HUJATAN DAN TUDUHAN BERKEPANJANGAN Seandainya Pak Harto seorang diktator, tentulah ia akan mempertahankan kekuasaannya dengan kekerasan. Kekuasaan yang ditopang dengan kewenangannya selaku Presiden dan Pangti ABRI. Namun, Pak Harto, yang memenuhi tuntutan mundur sebagai presiden secara ikhlas dan legowo, ternyata berbuah hujatan dan tuduhan tiada henti. Boleh jadi kita semua - termasuk juga Pak Harto - tak pernah menduga. Pengunduran diri Pak Harto yang legowo, ikhlas, dan konsitusional pada tanggal 21 Mei 1998 - yang diharapkan Pak Harto dapat berjalan damai dan tertib justru berujung pada hujatan, tuduhan, dan cercaan yang berlangsung tanpa kendali. Maksud hati, memenuhi tuntutan agar dapat meredam gejolak sosial, menciptakan ketertiban, namun ternyata keikhlasan itu justru dijawab lain. Pak Harto malah dijadikan semacam ikon pembalasan dendam. Euforia Reformasi berubah jadi "kebebasan yang kebablasan" tuduhan dan penghinaan terhadap Pak Harto seorang. Hampir semua kesalahan ditimpakan kepada Pak Harto seorang. Tak heran, kalimat-kalimat kotor, kata-kata tak sedap, bahkan makian terhadap Pak Harto menjadi "menu" sehari-hari dalam pelbagai unjuk rasa. Pak Harto menjadi simbol mercuasuar yang harus dihabiskan dan ditumbangkan. Sentralistik dirubah menjadi desentralistik. Tak ada hari tanpa unjuk rasa adalah bagian dari wujud era reformasi. Tampilnya BJ Habibie sebagai Presiden RI ke 3, komplet dengan pelbagai kebijakannya yang "reformatif" seperti kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat, membebaskan tahanan politik, serta pelbagai kebebasan lainnya membangun kebebasan otonomi massa yang berbuah pada hingar bingar politik. Ketertiban pada masa kepemimpinan Pak Harto, berganti pada ketidaktertiban. Ketidaktertiban saat itu - demikian dianggap sebagian orang adalah bagian dari dinamika demokrasi. Dan demokrasi inilah yang konon akan ditegakkan oleh BJ Habibie dengan membuka berbagai "kran" kebebasan. Meski Pak Harto - sesuai dengan tuntutan mahasiswa -telah mundur sebagai Presiden RI, toh terus saja dicerca, dihina, dan "diburu" tak ubahnya sebuah objek pembalasan dendam. Ironisnya, tak satu pun tampil sebagai pembela. Termasuk juga jajaran ABRI yang selama ini dianggap pal-ing setia terhadap Pak Harto. Sementara kita tahu, pada 21 Mei 1998, Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal Wiranto, seusai pengunduran diri Pak Harto dan pembacaan Sumpah Jabatan BJ Habibie sebagai Presiden RI ke 3, sebagai Panglima ABRI, Wiranto menyiarkan 5 butir pernyataan yang salah satu butirnya menyajikan hal berikut; Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya1 Namun, kenyataan memang berbuah lain. Pak Harto dan keluarganya justru dihujat habis-habisan, baik oleh aksi-aksi demontsrasi mahasiswa - malahan sampai unjuk rasa ke kediaman Pak Harto di Jalan Cendana - maupun oleh sejumlah tokoh nasional, para tokoh politik, dan oleh or-ang-orang yang mengaku reformis. Pak Harto dan keluarganya nyaris memang tak ada perlindungan. Hujatan demi hujatan, tuduhan demi tuduhan terus memberondong pada Pak Harto. Malah rumah kediaman jalan Cendana berulangkali didatangi para pengunjuk rasa yang terdiri dari para mahasiswa dan aktifis LSM.
Dan Jenderal Wiranto sebagai Pangab, awal Juni 1998, kembali menghimbau kepada pihak-pihak yang terus menyuarakan reformasi agar tindakan dan kegiatan politik dilakukan dengan penuh kearifan dan dapat mengendalikan diri. Lebih lanjut kata Wiranto; Jauhi sikap salah menyalahkan, menghasut, meng-hujat, menista satu sama lain, mengkait berbagai permasalahan masa lalu yang hanya akan merusak konsentrasi bangsa melangkah ke depan yang penuh dengan kesulitan. Bangsa ini adalah milik kita bersama dan pilihan ada pada diri kita sendiri. Sudah sepatutnya dan bahkan menjadi keharusan sebagai warga bangsa yang bertanggung jawab untuk dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing dalam mengatasi krisis yang sangat mem-prihatinkan. 2 Namun toh, tetap saja kebebasan menghujat terus berkesinambungan. Utamanya, tentu saja ditujukan pada Pak Harto. Pernyataan Jenderal Wiranto sendiri selaku Pangab, nyaris tak didengar lantaran tuntutan Reformasi pun membias dan ditujukan pula agar ABRI harus direformasi. Malah Fungsi sosial politik ABRI dipertanyakan kembali, bahkan kedudukan ABRI di DPR juga diper-tanyakan dan institusi ini harus mundur dari tataran politik. Dengan kata lain, ABRI diminta untuk kembali ke barak. Fraksi ABRI di DPR harus dihapuskan. Pelbagai Hujatan Yang Bermunculan Memang, lengsernya Pak Harto telah menorehkan sejarah yang tragis. Pada saat berkuasa, ia selalu dipuji-puji dan dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Namun setelah jatuh, hampir semua orang mensyukurinya, bahkan tidak sedikit orang yang dulu menjadi "sang pemuja" dan selalu berada disampingnya, kini tiba-tiba menjadi "Tukang Protes", mengkritik kebijakan, dan mencari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan Pak Harto. Kita tahu, banyak orang-orang yang dibesarkan Pak Harto, yang dulu setia, loyal, tunduk bahkan tak sedikit yang mengelu-elukan Pak Harto, kini berubah 180 derajat. Tak hanya membiarkan Pak Harto sendirian, tetapi malahan berani ikut andil dalam menyalahkan Pak Harto dengan Orde Barunya. Orang-orang yang dulu dibesarkan Pak Harto, atau mereka yang dulu menyanjung-nyanjung Pak Harto kini berbalik arah, atau paling tidak menyembunyikan diri masing-masing mencari selamat. Akan halnya Sisivono Yudhohusodo, tokoh Golkar Ketua Depertemen Koperasi dan Wirausaha DPP Golkar (1983-1988), mantan menteri dan pembantu Pak Harto pada 2 periode yakni sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat (1988-1993); Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (1993-1998) adalah sosok tokoh yang getol meneriakkan reformasi, dan ia sangat mendorong untuk segera dilaksanakannya Sidang Istimewa atau Sidang Umum MPR. Menurutnya, sidang MPR sangat perlu dilakukan untuk membentuk sebuah pemerintahan baru yang dipercaya rakyat. Lebih lanjut Siswono mengatakan bahwa ada 7 kesalahan besar yang dilakukan Pak Harto, yaitu; 1. Sejak tahun 1970-an karakter kekuasaannya secara mendasar berubah, yaitu mengedepankan kekuasaan remuneratif. Artinya kepatuhan dan kesetiaan para pelaku politik dan masyarakat ditentukan oleh distribusi menteri dan jabatan dari kekuasaan dan tidak lagi atas dasar kesamaan idealisme.
