KONTROVERSI SEKITAR PEMBANTAIAN NANJING 1937: TUDUHAN DAN SANGKALAN Laurensia Winata, Tri Jessyca Irfan, Abdullah Dahana Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630
[email protected] ;
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRACT Nanjing Massacre was happened in 1937, but it still remains dispute among China and Japan up to now. Many parties expressed varied responses about Nanjing Massacre, as a result it leads to controversy. This research aims to present objective reality about Nanjing Massacre history. Using qualitative method, authors compare work by Iris Chang and Higashinakano Shudo in writing about the number of Nanjing Massacre victims and Xia Shuqin’s truth story as victim and witness of Nanjing Massacre. The result of this research indicates that based on Xia Shuqin’s story it proves that Nanjing Massacre was really occurred. Difference of the number of Nanjing Massacre victims was swayed by disagreement of understanding and calculation method. (lw&tji) Keywords: Controversy, Nanjing Massacre, Accusation, Denial
ABSTRAK Peristiwa Pembantaian Nanjing tahun 1937 hingga kini masih menyisakan kontroversi diantara kubu China dan Jepang. Berbagai pihak menyampaikan beragam tanggapan perihal peristiwa pembantaian ini, sehingga menimbulkan kisah yang simpang siur. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan fakta objektif seputar sejarah Pembantaian Nanjing. Dengan metode kualitatif, penulis membandingkan sumber dari karya Iris Chang dan Higashinakano Shudo mengenai jumlah korban pembantaian Nanjing dan pembahasan kisah Xia Shuqin, yang merupakan salah satu korban sekaligus saksi mata peristiwa Pembantaian Nanjing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisah Xia Shuqin membuktikan benar adanya peristiwa Pembantaian Nanjing. Perbedaan jumlah korban pembantaian dipengaruhi oleh perbedaan paham dan metode penghitungan. (lw&tji) Kata Kunci: Kontroversi, Pembantaian Nanjing, Tuduhan, Sangkalan
1
2
PENDAHULUAN Pembantaian Nanjing tahun 1937 masih menyimpan kontroversi dibalik fakta peristiwa tersebut. Beberapa pihak yang percaya akan terjadinya peristiwa ini berusaha untuk mengungkapkan dengan menunjukan bukti-bukti yang menyudutkan Jepang. Sementara itu beberapa pihak yang meragukan terjadinya pembantaian ini, juga berusaha untuk menyangkal, dan berusaha menunjukan bukti-bukti lain yang menyatakan bahwa peristiwa itu sebenarnya tidak sekejam yang diberitakan. Bahkan ada beberapa pihak yang benar-benar yakin kalau pembantaian ini tidak terjadi. Kebenaran tentang Pembantaian Nanjing yang belum terungkap hingga kini, serta kontroversi mengenai penyangkalan yang terkait dengan Pembantaian Nanjing yang terjadi selama puluhan tahun belakangan ini, membuat penulis tertarik untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai ‘Kontroversi Sekitar Pembantaian Nanjing 1937 :Tuduhan dan Sangkalan. Menurut Fisher (1984) seorang filsuf dari abad ke-20 mengatakan bahwa segala bentuk komunikasi mengenai pengalaman dan peristiwa yang pernah dialami oleh seorang manusia merupakan sebuah cerita dan rangkaian narasi yang dimana dapat dijadikan sebagai sumber informasi, budaya dan sejarah di kemudian hari. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penulis akan menggunakan buku The Rape of Nanking dan The Nanking Massacre: Fact versus Fiction sebagai buku utama dan sumber terkait lainnya dari artikel ilmiah. Kedua buku utama tersebut membeberkan bagaimana peristiwa Pembantaian Nanjing dan mengupas kontroversi mengenai peristiwa tersebut ditinjau dari kubu China dan Jepang. Chang (1997) menceritakan kisah hidupnya yang menjadi titik tolak dalam kehidupannya untuk memulai penulisan mengenai Pembantaian Nanjing. Ia mengisahkan peristiwa berdarah Pembantaian Nanjing dalam sudut pandang orang Jepang, yakni militer Jepang; orang China yang menjadi korban dan sudut pandang orang Amerika dan Eropa, yang merupakan pendatang di Nanjing. Iris Chang kemudian menuangkan kisah dan pengalaman orang asing dan korban sipil yang menjadi saksi bagaimana tentara Jepang melakukan kekejaman terhadap warga sipil China, antara lain pemenggalan, penusukan, penembakan, penguburan hidup-hidup, pembakaran, pemerkosaan, bahkan lomba adu jumlah korban yang paling banyak dihabisi. Shudo (2005) dalam bukunya mengakui kebenaran akan terjadinya peristiwa pembantaian Nanjing oleh Jepang, namun ia juga menyatakan beberapa fakta yang di mana menunjukan adanya data dan berita yang cenderung dilebih-lebihkan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh tentara jepang pada penduduk Nanjing pada masa itu. Ia juga menunjukan beberapa bukti dan menyatakan adanya kesalahan-kesalahan dalam buku The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II, karya Iris Chang, seperti misalnya beberapa foto pada saat peristiwa pembantaian Nanjing yang dimasukan kedalam bukunya merupakan foto rekayasa. Pada penelitian ini, penulis akan mendalami latar belakang timbulnya beragam kontroversi mengenai peristiwa Pembantaian Nanjing 1937 dan interpretasi Iris Chang dalam bukunya yang berjudul Rape Of Nanking yang mewakili kubu China, interpretasi Higashinakano Shudo dalam bukunya yang berjudul The Nanking Massacre: Fact versus fiction : A Historian’ s Quest for the Truth yang mewakili kubu Jepang, serta interpretasi dari pihak ketiga sebagai pihak netral dalam melihat peristiwa Pembantaian Nanjing? Dalam penulisan ini, penulis akan membatasi pembahasan