KOORDINASI LINTAS SEKTORAL PESERTA DIKLAT KEPENGHULUAN
Oleh: Dra.Hj.Artina Burhan, M.Pd Widyaiswara BDK Padang
Abstrak Penghulu sebagai seorang pejabat fungsional mempunyai tugas pokok melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Pelaksanaan tugas Penghulu tersebut berkaitan dengan penerapan ajaran dan syariat Islam dibidang pernikahan/perkawinan, idealnya pernikahan tidak sekedar sebuah acara seremonial, namun menjadi sarana perwujudan ketaatan seorang calon pengantin dalam pelaksanaan perkawinan. Keberhasilan pelaksanaan tugas tersebut terletak pada kemampuan penghulu dalam melakukan koordinasi. Koordinasi adalah kemampuan dalam menyelaraskan, mensingkronkan, mensejajarkan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya dengan pihak-pihak terkait, baik pribadi, kelompok, dinas/instansi sehingga tujuan bisa tercapai. Dengan koordinasi lintas sektor yang baik diharapkan peristiwa nikah yang diawasi dan dicatatnya menjadi perkawinan yang sah, dan memiliki kepastian hukum terhadap kehidupan pribadi dan keluarga termasuk akibat hukum yang timbul dari pernikahan/perkawinan tersebut. Key Word : Kepenghuluan, Koordinasi Lintas Sektoral I. Pendahuluan Penghulu sebagai pejabat terdepan dan ujung tombak Kementerian Agama dalam melaksanakan tugas pelayanan, pengawasan dan pembinaan pelaksanaan 1
pernikahan/perkawinan. Penghululah yang memeriksa dan meneliti berkas permohonan kehendak nikah, apakah permohonan sudah memenuhi ketentuan dan persyaratan nikah atau belum, baik ketentuan hukum munakahat, maupun ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya. Ditengah-tengah masyarakat masih terjadi pemalsuan kutipan akta nikah, pernikahan/perkawinan dibawah tangan, poligami tanpa izin Peradilan Agama (PA). Kasus- kasus ini harus segera diselesaikan secara profesional, oleh sebab itu Penghulu dituntut memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, wawasan dan kemampuan bidang agama Islam yang memadai disamping menguasai pengetahuan praktis lain yang berkaitan dengan operasional tugas dan fungsinya sehari-hari. Untuk itu Penghulu seharusnya mampu melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, agar terwujud efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja sehingga peristiwa nikah yang dipimpinnya merupakan pintu gerbang untuk memulai dan membentuk kehidupan baru yang Sakinah Mawaddah dan Rahmah. Berdasarkan kenyataan dilapangan, kualitas Penghulu dirasakan perlu ditingkatkan Apalagi mengingat jumlah Penghulu masih kurang bila dibandingkan dengan peristiwa nikah yang harus dilayaninya. Mengingat strategisnya peran Penghulu dalam pembinaan perkawinan, sangat diperlukan peningkatan kompetensi, baik secara otodidak maupun melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat). Hal inilah yang mendorong penulis membuat tulisan dalam rangka pengembangan mata diklat Koordinasi Lintas Sektoral yang disampaikan pada Diklat Kepenghuluan pada Balai Diklat Keagamaan Padang. II. Pembahasan A. Koordinasi 1. Pengertian Koordinasi Secara bahasa Koordinasi berasal dari “ko” dan“ordinate”. “Ko” berarti bersama dan ordinate berarti garis hubungan antara titik dengan titik yang lain. Koordinasi adalah garis yang menghubungkan, menyelaraskan atau menyerasikan antar suatu titik dengan titik lain yang sederjat secara bersamasama. Menurut Ensiklopedi Administrasi, koordinasi adalah suatu usaha kerjasama antara badan/instansi/unit dalam pelaksanaan tugas tertentu sedemikian rupa sehingga terdapat saling pengertian, saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi. Menurut G.R.Terry, (dalam vivitardiyansyah,2011) koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, (dalam vivitardiyansyah,2011) koordinasi adalah
2
mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) (dala vivitardiyansyah,2011) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sementara itu, Handoko (2003:195) (dalam vivitardiyansyah,2011) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D.Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu: 1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir. 2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. 3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi. Lebih lanjut Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi. 2. Tipe-Tipe Koordinasi Menurut Hasibuan (2007:86-87) terdapat 2 (dua) tipe koordinasi, yaitu: 3
a. Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unti, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggungjawabnya. b. Koordinasi horisontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. 3. Sifat-Sifat Koordinasi Menurut Hasibuan (2007:87) terdapat 3 (tiga) sifat koordinasi, yaitu: a. Koordinasi adalah dinamis bukan statis. b. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang koordinator (manajer) dalam rangka mencapai sasaran. c. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan. Asas koordinasi adalah asas skala (hirarki) artinya koordinasi itu dilakukan menurut jenjang-jenjang kekuasaan dan tanggungjawab yang disesuaikan dengan jenjang-jenjang yang berbeda-beda satu sama lain. Tegasnya, asas hirarki ini bahwa setiap atasan (koordinator) harus mengkoordinasikan bawahan langsungnya. 4. Ciri-Ciri Koordinasi Menurut Handayaningrat (1985:89-90) (dalam isnatunnisa, 2012) koordinasi mempunyai ciri-ciri sbb: a. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan. Oleh karena itu, koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering dicampur-adukkan dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Sekalipun demikian pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila mereka tidak melakukan kerjasama. Oleh kaerna itu, maka kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam membantu pelaksanaan koordinasi. b. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. c. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Oleh karena koordinasi adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu, maka sejumlah individu yang bekerjasama, di mana dengan koordinasi menghasilkan suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya koordinasi. d. Konsep kesatuan tindakan. Hal ini adalah merupakan inti dari koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa usaha-
4
usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai hasil. e. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok di mana mereka bekerja. 5. Syarat-Syarat Koordinasi Menurut Hasibuan (2007:88) (dalam isnatunnisa, 2012) koordinasi terdapat 4 (empat) syarat koordinasi, yaitu: 1. Sense of cooperation (perasaan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang. 2. Rivalry, dalam perusahaan-perusahaan besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian-bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan. 3. Team spirit, artinya satu sama lain pada setiap bagian harus saling menghargai. 4. Esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikut sertakan atau dihargai, umumnya akan menambah kegiatan yang bersemangat. 6. Pendekatan-Pendekatan Untuk Mencapai Koordinasi Yang Efektif Pendekatan ini dapat di tempuh dengan dua jalan yaitu: 1. Pendekatan Potensi Koordinasi. Pendekatan potensi koordinasi ini meliputi sistem: a. Sistem Informasi Vertical. Adalah suatu sistem di mana informasi dapat di kirimkan ke atas dan kebawah jenjang organisasi. Misalnya penanganan IDT (inpres desa tertinggal) dari menteri dalam negeri sampai ke desa tertinggal dan sebaliknya. b. Sistem Informasi Lateral. Sistem ini mengabaikan rantai komando. Hubungan lateral (hubungan ke samping atau sejajar) ini memungkinkan adanya pertukaran informasi yang di butuhkan dapat di pertanggung jawabkan. Misalnya dalam kasus tanah perlu adanya informasi lateral atau badan pertanahan nasional, departemen dalam negeri, departemen kehutanan, dan departemen kehutanan. c. Sistem Informasi Manajer Penghubung. Manajer penghubung mempunyai wewenang formal atas semua unit yang terlibat dalam sebuah proyek. Manajer penghubung perlu di laksanakan apabila di perkirakan koordinasi secara efektif tidak berhasil di laksanakan. 2. Pendekatan Struktur. Pendekatan ini di lakukan apabila perusahaan merasakan adanya iklim yang tidak sehat pada unit-unit karena adanya penunpukan kegiatan pada satu unit. Pendekatan ini di kenal sebagai organisasi matrik. Yaitu
5
mencirikan adanya satuan tugas atau proyek. Satuan tugas ini dapat di bubarkan apabila proyek telah selesai. 7. Masalah-Masalah dalam Koordinasi. Peningkatan spesialisasi akan menaikkan kebutuhan akan koordinasi. Tetapi semakin besar derajat spesialisasi, semakin sulit bagi manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan khusus dari satuan-satuan yang berbeda. Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorch (Handoko, 2003:197) mengungkapkan 4 (empat) tipe perbedaan dalam sikap dan cara kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian, yaitu: a. Perbedaan dalam orientasi terhadap tujuan tertentu. Para anggota dari departemen yang berbeda mengembangkan pandangan mereka sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan organisasi yang baik. Misalnya bagian penjualan menganggap bahwa diversifikasi produk harus lebih diutamakan daripada kualtias produk. Bagian akuntansi melihat pengendalian biaya sebagai faktor paling penting sukses organisasi. b.