2. Kemampuan kekuasaan untuk memberikan imbalan materi sebagai basis legitimasi utama kekuasaan melalui segala cara dengan melakukan penyingkiran terhadap lawan politik, dan ini mengakibatkan korupsi dan nepotisme merajalela. 3. Sejak tahun 1980-an kepatuhan dan kesetiaan yang diberikan kepada penguasa lebih banyak dituntun oleh rasa takut atas hukuman yang setiap saat bisa ditimpahkan kepada siapapun. 4. Perubahan kekuasaan tersebut telah membawa kepada penyuburan perbuatan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). 5. Menguasai semua orsospol 6. Tidak ada pembinaan moral 7. Menciptakan rasa tidak aman Akan tetapi menurut Siswono, disamping 7 kesalahan besar di atas, Pak Harto juga mempunyai 11 jasa besar sebagaimana ia kemukakan lagi; 1. Tahun 1949 melakukan serangan dan menguasai Yogyakarta dari tangan Belanda selama jam, yang dikenal dengan serangan oemoem 1 maret. 2. Tahun 1963 pembebasan Irian Barat (sebagai Panglima Komando Mandala di masa kepemimpinan Presiden Soekarno). 3. Tahun 1965 penyelamatan negara dari kudeta G-30-S-PKI. 4. Setelah terpilih menjadi Presiden, melakukan pembangunan dengan pesat selama 30 tahun melalui Repelita I sampai dengan Repelita VI. S.Berhasil melanjutkan cita-cita Bung Karno mempersatukan cita-cita negara Non Blok untuk memperjuangkan kedaulatan negara masing-masing. 6. Melaskanakan KTT Non Blok di Jakarta 7. Melaksanakan Sidang APEC di Jakarta 8. Meningkatkan pendapatan perkapita dari th 1960 sebesar US$ 40 menjadi US$ 1.100 pada rahun 1997. 9. Meningkatkan GNP dari US$ 4 miliar pada th 1968 menjadi US$ 200 miliar 10.Meningkatkan usia harapan hidup dari 48 tahun pada tahun 1968 menjadi 62 tahun pada 1972 11. Meningkatkan nilai pendapatan devisa dari US$ 500 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 50 miliar pada tahun 1997.3 Adalah Akbar Tanjung, yang dulu pada tahun 1977 dikenal sebagai salah seorang tokoh pelopor dibentuknya KNPI, dan dikenal selama 10 tahun menjadi anggota F-KP DPR yang secara institusional mendukung status quo dan selama 10 tahun pula menjadi pembantu utama Pak Harto sebagai Menpora (1988-1993); Menpera (1993-1998). Namun toh ia termasuk tokoh yang paling getol me-nyuarakan persetujuannya pada percepatan SI MPR/DPR dan diselenggarakannya Pemilu.
Bahkan Akbar Tanjung juga termasuk salah satu dari 14 menteri yang mengundurkan diri dari kabinet Pembangunan VII, dan menolak tawaran Pak Harto untuk duduk di dalam kabinet Reformasi bentukan Pak Harto, namun kemudian "menyebrang" mendukung BJ Habibie dan duduk menjadi Mensesneg dalam Kabinet Reformasi Pembangunan bentukan Presiden BJ Habibie. Lalu yang paling menarik lagi, untuk "menyelamatkan" Golkar, Akbar Tanjung yang juga adalah Ketua Umum Golkar, segera menonaktifkan Pak Harto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, dan juga memberhentikan puteri Pak Harto, Siti Herdiyanti Rukmana sebagai fungsionaris Golkar. Sementara Golkar sendiri dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung - berubah menjadi Partai Golkar. Ini tentu saja dimaksudkan guna menyelamatkan Golkar dari bias hujatan yang dituduhkan pada Pak Harto. Lalu bagaimana pula dengan Harmoko ? Harmoko adalah Ketua Umum DPP Golkar, Ketua DPR/MPR RI yang dikenal sangat dekat dengan Pak Harto. Bahkan Harmokolah yang selama 15 tahun menjadi Menteri Penerangan tiga periode (1983-1997). Dan kita tahu bahwa Harmoko adalah pejabat yang paling yang sering berujar "minta petunjuk Bapak Presiden". Bahkan ia adalah tokoh utama yang meminta Pak Harto untuk menjadi Presiden RI masa bakti 1998-2003 dan berusaha meyakinkan Pak Harto bahwa seluruh kader Golkar dan seluruh masyarakat masih mempercayai Pak Harto kendati Pak Harto sendiri saat itu agak enggan menerima begitu saja. Memang, Harmoko adalah salah satu orang yang paling bertanggung jawab atas pengangkatan kembali Pak Harto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Namun baru berusia 3 bulan Pak Harto jadi Presiden, atas nama pimpinan MPR/DPR, Harmoko pula yang meminta agar Pak Harto mengundurkan diri dari jabatan presiden secara sukarela. Bahkan, Harmoko ikut menegaskan, keinginan pemerintah mengenai agenda percepatan pernilu memiliki semangat yang sama dengan DPR. DPR telah membentuk tim program legislasi nasional menghadapi percepatan pemilu. Lantas, bagaimana dengan Ginanjar Kartasasmita? Ginanjar Kartasasmita adalah pendukung utama Orde Baru dan telah menjadi pembantu Pak Harto cukup lama yakni sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri (1983-1988); Menteri Pertambangan dan Energi (1988-1993); Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas (19931998); Menko Ekuin/Ketua Bappenas (1998) dan terakhir ikut dalam gerbong kabinet; Menko Ekuin Kabinet Reformasi Pembangunan. Semasa Orde Baru, tahun 1991, Ginanjar percaya bahwa Pak Harto adalah pemimpin besar yang dapat bersanding sama tinggi dengan pemimpin besar dunia lainnya, disamping dapat disejajarkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Jika berbicara mengenai yayasan-yayasan yang dipimpin Pak Harto ada yang didirikan bersama Harmoko dan Bob Hasan Ginandjar juga berkesimpulan bahwa Pak Harto adalah manusia yang sangat memiliki kepedulian sosial. Namun, pada hari-hari menjelang puncak Reformasi, Ginanjar menjadi "komandan regu" menolaknya 14 menteri Kabinet Pembangunan VII menjelang kejatuhan Pak Harto. Sebagai Menko Ekuin, seluruh menteri di bawah koor-dinasinya menolak masuk dalam kabinet Reformasi bentukan Pak Harto. Karena itu, dengan sikap dan tindakannya itu, Ginanjar sesungguhnya mempunyai andil besar dalam menurunkan Pak Harto dari kursi kepresidenan. Sementara itu ada pula nama-nama lain seperti para ketua fraksi di DPR Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid, lalu ada pula nama Rudini, Sarwono Kusuma-