dengan menggunakan dua buku utama sebagai perbandingan, yakni The Rape of Nanking dan The Nanking Massacre: Fact versus Fiction : A Historian’s Quest for the Truth. Selain itu, penulis juga akan menggunakan sumber dari pihak ketiga yang membahas mengenai peristiwa Pembantaian Nanjing untuk memberikan fakta objektif yang dapat dijadikan informasi tambahan dari perbandingan antara dua sumber buku utama yang disebutkan sebelumnya. Tujuan penelitian ini dimulai dari rasa keingintahuan penulis mengenai peristiwa sejarah Pembantaian Nanjing yang hingga kini menjadi perdebatan karena kontroversi fakta dari dua tokoh utama yakni China dan Jepang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Pembantaian Nanjing pada tahun 1937. Selanjutnya penelitian ini akan menjelaskan kontroversi yang terjadi mengenai fakta yang dipaparkan China dan Jepang serta pihak ketiga. Manfaat penelitian ini adalah membuka wawasan untuk para pembaca, terlebih pada generasi muda keturunan etnis Tionghoa untuk berpikir terbuka dan objektif mengenai sejarah China, terlebih pada peristiwa Pembantaian Nanjing, serta dapat membuka jalan bagi penulis lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.
3
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian ini ialah metode penelitian kualitatif. Penulis menggunakan dua buku utama sebagai perbandingan, yakni The Rape of Nanking dan The Nanking Massacre: Fact versus Fiction : A Historian’s Quest for the Truth. Dengan dua sumber ini, penulis mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai perbandingan. Penulis kemudian mencari sumber lainnya yang berkaitan dengan topik untuk mencari data-data pendukung yang dapat penulis gunakan dalam menganalisa perbandingan dua buku utama tersebut. Dalam menganalisa perbandingan dua buku utama, penulis menggunakan teori paradigma narasi. Dalam perbandingan dua buku utama, penulis akan mengklasifikasi isi atau pernyataan berkaitan dari dua buku utama. Setelah melakukan pemilahan tersebut, dengan bantuan dari sumber lainnya, penulis akan menggunakan teori paradigma narasi mendapatkan hasil yang objektif sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil analisa data-data yang didapatkan inilah yang akan menjadi kesimpulan dari penelitian ini.
HASIL DAN BAHASAN Pada tahun 1937, ibukota China saat itu, Nanjing, jatuh ke dalam kekuasaan tentara Jepang. Yang terjadi kemudian adalah pembantaian yang dilakukan tentara pendudukan terhadap anggota militer Cina dan penduduk sipil, tak terkecuali perempuan dan anak-anak. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Nanjing Massacre atau Pembantaian Nanjing. Selama enam minggu, dimulai dari 13 September 1937 tentara Jepang melancarkan aksi kekerasan massal, antara lain pembunuhan, pemerkosaan, pemenggalan, pembakaran, lomba adu jumlah korban yang paling banyak dihabisi dan penjarahan. Tindakan tentara pendudukan Jepang ini diklaim dalam IMTFE (International Military Tribunal for the Far East) sebagai kejahatan perang. Peristiwa Pembantaian Nanjing telah berlalu selama lebih dari tiga per empat abad. Namun gemanya masih terasa sampai sekarang, antara lain masih saja ada tuduhan dan sangkalan di antara kedua pihak yang terlibat, yakni pihak China dan Jepang. Pihak-pihak yang percaya akan terjadinya peristiwa ini berusaha untuk mengungkapkan dengan menunjukan bukti-bukti yang menyudutkan Jepang. Sementara itu pihak lain yang meragukan terjadinya tindak di luar peri kemanusiaan itu, juga berusaha untuk menyangkal, dan menunjukan bukti-bukti lain yang menyatakan peristiwa itu sebenarnya pada dasarnya tidak sekejam seperti yang diberitakan. Bahkan ada pihak yang benar-benar yakin kalau pembantaian ini tidak pernah terjadi. Seorang jurnalis Amerika keturunan China, Iris Chang menulis buku berjudul The Rape of Nanking. Dalam karyanya, Iris menuangkan kisah tragis Pembantaian Nanjing yang terjadi pada tahun 1937 tersebut dari sudut pandang pihak Jepang, pihak China dan warga negara asing. Buku tersebut tak hanya menjadikan Iris Chang sebagai penulis terkenal, tetapi juga menjadi karya yang menimbulkan kontroversi. Di satu sisi The Rape of Nanking diklaim sebagai sumber yang memberikan informasi terpercaya mengenai peristiwa itu. Namun di sisi lain ada yang menuduh bahwa sebagian besar dari informasi yang ada di buku itu disebut sebagai hasil rekayasa. Sejarawan Jepang Higashinakano Shudo, mengatakan bahwa cerita Iris Chang tentang peristiwa Pembantaian Nanjing hanya merupakan isapan jempol belaka. Dalam Sankei Shimbun, Shudo secara terang-terangan menyatakan bahwa buku The Rape of Nanking penuh dengan omong kosong dan tidak ada saksi tentang pembunuhan atau aksi kejahatan pada peristiwa Pembantaian Nanjing. Shudo kemudian dalam bukunya yang berjudul The Nanking Massacre: Fact versus Fiction mengupas beberapa hal yang membuahkan kesimpulan yang diklaim mendukung pernyataannya tersebut. The Rape of Nanking dan The Nanking Massacre: Fact versus Fiction, memusatkan isu yang saling bertentangan. Topik kontroversial sekitar peristiwa pembantaian Nanjing adalah sebuah isu yang sangat menarik. Oleh karena itulah penulis sangat terkesan dan memutuskan untuk menulis tentang hal itu. Caranya adalah dengan membandingkan hal-hal yang dikemukakan dalam kedua buku tersebut. Dalam penulisan ini, penulis akan membandingkan dua isu utama, khususnya mengenai jumlah korban tewas dalam peristiwa ini, perdebatan mengenai salah satu saksi dalam peristiwa tersebut.
