wang, 2004: Bolat dan Pirlak, 1999: Pline, 2002). Bahan pewarnaan yang digunakan berbedabeda tergantung pada spesies dan senyawa dalam polen yang berfungsi sebagai indikator viabilitas polen tersebut.
10
Pada pengujian viabilitas polen dengan menggunakan aniline blue, komponen yang diuji sebenarnya adalah kandungan kalosa dalam dinding dan tabung polen. Pada pewarnaan dengan menggunakan FDA (Fluorescein diacetat) faktor yang dilihat adalah adanya aktivitas esterase dan keutuhan plasma membran. Garam tetrazolium digunakan untuk mendeteksi aktivitas enzim dehidrogenase (Wang, 2004). Menurut Huang dan Johnson (1996), keuntungan penggunaan prosedur FDA yaitu viabilitas polen dapat ditentukan dengan mudah dan hasil dapat dipercaya kebenarannya. Pline et al., (2002) menambahkan bahwa penggunaan metode ini dapat diamati melalui mikroskop cahaya ultraviolet dan polen dapat dengan mudah dinilai sebagai viabel jika berwarna/berpendar dan non-viabel jika tidak berpendar. Sedgley dan Harbard (1993) juga menyatakan bahwa pewarnaan dengan
menggunakan
FDA
memberikan
hasil
yang
terbaik
untuk
mengindikasikan kemampuan polen untuk berkecambah pada stigma dan penetrasi ovul. Metode pewarnaan polen dengan menggunakan larutan tetrazolium juga banyak digunakan untuk menentukan viabilitas polen. Norton (1966) melaporkan bahwa bulir polen dari tanaman apel, anggur, pir, dan peach dapat terwarnai dengan cepat dan menunjukkan kontras warna yang baik ketika diberi perlakuan dengan menggunakan larutan 2,3,5-triphenyl tetrazolium chloride. Intensitas pewarnaan dengan menggunakan MTT bervariasi, dari transparan/tak berwarna sampai merah gelap. Polen yang berwarna merah terang atau merah normal merupakan polen yang viabel dan polen yang tak berwarna inviabel. Pada polen tanaman padi (Oryza sativa) banyak digunakan larutan IodinePotassiun Iodide (IKI) untuk menduga viabilitas polen (Song, 2001). Ada pula larutan Alexander yang digunakan untuk menduga viabilitas polen. Larutan ini tersusun atas 95% etanol 10 ml, 1% malachite green (dalam 95% etanol 5 ml), 1% asam fuksin dalam 5 ml air, 1% Orange G dalam 0,5 ml air, asam asetat 2 ml, gliserol 25 ml, fenol 5 gram, dan air 47,5 ml (Lichtenzveig, 2006). Kemudahannya adalah dapat diamati di bawah mikroskop cahaya. Polen yang viabel berwarna biru gelap atau ungu, sedangkan biru muda dikategorikan tidak viabel.
11
Pengujian viabilitas polen dengan menggunakan metode pewarnaan memiliki beberapa keuntungan. Keuntungannya adalah metode ini lebih cepat dan lebih mudah untuk mengidentifikasi polen yang viabel dibandingkan metode perkecambahan polen secara in vitro. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, penggunaan metode pewarnaan ini menghasilkan viabilitas yang berbeda-beda pada beberapa spesies atau kultivar buah batu (Bolat dan Pirlak, 1999). Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua peubah melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi. Koefisien korelasi linier digunakan sebagai ukuran hubungan linier antara dua peubah acak dengan mengukur sejauh mana titik-titik itu menggerombol di sekitar garis lurus. Bila titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah. Akan tetapi, bila titik-titik menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan kemiringan negatif, maka antara kedua peubah itu terdapat korelasi negatif yang tinggi. Korelasi antara kedua peubah semakin menurun secara numerik dengan semakin memencarnya atau menjauhnya titik-titik dari suatu garis lurus. Bila titik-titiknya mengikuti suatu pola yang acak, dengan kata lain tidak ada pola, maka korelasinya nol, dan dapat disimpulkan tidak ada hubungan linier antara dua peubah tersebut (Walpole, 1995). Korelasi antara dua metode pengujian viabilitas polen (pengecambahan secara in vitro dan pewarnaan) masih diperdebatkan oleh peneliti dunia. Menurut Oberle dan Watson dalam Bolat dan Pirlak (1999) tidak ada keeratan hubungan antara pengecambahan polen in vitro dengan pewarnaan. Sedangkan menurut Pearson dan Harney dalam Bolat dan Pirlak (1999) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kedua metode tersebut.
III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2008 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor dan Laboratorium Biologi Bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah sejumlah polen dari empat Famili yaitu Euphorbiaceae (Jatropha curcas, Jatropha pandurifolia, dan Codiaeum variegatum), Solanaceae (Capsicum annuum, Nicotiana tabacum, dan Solanum torvum), Poaceae (Oryza sativa galur TB4902-TB-1-1-2-1-MR-1-1, Zea mays varietas surya, dan Sorghum bicolor var. Super sugar), dan Myrtaceae (Psidium guajava, Syzygium aquaea, dan Eugenia jambolana). Bahan kimia yang digunakan untuk metode perkecambahan adalah formula Brewbaker & Kwack, Brewbaker & Kwack tanpa sukrosa, sukrosa 10%, dan Pollen Germination Medium (PGM), sedangkan untuk metode pewarnaan yang digunakan adalah TTC 1% (2,3,5-triphenyl tetrazolium chloride), IKI (Iodine+Potassium Iodide) 1% (1 gram KI dan 0.5 gram Iodine dilarutkan dalam 100 ml aquadest), Acetocarmine 0.75% (0.75 gram carmine dilarutkan dalam 45 ml asam asetat glacial + 55 ml aquadest, kemudian dididihkan, setelah dingin disaring), dan Aniline blue 0.2% (0.2 gram aniline blue dilarutkan dalam 100 ml aquadest). Peralatan yang dibutuhkan adalah seperangkat alat pembua larutan, deck glass, pinset, jarum ose, box taperware, pipet, hit counter, vial, tisu, termometer, mikroskop cahaya Olympus BX51, mikroskop cahaya Nikon SMZ1000,
dan
mikroskop
pemindai
elektron
(Scanning
Elektron
Microscope/SEM) JSM-5310LV.
| 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
13
Pembuatan media Brewbaker & Kwack dilakukan dengan mencampurkan bahan kimia 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2.4 H2O, 200 ppm MgSO4.7H2O, dan 100 ppm KNO3) dalam 1000 mL aquabidest. Kemudian larutan tersebut dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian ditambahkan 10% sukrosa, sedangkan bagian lainnya tidak ada penambahan sukrosa. Media sukrosa 10% dibuat dengan melarutkan 10 gram sukrosa dalam 100 ml aquadest. Media PGM dibuat dengan mencampurkan 10% sukrosa, 0.005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05 mM KH2PO4, dan 4% Polyetilene Glycol 6000 (PEG), setelah itu disaring menggunakan kertas saring. Media PGM ini merupakan modifikasi dari penelitan Schreiber dan Dresselhaus (2003) yaitu dengan mengganti 6% PEG 4000 dengan 4% PEG 6000 dan tidak dilakukan pemanasan larutan pada suhu 70 C. Rancangan dan Metode Percobaan Penelitian meliputi pengamatan morfologi polen dan pelaksanaan dua percobaan, yaitu percobaan I dan percobaan II. 3.1 Morfologi Polen Percobaan ini bertujuan untuk mengamati morfologi polen masing-masing famili dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Pengamatan ini dilakukan di Laboratorium Biologi Bidang Zoologi Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia di Cibinong. Polen dari enam spesies yang mewakili keempat famili yang telah dikeringkan dalam silica gel selama sekitar satu bulan diletakkan di atas stub untuk dilapisi emas, setelah itu masing-masing stub diamati dalam alat Scanning Electron Microscope (SEM). 3.2 Percobaan I Percobaan ini ditujukan untuk menentukan media perkecambahan polen yang terbaik bagi masing-masing famili. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor yang diujikan adalah media perkecambahan polen yang terdiri atas empat taraf, yaitu media PGM (G1), media Brewbaker & Kwack (G2), media Brewbaker & Kwack – Sukrosa (G3), dan sukrosa 10% (G4) pada spesies dalam satu famili sebagai faktor kedua, sehingga analisis data dilakukan tiap famili.
