KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESENJANGAN PENDAPATAN DAERAH DI ENAM KORIDOR EKONOMI INDONESIA
MASFUFAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Bogor, Juli 2013
Masfufah NRP. H152090101
ABSTRACT MASFUFAH. Convergence and the Factors that Influence Regional of District Level in Indonesia. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and EKA INTAN KUMALA PUTRI. Areas development is a sub system of economic corridors and province development, also as part of national development that could not be separated. The implication of economic development at each district level has been gave different achievement. The Implication of fiscal decentralization policy on 2001, gave an important roles to the region government on areas growth. Aims of this research are to analyze dynamics of areas disparity and facilities development, to examine the income convergence by Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditures of district level areas and comparing between economic corridor in Indonesia, and to analyze the influence factors of areas disparity between economic corridor in Indonesia for five years period on 20062010. The conclusion of analysis result shows when used GRDP, there were no income convergence of district level in Indonesia, while when used household expenditures by FD-GMM estimation technique, there were a number of convergence process. Further, there were convergences in every economic corridor, both with GRDP or household expenditures. The fastest convergence exists at Java Economic Corridor by household expenditures. Keywords : Convergence, Inequality, FD-GMM Panel Data
RINGKASAN MASFUFAH. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan EKA INTAN KUMALA PUTRI. Pertumbuhan ekonomi suatu negara menentukan standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endownment dari masing-masing wilayah. Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik, air bersih, dan telepon). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Dalam implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dialkukan untuk mengembangkan 8 program utama yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Dimana salah satu strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan PapuaKep. Maluku dimana masing koridor ekonomi tersebut diposisikan strategi yang berbeda-beda. Beranjak dari fenomena tersebut, bahwa karakteristik potensi wilayah koridor, baik yang bersifat alami maupun buatan merupakan salah satu unsur yang menarik dikaji dalam kaitannya dengan upaya pengurangan disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan kabupaten/kota yang ada. Dengan demikian diharapkam akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB per kapita yang menunjukkan potensi wilayah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut prlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika disparitas pendapatan wilayah dan dinamika pembangunan infrastruktur, menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan antar koridor ekonomi di Indonesia, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode lima tahun, yaitu dari tahun 2006-2010. Variabel yang diteliti untuk konvergensi adalah
investasi dan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota di masing-masing koridor ekonomi dengan menggunakan model data panel dinamis. Sementara untuk disparitas wilayah, variabel yang diteliti adalah pengeluaran rutin pemerintah, share sector pertanian terhadap PDRB, share manufaktur terhadap PDRB, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas, persentase rumah tangga yang pengguna listrik, persentase rumah tangga pengguna air bersih, persentase rumah tangga pengguna telepon, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada pada masing-masing provinsi, serta rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dari beberapa provinsi di masing-masing koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan model data panel statis. Tren dinamika disparitas kabupaten/kota di Indonesia hasil penghitungan koefisien variasi Williamson selama periode 2006-2010 mengalami kecenderungan menurun, baik dihitung dengan pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga. Namun disparitas wilayah kabupaten/kota di Indonesia masih tinggi berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 selama periode penelitian., dimana disparitas di dalam koridor ekonomi lebih tinggi dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi. Tren disparitas kabupaten/kota di masingmasing koridor juga mengalami kecenderungan menurun sama halnya dengan Indonesia, dimana disparitas kabupaten/kota yang terjadi koridor Jawa, serta koridor Papua-Kep Maluku lebih tinggi dibandingkan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara. Dinamika pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 secara umum terus mengalami peningkatan . Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Indeks infrastruktur yang tertinggi terjadi di koridor Jawa dan Sumatera, sedangkan yang terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku. Estimasi konvergensi Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variable dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi di Indonesia (pendapatan kabupaten/kota di Indonesia divergen) dengan metode panel dinamis FD-GMM. Estimasi konvergensi kabupaten/kota di koridor-koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data pengeluaran semuanya konvergen, dengan tingkat konvegensi tertinggi di koridor Jawa dan terendah di koridor Sulawesi. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta, maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat. Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah di beberapa koridor dan Indonesia dilakukan dengan model data panel statis. Model yang
terpilih pada pendekatan PDRB per kapita untuk Indonesia adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Faktorfaktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar wilayah antar provinsi di Indonesia pendekatan PDRB per kapita adalah share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas, dan infrastruktur telepon secara negatif. Disparitas pengeluran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur air bersih dan telepon secara negatif. Koridor Sumatera pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Jawa pendekatan PDRB dipengaruhi oleh share sektor manufaktur secara positif, dan infrastruktur jalan secara positif, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur jalan secara positif. Koridor Kalimantan pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur listrik secara positif. Koridor Sulawesi pendekatan PDRB dipengaruhi oleh shate tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatife, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor BaliNusa Tenggara dan Papua-Kep.Maluku pendekatan PDRB pe kapita dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh share pengeluaran rutin pemerintah secara negatif. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Dengan adanya pemerataan dalam pembangunan infrastruktur antara enam koridor ekonomi di Indonesia dalam MP3EI diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antar koridor ekonomi maupun disparitas wilayah dibawahnya yang lebih kecil lagi. Sehingga diharapkan tercipta pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan (growth with equity) sesuai dengan potensi wilayahnya. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. (2) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability sehingga dapat mengurangi disparitas wilayah. (3) Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan menggunakan series data yang lebih panjang sehingga bisa terlihat trennya dan hasil penelitian bias lebih baik lagi. Sedangkan varibel infrastruktur perlu penyempurnaan dengan memasukkan beberapa variabel infrastruktur lainnya. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, konvergensi dan disparitas. Kata Kunci: Konvergensi, Disparitas, Data Panel FD-GMM
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.
KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESENJANGAN PENDAPATAN DI ENAM KORIDOR EKONOMI INDONESIA
MASFUFAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Judul Penelitian : Konvergensi
dan
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Indonesia Nama
: Masfufah
NRP
: H152090101
Program Studi
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc Anggota
Diketahui, Dekan Sekolah Pascasarjana
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Asc. Agr
Tanggal Ujian : 10 Juli 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur di panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjeng pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas kesediannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selalu perwakilan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Agus Kadaryanto suamiku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua anakku Puput dan Fadil atas kesabarannya karena perhatian dari penulis berkurang selama waktu perkuliahan dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr. Setia Hadi, MS selaku sekretaris Program Studi yang lama dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku sekretaris Program Studi yang baru. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satupersatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang Yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, Juli 2013 Masfufah
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Masfufah lahir pada tanggal 15 Desember 1974 di DKI Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Muchson (almarhum) dan Ibu Ngadawiyah. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 01 Cipinang Muara Jakarta pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN 52 Cipinang Elok Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 54 Rawa Bunga Jakarta dan lulus pada tahun 1993. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, lulus pada tahun 2001 (tugas belajar) yang sebelumnya telah bekerja terlebih dahulu di Badan Pusat Statistik (BPS) RI. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. xv DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xxi I.
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................ 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...........................
1 1 12 18 18 19
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ................... 2.2. Konvergensi ............................................................................. 2.3. Disparitas Wilayah ................................................................... 2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah .......... 2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ................... 2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi .................................. 2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja ............................................. 2.4.4. Infrastruktur ................................................................. 2.5. Tinjauan Empiris ...................................................................... 2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................. 2.7. Hipotesis Penelitian..................................................................
21 21 27 28 31 33 37 38 39 42 46 50
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 3.2. Metode Analisis ....................................................................... 3.2.1. Koefisien Variasi Williamson ...................................... 3.2.2. Analisis Indeks Theil ................................................... 3.2.3. Analisis Indeks Infrastruktur ........................................ 3.2.4. Analisis Data Panel Statis ............................................ 3.2.5. Analisis Data Panel Dinamis ........................................ 3.3. Spesifikasi Model ..................................................................... 3.3.1. Konvergensi Wilayah ................................................... 3.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah ........................................................................ 3.4. Prosedur Analisis ..................................................................... 3.5. Kerangka Analisis ....................................................................
51 51 55 55 56 58 59 64 70 70
IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ......................................... 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah .................................................. 4.2. Dinamika Pembangunan Infrastruktur ..................................... 4.2.1. Infrastruktur Listrik ...................................................... 4.2.2. Infrastruktur Air Bersih ................................................
73 74 75 79 79 91 91 92
xv
4.2.3. Infrastruktur Telepon ................................................... 4.2.4. Infrastruktur Jalan ........................................................ 4.2.5. Penghitungan Indeks Infrastruktur ............................... V.
KONVERGENSI WILAYAH ANTAR KORIDOR DI INDONESIA 5.1. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Indonesia .................... 5.2. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sumatera................................................................................... 5.3. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Jawa 5.4. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Kalimantan ............................................................................... 5.5. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi ................................................................................... 5.6. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara ................................................................. 5.7. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku ........................................................ 5.8. Perbandingan Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Beberapa Koridor di Indonesia ................................................................
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH ............................................................... 6.1. Disparitas antar Provinsi di Indonesia ..................................... 6.2. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera ......... 6.3. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Jawa ................ 6.4. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Kalimantan ..... 6.5. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sulawesi ......... 6.6. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku ......................... 6.7. Perbandingan Disparitas antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia .............................................................................. 6.8. Pengembangan Potensi Wilayah Koridor Ekonomi Dalam MP3EI ..........................................................................
94 95 96 101 101 103 105 107 109 111 112 114 117 117 120 123 125 127 129 131 134
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 7.1. Kesimpulan .............................................................................. 7.2. Saran ......................................................................................
137 137 138
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
141
LAMPIRAN
145
xvi
......................................................................................
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010..............
10
2.
Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009 ............................
14
3.
Definisi Operasiponal Variabel .........................................................
54
4.
Matriks Pendekatan Penelitian ..........................................................
55
5.
Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan PDRB per Kapita di Indonesia, 2006-2010 ...
82
5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah) ............................
83
6. 7. 8. 9.
Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan Pengeluaan Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 .......................
85
Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ....................................................
95
Indeks Infrastruktur menurut Jenis Infrastruktur dan Koridor Ekonomi di Indonesia, 2010 .............................................................
98
Hasil Penghitungan Indeks Infrastruktur dan Peringkatnya antar Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 ................................
99
10. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ........... 102 11. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ......................................................................................
102
12. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
104
13. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
105
14. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Korido Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM 106
xvii
15. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...................................................................................... 107 16. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
108
17. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
108
18. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ......................................................................................
109
19. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota PendekatanPengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
110
20. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
111
21. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM .........................................................
112
22. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ............................................................................
113
23. Estimas Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ..................................................................
114
24. Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Indonesia ......................................................................................
115
25. Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...............
116
26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Indonesia, 2006-2010 ........................................................
118
27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas
xviii
Tingkat Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ..........................................
119
28. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sumatera, 2006-2010.......................................................
121
29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera, 2006-2010 .............................
122
30. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Jawa, 2006-2010..............................................................
124
31. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa, 2006-2010 ....................................
124
32. Hasil Estimasin Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Kalimantan, 2006-2010 .......................................................
126
33. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan, 2006-2010 .........................
126
34. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wi;layah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sulawesi, 2006-2010 .......................................................
128
35. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi, 2006-2010 .........................................................................
128
36. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 .
129
37. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep.Maluku, 2006-2010 ........................................................
130
38. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita, 2006-2010 .......................
132
xix
39. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ......
xx
133
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008 .........................
2
2.
Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI Terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 ...........................................
5
Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007 .....................................................
6
Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen) ...........................................................
7
Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen) ........................................................
8
Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa)......................................................................
9
3. 4. 5. 6. 7.
Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009 ............................................................
11
Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008 ...................................................................
12
9.
Tingkat Disparitas di Indonesia Tahun 1991-2010 ...........................
13
10.
DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 ..............................................................................
16
11. Investasi Aktual dan Break-even.......................................................
23
12. Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) ....
28
13. Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan ...
30
14. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi ..................
39
15. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Penelitian .................................
49
16. Diagram Alur Kerangka Analisis ......................................................
77
17. Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010 ...........
80
8.
18. Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor
xxi
Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Persen) .....................................
84
19. Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan KV Williamson, 2006-2010 .............................................................
84
20. Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ......
86
21. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ..............................................................
87
22. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ..............................................................
88
23. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ..............................................................
89
24. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ..............................................................
89
25. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010..........................................
90
26. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010..........................................
90
27. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ......................................
91
28. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ......................................
93
29. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Telepon menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 .....................................
94
30. Indeks Infrastruktur menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 (persen) ....................................................................
97
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional. Disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan disparitas pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2009). Sedangkan UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choise). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation). Sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
2
7,20
8,22 6,32 4,92
6,06
-13,13
Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah) Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008 Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997 mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997). Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu. Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan (recovery). Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai 6,32 persen. Pemulihan kondisi
3
tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta kebijakankebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari, 2008). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,06 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global yang cukup berat. Terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain (Gambar 1). Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masingmasing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara perkotaan dan perdesaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sehubungan dengan permasalahan ketimpangan/disparitas antar wilayah khususnya antar pulau di Indonesia, pemerintah meluncurkan program MP3EI yang tujuannya diantaranya untuk mengurangi disparitas. Khususnya ketimpangan dalam hal pembangunan infrastruktur. Dalam implementasi MP3EI 1 dilakukan untuk
mempercepat
pengembangan 8 1
dan
memperluas
pembangunan
ekonomi
melalui
program utama (pertanian, pertambangan, energi, industri,
Peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei 2011. Tujuan awal dilakukannya MP3EI adalah untuk mencapai aspirasi Indonesia 2025, yaitu PDB sekitar USD 4,3 triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82 % atau USD 3,5 triliun akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi ekonomi. Dokumen MP3EI tidak menggantikan RPJMN 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan RPJMN 2005-2015 (Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010). Seluruh program regular pemerintah yang tidak dicakup dalam MP3EI berjalan seperti biasa sesuai dengan perencanaan. Program pengembangan MP3EI mencakup pembangunan di seluruh tanah air.
4
kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis) yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegitan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan 3 elemen utama yaitu: 1. mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu:
Koridor Ekonomi Sumatera, diposisikan sebagai “sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional”.
Koridor Ekonomi Jawa, diposisikan sebagai “pendorong industry dan jasa nasional”.
Koridor Ekonomi Kalimantan, diposisikan sebagai “pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”.
Koridor Ekonomi Sulawesi, diposisikan sebagai “pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional”.
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, diposisikan sebagai “pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”.
Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku, diposisikan sebagai “pusat pengembangan pangan, perikanan, energy, dan pertambangan nasional”.
2. memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected) 3. memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Berkaitan dengan program MP3EI tersebut, maka perlu dikaji lebih dalam bagaimana perekonomian antar koridor tersebut terkait dengan disparitas antar wilayah koridor ekonomi. Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 22,98 persen, Kalimantan menguasai 9,13 persen, Sulawesi
5
menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun 2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia. N
1000
0
Legenda: Nilai PDRB
1000
2000
3000 Kilometers
Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 % KBI 83,55 %
Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.
6
Sumber: BPS, 2003-2007 (diolah) Gambar 3 Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007 Pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia disebabkan besarnya investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Investasi di Indonesia bervariasi antar wilayah koridor ekonomi, dimana Koridor Jawa mendominasi dibanding koridor lainnya yaitu sebesar 60 persen. Investasi yang paling sedikit terdapat di Koridor Papua-Kep Maluku hanya 1 persen saja (Gambar 5). Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan persentase jumlah penduduk dan luas wilayah di 6 koridor, ternyata Jawa yang persentase penduduk terbesar dan luas wilayah terkecil namun investasi di Koridor Jawa lebih besar dibanding Koridor Papua-Kep Maluku dengan persentase penduduk terkecil dan luas wilayah terbesar (Gambar 4). Demikian pula jika dibandingkan dengan kontribusi PDRB di 6 koridor terhadap PDB Nasional dimana Koridor Jawa masih mendominasi dibandingkan koridor lainnya (Gambar 3). Beberapa masalah tersebut memicu ketimpangan wilayah di Indonesia, khususnya ketimpangan antar koridor ekonomi.
7
Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 4 Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen) Fenomena disparitas wilayah memang sudah menjadi hal yang biasa dalam perkembangan suatu wilayah karena berbagai alasan. Disparitas tersebut tidak hanya terjadi pada lingkup negara, bahkan sampai pada wilayah provinsi atau unit yang lebih rendah sekalipun. Sering kali disparitas menjadi permasalahan yang serius bagi setiap wilayah karena berpotensi menimbulkan konflik finansial, sosial, atau hubungan yang saling memperlemah antar wilayah. Wilayah hinterland akan menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sementara wilayah inti juga dapat menjadi lemah karena faktor urbanisasi yang tinggi. Penyebab disparitas menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal yaitu 1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi pasar. Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang; dan 4) Wilayah tidak berkembang.
8
Sumber: BKPM, 2010 Gambar 5 Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen) Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia. Evaluasi keberhasilan pembangunan antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia perlu dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan sesuai dengan potensi wilayahnya, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin. Data kemiskinan yang diolah dari hasil survey Susenas BPS, 2002-2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia secara absolut telah mengalami penurunan sebesar 19,2 persen, yaitu dari 38,39 juta jiwa pada tahun 2002 menjadi 31,02 juta jiwa pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen penduduk miskin berada di koridor Jawa (55,83 persen) yang merupakan persentase terbesar. Persentase penduduk miskin selanjutnya koridor Sumatera
9
(21,44 persen), Sulawesi (7,57 persen), Bali-Nusa Tenggara (7,09 persen), PapuaKep. Maluku (4,79 persen), dan terakhir koridor Kalimantan hanya 3,28 persen penduduk miskinnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi selama tahun 2005-2006 yang disebabkan karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi BBM akibat meningkatnya
harga
minyak
mentah
dunia.
Peningkatan
inflasi
akan
menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami peningkatan.
Sumber: BPS, 2002-2010 (diolah) Gambar 6 Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa) Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang berbeda. Distribusi pendapatan merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumahtangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio gini Indonesia tidak menurun sampai dengan tahun 2010, seperti ditunjukkan pada
10
Tabel 1 bahwa daerah perkotaan mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Nilai gini rasio di atas 0,3 dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan masih terus terjadi di Indonesia. Wilayah perkotaan yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah masih belum bersinergi dengan kebijakan percepatan pertumbuhan
ekonomi
sehingga
dapat
menyebabkan
disintegritas
dan
ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan sosial belum bisa tercapai. Jika Indeks Gini pada tabel 1 dibandingkan dengan Indeks Williamson pada gambar 9, maka penghitungan untuk menggambarkan kesenjangan pendapatan dengan menggunakan Indeks Gini (IG) hasilnya relatif lebih rendah. Hal ini dapat menjadi kurang akurat jika dihitung dengan Indeks Gini, karena IG tidak secara simultan dapat mengukur kesenjangan kekayaan di satu sisi dan kesenjangan pendapatan di sisi lain. Seringkali negara yang mempunyai kesenjangan kekayaan sangat ekstrim, namu IG justru justru rendah. IG juga bias terhadap sampel. Indeks Gini bias pada jumlah sampel, IG cenderung meninggi pada populasi yang rendah dan cenderung redah pada populasi yang tinggi. Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010 Tahun
Perkotaan
Indeks Gini Perdesaan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
2002
0,33
0,24
0,33
2003
0,32
0,25
0,32
2004
0,31
0,24
0,32
2005
0,32
0,25
0,33
2006
0,32
0,27
0,33
2007
0,36
0,26
0,36
2008 2009 2010
0,37 0,37 0,38
0,29 0,29 0,32
0,37 0,37 0,38
Sumber: BPS, 2002-2010
11
Disparitas antar wilayah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) menemukan bahwa pada awal pembangunan ekonomi ketimpangan pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernan et al (2010) bahwa dengan menggunakan Indeks Theil Entropi, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.
Sumber: BPS, 2006-2009 (diolah) Gambar 7 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009 Fenomena disparitas wilayah di Indonesia menjadi masalah dengan adanya perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah terjadi. Pola perubahan struktur perekonomian di Indonesia dilihat dari share sektor manufaktur lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian dan jasa yaitu sekitar 63 persen dan 21 persen di tahun 2009, namun pangsa tenaga kerja sektor pertanian masih lebih tinggi dibandingkan sektor manufaktur yaitu sebesar 40 persen. Hal ini menandakan masih adanya disparitas antar wilayah di Indonesia (Gambar 7).
12
Sumber: BPS, 2008 (diolah) Gambar 8 Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008 Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam, dan ketersediaan prasarana, serta kondisi fisik wilayah diharapkan mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah koridor ekonomi dalam MP3EI tersebut. Dengan demikian diharapkan akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Strategi yang tepat dalam pengembangan wilayah diharapkan mampu untuk mengurangi disparitas yang terjadi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia. 1.2.
Perumusan Masalah Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB antar koridor ekonomi dan provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah semakin
melebarnya
disparitas
regional.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah koridor ekonomi sesuai dengan potesinya. Adanya sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat
13
tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai indeks Williamson atau koefisien variasi Williamson menunjukkan disparitas antar provinsi di Indonesia dari tahun 1991-2010 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6 sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di Indonesia terjadi disparitas pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah.
0,90
0,82 0,82 0,82 0,79 0,79 0,79 0,79 0,80 0,80 0,79
0,80 0,70
0,63 0,63 0,61
0,69 0,70 0,66 0,66 0,66 0,67 0,68
0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0,00
Indeks Williamson
Sumber: BPS (diolah) Gambar 9 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2010 Pada tahun 1991-2010, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2008 dan 2010 yaitu 0,82. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun 2008. Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Wilayah yang mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat
14
berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kurva Williamson berlaku di Indonesia, pada periode 1993 sampai 2010. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan wilayah meningkat, hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap wilayah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun demikian tingkat disparitas pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2010 relatif konstan. Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Tabel 2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009 Koridor (1) 1. Sumatera 2. Jawa 3. Kalimantan 4. Sulawesi 5. Bali-Nusa Tenggara 6. Papua-Kep. Maluku
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
(2) 67,80 95,74 72,97 70,24 72,89 35,49
(3) 70,10 95,39 74,22 68,35 69,73 67,08
(4) 71,36 96,03 75,73 68,21 70,95 62,57
(5) 74,48 96,55 77,64 70,04 70,06 58,06
(6) 77,64 97,25 79,41 72,19 71,90 56,88
(7) 77,97 94,21 77,88 72,73 69,84 60,26
(8) 82,30 97,84 81,48 74,35 72,84 58,44
(9) 85,48 97,34 83,37 78,93 73,78 65,34
(10) 87,43 98,36 85,21 82,15 75,24 65,05
(11) 90,67 98,88 86,16 85,45 78,67 64,93
Sumber: BPS, 2000-2009 (diolah) Salah satu sarana infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah infrastruktur listrik yang diproksi dengan persentase rumahtangga pengguna listrik. Secara umum perkembangan infrastruktur listrik di semua koridor relatif mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2009, namun masih terlihat adanya disparitas dalam hal pembangunan infrastruktur listrik ini di beberapa koridor. Koridor Jawa dan Sumatera persentase rumahtangga pengguna listrik lebih tinggi dibanding Koridor Kalimantan, Sulawesi, dan Papua-Kep Maluku,
15
dimana Koridor Papua-Kep.Maluku persentase paling kecil yaitu sebesar 64,93 persen saja. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas pembangunan infrastruktur terutama listrik antara koridor di Indonesia, dan dirasakan pembangunan infrastruktur masih bias Jawa atau bias KBI dibandingkan dengan luar Jawa atau KTI. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07 persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar 10 persen (Easterly dan Serven, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi (input) dalam menghasilkan output. Terdapat hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur antar wilayah akan menimbulkan disparitas antar wilayah yang semakin melebar. Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran. Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan masingmasing daerah sehingga memungkinkan bergeraknya faktor produksi dan hasil
16
produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal. Peranan pemerintah dalam upaya meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum ), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatkan ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU dirasakan masih kurang efektif.
Sumber: BPS, 2000-2010 (diolah) Gambar 10 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 20002010 (Juta Rupiah) Gambar 10 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2010. Fakta ini mengindikasikan bahwa tujuan pemberian untuk
17
memeratakan pembangunan wilayah masih belum tercapai jika dihubungkan dengan ketimpangan di Indonesia. Ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cenderung mengalami peningkatan, bahkan ketimpangannya masih tinggi hingga mencapai 0,8 di tahun 2007. Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak negatif dan menjadi masalah dalam pembangunan dan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah. Melihat kondisi di atas, serta dalam upaya mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan menciptakan pemerataan di Indonesia, maka perlu dilakukan analisis dan identifikasi tingkat disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas tersebut. Disparitas pendapatan antar wilayah menjadi fenomena yang penting dan masih terus dikaji dan diteliti serta dianaisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, tapi juga mengkaji bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja. Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan PDRB yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses dalam proses produksi, namun kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB juga mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias. Oleh karena itu analisis konvergensi
18
wilayah berdasarkan data PDRB tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Data mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah sulit diperoleh, sehingga diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Permasalahan utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu bagaimana konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dan faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya. 1.3.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis konvergensi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis
dinamika
disparitas
pendapatan
dan
pembangunan
infrastruktur antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia. 2. Menguji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dikaji dari pendekatan pendapatan PDRB dan pendekatan pengeluaran rumahtangga. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia. 1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan bahan dalam
perumusan atau penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah bagi pemerintah dalam hal untuk mengurangi tingkat disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para investor yang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di wilayah koridor ekonomi yang pembangunannya dan pertumbuhan ekonominya masih kurang atau lambat misalnya dalam pembangunan infrastuktur agar terciptanya kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan atau disparitas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.