4
Gambar 1 Tembok Nanjing Massacre Memoriam Hall
Jumlah Korban Jumlah korban tewas dalam peristiwa pembantaian Nanjing masih diperdebatkan baik oleh pihak China maupun pihak Jepang. Sebenarnya, isu mengenai jumlah korban tewas juga telah diperdebatkan oleh para peneliti sejak 1980-an, dengan perkiraan mulai dari 40.000 sampai lebih dari 300.000. Karena sebagian besar catatan militer Jepang tentang pembunuhan sengaja dirahasiakan atau hancur tak lama setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, sejarahwan belum bisa secara akurat memperkirakan jumlah korban tewas. Pada salah satu tembok bangunan Nanjing Massacre Memoriam Hall, China terukir jumlah korban tewas sebanyak 300.000 jiwa. Perkiraan resmi dari Tiongkok sendiri jumlah korban yang tewas lebih dari 300.000 tewas. Itu didasarkan pada evaluasi Pengadilan Kejahatan Perang Nanjing tahun 1947. Dalam buku The Rape of Nanking, Iris Chang menulis bahwa jumlah korban pembantaian Nanjing adalah 300.000 korban. Jumlah 300.000 dihitung berdasarkan sensus penduduk Nanjing pada tahun 1937. Sebelum Jepang menyerbu Nanjing penduduknya berjumlah lebih dari 1.000.000 jiwa. Pada saat Jepang telah menduduki Nanjing, setidaknya setengah juta orang telah mengungsi, meninggalkan kota Nanjing. Penghuni kota Nanjing hanyalah tersisa kurang lebih setengah juta ditambah 90.000 tentara China, 10.000 warga asing, sehingga terdapat 600.000-700.000 jiwa pada saat Jepang telah memasuki kota Nanjing. Sun Zhai Wei, professor ilmu sosial Jiangsu Academy melaporkan bahwa organisasi amal di Nanjing telah menguburkan setidaknya 185.000 korban; ada sedikitnya 35.000 korban yang dikuburkan secara pribadi, kemudian pemerintah local dibawah kuasa Jepang menguburkan lebih dari 7.400 jiwa. Dari laporan China mengenai penguburan korban sendiri saja, jumlah korban sudah melebihi 227.400 orang. (Chang, 1997:101) Hal yang lebih mencegangkan datang dari pengakuan Ohta Hisao, mayor angkatan bersenjata Jepang menyatakan bahwa pasukannya membuang 19.000 mayat korban China ke sungai Nanjing. Unit angkatan bersenjata lain membuang 81.000 mayat, lalu terdapat 50.000 mayat lagi yang dibuang. Semuanya berjumlah 150.000 mayat. Jumlah 150.000 korban ini kemudian digabungkan dengan total jumlah penguburan oleh laporan China sudah mencapai 377.400 korban. (Chang, 1997:101) Shudo menyangkal pernyataan dalam buku The Rape of Nanking, dimana Iris Chang mengungkapkan bahwa ada lebih dari 300.000 korban dalam peristiwa pembantaian Nanjing. Shudo mempertanyakan bagaimana mungkin jumlah korban yang tewas dalam pembantaian Nanjing mencapai lebih dari 300.000 korban, sedangkan penduduk Nanjing pada saat itu berjumlah sekitar 200.000 jiwa. Sumber penyataan bahwa penduduk Nanjing ada sekitar 200.000 berasal dari Wang Gupan, kepala Komisi Kepolisian Nasional. Pernyataan ini diungkapakan oleh Wang pada 28 November 1937, sebelum tentara Jepang menyerbu kota Nanjing pada 13 Desember 1937. Jumlah penduduk pada 17 Desember 1937 masih sama seperti 20 hari sebelumnya (Shudo, 2005:167). Hal ini didukung oleh laporan pada tanggal 21 Desember 1937, lima hari setelah kejatuhan kota Nanjing, Komite Internasional menyatakan bahwa populasi penduduk pada saat itu berjumlah 200.000 jiwa. Selang sebulan lebih pasca kejatuhan Nanjing, pada tanggal 28 Januari 1938, dilaporkan bahwa jumlah populasi di Nanking Safety Zone diperkirakan terdapat 250.000 jiwa (Shudo, 2005:205). Hingga Agustus 1938, jumlah penduduk di Nanjing 308.546. Dengan demikian perkiraan Komite Internasional bahwa jumlah populasi pasca kejatuhan Nanjing sekitar 200.000-250.000 dapat