14
Model linier yang digunakan untuk mengujinya adalah : Yijk Yijk
=µ+
i
+
j
+(
)ij +
ijk
= Nilai pengamatan pengaruh perlakuan media ke-i, spesies ke-j, dan ulangan ke-k.
µ
= Nilai tengah umum i
= Pengaruh media ke-i
j
= Pengaruh spesies ke-j
(
)ij = Pengaruh interaksi antara media ke-i dengan spesies ke-j ijk
= Pengaruh galat percobaan pada media ke-i, spesies ke-j, ulangan ke-k
i
= 1, 2, 3, 4
j
= 1, 2, 3 Percobaan ini dilakukan dengan mengecambahkan polen pada masing-masing
media yang diujikan secara bersamaan. Tahapan dalam percobaan ini adalah : 1. Pengambilan polen dilakukan langsung dari lapangan pada pagi hari sebelum bunga mekar (antesis). 2. Bunga dibawa ke laboratorium dan dibiarkan sampai antesis. Untuk Poaceae, sebelum antesis sekamnya digunting pada bagian atasnya sehingga anteranya keluar untuk mempercepat pecahnya antera. 3. Setelah antesis, polen dikecambahkan pada media yang telah disiapkan pada deck glass dengan menggunakan jarum ose (diameter kurang lebih 0.5 mm). Untuk famili Poaceae, sebelum dilakukan pengecambahan, anter yang sudah mekar dilakukan rehidrasi di atas cawan petri yang dialasi tisu basah dan disimpan dalam box tupper ware yang tertutup rapat selama + 3 jam. Jarum ose sebelumnya dicelupkan ke dalam media perkecambahan yang digunakan sehingga serbuk sari dapat menempel. Pengecambahan harus dilakukan dengan cepat karena keberhasilan perkecambahan tergantung pada kelembaban sekitar butir polen (Wahyudin, 1999). Satu deck glass merupakan satu ulangan perlakuan. 4. Setelah pengecambahan selesai, masing-masing deck glass dimasukkan ke dalam box tupper ware besar yang bagian bawahnya telah dialasi tisu lembab, kemudian ditutup dan diinkubasi dalam ruangan dengan suhu + 240C.
15
5. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6, 8, 24, 48 dan 72 jam setelah pengecambahan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100X (untuk polen berukuran besar) dan 200X (untuk polen berukuran kecil). Polen yang hidup akan berkecambah dan membentuk tabung polen. Polen dikategorikan normal apabila panjang tabung polen sudah mencapai minimal sama dengan diameter
polen
tersebut.
Pengamatan
dihentikan
apabila
nilai
daya
berkecambah sudah mencapai nilai yang konstan. Untuk setiap pengujian dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dengan satu kali ulangan berisi 3 – 7 bidang pandang. Banyaknya polen tiap ulangan sekitar 200 – 700 butir. 6. Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai daya berkecambah atau viabilitas dengan menggunakan rumus : viabilitas =
jumlah polen yang berkecambah pada bidang pandang x 100% total polen yang dikecambahkan dalam bidang pandang
3.3 Percobaan II Percobaan ini ditujukan untuk menentukan pewarna polen terbaik bagi masing-masing famili. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor yang diujikan adalah pewarna polen yang terdiri atas empat taraf, yaitu Aniline Blue 0.2% (S1), Acetocarmin 0.75% (S2), Iodin Kalium Iodida atau IKI 1% (S3), dan 2,3,5-Triphenyl Tetrazolium Chloride atau TTC 1% (S4). Sedangkan faktor kedua adalah spesies dalam famili yang sama. Model linier untuk mengujinya adalah ; Yijk Yijk
=µ+
i
+
j
+(
)ij +
ijk
= Nilai pengamatan pengaruh perlakuan pewarna ke-i, spesies ke-j, dan ulangan ke-k.
µ
= Nilai tengah umum i
= Pengaruh pewarna ke-i
j
= Pengaruh spesies ke-j
(
)ij = Pengaruh interaksi antara pewarna ke-i dengan spesies ke-j ijk
= Pengaruh galat percobaan pada pewarna ke-i, spesies ke-j, ulangan ke-k
i
= 1, 2, 3, 4
j
= 1, 2, 3
16
Percobaan ini dilakukan dengan memasukkan polen pada masing-masing pewarna yang diujikan secara bersamaan. Tahapan dalam percobaan ini adalah : 1. Pengambilan polen dilakukan langsung dari lapangan pada pagi hari sebelum bunga mekar (antesis). 2. Bunga dibawa ke laboratorium dan dibiarkan sampai bunga antesis. Untuk Poaceae, sebelum antesis sekamnya digunting pada bagian atasnya sehingga anternya keluar untuk mempercepat pecahnya antera. 3. Setelah antesis polen diwarnai dengan media yang telah disiapkan pada deck glass dengan menggunakan jarum ose. Pada famili Poaceae, sebelum dilakukan pengecambahan, anter yang sudah mekar dilakukan rehidrasi di atas cawan petri yang dialasi tisu basah dan disimpan dalam box tupper ware yang tertutup rapat selama + 3 jam. Jarum ose sebelumnya dicelupkan ke dalam pewarna yang digunakan sehingga serbuk sari dapat menempel. 4. Setelah pewarnaan selesai, masing-masing deck glass dimasukkan ke dalam box tupper ware besar yang bagian bawahnya telah dialasi tisu lembab, kemudian ditutup dan diinkubasi dalam ruangan dengan suhu + 24 C. Untuk pewarna TTC dilakukan inkubasi pada tempat dengan suhu yang lebih tinggi, yaitu 35 C + 4 C tanpa dilakukan pencucian sebelum pengamatan. 5. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6, 8, 24, 48, dan 72 jam setelah pewarnaan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100X (polen berukuran besar) dan 200X (polen berukuran kecil). Polen dikategorikan normal apabila polen berwarna sudah mencapai 70% terwarnai menjadi biru tua pada pewarna aniline blue, merah tua pada pewarna asetocarmine, merah menyala pada pewarna TTC, dan ungu kehitaman pada pewarna IKI. Pengamatan dihentikan apabila sudah mencapai nilai yang konstan. Untuk tiap pengujian dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dengan satu kali ulangan berisi 3 – 7 bidang pandang. Banyaknya polen tiap ulangan sekitar 200 – 700 butir. 6. Selanjutnya dilakukan penghitungan viabilitas dengan menggunakan rumus : viabilitas =
jumlah polen yang terwarnai dalam bidang pandang x 100% total polen yang diwarnai dalam bidang pandang
17
Dari data yang diperoleh pada percobaan I dan II, dilakukan sidik ragam pada setiap famili. Apabila media pengecambahan dan pewarnaan berpengaruh nyata terhadap viabilitas polen, maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Untuk mengetahui pengaruh media dan pewarna terhadap semua famili, data diolah kembali dengan rancangan petak terbagi (Split Plot Design) dengan famili sebagai faktor utama dan media atau pewarna sebagai anak petak. Tujuan pengolahan data ini adalah untuk menguji metode yang dapat digunakan secara umum pada semua famili. Metode pengujian viabilitas polen dikategorikan dapat digunakan secara umum apabila viabilitas polen tidak lagi dipengaruhi oleh famili. Uji korelasi antara kedua media tersebut juga dilakukan untuk mempelajari keeratan
hubungan
keduanya
sehingga
dapat
ditentukan
kemungkinan
penggunaan metode pewarnaan untuk menduga viabilitas polen dengan lebih akurat dan efisien. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Office Excel 2007, SAS 9.1, dan Minitab 14. Sebelum dilakukan sidik ragam,
data
ditranformasi
terlebih
dahulu
dengan
transformasi
arcsin
persentase menggunakan tabel J karena data menyebar dari 0 – 100% dan penyebaran data tidak normal sebelum ditransformasi (Gomez dan Gomez, 1995).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Polen Keempat famili yang diamati mempunyai morfologi polen yang berbeda (Gambar 1). Perbedaan ini merupakan salah satu dari ciri khusus tiap famili karena dalam satu famili menunjukkan bentuk luar yang serupa. Perbedaan morfologi ini dapat dijadikan sebagai landasan dalam sistem identifikasi tanaman (Erdtman, 1972).
