Terbit Sejak 1993
Pembaca Media Pustakawan yang berbahagia, hasil kajian yang kami tampilkan pada edisi kali ini adalah pemanfaatan e-resources di perpustakaan. Seiring berkembangnya perpustakaan digital dan hibrid di Indonesia, e-resources adalah materi utama yang dilayankan. Dengan e-resources, perpustakaan tidak akan ditinggalkan oleh pemustakanya. Google sebagai kompetitor utama perpustakaan selalu menjadi rujukan bagi pengunjungnya, begitu pun seharusnya perpustakaan menjadi rujukan bagi pemustaka. Perpustakaan harus mampu berinovasi dan berkreasi menyediakan dan melayankan koleksi sedekat dan semudah mungkin bagi
06
pemustaka, salah satunya adalah e-resources. Dengan e-resources yang dimiliki perpustakaan, hal tersebut tentu bukan hal yang mustahil. Perpustakaan akan selalu dicintai dan diminati oleh pemustaka perpustakaan. Pada edisi kali ini terdapat 5 artikel yang kami pilih. Artikel pertama tentang DDC merupakan tulisan Ibu Wartini Santoso (Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI) dan Tim Kajian Bidang Pengolahan Bahan Pustaka dengan judul tulisan Pola Pembentukan Notasi Etnis, Ras dan Kebangsaan Indonesia: Suatu kajian dalam rangka perluasan notasinya dalam DDC. Tulisan kedua tentang Hakekat Keberadaan Perpustakaan
24
Meningkatkan Budaya Akademik Melalui Pemanfaatan E-Resources. Oleh: Endang Fatmawati (Pustakawan Madya di UNDIP yang ditugaskan sebagai Kepala Perpustakaan FEB UNDIP & Dosen LB Jurusan Ilmu Perpustakaan-FIB UNDIP)
Hakekat Keberadaan Perpustakaan dan Pustakawan dalam Masyarakat Serta Apresiasi Terhadapnya: Kenyataan masa lalu dan harapan masa depan. Oleh: A.C. Sungkana Hadi
32
Penelusuran Informasi Dokumen Paten Secara Online melalui Sumber Informasi Global. Oleh: Tupan
(Pustakawan Utama di UNCEN)
47
Pola Pembentukan Notasi Etnis, Ras dan Kebangsaan Indonesia: Suatu kajian dalam rangka perluasan notasinya dalam DDC. Oleh: Wartini dan Tim Kajian Bidang Pengolahan Bahan Pustaka (Pustakawan Utama di Perpustakaan Nasional)
14
dalam Masyarakat serta Apresiasi terhadapnya: Kenyataan masa lalu dan harapan masa depan. Artikel ini ditulis oleh AC Sungkana Hadi, seorang Pustakawan Utama di Universitas Cendrawasih. Selanjutnya artikel berjudul Meningkatkan Budaya Akademik melalui Pemanfaatan e-Resources yang ditulis oleh Endang Fatmawati (Kepala Perpustakaan FEB UNDIP) . Artikel keempat berjudul Penelusuran Informasi Dokumen Paten secara Online melalui Sumber Informasi Global, ditulis oleh Tupan (Pustakawan Madya PDII LIPI). Terakhir artikel berjudul Pelajaran dari Starbucks untuk Perpustakaan, ditulis oleh Lis Setyowati (Pustakawan Pertama UNDIP). Selamat membaca!
(Pustakawan Madya di PDII-LIPI)
Pelajaran dari Starbucks untuk Perpustakaan. Oleh: Lis Setyowati (Pustakawan Pertama di UNDIP)
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Opong Sumiati, Penyunting Opong Sumiati, Lily Suarni, Catur Wijiadi, Harjo, Novi Herawati, Sadarta, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Akhmad Priangga, Desain Grafis Rudianto, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Tlp.(021) 3812136,3448813,375718, Ext. 218,220 Fax. : 345611, Email :
[email protected],
[email protected], ISSN : 1412-8519 Cover Depan: Kegiatan Layanan E-Catalog di Perpustakaan Nasional RI
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
3
editorial KOMPETENSI PUSTAKAWAN
PENGELOLA SUMBER ELEKTRONIK
T
idak dapat dipungkiri, bahwa perpustakaan berkembang seiring dengan perkembangan budaya masyarakat sekitarnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pada dua dekade terakhir ini sungguh luar biasa. Hal ini telah mendorong terciptanya beragam format media informasi, sebagai pembentuk berbagai pengetahuan baru, yang merupakan hasil karya intelektual individu maupun kelompok masyarakat tertentu. Keadaan ini, mau tak mau menjadikan perpustakaan dewasa ini tidak hanya wajib mengembangkan, mengolah, menyimpan dan mendayagunakan koleksi bahan perpustakaan tercetak atau klasikal saja, akan tetapi juga bahan perpustakaan digital atau elektronik. Jenis koleksi perpustakaan tersebut, saat ini dikenal dengan sebutan “sumber elektronik (e-resources)”. Berdasarkan pedoman pengembangan koleksi e-resources dari IFLA, yang termasuk sumber elektronik di antaranya: Jurnal elektronik (e-journals); buku elektronik (e-books); berbagai pangkalan data, yang meliputi: pangkalan data naskah lengkap (full-text), pangkalan data indeks dan abstraks (indexing and abstracting), pangkalan data bahan pustaka rujukan (reference) seperti: bibliografi, kamus, direktori dan ensiklopedia, serta pangkalan data numerik dan statistik (numeric and statistical); juga gambar elektronik (e-images); serta sumber elektronik berupa audio/visual.
melengkapi koleksi perpustakaannya dengan berbagai sumber elektronik, baik dengan melalui pembelian sumber elektronik yang sudah jadi atau dilahirkan dalam bentuk digital (born-digital) maupun dengan melakukan digitalisasi koleksi klasikal yang sudah dimiliki sebelumnya. Sehingga perpustakaan yang memiliki koleksi dalam format media campuran terabut disebut perpustakaan hibrid (hybrid), yaitu perpustakaan yang masih tetap mengembangkan koleksi klasik sambil mengoleksi dan mendayagunakan bahan perpustakaan digital atau elektronik. Langkah ini merupakan tahapan yang dapat dilakukan oleh suatu perpustakaan untuk berkembang menuju bentuk perpustakaan digital total (Full digital library). Kemunculan berbagai koleksi sumber elektronik tersebut di perpustakaan, telah memperluas atau mendorong meningkatnya diversifikasi jasa perpustakaan yang ditawarkan. Sehingga, tidak hanya sebatas penyediaan jasa yang dilakukan secara tatap muka atau kontak langsung secara fisik semata, akan tetapi perpustakaan saat ini harus pula menyediakan kemudahan akses koleksinya yang dapat menjangkau para pemustakanya yang tersebar di berbagai tempat. Mereka dapat dilayani, tanpa harus mengunjungi perpustakaan pada jam tertentu.
Itulah ragam e-resources yang saat ini mengisi berbagai perpustakaan. Namun, dengan mudah kita dapat membedakan koleksi tersebut dengan koleksi klasikal lainnya, yaitu bahwa dalam pengelolaan dan pendayagunaannya memerlukan akses komputer. Tidak hanya dapat dilakukan melalui personal computer (PC) dan semacam main frame saja, akan tetapi saat ini, bahkan yang lebih memasyarakat (familiar) adalah melalui alat yang mudah dibawa (mobile tools) seperti perangkat telepon seluler (smart phone) dan tablet. Sehingga, pemustaka dari mana dan kapan pun dapat mengakses melalui jaringan internet atau mengakses langsung di perpustakaan (locally).
Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan yang baik bagi pustakawan. Pada perpustakan digital koleksi multimedia dan intelegensi artifisial sangat memainkan peranan penting, maka sifat multimedia inilah yang mensyaratkan pustakawan digital untuk memiliki kompetensi bagaimana mengembangkan, mengelola, menyimpan dan mendayagunakan sumber elektronik tersebut secara efektif dan efisien. Dengan demikian, masuknya koleksi sumber elektronik ke perpustakaan ini telah menciptakan suatu peranan, jabatan atau sepesialis baru di kalangan pustakawan. yaitu sebagai seorang “pustakawan digital (librarian digital) yang bertugas mengelola sumber elektronik”.
Di Indonesia, sesuai dengan tuntutan era saat ini perpustakaan apapun jenisnya, cenderung selain mengembangkan koleksi klasikal juga terus berusaha
Terkait dengan hal tersebut, V. Screenivasuhulu, dalam The Role of A Digital Librarian in the management of digital information systems (DIS) (www.emerald-library.com) merinci
4
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
secara gamlang tentang peranan perpustakaan digital terutama dalam mengelola sistem informasi digital (Digital information system). Menurutnya, pustakawan dengan posisi jabatan tersebut perlu memenuhi kompetensi penting, yang meliputi: pengetahuan (knowledge), tahu terkait dengan pertanyaan bagaimana (know-how), keterampilan (skills) dan sikap (attitudes) untuk menciptakan, menyimpan, menganalisis, mengorganisasikan, termasuk terkait dengan akses untuk temu kembali dan menyebarkan berbagai informasi dari sumber digital di perpustakaan. Selain itu, pengetahuan akan internet, situs web, multimedia, sistem informasi digital, termasuk jaringan kerjasama internal maupun eksternal lembaga perpustakaan merupakan wilayah domain pustakawan digital yang harus terus terkini.
Ia berusaha mewujudkan tujuan akhir dari suatu layanan perpustakaan digital, yakni untuk memfasilitasi akses informasi yang mudah (user friendly) guna memfasilitasi pemustaka dalam rangka memenuhi informasi yang dibutuhkannya tepat pada waktunya (just-in-time). Dengan demikian, dalam pendayagunaan sumber elektronik, memungkinkan pengelolaan katalog klasikal tidak sesuai lagi, saat ini diperlukan manajemen berbasis elektronik dan internet agar metadata yang dibuat dapat membantu pemustaka dalam proses temu kembali informasi. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa pengetahuan dasar mengkatalog dan klasifikasi tetap menjadi pondasi dalam membuat metadata yang tepat. Untuk itu, pada edisi kali ini artikel dari Tim Kajian Bidang Pengolahan Bahan PerpustakaanPerpusnas RI dan Endang Fatmawati wajib dibaca oleh para pustakawan perpustakaan digital.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
5
Oleh: Wartini1, Sri Mulyani2, Lanna Pasaribu3, Suwardi4, Suwarsih5 Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Pola Pembentukan Notasi Etnis, Ras dan Kebangsaan Indonesia (Suatu kajian dalam rangka perluasan notasinya dalam DDC) Abstrak Pada umumnya, perpustakaan di Indonesia, termasuk Perpustakaan Nasional RI merasa tidak cukup dengan notasi etnis yang terdaftar dalam Tabel 5 DDC23 ketika melakukan klasifikasi bahan perpustakaan tentang etnis Indonesia. Mengingat pesatnya peningkatan sosial budaya dan peradaban setiap etnis yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara dan seiring dengan kemajuan IPTEK saat ini, maka perlu adanya usaha untuk memperluas notasi etnis Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran kondisi riil etnis Indonesia sebagai ancangan pengembangannya, dirasa perlu adanya suatu kajian tentang etnis Indonesia dikaitkan dengan notasi klasifikasi dalam DDC23 untuk pengembangannya. Dari kajian yang telah dilakukan memberikan gambaran bahwa ada 50 kelompok besar etnis Indonesia asli yang diperoleh dari penggabungan informasi kelompok etnis DDC23, hasil survei BPS dan penutur bahasa yang terdaftar dalam Daftar Kode Bahasa Daerah Indonesia. Dari 50 kelompok tersebut 17 kelompok yang terdaftar dalam Tabel 5 DDC23. Selanjutnya 33 kelompok yang lain diusulkan perluasannya dengan tetap mengacu pada DDC23, perluasan berdasarkan daerah domisili sesuai urutan dalam DDC, berdasarkan pada penutur bahasa daerah tertentu. Dalam kajian ini juga merumuskan pembentukan notasi etnis dengan 3 rumusan, yaitu: 1) Tambahkan angka dasar dari bagan DDC, notasi 1-9 dari Tabel 5; 2)Tambahkan pada angka dasar bagan DDC, notasi 089 dari Tabel 1 kemudian tambahkan notasi 1-9 dari Tabel 5; dan 3) Tambahkan pada angka dasar 305.8 notasi 1-9 dari Tabel 5. Kata kunci: klasifikasi, notasi etnis, DDC
(Pustakawan Utama pada Perpustakaan Nasional RI) (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI) 3 (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI) 4 (Pustakawan Muda pada Perpustakaan Nasional RI) 5 (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI) 1 2
6
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Latar Belakang Tiga konsep permasalahan dalam judul kajian, yaitu kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia, perluasan notasi klasifikasi dalam Tabel 5 DDC23, klasifikasi bahan perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI, terkait dengan tugas dan fungsinya. Perpustakaan merupakan lembaga yang tumbuh dan berkembang melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu mengumpulkan, menyimpan dan menyebarluaskan informasi berbasis literatur sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat yang dilayani, termasuk di dalamnya kearifan lokal dan etnis sebagai pelakunya. Layanan jasa informasi berbasis literatur dalam suatu perpustakaan dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan, kepuasan pemustakanya, apabila didukung oleh sarana temu kembali koleksi yang memadai, baik yang tersedia secara terpasang Online Public Access Catalog (OPAC), jajaran kartu katalog maupun katalog buku. Sarana temu kembali dapat dikatakan berfungsi baik apabila deskripsi bibliografis yang terdiri dari uraian katalog deskriptif dan subyek dapat membantu pemustaka secara tepat, cepat dan akurat menemukan kembali koleksi perpustakaan yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan informasinya. Deskripsi subjek katalog dapat berupa kode angka disebut nomor klas dan yang verbal berupa tajuk subyek. Kenyataan di lapangan, Perpustakaan Nasional RI memberikan notasi klas koleksi tentang etnis Indonesia masih dalam kelompok kebangsaan dan tidak konsisten. Hal ini dapat ditemukan melalui penelusuran OPAC bahwa orang Minahasa, orang Luangan, orang Bugis masih dalam klas yang sama, yaitu pada kelompok kebangsaan Indonesia 305.899 22. Nomor klasifikasi ini diambil dari 303.9 (bagan klasifikasi DDC23 dan -9922 dari Tabel 5 Kelompok Etnis dan Kebangsaan. Sementara notasi 305.800 959 812 14 bukan hanya orang Nias tetapi etnis yang ada di Nias, berasal dari notasi 305.8 (bagan DDC23) ditambah dengan 959 812 14 notasi perluasan wilayah (pedoman perluasan yang disesuaikan oleh Perpustakaan Nasional RI). Fokus Kajian Dapat dirinci menjadi dua fokus kajian, yaitu: 1) Pola pembentukan notasi klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia dalam DDC23; dan 2) Perluasan notasi klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan (Tabel 5) Indonesia.
Rumusan Masalah Bertolak dari fokus kajian tersebut di atas, maka rumusan masalah kajian ini adalah: 1) Bagaimana pola pembentukan notasi klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia dalam DDC23; 2)Apakah notasi klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan dalam DDC23 sudah memenuhi kebutuhan untuk memberikan notasi klasifikasi seluruh kelompok etnis Indonesia yang jumlahnya ribuan tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Tujuan Kajian Kajian ini dapat disebutkan ada 3 tujuan kajian, yaitu: 1. Memahami dan mendeskripsikan pola klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia dalam DDC23 (Tabel5) 2. Membandingkan pengelompokan etnis dan kebangsaan (Tabel 5 DDC2), tabel bahasa (Tabel 6 DDC23) dan kajian sebelumnya 3. Membentuk pola perluasan notasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonnesia berdasarkan Tabel 5 DDC23. Manfaat Kajian Hasil kajian ini diharapkan dapat : 1. Digunakan sebagai tolok ukur evaluasi penentuan notasi etnis Indonesia di Perpustakaan Nasional RI. 2. Digunakan untuk dasar penyusunan pedoman perluasan notasi etnis Indonesia. 3. Memperluas studi ilmu perpustakaan tentang klasifikasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia. 4. Digunakan sebagai dasar pengusulan perluasan notasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia ke OCLC. Metode dan Alasan Penggunaannya Kajian ini menerapkan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena kajian dilakukan dengan pengamatan dokumen untuk membangun pernyataan pengetahuan tentang kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia bertujuan memahami pola pembentukan notasi klasifikasi kelompok etnik dan kebangsaan dalam DDC23, klasifikasi bahasa, kajian terdahulu, kode penutur bahasa yang digunakan dalam pedoman Indomarc, dan koleksi bahan perpustakaan Perpustakaan Nasional RI. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kajian dilakukan dengan studi literatur, untuk mendapatkan gambaran teori yang terkait, studi dokumen dengan mengamati Tabel 5 (T.5) dan Tabel 6 (T.6) DDC23, kajian tentang kelompok etnis sebelumnya, kode bahasa yang digunakan dalam format Indomarc, klasifikasi koleksi Perpustakaan Nasional RI.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
7
Teknik Analisis Data Hasil pengumpulan data dianalisis dengan cara, mengatur, mengurutkan, tabulasi dan mengelompokkan etnis yang sesuai berdasarkan penutur bahasa dan daerahnya. Analisa data dikelompokkan ke dalam 5 permasalahan, yaitu: 1) Kedudukan notasi etnis dalam DDC, 2) Penerapan notasi etnis dalam klasifikasi bahan perpustakaan, 3) Kelompok etnis dan kebangsaan Indonnesia berdasar DDC, survey BPS, Indomarc, 4) Alternatif strategi aplikasi notasi etnis dalam DDC, dan 5) Rekomendasi pembentukan perluasan notasi etnis Indonesia. 1. Kedudukan Notasi dalam DDC Notasi kelompok etnis dan kebangsaan terdapat dalam bagan (schedule) di bawah notasi 305.8. Judul T.5 mengalami perubahan, pada edisi 20-21 berjudul Racial, ethnic and national groups dan dalam T.5 edisi 20 notasi –992 2 berjudul Bangsa Indonesia. Notasi -992 2 T.5 edisi 21 dan 22 berjudul People Who Speak, Or Whose Ancestor Spok. Selanjutnya notasi –992 2 T.5 DDC 23 diperluas menjadi 4 kelompok besar yaitu Sumatra, Jawa dan Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Sedangkan Maluku dan Nusa Tenggara belum mendapatkan notasi, dan untuk etnik Papua di bawah notasi –995. Notasi kelompok etnik dan kebangsaan untuk Indonesia dalam T.5 dirasakan terlalu sempit, sangat kurang bila dikaitkan dengan jumlah etnis yang berhasil diidentifikasi oleh BPS sebanyak 1.340 etnis dikelompokkan menjadi 31 kelompok etnik, maupun yang terdaftar dalam daftar kode bahasa daerah Indonesia untuk Indomarc. 2. Penerapan Notasi Etnik dalam Klasifikasi. Penerapan notasi kelompok etnis dan kebangsaan dalam DDC23 seperti halnya dengan penerapan notasi bidang lain, selalu mengikuti instruksi umum dan instruksi khusus yang ada dalam DDC, dalam bagan maupun dalam Tabel (notasi tambahannya), di antaranya adalah: a. Ditambahkan langsung pada notasi utama dari bagan DDC, contoh: pada notasi 305.8 terdapat instruksi di bawah 305.81 – 305.89 khusus untuk kelompok etnis di luar keturunan Eropa. b. Mengikuti instruksi yang ada di bawah notasi –174 dari T.2, contoh: c. Menambahkan notasi 089 dari T.1, contoh: d. Pilih kebangsaan asli / keturunan, diikuti notasi 1-9 dari T.2 bila harus memilih lebih dari satu konsep dalam satu judul buku. e. Untuk menghindarkan notasi yang panjang, dapat:
8
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
• Mengganti notasi tertentu dengan kode huruf • Menggunakan notasi untuk Amerika dan menggantikannya dengan notasi etnik berbahasa Inggris 3. Kelompok Etnik dan Kebangsaan Indonesia Untuk mengetahui data etnik Indonesia, dalam kajian ini ada 3 sumber utama yang diamati, yaitu : a. DDC23 karena telah diakui oleh dunia terkait dengan masalah klasifikasi etnik dan kebangsaan dalam pengolahan bahan perpustakaan, b. Hasil kajian Badan Pusat Statistik, merupakan sumber yang resmi dihasilkan oleh Badan yang memiliki tugas dan fungsi dengan masalah data etnik Indonesia, c. Kode bahasa daerah di Indonesia dalam Indomarc, merupakan implementasi dari keterangan dalam T.5 DDC23 untuk kelompok etnik dan kebangsaan Indonesia “people who speak “ dapat diasumsikan bahwa notasi etnik adalah juga notasi penutur bahasa tertentu, sehingga notasi etnik adalah juga notasi bahasa. Tabel 1. Klasifikasi bahasa daerah dan kelompok etnis di Indonesia.