5 dikatakan akurat. Dengan demikian Shudo menyangkal bahwa terjadi pembantaian pada periode waktu tersebut. Dalam bukunya yang berjudul The Nanking Massacre: Fact versus Fiction Shudo tidak menyebutkan secara spesifik jumlah korban yang tewas dalam peristiwa pembantaian Nanjing. Namun dari hasil analisa Shudo (2005:329) mengenai pernyataan Red Swastika Society yang telah mengubur 40.000 korban, Shudo menyangkal bahwa jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak dari jumlah yang sebenarnya. Dengan kata lain menurut asumsi Shudo, jumlah korban yang dikubur adalah sebanyak kurang dari 20.000 jiwa, lebih tepatnya tidak melebihi 15.000 jiwa. Dalam siding pengadilan kejahatan perang pada tahun 1948 IMFTE (International Military Tribunal of the Far East) diperkirakan ada lebih dari 200.000 korban jiwa pada peristiwa ini. Berikut adalah tabel perkiraan jumlah korban yang tewas akibat aksi tentara Jepang dalam pembantaian Nanjing (Chang, 1997:102) Tabel 1 Perkiraan Jumlah Korban Pembantaian Nanjing Estimated Number of Victims of Japanese Massacre in Nanking Tsun-shan-tang 112.266 Red Swastika Society 43.071 Shia Kwan District (sic) 26.100 Pernyataan Mr Lu Su 57.400 Pernyataan Messrs Jui, Chang and Young 7.000 atau lebih Pernyataan Mr Wu 2.000 atau lebih Kuburan korban-korban tanpa nama 3.000 atau lebih Total (perkiraan) 260.000 Sumber : Document no. 1702, box 134, IMTFE records, court exhibits, 1948, World War II War Crimes Records Collection, entry 14, record group 238, National Archives. Jumlah korban yang tewas dalam pembantaian Nanjing sangat beragam. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1. Perbedaan paham. Mengenai jumlah korban tewas dalam peristiwa pembantaian Nanjing, ada 3 kelompok yang memiliki paham atau penafsiran yang berbeda. Pertama Illusion School, dimana kaum sejarahwan yang bergabung dalam kelompok ini berargumen bahwa jumlah korban dalam pembantaian Nanjing paling banyak sekitar ribuan korban jiwa. Kedua Middle-of-the-Road School, kelompok kaum yang juga terdiri dari para sejarahwan. Mereka berpendapat bahwa jumlah korban antara 13.000, 38.000-42.000 jiwa. Ketiga ialah Great Massacre School, kelompok sejarahwan yang menilai bahwa terdapat lebih dari 100.000-200.000, atau bahkan lebih korban jiwa yang tewas dalam pembantaian Nanjing (Askew, 2002) 2. Metode penghitungan. Dalam meneliti banyaknya korban jiwa, perlu adanya indikator yang sama untuk mendapatkan hasil yang akurat. Seperti dalam menetapkan kelompok mana yang dapat dikategorikan dalam korban pembantaian. Menurut Hata Ikuhiko, hanya penduduk sipil dan tawanan perang yang dilucuti atau tanpa senjata sajalah yang dikelompokkan kedalam kategori korban pembantaian (Yoshida, 2006). Di pihak lain, sejarahwan Yoshiaki Itakura menganjurkan standard yang berbeda dalam mengelompokkan tawanan perang yang dapat dan tidak dapat dikategorikan sebagai korban pembantaian (Yang, 1990). Xia Shuqin Iris Chang dalam bukunya “The Rape of Nanking” melampirkan beberapa kisah dari para korban yang selamat dari pembantaian Nanjing. Kesaksian yang didapatkannya itu berasal dari hasil penelitiannya mengenai pembantaian ini, baik yang berasal dari kesaksian para misionaris, maupun korban atau keluarga korban, dan juga dari catatan yang bersangkutan. Salah satu kesaksian yang memicu kontroversi adalah penuturan Xia Shuqin, seorang korban pembantaian. Ia mengaku sebagai saksi langsung dari peristiwa pemmbantaian yang terjadi di kediamannya di Xing Lu Kou, Nanjing. Berikut merupakan kesaksian Xia Shuqin yang dirangkum dalam catatan milik John Magee, seorang misionaris asal Amerika. Ia turut berperan dalam mendirikan zona aman tempat berlindung warga sipil China dari serangan tentara Jepang, Kisah Xia Shuqin ini juga di kenal dengan Account of Case No. 219 (Catatan kasus No. 219).