Gambar 1. Morfologi polen keempat famili dalam keadaan terdehidrasi dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM). Foto (A) Codiaeum variegatum (Euphorbiaceae; Garis: 50 µm), (B) Capsicum annuum (Solanaceae; Garis: 50 µm), (C) Sorghum bicolor (Poaceae; Garis: 20 µm), dan (D) Psidium guajava (Myrtaceae; Garis: 5 µm). Euphorbiaceae mempunyai bentuk polen yang bulat (Gambar 1A) dengan ukuran yang bervariasi. Polen Jatropa pandurifolia mempunyai diameter sebesar 81.2 + 8.65 µm lebih besar daripada polen Codiaeum variegatum yang berdiameter 47.3 + 1.98 µm (Tabel 1). Cekungan pada polen tersebut disebabkan oleh keadaan polen yang terdehidrasi. Bentuk dan jumlah pori polen pada | 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
19
Euphorbiaceae tidak teridentifikasi. Pada permukaan polen famili ini terdapat tonjolan-tonjolan yang membentuk suatu pola (crotonoid) (Gambar 2). Menurut Erdtman (1972), polen Euphorbiaceae merupakan golongan tidak memiliki lubang pori (inaperture). Pola tonjolan diduga merupakan lokasi munculnya tabung polen. Solanaceae (Capsicum annuum) memiliki bentuk polen yang lonjong (Gambar 1B) dengan panjang 46.9 + 2.89 µm dan lebar 21.8 + 2.20 µm (Tabel 1). Porinya berbentuk kolpata berjumlah 3 buah (trikolpata). Pengamatan dengan mikroskop cahaya menunjukkan bahwa ketiga spesies dari Solanaceae mempunyai morfologi yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erdtman (1972) yang menyatakan bahwa genus
Capsicum dengan Solanum memiliki
morfologi polen yang serupa. Meskipun demikian, Erdtman (1972) juga menyatakan bahwa spesies-spesies dalam satu famili tidak selalu mempunyai morfologi yang sama, karena beberapa spesies dalam famili Solanaceae tidak berpori.
Gambar 2. Permukaan polen famili Euphorbiaceae yang membentuk pola (perbesaran 5000X). Famili Poaceae (Shorgum bicolor) memiliki bentuk polen yang bulat (Gambar 1C) dengan diameter 48.9 + 1.87 µm dengan satu pori (uniporata) serupa dengan polen jagung (Zea mays) yang mempunyai diameter 98.141 µm. Erdtman (1972) menyatakan bahwa morfologi polen Poaceae biasanya mempunyai satu buah pori di bagian distal, yaitu bagian luar pada fase tetrad, tetapi pada Triticale sp. jumlah porinya bervariasi antara 0–7 buah dengan bentuk pori mendekati bulat, ramping dan menonjol.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
20
Tabel 1. Morfologi polen keempat famili Famili/Spesies
Bentuk
Ukuran
Bentuk pori
Jumlah pori
-
-
p = 46.9 + 2.89
Kolpata
3
l = 21.8 + 2.20
Kolpata
d = 48.9 + 1.87
Porata
d = 98.141
Porata
Segitiga
t = 17.161
Kolpata
3
Segiempat
t = 20.260
Kolpata
4
(µm + SD) Euphorbiaceae - Codiaeum variegatum
Bulat
- Jatropha pandurifolia
d = 47.3 + 1.98 d = 81.2 + 8.65
Solanaceae Capsicum annuum
Lonjong
Poaceae - Sorghum bicolor
Bulat
- Zea mays
1
Myrtaceae Psidium guajava
Keterangan : SD = standar deviasi
Myrtaceae (Psidium guajava) memiliki bentuk polen yang beragam meskipun dalam satu antera. Bentuk polennya ada yang segitiga dan segiempat. Pada polen yang mendekati bentuk segitiga sama sisi tingginya sekitar 17.16 µm dan pada polen yang bentuknya mendekati segiempat tingginya mencapai 20.26 µm (Tabel 1). Tekstur permukaan polen tidak beraturan (psilate). Bentuk porinya kolpata dengan jumlah sesuai dengan bentuk polen tersebut. Polen segitiga jumlah porinya ada tiga dan segiempat jumlah porinya juga empat (Gambar 1D). Menurut Erdtman (1972), polen dalam famili Myrtaceae membentuk kutub yang seimbang (isopolar) dan biasanya radiosimetrik, dua bidang atau lebih memiliki panjang yang sama, dengan pori 2, 3, dan 4 dan angulaperturate, pori terletak di bagian sudut polen. Jumlah pori pada polen dapat mempengaruhi jumlah tabung polen yang muncul. Pada famili Poaceae, hanya ditemukan satu tabung polen saja karena famili ini hanya memiliki satu pori. Berbeda dengan Myrtaceae yang jumlah porinya lebih dari satu, kadang-kadang diperoleh tabung polen lebih dari satu juga, walaupun hanya ada satu tabung yang dapat tumbuh memanjang setelah
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
21
beberapa saat. Pada Euphorbiaceae yang tidak mempunyai pori, tabung polen yang muncul dari famili ini dapat lebih dari satu (Gambar 3B). Pola tersebut diduga merupakan lokasi exine yang mengalami keretakan pada saat polen terdehidrasi, sehingga tabung polen dapat muncul dari beberapa tempat.
Percobaan I Daya berkecambah (DB) dihitung berdasarkan persentase polen yang berkecambah (Gambar 3) terhadap seluruh polen yang diamati. Pada pengamatan daya berkecambah polen Euphorbiaceae banyak ditemukan polen yang menghasilkan lebih dari satu tabung polen (Gambar 3B). Hal ini diduga karena masing-masing lingkaran pada permukaan polen potensial untuk menjadi pori, tempat keluarnya tabung polen.
Gambar 3. Perkecambahan polen Jatropha pandurifolia (A) Normal/viabel (a), Tidak viabel (b) (perbesaran 200X) dan (B) Polen yang memiliki tabung bercabang (perbesaran 300X) Periode pengecambahan ditentukan pada periode saat persentase perkecambahan sudah konstan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa periode perkecambahan masing-masing spesies berbeda dan berbeda juga antar media. Pada PGM dan BK, Euphorbiaceae sudah tidak lagi mengalami pertambahan perkecambahan yang nyata rata-rata
24 jam setelah pengecambahan (JSP),
kecuali jarak pagar pada PGM (Gambar 4). Polen Solanaceae membutuhkan ratarata 2 JSP, baik pada PGM ataupun BK, kecuali pada takokak yang membutuhkan waktu 4 JSP untuk mencapai daya berkecambah yang konstan (Gambar 5). Setelah periode tersebut penambahan waktu pengecambahan tidak meningkatkan daya berkecambah secara nyata.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
22
Gambar 4. Daya berkecambah polen Euphorbiaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD) Pada Poaceae, pengamatan daya berkecambah dapat dilakukan rata-rata 2 JSP baik pada PGM maupun BK (Gambar 6). Daya berkecambah masih bertambah setelah 2 JSP pada media PGM, namun tidak berbeda nyata, hanya O. sativa yang meningkat pada 8 JSP. Pada Myrtaceae, rata-rata pengamatan dapat dilakukan 4 JSP pada kedua media tersebut, kecuali pada E. jambolana dalam PGM yang dapat diamati pada 6 JSP dan S. aquaea dapat dilakukan pada 24 JSP (Gambar 7).
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
23
Gambar 5. Daya berkecambah polen Solanaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD) Berdasarkan periode pengamatan perkecambahan polen Euphorbiaceae lebih lambat berkecambah (rata-rata 24-48 JSP) daripada Solanaceae, Poaceae, dan Myrtaceae (rata-rata 2-4 JSP, kecuali S. aquaea dalam BK) (Tabel 2). Secara struktural, Euphorbiaceae adalah satu-satunya famili yang tidak mempunyai pori dalam penelitian ini. Kaitan antara kecepatan perkecambahan dengan keberadaan pori perlu diteliti lebih lanjut. Perbedaan daya berkecambah sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia masing-masing
media.
Hasil
pengujian
menunjukkan
bahwa
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
media
24
mempengaruhi daya berkecambah
polen pada masing-masing famili (Tabel
Lampiran 2 – 5).
