ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESENJANGAN PENDAPATAN DI PROPINSI JAWA TENGAH
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Disusun oleh : ANNISA GANIS DAMARJATI NIM. C2B606007
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS DIPONEGORO 2010
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Sungguh, bersama kesukaran itu pasti ada kemudahan. Oleh karena itu, jika kamu telah selesai dari suatu tugas, kerjakan tugas lain dengan sungguhsungguh-sungguh” (QS Asy Syarh : 66-7)
Skripsi ini Kupersembahkan untuk Ayah dan Ibu serta orangorang-orang terkasih yang selama ini selalu ada untuk memberi semangat
v
ABSTRACT This study aims to analyze the impact of economic growth, unemployment, education and agglomeration of income inequality in Central Java for five years (2004-2008). The model used are based on Kuznets Hypothesis. The method used in this study is panel data with PLS Approach (Panel Least Squares). The result shows that all of independent variables significant effect on income inequality in Central Java. It can be concluded that Kuznets Hypothesis is valid in this study. This can be seen from the positive relationship between economic growth and income inequality. Keywords
: Income Inequality, Economic Growth, Unemployment, Gross Enrollment Rate, Agglomeration.
vi
ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka partisipasi kasar dan aglomerasi terhadap kesenjangan pendapatan di Jawa Tengah selama lima tahun (2004-2008). Model yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada Hipotesis Kuznets. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data dengan pendekatan PLS (Panel Least Squares). Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan pendapatan di Jawa Tengah. Dapat disimpulkan bahwa Hipotesis Kuznets berlaku dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan. Kata Kunci : Kesenjangan Pendapatan, Tingkat Pengangguran, Angka Partisipasi Kasar, Aglomerasi.
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah tahun 2004-2008..............................
2
Tabel 1.2 Kontribusi Masing-Masing Sektor Terhadap PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha 2004-2008 .................................................
3
Tabel 1.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008 ...............................................................................................
4
Tabel 1.4 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa Tahun 2004-2008.........
5
Tabel 1.5 Kondisi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Menurut Kriteria Tipologi Daerah Tahun 2004-2008.......................................
7
Tabel 1.6 Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 20042008.......................................................................................
8
Tabel 1.7 APK SMA Pulau Jawa Tahun 2004-2008 ............................
10
Tabel 1.8 Jumlah Pengangguran Terbuka Jawa Tengah Tahun 20042008.......................................................................................
10
Tabel 1.9 Kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB ADHK 2000 Propinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2007 ........
12
Tabel 2.1 Tipologi Klassen ...................................................................
30
Tabel 2.2 Research Gap........................................................................
52
Tabel 3.1 Kriteria Pengujian Durbin-Watson ......................................
61
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2004-2008 (jiwa) .......................................................
64
Tabel 4.2 Indeks Williamson Masing-Masing Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 (persen) ......................................
xiv
66
Tabel 4.3 Pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan Tahun 20042008.......................................................................................
68
Tabel 4.4 Sumbangan PDRB 7 Kabupaten/Kota Terhadap PDRB Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas Tahun 2004-2008 .............................................................................
69
Tabel 4.5 Tingkat Pengangguran Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2004-2008 (persen) ........................
72
Tabel 4.6 Angka Partisipasi Kasar Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2004-2008 (persen).........................
74
Tabel 4.7 Keadaan Aglomerasi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 ............................................................................
76
Tabel 4.8 Hasil Regresi Utama ............................................................
78
Tabel 4.9 Nilai t-statistik ......................................................................
79
Tabel 4.10 R2 Auxiliary Regression .......................................................
82
Tabel 4.11 Hasil Uji Park .......................................................................
83
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kurva Kemungkinan Produksi ...........................................
22
Gambar 2.2 Hipotesis U terbalik Kuznets .............................................
24
Gambar 2.3 Teori Penduduk Optimum ..................................................
32
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran............................................................
55
Gambar 3.1 Kriteria Pengujian Durbin-Watson .....................................
70
Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas ...........................................................
89
Gambar 4.2 Hasil Uji Durbin-Watson ....................................................
92
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Lampiran B Lampiran C
Lampiran D
Data Hasil Regresi Utama Uji Asumsi Klasik Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran, Tingkat Pendidikan dan Aglomerasi Terhadap Kesenjangan Pendapatan di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 Lain-lain
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pembangunan
merupakan
proses
multidimensi
yang
melibatkan
perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan kelembagaan, termasuk pula percepatan/akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan pemberantasan kemiskinan (Michael P.Todaro, 2000). Di dalam pembangunan ekonomi selalu muncul polemik dalam menentukan strategi dasar pembangunannya, yaitu memprioritaskan pada pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pendapatan. Beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa prioritas pada laju pertumbuhan ekonomi tinggi sudah tidak dapat lagi dipakai untuk mengurangi kemiskinan, sementara kemiskinan merupakan realita dalam kehidupan ekonomi di Negara yang sedang berkembang. Sebaliknya, di negara yang maju semangat untuk meningkatkan pendapatan merupakan tujuan yang paling penting dari segala kegiatan ekonomi. Tingginya ekonomi suatu daerah memang tidak menjamin pemerataan pendapatan, namun pertumbuhan ekonomi yang cepat tetap dianggap merupakan strategi unggul dalam pembangunan ekonomi (Prayitno, 1986). Pertumbuhan ekonomi itu sendiri artinya adalah suatu perubahan tingkat ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono, 1994). Ini berarti bahwa
1
2
untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah, harus membandingkan pendapatan riil daerah yang bersangkutan dari tahun ke tahun. Indikator yang digunakan adalah PDRB. Dari PDRB, kita dapat melihat seberapa jauh pembangunan telah berhasil menyejahterakan masyarakatnya, dengan kata lain pemerataan pendapatan. Berikut ini disajikan tabel PDRB dan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah : Tabel 1.1 PDRB Atas Harga Konstan 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah Tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008
PDRB (rupiah) Pertumbuhan (%) 135.789.872,31 5,13 143.051.213,88 5,35 150.682.654,74 5,33 159.110.253,77 5,59 167.790.369,85 5,46
Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2009
Tabel 1.1 menggambarkan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah selama lima tahun, yaitu dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 sebesar 5,13 persen. Tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 5,35 persen. Tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah mengalami penurunan sebesar 0,02 persen, dari 5,35 persen menjadi 5,33. Peningkatan pertumbuhan ekonomi kembali terjadi pada tahun 2007, dari 5,33 persen menjadi 5,59, namun, pada tahun 2008 kembali mengalami penurunan, yaitu dari 5,59 menjadi 5,46 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah tidak terlepas dari besarnya kontribusi sembilan sektor. Berikut ini disajikan tabel kontribusi sembilan sektor terhadap pembentukan PDRB Propinsi Jawa Tengah :
3
Tabel 1.2 Kontribusi Masing-masing Sektor terhadap Pembentukan PDRB ADHK 2000 Propinsi Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2008 (persen) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan penggalian Indstri Pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan Jasa-jasa
2004 21,07 0,98 32,40 0,78 5,49 20,87 4,79 3,55 10,06
2005 20,92 1,02 32,23 0,82 5,57 21,01 4,89 3,54 10,01
2006 20,57 1,11 31,98 0,83 5,61 21,11 4,95 3,58 10,25
2007 20,03 1,12 31,97 0,84 5,69 21,30 5,06 3,62 10,36
2008 19,96 1,10 31,68 0,84 5,75 21,23 5,16 3,71 10,57
Rata-rata 20,37 1,08 31,96 0,83 5,65 21,16 5,01 3,61 10,29
Sumber : BPS, Jawa Tengah Dalam Angka 2009, Diolah
Dari Tabel 1.2, dapat dilihat bahwa rata-rata persentase kontribusi sektor industri pengolahan adalah paling tinggi diantara sektor-sektor lainnya. Peringkat kedua diduduki oleh sektor perdagangan, dan peringkat ketiga diduduki oleh sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor mempunyai peran yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah. Besarnya kontribusi sektor industri mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Propinsi Jawa Tengah. Namun, apabila dibandingkan dengan propinsi lainnya di Pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah masih menempati urutan terendah kedua setelah DI Yogyakarta. Berikut ini disajikan tabel pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa.
4
Tabel 1.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008 (persen) Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
2004 5,70 5,08 5,63 4,90 5,12 5,84
2005 6,06 6,23 5,88 5,00 4,73 5,84
2006 5,96 6,31 5,57 5,23 3,70 5,79
2007 6,46 6,86 6,04 5,97 4,31 6,04
2008 6,19 5,97 5,82 5,33 5,02 5,86
Rata-rata 6,16 6,34 5.82 5,38 4,44 5,88
Sumber : BPS, Statistik Indonesia, 2009
Tabel 1.3 memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Pulau Jawa periode tahun 2004-2008. Peringkat pertama ditempati oleh Propinsi Jawa Barat dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,34 persen. Propinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua dengan persentase rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,16 persen. Propinsi Jawa Timur dan Banten menempati peringkat keempat dan kelima dengan persentase rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,88 dan 5,82. Dari Tabel 1.3, dapat disimpulkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta termasuh rendah dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan propinsi lainnya. Selain pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita juga salah satu konsep penting dalam perekonomian suatu Negara. Menurut Todaro (2000), Produk Nasional bruto per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu Negara. Konsep pendapatan per kapita digunakan Oleh Kuznets dalam menganalisis kesenjangan pendapatan. Profesor Kuznets yang telah berjasa besar dalam mempelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di Negara-negara maju,
5
mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang lalu dikenal secara luas sebagai konsep Kurva Kuznets “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita. Berikut ini disajikan tabel pendapatan per kapita propinsi di Pulau Jawa : Tabel 1.4 PDRB per Kapita ADHK 2000 Pulau Jawa Tahun 2004-2008 (rupiah) Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
2004 31.832.209 5.956.962 6.011.802 4.172.657 5.008.951 6.639.717
2005 33.324.813 6.233.316 6.435.722 4.473.430 5.507.608 7.063.778
2006 34.901.161 6.494.537 6.650.331 4.682.582 5.174.721 7.412.716
2007 36.733.181 6.793.989 6.902.711 4.913.801 5.325.762 7.800.779
2008 38.551.400 6.884.700 7.168.100 4.812.800 5.538.100 8.187.500
Rata-rata 35.877.639 6.601.636 6.789.216 4.720.653 5.386.548 7.616.193
Sumber : BPS, Statistik Indonesia, 2009
Dilihat dari rata-rata PDRB per kapita propinsi, Propinsi Jawa Tengah juga termasuk rendah. Peringkat pertama ditempati oleh DKI Jakarta dengan ratarata PDRB per kapita sebesar 35.877.639 rupiah. Jawa Timur menempati peringkat kedua dengan rata-rata PDRB per kapita sebesar 7.616.193 rupiah. Peringkat ketiga ditempati oleh Propinsi Banten dengan rata-rata PDRB per kapita sebesar 6.789.216 rupiah. Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta menempati peringkat 5 dan 6 dengan rata-rata PDRB per kapita sebesar 5.564.328 dan 5.229.048 rupiah.
