PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)
MUH. ANSAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis. Bogor, Januari 2009
Muh. Ansar NRP. A352060011
ABSTRACT MUH. ANSAR. Role and Coordination of Cross Sectoral Institutions in Water Resource Conservation (Case Study in Gumbasa Watershed Donggala Regency Center Sulawesi Province). Under Academic Supervision of SURIA DARMA TARIGAN as chairman, and DWI PUTRO TEJO BASKORO as member of advisory committee. Watershed management consists of multi stakeholders. Therefore, institutional aspect for regulating interaction among stakeholders is very important to be taken into consideration in watershed management. Watershed management will only be efficient if institutional aspect functioning in harmony. Objective of this research is to study role and coordination of cross sectoral government institutions in management of water resource conservation. In this research five elements of water resource conservation were analized, there are: 1) involved organizations, 2) related regulations, 3) management function performance (planning, execution, and controlling), 4) coordination aspect, and 5) priority instrument. Each of those elements was sub-divided into sub-elements according to analysis model used in this research. Two models were used in this analysis. Those are Interpretative Structural Modelling (ISM) and Analytical Hierarchy Process (AHP). Base on the analysis it is concluded that Big Agency of Lore Lindu National Park (BBTNLL), Agency of Watershed Management (BPDAS) Palu-Poso, and Forestry and Plantation Service of Donggala Regency were the most influencial organizations in planning, execution, and controlling water resources conservation. Role of those organizations in the management activities were mainly regulated in the respectives regulations. Coordination among acting organization is stell weak due so the sectoral-ego and lack of qualified human resources. Keywords: institutions, sectoral, water resources, conservation, gumbasa watershed
RINGKASAN MUH. ANSAR. Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN sebagai ketua, dan DWI PUTRO TEJO BASKORO sebagai anggota komisi pembimbing. Perambahan hutan yang sangat intensif untuk dikonversi menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), khususnya di DAS Gumbasa sejak tahun 1999 hingga sekarang telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi yang signifikan, sehingga dapat mengancam keseimbangan dinamika sumber daya air di taman nasional tersebut. Selain indikator ekologi, indikator yang penting untuk dipantau dan dievaluasi adalah kelembagaan DAS. Koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi dalam kelembagaan DAS perlu dipertimbangkan sebagai kriteria-kriteria dalam pemantauan dan evaluasi DAS, karena pengelolaan DAS melibatkan multi stakeholders. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis untuk mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam manajemen program konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa. Dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak lima elemen yang dianalisis berkaitan dengan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, yaitu: 1) Organisasi yang berperan; 2) peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan; 3) kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan), 4) fungsi koordinasi; dan 5) instrumen prioritas. Setiap elemen dijabarkan atas sejumlah sub elemen berdasarkan model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan analisis kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala adalah organisasi pemerintah yang berperan penting. Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan kuat adalah UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kinerja fungsi koordinasi antar organisasi pemerintah lintas sektoral termasuk kategori lemah yang dipengaruhi oleh faktor sifat multisektor/multidisiplin dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data, penerapan teknologi konservasi, pengefektifan penyuluhan lapangan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani merupakan instrumen prioritas kunci yang perlu dikembangkan. Sedangkan penyebab utama ketidakberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dari segi fungsi manajemen adalah lemahnya kinerja perencanaan. Kata kunci: lembaga, sektoral, konservasi, sumber daya air, DAS gumbasa
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)
MUH. ANSAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)
Nama
: Muh. Ansar
NRP
: A352060011
Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 19 Januari 2009
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Untuk yang tercinta: Istriku Ummi Kalsum, SP. Putriku Nadhifa Raihanah Ansar Ibunda St. Humrah Ayahanda Sofyan Said Ibunda Mertua Hj. St. Rada Kakak-kakakku dan Keponakan-keponakanku
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai September 2008 ini adalah “Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, atas kesediaannya memberikan bimbingan pada pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada Bapak Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan Bapak/Ibu Dosen pengajar pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Kepada Pimpinan Proyek BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, terima kasih atas bantuan dana pendidikan yang telah diberikan. Kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. penulis mengucapkan terima kasih bantuan biaya yang telah diberikan pada pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan ayahanda Sofyan Said, ibunda St. Humrah, ibunda mertua Hj. St. Rada, istriku tercinta Ummi Kalsum, SP, putriku tersayang Nadhifa Raihanah, serta seluruh keluarga atas kesabaran, keikhlasan, doa restu dan kasih sayangnya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2009
Muh. Ansar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Mei 1973 dari ayah Sofyan Said dan ibu St. Humrah. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Bulukumba dan lulus ujian seleksi masuk Universitas Hasanuddin pada tahun 1993 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), selesai tahun 1997. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah pada tahun 1994/1997, mata kuliah Hidrologi pada tahun 1995/1997, dan mata kuliah Konservasi Tanah dan Air pada tahun 1996/2000. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin sejak tahun 2001. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Hidrologi, dan Konservasi Tanah dan Air.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu usaha untuk mengatur sumber daya alam utama, yaitu hutan (vegetasi), tanah dan air. Pengelolaan DAS diperlukan untuk meminimumkan kerusakan-kerusakan lahan yang terdapat di dalam suatu DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah: 1) penggunaan sumber daya lahan secara rasional untuk mencapai produksi optimum yang lestari; 2) menekan kerusakan menjadi seminimal mungkin; 3) distribusi air yang merata sepanjang tahun dan tersedianya air pada musim kemarau; serta 4) mampu mempertahankan DAS yang bersifat lentur (resilient) serta adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS (Sinukaban 2007a). Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Oleh karena itu, perlu diwujudkan dalam suatu perencanaan pengelolaan DAS yang baik, sehingga tujuan tersebut menjadi lebih jelas dan mudah dilaksanakan. Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masalah pengelolaan sumber daya air menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Aliran Sungai (DAS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional. Oleh karena itu, masalah koordinasi antar daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DAS menjadi sangat penting. Di era otonomi daerah saat ini, terjadi banyak pelanggaran aturan dalam kegiatan pengelolaan DAS, sehingga kawasan lindung yang seharusnya dikonservasi menjadi rusak. Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan daerah konservasi lingkungan di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang mempunyai luas 217.991 ha yang telah menarik perhatian dunia dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai daerah resapan air, suaka keanekaragaman hayati, penyimpanan karbon dalam bentuk tegakan hutan, pendidikan lingkungan, penelitian, dan konservasi budaya masyarakat di sekitarnya, serta daerah tujuan wisata lokal dan mancanegara.
Dalam peranannya mendukung kelestarian hutan, tanah, dan
pemanfaatan sumber daya air bagi masyarakat di sekitarnya, TNLL telah memberikan sumbangan finansial setara dengan 89,9 milyar rupiah setiap tahun (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam et al. 2001). Salah satu DAS yang berada dalam kawasan TNLL adalah DAS Gumbasa yang terletak di bagian Utara kawasan TNLL, dengan kepadatan penduduk yang
2 tidak merata, antara 4 sampai 570 jiwa/km2, dan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,28 %/tahun (BPS 2006).
Mata pencaharian utama
masyarakat di DAS Gumbasa adalah sebagai petani yang menyebabkan kebutuhan lahan untuk pengembangan pertanian merupakan masalah mendasar di daerah tersebut. DAS Gumbasa merupakan salah satu dari 22 DAS super prioritas, yang ditetapkan melalui surat keputusan bersama tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum dengan Nomor 19 Tahun 1984; Nomor 059/Kpts-II/1984; dan Nomor 124/Kpts/1984, tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Dasar penetapan prioritas DAS tersebut adalah atas kriteria: 1) Daerah tersebut memiliki hidro-orologis kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; 2) di daerah tersebut akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, berupa bendungan dan jaringan irigasinya; 3) daerah dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap usaha konservasi tanah dan air masih rendah; 4) daerah perladangan berpindah atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; dan 5) daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tingkat penutupan vegetasi yang rendah. Perambahan hutan yang sangat intensif untuk dikonversi menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), khususnya di DAS Gumbasa sejak tahun 1999 hingga sekarang telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi yang signifikan, sehingga dapat mengancam keseimbangan dinamik sumber daya air di taman nasional tersebut. Hasil penelitian Thaha (2001) dan Widjajanto et al. (2003) menunjukkan bahwa erosi tanah yang tinggi dan laju pengangkutan sedimen melayang (suspended load) pada Sungai Gumbasa bagian Hulu sekitar 14.000-20.000 ton/hari, hal ini berarti bahwa ekosistem DAS tersebut telah mengalami gangguan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinukaban et al. (2006) menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman coklat rakyat, tanaman pertanian semusim (jagung dan kacang tanah), semak belukar dan kebun vanili di DAS Nopu Hulu yang merupakan salah satu Sub DAS Gumbasa yang berada dalam wilayah TNLL telah menyebabkan terjadinya peningkatan erosi dan aliran permukaan yang sangat nyata dan menurunkan fungsi hidrologi DAS.
3 Permasalahan Pada tahun 1984, Pemerintah membangun bendungan pada outlet Sungai Gumbasa dan jaringan irigasinya dalam rangka peningkatan produksi pangan, khususnya beras (Ponulele 1988), dengan sistem irigasi teknis yang dapat mengairi sawah seluas ± 12.000 ha di Lembah Palu.
Pada waktu itu, debit
maksimum Sungai Gumbasa yang dibendung adalah 1.250 m3/detik dan debit minimum adalah 30 m3/detik. Jaringan irigasi Gumbasa membutuhkan suplai air dari Sungai Gumbasa, debit air yang diperlukan pada saluran induk kanan adalah 19,67 m3/detik atau 620 juta m3/tahun, sedangkan pada saluran induk kiri adalah 1,02 m3/detik atau 32 juta m3/tahun. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2005) menunjukkan bahwa data debit tahunan dari Sungai Gumbasa pada tahun 2004 hanya bisa memenuhi 48 % kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa atau setara dengan 376 juta m3/tahun atau 12 m3/detik dari kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa sebesar 779 juta m3/tahun atau 24,7 m3/detik. Selama musim kemarau, yaitu sekitar 70-80 hari (bulan September sampai Oktober) dalam setahun, seluruh air dari Sungai Gumbasa masuk ke saluran induk irigasi Gumbasa dengan debit rata-rata 6-8 m3/detik. Suplai air tersebut jauh di bawah kebutuhan air normal untuk daerah irigasi Gumbasa, yaitu 17 m3/detik atau 536 juta m3/tahun. Sungai Gumbasa telah bergeser dari kritis dengan Qmaks/Qmin sebesar 42 pada tahun 1984 menjadi sangat kritis dengan Qmaks/Qmin antara 156-208 pada tahun 2004. Efektivitas pengelolaan DAS hanya dapat dicapai apabila ada kerjasama lintas sektor yang harmonis. Prinsip ”One Plan Strategy” merupakan paradigma yang penting untuk dikembangkan dalam sistem pengelolaan DAS dan konservasi tanah di Indonesia. Konsep pengembangan sumber daya lahan (hutan, tanah dan air) yang didasarkan atas pertimbangan DAS sebagai satuan pemantauan dan evaluasi dalam perencanaan pengembangan sumber daya akan memudahkan bagi seseorang perencana untuk membuat prakiraan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan dan masalah ketidakpastian dalam perencanaan pengembangan sumber daya lahan dapat ditekan sekecil mungkin.
Menurut
Kartodihardjo et al. (2004), selain indikator ekologi, indikator yang penting untuk dipantau dan dievaluasi adalah kelembagaan DAS.
Koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan simplikasi dalam kelembagaan DAS perlu dipertimbangkan sebagai kriteria-kriteria dalam pemantauan dan evaluasi DAS, karena pengelolaan DAS melibatkan multi stakeholders.
4 Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian Dipandang perlu melakukan penelitian yang difokuskan pada evaluasi kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap komponen lembaga dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL, yaitu: peran organisasi, landasan peraturan perundang-undangan, fungsi koordinasi, instrumen prioritas, dan kinerja fungsi manajemen. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Degradasi Sumber Daya Air Di DAS Gumbasa Pengelolaan Sumber Daya Air yang Tidak Optimal
Organisasi:
Kebijakan:
Pemerintah (Pusat dan Daerah), Non Pemerintah (LSM), Independen (Perguruan Tinggi, Pusat-Pusat Studi)
UU, PP, Kepmen, Permen, Perda Provinsi, Perda Kabupaten
Konservasi Sumber Daya Air: Perencanaan bersifat top down, Pelaksanaan tidak terkoordinasi, dan Pengawasan/kontrol yang lemah
Koordinasi Lintas Sektoral
Ketersediaan dan Akses Terhadap Data/Informasi dan Teknologi Konservasi Sumber Daya Air
Elemen yang Dikaji: 1. 2. 3. 4. 5.
Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air. Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air. Fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air. Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air. Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air.
Mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kelembagaan untuk mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam manajemen program konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membenahi model konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan kawasan TNLL oleh organisasi pemerintah atau pihak-pihak lain yang terkait.
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Pengertian DAS Suatu alur yang panjang di permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan di sebut alur sungai dan perpaduan antara alur sungai dengan aliran yang di dalamnya disebut sungai (Sosrodarsono et al. 1985). Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur air hujan secara alamiah dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut (Soewarno 1991). Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya, seperti: jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tata guna lahan (Seyhan 1977). Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh ditempat tersebut dapat memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai. Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lebih besar (15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakai air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS dicirikan sebagai berikut:
merupakan daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (< 8%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan). Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak 2004). Definisi DAS menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
6 Menurut Sinukaban (2007b), dari segi erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, di mana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan hidup, adalah antara lain: penebangan hutan, penambahan permukiman, pembangunan pabrik, perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, perkembangan pertanian lahan kering termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan seperti tebu, karet, kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi. Definisi DAS untuk keperluan kajian institusi, yaitu: DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan
interdependensi
antar pihak,
individu
dan/atau
kelompok
masyarakat. Definisi DAS secara teknis yang memberikan pemahaman terhadap faktor-faktor biofisik DAS biasanya akan mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sedangkan definisi DAS dari sudut pandang institusi akan mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, wacana yang digunakan dalam pengambilan
keputusan bukan seputar cara-cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main di antara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan (Kartodihardjo et al. 2004) Pengelolaan DAS Pengelolaan DAS berarti pengelolaan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable), seperti hutan, tanah dan air dalam sebuah DAS dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan hasil air (water yield), dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang ada di dalam DAS secara rasional
7 dengan tujuan mencapai keuntungan maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan seminimal mungkin. Mangundikoro (1985) mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS, yaitu terwujudnya kondisi yang optimal dari sumber daya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan meliputi empat upaya pokok, yaitu: 1) pengelolaan lahan melalui upaya konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) pengelolaan air melalui pengembangan sumber daya air; 3) pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; dan 4) pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana melalui usaha penerangan dan penyuluhan. Hufschmidt (1986) dalam Asdak (2004), kerangka pemikiran pengelolaan DAS melibatkan tiga dimensi pendekatan analisis (standar).
Ketiga dimensi
pendekatan analisis pengelolaan DAS tersebut adalah: 1) pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan; 2) pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait; dan 3) pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Kombinasi ketiga unsur utama tersebut diharapkan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang proses dan mekanisme pengelolaan DAS. Pengelolaan sumber daya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. social capital harus diperhitungkan.
Karena itu masyarakat sebagai
Contoh keterkaitan sumber daya alam
(natural capital) dan jumlah penduduk (social capital) dikemukakan oleh Helweg (1985), antara lain ketepatan mengestimasi kebutuhan air sangat bergantung pada keakuratan proyeksi jumlah penduduk.
Di sinilah pentingnya pemahaman
karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pada suatu DAS. Permasalahan DAS adalah permasalahan lingkungan dan penyelesaiannya dapat ditempuh dalam dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket teknologi anti erosi dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi dan budaya. Artinya, penangananan masalah lingkungan DAS tidak selamanya mengarah pada aspek fisik, melainkan juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu
8 menyelesaikan persoalan lewat aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi dan budaya (William 1995). Menurut Widjajanto (2006), faktor-faktor penting yang mempengaruhi penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian di DAS Gumbasa adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS, konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Faktorfaktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS.
Sedangkan faktor-faktor penting yang
mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah adalah konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Sumber Daya Air Pengertian sumber daya air Definisi dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sedangkan Kodoatie dan Sjarief (2005) mengemukakan bahwa air merupakan bagian dari sumber daya alam, juga bagian dari ekosistem secara keseluruhan. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumber daya air bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumber daya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsipprinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan. Sumber daya air adalah kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi. Terdapat berbagai jenis sumber air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti air laut, air hujan, air tanah, dan air permukaan. Dari keempat jenis air tersebut, sejauh ini air permukaan merupakan sumber air tawar yang terbesar digunakan oleh masyarakat. Menurut Lier et al. (1994), sumber daya air mempererat hubungan antara perlindungan sumber daya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, pengelolaan sumber daya lahan,
9 tanah dan air
dalam sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap
mempertimbangkan fungsi ganda sumber daya tersebut (ekologis, ekonomi, dan sosial), secara terpadu dengan menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian hulu sampai hilir (SMERI-UNDP 1997). Pengelolaan sumber daya air Grigg (1996) mendefinisikan pengelolaan sumber daya air sebagai aplikasi dari cara struktural dan non struktural untuk mengendalikan sistem sumber daya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuantujuan lingkungan.
Pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water
resources management) adalah sebuah proses yang mempromosikan koodinasi pengembangan dan pengelolaan air, tanah dan sumber-sumber terkait dengan tujuan untuk mengoptimalkan resultan ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam perilaku yang cocok tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem penting (Global Water Pertnership Technical Advisory Commitee 2001 dalam Kodoatie dan Sjarief 2005). Mengingat keberadaan air di suatu tempat dan di suatu waktu tidak tetap, artinya bisa berlebih atau kurang, maka air harus dikelola dengan bijak dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh. Terpadu mencerminkan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh mencerminkan cakupan yang luas (broad coverage), melintas batas antar sumber daya, antar lokasi, hulu dan hilir, antar para pihak. Dengan kata lain pendekatan pengelolaan sumber daya air harus holistik dan berwawasan lingkungan. Semua aspek dan ilmu, antara lain: sosial, budaya, ekonomi, teknik, lingkungan, hukum dan bahkan politik terlibat dan saling bergantung. Semua pihak harus terlibat dan diperhitungkan baik langsung maupun tak langsung. Kebanyakan persoalan sumber daya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tata guna lahan dan faktor meteorologi. Pengelolaan vegetasi, khususnya vegetasi hutan dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Penebangan hutan yang meluas di hutan tropis Indonesia dapat memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam meningkatkan debit aliran.
Hal ini terutama berkaitan dengan
kenyataan bahwa sumber air hujan yang jatuh di hutan tropis Indonesia sebagian besar berasal dari penguapan air laut, bukan dari hasil evapotranspirasi vegetasi hutan tropis di tempat tersebut. Oleh karenanya, berkurangnya kapasitas simpan
10 tajuk (canopy storage capacity) sebagai akibat penebangan hutan akan meningkatkan debit aliran di daerah tersebut karena besarnya masukan curah hujan relatif tidak berubah (Asdak, 2004). Hubungan kondisi hutan dan hasil air Perubahan tata guna lahan pada kawasan konservasi menjadi kawasan terbangun dapat menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Banjir
adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak 2004).
Aliran/genangan air ini dapat
terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi debit aliran yang lewat (Sudjarwadi 1988). Hal tersebut terjadi karena pada musim penghujan air hujan yang jatuh pada daerah tangkapan air (catchments area) tidak banyak yang dapat meresap ke dalam tanah melainkan lebih banyak melimpas sebagai debit air sungai. Jika debit sungai ini terlalu besar dan melebihi kapasitas tampung sungai, maka akan menyebabkan banjir. Hutan mempunyai peranan sangat penting dalam pengendalian besar limpasan permukaan, terutama sekali fungsi hutan dalam intersepsi dan infiltrasi. Gerakan air tampungan di dalam tanah dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah, bahan-bahan organik dan flora dan fauna tanah. Perubahan penggunaan lahan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap laju dan kapasitas infiltrasi tanah. Apabila suatu kawasan hutan alam dengan lapisan mulsa tebal dikonversi menjadi lahan pertanian, menyebabkan kehilangan vegetasi penutup di atasnya dan dapat menimbulkan kerusakan tanah. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena meningkatnya temperatur tanah yang meningkatkan kegiatan mikroba tanah. Akibatnya proses pelapukan bahan organik berlangsung lebih cepat. Laju infiltrasi menurun cepat setelah pembukaan hutan. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh gaya pukul butir-butir hujan yang langsung menimpa permukaan tanah, sehingga merusak struktur tanah di permukaan (Harto 1993). Sinukaban et al. (2000) telah mempelajari perubahan sistem hidrologi di DAS Way Besay sebagai akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal budidaya pertanian.
Berkurangnya luas hutan sejak periode 1975-1998
menyebabkan meningkatnya debit sungai yang melebihi kriteria lebih besar dari 15, 25, dan 35 m3/detik. Perubahan tersebut disebabkan karena berkurangnya
11 tajuk pohon, berkurangnya evapotranspirasi, dan kerusakan struktur tanah lapisan atas (top soil) sebagai akibat terjadinya erosi tanah. Menurut Priyono (2002), pembukaan lahan karena penebangan hutan alam juga akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi bahan organik, aktivitas mikroba dan fauna tanah di samping mempengaruhi karakteristik infiltrasi tanah dan erodibilitas tanah. Pengertian umum bahwa kompleks tanah hutan, perakaran dan serasah maupun mulsa akan berfungsi seperti spon yang menyerap air selama musim hujan dan melepaskannya kembali pada musim kemarau. Meskipun tanah hutan umumnya mempunyai laju dan kapasitas infiltrasi yang tinggi dibandingkan dengan tanah yang bahan organiknya rendah, tetapi lebih banyak kandungan air ini dikonsumsi kembali oleh hutan daripada untuk kontinuitas aliran. Hal inilah yang menyebabkan adanya vegetasi hutan bisa mengurangi hasil air di sungai. Di sisi lain penyerapan curah hujan oleh tajuk hutan melalui intersepsi dapat mencapai 35% dari curah hujan, yang kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Kondisi penutupan vegetasi akan mempengaruhi kondisi hidrologi suatu DAS, atau dengan kata lain kondisi vegetasi dalam suatu DAS akan menggambarkan tingkat kondisi DAS yang bersangkutan. DAS dengan kondisi vegetasi yang terbuka (jelek) dapat memberikan gambaran bahwa kondisi hidrologi DAS yang bersangkutan sangat kritis, sebaliknya DAS dengan kondisi penutupan vegetasi yang baik dapat memberikan gambaran bahwa hidrologi DAS yang bersangkutan dalam kondisi yang baik pula (Ngadiono 2004). Sinukaban (2006) mengemukakan bahwa dampak kerusakan DAS terhadap kondisi sumber daya air dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Penyebab banjir karena sebagian besar dari air hujan yang jatuh ke bumi, tidak masuk ke dalam tanah mengisi aquifer, tetapi mengalir di atas permukaan tanah lalu masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun.
Faktor utama penyebab kerusakan DAS yang
mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: 1) alih fungsi lahan yang menyebabkan hilang/rusaknya penutupan vegetasi permanen/hutan di bagian hulu; 2) penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya; dan 3) teknologi pengelolaan lahan/DAS yang tidak memenuhi syarat yang diperlukan.
12 Menurut Sinukaban (2007b), apabila ada kegiatan di bagian atas suatu DAS, maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di bagian hilir, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif.