atmadja, dan sejumlah tokoh lainnya, notabene sama sebangun dalam mengoreksi berbagai kelemahan Pak Harto dengan Orde Barunya. Demikian pula dengan Amin Rais, yang dikenal sebagai "tokoh Reformasi" adalah orang yang paling getol menghujat Pak Harto. Sebagaimana di kampus IPB, Dermaga, Bogor, 31 Mei 1998, Amien Rais menghimbau agar pihak berwenang baik Depkeh maupun Kejagung, segera membuat keputusan untuk mencegah mantan Presiden Soeharto dan keluarganya pergi ke luar negeri. "Hal ini untuk menenangkan rakyat, dan Presiden BJ Habibie juga harus mendukung supaya Soeharto diajukan ke pengadilan. Jika tidak mendukung, berarti dia mengingkari keinginan rakyat." Bahkan pada 20 September 1998, Amien juga menya-takan akan terus menekan Presiden BJ Habibie untuk mengingatkan kesanggupan Habibie memeriksa Pak Harto dan keluarganya. "Kami akan menekan Habibie terus menerus agar tidak bersandiwara dalam memeriksa Soeharto dan membawanya ke pengadilan". Amin Rais memang dikenal tokoh yang paling vokal dalam menghujat Pak Harto. Namun, mungkin hanya sedikit orang tahu, bahwasanya Pak Harto sesungguhnya pernah ikut andil dalam membantu dan mendukung Amin Rais menjadi Ketua Umum Muhammadyah dalam Muktamar Muhammadyah di Aceh tahun 1995. Bukan saja bantuan moril, tapi juga bantuan materil yang diberikan Pak Harto. Menurut Probosutedjo, untuk melaksanakan Muktamar Muhammadiyah di Aceh tersebut, Amien Rais menghadap Pak Harto di Cendana dan meminta bantuan dana sebesar 1 milyard untuk acara tersebut. Dan Pak Harto memberikan bantuan sebesar Rp.500.000.000,Kemudian, Amein Rais juga datang ke jl. Diponegoro, ke kediaman Probosutedjo untuk meminta bantuan yang sama. Dengan disaksikan oleh Rektor UMB dan Rektor Universitas Muhammadiyah, saat itu Probosutedjo memberikan bantuan sebesar Rp. 250.000.000.- Bahkan Probosutedjo juga membantu Amien Rais dengan cara meminta Pak Harto untuk membuka acara Muktamar dan mendukung Amien Rais menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Bahkan, Amin Rais juga pernah meminta sumbangan untuk pembangunan sejumlah mesjid di Yogya, dipenuhi pula oleh Pak Harto. Dan, bukan rahasia umum lagi, hingga kini yayasan yang dipimpin Pak Harto, hingga kini masih tetap membantu Muhammadyah. Juga, membantu lembaga atau institusi kemasyarakatan lainnya secara sosial. Ada data dan fakta yang menunjukkan hal itu, serta bisa dicek langsung ke yayasan-yayasan, seperti apakah bentuk bantuan sosial itu ? Hujatan demi hujatan memang terus menyeruak pada Pak Harto seorang. Namun hal menarik di awal bulan Juni 1998, di tengah arus deras hujatan, fitnah, dan cemoohan terhadap Pak Harto, dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni di Jakarta, Megawati Soekarno Putri, malah melawan arus. Justru dengan tegas dan berani Megawati meminta kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berhenti menghujat Pak Harto. Hati Mega merasa tertusuk membaca berbagai pernyataan lisan maupun tertulis yang bernada menghujat dan mencemooh Pak Harto. Mega merasa tidak percaya kalau kata-kata itu ditulis dan dinyatakan bangsa Indonesia sendiri terhadap bekas Presidennya. Mega memang terkesan membela Pak Harto. Namun, sesungguhnya Megawati saat itu bolehjadi berpikir lebih rasional. Ada hal yang tidak etis, vulgar, dan sangat keterlaluan dalam menghujat Pak Harto. Sama sekali tidak sesuai dengan etika dan budaya banga ini.
Bahwa, mantan Presiden haruslah memperoleh perlakuan yang layak dan proporsional, serta berhak mendapat perlindungan hukum dan perlakukan yang berkeadilan, berprikemanusiaan, beradab dan berbudaya sesuai dengan falsafah bangsa, Pancasila. Atau boleh jadi pula, penghormatan Mega kepada Pak Harto, terkait pula dengan catatan sejarah, bagaimana Pak Harto pernah melakukan pembelaan pada Bung Karno ketika hampir seluruh rakyat bangsa ini menghujat dan menginginkan Bung Karno di adili. Pak Harto dengan jelas dan tegas menolak keinginan itu. Bahkan ini semua dikemukakan Pak Harto pada tahun 1967 selaku Pang-kop-kamtib di hadapan Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967 dan pidato kenegaraan Pak Harto sebagai Pejabat Presiden tanggal 13 Maret 1967. Saat itu, Pak Harto jelas-jelas melawan arus untuk membela Bung Karno.10 Bahkan, Pak Harto pulalah yang secara konsisten memegang teguh Pancasila - yang diciptakan Bung Karno - dan memperkokohnya sebagai ideologi bangsa. Tuduhan Atas Kekayaan Pak Harto Demikianlah, selain hinaan dan cercaan, yang paling menohok adalah prasangka dan tuduhan bahwa Pak Harto yang amat kaya raya. Opini publik - yang demikian banyak dipublikasikan masa itu." Bahkan, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie membiarkannya begitu saja. Opini publik tentang Pak Harto menjarah kekayaan negara dan uang rakyat, terus bergulir bagaikan bola salju. Dan kekayaan itu dianggap sebagai hasil dari menjarah uang rakyat selama 32 tahun. Bahkan, hal yang menarik dari pemberitaan mengenai kekayaan Pak Harto, muncul hampir secara serempak dan bersamaan pada bulan-bulan menjelang dan setelah lengsernya Pak Harto, baik itu dari dalam maupun dari luar negeri. Hampir semua media massa saat itu - baik penerbitan baru maupun penerbitan lama mempublikasikan prihal dugaan kekayaan Pak Harto dan keluarganya12 yang melimpah. Aneka dugaan disajikan di berbagai media massa seperti hasil penelitian dari Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) yang melansir kekayaan Pak Harto sebesar Rp 200 triliun (Juni 1998), Majalah Forbes edisi Juli 1997 sebesar Rp 160 triuliun, Majalah Asia Week (Januari, 1998) sebesar 80 triliun, CIA sebesar 300 triliun, Asia Wealth Club sebesar 63 triliun, CISI Raya Utama sebesar 60 triliun. Sementara itu, menurut majalah Forbes Juli 1997, menyebutkan kekayaan keluarga Pak Harto sebesar Rp 160 triliun itu. Pak Harto termasuk orang kaya nomor 6 di seantero dunia. Masih di sekitar kekayaan Pak Harto, menyusul pula tambahan data-data lainnya mengenai kekayaan Keluarga Pak Harto, yang menurut versi Forbes, AS (1998) adalah 1.280,4 triliun, Asia Wall Street Journal (1998) sebesar 3.190 triliun, Time, AS (1999) menulis kekayaan Pak Harto sebesar 1.199 triliun dan juga menurut majalah Tempo, Jakarta (1999) sebesar 1.254 triliun. Dan uniknya, di sini terlihat, bahwa sajian media mengenai kekayaan Pak Harto satu sama lain berbeda. Masing-masing mempunyai data yang berlainan, dan jumlah angka yang ditulis pun berbeda-beda. Lalu, yang manakah yang benar, dan entah darimana pula sumbernya. Apakah ini bukan suatu rekayasa yang dibuat tanpa fakta ? Apakah ini sebatas dugaan dan prasangka belaka ? Karena memang sampai sekarang, tidak satupun dapat membuktikan kebenaran data itu.