Perbedaan dalam orientasi waktu. Manajer produksi akan lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus dipecahkan segera atau dalam periode waktu pendek. Biasanya bagian penelitian dan pengembangan lebih terlibat dengan masalah-masalah jangka panjang.
c.
Perbedaan dalam orientasi antar-pribadi. Kegiatan produksi memerlukan komunikasi dan pembuatan keputusan yang cepat agar prosesnya lancar, sedang bagian penelitian dan pengembangan mungkin dapat lebih santai dan setiap orang dapat mengemukakan pendapat serta berdiskusi satu dengan yang lain.
d.
Perbedaan dalam formalitas struktur. Setiap tipe satuan dalam organisasi mungkin mempunyai metode-metode dan standar yang berbeda untuk mengevaluasi program terhadap tujuan dan untuk balas jasa bagi karyawan.
B. Lintas Sektoral Lintas Sektoral berasal dari kata lintas dan sektoral. lintas berarti ”lewat atau antar” Sedangkan sektoral berasal dari sektor berarti ”segi, parsial, seksi, kawasan atau bidang”. Lintas sektoral bermakna lewat atau antar segi, parsial, seksi, kawasan atau antar bidang. Koordinasi lintas sektoral berarti aktifitas yang menghubungkan, menyelaraskan dan menyerasikan garis kerjasama antar suatu badan, lembaga atau orang dengan suatu seksi, bidang atau orang lain baik secara internal maupun eksternal. Contoh: Untuk pencegahan penyakit tetanus, maka calon pengantin diberikan suntikan tetanus toksoid (TT1), pelaksanaannya di Puskesmas atau Rumah Sakit,
6
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional tingkat Kecamatan berkoordinasi dengan Camat setempat, dalam pelaksanaan penasehatan perkawinan bagi calon pengantin bekerja sama dengan MUI, Tokoh Adat, pihak Kepolisian di tingkat Kecamatan, dsbnya. C. Kepenghuluan 1. Pengertian Kepenghuluan Menurut bahasa: kata penghulu berasal dari hulu artinya pangkal, kepala atau tangkai. Hulu sungai berarti pangkal sungai, hulu orang artinya kepala orang, hulu pisau artinya tangkai pisau. Kemudian hulu mendapat awalan pe(ng) yang berarti tukang kepala. Di Sumatera Barat, penghulu berarti Datuk atau Kepala Suku. Dalam perkawinan: Ketua Urusan Agama (Perkawinan). Secara formal Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/ rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Dasar Hukum pengangkatan Penghulu sebagai jabatan fungsional dalam lingkungan Kementerian Agama adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005. Jadi yang dimaksud dengan kepenghuluan dalam tulisan ini adalah kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk serta pengembangan kepenghuluan yang dilaksanakan oleh Penghulu. 2. Tugas Pokok Penghulu Dalam Permenpan Nomor 62 tahun 2005 Bab II Pasal 4 dituliskan bahwa tugas pokok Penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Jenis tugas Penghulu dapat dibedakan pada: 1.Tugas teknis (subtansi) kepenghuluan a. Pelayanan dan konsultasi nikah b. Pengembangan kepenghuluan c. Pengembangan profesi kepenghuluan d. Penunjang tugas penghulu 2. Tugas manajerial kepenghuluan
7
a. Perencanaan kepenghuluan b. Pelaksanaan kepenghuluan c. Pengkoordinasian kepenghuluan d. Pengawasan kepenghuluan D. Koordinasi Lintas Sektoral Kepenghuluan Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan koordinasi lintas sektoral kepenghuluan adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur antar dinas/Instansi terkait yang dilakukan oleh Penghulu dalam melaksanakan tugas perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah. Hal tersebut diatas sesuai dengan Instruksi Menteri Agama RI No. 1 tahun 2007 tentang Peningkatan Koordinasi Lintas Sektoral dengan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam hal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agama di bidang pembinaan keagamaan serta pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Koordinasi dapat juga dilihat dari sisi internal dan eksternal sbb: Secara Internal : 1. Penghulu diharapkan mampu melakukan kerjasama dengan sesama Penghulu yang ada dalam satu Kecamatan tentang pembinaan keagamaan masyarakat, misalnya tentang pembinaan perkawinan, keluarga sakinah, zakat, wakaf dllnya, 2. Penghulu diharapkan mampu melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai atasan langsung, untuk melaksanakan tugas-dan fungsi KUA Kecamatan, 3. Penghulu berkoordinasi dengan Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam pada Kemenag Kabupaten dan Kota, 4. Penghulu diharapkan mampu berkoordinasi dengan Kementerian Agama Kabupaten dan Kota dalam wilayahnya