19
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota dan
provinsi antar koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data hanya tahun 2006-2010. Variabel infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan infrastruktur sosial dan ekonomi yaitu infrastruktur jalan, listrik, telepon, dan air bersih. Model yang dibangun berdasarkan ketersediaan data dan informasi. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis koefisien variasi Williamson, Indeks Theil, Regresi data panel statis, dan regresi data panel dinamis. Dalam menggunakan model regresi data panel statis menggunakan data di level provinsi untuk enam model untuk enam koridor ekonomi, sedangkan untuk model regresi data panel dinamis menggunakan data di level kabupaten/kota untuk enam model untuk enam koridor.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk
Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep
PDB
digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006). Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod Domar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama
22
dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: ΔY ΔK ΔI s = = = ……………………………………………………(2.1) Y K I k
Dimana: ΔY/Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output ΔK/K = laju peningkatan stok capital ΔI/I
= laju peningkatan investasi Menurut Harrod dalam Jhingan (2008), pertumbuhan ekonomi dapat
dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern
dan
output,
guna
mencapai
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2009). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
23
perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) ………………………………………………………………….(2.2) Dimana: y
= output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k
= kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y
= output
K
= kapital
L
= tenaga kerja
A
= efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL
= tenaga kerja efektif (labor augmented) Investasi break even, (δ+n+g)k
Investasiaktual dan Investasi break even,
Investasi aktual, sf(k)
0
k*
Sumber: Mankiw (2007) Gambar 11 Investasi Aktual dan Break-even Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
24
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi
break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi
pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 11, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu
25
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan factor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik.
26
Pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi dalam model Romer. Dengan demikian variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu: 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: Y
it
= K itα L1it− α K tβ dengan 0 < α <1; 0 < β <1 ……………………….(2.3)
Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal perusahaan i , Li adalah tenaga kerja perusahaan i, dan K adalah stok pengetahuan /teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur eksternalitas yang terkandung dalam peningkatan capital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secar keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lucas adalah sebagai berikut: Y
t
= AK
α t
( u t H t L t ) 1 − α H tβ ……………………………………….(2.4)
Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata
27
banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat increasing breturn to scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam poerusahaan tersebut. 2.2.
Konvergensi Menurut Barro dan Sala-i-Martin (2004), tingkat pertumbuhan jangka
panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan: .
γ
k
k f (k ) = = s. − ( n + δ ) ………………...…………………………..(2.5) k k
Dengan k negatif, maka: ⎛ . ⎜k ∂⎜ ⎜k ⎝ ∂k
⎞ ⎟ ⎟⎟ ⎠ = s . ⎡ f ' ( k ) − f ( k ) ⎤ / k < 0 …………………………………….(2.6) ⎢⎣ k ⎥⎦ .
Jika nilai k semakin kecil maka nilai k k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini mnunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan .
memiliki tingkat pertumbuhan k k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional convergence). Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 12, kondisi steady state ditentukan oleh persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana
28
spoor < srich dan k*poor < k*rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi awal k(0)poor < k(0)rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama, maka jarak antara si . f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah yang . miskin berlaku ⎛⎜ k k ⎞⎟
⎝
⎠ poor
⎛ . ⎞ . Sebaliknya, apabila daerah kaya memiliki > ⎜k k ⎟ ⎝ ⎠ rich
tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995).
n+δ srich.f(k)/k spoor.f(k)/k k(0)poor k*poor
k(0)rich
k*rich
Sumber: Barro and Salaa-i-Martin (2004) Gambar 12 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) 2.3.
Disparitas Wilayah Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah
mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan
29
rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran komposisi sektor-sektor pembangunan karena aktivitas ekonomi. Tidak mengherankan bila di setiap wilayah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah. Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Capello (2007) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 13. Ketimpangan di negara berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada
umumnya
dimanfaatkan
oleh
wilayah-wilayah
yang
kondisi
30
pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan wilayah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di wilayah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan wilayah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Koefisien Gini
Kurva Ketimpangan Regional
Pendapatan nasional bruto per kapita
Sumber: Capello (2007) Gambar 13 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan
31
2.4.
Faktor-faktor yag Mempengaruhi Disparitas Pembangunan Wilayah Menurut Murty (2000), ketimpangan pembangunan disebabkan oleh faktor-
faktor sebagai berikut: 1. Faktor geografis Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya.
Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang
dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan lebih baik. 2. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. 3. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. 4. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. 5. Faktor administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. 6. Faktor sosial
32
Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. 7. Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu: a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor.
Salah satunya lingkaran
kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju; d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya. Di Indonesia, faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi antar provinsi atau wilayah menurut Tambunan (2003) diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah 2. Alokasi Investasi 3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Wilayah 4. Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi 5. Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah 6. Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi
33
Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik. 2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa,
34
kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian, antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu
35
pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
36
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Keuangan
Pemerintah
Pusat
dan
tentang
Perimbangan
Daerah menjadi titik tolak perubahan
paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Desentralisasi
didefinisikan
sebagai
penyerahan
wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization),
Desentralisasi
Fiskal
(Fiscal
Decentralization);
dan
Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang
dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah
37
tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1995). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan Pusat - Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi disparitas pusat – daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis. 2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai
38
kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya. Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan keuangan publik optimal suatu wilayah. 2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja Pendidikan merupakan faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan dari tenaga kerja karena menentukan kualitas tenaga kerja. Modal dan sumber daya alam hanyalah merupakan faktor produksi pasif, sedangkan manusia merupakan agen yang aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO (2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut: (1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan, (2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi, (3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup, (4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih baik.
39
2.4.4. Infrastruktur Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisiskan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Kodoatie, 2003). Infrastruktur merupakan komponen penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi. Peningkatan fasilitas infrastruktur dapat mendorong perkembangan teknologi sehingga dapat dicapai efisiensi dalam kegiatan produksi. Dengan efisiensi maka akan menciptakan output dan kesempatan kerja lebih besar. Disisi lain, ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat meningkatkan investasi daerah. Menurut Dornbusch et al. (2004) investasi merupakan komponen penting permintaan agregat. Investasi juga meningkatkan modal dan meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Pada akhirnya pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya, pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dinyatakan melalui skema pada Gambar 13.
INFRASTRUKTUR (Jalan, Listrik, Air Bersih, Telepon, Pendidikan, Kesehatan)
MENDORONG PERKEMBANGAN MENINGKATKAN INVESTASI DAERAH
MENINGKATKAN
OUTPUT
OUTPUT NON
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Sumber: Panggabean (2008) Gambar 14 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur
40
Sementara itu World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas
ekonomi,
meliputi
public
utilities
(tenaga,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha atau swasta. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah. Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun
41
pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di suatu daerah atau populasi. Infrastruktur penting yang akan dianalisis dalam peneltian ini adalah infrastruktur sosial berupa sarana kesehatan dan pendidikan dan infrastruktur ekonomi yang penting yaitu listrik, air bersih, telepon, dan panjang jalan. Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang sehat dan merupakan input penting dalam kegiatan ekonomi. Negara-negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam penelitian ini diharapkan dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di seluruh wilayah Indonesia. Kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi seiring dengan kemajuan pembangunan, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Semakin banyak peralatan rumah tangga,
42
peralatan kantor serta kegiatan produksi yang mengandalkan sumber energi dari listrik karena praktis. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Telelkomunikasi juga juga mempunyai peranan penting dalam mendukung bagi pembangunan dan juga kegiatan ekonomi, serta dapat meningkatkan pertukaran informasi antar pelaku ekonomi dan antar wilayah. Selain listrik, infrastruktur ekonomi yang penting adalah air bersih, yang merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia. Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri. Kebutuhan air domestik digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Air untuk sektor pertanian digunakan untuk irigasi dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Dan dalam bidang industri, air bersih merupakan faktor penting dalam proses produksi. Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur pengangkutan yang berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi dan distribusi. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. 2.5.
Tinjauan Empiris Penelitian mengenai konvergensi, sebelumnya pernah juga dilakukan di
negara-negara Eropa yang meliputi 206 daerah NUTS II EU15 selama kurun waktu 1989 -2000 dengan menggunakan variabel pendapatan, penduduk, tingkat investasi daerah, share sektor pertanian sebagai proksi tingkat teknologi daerah, dan pembayaran dana transfer. Penelitian ini dilakukan oleh Bussoletti dan Esposti (2004) menggunakan model ekonometrik konvergensi bersyarat dalam bentuk data panel dinamis karena model ini lebih konsisten daripada model statis. Estimasi GMM diterapkan untuk memperoleh perkiraan dari parameter
43
konvergensi yang mencapai 5 sampai 7,5 persen. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kebijakan regional berupa dana transfer memberikan pengaruh yang positif sedangkan share sektor pertanian berdampak negatif terhadap pendapatan. Identifikasi konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga tahun 1983 untuk crosssection 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 1983 -2001. Konvergensi β diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial. Pemodelan dilakukan dengan statistik GI* untuk melihat cluster daerah berpenghasilan tinggi di bagian tengah dan timur serta cluster berpenghasilan rendah di bagian barat Jawa Timur. Regresi OLS dan GLS pada model konvergensi absolut tidak menemukan proses konvergensi. Proses konvergensi ini hanya ditemukan dalam model spasial konvergensi mutlak regresif untuk kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin tidak. Model cross-regresif spasial konvergensi mutlak β menemukan bahwa koefisien lag spasial pendapatan awal adalah positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan ruang yang dapat menjelaskan pertumbuhan pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur, dimana pertumbuhan dipengaruhi oleh pendapatan awal tetangganya. Wilayah yang dikelilingi oleh tetangga kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bila dikelilingi oleh tetangga miskin. Hal ini juga disebabkan spillover teknologi dan keuangan, artinya teknologi dan biaya produksi suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kawasan tetapi juga tingkat teknologi tetangganya (adanya eksternalitas dari sisi penawaran). Selanjutnya Badinger et al. (2002) melakukan penelitian konvergensi regional menggunakan sampel 196 negara-negara Eropa selama periode tahun 1985 - 1999 dengan variabel pendapatan dan investasi. Analisis dilakukan dengan memperhitungkan efek spasial dalam model data panel dinamis karena daerah yang diamati tidak menerapkan ekonomi tertutup, sehingga harus menunjukkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial. Oleh karena itu diperlukan spatial filtering untuk menghilangkan hubungan spasial tersebut sebab ketidaktahuan spasial dapat mengakibatkan hasil yang berpotensi menyesatkan. Dengan
44
menerapkan estimasi GMM terhadap variabel filter, didapatkan kecepatan mencapai konvergensi 6,9 persen dan elastisitas modal sebesar 0,43. Penelitian konvergensi pendapatan dilakukan oleh Ralhan dan Dayanandan (2005) dengan level data 10 provinsi di Kanada selama periode tahun 1981 2001, dengan menggunakan interval waktu analisis 5 tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah NPDP (Net Provincial Domestic Product) per kapita riil dan variabel independennya adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja pada usia 15 64 tahun dan investasi riil. Analisis dilakukan dengan mengadopsi model pertumbuhan
Solow
dinamik
dengan
teknik
estimasi
GMM
dan
membandingkannya dengan model data panel lainnya yaitu pendekatan fixed effect dan random effect. Hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa tingkat kemajuan teknologi dan fungsi produksi provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat tertentu dan homogen. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita mencapai 1,5 persen jika dilakukan dengan OLS dan teknik lainnya, namun meningkat hingga mencapai 6 sampai dengan 6,5 persen jika dilakukan dengan teknik GMM. Konvergensi personal disposible income di antara provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat 2,89 persen. Belajar dari negara Cina dalam mengurangi kemiskinan, de Janvry et al. (2005) meneliti bahwa tanpa kegiatan non pertanian, kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta ketimpangan akan meningkat, artinya kegiatan non pertanian memiliki pengaruh spillover yang positif terhadap produksi rumah tangga pertanian. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah pendidikan, jarak yang dekat dengan kota, wilayah sekitarnya dan pengaruh perdesaan untuk mendapatkan akses di bidang pertanian. Penelitian lainnya mengkaji ketimpangan pendapatan dari sektor non pertanian dipengaruhi oleh pendidikan, upah dan wirausaha (Liu dan Sicular, 2008). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan walaupun pendapatan di sektor pertanian menurunkan ketimpangan (Oyekale et al., 2006).
Peningkatan
ketimpangan dipengaruhi oleh urbanisasi, tempat tinggal yang berada di daerah yang miskin, ukuran rumah tangga, pendidikan formal kepala rumah tangga,
45
lamanya sakit, keterlibatan dalam pekerjaan yang dibayar dan bisnis
non
pertanian, adanya kredit formal dan informal. Sementara itu Omilola (2009) meneliti fenomena ketimpangan pendapatan yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu penghasilan rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi, tadah hujan dan non pertanian. Ketimpangan terkecil berada pada rumah tangga yang pendapatannya berasal dari non pertanian, sedangkan yang terbesar adalah rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi. Ding dan Knight (2008) melakukan penelitian dengan model Solow yang diperluas dengan memasukkan variabel modal manusia dan perubahan struktural selama periode tahun 1980 - 2000 dengan interval waktu analisis 5 tahunan untuk mengurangi sensitifitas siklus bisnis dari data tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah PDB riil per pekerja di Cina dan negara-negara pembandingnya yang diteliti. Sedangkan variabel dependen meliputi saham tabungan diproksi dengan investasi di PDB riil, data penduduk usia 15-64 tahun untuk menghitung penduduk usia kerja, modal manusia diproksi dengan rata-rata lama sekolah di atas usia 15 tahun, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi internasional bervariasi, dimana investasi modal fisik, perubahan struktur kerja, konvergensi bersyarat dan pertumbuhan penduduk merupakan sumber utama perbedaan pertumbuhan Cina dan negara-negara lainnya. Firdaus dan Yusop (2009) dalam penelitiannya menguji konvergensi pendapatan antar provinsi di Indonesia dengan menggunakan data panel dinamis dalam kurun waktu 1983-2003. Hasil penelitiannya dengan metode FD-GMM menyimpulkan bahwa proses konvergensi antar provinsi terjadi di Indonesia, namun kecepatan konvergensi 0,29 persen relatif sangat lambat dibandingkan dengan penelitian di negara berkembang lainnya. Dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa penggunaan dengan data panel statis dan dinamis memberikan hasil yang berbeda dalam hal konvergensi. Wahyuni
(2011)
dalam
penelitiannya
mengenai
konvergensi
dan
ketimpangan wilayah yang dilakukan dengan menggunakan 105 kabupaten/kota di Pulau Jawa dalam kurun waktu 2001-2009. Untuk melihat konvergensi, variabel dependen yang digunakan dalam pelitiannya menggunakan pendekatan
46
PDRB per kapita dan pengeluaran perkapita per kabupaten, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah investasi dan tenaga kerja. Hasil penelitiannya menyimpulkkan bahwa melalaui pendekatan PDRB perkapita dengan panel dinamis metode FD-GMM konvergensi pendapatan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi, sedangkan berdasarkan pendekatan pengeluaran rumahtangga perkapita ternyata konvergensi terjadi di Jawa. Konvergensi juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah baik dengan pendekatan PDRB dan pengeluaran, sedangkan Jawa Timur konvergensi terjadi dengan pendekatan pengeluaran perkapita, dari pendekatan PDRB tidak terjadi konvergensi. Faktorfaktor yang ssecara signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan wilayah dari hasil penelitianya diantaranya share manufaktur, pendidikan tenaga kerjan, infrastruktur kesehatan, listrik, dan air bersih. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini dilakukan berdasarkan wilayah koridor ekonomi pada kabupaten/kota di Indonesia yaitu menganalisis disparitas wilayah berdasarkan pembagian wilayah koridor ekonomi Indonesia. Variabel infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini ditambahkan selain dari penelitian terdahulu diantaranya adalah persentase rumahtangga
yang
menggunakan
listrik,
persentase
rumahtangga
yang
menggunakan air bersih, persentase rumahtangga pengguna telepon, dan rasio jumlah kelas SMA terhadap jumlah penduduk usia 16-18 tahun untuk pendekatan infrastruktur pendidikan. Selain itu variabel independen yang berpengaruh terhadap disparitas juga ditambahkan selain kontribusi sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB, sehingga diharapkan lebih dapat menjelaskan fenomena yang ada. 2.6.
Kerangka Pemikiran Pembangunan perekonomian di suatu wilayah diupayakan untuk mencapai
tingkat kesejahteraan yang optimal walaupun pada tingkat pembangunan berbeda. Penelitian perekonomian antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia ini memasukkan variabel tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share (kontribusi) sektor pertanian dan sektor manufaktur karena menentukan output produksi setiap wilayah. Adanya keseimbangan umum dalam setiap input
47
produksi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini menggabungkan
peranan
pemerintah
dan
swasta
(termasuk
didalamnya
rumahtangga) dalam meningkatkan output perekonomian, yang merupakan proksi dari pendapatan regional. Peranan pemeintah dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran, sesuai dengan format APBD sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Variabel yang dikaji dalam sisi penerimaan adalah pajak, sedangkan dari sisi pengeluaran adalah belanja rutin yang merupakan belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan dan belanja pembangunan yang merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Selanjutnya peranan swasta dilihat menurut faktor-faktor produksi, meliputi investasi, tenaga kerja dan pendidikan tenaga kerja. Ukuran kesejahteraan yang biasanya digunakan dalam penelitianpenelitian kewilayahan adalah PDRB, yang menunjukkan output regional yang dihasilkan, tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksinya. Sekalipun pemilik faktor produksinya berasal dari luar wilayah, namun jika kegiatan ekonominya dilakukan di wilayah tersebut, tetap dihitung dalam PDRB. Oleh karena itu sebagian ukuran kesejahteraan rakyat, PDRB mempunyai kelemahan karena kurang mampu merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Ukuran kesejahteraan masyarakat yang seyogyanya digunakan adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi seluruh masyarakat. Karena ukuran ini sangat sulit diperoleh, penelitian ini menggunakan proksi jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumahtangga. Angka ini diharapkan lebih menjelaskan seberapa besar kebutuhan masyarakat telah terpenuhi jika dilihat dari sisi konsumsi. Agar dapat melihat konvergensi dari sisi pendapatan wilayah dan pendapatan rumahtangga, penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan melalui total output yang dihasilkan setiap wilayah yang tercermin dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Data yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000, sehingga menghilangkan inflasi. Kedua, pendekatan pendapatan rumahtangga secara agregat yang diproksi dengan menggunakan data pengeluaran rumahtangga yang diperoleh dari data
48
Susenas BPS. Data pengeluaran juga telah dideflasi dengan menggunakan deflator PDRB. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut, diharapkan adanya implikasi kebijakan yang lebih dapat diaplikasikan secara nyata demi kesejahteraan masyarakat.
Dengan
demikian,
kebijakan
yang
diambil
nantinya
bisa
memperbaiki perekonomian antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia yaitu adanya pertumbuhan ekonomi dengan disertai pemerataan antar wilayah tersebut.
49
Perekonomian antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia Tingkat Pembangunan Ekonomi
Share Pertanian
Swasta
Pemerintah
Rutin
Share Manufaktur
Pembangunan Investasi
Tenaga kerja
Pendidikan Tenaga Kerja
Konvergensi Infrastruktur Jalan Listrik Air Bersih Telepon Kesehatan
Disparitas Wilayah
Pendekatan PDRB adhk 2000
Pendekatan Pengeluaran Rumahtangga
Strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas antar wilayah koridor ekonomi
Gambar 15 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian
50
2.7.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka pemikiran di atas
maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Diduga, ketimpangan antar wilayah koridor ekonomi dan di dalam koridor ekonomi terjadi di Indonesia. 2. Diduga, ketimpangan yang terjadi di koridor Jawa lebih tinggi dibanding lima koridor ekonomi lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, BaliNusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku). 3. Diduga, konvergensi yang dihitung dari pendekatan PDRB per kapita maupun pengeluaran rumahtangga terjadi dalam koridor ekonomi di Indonesia. 4. Diduga, penyediaan infrastruktur (listrik, air bersih, telepon, dan jalan diharapkan akan mengurangi disparitas antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia. 5. Diduga, tingkat pendidikan tenaga kerja yang mendorong peningkatan produktivitas ekonomi diharapkan juga dapat mengurangi ketimpangan wilayah.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2006 – 2010, yang terdiri dari: 1.
PDRB kabupaten/kota atas dasar harga konstan 2000.
2.
Pengeluaran rumah tangga yang diagregasi dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota dan telah dideflasi dengan menggunakan tahun dasar 2000, yang diperoleh dari deflator PDRB.
3.
Investasi kabupaten/kota, yang merupakan penggabungan dua variabel: i. Investasi pemerintah berupa belanja barang modal pemerintah kabupaten/kota ii. Investasi perumahan yang dilakukan oleh rumah tangga, yang diperoleh dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota.
4.
Jumlah tenaga kerja kabupaten/kota.
5.
PDRB perkapita kabupaten/kota dan provinsi atas dasar harga konstan 2000, yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk.
6.
Pengeluaran rumah tangga perkapita kabupaten/kota dan provinsi, yang dihitung dengan cara membagi pengeluaran rumah tangga dengan jumlah penduduk.
7.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data kontribusi sector pertanian terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis disparitas.
8.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi, dan data kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis disparitas.
9.
Tingkat pendidikan tenaga kerja kabupaten/kota, yang diproksi dengan share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja. Alasan penggunaan variabel ini digunakan sebagai
52
variabel instrumen untuk analisis konvergensi adalah adanya hubungan yang langsung antara kualitas tenaga kerja dengan produktivitas dalam kegiatan produksi. Sedangkan dalam analisis disparitas, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas digunakan untuk menghilangkan bias yang disebabkan adanya lag variabel pendidikan dalam kegiatan ekonomi. Alasan lain digunakan tingkat pendidikan SMA keatas karena tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas diasumsikan berpengaruh paling besar terhadap perekonomian suatu wilayah dalam setiap koridor ekonomi di Indonesia. 10. Pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota yang digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis disparitas. Variabel ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja bunga, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja tak terduga dan belanja lain-lain. 11. Pajak daerah kabupaten/kota, hanya digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi. 12. Persentase rumahtangga pengguna listrik pada level kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis disparitas. 13. Persentase rumahtangga pengguna air bersih pada level kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis disparitas. 14. Persentase rumahtangga pengguna telepon pada level kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis disparitas. 15. Panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Kondisi jalan yang baik dan sedang diharapkan lebih menentukan kelancaran kegiatan ekonomi dibandingkan jalan yang rusak, sehingga
53
16. Rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk di masing-masing provinsi, sebagai proksi infrastruktur kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat sampai ke level kecamatan. Sumber data yang digunakan tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, BKPM dan data-data pendukung lainnya yang relevan.
54
Tabel 3 Definisi Operasional Variabel No
Variabel
Penjelasan
Simbol
(1)
(2)
(3)
(4)
Merupakan alat ukur untuk melihat ketimpangan wilayah dilihat dari pendapatan antar provinsi di setiap koidor, berdasarkan deviasi PDRB per kapita provinsi dari ratarata PDRB setiap koridor 1 Koefisien Variasi Williamson
2 Indeks Theil
3 Investasi
4 Tenaga kerja
Koefisien variasi Williamson yang dihitung berdasarkan 1. pendekatan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 Koefisien variasi williamson yang dihitung berdasarkan 2. pendekatan pengeluaran rumah tangga yang telah di deflasi menggunakan harga tahun 2000
Merupakan salah satu ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Theil umumnya membandingkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah aktifitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita. Merupakan gabungan dari investasi yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota (pengeluaran untuk infrastruktur diasumsikan sebagai modal) dan pengeluaran untuk perumahan yang dilakukan oleh rumah tangga Jumlah tenaga kerja kabupaten/kota
5 Pengeluaran rutin pemerintah
Pengeluaran rutin pemerintah provinsi, yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belaja bunga, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja tak terduga, dan belanja lain-lain
6 Share pertanian
Share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000
7 Share manufaktur 8 Infrastruktur listrik 9 Infrastruktur air bersih 10 Infrastruktut telepon 11 Infrastruktur jalan 12 Infrastruktur kesehatan
Share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 Persentase rumahtangga yang menggunakan listrik Persentase rumahtangga yang menggunakan air bersih Persentase rumahtangga yang menggunakan telepon Panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk provinsi
CVW
cvpdrb
cvcons
Td
inv
labour
govexp
agri manu electric water phone road puskes
Definisi operasional varabel yang digunakan dalam penelitian ini, dijelaskan pada Tabel 3, sedangkan tujuan penelitian dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada Tabel 4.
55
Tabel 4. Matrik Pendekatan Penelitian No
Tujuan
1
Menganalisis dinamika disparitas pendapatan dan pembangunan infrastruktur antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.
2
Menguji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dikaji dari pendekatan pendapatan wilayah dan pendekatan pengeluaran rumahtangga. Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar koridor ekonomi di Indonesia.
3
Metode Analisis Analisis deskriptif, KV Williamson, Indeks Theil, dan Indeks infarstruktur
Variabel
Data dan Sumber Data
Persentase rumahtangga pengguna listrik, telepon, air bersih, panjang jalan, dan rasio puskesmas per kapita, PDRB kabupaten/kota, Jumlah Penduduk per kabupaten/kota
PDRB provinsi, PDRB nasional, Survei Susenas BPS
Regresi data panel dinamis
PDRB perkapita adhk 2000 kabupaten/kota, pengeluaran rumahtangga yang di deflasi menggunakan harga tahun 2000, jumlah tenaga kerja, investasi yang merupakan gabungan dari investasi pemerintah dan rumahtangga.