Penebangan hutan secara sembarangan di
daerah hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran di bagian hilir. Pada musim hujan jumlah air akan terlalu banyak, bahkan sering menimbulkan banjir, tetapi di musim kemarau jumlah air akan sangat sedikit (kering). Di samping itu kualitas air sungai pun akan menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi. Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir. Berkaitan dengan hasil sedimen dalam suatu aliran air, hasil-hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada atau tidaknya vegetasi hutan alam akan sangat menentukan jumlah sedimen dalam aliran air sungai sebagai hasil erosi permukaan. Terjadinya gerakan tanah yang dangkal juga akan meningkat dengan hilangnya vegetasi hutan alam.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka
disarankan untuk tidak melakukan konversi hutan alam menjadi penggunaan lahan yang lainnya. Kelembagaan Pengelolaan DAS Pengertian kelembagaan Menurut Kartodihardjo et al. (2000), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mengakses kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Kesempatan yang tersedia adalah kesempatan dalam lingkungan, tergantung dari aturan-aturan yang digunakan, baik yang bersifat formal seperti aturan pemerintah, maupun non formal seperti kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Menurut Tajuddin (1999), kelembagaan adalah seperangkat tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi ruang dan waktu, di mana secara formal kelembagaan itu sendiri harus bersifat dinamis dalam arti adaptif terhadap perubahan. Berdasarkan pandangan sebagai aturan main, dapat dipahami
13 adanya perbedaan pengertian antara kelembagaan sebagai institusi dan kelembagaan sebagai organisasi. Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal diartikan sebagai seperangkat aturan, baik formal, maupun informal tentang tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan dalam konteks organisasi lebih mengarah kepada mekanisme administrasi dan kewenangan. Kelembagaan sebagai aturan main berarti memberikan kesempatan sekaligus kendala (tergantung darimana kita melihatnya) bagi perkembangan perilaku masyarakat terhadap sumber daya alam, misalnya tata air. Sedangkan sebagai organisasi, dapat merupakan potensi atau sebaliknya, tergantung apakah organisasi itu bersifat adaptif atau inovatif (Pakpahan 1997). Dalam pengelolaan DAS, apakah kelembagaan itu dipandang sebagai aturan main atau organisasi juga diuraikan oleh Danida (1998), yaitu untuk mengembangkan perencanaan pengelolaan sumber daya DAS dengan merangkum seluruh pihak-pihak terkait yang multi sektor/multi disiplin, melalui kerjasama untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan DAS. Berdasarkan pengertian ini, berarti aturan main yang sesuai dengan tujuan yang seharusnya dicapai akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk berperilaku yang mendukung tercapainya tujuan. Menurut Pasaribu (1996), status kelembagaan sebagai suatu organisasi, di mana suatu organisasi dapat dikatakan melembaga apabila organisasi tersebut telah mendapatkan status khusus dan pengakuan (legitimate) dari masyarakat, karena mereka telah mendapatkan kepuasan atas kebutuhan mereka. Kebijakan tidak akan berjalan jika tidak ditunjang oleh wadah organisasi yang melembaga di masyarakat. Gejala ketidakmelembagaan suatu organisasi merupakan salah satu bukti lemahnya fungsi pengorganisasian (regulative institution) yang ada di dalamnya. Didu (2001) mengemukakan bahwa dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama, yaitu: 1) organisasi, 2) fungsi, dan 3) aturan main. Komponen yang ketiga, yaitu aturan main yang mengatur organisasi (pemerintah/swasta) dan individu, agar dapat berperan melakukan tugas sesuai dengan kewenangan
14 masing-masing. Oleh karena itu, kelembangaan merupakan suatu sistem yang mengatur apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan oleh organisasi dan/atau individu. Sebagai suatu sistem, di dalamnya terdapat tiga aturan yang sangat mendasar, yaitu: 1) batas kewenangan (yurisdictional boundary), 2) hak kepemilikan (property right), dan 3) aturan perwakilan (rules of representation). Batas kewenangan adalah menentukan siapa, dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi (Kartodihardjo et al. 2000).
Sedangkan Anwar (2000)
mengemukakan bahwa batas kewenangan terhadap sumber daya, dana, dan tenaga dalam suatu organisasi, termasuk mengatur laju pemanfaatan dan pendistribusian manfaat sumber daya sehingga dapat diperoleh keberlanjutan. Hak kepemilikan adalah mengatur seluruh aktivitas untuk mencapai keteraturan interaksi antara manusia dan lingkungannya, sehingga mencerminkan kedua prinsip umum, yaitu spesifikasi sosial dan lingkup ekosistem.
Dari
pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hak kepemilikan adalah hak sosial yang dimiliki baik secara individu, kelompok, dan atau masyarakat umum atas sumber daya tertentu yang diatur oleh aturan, baik secara formal, non formal (adat kebiasaan)
yang
kemasyarakatan.
berlaku
dan
mengatur
hubungan-hubungan
sosial
Hak kepemilikan yang berlaku di masyarakat seperti
dikemukakan oleh Kartodihardjo (1999), misalnya adanya perbedaan bentuk kepemilikan terhadap lahan, yaitu: 1) pemilikan individu (private property), 2) pemilikan kelompok (common property), dan 3) pemilikan negara (state property). Aturan representasi (rules of reprecentation), mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
Aturan
representasi mengatur siapa saja yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang akan diambil, dan apa akibatnya terhadap keragaan (performance) yang ditentukan oleh aturan perwakilan atau representasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Peranan kelembagaan dalam pengelolaan DAS Apabila kelembagaan diartikan sebagai aturan main dalam pengelolaan DAS, maka dapat dipastikan bahwa kelembagaan tersebut sangat menentukan kelangsungan fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya air dan kehutanan. Kartodihardjo et al. (2000)
15 mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang menghambat, sehingga fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan tidak berjalan, yaitu: 1) aspek kebijakan (policy), seperti lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS; 2) aspek teknis pelaksanaan pengelolaan DAS, seperti kurangnya program peningkatan SDM, rendahnya inovasi teknologi dan belum tersedianya standar pelaksanaan kegiatan dan standar hasil. Kedua faktor ini sudah merupakan masalah umum kelembagaan, khususnya dalam kelembagaan pengelolaan DAS. Menurut Darajati (2001), pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat pada umumnya memiliki empat faktor pokok beban/tanggung jawab dalam pengelolaan DAS, yaitu: 1) pengelolaan lahan; 2) pengelolaan air; 3) pengelolaan vegetasi; dan 4) pengelolaan aktivitas manusia dalam menggunakan sumber daya alam. Keempat faktor tersebut merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan DAS yang harus melibatkan berbagai organisasi/kelompok dan individu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk melibatkan berbagai organisasi, diperlukan koordinasi dan ini merupakan faktor yang sangat penting, bahkan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan DAS.
Lemahnya koordinasi sering
menjadi kendala utama, sehingga hubungan antar komponen dalam sistem pengelolaan DAS menjadi tidak stabil. Terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan DAS, yaitu: 1) lemahnya koordinasi sektor-sektor pemerintah daerah sebagai unsur institusi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, padahal mereka adalah tenaga teknis dan fasilitator yang paling dekat dengan wilayah DAS; 2) perencanaan pengelolaan DAS belum sepenuhnya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta masih rendahnya partisipasi masyarakat; 3) adanya situasi yang kurang kondusif bagi peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
dan
sebagai
usaha
pelestarian
keseimbangan lingkungan; 4) adanya sikap yang kurang responsif terhadap upaya pembangunan jangka panjang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya alam lestari; 5) pembangunan pertanian dan pembangunan pada umumnya lebih terkonsentrasi pada daerah hilir (low land), sehingga daerah hulu (up land), tidak merasa diuntungkan oleh program-program
16 yang didanai oleh pemerintah; dan 6) rendahnya produktivitas pertanian di berbagai daerah, sehingga lahan tidak dapat dijadikan satu-satunya penopang kehidupan masyarakat miskin di pedesaan. Timbulnya masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai akibat adanya fungsi perencanaan dan analisis strategi yang tidak kondusif. Kartodihardjo et al. (2000) mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya aspek kebijakan dan teknis pelaksanaan.
Demikian pula menurut
Bastaman (2000) bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS berkaitan dengan ketiadaan ikatan koordinatif yang kuat dalam pencapaian tujuan, sehingga kebijakan pengelolaan DAS sering tidak sejalan dengan kebijakan masing-masing sektor. Lemahnya koordinasi juga telah dikeluhkan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Diperlukan adanya penataan kelembagaan dan
penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kegiatan pokok yang perlu dilakukan antara lain adalah: 1) menata institusi dan aparatur pengelola sumber daya alam dan lingkungan di provinsi dan kabupaten/kota; 2) menetapkan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 3) menguatkan institusi pengendalian dampak lingkungan di daerah; 4) menyusun undang-undang dan perangkat hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; 5) meningkatkan peranserta dan pengakuan atas hak/kepemilikan masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; dan 6) mengembangkan kelembagaan pendanaan pengelolaan sumbedaya alam dan lingkungan hidup melalui insentif/disinsentif mekanisme pasar.
Sehubungan dengan hal tersebut, Sudradjat dan Yustina (2002)
mengharapkan adanya satu lembaga yang bisa menghubungkan antara kepentingan pusat, provinsi dan kabupaten serta seluruh stakeholder terkait dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara sendiri-sendiri dalam bentuk forum kerjasama. Untuk mewujudkan realisasi kebijakan yang belum terwujud dalam penyusunan rencana strategi daerah (Renstrada) masing-masing dinas di provinsi dan kabupaten/kota, maka kapabilitas individu (personil) merupakan faktor penting. Kapabilitas individu yang dimaksudkan tidak hanya sebatas kemampuan
17 intelektual, tetapi juga kemampuan kerjasama dalam tim, meliputi aspek psikososial, seperti kemampuan memahami pendapat orang lain, menghargai kesepakatan dan gagasan yang berbeda-beda, serta bermoral tinggi. Pakpahan (1997) mengemukakan bahwa kapabilitas individu bergantung pada pengetahuan intelektual maupun nilai-nilai moral yang mampu mewarnai perilakunya. Oleh karena itu, pengembangan institusi tanpa diikuti pengembangan sikap dan nilainilai moral sebagai basis peningkatan kapabilitas individu akan kurang bermakna, bahkan sebaliknya kelembagaan yang ada akan melahirkan beban sosial baru bagi masyarakat. Menurut Kartodihardjo et al. (2000), berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan DAS dapat dinilai efisien tetapi tidak efektif, di satu sisi pemerintah pusat sangat kuat dalam hal penetapan kebijakan, tetapi pada sisi lainnya tidak berdaya dalam hal pelaksanaan dan pengendaliannya.
Pemerintah dan juga
masyarakat mengetahui bahwa kinerja administrasi kurang dapat menggambarkan realita di lapangan, tetapi hal tersebut masih tetap dilakukan. Sepanjang kinerja administrasi belum dapat dibenahi, akan semakin banyak kebijakan yang hanya mampu berperan sebagai kebijakan birokrasi, yang pertanggungjawabannya hanya sebatas laporan-laporan berkala yang tidak sesuai dengan realita di lapangan. Permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS bukan hanya sebatas permasalahan seberapa banyak kebijakan yang telah dan akan dirumuskan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan dapat diterapkan dan diadopsi oleh masyarakat. Di sinilah perlunya keterpaduan antara pemangku kepentingan, mulai dari aparat pemerintah hingga ke masyarakat petani sebagai pelaksana kunci di lapangan. Untuk merubah perilaku kelembagaan ke dalam suatu kondisi yang diharapkan, harus dimulai dari perubahan tatanan nilainilai, sikap dan moral individu antar sektor maupun masyarakat umum. Barlowe
(1986)
mengemukakan
bahwa
faktor
kelembagaan
yang
berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan selain aturan dan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah, juga faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya masyarakat.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Sys and Debaveye. (1991) bahwa selain sumber daya fisik, sumber daya manusia dan sumber daya modal juga merupakan sumber daya utama yang mempengaruhi penggunaan lahan.
18 Kedua
pendapat
tersebut
memberikan
konsep
pemikiran
bahwa
bagaimanapun kelembagaan itu dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai bagus, tetapi jika tidak sinkron dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, maka mustahil akan teradopsi oleh sektor-sektor terkait dalam masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, kelembagaan yang baik adalah adanya suatu lembaga yang mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatur fungsi dan aktivitas sumber daya manusia dan penggunaan modal ke arah terwujudnya penggunaan lahan yang rasional serta mampu menekan laju kerusakan sumber daya air dan kehutanan. Konflik kelembagaan pengelolaan DAS dapat diidentifikasi dengan mencermati berbagai paradoks, seperti diuraikan oleh Kartodihardjo et al. (2000), misalnya: 1) lahan kritis digunakan sebagai lahan pertanian dengan hasil jangka pendek yang rendah, meskipun diketahui jika ditanami tanaman jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi; 2) pelaksanaan reboisasi dan penghijauan lebih berhasil di wilayah hilir, sedangkan sebenarnya yang lebih diperlukan adalah di wilayah hulu; dan 3) pelaksanaan reboisasi dan penghijauan hanya berhasil sampai tahun ke empat, sedangkan manfaat yang diharapkan adalah tujuan jangka panjang. Hal ini merupakan bukti bahwa peran kelembagaan selama ini belum seperti yang diharapkan, sehingga kebijakan yang dihasilkanpun belum memuaskan pihak masyarakat dan pemerintah. Selama periode orde baru dan era reformasi, perumusan kebijakan pengelolaan DAS didasarkan pada masalah-masalah yang menyangkut kondisi fisik DAS, yaitu: 1) luas dan semakin meluasnya lahan kritis; 2) semakin berkurangnya tutupan hutan permanen; 3) erosi dan sedimentasi yang semakin meningkat; 4) semakin besarnya fluktuasi debit air sungai; dan 5) terjadinya peristiwa banjir dan kekeringan yang silih berganti.
Kondisi yang tidak
diinginkan tersebut langsung diatasi melalui berbagai kebijakan, baik berupa perintah untuk melakukan sesuatu, atau pelarangan yang disertai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Kartodihardjo et al. (2000) mengemukakan bahwa dari pengalaman-pengalaman masa lalu, pendekatan tersebut terbukti tidak dapat lagi digunakan sebagai titik tolak perumusan kebijakan.
Oleh karena itu, diperlukan identifikasi permasalahan melalui
19 pendekatan yang dianggap lebih akurat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai, yaitu kebijakan yang mampu merubah perilaku masyarakat, termasuk dunia usaha. Perencanaan tidak berarti selesai setelah dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS.
Langkah-langkah penyusunan pengelolaan DAS, yaitu: 1) identifikasi
karakteristik DAS; 2) identifikasi masalah; 3) perumusan tujuan dan sasaran; 4) identifikasi dan evaluasi alternatif kegiatan, penyusunan rencana indikatif dan kegiatan, serta legitimasi dan sosialisasi rencana. Hal tersebut yang dimaksudkan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian tujuan, mengkaji berbagai ketidakpastian, mengukur kemampuan (kapasitas) yang kita miliki, kemudian memilih sasaran yang terbaik dan menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dalam memilih sasaran terbaik dan menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dibutuhkan sejumlah pengetahuan yang komprehensif. Oleh karena itu, pendekatan rasional dapat juga disebut pendekatan yang komprehensif. Perencanaan, kebijakan dan strategi tidak dapat dipahami secara terpisah, karena kebijakan dan strategi adalah bagian dari perencanaan.
Hal tersebut
dijelaskan oleh Swastha dan Sukotjo (2000) bahwa perencanaan dapat dilihat dari enam sudut pandang, yaitu: 1) tujuan (objective); 2) kebijakan (policy); 3) strategi; 4) prosedur; 5) aturan (rule); dan 6) program. Kebijakan adalah suatu pernyataan atau pengertian untuk menyalurkan pikiran dalam mengambil keputusan terhadap tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, sedangkan strategi adalah tindakan penyesuaian dari rencana yang telah dibuat akibat dari adanya berbagai reaksi. Perbedaan antara kebijakan dan strategi juga dikemukakan oleh Didu (2001) bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan dasar yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dan lebih bersifat makro. Sedangkan strategi lebih mengarah pada aturan-aturan yang menyangkut perencanaan dan pelaksanaan secara teknis dalam skala jangka pendek dan lebih bersifat mikro. Jika dipandang dari kepentingan fungsi-fungsi manajemen pembangunan, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, maka yang terpenting adalah fungsi perencanaan. Menurut David (1998), semua aktivitas manajemen untuk mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan harus dilaksanakan setelah fungsi perencanaan dilaksanakan lebih dahulu.
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2008 di DAS Gumbasa yang memiliki luas 126.617 ha, di mana 49.178 ha (38,84 %) berada di luar kawasan TNLL dan 77.439 ha (61,16 %) dalam kawasan TNLL. DAS ini terletak di bagian Utara kawasan TNLL yang berada sekitar 60 kilometer sebelah Selatan Kota Palu dan secara geografis terletak antara 01°08’ - 01°54’ LS dan 119°58’ - 120°16’BT. DAS Gumbasa merupakan salah satu sub DAS dari DAS Palu yang terletak di Kecamatan Palolo, Kecamatan Gumbasa, dan Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.
Lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 2.
DAS Gumbasa Hilir DAS Lindu DAS Sopu
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, literatur, alat tulis, tape recorder, kamera, komputer PC, perangkat lunak model ISM VAXO, Microsoft Office 2003 dan ArcView 3.3.
21 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan sistem pakar (expert system approach) dengan menggunakan metode survei. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi antara model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Tahapan Penelitian Penelitian dibagi ke dalam empat tahap kegiatan, yaitu: 1) persiapan penelitian dan studi pustaka; 2) pengumpulan data lapangan; 3) pengolahan data dan analisis data; dan 4) pembahasan hasil penelitian tentang kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Tahapan kegiatan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Penetapan sampel/responden Penetapan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling, di mana sampel atau responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili personil pada bidang atau lembaga masing-masing. Menurut Saaty (1986) dan Eriyatno (1998), penelitian dengan model analisis ISM dan AHP tidak membutuhkan jumlah sampel yang besar. Jumlah ahli/praktisi yang dijadikan sebagai sampel yang disyaratkan cukup beberapa orang dengan prioritas yang memiliki tingkat pemahaman, penguasaan, dan terlibat langsung dalam bidang tugas konservasi sumber daya air. Untuk memenuhi kebutuhan data yang dapat menunjang pencapaian tujuan dalam penelitian ini, ditetapkan sejumlah responden yang terdiri atas pakar/praktisi yang terdistribusi pada instansi pemerintah, perguruan tinggi dan tokoh masyarakat adat/pendatang serta petani, seperti tersaji pada Tabel 1. Jenis dan sumber data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder (dokumentasi) seperti disajikan pada Tabel 2.
Data primer yang
digunakan adalah data kualitatif berupa informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi dengan responden atau stakeholder yang terlibat langsung dalam perumusan dan implementasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang tersedia, baik di instansi pemerintah dan swasta, publikasi hasil penelitian, dan berbagai kajian, serta petapeta yang mendukung.
22 Identifikasi Permasalahan
Studi Pustaka
Tujuan Penelitian
Telah terjadi penurunan fungsi hidrologi DAS dan peningkatan beban erosi tanah di DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah Pengumpulan Data: Organisasi, peraturan perundang-undangan, fungsi koordinasi, instrumen Prioritas, dan fungsi manajemen
Data Primer
Data Sekunder
Sumber:
Sumber:
Survei melalui wawancara dengan responden terdiri dari stakeholder yang mengetahui permasalahan dan kondisi sumber daya air dalam DAS Gumbasa dan kawasan TNLL dari berbagai organisasi pemerintah terkait, perguruan tinggi, masyarakat pendatang dan masyarakat adat di dalam dan di sekitar DAS Gumbasa dan kawasan TNLL.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS III) Badan Pertanah Nasional (BPN) Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Dinas Kehutanan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dinas Tata Ruang
Pengolahan dan Analisis Data: Interpretative Structural Modelling (ISM) Analytical Hierarchy Process (AHP)
Kondisi Umum Wilayah DAS Gumbasa
Pembahasan Hasil Penelitian: Kondisi Aktual Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
Gambar 3. Tahapan Penelitian
23 Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Organisasi Pemerintah dan Masyarakat No. Organisasi Pemerintah dan Masyarakat 1. Seksi Program Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso 2. Seksi Kelembagaan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) PaluPoso 3. Seksi Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS III) 4. Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) 5. Bidang Sumber Daya Air Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah 6. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah 7. Bidang Lingkungan Hidup Bappedalda Provinsi Sulawesi Tengah 8. Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bappedalda Provinsi Sulawesi Tengah 9. Subdin Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 10. Subdin Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 11. Subdin Pengembangan Sumber Daya Air Dinas Kimpraswil Provinsi Sulawesi Tengah 12. Subdin Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah 13. Subdin Prasarana Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah 14. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSL) Universitas Tadulako 15. Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Donggala 16. Subdin Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala 17. Seksi Irigasi Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Donggala 18. Bapedalda Kabupaten Donggala 19. Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor BPN Kabupaten Donggala 20. Subdin Sarana Prasarana dan Agribisnis Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Donggala 21. Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah 22. Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tengah 23. Tokoh Adat dan Pendatang dalam wilayah DAS Gumbasa 24. Masyarakat dalam wilayah DAS Gumbasa Jumlah Responden
Responden 1
Keterangan Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1 1
Kuisioner Kuisioner
1
Kuisioner
1 1
Kuisioner Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
1
Kuisioner
2 4 28
Lisan Lisan
24 Tabel 2. Data Primer dan Sekunder yang Digunakan Dalam Penelitian No.
Jenis Data
Kegunaan Data
Sumber Data
Datar Primer: 1.
Informasi tentang organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Untuk mengidentifikasi organisasi yang berperan utama dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Wawancara dengan Responden
2.
Informasi tentang peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Untuk Mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Wawancara dengan Responden
3.
Informasi tentang fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Untuk menganalisis fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Wawancara dengan Responden
4.
Informasi tentang instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Untuk menganalisis Informasi tentang instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa
Wawancara dengan Responden
5.
Informasi tentang kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Untuk menganalisis fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
Wawancara dengan Responden
Data Sekunder: 1.
Biofisik : - Penggunaan lahan - Status hutan
Mendeskripsikan luas dan sebaran geografis jenis penggunaan lahan DAS Gumbasa
BPDAS BTNLL BPN DISHUT
2.
Sosial Ekonomi - Kependudukan - Mata Pencaharian - Pengusahaan Lahan - Tekanan dan kebergantungan penduduk terhadap lahan
- Mendeskripsikan penyebaran penduduk DAS Gumbasa - Mendeskripsikan jenis mata pencaharian penduduk DAS Gumbasa. - Mendeskripsikan perbedaan luas lahan garapan penduduk DAS Gumbasa. - Mendeskripsikan kemampuan lahan dalam mendukung kehidupan penduduk DAS Gumbasa. - Mendeskripsikan pengaruh sektor pertanian terhadap kehidupan ekonomi penduduk DAS Gumbasa.
BPDAS BTNLL BPS
3.
Perangkat Kelembagaan - Kelembagaan formal - Kelembagaan masyarakat
Mendeskripsikan keberadaan dan kegiatan organisasi pemerintah dan sosial/ kemasyarakatan di DAS Gumbasa.
BPDAS BBTNLL
25 Pengumpulan data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dirinci sebagai berikut: a) Penetapan elemen dan sub elemen Elemen adalah unsur penelitian yang ditetapkan dengan mengacu pada tujuan penelitian. Dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak lima elemen yang akan dianalisis, yaitu: 1) Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air; 2) Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air; 3) Kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air; 4) Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air; dan 5) Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air. Setiap elemen dijabarkan atas sejumlah sub elemen berdasarkan pertimbangan: 1) tujuan penelitian yang ingin dicapai; 2) model analisis yang akan digunakan, yaitu : model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP); dan 3) hasil konsultasi pakar atau pejabat lembaga yang berkaitan dengan penanganan masalah sumber daya air. Identifikasi organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 33 sub elemen sebagai organisasi yang diduga berperan, terdiri atas organisasi pemerintah di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan organisasi lokal seperti disajikan pada Kuisioner Seri I (Lampiran 6). Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 25 sub elemen yang diduga menjadi landasan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri II (Lampiran 7). Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 18 sub elemen sebagai faktor dugaan yang terdiri atas kebijakan, pengorganisasian, dan kelembagaan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri III (Lampiran 8). Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM), ada 11 sub elemen sebagai kegiatan dugaan yang terdiri atas kegiatan pengembangan basis data, teknologi konservasi, dan pengembangan fungsi sosial kemasyarakatan, seperti disajikan pada Kuisioner Seri IV (Lampiran 9).