6
Di samping rendahnya laju pertumbuhan ekonomi, dan rata-rata PDRB per kapita,
Propinsi
Jawa
Tengah
juga
mempunyai
permasalahan
atas
ketidakmerataan pembangunan yang menyebabkan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di dalam propinsi. Mudrajad Kuncoro (2004) menyatakan bahwa gambaran dan pola struktur pertumbuhan masing-masing daerah yang mempresentasikan kesejahteraan penduduknya dapat diketahui menggunakan tipologi daerah yang berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Caranya adalah dengan menentukan PDRB per kapita sebagai sumbu horisontal dan laju pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal, sehingga dapat dibedakan klasifikasi kabupaten/kota sebagai berikut : 1.
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (High Growth and High Income), yaitu kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita di atas rata-rata PDRB per kapita Propinsi Jawa Tengah (4.720.653 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah (5,38 persen).
2.
Daerah maju tapi tertekan (High Income but Low Growth), yaitu kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita di atas rata-rata PDRB per kapita Propinsi Jawa Tengah (4.720.653 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah (5,38 persen).
7
3.
Daerah Berkembang Cepat (High Growth but Low Income), yaitu kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita Propinsi Jawa Tengah (4.720.653 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah (5,38 persen).
4.
Daerah Relatif Tertinggal (Low Growth and Low Income), yaitu kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita Propinsi Jawa Tengah (4.720.653 rupiah), dan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah (5,38 persen).
Tabel 1.5 Kondisi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Menurut Kriteria Tipologi Daerah Tahun 2004-2008 DAERAH BERKEMBANG CEPAT Purworejo, Sragen
DAERAH CEPAT MAJU DAN CEPAT TUMBUH Surakarta (kota), Sukoharjo, Karanganyar, Kudus, Semarang (Kota)
Growth > 5,38% PBRB/kap < Rp 4.720.653,00 DAERAH RELATIF TERTINGGAL Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Temanggung, Batang, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Brebes, Salatiga (Kota), Tegal (Kota). Growth < 5,38% PBRB/kap < Rp 4.720.653,00
Growth > 5,38% PBRB/kap > Rp 4.720.653,00 DAERAH MAJU TERTEKAN Kudus, Cilacap,Sukoharjo, Semarang, Kendal, Magelang (kota), Pekalongan (kota).
Growth < 5,38% PBRB/kap > Rp 4.720.653,00
Sumber : BPS, Tinjauan PDRB Kabupaten/kota Se-Jawa Tengah 2008, Diolah
8
Tabel
1.5
memperlihatkan
bahwa
terdapat
dua
(5,71
persen)
kabupaten/kota yang tergolong dalam kriteria daerah berkembang cepat, lima (14,28 persen) kabupaten/kota yang tergolong dalam kriteria daerah cepat maju dan cepat tumbuh, dua puluh tiga (65,71 persen) kabupaten/kota yang tergolong dalam kriteria daerah relatif tertinggal, serta enam (17,14 persen) kabupaten/kota yang tergolong dalam kriteria daerah maju tertekan. Selain Tipologi Klasen, kesenjangan pendapatan juga dapat dilihat dari besarnya angka Indeks Williamson. Indeks Williamson dalam penelitian ini digunakan sebagai indicator kesenjangan pendapatan. Berikut ini disajikan tabel yang menggambarkan kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah. Tabel 1.6 Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2007 (tanpa migas) Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
Indeks Williamson Berlaku Konstan 0,6957 0,6518 0,7154 0,6628 0,7421 0,6664 0,7295 0,6667 0,7270 0,6652 0,7219 0,6626
Sumber : BPS, Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota Se-Jawa Tengah 2008
Tabel 1.6 menunjukkan angka indeks kesenjangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah selama periode tahun 2003-2007. Data di atas memberikan gambaran bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2007 distribusi pendapatan Propinsi Jawa Tengah belum merata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Indeks Williamson di atas 0,50 (jauh dari nol). Kesenjangan terbesar terjadi pada
9
tahun 2005, yaitu sebesar 0,7421, sedangkan Indeks Williamson yang paling kecil adalah pada tahun 2003, yaitu sebesar 0,6957. Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah cenderung meningkat dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Penurunan terjadi pada dua tahun terakhir, yaitu pada tahun 2006 sebesar 0,7295 dan tahun 2007 menjadi 0,7270. Meskipun terjadi penurunan Indeks Williamson dari tahun 2005 sampai 2007, namun angka tahun 2007 masih lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tahun 2003 dan 2004. Secara keseluruhan, Indeks Williamson Propinsi Jawa Tengah masih menunjukkan angka yang tinggi, hal ini mengindikasikan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Tengah masih terjadi kesenjangan yang cukup besar. Hal ini disebabkan kondisi kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah yang relatif berbeda. Ada yang merupakan daerah industri/perkotaan yang cukup maju, sedangkan yang lainnya hanya didominasi oleh pertanian, akibatnya kesenjangan yang terjadi besar. Penelitian ini dilakukan di Propinsi Jawa Tengah karena propinsi ini masih terjadi kesenjangan pendapatan yang cukup besar, yang ditunjukkan oleh Indeks Williamson di atas 0,50, dan apabila dibandingkan dengan propinsi-propinsi lainnya di pulau jawa, pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita Propinsi Jawa Tengah tergolong rendah. Kemudian untuk melihat pemerataan pendidikan di Propinsi Jawa Tengah menggunakan Angka Partisipasi Kasar. Berikut ini disajikan tabel yang menggambarkan APK jenjang pendidikan SMA di Pulau Jawa.
10
Tabel 1.7 APK SMA Pulau Jawa Tahun 2004-2008 (persen) Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
2004 77,63 46,42 49,56 52,69 77,48 53,77
2005 73,28 46,27 53,55 55,20 78,05 56,46
2006 68,95 51,07 50,16 54,54 72,57 58,14
2007 68,74 49,32 54,29 56,91 75,87 64,17
2008 65,58 48,73 53,44 58,72 79,04 63,68
Sumber : BPS-RI, Susenas 2003-2009
Tabel 1.7 menggambarkan angka partisipasi kasar sebagai indikator pendidikan, pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Berdasarkan Tabel 1.7, dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi penduduk dalam pendidikan di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 2004-2008 relatif stabil. Artinya, selama lima tahun persentasenya mengalami peningkatan, namun peningkatannya tidak terlalu besar, seperti pada propinsi lainnya. Semakin meratanya jumlah penduduk yang bersekolah di tingkat pendidikan yang tinggi (SMA dan Perguruan Tinggi), maka akan semakin besar pula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi, sehingga diharapkan pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan di suatu daerah. Tabel 1.8 Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 (jiwa) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tahun 2004 2005 2006 2006 2008
Jumlah 1.044.573 978.952 1.197.244 1.360.219 1.227.308
Sumber : BPS, Jawa Tengah Dalam Angka 2008
11
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan lapangan kerja yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada di suatu daerah menjadi semakin serius. Besarnya tingkat pengangguran merupakan cerminan kurang berhasilnya pembangunan di suatu negara (Tambunan, 2001). Di Jawa Tengah besarnya tingkat pengangguran mengalami penurunan pada tahun 2005 dari 1.044.573 menjadi 978.952. kemudian pada tahun 2006, 2007 dan 2008 mengalami peningkatan jumlah pengangguran. Dalam proses pembangunan ekonomi, suatu daerah akan mengalami pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi. Karakteristik dan kondisi suatu daerah sangat beragam da berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya menjadikan daerah itu mengalami pembangunan ekonomi yang berbeda juga (Lincoln Arsyad, 2001). Konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial dalam suatu daerah menunjukkan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses selektif dipandang dari dimensi geografis. Kriteria utama pembangunan adalah kenaikan pendapatan per kapita yang sebagian besar disebabkan oleh adanya industrialisasi. Dalam pembangunan ekonomi, industrialisasi sebenarnya merupakan satu jalur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju maupun taraf hidup yang lebih bermutu. Industrialisasi merupakan proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi dan spesialisasi dalam produksi dan perdagangan antar daerah yang pada akhirnya sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mendorong struktur ekonomi (Tulus Tambunan, 2001). Berikut ini disajikan data mengenai kontribusi sektor industri pengolahan
12
terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 masing-masing propinsi di Pulau JAwa tahun 2005-2007 : Tabel 1.9 Kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap PDRB ADHK 2000 Masing-masing Propinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2007 (persen) Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten
2005 17,33 43,37 32,23 14,57 27,55 49,87
2006 17,17 44,39 31,98 14,15 26,83 49,80
2007 16,88 44,78 31,97 13,82 26,46 48,42
Sumber : BPS, PDRB Kabupaten/kota di Indonesia 2003-2007, Diolah
Tabel 1.9 menggambarkan besarnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB propinsi di Pulau Jawa. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap pembentukan PDRB d Propinsi Jawa Tengah termasuk tinggi, setelah Propinsi Banten dan Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan sektor industri pengolahan di Jawa Tengah berperan dalam pembentukan dan peningkatan PDRB propinsi tersebut. Semakin tinggi persentasenya, maka akan semakin meningkatkan pendapatan propinsi yang bersangkutan. Apabila sektor industri di propinsi lain tidak berkembang, maka dimungkinkan akan terjadi kesenjangan pendapatan antar propinsi. Masalah kesenjangan pendapatan telah lama menjadi topik pembicaraan dan sudah banyak pula penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian berkembang setelah pertama kali dilakukan oleh Simon Kuznets pada tahun 1955 yang kemudian terkenal dengan Hipotesis U-Terbalik yang menyatakan bahwa pada
awalnya
pertumbuhan
berdampak
pada
peningkatan
kesenjangan
13
pendapatan, tetapi pada suatu batas tertentu pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan pemerataan. Pada tahun 1975 Wiiliamson mengamati tingkat kesenjangan di berbagai negara
yang
mempunyai
tingkat
perkembangan
yang
berbeda
dengan
menggunakan indeks yang merupakan modifikasi dari suatu standard deviasi. Semakin tinggi indeksnya, maka tingkat kesenjangan wilayah semakin besar. Selanjutnya Williamson menganalisis hubungan kesenjangan wilayah dengan tingkat perkembangan ekonomi. Hasil analisisnya adalah nilai indeksnya terus meningkat bagi negara-negara yang tingkat perkembangan ekonominya semakin tinggi. Sampai suatu saat tercapai titik balik, dimana tingkat perkembangan ekonomi negara semakin tinggi nilai indeksnya semakin rendah. Apabila digambarkan dengan grafik, maka grafik tersebut akan berbentuk U terbalik. Hubungan ini sejalan dengan Hipotesis U-Terbalik Kuznets (Wiiliamson dalam Heppi Yana Syateri, 2005). Penemuan yang berbeda dilakukan oleh Handoko (1986) tentang masalah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional Indonesia yang menyimpulkan bahwa terdapat kecenderungan menurunnya kesenjangan pendapatan antar daerah dalam kurun waktu 1976-1980, dengan pengecualian tahun 1979. Kesimpulan ini berbeda dengan Hipotesis Kuznets (dicuplik dari Heppi Yana Syateri, 2005). Jonna P. Estudillo (1997) melakukan penelitian kesenjangan pendapatan di Filipina menggunakan data dari tahun 1961 sampai dengan 1991, dan salah satu variabel yang digunakan adalah tingkat pendidikan. Dari hasil analisis untuk
14
variabel tingkat pendidikan, dapat diambil kesimpulan bahwa dampak dari kenaikan penduduk yang berpendidikan tinggi dapat memperbaiki atau memperburuk kesenjangan pendapatan. Apabila peningkatan jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah, maka kesenjangan pendapatan dapat menurun. Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi berasal dari rumah tangga yang berpenghasilan tinggi, maka kesenjangan pendapatan akan meningkat. Hasibuan (dalam Adrian Coto, 2006) melakukan studi kesenjangan pendapatan rumah tangga dengan menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1976 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1976, mendapatkan hasil bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan tidak mengikuti Hipotesis Kuznets. Selain itu, faktor pendidikan memiliki peranan yang berarti dalam menentukan kesenjangan distribusi pendapatan. Persentase pendapatan 40 persen kelompok rumah tangga berpenghasilan terendah mengalami penurunan akibat kenaikan jumlah penduduk yang pernah sekolah. Jaime Bonet (2005) melakukan penelitian mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dan kesenjangan pendapatan regional di Kolombia selama tahun 1990an dengan menggunakan data panel. Bonet memasukkan variabel aglomerasi ke dalam modelnya. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa selama periode analisis, proses desentralisasi fiskal meningkatkan kesenjangan pendapatan regional. Kemudian dalam kesimpulannya, Bonet menekankan pada dua variabel, yaitu tingkat keterbukaan perekonomian dan tren
15
aglomerasi ekonomi yang mempunyai pengaruh negatif terhadap keseimbangan pendapatan regional. Penelitian ini dilakukan karena melihat adanya research gap dengan memilih beberapa variabel yang menyebabkan adanya gap antara beberapa penelitian terdahulu dengan waktu dan daerah penelitian yang berbeda dengan penelitian terdahulu. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan di Jawa Tengah”. 1.2.
Rumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menutup kemungkinan masih
terjadinya kesenjangan distribusi pendapatan di satu daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis yang mendalam untuk mengetahui seberapa besar kesenjangan pendapatan yang terjadi di daerah tersebut. Berdasarkan uraian masalah di atas, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Berapa besar kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan pendapatan?
16
3. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap kesenjangan pendapatan? 4. Bagaimana pengaruh angka partisipasi kasar terhadap kesenjangan pendapatan? 5. Bagaimana pengaruh aglomerasi terhadap kesenjangan pendapatan? 1.3.
Tujuan dan Kegunaan
1.3.1. Tujuan 1. Menganalisis seberapa besar kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan. 3. Menganalisis pengaruh tingkat pengangguran terhadap kesenjangan pendapatan. 4. Menganalisis pengaruh aglomerasi terhadap kesenjangan pendapatan. 1.3.2. Kegunaan 1. Bagi Pemerintah Propinsi dapat dijadikan acuan dalam mengambil setiap kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi di Propinsi Jawa Tengah.
17
2. Sebagai referensi atau perbandingan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. 1.4.
Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah dari kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini berisi teori-teori yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian. Bab III Metode Penelitian Bab ini berisi metode penelitian yang meliputi variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data serta metode analisis. Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi deskripsi obyek penelitian, analisis data dan pembahasan. Bab V Penutup Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan.
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1. Definisi Pembangunan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara – negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai berikut : economic development is growth plus change, yaitu pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan – perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ahli ekonomi bukan saja tertarik kepada masalah perkembangan pandapatan nasional riil, tetapi juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan (Sadono Sukirno, 1994 : 415). Yang perlu diingat, pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar
bagaimana
menaikkan
pertumbuhan
ekonomi
per
tahun
saja.
Pembangunan ekonomi itu bisa diartikan sebagai kegiatan – kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan di atas, maka pembangunan ekonomi pada umumnya disefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan
18
19
per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang (Lincolin Arsyad, 1999 : 11). Menurut Michael P. Todaro (1993), pembangunan di semua negara memiliki tiga sasaran yang ingin dicapai, yaitu : 1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan. 2. Meningkatkan taraf hidup, termasuk manambah dan mempertinggi penghasilan, penyediaan lapangan kerja yang memadai, pendidikan yang lebih baik dan memperhatikan nilai – nilai budaya dan kemanusiaan. Semua itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi semata, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri, baik individu maupun bangsa. 3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap – sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya dalam hubungannya dengan orang lain dan negara – negara lain, tetapi juga sumber – sumber kebodohan dan penderitaan manusia. 2.1.2. Definisi Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya – sumberdaya yang ada dan
20
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Lincolin Arsyad, 1999 : 298). 2.1.3. Definisi Kesenjangan Menurut Mubyarto (1995), kesenjangan dapat dibedakan menjadi : 1. Kesenjangan antar sektor, yaitu sektor industri dan sektor pertanian. Kesenjangan jenis ini merupakan masalah lama dan sudah menjadi bahan kajian para akar di banyak negara. 2. Kesenjangan antar daerah. Dalam sejarah, kesenjangan antar daerah terjadi antara wilayah Jawa dan Luar Jawa, dan sejak kemajuan Provinsi Bali yang luar biasa, menjadi kesenjangan “Jawa dengan Luar Jawa Bali”. 3. Kesenjangan antar golongan ekonomi. Kesenjangan jenis ini adalah yang paling berat dan dalam sistem perekonomian yang cenderung liberal / kapitalis, perekonomian yang tumbuh terlalu cepat justru mengakibatkan kesenjangan menjadi semakin parah. 2.1.4. Definisi Pendapatan Menurut Hicks (1993), pendapatan adalah jumlah yang dapat dibelanjakan seseorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu, sementara nilai kekayaannya tetap utuh. Dalam melakukan pengukuran, nilai konsumsi ditambah perubahan nilai kekayaan harus sama dengan jumlah penerimaan, keuntungan dari penjualan aktiva, nilai tunjangan tambahan dan produksi untuk konsumsi keluarga dan sewa yang diperoleh. Namun, dalam prakter, hal ini sulit diterapkan, karena
21
dalam pengukuran perubahan kekayaan terdapat penilaian kembali persediaan modal. Salah satu alternatif dalam mengukur pendapatan adalah melalui pengeluaran konsumsi. Konsumsi merupakan faktor yang relevan dalam penilaian kesejahteraan. Raharja dan Manurung (membagi sumber penerimaan rumah tangga sebagai pendapatan menjadi tiga bagian, yaitu : a. Pendapatan dari gaji dan upah yang merupakan balas jasa sebagai tenaga kerja. Besar gaji / upah dipengaruhi produktivitas, diantaranya tingkat keahlian (skill), kualitas modal manusia (human capital), dan kondisi kerja (working condition). b. Pendapatan dari aset produktif, berupa pemasukan balas jasa penggunaan, diantaranya aset finansial (deposito, modal dan saham), dan aset bukan finansial (rumah, tanah dan bangunan). c. Pendapatan dari pemerintah (transfer payment), berupa pendapatan yang diterima sebagai balas jasa atas input yang diberikan, misalnya dalam bentuk subsidi, tunjangan atau jaminan sosial. 2.1.5. Definisi Kesenjangan Pendapatan Bigsten (1987) mengemukakan bahwa distribusi pendapatan pada sebuah perekonomian adalah hasil akhir dari seluruh proses ekonomi, yang artinya bahwa distribusi pendapatan pada prinsipnya harus memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhinya. Adam Smith dan Marx berpendapat bahwa persoalan pokok dari distribusi pendapatan adalah bagaimana hasil penjualan produk dibagi diantaranya upah, sewa dan laba.
22
Lincolin Arsyad (1999) mengemukakan bahwa cara sederhana untuk mengetahui masalah distribusi pendapatan adalah dengan menggunakan kerangka kemungkinan produksi. Dalam hal ini, suatu perekonomian diasumsikan menjadi dua macam barang, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Produksi dianggap terjadi di sepanjang kurva kemungkinan produksi. Gambar 2.1 Kurva Kemungkinan Produksi Barang Mewah
A
Kurva Kemungkinan Produksi
B
O
Barang Kebutuhan Pokok
Sumber : Lincoln Arsyad, Ekonomika Pembangunan, 2004
Kurva tersebut meggambarkan kombinasi dari dua macam barang (pokok dan mewah) yang dihasilkan dalam suatu perekonomian. Misalkan titik A dan B menghasilkan pendapatan nasional yang sama. Titik A lebih banyak menghasilkan barang mewah dibandingkan barang pokok. Sedangkan titik B lebih banyak menghasilkan barang pokok daripada barang mewah. Pada negara dengan tingkat pendapatan per kapita rendah, semakin senjang distribusi pendapatan, maka permintaan agregat akan lebih dipengaruhi oleh konsumsi orang – orang kaya. Posisi produksi barang konsumsi berada di titik A, dimana biasanya orang – orang
23
kaya lebih banyak mengkonsumsi barang – barang mewah dibandingkan barang kebutuhan pokok. Pada akhirnya keadaan ini tentu akan menyebabkan kelompok miskin semakin menderita. Menurut Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris (Dalam Lincolin Arsyad, 2004 : 226), mengemukakan 8 sebab ketidakmerataan distribusi pendapatan, yaitu : 1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita. 2. Inflasi, dimana pendapatan uang bertmbah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang – barang. 3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah. 4. Investasi yang sangat banyak pada proyek – proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah. 5. Rendahnya mobilitas sosial. 6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga – harga barang industri untuk melindungi usaha – usaha golongan kapitalis. 7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sehingga akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor NSB.