PDRB atas dasar harga konsta 2000, Survei Susenas BPS, Kementerian Keuangan
Regresi data panel statis
KV Williamson berdasarkan PDRB per kapita adhk 2000 dan pengeluaran rumahtangga, pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian terhadap PDRB, share manufaktur terhadap PDRB, share tenaga kerja pendidikan SMA keatas terhadap tenaga kerja, persentase rumahtangga pengguna listrik, air bersih, dan telepon, panjang jalan kondisi baik dan sedang, serta rasio ju mlah puskesmas terhadap jumlah penduduk.
PDRB perkapita adhk 2000, Susenas, dan data BPS lainnya.
3.2. Metode Analisis 3.2.1. Koefisien Variasi Williamson Koefisien variasi Williamson digunakan untuk mengukur perbedaan nilai output rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah. Ukuran ini biasanya menggunakan data PDRB perkapita untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah, yang dinyatakan dengan rumus:
56
, 0 < CVw < 1…………….............................(3.1) Dimana: CVW : Koefisien Variasi Wiilliamson : PDRB per kapita wilayah ke-i (juta rupiah) : rata-rata PDRB per kapita seluruh wilayah (juta rupiah) : jumlah penduduk wilayah ke-i (jiwa) P
: jumlah penduduk seluruh wilayah (jiwa)
Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota di koridor tertentu. Penelitian ini juga menghitung koefisien variasi Williamson untuk mengukur perbedaan nilai pengeluaran rumah tangga rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah secara agregat. Selanjutnya pengeluaran rumah tangga tersebut dibagi dengan jumlah penduduk untuk mendapatkan nilai pengeluaran rumah tangga perkapita. Dalam menguji konvergensi data yang digunakan sampai level kabupaten/kota dalam setiap koridor ekonomi. 3.2.2. Analisis Indeks Theil Sebagaimana diketahui, setiap provinsi mempunyai perbedaan kandungan sumberdaya alam, perbedaan kondisi geografis, konsentrasi kegiatan ekonomi serta alokasi dana pembangunan sehingga akan mengakibatkan orientasi maupun dampak pembangunan yang diterima untuk masing-masing daerah juga akan berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu timbulnya masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah. Salah satu ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks Theil. Indeks Theil umumnya membandingkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah aktifitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita. Secara matematis formula untuk menghitung ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan indeks Theil menurut Sjafrizal (2008) dapat ditulis sebagai berikut:
57
Td =
k
∑ 1
⎡ ⎧ yi ⎫ ⎤ ⎨ ⎬ ⎧ y i ⎫ log ⎢ ⎩ Y ⎭ ⎥ ................................................(3.2) ⎥ ⎢ ⎨ Y ⎬ ⎩ ⎭ ⎢ ⎧⎨ n i ⎫⎬ ⎥ ⎢⎣ ⎩ N ⎭ ⎥⎦
Keterangan : Td
= Indeks Theil (disparitas total)
yi
= PDRB per kapita provinsi ke- i di setiap koridor (juta rupiah), i=1,2,3,...,k
Y
= Jumlah PDRB provinsi di setiap koridor (juta rupiah)
Ni
= jumlah penduduk provinsi ke- i di setiap koridor (jiwa), i=1,2,3,...,k
N
= jumlah penduduk setiap koridor (jiwa)
⎧ y i ⎫ log ⎨ Y ⎬ ⎩ ⎭
⎡ ⎧ yi ⎢ ⎨⎩ Y ⎢ ⎢ ⎧⎨ n i ⎣⎢ ⎩ N
⎫⎤ ⎬⎥ ⎭ = disparitas parsial ⎥ ⎫⎥ ⎬ ⎭ ⎦⎥
Range nilai Indeks Theil: 0 < Td <1. Kriteria penilaiannya adalah jika : a. Nilai Td mendekati 1 (satu), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin memburuk (semakin timpang). b. Nilai Td mendekati 0 (nol), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin membaik. Ada beberapa kelebihan penggunaan indeks theil sebagai ukuran ketimpangan yaitu : a. Indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisis menjadi lebih luas. b. Indeks ini dapat menghitung kontribusi (dalam persentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup tinggi.
58
3.2.3. Analisis Indeks Infrastruktur Penghitungan indeks infrastruktur dalam penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau membandingkan pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi. Komponen infrastruktur yang dilibatkan dalam penghitungan indeks dibatasi sesuai dengan infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini (infrastruktur listrik, air bersih, telepon, jalan, dan puskesmas). Untuk masing-masing infrastruktur digunakan beberapa nilai penghitungan, yaitu yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas. Penghitungan indeks infrastruktur dilakukan dengan 3 tahap. Tahap pertama yaitu menstandarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score. Proses ini bertujuan menghilangkan perbedaan yang disebabkan penggunaan satuan. Tahap kedua yaitu menghitung indikator variabel komposit untuk masingmasing jenis infrastruktur (listrik, air bersih, telepon, jalan, dan puskesmas). Tahap ketiga yaitu menghitung indeks infrastruktur untuk setiap provinsi dengan menghitung rata-rata dari kelima infrastruktur tersebut. Langkah-langkah penghitungan indeks infrastruktur: 1.
Standarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score dengan rumus sebagai berikut: (3.3) Dimana z adalah hasil normalisasi, x adalah nilai dari variabel yang akan dinormalisasikan,
adalah rata-rata dari variabel x dari semua koridor
ekonomi, dan
adalah standar deviasi dari variabel yang akan
dinormalisasikan. 2.
Menghitung indikator variabel komposit untuk masing-masing jenis infrastruktur, dengan rumus: (3.4) Dimana k adalah indikator variabel komposit untuk setiap infrastruktur, n adalah jumlah komponen untuk setiap infrastruktur (n=2).
3.
Menghitung indeks infrastruktur untuk setiap koridor ekonomi:
59
(3.5) Dimana i adalah indeks infrastruktur dan m adalah jumlah infrastruktur yang dilibatkan (m=5).
3.2.4. Analisis Data Panel Statis Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu, yang merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang
lebih
banyak
dan
beragam,
meminimalkan
masalah
kolinieritas
(collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi serta mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. Meskipun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang
60
pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan yit merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan sebagai
, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada
waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
;
dengan
;
=
...............................(3.6)
menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t.
Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut: ;
;
.......................................................(3.7)
dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y = X 'β + ε
.....................................................................................(3.8)
dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai .......................................................................................(3.9) Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas
61
sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut: .........................................................................(3.10) dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut: ..............................................................................(3.11) dan diasumsikan bahwa uit merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan Xit . Sedangkan αi disebut sebagai efek individual (time invariant person specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual. Pertama, bila αi diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1,2,…, N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel independen r. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai ............................................................(3.12) dengan asumsi bahwa uit ~ iid (0,
). Penduga dari model ini mampu
menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000),
62
dugaan untuk paremeter β dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai .....(3.13) Sedangkan estimasi untuk intersep α dituliskan sebagai ........................................................(3.14) Matriks kovarian untuk fixed effect estimator
, dengan uit ~ iid (0,
)
diberikan oleh: ...........................(3.15) dengan ……….….....…(3.16) Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana berbeda dari
berbeda dari
, dan tidak menjelaskan kenapa
). Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β, menekankan
bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu lainnya. Kedua, bila
diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut
sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam model. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai: ...........................................................(3.17) dengan
dan memiliki rata-rata nol. Di sini,
merepresentasikan
gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain: ..............................................................................(3.18) ............................................................................(3.19) ......................................................................(3.20) ...........................................................................(3.21) ...................................................................(3.22) ................................................. (3.23) ...................................................................(3.24)
63
Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada persamaan (3.17) dituliskan menjadi
, dengan ...................................................................................(3.25) ...............................................................(3.26) ..............................................................(3.27) .........................................(3.28)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor )’ maka dapat dituliskan bahwa ................................................................................(3.29) dengan
...........................(3.30)
Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error dapat diturunkan sebagai
..................................(3.31)
dengan
menyatakan matriks identitas berdimensi N dan
merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan Y pada persamaan (3.18) direpresentasikan sebagai vektor stack dari
yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan
struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y = Xβ + w
................................................................................(3.32)
dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GL untuk persamaan regresi (3.32) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian mendefinisikan matriks penimbang
. Kemudian dengan
dan mengalikannya ke kedua ruas
pada persamaan (3.42) diperoleh hasil transformasi sebagai berikut:
64
...........................................................................(3.33) atau ............................................................................(3.34) sekarang = PE (ww’)P = PVP = Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (3.41) dapat dituliskan sebagai ............…............................................(3.35) 3.2.5. Analisis Data Panel Dinamis Seiring dengan populernya model time series, muncul pula pemikiran untuk merumuskan model data panel yang memasukkan lag dari peubah dependen sebagai regresor dalam regresi. Hal ini berakibat munculnya masalah endogeneity, sehingga bila model doestimasi dengan pendekatan fixed-effects maupun random effects akan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten (Verbeek, 2008 dalam Firdaus, 2011). Untuk memecahkan masalah ini, Arellano dan Bond mengusulkan pendekatan method of moment atau biasa disebut dengan Generalized method of moments (GMM) (Arellano dan Bond dalam Firdaus, 2011). Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: ...........................(3.36) dengan
menyatakan suatu skalar,
matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini,
menyatakan matriks berukuran 1xK dan diasumsikan mengikuti model oneway
error component sebagai berikut: ................................................................................(3.37)
65
dengan
menyatakan pengaruh individu dan
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena fungsi dari dari
maka
juga merupakan fungsi dari
. Karena
maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor
. Dalam merupakan
adalah fungsi dengan
. Hal
ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila
tidak berkorelasi
serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: ...........................................(3.38) dengan
di mana
dan
satu sama lain. Penduga fixed effect bagi
saling bebas
diberikan oleh ....................................................(3.39)
dengan dari
dan
. Untuk menganalis sifat
, dapat disubstitusi persamaan (3.44) ke (3.45) untuk memperoleh: ..............................................(3.40)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk
dan T tetap, bentuk
pembagian pada persamaan (3.50) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila
. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan
bahwa: ....(3.41) sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang
66
populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: (i) First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM); dan (ii) System GMM (SYS-GMM). Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan First-difference GMM (FDGMM atau AB-GMM) yaitu menggunakan transformasi first difference untuk pendekatan variabel instrumen untuk mendapatkan estimasi mana
yang konsisten di
dengan T tertentu dengan mengeliminasi pengaruh individual
sebagai berikut: .............(3.42) namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga inkonsisten karena
dan
yang
berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen (Baum, et al., 2003). Sebagai contoh, dengan
akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, tetapi tidak berkorelasi dengan
berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi
berkorelasi , dan
tidak
disajikan sebagai
.......................................................(3.43) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah ...........................(3.44)
67
Penduga (3.40) merupakan penduga alternatif dimana sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi
digunakan
disajikan sebagai
.........................................(3.45) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah .............(3.46) Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
.......(3.47) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
..................................………….(3.48) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV(2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000) menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh untuk t = 2 , untuk t = 3 , untuk t = 4
68
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan ....................................................................(3.49) sebagai vektor tranformasi error, dan ...................................(3.50)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks
berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai ................................................................................(3.51) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, persamaan (3.47) dituliskan sebagai ...............................................................(3.52) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui,
akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni ....(3.53) dengan
adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan persamaan (3.60) terhadap
akan diperoleh penduga
GMM sebagai ...(3.54) Sifat dari penduga GMM (3.51) bergantung pada pemilihan selama
definit positif, sebagai contoh
yang konsisten
yang merupakan matriks
identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi
. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks
69
kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi ...................................(3.55) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian
, matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
consistent estimator bagi
dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel yakni two step estimator ..................................................(3.56) Dengan
menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa
pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
autokorelasi pada
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
Dengan catatan di bawah restriksi ..................................(3.57) matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator) ........................................................(3.58) Sebagai catatan bahwa (3.55) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error
diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
persamaan (3.37) dapat dituliskan kembali menjadi .......................................................(3.59) Parameter persamaan (3.59) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat
70
terhadap
, sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila
strictly exogenous dalam arti
tidak berkorelasi dengan sembarang error
,
akan diperoleh ; untuk setiap s dan t sehingga
............................................(3.60)
dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada
menjadi
besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen ; untuk setiap t
....................................................(3.61)
Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
.............(3.62)
Bila variabel di mana
tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus dan lag
diperoleh
tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan , untuk s ≥ t. Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai ..............................................(3.63) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks
kemudian dapat
disesuaikan. 3.3. Spesifikasi Model 3.3.1. Konvergensi Wilayah Kajian ini dilakukan dengan mengasumsikan fungsi Cobb-Douglas constant return to scale dengan output (Y) dan tiga input, yaitu kapital (K), tenaga kerja (L) dan Labor augmenting technological progress (A): ,0<α<1
...........................................(3.64)
Angkatan kerja dan pertumbuhan teknologi pada tingkat konstan dan eksogen: ............................................................................(3.65) ...........................................................................(3.66)
71
Dimana n adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan g adalah tingkat pertumbuhan kemajuan teknologi. L(0) adalah kondisi semula dari tenaga kerja dan A(0) adalah kondisi semula dari teknologi. Jika: adalah output per efektif dari unit tenaga kerja adalah kapital per efektif dari unit tenaga kerja Maka:
.............................................................(3.67)
Sehingga evolusi dari kapital dinotasikan dengan: .......................................................(3.68) Dimana s adalah saving rate dan δ adalah tingkat depresiasi kapital. The steady state capital stock (
) dapat ditentukan dengan membuat
persamaan (3.64) sama dengan nol, sehingga: ......................................................................(3.69) Dengan mensubstitusikan persamaan (3.69) ke dalam fungsi produksi, maka the steady state output per effective unit tenaga kerja dapat diturunkan. Dalam bentuk logaritma natural dapat dituliskan sebagai berikut: .............................................(3.70) Tingkat konvergensi (λ) adalah tingkat dimana output per efektif unit tenaga kerja mendekati nilai steady state-nya, dan dinyatakan dengan: ........................................................(3.71) ...................................(3.72) Dimana
.
Persamaan (3.50) mewakili proses partial adjustment dimana nilai target optimal variabel dependen ditentukan oleh variabel independen periode saat ini. Jika output dihitung dalam per efektif unit, persamaan tersebut dapat ditulis: atau ...................................................(3.73) Jika ln y(t) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.72) dan kedua ruas dikurangkan dengan
maka diperoleh:
72
z Dimana
...............(3.74)
sama dengan output perkapita dan z sebagai log output
perkapita pada steady state. Misalkan β = – (1 – ς) sebagai parameter pendapatan pada t1, maka kecepatan konvergensi dapat ditulis:
.......................................(3.75)
Persamaan (3.71) dapat ditulis sebagai model autoregressive dari model pertumbuhan menjadi:
.........................................(3.76) Atau dalam literatur data panel ditulis: .....(3.77) Dimana
dan .
Persamaan akhir untuk (3.77) merupakan model yang digunakan dalam literatur tentang konvergensi pendapatan yang dilakukan oleh Firdaus (2006), ditulis sebagai berikut: ....................................(3.78) Dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Penelitian ini membandingkan dua model yang masing-masing variabel independennya sama, sedangkan variabel dependennya berbeda untuk melihat konvergensi dari pendekatan pendapatan wilayah dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian ini mengacu pada penelitian Tri Wahyuni (2011), yaitu: ........(3.79) Dimana yit dalam masing-masing model adalah variabel dependen yaitu: (i) PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 untuk melihat pendapatan wilayah setelah meniadakan unsur inflasi.
73
(ii) Pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000, yang merupakan proksi untuk melihat pendapatan rumah tangga. Proses konvergensi terjadi apabila koefisien dari (1 – α) kurang dari satu, dengan tingkat konvergensi dinyatakan sebagai – ln (α). i adalah kabupaten/kota dalam koridor tertentu, dan t adalah waktu penelitian yaitu 2006-2010. Adanya lag variabel dependen (
) pada ruas kanan menunjukkan bahwa
model yang digunakan adalah model dinamis. Tambahan variabel instrument yang dipilih selain yang dilakukan program Stata v.10 juga menggunakan data kabupaten/kota, yaitu pajak, pendidikan tenaga kerja, share sektor pertanian, share sektor manufaktur, dan infrastruktur. Variabel independen yang diteliti adalah investasi dan tenaga kerja. Variabel investasi merupakan gabungan investasi yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk pembangunan dan investasi rumah tangga untuk perumahan yang diagregatkan untuk wilayah kabupaten/kota. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan cross section sebanyak 495 kabupaten/kota di Indonesia yang terbagi dari enam koridor ekonomi. 3.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah Permasalahan ketiga penelitian ini dijawab menggunakan dua model dengan variabel independen yang sama namun variabel dependennya berbeda, dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan regional dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian dinyatakan dengan: ln yit = γ + θ1 ln gov expit + θ2 ln agriit + θ3 ln manuit + θ4 ln eduit + + θ5 ln electricit + θ6 ln waterit + θ7 ln phoneit + θ8 ln roadit + θ9 puskesit + vit
……….……..(3.80)
Dimana: y
: koefisien variasi Williamson, yang dihitung dengan menggunakan dua pendekatan: (i) cvpdrb
: PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000
(ii) cvcons
: pengeluaran rumah tangga yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000
govexp
: pengeluaran rutin pemerintah per kapita
agri
: share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000
manu
: share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000
74
edu
: share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja.
electric
: persentase rumahtangga pengguna listrik
water
: persentase rumahtangga pengguna air bersih
phone
: persentase rumahtangga pengguna telepon
road
: panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada di masingmasing provinsi per kapita
puskes
: rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk
i
: provinsi di setiap koridor
t
: tahun penelitian, yaitu dari 2006 – 2010.
3.4. Prosedur Analisis Parameter model pada persamaan (3.79) akan diestimasi dengan menggunakan data panel statis. Pemilihan model yang terbaik dilakukan dengan uji Hausman. Ide dasar uji Hausman adalah pengomparasi dua penduga, yaitu penduga FEM dan REM. Hipotesis nol menyatakan bahwa Xit dan αi tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif menyatakan yang sebaliknya (berkorelasi). Uji Hausman mengasumsikan bahwa sehingga penduga REM (
) akan konsisten dan efisien jika Xit dan αi tidak
berkorelasi dan penduga penduga FEM ( penduga REM (
untuk setiap s dan t sedemikian
) konsisten bagi β jika kondisi
) yang konsisten tidak berlaku.
Pendugaan uji Hausman dilakukan dengan pembedaan (difference) antara penduga FEM dan penduga REM yang dinyatakan sebagai vektor difference (
). Suatu kovarian bagi vektor difference tersebut diperlukan untuk
mengevaluasi signifikansinya. Secara umum, hal ini memerlukan suatu estimasi kovarian antara
dan
. Karena penduga bersifat efisien jika kondisinya
seperti pada hipotesis nol, dapat ditunjukkan bahwa matriks kovarian bagi vektor difference (
) adalah: ...........................................(3.81)
Nilai statistik uji Hausman menggunakan statistik Wald sebagai berikut: .....................(3.82)
75
dengan
menyatakan penduga bagi matriks kovarian. Pada kondisi hipotesis nol,
statistik
mengikuti sebaran Chi-square (χ2) dengan derajat bebas k, dimana k
merupakan jumlah parameter dalam β. Analisis model pada persamaan (3.80) dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis pendekatan First Difference Generalized Method of Moment (FDGMM). Kriteria pemeriksaan model yang dilakukan adalah validitas dan konsistensi model. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi masalah validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid), artinya variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM. Nilai statistik uji Sargan dihitung sebagai berikut: .............................(3.83) Pada kondisi hipotesis nol, nilai statistik tersebut mengikuti sebaran Chi-square , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model. Uji autokorelasi untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan FD-GMM dilakukan dengan statistik Arellano-Bond (AB) m1 dan m2. Model yang konsisten ditunjukkan dengan p-value m1 yang signifikan dan p-value m2 yang tidak signifikan (Arellano dalam Verbeek, 2000). 3.5. Kerangka Analisis Tahap pertama dalam penelitian ini adalah melihat aspek – aspek yang mengindikasikan adanya disparitas pembangunan antar wilayah koridor dan provinsi di Indonesia, baik dari perekonomiannya, sarana dan prasarana infrastruktur sosial ekonomi, pengeluaran pemerintah, dan lainnya. Selain itu juga melihat aspek-aspek adanya konvergensi dari pendapatan di suatu wilayah, yaitu dengan pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumahtangga. Kemudian untuk melihat sejauh mana tingkat diparitas antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dengan melalui Koefisien Variasi Williamson dengan menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumahtangga perkapita yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS. Sementara Indeks Theil digunakan untuk melihat dekomposisi ketimpangan
76
antara wilayah koridor dan dalam wilayah koridor (antara provinsi di setiap koridor) di Indonesia. Kemudian menganalisis dinamika perkembangan infrastruktur antar koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan infrastruktur sosial dan ekonomi yaitu panjang jalan, listrik, air bersih, dan telepon. Setelah diketahui tingkat disparitas antar wilayah maka langkah selanjutnya adalah tingkat konvergensi antara koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data panel dinamis menggunakan dua model dimana variabel dependennya berbeda yaitu PDRB perkapita dan pengeluaran rumahtangga per kapita dan variabel independennya sama yaitu investasi dan tenaga kerja. Penghitungan tersebut dengan menggunakan program Stata v. 10 Analisis berikutnya dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu mengetahui faktor yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antara koridor ekonomi di Indonesia digunakan data panel statis. Analisis yang digunakan adalah regresi data panel statis. Tahapan ini juga menggunakan dua model dalam setiap koridor dimana variabel dependennya menggunakan pendekatan PDRB perkapita atas dasar harga konstan 2000 dan pendekatan pengeluaran perkapita. Sementara itu variabel independen yang digunakan adalah pengeluaran rutin pemerintah provinsi, share pertanian dan manufaktur terhadap PDRB harga konstan 2000, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas terhadap total tenaga kerja, persentase rumahtangga pengguna listrik, telepon, dan air bersih, panjang jalan yang dengan kondisi baik dan sedang, dan rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk. Kemudian dari beberapa hasil analisis yang diperoleh akan digunakan sebagai bahan masukan perencanaan kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan disparitas antara wilayah koridor ekonomi dan provinsi di Indonesia. Kebijakan yang terkait dengan disparitas pembangunan antar wilayah ini, misalnya dengan meningkatkan akses terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang perekonomian dengan pembanghunan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing juga sarana pendidikan dan kesehatan. Alokasi pengeluaran pemerintah juga perlu dikaji ulang dengan mengutamakan pembangunan investasi jangka panjang yang lebih merata dan dapat dinikmati masyarakat luas, serta kebijakan lainnya. Kerangka pendekatan studi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 16.
77
Perekonomian antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia (Konvergensi dan Disparitas Wilayah)
Perbedaan antar wilayah: 1. SDA (faktor endownment) 2. Laju pertumbuhan ekonomi 3. Tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi 4. Kinerja pembangunan (antar prov, kota-desa, jawa-luar jawa, KBI-KTI) 5. Investasi (PMA+PMDN)
Dinamika pembangunan infrastruktur dan tingkat disparitas antar wilayah koridor ekonomi
Konvergensi: - Pendapatan wilayah (PDRB) - Pengeluran rumahtangga (Susenas)
-
-
Uji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat konvergensi antar wilayah koridor ekonomi
- Investasi - Tenaga Kerja
Analisis Deskriptif, CV Williamson, dan Indeks Theil
-
Regresi Data Panel Dinamis
Implikasi Kebijakan
Gambar 16 Diagram Alur Kerangka Analisis
PDRB tinggi, kemiskinan juga tinggi Share pertanan turun, tapi share TK pertanian masih tinggi Dana perimbangan tinggi, tapi ketimpangan masih
Faktor-faktor penyebab disparitas wilayah antar koridor ekonomi
- Pengeluaran rutin pemerintah - Share pertanian - Share manufaktur - Share TK berpendidikan SMA keatas - Persentase rumahtangga pengguna listrik - Persentase rumahtangga pengguna air bersih - Persentase rumahtangga pengguna telepon - Panjang jalan kondisi baik dan sedang - Rasio puskesmas terhadap ju mlah penduduk
Regresi Data Panel Statis
IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1.
Dinamika Disparitas Wilayah
Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan lebih mencerminkan aspirasi, potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan dengan pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan ekonomi di masing-masing kabupaten/kota telah menghasilkan pencapaian yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota serta potensi perekonomiannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan di Indonesia maupun di wilayah koridor ekonomi lainnya dalam skala apapun telah menghasilkan perbedaan-perbedaan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi sebagai implikasi dari proses pembangunan dapat dilakukan dengan pengukuran indeks Theils. Pada hakekatnya, output suatu wilayah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda, maka patut dipertanyakan apakah ada kaitan antara kekayaan wilayah dan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan berdampak terhadap tingginya kesejahteraan
masyarakat
merupakan
hasil
dari
kebijakan
pemerataan
pembangunan antar daerah yang dijalankan pemerintah. Terutama melalui instrument fiskal, seperti transfer dari pusat, transfer antar daerah dan kebijakan lain, serta pembangunan infrastruktur wilayah. Salah satu alat untuk mengukur pemerataan pembangunan adalah dengan Indeks Theil. Berdasarkan indeks theil tahun 2006-2010, terlihat bahwa tingkat pemerataan aktifitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB per kapita antar kabupaten/kota dalam (intra) koridor ekonomi masih rendah. Namun perkembangannya menunjukkan kondisi yang lebih baik yaitu berada pada range 0,609 dan 0,587. Perkembangan disparitas pembangunan yang dihitung dengan Indeks Theil menunjukkan penurunan dari tahun 2006 sebesar 0,746 turun menjadi 0,717 pada tahun 2010 (Gambar 17). Disparitas antar koridor ekonomi
80
(berada pada range 0,518 dan 0,512) lebih rendah dibandingkan dengan disparitas dalam koridor ekonomi. Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga karena adanya perbedaan sumber daya. Demikian pula disparitas pembangunan di Indonesia masih tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson di Indonesia berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 yang artinya pendapatan antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia masih sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian. (Tabel 5).