Gambar 6. Daya berkecambah polen Poaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD) Hasil analisis viabilitas polen berdasarkan pengecambahan menunjukkan bahwa media PGM secara umum menghasilkan daya berkecambah polen yang lebih tinggi daripada media yang lain, sedangkan media Brewbaker & Kwack tanpa sukrosa merupakan media yang paling sedikit menghasilkan perkecambahan polen (Tabel 3). PGM menghasilkan daya berkecambah polen yang sama pada
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
25
Solanaceae, sedangkan pada Euphorbiaceae, Poaceae dan Myrtaceae daya berkecambah polen bervariasi antar spesies dalam satu famili.
Gambar 7. Daya berkecambah polen Myrtaceae pada media PGM (A) dan BK (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
26
Berdasarkan daya berkecambah polen, PGM secara umum lebih baik dibandingkan media lain. Untuk Solanaceae, PGM menghasilkan daya berkecambah yang sama antar spesies, sekitar 71-84%, sedang untuk Euphorbiaceae, Poaceae, dan Myrtaceae, PGM menghasilkan daya berkecambah yang bervariasi antar spesies, yaitu masing-masing sekitar 19-48%, 12-27%, dan 10-96% (Tabel 3). Polen jambu biji (Psidium guajava) mencapai daya berkecambah yang tinggi, sekitar 96% pada PGM, namun anggota Myrtaceae yang lain, jambu air (Syzygium aquaeae) dan jamblang (Eugenia jambolana) menghasilkan daya berkecambah yang sangat rendah, sekitar 10-15%. Tabel 2. Periode pengamatan perkecambahan dengan PGM dan BK Spesies Euphorbiaceae Jatropha curcas/Jarak pagar Jatropha pandurifolia/Batavia Codiaeum variegatum/Puring Solanaceae Capsicum annuum/Cabai Nicotiana tabacum/Tembakau Solanum torvum/Takokak Poaceae Oryza sativa/Padi Sorghum bicolor/Sorgum Zea mays/Jagung Myrtaceae Psidium guajava/Jambu biji Syzygium aquaea/Jambu air Eugenia jambolana/Jamblang
PGM (JSP)
BK (JSP)
48 24 24
24 24 24
2 4 4
2 2 4
8 2 2
2 2 2
4 4 6
4 24 4
Media Brewbaker & Kwack menghasilkan daya berkecambah polen dengan kecenderungan yang serupa dengan PGM, tetapi dalam tingkat yang lebih rendah, kecuali jambu air dan jamblang (Myrtaceae). Meskipun kedua media (PGM dan BK) menunjukkan hasil yang serupa, tetapi media PGM memberikan nilai daya berkecambah yang lebih baik dibandingkan dengan BK (Tabel 4). Hampir semua spesies menunjukkan daya berkecambah yang lebih baik pada media PGM kecuali Syzygium aquaeae dan Eugenia jambolana (Myrtaceae). Hal ini mengindikasikan bahwa media PGM dapat digunakan secara umum dibandingkan BK. Schreiber dan Dresselhaus (2003) menyatakan bahwa PGM 3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
27
memang bukan merupakan media yang umum untuk perkecambahan polen bagi semua spesies tanaman, tetapi PGM dapat digunakan untuk mempelajari perkecambahan polen pada banyak spesies baik monokotil maupun dikotil dari famili yang berbeda di bawah kondisi yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun PGM lebih baik daripada BK dan dapat digunakan secara umum, namun pada spesies tertentu ada media yang lebih baik, misalnya untuk polen puring (Codiaeum variegatum) lebih baik dikecambahkan dalam sukrosa 10%, polen jambu air dan jamblang dalam media BK. Tabel 3. Daya berkecambah polen (%) masing-masing spesies pada berbagai media perkecambahan Famili Euphorbiaceae
Solanaceae
Poaceae
Myrtaceae
Spesies Jarak pagar Batavia Puring Cabai Tembakau Takokak Padi Sorgum Jagung Jambu biji Jambu air Jamblang
PGM 19.4c 31.7bc 48.4b 78.4ab 71.9ab 84.7a 27.8a 22.3a 12.9b 96.8a 10.0f 15.2e
BK BK-S Sukrosa 4.2d 0d 0d 3.3d 0d 0d 45.8b 0d 74.4a 57.4bc 0f 17.4e 40.4cd 17.2e 24.6de 63.8ab 0f 0f 2.9c 0d 0d 4.6c 0d 0d 4.1c 0d 0d 93.6b 0g 0g 30.9d 0g 0g 38.4c 0g 0g
Ket.: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu famili menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. PGM : Pollen Germination Medium BK : Brewbaker dan Kwack BK-S : Brewbaker dan Kwack tanpa Sukrosa
Hasil pengolahan data menggunakan split plot design menunjukkan bahwa interaksi antara media (anak petak) dan famili (petak utama) tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas polen (Tabel Lampiran 6). Akan tetapi masing-masing faktor berpengaruh nyata secara tunggal. PGM dan BK menghasilkan viabilitas polen yang lebih tinggi pada semua famili dibandingkan BK-S dan sukrosa 10% ( Tabel 4). Dengan demikian PGM dan BK dapat digunakan secara substitutif. Famili berpengaruh terhadap viabilitas polen (Tabel Lampiran 7), akan tetapi penelitian ini tidak bertujuan untuk membandingkan viabilitas polen antar famili,
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
28
melainkan mempelajari kemungkinan pengembangan metode yang dapat digunakan secara umum untuk semua famili. Tabel 4. Hasil uji DMRT pengaruh faktor media terhadap viabilitas polen dengan rancangan petak terbagi (split plot design) Media PGM
Rataan (%) 41.16a
BK
32.32a
BK-S
2.04b
Sukrosa
9.49b
Di samping viabilitas awal, tinggi atau rendahnya nilai daya berkecambah polen dipengaruhi juga oleh banyak faktor eksternal, seperti sumber karbon, boron dan kalsium, potensial air, derajat kemasaman media, kerapatan polen dalam media (pollen density), dan aerasi dalam media kultur (Rihova et al., 1996). Karbon sangat diperlukan untuk inisiasi dan pertumbuhan tabung polen. Sukrosa merupakan senyawa gula sebagai sumber karbon yang mudah diabsorbsi oleh sel tanaman,
sehingga sukrosa sering digunakan dalam
pembuatan media
perkecambahan polen karena dapat menghasilkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi dan perpanjangan tabung polen (Malik, 1979). Sukrosa merupakan komponen gula yang esensial pada perkecambahan polen Pinus roxburghii. Tetapi untuk pengujian daya berkecambah jangka pendek (< 48 jam), sukrosa bukan merupakan sumber karbon yang esensial bagi perkecambahan polen, tetapi lebih dikarenakan sifat osmotikumnya dalam larutan media (Galleta, 1983; Nygaard dalam Webber dan Masimbert, 1993). Dalam percobaan ini dapat dilihat bahwa media yang tidak mengandung sukrosa (BK-S) hanya mampu menghasilkan perkecambahan pada tembakau, sementara media yang mengandung sukrosa cenderung menghasilkan perkecambahan yang lebih baik pada beberapa spesies yang diamati. Polen puring memberikan perkecambahan yang lebih tinggi (74.4%) pada sukrosa 10% dibandingkan media lainnya. Polen sebagian spesies mensyaratkan boron untuk kesempurnaan perkecambahan in vitro. Polen angiospermae pada umumnya mengandung lebih banyak boron dari pada gymnospermae. Hal ini berkaitan dengan waktu yang
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
29