24
8. Hancurnya industri – industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain – lain. Adelman dan Moris berpendapat bahwa kesenjangan pendapatan di daerah ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi struktural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 1997 : 111). Professor Kuznets, yang berjasa besar mempelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju, telah mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang dikenal dengan hipotesis “U-Terbalik” Kuznets, sesuai dengan bentuk rangkaian perubahan kecenderungan distribusi pendapatan dengan ukuran koefisien Ginipertumbuhan GNP per kapita seperti yang digambarkan pada kurva berikut : Gambar 2.2 Hipotesis U-Terbalik Kuznets
Koefisien Gini 0,50 0,35 0,25
GNP per kapita Sumber : Michael P. Todaro, 1994
25
Terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahaptahap awal distribusi pendapatan cenderung memburuk, untuk kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan kondisi dasar perubahan struktural. Tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sector industri modern (dalam model Lewis), lapangan kerja terbatas, namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi. Kesenjangan pendapatan antar sektor industri modern dengan sektor pertanian tradisional pada awalnya melebar dengan cepat sebelum akhirnya menyempit kembali. Ketimpangan dalam sektor modern yang tengah mengalami pertumbuhan pesat jauh lebih besar daripada yang terkandung dalam sektor tradisional yang relatif stagnan (Michael P. Todaro, 1994). 2.1.6. Indikator Kesenjangan 2.1.6.1.Indeks Williamson Williamson (Dalam Heppi Yana Syateri, 2005) mengamati tingkat kesenjangan di berbagai negara yang mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda. Williamson menilai tingkat kesenjangan dengan memperkenalkan Indeks Williamson. Indeks Williamson adalah suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan per kapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan per kapita nasional. Jadi, Indeks Williamson ini merupakan suatu modifikasi dari standard deviasi. Dengan demikian, makin tinggi Indeks Williamson berarti kesenjangan wilayah semakin besar, dan sebaliknya. Selanjutnya Williamson menganalisis hubungan antara kesenjangan wilayah dengan tingkat perkembangan ekonomi.
26
Williamson menggunakan indeks ini untuk mengukur tingkat kesenjangan dari berbagai Negara dengan tahun yang relatif sama. Dalam melakukan perhitungan, Williamson menggunakan data PDB per kapita serta jumlah penduduk dari berbagai negara. Hasil perhitungan ini kemudian digabungkan dengan tingkat perkembangan ekonomi (berdasarkan tingkat PDB) negara-negara tersebut dari Kuznets. Berdasarkan penggabungan dua perhitungan
tersebut, Williamson
menyatakan bahwa ada hubungan sistematis antara tingkat pembangunan nasional dan ketidaksamaan regional. Tingkat ketidaksamaan regional adalah sangat tinggi dalam golongan pendapatan menengah berdasarkan Kuznets, tetapi secara konsisten lebih rendah apabila kita bergerak ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Dapat dikatakan juga bahwa pada waktu tingkat perkembangan perekonomian suatu negara masih rendah, maka tingkat kesenjanganpun semakin rendah (nilai Indeks Williamson). Nilai ini terus meningkat bagi negara-negara yang tingkat perkembangan ekonominya semakin tinggi. Sampai suatu saat tercapai titik balik, dimana tingkat perkembangan ekonomi negara makin tinggi, maka nilai indeksnya semakin rendah. Bagi negara-negara yang telah maju ternyata nilai indeksnya rendah, seperti negara-negara yang sangat belum berkembang. Apabila hubungan antara Indeks Williamson dengan perkembangan ekonomi digambarkan dengan grafik, maka grafik tersebut akan berbentuk huruf U terbalik. Untuk mendapatkan hasil pengamatan yang lebih baik, Williamson mengadakan uji dengan menghitung Indeks Williamson Amerika Serikat dari tahun 1840 pada waktu ekonomi Amerika Serikat belum berkembang sampai
27
tahun 1961, setelah Amerika Serikat mengalami perkembangan yang penuh. Ternyata dari pengamatan ini Williamson mendapatkan hasil yang sama, yaitu pada waktu ekonomi AS belum berkembang (1848), nilai indeksnya masih rendah (0,279), dan mencapai puncaknya pada tahun 1932 sebesar 0,410, lalu menurun terus dan pada akhirnya pada tahun 1961 setelah ekonomi AS berkembang, nilai indeksnya menjadi 0,192 (Williamson, dalam Heppi Yana Syateri, 2005). Jadi, dari hasil pengamatan Williamson dapat diambil kesimpulan bahwa ketidaksamaan regional adalah meningkat selama tahap awal pembangunan, sedangkan pada pertumbuhan yang matang akan menghasilkan pemusatan regional atau pengurangan perbedaan. Rumus Indeks Williamson : Σ(Yi - Y ) fi/n Y 2
IW =
Keterangan : IW = Indeks Williamson Yi = PDRB per kapita (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota) Y = PDRB per kapita (propinsi) fi = Jumlah penduduk (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota) n = Jumlah penduduk (propinsi) Nilai Indeks Williamson berkisar antara 0 – 1 (positif). Semakin besar nilai indeksnya, maka semakin besar juga tingkat kesenjangan pendapatan antar wilayah. Sebaliknya, semakin kecil nilai indeksnya, maka semakin kecil pula tingkat kesenjangan yang terjadi di wilayah tersebut. Ketidakmerataan tinggi terjadi pada nilai indeks diatas 0,50. Sedangkan ketidakmerataan dikatakan rendah apabila nilai indeksnya dibawah 0,50.
28
2.1.6.2.Tipologi Klassen Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Dengan menentukan rata – rata pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata – rata PDRB per kapita pada sumbu horizontal. Menurut
Tipologi
Klassen,
perkembangan
pembangunan
antar
kabupaten/kota dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (High Growth and High Income), adalah daerah – daerah yang mengalami pertumbuhan PDRB dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata – rata seluruh daerah. Pada dasarnya, daerah – daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Biasanya daerah – daerah ini merupakan daerah yang mempunyai potensi daerah pembangunan yang besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat setempat, karena diperkirakan daerah ini akan terus berkembang di masa yang akan datang. 2. Daerah maju tapi tertekan (High Income but Low Growth), adalah daerah – daerah yang telah relatif maju tetapi dalam beberapa tahun terakhir laju pertumbuhannya menurun akibat tertekannya kegiatan utama daerah yang bersangkutan. Karena itu, walaupun daerah ini merupakan daerah telah maju, tetapi di masa yang akan datang
29
diperkirakan pertumbuhan tidak akan begitu cepat walaupun potensi pembangunan yang dimiliki pada dasarnya sangat besar. 3. Daerah berkembang cepat (High Growth but Low Income), adalah daerah – daerah dengan potensi pengembangan yang dimiliki sangat besar tetapi masih belum diolah sepenuhnya dengan baik. Karena itu, walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi, namun tingkat
pendapatan
per
kapita
yang
mencerminkan
tahap
pembangunan yang telah dicapai sebenarnya masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah – daerah lain. 4. Daerah relatif tertinggal (Low Growth and Low Income), adalah daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita yang berada di bawah rata – rata. Ini artinya, baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih relatif rendah. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa daerah ini tidak berkembang di masa yang akan datang. Melalui perkembangan sarana dan prasarana perekonomian daerah berikut tingkat pendidikan dan ilmu pengetahuan masyarakat setempat, diperkirkan daerah ini secara bertahap akan dapat pula mengejar ketinggalan (Syafrizal, 1997 : 27).
30
Tabel 2.1 Tipologi Klassen Y
Yi > Y Pendapatan dan pertumbuhan tinggi (daerah maju) Pendapatan tinggi dan pertumbuhan rendah (daerah maju tertekan)
ri > r
ri < r
Yi < Y Pendapatan rendah, pertumbuhan tinggi (daerah berkembang cepat) Pendapatan dan pertumbuhan rendah (daerah tertinggal)
Sumber : Syafrizal, 1997
ri r Yi Y
= Laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota = Laju pertumbuhan PDRB propinsi = Pendapatan per kapita kabupaten/kota = Pendapatan total per kapita propinsi
2.1.7. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan 2.1.7.1.Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sadono Sukirno dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori Makroekonomi, pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Formula untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi (Lincolin Arsyad, 1999), yaitu :
Gt =
Yrt - Yrt -1 Yrt -1
Keterangan : Gt Yrt Yrt-1
= Tingkat pertumbuhan ekonomi (%) = Produk Domestik Regional Bruto riil tahun t = Produk Domestik Regional Bruto riil tahun sebelumnya
31
2.1.7.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut pandangan ahli – ahli ekonomi Klasik, ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu : jumlah penduduk, jumlah stok barang – barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan. Walaupun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada banyak faktor, ahli – ahli ekonomi Klasik terutama menumpahkan perhatiananya kepada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. dalam teori pertumbuhan mereka, dimisalkan luas tanah dan kekayaan alam adalah tetap jumlahnya dan tingkat teknologi tidak mengalami perubahan. Menurut pandangan ahli – ahli ekonomi Klasik, hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak akan terus – menerus berlangsung. Pada permulaannya, apabila penduduk sedikit dan kekayaan relatif berlebihan, tingkat pengembalian modal dari investasi yang dibuat adalah tinggi. Maka para pengusaha akan memperoleh keuntungan yang besar. Ini akan menimbulkan investasi baru, dan pertumbuhan ekonomi terwujud. Keadaan seperti ini tidak akan terus – menerus berlangsung. Apabila penduduk sudah terlalu banyak, pertambahannya
akan
menurunkan
tingkat
kegiatan
ekonomi,
karena
produktivitas marginal penduduk telah menjadi negatif. Maka kemakmuran masyarakat menurun kembali. Dari uraian mengenai teori pertumbuhan Klasik, telah dapat dilihat bahwa apabila terdapat kekurangan penduduk, produksi marginal adalah lebih tinggi daripada pendapatan per kapita. Maka pertambahan penduduk akan menaikkan
32
pendapatan per kapita. Akan tetapi apabila penduduk sudah semakin banyak, hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi, yaitu produksi marginal akan akan mengalami penurunan. Oleh karenanya, pendpatan nasional dan pendapatan per kapita menjadi semakin lambat pertumbuhannya. Penduduk yang bertambah terus akan menyebabkan pada suatu jumlah penduduk yang tertentu, produksi marginal telah sama dengan pendapatan per kapita. Pada keadaan ini pendapatan per kapita mencapai nilai yang maksimal. jumlah penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Keadaan seperti ini dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini : Gambar 2.3 Teori Penduduk Optimum Pendapatan per kapita
Y0
Ypk Penduduk optimal 0
P0
Jumlah penduduk
Sumber : Sadono Sukirno, 1997 Kurva Ypk menunjukkan tingkat pendapatan per kapita pada berbagai jumlah penduduk, dan M adalah puncak kurva tersebut. Maka penduduk optimal adalah jumlah penduduk sebanyak P0 dan pendapatan per kapita yang paling maksimal adalah Y0.