0,8000 0,7500 0,7000 0,6500 0,6000 0,5500 0,5000 2006 Disparitas antar koridor
Gambar 17
2007
2008
Disparitas dalam koridor
2009
2010
Disparitas total (Indeks Theil)
Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010
Disparitas kabupaten/kota dalam (intra) koridor ekonomi relatif lebih rendah dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Disparitas paling tinggi terjadi di korodor ekonomi Papua-Kep Maluku yaitu pada kisaran antara 0,91 sampai 0,96. Angka ini masih sangat tinggi disparitas pendapatan di koridor ekonomi Papua-Kep Maluku dikarenakan di koridor tersebut masih dalam tahap awal pembangunan dimana masih mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga
81
disparitas masih tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan yang tinggi antar kabupaten/kota di koridor Papua-Kep. Maluku dalam hal pendapatan wilayah. Jika dilihat dari PDRB per kapita paling tinggi terjadi di kabupaten Mimika di tahun 2010 dengan PDRB per kapita sebesar 324.716 miliar rupiah, hal ini nisa disebabkan di wilayah tersebut banyak penambangan. Namun disisi lain terdapat pendapatan wilayah yang sangat jauh kesenjangannya yaitu Kabupaten Nduga dengan PDRB per kapita hanya sebesar 2.016 miliar rupiah. Namun demikian, angka tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2010. Disparitas yang tertinggi setelah koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku adalah koridor ekonomi Jawa, dimana koefisien variasi Williamson berada pada kisaran antara 0,88 sampai dengan 0,91, artinya pendapatan antar wilayah kabupaten/kota di koridor ekonomi Jawa masih sangat timpang. Hal ini disebabkan terdapat kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita terlalu tinggi yaitu Kota Jakarta Pusat sebesar 251.814 miliar rupiah, namun ditemukan juga wilayah yang mempunyai PDRB per kapita sangat rendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 4.966 miliar rupiah. Keadaan inilah yang membuat tingkat disparitas di koridor Jawa masih tinggi, namun demikian angka ini mengalami kecenderungan menurun selama periode penelitian. Disparitas terendah terjadi di koridor ekonomi Sulawesi, berada pada kisaran antara 0,32 sampai dengan 0,38 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota semakin kecil, keadaan ini dapat ditunjukkan dengan PDRB per kapita antar kabupaten/kota yang tidak terlalu senjang misalnya kabupaten yang dengan pendapatan wilayah atau PDRB per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2010 paling kecil adalah kabupaten Gorontalo Utara sebesar 5.595 miliar rupiah sedangkan kabupaten yang dengan PDRB paling besar adalah Luwu Timur sebesar 34.289 miliar rupiah. Hal ini hampir serupa dengan wilayah koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Kalimantan. Koefisien variasi Williamson koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara berada pada kisaran antara 0,33 sampai dengan 0,35, sedangkan koridor ekonomi berada pada kisaran antara 0,48 sampai dengan 0,50 dan mengalami tren menurun. Keadaan ini sangat berbeda jauh jika
82
dibandingkan dengan koridor Papua-Kep. Maluku dan koridor Jawa yang kesenjangannya masih tinggi antar kabupaten/kota di dalam koridor. Tabel 5 Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan PDRB Per Kapita di Indonesia, 2006-2010 Wilayah Koridor Ekonomi
2006
2007
2008
2009
2010
Indonesia
0,77
0,76
0,76
0,76
0,75
1. Sumatera
0,51
0,50
0,50
0,50
0,50
2. Jawa
0,91
0,90
0,89
0,89
0,88
3. Kalimantan
0,50
0,49
0,49
0,49
0,48
4. Sulawesi
0,38
0,36
0,35
0,33
0,32
5. Bali-Nusa Tenggara
0,35
0,35
0,34
0,33
0,33
6. Papua-Kep. Maluku
0,96
0,95
0,94
0,93
0,91
Disparitas pendapatan yang tinggi tidak serta merta disebabkan karena PDRB per kapita di setiap koridor ekonomi yang rendah pula. Keadaan ini bisa dibuktikan dengan melihat perkembangan PDRB per kapita di koridor ekonomi Kalimantan dari 2006-2010 yang tinggi, yaitu berkisar antara 12 sampai 13 juta rupiah. Dimana disparitasnya termasuk rendah yang masih dibawah disparitas nasional yaitu berkisar antara 0,48 sampai 0,50. Lain halnya dengan koridor Papua-Kep. Maluku diparitasnya tertinggi diatas disparitas nasional antara 0,91 sampai 0,96. Demikian pula dengan koridor Jawa, dimana disparitasnya tinggi namun PDRB per kapita masih di bawah koridor Kalimantan. (Tabel 5.1). Terkait adanya kebijakan DAU 2008 yaitu kebijakan “Hold Harmless”, disebutkan dalam kebijakan tersebut bahwa wilayah yang menerima DAU tahun berikutnya minimal sama atau lebih dari tahun sebelumnya. Kebijakan ini ternyata malah berakibat pada tingginya disparitas, Akibatnya di beberapa koridor ekonomi disparitasnya masih tinggi.
83
Tabel 5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah)
Wilayah 2006 Koridor Ekonomi Indonesia 8 238 1. Sumatera 8 256 2. Jawa 8 214 3. Kalimantan 12 582 4. Sulawesi 4 837 4 069 5. Bali-Nusa Tenggara 6. Papua-Kep. Maluku 5 340 Sumber: BPS, 2006-2010 (diolah)
2007
2008
2009
2010
8 631 8 508 8 620 12 767 5 091 4 215 5 426
9 016 8 770 9 032 13 184 5 436 4 672 5 418
9 289 8 912 9 356 13 357 5 723 4 566 5 837
9 723 9 245 9 839 13 805 6 100 4 756 6 275
Pertumbuhan ekonomi naik tahun 2006-2010 (BPS, 2011), namun pertumbuhan per kapita turun. Pertumbuhan per kapita turun disebabkan karena jumlah penduduk yang relative tinggi setiap tahun, karena pembaginya besar sehingga PDRB per kapitanya menjadi kecil/turun. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya
ketidakmerataan
antar
wilayah
sehingga
mengakibatkan
ketimpangan/disparitas pendapatan. Kontribusi sektor pertanian di koridor ekonomi Sulawesi merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah koridor ekonomi lainnya di Indonesia. Koridor ekonomi Sulawesi memainkan peranan penting pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 29,35 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2010. Oleh karena itu kegiatan industri di koridor ekonomi Sulawesi lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKKR (Industri Kerajinan Rumah Tangga).
84
35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 2006 2007 1. Sumatera
2008
2009 2. Jawa
2010
3. Kalimantan
4. Sulawesi
5. Bali‐Nusa Tenggara
6. Papua‐Kep‐Maluku
Gambar 18 Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia, Tahun 2006-2010 (Persen) Selanjutnya disparitas antar wilayah kabupaten/kota di koridor ekonomi Sumatera berada pada kisaran antara 0,50 sampai dengan 0,51. Angka ini cenderung stagnan dalam periode penelitian.
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 2006
2007
2008
2009
2010
1. Sumatera
2. Jawa
3. Kalimantan
4. Sulawesi
5. Bali‐Nusa Tenggara
6. Papua‐Kep‐Maluku
Gambar 19 Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan KV Williamson, 2006-2010 Adanya sejumlah koridor ekonomi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di wilayah
85
tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar koridor ekonomi di Indonesia. Keadaan ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah. Koefisien variasi Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas wilayah. Hasil perhitungan koefisien variasi Williamson antar koridor ekonomi di Indonesia pada kurun waktu 2006 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 19. Koridor Jawa dan Papua disparitasnya tinggi melalui penghitungan dengan Indeks Williamson disebabkan karena pembangunan perekonomian yang kurang merata di koridor tersebut. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kab/kota yang PDRB per kapita yang sangat tinggi, namun ada kab/kota di koridor tersebut yang sangat rendah, sehingga disparitasnya tinggi. Terkait juga dengan kebijakan DAU, dimana di Kaltim, DKI, Riau tidak mendapat DAU karena dianggap wilayah tersebut sudah mampu dari penghitungan PDRB dan faktor lainnya. Dilihat dari partumbuhan ekonominya Koridor Jawa naik tapi kemiskinannya juga naik. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi di Jawa, juga karena urbanisasi yang tidak diimbangi dengan keahlian yang sesuai dan pada akhirnya berakibat di Koridor Jawa kemiskinan menjadi tinggi. Tabel 6
Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010
Wilayah Koridor Ekonomi
Pendekatan
2006
2007
2008
2009
2010
Indonesia
0,32
0,31
0,34
0,31
0,30
1. Sumatera
0,28
0,27
0,28
0,27
0,27
2. Jawa
0,33
0,32
0,34
0,31
0,30
3. Kalimantan
0,26
0,26
0,28
0,26
0,25
4. Sulawesi
0,23
0,22
0,24
0,19
0,17
5. Bali-Nusa Tenggara
0,21
0,20
0,22
0,19
0,18
6. Papua-Kep-Maluku
0,38
0,37
0,38
0,35
0,33
Disparitas wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan disparitas dengan menggunakan PDRB per kapita. Disparitas tertinggi dan
86
terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Indonesia tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,17 sampai dengan 0,38. Disparitas dalam wilayah selama periode penelitian relatif menurun dibandingkan dengan disparitas dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita (Tabel 6).
0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
Gambar 20
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2006-2010
Tingkat disparitas yang dihitung dengan pendekatan rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Meskipun dalam penghitungan inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun 2000. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan disparitas pada tahun 2008. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun
2008
berdampak
terhadap
peningkatan
disparitas
yang
dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia dan wilayahwilayah koridor ekonomi.
87
0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 21 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2006-2010 Jika disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia dibandingkan, selisih terbesar adanya perbedaan tingkat ketimpangan dengan dua pendekatan terjadi di koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku dan koridor Jawa. Disparitas wilayah berdasarkan pengeluaran rumah tangga di koridor ekonomi Sulawesi lebih rendah dibandingkan koridor-koridor ekonomi lainnya, artinya kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah relatif merata. Disparitas wilayah dengan pendekatan PDRB per kapita di koridor ekonomi Papua merupakan yang terbesar dibandingkan koridor-koridor ekonomi lainnya di Indonesia. Disparitas dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga juga relatif tinggi, namun selisih perbedaan ketimpangan dengan dua pendekatan tersebut juga besar.
88
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 22 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 Perbedaan hasil penghitungan koefisien variasi Williamson dengan dua pendekatan dapat menggambarkan bagaimana pendapatan wilayah didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Perbandingan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Indonesia dan beberapa koridor di Indonesia dengan pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 20-26. Semakin besar selisih hasil penghitungan dengan dua pendekatan, menunjukkan bahwa semakin besar pula pendapatan yang digunakan oleh orang lain yang tidak tinggal di wilayah tersebut atau dapat dikatakan terjadi transfer pendapatan ke wilayah lain. Adanya investasi yang berasal dari luar daerah juga menjadi pemicu utama terjadinya transfer pendapatan karena pemiliknya akan mengambil pendapatan yang diperoleh dari wilayah tersebut dan dibelanjakan di luar daerah. Oleh karena itu penanaman modal dari luar daerah perlu mengkaji pengaruh negatif adanya pengurasan sumber daya lokal dan aliran pendapatan pemilik ke luar wilayah.
89
0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 23 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 Perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Kalimantan dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,48 sampai 0,5, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,25 sampai 0,28 (Gambar 23).
0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 24 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 Pada gambar 24 memperlihatkan perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Sulawesi dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,32 sampai 0,38, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,17 sampai 0,23
90
0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 25 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor BaliNusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 Perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,33 sampai 0,35, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,18 sampai 0,22 (Gambar 25).
1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 2006
2007
Pendekatan PDRB
2008
2009
2010
Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga
Gambar 26 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor PapuaKep.Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 Pada gambar 26 memperlihatkan perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,91 sampai 0,96, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,33 sampai 0,38. Disparitas kabupaten/kota di koridor tersebut merupakan tertinggi dibandingkan koridor ekonomi lainnya dalam MP3EI.
91
4.2
Dinamika Pembangunan Infrastruktur
4.2.1 Infrastruktur Listrik Listrik merupakan salah satu energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN. Namun dalam penelitian ini diproksi dengan menggunakan pendekatan persentase rumah tangga yang menggunakan listrik. Perkembangan rasio elektrifikasi dari tahun 2006 sampai 2010 cenderung mengalami peningkatan di semua wilayah koridor ekonomi di Indonesia (lihat Gambar 27). Peningkatan yang cukup tajam terjadi di koridor ekonomi PapuaKep. Maluku pada tahun 2006 sebesar 58,44 persen meningkat menjadi 71,05 persen di tahun 2010, namun pada koridor ini berada pada posisi terendah di banding koridor lainnya. Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik terbesar terjadi di koridor ekonomi Jawa yaitu sebesar 99 persen di tahun 2010, hal ini dimungkinkan bahwa di koridor tersebut lebih dekat dengan pusat pemerintahan sehingga kebutuhan infrastruktur khususnya listrik lebih cepat terpenuhi. 110,00 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 2006
2007
2008
2009
2010
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali‐Nusa Tenggara
Papua‐Kep. Maluku
Indonesia
Gambar 27 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010
92
Secara nasional, persentase rumah tangga yang menggunakan listrik terus meningkat dari tahun ke tahun walaupun dengan kecepatan yang relatif sama untuk setiap tahunnya. Selama kurun waktu 2006 – 2010, persentase rumah tangga pengguna listrik terus meningkat dari 90,62 persen di tahun 2006 meningkat menjadi 94,15 persen di tahun 2010.
4.2.2 Infrastruktur Air Bersih Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003). Kerangka kebijakan air bersih di Indonesia secara teknis dan operasional diimplementasikan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM sebagai lembaga ekonomi satu-satunya penyelenggara dan penyedia air bersih di Indonesia. Implikasinya, kinerja PDAM menjadi ukuran penting dan menjadi harapan bagi keberhasilan kebijakan sektor air bersih. Pada penelitian ini penggunaan infrastruktur air bersih hanya dengan menggunakan pendekatan persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih. Perkembangan rasio rumah tangga pengguna air bersih dari tahun 2006 sampai 2010 cenderung mengalami peningkatan di semua wilayah koridor ekonomi di Indonesia (Gambar 28). Peningkatan yang cukup tajam terjadi di koridor ekonomi Jawa pada tahun 2006 sebesar 77,49 persen meningkat menjadi 90,64 persen di tahun 2010, dan pada koridor ini berada pada peringkat tertinggi di banding koridor lainnya. Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik
93
terendah terjadi di koridor ekonomi Kalimantan yaitu hanya sebesar 22,90 persen di tahun 2010. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih memperoleh air bersih melalui pompa, sumur, mata air atau membeli dari pedagang air.
100,00 90,00 80,00
Sumatera
70,00
Jawa
60,00
Kalimantan
50,00
Sulawesi
40,00
Bali‐Nusa Tenggara
30,00 20,00
Papua‐Kep. Maluku
10,00
Indonesia
0,00 2006
Gambar 28
2007
2008
2009
2010
Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010
Secara nasional, persentase rumah tangga yang menggunakan air bersih selama tahun 2006 sampai 2010 selalu mengalami peningkatan setiap tahunnnya. Pada tahun 2006 persentase rumah tangga pengguna air bersih sebesar 49,69 persen dan meningkat menjadi 60,87 persen di tahun 2010. Berdasarkan Gambar 28, pada tahun 2010 koridor ekonomi Jawa merupakan pengguna air bersih terbesar yaitu sebesar 90,64 persen, disusul koridor Bali-Nusa Tenggara sebesar 67,63 persen, Sulawesi sebesar 63,60 persen, Sumatera sebesar 53,88 persen, Papua-Kep. Maluku sebesar 49,83 persen, dan terakhir koridor ekonomi Kalimantan sebesar 22,90 persen. Hal ini dimungkinkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih didominasi oleh masyarakat di koridor ekonomi Jawa dalam hal pemanfaatannya.
94
4.2.3 Infrastruktur Telepon Selain listrik dan air bersih, infrasruktur yang juga penting dalam mendorong perkembangan wilayah, dan menciptakan output, serta peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah adalah infrastruktur telepon. Peningkatan infrastruktur telepon ini dapat mendorong perkembangan teknologi terutama konunikasi sehingga dapat dicapai efisiensi dalam kegiatan produksi. Namun dalam penelitian ini, karena keterbatasan data maka infrastruktur telepon yang digunakan dengan pendekatan persentase rumah tangga pengguna telepon.
50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 2006 Sumatera Sulawesi Indonesia
2007
2008 Jawa Bali‐Nusa Tenggara
2009
2010 Kalimantan Papua‐Kep. Maluku
Gambar 29 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Telepon menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010
Perkembangan rasio rumah tangga pengguna telepon dari tahun 2006 sampai 2010 terus mengalami peningkatan di semua wilayah koridor ekonomi di Indonesia, baik penggunaan telepon kabel maupun telepon selular (Gambar 29). Persentase rumah tangga pengguna telepon tertinggi terjadi di koridor ekonomi Jawa pada tahun 2010 sebesar 44,69. Persentase rumah tangga yang menggunakan telepon terendah terjadi di koridor ekonomi Papua-Kep.Maluku yaitu sebesar 29,55 persen di tahun 2010.
95
4.2.4 Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan ”penularan” pertumbuhan ekonomi ke wilayah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan spillover atau trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana
jalan
mengembangkan
yang
minim
perekonomian
dan
buruk
diantaranya
menjadi
hambatan
pengembangan
dalam
industry,
pemdistribusian faktor produksi, serta barang dan jasa. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan wilayah. Tabel 7
Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 Panjang Jalan (km)
Wilayah Koridor Ekonomi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku
2006 74.808 76.469 20.561 54.033 18.579 10.843
2007 82.067 77.012 21.800 50.937 20.205 12.338
2008 89.325 77.554 23.038 47.840 21.830 13.832
2009 98.319 82.190 33.040 46.500 22.213 16.645
2010 105.966 84.710 34.553 49.868 22.137 19.018
Perkembangan panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang, baik jalan Negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota dari tahun 2006 sampai 2010
96
mengalami peningkatan di semua wilayah koridor ekonomi di Indonesia (Tabel 7). Peningkatan yang cukup tajam terjadi di koridor ekonomi Sumatera yang juga urutan pertama di bandingkan koridor ekonomi lainnya di Indonesia, pada tahun 2006 panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang sebesar 74.808 km meningkat menjadi 105.966 km di tahun 2010. Koridor ekonomi Jawa berada pada uruta kedua yaitu panjang jalan yang kondisi baik dan sedang sebesar 84.710 km di tahun 2010. Hal ini dimungkinkan bahwa di koridor ekonomi Sumatera sudah berkembang secara baik di bidang ekonomi dan social dengan sektor-sektor unggulannya seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batu bara. Panjang jalan yang kondisi baik dan sedang terendah terjadi di koridor ekonomi Papua-Kep.Maluku yaitu sebesar 10.843 km pada tahun 2006 meningkat menjadi 19.018 km di tahun 2010. Walaupun suatu wilayah memiliki panjang jalan yang lebih dibandingkan daerah lainnya tetapi karena jumlah kendaraan bermotor yang terlalu banyak maka akan menghasilkan tingkat mobilitas yang rendah (nilai rasio tinggi). Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor, misalnya di DKI Jakarta dengan pertumbuhan panjang jalan rata-rata per tahun hanya 2 persen dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. 4.2.5 Penghitungan Indeks Infrastruktur Penghitungan indeks infrastruktur dalam penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau membandingkan pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi. Komponen infrastruktur yang dilibatkan dalam penghitungan indeks dibatasi sesuai dengan infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini (infrastruktur listrik, air bersih, telepon, jalan, dan puskesmas). Untuk masing-masing infrastruktur digunakan beberapa nilai penghitungan, yaitu yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas.
97
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1.Sumatera
2.Jawa
3.Kalimantan 4.Sulawesi 2006
Gambar 30
2010
5.Bali‐Nusa 6.Papua‐Kep. Tenggara Maluku
Indeks Infrastruktur menurut Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 (persen)
Peringkat indeks infrastruktur sangat ditentukan oleh kinerja tiap indikator yang digunakan. Indikator yang digunakan hanya dibatasi lima jenis infrastruktur. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penghitungan indeks infrastruktur (Gambar 30) dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2006, koridor ekonomi yang masuk dalam tiga peringkat teratas yaitu: Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sedangkan koridor ekonomi yang mempunyai indeks infrastruktur peringkat tiga terendah yaitu: Bali-Nusa-Tenggara, Kalimantan, dan Papua-Kep. Maluku. Selama kurun waktu 2006 hingga 2010, koridor ekonomi yang mengalami penurunan peringkat indeks infrastruktur yaitu Bali-Nusa Tenggara. Pada tahun 2006 koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara menduduki peringkat ke-4 sedangkan pada tahun 2010 turun menjadi peringkat ke-5. Penurunan ini disebabkan penurunan panjang jalan yang kondisi baik dan sedang di koridor Bali-Nusa Tenggara selama kurun waktu 2006 hingga 2010. Sedangkan koridor ekonomi yang mengalami peningkatan peringkat indeks infrastruktur yaitu Kalimantan. Pada tahun 2010 koridor ekonomi Kalimantan menduduki peringkat 4, sebelumnya (tahun 2006) koridor ekonomi ini berada pada urutan ke-5 (Tabel 9). Kenaikan peringkat ini disebabkan karena kinerja kedua jenis infrastruktur terutama telepon dan panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang meningkat. Jika diamati untuk masing-masing infrastruktur maka semua infrastruktur listrik, air bersih, telepon, jalan, dan puskesmas mempunyai jangkauan nilai yang
98
paling besar, hal ini dapat diartikan bahwa kondisi kelima infrastruktur tersebut, setiap koridor ekonomi di Indonesia sangat beragam. Nilai yang terkecil untuk indeks infrastruktur listrik berada di koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku yaitu 32,00 persen (Tabel 8). Kecilnya indeks infrastruktur listrik ini mengindikasikan sangat kurangnya listrik di wilayah koridor ekonomi tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Keadaan ini juga terjadi untuk indeks infrastruktur telepon dan jalan. Indeks infrastruktur listrik yang terbesar berada di koridor ekonomi Jawa (99,50 persen). Tidak dapat dipungkiri bahwa koridor ekonomi Jawa yang merupakan juga dekat dengan ibukota negara mempunyai infrastruktur listrik yang paling memadai baik kuantitas maupun kualitas. Tabel 8
Indeks Infrastruktur menurut Jenis Infrastruktur dan Koridor Ekonomi di Indonesia, 2010
Wilayah Koridor Ekonomi 1 Sumatera 2 Jawa 3 Kalimantan 4 Sulawesi 5 Bali-Nusa Tenggara 6 Papua-Kep. Maluku Rata-rata Indonesia No
Indeks Infrastruktur (%) Rata-rata Listrik Air Bersih Telepon Jalan Puskesmas (%) 64,19 26,96 50,72 97,25 61,70 60,16 99,50 99,50 99,50 99,50 32,00 86,00 61,97 32,00 67,87 47,70 47,55 51,42 42,80 71,26 39,40 69,76 53,01 55,25 38,73 96,21 33,31 44,50 35,73 49,69 32,00 39,31 32,00 32,00 99,50 46,96 56,53 60,87 53,80 65,12 54,91 58,25
Indeks infrastruktur listrik, air bersih, dan telepon, koridor ekonomi Jawa menduduki peringkat pertama pada tahun 2010, namun untuk infrastruktur panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang peringkat pertama diduduki oleh koridor ekonomi Sumatera. Pada indeks infrastruktur kesehatan peringkat pertama diduduki oleh koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku. Hal ini dimungkinkan karena jumlah penduduk di koridor tersebut lebih sedikit dibandingkan koridor lainnya sehingga rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk di koridor Papua indeksnya tertinggi. Indeks infrastruktur puskesmas untuk koridor Jawa adalah yang terkecil, hal ini bisa dimungkinkan bahwa walaupun jumlah puskesmas di koridor tersebut jumlahnya relatif banyak, namun fasilitas infrastruktur tersebut masih belum sesuai yang diharapkan karena secara umum kebutuhan juga terus meningkat. Sehingga di koridor Jawa untuk indeks infrastruktur puskesmas nilainya rendah yang disebabkan jumlah penduduk di koridor Jawa sangat banyak yaitu sekitar 57
99
persen dari penduduk Indonesia. Akibatnya nilai indeknya menjadi rendah karena infrastruktur puskesmas belum menjangkau seluruh penduduk di koridor Jawa. Jika dilihat dari rata-rata indeks infrastruktur dari dari lima infrastruktur yang dihitung, maka koridor Jawa termasuk tinggi nilainya. Dengan kata lain koridor Jawa memiliki ketersediaan fasilitas infrastruktur yang lebih baik dibandingkan lima koridor ekonomi lainnya. Keadaan infrastruktur yang tinggi di koridor Jawa tersebut berbanding lurus dengan nilai PDRB per kapita atas dasar harga konstan yang tinggi pula. Namun dengan nilai indeks infrastrktur baik, tidak selalu diikuti dengan PDRB per kapita. Tabel 9 Hasil Penghitungan Indeks Infastruktur dan Peringkatnya antar Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 No 1 2 3 4 5 6
Wilayah Koridor Ekonomi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku
2006 Indeks Peringkat Kategori 56,95 2 tinggi 85,86 1 tinggi 50,42 5 tinggi 54,25 3 tinggi 48,53 4 sedang 45,96 6 sedang
Indeks 60,16 86,00 51,42 55,25 49,69 46,96
2010 Peringkat Kategori 2 tinggi 1 tinggi 4 tinggi 3 tinggi 5 sedang 6 sedang
Keterangan : rendah 0 – 29; sedang 30 – 50; tinggi 51 – 100
Sebaran indeks infrastruktur tahun 2006 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Koridor ekonomi yang mempunyai indeks infrastruktur tinggi jika nilainya lebih besar dari 50 persen. Koridor ekonomi dengan indeks sedang jika nilainya antara 30-50 persen, dan rendah jika nilainya kurang dari 30 persen. Indeks infrastruktur tertinggi tidak berubah, baik di tahun 2006 dan 2010 terjadi di koridor Jawa, sedangkan indeks terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku. Hal ini mengindikasikan disparitas pembangunan inrastruktur antara antara koridor di Indonesia masih tinggi, terlihat dari hasil indeks koridor antar KBI dan KTI yang diwakili dengan koridor Jawa dan Papua-Kep. Maluku yang terlalu jauh rangenya.