Dan yang pasti, saat itu opini publik mengenai kekayaan Pak Harto terus bergulir tak habis-habisnya. Malah Pak Harto digambarkan sebagai penjarah uang negara yang melebihi kekayaan mantan Presiden Marcos dari Philipina. Bahkan, pihak Kejaksaan Agung dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie langsung membuka Kotak pos 777 untuk menampung informasi dan data dari masyarakat tentang harta kekayaan Pak Harto dan keluarganya yang diduga diperoleh melalui Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Benarkah Pak Harto kaya raya ? Pak Harto sendiri telah menjelaskan dalam tayangan langsung di televisi pada 6 September 1998, bahwasanya ia tak memiliki kekayaan se-sen pun. Namun, toh tetap saja tuduhan dan prasangka tak pernah berhenti. Kalimat tidak memiliki uang sesen pun, tentu saja bukan berarti tidak memiliki uang, melainkan tuduhan bahwa Pak Harto memiliki kekayaan triliunan rupiah dan disimpan diluar negeri, sama sekali tidak benar. Bahkan Pak Harto juga kembali mengulangi pernyataannya pada tanggal 28 Mei 1999, bahwa ia sama sekali tidak memiliki uang sesenpun. Tuduhan kekayaan yang dilansir media dan beredar luas di kalangan masyarakat, sama sekali tidaklah benar. Namun, gelombang tuduhan terus saja berjujuh tiada henti. Menurut Dr. Yohanes Yacob - doktor ilmu politik internasional lulusan Pasific Western University Los Angeles AS, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Budaya Hukum Nasional Keadilan Sosial Indonesia, Sekjen Lembaga Informal Pembinaan Masyarakat Indonesia (LIPMI), yang diangkat Pak Harto sebagai ketua Tim Konsultan Cendana sejak 2 Juni 1998 - Pak Harto tidak memiliki apa-apa. Dan semua berita tentang kekayaan Pak Harto yang triliunan rupiah itu bohong belaka. Opini publik yang bersumber dari media massa, memang terus menggempur Pak Harto. Termasuk juga Majalah Time yang pada bulan Mei 1999, menurunkan laporan investigasi tentang kekayaan Pak Harto dan anak anaknya, antara lain berupa uang kontan US$ 15 miliar, simpanan di Bank Austria sebesar US$ 9 miliar, tanah dan properti, barang-barang seni dan pesawat terbang jenis jet pribadi. Akhirnya, Pak Harto sendiri seusai shalat Jumat, 21 Mei 1999, mengadakan konperensi pers selama 15 menit dalam menanggapi pemberitaan majalah Time tersebut. Dan karena merasa pemberitaan itu tidak benar, pihak Pak Harto pun melakukan gugatan kepada majalah Time. Pada gugatan yang berlangsung pada 18 Januari 2000 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, majalah Time (tergugat) melalui kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis tidak berhasil membuktikan rekening atau uang Pak Harto (penggugat) di Austria dan Swiss. Selain tergugat tidak dapat membuktikan adanya uang penggugat tersebut dalam jawabannya, penggugat memang tidak pernah memiliki satu sen pun uang di luar negeri. Demikian replik yang disampaikan kuasa hukum Pak Harto diantaranya Juan Felix Tampubolon dan OC Kaligis, dalam sidang tersebut. Selama 32 tahun, demikian menurut kuasa hukum Pak Harto, semua kebijakan Pak Harto telah dipertang-gungjawabkan dalam Sidang Umum (SU) MPR yang disetujui oleh wakil rakyat. "Tidak ada seorang warga negarapun, pada saat itu, melaporkan adanya uang yang disimpan di Austria dan Swiss sebagai uang rakyat Indonesia karena uang tersebut memang tidak pernah ada, apalagi mau disimpan di Austria dan Swiss." Media massa memang berpengaruh besar pada pemben-tukan opini publik mengenai kekayaan Pak Harto. Namun harus diakui pula, terkadang sumber pemberitaan media
massa yang tidak jelas itu menyebabkan terjadinya kesimpang siuran fakta yang sesungguhnya. Tak satu pun yang terbukti dengan benar. Sebagai misal, majalah Forbes edisi Juni 1997 pernah menyebutkan Pak Harto mempunyai harta kekayaan sebesar Rp 160 trilyun. Lalu, pada 1998, majalah tersebut menyebutkan keluarga Pak Harto mempunyai kekayaan Rp.1.280,4 triliun. Namun, pada edisi September 2006 lalu, justru uniknya majalah Forbes ini sama sekali tidak mencantumkan nama Pak Harto dan keluarganya pada daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Unik, memang. Tapi memang begitulah faktanya. Dan boleh jadi pengaruh media massa, opini publik, dan tekanan massa itu pula yang menyebabkan Pemerintahan BJ Habibie berupaya menyelidiki kekayaan Pak Harto di luar negeri. Dan pada 30 Mei 1999, Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi ditugaskan Presiden BJ Habibie untuk berangkat ke Swiss. Kecuali untuk menyelidiki uang Pak Harto di Swiss dan Austria, juga melacak harta kekayaan Pak Harto lainnya. Bahkan keduanya dibekali pula surat kuasa dari Pak Harto untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank di luar negeri, khususnya Swisss dan Austria. Dan surat kuasa ini memang diminta oleh pihak kejaksaan Agung RI. Lalu apa hasilnya ? Ketika Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menkeh Muladi kembali ke Jakarta, keduanya melaporkan bahwa harta kekayaan Pak Harto sama sekali tidak ditemukan di Swiss dan Austria. Uang Pak Harto tidak ditemukan di bank-bank yang ada di kedua negara itu, dan karena memang uang itu tidak pernah ada. Tapi memang Reformasi 1998 melahirkan begitu banyak aneka prasangka dan tuduhan pada Pak Harto. Bahkan reformasi dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie ini yang melahirkan ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 13 November 1998. Dalam pasal 4 Tap No.XI/MPR/1998 disebutkan: "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan dengan tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia". Tak jelas, apakah Tap MPR ini bertolak dari dugaan, prakiraan, ataukah memang dari bukti bahwa Pak Harto telah benar-benar korup ? Bahkan, pada era Presiden BJ Habibie pula dikeluarkan Inpres No.30/1998, 2 Desember 1998, yang khusus untuk menangani dan mengusut kekayaan Pak Harto. Sementara Pak Harto sendiri, pada tanggal 30 Juli 1998, telah menyampaikan sebuah surat kepada Presiden BJ Habibie dan sekaligus telah menyerahkan sejumlah yayasan yang dikelolanya kepada pemerintah, antara lain Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, RS Jantung Harapan Kita, dan RS Kanker Darmais, semua di Jakarta serta ikut pula diserahkan dana sebesar Rp. 75,9 miliar kepada Pemerintah. Sungguh memilukan. Namun begitulah faktanya. Hampir semua tuduhan prihal kekayaan ditujukan pada Pak Harto seorang. Tidak kepada yang lainnya, seperti halnya kekayaan BJ Habibie, Ginanjar Kartasasmita, Harmoko, para menteri di kabinet Pembangunan era Pak Harto, dan masih banyak nama nama lainnya, yang notabene ikut
mengecap dan menikmati potongan kue ekonomi dalam era Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto. Sementara, jika berbicara soal dana yayasan, menurut Bustanil Arifin, uang yang ada di yayasan itu, tidak satu sen pun yang masuk ke kantong pribadi Pak Harto. Semua dikembalikan ke rakyat banyak dalam bentuk pemberian beasiswa, pembangunan masjid dan sarana ibadah lainnya, pembangunan infrastruktur, pembiayaan rumah sakit dan balai pengobatan serta perumahan para pegawai kecil. Pokoknya, yang serba sosial dan demi kepentingan rakyat begitulah. Tahanan Bagi Pak Harto Di era Presiden BJ Habibie, masalah Pak Harto memang terus menerus mencuat ke permukaan. Menjadi bulan-bulanan opini publik. Pelbagai pemeriksaan dilakukan. Sejumlah saksi juga telah diperiksa. Pemeriksaan sudah berlangsung terus menerus, namun hasil penyeledikannya belum juga rampung sementara berkembang pemikiran dan saran untuk menyelesaikan kasus Pak Harto (a) secara politik, (b) secara kombinasi yuridis-politik, atau (c) secara yuridis murni. Namun setelah dicek kesehatannya, ternyata Pak Harto mengalami gangguan neurologis pada fungsi otak (fungsi luhur dan memori) yang kompleks, serta hambatan pada fungsi aktivitas mental. Pak Harto juga mengalami gangguan psikiatris, sehingga hanya mampu berkomunikasi untuk masalah sederhana, sedang untuk hal-hal yang kompleks kualitas pembicaraannya tidak bisa dijamin. Karena itu, pada tanggal 11 Oktober 1999 Jaksa Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lebih dikenal dengan istilah SP3. Tapi cukupkah sampai disitu ? Tidak juga. Usai Sidang Istimewa MPR dimana pertanggungan Jawab Presiden BJ Habibie ditolak, dan kemudian tampil KH Abdurrachman Wahid sebagai Presiden RI ke 4, menggantikan BJ Habibie, kembali kasus ini diungkit lagi. Pada awal Nopember 1999, misalnya, dengan Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman, Presiden Gus Dur meminta Jaksa Agung untuk membuka kembali kasus Pak Harto. Unik memang, karena belum sampai 2 bulan usia SP3 yang dikeluarkan Jaksa Agung era Presiden BJ Habibie, Jaksa Agung Marzuki Darusman era Presiden Gus Dur langsung mencabut SP3 yang pernah diberikan pada Pak Harto. Artinya, Jaksa Agung menyatakan secara tegas akan membuka kembali kasus korupsi Pak Harto. Dan hari-hari berikutnya memang mudah ditebak. Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Praperadilan Pak Harto atas pencabutan SP3 oleh Jaksa Agung, maka pada 10 Pebruari 2000, Jaksa Agung memanggil kembali Pak Harto sebagai tersangka korupsi. Namun, Pak Harto tidak bisa datang karena sakit dan kesulitan untuk berkomunikasi secara verbal. Oleh tim dokternya, Pak Harto dinyatakan sakit secara jasmani dan rohani. Tak percaya dengan alasan kesehatan, Jaksa Agung pun membawa Pak Harto ke RSCM untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Dan hasil yang dilaporkan, bahwa Pak Harto memang benar-benar sakit. Tetapi Jaksa Agung tetap bersikeras untuk meneruskan penye-lidikan. Bahkan, kembali Jaksa Agung memanggil dan akan memeriksa Pak Harto hanya karena Pak Harto ikut datang menghadiri pernikahan cucunya, Danty Rukmana, pada 28 Maret 2000, dimana saat itu hadir pula Presiden Gus Dur sebagai undangan.