No
Bahasa daerah
No. klas
Kel. etnis dan kebangsaan
No. klas
1
Indonesia
-992 21
Kel. kebangsaan Indonesia
-992 2
2
Jawa
-992 22
Jawa
-992 22
3
Jawa dan Bali
-992 23
Jawa dan Bali -992 23
4
Sunda
-992 232
Sunda
-992 232
5
Madura
-992 234
Madura
-992 234
6
Bali
-992 238
Bali
-992 238
7
Sumatra
-992 24
Sumatra
-992 24
8
Aceh
-992 242
Aceh
-992 242
9
Minangkabau -992 244
Minangkabau -992 244
10
Batak
-992 246
Batak
11
Batak Toba
-992 246 2 Batak Toba
-992 246 2
12
Batak Dairi
-992 246 6 Batak Dairi
-992 246 6
13
Lampung
-992 248
-992 248
14
Kalimantan, Sarawak, -992 25 Sabah, Brunei
Kalimantan, Sarawak, -992 25 Sabah, Brunei
15
Banjar
-992 256
Banjar
-992 256
16
Sulawesi
-992 26
Sulawesi
-992 26
17
Bugis
-992 262
Bugis
-992 262
18
Makasar
-992 264
Makasar
-992 264
Lampung
-992 246
Dari tabel 1 tampak bahwa notasi klasifikasi untuk bahasa daerah Indonesia (T.6) adalah sama dengan notasi klasifikasi kelompok etnik dan kebangsaan Indonesia (T.5). Ini membuktikan bahwa notasi kelompok etnik dan kebangsaan dikaitkan dengan kelompok bahasa. Selanjutnya dalam suvei tahun 2010, BPS berhasil mengidentifikasi etnik di Indonesia sebanyak 1.340 suku bangsa (etnik) di Indonesia dan mengelompokkannya menjadi 31 kelompok termasuk etnik Cina dan Asing lainnya, seperti yang terdaftar dalam tabel 2 ini. Tabel 2. Kelompok etnis di Indonesia NO.
NAMA ETNIS
NO.
NAMA ETNIS
digunakan dalam kodifikasi ruas bahasa dalam format Indomarc yang telah digunakan sejak terbit tahun 1991. Tabel 3. Hasil pengamatan dan anlisa kode kelompok bahasa NO.
BAHASA
KODE NO.
BAHASA
KODE
1
Aceh
ace
19
Timor
tim
2
Batak
bat
20
Nus.Teng & Timor lainnya
ntl
3
Gayo
gay
21
Sumba Timur semua
sbt
4
Minangkabau
min
22
Banjar
bnj
5
Lampung
lmp
23
Ngaju
nga
6
Sumatra lainnya
sul
24
Kalimantan lainnya
1
Aceh (asal)
16
Bali
2
Melayu
17
Sasak
3
Batak
18
Nusa Tenggara Barat lainnya
7
Betawi
bet
25
Bugis
bug
8
Sunda
sun
26
Makasar
mak
kll
4
Nias
19
Nusa Tenggara Timur (asal).
9
Jawa
jav
27
Melayu Menado
mem
5
Minangkabau
20
Banjar
10
28
21
Dayak
Sulawesi Utara semua
swu
Jambi (asal)
Jawa Kuno= Kawi
kaw
6 7
Sumatra Selatan (asal)
22
Kalimantan lainnya
11
Madura
mad
29
swt
8
Lampung (asal)
23
Bugis
Sulawesi Tengh Selatan
9
Sumatra lainnya
24
Minahasa
12
Bali
ban
30
Toraja
tor
10
Banten (asal)
25
Gorontalo
13
Bali lainnya
bll
31
mea
11
Betawi
26
Makasar
Melayu Ambon
12
Sunda
27
Sulawesi lainnya
14
Sasak
sas
32
mlk
13
Cirebon
28
Maluku (asal)
Maluku semuanya
14
Jawa
29
Papua (asal)
15
Bima
bim
33
Papua Australia
paa
15
Madura
30
Cina
16
Manggarai
mng
34
Asing
Irian Jaya semua
ija
31
17
Rote
rot
18
Sika
sik
Dari tabel 2 tampak bahwa untuk mengelompokkan etnik yang tidak dapat masuk ke dalam kelompok tertentu digunakan kata asal (sebelum) dan lainnya (sesudah) nama daerah atau wilayah di mana mereka berdomisili. Sementara Indomarc mengelompokkan bahasa daerah di Indonesia menjadi 34 kode termasuk bahasa Jawa Kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam bahasa pergaulan masyarakatnya. Bahasa daerah yang tidak memenuhi persyaratan untuk dibuatkan satu kode kelompok bahasa daerah tertentu dimasukkan ke dalam kelompok besar dengan tambahan istilah semuanya atau lainnya di belakang nama daerah atau wilayah di mana etniketnik itu merdomisili. Tabel 3 berikut merupakan hasil pengamatan dan analisa kode kelompok bahasa yang
Dari analisa kode bahasa daerah di Indonesia diperoleh 33 kode kelompok bahasa daerah di Indonesia karena dari 34 kelompok bahasa daerah ada satu kelompok bahasa yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan seharihari karena telah terbentuk bahasa bentuk barunya yaitu bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang merupakan bahasa nenek moyang orang Jawa. Langkah selanjutnya dilakukan penjajaran ketiga sumber tersebut untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang data etnik Indonesia. Sebagai hasil penjajaran dan penggabungan ketiga sumber tersebut diperoleh data etnik Indonesia yang terlihat dalam tabel 4 berikut :
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
9
Tabel 4. Hasil penjajaran dan penggabungan ETNIS dlm BPS
ETNIS INDOMARC
ETNIS KUMULASI
34
1
Betawi
Betawi
Betawi
2
Banten (asal)
36
NO
3
ETNIS dlm DDC
Sunda
4
Sunda
Banten (asal) Sunda
Cirebon
5
Jawa
6
Jawa dan Bali
Jawa
Sunda Cirebon
Jawa
Jawa Jawa Bali
7
Madura
Madura
Madura
Madura
8
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali lainnya
Bali lainnya
9 10
Sasak
Sasak
11
Sasak
Bima
Bima
12
Manggarai
Manggarai
13
Rote
Rote
14
Nusa Teng. Bart lain
Nus.Teng. Brt lainnya
15
Sika
Sika
16
Timor
Timor
Nusa Teng. Tim lain
Nus.Teng. Tim lainnya
Sumba Timur semua
Sumba Timur semua
17
Nusa Teng,Tim asal
18
19
Sumatra
20
Aceh
Aceh
22
Banjar
35
37
Banjar
Banjar
Ngaju
Ngaju
Kalimanta lainnya
Kalimantan lainnya
Kalimantan lainnya
Sulawesi
Sulawesi
Sulawesi
38
Bugis
Bugis
Bugis
Bugis
39
Makasar
Makasar
Makasar
Makasar
40
Minahasa
41
Gorontalo
42
Minahasa Gorontalo Melayu Menado
43
Sulawesi lainnya
Melayu Menado Sulawesi lainnya
44
Sulawesi Utr semua
Sulawesi Utr semua
45
Sulawesi Teng.Selatn
Sulawesi Teng. Sltn
46
Toraja
Toraja
47
Melayu Ambon
Melayu Ambon
Maluku semua
Maluku
48
Maluku (asal)
49
Papua (asal) Papua Australia
50
Irian Jaya semua
Papua Irian Jaya semua
51
Malayo Polynesia, Nusa Tenggara
Malayo Polynesia, Nusa Tenggara Papua
Sumatra
21
Banjar
Aceh
Aceh
Gayo
Gayo
52
Papua Malay etc.
Minang kabau
Minang kabau
Minang kabau
Minang kabau
53
23
Batak
Batak
Batak
Batak
54
Cina
Cina
24
Batak Toba
Batak Toba
55
Asing lainnya
Asing lainnya
25
Bata Dairi (Pakpak)
Batak Dairi (Pakpak)
26
Melayu
Melayu
27
Nias
Nias
28
Jambi (asal)
Jambi (asal)
29
Sumatra Sel. (asal)
Sumatra Selt (asal)
30
Lampung
31 32
33
10
Lampung
Lampung
Lampung
Sumatra lainnya
Sumatra lainnya
Sumatra lainnya
Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei
Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei Dayak
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Dayak
Malay etc.
Dari penjajaran dan penggabungan data ketiga sumber utama diperoleh hasil 55 kelompok etnik, 5 etnik di antaranya tidak dapat dimasukkan karena tidak termasuk dalam kriteria etnik Indonesia, yaitu: a) Malayo Polynesia, Nusa Tenggara sudah termasuk dalam kelompok sebelumnya, b) Papua sudah tercatat sebelumnya dalam Papua (Australia dan asal), c) Malay, Cina dan Asing lainnya bukan etnis asli Indonesia. 4. Alternatif Strategi Aplikasi Notasi Etnik dalam DDC Untuk mendapatkan notasi klas ke-50 suku bangsa (etnik) dijajarkan dengan notasi klas DDC23, disesuaikan dengan letak geografisnya akan mendapatkan notasi sebagai terdaftar dalam tabel
berikut. Di sini tampak ada banyak kelompok etnis yang belum mendapatkan notasi. Dari 50 etnis baaru 17 yang bernomor kelas berasal dari Kelompok etnis dan kebangsaan dalam T.5 DDC23 Selanjutnya dicoba untuk mengisi notasi kelompok etnis yang belum bernomor klas, dengan memperhatikan beberapa ketentuan, yaitu: a. Sebagai dasar penentuan notasi tetap mengacu pada T.5 DDC23 b. Menggunakan nomor yang belum terpakai oleh etnis lain c. Menurut letak geografis penutur bahasanya atau yang berdekatan d. Memberikan nomor turunannya bila ada yang menjadi satu kelompok e. Tidak termasuk etnis turunan asing f. Etnis Papua digunakan asal Papua dengan asumsi orang Papua yang ada di mana saja. g. Tetap mengikuti instruksi yang ada dalam DDC, baik instruksi /notasi umum maupun khususnya. h. Etnis keturunan asing tidak termasuk dalam kelompok etnis Indonesia. Berikut tabel 5 penggabungan kelompok etnis dan kebangsaan hasil identifikasi dan pengisian nomor klas yang belum terisi, berupa perluasan dari DDC23 T.5 : Tabel 5. Penggabungan kelompok etnis dan kebangsaan hasil identifikasi KEL.ETNIS DAN KEBANGSAAN
No.
DDC 23
PERLUASAN
17
Nusa Tenggara Timur lainnya
-992 239 5
18
Sika
-992 239 7
19
Timor
-992 239 8
20
Sumba Timur semua
-992 239 9
21
Sumatra
-992 24
22
Melayu
23
Aceh
24
Gayo dan Nias
25
Minangkabau
26
Jambi (asal)
27
Batak
-992 246
28
Batak Toba
-992 246 2
29
Batak Dairi (Pakpak)
-992 246 6
30
Sumatra Selatan (asal)
31
Lampung
32
Sumatra lainnya
33
Kalimantan, Sarawak, Sabah, Brunei
-992 25
34
Ngaju
-992 251
35
Dayak
-992 254
36
Banjar
-992 256
37
Kalimantan lainnya
38
Sulawesi
39
Melayu Menado
40
Bugis
41
Toraja
42
Makasar
-992 264
43
Sulawesi Utara semua
-992 265
44
Minahasa
-992 266
45
Sulawesi Tengah Selatan
-992 267
-992 241 -992 242
-992 243
-992 244
-992 245
-992 247 -992 248
-992 249
-992 259 -992 26
-992 261
-992 262
-992 263
1
Indonesia
-992 2
2
Jawa
-922 22
46
Gorontalo
-992 268
3
Jawa Bali
-992 23
47
Sulawesi lainnya
-992 269
4
Betawi
-992 231
48
Maluku dan Papua
-992 27
5
Sunda
49
Melayu Ambon
-992 272
6
Banten (asal)
-992 233
50
Papua, asal
-992 275
7
Madura
51
Irian Jaya semua
-992 277
8
Cirebon
-992 235
9
Bali lainnya
-992 237
10
Bali
11
Nusa Tenggara
-992 239
12
Sasak
-992 239 1
13
Bima
-992 239 2
14
Manggarai
-992 239 3
15
Rote
-992 239 4
16
Nusa Tenggara Barat lainnya
-992 239 3
-992 232 -992 234
-992 238
5. Rekomendasi Pembentukan Perluasan Notasi Etnis Indonesia Dari kegiataan pengisian nomor pada kelompok etnis yang belum bernomor kelas merupakan hasil perluasan berdasarkan kajian yang direkomendasikan untuk perluasan notasi kelompok etnik dan kebangsaan Indonesia sebagai solusi kurangnya notasi kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia T.5 DDC23 dalam pengolahan bahan perpustakaan.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
11
Nomor perluasan tersebut berjumlah 33 nomor klas atau nomor dari 51 kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia dikurangi dengan 18 nomor yang sudah ada dalam DDC23 T.5. Nomor tersebut tercatat dalam tabel 6 berikut : Tabel 6. Perluasan notasi kelompok etnik dan kebangsaan Indonesia. KELOMPOK ETNIS DAN KEBANGSAAN
No.
PERLUASAN
1
Betawi
-992 231
2
Banten (asal)
-992 233
3
Cirebon
-992 235
4
Bali (lainnya)
-992 237
5
Nusa Tenggara
6
Sasak
-992 239 1
7
Bima
-992 239 2
8
Manggarai
-992 239 3
9
Rote
-992 2394
10
Nusa Tenggara Barat (lainnya)
-992 239 3
11
Nusa Tenggara Timur (lainnya)
-992 239 5
12
Sika
-992 239 7
13
Timor
-992 239 8
14
Sumba Timur (semua)
-992 239 9
15
Melayu
-992 241
16
Gayo dan Nias
-992 243
17
Jambi (asal)
-992 245
18
Sumatra Selatan (asal)
-992 247
19
Sumatra (lainnya)
-992 249
20
Ngaju
-992 251
21
Dayak
-992 254
22
Kalimantan (lainnya)
-992 259
23
Melayu Menado
-992 261
24
Toraja
-992 263
25
Sulawesi Utara (semua)
-992 265
26
Minahasa
-992 266
27
Sulawesi Tengah Selatan
-992 267
28
Gorontalo
-992 268
29
Sulawesi (lainnya)
-992 269
30
Maluku dan Papua
-992 27
31
Melayu Ambon
-992 272
32
Papua (asal)
-992 275
33
Irian Jaya (semua)
-992 277
12
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
-992 239
Kesimpulan Dari kegiatan analisis data kajian ini diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu: a. DDC tidak banyak memberikan uraian tentang notasi etnis di dalam bagan klasifikasinya. Penjelasan notasi etnis diperoleh dalam notasi tambahan yang terdaftar dalam Tabel 5 dengan judul “Ethnic and National Groups” b. Pada DDC20 etnik Indonesia memperoleh notasi T-5 –992 2, di bawah judul Bangsa Indonesia (Indonesians). Pada DDC21 dan DDC22, notasi tidak mengalami perubahan tetapi tajuk mengalami sedikit perubahan, pada DDC21 T-5 –992 2 Peoples who speak, or whose ancestor spoke, Indonesian and Chamic language, termasuk di sini adalah orang Indonesia. Pada DDC23 perubahan terjadi pada T-5 yaitu untuk kelompok etnik Indonesia mendapatkan notasi —992 2 memuat 17 noasi yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok etnis yaitu Sumatra, Jawa dan Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. c. Pengolahan bahan perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI masih terbatas pada kelompok kebangsaan, belum sampai pada kelompok etnis dan ras. d. Pengelompokan etnis dapat dengan pendekatan penutur bahasa tertentu. e. Berdasarkan pendekatan penutur bahasa, hasil identifikasi literatur utama kajian ini, yaitu hasil survei BPS, Daftar kode Indomarc tentang bahasa daerah di Indonesia dan DDC23, dari 1.430 etnis hasil survey BPS dikelompokkan menjadi 50 kelompok etnis. Setiap kelompok etnis terdiri dari etnis-etnis yang berada di satu daerah atau berdekatan. f. Untuk menampung etnis-etnis yang tidak muncul dalam 50 daftar kelompok etnis dalam kajian ini, bila dikehendaki dapat diberikan notasi dengan menggunakan notasi kelompok etnis sedaerahnya atau yang berdekatan dengan menambahkan kode bahasa yang diambil dari daftar kode Indomarc untuk bahasa daerah di Indonesia. Hal ini dilakukan juga untuk menghindarkan notasi yang panjang. g. Pola pembentukan notasi etnis (T.5) adalah sebagai berikut: 1. Tambahkan pada angka dasar dari bagan DDC, notasi 1-9 dari T. 5
2. Tambahkan pada angka dasar bagan DDC, notasi 089 dari T.1 kemudian tambahkan notasi 1-9 dari T.5 3. Tambahkan pada angka dasar 305.8 notasi 1-9 dari T.5 Saran Untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam kajian ini, disarankan: a. Menggunakan notasi etnis yang direkomendasikan kajian ini untuk segera menyusun “Pedoman
Penentuan Notasi Kelompok Etnis dan Kebangsaan Indonesia” b. Perlu segera ada tindak lanjut untuk mengusulkan notasi yang direkomendasikan kajian ini ke OCLC agar semua kelompok etnis dan kebangsaan Indonesia dengan segala aspeknya dikenal dan diakui oleh dunia. c. Menyusun “Daftar Kode Kelompok Penutur Bahasa Daerah di Indonesia” sebagai pelengkap “Pedoman Penentuan Notasi Kelompok Etnis dan Kebangsaan Indonesia”.
daftarpustaka Abdul Halim Hanafi. 2011. Metode penelitian bahasa: untuk penelitian, tesis dan disertasi. Jakarta: Diadit Media. Dewey, Melvil 1851-1931.1989. Dewey Decimal classification and relative index. Ed. 20. New York: Forest Press. Dewey, Melvil 1851-1931, 1989. Dewey Decimal classification and relative index. Ed.21 / edited by Joan S. Mitchell [et.al] New York: Forest Press. Dewey, Melvil 1851-1931. 2003. Dewey Decimal classification and relative index. Ed.22 / edited by Joan S. Mitchell [et.al] New York: Forest Press.