6 Magee Provides Another Account of Case No. 219 On December 13, about thirty soldiers came to a Chinese house at #5 Hsing Lu Kao in the southeastern part of Nanking, and demanded entrance. The door was opened by the landlord, a Mohammedan named Ma [1]. They killed him immediately with a revolver and also Mr. Hsia [2], who knelt before them after Ma’s death, begging them not to kill anyone else. Mrs. Ma [3] asked them why they had killed her husband and they shot her dead. Mrs. Hsia [4] was dragged out from under a table in the guest hall where she had tried to hide with her one-year-old baby [5]. After being stripped and raped by one or more men, she was bayonetted in the chest, and then had a bottle thrust into her vagina, the baby being killed with a bayonet. Some soldiers then went to the next room where were Mrs. Hsia’s parents, aged 76 [6] and 74 [7], and her two daughters aged 16 [8] and 14 [9]. They were about to rape the girls when the grandmother tried to protect them. The soldiers killed her with a revolver. The grandfather grasped the body of his wife and was killed. The two girls were then stripped, the older being raped by 2-3 men, and the younger by 3. The older girl was stabbed afterwards and a cane was rammed into her vagina. The younger girl was bayonetted also but was spared the horrible treatment that had been meted out to her sister and her mother. The soldiers then bayonetted another sister of between 7-8 [10], who was also in the room. The last murders in the house were of Ma’s two children, aged 4 [11] and 2 years [12] respectively. The older was bayonetted and the younger split down through the head with a sword. After being wounded the 8-year old girl [13] crawled to the next room where lay the body of her mother. Here she staid [sic] for 14 days with her 4-year old sister [14] who had escaped unharmed. The two children lived on puffed rice and the rice crusts that form in the pan when the rice is cooked. It was from the older of these children that the photographer was able to get part of the story, and verify and correct certain details told him by a neighbor and a relative. The child said the soldiers came every day taking things from the house, but the two children were not discovered as they hid under some old sheets. All the people in the neighborhood fled to the Refugee Zone when such terrible things began to happen. After 14 days the old woman [15] returned to the neighborhood and found the two children. It was she who led the photographer to an open space where the bodies had been taken afterwards. Through questioning her and Mrs. Hsia’s brother [16] and the little girl, a clear knowledge of the terrible tragedy was gained.28 This is Magee’s account of the incident, whose veracity he allegedly confirmed. The case involved the murder of not one family, but two. Twelve people were killed, and two sisters escaped with their lives. The two small children were the only survivors, and the only witnesses. Berikut ini adalah kisah Xia yang dikutip dalam catatan John Magee: Pada tanggal 13 Desember saat itu, ada sekitar 30 orang tentara Jepang datang ke kediaman keluarganya di jalan Hsing Lu Kao, sebelah barat Nanjing. Kepala keluarga yang tinggal bersama keluarga Xia adalah seorang Muslim bermarga Ma. Mr Ma membuka pintu, dan pada saat itu juga ia ditembak oleh tentara Jepang, dilanjutkan dengan penembakan terhadap kepala keluarga Xia, istri Mr Ma. Istri Mr Xia yang pada saat itu bersembunyi di bawah meja bersama anaknya yang berumur 1 tahun juga menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan. Pembunuhan kemudian dilanjutkan pada kedua orang tua dari Mr Xia, kedua anak perempuan Mr dan Ms Xia yang berumur 16 dan 14 tahun, juga anak perempuan lainnya yang berumur sekitar 7-8 tahun, lalu pembunuhan selanjutnya terhadap kedua anak keluarga Ma yang berumur 4 dan 2 tahun. Dari keseluruhan berjumlah, hanya seorang anak perempuan yang berumur 8 tahun (Xia Shuqin) yang bertahan? dengan tusukan bayonet dan adiknya yang berumur 4 tahun yang selamat dari kematian. Mereka bersembunyi di kediamannya tersebut hanya dengan makan sisa-sisa nasi yang ada dan sekitar 14 hari setelah kejadian, seorang wanita paruh baya yang mengaku sebagai ibu dari Ms Xia dan adik dari Mr Xia yang tak lain juga merupakan nenek dan pamannya kembali ke kediaman tersebut dan menyelamatkan gadis berumur 8 tahun (Xia Shuqin) dan adik nya yang berumur 4 tahun tersebut. (Shudo, 2005) Pada tanggal 13 atau 14 Desember 1937, dari total anggota yang berada dalam kediamannya, hanya Xia Shuqin yang masih berumur 8 tahun dan seorang adik perempuannya yang berumur 4 tahun yang selamat dari serangan tentara Jepang. Menurut Iris Chang, kisah Xia Shuqin ini dapat dipastikan kebenarannya. Bukti rekaman mengenai keluarga Xia yang menjadi korban juga sempat diabadikan oleh John Magee. Shudo dalam bukunya The Nanking Massacre: Fact versus Fiction secara langsung mengungkapkan argumen-argumen dimana ia berpendapat bahwa banyak keganjilan dalam faktafakta mengenai pembantaian Nanjing yang diuraikan oleh Iris Chang dalam buku The Rape of Nanking. Shudo bahkan mengungkapkan bahwa buku karya Iris Chang merupakan omong kosong belaka, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