26 Sedangkan kinerja fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air dianalisis dengan menggunakan model Analytical Hierarchy Process (AHP), ada 12 sub elemen yang terdiri atas tiga level, seperti disajikan pada Kuisioner Seri V (Lampiran 10). b) Penyusunan kuisioner Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima seri sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 3, sedangkan bentuk kuisionernya dapat dilihat pada Lampiran 6-10. Tabel 3. Jumlah Pertanyaan Setiap Seri Kuisioner Berdasarkan Model Analisis yang Digunakan Seri
Jumlah Sub Elemen
Jumlah Pertanyaan
Model Analisis
I
33
528
ISM
II
25
300
ISM
III
18
153
ISM
IV
11
55
ISM
V
12
66
AHP
c) Wawancara Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee) atau responden. Wawancara adalah metode pengumpulan data yang amat populer, karena itu banyak digunakan di berbagai penelitian (Irianto dan Bungin 2001). Menurut Sudikan (2001), sebelum mengumpulkan data di lapangan dengan metode wawancara, peneliti sebaiknya menyusun daftar pertanyaan sebagai pedoman di lapangan. Namun, daftar pertanyaan bukanlah sesuatu yang bersifat ketat, tetapi dapat mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi di lapangan. Hubungan yang komunikatif antara pewawancara dengan responden sangat menentukan kualitas data.
Karena itu, sebelum memulai wawancara, perlu
dilakukan sosialisasi yang baik terhadap responden.
27 Pengolahan data Pengolahan data dimulai dengan memeriksa (editing) kelengkapan, kejelasan, konsistensi dan kesesuaian jawaban responden,
apakah ada
kesalahpahaman responden atau kesalahan pencatatan pada saat wawancara. Kuisioner yang datanya akan dianalisis melalui model ISM, menggunakan kode jawaban : V, A, X, dan O (Eriyatno 1998), yang bermakna: V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting) O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting) Kuisioner yang datanya akan dianalisis dengan model AHP, menggunakan skala penilaian kuantitatif perbandingan elemen berpasangan yang dikemukakan oleh Saaty (1986), disajikan pada Tabel 5. Skala penilaian kuantitatif pada kolom 2 dalam Tabel 4, digunakan langsung dalam pengisian kuisioner. Berdasarkan data yang sudah diedit, kemudian dilakukan proses (processing) data, yaitu melakukan penghitungan sesuai dengan model analisis yang digunakan, yaitu model Interpretative Structural Modelling (ISM) dan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Elemen Berpasangan (Saaty 1986) Kategori Perbandingan Kedua elemen sama berpengaruh .................................................. Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya (moderate) ...................................................................................... Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen lainnya (strong) ........................................................................................... Elemen yang satu sangat jelas lebih penting daripada elemen lainnya (very strong) ...................................................................... Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen lainnya (extreme) ........................................................................................ Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen berdekatan ................. Kebalikan kepentingan ..................................................................
Skala Kuantitatif 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8 1/(1-9)
Analisis data a) Model Interpretative Structural Modelling (ISM) Untuk menganalisis data atau informasi tentang: 1) Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air; 2) Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air; 3) Fungsi koordinasi dalam
28 konservasi sumber daya air; dan 4) Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa digunakan model Interpretative Structural Modelling (ISM) dengan menggunakan perangkat lunak ISM VAXO, seperti yang digunakan oleh Eriyatno (1998). Tahapan utama model ISM disajikan pada Gambar 4, yaitu: 1) Menyusun structural self interaction matrix (SSIM) dengan menggunakan agregat pendapat para responden. 2) Menyusun tabel reachability matrix dengan mengganti simbol-simbol V, A, X, O dengan angka 1 dan 0. 3) Menyusun matrix driver power – dependence (DP-D) yang terdiri dari empat sektor seperti disajikan pada Gambar 5. 4) Menyusun model struktural atau tingkat level setiap sub elemen. PROGRAM Uraikan program menjadi perencanaan program Uraikan elemen jadi sub elemen Tentukan hubungan kontekstual antar sub elemen Susun SSIM untuk setiap sub elemen Bentuk RM setiap sub elemen Uji matriks dengan aturan transivity
OK
Tidak
Modifikasi SSIM
Ya Tentukan level melalui pemilihan
Uraikan RM jadi format Lower Tringular RM
Tentukan DP dan D setiap sub elemen Tentukan Rank dan Hierarki dari sub elemen
Susunlah diagram dari Lower Tringular RM
Tetapkan Driver Dependence Matriks
Plot sub elemen pada empat sektor Susunlah ISM dari setiap elemen
Klasifikasi sub elemen pada empat peubah kategori
Gambar 4. Diagram Alir Teknik Analisis Model Interpretative Structural Modelling (ISM) (Eriyatno 1998)
29
1,0 Driver Power (DP) Relatif
0,9 0,8
Independent
Linkage
Autonomou
Dependent
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Dependence (D) Relatif
Gambar 5. Matrix Driver Power-Dependence (DP-D) Relatif Berdasarkan ke empat sektor yang dimaksudkan pada Gambar 5, dapat ditetapkan posisi setiap sub elemen yang perlu diterapkan berdasarkan bobot Driver Power (DP)-Dependence (D) relatif masing-masing, yaitu: 1) Posisi Autonomous, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini tidak berkaitan dengan sistem atau hubungannya sangat kecil, meskipun keterkaitannya mungkin saja kuat. 2) Posisi Dependent, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini adalah tidak bebas, artinya semua variabel yang ada merupakan akibat dari tindakan terhadap variabel lainnya. 3) Posisi Linkage, menunjukkan bahwa sub elemen yang ada di kuadran ini sangat penting dan harus dikaji secara hati-hati, karena hubungan dengan variabel lainnya tidak stabil. Setiap tindakan terhadap sub elemen tersebut akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar atau menimbulkan dampak yang baru. Dengan kata lain, setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan menghasilkan sukses, sebaliknya lemahnya perhatian terhadap kegiatan tersebut akan menyebabkan kegagalan program. 4) Posisi Independent, menunjukkan bahwa sub elemen di kuadran ini merupakan variabel bebas, artinya merupakan kekuatan penggerak (driver power) yang besar, tetapi kebergantungan terhadap sub elemen lainnya kecil.
30 b) Model Analytical Hierarchy Process (AHP) Model Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah model analisis yang digunakan untuk melakukan analisis data atau informasi tentang kinerja fungsi manajemen, sehingga dapat diidentifikasi yang mana di antara ketiga fungsi manajemen, apakah perencanaan, pelaksanaan, atau pengawasan sebagai penyebab ketidakberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Penggunaan model AHP, secara operasional melalui tahapan-tahapan seperti diuraikan pada Gambar 6 (Saaty 1986). Terdapat lima tahapan secara umum, sebagai berikut: 1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan atau analisis kebutuhan. 2) Menyusun struktur hierarki berdasarkan urutan mulai dari tujuan utama atau fokus, aktor, kriteria, dan solusi atau alternatif seperti yang disajikan pada Gambar 7. 3) Melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Bila vektor pembobotan sub elemen operasi A1, A2, A3, ..., An dinyatakan sebagai vektor w = w1, w2, w3, ..., wn dapat dinyatakan sebagai bobot perbandingan A1 terhadap A2, yaitu w1/w2 yang sama dengan A12. Matrik perbandingan antar sub elemen dikemukakan pada Tabel 5, yang disusun dengan menggunakan data yang diperoleh dari kuisioner seri V. 4) Menyusun matriks perbandingan berpasangan yang dimaksudkan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan setingkat. 5) Menghitung matriks pendapat responden, pengolahan horizontal, vektor prioritas atau vektor ciri (eigen vector), akar ciri atau nilai ciri (eigen value) maksimum, dan pengolahan vertikal. Tabel 5. Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Elemen Vektor
A1
A2
A3
.........
An
A1
w1/w1
w1/w2
w1/w3
.........
w1/wn
A2
w2/w1
w2/w2
w2/w3
.........
w2/wn
A3
w3/w1
w3/w2
w3/w3
.........
w3/wn
.........
.........
.........
.........
.........
.........
An
wn/w1
wn/w2
wn/w3
.........
wn/wn
Koordinasi Antar Sektor
31
Analisis Kebutuhan Penyusunan Hierarki Pengolahan Horizontal: 1. 2. 3. 4. 5.
Perkalian sub elemen Perhitungan vektor prioritas Perhitungan nilai eigen Perhitungan indeks konsistensi Perhitungan rasio konsistensi
CI dan CR
Revisi Pendapat
Tidak
CI, CR memenuhi Ya Penyusunan Matriks Gabungan Perhitungan Vektor Prioritas Gabungan Tidak
CI, CR memenuhi
Revisi Pendapat
Ya Pengolahan Vertikal Perhitungan Vektor Prioritas Sistem
Gambar 6. Diagram Alir Proses Analisis Hierarki pada Model Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty 1986) Kinerja Fungsi Manajemen
Level 1 : Fokus
Tingkat Pusat
Level 2 : Aktor
Level 3 : Kriteria
Koordinasi Antar Sektor
Level 4 : Alternatif
Gambar 7.
Tumpang Tindih Tugas dan Kewenangan
Perencanaan
Tingkat Provinsi
Sifat Multisektor
Pelaksanaan
Tingkat Kabupaten
Penegakan Hukum
Kebijakan Top down
Peran Stakeholders
Pengawasan
Struktur Kriteria Analisis yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAS Gumbasa dengan luas ± 126.617 ha adalah bagian dari DAS Palu bagian hulu yang menjadi bagian integral DAS Palu. DAS Gumbasa terbagi dalam tiga sub DAS, yaitu DAS Lindu seluas 57.575 ha (45 %), DAS Sopu seluas 45.654 ha (36 %) dan DAS Gumbasa Hilir seluas 23.389 ha (18 %). Kawasan ini cukup terkenal selain karena adanya Danau Lindu, kawasan ini juga memiliki kekayaan alam yang tak ternilai harganya berupa keanekaragaman hayati flora dan fauna, termasuk keragaman sosial budaya masyarakat yang bermukim di dalamnya. Kawasan DAS Gumbasa juga memiliki nilai strategis karena letaknya di bagian hulu DAS Palu, sehingga memiliki fungsi perlindungan dan pelestarian, antara lain sebagai pengatur tata air terhadap seluruh bagian DAS, utamanya Sungai Palu yang bermuara di Kota Palu yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, pengelolaan DAS Gumbasa menjadi fokus perencanaan mengingat adanya keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi antara daerah hulu dan hilir DAS Palu (BPDAS Palu-Poso 2007). Kondisi Fisik DAS Gumbasa Kondisi fisik DAS Gumbasa saat ini terindikasi mengalami degradasi, baik lingkungan fisik maupun biotik yang ditunjukkan antara lain oleh besarnya fluktuasi debit air pada musim penghujan dan kemarau. Ada kecenderungan penurunan debit di musim kemarau pada outlet Sungai Gumbasa yang sekaligus menjadi sumber air utama bagi bendung Irigasi Gumbasa yang terletak di Desa Pandere Kecamatan Gumbasa, sehingga kebutuhan air pada areal Irigasi Gumbasa tidak terpenuhi pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang tinggi, ditengarai sebagai akibat tingginya tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, antara lain berupa pembalakan liar (illegal loging), perambahan hutan terutama pada wilayah-wilayah yang berlereng bergelombang sampai bergunung yang rawan untuk pembukaan lahan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada wilayah DAS Gumbasa juga terjadi penurunan jumlah populasi dan spesies dari flora dan fauna yang ada akibat perburuan dan penangkapan secara berlebihan terhadap berbagai jenis flora dan fauna di wilayah ini, termasuk yang sifatnya endemik di wilayah ini. Geomorfologi Di DAS Gumbasa terdapat lima unit geomorfologi yang didominasi oleh unit geomorfologi perbukitan metamorf terkikis (25,41 %), sedangkan yang
33 tersempit adalah unit geomorfologi berupa kipas aluvial (7,61 %). Distribusi unit geomorfologi di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Pembagian Unit Geomorfologi DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5
Unit Geomorfologi Dataran Aluvial Kipas Aluvial Kipas Koluvial Perbukitan Metamorf Terkikis Pegunungan Metamorf Terkikis Danau Lindu Total
Luas (ha) 23.034 9.633 27.138 32.174 31.187 3.451 126.617
Persentase (%) 18,19 7,61 21,43 25,41 24,63 2,73 100,00
Sumber : BPDAS Palu-Poso 2008
Jenis tanah Di wilayah DAS Gumbasa ditemukan empat jenis tanah yang menyebar membentuk
delapan
satuan
peta
tanah
(SPT),
yaitu:
Aluvial
Coklat
(Tropofluvents), Aluvial Kelabu (Udifluvents), Kambisol Dystrik (Distropepts), Kambisol Eutrik (Eutropepts), Komplek Latosol Coklat dan Litosol, Komplek Podsolik Coklat dan Litosol, Latosol Coklat (Tropudalfs), dan Podsolik Coklat (Tropudults). Distribusi SPT di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Penyebaran Jenis Tanah DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Satuan Peta Tanah (SPT) Aluvial Coklat (Tropofluvents) Aluvial Kelabu (Udifluvents) Kambisol Dystrik (Distropepts) Kambisol Eutrik (Eutropepts) Komplek Latosol Coklat dan Litosol Komplek Podsolik Coklat dan Litosol Latosol Coklat (Tropudalfs) Podsolik Coklat (Tropudults) Danau Lindu Total
Luas (ha) 20.298 183 3.358 8.374 15.519 15.507 27.845 32.082 3.451 126.617
Persentase (%) 16,03 0,14 2,65 6,61 12,26 12,25 21,99 25,34 2,73 100,00
Sumber: BPDAS Palu-Poso 2008
Jenis tanah yang mendominasi wilayah DAS Gumbasa adalah Ordo Entisols, Inceptisols, Alfisols, dan Ultisols. Tanah-tanah Entisols banyak mendominasi kawasan hilir dan lembah-lembah yang dicirikan oleh meningkatnya aktivitas usaha tani sawah karena keadaan tanah yang relatif cukup subur. Sedangkan tanah-tanah Inceptisols, Alfisols, dan Ultisols mendominasi bagian tengah dan hulu DAS Gumbasa. Ketiga ordo tanah tersebut umumnya dicirikan oleh pola penggunaan lahan sebagai areal perkebunan dan hutan sekunder.
34 Topografi Keadaan topografi di Sub DAS Sopu dan Gumbasa Hilir bervariasi dari landai hingga bergunung. Kawasan ini didominasi oleh daerah yang datar-landai dengan kemiringan 0-15 %, yaitu sebesar 25,85 % dari total luas DAS Gumbasa, sedangkan daerah yang sangat curam (bergunung) dengan kemiringan > 45 % hanya sebesar 24,55 % dari total luas kawasan tersebut.
Pembagian kelas
kemiringan lahan di DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kemiringan Lahan DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5
Kelas Kemiringan Lahan (%) 0 – 8 (datar) 8 – 15 (landai) 15 – 25 (bergelombang) 25 – 45 (berbukit) > 45 (bergunung) Danau Lindu Total
Luas (ha) 20.611 12.122 27.068 32.283 31.082 3.451 126.617
Persentase (%) 16,28 9,57 21,38 25,50 24,55 2,73 100,00
Sumber: BPDAS Palu-Poso 2008
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar (71,43 %) kondisi lahan di wilayah DAS Gumbasa merupakan lahan yang berlereng bergelombang sampai bergunung, sehingga sangat rawan terjadi erosi. Bahaya erosi terjadi terutama pada suatu kawasan yang mempunyai kemiringan lereng 15 % atau lebih. Timbulnya erosi yang tinggi dapat semakin diperparah oleh adanya kekeliruan dalam pengelolaan sumber daya lahan. Iklim DAS Gumbasa memiliki dua tipe iklim yang berbeda, yaitu tipe iklim D1 di sebelah Timur dan tipe iklim E1 di sebelah Barat. Berdasarkan kriteria Oldeman, tipe iklim D1 dicirikan oleh 3-4 bulan basah dan bulan kering kurang dari 2 bulan dalam satu tahun, sedangkan tipe iklim E1 dicirikan oleh bulan basah kurang dari 2 bulan dan bulan kering lebih dari 2 bulan dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di DAS Dumbasa disajikan pada Gambar 8. Kelembaban relatif di wilayah DAS Gumbasa berkisar antara 70-90 %. Berdasarkan data iklim DAS Gumbasa (BPDAS Palu-Poso 2007), pada umumnya curah hujan terendah terjadi pada bulan Pebruari hingga mencapai 39 mm/bulan, selanjutnya berangsur-angsur meningkat dan mencapai puncak pertama pada bulan April dan puncak kedua pada bulan November dengan ratarata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November, yakni sebesar 226
35 mm/bulan. Sedangkan curah hujan rata-rata tahunan di dataran Lindu mencapai 2.300 mm/tahun dan daerah ini merupakan wilayah yang selalu basah. DAS Lindu DAS Gumbasa Hilir DAS Sopu
Curah Hujan Bulanan (mm)
250
200
150
100
50
0 1
Gambar 8.
2
3
4
5
6 Bulan
7
8
9
10
11
12
Rata-Rata Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir Di DAS Gumbasa
Hidrologi dan sumber daya air Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) mempunyai fungsi tangkapan air yang besar, didukung oleh dua sungai besar, yaitu: Sungai Gumbasa dan Danau Lindu di bagian Utara yang bergabung dengan Sungai Palu di bagian Barat serta Sungai Lariang di bagian Timur, Selatan, dan Barat. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat di wilayah DAS Palu dan Sulawesi Tengah umumnya. Sungai utama yang terdapat dalam DAS Gumbasa yang mengalir sepanjang tahun (perennial stream), yaitu Sungai Gumbasa. Sungai ini memanjang dari arah Timur dan bermuara di bagian Barat DAS Gumbasa langsung masuk ke Sungai Palu. Aliran Sungai Gumbasa merupakan perpaduan dari beberapa aliran sungaisungai yang terletak di bagian hulu, antara lain Sungai Sopu dan Sungai Gumbasa Hulu yang berasal dari Danau Lindu. Kedua sungai ini juga merupakan tipe sungai perennial. Debit aliran sungai dan sedimen melayang yang pengamatannya dilakukan di Sungai Sopu yang mengalir melalui empat desa, yakni Kamarora, Bahagia, Rahmat dan Makmur (BPDAS Palu-Poso 2007). Aliran air yang terdapat pada Sungai Sopu yang mengalir dari Kamarora hingga Makmur mempunyai variasi debit aliran sungai yang cukup tajam, yaitu berkisar antara 11,08 m3/detik di
36 Kamarora, 12,73 m3/detik di Bahagia, 24,99 m3/detik di Rahmat, hingga 35,99 m3/detik di Makmur. Pada kawasan aliran Sungai Sopu banyak dijumpai erosi tebing sungai dan pendangkalan sungai.
Hal ini menyebabkan semakin
menurunnya dimensi dan kapasitas aliran sungai. Gejalanya adalah tampaknya (munculnya) pengikisan yang cukup hebat pada lahan masyarakat yang dipergunakan sebagai areal budidaya tanaman, sehingga masyarakat setempat menderita kerugian yang tinggi sebagai akibat meluapnya aliran Sungai Sopu yang tinggi pada musim hujan. Luas DAS Sopu yang besar yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan kawasan ini mempunyai debit aliran puncak (peak runoff) yang tinggi, sehingga penampang Sungai Sopu tidak mampu menampung volume aliran air yang mengalir di atasnya. Total muatan sedimen melayang berkisar antara 2.802,50 ton/tahun di Kamarora, 3.153,70 ton/tahun di Bahagia, 6.128,98 ton/tahun di Rahmat, dan 11.233,77 ton/tahun di Makmur. Debit aliran sungai di Sungai Gumbasa Hilir yang pengamatannya dilakukan di Desa Pakuli (33,26 m3/detik) dan Pandere (43,48 m3/detik). Sedangkan total muatan sedimen melayang berkisar antara 17.589,52 ton/tahun di Pakuli dan 31.400,14 ton/tahun di Pandere. Debit rata-rata tahunan air sungai yang keluar dari Danau Lindu mencapai 18,656 m3/detik. Kondisi hidrologis kawasan Lindu dibentuk oleh aliran sungaisungai yang umumnya berukuran kecil dan tersebar di seluruh sisi danau, di antaranya Sungai Katti (debit sesaat pada minggu ketiga bulan Maret 2001) sebesar 7,510 m3/detik, Sungai Lombosa sebesar 1,260 m3/detik, Sungai Langko sebesar 0,631 m3/detik, Sungai Wongkodono sebesar 0,104 m3/detik, dan Sungai Pada sebesar 0,107 m3/detik. Debit aliran air keluar Danau Lindu cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah debit dari kelima sungai inletnya.
Hal ini
menunjukkan sumber masukan air ke Danau Lindu cukup banyak dan tersebar dalam jumlah aliran yang kecil-kecil (BWSS III 2008). Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa penggunaan air yang berasal dari saluran primer (Sungai Sopu dan Sungai Gumbasa) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sebagian besar hanya dibutuhkan untuk mandi, cuci, dan kakus. Sedangkan kebutuhan air minum masyarakat di sekitar sungai banyak mempergunakan air tanah yang berasal dari sumur dan pompa injeksi. Uji laboratorium terhadap kualitas air yang dilakukan di desa Kamarora (bagian hulu DAS), Makmur (bagian tengah DAS), dan Pandere (bagian hilir
37 DAS), seperti pH, kandungan logam berat (Hg dan Fe), kesadahan (CaCO3), kandungan Nitrat (NO3), zat organik (KMnO4), dan deterjen menunjukkan bahwa kandungannya masih berada di bawah ambang kritis sebagai sumber air bersih dan air minum, walaupun demikian pada kawasan desa Makmur dan Pandere menunjukkan kecendrungan meningkatnya zat organik terlarut yang hampir mencapai ambang kritis yang diperbolehkan bagi kebutuhan air bersih dan air minum. Meningkatnya zat organik terlarut pada kawasan tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan aktifitas manusia untuk mempergunakan wilayah tersebut sebagai lahan pertanian, kebun, pemukiman dan industri rumah tangga di sekitar sungai Gumbasa. Penggunaan zat organik yang mudah larut dalam air di lahan pertanian, seperti pupuk, pestisida, limbah industri merupakan permasalahan kualitas air yang harus mulai mendapat perhatian secara khusus pada bagian hilir sungai Gumbasa. Penggunaan lahan Penggunaan lahan di DAS Gumbasa terdiri dari tujuh tipe utama seperti ditunjukkan pada Tabel 9, didominasi oleh tiga penggunaan lahan, yaitu: hutan lahan kering sekunder sebesar 62,70 % dari total luas DAS Gumbasa, hutan lahan kering primer 18,16%, dan pertanian lahan kering campur semak sebesar 12,88 %
dari total luas kawasan tersebut. Sedangkan penggunaan lahan lainnya masingmasing kurang dari 10 %. Tabel 9. Penggunaan Lahan DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6
7
Jenis Penggunaan Lahan Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan rawa sekunder Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campur semak Sawah campur pemukiman dan tanah terbuka Semak belukar Danau Lindu Total
Sumber: BPDAS Palu-Poso 2008
Luas (ha) Dalam Kawasan TNLL
Luar Kawasan TNLL
Total Luas (ha)
Persentase (%)
22.997
0
22.997
18,16
49.787
29.607
79.394
62,70
845 404
0 2.708
845 3.112
0,67 2,46
3.406
7.749
11.155
8,81
0
5.154
5.154
4,07
0 0 77.439
509 3.451 49.178
509 3.451 126.617
0,40 2,73 100,00
38 Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya umumnya berada pada kemiringan 0-3 %, menunjukkan penggunaan lahan yang baik dan tidak mengancam kawasan lindung. Namun demikian, hal tersebut perlu mendapat perhatian karena kawasan aktivitas manusia yang mencakup tegalan, kebun kopi, sawah dan pemukiman yang mencapai 15,34 % dari luas kawasan, berpotensi sebagai pemasok utama padatan tersuspensi dan material anthrofogenik yang dapat mengancam kualitas perairan danau. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya DAS Gumbasa Masalah degradasi lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini seringkali berpangkal pada aktifitas manusia, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar kawasan DAS Gumbasa.
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat
menyebabkan perbandingan jumlah penduduk dengan ketersediaan lahan pertanian menjadi tidak seimbang.