Dewey, Melvil 1851-1931. 2011. Dewey Decimal classification and relative index. Ed.23. Divised by Melvil Dewey/ edited by Joan S. Mitchell. Dublin, Ohio: Online Computer Library Center.
Muhtar dan Erna Widod. 2000. Konstruksi ke arah penelitian deskriptif. Jogyakarta: Avyrouz.
Imama Gunawan. 2013. Metode penelitian kualitatif: teori & praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Suharyanto. 2012. DDC23: perubahan,perluasan dan penerapannya di Bidang Pengolahan Bahan Pustaka. Makalah pada Workshop Pedoman Pengembangan Koleksi dan Pengolahan Bahan Pustaka.
“Kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia: hasil sensus penduduk 2010”. Jakarta: Badan Pusat Statistik. http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/ kewarganegaraan%20penduduk%20 indonesia/index.html
Sugiyono. 2011. Metode penelitian kuantitatif kualitatif san R&D. Bandung: Alfabeta
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
13
Oleh: A.C. Sungkana Hadi E-mail :
[email protected]
MENYOAL HAKEKAT KEBERADAAN PERPUSTAKAAN DAN PUSTAKAWAN DALAM MASYARAKAT SERTA APRESIASI TERHADAPNYA Kenyataan Masa Lalu dan Harapan Masa Depan Abstrak Dalam kerangka dan perspektif keindonesiaan, keberadaan perpustakaan dalam masyarakat merupakan salah satu prasarana pendukung tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa yang cerdas hanya dapat diwujudkan apabila setiap warga negara senantiasa belajar sepanjang hayatnya sehingga berkembang suatu masyarakaat pembelajar (learning society), yang berdasar pada prinsip belajar seumur hidup (life long learning). Untuk melaksanakan prinsip tersebut diperlukan sarana pembelajaran yang senantiasa tersedia di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan oleh setiap warga negara dengan mudah kapan saja mereka membutuhkan. Sarana pembelajaran itu tiada lain adalah perpustakaan, terutama perpustakaan umum, yang menurut amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 harus dibangun dan dikembangkan bersama oleh Pemerintah dan masyarakat. Selain perpustakaan umum, banyak perpustakaan lain yang juga harus dibangun dan dikembangkan, termasuk perpustakaan sekolah dan perpustakaan perguruan tinggi serta perpustakaan khusus. Sementara itu, berbicara tentang pembangunan dan pengembangan perpustakaan berarti pula berbicara tentang penyediaan dan pengembangan pustakawan sebagai tenaga profesional pengelola perpustakaan, sekaligus tenaga profesional dalam pemasyarakatan dan pengembangan minat baca dan minat serta motivasi belajar sepanjang hayat. Berpangkal pada data statistik, dapat diketahui dan diperhitungkan secara garis besar kebutuhan tenaga pustakawan di seluruh Indonesia. Kebutuhan sebesar itu harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan formal bidang perpustakaan. Maka pengadaan dan pengembangan lembaga pendidikan formal bidang perpustakaan merupakan salah satu tantangan besar yang harus mendapat perhatian bersama dari Pemerintah dan masyarakat, disamping juga tantangan dalam pengembangan minat baca. Penerbitan Surat Penugasan kepada Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura untuk menyelenggarakan Program S-1 Ilmu Perpustakaan kiranya merupakan salah satu jawaban atas tantangan tersebut, khususnya untuk Pemerintah Daerah dan masyarakat di Papua. Kata kunci: Masyarakat pembelajar, pengembangan minat baca, pustakawan dan kepustakawanan, pendidikan perpustakaan.
1
(Dibawakan pada acara Pembukaan Perkuliahan Program Studi S-1 Ilmu Perpustakaan, Jurusan Ilmu Administrasi, FISIP UNCEN, Jayapura 18 Oktober 2013; materi bersumber dari Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI, Jakarta 2006.) 2 (Pustakawan Utama UNCEN; Anggota Tim Penyusun Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Perpustakaan Tahun 2006.)
14
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Latar Belakang Ketika refleksi singkat ini dibuat, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merdeka lebih dari 68 (enam puluh delapan) tahun, dan selama itu pula tujuan nasional Negara ini, khususnya tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, telah senantiasa diupayakan pencapaiannya secara maksimal dan optimal. Sistem pendidikan nasional sebagai sarana utama pencapaian tujuan nasional itu telah dibangun dan senantiasa dikembangkan, antara lain melalui pemberlakuan undang-undang yang mengaturnya, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Banyak program pendidikan baik formal maupun nonformal dikembangkan, antara lain dengan program wajib belajar 9 tahun yang dimaksudkan untuk mengarahkan semua anak Negeri ini untuk masuk ke pendidikan dasar dan menengah. Sebelumnya juga telah dilaksanakan program pemberantasan buta huruf/buta aksara, yang kemudian ditingkatkan menjadi program pemberantasan tiga pengetahuan dasar (bahasa, berhitung, dan pengetahuan umum) Program-program lain di atas pendidikan dasar dan menengah juga dikembangkan, antara lain berupa program afirmasi bagi calon mahasiswa asal Provinsi Papua dan Papua Barat untuk melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi di luar kedua Provinsi ini. Selain pendidikan formal, berbagai program pendidikan non-formal pun dikembangkan dengan maksud agar dapat mewadahi kegiatan belajar bagi mereka yang tidak tertampung dalam dan/atau tidak lagi sedang mengikuti program pendidikan formal. Filosofi yang mendasari pengembangan program pendidikan formal adalah perlunya ditumbuh-kembangkan budaya belajar sepanjang hayat (long life learning), agar warga masyarakat dapat senantiasa mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni/budaya (IPTEKSBUD). Dengan demikian kondisi kehidupan bangsa yang cerdas benar-benar dapat diwujudkan secara berkelanjutan. Persoalannya adalah perangkat atau pranata apa yang dapat menjamin terselenggaranya penumbuh-kembangan budaya belajar sepanjang hayat itu? Apakah cukup jika pada setiap diri warga masyarakat telah tumbuh kesadaran untuk terus belajar namun tidak ada perangkat atau pranata yang menunjang dan memfasilitasi pelaksanaan kesadaran itu?
3
Untuk menjawab permasalahan tersebut para pustakawan dan seluruh warga masyarakat kepustakawanan Indonesia sepakat memperjuangkan diberlakukannya UndangUndang Sistem Nasional Perpustakaan sebagai payung hukum yang melegalkan semua upaya untuk mengatasi persoalan sebagaimana dikemukakan di atas, sebagai bagian dari kenyataan di masa lalu. Undang-Undang termaksud akhirnya disahkan dengan nama UndangUndang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Segala yang diatur dalam Undang-Undang tersebut serta upaya untuk mewujudkannya adalah harapan masa depan yang ingin dicapai. Tujuan Kemerdekaan Bangsa Indonesia Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 disebut tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah: ... membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ... Penulis refleksi ini bersama Blasius Sudarsono, MLS, sebagai perangkum dan penyunting akhir dari berbagai tulisan para kontributor lainnya untuk Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Sistem Nasional Perpustakaan,1 berkeyakinan bahwa tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia itu merupakan tujuan yang besar, dan tujuan besar ini tentunya harus dimulai dengan melakukan terlebih dahulu sesuatu upaya yang besar pula karena mencakup keseluruhan warga negara. Upaya yang besar itu tiada lain adalah mencerdaskan kehidupan bangsa itu sendiri, mencerdaskan kehidupan setiap warga bangsa itu agar dapat menghayati hidupnya secara cerdas. Upaya ini sesungguhnya merupakan langkah yang strategis, yang sentral, dan menjadi keharusan. Hal itu karena hidup bangsa yang cerdas hanya akan diwujudkan apabila setiap warga bangsa itu sendiri juga memiliki hidup yang cerdas. Kecerdasan warga negara menjadi prasyarat bagi upaya mencapai tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dengan kata lain setiap warga negara wajib untuk hidup cerdas. Hidup cerdas bukan hanya secara intelektual (IQ), melainkan juga secara sosial (SQ), secara emosional (EQ), bahkan secara moral (MQ).
(Tim Penyusun bagian awal Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Sistem Nasional Perpustakaan (Perpustakaan Nasional RI, 2006), terdiri dari Blasius Sudarsono dan A.C. Sungkana Hadi.)
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
15
Kecerdasan hidup individu diperoleh antara lain dengan kemauan dan kemampuan belajar terus menerus sepanjang hayat (long life learning), bukan hanya sampai akhir masa studi di sekolah/lembaga pendidikan formal. Dengan demikian maka kegiatan belajar menjadi kewajiban bagi setiap manusia Indonesia, dan jika setiap warga masyarakat dengan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya itu maka akan terbentuklah suatu masyarakat pembelajar (learning society). Masyarakat demikian akan senantiasa mendasari peri kehidupannya dengan hal-hal yang diperolehnya dari hasil belajar, sehingga dapat bersikap dan bertindak secara cerdas.
16
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Maka persoalan yang telah dikemukakan di atas menjadi semakin jelas: apakah kemauan dan kemampuan belajar saja sudah cukup apabila tidak ditunjang dengan suatu perangkat atau pranata yang memungkinkan setiap warga negara dapat memperoleh sarana dan sumber belajar dengan mudah. Apakah masyarakat pembelajar akan bertumbuh-kembang jika tidak ada dukungan perangkat atau pranata yang memungkinkan setiap warga negara dapat memperoleh sarana dan sumber belajar dengan mudah. Dari sebab itu Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, baik di Pusat maupun di Daerah, mempunyai kewajiban dalam memfasilitasi kegiatan belajar warga negaranya. Pemerintah wajib menjamin tersedianya sarana belajar, termasuk tersedianya institusi sosial yang bertugas menyediakan dan mengelola sarana belajar itu, yakni perpustakaan, serta kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk belajar dengan mudah. Di negara Indonesia yang telah merdeka sejak 68 tahun lalu itu, keadaan yang ideal bagi tumbuh-kembangnya perpustakaan belum tercapai. Dapat dikatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dibanding kebanyakan negara maju, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Adalah tugas bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalan ini. Upaya ini dapat dimulai dengan bentuk yang paling sederhana yaitu memperkenalkan arti sebenarnya dari suatu perpustakaan, mendorong tumbuh-kembangnya kebiasaan membaca dan menulis di kalangan masyarakat luas, menghargai karya tulis, dan mendorong tumbuhkembangnya perpustakaan masyarakat. Perpustakaan hendaknya menjadi tempat bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan dengan membaca berbagai bahan perpustakaan yang dikoleksikan, guna menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan kata lain perpustakaan menjadi tempat belajar secara mandiri dan berkelanjutan, menjadi prasyarat. Melalui membaca berbagai bahan perpustakaan, dapat dilakukan kontak dengan para jenius dari berbagai negara, dapat dilakukan ’perantauan mental’ ke berbagai macam pemikiran dengan ’perjalanan lewat bacaan’ (Anwar Arifin, 2006). Kami, Tim Penyusun Naskah Akademis RUU Perpustakaan, dengan tegas menyatakan bahwa “pemerintah bertanggung jawab atas kesempatan dan tersedianya sarana belajar, termasuk tersedianya perpustakaan yang baik. Jadi dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia yang tidak mau belajar dan pemerintah di negara Indonesia yang tidak mau menyediakan sarana belajar yang baik, sesungguhnya mengingkari tujuan kemerdekaan Indonesia.”4 Kenyataan telah disahkan dan diberlakukannya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan kiranya menjadi tonggak kesadaran nasional tentang pentingnya peranan perpustakaan bagi peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Negara ini. Hal itu karena hakekat sebuah undang-undang adalah suatu kesepakatan bersama seluruh warga negara
yang diwakili oleh para Wakil Rakyat di DPR dengan Pemerintah sebagai penyelenggara negara, bahwa sesuatu yang diatur dalam undang-undang harus dipatuhi oleh semua pihak. Keberadaan Perpustakaan Dalam Masyarakat Perpustakaan mempunyai posisi yang strategis dalam masyarakat pembelajar karena perpustakaan bertugas mengumpulkan, mengelola dan menyediakan koleksi bahan perpustakaan untuk dibaca dan dipelajari. Dengan kata lain, perpustakaan merupakan wahana pembelajaran masyarakat. Prof. Dr. Anwar Arifin dalam buku Format Baru Pengelolaan Pendidikan (2006),5 mengatakan bahwa dengan adanya perpustakaan tersedia fasilitas untuk melakukan kontak dengan para jenius di berbagai negara melalui buku. Di perpustakaan juga dapat dilakukan ’perantauan mental’ ke berbagai macam pemikiran dengan ’perjalanan lewat bacaan.’ Hal itu karena – sebagaimana dikutip di atas – pada dasarnya bahan perpustakaan adalah rekaman ungkapan perasaan, gagasan, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, koleksi bahan perpustakaan dalam perpustakaan adalah sumber utama materi pembelajaran bagi masyarakat. Bahkan, Gerald E. Brogan dan Jeanne T. Buck (1969)6 menyebutnya sebagai supermarket akademik yang menjajakan bukubuku, majalah/jurnal, rekaman, slides, media pengajaran, karya seni, dan bahan-bahan lainnya. Tentunya harus dimengerti bahwa komoditi dalam supermarket akademik ini bukan untuk diperoleh dengan cara membeli atau menyewa. Kendati begitu banyak pendapat dan pemikiran konseptual tentang pentingnya peranan perpustakaan dalam masyarakat, namun pada kenyataannya keberadaan perpustakaan dalam masyarakat dan apresiasi terhadapnya masih cukup jauh panggang dari api. Dengan telah berlakunya Undang-Undang Perpustakaan, diharapkan terjadi perubahan dalam hal ini. Diharapkan agar apa yang sudah dimulai sejak pasca kemerdekaan, awal tahun 1950-an dengan didirikannya banyak perpustakaan umum dan taman bacaan masyarakat, dapat dilanjut-kembangkan sesuai tuntutan Undang-Undang. Kebanyakan perpustakaan, khususnya perpustakaan umum, yang masih diselenggarakan seadanya, dan belum dianggap sebagai sesuatu yang
4
(Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Perpustakaan RI, Perpustakaan Nasional RI, 2006, p. 3) (Arifin, Anwar (2006), Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta : Pustaka Indonesia. 6 (Gerald E. Brogan dan Jeanne T. Buck (1969), Using Libraries Effectively. Belmont, Cal.: Dickenson Publishing Company, Inc.) 5
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
17
vital, kemudian mendapat perhatian yang lebih besar dari Pemerintah dan masyarakat. Kelembagaan perpustakaan harus diperkuat agar memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan bobot dan keluasan tugas ideal yang harus diembannya. Secara khusus, perpustakaan juga harus memiliki kapabilitas dalam menghadapi berbagai tantangan baru yang diakibatkan antara lain oleh: • proses reformasi yang diharapkan menuju tingkat demokrasi yang lebih baik, • otonomi daerah dan tuntutan transparansi informasi, serta • globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat; Semuanya itu mengandaikan adanya dukungan informasi yang akurat, komprehensif dan mutakhir yang seharusnya dapat diakses di – atau melalui – perpustakaan. Dengan penguatan kelembagaan dan fungsi perpustakaan sesuai amanat Undang-Undang, dibarengi dengan banyak upaya para ahli perpustakaan di negeri ini yang telah dibuat untuk memajukan perpustakaan secara signifikan, diharapkan keberadaan perpustakaan semakin memperoleh tempat dan arti yang sebenarnya dalam hidup keseharian masyarakat banyak di negeri ini. Indikator dari hal ini antara lain akan nampak dari pemahaman mereka akan arti dan fungsi perpustakaan: • Bukan lagi hanya sekedar sebagai gudang buku, tempat baca, atau taman bacaan, melainkan juga sebagai tempat yang memfasilitasi terjadinya interaksi pengetahuan melalui sistem informasi. Dengan demikian perpustakaan akan dimengerti sebagai tempat untuk mendapatkan pencerahan hidup melalui membaca. • Fungsi perpustakaan yang biasa diibaratkan sebagai ’jantungnya perguruan tinggi,’ benar-benar menjadi kenyataan, bukan sekedar slogan kosong. • Demikian pula, pernyataan para politisi yang mengatakan bahwa keberadaan perpustakaan mencerminkan tinggi rendahnya budaya suatu bangsa benar-benar terbukti berkat semakin lengkapnya koleksi dan layanan perpustakaan. Jika dimasa lalu pernyataan-pernyataan di atas masih sebatas wacana – sebagaimana disinyalir oleh J.P. Rompas dalam tulisannya berjudul Prospek Pusdokinfo di Era Globalisasi (1998)7 – maka pasca diberlakukannya Undang-Undang Perpustakaan pernyataan-pernyataan itu diharapkan semakin benar dan menjadi nyata. • Melalui pendayagunaan informasi di dalam perpustakaan, berbagai permasalahan hidup, baik
7
•
•
pada tataran kehidupan individual maupun pada tataran kehidupan bangsa, dapat diluruskan dan dicerahkan kembali. Berkat dukungan informasi di dalam perpustakaan (pendidikan) ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan yang dibahas dan dialihkan kepada peserta didik dalam berbagai jenjang pendidikan, dapat semakin diperkaya, dimutakhirkan, dan dikembangkan. Berkat adanya koleksi perpustakaan berbagai rekaman hasil perkembangan budaya dan peradaban dapat diketemukan, dipelajari, dan dimiliki sebagai bagian dari proses internalisasi budaya atau pembudayaan.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa apabila bangsa ini ingin dinilai tinggi budayanya berarti harus memiliki perpustakaan yang berkualitas tinggi pula sebagai wujud dari perkembangan budaya itu. Di sisi lain, dengan adanya perpustakaan yang berkualitas baik dan dapat melakukan tugas pelayanan kepada masyarakat dengan benar, maka perpustakaan itu juga akan menfasilitasi proses peningkatan kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu, secara tegas dapat dikatakan bahwa keberadaan perpustakaan menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang berbudaya, baik sebagai titik tolak ataupun prasyarat terjadinya proses, maupun sebagai hasil atau wujud dari proses pembudayaan. Adalah kewajiban negara dan pemerintah untuk membudayakan warganya, sekaligus mendukung peningkatan kebudayaan itu secara berkelanjutan; sehingga adalah juga kewajiban negara dan pemerintah untuk menjamin adanya perpustakaan. Hal ini diharapkan dapat semakin diwujudkan dengan adanya Undang-Undang Perpustakaan, karena undangundang itu adalah bentuk kesepakatan antara rakyat dan pemerintah dalam pengaturan keberadaan dan fungsi perpustakaan agar keduanya saling terikat dan saling mematuhi. Keberadaan perpustakaan mensyaratkan adanya masyarakat yang sudah dan biasa atau gemar membaca, bahkan haus akan bahan bacaan. Dari membaca akan berkembang menjadi belajar (reading to learn), dan kehausan belajar akan berkembang menuju terbentuknya masyarakat pembelajar (learning society). Selain itu, dasar keberadaan perpustakaan juga karena adanya apresiasi yang tinggi atas pengetahuan terekam dalam bahan bacaan, karena bahan bacaan itu pada dasarnya adalah bahan atau sumber belajar.