Demikianlah, kemudian Jaksa Agung Marzuki Darusman memanggil Pak Harto untuk pemeriksaan. Namun Pak Harto tidak bisa datang karena sakit. Hal ini dibuktikan oleh tim kuasa hukum Pak Harto yang memberikan laporan tim Medis RSCM. Tak berhenti sampai disitu, selain Jaksa Agung secara resmi menyatakan Pak Harto sebagai tersangka kasus penyalahgunaan yayasan, Jaksa Agung juga mengirimkan tim pemeriksa dengan mendatangi Pak Harto ke kediaman. Namun, baru saja dua pertanyaan diajukan, tiba-tiba saja tekanan darah Pak Harto naik dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Walhasil, pemeriksaan terpaksa dihentikan. Namun pihak kejaksaan tetap bersikeras akan memeriksa Pak Harto. Bahkan, pihak kejaksaan melalui Direktur Tindak Pidana Korupsi Chairul Imam menetapkan Pak Harto sebagai tahanan kota dan masuk dalam daftar cekal larangan tidak boleh bepergian ke luar negeri. Lalu, yang lebih "ganas" lagi, pada 29 Mei 2000, Pak Harto dikenakan status sebagai tahanan rumah. Dan, pada 12 Juni 2000 pihak Kejaksaan Agung kembali mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah bagi Pak Harto. Adapun ihwal tahanan rumah ini, konon memang telah direstui dan diminta oleh Presiden Gus Dur. Pada kesempatan berbicara dengan masyarakat Indonesia di Havana, Kuba, Gus Dur mengatakan; "Jaksa Agung meminta pendapat saya. Saya bilang, kalau memang ia (Pak Harto) tidak bisa diperiksa, atau tidak mau diperiksa, ya jadi tahanan rumah saja" Sementara itu, masih dalam konteks mengusut dugaan kekayaan Pak Harto, dalam sebuah lawatan resminya ke Mesir, Presiden RI ke 4, KH Abdurrachman Wahid dihadapan masyarakat Indonesia di Kairo, Selasa, 21 Juni 2000 mengatakan akan menggerakan mahasiswa untuk berunjuk rasa, agar Pak Harto ketakutan dan kemudian bersedia menyerahkan kekayaan hingga sampai 95 persen. Ini memang sebuah statemen yang mengejutkan dari Presiden Gus Dur, yang kemudian pernyataan Gus Dur ini, pada 27 Juni 2000, dibantah keras oleh puteri sulung Pak Harto, Siti Herdiyanti Rukmana, katanya ; "Kalau Presiden Gus Dur mengetahui bahwa ada dana milik Bapak (Pak Harto) di luar negeri, ya alhamdulillah. Bila beliau (Gus Dur) menemukan, mohon perintahkan kepada yang berwenang untuk mengambil uang itu kemudian dipakai bagi kepentingan bangsa dan negara" Memang benar. Pada era Presiden Gus Dur inilah gonjang ganjing proses peradilan Pak Harto bertambah seru. Sebab, tampaknya Kejagung terus memburu Pak Harto. Walaupun Pak Harto dinyatakan sakit dan kesehatannya tak memung-kinkan untuk diajukan ke pengadilan, Jaksa Agung tetap menyatakan pemeriksaan atas diri Pak Harto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkaskan oleh Tim Kejagung. Lalu, berturut turut Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto. Kemudian, Villa Yayasan Dakab di Megamendung, Bogor, disita pula oleh pihak Kejagung, disusul dengan gedung Granadi di Jakarta. Dan untuk seterusnya, 26 Juli 2000, berkas perkara Pak Harto diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang kemudian Pak Harto resmi sebagai terdakwa penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya. Lalu Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara itu, 4 Agustus 2000, Tim Medis RSCM menyampaikan laporan, bahwa Pak Harto memang menderita kerusakan otak sehingga kualitas pembicaraannya
tidak dapat dijamin kebenarannya. Pak Harto dinyatakan menderita kerusakan otak permanen. Namun pada 8 Agustus 2000, pihak Kejaksaan Agung tetap menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk diproses. Maka pada tanggal 21 Agustus 2000 Perkara No.842/ Pid.B/2000/PN Jakarta Selatan disidangkan di PN Jaksel, tapi kembali Jaksa tak bisa menghadirkan Pak Harto karena sakit. Kemudian pada 22 Agustus 2000 Menkundang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Pak Harto akan tetap dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan. Pada 23 Agustus 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan Pak Harto digelar pada 31 Agustus 2000, dan Pak Harto diperintahkan untuk hadir. Namun, pada 31 Agustus 2000, kembali Pak Harto tidak hadir dalam sidang, pengadilan pertamanya di Auditorium Departemen Pertanian Jl. Harsono RP, Ragunan, Jakarta Selatan. Tim Dokter menyatakan Pak Harto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Pak Harto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Pak Harto. Sidang akan dilanjutkan pada 14 September 2000 mendatang. Kemudian pada 5 September 2000, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Pak Harto, Lalu Mariyun menilai rekomendasi tim medis pribadi Pak Harto tidak up to date dan perlu dibentuk tim dokter independen. Pada saat itu juga, Ketua Majelis Hakim Peradilan Pak Harto memperpanjang masa tahanan Pak Harto selama 60 hari. Sementara itu, pada 6 September 2000, Gus Dur di New York kembali menyatakan Pak Harto jika tidak bisa dipanggil/dihadirkan dalam persidangan bisa diadili secara in absentia. Lalu, Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, Kejagung telah mengirimkan surat pengadilan guna pemanggilan Pak Harto pada sidang 14 September 2000. Lalu, 8 September 2000, Jaksa Penuntut Umum (JPU) melimpahkan perkara Pak Harto ke pengadilan. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) disebut perbuatan tersangka sebagai Presiden RI melakukan tindak pidana korupsi antara tahun 1978 sampai 1998. Namun dalam surat dakwaan tidak lagi disebut sebagai presiden, melainkan Ketua Yayasan yang melakukan perbuatan antara 28 Oktober 1985 s/d 15 Agustus 1999. Karena sakit, Pak Harto tetap tidak bisa menghadiri sidang pengadilan. Hal menarik mencermati kasus peradilan Pak Harto, paling tidak sudah 3 tim dokter yang menangani kesehatan Pak Harto. Selain dokter pribadi kepresidenan, juga tim dokter dari RSCM atas permintaan pihak Kejaksaan Agung. Lalu, yang ketiga adalah tim dokter independen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dibentuk atas permintaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jaksel untuk memeriksa kesehatan Pak Harto, 14 September 2000. Hal menarik adalah pada 14 September 2000, ketika Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew memberikan komentar mengenai kasus peradilan Pak Harto. Katanya; "Pengadilan korupsi atas Soeharto yang sedang berjalan sebagai suatu kekeliruan. Bekas orang kuat Indonesia itu tidak pantas diperlakukan demikian, sekalipun apabila dia itu brengsek." Pemimpin Singapura ini mengatakan tidak akan pernah berubah pikiran terhadap Pak Harto yang dikatakan, berhasil mencegah suatu aksi kudeta yang dilakukan kelompok komunis pada 30 September 1965.