dibutuhkan dalam perkecambahan. Polen buah pir dengan konsentrasi optimum boron dalam polen 80 ppm dapat berkecambah kira-kira setelah dua jam dalam air murni, sedangkan Pinus elliotii membutuhkan waktu 40 sampai 70 jam untuk perkecambahan dalam media yang sama (Malik, 1979). Peter dan Stanley dalam Malik, (1979) menyatakan bahwa penambahan 3 ppm boron dapat meningkatkan perkecambahan in vitro kira-kira 5%. Schreiber dan Dresselhaus (2003) juga menambahkan bahwa untuk menghasilkan perkecambahan polen jagung sampai 90% dapat dilakukan dengan menambahan boron 0.005%. Tanpa adanya asam borat, perkecambahan polen kentang < 5% (Rihova et al., 1996). Berdasarkan kandungan boron dalam media, PGM merupakan media yang cukup optimal dibandingkan media lainnya. Pada media BK, komposisi boron sekitar 100 ppm sedangkan PGM 0.005%, setara 50 ppm. PGM dengan kandungan boron di bawah 100 ppm menunjukkan hasil yang lebih baik pada hampir semua spesies, kecuali jambu air dan jamblang. Meskipun boron cukup penting bagi pengecambahan polen, konsentrasi boron yang tinggi dapat menurunkan daya berkecambah. Menurut Rihova et al. (1996), penambahan boron di atas 1.6 mM dapat menurunkan perkecambahan polen kentang. Pengaruh penambahan boron dapat optimal apabila disertai pula dengan sukrosa. Sebagaimana ditunjukkan perkecambahan polen dalam media yang mengandung boron tetapi tanpa sukrosa hampir semuanya tidak menghasilkan perkecambahan, kecuali pada tembakau sekitar 17% (Tabel 3). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rihova et al. (1996) yang menunjukkan bahwa media dengan 0,8 mM asam borat ditambah 20% sukrosa merupakan media yang optimal bagi perkecambahan polen genus Solanum. Potensial osmotik air relatif lebih tinggi daripada bulir polen sehingga polen yang dikecambahkan pada media air dapat mengalami plasmolisis. Menurut Webber dan Masimbert (1993), polen Douglas fir yang dikecambahkan pada media air saja mengalami kerusakan sebesar 42.4%. Potensial osmotik air dapat diturunkan dengan penambahan sukrosa, PEG, atau media Brewbaker & Kwack sehingga kerusakan polen akibat tekanan osmotik media dapat menurun. Penambahan PEG 4000 dapat menurunkan kerusakan polen Douglas fir 9.3%, sedangkan sukrosa dapat menurunkan kerusakan polen sebesar 20.8%. Media BK
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
30
menunjukkan proporsi kerusakan polen akibat tekanan osmotik paling rendah yaitu 0.08%. Media PGM diduga mempunyai potensial osmotik yang lebih sesuai untuk mengecambahkan polen, sehingga kerusakan polen relatif lebih rendah dibandingkan media yang lain, sehingga menghasilkan daya berkecambah yang tinggi. Pada dasarnya, media PGM serupa dengan BK, kecuali dalam PGM ditambahkan PEG. Menurut Webber dan Masimbert (1993), penggunaan PEG 4000 lebih didasarkan pada peranannya sebagai pemelihara sifat fisik polen setelah hidrasi dan elastisitas membran sel. Selain itu, penambahan 10% media BK dalam media PEG dapat menghilangkan kerusakan polen Douglas fir akibat tekanan osmotik. Schreiber dan Dresselhaus (2003) menambahkan bahwa untuk menstabilkan media perkecambahan polen, proporsi sukrosa dapat disubtitusi dengan PEG dan proporsi yang terbaik adalah 10% sukrosa dan 6% PEG 4000. Selain itu, penggunaan PEG dengan bobot molekul yang tinggi atau rendah tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada pengecambahan polen jagung.
Percobaan II Viabilitas polen yang diuji berdasarkan pewarnaan juga memberikan hasil yang beragam antar spesies dalam satu famili dan antar pewarna yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya senyawa kimia yang terkandung dalam pewarna. Aniline blue merupakan salah satu pewarna yang cukup banyak digunakan untuk menduga viabilitas polen. Pewarna ini bereaksi dengan kalosa. Kalosa adalah sejenis karbohidrat yang memisahkan sel induk mikrospora (MMC) satu sama lain dan menyelimuti polen setelah meiosis (Lersten, 2004). Apabila suatu polen mengandung kalosa, maka polen tersebut akan terwarnai menjadi biru tua (Gambar 8A). Selain aniline blue, pewarna acetocarmine juga banyak digunakan untuk menduga viabilitas polen. Acetocarmine biasa digunakan untuk mendeteksi adanya kromosom3. Sel induk mikrospora yang sedang mengalami meiosis pada tahap duplikasi kromosom dapat terwarnai menjadi merah tua menyala. Menurut Marutani dalam Rigamoto et al. (2002), inti polen mengandung banyak materi
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
31
kromatin dan polen yang viabel akan terwarnai merah muda sampai merah tua, sedangkan polen yang steril menjadi transparan dan mengkerut (Gambar 8B). Iodine Potassium Iodide (IKI) merupakan senyawa yang sering dipakai juga untuk mendeteksi kandungan gula/pati. Pati berperan dalam menunjang polen, sehingga diasumsikan semakin tinggi kandungan pati dalam polen, semakin tinggi viabilitas polen tersebut. Apabila polen tersebut viabel, maka akan terwarnai menjadi ungu kehitaman, dan non viabel menjadi transparan atau tidak terwarnai (Gambar 8C).
Gambar 8. Hasil pewarnaan pada polen jagung ; (A) Aniline blue (perbesaran 200X), (B) Acetocarmine (perbesaran 200X), (C) IKI (perbesaran 100X), dan (D) Tetrazolium (perbesaran 150X). ( Tanda panah biru viabel, tanda panah hitam non-viable) Selain pewarna yang dapat mendeteksi adanya senyawa kimia tertentu, ada juga pewarna yang dapat mendeteksi adanya enzim, salah satunya adalah TTC (2,3,5-Triphenyl Tetrazolium Chloride) yang dapat mendeteksi kandungan enzim dehidrogenase. Setiap organisme yang hidup pasti melakukan respirasi yang dapat
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
32
menghasilkan gas H2. Gas tersebut merupakan hasil reaksi dari enzim dehidrogenase yang hanya terkandung dalam sel hidup. Enzim dehidrogenase dapat bereaksi dengan tetrazolium membentuk endapan merah yang disebut formazan (Gambar 8D). Dalam penelitian ini diketahui bahwa secara umum periode pengamatan viabilitas polen berdasarkan pewarnaan menunjukkan hasil yang relatif lebih pendek dibandingkan metode pengecambahan. Secara umum acetocarmine dapat mewarnai polen lebih cepat atau pendek daripada pewarna lain. Polen Euphorbiaceae sudah terwarnai pada 2-6 JSP dengan aniline blue maupun acetocarmine, begitu juga dengan polen Solanaceae. Polen Poaceae memerlukan waktu yang lebih panjang, sekitar 4-6 JSP, sedang polen Myrtaceae lebih cepat terwarnai dengan acetocarmine (2-4 JSP) daripada dengan aniline blue (4-24 JSP). Tabel 5. Periode pengamatan pewarnaan pada masing-masing famili (JSP) Famili/Spesies Euphorbiaceae Jatropha curcas/Jarak pagar Jatropha pandurifolia/Batavia Codiaeum variegatum/Puring Solanaceae Capsicum annuum/Cabai Tembakau/Tembakau Solanum torvum/Takokak Poaceae Oryza sativa/Padi Sorghum bicolor/Sorgum Zea mays/Jagung Myrtaceae Psidium guajava/Jambu biji Syzygium aquaea/Jambu air Eugenia jambolana/Jamblang
Aniline Blue
Acetocarmine IKI
TTC
6 4 2
2 2 2
8 8 2
6 8 2
6 4 2
2 2 2
0 0 0
6 4 8
4 6 6
4 4 4
4 4 2
4 0 2
24 24 4
2 2 6
0 0 0
0 0 0
Periode pengamatan pewarna IKI dapat diamati rata-rata 8 JSP pada Euphorbiaceae, kecuali pada Codiaeum variegatum yang dapat diamati pada 2 JSP (Tabel 5). Pada Poaceae, periode pengamatan dengan pewarna IKI dapat dilakukan 2-4 JSP. Menurut Bolat & Pirlak (1999), periode pengamatan pewarna
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
33
IKI pada buah batu dapat dilakukan beberapa menit saja setelah pewarnaan. Periode pengamatan diduga pula tergantung oleh pewarna itu sendiri (Iodin). Iodin yang sudah lama (membentuk kristal) sudah kurang efektif lagi dijadikan pewarna karena warna yang dihasilkan dapat hilang seperti semula setelah beberapa jam. Periode pengamatan viabilitas polen dengan pewarna tetrazolium menunjukkan adanya keragaman antar spesies dalam satu famili. Pada Euphorbiaceae dapat diamati dari mulai 2 sampai 8 JSP. Begitu juga pada Solanaceae, pengamatan dapat dilakukan 4-8 JSP (Tabel 5). Sedangkan pada Poaceae, periode pengamatan pewarna tetrazolium dapat dilakukan pada 2-4 JSP. Pengujian viabilitas polen dengan metode pewarnaan menunjukkan bahwa secara umum acetocarmine menghasilkan estimasi viabilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pewarna lain. Pada Euphorbiaceae, keempat pewarna dapat digunakan dan memberikan estimasi yang tinggi, kecuali IKI untuk puring. Variasi antar spesies rendah, kecuali pada IKI, yang menunjukkan bahwa metode pewarnaan ini dapat digunakan secara umum dalam Euphorbiaceae. Tabel 6. Nilai duga viabilitas polen (%) masing-masing spesies dengan berbagai pewarna Famili Euphorbiaceae
Solanaceae
Poaceae
Myrtaceae