(Rompas, J.P. “Prospek Pusdokinfo di Era Globalisasi” dalam: E. Koswara, Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung. 1998.)
18
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Jika di masa lalu sering dikatakan bahwa kebiasaan membaca dan apresiasi yang tinggi terhadap bahan bacaan masih sangat rendah di kalangan masyarakat banyak di Indonesia, maka pasca diberlakukannya Undang-Undang Perpustakaan semestinya keadaan itu semakin berubah dan membaik, berkat upaya pemenuhannya secara bersama oleh negara, pemerintah dan warganya. Prof. Dr. Anwar Arifin (2006) dalam bukunya yang telah dikutip di atas, menegaskan bahwa jika di Indonesia kebudayaan dan kemampuan membaca ingin ditumbuhkan secara luas, haruslah digarap secara komprehensif dan terpadu, dengan memantapkan strategi perbukuan dan perpustakaan nasional. Rakyat dan Pemerintah telah sepakat untuk menggarapnya melalui pemberlakuan Undang-Undang Perpustakaan. Mengingat begitu kompleksnya permasalahan pembangunan dan pengembangan perpustakaan, maka mutlaklah perlunya satu institusi nasional yang melaksanakan koordinasi dan bertanggungjawab atas semua upaya itu. Dalam hal ini institusi tersebut adalah Perpustakaan Nasional. Sebagai institusi nasional, Perpustakaan Nasional perlu dilengkapi dengan suatu Dewan Perpustakaan yang akan mengarahkan pembinaan pembangunan dan pengembangan perpustakaan di Indonesia. Dengan kata lain perlu adanya satu kebijakan nasional perpustakaan. Undang-undang yang diusulkan oleh masyarakat kepustakawanan Indonesia diposisikan sebagai bagian dari kebijakan nasional perpustakaan, sehingga diusulkan untuk diberi nama Undang-undang tentang Sistem Nasional Perpustakaan. Gagasan tentang pengembangan sistem nasional untuk perpustakaan di negara ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dicermati, antara lain dalam laporan dan rekomendasi Konsultan-konsultan Perpustakaan dari UNESCO seperti: A.G.W. Dunningham (Selandia Baru, 1968), Bryan (Inggris, 1972), Philip Ward (Inggris, 1975), dan penelitian Prof Dr. Selo Soemardjan (1977) yang menghasilkan Laporan dan Rekomendasi tentang Sistem Nasional Perpustakaan dan Perpustakaan Nasional Indonesia, serta diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0103/0/1981 tanggal 11 Maret 1981 tentang Pokok-pokok Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan di Indonesia. Keputusan ini sangat penting karena dimaksudkan sebagai landasan pengembangan sistem nasional perpustakaan yang mencakup pengembangan dan pembinaan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan maka tersedia payung hukum yang kuat untuk merealisasikan sistem nasional itu. Undang-Undang itu dengan tegas mengamanatkan agar Pemerintah dan Rakyat Indonesia harus menyelenggarakan perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat. Dengan Undang-Undang itu secara nasional dapat diatur berbagai jenis komponen dan pola keterkaitan antar komponen perpustakaan di negara ini, serta diharapkan dapat diciptakan dan ditumbuh-kembangkan berbagai jenis perpustakaan di tanah air yang tetap memenuhi standar mutu dan profesionalisme kepustakawanan. Keberadaan Pustakawan Selanjutnya, syarat ketiga adalah tersedianya tenaga pengelola perpustakaan yang berkualitas, yang dalam hal ini dikenal sebagai pustakawan. Walaupun sesungguhnya pustakawan adalah profesi, namun nampaknya profesi ini belum mendapat tempat selayaknya dalam masyarakat Indonesia. Kegiatan dan pertemuan profesi ini, sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam Pidato Sambutan pada acara Pembukaan CONSAL VIII (Congress of Southeast Asian Libraries), Jakarta, 11 Juni 1990, biasanya luput dari perhatian masyarakat umumnya dan media massa khususnya. Padahal, menurut Presiden, peranan pustakawan dan perpustakaan bagi kemajuan masyarakat sangat penting. Apabila dilontarkan pertanyaan ”Siapa yang mau menjadi pustakawan?,” maka dapat diduga bahwa pertanyaan ini tidak akan mendapat tanggapan yang memuaskan. Hal itu karena selain masih ada anggapan bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja, di masa lalu bahkan ada anggapan bahwa perpustakaan adalah unit kerja tempat pembuangan pegawai yang kurang berprestasi. Apakah menjadi pustakawan berarti memasukkan diri ke dalam kelompok orang-orang terbuang? Bahwa perpustakaan dapat diurus oleh siapa saja, sampai pada tingkat kebutuhan tertentu mungkin ada benarnya. Namun untuk perpustakaan yang harus melayani masyarakat luas dengan tingkat kebutuhan yang beragam, diperlukan pustakawan dengan kualitas yang memadai. Dewasa ini, tuntutan kualitas pustakawan yang benarbenar mau dan mampu untuk melayani dan memuaskan kebutuhan masyarakat penggunanya terasa semakin tinggi. Hal itu karena seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni/kebudayaan (IPTEKSBUD) dewasa ini, kebutuhan akan informasi menjadi demikian bervariasi, ekstensif sekaligus juga intensif (mendalam), sehingga sistem pengelolaan dan
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
19
pelayanan informasi harus benar-benar efektif. Apalagi dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai hasil dari kemajuan dan perkembangan IPTEK, meledaklah jumlah produk dokumen tercetak, bahkan juga yang terekam secara elektronik dan digital, yang kemudian biasa disebut sebagai banjir informasi. Maka pengelolaan perpustakaan menjadi lebih kompleks, memerlukan cara yang lebih sistematis, efisien dan efektif. Hal ini mendorong perlunya studi khusus untuk bidang perpustakaan dan kepustakawanan yang akhirnya menghasilkan satu disiplin ilmu perpustakaan, dan kemudian berkembang menjadi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Di negara maju pengelola perpustakaan (library manager, librarian) harus memiliki pendidikan formal ilmu perpustakaan. Keadaan ini belum sepenuhnya dipersyaratkan di Indonesia, karena ilmu perpustakaan sendiri baru dikenalkan di Indonesia secara resmi pada tanggal 20 Oktober tahun 1952 saat dibukanya Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan. Selain itu, sebagaimana disebut sebelumnya, masih juga banyak anggapan bahwa setiap orang dapat saja mengelola perpustakaan. Lembaga pendidikan bagi pegawai perpustakaan ini kemudian berkembang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1963 hingga sekarang, setelah Jumlah Instansi Pengguna
Jenis Pustakawan
sebelumnya pernah diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia pada tahun 1961.8 Dewasa ini pendidikan akademik untuk bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi telah diselenggarakan oleh lebih dari 12 perguruan tinggi di Indonesia. Pengembangan kepustakawanan di Indonesia sebagai profesi telah dirintis sejak tahun 1973 dengan berdirinya Ikatan Pustakawan Indonesia – IPI yang disepakati dalam Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia, tanggal 5-7 Juli 1973 di Ciawi, Bogor. Kiprah dan perjuangan para pustakawan Indonesia didokumentasikan oleh Basyral Hamidy Harahap, J.N.B. Tairas, dan Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 1995-1998 (Kiprah Pustakawan, 1998).9 Selain organisasi profesi tersebut, kepustakaan atau literatur profesi kepustakawanan juga sudah semakin berkembang sehingga menunjang pengembangan pengetahuan para pustakawan di Negara ini. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Perpustakaan menjadi sangat jelas bahwa keberadaan perpustakaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang mengandung konsekuensi perlunya dicetak tenaga-tenaga pustakawan baru. Kebutuhan akan pustakawan dapat diperhitungkan secara garis besar berdasarkan statistik terkait, sebagai berikut: Pustakawan yang sudah ada
Kekurangan/ Kebutuhan
Nasional
Papua
Nasional
Papua
Nasional
Papua
2
3
4
5
6
7
28.400
629
219 (174) *)
0
28.181
(629) 629x1
3.185 (Dikbud: 88 PTN, 3.097 PTS)
43
1.448 (809)
12 (5) (Uncen)
(539) + 1.737
(126) 42 x 3?
609 (Depag: 52 PTN, 557 PTS)
?
33 (Prov)
1 (Prov)
759 (278) (28 prov) **)
28 (5)
(481) + 135 (5 pr. x 27)
(23)
457 (kab/kota)
29
150 (54)
5 (0) (Yapen)
(96) + 307
(58) 29x2?
?
545 (161)
0
(348)
???
1 Pustakawan Sekolah (SMP/SMA) Pustakawan PT
Pustakawan Umum
6.793 (distrik) Pustakawan khusus
8
? ***)
(Zulfikar Zen, (1992). “Kilas balik 40 tahun pendidikan perpustakaan di Indonesia 1952-1992.” Dalam: Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangan. Jakarta: Kesaint Blanc.) 9 (Basyral Hamidy Harahap, J.N.B. Tairas, dan Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 1995-1998, (1998), Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.)
20
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Keterangan: total kebutuhan Papua = 836 orang (629+126+23+58), belum termasuk kebutuhan untuk pustakawan perpustakaan SD, dan pustakawan khusus *) angka dalam kurung pada kolom 4 dan 5 menunjukkan jumlah pustakawan yang berpen-didikan Perpustakaan; sebagai contoh dari 219 orang pustakawan sekolah secara nasional, hanya 174 orang berpendidikan perpustakaan. Angka dalam kurung pada kolom 6-7 menunjukkan kekurangan pustakawan yang berpendidikan ilmu perpustakaan, yang diperhitungkan dari jumlah pustakawan yang sudah ada (kolom 4-5). **) rata-rata jumlah pustakawan per provinsi= 27 orang, tertinggi di Sulawesi Selatan (67 orang, 39 di antaranya berpendidikan perpustakaan), terendah di Banten (1 orang bukan berpendidikan perpustakaan); 5 provinsi belum memiliki perpustakaan umum provinsi. ***) tidak bisa diperhitungkan, karena setiap SKPD/Dinas/ instansi vertikal/yayasan/ rumahsakit/perusahaan/ instansi swasta dapat menyediakan perpustakaan bagi pegawai/karyawannya dan/atau para pemangku kepentingannya Sumber: website Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI : http://npp.pnri.go.id/ npp/main/index.php?module=rptprop dan website Badan Pusat Statistik: Statistik Indonesia 2012: http://www.bps.go.id/menutab. php?tabel=1&kat=1&id_subyek=12 Adapun unit perpustakaan yang terdaftar pada Perpustakaan Nasional RI dan telah memperoleh nomor pokok perpustakaan (NPP), tercatat sebagai berikut: Jenis Perpustakaan (yang terdaftar di PNRI)
Jumlah
Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan Perg. Tinggi
Perpustakaan Umum
Perpustakaan Khusus
21.849
829
1.291
991
24.960
?
Belum terdaftar/ belum dibentuk
- 6.551 (SLTP-SLTA)
- 2.965
- 5.992
Tabel tersebut menunjukkan bahwa masih banyak unit perpustakaan yang belum terdaftar pada Perpustakaan Nasional RI, atau mungkin juga belum terbentuk sama sekali. Menjawab Tantangan 1. Tantangan Bagi Masyarakat Kepustakawanan Indonesia Uraian dan penjelasan serta justifikasi mengenai hakekat keberadaan dan fungsi perpustakaan dan pustakawan
termasuk masalah-masalah yang harus dihadapinya sebagaimana dikemukakan di atas tentunya dapat dimengerti dan diterima dengan mudah oleh masyarakat kepustakawanan Indonesia, termasuk para calon mahasiswa program studi Ilmu Perpustakaan. Namun apakah warga masyarakat lainnya, masyarakat kebanyakan, bahkan para pengambil kebijakan dalam pemerintahan, memiliki pengertian dan penerimaan yang sama dengan warga masyarakat kepustakawanan? Pertanyaan itu tentu tidak cukup mudah untuk dijawab. Masalah-masalah terkait rendahnya minat baca, belum terbentuknya budaya baca, dan belum memadainya apresiasi terhadap keberadaan perpustakaan dan fungsinya juga bukan masalah yang mudah untuk dipecahkan. Adalah tugas dan tanggung jawab semua warga masyarakat kepustakawanan Indonesia, yakni para akademisi dan pendidik pada lembaga pendidikan bidang ilmu perpustakaan, para pustakawan pendidik, para pustakawan praktisi, anggota profesi kepustakawanan, pengamat keperpustakaanan, dan para mahasiswa ilmu perpustakaan, untuk menjawab tantangan tersebut. Melalui cara dan kesempatan masing-masing hendaknya senantiasa menjelaskan kembali pengertian dan fungsi perpustakaan, bukan hanya secara teoretis melainkan secara praktis yang langsung berkaitan dengan peri kehidupan nyata. Pada tataran tertentu warga masyarakat kepustakawanan sendiri harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai pengertian dan hakekat perpustakaan, serta sejarah lahirnya perpustakaan sebagai lembaga yang menjadi tempat akumulasi rekaman pengetahuan manusia pada jamannya, yang kemudian berkembang menjadi sistem informasi. Demikian pula halnya dengan sejarah lahirnya pustaka sebagai wahana perekam pengetahuan warga masyarakat yang satu, untuk dapat diingat, dilestarikan dan didokumentasikan, serta disampaikan atau dikomunikasikan kepada warga masyarakat lainnya. Fungsi pelestarian, pendokumentasian, dan pengkomunikasian ini menjadi fungsi dasar suatu perpustakaan. Pengkomunikasian ini terjadi melalui layanan pendayagunaan koleksi dan sumber daya perpustakaan yang pada dasarnya menjalankan fungsi-fungsi lain yakni pelayanan informasi,
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
21
pendidikan, penelitian, rekreasi, dan pembudayaan. Warga masyarakat kepustakawanan bukan hanya harus memahami fungsi-fungsi itu, melainkan harus berusaha melaksanakannya dengan berbagai strategi dan pendekatan. Warga masyarakat kepustakawanan harus menjadi motor bagi gerakan pemasyarakatan perpustakaan dan pilar penting bagi bertumbuh-kembangnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat, demi mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas. Tantangan nyata yang harus dihadapi adalah: masih relatif rendahnya minat dan budaya baca! 2. Perlunya Lembaga Pendidikan Ilmu Perpustakaan Dari tantangan tersebut kemudian dapat dipahami mengapa diperlukan adanya lembaga pendidikan tenaga perpustakaan. Tenaga perpustakaan memang harus terdidik, agar dapat secara profesional mengelola dan mengembangkan lembaga perpustakaan itu dengan segala fungsinya. Apalagi jika diingat bahwa pengelolaan perpustakaan menjadi semakin kompleks dengan meledaknya jumlah produk dokumen tercetak, bahkan juga yang terekam secara elektronik dan digital, yang biasa disebut sebagai banjir informasi. Keadaan ini memerlukan cara yang lebih sistematis dalam mengelola perpustakaan, antara lain dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara maksimal dan optimal. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hal ini mendorong perlunya studi khusus perpustakaan dan kepustakawanan yang akhirnya menghasilkan satu disiplin ilmu perpustakaan dan informasi. Di negara maju lembaga pendidikan perpustakaan telah didirikan sejak lama, antara lain terbukti dengan disusunnya sistem klasifikasi subjek – sebagai salah satu materi dalam kurikulum inti (core curriculum) – oleh Melvile Dewey pada tahun 1876. Di Indonesia, pendidikan perpustakaan baru dikenalkan secara resmi pada tanggal 20 Oktober tahun 1952 saat dibukanya Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan. Lembaga pendidikan bagi pegawai perpustakaan ini kemudian berkembang menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1963 hingga sekarang, setelah sebelumnya pernah diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Indonesia pada tahun 1961.