33
Selain pendapat dari para ekonom klasik, beberapa ekonom menguraikan definisi pertumbuhan ekonomi, yaitu : Profesor
Simon
Kuznets
memberikan
suatu
definisi
mengenai
pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro,2003). Ketiga komponen pokok dari definisi tersebut yaitu : 1. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan
dari
pertumbuhan
ekonomi,
sedangkan
kemampuan
menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity) dari suatu Negara. 2. Perkembangan
teknologi
merupakan
dasar
atau
prakondisi
bagi
berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. 3. Penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideology guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam teknologi baru. Dalam analisisnya, Kuznets (Dalam Michael P. Todaro, 2003) mengemukakan enam karakteristik atau cirri proses pertumbuhan ekonomi yang ditemui hampir di semua begara, yaitu : 1. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
34
2. Tingkat kenaikan produktivitas faktor produksi total yang tinggi, yakni output yang dihasilkan masing-masing unit dari seluruh input atau factor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. 3. Tingkat transformasi structural ekonomi yang tinggi. 4. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi. 5. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru. 6. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia. Menurut Boediono (Dalam Robinson Tarigan, 2005), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Jadi, persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. 2.1.7.1.2. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi Pengukuran akan kemajuan sebuah perekonomian memerlukan alat ukur yang tepat. beberapa alat pengukur pertumbuhan ekonomi antara lain ( Suparmoko,1998): 1. Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB), atau di tingkat regional disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), merupakan jumlah dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan dalam harga
35
pasar. Baik PDB atau PDRB merupakan ukuran yang global sifatnya, dan bukan merupakan alat ukur pertumbuhan ekonomi yang tepat, karena belum dapat mencerminkan
kesejahteraan
penduduk
yang
sesungguhnya,
padahal
sesungguhnya kesejahteraan harus dinikmati oleh setiap penduduk di Negara atau daerah yang bersangkutan. 2. Produk Domestik Bruto Per kapita / Pendapatan Per kapita Produk domestik bruto per kapita atau produk domestik regional bruto per kapita pada skala daerah dapat digunakan sebagai pengukur pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena lebih tepat mencerminkan kesejahteraan penduduk suatu Negara daripada nilai PDB atau PDRB saja. Produk domestik bruto per kapita baik di tingkat nasional maupun di daerah adalah jumlah PDB nasional atau PDRB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk di Negara maupun di daerah yang bersangkutan. atau dapat disebut juga sebagai PDB atau PDRB rata-rata. Bank Dunia menggunakan Produk Nasional Bruto (PNB),bukan PDB sebagai alat ukur perkembangan ekonomi suatu Negara, yaitu dengan memperhitungkan pendapatan bersih dan faktor produksi milik orang asing. Walaupun PDB atau PNB per kapita merupakan kesejahteraan penduduk secara tepat. karena PDB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya dirasakan oleh setiap orang di suatu Negara. Dapat saja angkaangka rata-rata tersebut tinggi, namun sesungguhnya ada penduduk atau sekelompok penduduk yang tidak menerima pendapatan di antara penduduk suatu Negara. Dengan memperhatikan unsur distribusi pendapatan itu, maka PDB atau
36
PNB per kapita yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih merata akan mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik daripada bila pendapatan per kapitanya tinggi namun ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Meskipun demikian, demi sederhananya pengukuran pendapatan per kapita tetap merupakan alat pengukur yang unggul disbanding dengan alat-alat pengukur yang lain. 3. Pendapatan Per Jam Kerja Pendapatan per jam kerja sesungguhnya adalah alat pengukur yang paling baik untuk mengukur maju tidaknnya suatu perekonomian, biasanya suatu negara yang mempunyai tingkat pendapatan atau upah per jam kerja lebih tinggi daripada upah per jam kerja di Negara lain untuk jenis pekerjaan yang sama, dapat diakatakan bahwa Negara pertama lebih maju daripada negara kedua. 4. Harapan Hidup Waktu Lahir Harapan hidup waktu lahir juga dapat dipakai untuk melihat kemajuan dan kesejahteraan suatu perekonomian. Memang kesejahteraan dapat benar-benar dirasakan bila seseorang dapat memenuhi semua kebutuhannya seperti kebutuhan akan barang dan jasa, termasuk kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, dan dalam jangka waktu yang lama. Harapan hidup memiliki korelasi yang positif dengan tingkat PNB per kapita. Dalam tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, orang akan mampu memperoleh kualitas hidup yang baik yang meliputi makanan, perumahan,
37
sandang, rekreasi dan sebagainya. Dengan demikian, tingkat kesehatan akan tinggi pula dan umur rata-rata akan menjadi panjang ( Suparmoko,1998). 2.1.7.2 Tingkat Pengangguran Dalam
standar
pengertian
yang
sudah
ditentukan
oleh
standar
internasional, yang dimaksud dengan pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja (15-64 tahun) yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Menurut Sadono Sukirno (2000), pengangguran biasanya dibedakan atas 3 jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain : a. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seorang pekerja untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya. b. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur perekonomian. c. Pengangguran konjungtor, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh kelebihan
pengangguran
alamiah
dan
berlaku
sebagai
akibat
pengurangan dalam permintaan agregat. Sedangkan menurut Edward (1974), bentuk – bentuk pengangguran antara lain : a. Pengangguran terbuka (open unemployment), yaitu mereka yang mampu dan seringkali sangat ingin bekerja tetapi tidak tersedia pekerjaan untuk mereka.
38
b. Setengah pengangguran (under unemployment), yaitu mereka yang secara nominal bekerja penuh, namun produktivitasnya rendah sehingga pengurangan dalam jam kerjanya tidak mempunyai arti atas produksi secara keseluruhan. c. Tenaga kerja yang lemah (unpaired), yaitu mereka yang mungkin bekerja penuh tetapi intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan. d. Tenaga kerja yang tidak produktif, yaitu mereka yang mampu bekerja secara produktif tetapi tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik. Ada hubungan yang erat sekali antara tingginya tingkat pengangguran, luasnya kemiskinan dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Bagi sebagian besar mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau hanya bekerja paruh waktu (part-time) selalu berada di antara kelompok masyarakat yang sangat miskin. Mereka yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk di antara kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Namun demikian, adalah salah jika beranggapan bahwa setiap orang yang tida mempunyai pekerjaan adalah miskin, sedangkan yang bekerja secara penuh adalah orang kaya, karena kadangkala ada juga pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan-pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber-sumber lain yang biba membantu masalah keuangan mereka (Lincoln Arsyad, 2004).
39
Di samping penjelasan tersebut, salah satu mekanisme pokok untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang adalah memberikan upah yang memadai dan menyediakan kesempatan-kesempatan kerja bagi kelompok masyarakat miskin (Lincoln Arsyad, 2004). 2.1.7.3.Angka Partisipasi Kasar Dalam Adrian Coto, pendidikan yang diperoleh individu merupakan salah satu daro modal manusia yang terpenting. Pekerja yang memiliki lebih banyak modal manusia (mengenyam pendidikan atau pelatihan yang lebih tinggi) mayoritas memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang hanya mengenyam pendidikan pada tingkat yang lebih rendah. Todaro (1998) menyatakan bahwa adanya efek buruk pendidikan formal terhadap distribusi pendapatan di banyak negara berkembang adalah karena pendapatan pekerja yang menyelesaikan pendidikan pada tingkat lanjutan dan universitas akan mempunyai perbedaan pendapatan sampai 300-800 persen dengan tenaga kerja yang hanya menyelesaikan sebagian ataupun seluruh pendidikan tingkat sekolah dasar. Pendeknya, apabila golongan miskin tidak mempunyai kesempatan memproleh pendidikan lanjutan dan tinggi karena alas an-alasan keuangan atau lainnya, maka sistem pendidikan justru akan mempertahankan atau bahkan memperburuk ketidakmerataan di negara-negara Dunia Ketiga. Gemmel (dalam Adrian Coto, 2006) mengemukakan bahwa kebanyakan negara sedang berkembang memiliki masalah kebebasan memilih yang lebih
40
terbatas dibandingkan negara maju, sehingga hanya sedikit orang yang memperoleh pendidikan sesuai yang diinginkan. Kesempatan yang tidak merata dalam memperoleh informasi, sulitnya meminjam uang untuk membiayai pendidikan mengakibatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan tidak merata. Dampak yang timbul dari masalah ini adalah jumlah kelompok rumah tangga yang berpendapatan menengah ke atas cenderung bertambah dari kalangan mereka sendiri dan bukan berasal dari kelompok rumah tangga berpendapatan rendah. Pemerataan dalam pendidikan dalam penelitian ini menggunakan indicator Angka Partisipasi Kasar. Angka Partisipasi Kasar digunakan untuk melihat seberapa besar pemerataan pendidikan di suatu daerah. Apabila dalam suatu daerah tingkat pendidikan merata, maka selanjutnya diharapkan dapat menurunkan kesenjangan pendapatan dalam daerah yang bersangkutan. Angka partisipasi kasar adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misal, APK SD sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SD dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 7 sampai 12 tahun. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing – masing jenjang pendidikan.