Terbatasnya luas lahan yang dapat
dipergunakan untuk areal budidaya tanaman, sempitnya lapangan pekerjaan, dan kendala tingkat pengetahuan maupun keterampilan masyarakat desa yang rendah merupakan faktor-faktor yang dominan dalam mendorong meningkatnya upaya eksploitasi hutan dan sumber daya alam lainnya (BPDAS Palu-Poso 2007). Jumlah penduduk Kependudukan merupakan salah satu aspek penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Laju pertambahan penduduk yang pesat dan tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang memadai, telah akan terus mengakibatkan terjadinya pemanfaatan lahan yang tidak atau kurang memperhatikan daya dukung lahan, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan dan sumber daya air. Perincian jumlah penduduk berdasarkan KK dan jiwa di wilayah DAS Gumbasa disajikan pada Tabel 10 berikut ini. Desa yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Desa Pakuli Kecamatan Gumbasa dengan jumlah penduduk sebesar 4.057 jiwa, jumlah KK sebesar 822, dan rata-rata penduduk per KK sebesar 5 jiwa. Sedangkan desa yang memiliki jumlah penduduk terendah adalah Desa Anca Kecamatan Lindu dengan
39 jumlah penduduk sebesar 528 jiwa, jumlah KK sebesar 149, dan rata-rata penduduk per KK sebesar 4 jiwa. Tabel 10. Jumlah Penduduk Berdasarkan KK dan Jiwa di Wilayah DAS Gumbasa Kecamatan
Desa
Kepala Keluarga (KK)
Puroo Langko Tomado Anca Pakuli Gumbasa Pandere Sintuwu Palolo Tongoa Bahagia Berdikari Rejeki Ranteleda Rahmat Makmur Kamarora A Lembantongoa Uwenuni Kamarora B Kadidia Sopu Bulili Sejahtera Total Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006
Lindu
245 183 443 149 822 616 399 402 267 265 248 362 588 469 491 404 595 362 212 221 347 375 8.465
Jiwa 930 894 1.719 528 4.057 2.379 1.435 1.942 1.007 1.020 1.032 1.475 1.839 1.837 1.771 1.979 1.735 1.395 646 791 1.601 1.540 33.552
Rata-Rata Penduduk/KK 9 8 14 4 5 4 4 5 4 4 4 3 4 4 5 5 3 4 3 4 5 4
Kepadatan penduduk Kepadatan penduduk pada suatu wilayah dapat memberikan gambaran tentang tekanan penduduk terhadap sumber daya alam, khususnya terhadap hutan dan sumber daya air di suatu wilayah. Tekanan penduduk muncul sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk di suatu lokasi, dan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan terhadap lahan garapan dan berbagai aktivitas penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pemanfaatan sumber daya alam. Pada Tabel 11 disajikan data kepadatan penduduk di tiga kecamatan yang terdapat dalam wilayah DAS Gumbasa. Ciri utama penduduk desa-desa di wilayah DAS Gumbasa adalah penyebarannya secara geografis yang sangat tidak merata. Desa Uwenuni dan Desa Sejahtera Kecamatan Palolo memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, masing-masing sebesar 811 jiwa/km2 dan 570 jiwa/km2. Sebaliknya di Desa Anca
40 Kecamatan Lindu, memiliki tingkat kepadatan yang terkecil, yaitu hanya sebesar 4 jiwa/km2. Tabel 11. Kepadatan Penduduk di Wilayah DAS Gumbasa Kecamatan Lindu
Gumbasa Palolo
Desa Puroo Langko Tomado Anca Pakuli Pandere Sintuwu Tongoa Bahagia Berdikari Rejeki Ranteleda Rahmat Makmur Kamarora A Lembantongoa Uwenuni Kamarora B Kadidia Sopu Bulili Sejahtera
Luas (km2) 106.94 107,35 120,83 131,43 32,05 18,16 19,23 31,51 2,14 2,64 2,14 4,27 5,47 76,91 12,12 12,82 2,14 11,10 2,42 7,35 2,27 2,70
Jumlah Penduduk (jiwa) 930 894 1.719 528 4.057 2.379 1.435 1.942 1.007 1.020 1.032 1.475 1.839 1.837 1.771 1.979 1.735 1.395 646 791 1.601 1.540
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 9 8 14 4 127 131 75 62 471 386 482 340 336 24 146 154 811 146 266 352 218 570
Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah memberikan gambaran mengenai intensitas pemanfaatan sumber daya alam, baik di saat ini maupun di masa yang akan datang.
Tekanan penduduk terhadap lahan yang ditandai oleh laju
pertambahan penduduk yang tinggi, merupakan faktor dominan yang mendorong intensitas pembukaan lahan hutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan dasar yang dimiliki masyarakat, utamanya di pedesaan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Aktifitas pembukaan lahan hutan tersebut berdampak
langsung terhadap menurunnya kemampuan menahan laju degradasi lahan. Pertumbuhan penduduk di wilayah DAS Gumbasa sejak tahun 1990-2006 disajikan pada Tabel 12. Desa yang memiliki laju pertumbuhan penduduk terbesar di antaranya adalah Desa Lembantongoa dan Desa Tongo Kecamatan Palolo, masing-masing sebesar 6,28 % dan 6,16 %. Sedangkan desa yang memiliki laju pertumbuhan
41 penduduk rendah diantaranya Desa Kamarora B dan Desa Kamarora A Kecamatan Palolo, masing-masing sebesar -5,35 % dan -3,87 %. Berdasarkan data BPS Kabupaten Donggala tahun 2006, sekitar 30 % masyarakat di DAS Gumbasa tergolong pada keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, 36 % tergolong pada keluarga miskin, dan 34 % tergolong pada keluarga sejahtera. Tabel 12. Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Wilayah DAS Gumbasa Kecamatan Lindu
Gumbasa Palolo
Desa Puroo Langko Tomado Anca Pakuli Pandere Sintuwu Tongoa Bahagia Berdikari Rejeki Ranteleda Rahmat Makmur Kamarora A Lembantongoa Uwenuni Kamarora B Kadidia Sopu Bulili Sejahtera
Jumlah Penduduk Tahun 1990 (jiwa) 2006 (jiwa) 707 930 635 894 1.345 1.719 505 528 2.802 4.057 2.026 2.379 796 1.435 725 1.942 1.007 1.020 1.032 1.475 1.839 1.837 3.290 1.771 725 1.979 1.735 3.285 1.395 3.290 646 791 1.601 1.540
Pertumbuhan Penduduk (%) 1,71 2,14 1,53 0,28 2,31 1,00 3,68 6,16 -3,87 6,28 -5,35 4,22 -
Sumber: Data BPS Kabupaten Donggala 2006
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS Gumbasa Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kelestarian DAS.
Usaha menumbuhkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: 1) kesempatan masyarakat untuk ikut dalam kegiatan, 2) kemampuan untuk berpartisipasi, dan 3) kemauan untuk memanfaatkan kesempatan. Faktor-faktor yang termasuk dalam kesempatan, yaitu peluang petani untuk menjadi peserta program.
Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kemampuan, yaitu
pendidikan formal dan non formal, pengalaman petani dalam berusaha tani, usia petani, dan luas lahan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam kemauan, yaitu motivasi yang dimiliki petani.
42 a). Komunitas masyarakat di DAS Lindu Masyarakat Di Desa Puro’o hanya menerima informasi dan himbauan untuk tidak melakukan konversi lahan hutan dan lahan di sekitar sempadan sungai. Sedangkan kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, utamanya yang terkait langsung dengan pelestarian DAS belum pernah dilakukan di desa ini. Sedangkan masyarakat di Desa Tomado memiliki tingkat patisipasi yang lebih tinggi, di mana masyarakat dan pemerintah daerah bersama-sama membentuk kelembagaan, yaitu Lembaga Konservasi Desa (LKD) yang berfungsi dan berperan mempertahankan kelestarian sumber daya DAS. Demikian pula di Desa Langko, di mana Dinas Praswil bersama-sama masyarakat setempat memperbaiki saluran-saluran drainase dan pengairan guna mengurangi resiko terjadinya musibah banjir. b) Komunitas masyarakat di DAS Sopu Desa-desa yang berada di DAS Sopu memiliki tingkat partisipasi yang beragam dalam kegiatan pengelolaan DAS.
Di Desa Sejahtera, Rejeki dan
Rahmat, kegiatan ataupun program-program yang terkait dengan upaya konservasi sumber daya hutan dan sumber daya air DAS Gumbasa belum sepenuhnya melibatkan peran aktif masyarakat. Pihak pemerintah desa dan pihak BTNLL masih sebatas memberikan informasi dan larangan bagi masyarakat untuk mengkonversi hutan. Beberapa utusan dari desa-desa tersebut pernah mengikuti kegiatan pelatihan dan lokakarya di Desa Bahagia, namun keberadaan mereka masih sebatas peserta undangan dan mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Sedangkan di Desa Bahagia partisipasi
masyarakat tergolong tinggi, di mana pemerintah melalui instansi terkait telah melakukan sejumlah kegiatan terprogram yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu wujud konkrit program penguatan kelembagaan yang melibatkan stakeholders perwakilan Kecamatan Palolo adalah pelatihan petani tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lahan yang memperhatikan kaidah konservasi, penanaman tanaman obat-obatan, seperti jahe, serei, serta menanami sempadan sungai dengan tanaman bambu sebagai salah satu upaya mengurangi laju erosi dan degradasi lahan di DAS Sopu. Dalam kegiatan ini masyarakat Desa Bahagia berperan secara aktif di setiap tahapan kegiatan. Perbedaan tingkat partisipasi masyarakat di beberapa desa tersebut akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya lahan, hutan dan air ke arah konservatif atau sebaliknya eksploitatif.
43 c) Komunitas masyarakat di DAS Gumbasa Hilir Desa Pakuli dan Pandere yang terletak di DAS Gumbasa Hilir memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, di mana pemerintah selain menghimbau dan melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan dan sumber daya air DAS Gumbasa, juga memberikan dukungan berupa bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya pelaksanaan program normalisasi sungai yang pernah mengalami musibah banjir. Potensi konflik di DAS Gumbasa Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam termasuk di dalamnya DAS Gumbasa sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumber daya alam.
Hal ini dapat terwujud bila didukung oleh eksistensi
kelembagaan masyarakat dalam mengelola DAS Gumbasa. Kelembagaan masyarakat merupakan modal dasar masyarakat (social capital) yang dapat dipandang sebagai aset produktif yang dapat mendorong individu-individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disepakati bersama dalam rangka meningkatkan produktifitas anggotanya secara individu maupun produktifitas masyarakat secara keseluruhan.
Oleh
karena itu, agar pengelolaan DAS Gumbasa benar-benar menjadi bagian dalam proses pengembangan produktifitas masyarakat, maka kelembagaan masyarakat harus diperhatikan eksistensinya, kemudian dipertahankan dan dikembangkan secara bertahap, sehingga ikatan yang melembaga dalam masyarakat dapat terpelihara. Ditinjau dari segi kelembagaan, maka kegagalan dalam mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan sering disebabkan oleh hak penguasaan dan batas yurisdiksi yang tidak jelas serta belum adanya aturan, sehingga penggunaan sumber daya alam milik bersama, misalnya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) cenderung bersifat akses terbuka.
Dalam kondisi akses
terbuka, maka setiap individu atau kelompok tertentu akan saling berlomba dalam memanfaatkan
dan
menguasai
sumber
daya
sebesar-besarnya
tanpa
mempertimbangkan resiko terjadinya kerusakan lingkungan. Aktifitas pencurian hasil hutan dan penyerobotan lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, khususnya di kawasan TNLL sudah lama terjadi. Di awal tahun 1990an, ditemukan gejala tekanan manusia terhadap lahan yang tinggi pada beberapa desa di seputar TNLL, selanjutnya laju konversi lahan hutan secara besar-besaran terjadi sejak tanaman kakao memiliki nilai ekonomi tinggi.
44 BPDAS Palu-Poso 2007 mengemukakan bahwa secara mikro dijumpai permasalahan yang berpotensi terhadap munculnya konflik di DAS Gumbasa, di antaranya: 1) Ketidakjelasan hak penggunaan lahan yang disebabkan oleh tidak jelasnya batas kawasan TNLL di lapangan, sehingga menciptakan konflik antara masyarakat dengan BTNLL, bahkan antara sesama masyarakat. 2) Perencanaan pengelolaan DAS Gumbasa yang dikembangkan belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kebupaten dan belum banyak melibatkan partispasi aktif masyarakat melalui pendekatan partisipatif dalam mengelola lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya. 3) Adanya
keterbatasan
mengakibatkan
sarana
terjadinya
dan
prasarana
keterbatasan
akses
sosial
ekonomi
masyarakat
yang
terhadap
penguasaan teknologi, informasi, komunikasi, permodalan, bahan baku maupun pemasaran produksi. 4) Keterbatasan peranan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat lokal, sehingga menciptakan situasi yang kurang kondusif bagi peningkatan produktifitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan. 5) Kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar TNLL yang bersifat subsistem cenderung memunculkan sikap yang kurang responsif atau pasif dan acuh tak acuh terhadap upaya-upaya pembangunan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari. 6) Infrastruktur fisik dan sosial, seperti fasilitas jalan, listrik, pelayanan kesehatan dan penyuluhan di bagian hulu DAS Gumbasa lebih buruk dibandingkan di daerah hilir DAS Gumbasa. 7) Pola pemanfaatan lahan yang masih berpeluang terhadap terjadinya kondisi lahan garapan yang rawan erosi. Permasalahan-permasalahan tersebut berpotensi kuat dalam menciptakan konflik horisontal maupun vetikal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak pula terhadap degradasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, mencakup empat aspek, yaitu: 1) konservasi sumber daya air; 2) pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak air; dan 4) sistem informasi sumber daya air yang disusun dengan memperhatikan kondisi wilayah masing-masing. Kajian ini difokuskan pada pembahasan peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air DAS Gumbasa yang erat kaitannya dengan pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam, serta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah DAS Gumbasa. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan, keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang. Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
Konservasi
sumber daya air dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 33 organisasi yang dianalisis, terdapat 1 organisasi yang berperan di posisi independent, 2 organisasi yang berperan di posisi linkage, 11 organisasi yang berperan di posisi dependent, dan 19 organisasi yang berperan di posisi autonomous.
Besarnya peran setiap
organisasi diidentifikasi melalui besarnya daya penggerak (driver power) dan ketergantungan (dependence), seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Driver Power (DP)-Dependence (D)
46
25
Driver Power Dependence
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Nomor/Kode Organisasi
Gambar 9.
Diagram Indikator Besarnya Peran Setiap Organisasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
Posisi dan perbandingan besarnya bobot driver power- dependence (DP-D) relatif setiap organisasi ditunjukkan pada Gambar 10 dan Tabel 13.
1,0
(3)
0,9 0,8
Independent
Linkage
Driver Power Driver Power (DP)(DP)
0,7 0,6
(1,16)
0,5 0,4
Autonomous
Dependent
(4)
0,3
0,2 0,1
(2,6,7,8,10,22,27,28) (5,12,17,18,20,21,25,29,32,33)
0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
(23) 0,5
0,6
(9,14,19,24,26,30,31) (11,13,15) 0,7
0,8
0,9
1,0
Dependence (D) Dependence (D) Relatif
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan nomor/kode organisasi
Gambar 10. Posisi Peran Setiap Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
47 Tabel 13. Posisi dan Bobot Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi Independent (Pengaruh terhadap program besar, tetapi ketergantungannya dengan lembaga lainnya kecil) Linkage (Pengaruh terhadap program dan ketergantungannya dengan lembaga lainnya besar) Dependent (Pengaruh terhadap program kecil, tetapi ketergantungannya dengan lembaga lainnya besar)
Autonomous (Pengaruh terhadap program dan ketergantungannya dengan lembaga lainnya kecil)
Keterangan : DP D
= Driver Power Relatif = Dependence Relatif
Organisasi 3. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL)
Bobot DP D 1,00 0,20
Rata-rata 1. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso 16. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala
1,00 0,52 0,52
0,20 0,60 0,60
Rata-rata 9. Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng 11. Bappeda Kabupaten Donggala 13. BPN Kabupaten Donggala 14. Dinas Pertanian Kabupaten Donggala 15. Dinas PU Kabupaten Donggala 19. Dinas Prasarana Wilayah Kab. Donggala 23. Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala 24. DPRD Kabupaten Donggala 26. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) 30. LSM Lingkungan 31. Kelompok Tani Rata-rata 2. Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III 4. Bappeda Provinsi Sulteng 5. Bapedalda Provinsi Sulteng 6. BPN Provinsi Sulteng 7. Dinas Pertanian Provinsi Sulteng 8. Subdin PSDA Dinas Kimpraswil Provinsi Sulteng 10. DPRD Provinsi Sulteng 12. Bapedalda Kabupaten Donggala 17. Dinas Tata Ruang Kabupaten Donggala 18. PPL/PKL 20. Dinas Perindag Kabupaten Donggala 21. Dinas Kependudukan Kab. Donggala 22. Dinas Pendapatan Daerah Kab. Donggala 25. Perguruan Tinggi 27. Perbankan 28. UKM/KUD 29. Wartawan (Pers) 32. Kepolisian 33. Kejaksaan Rata-rata
0,52 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,26 0,04 0,04 0,04 0,04
0,60 0,80 1,00 1,00 0,80 1,00 0,80 0,60 0,80 0,80 0,80 0,80 0,84 0,20 0,20 0,40 0,20 0,20 0,20
0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05
0,20 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 0,20 0,40 0,20 0,20 0,40 0,40 0,40 0,31
DP-D < 0,50 = Kecil/lemah/tidak penting DP-D ≥ 0,50 = Besar/kuat/penting
48 Hasil analisis ISM pada Gambar 10 dan Tabel 13, menunjukkan bahwa ada satu organisasi pemerintah yang berperan penting, yaitu Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL). Organisasi pemerintah tersebut berdasarkan analisis ISM berada pada posisi independent yang berarti pengaruhnya terhadap program yang berkaitan dengan konservasi sumber daya air sangat besar, tetapi ketergantungannya dengan lembaga lainnya kecil.
dengan rata-rata bobot DP
relatif tertinggi, yaitu 1,00, tetapi memiliki bobot D relatif yang rendah, yaitu 0,20.
Hal ini berarti organisasi pemerintah tersebut berperan sangat penting
terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, khususnya pada wilayah DAS Gumbasa yang berada di dalam kawasan TNLL. Besarnya peran (driver power) mengindikasikan bahwa pengaruh organisasi pemerintah tersebut sangat besar. Sedangkan kecilnya ketergantungan (dependence) menunjukkan bahwa pengaruh organisasi lain sangat kecil. Besarnya peran BBTNLL menunjukkan bahwa organisasi pemerintah ini merupakan variabel penyebab sukses atau gagalnya implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, khususnya dalam kawasan TNLL. Meskipun BBTNLL merupakan organisasi pemerintah yang memiliki peran kunci dalam implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, organisasi pemerintah ini tidak memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan hulu-hilir antar organisasi pemerintah terkait di Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala, karena kewenangan dan otoritas BBTNLL terbatas hanya dalam kawasan TNLL. Hal ini sesuai dengan tugas pokok yang emban oleh BBTNLL, yaitu menyelenggarakan fungsi: 1) penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan TNLL; 2) pengelolaan kawasan TNLL; 3) penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan TNLL; 4) pengendalian kebakaran hutan; 5) promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 6) pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 7) kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; 8) pemberdayaan masyarakat sekitar TNLL; 9)
49 pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam; dan 10) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. BBTNLL merupakan Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, yaitu organisasi pelaksana teknis pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang berada dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Organisasi pemerintah ini melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan TNLL berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BBTNLL berperan di posisi independent karena memiliki otoritas penuh pada wilayah DAS Gumbasa yang berada di dalam kawasan TNLL, di mana setiap individu atau organisasi yang akan melakukan kegiatan di dalam kawasan TNLL harus mendapatkan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dari pihak BBTNLL. Hal tersebut juga berlaku bagi organisasi pemerintah yang wilayah kerjanya berada dalam kawasan TNLL, seperti Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III, serta organisasi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala. BBTNLL memiliki tugas dan kewenangan menyusun rencana dan melaksanakan program perlindungan dan pelestarian hutan di kawasan TNLL. Hal tersebut ditujukan untuk menekan berbagai kasus perambahan hutan dan illegal logging di kawasan TNLL yang dalam setahun terakhir kembali marak, sehingga petugas Polisi Hutan yang terbatas harus bekerja keras mengamankan kawasan hutan TNLL seluas 217.991 hektar. BBTNLL hanya memiliki 54 orang petugas Polisi Hutan, maka setiap petugas harus menjaga kurang lebih empat ribu hektar.
Selama tahun 2008, sekitar 40 hektar hutan lindung di Kecamatan
Konservasi Lindu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, telah beralih fungsi jadi lahan perkebunan kakao dan kopi. Karena kekurangan personil ini, BBTNLL harus merekrut 40 tenaga partisipatif dari masyarakat lokal yang ada di sekitar kawasan. Guna menekan kasus illegal logging dan perambahan hutan di
50 kawasan TNLL, pihak BBTNLL menggencarkan operasi rutin terbuka maupun tertutup.
Perambahan hutan dan Illegal logging untuk lahan perkebunan di
kawasan TNLL dikhawatirkan menyusutkan beberapa vegetasi yang dilindungi seperti: Eucalyptus, Deglupta, Pteros permum, serta tumbuhan obat-obatan dan rotan. Masyarakat lokal yang terlibat jual-beli lahan pada areal hutan lindung TNLL di Dataran Lindu akan diproses melalui Lembaga Adat setempat. Berdasarkan hukum adat di Dataran Lindu, telah ditetapkan sanksi adat terhadap warga yang terlibat dalam kasus perambahan hutan di kawasan hutan lindung hanya berlaku bagi masyarakat lokal. Tetapi, Lembaga Adat akan menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus perambahan hutan di kawasan hutan lindung kepada BBTNLL bila yang melakukan pelanggaran adalah penduduk pendatang di daerah itu untuk ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Hayati dan Ekosistemnya, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, para pelaku perambahan hutan dan illegal logging di kawasan hutan lindung diancam hukuman kurungan maksimal 10 tahun penjara atau denda lima miliar rupiah. Walaupun demikian, hingga saat ini BTNLL belum melaksanakan fungsinya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara optimal, sehingga konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini disebabkan karena BBTNLL tidak melibatkan organisasi
pemerintah terkait dari Kabupaten Donggala di mana wilayah DAS Gumbasa berada, khususnya dalam hal perumusan kebijakan pengelolaan TNLL, dan 2) belum berhasil membangun koordinasi lintas sektor antar organisasi pemerintah di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala dan Poso. Lemahnya kinerja fungsi koordinasi dan manajemen kawasan TNLL oleh BBTNLL terlihat dari telah terjadinya alih fungsi lahan hutan sejak tahun 19982007, pada kawasan TNLL diperkirakan sekitar 3.500 ha lahan hutan di DongiDongi dan sepanjang garis batas bagian Utara kawasan TNLL telah dialih fungsikan sebagai lahan pemukiman dan pertanian khususnya tanaman kakao (Montesari, 2002). Selain dirambah, secara resmi pemerintah juga memberikan
51 izin kepada pihak investor swasta untuk membangun perkebunan.