Spesies Jarak pagar Batavia Puring Cabai Tembakau Takokak Padi Sorgum Jagung Jambu biji Jambu air Jamblang
Aniline Blue 76.7de 93.2a-d 90.7b-d 75.0c 100.0a 96.0b 56.5c 62.4c 11.1d 95.4ab 73.8d 63.7d
Acetocarmine 94.3a-c 98.5ab 99.3a 100.0a 99.8ab 95.6b 100.0a 92.6ab 99.0a 98.3a 91.1bc 85.9c
IKI 85.4cd 67.8e 5.0f 0d 0d 0d 60.3bc 29.1d 83.9a 0f 0f 0f
TTC 83.6cd 93.5a-c 95.1a-c 72.7c 73.2c 69.8c 6.6de 0e 21.0d 10.2e 0f 0f
Ket.: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu famili tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
34
Pada Solanaceae, aniline blue dan acetocarmine menunjukkan estimasi yang tinggi dibandingkan IKI dan tetrazolium. Antar spesies dalam pewarna aniline blue menunjukkan variasi yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa aniline blue memberikan hasil yang beragam pada Solanaceae. Berbeda dengan acetocarmine yang variasinya cukup rendah, sehingga pewarna ini dapat digunakan secara umum. Pewarna IKI tidak dapat digunakan pada Solanaceae karena pewarna ini hanya dapat mendeteksi kandungan pati dalam polen. Baker dan Baker (1983) mengungkapkan bahwa polen Solanaceae ada yang berpati dan ada juga yang tidak, polen dari tribus Solaneae, Datureae, Salpiglossideae, dan Cestreae (Nicotiana dan Markea) tidak mengandung pati sehingga viabilitas polennya tidak dapat diduga dengan pewarna IKI. Pewarna tetrazolium menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan aniline blue dan acetocarmine. Meskipun demikian, pewarna ini menunjukkan keseragaman hasil yang tinggi sehingga dapat digunakan secara umum pada Solanaceae. Hampir semua pewarna dapat digunakan untuk menduga viabilitas polen Poacae. Meskipun demikian, hanya acetocarmine yang memberikan nilai duga viabilitas (92-100%) dan keseragaman paling tinggi dibandingkan pewarna lain, sehingga dapat dikatakan bahwa acetocarmine dapat digunakan secara umum pada famili ini. Pewarna IKI yang sering digunakan dalam pendugaan viabilitas polen Poaceae ternyata menunjukkan keragaman yang tinggi antar spesies, sehingga pewarna ini tidak dapat digunakan secara umum dibandingkan acetocarmine atau aniline blue. Pewarna tetrazolium 1% tidak dapat digunakan untuk menduga viabilitas polen sorgum. Hal ini diduga konsentrasi TTC yang digunakan masih rendah atau polen tersebut mengandung sedikit enzim dehidrogenase karena hasil pewarnaan pada polen tersebut menunjukkan warna yang merah muda. Pada
Myrtaceae,
acetocarmine
merupakan
pewarna
polen
yang
menunjukkan nilai duga viabilitas polen paling tinggi (85-98%) sedangkan aniline blue memberikan hasil yang lebih rendah 63-95%. Pewarna IKI tidak dapat digunakan pada Myrtaceae. Hal ini diduga karena polen Myrtaceae mengandung sedikit pati sehingga warna yang dihasilkan bukan ungu kehitaman melainkan hijau army. Pada Myrtaceae hanya ada satu spesies yang dapat terwarnai dengan tetrazolium, yaitu, jambu biji. Polen Myrtaceae tidak dapat terwarnai oleh
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
35
tetrazolium menjadi merah cerah diduga karena konsentrasi TTC yang terlalu rendah sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya intensitas warna yang ditampilkan, sehingga warna polen yang diuji berwarna merah muda, atau karena penetapan kriteria viabilitas yang terlalu tinggi (70% terwarnai merah cerah), sehingga polen yang berwarna merah muda yang sebenarnya sudah viabel belum dapat dikategorikan sebagai polen yang viabel. Polen Myrtaceae diduga mengandung enzim dehidrogenase yang rendah. Kandungan enzim dehidrogenase yang rendah mengindikasikan bahwa polen tersebut memiliki metabolisme yang rendah, dan diduga polen seperti ini lebih tahan simpan. Hasil analisis data menggunakan split plot design menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara famili dan pewarna terhadap viabilitas polen (Tabel Lmpiran 12). Uji lanjut dengan DMRT menunjukkan bahwa acetocarmin dapat digunakan untuk semua famili, akan tetapi ada pewarna lain yang dapat digunakan sebagai substitusi. Misalnya untuk Euphorbiaceae dapat digunakan aniline blue atau TTC, sedangkan untuk Solanaceae dan Myrtaceae, selain acetocarmine dapat juga digunakan aniline blue. Tabel 7. Hasil uji DMRT rancangan petak terbagi pengaruh faktor utama dan interaksi pewarna dengan famili terhadap pendugaan viabilitas polen Famili
Pewarna Aniline Blue
Acetocarmine
IKI
TTC
Euphorbiaceae
a-c
ab
de
ab
Solanaceae
ab
a
f
b-e
Poaceae
e
a
c-e
f
a-d
ab
f
f
Myrtaceae
Dari hasil yang diperoleh, acetocarmine merupakan pewarna yang terbaik untuk estimasi viabilitas polen keempat famili. Selain periode pengamatan yang lebih pendek, acetocarmine juga memberikan viabilitas polen tertinggi pada semua famili. Di samping itu, aniline blue juga menunjukkan keseragaman yang cukup tinggi pada hampir semua famili, kecuali pada Poaceae.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
36
Menurut Ragone (2001), kemampuan membentuk biji pada nangka (Artocarpus sp.) berkorelasi dengan kemampuan polen terwarnai. Kultivarkultivar triploid nangka dengan pewarnaan polen terendah (7-16%) mempunyai tipe polen malformasi, menggumpal, dan terwarnai kurang baik. Sunarto dalam Ragone (2001) mengungkapkan bahwa polen yang mampu membentuk biji yang tinggi memiliki kemampuan polen terwarnai tertinggi (99%) dimana kemampuan pembentukan biji yang rendah memiliki pewarnaan yang medium (45%) dan tidak mampu membentuk biji memiliki kemampuan polen terwarnai yang rendah (6%).
Korelasi Metode Pengecambahan dengan Pewarnaan Penggunaan
metode
pewarnaan
ini
memang
memiliki
beberapa
keunggulan, diantaranya evaluasi yang mudah dan periode pengamatan yang relatif lebih cepat dibandingkan metode pengecambahan pada pendugaan viabilitas polen buah batu (Bolat dan Pirlak, 1999). Oleh karena itu, korelasi antara metode pengecambahan dengan pewarnaan perlu diketahui, agar ada alternatif yang mempunyai tingkat akurasi yang sama dalam pengujian viabilitas polen. Secara umum, korelasi viabilitas polen dengan pengecambahan antara media dan pewarnaan disajikan pada Tabel 8. Media PGM dan BK memiliki nilai koefisien korelasi yang positif dan sangat nyata, yaitu sebesar 0.831. Artinya, penggunaan media BK yang selama ini dijadikan dasar pengujian viabilitas polen mempunyai alternatif lain (PGM) yang dapat menghasilkan viabilitas yang lebih tinggi pada banyak spesies tanpa perlu dimodifikasi lagi komposisinya. Selain itu, media PGM juga berkorelasi positif dengan aniline blue, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.624. Hal ini berarti bahwa pewarna aniline blue dapat digunakan sebagai alternatif lain dalam pengujian viabilitas polen dengan sama baiknya apabila menggunakan media PGM.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
37
Tabel 8. Nilai koefisien korelasi antara metode pengecambahan ( PGM dan BK) dengan pewarnaan (aniline blue, acetocarmine, dan tetrazolium) pada keempat famili PGM
BK
Aniline Blue
BK
0.831**
Aniline Blue
0.624*
0.540
Acetocarmine
0.487
0.080
0.106
Tetrazolium
0.341
0.046
0.511
Acetocarmine
0.486
Ket. * berbeda nyata (P<0,05) ** berbeda sangat nyata (P<0,01)
Menurut Bolat dan Pirlak (1999), pada sweet cherry ditemukan korelasi yang positif juga antara metode pengecambahan dengan pewarnaan, yaitu sebesar 0.704 antara IKI dengan media BK+agar, begitu juga pada Apricot dengan nilai korelasi 0.686. Meskipun demikian, lebih besarnya nilai viabilitas pada metode pewarnaan membuat metode tersebut hanya dijadikan sebagai penduga kasar pada pengujian viabilitas polen.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1.