V. KONVERGENSI WILAYAH ANTAR KORIDOR DI INDONESIA 5.1.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Indonesia Estimasi konvergensi Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB per kapita dan pegeluaran rumah tangga per kapita. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi secara makro yaitu di level wilayah kabupaten/kota dan secara mikro yaitu di level rumah tangga. Tingginya pendapatan wilayah tidak secara otomatis menyebabkan tingginya kesejahteraan masyarakatnya karena dimungkinkan pendapatan di wilayah tersebut dimiliki oleh orang asing atau dengan kata lain hasil produksi dibawa ke wilayah lain dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat lain. Proses konvergensi pendapatan dapat dilihat dari koefisien parameter autoregresive dari variabel PDRB per kapita. Nilai dari koefisien yt-1 yang kurang dari 1 menunjukkan adanya proses konvergensi. Sedangkan nilai yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota divergen. Model data panel dinamis FD-GMM menunjukkan bahwa koefisien yt-1 adalah 1,0512 dan signifikan pada level 5 persen. Artinya proses konvergensi tidak terjadi di Indonesia. Dengan kata lain, pendapatan di Indonesia divergen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,5325. Artinya variabel instrumen yang digunakan valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB
m2
m1
yang
yang tidak signifikan pada
tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. Penghitungan konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Indonesia berbeda dengan hasil penelitian Firdaus dan Yusop (2009). Dimana dalam penelitian tersebut menghitung konvergensi pendapatan antar provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 1983-2003 (proses konvergensi antar provinsi terjadi di Indonesia dengan metode FD-GMM, namun kecepatan konvergensi 0,29 persen relatif sangat lambat dibanding penelitian di negara berkembang lainnya). Sedangkan pada penelitian ini pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia justru tidak terjadi.
102
Tabel 10 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,1428 0,0009 0,0323
1,0512 0,0009 0,0709 NA 116,0900 -4,9678 -0,1030 5,0676 Sargan Test Catatan: variabel tenaga kerja digunakan sebagai instrumen
ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2
P-value 0,0000 0,3530 0,0280 0,0000 0,0000 0,9180 0,5325
Fenomena ini disebabkan adanya pusat-pusat industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian yang berada pada Daerah Tingkat II atau kabupaten/kota menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah,
mempunyai
potensi
menyesatkan
hasil
penelitian.
Jika
tidak
memperhitungkan efek spasial (spatial filtering) dalam model data panel dinamis (Badinger, et al., 2002) Tabel 11 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
Estimated/Coefficients 0,6699 0,0087 0,2242 40,0572 10,6400 -8,4626
Standard Error 0,0448 0,0044 0,1869
P-value 0,1350 0,0480 0,2300 0,0139 0,0000
AB m2 0,4559 0,74557 Sargan Test 0,0013 21,8504 Catatan: variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas digunakan sebagai instrumen
Estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variable pengeluaran rumah tangga per kapita. Nilai dari koefisien dari yt-1 sebesar 0,6699 mengindikasikan adanya konvergensi pengeluaran rumah tangga di antara kabupaten/kota di Indonesia, dengan tingkat konvergensi sebesar 40,06 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan,
103
hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid ditolak, dengan p-value 0,0013. Hal ini menunjukkan bahwa variabel instrumen yang digunakan tidak valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB
m2
m1
yang
yang tidak signifikan pada
tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. Hasil penelitian ini sesuai dengan pemikiran Solow yang menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang cukup tinggi
dibandingkan
dengan
tingkat
konvergensi
pendapatan
wilayah
kabupaten/kota di Indonesia. Berbeda dengan hasil penelitian Ralhan dan Dayanandan (2005), yang menghitung konvergensi antar provinsi dengan interval waktu analisis 5 tahunan di Kanada. Konvergensi disposable income justru lebih kecil (2,89 persen) dibandingkan dengan konvergensi pendapatan per kapita (6 sampai 6,5 persen). Cukup tingginya konvergensi pada level rumah tangga di Indonesia karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga. Berbeda dengan konvergensi PDRB per kapita yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga. Namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan daya beli masyarakat. 5.2.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sumatera Perekonomian di Koridor Ekonomi Sumatera dodominasi oleh sektor
manufaktur, dengan kontribusi mencapai 40,60 persen pada tahun 2010. Sektor ini mampu menjadi penopang utama perekonomian karena di dukung oleh bahan baku dari sektor pertanian, industri, serta penambangan diantaranya batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Koridor Sumatera dalam MP3EI mempunyai visi, yaitu
104
menjadi pusat produksi dan pengolahan hasil bumi, serta menjadi lumbung energi nasional. Secara empiris, proses konvergensi pendapatan wilayah di koridor ekonomi Sumatera disajikan pada Tabel 12. Koefisien yt-1 sebesar 0,6609 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi pendapatan wilayah di koridor Sumatera sebesar 41,41 persen. Hasil uji Sargan dengan statsistik sebesar 6,8707 (p-value 0,3330), artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB m1 yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB m2 yang tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. Tabel 12 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,0366 0,0001 0,0211
0,6609 0,0001 ln inv -0,0036 ln labour Implied λ 41,4118 329,2200 Wald-Test AB m1 -2,4010 AB m2 -1,0071 6,8707 Sargan Test Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen
P-value 0,0000 0,3020 0,8650 0,0000 0,0164 0,3139 0,3330
Estimasi konvergensi kabupaten/kota dengan pendekatan pendapatan wilayah di koridor Sumatera berbeda dengan penelitian konvergensi kabupaten/kota di Indonesia. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di koridor Sumatera menuju ke satu titik tertentu (konvergen) yang dimungkinkan karena pengaruh sumber daya alam yang mendorong besarnya kontribusi sektor manufaktur terutama industri pengolahan.
105
Tabel 13 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FDGMM Parameters ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
Estimated/Coefficients 0,0971 0,0176 0,4691 233,2314 12,7300 -5,4954
Standard Error 0,0802 0,0067 0,4146
AB m2 -0,2359 Sargan Test 7,9405 Catatan: variabel share sektor manufaktur digunakan sebagai instrumen
P-value 0,2260 0,0090 0,2580 0,0053 0,0000 0,8135 0,2425
Ukuran kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan pengeluaran rumah tangga per kapita dapat lebih mencerminkan daya beli penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan pengukuran pendapatan wilayah dengan menggunakan PDRB per kapita melibatkan penduduk di luar wilayah yang memiliki kegiatan ekonomi di dalam wilayah. Proses konvergensi pengeluaran rumah tangga terjadi di koridor Sumatera, ditandai dengan koefisien yt-1 yang kurang dari 1 pada model yaitu sebesar 0,0971. Tingkat konvergensi yang dihasilkan sebesar 233,23 persen, jauh lebih besar dibandingkan estimasi konvergensi dengan menggunakan PDRB per kapita. Kriteria model data panel dinamis ditentukan oleh validitas dan konsistensi telah memenuhi syarat. Berdasarkan uji Sargan dengan statistic 7,9405 (p-value 0,2425), model FD-GMM ini mempunyai variabel instrument yang valid. Uji konsistensi dengan melihat ABm1 dan ABm2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten. 5.3.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Jawa Perkembangan wilayah di koridor ekonomi Jawa relatif stabil, tanpa adanya
pemekaran wilayah administratif baik kabupaten/maupun kota pada periode penelitian. Secara umum, koridor Jawa memiliki perkembangan yang baik di bidang ekonomi dan sosial, sehingga koridor Jawa berpotensi untuk berkembang dalam rantai nilai dari ekonoi manufaktur ke jasa. Koridor ini dapat menjadi benchmark perubahan ekonomi yang telah sukses berkembang dalam rantai nilai
106
yang sebelumnya fokus pada industri primer menjadi fokus pada industri tersier, seperti Singapura, dan Dubai. Pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten/kota di koridor Jawa mengalami proses menuju ke satu titik tertentu (konvergensi). Nilai koefisien yt-1 pada lag variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvergensi yang positif. Tingkat konvergensi mencapai 7,99 persen berdasarkan hasil empiris koefisien yt-1 sebesar 0,9232. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Penggunaan share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas yang tepat dalam estimasi konvergensi di koridor Jawa ini menunjukkan peranan tenaga kerja ini dalam perekonomian wilayah-wilayah di koridor Jawa yang cukup besar. Sedangkan uji m1 dan m2 menunjukkan
bahwa tidak ada serial correlation dan model
konsisten. Tabel 14 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,2007 0,0013 0,0646
P-value 0,0000 0,2050 0,2230
0,9232 0,0016 0,0788 7,9896 66,5400 0,0000 0,0046 -2,8370 0,2140 -1,2427 9,1671 Sargan Test 0,1644 Catatan: variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas digunakan sebagai instrumen ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2
Estimasi konvergensi pendapatan wilayah di koridor Jawa sejalan dengan peningkatan pemerataan kesejahteraan penduduk. Hal ini dibuktikan dengan penghitungan
konvergensi
pendekatan
pengeluaran
rumah
tangga
yang
menghasilkan koefisien yt-1 kurang dari 1 sehingga tingkat konvergensi yang terjadi positif. Lag pertama dari variable dependen signifikan pada level 5 persen dengn koefisien sebesar 0,0678. Tingkat konvergensi yang diperoleh dari penghitungan tersebut adalah 269,12 persen. Kriteria pengujian model dilakukan
107
dengan uji Sargan untuk melihat validitas variabel instrumen. Statistik sebesar 9,9904 (p-value 0,1251), menunjukkan bahwa instrumen variabel valid. Demikian pula dengan pengujian model dari statistik m1 dan m2 menunjukkan bahwa model sudah terbebas dari serial correlation. Kecepatan konvergensi di koridor Jawa dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga menghasilkan angka yang besar dibandingkan dengan pendekatan pendapatan wilayah, artinya disparitas kesejahteraan rakyat semakin mengecil dalam tingkat yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan wilayah.
Tabel 15
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
Parameters ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
Estimated/Coefficients -0,0678 -0,0046 0,1412 269,1193 15,8100 -5,2936
Standard Error 0,0718 0,0088 0,3138
AB m2 -0,0445 Sargan Test 9,9904 Catatan: variabel share sektor pertanian digunakan sebagai instrumen
P-value 0,3450 0,6000 0,6530 0,0004 0,0000 0,9645 0,1251
5.4. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Kalimantan Sesuai dengan kondisi sumber daya dan geografis Pulau Kalimantan, tema pengembangan Koridor Kalimantan dalam MP3EI adalah sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional” yang didominasi oleh kegiatan utama di sektor energi (migas dan batubara) dan mineral (bauksit dan baja). Berdasarkan data BPS menunjukkan bahwa penopang utama perekonomian koridor Kalimantan adalah sektor migas yang berkontribusi sekitar 50 persen dari total PDRB Kalimantan pada tahun 2010.
108
Tabel 16
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,1815 0,0007 0,0532
P-value 0,0460 0,0120 0,1490
0,3625 0,0019 ln inv 0,0768 ln labour Implied λ 101,4740 29,5300 Wald-Test AB m1 -1,2603 AB m2 -1,4124 3,6067 Sargan Test Catatan: variabel share sektor pertanian digunakan sebagai instrumen
0,0000 0,2075 0,1578 0,7297
Pola kecepatan pertumbuhan dari semua kabupaten/kota di koridor eonomi Kalimantan diuji untuk melihat proses konvergensi yang terjadi secara empiris (Tabel 16). Proses konvergensi pendapatan wilayah di koridor Kalimantan dilihat dari koefisien yt-1 yang kurang dari 1, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi dengan tingkat konvergensi mencapai 101,47 persen. Berdasarkan uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,7297 yang artinya variable instrument yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Namun model tidak konsisten karena masih ada serial correlation, dilihat dari signifikansi AB
m1
yang seharusnya menolak hipotesis
nol. Uji AB m2 sudah sesuai dengan teori untuk uji kekonsistenan model. Tabel 17 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FDGMM Parameters ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
Estimated/Coefficients -0,1728 0,0152 0,4237 175,5620 12,0900 -2,4540
Standard Error 0,0523 0,0104 0,4281
AB m2 -1,2976 Sargan Test 8,2557 Catatan: variabel investasi digunakan sebagai instrumen
P-value 0,0010 0,1420 0,3220 0,0071 0,0141 0,1944 0,2200
109
Estimasi konvergensi dengan pendekatan pendapatan wilayah harus dibandingkan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga sehingga pola konvergensi yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dapat terlihat (Tabel 17). Proses konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga terjadi di koridor Kalimantan, ditandai dengan koefsien yt-1 yang kurang dari 1 pada model yaitu sebesar 0,1728. Tingkat konvergensi yang dihasilkan yaitu sebesar 175,56 persen, lebih besar daripada estimasi konvergensi dengan menggunakan pendekatan PDRB per kapita. Berdasarkan uji Sargan, variabel instrument valid (p-value 0,2200). Model juga konsisten dilihat dari signifikansi m1 (p-value 0,0141) dan m2 (0,1944). Terjadinya proses konvergensi dari penghitungan dengen pendekatan pengeluaran rumah tangga di Koridor Kalimantan menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga semakin merata dan tingkat disparitasnya semakin mengecil serta terjadi pemerataan kecepatan pada level rumah tangga. 5.5.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi Koridor Sulawesi merupakan produsen pangan ketiga terbesar di Indonesia
yang menyumbang 10 persen produksi padi nasional dan 15 persen produksi jagung nasional, dan pertanian pangan menyumbang 13 persen PDRB koridor Sulawesi. Tema pengembangan koridor Sulawesi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, serta Pertambangan Nikel Nasional”. Kegiatan utama di koridor Sulawesi adalah pertanian dengan kontribusi terhadap PDRB sekitar 30 persen. Tabel 18 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,1498 0,9626 0,0008 ln inv 0,0003 0,0258 ln labour 0,0465 Implied λ 3,8156 64,9200 Wald-Test AB m1 -2,8076 AB m2 0,0530 4,5427 Sargan Test Catatan: variabel share sektor pertanian digunakan sebagai instrumen
P-value 0,0000 0,0140 0,5790 0,0000 0,0050 0,9578 0,6036
110
Pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah di Koridor Sulawesi mengalami proses menuju ke satu titik tertentu. Nilai koefisien yt-1 pada lag variabel dependen kurang dari 1, sehingga menghasilkan tingkat konvegensi. Tingkat konvergensi mencapai 3,82 persen berdasarkan hasil empiris koefisien yt-1 sebesar 0,9626. Pemeriksaan model data panel dinamis dilakukan dengan uji validitas dan konsistensi model. Hasil uji Sargan menunjukkan bahwa hipotesis nol variabel instrumen valid tidak ditolak. Penggunaan variabel instrumen share sektor pertanian yang tepat dalam estimasi konvergesi di Koridor Sulawesi ini menunjukkan peranan sektor ini dalam perekonomian wilayah-wilayah di koridor Sulawesi yang cukup besar, bahkan mendominasi kegiatan ekonominya. Sedangkan uji m1 dan m2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten (Tabel 18). Estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel pengeluaran rumah tangga per kapita. Nilai koefisien dari yt-1 sebesar 0,5162 mengindikasikan adanya konvergensi pengeluaran rumah tangga di antara kabupaten/kota di koridor Sulawesi, dengan tingkat konvergensi sebesar 66,12 persen. Berdasarkan uji Sargan dengan statistik 9,9617 (p-value 0,1263), model FD-GMM ini mempunyai vaiabel instrument yang valid. Uji konsistensi dengan melihat m1 dan m2 menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten(Tabel 19). Tabel 19 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FDGMM Parameters ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
Estimated/Coefficients 0,5162 -0,0156 0,5384 66,1208 19,5100 -1,9146
Standard Error 0,1242 0,0110 0,5110
AB m2 -0,0866 Sargan Test 9,9617 Catatan: variabel tenaga kerja digunakan sebagai instrumen
P-value 0,0000 0,1560 0,2920 0,0002 0,0555 0,9310 0,1263
111
5.6.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi BaliNusa Tenggara Koridor Bali-Nusa Tenggara mempunyai visi menjadi pintu gerbang industri
pariwisata dan pendukung pangan nasional. Kegiatan pariwisata, perikanan dan peternakan berkontribusi besar terhadap PDRB masing-masing provinsi yaitu sebesar 47 persen (Bali), 36 persen (Nusa Tenggara Barat), dan 56 persen (Nusa Tenggara Timur). Rata-rata peningkatan kontribusi terhadap PDRB sebesar 11 persen per tahun selama lima tahun terakhir, ketiga kegiatan tersebut dapat berpotensi untuk menjadi mesin penggerak perekonomian di Koridor Bali-Nusa Tenggara. Tabel 20
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
0,5169 0,0019 ln inv 0,0966 ln labour Implied λ 65,9817 11,6900 Wald-Test AB m1 -1,4853 AB m2 0,6402 4,0647 Sargan Test Catatan: variabel pajak digunakan sebagai instrumen
Standard Error 0,2238 0,0010 0,0677
P-value 0,0210 0,0540 0,1530 0,0085 0,1375 0,5220 0,3973
Pola kecepatan pertumbuhan dari semua kabupaten/kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara diuji untuk melihat proses konvergensi yang terjadi secara empiris (Tabel 20). Proses konvergensi pendapatan wilayah di Koridor Bali-Nusa Tenggara dilihat dari koefisien yt-1 yang kurang dari satu yaitu sebesar 0,5169, mengindikasikan bahwa konvergensi terjadi dengan tingkat konvergensi 65,98 persen. Hasil uji Sargan dengan statistik sebesar 4,0647 (p-value 0,3973), artinya variabel instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Namun model tidak konsisten karena masih ada serial correlation, dilihat dari signifikansi
m1
yang seharusnya menolak hipotesis nol. Uji AB
sesuai dengan teori untuk menguji kekonsistenan model.
m2
sudah
112
Tabel 21 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
Estimated/Coefficients
ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
0,2109 0,0109 -0,1007 155,6382 4,2800 -2,3266
Standard Error
P-value
0,1152 0,0121 0,3164
AB m2 1,0216 Sargan Test 9,7130 Catatan: variabel pengeluaran rutin pemerintah digunakan sebagai instrumen
0,0670 0,3680 0,7500 0,2324 0,0200 0,3069 0,1373
Estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dilihat dari koefisien parameter autoregressive dari variabel pengeluaran rumah tangga per kapita. Nilai dari koefisien dari yt-1 sebesar 0,2109 mengindikasikan adanya konvergensi pengeluaran rumah tangga di antara kabupaten/kota di koridor BaliNusa Te nggara, dengan tingkat konvergensi sebesar 155,64 persen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa variabel instrumen valid tidak ditolak, dengan p-value 0,1373. Hal ini menunjukkan bahwa variabel instrumen yang digunakan telah valid. Uji konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB
m1
yang signifikan pada tingkat level 5 persen dan AB
m2
yang
tidak signifikan pada tingkat level 5 persen, artinya tidak ada korelasi serial atau model konsisten. 5.7.
Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku Koridor Papua-Kep. Maluku terdiri dari Provinsi Papua, Provinsi Papua
Barat, Provinsi Maluku, dan Provinsi Maluku Utara. Tema pembangunan, menjadikan koridor tersebut sebagfai pusat pengembangan pangan, perikanan, energy, dan pertambangan nasional. Secara umum, koridor Papua-Kep. Maluku memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, namun di sisi lain terdapat beberapa masalah yang harus menjadi perhatian dalam upaya mendorong
113
perekonomian di koridor ini, antara lain laju pertumbuhan PDRB di koridor tersebut dari tahun 2006-2009 tergolong relatif tinggi, yaitu sebesar 7 persen, namun
besaran PDRB tersebut relatif kecil dibandingkan koridor lainnya.
Masalah lain di koridor ini yaitu disparitas yang terjadi antar kabupaten/kota masih tinggi. Secara empiris, proses konvergensi pendapatan wilayah di koridor PapuaKep. Maluku dapat dilihat pada Tabel 22. Koefisien yt-1 sebesar 0,7485 dengan metode FD-GMM, menunjukkan bahwa tingkat konvergensi pendapatan wilayah di mkoridor Papau-Kep. Maluku sebesar 53,53 persen persen. Hasil uji Sargan dengan statistic sebesar 3,6739 (p-value 0,4519), artinya variable instrumen yang digunakan telah valid secara signifikan pada level 5 persen. Sedangkan uji m1 dan m2
menunjukkan bahwa tidak ada serial correlation dan model konsisten.
Tabel 22
Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
Parameters ln pdrbt-1
Estimated/Coefficients
Standard Error 0,1574 0,0013 0,0607
0,7485 0,0031 0,0142 53,5289 82,1400 -2,0114 -0,9651 3,6739 Sargan Test Catatan: variabel tenaga kerja digunakan sebagai instrumen
ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1 AB m2
P-value 0,0000 0,0160 0,8150 0,0000 0,0443 0,3345 0,4519
Estimasi konvergensi pendapatan wilayah sejalan dengan peningkatan pemerataan kesejateraan penduduk. Hal ini dibuktikan dengan penghitungan konvergensi pendekatan pengeluaran rumah tangga yang menghasilkan koefisien yt-1 yang kurang dari 1 sehingga tingkat konvergensi yang terjadi positif. Lag petama dari variabel dependen signifikan pada level 5 persen dengan koefisien sebesar 0,0824. Tingkat konvergensi yang diperoleh dari penghitungan tersebut adalah 249,59 persen. Kriteria pengujian model dilakukan dengan uji Sargan untuk melihat validitas variabel instrumen. Berdasarkan statistik uji Sargan, hipotesis nol bahwa vaiabel instrumen valid ditolak, dengan p-value 0,0010. Hal ini menunjukkan bahwa variabel instrumen yang digunakan tidak valid. Uji
114
konsistensi model dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi AB signifikan pada tingkat 5 persen dan AB
m2
m1
yang
yang btidak signifikan pada level 5
persen, artinya tidak ada serial correlation atau model konsisten. Tabel 23 Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM Parameters
Estimated/Coefficients
ln incomet-1 ln inv ln labour Implied λ Wald-Test AB m1
0,0824 0,0137 0,5626 249,5953 13,6400 -3,4235
Standard Error
P-value
0,0437 0,0116 0,4431
0,0590 0,2370 0,2040 0,0034 0,0006
AB m2 -0,7535 Sargan Test 22,4907 Catatan: variabel pengeluaran rutin pemerintah digunakan sebagai instrumen
5.8.
0,4512 0,0010
Perbandingan Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Beberapa Koridor di Indonesia Penghitungan estimasi konvergensi dengan data panel dinamis memerlukan
kriteria validitas dan konsistensi. Uji Sargan merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrument. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (variabel instrumen valid), artinya instrument tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara itu untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statistic nilai statistic
m2
m1
yang signifikan dan
yang tidak signifikan. Hasil pengujian validitas instrument dan
konsistensi model data panel dinamis dalam stimasi kabupaten/kota antar koridor di Indonesia, dengan pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran per kapita disajikan pada Tabel 24. Perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah dapat menyebabkan disparitas wilayah apabila wilayah-wilayah yang telah maju tumbuh lebih cepat dibandingkan wilayah yang lebih tertinggal. Namun, disparitas akan berkurang
115
apabila terjadi sebaliknya dan wilayah yang kurang maju dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang sebelumnya telah maju lebih dulu. Disparitas pendapatan wilayah di Indonesia masih tinggi dan proses konvergensi
tidak
terjadi,
artinya
wilayah
yang
kaya
semakin
besar
pendapatannya dan yang miskin tidak mampu mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang telah maju lebih dulu. Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada level rumah tangga, disparitas kesejahteraan rumah tangga telah berkurang, hal ini dibuktikan dengan koefisien lag variabel pengeluaran rumah tangga yang positif dan menghasilkan konvergensi pada tingkat yang relatif besar. Tabel 24
Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Indonesia Uraian
Uji Validitas
Pendekatan PDRB Indonesia Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Indonesia Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku
valid valid valid valid valid valid valid tidak valid valid valid valid valid valid valid
Uji Konsistensi konsisten konsisten konsisten tidak konsisten konsisten tidak konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten konsisten
Proses konvergensi pendapatan kabupaten/kota di Indonesia tidak terjadi karena PDRB per kapita meliputi konsumsi, investasi dan semua aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seluruh pelaku ekonomi, baik rumah tangga, perusahaan
swasta
maupun
pemerintah.