Menurut
Hikam (2002), dalam kawasan TNLL ada 8 perusahaan yang mengelola sekitar 13.813 ha lahan perkebunan, yang terdiri atas tanaman kopi seluas 5.400 ha, kakao seluas 298 ha, cengkeh seluas 375 ha dan tanaman lainnya seluas 7.740 ha. Hasil analisis ISM pada Gambar 10 dan Tabel 13, menunjukkan bahwa Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso; dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala berperan di posisi linkage dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,52 dan D relatif= 0,60. Pentingnya peran yang diemban kedua organisasi pemerintah tersebut dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan besarnya ketergantungannya pada organisasi lain, maka fungsi kedua organisasi pemerintah tersebut harus dioptimalkan agar terhindar dari kemungkinan timbulnya pengaruh organisasi lain yang tidak sejalan dengan tujuan program konservasi sumberdaya air, khususnya pada wilayah DAS Gumbasa yang berada di luar kawasan TNLL. Pengaruh-pengaruh organisasi lain yang tidak sejalan dengan tujuan program konservasi sumberdaya air dapat memperbesar atau menjadi penyebab timbulnya masalah baru dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 665/Kpts-II/2002 tanggal 7 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Dareah Aliran Sungai, pada Bab II tentang Susunan Organisasi dan Bab IV tentang Lokasi, maka Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) PaluPoso merupakan Balai Pengelolaan Dareah Aliran Sungai Tipe A dengan susunan organisasi sebagai berikut: 1) Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata persuratan, perlengkapan dan rumah tangga Balai; 2) Seksi Program Daerah Aliran Sungai mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan inventarisasi dan identifikasi potensi dan kerusakan daerah aliran sungai, serta penyusunan program dan rencana pengelolaan daerah aliran sungai; 3) Seksi Kelembagaan Daerah Aliran Sungai mempuyai tugas melakukan penyiapan bahan inventarisasi dan identifikasi sistem kelembagaan dan kemitraan pengelolaan daerah aliran sungai; 4) Seksi Evaluasi Daerah Aliran Sungai mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan dan evaluasi
52 tata air, penggunaan lahan, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pengelolaan sistem informasi pengelolaan daerah aliran sungai. BPDAS Palu-Poso sebagai organisasi pemerintah pusat yang beroperasi di daerah adalah salah satu organisasi pemerintah yang memiliki bobot DP relatif= 0,52 dan D relatif= 0,60. Organisasi pemerintah ini tidak menyandang predikat organisasi pemerintah yang memiliki peran kunci dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa karena sebagian besar (61,16 %) wilayah DAS Gumbasa berada dalam kawasan TNLL, sehingga otoritas BBTNLL lebih besar dibanding BPDAS dalam kasus konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Peran BPDAS Palu-Poso di posisi linkage sangat relevan dengan tugas pokok yang embannya, yaitu menyelenggarakan fungsi: 1) penyusunan rencana dan pengembangan model pengelolaan DAS Gumbasa; 2) penyusunan dan penyajian informasi DAS Gumbasa; 3) pengembangan kelembagaan dan kemitraan pengelolaan DAS Gumbasa; serta 4) pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS Gumbasa; dan 5) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Sedangkan visi BPDAS Palu-Poso pada tahun 2005-2009 adalah
“Terselenggaranya
Pengelolaan
DAS
Palu-Poso
Secara
Terpadu
dan
Berkelanjutan“. Untuk mewujudkan visi tersebut, BPDAS Palu-Poso menetapkan misi: “Mendorong terwujudnya hubungan hulu dan hilir dalam ekosistem DAS yang berkeadilan melalui sistem perencanaan, monitoring, evaluasi dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS yang efisien dan efektif”. Oleh karena itu, Bappeda Kabupaten Donggala yang merupakan organisasi pemerintah di tingkat kabupaten, diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator dan berkoordinasi dengan BPDAS Palu-Poso sambil merangkum sektor-sektor terkait di Kabupaten Donggala dan Kota Palu melalui koordinasi yang efektif dalam manajemen program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala juga merupakan salah satu organisasi pemerintah yang berdasarkan analisis ISM menunjukkan bobot DP relatif= 0,52 dan D relatif=0,60. Berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Donggala dijelaskan bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala
53 mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang perkebunan dan kehutanan dengan fungsi merumuskan kebijakan teknis di bidang perkebunan dan kehutanan, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum, pembinaan terhadap cabang dinas dan pengelolaan urusan ketatausahaan. Dalam Renstra Dishutbun Kabupaten Donggala 2004-2009 dijelaskan bahwa tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala telah dijabarkan dengan Keputusan Bupati Donggala No. 66 Tahun 2003 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala yang dibagi dalam tiga sub dinas, yaitu:
Sub Dinas
Produksi dan Usaha Perkebunan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan operasional, mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan serta merumuskan kebijaksanaan operasional di bidang produksi dan usaha perkebunan yang terbagi dalam empat seksi, yaitu: 1) Seksi Sumber daya Lahan; 2) Seksi Pengendalian dan Pengawasan Usaha Perkebunan serta Pengelolaan Hasil; 3) Seksi Pengembangan Budidaya Tanaman Semusim dan Tanaman Tahunan; dan 4) Seksi Perlindungan Tanaman Perkebunan, Peredaran Pupuk dan Pestisida. Sedangkan Sub Dinas Pengembangan Usaha Kehutanan mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan operasional, mengkoordinasikan dan melaksanakan pengawasan serta merumuskan kebijakan operasional di bidang usaha kehutanan, yang dibagi ke dalam tiga seksi, yaitu: 1) Seksi Inventarisasi dan Pemetaan Hutan; 2) Seksi Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan; serta 3) Seksi Produksi dan Peredaran Hasil Hutan.
Selanjutnya Sub Dinas Rehabilitasi Lahan dan
Perlindungan Hutan, memiliki tugas pokok dalam melaksanakan pembinaan operasional,
mengkoordinasikan,
melakukan
perumusan
kebijaksanaan
operasional di bidang rehabilitasi lahan dan perlindungan hutan dengan empat seksi, yaitu: 1) Seksi Penghijauan dan Konservasi Tanah; 2) Seksi Rehabilitasi Hutan Lindung; 3) Seksi Perlindungan dan Pengawasan Hutan; serta 4) Seksi Penyuluhan Kehutanan. Fakta di lapangan menunjukkan peran BPDAS Palu-Poso, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala di posisi linkage adalah dalam perencanaan dan pelaksanaan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
54 Lahan (GN-RHL/Gerhan). GN-RHL/Gerhan merupakan program strategis dalam upaya merehabilitasi lahan kritis di Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah yang mencakup wilayah kerja BPDAS Palu-Poso yang dicanangkan oleh Departemen Kehutanan, khususnya di DAS Gumbasa dilaksanakan oleh BPDAS Palu-Poso bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, khususnya pada wilayah DAS Gumbasa yang berada di luar kawasan TNLL. BPDAS Palu-Poso melakukan perencanaan program dan menetapkan wilayah kritis yang menjadi prioritas pelaksanaan program GN-RHL/Gerhan, pengadaan bibit pohon, melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Sedangkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala melakukan koordinasi kelompok-kelompok tani dalam kegiatan penanaman pohon di wilayah DAS Gumbasa yang telah ditetapkan oleh BPDAS Palu-Poso. Pelaksanaan program GN-RHL/Gerhan dilaksanakan melalui kegiatan model rehabilitasi hutan di wilayah DAS Gumbasa yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan, sehingga dapat berfungsi optimal sebagai perlindungan sistem penyangga kahidupan, pengatur tata air, pencegah bencana banjir, pengendalian erosi, dan memelihara kesuburan tanah, serta mendukung kelestarian produktivitas sumber daya hutan dan keanekaragaman hayati, serta pemberdayaan masyarakat di wilayah DAS Gumbasa yang berada di luar Kawasan TNLL. Sejak dicanangkan tahun 2003, pelaksaanaan program GN-RHL/Gerhan di DAS Gumbasa lebih difokuskan oleh BPDAS Palu-Poso pada lahan kritis di wilayah DAS Gumbasa yang berada di luar kawasan TNLL belum memberikan hasil sesuai dengan direncanakan. Hasil analisis ISM pada Gambar 10 dan Tabel 13, menunjukkan bahwa ada 11 organisasi berperan di posisi dependent dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, yaitu: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Bappeda Kabupaten Donggala, BPN Kabupaten Donggala, Dinas Pertanian Kabupaten Donggala, Dinas PU Kabupaten Donggala, Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Donggala, Dinas Pariwisata Kabupaten Donggal, DPRD Kabupaten Donggala, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), LSM Lingkungan, dan Kelompok Tani.
55 Organisasi yang berada di posisi dependent dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,04 dan D relatif= 0,84, menunjukkan bahwa organisasi tersebut memiliki peran yang sangat lemah terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa tetapi ketergantungannya terhadap organisasi lain besar. Untuk meningkatkan peran organisasi tersebut dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, tidak perlu dilakukan melalui program tersendiri, melainkan cukup dengan memanfaatkan pengaruh organisasi pemerintah yang berada pada posisi independent dan linkage.
Untuk membangkitkan peran
organisasi pemerintah yang berada di posisi dependent tersebut, dapat dilakukan melalui upaya menumbuhkan dan mengembangkan koordinasi antar sektor di tingkat Pusat, Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala. Kelompok organisasi yang berada pada posisi autonomous berdasarkan hasil analisis ISM pada Gambar 10 dan Tabel 13, terdiri atas 19 lembaga, yaitu: BWSS III; Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah, BPN Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah, Subdin PSDA Dinas Kimpraswil Provinsi Sulawesi Tengah, DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Bapedalda Kabupaten Donggala; Dinas Tata Ruang Kabupaten Donggala, PPL/PKL, Dinas Perindag Kabupaten Donggala, Dinas Kependudukan Kabupaten Donggala, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Donggala, Perguruan Tinggi, Perbankan, UKM/KUD, Wartawan (Pers), Kepolisian, dan Kejaksaan. Organisasi yang berada di posisi autonomous dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,05 dan D relatif= 0,31, menunjukkan bahwa organisasi tersebut memiliki peran yang sangat lemah terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan ketergantungan terhadap organisasi lainnya juga kecil. Hal ini berarti bahwa posisi organisasi tersebut sangat otonom, yaitu di samping menunjukkan peran yang lemah, juga tidak tergantung pada organisasi lainnya. Oleh karena itu, organisasi tersebut tidak terlalu berpengaruh dalam hal pengembangan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
56 Struktur Peran Organisasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Keterkaitan organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa disusun dalam bentuk struktur peran setiap organisasi, disajikan pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan urutan posisi peran organisasi yang
mencerminkan
urutan
kepentingan
peran
masing-masing
dalam
mengimplementasikan kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. BBTNLL menempati level kunci sebagai organisasi pemerintah yang paling besar peranannya dalam implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, selanjutnya menyusul di level dua ditempati oleh BPDAS Palu-Poso dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala. Level tiga ditempati oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Selanjutnya pada level empat ditempati oleh Bappeda Kabupaten Donggala dan BPN Kabupaten Donggala. Level lima ditempati oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala. Level enam, ditempati oleh Dinas Pertanian Kabupaten Donggala dan Dinas PU Kabupaten Donggala.
Level tujuh ditempati oleh Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten
Donggala dan Kelompok Tani. Level delapan ditempati oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan LSM Lingkungan. Terakhir level sembilan ditempati oleh DPRD Kabupaten Donggala Berdasarkan Gambar 11, dapat disimpulkan bahwa organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa terdiri atas satu lembaga di posisi independent dan dua organisasi pemerintah di posisi linkage.
Kedua
organisasi pemerintah di posisi linkage di samping berperan sangat penting dalam program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, juga sangat tergantung pada organisasi lain. Oleh karena itu, kedua organisasi pemerintah di posisi linkage menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang terdiri atas organisasi pemerintah kabupaten/lokal, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, dan organisasi pemerintah pusat, yaitu BPDAS Palu-Poso sebagai pemeran sangat penting yang berada di level 2. Organisasi pemerintah di posisi independent juga sangat berperan dalam implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang merupakan organisasi pemerintah pusat, yaitu BTNLL berada di level 1 sebagai pemeran kunci menunjukkan peran yang juga sangat menentukan melalui koordinasi dengan organisasi lain di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Besarnya peran dan kecilnya ketergantungan pada
57 organisasi lainnya menunjukkan bahwa organisasi pemerintah ini harus dikembangkan melalui peningkatan efektivitas fungsi dan kewenangannya terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. 27) Perbankan 21) Dinas Kependudukan Kab. Donggala
29) Wartawan (Pers)
32) Kepolisian
33) Kejaksaan 17) Dinas Tata Ruang Kab. Donggala
20) Dinas Perindag Kab. Donggala
Level 9
Level 8
5) Bapedalda Provinsi Sulteng
24) DPRD Kabupaten Donggala
10) DPRD Provinsi Sulteng
26) Perusahaan Daerah Air Minum
12. Bapedalda Kabupaten Donggala
Level 6
31) Kelompok Tani
19) Dinas Prasarana Wilayah Kab. 8) Subdin PSDA Dinas Kimpraswil Provinsi Sulteng
Level 5
15) Dinas PU Kabupaten Donggala
7) Dinas Pertanian Provinsi Sulteng
14) Dinas Pertanian Kabupaten Donggala
23) Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala
Level 4
Level 3
30) LSM Lingkungan
25) Perguruan Tinggi
18) PPL/PKL Level 7
28) UKM/KUD
22) Dinas Pendapatan Daerah Kab. Donggala
Level 2
6) BPN Provinsi Sulteng
13) BPN Kabupaten Donggala
11) Bappeda Kabupaten Donggala
9) Dishut Prov. Sulteng 4) Bappeda Provinsi Sulteng
2) BWSS III
1) BPDAS Palu-Poso
Level 1
16) Dishutbun Kab. Donggala
3) BBTNLL
Gambar 11. Struktur Peran Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 25 peraturan perundangundangan yang dianalisis, terdapat 4 peraturan perundang-undangan yang melandasi di posisi independent, 1 peraturan perundang-undangan yang melandasi di posisi linkage, 11 peraturan perundang-undangan yang melandasi di posisi dependent, dan 9 peraturan perundang-undangan yang melandasi di posisi autonomous. Besarnya peran setiap peraturan perundang-undangan diidentifikasi melalui
besarnya
daya
penggerak
(driver
power)
(dependence), seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
dan
ketergantungan
Driver Power (DP)-Dependence (D)
58
18
Driver Power
16
Dependence
14 12 10 8 6 4 2 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nomor/Kode Peraturan Perundang-Undangan
Gambar 12. Diagram Indikator Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi dan perbandingan besarnya bobot driver power-dependence (DP-D) relatif setiap peraturan perundang-undangan ditunjukkan pada Gambar 13 dan Tabel 14. (1)
1,0 0,9
(2)
0,8
Driver Power (DP)(DP) Relatif Driver Power
(3)
Independent
0,7
Linkage
(12)
(6)
0,6 0,5 0,4
Autonomous
Dependent
(13)
0,3
0,2
(17)
(23,24)
(4,14,15) (5,7)
0,1
0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
(25) (18,19,20,22)
(8,10,21)
(9,11)
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
(16)
1,0
Dependence (D) Dependence (D) Relatif
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan nomor/kode peraturan perundang-undangan
Gambar 13. Posisi Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
59 Tabel 14. Posisi dan Bobot Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi Independent (Pengaruh terhadap program kuat, tetapi keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya lemah)
Linkage
Peraturan Perundang-Undangan 1. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air 2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Bobot DP D 1,00 0,94 0,71
0,13 0,13 0,13
0,65 0,83 0,65
0,25 0,16 0,50
Hayati dan Ekosistemnya
12. PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Rata-rata 6. UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Pengaruh terhadap program dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya kuat)
Rata-rata
0,65
0,50
Dependent
8.
0,06
0,63
0,06
0,63
0,06
1,00
0,06
0,75
0,06
0,75
0,06
0,75
0,06
0,63
0,06
0,75
0,12 0,12 0,06 0,07 0,06 0,06
0,75 0,75 0,88 0,75 0,25 0,13
0,06 0,06
0,13 0,38
0,06
0,38
0,18 0,06 0,06
0,25 0,25 0,25
0,12 0,08
0,13 0,24
(Pengaruh terhadap program lemah, tetapi keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya kuat)
Autonomous (Pengaruh terhadap program dan keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya lemah)
UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 10. PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 16. RPP Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 18. Kepmen Kehutanan No. SK.421/Menhut-II/2006 tentang Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan 19. Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 146/Kpts-II/1999 Tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan 20. Kepmenneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu 21. Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah 22. Permen Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan 23. Permen Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam 24. Peraturan Daerah (Perda) provinsi 25. Peraturan Daerah (Perda) kabupaten
Rata-rata 4. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom 11. PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum 13. PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai 14. PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa 15. RPP Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air 17. RPP Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu
7. 9.
Rata-rata Keterangan : DP D
= Driver Power Relatif = Dependence Relatif
DP-D < 0,50 = Kecil/lemah/tidak penting DP-D ≥ 0,50 = Besar/kuat/penting
60 Hasil analisis ISM pada Gambar 13 dan Tabel 14, menunjukkan bahwa ada empat peraturan perundang-undangan yang berada di posisi independent, sehingga memiliki pengaruh sangat besar dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan keterkaitannya pada perangkat kebijakan lain sangat kecil, terdiri tiga undang-undang, yaitu: UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan satu peraturan pemerintah, yaitu PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Peraturan perundang-undangan tersebut berdasarkan analisis ISM berada pada posisi independent dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,83 dan D relatif= 0,16. Hal ini berarti peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan yang sangat kuat terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Besarnya peran (driver power) mengindikasikan bahwa pengaruh peraturan perundang-undangan tersebut sangat besar. Sedangkan kecilnya ketergantungan (dependence) karena peraturan perundang-undangan tersebut memiliki keterkaitan yang lemah dengan peraturan perundang-undangan lain. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam hal memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan empat aspek penting dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) konservasi sumber daya air; 2) pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak air; dan 4) sistem informasi sumber daya air. 1) Konservasi sumber daya air Konservasi sumber daya air mencakup perlindungan dan pelestarian sumber daya air dilakukan dalam cakupan wilayah resapan air, tangkapan air, sempadan, hulu, hilir, hutan dan kawasan pelestarian alam atas dasar pendekatan kesatuan tatanan ekosistem.
Konservasi juga menekankan pengawetan air yang pada
dasarnya mencakup prinsip penghematan penggunaan air, penampungan air pada waktu hujan, dan pengendalian penggunaan air tanah sampai pada tingkatan yang sustainable. Tujuan konservasi sumber daya air adalah: a) menjaga kelangsungan keberadaan sumber daya air, yaitu terjaganya keberlanjutan keberadaan air dan sumber air, termasuk potensi yang terkandung di dalamnya; b) menjaga kelangsungan daya dukung sumber daya air; yaitu kemampuan sumber daya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya; serta c)
61 menjaga kelangsungan daya tampung air dan sumber air, yaitu kemampuan air dan sumber air untuk menyerap zat, energi, atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 2) Pendayagunaan sumber daya air Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
Konsekuensi dari kegiatan ini adalah penetapan zona
pemanfaatan dan peruntukan air yang harus dijadikan acuan untuk penyusunan rencana tata ruang dan rencana pengelolaan sumber daya air. Prinsip-prinsip penetapan zona ini adalah keseimbangan antara fungsi lindung dan budidaya, keseimbangan kepentingan setiap jenis pemanfaatan air, kesesuaian dengan fungsi kawasan, pelestarian wilayah sempadan, penggunaan data teknis yang akurat, dan pelibatan peran masyarakat. 3) Pengendalian daya rusak air Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Pengendalian daya rusak air diutamakan pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
Pengendalian daya rusak air diselenggarakan dengan melibatkan
masyarakat. Pengendalian daya rusak air menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air wilayah sungai dan masyarakat. 4) Sistem informasi sumber daya air. Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya. Informasi sumber daya air meliputi informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis, kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air. Sistem informasi sumber daya air merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi. Jaringan informasi sumber daya air harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
62 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini banyak dikritik oleh pakar lingkungan, karena dinilai dapat memicu terjadinya degradasi lingkungan dan kerusakan ekologi, dan sangat membuka peluang terjadinya komersialisasi dan privatisasi sumber daya air sehingga pengelolaan salah satu sumber kehidupan itu lepas dari kontrol negara dan bias kepentingan publik. Air yang seharusnya memiliki fungsi sosial dan seharusnya dikuasai dan dikelola bersama karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, justru dikomersialisasikan dan diprivatisasi karena hanya dipandang sebagai komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Dengan adanya privatisasi, sebuah perusahaan, apalagi yang berbasis pada penanaman modal asing, menjadi terjebak dalam sistem kapitalisme yang cenderung hanya mengejar keuntungan. Sementara itu, aspek-aspek lain, seperti aspek ekologi dan sosial menjadi terabaikan. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang direvisi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004, kemudian revisi tersebut ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No. 19 Tahun 2004. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tercermin bahwa paradigma pembangunan di bidang kehutanan mengalami perubahan mendasar, yaitu dari orientasi timber management menjadi forest resources management yang melihat hutan dan lahan sebagai satu kesatuan yang utuh, khususnya di dalam suatu wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Besarnya dampak kerusakan hutan dan terbatasnya kapasitas pemerintah dalam upaya konservasi sumber daya air, pendekatan yang dilakukan haruslah bersifat strategik, komprehensif,
operasional
sesuai
dengan
lokalitas,
melibatkan
seluruh
stakeholders, mampu memberdayakan masyarakat melalui pemberdayaan dalam menjaga pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam, sehingga dapat memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dalam rangka menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan dan unsur hara tanah. Dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dikemukanan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling
63 tergantung dan berpengaruh mempengaruhi. Sedangkan kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dikemukakan bahwa perencanaan kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan
pedoman
dan
arah
guna
menjamin
tercapainya
tujuan
penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Maksud perencanaan kehutanan adalah untuk
memberikan pedoman dan arah bagi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. Kebijakan konservasi sumber daya air dimaksudkan untuk mempercepat pulihnya kondisi sumber daya air dan hutan yang rusak serta mempertahankan dan melindungi
kawasan
ekosistemnya.
konservasi
dan
keanekaragaman
hayati
beserta
Dalam kaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan kayu,
kebijakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan hutan tanaman yang produktif dan bernilai tinggi.
Oleh karena itu, perlu dipahami hal-hal sebagai berikut: 1)
keberhasilan rehabilitasi hutan memerlukan komitmen pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota dan para pemangku kepentingan dengan dukungan dana, iptek dan SDM yang memadai; 2) Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dijadikan unit analisis/perencanaan dalam konservasi sumber daya air; 3) Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKM) harus mencirikan jenis tanaman pokok hutan unggulan setempat yang dipadukan dengan jenis tanaman yang bernilai tinggi; 4) model pembangunan hutan yang berkolaborasi dengan masyarakat perlu dikembangkan, termasuk model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikembangkan oleh Perhutani. Namun demikian perlu diikuti dengan evaluasi atas keberhasilannya. Maksud konservasi sumber daya air adalah untuk memberikan arahan dan pedoman bagi stakeholders (para pihak) dalam menyelenggarakan dan
64 melaksanakan konservasi sumber daya air, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu terpulihnya sumber daya air yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat kepada seluruh stakeholders, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, dan mendukung kelangsungan pembangunan sumber daya air dan kehutanan. Namun, hingga saat ini keempat perangkat kebijakan tersebut belum dilaksanakan secara optimal, sehingga konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa belum memberikan hasil sesuai yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tersebut. Hasil analisis ISM pada Gambar 13 dan Tabel 14, menunjukkan bahwa hanya ada satu peraturan perundang-undangan yang berada di posisi linkge yang memiliki pengaruh besar dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, tapi keterkaitan pada perangkat kebijakan lain juga besar, yaitu: UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut berdasarkan analisis ISM berada pada posisi linkage dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,65 dan D relatif= 0,50. Hal ini berarti peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan yang kuat terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Besarnya peran (driver power) mengindikasikan bahwa pengaruh peraturan perundang-undangan tersebut sangat besar, tapi besarnya ketergantungan (dependence) karena peraturan perundang-undangan tersebut sangat dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pemberlakuan UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup belum sepenuhnya dilaksanakan, sehingga lingkungan hidup dan sumbersumber kehidupan Indonesia berada di ambang kehancuran akibat eksploitasi berlebihan selama 32 tahun. Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan tanggung gugat dari pemerintah di tingkat pusat dan daerah, rakyat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya, sementara perusakan lingkungan dan sumber kehidupan berlangsung di depan mata. Keadaan ini kian memburuk seiring dengan reformasi yang setengah hati. Isu dan permasalahan lingkungan dan sumber kehidupan tidak menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan.
Akibatnya, korban akibat konflik dan salah urus kebijakan terus
bertambah dan yang lebih menyedihkan sebagian besar adalah kelompok masyarakat
yang
rentan.