"Dia (Pak Harto) telah mengambil alih Indonesia saat posisi berbahaya akibat keributan, ketakutan, dan anarkhi, Kalau kudeta itu berhasil, kami punya tetangga yang komunis." Memang menarik menyaksikan proses peradilan terhadap Pak Harto. Ada upaya terus menerus untuk memaksa Pak Harto menghadiri persidangan kendati pun kesehatan Pak Harto tidak memungkinkan untuk itu. Bahkan, Jaksa Agung sendiri berharap Pak Harto untuk tetap hadir kendati hanya menganggukkan atau menggelengkan kepala dalam persidangan. Namun, pada proses Peradilan kedua, 14 September 2000 di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, Pak Harto masih tidak dapat hadir. Pada 23 September 2000, kembali Pak Harto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Pak Harto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak berkomunikasi. Berdasarkan hasil tes kesehatan ini, maka pengacara Pak Harto menolak menghadirkan Pak Harto di persidangan. Pada 28 September 2000, Kesehatan Pak Harto memburuk. Hakim menghentikan sidang. Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana Pak Harto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Pak Harto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga akhirnya membebaskan Pak Harto dari tahanan kota. Pak Harto dan Tuduhan Korupsi di Yayasan Bagai api nan tak kunjung padam, Pak Harto terus saja menjadi "komoditas" atau objek politik. Terus saja diburu tanpa henti sejak ia lengser menjadi Presiden RI, 21 Mei 1998. Ada kasus yang pernah ditutup, namun kemudian dibuka kembali dari tahun ke tahun. Mulai dari era Presiden BJ Habibie hingga kini Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono. Namun, berdasarkan catatan krnologis, hanya dalam era pemerintahan Presiden Megawati, proses pemeriksaan terhadap Pak Harto mengendur. Yang paling heboh, tentunya pada era Presiden BJ Habibie dan Presiden Gus Dur. Lantas kini pada era Presiden SBY, kasus Pak Harto dibuka kembali lewat Jaksa Agungnya, Abdurachman Saleh, yang kembali mengkutak-katik kasus Pak Harto. Malah pada tahun 2006 lalu, atas desakan sejumlah LSM, kasus korupsi Pak Harto dibuka kembali. Namun, karena tak cukup bukti, akhirnya pihak pengadilan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Pak Harto pada 12 Mei 2006. Tuntutan dari pihak Kejaksaan Agung pun akhirnya batal demi hukum. Namun, cukupkah hingga disitu ? Tampaknya tidak. Jika secara pidana - tuduhan korupsi Pak Harto - tak bisa dilaksanakan, pihak kejaksaan pun beralih pada tuntutan perdata. Sasarannya pun jelas, tidak bergeser, dan masih di seputar ke tujuh yayasan yang jelas-jelas bukan milik pribadi Pak Harto. Namun, tetap saja Pak Harto yang dianggap paling bertanggung jawab. Lalu, apa kata Pak Harto mengenai kepemilikan yayasanyayasan dimaksud; "Semua yayasan itu, tidak ada yang milik saya, milik keluarga juga tidak, milik pengurus juga tidak, melainkan semuanya milik yayasan, yang tujuannya sudah jelas, sosial. Terhadap yayasan-yayasan yang saya ketuai, atau saya jadi pelindungnya, silahkan dilakukan penelitian oleh kejaksaan. Silahkan. Seperti Rumah Sakit Harapan Kita, walaupun sudah diberi penjelasan oleh Sdr.dr.Roesmono, tapi tidak mau mengerti.
Padahal dr. Roesmono itu sekaligus Sekretaris Dewan Penyantun RS itu, tapi memang ada saja yang nggak mau mengerti. " Namun begitu, tampaknya tetap saja pihak kejaksaan Agung RI - dibawah pemerintahan SBY melakukan "tekanan" pada Pak Harto. Jika tuduhan pidana korupsi tak terbukti, giliran kasus perdata mulai digulirkan. Malah pihak kejaksaan Agung RI kembali berencana menggugat Pak Harto dengan ke 7 yayasan, yang dianggap milik pribadi Pak Harto. Dalam uraian tuduhan korupsi ke 7 Yayasan yang dimaksud seperti; 1) Yayasan Super Semar Rp Rp. 191.830.807.500,-ditambah US$ 419.636.910; 2) Yayasan Darma Bhakti Sosial (Darmais) Rp. 201.830.807.500,-; 3). Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab) Rp. 532.542.282.102,-; 4). Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Rp.442.816.963.031,- ; 5). Yayasan Dana Gotong Royong Rp 1.250.000.000,-; 6). Yayasan Trikora Rp. 7.065.000.000,- dan 7). Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) Rp. 1.973.640.048,Total jumlah seluruhnya adalah Rp 1. 379. 309. 500. 184,- ditambah US$ 419.636.910,Tak hanya pihak Kejaksaan Agung RI yang akan mengajukan tuntutan perdata, bahkan Departemen Keuangan (Depkeu) RI pun menyetujui untuk mengambil alih tujuh yayasan tersebut untuk dijadikan sebagai aset negara. Akan halnya Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Depkeu Hekinus Manao menjelaskan, bahwa tujuh yayasan milik Pak Harto ini layak menjadi aset pemerintah karena sumber kekayaan berasal dari hasil penyisihan laba BUMN-BUMN. Berdasarkan Pasal 22 UU 17 Tahun 2003, katanya, bahwa yang dimaksud kekayaan yang bersumber dari pemerintah dan dikelola oleh pihak ketiga. Jadi dasar hukumnya jelas, kita bisa masukan itu, katanya. Bahkan belakangan, Ketua BPK Anwar Nasution ikut pula mendukung langkah pengambil alihan aset ke tujuh yayasan tersebut. Persoalannya, benarkah yayasan tersebut milik Pak Harto ? Memang sudah dijelaskan oleh Pak Harto. Sama sekali yayasan itu bukan miliknya pribadi, atau pun milik keluarganya. Dan benarkah Pak Harto menumpuk harta kekayaan dari ke 7 yayasan tersebut ? Juga tidak benar, karena hingga kini, baik aset maupun keuangan tidak berada di tangan Pak Harto. Dana yayasan ini pun dipersilakan Pak Harto untuk diaudit, karena hingga kini ke 7 yayasan tersebut bersifat terbuka, dan tak pernah ada yang ditutup-tutupi, termasuk juga aneka kegiataannya yang hingga kini masih terus berjalan. Namun, kenapa pula Pak Harto masih di"buru" dan dikotak-katik, bolehjadi karena kasus Pak Harto lebih bersifat politis ketimbang kasus hukum yang sebenarnnya. Karena Pak Harto - suka atau tidak - mudah dijadikan simbol penguasa Orde Baru yang dibebani semua kesalahan secara tunggal. Walhasil, tuduhan mengenai Pak Harto menumpuk kekayaan tidak pernah terbukti hingga sekarang karena pada dasarnya kekayaan Pak Harto tidak sebesar yang diopinikan kepada publik, termasuk juga tuduhan korupsi pada
ke- 7 yayasan sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Namun sebaliknya, tidak tak ada satu pun yang membeberkan pernyataan yang bertolak dari sudut : Apa saja yang sudah dihasilkan ke 7 yayasan itu sejak berdiri hingga sekarang ? Apa saja manfaat dan hasil kongkrit dari yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto itu ? Memang tuduhan kepada Pak Harto tak habis-habisnya diangkat ke permukaan. Dan anehnya, bukan hanya dalam kepemimpinan Presiden BJ Habibie saja, tetapi dalam setiap pergantian presiden di Indonesia, Amien Rais, "sang tokoh reformasi" tak bosanbosannya meminta presiden untuk mengusut tuntas kasus Pak Harto, bahkan ketika Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono ingin mengendapkan kasus Pak Harto Mei 2006 lalu, Amien Rais yang paling tidak setuju. Katanya : "Sudah delapan tahun kok mau diendapkan, mau sampai kapan lagi?" Sementara itu, masih dalam kepemimpinan SBY, kembali muncul rencana Kejaksaan Agung untuk menggugat Pak Harto secara perdata. Gugatan ini ditujukan kepada Yayasan Supersemar dan Pak Harto, dan sedianya gugatan ini akan didaftarkan sebelum 22 Juli 2007, dan akan dihadapkan 43 saksi. Menurut Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya, pihak Kejagung juga sudah memperoleh surat kuasa khusus dari Presiden tanggal 2 Februari 2007 untuk bertindak selaku jaksa pengacara negara dalam perkara itu. Sebanyak 12 jaksa terlibat. Gugatan diajukan kepada