Pendekatan
pengeluaran
hanya
melibatkan unsur rumah tangga dalam penghitungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan akan lebih cepat terjadi apabila fokus pembangunan diarahkan pada level rumah tangga dan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut kemampuan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
116
Tabel 25
Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM
Uraian Pendekatan PDRB Indonesia Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Indonesia Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-Nusa Tenggara Papua-Kep. Maluku
Koefisien yt-1
Implied λ
1,0512 0,6609 0,9232 0,3625 0,9626 0,5169 0,7485
NA 41,4118 7,9896 101,4740 3,8156 65,9817 53,5289
0,6699 0,0971 0,0678 0,1728 0,5162 0,2109 0,0824
40,0572 233,2314 269,1193 175,5620 66,1208 155,6382 249,5953
Berdasarkan Tabel 25 terlihat bahwa tingkat konvergensi pendapatan paling tinggi terjadi di koridor ekonomi Kalimantan, selanjutnya koridor ekonomi BaliNusa Tenggara. Tingkat konvergensi koridor ini lebih besar dibandingkan seluruh koridor karena spillover aktivitas ekonomi suatu wilayah akan lebih dirasakan wilayah lain dalam satu koridor dibandingkan seluruh koridor ekonomi. Hal ini didukung oleh kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi dampak semakin besarnya kewenangan wilayah untuk mengatur keuangan wilayah sesuai dengan prioritas wilayahnya. Namun berdasarkan pendekatan pengeluaran rumah tangga, koridor ekonomi Jawa mempunyai tingkat konvergensi yang paling besar di antara koridor ekonomi lainnya. Selanjutnya koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku. Disparitas yang terjadi di koridor ekonomi Jawa dan Papua-Kep. Maluku merupakan yang terbesar dbandingkan dengan koridor ekonomi lainnya dilihat dari koefisien variasi Williamson. Walaupun koefisien variasi Williamson koridor Jawa dan Papua-Kep. Maluku menunjukkan disparitas wilayah yang masih tinggi, namun ada upaya untuk mengurangi tingkat pembangunan wilayahnya sehingga semakin merata, hal ini ditunjukkan dengan konvergensi yang terjadi.
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH
6.1. Disparitas antar Provinsi di Indonesia Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita, dengan menggunakan data di 33 provinsi di Indonesia. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas antar provinsi di Indonesia ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan pvalue sebesar 0,468. R-square sebesar 0,349. Artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 34,9 persen variasi disparitas pengeluaran rumah tangga, sedangkan 65,1 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam model. Kecilnya R-square ini disebabkan sedikitnya variabel independen yang signifikan dalam model, yaitu hanya variabel share tenaga kerja berpenddidikan SMA keatas dan infrastruktur telepon. Disparitas pembangunan antar wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas secara negatif, dan persentase rumah tangga yang menggunakan telepon secara negatif. Peningkatan tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas, serta peningkatan infrastruktur telepon dapat menurunkan disparitas pendapatan wilayah di Indonesia. Besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari besarnya koefisien regresi yang dimilikinya dan arah dari nilai koefisien tersebut (positif atau negatif). Semakin besar nilai koefisiennya, semakin besar pula pengaruh variabel tersebut sesuai dengan arah nilainya, begitu juga sebaliknya. Variabel yang memiliki koefisien bernilai positif menunjukkan bahwa peningkatan variabel tersebut akan dapat meningkatkan disparitas, sedangkan variabel yang memiliki koefisien negatif akan mempengaruhi penurunan disparitas. Tingkat kualitas tenaga kerja yang diproksi dengan share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,31. Jika kontribusi tenaga kerja berpendidikan SMA keatas meningkat 1 persen, maka disparitas akan menurun sebesar 0,31 persen, dengan asumsi variable lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini sesuai dengan penelitian
118
Samuel (2006) bahwa faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar provinsi di Indonesia diantaranya dipengaruhi oleh tenaga kerja berpendidikan SMA keatas yang berpengaruh negatif. Arah yang sama juga pada variabel infrastruktur telepon yang diproksi dengan persentase rumah tangga pengguna telepon. Dimana disparitas kabupaten/kota di Indonesia dipengaruhi oleh peningkatan infrastruktur telepon. Jika share rumah tangga pengguna telepon meningkat sebesar 1 persen, maka diaparitas pendapatan menurun sebesar 0,24 persen, ceteris paribus (Tabel 26). Tabel 26
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per kapita di Indonesia, 2006-2010
Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,0286 0,1084 -0,1097 -0,3094 -0,0434 -0,0953 -0,2379 0,0022 0,4257 0,3494 49,1800 0,0000
Std. Error 0,0709 0,0643 0,0914 0,1172 0,1148 0,1486 0,0625 0,0197 0,9973
Prob 0,6870 0,0920 0,2300 0,0080* 0,7050 0,5220 0,0000* 0,9120 0,6690
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah-wilayah kabupaten/kota di Indonesia, juga dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson pendapatan per kapita rumah tangga yang diproksi dengan pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,001. Disparitas wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini secara signifikan hanya dipengaruhi oleh variabel infrastruktur air
119
bersih dan infrastruktur telepon secara negatif. Peningkatan infrastuktur ternyata mampu menurunkan disparitas pengeluaran rumah tangga di Indonesia Tabel 27
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Tingkat Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010
Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
-0,1368 -0,0879 0,4492 0,8544 -0,2038 -0,7313 -0,3604 0,0286 1,6583 0,2302 4,6400 0,0001
Std. Error 0,1315 0,2704 0,2508 0,2197 0,2158 0,2764 0,0993 0,0668 2,1228
Prob 0,3000 0,7460 0,0760** 0,6980 0,3470 0,0090* 0,0000* 0,6700 0,4360
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Peningkatan infrastruktur air bersih yang diproksi dengan pendekatan persentase rumah tangga pengguna air bersih mempengaruhi disparitas pengeluaran rumah tangga dengan elastisitas 0,73. Artinya setiap kenaikan infrastruktur air bersih sebesar 1 persen maka disparitas akan menurun sebesar 0,73 persen, ceteris paribus. Peningkatan infrastruktur telepon berpengaruh terhadap penurunan disparitas pengeluaran di Indonesia dengan elastisitas sebesar 0,36 persen. Jika infrastruktur telepon meningkat sebesar 1 persen, maka disparitas akan menurun sebesar 0,36 persen, ceteris paribus (Tabel 27).
120
Gambar 31 Pengguna Telepon Tetap Kabel dan Nirkabel Menurut Wilayah, 2010 Berdasarkan data statistik ponsel dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun 2010 teledensitas tertinggi terdapat pada wilayah JakartaBanten yang mencapai 73,72. Angka ini jauh lebih besar daripada wilayah lain di Indonesia. Bahkan wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta, teledensitasnya hanya 5,50 dan lebih rendah dari wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara yang mencapai 12,23. Demikian juga teledensitas telepon tetap nirkabel, teledensitas tertinggi juga berada di wilayah Jakarta-Banten. Hal ini disebabkan pengguna pada kedua wilayah tersebut jauh lebih besar dibanding wilayah lain. Tetepon tetap (fixed telephone) dihitung dengan membagi jumlah saluran telepon tetap dengan total penduduk kemudian mengalikan dengan 100. Keadaan tersebut menyebabkan bahwa meningkatnya pembangunan infrastruktur telepon dapat menyebabkan menurunnya disparitas di Indonesia. 6.2. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di koridor ekonomi Sumatera dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Dengan menggunakan data 8 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau). Model
121
data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,0009. Tabel 28
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sumatera, 2006-2010
Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
-0,0604 -0,0344 -0,1824 -0,3612 0,1404 0,1063 -0,3224 -0,1395 0,9881 0,3894 2,5500 0,0284
Std. Error 0,1912 0,3738 0,2488 0,2468 0,1871 0,2468 0,1044 0,1850 2,1799
Prob 0,7550 0,9270 0,4640 0,1530 0,4590 0,6700 0,0040* 0,4560 0,6530
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Sumatera hanya dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Peningkatan infrastruktur telepon dapat menurunkan disparitas pendapatan wilayah di koridor ekonomi Sumatera. Peningkatan infrastruktur telepon diproksi dengan share rumah tangga pengguna telepon mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,32. Jika infrastruktur telepon meningkat 1 persen, maka disparitas akan menurun sebesar 0,32 persen (Tabel 28).
122
Tabel 29 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
Std. Error
-0,3104 0,9438 0,3803 -0,1879 0,4096 -0,2458 -0,6949 -0,0147 -2,6005 0,5234 4,3900 0,0012
Prob
0,2977 0,5799 0,3859 0,3829 0,2903 0,3828 0,1619 0,2870 3,3819
0,3050 0,1130 0,3320 0,6270 0,1680 0,5250 0,0000* 0,9590 0,4480
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah-wilayah kabupaten/kota
di
koridor
ekonomi
Sumatera
juga
dilakukan
dengan
menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson pendapatan per kapita rumah tangga. Diproksi dengan pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,0071. Sama halnya dengan pendekatan koefisien variasi Williamson pendekatan PDRB per kapita, disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Sumatera dengan pendekatan koefisien variasi Williamson pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita juga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Peningkatan infrastruktur telepon dapat menurunkan disparitas pengeluaran rumah tangga wilayah di Indonesia dengan elastisitas sebesar 0,69 persen. Jika pembangunan infrastruktur telepon di suatu provinsi naik sebesar 1 persen, maka disparitas wilayah Indonesia dapat diturunkan sebesar 0,69 persen, ceteris paribus (Tabel 29).
123
6.3. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Jawa Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di koridor ekonomi Jawa dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Dengan menggunakan data 6 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten). Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4372. Disparitas pendapatan antar wilayah di koridor ekonomi Jawa dipengaruhi oleh pangsa sektor manufaktur secara positif, dan panjang jalan kondisi baik dan sedang secara positif. Pembangunan infrastruktur jalan dengan kondisi baik dan sedang banyak digunakan dan dimanfaatkan atau didominasi oleh industri dan bisnis dari wilayah lain atau ke wilayah lain (Sirojuzilam, 2009). Pemanfaatan jalan oleh masyarakat atau rumah tangga di wilayah setempat kurang dimanfaatkan karena kondisi pembangunan jalan bukan berada di wilayah dimana yang selalu dilalui untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, maka pembangunan infrastruktur jalan tersebut meningkatkan ketidakmerataan pembangunan wilayah. Peningkatan kegiatan ekonomi di sektor manufaktur dan peningkatan infrastruktur jalan justru meningkatkan disparitas wilayah di koridor ekonomi Jawa. Peningkatan kegitan ekonomi sektor manufaktur mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,76 di koridor Jawa. Jika kontribusi sektor manufaktur meningkat 1 persen, maka akan menaikkan disparitas sebesar 0,76 persen. Selanjutnya peningkatan infrastruktur jalan menjadi penentu kesenjangan pembangunan wilayah di koridor ekonomi Jawa dengan elastisitas 0,7. Jika infrastruktur jalan meningkat sebesar 1 persen, maka disparitas antar wilayah di koridor Jawa juga akan meningkat sebesar 0,7 persen, ceteris parbus.
124
Tabel 30 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Jawa, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,3372 0,0867 0,7577 -0,0043 -0,5451 -0,2239 0,6976 -3,0379 0,7396 62,4800 0,0000
Std. Error 0,1939 0,0787 0,2391 0,1919 0,4026 0,1778 0,1939 2,6149
Prob 0,0820** 0,2710 0,0020* 0,9820 0,1760 0,2080 0,0000* 0,2450
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Peningkatan kegitan ekonomi sektor manufaktur mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,76 di koridor Jawa Jika kontribusi sektor manufaktur meningkat 1 persen, maka akan menaikkan disparitas sebesar 0,76 persen. Selanjutnya peningkatan infrastruktur jalan menjadi penentu kesenjangan pembangunan wilayah di koridor ekonomi Jawa dengan elastisitas 0,7. Jika infrastruktur jalan meningkat sebesar 1 persen, maka disparitas antar wilayah di koridor Jawa juga akan meningkat sebesar 0,7 persen, ceteris parbus. Tabel 31 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln manu ln edu ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,0492 0,0236 0,5578 -0,0282 -0,6011 -0,0492 0,5952 -2,0365 0,5500 26,8900 0,0003
Std. Error 0,2549 0,1035 0,3143 0,2523 0,5292 0,2337 0,2549 3,4374
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Prob 0,8470 0,8200 0,0760** 0,9110 0,2560 0,8330 0,0200* 0,5540
125
Estimasi model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas dengan pendekatan koefisien variasi Williamson pendapatan rumah tangga per kapita ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4295. Disparitas pendapatan antar wilayah di koridor ekonomi Jawa secara signifikan hanya dipengaruhi oleh variabel infrastruktur jalan secara positif. Peningkatan pembangunan infrastruktur jalan justru meningkatkan disparitas wilayah di koridor Jawa. Pembangunan infrastruktur jalan yang diproksi dengan rasio panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang per kapita mempengaruhi secara positif disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,6. Jika kontribusi sektor manufaktur meningkat sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan disparitas sebesar 0,6 persen, ceteris paribus. 6.4. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Kalimantan Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di koridor Kalimantan dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Dengan menggunakan data 4 provinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur). Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,6140. Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Kalimantan hanya dipengaruhi oleh share rumah tangga pengguna listrik secara positif. Peningkatan infrastruktur listrik justru meningkatkan disparitas wilayah di koridor ekonomi Kalimantan. Peningkatan infrastruktur listrik mempengaruhi disparitas PDRB per kapita secara positif dengan elastisitas 0,71. Jika pembangunan infrastruktur listrik meningkat 1 persen, maka disparitas akan meningkat juga sebesar 0,71 persen, ceteris paribus. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Prahara (2010), bahwa faktor penyebab disparitas yang hanya disekati dengan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Kalimantan Barat yang berpengaruh positif antara lain adalah jumlah penduduk, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan produksi listrik yang disalurkan.
126
Tabel 32 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Kalimantan, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,1419 0,3267 0,7096 -0,0792 -0,4422 -0,0561 -4,6304 0,3097 5,8300 0,4423
Std. Error 0,2741 0,3157 0,3504 0,3707 0,2861 0,4886 2,8190
Prob 0,6050 0,3010 0,0430* 0,8310 0,1220 0,9090 0,1000
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah-wilayah kabupaten/kota di koridor Kalimantan juga dilakukan dengan menggunakan variable dependen pendapatan per kapita rumah tangga. Diproksi dengan pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan pvalue sebesar 0,4350. Tabel 33
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan, 2006-2010
Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln electric ln water ln phone cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,1278 0,3112 0,7056 -0,0990 0,4471 -5,4435 0,3090 6,2600 0,2817
Std. Error 0,2363 0,2751 0,3362 0,3162 0,2729 2,2194
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Prob 0,5890 0,2580 0,0360* 0,7540 0,1010 0,0140
127
Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Kalimantan secara signifikan dengan tingkat signifikansi 5 persen, hanya dipengaruhi oleh share rumah tangga pengguna listrik secara positif. Peningkatan infrastruktur listrik dapat meningkatkan disparitas pendapatan di koridor Kalimantan. Peningkatan infrastruktur listrik yang diproksi dengan share rumah tangga pengguna listrik mempengaruhi disparitas pendapatan dengan elastisitas 0,70. Jika kontribusi rumah tangga pengguna listrik meningkat 1 persen, maka disparitas juga akan meningkat sebesar 0,70 persen, ceteris paribus. Keadaan ini juga tidak berbeda jika digunakan dengan pendekatan koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. 6.5. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sulawesi Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di koridor ekonomi Sulawesi dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Dengan menggunakan data 6 provinsi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat). Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,7086. Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Sulawesi hanya dipengaruhi oleh share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatif. Peningkatan pendidikan tenaga kerja dapat menurunkan disparitas pendapatan wilayah di koridor ekonomi Sulawesi. Kualitas sumber daya manusia yang diproksi dengan share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas sebesar 0,86 persen. Jika kontribusi tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas meningkat sebesar 1 persen maka disparitas pendapatan di koridor ekonomi Sulawesi menurun sebesar 0,86 persen, ceteris paribus (Tabel 34).
128
Tabel 34 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per kapita di Koridor Sulawesi, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln agri ln edu ln electric ln road ln puskes cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
0,0056 -0,1325 -0,8639 0,1069 -0,0438 0,1222 2,2315 0,4920 22,2700 0,0011
Std. Error 0,1115 0,1384 0,3743 0,3532 0,0546 0,1387 1,4092
Prob 0,9600 0,3380 0,0210* 0,7620 0,4220 0,3780 0,1130
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Estimasi model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas dengan pendekatan koefisien variasi Williamon pengeluaran per kapita di koridor ekonomi Sulawesi ini adalah random effect. Berdasarkan uji Hausman dengan pvalue sebesar 0,9785. Tabel 35 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln manu ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
-0,2784 0,1182 -0,5320 0,0155 0,4934 0,1912 5,9100 0,2058
Std. Error 0,2539 0,5822 0,2439 0,0812 2,3660
Prob 0,2730 0,8390 0,0290* 0,8490 0,8350
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor ekonomi Sulawesi hanya dipengaruhi oleh share rumah tangga yang menggunakan telepon secara negatif. Infrastruktur telepon yang diproksi dengan share rumah tangga yang
129
menggunakan telepon mempengaruhi disparitas wilayah di koridor Sulawesi dengan elastisitas 0,53. Jika pembangunan infrastruktur telepon meningkat sebesar 1 persen, maka dapat menurunkan disparitas wilayah di koridor Sulawesi sebesar 0,53 persen, ceteris paribus (Tabel 35). 6.6. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar provinsi di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Dengan menggunakan data 7 provinsi (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). Penggabungan kedua koridor dilakukan dengan alasan efisiensi untuk memenuhi syarat penggunaan data panel statis. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah fixed effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,0000. Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku dipengaruhi oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah secara negatif. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah daerah dapat menurunkan disparitas antar pendapatan di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku ini. Tabel 36 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per kapita di Koridor BaliNusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln manu ln edu ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
-0,5585 -0,1606 -0,2598 -0,2145 0,3055 3,7133 0,3313 2,2800 0,0804
Std. Error 0,2638 0,4613 0,2565 0,1328 0,1991 2,2000
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Prob 0,0450* 0,7310 0,3220 0,1200 0,1390 0,1050
130
Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah mempengaruhi disparitas PDRB per kapita dengan elastisitas 0,56. Jika pengeluaran rutin pemerintah meningkat 1 persen, maka disparitas pendapatan wilayah di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku akan menurun sebesar 0,56 persen, ceteris paribus. (Tabel 36). Hal ini sejalan dengan tujuan adanya desentralisasi fiskal, dimana kewenangan pengelolaan keuangan di wilayah agar dapat mengurangi disparitas wilayah. Tabel 37 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 Variable
Coefficient
ln govexp ln manu ln edu ln electric ln phone cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Catatan:
-0,3329 -0,2311 0,1549 0,0137 -0,1906 -0,0115 0,3916 18,6700 0,0022
Std. Error 0,1526 0,1323 0,2940 0,3455 0,1997 1,3943
Prob 0,0290 * 0,0810 ** 0,5980 0,9680 0,3400 0,9930
*signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah-wilayah di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku juga dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson pendapatan per kapita rumah tangga. Diproksi dengan pengeluaran rumah tangga per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis disparitas ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4844. Disparitas pembangunan antar wilayah di koridor Bali-Nusa Tenggara dan PapuaKep.Maluku hanya dipengaruhi oleh variable pengeluaran rutin pemerintah secara negatif. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah di koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku dapat menurunkan disparitas pendapatan. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah mempengaruhi disparitas pendapatan dengan
131
elastisitas sebesar 0,33. Jika kontribusi sektor manufaktur meningkat 1 persen, maka disparitas akan menurun sebesar 0,33 persen, ceteris paribus(Tabel 37). 6.7. Perbandingan Disparitas antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat disparitas wilayah antar provinsi dibeberapa koridor ekonomi di Indonesia, ternyata bervariasi dipengaruhi oleh variabel yang tidak sama. Keadaan ini terjadi, baik disparitas antar provinsi di Indonesia maupun di koridor lainnya. Keadaan ini juga bervariasi dari pendekatan variabel dependen koefisien variasi berdasarkan PDRB per kapita maupuan berdasarkan pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan Tabel 38 terlihat bahwa tingkat disparitas antar provinsi di Indonesia dengan pendekatan koefisien variasi Williamson berdasarkan PDRB per kapita dipengaruhi oleh variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatif, dan infrastruktur telepon secara negatif. Tingkat disparitas antar provinsi di koridor ekonomi Sumatera hanya dipengaruhi oleh variabel infarastruktur telepon secara negatif. Koridor Jawa dipengaruhi oleh share manufaktur dan infrastruktur jalan secara positif. Koridor Kalimantan dipengaruhi infrastruktur listrik secara positif. Koridor Sulawesi dipengaruhi oleh share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatif. Gabungan koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku hanya dipengaruhi oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah secara negatif.
132
Tabel 38
Variable ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita, 2006-2010 1 Coeff Prob 0,029 0,941 0,108 0,207 -0,1097 0,338 -0,3094 0,007 * 0,043 0,601 -0,0953 0,492 -0,2379 0,000 * 0,002 0,764 0,426 0,494 0,349 49,180 0,000
0,468(RE)
Hausman
Catatan:
2 Coeff Prob -0,060 0,755 -0,034 0,927 -0,182 0,464 -0,361 0,153 0,140 0,459 0,106 0,670 -0,322 0,004 * -0,139 0,456 0,988 0,653 0,389 2,550 0,028
0,001 (FE)
3 Coeff 0,337 0,087 0,758 -0,004
4 Prob 0,082 ** 0,271 0,002 * 0,982
-0,545 0,176 -0,224 0,208 0,698 0,000 * -3,0379 0,245 0,740 62,480 0,000
0,437 (RE)
Coeff 0,142 0,327
5 Prob 0,605 0,301
0,710 0,043 * -0,079 0,831 -0,442 0,122 -0,056 0,909 -4,630 0,100 0,310 5,830 0,442
0,614 (RE)
Coeff 0,006 -0,133 -0,864 0,107
6 Prob Coeff 0,960 -0,5585 0,338 -0,161 0,021 * -0,259 0,762
-0,044 0,422 2,232 0,113 0,492 22,270 0,001
0,709 (RE)
Prob 0,045 * 0,731 0,322
-0,215 0,120 0,306 0,139 3,713 0,105 0,331 2,280 0,080
0,000 (FE)
1 = Indonesia, 2 = Koridor Sumatera, 3 = Koridor Jawa, 4 = Koridor Kalimantan, 5 = Koridor Sulawesi, 6 = Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku; *signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Jika dilihat dari share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas di koridor Jawa lebih tinggi dibandingkan koridor Sulawesi, namun variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap penurunan disparitas secara signifikan pada tingkat 5 persen di koridor Jawa. Pada koridor Sulawesi justru variabel tersebut berpengaruh terhadap penurunan disparitas pendapatan dengan pendekatan PDRB per kapita. Penelitian serupa mengenai disparitas wilayah juga pernah dilakukan di Canada oleh Desjardins (2011) yang menganalisis faktor-faktor penyebab disparitas wilayah di Kanada yang dibagi menjadi beberapa wilayah yaitu mayor metro, metro menengah, metro kecil, dan bukan metro atau pedesaan. Penelitian tersebut juga membandingkan antar provinsi di Kanada dengan menggunakan variable independen tingkat pengangguran, pertumbuhan penduduk, rata-rata penghasilan tenaga kerja, serta tingkat pendidikan yang ditamatkan. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah tingkat pengangguran dan pertumbuhan penduduk wilayah, namun Rsquare yang dihasilkan juga kecil yaitu 0,249 dan 0,235. Menurut Gujarati (2003), dalam penelitian dengan menggunakan data panel, nilai R-square yang kecil tidak dipermasalahkan dengan kata lain masih diperbolehkan dalam suatu penelitian.