Kepala
Kantor
Secara Eksternal: 1. Penghulu bekerjasama dengan Kepala Desa dan Lurah dalam pemeriksaan data permohonan kehendak nikah calon pengantin, dimana model/blangko tersebut diisi oleh petugas Keluarahan/Desa, jika ada pemalsuan data maka akan beresiko kepada pelekasanaan nikah tersebut,
8
2. Penghulu berkoordinasi dengan dokter atau bidan, untuk memberikan suntikan tetanus toksoid (TT1,II ), agar janin yang dilahirkan terhindar dari serangan penyakit tetanus, 3. Penghulu berkoordinasi dengan Pengurus BP.4 Kecamatan dalam menangani permasalahan keluarga (rumahtangga), 4. Penghulu berkoordinasi dengan Tim Penasehat Perkawinan (unsur MUI, Ketua PKK, Penghulu, Ka.KUA) yang akan memberikan bekal kepada calon pengantin tentang materi agama, kesehatan dan ilmu berkeluarga, 5. Penghulu berkoordinasi dengan Camat, koordinasi ini lebih banyak dalam menanggulangi biaya pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ Nasional) Tingkat Kecamatan, dan persiapan menghadapi Musabaqaha Tilawatil Quran Nasional (MTQ) tingkat Kabuapten, 6. Penghulu bekerjasama dengan Peradilan Agama, dalam melakukan mediasi terhadap suami isteri yang sedang bermasalah dan penyampaian akta cerai ke Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Sedangkan bentuk dan teknik koordinasi disesuaikan dengan jenis tugas yang akan dikoordinasikan, 1) Izin atau kebijakan, 2) Rapat atau pertemuan, 3) Surat menyurat, 4) Perjanjian kerjasama, 5) Kunjungan silaturahmi, 6) Konsultasi.
III. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa koordinasi lintas sektoral kepenghuluan adalah upaya yang dilakukan oleh Penghulu untuk mensinergikan semua kegiatannya dengan Dinas/Instansi terkait agar tugas dan fungsinya dalam memberikan bimbingan dan pelayanan serta pencatatan nikah berjalan dengan baik dan lancar. Koordinasi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi koordinasi internal maupun koordinasi eksternal.
9
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Imam Masykur 2007, Pembinaan Profesionalisme Penghulu, TOT Widyaiswara Rumpun Urusan Agama Islam, Jakarta. Departemen Agama RI 2008, Dirjen Bimas Islam, Pedoman Penghulu, Jakarta. Kementerian Agama RI 2013, KMA. No. 39 Tahun 2013 tentang Tata Kerja Kepala KUA Kecamatan, Sekjen Kementerian Agama, Jakarta. Kementerian Agama RI 2007, Instruksi Menteri Agama RI No. 1 tahun 2007 tentang Peningkatan Koordinasi Lintas Sektoral, Jakarta. Muzakir, 2006, Pedoman Umum Tugas Pokok Penghulu, TOT Widyaiswara Rumpun Urusan Agama Islam. Republik Indonesia 1974, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Sekretariat Negara, Jakarta. Republik Indonesia, PP. No. 09 Tahun 1975 tentang pealaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1975. Sekretaris Negara, Jakarta. Republik Indonesia 2005, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Republik Indonesia 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Negara, Jakarta Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun 2005 dan Nomor 14 A tahun 2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas dan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Penghulu ( dikeluarkan tahun 2008) Rivai, Lintang Suharto 2009, Rambu-Rambu Karya Tulis Ilniah Widyaiswara, PT Sarana Komunikasi Utama, Bogor http://vivitardyansah.blogspot.com/2011/01/pengertian-koordinasi.html diakses tanggal 02 Juni 2013 http://isnatunnisa.wordpress.com/2012/11/02/04-a-pengertian-koordinasi/, tanggal 10 Juni 2013
diakses
http://misniawati.blogspot.com/2011/12/koordinasi-dalam-manajemen.html, diakses tanggal 12 Juni 2013
10
11