22
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Peningkatan status kelembagaan dari Kursus menjadi suatu Jurusan di lingkungan perguruan tinggi tentu menunjukkan bahwa masalah keperpustakaanan memiliki dasar konseptual dan keilmuan yang sistematis yang harus diajarkan melalui pendidikan formal, bukan hanya sekedar keterampilan yang cukup dipelajari melalui kursus. Hal itu juga menunjukkan bahwa dasar konseptual dan keilmuan yang sistematis itu, yang kemudian disebut Ilmu Perpustakaan, memang merupakan suatu bidang ilmu dalam jenjang pendidikan tinggi. Dewasa ini pendidikan akademik untuk bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi telah diselenggarakan oleh lebih dari 12 perguruan tinggi di Indonesia. Namun demikian lembaga-lembaga pendidikan perpustakaan itu belum mampu untuk menghasilkan jumlah tenaga profesional perpustakaan yang dibutuhkan secara nasional, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas. 3. Program Studi S-1 Ilmu Perpustakaan UNCEN Terbitnya Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 668/E.E2/DT/2013 tanggal 18 Juli 2013 perihal Penugasan Penyelenggaraan Program Studi Ilmu Perpustakaan di lingkungan Universitas Cenderawasih kiranya dapat dimaknai sebagai kemauan politik Pemerintah yang selangkah lebih maju untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan demi kepentingan masyarakat Papua khususnya. Hal itu karena penugasan tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang termaksud yang belum bisa dipenuhi oleh Pemerintah Daerah di Bumi Cenderawasih ini, bahwa: 1. Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah wajib menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan (pasal 7 dan pasal 8) sebagai wujud pelayanan kepada masyarakat (pasal 15); 2. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa bertugas menyelenggarakan perpustakaan umum (pasal 22); 3. Setiap sekolah/madrasah wajib menyelenggarakan perpustakaan sekolah (pasal 23), dan setiap perguruan tinggi menyelenggarakan perpustakaan perguruan tinggi (pasal 24); 4. Tenaga perpustakaan terdiri atas pustakawan dan tenaga teknis perpustakaan (pasal 29).
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132/KEP/M. PAN/12/2002 pasal 1 ayat 5 pustakawan adalah pejabat fungsional yang diangkat berdasarkan kualifikasi pendidikan serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi, atau sarjana bidang lain yang disetarakan. Ketentuan MENPAN tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya itu telah diterbitkan sejak tahun 1988 (Keputusan Men PAN Nomor 18/1988 tanggal 28 Februari 1988). Hal itu menunjukkan bahwa secara yuridis, keberadaan pustakawan sebagai pejabat fungsional sesungguhnya telah sejak lama diakui oleh Negara. Sebagaimana telah disebut sebelumnya, organisasi profesi kepustakawanan – Ikatan Pustakawan Indonesia – IPI – juga telah berperan penting dalam memperkuat keberadaan pustakawan. Kendati organisasi profesi ini belum sekuat organisasi profesi
lainnya, namun keberadaan IPI telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan perpustakaan dan kepustakawanan di negeri ini, termasuk di Provinsi Papua berkat keberadaan IPI Daerah Provinsi Papua. Penyelenggaraan program pendidikan S-1 Ilmu Perpustakaan di lingkungan Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UNCEN ini mudah-mudahan menjadi salah satu tonggak sejarah pembangunan yang penting. Hal itu terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan tenaga pustakawan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, dan di lembaga baru inilah dicetak calon-calon tenaga profesional sebagai pelaksana upaya mewujudkan tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa di Bumi Cenderawasih ini, sekaligus upaya untuk menjawab tantangan yang cukup berat di Tanah ini. Bahkan, tentu saja, juga di bagian wilayah NKRI lainnya.
daftarpustaka Arifin, Anwar. 2006. Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta : Pustaka Indonesia.
Perpustakaan Nasional RI. 2006. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Perpustakaan RI, p. 3
Brogan, Gerald E. dan Jeanne T. Buck. 1969. Using Libraries Effectively. Belmont, Cal.: Dickenson Publishing Company, Inc.
Rompas, J.P. 1998. “Prospek Pusdokinfo di Era Globalisasi” dalam: E. Koswara, Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung.
Harahap, Basyral Hamidy, J.N.B. Tairas, & Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia Periode 1995-1998. 1998. Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia.
Zen, Zulfikar. 1992. “Kilas balik 40 tahun pendidikan perpustakaan di Indonesia 1952-1992.” Dalam: Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
23
Oleh: Endang Fatmawati1 Email:
[email protected]
Meningkatkan Budaya Akademik Melalui Pemanfaatan E-Resources Abstrak Ketersediaan sumber informasi elektronik di perpustakaan saat ini menjadi tren baru. E-resources yang dilanggan suatu perpustakaan merupakan sumber informasi yang disediakan untuk pemustaka. Secara umum e-resources merupakan sumber informasi dalam bentuk elektronik, yang dapat diakses melalui komputer. Pemustaka harus memiliki kemampuan dasar dalam mencari dan menemukan sumber informasi elektronik. Keberadaan e-resources sangat berharga bagi suatu penelitian, pengajaran, dan pembelajaran bagi pemustaka. Kata kunci:
sumber informasi elektronik, penelusuran elektronik, kemampuan dasar menelusur, akses tanpa batas, preservasi digital, budaya akademik.
Pendahuluan Dahulu koleksi lokal yang dihasilkan perguruan tinggi, seperti tugas akhir, skripsi, tesis, dan disertasi hanya ‘masuk laci’. Artinya pustakawan hanya mengolah dengan memberi nomor inventaris, nomor panggil, distempel dan menempatkannya secara fisik di rak buku. Jadi jika pemustaka tidak datang ke perpustakaan maka pemustaka dipastikan tidak dapat mengetahui isi dari karya ilmiah tersebut. Begitu juga dengan jurnal tercetak, kalau dahulu harus melanggan secara fisik dan isi artikelnya tidak diketahui secara luas, akan tetapi dengan dijadikannya jurnal tersebut e-resources maka dengan mudah diketahui oleh masyarakat. Intinya dengan sistem akses terbuka saat ini yaitu dibukanya isi karya ilmiah secara online, maka informasi dengan cepat dapat diketahui oleh siapapun melalui akses secara elektronik. Dengan demikian hasil dari karya ilmiah semuanya
menjadi semakin transparan baik penulisnya maupun isinya. Tidak heran kalau akhirnya ditemukan kasus-kasus plagiarisme, padahal sebelum dibuka yang namanya plagiarisme jarang ditemukan. Justru dengan dibuka jadi ketahuan motif-motif penjiplakan karya ilmiah tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah: “Bagaimana meningkatkan budaya akademik melalui pemanfaatan e-resources ?” E-Resources Trend yang hangat diperbincangakan di perpustakaan saat ini adalah e-resources baik menyangkut pengelolaan, preservasi, maupun pemanfaatan. Setelah e-resources tersedia, lalu berpikir bagaimana visibilitas, kemudian aksesibilitasnya seperti apa. Hal ini terbukti dengan tema yang diangkat dalam acara Konferensi Perpustakaan Digital (KPDI) ke-6 yang diselenggarakan di Hotel Harris Malang Jawa Timur tanggal 12 s.d. 14 November 2013 yang lalu yaitu “E-Resources: availability, visibility, and accessibility”.
(Pustakawan Muda UNDIP yang ditugaskan sebagai Kepala Perpustakaan FEB UNDIP & Dosen LB Jurusan Ilmu Perpustakaan-FIB UNDIP)
1
24
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
E-resources menjadi sangat penting karena lebih up-todate, multi-dimensi, dan dapat diakses serta digunakan dimana saja, kapan saja, serta melintasi semua batas-batas geografis. Ada 2 (dua) macam tipe e-resources, yaitu data dan program. Data berarti informasinya dalam bentuk angka, huruf, grafik, gambar, suara, atau kombinasi semuanya. Sementara itu, program bisa berupa layanan online, multimedia, dan sejenisnya. Johnson, et.al. (2012) menjelaskan bahwa “Electronis resources refer to those materials that require computer access, whether through a personal computer, mainframe, or handheld mobile device.” Maksudnya sumber informasi elektronik mengacu pada bahan pustaka yang cara aksesnya membutuhkan komputer, baik melalui komputer pribadi, mainframe, ataupun perangkat genggam. Lebih lanjut Graham dalam Sethi dan Panda (2011), menyebutkan “electronis resources are the mines of information that are explored through modern ICT devices, refined and redesigned and more often stored in the cyber space in the most concrete and compact form and can be accessed simultaneously from infinite points by a great number of audience”. Pengertiannya kurang lebih bahwa sumber informasi elektronik adalah ibarat tambang informasi yang dapat digali melalui perangkat TIK modern, disempurnakan dan didesain ulang serta disimpan secara maya dalam bentuk paling konkrit dan rapi sehingga dapat diakses secara bersamaan oleh pemustaka dari manapun dalam jumlah yang banyak. Apabila membahas e-resources, maka pikiran kita akan mengarah pada sumber-sumber informasi yang disediakan oleh perpustakaan yang bisa diakses dalam bentuk elektronik. Oleh karena pihak perpustakaan telah melanggan e-resources, maka pemustaka dapat mengakses secara gratis. Saat ini banyak sumber informasi lainnya yang juga menyediakan bentuk e-resources seperti: data ekonomi, informasi perusahaan, profil perusahaan, riset pasar, informasi karir, dan lain sebagainya. Selanjutnya berbagai bentuk-bentuk e-resources yang bisa dikembangkan oleh perpustakaan juga sangat beragam, misalnya: electronic theses and dissertations (ETDs) untuk koleksi tesis dan disertasi, koleksi lokal, jurnal teks lengkap, buku elektronik, kamus, ensiklopedi, surat kabar, gambar digital, dan bahan perpustakaan lainnya. Dampak E-Resources Ada yang menarik membahas budaya akademik
dengan e-resources karena pasti tidak terlepas dari sisi perpustakaan. Begitu muncul kata e-resources maka dampak untuk perpustakaan dipastikan selalu ada. Dampak e-resources terhadap perpustakaan, antara lain: 1. Software katalog terpasang dengan komputer penelusuran. Bisa jadi yang terjadi pemustaka kurang user friendly dengan software yang dipakai di perpustakaannya sehingga terkadang menjadi penyebab kenapa katalog terpasang jarang digunakan untuk menelusur informasi. Kondisi katalog terpasang yang hanya membantu menelusur deskripsi bibliografis saja menjadi alasan juga. Jadi katalog terpasang paling dipakai jika memang pemustaka mau mengetahui ketersediaan koleksi, nomor panggil, maupun letak koleksinya saja. Jadi harusnya selain katalog terpasang juga disediakan komputer penelusuran yang bisa terhubung ke internet. 2. Akses dengan online data-bases dan search engine. Dalam beberapa tahun terakhir kenyataannya menunjukkan kalau katalog terpasang di perpustakaan sudah jarang digunakan pemustaka. Alasannya karena sudah kuno sehingga mereka lebih senang memilih mengakses online data-bases seperti CD-ROMs, repositori, e-journals maupun melalui search engine dengan Google, Yahoo, Msn, AltaVista, dan lain sebagainya. 3. Kunjungan secara fisik dan virtual. Terjadi penurunan jumlah yang berkunjung secara fisik dan peningkatan jumlah kunjungan perpustakaan secara online. Hal ini tidak menjadi masalah, karena pemustaka yang akses melalui internet, maka mereka sebenarnya juga termasuk kategori jenis pemustaka aktif. Sekalipun hanya masuk ke website perpustakaan kemudian mereka hanya mencari informasi tentang judul buku tertentu apakah ada atau tidak. 4. Perkembangan ilmu dan transfer pengetahuan. Adanya sumber informasi elektronik yang semakin melimpah dan lebih cepat tersebar, maka akan semakin memudahkan bagi masyarakat untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi yang baru terjadi. 5. Mengatasai terbatasnya koleksi yang dimiliki oleh suatu perpustakaan. Suatu perpustakaan yang memiliki koleksi terbatas dan masih kurang variasi atau kelengkapan judulnya, maka pemustakanya dapat memanfaatkan e-resources yang bebas biaya akses. 6. Alokasi anggaran perpustakaan. Khusus untuk e-journals karena relatif mahal maka perlu anggaran yang cukup untuk melanggan.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
25
Oleh karena ada batas waktu akses yaitu pada saat e-journals masih dilanggan, maka pada saat masa langganan harus dapat didayagunakan dan dimanfaatkan secara optimal oleh pemustaka.
dukungan penyedia, serta monitoring dan evaluasi. Kalau dahulu pada waktu munculnya internet hanya mengenal www saja, namun untuk saat ini hendaknya pengelolaan e-resources di perpustakaan tidak hanya bertumpu pada online databases, e-journals maupun e-books saja, namun perlu dikembangkan e-resources yang lainnya seperti e-magazines, e-working paper, e-research report, e-newspaper, e-patent, e-data archives, e-statistics maupun bahan perpustakaan lainnya.
Pengelolaan E-Resources Suatu terobosan yang saat ini sedang trend dan menjadi pekerjaan pustakawan perguruan tinggi adalah unggah karya ilmiah karya civitas akademik. Hal ini terkait dengan kebijakan publikasi ilmiah bagi dosen yang akan naik jabatan/pangkat dan syarat kelulusan mahasiswa. Semakin bertambahnya sumber informasi yang berlimpah, maka perlu keefektifan dalam pengelolaan sumber informasi elektronik.
Gladney (2007: 7), menyebutkan bahwa “Digital preservation consists of the processes aimed at ensuring the continued accessibility of digital materials”. Artinya preservasi digital merupakan proses pelestarian bahan perpustakaan yang bertujuan untuk memastikan aksesibilitas secara terus-menerus atau berkelanjutan dari bahan perpustakaan digital.
Oleh karena pengelolaan e-resources membutuhkan suatu proses, maka diperlukan tenaga yang kompeten untuk mengelolanya. Mengenai siklus kehidupan e-resources seperti pada Gambar 1 berikut:
Metode preservasi untuk bahan perpustakaan dilakukan
Trial use
Order
Pay
Price
Assess need/budget
Evaluate
User feedback
IP addresses Acquire
Usage Stats Downtime analysis
Evaluate Monitor
Register Provide Access
Review problems
Proxy server Catalog
Portals/Access list Campus authentication
Problem log
Provide Support
Administer
Hardware needs
User IDs
Software needs
Holdings lists
Contact info Troubleshoot/Triage
Gambar 1. Siklus kehidupan E-Resources (Wical, 2009: 228). Dikatakan sebagai sebuah siklus berarti terjadi terusmenerus dan bertahap. Prosesnya dimulai dari bagaimana memperolehnya, menyediakan akses, mengelolanya,
26
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
URL maintenance
Claiming View rights for use
Admin module information Preferences (store) Access restrictions
dengan cara alih media ke dalam format digital. Tantangan dalam preservasi digital menurut Harvey (2005: 185) yaitu: mengelola (managing), mendanai (funding), menempatkan orang yang melakukan preservasi digital (peopling), dan membuat preservasi digital yang cocok (fit).
Pandangan lama yang pernah disampaikan oleh Evans dan Heft (1994: 4) bahwa kegiatan teknis di perpustakaan yang berkaitan dengan bahan perpustakaan waktu era 90-an, pada dasarnya meliputi 3 (tiga) fungsi dasar, yaitu: mengadakan bahan perpustakaan, mengorganisasikan bahan perpustakaan sesuai aturan yang ada di perpustakaan setempat, dan memelihara bahan perpustakaan serta menyimpannya.
anggarannya belum cukup untuk melanggan e-journals maupun e-books yang harganya tergolong mahal. Dengan demikian, pustakawan yang perpustakaannya tidak melanggan dikarenakan keterbatasan anggaran, maka bisa menginformasikan kepada pemustakanya secara luas tentang adanya e-resources yang dikelola dari bahan perpustakaan setempat atau e-resources yang tersedia secara free di belantara internet.
Namun era saat ini tidak tepat jika hanya selesai menyimpan saja, tapi harus dialihbentukkan karena era sekarang adalah akses online. Jadi strategi yang ditempuh agar bahan perpustakaan dapat dilayankan lebih optimal, maka suatu perpustakaan dapat mengembangkan layanan e-resources kepada pemustakanya. Caranya adalah dengan mengalih mediakan bahan perpustakaan yang dimiliki dan dengan cara pengadaan bahan perpustakaan elektronik melalui sistem langganan.
Ketrampilan pemustaka dalam penelusuran informasi sangat penting. Chowdhury (2001) menyebutkan kemampuan yang harus dimiliki pemustaka untuk menelusur informasi, yaitu: penentuan perintah, strategi pencarian informasi, lokasi dan aksesnya, penggunaan informasi, perpaduan informasi, dan evaluasi.
Lalu kaitannya dengan menyimpan e-resources, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: 1. Ada jaminan dari dokumen yang diterbitkan sehingga dimungkinkan juga dapat disimpan secara fisik. 2. Perlu mengecek kutipan yang mudah rusak (perisable citation - once online), karena jika website mengubah URL maka kutipan biasanya akan ikut hilang. 3. Mengetahui keaslian penulis (authenticity) dari sumber yang diterbitkan sehingga mampu meyakinkan pembaca akan kredibilitas dari penulis. Keterampilan Akses Penelusuran elektronik caranya berbeda dengan penelusuran manual. Salah satu perbedaan yang menonjol dari pencari informasi adalah pada waktu yang dipergunakan untuk akses informasi. E-resources merujuk pada jenis dokumen dalam format digital yang dapat diakses oleh pemustaka melalui sistem penelusuran informasi berbasis komputer. Keberhasilan pemustaka dalam menelusur e-resources dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berarti berasal dari dalam diri pemustaka, meliputi kemampuan dasar penelusuran, pengetahuan penelusuran, dan ketrampilan menelusur. Sementara itu, faktor eksternal berarti berasal dari luar pemustaka, seperti: ketersediaan e-resources, keadaan komputer penelusuran, maupun bandwidth yang ada. Keberadaan sumber informasi elektronik harus disadari oleh pustakawan dalam rangka untuk menyediakan koleksi elektronik yang memudahkan pemustakanya. Adanya e-resources menjadi solusi bagi perpustakaan yang
Apabila menginventarisir faktor yang mendorong pemustaka dalam mengakses e-resources sangat beragam, misalnya: karena kemudahan akses, menjadi kegiatan yang rutin dilakukan dalam pembelajaran, agenda untuk mencari literatur, untuk menambah wawasan informasi terbaru, untuk menyiapkan presentasi, untuk tujuan penelitian, untuk mencari sumber informasi yang sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti, atau bahkan untuk mendukung karir. Lalu jika dilihat dari sudut pandang lainnya seperti dari sisi ekonomi, yaitu lebih hemat karena tidak perlu membayar. Beberapa tantangan pustakawan yang berkaitan dengan ketrampilan e-resources, antara lain: 1. Kontrol akses (access control) yang mensyaratkan ketrampilan menggunakan dan mengoperasikan komputer. 2. Beban kerja dan sumber daya manusia (workload and personnel) yang ada. 3. Cakupan judul jurnal yang disediakan oleh penyedia sumber informasi (volatility in coverage of journal titles by resource providers). 4. Berlebihnya judul jurnal yang sama yang disediakan oleh penyedia informasi (overlapping coverage of same journal titles by resource providers). One-Stop Shopping Journals Kalau kita mengenal ‘one-stop service’ di perpustakaan, yang indikasinya apa saja yang diinginkan pemustaka dapat tersedia di perpustakaan, maka ada juga istilah ‘one-stop shopping’ untuk e-journals. Artinya bahwa perpustakaan sebagai sumber informasi idealnya harus dapat menyediakan One-Stop Shopping for Journal Information. Jadi ibarat belanja informasi yang barangkali maksudnya
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
27
pemustaka dapat mencari apa saja dari seluruh informasi yang dibutuhkan secara digital melalui akses e-journals tersebut. Konsep dari ‘one-stop shopping’ merujuk pada satu tempat yang digunakan pemustaka untuk menentukan, mendapatkan, dan mengharapkan artikel yang diinginkan. Menawarkan ‘one-stop shopping’ untuk jurnal sepertinya menjadi kunci untuk membuat koleksi jurnal yang dimiliki perpustakaan menjadi terpusat pada pemustaka (usercentered) dan familiar bagi pemustaka (user-friendly). Apabila ditinjau dari perkembangannya, maka ketersediaan jurnal di perpustakaan dimulai dari langganan yang masih jadul dalam bentuk tercetak, langganan online setiap tahun, dan akhirnya sampai pada tersedianya artikel yang bisa diakses pemustaka secara gratis.