Salah
urus
ini
terjadi
akibat
pembangunanisme dan pendekatan sektoral yang digunakan.
paradigma
Sumber-sumber
65 penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu, akses dan kontrol ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan.
Masalah
ketidakadilan dan jurang sosial dianggap sebagai harga dari pembangunan. Pembangunan dianggap sebagai suatu proses yang perlu kedisiplinan dan kerja keras, dan tidak dipandang sebagai salah satu cara cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan untuk sejahtera lahir dan batin. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang. Hasil analisis ISM pada Gambar 13 dan Tabel 14, menunjukkan bahwa ada 11 peraturan perundang-undangan sebagai landasan lemah dalam implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, yaitu: UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, RPP Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Kepmen Kehutanan No. SK.421/Menhut-II/2006 tentang Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan, Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 146/KptsII/1999 Tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan, Kepmenneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu, Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah, Permen Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan, Permen Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Daerah (Perda) provinsi, dan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten. Kelompok peraturan perundang-undangan tersebut berada di posisi dependent dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,07 dan D relatif= 0,75, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan
66 yang lemah dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa tetapi keterkaitannya terhadap perangkat kebijakan lain besar. Kelompok peraturan perundang-undangan yang berada pada posisi autonomous berdasarkan hasil analisis ISM pada Gambar 13 dan Tabel 14, terdiri atas sembilan peraturan perundang-undangan, yaitu: UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai, PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa, RPP Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan RPP Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Peraturan perundang-undangan yang berada di posisi autonomous dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,08 dan D relatif= 0,24, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan yang lemah dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan keterkaitan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya juga kecil. Struktur Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Keterkaitan peraturan perundang-undangan dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dapat dilihat melalui struktur kepentingan setiap peraturan perundang-undangan, disajikan pada Gambar 14 yang menunjukkan urutan posisi kepentingan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dijelaskan urutan kepentingan peran masing-masing dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menempati level kunci, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan paling kuat dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Selanjutnya menyusul di level dua ditempati oleh PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Level tiga ditempati oleh UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Level empat ditempati oleh UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Peraturan Daerah (Perda) provinsi, dan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten, serta Permen Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
67
4) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
5) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
20) Kepmenneg LH No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu
Level 5
16) RPP Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
25) Peraturan Daerah (Perda) kabupaten
7) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
9) PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
21) Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah
22) Pernen Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan
18) Kepmen Kehutanan No. SK.421/MenhutII/2006 tentang Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan
11) PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
19) Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 146/KptsII/1999 Tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan
8) UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
10) PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
17) RPP Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu
Level 4 24) Peraturan Daerah (Perda) provinsi
Level 3
15) RPP Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
23) Permen Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam
6) UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
13) PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai
14) PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa 12) PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Level 2
Level 1
1) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air
2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Gambar 14. Struktur Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Level lima ditempati oleh PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, RPP Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Kepmen Kehutanan No. SK.421/Menhut-II/2006 tentang Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan; Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 146/Kpts-II/1999 Tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan, Kepmenneg LH No.
68 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu, Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah, dan Permen Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan. Berdasarkan Gambar 14, dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangundangan yang menjadi landasan kuat dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa terdiri atas empat peraturan perundang-undangan di posisi independent dan satu peraturan perundang-undangan di posisi linkage. Keempat peraturan perundang-undangan di posisi independent menjadi landasan sangat kuat dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, tapi tidak terkait perangkat kebijakan lain.
Sedangkan peraturan perundang-undangan di posisi linkage
menjadi landasan kuat dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan sangat terkait dengan peraturan perundang-undangan lain. Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Kinerja fungsi koordinasi Skor penilaian kinerja fungsi koordinasi antar lembaga dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa disajikan pada Gambar 15 dan Lampiran 4. Kinerja Fungsi Koordinasi
5,0
4,0
3,0
2,0
Keterangan :
1,0 Tugas Pokok (task)
Kegiatan (activity)
Sumberdaya (resources)
Kriteria Koordinasi
Rata-Rata
1 2 3 4 5
= Sangat Lemah = Lemah = Cukup Baik = Baik = Sangat Baik
Gambar 15. Skor Penilaian Fungsi Koordinasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Kinerja fungsi koordinasi antar organisasi pemerintah dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dievaluasi berdasarkan penilaian oleh 22 pakar atas tiga kriteria koordinasi, yaitu: tugas pokok (task), kegiatan (activity), dan
69 sumber daya (resources). Hasilnya menunjukkan bahwa nilai skor rata-rata 2,6 yang berarti kinerja fungsi koordinasi kondisinya masih dalam kategori lemah. Lemahnya kinerja fungsi koordinasi di antara organisasi pemerintah yang terkait dengan sumber daya air disebabkan karena belum terbentuknya lembaga yang menjadi wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air di Provinsi Sulawesi Tengah, maupun di Kabupaten Donggala. Padahal disadari bahwa koordinasi antar organisasi pemerintah lintas sektor adalah kunci utama keberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Fungsi koordinasi lintas sektor yang lemah dan berjalan tidak efektif menyebabkan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa pada tiga kriteria koordinasi, yaitu tugas pokok (task), kegiatan (activity), dan sumber daya (resources) mengalami banyak hambatan. Rencana Pembentukan Forum DAS Sulawesi Tengah yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, juga diharapkan menjadi wadah koordinasi yang dinamis dan berkesinambungan antar instansi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan kehutanan di Sulawesi Tengah. Forum ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pengelolaan DAS merupakan kegiatan yang sangat penting dan strategis dalam upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup serta pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar DAS. Keanggotaan Forum DAS Sulawesi Tengah terdiri dari pejabat organisasi pemerintah tingkat pusat, dinas-dinas tingkat provinsi, dan perguruan tinggi di Sulawesi Tengah. Organisasi pemerintah yang terlibat dalam forum ini adalah: Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso, Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III, Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Kimpraswil Provinsi Sulawesi Tengah, Bapedalda Provinsi Sulawesi Tengah, dan pakar lingkungan dari Universitas Tadulako Palu. Forum DAS Sulawesi Tengah mempunyai tugas melakukan koordinasi multi pihak, pengkajian terhadap kebijakan, rencana, pelaksanaan kegiatan, dan dampak kegiatan pengelolaan DAS, sebagai masukan kepada pengambil keputusan baik eksekutif, maupun legislatif di Provinsi Sulawesi Tengah dengan tetap
70 mempertahankan independensinya, terbuka, adil dan tidak memihak salah satu kepentingan.
Forum ini secara berkala menyampaikan hasil-hasil kegiatan,
termasuk kesepakatan-kesepatan kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah dan para bupati/walikota sebagai bahan petimbangan pengambilan keputusan lebih lanjut serta pertanggungjawaban kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Dewan Sumber daya Air atau disebut juga dengan parlemen air yang akan dibentuk berdasarkan Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air, merupakan satu wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air yang mempunyai kegiatan hukum untuk dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan sebagai dasar dari penetapan peraturan selanjutnya. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air diharapkan mampu mengkoordinasikan berbagai kepentingan instansi, lembaga, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan sumber daya air. Kedudukan, tugas dan fungsi dari Dewan tersebut bersifat nonstruktural dan berada di bawah serta bertanggung jawab kepada Presiden dan bertugas membantu Presiden dalam menyusun dan merumuskan kebijakan nasional serta strategi pengelolaan sumber daya air. Tugas Dewan Sumber daya Air juga menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Terlepas dari kontroversi terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air, keberadaan Dewan Sumber Daya Air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota adalah lembaga yang sangat penting untuk mengurai konflik pemanfaatan sumber daya air, karena: a) Dewan Sumber Daya Air terdiri dari individu-individu yang memiliki perhatian atas konservasi alam baik dari unsur pemerintah maupun non pemerintah; b) Dewan Sumber Daya Air adalah lembaga di bawah pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur tata kelola sumber daya air secara spesifik dan komprehensif, sehingga penanganan konflik pemanfaatan sumber daya air diharapkan akan lebih efektif diselesaikan oleh adanya lembaga ini; dan c) pemanfaatan sumber daya air berperan sebagai filter untuk menekan kemungkinan terjadinya komersialisasi air.
71 Masalah konflik kewenangan, tumpang tindih, dan perebutan penggunaan sumber daya air yang selama ini selalu menjadi masalah, berusaha diatasi dengan cara pembentukan Dewan Sumber daya Air tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai untuk mengintegrasikan kepentingan lintas sektoral/multidisiplin, lintas wilayah, dan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Wadah yang dibentuk pemerintah namun beranggotakan unsur pemerintah dan wakil non pemerintah dalam jumlah seimbang ini memiliki hubungan kerja antar wadah yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Kewenangan dibagi secara tegas antara emerintah di tingkat pusat, propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam keseluruhan rangkaian pengelolaan sumber daya air. Ditegaskan posisi masyarakat sebagai pihak yang memiliki hak besar untuk tidak dirugikan dalam pengelolaan air.
Tetapi, masyarakat juga
berkewajiban untuk memperhatikan kepentingan umum. Implikasi dari kewajiban tersebut adalah mengutamakan kepentingan konservasi dan pengamanan infrastruktur sumber daya air. Keberadaan Dewan Sumber Daya Air dan Forum DAS pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota diharapkan bisa menjadi wadah koordinasi dan motor penggerak dari proses pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh dan terpadu dengan dasar kerja secara koordinatif dan konsultatif, terlebih keberadaannya telah lama dinantikan untuk mengatasi berbagai persoalan pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Khusus di DAS Gumbasa, masalah rendahnya koordinasi lintas sektor dalam program konservasi sumber daya air diharapkan dapat menjadi lebih harmonis dengan terbentuknya Forum DAS dan Dewan Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Tengah, serta Forum DAS dan Dewan Sumber Daya Air Kabupaten Donggala. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 18 faktor yang dianalisis, terdapat 2 faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi di posisi independent, tidak ada faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi di posisi linkage, 3 faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi di posisi dependent, dan 13 faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi di posisi autonomous. Besarnya pengaruh setiap
72 faktor diidentifikasi melalui besarnya daya penggerak (driver power) dan
Driver Power (DP)-Dependence (D)
ketergantungan (dependence), seperti ditunjukkan pada Gambar 16. Driver Power
3,5
Dependence 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nomor/Kode Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Koordinasi
Gambar 16. Diagram Indikator Pengaruh Setiap Faktor Terhadap Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi dan perbandingan besarnya bobot driver power-dependence (DP-D) relatif setiap faktor ditunjukkan pada Gambar 17 dan Tabel 15.
1,0
(6,10) 0,9 0,8
Driver Power (DP) (DP) Relatif Driver Power
Independent
Linkage
0,7 0,6 0,5 0,4
Autonomous
Dependent
(1,2,3,4,5,7,8,9,11,12,13,15,16)
0,3
(14,17)
(18)
0,2 0,1 0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Dependence (D) Dependence (D) Relatif)
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan nomor/kode faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi
Gambar 17. Posisi Setiap Faktor dalam Mempengaruhi Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
73 Tabel 15. Posisi dan Bobot Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Koordinasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi Independent (Pengaruh terhadap program kuat, tetapi keterkaitannya dengan faktor lainnya lemah) Linkage (Pengaruh terhadap program dan keterkaitannya dengan faktor lainnya kuat) Dependent (Pengaruh terhadap program lemah, tetapi keterkaitannya dengan faktor lainnya kuat) Autonomous (Pengaruh terhadap program dan keterkaitannya dengan faktor lainnya lemah)
Keterangan : DP D
Bobot DP D
Faktor-Faktor
= Driver Power Relatif = Dependence Relatif
6. Rendahnya kualitas SDM 10. Sifat multisektor/multidisiplin
1,00 1,00
0,33 0,33
Rata-rata Rata-rata 14. Kesenjangan kebijakan Pengelolaan DAS dan sektor 17. Kurangnya pembinaan 18. Lemahnya kontrol sosial Rata-rata 1. Adanya kebijakan yang top down 2. Lemahnya pengorganisasian 3. Ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan 4. Lemahnya fungsi oprasional institusi 5. Lemahnya fungsi regulasi institusi 7. Adanya sikap sektoralisentris 8. Konflik vertikal 9. Konflik horisontal 11. Lemahnya kontrol vertikal 12. Ketidakjelasan lembaga koordinator 13. Ketergantungan pada juklak/juknis 15. Lemahnya dukungan insentif 16. Lemahnya komitmen aparat pemerintah
1,00 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
0,33 0,67 0,67 1,00 0,78 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
Rata-rata
0,33
0,33
DP-D < 0,50 = Kecil/lemah/tidak penting DP-D ≥ 0,50 = Besar/kuat/penting
Hasil analisis ISM pada Gambar 17 dan Tabel 15, menunjukkan bahwa ada dua faktor di posisi independent yang mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi, yaitu: rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan sifat multisektor/ multidisiplin (heterogenitas organisasi), dengan bobot rata-rata DP relatif= 1,00 dan D relatif= 0,33.
Kedua faktor ini memiliki pengaruh yang sangat kuat
terhadap lemahnya fungsi koordinasi dan ketergantungan pada faktor lainnya kecil, sehingga merupakan faktor kunci. Rendahnya kualitas SDM merupakan masalah umum di daerah dalam wilayah DAS Gumbasa.
Kualitas SDM sering dikaitkan dengan jenjang
pendidikan formal, sehingga memunculkan persepsi bahwa daerah kekurangan SDM yang bermutu. Meskipun demikian, harus disadari bahwa kualitas SDM tidak hanya diukur dengan pendidikan formal, tetapi juga dari sisi kualifikasi dan pendidikan non formal.
Karena itu guna mengatasi permasalahan tersebut
dibutuhkan pembinaan SDM. Pembinaan SDM yang dimaksudkan tidak hanya dalam bentuk pendidikan formal, tetapi juga termasuk segala upaya untuk melibatkan stakeholders dalam berbagai bentuk instrumen, misalnya melalui penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (PLS).
Melalui keterlibatan ini
74 stakeholders
akan
memperoleh
pengalaman
dan
pengetahuan.
Untuk
meningkatkan kesejahteraan warga, kuncinya adalah peningkatan kualitas SDM. Alam menyediakan banyak potensi, diperlukan kerja keras, tanggung jawab, dan kejujuran pemerintah daerah untuk mewujudkan peningkatan kualitas SDM dan potensi daerahnya. Harus diakui bahwa di dalam konservasi sumber daya air, selain dana yang memadai juga harus didukung oleh SDM yang mumpuni. SDM seringkali masih belum mendukung, di mana personil yang seharusnya bertugas melaksanakan konservasi sumber daya air (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya kelestarian sumber daya air. Sifat multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi) adalah salah satu faktor yang harus mendapat perhatian serius dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. pencegahan,
Penanggulangan bencana banjir dan longsor meliputi
kesiapsiagaan,
mitigasi,
tanggap
darurat,
rehabilitasi
dan
rekonstruksi. Penanggulangan banjir dan longsor tersebut tidak bisa dilakukan oleh hanya satu sektor atau satu departemen teknis saja, melainkan harus bersifat multisektor dan multi pihak serta melibatkan beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian diperlukan koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi (KISS) para pihak tersebut dalam tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program, implementasi kegiatan dan penganggaran/ pembiayaannya, termasuk mengoptimalkan peran Dewan SDA, Forum DAS, MKTI, dan Masyarakat Hidrologi Indonesia. Pemerintah
Daerah
dan
para
Sangat diperlukan komitmen Pemerintah, pihak
lain
yang
berkepentingan
(BUMN/BUMD/BUMS dan masyarakat) dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa secara berkelanjutan. Kelembagaan konservasi sumber daya air yang mantap ditentukan oleh sumber daya manusia yang kompeten, organisasi yang efektif menurut kerangka kewenangan masing-masing dan tata hubungan kerja yang fungsional. Untuk membangun fungsi koordinasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, ada dua progran yang harus dilakukan, yaitu: 1) meningkatkan kualitas SDM, dan 2) memperbaiki koordinasi antar sektor/disiplin pada setiap program instrumen konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Hasil analisis ISM pada Gambar 17 dan Tabel 15, menunjukkan bahwa ada tiga faktor di posisi dependent, yaitu: kesenjangan kebijakan pengelolaan DAS dan sektor, kurangnya pembinaan, dan lemahnya kontrol sosial. Ketiga faktor
75 tersebut berada pada posisi dependent dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,33 dan D relatif= 0,78. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh kecil terhadap lemahnya fungsi koordinasi, tetapi ketergantungan terhadap faktor lain besar. Faktor-faktor
tersebut secara umum kurang
mempengaruhi fungsi
koordinasi. Meskipun ada pengaruhnya, namun hal itu merupakan akibat yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain.
Sebagai contoh munculnya kesenjangan
kebijakan
sektor
pengelolaan
DAS
dan
merupakan
akibat
dari
sifat
multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi). Upaya pemecahan masalah kesenjangan kebijakan pengelolaan DAS dan sektor ini tidak perlu diprioritaskan dan akan selesai dengan sendirinya jika faktor penyebabnya sudah diatasi. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan fungsi koordinasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, pengembangan ketiga faktor ini tidak perlu diprioritaskan secara khusus. Kelompok faktor-faktor yang berada pada posisi autonomous berdasarkan hasil analisis ISM pada Gambar 17 dan Tabel 15, terdiri atas 13 faktor, yaitu: adanya kebijakan yang top down, lemahnya pengorganisasian, ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan, lemahnya fungsi oprasional institusi, lemahnya fungsi regulasi institusi, adanya sikap sektoralisentris, konflik vertikal, konflik horisontal, lemahnya kontrol vertikal, ketidakjelasan lembaga koordinator, ketergantungan pada juklak/juknis, lemahnya dukungan insentif; dan lemahnya komitmen aparat pemerintah. Faktor-faktor yang berada di posisi autonomous dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,33 dan D relatif= 0,33, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang lemah terhadap implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan ketergantungan terhadap faktor lainnya juga kecil. Hal ini berarti bahwa posisi faktor-faktor tersebut sangat otonom, yaitu di samping tidak menunjukkan pengaruh, juga tidak tergantung pada faktor lainnya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut tidak perlu diprioritaskan dalam hal pengembangan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Struktur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lemahnya Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Untuk melihat struktur faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, disusun struktur yang ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar tersebut mencerminkan bahwa faktor rendahnya
76 kualitas SDM, dan sifat multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi), menduduki posisi level satu atau faktor kunci yang berarti kedua faktor ini paling besar pengaruhnya terhadap lemahnya fungsi koordinasi. Level dua ditempati oleh faktor kesenjangan kebijakan pengelolaan DAS dan sektor. Sedangkan level tiga ditempati oleh faktor lemahnya kontrol sosial. Berdasarkan Gambar 18, dapat disimpulkan bahwa hanya ada satu kelompok faktor yang mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi, yaitu faktor-faktor di posisi independent yang mana pengaruhnya terhadap fungsi koordinasi besar tetapi ketergantungan terhadap faktor lainnya kecil.
Oleh karena itu,
pengembangan kedua faktor di posisi ini harus diprioritaskan, karena merupakan faktor kunci.
Artinya, jika masalah rendahnya kualitas SDM, dan sifat
multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi) tidak dapat diatasi, maka koordinasi dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa akan semakin lemah. Tetapi, sebaliknya jika rendahnya kualitas SDM sudah ditingkatkan, dan sifat multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi) sudah dikoordinir, maka fungsi koordinasi akan semakin efektif menyongsong tercapainya tujuan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Sehingga, upaya mengefektifkan fungsi koordinasi konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, prioritas utama yang harus ditangani adalah dua faktor di posisi independent tersebut. 16) Lemahnya komitmen aparat pemerintah 12) Ketidakjelasan lembaga koordinator
15) Lemahnya dukungan insentif 13) Ketergantungan pada juklak/juknis
8) Konflik vertikal
9) Konflik horisontal
5) Lemahnya fungsi regulasi institusi
7) Adanya sikap sektoralisentris
3) Ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan
Level 3
11) Lemahnya kontrol vertikal
18) Lemahnya kontrol sosial
1) Adanya kebijakan yang top down
4) Lemahnya fungsi oprasional institusi 17) Kurangnya pembinaan
Level 2
Level 1
Gambar 18.
6) Rendahnya kualitas SDM
14) Kesenjangan kebijakan Pengelolaan DAS dan sektor
10) Sifat multisektor/ multidisiplin
2) Lemahnya pengorganisasian
Struktur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Koordinasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
77 Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 11 instrumen yang diduga, terdapat 3 instrumen di posisi independent, 2 instrumen di posisi linkage, 2 instrumen di posisi dependent, dan 4 instrumen di posisi autonomous. Besarnya peran setiap instrumen diidentifikasi melalui besarnya daya penggerak (driver
Driver Power (DP)-Dependence (D)
power) dan ketergantungan (dependence), seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Driver Power
7
Dependence 6 5 4 3 2 1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nomor/Kode Instrumen Prioritas
Gambar 19. Diagram Indikator Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi dan perbandingan besarnya bobot driver power-dependence (DP-D) relatif setiap instrumen prioritas ditunjukkan pada Gambar 20 dan Tabel 16.
1,0
(1,2) 0,9
0,8
DriverDriver PowerPower (DP)(DP) Relatif
Independent
Linkage
(9,11)
0,7
(4)
0,6 0,5 0,4
Dependent
Autonomous
(5,7,10)
0,3
0,2
(3,6)
(8) 0,1 0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Dependence (D) Dependence (D) Relatif
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan nomor/kode instrumen prioritas
Gambar 20. Posisi Setiap Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
78 Tabel 16. Posisi dan Bobot Setiap Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Posisi Independent (Pengaruh terhadap program besar, tetapi ketergantungannya dengan instrumen lainnya kecil) Linkage (Pengaruh terhadap program dan ketergantungannya dengan instrumen lainnya besar) Dependent (Pengaruh terhadap program kecil, tetapi ketergantungannya dengan instrumen lainnya besar) Autonomous (Pengaruh terhadap program dan ketergantungannya dengan instrumen lainnya kecil)
Keterangan : DP D
= Driver Power Relatif = Dependence Relatif
Instrumen Prioritas 1. Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data 2. Penerapan teknologi konservasi 4. Pengefektifan penyuluhan lapangan Rata-rata 9. Peningkatan partisipasi masyarakat 11. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani Rata-rata 3. Penerapan teknologi pasca panen 6. Pengembangan sistem pertanian konservasi Rata-rata 5. Pelestarian dan pengembangan kearifan budaya masyarakat 7. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat 8. Pengefektifan peran lembaga pemerintah 10. Legitimasi dan sosialisasi program Rata-rata
Bobot DP D 1,00 0,17 1,00 0,60 0,87 0,80 0,80
0,17 0,33 0,22 0,50 0,50
0,80 0,20 0,20
0,50 1,00 1,00
0,20 0,20
1,00 0,17
0,20
0,17
0,20 0,20 0,20
0,33 0,17 0,21
DP-D < 0,50 = Kecil/lemah/tidak penting DP-D ≥ 0,50 = Besar/kuat/penting
Hasil analisis ISM pada Gambar 20 dan Tabel 16, menunjukkan bahwa pada posisi independent terdapat tiga instrumen, yaitu: penerapan sistem teknologi informasi dan basis data, penerapan teknologi konservasi, dan pengefektifan penyuluhan lapangan dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,87 dan D relatif= 0,22. Hal ini berarti ketiganya memiliki pengaruh yang besar terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan ketergantungan terhadap instrumen lainnya kecil. Sistem informasi merupakan kumpulan dari komponen dalam organisasi yang berhubungan dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi. Sering orang salah mengartikan antara sistem informasi dengan teknologi informasi. Teknologi informasi sendiri merupakan pengembangan dari teknologi komputer yang dipadukan dengan teknologi telekomunikasi. Kata Informasi sendiri telah disepakati sebagai hasil dari pengolahan data yang secara prinsip memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan data mentah. Sebagai contoh komputer, ini adalah suatu bentuk teknologi informasi. Dalam perkembangannya teknologi informasi berkembang dengan sangat pesatnya sampai dunia terasa sempit. Komputer di sini adalah hanya merupakan produk dari teknologi informasi. Suatu sistem informasi tidaklah harus memiliki komponen teknologi informasi.