7 “Higashinakano came to public attention when he attacked Iris Chang's 1997 book The Rape of Nanking. He argued in an opinion column that appeared in Sankei Shimbun that the book was "pure baloney", asserting that there was "no witness of illegal executions or murders". (Shudo, 2005) Shudo mengungkapkan keraguannya atas kebenaran cerita mengenai Xia Shuqin. Ia juga mengatakan bahwa kesaksian Xia Shuqin palsu. Berikut beberapa hasil analisi Shudo mengenai kisah Xia Shuqin yang Shudo cantumkan dalam The Nanking Massacre: Fact versus Fiction: 1. No given names are provided for the victims, the eight-year-old girl, the old woman (the neighbor), or Hsia’s brother. Perhaps the child didn’t know them. But when Magee testified about this case at the Tokyo Trials, he said that the child’s grandmother on her mother’s side had led him to the scene of the crime. Surely the grandmother would have known the given names of the victims. Magee verified neither the victims’ ages nor their full names. In the absence of this basic information, it is difficult to give credence to his account. 2. Magee claims that Japanese soldiers forced Ma, the head of the household, to open the door, then stormed into the house and shot him to death. Such behavior implies that the crime was premeditated. But for whatever reason, the two sisters, aged four and eight, were not killed. Normally, murderers are careful to kill all witnesses. Why were the children spared? 3. Though, as Magee wrote, “When this terrible thing began, neighboring residents had all fled to the Safety Zone,” the two little girls spent two weeks with 12 mutilated corpses. Why didn’t they run away? 4. The two girls apparently hid under old sheets after the incident. Apparently, nearly 30 Japanese soldiers went to the house every day to steal the residents’ possessions. Normally, one can sense the presence of another human being, yet they remained undiscovered for 14 days. The eight-year-old girl, who had sustained a bayonet wound, did not die from shock. How did she manage to survive without medical attention for 14 days? 5. The number of family members varies from account to account. Case No. 219 as described in Documents of the Nanking Safety Zone (Magee’s account) states that the household comprised 13 persons. However, Magee’s account in The Sino-Japanese Conflict mentions 14 people. Moreover, the family relationships are not at all clear. Who were the parents of the two children alleged to be the only survivors of the incident, described only as an ʺ8-year-old girl” and her younger sister (aged four)? Magee abruptly introduces the “8-year-old girl,” writing that she “crawled into the next room, where her mother’s body lay.” Was her mother Hsia’s wife [4] or Ma’s wife [3]? If she was the daughter of Mr. and Mrs. Hsia, then she must have been the sister of the girl of “between 78” [10]. If the two were twins, that would make the girl of “between 7-8ʺ eight years old, but her age was never verified. The “8-year-old girl” did not know how old she was. Neither did the “old woman” nor Hsia’s brother. We can assume that the two girls were not twins. In that case, the girl aged “between 7-8ʺ would have been seven years old but, again, that information remains unverified. It would make more sense to assume that the girl “between 7-8ʺ was not the younger sister of the ʺ8year-old girl.ʺ Therefore, the “8-year-old girl” could not have been the daughter of Mr. and Mrs. Hsia. Then, was she the daughter of Mr. and Mrs. Ma? She had a four-year-old sister. The Ma’s had a four-year-old child, sex unknown. That would make the eight-year-old’s younger sister [14] and the Mas’ four-year-old child twins. Twins are easily identifiable, though, so someone would certainly have made a note to that effect, also stating their sex. But even that information was not recorded. Therefore, we may assume that the eight-year-old girl was the daughter of neither Mr. and Mrs. Ma nor Mr. and Mrs. Hsia. (Shudo, 2005:156-157) 1.
2.
Tidak ada pemberian nama yang jelas bagi masing-masing korban yang terdapat dalam cerita, ada kemungkinan kalau ‘anak berumur 8 tahun’ tidak mengetahuinya namun, dalam kesaksiannya Magee mengaku bahwa pada saat itu nenek dari kedua anak korban selamat tersebut, mengantar Magee ke tempat kejadian, dan pastinya seorang nenek tahu jelas nama dari setiap korban, Magee mencantumkan umur dari setiap korban namun tidak mencantumkan sumber informasi paling dasar yaitu nama korban. Magee mengungkapkan bahwa pada saat itu Mr Ma sang kepala keluarga, membuka pintu dan langsung ditembak oleh tentara Jepang. Jika kita mempertimbangkan berdasar perbuatan keji yang dilakukan tentara Jepang, tidak ada alasan mengapa tentara Jepang tidak menghabisi nyawa kedua anak tersebut, karena pembunuh biasanya tidak membiarkan saksi lolos. Mengapa kedua anak tersebut bisa selamat?
8 3.
4.
5.
Seperti yang diungkapkan Magee, “Ketika segala peristiwa ini dimulai, seluruh warga yang tinggal di daerah tersebut menyelamatkan diri ke zona aman,” Kedua gadis tersebut menghabiskan waktu kira-kira 2 minggu dengan keduabelas ‘jenazah’ lainnya, mengapa mereka tidak melarikan diri? Kedua gadis bersembunyi dalam kediaman tersebut, setiap harinya sekitar 30 orang tentara Jepang datang ke kediaman itu untuk mengambil barang-barang berharga. Bagaimana keberadaan mereka tidak diketahui? Bagaimana mungkin ‘anak berumur 8 tahun‘ bisa bertahan dengan luka tusukan bayonet selama 14 hari tanpa adanya penanganan medis? Jumlah anggota yang berada dalam kediaman tersebut juga berubah-ubah dari satu sumber ke sumber lainnya. Dalam Case No. 219 yang berdasarkan arsip kesaksian Magee yang terdapat di ‘Dokumen Zona Aman Nanking’ dikatakan bahwa terdapat 13 orang. Dalam akun Magee yang terdapat dalam arsip Konflik China-Jepang disebutkan terdapat 14 orang. Selain itu hubungan keluarga antar para korban juga kurang jelas. Siapakah yang merupakan orangtua dari kedua anak yang selamat tersebut, hanya diketahui seorang anak