Media perkecambahan polen (PGM) memberikan nilai viabilitas yang lebih tinggi pada sebagian besar spesies daripada media lain. Pengamatan viabilitas polen dengan menggunakan PGM dapat dilakukan rata-rata pada 4 JSP.
2.
Pewarna
acetocarmine
memberikan
nilai
viabilitas
yang
tertinggi
dibandingkan pewarna lain dan waktu pengamatan dapat dilakukan 2 JSP. 3.
Aniline blue dapat digunakan untuk menduga perkecambahan polen dengan PGM karena mempunyai korelasi positif sebesar 0.624.
SARAN PGM dapat dijadikan alternatif dalam pengujian viabilitas polen secara in vitro karena media ini dapat digunakan untuk banyak spesies dan memberikan nilai viabilitas yang lebih baik dibandingkan media lainnya, termasuk media BK. Selain itu, media PGM juga memerlukan waktu pengamatan yang relatif lebih cepat (kurang dari 24 jam). Untuk pengecambahan polen puring, sebaiknya digunakan media sukrosa 10%. Sedangkan polen jambu air dan jamblang sebaiknya digunakan BK. Metode alternatif untuk menduga viabilitas polen selain PGM adalah metode pewarnaan dengan aniline blue. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari korelasi kedua metode tersebut pada famili yang lain atau pada famili yang sama dengan spesies yang berbeda.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
38
VI. DAFTAR PUSTAKA Allard, R. W. 1960. Principles of plant breeding. John Wiley and Sons. 485 p. Bajaj, Y. P. S. 1979. Technology and prospects of cryopreservation of germplasm. Euphytica 28(2): 267-285. Baker, H.G. and I. Baker. 1983. Some evolutionary and taxonomic implications of variation in the chemical reserves of pollen. In: D. L. Mulcahy and E. Ottaviano (eds.). Pollen: Biology and Implication for Plant Breeding. Elsevier Biomedical. New York. Bolat, I. and L. Pirlak. 1999. An investigation on pollen viability, germination, and tube growth in some stone fruits. Journal of Agriculture and Forestry 99 (23) 383-388. Brewbaker, J. L. and B. H. Kwack. 1964. The calcium ion and substances influencing pollen growth. In: H. F. Linskens (Ed). Pollen Physiology and Fertilization. North-Holland Publishing Company, Amsterdam. Card, S.D., M.N. Pearson, and G.R.G. Clover. 2007. Plant pathogents transmitted by pollen. Australasian Plant Pathology 36(5): 455-461. Darjanto dan S. Satifah. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia, Jakarta. 156 Hal. Erdtman, G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms (An Introduction to Palynology I). Hafner Publishing Company. New York. Galletta, G. J. 1983. Pollen and seed management p. 23-35. In: J. N. More and J. Janick (Eds.). Methods in Fruit Breeding. Purdue Univ. Press. West Lavayette Ind. Gomez, K.A and A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian edisi kedua. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hawkes, J.G. 1981. Germplasm collection, preservation, and use. In: K.J.Frey (Ed.). Plant Breeding II. Iowa State Univ. Ames. P. 57-84. Hoekstra, F. A. 1983. Physiologycal evolution in angiosperm pollen: possible role of pollen vigour. In: D. L. Mulcahy and E. Ottaviano (Eds.). Pollen: Biology and Implication for Plant Breeding. Elsevier Biomedical. New York.
| 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
39
Hrabetova, E, and J. Tupy. 1964. The growth effect of some sugars and their metabolism in pollen tubes. In: H. F. Linskens (Ed.). Pollen Physiology and Fertilization. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. Huang, Y. and C.E. Johnson. 1996. A convenient and reliable method to evaluate blueberry pollen viability. HortScience 31(70): 1235. Kakani, V.G., K.R. Reddy, S. Koti, T.P. Wallace, P.V.V. Prasad, V.R. Reddy, and D. Zhao. 2005. Differences in in vitro pollen germination and pollen tube grow of cotton cultivars in response to high temperature. Anals of Botany 96: 59-67. Kelly, J. K, A. Rasch, and S. Kalisz. 2002. A method to estimate pollen viability from pollen size variation. American Journal of Botany 89 (6): 10211023. Lersten, N.R. 2004. Flowering Plant Embryology. Blackwell Publishing Professional. Ames IOWA USA Lichtenzveig, J., M. Chabaud, S. Ellwood, T. Pfaff, and E.P. Journet. 2006. Vernalization, crossings, and testing for pollen viability. Medicago Truncatula Handbook. Maheswari, P. and K. Kanta. 1964. Control of fertilization. In: H. F. Linskens (Ed). 1964. Pollen Physiology and Fertilization. North-Holland Publishing Company, Amsterdam. Malik C. P. 1979. Current Advantages in Plant Reproductive Biology. Kalyani Publisher. Ludhiana, New Delhi. 351 p. Mascarenhas, J. P. and M. Altschuler. 1983. The respone of pollen to high temperatures and it potensial aplication, p: 3-8. In: D.L. Mulcahy and E. Ottaviano (Eds.). Pollen: Biology and Implications for Plant Breeding. Elsevier Science Publishing Co, Inc. New York. Mulcahy, G. M. and D. L. Mulcahy. 1983. A comparison of pollen tube growth in bi-and trinucleate pollen, p. 29–34. In: D.L. Mulcahy and E. Ottaviano (Eds.). Pollen: Biology and Implications for Plant Breeding. Elsevier Science Publishing Co, Inc. New York. Norton, J.D. 1966. Testing of plum pollen viability with tetrazolium salts. The American Society Hort. Sci. 59: 132-134. Owens, J.N., P. Sornsathapornkul, and S. Tangmitchareon. 1991. Manual: Studying Flowering and Seed Ontogeny in Tropical Forest Trees. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project, Muak-Lek, Saraburi, Thailand. 134 p.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
40
Pline, W. A, K. L Edmisten, T. Oliver, J. W. Wilcut, R. Wells, and N. S. Allen. 2002. Use of digital image analysis, viability stains, and germination asays to estimate conventional and glyphosate-resistant cotton pollen viability. Crop Sci. 42: 2193 – 2200. Ragone, D. 2001. Chromosome numbers and pollen stainability of three species of Pacific Island breadfruit (Artocarpus, Moraceae). Am. J. Bot. 88(4): 693 – 696. Rigamoto, R.R. and A.P. Tyagi. 2002. Pollen fertility status in coastal plant species of Rotuma Island. S. Pac. J. Nat. Sci. (20): 30-33. Rihova, L., E. Hrabetova, and J. Tupy.1996. Optimization of conditions for in vitro pollen growth in potatoes. Int. J. Plant. Sci. 157(5): 561-566. Schreiber, D. N. and T. Dresselhaus. 2003. In vitro pollen germination and transient transformation of Zea mays and other plant species. Plant Molecular Biology Reporter 21: 31 – 41. Sedgley, D.N. and J. Harbard. 1993. Pollen storage and breeding system in relation controlled pollination of four species of acacia (Leguminosae: Mimosoidae). Australian Journal of Botany 41(5): 601-609. Song, Z.P. 2001. A study of pollen viability and longevity in Oryza rufipogon, O. sativa, and other hybrids. Genetics Resources Report p: 31-32. Vassil, I. K. 1964. Effect of boron on pollen germination and pollen growth. In: H. F. Linskens (Ed.). Pollen Physiology and Fertilization. NorthHolland Publishing Company. Amsterdam. Wahyudin, D. S. 1999. Daya Simpan Serbuk Sari Salak (Salacca sp). pada Tingkat Kemasakan yang Berbeda. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hal. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 370. Walt, I.D. and G.M. Littlejohn. 1996. Storage and viability testing of Protea pollen. Journal American Society Hort. Sci. 121(5): 804-809. Wang, Z. Y, Y. Ge, M. Scott, and G. Spangenberg. 2004. Viability and longevity of pollen from trangenic and nontransgenic tall fescue (Festuca arundinacea) (Poaceae) plants. American Journal of Botany 91 (4): 523 – 530. Wang, B. S. P, P. J. Charest, and B. Downie. 1993. Ex Situ Storage of Seeds, Pollen and In Vitro Cultures of Perennial Woody Plant Species. FAO Press. Rome.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
41
Webber, J.E., and M.B. Masimbert. 1993. The response of dehydrated Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) pollen to three in vitro viability assays and their relationship to actual fertility. Ann. Sci. For. 50: 1-22. Widiastuti, A. 2005. Studi Media Pengecambahan serta Pengaruh Lama Penyimpanan dan Jumlah Serbuk Sari terhadap Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 40 hal. Zebrowska, J. 1997. Factor of affecting pollen grain viability in the strawberry (Fragaria X ananas Duch.). Journal of Horticultural Science 72(2): 213-219.