41
Formula :
Sumber : BPS, Statistik Indonesia
2.1.7.4.Aglomerasi Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan memperoleh banyak keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut (Mc Donald, 1997 : 37). Aglomerasi (pemusatan aktivitas) produksi digunakan oleh Jaime Bonet (2006) sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi kesenjangan wilayah. Ia menyatakan bahwa aglomerasi produksi dapat mempengaruhi kesenjangan wilayah secara langsung, yaitu pada saat terdapat hambatan bagi mobilitas tenaga kerja antar wilayah, atau saat terdapat surplus tenaga kerja dalam perekonomian. Myrdal dan Hirscman (1970) menjelaskan hal ini melalui efek pengkutuban
(polarization
effect)
aktivitas
ekonomi
yang lebih
tinggi
dibandingkan dengan efek menetes ke bawah (trickle down effect). Aglomerasi dapat diukur dengan beberapa cara. Pertama adalah menggunakan proporsi jumlah penduduk perkotaan (urban area) dalam suatu propinsi terhadap jumlah penduduk propinsi tersebut. Yang kedua adalah dengan menggunakan konsep aglomerasi produksi (Bonet dalam Artur J. Sigalingging, 2008). Penelitian ini menggunakan konsep aglomerasi produksi yang diukur
42
menggunakan proporsi PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB propinsi Jawa Tengah. Ukuran ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemusatan aktivitas ekonomi 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah terhadap pendapatan regional antar kabupaten/kota. Konsep aglomerasi penduduk tidak digunakan dalam penelitian ini karena data jumlah penduduk perkotaan tidak tersedia setiap tahunnya. 2.1.8. Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen 2.1.8.1.Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kesenjangan Pendapatan Pada tahun 1990 (dalam Joko Waluyo), pandangan Klasik tentang distribusi pendapatan (salah satu aspek yang diukur adalah kesenjangan) tidak hanya pada output akhir, tetapi faktanya berdampak pada faktor – faktor utama dari indikator ekonomi. Banyak ahli ekonomi berangkat dari topik yang sama tentang ketersediaan kredit di masyarakat. Oded Galor dan Joseph Zeira (1993) pada paper “Income Distribution and Macroeconomics” memberi kesimpulan : “In general, this study shows that distribution of wealth and incomes are very important from a macroeconomics point of view. They affect output and investment in the short and in the long run and pattern of adjustment to exogenous shocks. It is, therefore, our belief that this relationship between income distribution and macroeconomis will attract more studies in the future” (Galor, O and J. Zeira, 1993, 35-52). Studi empiris menyatakan bahwa preposisi kesenjangan tingkat awal (initially inequality) rupa – rupanya berasosiasi dengan tingkat pertumbuhan yang rendah (Persson & Tabellini, 1994 dan Alesina & Rodrik, 1994). Dengan menggunakan kumpulan data yang tersedia, kedua studi menemukan variabel
43
kesenjangan pendapatan berhubungan negatif dan signifikan dengan pertumbuhan dalam regresi model pertumbuhan, jika pengontrolan terhadap variabel yang berada di sisi sebelah kanan dari persamaan adalah nilai awal pendapatan (initial income), kesempatan bersekolah (schooling), dan investasi kapital (Physical capital investment). Survey yang dilakukan oleh Benabou (1996) dengan menggunakan data cross country juga menghasilkan kesimpulan yang sama. Hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat secara langsung maupun tidak langsung. Studi terkini menunjukkan bahwa hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi melalui beberapa saluran (Ferrierra, 1999 : 9). Menurut Ir. Sugiyono, MSi, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang khas. Bentuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di tingkat dunia adalah sebagai berikut : •
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin besar pendapatan per kapita dan semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.
•
Fenomena tersebut terjadi di Asia Tenggara, negara sedang berkembang lainnya, Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Barat.
•
Penyebab ketimpangan karena pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan publik.
•
Simon Kuznets (Hipotesis kurva U terbalik) : evolusi distribusi pendapatan dari ekonomi pedesaan (pertanian) ke ekonomi perkotaan (industri).
44
Ketimpangan
pendapatan
bertambah
besar
akibat
urbanisasi
dan
industrialisasi. Barro (1999) menyatakan bahwa data panel yang meliputi banyak negara menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara laju pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Untuk pertumbuhan ekonomi, terdapat indikasi bahwa ketimpangan memperlambat pertumbuhan di negara miskin, tetapi mendorong pertumbuhan di negara kaya. 2.1.8.2.Pengaruh Tingkat Pengangguran terhadap Kesenjangan Pendapatan Ada hubungan yang erat antara tingkat pengangguran, kemiskinan yang merajalela,
dan
ketidakmerataan
distribusi
pendapatan.
Sebagian
besar
diantaranya adalah mereka yang bekerja tidak teratur atau “part time”. Mereka yang bekerja di sektor pemerintah dan swasta termasuk dalam kelompok berpendapatan menengah dan tinggi. Hal itu tidak dapat diartikan bahwa setiap orang yang tidak bekerja adalah miskin atau mereka yang bekerja “purna-waktu” relatif berpenghasilan baik. Terdapat kemungkinan adanya menganggur “secara sukarela” dalam arti bahwa mereka mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan serta kualifikasi kecakapan. Mereka menolak jenis pekerjaan yang tidak disukai dan hal ini mereka lakukan oleh karena memiliki cukup sumber keuangan. Definisi ini digolongkan sebagai penganggur tetapi tidak miskin. Demikian pula banyak orang yang bekerja penuh bila dilihat dari jumlah jam kerja per hari namun memperoleh pendapatan yang sangat kecil. Banyak orang yang bekerja sendiri (sektor informal), misal pedagang kaki lima, pekerja bengkel,
45
penjaja, dan sebagainya. Mereka dikelompokkan sebagai pekerja penuh, tetapi pada umumnya miskin (M. Todaro, 1994). Selain penjelasan di atas, salah satu mekanisme pokok untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan di Negara sedang berkembang adalah memberikan upah yang memadai dan menyediakan lapangan kerja bagi kelompok masyarakat miskin. Oktaviani (2001) mengatakan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari – hari. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah (terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sedikit berada di atas garis kemiskinan), maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. 2.1.8.3.
Pengaruh
Angka
Partisipasi
Kasar
terhadap
Kesenjangan
Pendapatan Dalam Todaro (1994), studi-studi baru memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di banyak Negara berkembang justru memperburuk ketimpangan distribusi pendapatan. Alasan utama dari adanya efek buruk pendidikan formal atas distribusi pendapatan adalah adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan seseorang dengan penghasilannya selama hidup. Korelasi ini dapat dilihat terutama pada mereka yang dapat menyelesaikan sekolat tingkat lanjutan dan universitas, akan mempunyai perbedaan pendapatan 300-800 persen, dengan
46
tenaga kerja yang hanya menyelesaikan sebagian atau seluruh pendidikan tingkat sekolah dasar. Dan, karena tingkat pendidikan sangat dipengaruhi oleh lamanya tahun memperoleh pendidikan, jelas ketimpangan pendapatan yang besar tersebut akan semakin besar lagi apabila golongan miskin tidak dapat memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan dan tinggi karena alasan keuangan atau lainnya, maka sistem pendidikan justru akan mempertahankan atau bahkan memperburuk ketidakmerataan di Negara-negara Dunia Ketiga. 2.1.8.4.Pengaruh Aglomerasi terhadap Kesenjangan Pendapatan Aglomerasi (pemusatan aktivitas) produksi digunakan oleh Jaime Bonet (2006) sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi kesenjangan wilayah. Ia menyatakan bahwa aglomerasi produksi dapat mempengaruhi kesenjangan wilayah secara langsung, yaitu pada saat terdapat hambatan bagi mobilitas tenaga kerja antar wilayah, atau saat terdapat surplus tenaga kerja dalam perekonomian. Myrdal dan Hirscman (1970) menjelaskan hal ini melalui efek pengkutuban
(polarization
effect)
aktivitas
ekonomi
yang lebih
tinggi
dibandingkan dengan efek menetes ke bawah (trickle down effect). 2.2.
Penelitian Terdahulu Penelitian – penelitian terhadap distribusi pendapatan masih terus
dilakukan, baik yang berupa pengujian terhadap hipotesis Kuznets maupun pengembangan teori lebih lanjut. Berikut ini adalah peneliti – peneliti yang telah melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan, antara lain :
47
Jonna P. Estudillo (1997) melakukan penelitian kesenjangan pendapatan di Filipina menggunakan data tahun 1961-1991 dengan hasil sebagai berikut : a. Kenaikan proporsi populasi penduduk di perkotaan berdampak pada memburuknya
kesenjangan
pendapatan
penduduk.
Distribusi
pendapatan seluruh penduduk merupakan kombinasi dari distribusi pendapatan penduduk perkotaan dan pedesaan. b. Peningkatan jumlah penduduk berusia tua akan megurangi pendapatan rumah tangga, karena pendapatan penduduk berusia tua biasanya lebih rendah dibandingkan pendapatan penduduk usia produktif. c. Peningkatan permintaan terhadap sumber daya manusia yang ahli dan berpendidikan tinggi menyebabkan rumah tangga cenderung untuk lebih banyak membiayai investasi sumber daya manusia. d. Pendapatan dari upah yang merupakan penghasilan bagi pekerja merupakan bagian terbesar dari pendapatan rumah tangga dan memiliki
kontribusi
utama
dalam
mempengaruhi
kesenjangan
pendapatan rumah tangga. Lyndon Pangemanan (2001) melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan data tahun 1980-1996 untuk 26 propinsi di Indonesia. Variabel terikat yang digunakan sebagai ukuran kesenjangan pendapatan adalah Indeks Gini, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah proporsi penduduk usia 60 tahun ke atas, proporsi anggota rumah tangga terdidik, proporsi jumlah rumah tangga yang
48
bekerja di sector industri, pertumbuhan pendapatan nasional dan distribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB. Estimasi yang digunakan adalah metode GLS dengan menggunakan fixed effect, dengan hasil sebagai berikut : a. Kenaikan penduduk usia 60 tahun ke atas secara signifikan menurunkan kesenjangan pendapatan, karena penduduk usia lanjut mayoritas berada pada kelompok rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas. b. Kenaikan proporsi penduduk yang bekerja dan terdidik akan meningkatkan
kesenjangan
pendapatan
rumah
tangga,
karena
ketidakmerataan distribusi pendidikan. c. Kenaikan proporsi anggota rumah tangga yang bekerja di sektor industri akan meningkatkan kesenjangan pendapatan rumah tangga, karena adanya kesenjangan tingkat upah yang cukup tinggi antar pekerja yang bekerja di sektor industri pengolahan, dimana sebagian kecil pekerja bekerja sebagai manajer, teknisi, dan atau yang memiliki keahlian tinggi. d. Kenaikan
pertumbuhan
ekonomi
menurunkan
kesenjangan
pendapatan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan teori Kuznets yang menyatakan bahwa pada awal tahap pembangunan, kesenjangan pendapatan akan meningkat seiring dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Pada
tingkatan
pertumbuhan
tertentu,
kesenjangan
pendapatan akan semakin menurun walaupun pertumbuhan ekonomi terus meningkat.