perempuan berumur 8 tahun dan adik perempuannya berumur 4 tahun tanpa ada pernyataan yang jelas mengenai orangtua korban? Magee secara langsung memperkenalkan ‘anak berumur 8 tahun’ merangkak ke kamar lain dan menemukan jenazah ibunya yang sudah terbaring.” Apakah ibu yang dimaksud adalah Ms Xia atau Ms Ma? Jika ia adalah anak dari Mr dan Ms Xia, berarti ia adalah saudara dari ‘gadis berumur 7-8 tahun’ yang sudah menjadi korban sebelumnya. Jika mereka adalah saudara kembar, berarti gadis yang kira-kira berumur 7-8 tahun harusnya juga berumur 8 tahun, namun umur sebenarnya belum di verifikasi dengan jelas. Baik ‘gadis berumur 8 tahun’ , ‘wanita paruh baya’ ataupun saudara laki-laki Mr Xia, tidak ada yang mengetahui kejelasan umur gadis tersebut. Kita dapat berasumsi bahwa kedua gadis tersebut bukanlah kembar. Berarti ‘gadis yang berumur 7-8 tahun’ tersebut bukanlah adik perempuan dari ‘gadis 8 tahun’. Maka ‘gadis berumur 8 tahun’ tersebut juga bukan anak dari Mr dan Ms Xia. Lalu apakah ia (gadis berumur 8 tahun) tersebut merupakan anak dari Mr dan Ms Ma? Karena diketahui bahwa ia (anak berumur 8 tahun) tersebut memiliki seorang adik perempuan berumur 4 tahun yang juga selamat. Keluarga Ma juga diketahui memiliki anak berumur 4 tahun yang tidak diberitahukan jenis kelaminnya. Kalau hal ini benar, berarti adik dari ‘gadis berumur 8 tahun’ tersebut dan anak keturunan Ma yang sudah diceritakan sebelumnya kemungkinan kembar, namun tidak pernah ada kabar mengenai adanya anak kembar di catatan-catatan yang ada. Sampai akhirnya lagi-lagi tidak ada kejelasan, maka dari itu juga masuk akal bila kita berasumsi bahwa ‘gadis berumur 8 tahun’ tersebut bukanlah anak dari Mr dan Ms Xia juga Mr dan Ms Ma. (Shudo, 2005:158-160)
Higashinakano Shudo yang berada dari kubu Jepang dalam bukunya The Nanking Massacre: Fact versus Fiction mempertanyakan kebenaran dari kesaksian Xia Shuqin. Shudo mengajukan argumentasi bahwa Xia Shuqin dan beberapa saksi lainnya tidak lebih dari sekedar saksi palsu. Pada November 2000, Xia Shuqin membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Xia Shuqin menuntut Shudo dan rekannya, Matsumura, karena keduanya telah menuduh Xia Shuqin sebagai saksi palsu. Kasus ini diajukan ke Pengadilan Negeri China di Nanjing. Pemerintah lokal menjatuhkan hukuman denda sebesar 1.6 million yuan (US$200,000) kepada Shudo dan Matsumura untuk dibayarkan kepada Xia Shuqin. Namun karena di Jepang tidak ada peraturan yang mengikat atas sanksi lintas negara seperti ini, maka Xia Shuqin tidak mendapatkan kompensasi apapun. Pada tahun 2005, Shudo dan Matsumura juga mengajukan gugatan terhadap Xia Shuqin ke Pengadilan Distrik Tokyo. Keduanya menuntut Xia Shuqin untuk mengakui bahwa gugatan yang diajukannya di Nanjing terhadap keduanya merupakan pengajuan yang tidak berdasar. Pada Mei 2006, Xia Shuqin berkunjung ke Tokyo dan kembali mengajukan gugatan terhadap Shudo. Kali ini gugatan itu diajukan ke Pengadilan Distrik Tokyo. Akhirnya Pengadilan Distrik Tokyo memutuskan untuk memberikan ganti rugi sebesar 4 million yen (US$38,5000) kepada Xia Shuqin. Tan Zhen, pengacara Xia Shuqin, mengatakan bahwa pernyataan dalam buku Nanking Massacre:Fact versus Fiction milik Shudo yang menyatakan bahwa Xia Shuqin merupakan saksi palsu tersebut benar-benar telah menghina Xia Shuqin. Karena itu Xia Shuqin tidak memiliki pilihan lain selain mempercayai hukum untuk mendapatkan kembali hak-hak nya dan mengklarifikasi kebenaran dari sejarah.
9 Gu Yong Zhong, pengacara Xia Shuqin lainnya, mengungkapkan bahwa tragedi yang terjadi dalam keluarga Xia tersebut bukanlah kisah palsu. Data-data dan dokumen, serta foto-foto yang menjadi peninggalan peristiwa sejarah ini dapat membuktikan kebenaran tentang kisah Xia Shuqin.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan perbandingan buku The Rape of Nanking dan Nanking Massacre Fact vesus Fiction dalam mengupas peristiwa Pembantaian Nanjing, hal-hal yang dapat penulis simpulkan ialah : 1. Jumlah korban yang dituturkan oleh Iris Chang, yang mewakili kubu China dan Shudo, yang mewakili kubu Jepang, serta pengadilan IMTFE berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan indikator yang digunakan para pakar atau sejarahwan dalam mengklasifikasi korban pembantaian. Selain itu, metode penghitungan korban yang digunakan juga variatif sehingga data-data yang disajikan beragam. 2. Kisah Xia Shuqin merupakan salah satu bukti kekejaman tentara Jepang pada peristiwa Pembantaian Nanjing. Xia Shuqin hingga kini masih hidup dan memperjuangkan kebenaran akan peristiwa ini, oleh karena itu sulit untuk tidak mempercayai kebenaran kisah hidupnya. Menurut penulis, masing-masing poin argumen dalam Nanking Massacre Fact vesus fiction karya Shudo yang menunjukan bahwa kesaksian Xia Shuqin tersebut palsu juga masuk akal. Kisah Xia Shuqin telah diceritakan oleh berbagai pihak dalam bahasa, pemikiran dan kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bila terdapat pergeseran informasi. Menurut penulis, peristiwa Pembantaian Nanjing ini memang benar terjadi. Munculnya kontroversi mengenai suatu peristiwa sejarah, seperti dalam Pembantaian Nanjing ini memang tidak dapat dihindari karena para sejarahwan memiliki prasangka, gagasan, sudut pandang serta motif yang berbeda. Oleh karena itu, dalam menyingkapi sebuah sejarah diperlukan daya pengamatan dan sebagai pembaca yang bijaksana, bacalah lebih dari satu referensi sehingga dapat membantu menemukan penafsiran yang seimbang. Selain itu, ketika menemukan kebenaran dari sebuah peristiwa sejarah, hendaknya kita menerimanya meskipun hal itu tidak selalu dapat diterima pikiran kita.