133
Tabel 39
Variable ln govexp ln agri ln manu ln edu ln electric ln water ln phone ln road cons R-squared F-statistic Prob (F-statistic)
Hausman
Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 1 Coeff -0,1368 -0,0879 0,449 0,854 -0,2038 -0,7313 -0,3604 0,029 1,658
Prob 0,300 0,746 0,0760 ** 0,698 0,347 0,0090 * 0,0000 * 0,670 0,436 0,230 4,640 0,000
0,010 (FE)
2 3 4 Coeff Prob Coeff Prob Coeff Prob 0,305 0,049 0,847 0,128 0,589 -0,310 0,113 0,024 0,820 0,311 0,258 0,944 0,332 0,558 0,076 ** 0,380 0,627 -0,0282 0,911 -0,188 0,168 0,410 0,706 0,036 * 0,525 -0,601 0,256 -0,099 0,754 -0,246 0,833 0,447 0,101 -0,695 0,000 * -0,049 0,959 0,595 0,02 * -0,015 0,448 -2,037 0,554 -5,444 0,014 -2,601 0,523 0,550 0,309 4,390 26,890 6,260 0,001 0,000 0,282
0,007 (FE)
0,429 (RE)
0,435 (RE)
5
6
Coeff -0,278
Prob Coeff 0,273 -0,333
Prob 0,029 *
0,118
0,839 -0,231 0,155 0,014
0,081 ** 0,598 0,968
0,029 * -0,191 0,340 -0,532 0,849 0,016 0,835 -0,012 0,993 0,493 0,191 0,392 18,670 5,910 0,002 0,206
0,979 (RE)
0,484 (RE)
Catatan: 1 = Indonesia, 2 = Koridor Sumatera, 3 = Koridor Jawa, 4 = Koridor Kalimantan, 5 = Koridor Sulawesi, 6 = Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku; *signifikan pada α 5%; **signifikan pada α 10%
Tingkat disparitas antar provinsi di Indonesia dengan pendekatan koefisien variasi Williamson berdasarkan pengeluaran rumah tangga per kapita dipengaruhi oleh variabel infrastruktur air bersih secara negatif, dan infrastruktur telepon secara negatif. Tingkat disparitas antar provinsi di koridor ekonomi Sumatera hanya dipengaruhi oleh variabel infarastruktur telepon secara negatif, koridor Jawa dipengaruhi oleh infrastruktur jalan secara positif, koridor Kalimantan dipengaruhi infrastruktur listrik secara positif, koridor Sulawesi dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif, dan gabungan koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku hanya dipengaruhi oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah secara negatif (Tabel 39). Koridor ekonomi Jawa PDRB tinggi, tetapi kemiskinannya juga tinggi. Hal ini disebabkan Jawa merupakan wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian dimana pelayanan infrastrukturnya lebih baik. Keadaan ini sebagai faktor pendorong bagi wilayah lain untuk bermigrasi ke Jawa, sehingga terjadi arus urbanisasi. Dalam bermigrasi, mereka tidak dipersiapkan dalam hal pendidikan atau keahlian dalam mencari lapangan pekerjaan di Jawa. Keadaan ini berakibat ke pekerjaan di sektor informal, bahkan banyak terjadi tidak mendapatkan pekerjaan. Akibatnya banyak penduduk yang tinggal di
134
wilayah kumuh, bantaran sungai, dan lainnya. Berakibat pula angka kemiskinan yang tinggi di Jawa. 6.8. Pengembangan Potensi Wilayah Koridor Ekonomi Dalam MP3EI Pengaruh infrastruktur di suatu wilayah diharapkan akan menimbulkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan yang terdapat dalam koridor ekonomi itu sehingga terjadi peningkatan aktivitas ekonomi dalam dan antar koridor. Bila suatu wilayah berkembang secara cepat tanpa adanya efek penyebaran atau trickle down effect, akibatnya adalah disparitas yang semakin besar dan tidak membantu mendorong pemerataan pembangunan. Diperlukan intervensi pemerintah dengan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi adanya disparitas wilayah atau kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Intervensi pemerintah diperlukan untuk meredam efek pengurasan sumber daya wilayah yang menciptakan disparitas wilayah tersebut. Efek pengurasan sumber daya yang berlebihan (backwash) adalah suatu daerah yang diberikan konektivitas melalui pembangunan sejumlah infrastruktur, tetapi dampaknya bagi wilayah tersebut menjadi turun karena adanya pengeksploitasian sumber daya alam di wilayah tersebut. Padahal idealnya suatu wilayah itu bila telah tersambung secara konektivitas maka perekonomian di sekitarnya juga seharusnya ikut maju dan berkembang. Sebagai contoh, kasus Kota Kuala Kencana di kawasan pertambangan Freeport di Papua merupakan salah satu contoh adanya disparitas atau kesenjangan yang luar biasa antara Kuala Kencana dengan wilayah-wilayah lain di sekitarnya yang dampaknya juga ikut terimbas ke masalah politik dan sosial. Keadaan ini dapat menciptakan sesuatu wilayah dimana suatu daerahdaerah yang merupakan kantong pertumbuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kesiapan dari negara kita sendiri untuk mengelola sumber daya alam dengan konstelasi yang tepat di tingkat internasional sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton tetapi pemain di era global sekarang ini. Pemerintah telah menerapkan konsep MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia)
yang
diharapkan
akan
menghubungkan pusat-pusat ekonomi. Dengan demikian, beragam koridor yang terdapat dalam MP3EI juga diharapkan dapat memicu tumbuhnya industri
135
berskala usaha kecil dan menengah (UKM) yang bersifat menunjang. Pada intinya MP3EI adalah berbasis komoditas dengan pusat pertumbuhan yang disambung satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, baik yang sudah berjalan maupun yang direncanakan, perlu didukung dengan penyiapan tenaga kerja yang memadai. harus mampu menciptakan SDM tangguh yang mampu menghadapi tantangan global. Pada titik inilah, maka diperlukan adanya perencanaan strategis yang menyeluruh. Melalui pendidikan menengah universal diharapkan dapat menghasilkan SDM tangguh dan produktif. Meski demikian harus diakui, pembangunan pendidikan menengah sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, menyangkut kondisi sosial budaya, ekonomi, teknologi, dan politik yang terjadi di Indonesia. Secara demografi, ke depan, Indonesia akan mengalami peningkatan usia produktif dengan rata-rata usia 25 tahun sampai dengan 35 tahun pada tahun 2015 sampai dengan 2035. Di satu sisi, usia produktif ini bisa mendatangkan keuntungan dan peluang untuk membangun Indonesia (bonus demografi). Dengan usia produktif yang berpendidikan baik, maka peluang membangun Indonesia menjadi luas. Namun di sisi lain, jika salah dalam penanganan dan mengantisipasinya, bisa menjadi bencana (disaster demography), jika potensi usia produktif itu tidak mampu bekerja dengan menjadi pengangguran. Peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan tidak hanya difokuskan pada jenjang pendidikan tinggi melainkan harus sudah diawali dari jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sungguh sangat disayangkan, jika pada periode emas ini tidak dilakukan investasi sumber daya manusia secara besar-besaran. Jika periode ini dilewatkan begitu saja, maka bukan bonus demografi yang diraih, tapi bencana demografi yang diperoleh. Menyikapi bonus demografi dengan menggagas pendidikan menengah universal adalah bagian yang tidak terpisahkan untuk mensukseskan program MP3EI. Melalui enam koridor pertumbuhan ekonomi dalam MP3EI, bermakna pula pada bagaimana menyiapkan SDM handal dibidangnya dan hal ini dapat terpenuhi melalui jalur pendidikan. Dalam pelaksanaan proyek MP3EI, sebagai contoh di koridor Bali-Nusa Tenggara menurut Gubernur Nusa Tenggara Barat terdapat permasalahan.
136
Diantaranya adalah masalah pendanaan, ketersediaan sumber daya manusia, dan masalah kepastian hukum atas lahan pengembangan proyek MP3EI di koridor Bali-Nusa Tenggara terutama industry pariwisata, peternakan, dan perikanan. Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat baru 20 dari 84 proyek MP3EI yang dimulai peleksanaanya pertengahan tahun 2012 ini yang disebabkan karena beberapa kendala tersebut.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Disparitas kabupaten/kota di Indonesia masih tinggi, walaupun sedikit mengalami kecenderungan menurun baik dengan pendekatan PDRB per kapita maupun pengeluaran rumah tangga. Disparitas kabupaten/kota di masingmasing koridor juga sedikit mengalami penurunan, dimana disparitas kabupaten/kota
koridor
Jawa
dan
Papua-Kep
Maluku
lebih
tinggi
dibandingkan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara dalam MP3EI. Pembangunan infrastruktur di Indonesia meningkat, keadaan ini juga terjadi di semua koridor ekonomi di Indonesia. Indeks infrastruktur yang tertinggi terjadi di koridor ekonomi Jawa dan Sumatera, sedangkan yang terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku. 2. Konvergensi pendekatan PDRB per kapita wilayah kabupaten/kota di Indonesia
tidak
terjadi
(divergen),
namun
konvergensi
pendekatan
pengeluaran rumah tangga terjadi konvergensi. Konvergensi terjadi di semua koridor di Indonesia, baik dengan pendekatan PDRB per kapita maupun pendekatan pengeluaran rumah tangga. Tingkat konvergensi pendekatan PDRB per kapita tertinggi terjadi di koridor Kalimantan dan terendah di koridor Sulawesi, sedangkan konvergensi pendekatan pengeluaran rumah tangga tertinggi terjadi di koridor Jawa dan yang terendah di koridor Sulawesi.
Sementara
secara
keseluruhan,
konvergensi
pendekatan
pengeluaran rumah tangga lebih tinggi dibandingkan pendekatan PDRB per kapita, dengan tingkat konvergensi tertinggi terjadi di koridor Jawa. 3. Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar wilayah antar provinsi di Indonesia pendekatan PDRB per kapita maupun pengeluaran rumah tangga secara umum pembangunan infrastruktur berpengaruh dalam mengurangi disparitas yang berlaku di semua koridor ekonomi di Indonesia.
138
7.2. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya, maka diberikan beberapa saran yang menyangkut penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Dengan adanya pemerataan dalam pembangunan infrastruktur antara enam koridor ekonomi di Indonesia dalam MP3EI (tidak hanya di Jawa) diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antar koridor ekonomi maupun disparitas wilayah dibawahnya yang lebih kecil lagi. Diharapkan tercipta pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan (growth with equity) sesuai dengan potensi wilayahnya. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. 2. Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability sehingga dapat mengurangi disparitas wilayah. 3. Dengan penerapan konsep MP3EI, diharapkan akan terhubung pusat-pusat ekonomi berbasis komoditas dengan pusat pertumbuhan secara konektivitas antara koridor satu dengan yang lainnya tanpa adanya eksploitasi sumber daya alam. 4. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan menggunakan series data yang lebih panjang sehingga bisa terlihat trennya dan hasil
139
penelitian bias lebih baik lagi. Sedangkan varibel infrastruktur perlu penyempurnaan dengan memasukkan beberapa variabel infrastruktur lainnya. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kebijakankebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, konvergensi dan disparitas.
DAFTAR PUSTAKA Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan: Tinjauan Kritis. Bogor : P4W Press. Badinger, H., W. G. Muller, and G. Tondl. 2002. Regional Convergence in the European Union (1985-1999). IEF Working Papers 47:7-17. Barro, R. dan X. Sala-i-Martin. 2004. Economic Growth (Second edition. MIT Pess. Cambridge. BKPM. 2010. Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA. www.bkpm.go.id. BI. 1997. Laporan Tahunan Bank Indonesia. www.bi.go.id. Blanchard, O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. Bussoletti, S. dan R. Esposti. 2004. Regional Convergence, Structural Funds and The Role of Agriculture in The EU. Dipartimento Di Economia 220:2-23. Calderón, C dan L. Servén. 2002. The Output Cost of Latin America’s Infrastructure Gap. Central Bank of Chile Working Papers, No 186 Oktober 2002. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge, New York. Ding, S. dan J. Knight. 2008. Can The Augmented Solow Model Explain China’s Economic Growth? A Cross-Country Panel Data Analysis. Department of Economics Discussion Paper Series 380: 18-32. Desjardins, P. M. 2011. Regional Disparities in Canada: Interprovincial or Urban/Rural? Region et Development 33: 59-80. Dornbusch, R., S. Fischer dan R. Startz. 2004. Macroeconomics ninth edition. Mc Graw Hill. New York. Firdaus, M. 2006. Impact of Investment Inflow on Regional Disparity in Indonesia [disertasi]. Malaysia: University Putra Malaysia. Firdaus, M. and Z. Yusop. 2009. Dynamic Analysis of Regional Convergence in Indonesia. International Journal of Economic and Manajemen, Volume 3 No.1, pages 73-86. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press. Bogor. Frans, L. R. 2012. Hambatan Pelaksanaan MP3EI. http://www.antaranews.com
142
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill. Boston. Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informasi. 2011. Indikator TIK Indonesia. 2011.. Jakarta. Lestari, E.P. 2008. Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah terhadap Permintaan Uang M2 di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9(2):121-136. Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Murty. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balanced Development. New Delhi: Kanisha Publishers. Mangkosoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE. Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Makalah disampaikan dalam seminar pendalaman ekonomi rakyat. Nugroho, I. 2003. Strategi Pengembangan Sektor Air Bersih. Artikel Majalah Perencanaan Edisi 30 Tahun 2003. BAPPENAS. Jakarta. http://www.bappenas.go.id. Oyekale, A. S, A. I. Adeoti and T. O. Oyekale. 2006. Measurement and Sources of Income Inequality among Rural and Urban Households in Nigeria. PMMA Working Paper 20: 12-22. Panggabean, R. 2008. Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Ekonomi Regional: Studi Kasus Kawasan Timur Indonesia 1990-2005 [tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Prahara, G. 2010 Analisis Disparitas Antar Wilayah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Quah, D. 1995. Empirics for Economic Growth and Convergence. Centre for Economic Performance Discission Paper 253: 10-23. Ralhan, M. dan A. Dayanandan. 2005. Convergence of Income Among Provinces
143
in Canada – An Application of GMM Estimation. Econometrics Working Paper EWP 0502:13-21. Rumayya, W. W. dan E. A. Landiyanto. 2005. Growth in East Java: Convergence or Divergence?. Econ WPA 0508: 15-16. Rustiadi E dan Priyarsono DS. 2010. Regional Development in Indonesia. Bogor. Samuel, S. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan Antar Provinsi di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana USU. Medan. Sirojuzilam. 2009. Disparitas Ekonomi Regional dan Perencanaan Wilayah. Medan. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang. Stiglitz, J. 2000. Economics of The Public Sector. Edisi ke-3. New York: WW Norton. Sukirno, S. 1995. Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta: LPFE-Universitas Indonesia. Tambunan, T. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2009. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1 Edisi Kesepuluh . Alih Bahasa. Penerbit Erlangga. Jakarta. UNESCO. 2008. Overcoming Inequity: Why Governance Matters. Paris: United Nations Educational, Science and Cultural Organization. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chicester: John Wiley and Sons. Ltd. Wahyuni, K.T. 2011. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for Development. Oxford University Press, New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (unbalanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
396 132
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
329.22 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
.6609227 .0000935 -.0035974
Std. Err. .0365669 .0000906 .0210888
z
P>|z|
18.07 1.03 -0.17
0.000 0.302 0.865
[95% Conf. Interval] .5892529 -.0000841 -.0449306
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.401 -1.0071
0.0164 0.3139
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
6.870686 0.3330
.7325926 .000271 .0377358
148
Lampiran 2
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (unbalanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(manu) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
396 132
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
12.73 0.0053
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
.0970709 .0175755 .4690789
Std. Err. .0801878 .006721 .4146338
z
P>|z|
1.21 2.62 1.13
0.226 0.009 0.258
[95% Conf. Interval] -.0600943 .0044027 -.3435884
.2542361 .0307484 1.281746
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour manu . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-5.4954 -.23594
0.0000 0.8135
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
7.940534 0.2425
149
Lampiran 3
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FDGMM
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(edu) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
348 116
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
66.54 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
.9232122 .0016409 .0788295
Std. Err. .2007302 .0012953 .0646331
z
P>|z|
4.60 1.27 1.22
0.000 0.205 0.223
[95% Conf. Interval] .5297883 -.0008979 -.047849
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour edu . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.837 -1.2427
0.0046 0.2140
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
9.167083 0.1644
1.316636 .0041797 .205508
150
Lampiran 4
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(agri) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
348 116
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
1.53 0.6757
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
Std. Err.
-.0678158 -.0045842 .1412029
.0718312 .0087504 .3138279
z
P>|z|
-0.94 -0.52 0.45
0.345 0.600 0.653
[95% Conf. Interval] -.2086023 -.0217347 -.4738886
.0729707 .0125662 .7562943
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour agri . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-5.2936 -.04446
0.0000 0.9645
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
9.99036 0.1251
151
Lampiran 5
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(agri) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
159 53
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
29.53 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
.3624968 .0018714 .0768089
Std. Err. .1815072 .000743 .0531972
z
P>|z|
2.00 2.52 1.44
0.046 0.012 0.149
[95% Conf. Interval] .0067493 .0004151 -.0274558
.7182444 .0033277 .1810735
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour agri . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-1.2603 -1.4124
0.2075 0.1578
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
3.606682 0.7297
152
Lampiran 6
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(inv) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
159 53
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
12.09 0.0071
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
Std. Err.
-.1727628 .0152291 .4237205
.0522744 .0103806 .4280911
z
P>|z|
-3.30 1.47 0.99
0.001 0.142 0.322
[95% Conf. Interval] -.2752187 -.0051165 -.4153227
-.070307 .0355747 1.262764
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour inv . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.454 -1.2976
0.0141 0.1944
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
8.25573 0.2200
153
Lampiran 7
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(agri) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
207 69
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
64.92 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
Std. Err.
.9625628 .0008461 .0258341
.1497706 .0003425 .0465333
z
P>|z|
6.43 2.47 0.56
0.000 0.014 0.579
[95% Conf. Interval] .6690179 .0001748 -.0653695
1.256108 .0015175 .1170376
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour agri . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.8076 .05297
0.0050 0.9578
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
4.54273 0.6036
154
Lampiran 8
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(labour) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
207 69
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
19.51 0.0002
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
.5162276 -.0155974 .5384251
Std. Err. .1241628 .0110038 .511041
z
P>|z|
4.16 -1.42 1.05
0.000 0.156 0.292
[95% Conf. Interval] .272873 -.0371644 -.4631969
.7595822 .0059696 1.540047
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour labour . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-1.9146 -.08659
0.0555 0.9310
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
9.961689 0.1263
155
Lampiran 9
Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM
. xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(tax) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
7
=
111 37
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
11.69 0.0085
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
.5169459 .0019314 .0966157
Std. Err. .2237751 .0010004 .0676899
z
P>|z|
2.31 1.93 1.43
0.021 0.054 0.153
[95% Conf. Interval] .0783547 -.0000294 -.036054
.955537 .0038922 .2292853
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour tax . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-1.4853 .64023
0.1375 0.5220
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 4) Prob > chi2
= =
4.064741 0.3973
156
Lampiran 10 Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(govexp) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
111 37
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
4.28 0.2324
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
.2108977 .0109147 -.100749
Std. Err. .1152146 .0121367 .3164359
z
P>|z|
1.83 0.90 -0.32
0.067 0.368 0.750
[95% Conf. Interval] -.0149187 -.0128727 -.720952
.4367141 .0347021 .519454
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour govexp . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.3266 1.0216
0.0200 0.3069
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
9.713045 0.1373
157
Lampiran 11 Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(labour) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
7
=
129 43
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
82.14 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
Std. Err.
.7485082 .0031116 .0142096
.1573518 .0012926 .0606793
z
P>|z|
4.76 2.41 0.23
0.000 0.016 0.815
[95% Conf. Interval] .4401044 .0005782 -.1047196
1.056912 .005645 .1331388
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour labour . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-2.0114 -.96512
0.0443 0.3345
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 4) Prob > chi2
= =
3.67387 0.4519
158
Lampiran 12 Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Papua Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(govexp) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
129 43
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
13.64 0.0034
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
.0824179 .0137091 .5625673
Std. Err. .0437193 .011583 .4431466
z
P>|z|
1.89 1.18 1.27
0.059 0.237 0.204
[95% Conf. Interval] -.0032704 -.0089931 -.305984
.1681062 .0364113 1.431119
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour govexp . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-3.4235 -.75345
0.0006 0.4512
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
22.49069 0.0010
159
Lampiran 13 Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (unbalanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond pdrb inv labour, noconstant inst(labour) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
1350 450
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
116.09 0.0000
Two-step results pdrb
Coef.
pdrb L1. inv labour
Std. Err.
1.051179 .0008511 .0709029
.1428021 .0009168 .0322831
z
P>|z|
7.36 0.93 2.20
0.000 0.353 0.028
[95% Conf. Interval] .7712923 -.0009459 .0076292
1.331066 .002648 .1341767
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pdrb Standard: D.inv D.labour labour . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-4.9678 -.10301
0.0000 0.9180
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
5.06761 0.5352
160
Lampiran 14 Scripts Input dan hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM . xtset kab tahun panel variable: time variable: delta:
kab (unbalanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtabond income inv labour, noconstant inst(edu) lags(1) twostep artests(2) Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: kab Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
9
=
1350 450
= min = avg = max =
Wald chi2( 3) Prob > chi2
3 3 3 =
=
10.64 0.0139
Two-step results income
Coef.
income L1. inv labour
.0669937 .0087082 .2241683
Std. Err. .0448076 .0044003 .186883
z
P>|z|
1.50 1.98 1.20
0.135 0.048 0.230
[95% Conf. Interval] -.0208275 .0000837 -.1421157
.1548149 .0173327 .5904522
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).income Standard: D.inv D.labour edu . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-8.4626 -.74557
0.0000 0.4559
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2( 6) Prob > chi2
= =
21.85041 0.0013
161
Lampiran 15 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Koridor Sumatera dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.3894 0.5128 0.4667
Obs per group: min = avg = max =
0.2148
F(8,32) Prob > F
cvpdrb
Coef.
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
-.0603695 -.0343926 -.1842448 -.3611607 .1404087 .1062733 -.3224474 -.1394626 .9881479
sigma_u sigma_e rho
.36942981 .30263094 .59842178
F test that all u_i=0:
Std. Err. .191885 .373779 .2487893 .2467919 .1871241 .2467505 .1043596 .1850058 2.179988
t
P>|t|
-0.31 -0.09 -0.74 -1.46 0.75 0.43 -3.09 -0.75 0.45
0.755 0.927 0.464 0.153 0.459 0.670 0.004 0.456 0.653
50 10
=
5 5.0 5
= =
2.55 0.0284
[95% Conf. Interval] -.4512265 -.7957555 -.6910121 -.8638594 -.2407507 -.3963411 -.535021 -.5163071 -3.452342
.3304874 .7269704 .3225224 .1415381 .5215682 .6088876 -.1098737 .2373819 5.428638
(fraction of variance due to u_i) F( 9, 32) =
5.53
Prob > F = 0.0001
. estimates store fixed . xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.3666 0.6125 0.5318
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvpdrb
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
50 10
=
Std. Err.
Wald chi2( 8) Prob > chi2 z
P>|z|
0.60 -0.03 -2.08 -2.31 0.28 1.01 -3.24 -1.56 0.44
0.552 0.980 0.037 0.021 0.780 0.311 0.001 0.119 0.661
5 5.0 5
=
35.83 0.0000
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
.0811371 -.0046351 -.3281921 -.4128527 .0417593 .2565636 -.3524779 -.2432658 .7716813
.1362817 .1842798 .1577056 .1788437 .1498348 .2530773 .1087662 .156065 1.759634
-.1859701 -.3658168 -.6372894 -.7633798 -.2519115 -.2394588 -.5656557 -.5491476 -2.677138
sigma_u sigma_e rho
.19076479 .30263094 .28435807
(fraction of variance due to u_i)
.3482443 .3565467 -.0190948 -.0623255 .3354302 .7525861 -.1393002 .062616 4.220501
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu electric water phone road
-.0603695 -.0343926 -.1842448 -.3611607 .1404087 .1062733 -.3224474 -.1394626
.0811371 -.0046351 -.3281921 -.4128527 .0417593 .2565636 -.3524779 -.2432658
(b-B) Difference -.1415066 -.0297575 .1439472 .051692 .0986494 -.1502904 .0300306 .1038032
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .135082 .3251949 .192419 .1700624 .1120936 . . .0993522
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 26.35 Prob>chi2 = 0.0009 (V_b-V_B is not positive definite)
162
Lampiran 16 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.5234 0.0594 0.1841
Obs per group: min = avg = max =
-0.7411
F(8,32) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
-.310365 .9437776 .38026 -.1879388 .4096213 -.2458219 -.694884 -.0147107 -2.600509
sigma_u sigma_e rho
.68821097 .46948843 .6824174
F test that all u_i=0:
Std. Err. .297682 .5798645 .3859609 .3828622 .2902962 .382798 .161899 .2870099 3.381938
t
P>|t|
-1.04 1.63 0.99 -0.49 1.41 -0.64 -4.29 -0.05 -0.77
0.305 0.113 0.332 0.627 0.168 0.525 0.000 0.959 0.448
50 10
=
5 5.0 5
= =
4.39 0.0012
[95% Conf. Interval] -.9167234 -.2373676 -.4059167 -.9678037 -.1816928 -1.025556 -1.024661 -.5993308 -9.489292
.2959933 2.124923 1.166437 .5919261 1.000935 .533912 -.3651065 .5699094 4.288274
(fraction of variance due to u_i) F( 9, 32) =
1.65
Prob > F = 0.1430
. estimates store fixed . xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.3825 0.8178 0.4943
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
50 10
=
Std. Err.