Yayasan Supersemar dan Pak Harto selaku Ketua yayasan atas perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1365 menyebutkan, "tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut." Kejaksaan mengajukan gugatan ganti rugi Rp. 1,5 triliun dan kerugian imateriil sebesar Rp. 10 triliun. Selain itu, pengadilan juga diminta menyita asset Yayasan Supersemar, antara lain tanah di Kawasan Kuningan, Jakarta, yang saat ini berdiri Gedung Granadi. Adapun perbuatan melawan hukum itu - demikian pihak Kejaksaan Agung bermula dari adanya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan penggunaan sisa laba bersih bank-bank milik negara yang ditandatangani Presiden Soeharto, tanggal 23 April 1976, yang menyebutkan 5% dari 45 persen keuntungan bank itu digunakan untuk keperluan di bidangsosial bagi yayasan yang diketuai Pak Harto.24 Memang, pemerintah boleh-boleh saja mengajukan gugatan sebesar itu kepada yayasan yang dipimpin Pak Harto. Namun, tampaknya memang terasa ganjil mengingat secara pidana - masih dalam kasus yang sama Pak Harto tak lagi bisa diadili, mungkinkah secara perdata hal ini bisa dilakukan ? Nah, inilah soalnya. Diam, Sikap Dasar Pak Harto Pengkhianatan terhadap dirinya, telah dirasakan. Hujatan, dan tuduhan ia korupsi tak pernah berhenti hingga kini. Bahkan, sejarah mencatat, kasus tuduhan Pak Harto melakukan korupsi, utamanya terkait dengan ke tujuh yayasan yang dipimpinnya, terus saja gencar dilakukan secara buka tutup. Sejak pemerintahan BJ Habibie selaku Presiden RI ke 3 hingga SBY sebagai Presiden RI ke 6, telah beberapa kali kasus ini ditutup dan
kemudian di buka kembali, hingga unsur politisasi lebih mengental ketimbang unsur hukumnya. Namun, hingga kini kenapa Pak Harto cenderung memilih diam ? Kenapa Pak Harto tak membuka suara, apa sesungguhnya yang terjadi, dan bagaimana pula pikiran dan perasaannya menghadapi semua ini ? Memang tak ada seorang pun yang tahu. Karena Pak Harto termasuk sosok yang selalu menyimpan persoalan sendirian. Tak berbicara kepada siapapun. Tak terkecuali juga kepada anggota keluarganya. Dan memang seperti itulah Pak Harto. Atau, bolehjadi benar apa yang dikemukakan Ben Perkasa Drajat, Kandidat Doktor Universitas Hirosima, sewaktu menemui Pak Harto di Cendana, akhir Maret 1999, bahwa semua hujatan yang ditujukan pada Pak Harto, akan dibawanya sebagai bekal di akhirat nanti. Jika seorang dihujat kemudian sabar, maka dosa substantif yang diemban sang terhujat, justru akan beralih kepada para penghujat. Akan halnya Ismail Saleh, SH, sahabatnya yang hingga kini masih menyambangi Pak Harto ke Cendana seminggu sekali mengatakan; Menghadapi segala macam hujatan dan perlakukan terhadap dirinya, Pak Harto hanya berpegang pada tiga sikap dasar, yaitu Satu. Semua hujatan itu akan dibawa sebagai bekal di akhirat. Jika seorang dihujat kemudian tetap sabar, maka dosa yang dihujat akan beralih kepada para penghujat. Firman Allah S.W.T kami akan berikan batasan kepada orang-orang yang sadar dengan pahala lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An Nahl 96) Dua. Harta benda, kedudukan dan kekayaan tidak bisa dibawa ke akhirat. Hanya amal ibadah yang menghasilkan pahala yang bisa dibawa ke akhirat. Tiga. Segala sesuatu yang dilakukan baik dalam kedudukannya sewaktu masih menjabat Presiden RI maupun sebagai ketua ketujuh yayasan adalah tidak untuk kepentingan pribadi maupun untuk memperkaya diri sendiri, melainkan semata-mata hanya untuk kepentingan Rakyat Indonesia. Sikap yang teguh tersebut tertanam sejak lebih dari lima puluh tahun yang lalu dengan tujuan untuk membalas budi baik Rakyat Indonesia, terutama yang bertempat di desadesa atas pengorbanan harta miliknya dan juga keselamatannya dalam mem-biayai perjangan Bangsanya melawan Agresi Belanda di Ibukota RI Yogyakarta, karena itu dengan sekuat tenaga dan fikiran setiap kesempatan dipergunakan sejak menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro sampai pejabat Presiden RI untuk membalas budi dan pengorbanan rakyat di desa-desa melalui usaha pembangunan yaitu untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Bahwa hasilnya belum memuaskan apalagi mungkin ada kesalahan, hal itu karena manusia sesungguhnya tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Kalimat terakhir Pak Harto tersebut menunjukkan pengakuan secara jujur, bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk Pak Harto sendiri. Dan inilah sikap kearifan serta pengalaman berharga yang ingin diwariskan kepada generasi
penerus oleh Pak Harto. Karena pada dasarnya, Pak Harto adalah seorang yang rendah hati. Para menteri di kabinet Pembangunan III, tentu masih ingat ucapan Pak Harto pada sidang terakhir Kabinet Pembangunan III, menjelang pertanggungan jawab mandataris MPR, dimana Pak Harto mengatakan; Kalau nantinya penilaian MPR maupun rakyat secara umumnya ada hal-hal yang kurang baik, semata-mata keseluruhannya itu menjadi tanggung jawab saya. Karena mungkin kekurangan kemampuan saya dalam memimpin saudara-saudara sekalian. Bahwa Pak Harto sebagai pemimpin, dengan penuh kerendahan hati mengakui tanggung jawabnya, mengakui kekurangan kemampuannya dalam memimpin dan itu memang harus diakuinya secara jujur. Sebagaimana pula, pada tanggal 19 Mei 2006, keluarga Pak Harto meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Masih dalam keadaan sakit dan terbaring di rumah sakit Pertamina, melalui anaknya Mbak Titi atau Siti Hediyati Hariyadi, pada 20 Mei 2006, Pak Harto ikut menyumbang dana sebesar Rp. 100 juta untuk membantu korban pengungsi Gunung Merapi di Jogyakarta. Bahkan dalam kesempatan itu, di Yogyakarta, atas nama keluarga Cendana, Siti Hediyati mengemukakan : "Pak Harto adalah manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu, selama 30 tahun beliau memimpin bangsa ini, ada hal-hal yang tidak berkenan dan ada kesalahan-kesalahan beliau buat, kami mohon maaf". Persoalannya, apakah masyarakat dapat memaafkan Pak Harto ? Inilah soalnya. Namun, berdasarkan hasil survey yang diselenggarakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan dilakukan pada 17-20 Mei 2006, menyebutkan sebagian masyarakat Jakarta sepakat memaafkan Pak Harto. Demikian dikemukakan oleh Direktur Eksekutif LSI, Denny J.A . Menurutnya; Besarnya responden yang memaafkan Soeharto adalah 65,1 persen. Sedangkan yang tidak bisa memaafkan mantan Presiden itu hanya sebesar 23,2 persen. Adapun Alasan memaafkan yang diungkapkan terdiri dari 43,5 persen responden menyatakan jasa Soeharto lebih besar dibandingkan dengan kesalahannya. Sedangkan 38,2 persen di antaranya karena alasan kemanusiaan dan Soeharto tidak mampu lagi menjalani proses hukum. Sebagian kecil (9,8 persen) dari mereka berpendapat Soeharto telah mendapatkan hukum secara sosial oleh masyarakat. Sebagai seorang pemimpin yang tahu betul apa yang harus dilakukan, Pak Harto tentulah bukanlah sosok pemimpin yang akan lari dari sebuah tanggung jawab. Dan itu sudah ia buktikan selama puluhan tahun. Pak Harto adalah sosok yang patuh hukum. Hanya, persoalannya, kondisi usia dan kesehatannya yang terus memburuk menyebabkan sulit dilakukan pemeriksaan terhadap diri Pak Harto yang sudah tua, uzur, dan pesakitan itu. Atau boleh jadi benar kata Megawati Soekarno Putri ketika menanggapi riuh rendah komentar mengenai kasus Pak Harto pada 12 Mei 2006. Kata Mega; "Sebagai bangsa yang besar, saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk memiliki jiwa besar. Jika seseorang itu sudah tidak layak untuk diajukan ke pengadilan, lalu apa yang mau kita dapatkan?"