49
Sutarno (2003) melakukan penelitian dalam bentuk jurnal yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993 – 2000)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi dan memahami kesenjangan antar kecamatan di Kabupaten Banyumas. Alat analisis yang digunakan adalah Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Indeks Theil serta trend dan Korelasi Pearson. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan menggunakan Tipologi Klassen, Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu Kecamatan dengan
pertumbuhan
dan
pendapatan
tinggi,
pendapatan
tinggi
tetapi
pertumbuhan rendah, pertumbuhan tinggi tetpi pendapatan rendah, dan pertumbuhan dan pendapatan rendah. Berdasarkan Indeks Williamson dan Indeks Theil, ditemukan bahwa masih terdapat disparitas yang dilihat dari PDRB per kapita antar kecamatan di Kabupaten Banyumas antara periode tahun 1993 – 2000. Yang lebih penting, ternyata Hipotesis Kuznets berlaku di Kabupaten Banyumas. Dan yang terakhir, ada hubungan yang negatif antara Indeks Williamson dan Indeks Theil terhadap pertumbuhan PDRB. Adrian Coto (2006) dalam thesisnya yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Kontribusi Output Sektor Industri, Upah Minimum dan Tingkat
Pendidikan
terhadap
Kesenjangan
Pendapatan
di
Indonesia”
menggunakan metode estimasi fixed effect yang memungkinkan perbedaan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga pada setiap propinsi di Indonesia. Model yang digunakan adalah :
50
BDµ = βµ + β2GPDRBKµ +β3INDUS + β4UMPµ +
β5EDUCµ +
β6D*GPDRBKt + β7D*INDUSt + β8D*UMPt + eµ Data yang digunakan adalah data panel dengan 26 propinsi di Indonesia pada tahun1993, 1996 dan 1999. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi mempengaruhi prsentase pendapatan 40 persen kelompok rumah tangga berpenghasilan terendah secara positif dan signifikan. Sebaliknya, persentase output sektor industri pengolahan, upah minimum regional dan tingkat pendidikan pekerja mempengaruhi persentase pendapatan 40 persen kelompok pendapatan rumah tangga berpenghasilan terendah secara negatif dan signifikan. Krisis ekonomi telah membawa dampak pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan distribusi pendapatan semakin memburuk. Sebaliknya, pengaruh persentase output sektor industri pengolahan dan upah minimum regional memperbaiki kesenjangan distribusi pendapatan. Joko Waluyo. Penelitian dalam bentuk jurnal yang dilakukan oleh Joko Waluyo dengan judul “Hubungan antara Tingkat Kesenjangan Pendapatan dengan Pertumbuhan Ekonomi : Suatu Studi Lintas Negara”. Dari hasil analisis dan pembahasan terhadap estimasi model regresi, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi adalah negatif dan signifikan. Artinya, setiap ada penurunan kesenjangan pendapatan, maka akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya setiap ada kenaikan pertumbuhan ekonomi, maka akan menurunkan kesenjangan pendapatan. Hal ini tidak sesuai dengan Hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek, hubungan antara kesenjangan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi
51
adalah positif dan signifikan. Hubungan negatif akan terjadi dalam jangka panjang. Dr. Mudrajad Kuncoro, SE, M.Soc.Sc (2006) melakukan penelitian dalam bentuk artikel yang berjudul “Aglomerasi Perkotaan di DIY : Apa, Dimana, dan Mengapa?”. Penelitian ini meneliti kecenderungan aglomerasi di DIY, ketimpangan antar daerah di DIY, dan factor-faktor penyebab ketertinggalan beberapa daerah di DIY. Penelitian ini menggunakan data-data sekunder seperti jumlah penduduk, PDRB Kabupaten/kota, IPM (Indeks Pembangunan Manusia), serta dilengkapi dengan peta persebaran industri menengah dan besar per kecamatan berdasarkan penyerapan tenaga kerja. Artikel ini mencoba memberikan bukti empiris adanya perkembangan aglomerasi di DIY, yang ternyata membentuk aglomerasi penduduk dan industri pada saat yang bersamaan. Adanya aglomerasi aktivitas ekonomi dan penduduk di DIY yang cenderung ke asarh utara yang telah menyebabkan peningkatan ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di DIY, sehingga diperlukan reorientasi strategi pembangunan daerah, misalnya dengan menyusun perencanaan jangka panjang dan rencana aksi bagi daerah tertinggal.
52
Tabel 2.2 Research Gap NO Penulis (th) dan Judul 1. Lyndon Pangemanan “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakmerataan Pendapatan di Indonesia Periode 1980-1996”
2.
Adrian Coto (2006) “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Kontribusi Output Sektor Industri, Upah Minimum dan Tingkat Pendidikan terhadap Kesenjangan Pendapatan di Indonesia”
Variabel
Model Analisis
Hasil Penelitian
Proporsi penduduk usia 60 ke atas, proporsi jumlah anggota rumah tangga terdidik, proporsi jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi sektor industri pengolahan.
Iit = β1it + β2X2it + β3X3it + β4X4it + β5X5it + β6X6it + eit
Kenaikan penduduk usia 60 tahun ke atas secara signifikan menurunkan kesenjangan pendapatan, kenaikan proporsi penduduk yang bekerja dan terdidik akan meningkatkan kesenjangan pendapatan rumah tangga, kenaikan proporsi anggota rumah tangga yang bekerja di sektor industri akan meningkatkan kesenjangan pendapatan rumah tangga, kenaikan pertumbuhan ekonomi menurunkan kesenjangan pendapatan rumah tangga.
Pertumbuhan ekonomi, kontribusi output sektor industri, upah minimum regional, tingkat pendidikan pekerja.
BDµ = βµ + β2GPDRBKµ +β3INDUS + β4UMPµ + β5EDUCµ + β6D*GPDRBKt + β7D*INDUSt + β8D*UMPt + eµ
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesenjangan pendapatan, sedangkan persentase output sektor industri, upah minimum regional dan tingkat pendidikan pekerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesenjangan pendapatan.
.
53
3.
Joko Waluyo (2004). “Hubungan antara Tingkat Kesenjangan Pendapatan dengan Pertumbuhan Ekonomi : Suatu Studi Lintas Negara”
Kesenjangan pendapatan, investasi, PDB per kapita, human capital
GDPCap = α0 + α1HUMCAP + α2LANDEQ + αINEQ + ei
4.
Suahasil Nazara (1994) “Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia: Suatu Aplikasi fungsi Produksi Agregat Indonesia, 19851991”
Aglomerasi, Capital (pem bentukan investasi), Tenaga kerja dan Mutu modal manusia
Yit =A(pit)φ Secara individual variabel aglomerasi (Kit)α1 signifikan terhadap (Lit) α2 (Hit) α3 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Demak dengan alpha 10%, Variabel tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan, variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan, Variabel modal (pembentukan investasi) berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Demak.
5.
Sjafrizal (1997). “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat”
Laju pertumbuhan ekonomi, PDRB per kapita,
(deskriptif)
Hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi adalah negatif dan signifikan, investasi tidak memperbaiki redistribusi pendapatan, tetapi memperbaiki kepemilikan tanah dan meningkatkan efisiensi sumber daya ekonomi.
Perkembangan pembangunan regional di Wilayah Bagian Barat dalam periode 1987-1995 ternyata lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata seluruh Indonesia, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan antar wilayah.
54
∆L = Σjvj∆Lj + Σjvj∆Lj Σjlogkj∆Lj Σvj∆logkj
6.
Jonna P Estudillo (1997). “Income Inequality in the Philipines, 19611991”
Kenaikan proporsi populasi penduduk di perkotaan, peningkatan jumlah penduduk berusia tua, kenaikan jumlah kepala rumah tangga berpendidikan tinggi, kesenjangan tingkat upah.
7.
Jaime Bonet (2006). “Fiscal Desentralization and Regional Income Disparities : evidence from the Colombian experience”
Desentralisasi Ii,t = β1 + β2FDi,t fiskal (dari sisi + β3CVi,t + µi,t pengeluaran), aglomerasi produksi, tingkat perekonomian terbuka
Kenaikan proporsi populasi penduduk di perkotaan berdampak pada memburuknya kesenjangan pendapatan penduduk, eningkatan jumlah penduduk berusia tua akan megurangi pendapatan rumah tangga, peningkatan permintaan terhadap sumber daya manusia yang ahli dan berpendidikan tinggi menyebabkan rumah tangga cenderung untuk lebih banyak membiayai investasi sumber daya manusia, pendapatan dari upah yang merupakan penghasilan bagi pekerja merupakan bagian terbesar dari pendapatan rumah tangga dan memiliki kontribusi utama dalam mempengaruhi kesenjangan pendapatan rumah tangga.
Tingkat perekonomian tebuka dan aglomerasi berpengaruh negatif terhadap kesenjangan pendapatan.
55
2.3.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di muka, maka dapat
disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :
Kerangka Pemikiran Gambar 2.4
Pertumbuhan ekonomi
Tingkat Pengangguran Kesenjangan pendapatan Tingkat Pendidikan (Angka Partisipasi Kasar)
Aglomerasi
Sumber : Adrian Coto (2006) dengan modifikasi
56
2.4.
Hipotesis Hipotesis merupakan pandapatan sementara dan pedoman serta arah dalam
penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua variabel atau lebih (J. Supranto, 1997). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Diduga pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesenjangan pendapatan. 2. Diduga tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap kesenjangan pendapatan. 3. Diduga angka partisipasi kasar berpengaruh negatif terhadap kesenjangan pendapatan. 4. Diduga aglomerasi berpengaruh positif terhadap kesenjangan pendapatan.
57
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kesenjangan pendapatan Propinsi Jawa Tengah yang diukur dengan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan koefisien variasi dari pendapatan per kapita dimana rata-rata dan nilai sebaran (varians) dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan jumlah penduduk daerah yang sedang diamati. Pemilihan Indeks Williamson karena dapat dengan mudah melihat disparitas antar daerah dan bersifat agregat sehingga memudahkan dalam perhitungan (Nuzul Achjar dalam Heppi Yana Syateri, 2005). Indeks Williamson dinyatakan dalam satuan indeks. Formula Indeks Williamson : Σ(Yi - Y ) fi/n Y 2
IW =
Keterangan : IW
= Indeks Williamson
Yi
= PDRB per kapita (dalam penelitian ini adalah kabupaten)
Y
= PDRB per kapita (propinsi)
fi
= Jumlah penduduk (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota)
n
= Jumlah penduduk (propinsi)
58
59
3.1.2. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang nilainya berpengaruh terhadap variabal lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah : 1. Pertumbuhan Ekonomi (GROWTH) Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Tengah menurut harga konstan tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi dinyatakan sebagai perubahan PDRB atas dasar harga konstan di Propinsi Jawa Tengah (dalam satuan persen) atau disebut laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan formula sebagai berikut :
Gt =
Yrt - Yrt -1 Yrt -1
Keterangan : Gt
= Tingkat pertumbuhan ekonomi (%)
Yrt
= Produk Domestik Regional Bruto riil tahun t
Yrt-1
= Produk Domestik Regional Bruto riil tahun sebelumnya
2. Tingkat Pengangguran (UNEMP) Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja (usia 15-64 tahun) yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Sedangkan menurut BPS (Badan Pusat Statistik) meliputi penduduk yang sedang mencari pekerjaan, penduduk yang sedang mempersiapkan suatu usaha, penduduk yang merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, penduduk yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Data yang digunakan untuk
60
melihat pengangguran adalah pengangguran terbuka di Propinsi Jawa Tengah tahun 2004-2008 (dalam satuan persen). 3. Angka Partisipasi Kasar (APK) Adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. Dalam penelitian ini yang dihitung adalah APK SMA (dalam satuan persen). Formula :
x 100 Sumber : BPS, Statistik Indonesia
4. Aglomerasi (AGLO) Penelitian ini menggunakan konsep aglomerasi produksi sesuai dengan penelitian yang dilakukan Jaime Bonet (2006), yang diukur menggunakan proporsi PDRB kabupaten/kota terhadap Propinsi Jawa Tengah (dalam satuan persen. 3.2.