Traditional journal collections
E-journals w/o perpetual access and/or archival rights
Perpustakaan Nasional. Perpustakaan Nasional melanggan bahan perpustakaan sumber elektronis, baik e-journals, e-books maupun karya referensi online yang dapat didayagunakan secara maksimal oleh pemustaka. Bahkan dalam pengelolaan e-resources, Perpustakaan Nasional juga mendigitalisasi berbagai koleksi langka/ kuno yang bernilai sejarah maupun buku terbitan Balai Pustaka. Contoh e-resources yang dilanggan oleh Perpustakaan Nasional dan bisa diakses secara gratis oleh seluruh masyarakat, antara lain: ProQuest, IGI Global, GALE CENGAGE Learning, Westlaw, @MyLibrary, ISEAS & IGI Global, SAGE, ALA Publishing, ULRICH’S Periodicals Directory, Balai Pustaka, EBSCO HOST, Taylor & Francis Online, HAWAII, KITLV, LexisNexis. Mungkin belum banyak pemustaka yang memanfaatkan, karena mereka belum mengetahui kalau Perpustakaan Nasional menyediakan fasilitas e-resources yang dapat diakses secara mudah
Purchased ‘big deals’ and aggregated collections
Free journals
Free articles
Articles available for a free
Print, individual ejournals (with perpetual access and/or archival rights) Gambar 2. Perkembangan literatur jurnal (Crum, 2008: 225). Ketika e-journals menjadi trend pemustaka, perpustakaan menyediakan akses dengan 2 (dua) cara yaitu melalui statistik webpages dan katalog perpustakaan. Suatu terobosan baru bagi perpustakaan, karena saat ini berbagai menu yang ada dapat memfasilitasi one-stop shopping untuk akses literatur jurnal sebanyak-banyaknya, seperti: katalog penelusuran, modul Electronic Resources Management (ERM), link resolvers, maupun federated search tools. E-Resources Perpustakaan Nasional Adanya kendala harga langganan e-journals yang sangat mahal, maka pihak perpustakaan bisa mensosialisasikan tentang pemanfaatan fasilitas e-resources yang ada di
28
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
kapanpun dan dari mana saja secara online. Bagi pemustaka yang menginginkan petunjuk pendaftaran e-resources sebenarnya sudah tersedia di http://www. pnri.go.id/Cara Registrasi Eresource.aspx. Dalam petunjuk tersebut dijelaskan langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Pemustaka terlebih dahulu mendaftar sebagai anggota Perpustakaan Nasional secara online melalui http:// keanggotaan.pnri.go.id/ 2. Pemustaka akan mendapatkan nomor anggota baru untuk mendaftar ke e-resources Perpustakaan Nasional. 3. Setelah pemustaka terdaftar di keanggotaan Perpustakaan Nasional dan mendapatkan nomor anggota, kemudian pemustaka bisa mendaftar e-resources Perpustakaan Nasional melalui http://eresources.pnri.go.id/index.php?option=com_ user&task=register
4. Menunggu aktivasi dari administrator dengan cara menunggu e-mail pemberitahuan aktivasinya. 5. Jika sudah ada e-mail aktivasi, maka pemustaka akan mendapatkan User ID dan Password, sehingga pemustaka tersebut sudah bisa akses ke http://eresources.pnri.go.id/ Kelebihan dan Kekurangan Cara pemustaka menelusur e-resources bisa menggunakan kata kunci, frase, tajuk subyek, pemenggalan kata, pembatasan pencarian, operator Boolean, dan lain sebagainya. Namun yang perlu diingat bahwa sekalipun e-resources berbasis teknologi, tapi segala sesuatu yang timbul pasti memiliki nilai positif dan negatifnya. Beberapa kelebihan dari e-resources, misalnya: 1. Akses secara terbuka (open access) sehingga memudahkan pemustaka dalam mencari informasi yang sesuai kebutuhannya. 2. Dapat diakses secara online kapan saja (accessible) sehingga pemustaka tidak harus datang langsung ke perpustakaan. 3. Mudah dicari (easily searchable) sehingga dapat diakses dengan cepat dan mudah sekalipun full text dan hanya melalui indeks online. 4. Akses jarak jauh (remote access) bisa dilakukan oleh pemustaka dari manapun. 5. Lebih cepat (speed), ketersediaan artikel online lebih cepat terpublikasikan sebelum bentuk tercetak tersedia. 6. Lebih interaktif (interactive), maksudnya sumber online tersebut dapat segera dibaca, dikomentari oleh pemustaka, diubah dengan cepat, maupun diberikan umpan balik yang lebih intens melalui web. 7. Bentuk tautan tereksploitasi ke link yang terkait (linkshypertext) pada sumber informasi di web lainnya yang terkoneksi. 8. Memberikan nilai tambah (added value) dari web yang digunakan, misalnya: menggunakan animasi, virtual reality, dan grafik matematika yang lebih interaktif. 9. Relatif murah (inexpensive) dibanding sumber informasi cetak, karena tidak perlu biaya untuk mencetak, biaya untuk distribusi maupun pengembangan fitur baru. 10. Tanpa batasan jumlah literatur yang diakses (unlimited access) sehingga hasil pencarian informasi yang dibutuhkan menjadi lebih lengkap. 11. Adanya fleksibilitas (flexibility) karena dengan e-resources berarti evolusi ilmu pengetahuan lebih cepat karena tidak terikat oleh adanya bentuk, pencetak, dan jaringan distribusi. 12. Sekaligus dapat diakses oleh banyak pemustaka
(multi user) sehingga walau dalam waktu bersamaan tetapi masing-masing pemustaka tetap bisa akses dari perangkat teknologi yang berbeda-beda. Selanjutnya beberapa kekurangan dari adanya e-resources, antara lain: 1. Harus membaca informasinya melalui layar dan membutuhkan perangkat elektronik untuk membaca informasi yang ada di dalamnya. 2. Mesin pencari mengabaikan format PDF, sehingga untuk mengetahui isinya masih harus membutuhkan software acrobat reader untuk bisa membaca. 3. Tidak semua pemustaka merasa nyaman akses informasi melalui layar komputer sehingga bisa jadi mereka mengalami kesulitan membaca. 4. Membutuhkan ketrampilan pemustaka dalam mengoperasikan fasilitas komputer dan perangkat teknologi lainnya dalam penelusuran informasi untuk mendapatkan informasi yang tepat. 5. Tidak selamanya nyaman, khususnya bagi pemustaka yang agak bermasalah dengan mata, maka terkadang ada keterbatasan jika harus menatap tulisan pada layar komputer untuk membaca. 6. Sumber informasi elektronik seringkali tidak termasuk dalam pengindeksan dan abstrak. 7. Format sumber informasi elektronik sebagian besar untuk penggunaan e-journals. 8. Rawan terhadap perilaku plagiat sehingga dibutuhkan pustakawan yang mampu memberikan edukasi kepada pemustaka tentang etika pengutipan. Khusus untuk e-journals perlu anggaran yang cukup besar untuk melanggan sehingga alokasi anggaran perpustakaan untuk memperpanjang langganan e-journals perlu dipikirkan jauh-jauh hari sebelum masa langganan berakhir. Hal ini untuk menghindari adanya pemutusan langganan, sehingga pemustaka tidak perlu menunggu terlalu lama dan bisa segera akses kembali. Lalu bagaimana pustakawan mensiasati e-journals yang dilanggan ? Oleh karena biasanya langganan e-journals setiap tahun, maka dalam tahun yang berjalan hendaknya pustakawan aktif men-download. Suatu contoh di perpustakaan perguruan tinggi, pustakawan di setiap fakultas aktif men-download secara terseleksi perbidang ilmu sesuai program studi di fakultasnya kemudian dijadikan satu hasil download tersebut dengan menggunakan program Mendeley. Dengan demikian setiap langganan yang sudah habis pada akhir tahun, perpustakaan perguruan tinggi tersebut tidak perlu bingung. Kenapa ?. Hal ini karena sudah mempunyai file hasil download dari berbagi bidang disiplin ilmu yang capaian keluarnya hasil download tersebut dapat disebar sehingga dapat diakses kembali oleh
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
29
semua civitas akademik di perguruan tinggi tersebut. Selain itu, dengan menghimpun Penelusuran Informasi Terseleksi (PIT) melalui e-journals, maka bisa menjadi ladang angka kredit bagi pustakawan pada setiap topik yang disajikan. Upaya Pemanfaatan Jika setiap pemustaka ditanya alasan menggunakan e-resources pasti jawabannya sangat beraneka. Misalnya: lebih efisien operasional penelusurannya, menghemat waktu karena tidak banyak memakan waktu untuk mengakses, mudah digunakan, lebih modern, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui kondisi nyatanya seperti apa maka perlu dilakukan kajian tentang pemanfaatan e-resources tersebut. Hal ini bisa diukur misalnya dari: usability, pengembangan resource internal yang dimiliki, pengadaan e-resources dari luar, usage dan impact factor, penggunaan e-resources, maupun infrastruktur pendukung e-resources. Oleh karena sumber informasi elektronik, maka perangkat komputer menjadi hal yang wajib sehingga pengelolaan e-resources mensyaratkan dukungan TIK dan tersedianya pengelola e-resources yaitu pustakawan yang kompeten di bidang TIK.
30
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Orang menggunakan teknologi informasi tentu disebabkan karena pertimbangan akan kemudahan baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya. Bagi pemustaka yang usia muda pasti senang sekali dengan mengakses model e-resources, apalagi dalam mencari informasi kecenderungan budaya mereka menginginkan yang serba instan. Namun demikian, pemustaka yang generasi tua menjadi masalah tersendiri, karena bisa jadi mereka malah alergi dan trauma dengan akses secara elektronik. Generasi tua seperti ini malah cenderung senang dan menikmati jika membaca secara hastawi dan membuka koleksi lembar demi lembar. Memang tidak mudah bagi sebuah perpustakaan untuk mengerti apa yang dibutuhkan dan diharapkan pemustakanya, terlebih era TIK seperti ini. Beberapa upaya yang perlu diupayakan oleh perpustakaan dalam rangka memanfaatkan e-resources perpustakaan, antara lain: 1. Dibutuhkan keterampilan (skills) pustakawan yang mengelola e-resources, misalnya: user/staff interfacing, knowledge of traditional and automated reference sources, information retrievel, maupun organizational skills. 2. Dukungan infrastruktur, lingkungan, dan perhatian dari lembaga induk perpustakaan, baik yang menyangkut anggaran, kebijakan pengembangan, maupun kesamaan pola pikir tentang pengembangan e-resources. 3. Perlunya pendidikan pemakai perpustakaan dari
pengenalan jenis maupun bentuk e-resources yang ada sampai pada cara akses dan pemanfaatannya (instructional). Hal ini penting karena bisa jadi memang masyarakat pemakainya memang tidak tahu menahu tentang apa itu e-resources. 4. Perpustakaan harus gencar mempromosikan ketersediaan e-resources yang dimiliki perpustakaannya maupun perpustakaan lain melalui media, antara lain: brosur, poster, papan pengumuman, maupun upload melalui website perpustakaan. 5. Aspek hukum, regulasi, dan kebebasan akses informasi yang beretika dalam pemanfaatan e-resources, sehingga perilaku plagiat dapat dihindari. Bagaimanapun keberadaan e-resources memang mempermudah akses informasi, namun yang perlu diingat oleh pemustaka bahwa boleh dan sah-sah saja mengutip asal sumbernya dicantumkan sehingga terhindar dari unsur plagiat. 6. Perubahan mindset dan paradigma pemustaka tentang sumber informasi elektronik. Pengaruh terpaan TIK dan segala aspek yang berkaitan dengan e-resources secara perlahan tapi pasti akan mengubah pola pikir, sikap dan perilaku pemustaka. Apakah itu dilihat dari cara akses, cara menyimpan, sampai pada cara berbagi informasi.
7. Pemustaka butuh kemampuan dasar untuk menelusur sumber informasi elektronik (basic information skill), baik yang menyangkut hardware maupun software. Hal ini menjadi sesuatu yang wajib karena pemustaka yang tidak memiliki kemampuan dasar menelusur berdampak pada tingkat ketepatan hasil informasi yang diperolehnya. 8. Secara teknis, perlu bimbingan kepada pemustaka tentang ketepatan query yang akan dirumuskan. Maksudnya query adalah istilah (terms) yang dirumuskan oleh pencari informasi untuk dimasukkan dalam sistem untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Hal ini penting karena ketepatan rumusan query menjadi sangat menentukan hasil penelusuran yang diperoleh. Penutup E-resources menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk meningkatkan budaya akademik. Pemanfaatannya untuk mendukung penelitian, pengajaran, dan pembelajaran bagi pemustaka. Adanya e-resources maka transfer ilmu pengetahuan dari sumber informasi kepada pemustaka menjadi lebih cepat. Pengelolaan e-resources membutuhkan tenaga pustakawan yang kompeten sedangkan pemanfaatan e-resources juga mensyaratkan kemampuan dasar penelusuran informasi bagi pemustakanya.
daftarpustaka Advantages & Disadvantages of E-Resources. Tersedia dalam http://asuleimany.blogspot. com/ 2012/03/advantagesdisadvantages-of-e-resources. html [diakses 30 November 2013]. Armstrong, E. Alan, et.al. Electronic Resources Access: Issues and Resolutions in Two Academic Libraries. Tersedia dalam https://research.wsulibs.wsu. edu:8443/xmlui/ bitstream/ handle/2376/2025/Armstrong%20 Electronic%20resources. pdf?sequence=1 [diakses 30 November 2013]. Chowdhury, G.G. dan Chowdhury, S. 2001. Searching CD-ROM and Online Information Sources. London: Library Association Publishing. Crum, Janet A. 2008. “One-Stop Shopping for Journal Holdings”. Dalam Electronic Resource Management in Libraries: Research and Practice, hal. 213-234. Tersedia di www.ohsu.edu/library/staff/ crumj/.../article.pdf [diakses 30 November 2013].
Perpustakaan Nasional RI. Dalam http://e-resources.pnri.go.id/ [diakses 30 November 2013]. Evans, G. Edward dan Sandra M. Heft. 1994. Introduction to Technical Services. Library Science Text Series. Sixth edition. Colorado: Librarien Unlimited, Inc. Gladney, Henry M. 2007. Preserving Digital Information. USA: Springer. Harvey, Ross. 2005. Preserving Digital Materials. Munchen: K.G. Saur. Johnson, Sharon, et.al. 2012. “Key Issues for e-Resource Collection Development: A Guide for Libraries”. Acquisition and Collection Development Section. January. IFLA.
Sethi, Bipin Bihari dan Panda, K.C. 2011. “Use of E-Resources by Life Scientists: A Case Study af Sambalpur University, India”. Libray Philosophy and Practice (LPP). Dalam http://unllib.unl.edu/LPP/ [diakses 30 November 2013]. Sharma, Chetan. 2009. “Use Impact of E-Resources at Guru Gobind Singh Indraprastha University (India); A Case Studi”. Electronic Journal of Academic and Special Librarianship. Spring. Vol.10 (1). Wical, Stephanie H. 2009. “The Need for Electronic Resource Management Systems in Libraries”. Dalam E-Journals Access and Management. Wayne Jones (editor). New York: Routledge.
Noh, Younghee. 2009. “A Study on Developing Evaluation Criteria for Electronic Resources in Evaluation Indicators of Libraries.” The Journal of Academic Librarianship, Volume 36, Number 1, p.41-52.
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
31
Oleh: Tupan1 Email :
[email protected]
Penelusuran Informasi Dokumen Paten Secara Online melalui Sumber Informasi Global Abstrak Paten merupakan sumber informasi mencakup bidang teknologi secara khusus memuat teknologi yang paling mutakhir. Informasi Paten, dapat membantu dalam mengambil keputusan untuk melakukan penelitian dan pengembangan terhadap proses atau produk baru sebelum mengajukan permohonan paten atau memasarkannya. Informasi paten memiliki arti dan peran yang sangat penting, bahkan strategis. Informasi yang terkandung dalam dokumen paten meliputi deskripsi, gambar-gambar dan klaim/ tuntutan. Informasi dokumen paten secara online dapat ditelusuri melalui sumber informasi gobal melalui kantor paten di dunia yang menyediakan informasi specifikasi paten adalah kantor paten AS (USPTO), Jepang (JPO), Eropa (EPO) dan WIPO (PCT). Untuk paten yang didaftarkan di Indonesia dapat ditelusuri melalui situs dgip.go.id. Dokumen paten dapat ditelusuri melalui quick search, advanced search, number search, maupun classification search. Tulisan ini menyajikan cara menelusur dokumen paten melalui sumber informasi global. Kata kunci: Penelusuran informasi, Paten, Informasi global
Pendahuluan 1. Pengertian Paten Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, selama waktu tertentu untuk melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1 ayat 1). Sementara itu, arti Invensi dan Inventor adalah: Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ayat 2) Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide dituangkan ke dalam kegiatan yang
(Pustakawan Madya di PDII-LIPI)
1
32
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, pasal 1 ayat 3)
Istilah paten berasal dari kata “patent” (Inggris, yang diturunkan dari bahasa latin “petere” berarti to be open” atau terbuka. Maksudnya adalah, inventor harus membuka invensi (penemuannya) secara lengkap dalam bentuk dokumen yang dipublikasi sehingga pembaca tahu persis yang telah ditemukan oleh inventor. Sebagai imbalannya, pemerintah dimana paten tersebut didaftarkan memberi hak monopoli untuk jangka waktu tertentu bagi inventor. Hak monopoli tersebut disebut sebagai paten. Dalam Undang - Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2001 tentang paten (UUP), invensi yang dimaksud adalah yang merupakan kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau
penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. Istilah invention telah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia menjadi invensi, sebagai pengganti istilah penemu pada UUP.
terdapat perbedaan dalam menangani subjek yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, di Amerika Serikat, metode bedah dapat dipatenkan, namun hak paten mendapat pertentangan dalam prakteknya. Mengingat sesuai prinsip sumpah Hipokrates (Hippocratic Oath), dokter wajib membagi pengalaman dan keahliannya secara bebas kepada koleganya. Sehingga pada tahun 1994, The American Medical Association (AMA) House of Delegates mengajukan nota keberatan terhadap aplikasi paten ini.
Saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang diikuti hampir semua negara. Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor Paten Eropa, yang jika sukses, sang pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten (hingga 36 paten, masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang berlaku di seluruh wilayah Eropa (http://id.wikipedia.org/wiki/Paten). Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya. Khusus sel punca embrionik manusia (human embryonic stem) tidak bisa dipatenkan di Uni Eropa. Kebenaran matematika, termasuk yang tidak dapat dipatenkan. Software yang menerapkan algoritma juga tidak dapat dipatenkan kecuali terdapat aplikasi praktis (di Amerika Serikat) atau efek teknikalnya (di Eropa). Saat ini, masalah paten perangkat lunak dan metode bisnis masih merupakan subjek yang sangat kontroversial. Amerika Serikat dalam beberapa kasus hukum di sana, mengijinkan paten untuk software dan metode bisnis, sementara di Eropa, software dianggap tidak bisa dipatenkan, beberapa invensi yang menggunakan software masih tetap dapat dipatenkan. Paten yang berhubungan dengan zat alamiah (misalnya zat yang ditemukan di hutan rimba) dan juga obat-obatan, teknik penanganan medis dan juga sekuens genetik, termasuk juga subjek yang kontroversial. Di berbagai negara,
Di Indonesia, syarat hasil temuan yang akan dipatenkan adalah baru (belum pernah diungkapkan sebelumnya), mengandung langkah inventif (tidak dapat diduga sebelumnya), dan dapat diterapkan dalam industri. Jangka waktu perlindungan untuk paten biasa adalah 20 tahun, sementara paten sederhana adalah 10 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Untuk memastikan teknologi yang diteliti belum dipatenkan oleh pihak lain dan layak dipatenkan, dan dilakukan penelusuran dokumen paten. Ada beberapa kasus khusus penemuan yang tidak diperkenankan mendapat perlindungan paten, yaitu proses/produk yang pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan, metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan, serta teori dan metode di bidang matematika dan ilmu pengetahuan, yakni semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis penting untuk produksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikro-biologis (http://id.wikipedia.org/wiki/Paten). 2.
Fungsi Paten 2.1. Memberikan Perlindungan Hukum atas setiap karya intelektual di bidang teknologi, sehingga terjamin hak kepemilikan pemegang paten. 2.2. Mewujudkan iklim yang lebih baik bagi kegiatan invensi di bidang teknologi, teknologi memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor industri. 2.3. Memberikan insentif bagi para inventor dalam melakukan inovasi baru melalui hak eksklusif atas invensi yang dihasilkannya. 2.4. Sarana pengungkapan terbuka mengenai informasi teknologi terkini yang dipatenkan,
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
33
paten apakah dalam bentuk hard copy maupun digital (Pancoro, Adi, 2002)
sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya untuk penyempurnaan dan pengembangan teknologi lebih lanjut. Penelusuran Informasi Dokumen Paten a. Manfaat Informasi Paten Sebuah invensi atau penemuan adalah suatu ide yang memberikan jawaban praktis terhadap masalah spesifik pada bidang teknologi. Invensi secara karakteristik dilindungi oleh paten atau juga dapat dikatakan paten untuk invensi. Setiap negara memberikan perlindungan legal terhadap invensi dan ada kurang lebih 140 negara yang memberikan perlindungan melalui paten. Tetapi tidak semua invensi dapat dipatenkan, secara umum hukum membutuhkan bahwa untuk dapat dipatenkan memenuhi kriteria, invensi harus baru (novelty) memiliki unsur inventive step dan harus industrially applicable. Dan diperkirakan lebih dari 37 juta dokumen paten yang telah dipublikasikan diseluruh dunia dan akan bertambah sangat nyata untuk tiap tahunnya.
Paten adalah jenis perlindungan HaKI untuk inovasi teknologi. Fungsi dasar dan peran sistem paten adalah sederhana dan beralasan. Dasarnya adalah kepentingan publik untuk dapat meningkatkan teknik industrial dari waktu ke waktu. Paten memberikan hak eksklusif kepada pemegang paten untuk mengontrol penggunaan penemuan di negara tempat paten tersebut diberikan dan penemuan tersebut terpublikasikan di kantor paten dalam bentuk dokumen yang dapat dibaca atau diakses oleh masyarakat luas. Selain itu memungkinkan pemegang paten untuk melarang pihak lain menggunakan penemuan yang telah dipatenkan tersebut tanpa izin darinya, atau jika ada pihak lain ingin menggunakan paten tersebut dapat meminta izin melalui proses lisensi atau lisensi yang diberikan oleh pemilik paten. Hukum telah mengatur bahwa hak eksklusif diberikan maksimal selama 20 tahun perlindungan. Haknya akan menjadi publik domain atau kadaluarsa jika masa perlindungan telah habis atau dalam masa perlindungan si pemilik paten tidak memenuhi persyaratan administrasi dalam membayar perawatan perlindungan setiap tahunnya. Biasanya dokumen paten dapat diperoleh pada kantor paten dimana paten tersebut diberikan perlindungan (US paten office, Japan paten office, Direktorat Jenderal HKI Indonesia) atau melalui pihak lain yang memberikan layanan jasa dalam informasi
34
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Dokumen paten memberikan informasi teknik yang terbaru, oleh sebab itu penemu selalu mencoba untuk mendaftarkan penemuannya segera mungkin pada kantor paten. Informasi yang ada dalam dokumen paten umumnya mengandung dua tipe informasi yaitu informasi bibliografi dan informasi teknik. Informasi bibliografi secara umum meliputi; tanggal pendaftaran aplikasi dokumen paten, nama inventor, pemilik, klasifikasi paten (IPC), judul penemuan, abstrak diskripsi penemuan termasuk gambar atau formula kimia jika ada dan lain-lain (untuk lebih detail dapat lihat WIPO standard ST.9). Sedangkan informasi teknik dalam dokumen paten meliputi diskripsi singkat the state of the art dari teknologi yang diketahui oleh inventor. Detail diskripsi invensi, jika ada satu atau lebih gambar yang menerangkan tentang penemuan dan klaim atas penemuan atau ruang lingkup proteksi yang didefinisikan (Pancoro, Adi, 2002). Menurut Kamil Idris, 2008 pada umumnya dokumen paten yang diterbitkan kantor paten di setiap Negara anggota WIPO mempunyai keseragaman dalam hal format yang mencatumkan judul, nama dan alamat inventor, nama dan alamat pemegang hak, nomer pendaftaran, tanggal pendaftaran, tanggal diberikan, abstrak, bibliografi dan simbol klasifikasi. Berdasarkan format informasi paten tersebut di atas, isi dokumen paten dapat dimanfaatkan oleh peneliti maupun pelaku bisnis untuk: 1. Solusi masalah teknologi. 2. Mencari teknologi alternative dan sumbernya. 3. Efisiensi, menghindari duplikasi kegiatan R&D. 4. Menghindari pelanggaran paten. 5. Eksploitasi paten-paten yang kadaluarsa. 6. Eksploitasi paten-paten asing yang tidak terdaftar di Indonesia. 7. Melihat tren teknologi. 8. Kemungkinan menjadi lisensor.
b.
Sumber Informasi Paten Paten merupakan sumber informasi yang mencakup setiap bidang teknologi dalam dokumen paten/ informasi paten, secara khusus memuat teknologi mutakhir. Informasi Paten, dapat membantu membuat keputusan ketika memilih strategis untuk melakukan penelitian dan pengembangan terhadap proses atau produk baru sebelum mengajukan
permohonan paten atau memasarkannya. Oleh karenanya, informasi paten memiliki arti dan peran yang sangat penting, bahkan strategis. Informasi yang terkandung dalam dokumen paten meliputi deskripsi, gambar-gambar dan klaim/tuntutan. Informasi paten dunia dapat ditelusuri melalui alamat web berikut. 1. http://www.wipo.int/classifications/ipc/en 2. http://www.wipo.int/patentscope 3. http://ep.espacenet.com 4. http://gb.espacenet.com 5. http://www.uspto.gov/patents/process/search/ index.jsp 6. http://pericles.ipaustralia.gov.au/ols/auspat/ welcome.do 7. http://depatisnet.dpma.de/DepatisNet/ depatisnet? 8. http://brevets-patents.ic.gc.ca/opic-cipo/cpd/eng/ introduction.html 9. http://www.chinatrademarkoffice.com/index.php/ ptsearch 10. http://www.prv.se/spd/search?lang=en 11. http://www.irossco.com/patentsearching.htm 12. http://www.google.com/patents 13. http://www.freepatentsonline.com/ 14. http://www.patentretriever.com/ 15. http://eng.biopatent.cn/patdown.html
Metode Penelusuran Paten a. Strategi penelusuran Penelusuran informasi paten merupakan bagian dari proses untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Proses tersebut mencakup: mencari, menyeleksi dan memilih informasi yang diperlukan dari sekian banyak informasi yang diterbitkan. Oleh karena itu, penelusur perlu membuat strategi penelusuran agar tidak tersesat sewaktu menelusuri informasi. Selain strategi, seorang penelusur juga harus mempunyai bekal sebagai berikut. 1. Memiliki daya imajinasi yang tinggi, mampu mengarahkan ke sumber-sumber informasi. 2. Memiliki keluwesan mental, yaitu mampu menyesuaikan diri dengan adanya ide baru dan kemungkinan baru muncul pada waktu penelusuran berjalan. 3. Cermat, artinya tidak melewatkan informasiinformasi penting. 4. Teratur, artinya mencatat apa yang diperoleh dan dimana informasi ditemukan.
5. Tekun, artinya tidak mudah menyerah dan tidak lekas putus asa apabila informasi yang dicari tidak ditemukan. 6. Awas, artinya mampu menemukan petunjukpetunjuk baru. 7. Tajam, artinya mampu memutuskan pilihan informasi. 8. Teliti 9. Tidak malu bertanya. b.
Teknik Penelusuran Informasi Penelusuran informasi paten dapat dilakukan dengan operasi boolean yang meliputi : 1. Operator “OR” (+) Digunakan untuk menemukan suatu topik dan sinonimnya. Misalnya, untuk menemukan paten mengenai alkohol, ketiklah: alkohol+etanol. 2. Operator DAN (*) Operator DAN (dinyatakan dengan *) digunakan untuk menemukan suatu topik dan subtopik. Misalnya, untuk menemukan literatur mengenai kandungan kimia pepaya, ketiklah : kandungan*kimia*papaya. 3. Operator BUKAN (dinyatakan dengan ^) Digunakan untuk menemukan suatu topik tertentu. Misalnya, untuk Menemukan literatur tentang pabrik, tetapi bukan pabrik benzen, ketiklah: pabrik^benzene.
Strategi dan teknik penelusuran yang harus dikuasai dan diketahui oleh seorang penelusur khususnya dalam penelusuran paten yaitu : 1. Dokumen paten dapat ditelusuri dengan beberapa cara yang bervariasi. Cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan kata kunci. Pada umumnya situs web menyediakan fasilitas penelusuran yang beragam. Sebagai contoh, Kantor Paten Eropa http:// ep.espacenet.com memiliki fitur penelusuran quick search, advanced search, number search, maupun classification search. 2. Penggunaan kata kunci yang sama di saat melakukan penelusuran paten dan penelusuran publikasi dapat memberikan manfaat ganda. Dalam perspektif kajian akademik, peneliti dapat memperoleh informasi state of the art dalam ranah kajiannya. Adapun dalam perspektif paten, peneliti dapat memfokuskan kajiannya kepada fitur esensial baru yang belum diklaim oleh inventor terdahulu (Yahya, Iwan , 2010).
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
35
c.
Tahapan penelusuran 1. Gunakan situs: http://paten-indonesia.dgip.go.id/ Ketik kata kunci: Kursi putar
Tampilan hasil penelusuran
Ketik nomer paten
36
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Tampilan hasil penelusuran berdasarkan nomer paten
2. Gunakan situs http://patentscope.wipo.int/search/en/search.jsf Ketik kata kunci: Biodiesel
Tampilan hasil penelusuran
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
37
3. Gunakan Situs http://ep.espacenet.com
Ketik kata kunci: Contoh plastic and recycle
Tampilan hasil penelusuran: Plastic and recycle
38
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Untuk mendapatkan full text klik original document
4. Gunakan Situs: http://patft.uspto.gov Ketik kata kunci: Contoh Coconut oil
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
39
Tampilan hasil penelusuran: Coconut oil
Tampilan full text hasil penelusuran
Ketik nomer paten : 6,391,120
40
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Tampilan hasil penelusuran berdasarkan nomer paten
5. Gunakan Situs: http://www.google.com/patents Ketik kata kunci: Biofuel
Tampilan hasil penelusuran
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
41
Untuk mendapatkan full text klik download pdf
Tampilan full text
42
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
6. Gunakan situs: http://www.freepatentsonline.com/search.html Ketik kata kunci: Geothermal
Tampilan hasil penelusuran
Untuk mendapakan full text klik pdf
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
43
Tampilan full text
7. Gunakan Situs: http://www.patentlens.net/ Ketik kata kunci: Biofuel
44
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Tampilan hasil penelusuran
Untuk mendapatkan full text klik pdf
Tampilan full text
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
45
Penutup 1. Dengan mengetahui sumber-sumber informasi paten global, pemustaka dapat menelusur informasi paten dan membacanya dengan mudah dan cepat. 2. Paten dapat ditelusuri melalui fasilitas penelusuran quick search, advanced search, number search, maupun classification search. 3. Dokumen paten yang diterbitkan oleh kantor paten negara anggota WIPO mempunyai keseragaman dalam hal format yang mencatumkan judul, nama dan alamat inventor, nama dan alamat pemegang hak, nomer pendaftaran, tanggal pendaftaran, tanggal diberikan,
abstrak, bibliografi dan simbol klasifikasi. 4. Informasi Paten, dapat membantu dalam membuat keputusan strategis untuk melakukan penelitian dan pengembangan terhadap proses atau produk baru sebelum mengajukan permohonan paten atau memasarkannya. 5. Dengan penelusuran dapat diketahui paten yang telah habis masa perlindungannya. 6. Paten yang telah habis masa perlindungannya dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil dan menengah dalam rangka memajukan usaha bisnisnya.
daftarpustaka Direktorat Jenderal Hak Kekayan Intelektual. Database Paten Indonesia http://paten- indonesia.dgip.go.id/psearch. Akses tanggal 28 Agustus 2013 Idris, Kamil. 2008. Penemuan Masa Depan: Pengantar Paten Untuk Usaha Kecil dan Menengah. World Intellectual Property Organization. Pancoro, Adi. 2002. HaKI dan Peranan Digital Library dalam Memanfaatkan Kekayaan Intelektual. Seminar Pertemuan Tahunan Ketiga : Indonesian Digital Library Network. 11-13 April 2002, Bandung
46
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Paten. http://id.wikipedia.org/wiki/Paten. Akses tanggal 28 Agustus 2013 Yahya, Iwan. 2010. Penelusuran Patent untuk Kepentingan Penelitian Inovatif. Surakarta: Grup Riset Akustik dan Fisika Terapan (iARG), Jurusan Fisika FMIPA UNS Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia. WorldIntellectual Property Organizationa. Patent Scope. http://patentscope.wipo.int/search/en/search.jsf. Akses tanggal 27 Agustus 2013
Oleh: Lis Setyowati1 Email:
[email protected]
Pelajaran dari Starbucks untuk Perpustakaan Abstrak Kehidupan masyarakat berubah secara dinamis. Ketika kehidupan pribadi semakin terkungkung oleh kegiatan individual dan ruang publik untuk bersosialisasi semakin terbatas, aktivitas orang untuk berinteraksi dengan orang lain tidak semakin surut. Ini terlihat dari maraknya budaya hangout di kalangan masyarakat urban. Coffee shop seperti Starbucks sebagai tempat hangout menjadi semakin dekat dengan kehidupan masyarakat. Kedekatan masyarakat urban dengan coffee shop ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan tempat alternatif untuk menghabiskan waktu, selain kantor dan rumah. Fenomena ini kiranya bisa menjadi bahan refleksi bagi perpustakaan untuk dapat mengembangkan diri agar bisa tetap relevan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kata kunci: perpustakaan, tempat ketiga, third place
Pendahuluan Perpustakaan tengah berada dalam pusaran dinamika sosial yang semakin menantang sekarang ini. Berbagai perubahan dalam masyarakat menuntut perpustakaan untuk mampu tampil luwes agar ia senantiasa terus dapat diterima. Hal ini pula yang menjadi tantangan perpustakaan perguruan tinggi, yang dituntut untuk mampu memainkan perannya dalam mendukung pencapaian Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan tetap memberikan layanan yang relevan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat penggunanya. Ia dituntut untuk peka dan mampu bertindak, tidak hanya responsif melainkan juga antisipatif terhadap berbagai perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan yang ada dalam masyarakat tercermin dari berbagai keinginan dan kebutuhan para pengguna perpustakaan. Keinginan dan kebutuhan pengguna ini kini semakin mendapat perhatian perpustakaan, yang kian lama semakin menyadari pentingnya layanan yang
berorientasi kepada pemustaka. Hal ini tentu menjadikan keinginan dan kebutuhan pengguna mendapatkan posisi kian utama dalam penyediaan layanan kepada pemustaka. Keinginan dan kebutuhan masyarakat pengguna ini dapat dikaji melalui berbagai hal yang tersurat maupun tersirat dari perilaku mereka. Berbagai trend yang berlaku dalam masyarakat dewasa ini kiranya dapat digunakan sebagai sarana untuk menganalisis perubahan gaya hidup masyarakat saat ini dan kecenderungannya di masa mendatang. Salah satu gaya hidup yang cukup menarik untuk diamati adalah maraknya budaya hangout, atau yang biasa disebut nongkrong. Tengok saja beberapa tempat yang memfasilitasi gaya hidup ini, misalnya coffee shops seperti Starbucks yang sekarang semakin dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat urban. Jumlahnya semakin banyak dan pengunjungnya semakin meningkat.