Ikhtisar dan Kesimpulan 1. Pak Harto memenuhi tuntutan Reformasi mundur sebagai Presiden RI, pada 21 Mei 1998, dengan harapan semua berjalan tertib, damai, dan tanpa kekerasan. Tapi setelah mundur, justru hujatan, cercaan dan tuduhan korupsi muncul menghantam Pak Harto seorang. Orang-orang yang dulu dekat dan pernah dibantu Pak Harto, berbalik mengoreksi kesalahan- kesalahan Pak Harto dan Orde Baru. 2. Media massa, baik di dalam dan luar negeri menyajikan berita-berita mengenai jumlah kekayaan Pak Harto dan keluarganya yang luar biasa. Tuduhan yang ditujukan kepada Pak Harto, terutama tentang korupsi dan kekayaannya tidak valid, angka yang muncul dari berbagai media massa mulai tahun 1998 terutama media massa luar negeri sampai sekarang berbeda-beda, tidak valid, baik angka maupun sumbernya, dan belum bisa dibuktikan kebenarannya. 3. Opini publik yang meluas akibat pemberitaan menyebabkan timbulnya tekanan publik. Pada era Presiden BJ Habibie lahir pasal 4 Tap MPR no XI/MPR/ 1998 tentang upaya pemberantasan KKN atas mantan pejabat negara, termasuk juga Pak Harto dan Inpres No 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Pak Harto. 4. Tuduhan Pak Harto memiliki kekayaan di luar negeri, Austria dan Swiss, tidak terbukti. Begitu juga dengan tuduhan rumah kediaman Pak Harto dan keluarganya memiliki bunker bawah tanah, juga tidak pernah terbukti. Tuduhan korupsi kemudian beralih ke 7 yayasan yang dipimpin Pak Harto, yang jelas memang bukan milik pribadi Pak Harto. Yayasan-yayaan tersebut bisa diaudit dan tak satu pun pihak melihat apa dan bagaimana kegiatan yayasan-yayasan itu, dan apa-apa saja yang telah dihasilkannya. 5. Karena tuduhan korupsi, Pak Harto dijadikan tersangka dan dikenakan tahanan kota, tahanan rumah, masuk daftar cekal dan dilarang keluar negeri. Pak Harto juga dijadikan terdakwa. 6. Karena tidak bisa diperiksa pengadilan akibat kondisi kesehatan yang buruk, dikeluarkan SP3 (Surat Pemerintah Penghentian Penyidikan) terhadap Pak Harto, tapi kasusnya dibuka kembali pada era Presiden Gus Dur. Lalu, kembali dikeluarkan SKP3 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) pada era Presiden SBY dan kasusnya diendapkan. Namun, masih ada upaya memeriksa kembali Pak Harto dalam bentuk perdata. Catatan Kaki 1. Abdul Gafur, "Hari hari Terakhir Seorang Presiden," hal 153 s.d 162, Jakarta 1998 2. Suara Pembaruan 3 Juni 1998 3. Harian Merdeka 5 Juni 1998 4. Ummat, No.47 Thn III, 15 Juni 1998, hal.18
5. Malam resepsi HUT Golkar ke 33, 20 Oktober 1997, Pak Harto tidak serta merta menerima pencalonannya kembali oleh Golkar sebagai Presiden periode 1998-2003 6. Suara Pembaruan, 1 Juni 1998 7. Kompas, 21 September 1998 8. Penuturan H. Probosutedjo, Mei 2007 9. Kompas 2 Juni 1998 10. Pidato Pak Harto pada Sidang Istimewa MRPS, 7 Maret 1967 11."Sebagai bagian dari kehebasan pers, kebijakan Presiden BJ Habibie, hampir semua penerbitan utamanya penerbitan baru dengan berita politik menyajikan hujatan, dan tuduhan atas kekayaan Pak Harto 12 Majalah DR (Detekrif Romantika) edisi Mei-Juni 1998, Majalah Forum Keadian, Majalah Gatra, Kompas, Media Indonesia, Merdeka, Panji Masyarakat, Prospek, Republika, Majalah Sinar, Majalah Ummat, Majalah Warta Ekonomi, dan lainnya yang terbir bulan Juni-Juli 1998 hampir semua menyajikan berita mengenai kekayaan Pak Harto" 13. Lihat buku Rezim Soeharto, Menumpuk Harta Menuai Bencana, Pustaka Grafisi, Juli 1998 14 Tanggal 8 Juni 1998, Kejagung membuka Kotak Pos 777 " 15. Pak Harto menjelaskan prihal kekayaannya di TPI, 6 September 1998 16. Kompas, 19 Januari 2000 17. Lihat Majalah Forbes edisi September 2006 yang mencantumkan 40 daftar orang terkaya di Indonesia 18. Lihat buku Rezim Suharto, Menumpuk Harra, Menuai Bencana, Pusraka Grafiksi, Juli 1998 19. Majalah Forum Keadilan no 3, 23 Agusrus 2000 hal 66 20. Media Indonesia, 28 Jui 2000 21, Dari wawancara majalah Tokoh Indonesia,1999 22. Harian Rakyat Merdeka, Rabu 21 Mart 2007 23, Pikiran Rakyat ,15 Mei 2006 24. Kompas, 25 Mei 2007 25. Menurut penuturan keluarga dekat Pak Harto kepada penulis mengenai sikap Pak Harto 26. Media Indonesia, 30 Maret 1999 27. Ismail Saleh, Harian Republika 2 Juni 2000 28. Presiden Soeharto dalam sidang terakhir Kabinet Pembangunan III,18 Pebruari 1983 29. Kompas, 21 Mei 2006 30 Suara Karya, 2 Juni 2006