Jenis dan Sumber Data 3.2.1. Jenis Data Penelitian ini dilakukan di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004-2008.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti, misalnya diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), dokumen-dokumen perusahaan atau organisasi dan majalah atau publikasi lainnya (Marzuki, 2005) Data sekunder yang digunakan adalah data panel, yaitu penggabungan dari data silang tempat (cross section) sebanyak 35 data mewakili kabupaten/kota di
61
Jawa Tengah dan data silang waktu (time series) dari tahun 2004-2008. Penggabungan dari data tersebut menghasilkan 175 observasi. Pemilihan periode ini disebabkan karena pada tahun tersebut terjadi peningkatan PDRB, tetapi tidak diikuti dengan tingginya PDRB per kapita propinsi, sehingga pada periode tersebut menarik untuk diteliti serta ketersediaan data pada periode tersebut. Secara umum, data-data pada penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Adapun data yang digunakan adalah : 1. Data laju pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa atas dasar harga konstan tahun 2004-2008. 2. Data PDRB Pulau Jawa atas dasar harga konstan tahun 2004-2008. 3. Data PDRB per kapita Pulau Jawa atas dasar harga konstan tahun 20042008. 4. Data pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah atas dasar harga konstan tahun 2004-2008. 5. Data PDRB Jawa Tengah menurut kabupaten/kota atas dasar harga konstan tahun 2004-2008. 6. Data PDRB per kapita Jawa Tengah menurut kabupaten/kota atas dasar harga konstan tahun 2004-2008. 7. Data penduduk usia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan, menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2004-2008. 8. Data penduduk usia sekolah yang masih bersekolah di jenjang pendidikan SMA.
62
3.2.2. Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari : 1. Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Tengah. 2. Lembaga / instansi lain yang terkait dalam penelitian ini. 3.3.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk memperoleh
bahan-bahan yang relevan, akurat, dan realistis. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan data dari lembaga – lembaga terkait, yaitu BPS Propinsi Jawa Tengah. Pustaka lain yang digunakan sebagai pelengkap yaitu jurnal – jurnal yang berhubungan dengan masalah kesenjangan pendapatan 3.4.
Metode Analisis
3.4.1. Indeks Williamson Indeks Williamson digunakan untuk menentukan besarnya kesenjangan pendapatan. Williamson meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi yang sudah maju dan ekonomi yang sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah – daerah tertentu (Mudrajad Kuncoro, 1997). Metode ini diperoleh dari perhitungan pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk masing – masing daerah.
63
Rumus : Σ(Yi - Y ) fi/n Y 2
IW =
Keterangan : IW
= Indeks Williamson
Yi
= PDRB per kapita (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota)
Y
= PDRB per kapita (propinsi)
fi
= jumlah penduduk (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota)
n
= jumlah penduduk (propinsi) Besarnya nilai ini bernilai positif dan berkisar antara angka 0 – 1. Semakin
besar nilainya, maka dapat diartikan bahwa kesenjangan di wilayah tersebut besar. Sebaliknya, semakin sedikit nilai indeksnya, maka kesenjangan juga semakin rendah. Kesenjangan dikatakan tinggi apabila angka indeksnya 0,50 dan seterusnya. Apabila nilai indeksnya adalah 0, maka dapat dikatakan bahwa di daerah tersebut tidak terjadi kesenjangan, atau dalam kata lain, daerah tersebut terjadi pemerataan sempurna.
3.4.2. Model Regresi Linear Berganda dengan Metode PLS Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model data panel, yaitu penggabungan dari data silang tempat (cross section) dan silang waktu (time series). Data panel tersebut digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka partisipasi kasar dan aglomerasi terhadap kesenjangan pendapatan. Model fungsi yang akan digunakan
64
untuk mengetahui kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah tahun 20042008 yaitu : INEQ = f (Growth, Unemp, APK, Aglo)
(3.1)
Dimana variabel yang digunakan adalah : INEQ = kesenjangan pendapatan Unemp = tingkat pengangguran APK = angka partisipasi kasar Aglo
= aglomerasi
INEQ = β0 + β1(G) + β2(Unemp) + β 3(APK) + β4(Aglo) + Et (3.2) Fungsi di atas menjelaskan pengertian bahwa kesenjangan pendapatan 35 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah yang diukur dengan Indeks Williamson dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka partisipasi kasar dn aglomerasi serta variabel lain di luar model. Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa variabel lain di luar variabel penelitian tidak berubah (ceteris paribus). 3.4.3. Pengujian Statistik 3.4.3.1 Uji Koefisien Determinasi (Uji R2) R2 bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh variasi variabel independen dapat menerangkan dengan baik variasi variabel dependen. Untuk mengukur kebaikan suatu model (goodness of fit), digunakan koefisien determinasi (R2). Koefisien determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan proporsi atau persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X) (Gujarati, 2003). Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut :
65
( (
) )
ˆ -Y ˆ 2 Σ Y 1 R = ˆ 2 Σ Y -Y 2
1
Nilai R2 yang sempurna adalah satu, yaitu apabila keseluruhan variasi dependen dapat dijelaskan sepenuhnya oleh variabel independen yang dimasukkan ke dalam model. Dimana 0 < R² < 1 sehingga kesimpulan yang dapat diambil adalah: (a)
Nilai R² yang kecil atau mendekati nol, berarti kemampuan variabelvariabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel tidak bebas dan sangat terbatas.
(b)
Nilai R² mendekati satu, berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan hamper semua informasi yang digunakan untuk memprediksi variasi variabel tidak bebas.
3.4.3.2 Uji Signifikansi parameter Individual (Uji Statistik t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Untuk mengkaji pengaruh variable independen terhadap dependen secara individu dapat dilihat hipotesis berikut : H0 : β1 = 0 tidak
1.
ada
pengaruh
variabel
pertumbuhan ekonomi dengan kesenjangan pendapatan. H0 : β1 > 0
ada pengaruh positif antara variabel pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan.
66
2. H0 : β2 = 0
tidak
ada
pengaruh
antara
variabel
tingkat
pengangguran dengan kesenjangan pendapatan. H0 : β2 > 0
ada pengaruh positif antara tingkat pengangguran dan kesenjangan pendapatan.
3. H0 : β3 = 0
tidak ada pengaruh antara variabel angka partisipasi kasar dengan kesenjangan pendapatan.
H0 : β3 < 0
ada pengaruh negatif antara angka partisipasi kasar dan kesenjangan pendapatan.
4. H0 : β4 = 0
tidak ada pengaruh antara variabel aglomerasi dengan kesenjangan pendapatan.
H0 : β4 > 0
ada pengaruh positif antara aglomerasi dengan kesenjangan pendapatan.
Dimana β1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai parameter hipotesis. Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variabel X1 terhadap Y. Bila nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka pada t hitung dengan tingkat kepercayaan tertentu, H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependen, nilai t hitung diperoleh dengan rumus :
67
β1
= parameter yang di estimasi
β1*
= nilai hipotesis dari β1 (H0 : β1=β1*)
Se (β1)= simpangan baku dari variabel independen ke-1 Pada tingkat signifikansi 5 persen, pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak, artinya salah satu variabel independen mempengaruhi variabel dependen secarasignifikan. b) Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 diteriman, artinya salah satu variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. 3.4.3.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh variabel independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu kesenjangan pendapatan dengan hipotesis untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimaksudkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel tak bebas. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut : H0 : β0=β1=β2=β3=…..=0 H1 : β0≠β1≠β2≠β3≠…..≠0 Kriteria pengujiannya apabila nilai F hitung < F tabel, maka H0 diterima, yang artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Apabila F hitung > F tabel, maka
68
H0 ditolak, yang artinya seluruh variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen dengan taraf signifikan tertentu. 3.4.4
Pengujian Asumsi Klasik
3.4.4.1 Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen dan variabel independen kedua-duanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Pengambilan kesimpulan dengan Jargue-Bera test atau J-B test. Bila nilai J-B hitung > nilai χ2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual µ berdistribusi normal dapat ditolak. Bila nilai J-B hitung < nilai χ2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual µ berdistribusi normal tidak dapat ditolak. 3.4.4.2 Uji Multikolinieritas Uji multikolineritas bertujuan menguji apakah model regresi ditemukan korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel tidak ortogal. Variabel ortogal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Pengujian ini akan menggunakan auxiliary regressions dan Klien’s rule of thumb untuk mendeteksi adanya multikolinieritas. Kriterianya adalah jika R2 regresi persamaan utama lebih besar dari R2 auxiliary regressions maka di dalam model tidak terdapat multikolinieritas.
69
3.4.4.3 Uji Heterokedastisitas Uji hetroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari nilai residual satu penganatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedatisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah model yang bersifat homoskedastisitas atau tidak terjadi hetroskedastisitas. Pengujian dilakukan melalui uji Park. Uji Park pada prinsipnya meregres residual yang dikuadratkan dan dilogaritma naturalkan dengan variabel bebas yang dilogaritma naturalkan pada model. Jika t-statistik > ttabel maka ada heterokedastisitas, jika t-statistik < t-tabel maka tidak ada heterokedastisitas. atau Jika nilai Prob > 0,05 maka tidak ada heterokedastisitas, jika nilai Prob < 0,05 maka ada heterokedastisitas. 3.4.4.4 Uji Autokorelasi Autokerelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deretan waktu) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional. Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode waktu atau ruang dengan kesalahan pengganggu pada waktu atau ruang (sebelumnya). Pengujian menggunakan uji Durbin Watson untuk melihat gejala autokorelasi.
70
Tabel 3.1 Kriteria Pengujian Durbin Watson Hipotesis Nol
Keputusan
Kriteria
Ada atokorelasi positif
Tolak
0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif
Tidak ada keputusan
dl < d
Ada autokorelasi negative
Tolak
4-dl < d < 4
Tidak ada autokorelasi
Tidak ada keputusan
4-du < d < 4-dl
Jangan tolak
du < d < 4-du
negative Tidak ada autokorelasi
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 3.1 Kriteria Pengujian Durbin-Watson
Ada autokorelasi positif dan menolak Ho
0
Tidak ada keputusan
Tidak ada keputusan
Ada autokorelasi negatif dan menolak Ho
Tidak ada autokorelasi dan tidak menolak Ho
dl
du
2
sumber : Damodar Gujarati, Basic Econometrics, 1999.
4-du
4-dl
4