79 Sedangkan basis data (database) tidak hanya merupakan kumpulan file. Lebih dari itu, basis data adalah pusat sumber data yang caranya dipakai oleh banyak pemakai untuk berbagai aplikasi. Inti dari basis data adalah database management system (DBMS), yang membolehkan pembuatan, modifikasi, dan pembaharuan basis data; mendapatkan kembali data; dan membangkitkan laporan. Tujuan basis data yang efektif yaitu: 1) memastikan bahwa data dapat dipakai di antara pemakai untuk berbagai aplikasi; 2) memelihara data baik keakuratan maupun kekonsistenannya; 3) memastikan bahwa semua data yang diperlukan untuk aplikasi sekarang dan yang akan datang akan disediakan dengan cepat; 4) membolehkan basis data untuk berkembang dan kebutuhan pemakai untuk berkembang; dan 5) membolehkan pemakai untuk membangun pandangan personalnya tentang data tanpa memperhatikan cara data disimpan secara fisik. Secara garis besar penyusunan sistem basis data untuk sumber daya air di DAS Gumbasa terbagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu: 1) pengumpulan data, baik itu data sekunder maupun data primer berikut dengan proses verifikasi di lapangan untuk beberapa data dasar; dan 2) analisis terhadap data yang sudah berhasil dikumpulkan secara menyeluruh sehingga dapat dihasilkan praksarsa strategis yang tepat. Pengaruh penerapan teknologi konservasi dan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa sangat besar. Kontribusi instrumen ini dapat dibangkitkan setelah efektifitas penyuluhan lapangan terwujud dalam instrumen pengembangan sistem pertanian konservasi, yang juga berada pada posisi independent. Kerusakan biofisik, kerugian, dan penderitaan saat dan setelah banjir tidak dapat dihindari oleh masyarakat. Kerugian harta benda dan hilangnya nyawa selalu menghantui masyarakat ketika musim hujan tiba.
Tingginya curah hujan tidak dapat diminimalkan oleh
teknologi konservasi. Air kiriman dari kawasan hulu dapat diminimalkan oleh penerapan teknologi konservasi. Dari sumber datangnya air, antisipasi yang dapat dilakukan adalah prediksi besarnya debit air kiriman dari hulu. Nilai prediksi yang diperoleh dapat digunakan untuk melakukan rekayasa teknologi konservasi tanah dan air. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air, karena setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi
80 yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan.
Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk
melestarikan sumber daya alam. Penyuluhan adalah pemberian informasi kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memakai media informasi.
Untuk
mengefektifkan penyuluhan lapangan harus dimulai dari penataan lembaga yang mewadahinya.
Hal ini perlu dilakukan karena selama otonomi daerah,
kelembagaan penyuluhan lapangan di bidang petanian dan kehutanan memerlukan pembenahan, mengingat banyaknya penyuluh yang dialihfungsikan ke dinas/ instansi teknis lainnya, sehingga peran yang sesungguhnya semakin tidak efektif. Hasil analisis ISM pada Gambar 20 dan Tabel 16, menunjukkan bahwa pada posisi linkage terdapat dua instrumen, yaitu: peningkatan partisipasi masyarakat; dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,80 dan D relatif= 0,50.
Hal ini berarti kedua instrumen tersebut
memiliki pengaruh yang besar terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, tapi ketergantungan terhadap instrumen lainnya juga besar. Pendekatan partisipatif disadari mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan pembangunan.
Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dikarenakan adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode terdahulu, di antaranya RRA (Rapid Rural Appraisal). Definisi yang tepat tentang PRA masih terus diperdebatkan, namun yang perlu dipertegas adalah perbedaannya dengan RRA, di mana RRA adalah bentuk pengumpulan informasi/data oleh “orang luar” yang kemudian dibawa keluar dan dianalisisnya sendiri.
Sebaliknya PRA merupakan kegiatan yang
partisipatif. Walaupun teknik yang dipergunakan bisa sama, tetapi “orang luar” hanya berperan sebagai pemandu, perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk melakukan kegiatan menggali informasi tentang permasalahan mereka, kemudian menganalisis dan menentukan cara terbaik dalam mengatasi masalah. Peningkatan pengetahuan/keterampilan petani dan pengefektifan penyuluhan lapangan adalah dua instrumen prioritas yang saling berkaitan.
Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan petani adalah instrumen yang sangat penting mengingat petani sebagai ujung tombak dalam mencapai keberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Meskipun program sudah tertata
81 sedemikian bagus, tetapi tidak disertai dengan kemampuan dalam pelaksanaannya di lapangan, hasilnya akan berujung dengan kegagalan.
Upaya peningkatan
pengetahuandan keterampilan petani dapat dilakukan melalui pelatihan teknis, sekolah lapang/demonstrasi paket teknologi, dan temu usaha. Pemberdayaan petani dengan penyuluhan, kampanye, dan bimbingan tentang pelestarian lingkungan diintensifkan sebagai program pembangunan pemerintah daerah. Dalam hal ini, peran pemerintah sebagai fasilitator, tokoh, dan pemuka masyarakat sebagai sosok anutan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai pendamping pembangunan, dan perguruan tinggi sebagai pengembang teknologi sangat berarti untuk melangkah bersama dalam memberdayakan peran aktif petani sebagai upaya pengendalian banjir atau kekeringan di DAS Gumbasa. Kelima instrumen di posisi independent dan linkage merupakan instrumen prioritas kunci dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Tindakan pengelolaan DAS meliputi bidang-bidang biofisik, pemberdayaan masyarakat, dan kelembagaan. Bidang biofisik adalah rehabilitasi kondisi lahan kawasan daerah aliran sungai untuk dijadikan arahan di dalam program perencanaan konservasi sumber daya air di Das Gumbasa secara terpadu. Hasil analisis ISM pada Gambar 20 dan Tabel 16, menunjukkan bahwa pada posisi ini terdapat dua instrumen, yaitu: penerapan teknologi pasca panen, dan pengembangan sistem pertanian konservasi. Kedua instrumen tersebut berada pada posisi dependent dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,20 dan D relatif= 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa kedua instrumen tersebut memiliki pengaruh yang sangat lemah terhadap program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, tetapi ketergantungan terhadap instrumen lain besar. Kelompok instrumen yang berada pada posisi autonomous berdasarkan hasil analisis ISM pada Gambar 20 dan Tabel 16, terdiri atas 4 instrumen, yaitu : pelestarian dan pengembangan kearifan budaya masyarakat, peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat, pengefektifan peran lembaga pemerintah, dan legitimasi dan sosialisasi program. Instrumen-instrumen yang berada di posisi autonomous dengan rata-rata bobot DP relatif= 0,20 dan D relatif= 0,21, menunjukkan bahwa instrumeninstrumen tersebut memiliki pengaruh yang sangat lemah terhadap implementasi kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan ketergantungan terhadap instrumen lainnya juga kecil. Hal ini berarti bahwa posisi instrumen-
82 instrumen tersebut sangat otonom, yaitu di samping tidak menunjukkan pengaruh, juga tidak tergantung pada instrumen lainnya.
Oleh karena itu, instrumen-
instrumen tersebut tidak perlu diprioritaskan dalam hal pengembangan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Struktur Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Untuk melihat struktur prioritas setiap instrumen, maka disusun struktur instrumen prioritas tersaji pada Gambar 21, yang mencerminkan bahwa: penerapan sistem teknologi informasi dan basis data, dan penerapan teknologi konservasi sebagai instrumen prioritas kunci atau menempati level 1 dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. Selanjutnya level dua ditempati oleh instrumen pengefektifan penyuluhan lapangan. Level tiga ditempati oleh instrumen peningkatan partisipasi masyarakat dan Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani.
Sedangkan pada level empat ditempati oleh instrumen
penerapan teknologi pasca panen, dan pengembangan sistem pertanian konservasi. 10) Legitimasi dan sosialisasi program
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
8) Pengefektifan peran lembaga pemerintah
3) Penerapan teknologi pasca panen
5) Pelestarian dan pengembangan kearifan budaya masyarakat
6) Pengembangan sistem pertanian konservasi
9) Peningkatan partisipasi masyarakat
7) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat
11) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani
4) Pengefektifan penyuluhan lapangan
1) Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data
2) Penerapan teknologi konservasi
Gambar 21. Struktur Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Berdasarkan uraian pada Gambar 21, dapat disimpulkan bahwa dari tiga instrumen di posisi independent yang diprioritas untuk mencapai tujuan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, semua instrumen prioritas tersebut ketergantungan pada instrumen lainnya kecil. Sedangkan dua instrumen prioritas yang berada di posisi linkage, di samping menjadi instrumen yang diprioritaskan, juga ketergantungan pada instrumen lainnya besar.
83 Kinerja Fungsi Manajemen (Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan) dalam Konservasi Sumber Daya Air DAS Gumbasa Hasil
analisis
AHP
terhadap
kewenangan
pemerintahan
(aktor)
menunjukkan bahwa tingkat pusat dan provinsi mendominasi peran di tiga fungsi manajemen dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang ditandai dengan bobot masing-masing 0,455, sedangkan aktor di kabupaten memiliki peran
Bobot
lebih kecil dengan bobot sebesar 0,091, seperti ditunjukkan pada Gambar 22. 0,500 0,450 0,400 0,350 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 Pusat
Provinsi
Kabupaten
Kewenangan Pemerintah (Aktor)
Gambar 22.
Hasil Pembobotan Kewenangan Pemerintahan (Aktor) dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
Hasil analisis AHP terhadap penilaian kinerja aktor (kriteria) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa menunjukkan bahwa arah kebijakan top down memberikan bobot yang paling tinggi, yaitu 0,193, sedangkan tumpang tindih tugas dan kewenangan memberikan bobot paling kecil, yaitu 0,152, seperti ditunjukkan pada Gambar 23. 0,250
Bobot
0,200 Keterangan:
0,150
KAS
0,100
0,050
0,000 KAS
TTTK
SMS
PH
KTD
Penilaian Kinerja Aktor (Kriteria)
Gambar 23.
PS
= Koordinasi Antar Sektor TTTK = Tumpang Tindih Tugas dan Kewenangan SMS = Sifat Multi Sektor PH = Penegakan Hukum KTD = Arah Kebijakan Top Down PS = Peran Stakeholders
Hasil Pembobotan Penilaian Kinerja Aktor (Kriteria) dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa
84 Sedangkan hasil analisis AHP terhadap kinerja manajemen (alternatif) dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa pada Gambar 24 menunjukkan bahwa perencanaan memiliki bobot yang paling tinggi, yaitu 0,401 dibandingkan dengan pelaksanaan dan pengawasan dengan bobot masing-masing 0,307 dan 0,292. 0,450 0,400
Bobot
0,350 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 Perencanaan
Pelaksanaan
Pengaw asan
Kinerja Manajemen (Alternatif)
Gambar 24. Hasil Pembobotan Kinerja Manajemen (Alternatif) dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Dominasi peran aktor tingkat pusat dan provinsi dalam pengelolaan DAS Palu tidak bertentangan dengan kewenangan yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Namun dalam pelaksanaannya harus dalam kerangka kerjasama lintas sektor bahkan lintas daerah. Sedangkan dalam konservasi sumber daya air pada wilayah DAS Gumbasa, maka kewenangan kabupaten menjadi lebih besar dari provinsi, karena wilayah DAS Gumbasa hanya berada di wilayah teritorial Kabupaten Donggala. Lemahnya perencanaan dalam pengambilan keputusan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa seperti di tunjukkan pada Gambar 24, juga berkaitan dengan kebijakan yang bersifat top down. Berdasarkan hasil analisis AHP seperti di sajikan pada Gambar 23, di mana kebijakan yang bersifat top down merupakan kriteria lemahnya perencanaan yang berada di urutan pertama dengan nilai 0,193. Kebijakan yang bersifat top down adalah proses perencanaan pembangunan yang berawal ketika pada level pemerintahan yang lebih tinggi menetapkan acuan/kebijakan secara sepihak untuk diimplementasikan pada level di bawahnya.
85 Perencanaan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang disusun berdasarkan pola dan acuan dari atas menimbulkan permasalahan, khususnya terhadap pelaksanaan di lapangan yang tidak sesuai dengan karakteristik biofisik dan sosial DAS. Karena itu banyak program yang tidak terlaksana atau terlaksana tapi tidak membawa hasil sesuai dengan tujuan yang direncanakan, maka dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, harus dimulai melalui pengefektifan fungsi perencanaan.
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa
lemahnya perencanaan sangat ditentukan oleh adanya dominasi peran organisasi pemerintah di tingkat pusat dan provinsi, yang gagal membangun koordinasi lintas sektor. Perubahan paradigma arah penentuan kebijakan dari bersifat top down menjadi bottom up, di mana Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan atau unit perencanaan mempunyai makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung seluruh kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, di mana perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna lahan, air, serta sumber daya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi. Menghadapi era otonomi daerah yang semakin kondusif, perkembangan pembangunan di berbagai sektor akan menimbulkan dinamika yang berkaitan dengan pengelolaan DAS yang tidak hanya menuntut ditingkatkannya teknik pengelolaan DAS dan penyelenggaraan kegiatan konservasi sumber daya air. Beberapa prinsip konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang perlu diupayakan adalah sebagai berikut: 1) perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan menggunakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit analisis keberhasilan yang menyangkut "on site dan off site cost" serta "benefit" dan sebagai unit dasar manajemen; 2) pemanfaatan potensi masyarakat lokal yang tidak mengandung risiko ekologi terutama pada hutan lindung, suaka alam dan taman nasional; 3) penentuan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan baik untuk tujuan tata air/lindung, tujuan produksi (kayu dan non kayu) maupun tujuan konservasi; 4) pemberdayaan masyarakat perlu diupayakan dengan menempatkan pemerintah sebagai fasilitator
86 dan masyarakat sebagai peran utama (inisiator) penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan; 5) adanya keterpaduan secara horizontal dan vertikal, khususnya dalam kerangka otonomi daerah menjadi sangat penting, baik menyangkut akuntabilitas lokal dan regional dan nasional yang berdimensi lintas sektor dimana Daerah Aliran Sungai (DAS) dijadikan sebagai unit analisis keberhasilan; 6) konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa harus menjadi bagian kebutuhan masyarakat yang disesuaikan dengan fungsi hutan dan dinamika masyarakat yang hidup dan kehidupannya sangat dekat dan tergantung dengan sumber daya air; 7) adanya dukungan informasi yang meliputi akurasi data, personil, metode, dukungan teknologi dan dana yang dipergunakan untuk menata kembali struktur informasi dalam melayani efektivitas rencana, pelaksanaan, monitoring serta pengendalian konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa; dan 8) adanya pemahaman dan penguasaan struktur dan proses konflik di suatu kawasan hutan dalam rangka mengurangi potensi konflik yang mungkin terjadi, terutama adanya intervensi budaya luar pada masyarakat lokal. Dampak Kondisi Aktual Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Terjadinya kelangkaan sumber daya air di beberapa daerah adalah sebagai akibat ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat atau petani dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Motif petani mengacu pada tujuan untuk memperoleh manfaat dan keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan pemerintah mengacu pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi masa kini dan yang akan datang. Kesenjangan antara tujuan petani dan tujuan pemerintah tersebut, menjadi konflik kepentingan khususnya dalam konservasi sumber daya air. Kesenjangan antara luaran dan tujuan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa berkaitan dengan adanya perbedaan cara pandang antara pembuat kebijakan dan masyarakat dalam wilayah DAS. Pembuat kebijakan memandang konservasi sumber daya air sebagai pembangunan yang berorientasi pada produktivitas
jangka
panjang,
sementara
harapan
masyarakat
adalah
pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka pendek.
12) Bapedalda Kabupaten Donggala
87 Karena itu, proses perumusan kebijakan GN-RHL/Gerhan melalui pendekatan top down, sedangkan harapan masyarakat DAS Gumbasa adalah pendekatan buttom up yang melibatkan lapisan masyarakat mulai dari bawah. Pengelolaan DAS Gumbasa ditandai dengan stakeholders yang multisektor, multifungsi, multidisiplin, beranekaragam kepentingan terhadap sumber daya alam DAS. Karena itu muncul sekian banyak aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam DAS. Kadang-kadang kebijakan yang dibuat tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya. Kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, berdampak dalam perumusan dan implementasi kebijakan organisasi pemerintah terkait yang seharusnya dilakukan dalam satu ikatan koordinasi berasarkan fungsi masing-masing. Namun, pada kenyataannya, perencanaan kebijakan GN-RHL/Gerhan di DAS Gumbasa dirumuskan, organisasi pemerintah terkait yang ada di daerah dilibatkan hanya pada tahap pembahasan dan sosialisasi dari program yang sudah tersusun. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perumusan kebijakan GN-RHL/Gerhan di DAS Gumbasa melalui pendekatan yang bersifat top down, didominasi oleh peran organisasi pemerintah pusat tanpa melibatkan organisasi pemerintah yang ada di daerah. Hal inilah kemudian menjadi tantangan implementasi, di mana organisasi pemerintah di daerah tidak mengadopsi kebijakan GN-RHL/Gerhan ke dalam kebijakan instansi masing-masing. Kebijakan konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, seperti: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) dirumuskan melalui formulasi program yang kebanyakan merupakan arahan dari pusat, atas dasar kepentingan organisasi pemerintah tertentu tanpa mengembangkan integrasi fungsional antar sektor, sehingga melahirkan egoisme sektoral pada masingmasing organisasi pemerintah dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala adalah organisasi pemerintah yang berperan penting dalam program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. 2. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan kuat terhadap konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa. 3. Kinerja fungsi koordinasi antar organisasi pemerintah dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa termasuk kategori lemah yang dipengaruhi oleh faktor sifat multisektor/multidisiplin (heterogenitas organisasi) dan rendahnya kualitas SDM. 4. Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data, penerapan teknologi konservasi, pengefektifan penyuluhan lapangan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani merupakan instrumen prioritas yang penting untuk dikembangkan. 5. Penyebab utama ketidakberhasilan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dari segi fungsi manajemen adalah lemahnya kinerja perencanaan. Saran Dalam rangka peningkatan peran dan kinerja fungsi koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa, disarankan untuk menyusun rencana pengelolaan DAS Gumbasa secara terpadu melalui koordinasi organisasi pemerintah pusat dan provinsi dengan melibatkan semua organisasi pemerintah terkait di kabupaten dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah K, Mulyana N, Idung R (Indonesian Team), and Alcamo J, Priess J, Nitschulze J, Mimmler M (German Team). 2005. Use of Powersim to Study Water Balance at Gumbasa Catchment, Central Sulawesi. Bogor. Research Project on Stability of Rain Forest Margins (STORMA). Phase II 2003-2006. Bogor Agricultural University, University of Tadulako, University of Goettingen and University of Kassel. Anwar A. 2000. Masalah Ekonomi dan Kelembagaan Perikanan. Bogor. Tesis Magister Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor. IPB Press. Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Barlowe R. 1986. Land Recources Economic : The Economic of Real Estate. New Jersey. Prentice-Hall Inc. Bastaman H. 2000. Kebijakan Dalam Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Di Dalam Tim ProLH-GTZ, (editor). Prosiding Diskusi Panel Sistem Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai. Jakarta. Kantor Menteri Negara LH. Tanggal 14-15 September 2000. BPDAS Palu-Poso. 2007. Laporan Akhir Identifikasi Karakteristik Daerah Tangkapan Gumbasa Sub DAS Palu Hulu DAS Palu. Palu. Pusat Kajian Pengembangan Sumber daya Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. _______________. 2008. Basis Data DAS Palu. Palu. Kerjasama BPDAS PaluPoso Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan dan Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. BPS. 2006. Donggala Dalam Angka. Palu. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. BBTNLL. 2008. Taman Nasional Lore Lindu. Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.
Palu.
Balai Besar Taman
BWSS III. 2008. Perencanaan Konservasi Danau Lindu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Palu. Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber daya Air Balai Wilayah Sungai Sulawesi III. Danida. 1998. The Philipines Strategy for Improved Watershed Resources Management: Under The Auspices of The Government of The Philipines/World Bank Water Resources Development. Quezon City : Project Watershed Management Improvement Componenet. Darajati W. 2001. Perencanaan Daerah Pengaliran Sungai Dalam Rencana Pembangunan Nasional. Prosiding Seminar Sistem Pengelolaan Daerah Pengaliran Sungai. Kerjasana Pemerintah Indonesia-Jerman. Jakarta. Kantor Menteri Negara LH/BAPEDAL – GTZ.
90 David FR. 1998. Concepts of Strategy Management. Upper Saddle River New Jersey. Prentice – Hall Inc. Didu MS. 2001. Analisis Posisi dan Peran Lembaga serta Kebijakan Dalam Proses Pembentukan Lahan Kritis. Jurnal Teknologi Lingkungan. Volume 2. Nomor 1. Januari 2001. ISSN 1411-318X. Hlm. 93-105. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Taman Nasional Lore Lindu, dan The Nature Concervancy. 2001. Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu Tahun 2002-2027. Palu. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Edisi Kedua. Bogor. IPB Press. Grigg N. 1996. Water Resources Management : Principles, Regulations and Cases. McGraw-Hill. Harto SBr. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan Di Asia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Helweg OJ. 1985. Water Resources : Planning and Management. New York : Copyright by John Wiley and Sons, Inc. United States of Amerika. Hikam Z. 2002. Koflik tapal batas di Taman Nasional Lore Lindu. Dalam M Nasir Abas,T Siera dan SA Awang (Editors) Interaksionisme Simbolik Dongi-Dongi. Yogyakarta. Debut Press. Irianto H dan Bungin B. 2001. Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara. Dalam : Burhan Bungin (Editor) Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Kartodiharjo H. 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Bogor. Pustaka Latin. ____________, Murtilaksono K, Pasaribu HS, Suhadi U, dan Nuryantono N. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolaan Sumber daya Berkelanjutan (K3SB). Bogor. Koperasi Sodaliti. ____________, Murtilaksono K, dan Suhadi U. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kodoatie RJ, Sjarief R. 2005. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu.
Lier HNV, Jaarsma CF, Jurgens CR, De Buck AJ. 1994. Sustainable Land Use Planning. Amsterdam : Elsevier. Mangundikoro A. 1985. Dasar-Dasar Pengelolaan DAS Terpadu. Yogyakarta. Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu.
91 Montesari. 2002. Tumpang tindih peruntukan lahan di Taman Nasional Lore Lindu. Dalam M Nasir Abas,T Siera dan SA Awang (Editors) Interaksionisme Simbolik Dongi-Dongi. Yogyakarta. Debut Press. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia. Prospek. Bogor. Yayasan Adi Sanggoro.
Refleksi dan
Pakpahan A. 1997. Pengembangan Sumber daya Manusia dan Kelembagaan Dalam Memantapkan Pelaksanaan Gerakan Hemat Air. Di Dalam Baharsiah JS, et al. (Editor). Sumber daya Air dan Iklim Dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Jakarta : Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI). Pasaribu SH. 1996. Pengembangan Kelembagaan Pembangunan RRL Dalam Konteks Pengelolaan DAS. Alas Ketu Wonogiri : 1 – 5 Oktober 1996. Kursus Penyegaran Kepala Balai/Sub Balai RLKT. Ponulele A. 1988. Pemantauan Dampak Proyek Irigasi Gumbasa Terhadap Lingkungan Biologi di Lembah Palu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Bogor. Tesis Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Priyono CNS. 2002. Pinus dan Hasil Air : Ekstraksi Hasil-Hasil Penelitian tentang Pengaruh Hutan Pinus terhadap Erosi dan Tata Air yang dilaksanakan oleh: UGM, IPB, UNIBRAW dan BP2TPDAS Surakarta. Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Dyah RP. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor : Fakultas Pertanian IPB. Saaty TL. 1986. Decision Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Pittsburgh. RWS Publications. Seyhan E. 1977. The Watershed as an Hydrologic Unit. Utrecht Geografisch Instituut der Rijkuniversiteit. Sinukaban N, Tarigan SD, Purwakusuma B, Baskoro DPT, and Wahyuni ED. 2000. Analysis of Watershed Function. Sediment Transfer Across Various Types of Filter Strips. Bogor. IPB. ___________, Pawitan H, Tarigan SD, dan Hidayat Y. 2006. Kajian Dampak Perambahan Hutan Taman Nasional Lore Lindu Terhadap Fungsi Hidrologi dan Beban Erosi. Bogor. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing (XIII) Tahun Anggaran 2005-2006. ___________. 2006. Pengelolaan Sumber daya Air Ditinjau Dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Budaya. Bandar Lampung. Makalah Disampaikan pada Seminar Sehari Pengelolaan Sumber daya Air, Dewan Air Kota Bandar Lampung, 28 Nopember 2006. ___________. 2007a. Catatan Kuliah Pengelolaan DAS. Bogor. Program Studi Pengelolaan DAS Pascasarjana IPB. ___________. 2007b. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta. Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan.