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
42
| 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
43
Tabel Lampiran 1. Rekapitulasi hasil uji F pengaruh perlakuan media, spesies, dan interaksinya terhadap viabilitas polen empat famili Percobaan 1. Perkecambahan polen empat famili Media Spesies Interaksi ** ** ** ** tn ** ** tn * ** ** ** Percobaan 2. Pewarnaan polen empat famili Euphorbiaceae ** ** ** Solanaceae ** tn ** Poaceae ** ** ** Myrtaceae ** ** ** Famili Euphorbiaceae Solanaceae Poaceae Myrtaceae
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan
KK (%) 42.97 23.49 34.59 10.27 8.77 10.57 21.68 9.79
persentase Arc sin terhadap peubah viabilitas
polen tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % **Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 1 %
Tabel Lampiran 2. Analisis ragam perkecambahan polen Euphorbiaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
15235.88
1803.38
27.05
<0.0001
Spesies
2
5410.14
2850.23
42.75
<0.0001
Media*Spesies
6
5700.46
687.55
10.31
<0.0001
Galat
24
4125.28
66.67
Total
35
16836.07
2
R = 0.9049 Tabel Lampiran 3. Analisis ragam perkecambahan polen Solanaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
17399.96
5799.99
90.14
<0.0001
Spesies
2
347.70
173.85
2.70
0.0874
Media*Spesies
6
2781.89
463.65
7.21
0.0002
Galat
24
1544.26
64.34
Total
35
22073.81
R2 = 0.930
| 1) http://news.bioversityinternational.org/index.php?itemid=1826) diakses tanggal 27/10/2007.
44
Tabel Lampiran 4. Analisis ragam perkecambahan polen Poaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
4277.46
1425.82
134.27
<0.0001
Spesies
2
46.61
23.30
2.19
0.1333
Media*Spesies
6
188.16
31.36
2.95
0.0265
Galat
24
254.86
10.62
Total
35
4767.09
R2 = 0.946 Tabel Lampiran 5. Analisis ragam perkecambahan polen Myrtaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
18335.18
6111.73
1158.89
<0.0001
Spesies
2
4903.87
2451.94
464.93
<0.0001
Media*Spesies
6
5301.54
883.59
167.54
<0.0001
Galat
24
126.57
Total
35
28667.17
2
R = 0.995 Tabel Lampiran 6. Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh utama dan interaksi media dengan famili terhadap viabilitas polen Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Famili
3
3654.54
1218.18
Famili*ulangan
8
3599.14
449.89
Media
3
12312.35
4104.12
24.20 0.0001
Media*Famili
9
2847.43
316.38
1.87 0.1074
Galat
24
4069.40
169.56
7.18 0.0013
2
R = 0.846
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
45
Tabel Lampiran 7. Hasil uji DMRT pengaruh faktor utama (famili) dalam metode pengecambahan terhadap viabilitas polen. Famili
Rataan (%)
Euphorbiaceae
19.08ab
Solanaceae
33.99a
Poaceae
9.58b
Myrtaceae
22.37ab
Tabel Lampiran 8. Analisis ragam pewarnaan polen Euphorbiaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
6622.65
2207.55
62.71
<0.0001
Spesies
2
637.57
318.78
9.06
0.0012
Media*Spesies
6
4876.16
812.69
23.09
<0.0001
Galat
24
844.87
35.20
Total
35
12981.25
R2 = 0.935 Tabel Lampiran 9. Analisis ragam pewarnaan polen Solanaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
40612.38
13537.46
388.62
<0.0001
Spesies
2
218.56
109.28
3.14
0.0616
Media*Spesies
6
880.30
146.72
4.21
0.0049
Galat
24
836.03
24.83
Total
35
42547.28
R2 = 0.980
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
46
Tabel Lampiran 10. Analisis ragam pewarnaan polen Poaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
23122.42
7707.47
69.46
<0.0001
Spesies
2
1689.52
844.76
7.61
0.0028
Media*Spesies
6
6233.06
1038.84
9.36
<0.0001
Galat
24
2662.99
110.96
Total
35
33707.99
R2 = 0.921 Tabel Lampiran 11. Analisis ragam pewarnaan polen Myrtaceae Sumber keragaman
db
JK
KT
Fhitung
Pr > F
Media
3
39822.65
13274.22
1066.10
<0.0001
Spesies
2
1408.45
704.22
56.56
<0.0001
Media*Spesies
6
583.80
97.30
7.81
<0.0001
Galat
24
298.83
12.45
Total
35
42113.74
R2 = 0.992 Tabel Lampiran 12. Sidik ragam dalam rancangan petak terbagi pengaruh utama dan interaksi pewarna dengan famili terhadap viabilitas polen Sumber keragaman
db
Famili
3
6274.42
2091.47
Famili*ulangan
8
1093.71
136.71
Media
3
23223.48
Media*Famili
9
Galat
24
2
R = 0.921
JK
KT
Fhitung
Pr > F
13.55
0.0001
7741.16
50.17
0.0001
12558.14
1395.35
9.04
0.0001
3703.41
154.31
KK = 24.27%
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
47
Gambar Lampiran 1. Viabilitas polen Euphorbiaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
48
Gambar Lampiran 2. Viabilitas polen Solanaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
49
Gambar Lampiran 3. Viabilitas polen Poaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
50
Gambar Lampiran 4. Viabilitas polen Myrtaceae pada pewarna aniline blue (A) dan acetocarmine (B) sesuai dengan periode pengamatan (Garis : SD)
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
51
Tabel Lampiran 13. Nilai koefisien korelasi masing-masing famili Famili Euphorbiaceae
Solanaceae
Poaceae
Myrtaceae
BK Aniline blue Acetocarmine IKI TTC
BK Sukrosa Aniline blue Acetocarmine TTC
BK Aniline blue Acetocarmine IKI TTC
BK Aniline blue Acetocamine TTC
PGM
BK
Aniline Blue
Acetocarmine
0.898 0.732 0.897 -0.974 0.886
0.357 0.610 -0.974 0.591
0.958 -0.559 0.964
-0.774 1.000*
-0.758
PGM
BK
Sukrosa
0.971 -0.950 -0.161 -0.843 0.702
Aniline blue
Acetocarmine
-0.848 -0.392 -0.691 0.513
-0.156 0.969 -0.890
-0.395 0.589
-0.975
PGM
BK
-0.560 0.888 -0.030 -0.560 -0.769
Aniline Blue
Acetocarmine
-0.117 -0.811 -0.373 -0.098
-0.485 -0.878 -0.977
0.845 0.661
PGM
BK
0.998* 0.933 0.882 0.999*
Aniline Blue
Acetocarmine
0.911 0.855 0.994
0.993 0.951
0.927
3) http://www.wiki.answer.com/Q/why_sterile_pollen_do_not_take_acetocarmine_stain diakses pada tanggal 06/12/2008.
IKI
IKI
0.960