Wald chi2( 8) Prob > chi2 z
P>|z|
0.40 -2.18 -1.30 -3.66 1.29 -0.73 -3.79 -1.04 1.79
0.690 0.029 0.193 0.000 0.197 0.466 0.000 0.300 0.074
5 5.0 5
=
40.07 0.0000
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
.0595836 -.4052471 -.2086297 -.6860914 .2158446 -.2486599 -.5823392 -.1944969 3.731005
.1494744 .1859286 .1601182 .1874478 .1672105 .3412925 .1537553 .1876576 2.086408
-.2333809 -.7696603 -.5224556 -1.053482 -.111882 -.9175809 -.8836942 -.562299 -.3582786
sigma_u sigma_e rho
0 .46948843 0
(fraction of variance due to u_i)
.3525481 -.0408338 .1051962 -.3187005 .5435712 .4202611 -.2809843 .1733052 7.820289
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu electric water phone road
-.310365 .9437776 .38026 -.1879388 .4096213 -.2458219 -.694884 -.0147107
.0595836 -.4052471 -.2086297 -.6860914 .2158446 -.2486599 -.5823392 -.1944969
(b-B) Difference -.3699486 1.349025 .5888897 .4981526 .1937767 .0028379 -.1125447 .1797861
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .2574334 .549248 .3511809 .3338365 .2373027 .17336 .0507009 .217162
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 21.00 Prob>chi2 = 0.0071 (V_b-V_B is not positive definite)
163
Lampiran 17 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Koridor Jawa dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvpdrb govexp agri manu edu water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.5538 0.1870 0.0165
Obs per group: min = avg = max =
-0.8550
F(7,17) Prob > F
cvpdrb
Coef.
govexp agri manu edu water phone road _cons
.2608696 -.5 1.069565 -.5695652 -1 .0695652 .5 -.0189855
sigma_u sigma_e rho
1.1020664 .33985103 .91316207
F test that all u_i=0:
Std. Err. .2240911 .4162308 .4081084 .4081084 .4806219 .2651482 .4162308 3.192137
t
P>|t|
1.16 -1.20 2.62 -1.40 -2.08 0.26 1.20 -0.01
0.260 0.246 0.018 0.181 0.053 0.796 0.246 0.995
30 6
=
5 5.0 5
= =
3.01 0.0299
[95% Conf. Interval] -.2119214 -1.37817 .2085317 -1.430599 -2.014024 -.4898486 -.3781702 -6.753806
.7336605 .3781702 1.930599 .2914683 .0140236 .628979 1.37817 6.715835
(fraction of variance due to u_i) F( 5, 17) =
1.24
Prob > F = 0.3320
. estimates store fixed . xtreg cvpdrb govexp agri manu edu water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.4286 0.9785 0.7396
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvpdrb
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
30 6
=
Std. Err.
Wald chi2( 7) Prob > chi2 z
P>|z|
.3372449 .0866759 .7577386 -.0043272 -.5450889 -.2238909 .6975942 -3.037991
.1939827 .078738 .2391208 .1918998 .4025686 .1777709 .1939158 2.614989
sigma_u sigma_e rho
0 .33985103 0
(fraction of variance due to u_i)
0.082 0.271 0.002 0.982 0.176 0.208 0.000 0.245
=
62.48 0.0000
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu water phone road _cons
1.74 1.10 3.17 -0.02 -1.35 -1.26 3.60 -1.16
5 5.0 5
-.0429541 -.0676478 .2890704 -.3804439 -1.334109 -.5723155 .3175261 -8.163275
.7174439 .2409997 1.226407 .3717895 .2439311 .1245336 1.077662 2.087293
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu water phone road
.2608696 -.5 1.069565 -.5695652 -1 .0695652 .5
.3372449 .0866759 .7577386 -.0043272 -.5450889 -.2238909 .6975942
(b-B) Difference -.0763753 -.5866759 .3118266 -.565238 -.4549111 .2934561 -.1975942
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .1121943 .4087156 .330717 .3601763 .2625565 .1967259 .3682998
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 6.92 Prob>chi2 = 0.4372 (V_b-V_B is not positive definite)
164
Lampiran 18 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvcons govexp agri manu edu water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
30 6
=
0.4461 0.0041 0.0443
Obs per group: min = avg = max =
-0.8536
F(7,17) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp agri manu edu water phone road _cons
-.2608696 -.5 1.530435 -1.030435 -1 .5304348 .5 -.0010145
sigma_u sigma_e rho
.9805185 .44215237 .83101725
F test that all u_i=0:
Std. Err. .2915466 .5415239 .5309565 .5309565 .6252979 .3449626 .5415239 4.153028
t
P>|t|
-0.89 -0.92 2.88 -1.94 -1.60 1.54 0.92 -0.00
= =
5 5.0 5 1.96 0.1225
[95% Conf. Interval]
0.383 0.369 0.010 0.069 0.128 0.143 0.369 1.000
-.8759792 -1.642515 .4102145 -2.150655 -2.319263 -.1973728 -.6425155 -8.763139
.3542401 .6425155 2.650655 .0897855 .3192632 1.258242 1.642515 8.76111
(fraction of variance due to u_i) F( 5, 17) =
1.34
Prob > F = 0.2945
. estimates store fixed
xtreg cvcons govexp agri manu edu water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.2452 0.9794 0.5500
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
30 6
=
Std. Err.
Wald chi2( 7) Prob > chi2 z
P>|z|
.0491883 .0235932 .5578067 -.0282234 -.6010789 -.0492432 .5952275 -2.036471
.2549894 .1035008 .3143234 .2522515 .5291748 .2336791 .2549016 3.437392
sigma_u sigma_e rho
0 .44215237 0
(fraction of variance due to u_i)
0.847 0.820 0.076 0.911 0.256 0.833 0.020 0.554
=
26.89 0.0003
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu water phone road _cons
0.19 0.23 1.77 -0.11 -1.14 -0.21 2.34 -0.59
5 5.0 5
-.4505817 -.1792647 -.0582557 -.5226273 -1.638243 -.5072458 .0956297 -8.773635
.5489584 .2264511 1.173869 .4661805 .4360847 .4087595 1.094825 4.700694
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu water phone road
-.2608696 -.5 1.530435 -1.030435 -1 .5304348 .5
.0491883 .0235932 .5578067 -.0282234 -.6010789 -.0492432 .5952275
(b-B) Difference -.3100579 -.5235932 .9726281 -1.002211 -.3989211 .5796779 -.0952275
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .1413501 .5315408 .4279201 .4672087 .3331238 .2537583 .4777795
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 6.99 Prob>chi2 = 0.4295 (V_b-V_B is not positive definite)
165
Lampiran 19 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Koridor Kalimantan dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvpdrb govexp agri electric water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.3513 0.3444 0.0030
Obs per group: min = avg = max =
-0.8758
F(6,10) Prob > F
cvpdrb
Coef.
Std. Err.
govexp agri electric water phone road _cons
-.0842697 -.2752809 -.0561798 -1.08427 -.2865169 -.1479401 5.067884
.3269877 .6453933 .6044567 .7576029 .3105248 .4782366 6.076083
sigma_u sigma_e rho
.8373661 .48323969 .75016588
F test that all u_i=0:
t
P>|t|
-0.26 -0.43 -0.09 -1.43 -0.92 -0.31 0.83
0.802 0.679 0.928 0.183 0.378 0.763 0.424
20 4
=
5 5.0 5
= =
0.90 0.5292
[95% Conf. Interval] -.8128436 -1.713307 -1.402993 -2.772314 -.9784092 -1.213518 -8.470474
.6443043 1.162745 1.290634 .6037748 .4053755 .9176375 18.60624
(fraction of variance due to u_i) F( 3, 10) =
1.40
Prob > F = 0.3003
. estimates store fixed . xtreg cvpdrb govexp agri electric water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
Number of obs = Number of groups
0.1637 0.9486 0.3097
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) =
20 4
=
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed)
Wald chi2( 6) Prob > chi2
cvpdrb
Coef.
Std. Err.
govexp agri electric water phone road _cons
.1419142 .3267327 .709571 -.0792079 -.4422442 -.0561056 -4.630363
.2741317 .315727 .3504524 .3706722 .2861431 .4886346 2.819004
z
P>|z|
sigma_u sigma_e rho
0 .48323969 0
(fraction of variance due to u_i)
0.52 1.03 2.02 -0.21 -1.55 -0.11 -1.64
0.605 0.301 0.043 0.831 0.122 0.909 0.100
5 5.0 5
=
5.83 0.4423
=
[95% Conf. Interval] -.3953741 -.2920809 .022697 -.805712 -1.003074 -1.013812 -10.15551
.6792025 .9455462 1.396445 .6472962 .118586 .9016007 .8947831
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri electric water phone road
-.0842697 -.2752809 -.0561798 -1.08427 -.2865169 -.1479401
.1419142 .3267327 .709571 -.0792079 -.4422442 -.0561056
(b-B) Difference -.2261839 -.6020136 -.7657507 -1.005062 .1557274 -.0918345
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .1782491 .5628934 .4924947 .6607301 .120614 .
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 4.46 Prob>chi2 = 0.6140 (V_b-V_B is not positive definite)
166
Lampiran 20 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvcons govexp agri electric water phone, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.3451 0.3444 0.0025
Obs per group: min = avg = max =
-0.8687
F(5,11) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp agri electric water phone _cons
-.1080306 -.3126195 -.0468451 -1.108031 -.3068834 4.30521
sigma_u sigma_e rho
.81279996 .46295028 .75505016
F test that all u_i=0:
Std. Err. .3044933 .6073864 .5783558 .7220541 .2907237 5.774384
t
P>|t|
-0.35 -0.51 -0.08 -1.53 -1.06 0.75
0.729 0.617 0.937 0.153 0.314 0.472
20 4
=
5 5.0 5
= =
1.16 0.3874
[95% Conf. Interval] -.7782159 -1.649468 -1.319798 -2.697261 -.946762 -8.404124
.5621547 1.024229 1.226107 .4811998 .3329953 17.01454
(fraction of variance due to u_i) F( 3, 11) =
1.49
Prob > F = 0.2708
. estimates store fixed
xtreg cvcons govexp agri electric water phone, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.1634 0.9453 0.3090
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
20 4
=
Std. Err.
Wald chi2( 5) Prob > chi2 z
P>|z|
0.54 1.13 2.10 -0.31 -1.64 -2.45
0.589 0.258 0.036 0.754 0.101 0.014
5 5.0 5
=
6.26 0.2817
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri electric water phone _cons
.1278137 .3112155 .7056175 -.0990409 -.4470542 -5.443531
.2362909 .275102 .3362409 .3161972 .2729018 2.219375
-.3353079 -.2279745 .0465975 -.7187761 -.981932 -9.793426
sigma_u sigma_e rho
0 .46295028 0
(fraction of variance due to u_i)
.5909352 .8504055 1.364638 .5206943 .0878235 -1.093636
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri electric water phone
-.1080306 -.3126195 -.0468451 -1.108031 -.3068834
.1278137 .3112155 .7056175 -.0990409 -.4470542
(b-B) Difference -.2358443 -.623835 -.7524627 -1.00899 .1401709
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .192049 .5415137 .4705715 .649139 .1002241
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 5) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 4.85 Prob>chi2 = 0.4350 (V_b-V_B is not positive definite)
167
Lampiran 21 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Koridor Sulawesi dengan Model Data Panel Statis . xtreg cvpdrb govexp agri edu electric road puskes, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.3907 0.6073 0.4034
Obs per group: min = avg = max =
-0.7307
F(6,18) Prob > F
cvpdrb
Coef.
govexp agri edu electric road puskes _cons
.0667764 .0726942 -1 4.83e-30 .0422649 .3218713 1.885228
sigma_u sigma_e rho
.28009234 .32910867 .4200575
F test that all u_i=0:
Std. Err. .1455416 .3207453 .4654299 .380022 .1237845 .328197 2.112397
t
P>|t|
0.46 0.23 -2.15 0.00 0.34 0.98 0.89
0.652 0.823 0.046 1.000 0.737 0.340 0.384
30 6
=
5 5.0 5
= =
1.92 0.1317
[95% Conf. Interval] -.2389951 -.6011667 -1.977832 -.7983965 -.2177966 -.367645 -2.552754
.3725479 .746555 -.022168 .7983965 .3023264 1.011388 6.323209
(fraction of variance due to u_i) F( 5, 18) =
0.90
Prob > F = 0.5006
. estimates store fixed . xtreg cvpdrb govexp agri edu electric road puskes, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.3456 0.7908 0.4920
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvpdrb
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
30 6
=
Std. Err.
Wald chi2( 6) Prob > chi2 z
P>|z|
0.05 -0.96 -2.31 0.30 -0.80 0.88 1.58
0.960 0.338 0.021 0.762 0.422 0.378 0.113
5 5.0 5
=
22.27 0.0011
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri edu electric road puskes _cons
.0056347 -.1325486 -.8639196 .1068961 -.0438203 .1221926 2.231532
.1114714 .138414 .3742874 .3531519 .0545772 .1386805 1.409207
-.2128452 -.403835 -1.597509 -.5852689 -.1507896 -.1496162 -.5304623
sigma_u sigma_e rho
0 .32910867 0
(fraction of variance due to u_i)
.2241145 .1387378 -.1303298 .799061 .0631489 .3940015 4.993527
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri edu electric road puskes
.0667764 .0726942 -1 4.83e-30 .0422649 .3218713
.0056347 -.1325486 -.8639196 .1068961 -.0438203 .1221926
(b-B) Difference .0611417 .2052428 -.1360804 -.1068961 .0860852 .1996786
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .0935761 .2893426 .2766478 .1403582 .1111032 .2974575
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 3.76 Prob>chi2 = 0.7086
168
Lampiran 22 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Model Data Panel Statis xtreg cvcons govexp manu phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.1588 0.3273 0.1801
Obs per group: min = avg = max =
0.0143
F(4,20) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp manu phone road _cons
-.3588395 .2967585 -.4684252 .0164361 .2228292
sigma_u sigma_e rho
.24708563 .81000088 .08513013
F test that all u_i=0:
Std. Err. .3319177 .7563944 .2842052 .1106603 2.956219
t
P>|t|
-1.08 0.39 -1.65 0.15 0.08
0.293 0.699 0.115 0.883 0.941
30 6
=
5 5.0 5
= =
0.94 0.4590
[95% Conf. Interval] -1.051208 -1.281052 -1.061267 -.2143972 -5.943735
.3335287 1.87457 .1244164 .2472694 6.389393
(fraction of variance due to u_i) F( 5, 20) =
0.40
Prob > F = 0.8398
. estimates store fixed . xtreg cvcons govexp manu phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.1519 0.4971 0.1912
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
30 6
=
Std. Err.
Wald chi2( 4) Prob > chi2 z
P>|z|
-1.10 0.20 -2.18 0.19 0.21
0.273 0.839 0.029 0.849 0.835
5 5.0 5
=
5.91 0.2058
=
[95% Conf. Interval]
govexp manu phone road _cons
-.2783663 .118168 -.5320388 .0154521 .4934333
.2539534 .5822057 .2438897 .081248 2.36603
-.7761058 -1.022934 -1.010054 -.1437911 -4.1439
sigma_u sigma_e rho
0 .81000088 0
(fraction of variance due to u_i)
.2193731 1.25927 -.0540238 .1746952 5.130767
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp manu phone road
-.3588395 .2967585 -.4684252 .0164361
-.2783663 .118168 -.5320388 .0154521
(b-B) Difference -.0804731 .1785905 .0636136 .0009841
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .2137219 .4828757 .1459123 .0751296
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 4) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 0.45 Prob>chi2 = 0.9785
169
Lampiran 23 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvpdrb govexp manu edu phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
35 7
=
0.3313 0.1450 0.1745
Obs per group: min = avg = max =
-0.4858
F(5,23) Prob > F
cvpdrb
Coef.
govexp manu edu phone road _cons
-.5584706 -.1606458 -.2597571 -.2144567 .3054509 3.713252
sigma_u sigma_e rho
.54682017 .34102897 .71996845
F test that all u_i=0:
Std. Err. .2637872 .4613175 .2565487 .1328277 .1990798 2.200046
t
P>|t|
-2.12 -0.35 -1.01 -1.61 1.53 1.69
0.045 0.731 0.322 0.120 0.139 0.105
5 5.0 5
= =
2.28 0.0804
[95% Conf. Interval] -1.104156 -1.114954 -.7904686 -.4892317 -.106377 -.8378895
-.0127853 .7936621 .2709544 .0603183 .7172788 8.264393
(fraction of variance due to u_i) F( 6, 23) =
4.95
Prob > F = 0.0022
. estimates store fixed
xtreg cvpdrb govexp manu edu phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.2578 0.4471 0.3751
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvpdrb
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
35 7
=
Std. Err.
Wald chi2( 5) Prob > chi2 z
P>|z|
-.1373063 -.3289191 -.3227827 -.2275645 .1424963 2.134472
.1899828 .1742794 .2178405 .135763 .1892257 1.177982
sigma_u sigma_e rho
.29558842 .34102897 .4289837
(fraction of variance due to u_i)
0.470 0.059 0.138 0.094 0.451 0.070
=
12.59 0.0275
=
[95% Conf. Interval]
govexp manu edu phone road _cons
-0.72 -1.89 -1.48 -1.68 0.75 1.81
5 5.0 5
-.5096657 -.6705004 -.7497422 -.493655 -.2283793 -.1743306
.2350532 .0126623 .1041768 .038526 .5133718 4.443275
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp manu edu phone road
-.5584706 -.1606458 -.2597571 -.2144567 .3054509
-.1373063 -.3289191 -.3227827 -.2275645 .1424963
(b-B) Difference -.4211643 .1682732 .0630256 .0131078 .1629546
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .1830033 .4271305 .1355093 . .0618578
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 5) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 139.76 Prob>chi2 = 0.0000 (V_b-V_B is not positive definite)
170
Lampiran 24 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku dengan Model Data Panel Statis xtreg cvcons govexp manu edu electric phone, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.2086 0.6577 0.2548
Obs per group: min = avg = max =
-0.9170
F(5,23) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp manu edu electric phone _cons
.2669943 .5800573 .3808354 -.6992219 -.2031122 -3.800462
sigma_u sigma_e rho
1.0889234 .43897226 .86020781
F test that all u_i=0:
Std. Err. .3304702 .5889196 .3271102 .4926114 .1694786 3.48635
t
P>|t|
0.81 0.98 1.16 -1.42 -1.20 -1.09
0.427 0.335 0.256 0.169 0.243 0.287
35 7
=
5 5.0 5
= =
1.21 0.3349
[95% Conf. Interval] -.4166354 -.6382158 -.2958436 -1.718266 -.5537055 -11.01253
.950624 1.79833 1.057514 .3198224 .1474811 3.411601
(fraction of variance due to u_i) F( 6, 23) =
3.29
Prob > F = 0.0173
. estimates store fixed . xtreg cvcons govexp manu edu electric phone, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.0013 0.7377 0.3916
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
35 7
=
Std. Err.
Wald chi2( 5) Prob > chi2 z
P>|z|
-2.18 -1.75 0.53 0.04 -0.95 -0.01
0.029 0.081 0.598 0.968 0.340 0.993
5 5.0 5
=
18.67 0.0022
=
[95% Conf. Interval]
govexp manu edu electric phone _cons
-.3329664 -.2310774 .1549467 .0136612 -.1905955 -.0115304
.1525784 .1322539 .2940091 .3455195 .1997336 1.394251
-.6320145 -.4902902 -.4213005 -.6635445 -.5820662 -2.744211
sigma_u sigma_e rho
0 .43897226 0
(fraction of variance due to u_i)
-.0339182 .0281355 .731194 .6908669 .2008752 2.721151
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp manu edu electric phone
.2669943 .5800573 .3808354 -.6992219 -.2031122
-.3329664 -.2310774 .1549467 .0136612 -.1905955
(b-B) Difference .5999606 .8111347 .2258886 -.7128831 -.0125167
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .2931388 .5738774 .1433866 .3511158 .
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 5) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 4.47 Prob>chi2 = 0.4844 (V_b-V_B is not positive definite)
171
Lampiran 25 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB di Indonesia dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups
0.1984 0.0104 0.0458
Obs per group: min = avg = max =
-0.3473
F(8,124) Prob > F
cvpdrb
Coef.
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
.0159103 -.0221645 .1359 -.3056077 -.0295307 -.3302583 -.195908 -.0414967 1.245659
sigma_u sigma_e rho
.495435 .35956051 .65500374
F test that all u_i=0:
Std. Err. .0888527 .1827264 .1694801 .1484937 .1458319 .1867906 .0670762 .0451731 1.434603
t
P>|t|
0.18 -0.12 0.80 -2.06 -0.20 -1.77 -2.92 -0.92 0.87
0.858 0.904 0.424 0.042 0.840 0.080 0.004 0.360 0.387
165 33
=
5 5.0 5
= =
3.84 0.0005
[95% Conf. Interval] -.1599542 -.3838312 -.1995485 -.5995184 -.3181728 -.6999691 -.3286707 -.1309069 -1.593823
.1917747 .3395021 .4713485 -.011697 .2591114 .0394525 -.0631454 .0479135 4.085141
(fraction of variance due to u_i) F( 32, 124) =
4.22
Prob > F = 0.0000
. estimates store fixed . xtreg cvpdrb govexp agri manu edu electric water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.1688 0.4590 0.3494
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvpdrb
Number of obs = Number of groups
Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
165 33
=
Std. Err.
Wald chi2( 8) Prob > chi2 z
P>|z|
0.40 1.69 -1.20 -2.64 0.38 -0.64 -3.81 0.11 0.43
0.687 0.092 0.230 0.008 0.705 0.522 0.000 0.912 0.669
5 5.0 5
=
49.18 0.0000
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
.0285817 .1084459 -.10972 -.3094276 .0434254 -.0952587 -.2379806 .002174 .4257149
.0709692 .0642718 .0913605 .1171862 .1147566 .1486089 .0624796 .019689 .9973416
-.1105155 -.0175244 -.2887834 -.5391082 -.1814933 -.3865268 -.3604383 -.0364157 -1.529039
sigma_u sigma_e rho
.32553335 .35956051 .45045434
(fraction of variance due to u_i)
.1676788 .2344163 .0693434 -.0797469 .2683442 .1960095 -.1155228 .0407637 2.380469
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu electric water phone road
.0159103 -.0221645 .1359 -.3056077 -.0295307 -.3302583 -.195908 -.0414967
.0285817 .1084459 -.10972 -.3094276 .0434254 -.0952587 -.2379806 .002174
(b-B) Difference -.0126714 -.1306105 .24562 .0038199 -.0729562 -.2349996 .0420725 -.0436707
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .0534619 .1710499 .1427471 .0912019 .0899881 .113164 .0244033 .0406565
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 7.66 Prob>chi2 = 0.4679
.
172
Lampiran 26 Scripts Input dan Hasil Output Stata Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia dengan Model Data Panel Statis . xtset prov tahun panel variable: time variable: delta:
prov (strongly balanced) tahun, 2006 to 2010 1 unit
. xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
corr(u_i, Xb)
=
Number of obs = Number of groups =
0.2302 0.0381 0.0195
Obs per group: min = avg = max =
-0.5791
F(8,124) Prob > F
cvcons
Coef.
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
-.1367585 -.0879352 .4492355 .0854449 -.2038534 -.7313191 -.3603668 .0285516 1.658301
sigma_u sigma_e rho
.57023022 .53205077 .53459526
F test that all u_i=0:
Std. Err. .1314776 .2703848 .2507839 .2197299 .2157911 .2763987 .0992544 .0668437 2.122819
t
P>|t|
-1.04 -0.33 1.79 0.39 -0.94 -2.65 -3.63 0.43 0.78
0.300 0.746 0.076 0.698 0.347 0.009 0.000 0.670 0.436
165 33 5 5.0 5
= =
4.64 0.0001
[95% Conf. Interval] -.3969896 -.6231025 -.0471362 -.3494622 -.6309644 -1.27839 -.556819 -.1037508 -2.543352
.1234725 .4472321 .9456071 .520352 .2232576 -.1842487 -.1639146 .1608541 5.859954
(fraction of variance due to u_i) F( 32, 124) =
2.26
Prob > F = 0.0008
. estimates store fixed . xtreg cvcons govexp agri manu edu electric water phone road, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq:
within = between = overall =
0.1638 0.3070 0.2108
Random effects u_i ~ corr(u_i, X) = cvcons
Number of obs = Number of groups = Obs per group: min = avg = max =
Gaussian 0 (assumed) Coef.
165 33
Std. Err.
Wald chi2( 8) Prob > chi2 z
P>|z|
-.1672134 .0633488 -.0098016 -.0651293 .157407 -.1187455 -.3507081 .0278915 -.6275299
.0878603 .0663219 .0975469 .1442247 .1432842 .1875377 .0906126 .0200868 1.188918
sigma_u sigma_e rho
.22685427 .53205077 .15383131
(fraction of variance due to u_i)
0.057 0.339 0.920 0.652 0.272 0.527 0.000 0.165 0.598
=
37.14 0.0000
=
[95% Conf. Interval]
govexp agri manu edu electric water phone road _cons
-1.90 0.96 -0.10 -0.45 1.10 -0.63 -3.87 1.39 -0.53
5 5.0 5
-.3394164 -.0666397 -.20099 -.3478045 -.1234248 -.4863126 -.5283055 -.0114778 -2.957766
.0049896 .1933372 .1813867 .2175458 .4382387 .2488216 -.1731107 .0672608 1.702706
. hausman fixed Coefficients (b) (B) fixed . govexp agri manu edu electric water phone road
-.1367585 -.0879352 .4492355 .0854449 -.2038534 -.7313191 -.3603668 .0285516
-.1672134 .0633488 -.0098016 -.0651293 .157407 -.1187455 -.3507081 .0278915
(b-B) Difference .0304549 -.1512839 .4590371 .1505742 -.3612603 -.6125736 -.0096587 .0006601
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E. .0978107 .2621247 .2310351 .1657724 .161355 .2030415 .0405067 .0637543
b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2( 8) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 26.19 Prob>chi2 = 0.0010
.