92 SMERI-UNDP. 1997. Agenda 21 Indonesia : A National Strategi for Sustainable Development. Jakarta. State Ministry for Environment Republik of Indonesia United Nation Development Programme. Soewarno. 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Bandung : Nova. Sosrodarsono S, Tominaga M, Gayo MM. 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Sudikan SY. 2001. Ragam Metode Pengumpulan Data : Mengulas Kembali Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore. Di Dalam Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Burhan Bungin (Editor). Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Sudjarwadi, 1988. Model Hidrologi. Yogyakarta : PAU Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada. Sudradjat A dan Yustina I. 2002. Mencari Format Desentralisasi Kehutanan pada Masa Transisi. Jakarta. Nectar Indonesia. Swastha DHB dan Sukotjo W. 2000. Pengantar Bisnis Modern : Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Liberty. Sys RV, and Debaveye. 1991. Land Evaluation : Part 11, Methods in Land Evaluation. Agricultural Publication No. 7. General Administration for Development Cooperation. Brusel Belgium. Place du Camp de Mars 5. Tajuddin D. 1999. Model Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Bogor. Pustaka Latin. Thaha AR. 2001. Studi Erosi Tanah di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan Sekitarnya. Palu. The Nature Concervancy, Lore Lindu Field Office. Widjajanto D, Monde A, Sudhartono A, dan Paada A. 2003. Studi Air di Daerah Aliran Sungai Gumbasa. Palu. J. Agroland. 10 : 36 – 61. ___________. 2006. Model Penggunaan Lahan Untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan : Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Gumbasa, Donggala. Bogor. Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). William J. 1995. Community Development : Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Melbourne : Longman Austalia Pty Ltd.
LAMPIRAN
93 Lampiran 1.
Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Tabel 1. Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 23 25 26 27 28 29 30 31 32 33
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
O
O O
O O O
O O V O
O O O O O
O O O O O O
O O O O O O O
V O V O O O O O
O O O O O O O O O
V O V V O O O O O O
O O V O O O O O O O O
V O V V O O O O O O O O
V O O O O O O O O O O O O
V O V V O O O O O O O O O O
X O V O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O
V O V O O O O O O O O O O O O O O O
O O O V O O O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O V V O O O O O O O O O O O O O O O O O O
V O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
V O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
V O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O V O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
94 Tabel 2. Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
O
O O
V O O
O O O O
V V V O O
O O O O O O
O O O O O V O
O O O O O O O O
V V O O O O O O O
O O O O O O O O O O
O V O O O O O O A A A
V O O O O O O O O A O O
V O O O O O O O O O O O O
V O O O O O O O O O O O O O
O V O O O O O O O O O V O O O
O O O O O O O O O O O O O O O A
O O O O O V O O O O O V O O O O O
O O O O O V O O O O O V O O O O O O
V O O O O V O O O O O O V O O O O O O
V O O O O V O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O V O O O O O V O O O O O O O O O
O O V O O V O O O O O V O O O A O O O O O O
V O V O O V O O O O O V O O O O O O O O O O O
V O O O O V O O O O O V O O O O O O O O O O O V
95 Tabel 3. Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Fungsi Koordinasi Dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No.
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
O
O O
O O O
O O O O
O O O O O
O O O O O O
O O O O O O O
O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O
O O O O O V O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O V O O O O O O
O O O O O V O O O V O O O O O O O
Tabel 4. Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Instrumen Prioritas Dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
O
V
V
O
V
O
V
O
O
O
V
O
O
V
O
O
O
O
V
A
O
O
O
O
O
O
A
O
V
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
O
A
O
A
O
O
O
O
O
O
O
O
X O
96 Lampiran 2.
Reachability Matriks Tabel 5. Reachability Matriks Final Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 23 25 26 27 28 29 30 31 32 33
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
29 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
30 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
31 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
32 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
33 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
97 Tabel 6. Reachability Matriks Final Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
1 0
0 1
0 0
1 0
0 0
1 1
0 0
0 0
0 0
1 1
0 0
0 1
1 0
1 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
1 0
1 0
0 0
0 0
1 1
1 1
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 1
1 1
0 1
0 0
0 0
0 0
0 1
0 0
0 1
0 1
0 0
0 0
0 1
0 1
0 1
0 1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
1 1
98 Tabel 7. Reachability Matriks Final Fungsi Koordinasi Dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0
18 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Tabel 8. Reachability Matriks Final Instrumen Prioritas Dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1
1
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
2
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
3
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
8
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
9
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
1
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
11
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
1
99 Lampiran 3.
Revisi Reachability Matriks Tabel 9. Revisi Reachability Matriks Final Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
26 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
29 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
30 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
31 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
32 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
33 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
D
3
1
1
1
2
1
1
1
4
1
5
2
5
4
5
3
2
2
4
2
2
1
3
4
2
4
1
1
2
4
4
2
2
DP 12 1 23 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
100 Tabel 10. Revisi Reachability Matriks Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
DP
1 0
0 1
0 0
1 0
0 0
1 1
0 0
1 1
0 1
1 1
0 1
0 1
1 0
1 0
1 0
1 1
0 0
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
17 16
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
12
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 0
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
0 1
1 1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1
0 1
1 1
0 1
0 0
0 0
0 0
0 1
0 0
0 1
0 1
0 0
0 0
0 1
0 1
0 1
0 1
11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
3
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
2 1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
0 1
0 0
0 0
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 0
1 1
D
1
1
1
2
1
4
1
5
3
5
3
2
2
2
2
8
1
6
6
6
5
6
6
6
7
11 1 1 1 1 1
1 1 1 1 2 2 1
101 Tabel 11. Revisi Reachability Matriks Final Fungsi Koordinasi Dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0
18 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
D
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
3
No.
DP 1 1 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1
Tabel 12. Revisi Reachability Matriks Final Instrumen Prioritas Dalam Konservasi Sumber Daya Air DAS Gumbasa No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
DP
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
5 5
2
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
1
3
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
3 1
5
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1 1
7
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
8
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
9
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
1
4 1 4
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
11
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
1
D
1
1
6
2
1
6
1
2
3
1
3
Keterangan : DP = Driver Power D = Dependence
102 Lampiran 4.
Penilaian Responden Tentang Koordinasi Konservasi Sumber Daya Air Tabel 13. Hasil Penilaian Responden Terhadap Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa No.
I
II III
Indikator Koordinasi Tugas Pokok (task) : 1. Tugas dan Fungsi 2. Kewenangan 3. Kebijakan Rata-Rata Kegiatan (activity) Sumber daya (resources) : 1. Pendanaan 2. Kebutuhan Informasi Rata-Rata Nilai Fungsi Koordinasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2 2 2 2 2
4 3 3 3,3 3
2 2 2 2 2
2 2 2 2 2
3 3 3 3 4
3 3 3 3 3
4 4 4 4 3
4 4 4 4 3
3 3 3 3 4
2 2 2 2
3 3 3 3,1
2 2 2 2
2 2 2 2
4 4 4 3,7
3 3 3 3
Penilaian Responden 10 11 12 13 14 3 3 3 3 2
2 2 3 2,3 2
2 2 2 2 2
3 3 4 2 2 3 3 4 2 2 3 3 4 2 2 3,3 3,3 3,7 2,3 2,1
2 2 2 2
2 2 2 2 2
2 2 2 2 3
3 3 2 3 2,5 3 2,2 2,7
15
16
17
20
21
22
RataRata
3 3 3 3 3
3 3 3 3 3
3 1 3 2 2 1 2 1 3 2 2 2 2,7 1,3 2,3 1,7 3 1 2 2
4 4 1 3 2
3 2 2 2,3 2
2,7 2,5 2,5 2,6 2,5
4 3 1 2 1 2 2 3 3 1 4 2 2 4 3,5 3 1 3 1,5 2 3 3,2 2,9 1,1 2,4 1,7 2,3 2,4
2,5 2,7 2,6 2,6
3 3 3 3
18
19
Keterangan : Nilai 1 = Sangat lemah, Nilai 2 = Lemah, Nilai 3 = Cukup baik, Nilai 4 = Baik, Nilai 5 = Sangat Baik 1. 2. 3. 4. 5.
Seksi Program Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso Seksi Kelembagaan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu-Poso Seksi Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS III) Bidang Teknis Konservasi Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) Bidang Sumber daya Air Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah
12. 13. 14. 15. 16.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah Bidang Lingkungan Hidup Bappedalda Provinsi Sulawesi Tengah Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bappedalda Provinsi Sulawesi Tengah Subdin Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah Subdin Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah Subdin Pengembangan Sumber daya Air Dinas Kimpraswil Provinsi Sulawesi Tengah
17. 18. 19. 20. 21. 22.
Subdin Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah Subdin Bina Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSL) Universitas Tadulako Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Donggala Subdin Rehabilitasi Lahan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala Seksi Irigasi Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Donggala Bapedalda Kabupaten Donggala Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor BPN Kabupaten Donggala Subdin Sarana Prasarana dan Agribisnis Dinas Pertanian Kabupaten Donggala Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Provinsi Sulteng Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Tengah
103 Lampiran 5.
Matriks Perbandingan Berpasangan Tabel 14. Perbandingan Peran Aktor (Level 2) Aktor
Pusat
Provinsi
Kabupaten
Bobot
Pemeran
Pusat
1
1
5
0,455
1
Provinsi
1
1
5
0,455
2
1/5
1/5
1
0,091
3
Kabupaten
Tabel 15. Perbandingan Pengaruh Kriteria Berdasarkan Peran Aktor Tingkat Pusat (Level 3) Kriteria
KAS
TTTK
SMS
PH
KTD
PS
Bobot
Prioritas
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 5 1
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1
1 1/5 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1
0,160
2 6 3 4 1 5
KAS TTTK SMS PH KTD PS
0,134 0,160 0,160 0,226 0,160
Tabel 16. Perbandingan Pengaruh Kriteria Berdasarkan Peran Aktor Tingkat Provinsi (Level 3) Kriteria KAS TTTK SMS PH KTD PS
KAS 1 1 1 1 1 1
TTTK 1 1 1 1 1 1
SMS 1 1 1 1 1 1
PH 1 1 1 1 1 1
KTD 1 1 1 1 1 1
PS 1 1 1 1 1 1
Bobot 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167
Prioritas 1 2 3 4 5 6
Tabel 17. Perbandingan Pengaruh Kriteria Berdasarkan Peran Aktor Tingkat Kabupaten (Level 3) Kriteria KAS TTTK SMS PH KTD PS
KAS 1 1/3 1/3 1 1 1
Keterangan : KAS TTTK SMS PH KTD PS
= = = = = =
TTTK 3 1 1/3 1 1 1
SMS 3 3 1 1 1 1
PH 1 1 1 1 1 1
Koordinasi Antar Sektor Tumpang tindih tugas/kewenangan Sifat Multi Sektor Penegakan Hukum Arah Kebijakan Top Down Peran Stakeholders
KTD 1 1 1 1 1 1
PS 1 1 1 1 1 1
Bobot 0,237 0,168 0,119 0,158 0,158 0,158
Prioritas 1 2 3 4 5 6
104 Tabel 18. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Koordinasi Antar Sektor Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
1
1
0,33
1
Pelaksanaan
1
1
1
0,33
2
Pengawasan
1
1
1
0,33
3
Tabel 19. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
1
3
0,45
1
Pelaksanaan
1
1
1
0,32
2
Pengawasan
1/3
1
1
0,23
3
Tabel 20. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Sifat Multi Sektor Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
1
1
0,33
1
Pelaksanaan
1
1
1
0,33
2
Pengawasan
1
1
1
0,33
3
Tabel 21. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Penegakan Hukum Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
1
1
0,33
1
Pelaksanaan
1
1
1
0,33
2
Pengawasan
1
1
1
0,33
3
Tabel 22. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Arah Kebijakan Top Down Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
3
3
0,60
1
Pelaksanaan
1/3
1
0,20
2
Pengawasan
1/3
1
0,20
3
1
Tabel 23. Perbandingan Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kriteria Peran Stakeholders Alternatif
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengawasan
Bobot
Prioritas
Perencanaan
1
1
1
0,33
1
Pelaksanaan
1
1
1
0,33
2
Pengawasan
1
1
1
0,33
3
105 Tabel 24. Pembobotan dan Prioritas Kriteria Aktor Pusat, Provinsi dan Kabupaten (Level 3) Kriteria KAS TTTK SMS PH KTD PS
Pusat 0,07 0,06 0,07 0,07 0,09 0,07
Provinsi 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07
Kabupaten 0,04 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03
Bobot 0,170 0,152 0,159 0,163 0,193 0,163
Prioritas 2 6 3 4 1 5
Tabel 25. Pembobotan dan Prioritas Alternatif Berdasarkan Kriteria Koordinasi Tingkat Pusat(Level 4) Alternatif Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan
KAS 0,05 0,05 0,05
TTTK 0,06 0,04 0,03
SMS 0,05 0,05 0,05
PH 0,05 0,05 0,05
KTD 0,14 0,05 0,05
PS 0,05 0,05 0,05
Bobot 0,410 0,301 0,289
Prioritas 1 2 3
Tabel 26. Pembobotan dan Prioritas Alternatif Berdasarkan Kriteria Koordinasi Tingkat Provinsi (Level 4) Alternatif Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan
KAS 0,06 0,06 0,06
TTTK 0,08 0,05 0,04
SMS 0,06 0,06 0,06
PH 0,06 0,06 0,06
KTD 0,10 0,03 0,03
PS 0,06 0,06 0,06
Bobot 0,398 0,309 0,293
Prioritas 1 2 3
Tabel 27. Pembobotan dan Prioritas Alternatif Berdasarkan Kriteria Koordinasi Tingkat Kabupaten (Level 4) Alternatif Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan
KAS 0,08 0,08 0,08
TTTK 0,08 0,05 0,04
SMS 0,04 0,04 0,04
PH 0,05 0,05 0,05
KTD 0,10 0,03 0,03
PS 0,05 0,05 0,05
Bobot 0,396 0,310 0,294
Prioritas 1 2 3
Tabel 28. Rata-Rata Pembobotan dan Prioritas Alternatif Berdasarkan Kriteria Koordinasi Tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten Alternatif Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan
Pusat 0,41 0,30 0,29
Provinsi 0,40 0,31 0,29
Kabupaten 0,40 0,31 0,29
Keterangan : KAS TTTK SMS PH KTD PS
= = = = = =
Koordinasi Antar Sektor Tumpang tindih tugas/kewenangan Sifat Multi Sektor Penegakan Hukum Arah Kebijakan Top Down Peran Stakeholders
Bobot 0,401 0,307 0,292
Prioritas 1 2 3
106 Lampiran 6.
KUISIONER Seri I Organisasi yang Berperan dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Sub elemen atau Organisasi yang diduga berperan adalah : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso. Balai Wilayah Sungai Sulwesi III (BWSS III) Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL). Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) provinsi. Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi. Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah provinsi (Subdin PSDA). Dinas Kehutanan provinsi. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) kabupaten. Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten. Dinas Pertanian kabupaten Dinas Pekerjaan Umum (PU) kabupaten. Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten. Dinas Tata Ruang Kabupaten. Penyuluh Pertanian/Kehutanan Lapangan (PPL/PKL). Dinas Prasarana Wilayah kabupaten. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) kabupaten. Dinas Kependudukan kabupaten. Dinas Pendapatan Daerah kabupaten. Dinas Pariwisata kabupaten. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Perguruan Tinggi. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Perbankan. Usaha Kecil Menengah (UKM)/Koperasi Unit Desa (KUD). Wartawan (Pers). LSM Lingkungan. Kelompok Tani Kepolisian Kejaksaan
Petunjuk Pengisian : Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih berperan : V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting) O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting) Contoh : Mana yang lebih berperan antara BPDAS (A) dibanding BTNLL (C) dalam program konservasi sumberdaya air DAS Gumbasa? Jika A dan C sama berperan, maka pada kolom A-C diisi dengan huruf X.
107 Lanjutan Lampiran 6. Kuisioner Seri I No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 23 25 26 27 28 29 30 31 32 33
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
108 Lampiran 7.
KUISIONER Seri II Peraturan Perundang-Undangan yang Melandasi Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Sub elemen atau peraturan perundang-undangan yang diduga menjadi landasan adalah : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
= Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air. = Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. = Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. = Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. = Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. = Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. = Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. = Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. = Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. = Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. = Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. = Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. = Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. = Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa. = Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. = Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. = Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. = Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.421/Menhut-II/2006 tentang Fokus-Fokus Kegiatan Pembangunan Kehutanan. = Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 146/Kpts-II/1999 Tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan. = Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu. = Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah. = Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan. = Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. = Peraturan Daerah (Perda) provinsi. = Peraturan Daerah (Perda) kabupaten.
Petunjuk Pengisian : Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih melandasi : V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting) O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting) Contoh : Mana yang lebih melandasi antara Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air (A) dibanding Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (B) dalam program konservasi sumber daya air DAS Gumbasa? Jika A lebih mengatur daripada B, maka pada kolom A-B diisi dengan huruf V.
109
Lanjutan Lampiran 7. Kuisioner Seri II No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
110 Lampiran 8.
KUISIONER Seri III Fungsi Koordinasi dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Sub elemen atau fungsi koordinasi yang diduga berpengaruh adalah : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
Adanya kebijakan yang top down Lemahnya pengorganisasian Ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan Lemahnya fungsi oprasional institusi Lemahnya fungsi regulasi institusi Rendahnya kualitas SDM Adanya sikap sektoralisentris Konflik vertikal Konflik horisontal Sifat multisektor/multidisiplin Lemahnya kontrol vertikal Ketidakjelasan lembaga koordinator Ketergantungan pada juklak/juknis Kesenjangan kebijakan pengelolaan DAS dan kebijakan sektor Lemahnya dukungan insentif Lemahnya komitmen aparat pemerintah Kurangnya pembinaan Lemahnya kontrol sosial
Petunjuk Pengisian : Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih berpengaruh : V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting) O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting) Contoh : Mana yang lebih berpengaruh antara Adanya kebijakan yang top down (A) dibanding Lemahnya pengorganisasian (B) terhadap lemahnya fungsi koordinasi konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa? Jika A tidak lebih berpengaruh daripada B, maka pada kolom A-B diisi dengan huruf A.
111
Lanjutan Lampiran 8. Kuisioner Seri III No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
112
Lampiran 9.
KUISIONER Seri IV Instrumen Prioritas dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Sub elemen atau Instrumen yang diduga menjadi prioritas adalah : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
= = = = = = = = = = =
Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data Penerapan teknologi konservasi Penerapan teknologi pasca panen Pengefektifan penyuluhan lapangan Pelestarian dan pengembangan kearifan budaya masyarakat Pengembangan sistem pertanian konservasi Peningkatan pengetahuan dan keterampilan aparat Pengefektifan peran lembaga pemerintah Peningkatan partisipasi masyarakat Legitimasi dan sosialisasi program Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani
Petunjuk Pengisian : Isilah kolom bebas arsir dengan huruf V, A, X, dan O untuk menunjukkan sub elemen yang lebih diprioritaskan : V, jika eij = 1, dan eji = 0 (elemen i lebih penting daripada j) A, jika eij = 0, dan eji = 1 (elemen i tidak lebih penting daripada j) X, jika eij = 1, dan eji = 1 (elemen i dan j sama penting) O, jika eij = 0, dan eji = 0 (elemen i dan j sama tidak penting) Contoh : Mana yang lebih diprioritaskan antara instrumen Penerapan sistem teknologi informasi dan basis data (A) dibanding Penerapan teknologi koservasi (B) dalam program konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa ? Jika A dan B sama berperan, maka pada kolom A-B diisi dengan huruf X.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
113 Lampiran 10.
KUISIONER Seri V Kinerja Fungsi Manajemen (Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan) dalam Konservasi Sumber Daya Air di DAS Gumbasa Petunjuk Pengisian : Isilah kotak yang telah disediakan pada setiap nomor pertanyaan, dengan menuliskan angka sebagai berikut : A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.
Jika sub elemen pertama sama penting dengan sub elemen yang kedua .................... 1 Jika sub elemen yang pertama sedikit lebih penting dari yang kedua ............................ 3 Jika sub elemen yang pertama jelas lebih penting dari yang kedua ............................ 5 Jika sub elemen yang pertama gangat jelas lebih penting dari yang kedua ................ 7 Jika sub elemen yang pertama mutlak jelas lebih penting dari yang kedua ................ 9 Jika ragu-ragu antara A dan B ...................................................................................... 2 Jika ragu-ragu antara B dan C ...................................................................................... 4 Jika ragu-ragu antara C dan D ...................................................................................... 6 Jika ragu-ragu antara D dan E ...................................................................................... 8 Jika kebalikan dari A, B, C, D, dan E ................................................................. 1/3 – 1/9
Penilaian Sub Elemen Level 2 Sehubungan dengan penerapan fungsi manajemen terhadap program konservasi sumberdaya air di DAS Gumbasa, mana yang lebih berperan antara : 1. Tingkat Pusat dan Tingkat Provinsi ...................................................................... 2. Tingkat Pusat dan Tingkat Kabupaten .................................................................. 3. Tingkat Provinsi dan Tingkat Kabupaten .............................................................. Penilaian Sub Elemen Level 3 Sehubungan dengan aktor tingkat pusat, mana lebih berpengaruh antara : 1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ...................... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ....................................................... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ....................................... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ......................................................... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ........................................ 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor .................................. 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ................. 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ................................... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ................... 10. Sifat multisektor dan kontrol/penegakan hukum ................................................... 11. Sifat multisektor dan arah kebijakan .................................................................... 12. Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders .................................................... 13. Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan .................................................... 14. Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders .................................... 15. Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ...................................................... Sehubungan dengan aktor tingkat provinsi, mana lebih berpengaruh antara : 1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ...................... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ....................................................... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ....................................... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ......................................................... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ........................................ 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor .................................. 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ................. 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ................................... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ...................
114 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Sifat multisektor dan kontrol/penegakan hukum ................................................... Sifat multisektor dan arah kebijakan .................................................................... Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders .................................................... Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan .................................................... Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders .................................... Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ......................................................
Sehubungan dengan aktor tingkat kabupaten, mana lebih berpengaruh antara : 1. Koordinasi antar sektor dan Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan ...................... 2. Koordinasi antar sektor dan sifat multisektor ....................................................... 3. Koordinasi antar sektor dan kontrol/penegakan hukum ....................................... 4. Koordinasi antar sektor dan arah kebijakan ......................................................... 5. Koordinasi antar sektor dan keterlibatan stakeholders ........................................ 6. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan sifat multisektor .................................. 7. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan kontrol/penegakan hukum ................. 8. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan arah kebijakan ................................... 9. Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan dan keterlibatan stakeholders ................... 10. Sifat multisektor dan kontrol/penegakan hukum ................................................... 11. Sifat multisektor dan arah kebijakan .................................................................... 12. Sifat multisektor dan keterlibatan stakeholders .................................................... 13. Kontrol/penegakan hukum dan arah kebijakan .................................................... 14. Kontrol/penegakan hukum dan keterlibatan stakeholders .................................... 15. Arah kebijakan dan keterlibatan stakeholders ...................................................... Penilaian Sub Elemen Level 4
A. Sehubungan dengan kriteria koordinasi antar sektor, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ..................................... B. Sehubungan dengan kriteria Tumpang Tindih Tugas/Kewenangan, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ..................................... C. Sehubungan dengan kriteria sifat multi sektor, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ..................................... D. Sehubungan dengan kriteria kontrol/penegakan hukum, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ..................................... E. Sehubungan dengan kriteria arah kebijakan, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program ..................................... F. Sehubungan dengan kriteria keterlibatan stakeholders, mana lebih berpengaruh terhadap kegagalan program antara : 1. Perencanaan program dan pelaksanaan program .................................... 2. Perencanaan program dan pengawasan program .................................... 3. Pelaksanaan program dan pengawasan program .....................................