REFERENSI [1]
[2]
[3] [4] [5] [6] [7]
[8] [9]
[10] [11]
[12] [13]
陈 璐 茜 . 演 讲 即 故 事 : 浅 析 费 希 尔 叙 事 性 在 公 众 演 讲 中 的 应 用 [D]. 北 京:中国人民大学传播学,2012. 邓 志 勇 . 叙 事 、 叙 事 范 式 与 叙 事 理 性 ― 关 于 叙 事 的 修 辞 学 研 究 [J]. 外语 教 学杂志,2012,33,4: 37-41. 何建明.南京大屠杀全纪实[M]. 南京:江苏凤凰教育出版社,2014. 牧之. 历史上的今天大全集[M]. 北京:企业管理出版社,2010. 王恺.中国历史常识[M]. 北京: 高等教育出版社,2007. 张纯如.南京暴行―被遗忘的大屠杀[M]. 北京:东方出版社,1998. 蒋芳、蔡玉高. 幸存者忆南京大屠杀:被刺 3 刀 与亲人尸体生活 14 天 [N]. 广州日报, 2014-09-18. http://www.chinanews.com/cul/2014/09-18/6602967.shtml 吴晓锋. 宣判,确证屠城史实 ---访夏淑琴案代理律师谈臻[N]. 法制日报, 2007-11-11.
http://www.legaldaily.com.cn/bm/content/200711/11/content_737051.htm Askew, David. (2002). The Nanjing Incident : Recent Research and Trends. Electronic Journal of Contemporary Japanese Studies, diakses 27 Juni 2015 dari http://www.japanesestudies.org.uk/articles/Askew.html Chang, Iris. (1997). The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II. New York: Basic Books. Chi, Wei Man. (2012). The Rape of Nanking vs. the incident of Nanking: a Literature Review. Momentum, Volume 1, No. 9, diakses 14 Maret 2015 dari http://repository.upenn.edu/momentum/vol1/iss1/9/ Fisher, Walter. (1984). Narration as Human Communication Paradigm: The Case of Public Moral Argument. Communication Monographs. 51.(1): 1-2 Fisher, Walter. (1987). Human Communication as Narration: Towards a Philosophy of Reason, Value, and Action. Columbia: University of South Carolina Press.
10 [14] [15] [16] [17] [18] [19]
Hsü, Shuhsi. (1939). Documents of the Nanking Safety Zone. Shanghai: Kelly & Walsh Rabe, John. (1998). The Good Man of Nanking: The Diaries of John Rabe. United dari States: Knopf Publishing Group. Shudo, Higashinakano. (2005). The Nanking Massacre: Fact versus Fiction: A Historian’s Quest for the Truth. Tokyo: Sekai Shuppan, Inc. West, Richard., Turner, Lynn H. (2007). Introducing Communication Theory: Analysis and Application. New York: Mc-Graw Hill Yang, Daqing. (1990). A Sino-Japanese Controversy: The Nanjing Atrocity As History. Sino-Japanese Studies. 3(1):14-35. Yoshida, Takashi. (2006). The Making of the "Rape of Nanking": History and Memory in Japan, China, and the United States". New York: Oxford University Press
RIWAYAT PENULIS Laurensia Winata lahir di Jakarta pada 27 Mei 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMAK Kasih Karunia, Jakarta pada tahun 2011. Penulis pernah aktif di Binus Student Learning Community sebagai mentor jurusan Sastra China. Tri Jessyca Irfan lahir di Tebing Tinggi pada 25 Agustus 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMAK Kasih Karunia, Jakarta pada tahun 2011. Penulis pernah aktif di Binus Student Learning Community sebagai mentor jurusan Sastra China dan pernah aktif sebagai Buddy Coordinator FEP Binusian 2016 dan FEP Binusian 2017. Prof. A. Dahana lahir di Jakarta pada 31 Mei 1941. Beliau menamatkan pendidikan S1 di Universitas Indonesia pada tahun 1970. Pada tahun 1979 menamatkan pendidikan S2 di Cornell University. Pada tahun 1986 menamatkan pendidikan S3 di University of Hawaii. Beliau adalah Guru Besar dalam Chinese Studies, Universitas Bina Nusantara.
11