(Pustakawan Pertama di Fakultas Teknik UNDIP)
1
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
47
Keberadaan tempat seperti ini patut disimak dengan seksama dan bisa menjadi bahan pembelajaran bagi perpustakaan untuk mengembangkan diri. Untuk itu, tulisan ini membahas trend Starbucks dan pembelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini untuk pengembangan perpustakaan. Fenomena Hangout Perpustakaan kini dihadapkan pada banyak fenomena sosial. Di lingkungan mikro banyak perpustakaan di luar negeri maupun di Indonesia memiliki masalah penurunan jumlah pengunjung perpustakaan secara fisik. Di Inggris misalnya, dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah pengunjung perpustakaan umum yang cukup signifikan. Hal ini mengakibatkan ditutupnya beberapa perpustakaan (BBC, 2013). Sementara itu, di Indonesia, gambaran tentang penurunan pengunjung perpustakaan dapat dilihat dari data jumlah pengunjung perpustakaan tahun 2006, yakni sebanyak 4,70 juta orang yang turun menjadi 4,43 juta, pada tahun berikutnya dan kian turun pada tahun 2008 menjadi 4,42 juta orang (Sumut Pos, 2012). Bila ditelisik lebih jauh, fenomena ini tentu tidak lepas dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan makro perpustakaan, yakni lingkungan di mana perpustakaan berada dalam skala yang lebih luas. Masyarakat memasuki era modern, yang ditandai dengan munculnya budaya konsumtif. Ini dapat dilihat dari gaya hidup masyarakat, yang berpengaruh kepada pilihannya akan berbagai hal, baik produk, jasa ataupun aktivitas individu. Salah satu pilihan yang terlihat cukup menonjol sekarang ini adalah budaya hangout. Budaya ini menjadi aktivitas yang semakin lama semakin mendapat tempat di kalangan masyarakat kita. Tempat-tempat hangout semakin merebak dan kian dekat dengan kehidupan masyarakat (Herlyana, 2012). Sedemikian dekat sehingga menimbulkan konsep coffice. Coffice merupakan konsep dimana coffee shop dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang biasanya dilakukan di kantor (Title, 2013). Coffee shop tidak hanya menjadi ajang pertemuan bisnis, tapi juga menjadi tempat nyaman bagi “mobile workers,” bahkan menjadi tempat nyaman untuk menghabiskan waktu dengan rekan selepas kerja, sebelum pulang ke rumah. Di kalangan remaja pun, kegiatan “nongkrong” juga menjadi hal yang semakin mudah ditemui. Keberadaan
48
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
minimarket yang mengadopsi konsep kafe bahkan semakin digandrungi. Ini bisa dilihat dari keberadaan minimarket seperti “Circle K” yang menawarkan jam layanan yang panjang, tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu bersama teman, ditunjang dengan fasilitas Wifi yang menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjungnya. Hal-hal di atas tentu menjadi hal menarik untuk dicermati dan dikaitkan dengan dunia perpustakaan. Kiranya ada yang patut dilihat, terutama tentang bagaimana menciptakan suatu tempat dengan daya tarik bagi masyarakat modern dewasa ini. Hal ini dapat membantu kita dalam menentukan langkah yang bisa dilakukan dalam menyikapi perubahan dinamis seperti yang terjadi sekarang ini, dan merumuskan konsep yang bisa digunakan oleh perpustakaan dalam memberikan layanan kepada penggunanya. Tempat selain Rumah dan Kantor Maraknya kemunculan tempat hangout dan semakin meningkatnya pengunjung tempat-tempat serupa merupakan hal yang menarik untuk diamati. Fenomena ini relevan dengan pemikiran Ray Oldenberg, seorang sosiolog berkebangsaan Amerika, yang melihat pentingnya tempat-tempat yang bisa menjadi wahana dimana orang bisa berkumpul dan mengadakan aktivitas informal. Beliau menyebut tempat-tempat demikian sebagai “third place”, yakni tempat ketiga yang menjadi sarana dimana seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain, selain rumah dan kantor. Rumah dianggap sebagai tempat pertama (first place) dan kantor dianggap sebagai tempat kedua (second place). Kantor merupakan tempat publik yang berkesan formal dan profesional, sedangkan rumah merupakan tempat dimana orang bisa bersantai, merasa nyaman dan merasakan kedekatan emosional dengan orang lain. Selain kedua tempat ini, orang membutuhkan suatu tempat pertemuan informal, yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka, sebagai tempat dimana ia bisa berkumpul dengan orang lain. Di negara kita, hal ini bisa dijumpai dalam bentuk tradisional seperti warung kopi ala Aceh dan tempat angkringan. Keberadaan third place semakin penting dewasa ini. hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat itu sendiri. Sejalan dengan berkembangnya masyarakat urban, maka banyak orang yang merasa terisolasi. Rutinitas kehidupan yang dijalani dan diperparah dengan lansekap kota yang belum bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan “third place” menjadikan
sarana lain yang bisa mengakomodasi kebutuhan ini menjadi hal yang diterima dengan responsif oleh masyarakat (Morris, Douglas E, 2005). Wajar saja bila warung kafe seperti Starbucks menjadi tempat yang selalu ramai dikunjugi orang, karena ia menjalankan prinsip “third place” dalam pemasaran (Starbucks,2013). Third Place sebagai prinsip pemasaran “Third place” merupakan konsep yang bisa diaplikasikan dalam dunia pemasaran. Keberhasilan pemasaran Starbucks, misalnya, tak lepas dari upaya menerapkan “third place”. Konsep ini pada hakikatnya mengusung karakteristik “tempat ketiga”, yakni: - Tempat yang netral (Neutral ground) Third place merupakan tempat yang selalu terbuka terhadap pengunjung. Mereka merasa bebas untuk datang dan pergi tanpa harus terbebani peran sebagai tuan rumah sebagaimana bila mereka kedatangan tamu ataupun sebagai tamu manakala ia berkunjung ke suatu tempat. Kebebasan ini memberikan rasa nyaman layaknya kenyamanan tinggal di rumah sendiri. - Menciptakan masyarakat tanpa kelas (Leveler) Status sosial dan ekonomi bukanlah hal yang penting di tempat ini. Kedua hal ini bukanlah hal yang mendominasi dalam interaksi yang terjadi diantara para pengunjung. Selain itu tidak ada aturan khusus untuk bergabung dalam tempat seperti ini. - Percakapan menjadi kegiatan utama (Conversation is the Main Activity) Tempat yang terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang kelas sosial dan ekonomi, memberikan atmosfir yang nyaman bagi orang melakukan interaksi sosial. Ini terjadi melalui percakapan antar pengunjung. Mereka bebas berbincang tanpa kekhawatiran dalam mengeluarkan pendapat berdasarkan posisi dalam strata sosial masyarakat. Perbincangan “gayeng/hidup” terjadi manakala orang bebas membicarakan berita terbaru, bertukar pikiran, bahkan melontarkan lelucon. Perbincangan diantara pengunjung inilah yang menjadi “nyawa” bagi tempat ketiga. - Aksesibilitas dan keluwesan(Accessibility & Accommodation) Idealnya, tempat ketiga menjadi tempat yang sangat mudah dijangkau dan nyaman bagi para pengunjung. Tempat ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan pengunjung, dengan menawarkan “waktu rehat” ketika orang berusaha melupakan sejenak kewajiban di kantor atau di sekolah maupun perannya di rumah. Tempat pelarian
-
-
-
-
seperti ini mendorong orang untuk berkunjung secara rutin. Pengunjung rutin (The Regulars) Ada pengunjung yang datang secara rutin dan menjadi pelanggan tetap. Mereka ini dapat menarik orang lain untuk datang dan juga memberikan warna dan “mood” kepada tempat tersebut. Bersahaja (A Low Profile) Idealnya “third place” nyaman tanpa harus tampil dengan kemewahan yang dibuat-buat. Ia tampil apa adanya, dengan demikian orang tidak akan ragu untuk datang dengan ukuran kepantasan diri. Menimbulkan mood yang ceria (The Mood is Playful) Tempat ini memungkinkan orang untuk melakukan aktivitas yang bersifat fun. Orang bisa melakukan kegiatan yang bersifat bermain, ringan, dan bahkan perbincangan pun karena sedemikian hangat dan dekat, maka candaan yang sedikit tajam dan ketus, menjadi bumbu dan menjadi hal yang lazim ditemui. Rumah yang jauh dari rumah (A Home Away from Home) Tempat ini mampu memberikan perasaan “seperti di rumah sendiri”. Ia menawarkan kehangatan, dan perasaan kebersamaan. Mereka yang menjadi pelanggan tetap akan merasakan bahwa ini menjadi rumah kedua bagi mereka. (Oldenberg, 1989).
Menjadikan Perpustakaan perguruan tinggi sebagai Tempat Ketiga Perpustakaan dahulu sering disebut sebagai rumah kedua (Mustofa, 2003). Hal ini terkait dengan harapan agar perpustakaan dapat menjadi tempat yang dekat dengan kehidupan para penggunanya, dimana pengguna merasakan kenyamanan untuk tinggal di perpustakaan, layaknya di rumah sendiri. Namun konsep tersebut tidak bisa menjawab tantangan yang ada sekarang ini. Perubahan dalam masyarakat menuntut perpustakaan, terutama perpustakaan perguruan tinggi, untuk dapat mengadopsi konsep lain yang kiranya lebih relevan untuk diterapkan. Menjadikan perpustakaan perguruan tinggi sebagai tempat ketiga (third place) kiranya kini menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Penerapan konsep “third place” telah terbukti membawa perubahan signifikan terhadap perpustakaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil beberapa studi, yang menunjukkan bahwa pengembangan “third place” telah mendorong lebih banyak pengunjung untuk datang ke perpustakaan, misalnya di University of Flinders, Australia (Davie, Harris dan Bin, 2010); perpustakaan The Du Bois Library, Universitas Massachussetts Amherst
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
49
(University of Massachussetts Amherst, 2006); serta perpustakaan University of Nebraska Kearney (Wilke, 2011). Hasil kajian di atas sekaligus membuktikan bahwa penerapan konsep “third place” membawa manfaat bagi pengembangan perpustakaan, agar keberadaannya tetap relevan untuk menjawab kebutuhan pemustaka dan tidak ditinggalkan oleh penggunjungnya.Tidak hanya itu, penerapan konsep ini dapat membantu membentuk citra baru perpustakaan yang lebih modern, lebih segar dan lebih santai (casual). Dengan branding demikian, diharapkan pemustaka bisa lebih dekat dengan perpustakaan. Penerapan “third place” juga memberikan manfaat sekaligus peluang bagi perpustakaan untuk bisa memainkan peran lebih besar dalam pengembangan budaya akademis di lingkungan perguruan tinggi. Dengan atmosfir yang mendorong adanya interaksi sosial diantara pemustaka maka kohesivitas sosial diantara para sivitas akademika akan meningkat. Peningkatan kohesivitas sosial ini akan mempermudah orang bertukar gagasan, berbagi inspirasi, dan mendorong budaya kolaborasi diantara sivitas akademika. Dilihat dari sisi pemustaka sendiri, penerapan konsep “third place” memberikan kesempatan mereka untuk lebih memanfaaatkan perpustakaan. Mereka dapat lebih mengeksplorasi perpustakaan manakala menemukan atmosfir yang terbuka (wellcoming) (Pennington, 2012). Atmosfir seperti ini menjadi magnet bagi pengunjung yang membutuhkan tempat dengan suasana berbeda ataupun bagi mereka yang membutuhkan tempat untuk rehat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mobilitas untuk wira-wiri dari kampus ke rumah atau tempat kost (Clemons, 2013). Perpustakaan dengan konsep “third place” juga memberikan pengalaman baru akan fleksibilitas dalam menggunakan perpustakaan. Pengguna bisa melakukan berbagai aktivitas, baik invidual maupun sosial, untuk aktivitas serius, seperti belajar, ataupun sekedar santai, seperti ngobrol menghabiskan waktu. Untuk aktivitas belajar, penerapan konsep “third place” akan membantu pengguna yang memiliki gaya belajar berbeda-beda untuk mengeksplorasi kemampuannya masing-masing, termasuk mereka yang lebih menyukai belajar secara individual ataupun belajar secara
50
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
berkelompok. Untuk yang terakhir, perpustakaan memberikan sarana yang dapat digunakan untuk berdiskusi, belajar bersama, serta kegiatan kolaboratif lainnya untuk memfasilitasi proses pembelajaran sosial (Appleton, 2011). Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pengguna perpustakaan, yakni generasi millenials yang memiliki preferensi untuk belajar secara informal bersama teman-temannya dengan memanfaatkan berbagai teknologi (Ontario School Library Association, 2010). Secara personal, para pengunjung perpustakaan bisa mengembangkan relasi sosialnya dengan pengunjung lainnya, mempererat hubungan pertemanan, mendapatkan terapi emosional melalui percakapan, curahan hati, bahkan guyonan, serta pengembangan potensi diri berupa keterampilan berkomunikasi, rasa percaya diri, dll (Kuno, 2011). Demikian banyak manfaat yang bisa dipetik dengan penerapan “third place”, baik untuk perpustakaan maupun pemustaka. Namun, bagaimanapun juga, pengembangan “third place” dalam perpustakaan bukan tanpa tantangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memutuskan untuk menerapkan konsep “third place” dalam perpustakaan. Yang pertama, perpustakaan perguruan tinggi memang selama ini menjadi tempat dimana orang bisa berkunjung kapan saja ia mau, namun perpustakaan masih dirancang sebagai ruang formal, yakni sebagai tempat mencari informasi. Sebagian perpustakaan belum didesain sebagai sarana yang memfasilitasi pengunjung untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. Perpustakaan juga masih terkesan kaku dalam menetapkan aturan bagi pengunjung, misalnya saja aturan terkait kegiatan mengobrol di kalangan pengunjung. Selama ini perpustakaan menetapkan diri sebagai tempat sunyi dimana orang membaca ataupun sebagai tempat untuk mengasingkan diri. Suara pengunjung akan memancing pustakawan untuk mengeluarkan jurus “ssttttttt…”.Bahkan pustakawannya sendiri terkadang mengambil jarak secara formal dengan pengunjung. Keluhan tentang pustakawan yang tidak ramah juga kerapkali terdengar. Tentu, hal ini menjadi hal yang menghambat hubungan harmonis dengan pengunjung perpustakaan. Sikap yang demikian tentu bukanlah sambutan yang diharapkan oleh para pengunjung.
Aturan lain yang perlu dilonggarkan adalah ketentuan makan dan minum. Perpustakaan seringkali melarang keras pengunjung perpustakaan untuk makan dan minum di perpustakaan. Ketentuan ini kiranya bisa diperlunak dengan memberikan area tersendiri dimana pengunjung bisa menikmati kudapan atau secangkir kopi. Perpustakaan bisa menyediakan kantin atau café mungil di area perpustakaan, dan bahkan memberikan makanan atau minuman gratis bila memungkinkan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perpustakaan perguruan tinggi selama ini masih terkesan eksklusif. Walaupun sebenarnya ia tidak menetapkan batasan siapa saja yang bisa mengakses perpustakaan, namun seringkali masyarakat umum masih jarang memanfaatkan perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, status sosial seperti pejabat struktural, dosen, staf administrasi dan mahasiswa, yang berlaku dalam lingkungan perguruan tinggi bisa jadi merupakan hal yang mempengaruhi penerimaan pengunjung lain terhadap kehadiran orang tersebut dan pada akhirnya
pada hubungan yang terjalin dan suasana yang tercipta. Sebagai tempat ketiga, perpustakaan juga seharusnya sangat mudah dijangkau dan memberikan kenyamanan bagi para pengunjung. Namun selama ini pengunjung memiliki keterbatasan akses ke perpustakaan. Ini tidak hanya terkait dengan lokasi, namun juga waktu. Jam buka yang terbatas dapat menjadi penghambat orang untuk berkunjung. Ini tentu jauh berbeda dengan desain coffee shop seperti Starbucks yang justru ramai sekali pada jam-jam setelah pulang kantor. Kegiatan di perpustakaan selama ini juga terbatas pada pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan informasi. Padahal bila dikaitkan dengan konsep tempat ketiga, maka idealnya perpustakaan dapat mengakomodasi segala kebutuhan pengguna, mulai dari aktivitas yang serius, hingga aktivitas yang berifat bermain-main dan menyenangkan. Perpustakaan bisa menawarkan aktivitas-aktivitas lain yang tidak bersifat serius, namun menghibur, seperti layanan game. Bila
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
51
hal ini dikaitkan dengan koleksi perpustakaan, maka idealnya perpustakaan tidak hanya menawarkan literatur yang ilmiah, namun juga koleksi lain yang sifatnya menghibur, seperti buku fiksi dan koleksi audiovisual yang menghibur. Penutup Inisiatif untuk menggeser peran perpustakaan sebagai tempat ketiga kiranya menjadi tantangan tersendiri di negeri kita. Hal ini mengingat masih adanya paradigma dari para pembuat kebijakan yang lebih melihat perpustakaan sebagai “penjaga ilmu pengetahuan”. Berpegang pada paradigma ini tentu menjadikan para pemegang kebijakan menekankan peran perpustakaan dalam mengumpulkan dan melestarikan ilmu pengetahuan. Hal ini tentu perlu dipikirkan kembali, mengingat perubahan terjadi dalam masyarakat. Masyarakat saat ini memerlukan suatu sarana yang mampu memfasilitasi kebutuhan mereka untuk melakukan interaksi sosial melalui tempat seperti “third place”. Dan perpustakaan seharusnya bisa menjadi
“third place” agar keberadaannya tetap relevan di tengah masyarakat. Namun upaya mengubah paradigma lama perpustakaan dengan paradigma baru seperti “third place” ini tentu tidak mudah. Sosialisasi konsep menjadi tahap awal untuk memberikan wacana baru bagi dunia perpustakaan kita. Dengan wacana baru ini, diharapkan muncul berbagai pemikiran segar yang mampu membawa perubahan kebijakan dalam pengelolaan perpustakaan serta menemukan bentuk-bentuk penerapan “third place” yang paling tepat di perpustakaan, terutama dikaitkan dengan tren dan budaya lokal. Tidak hanya itu, pustakawan sendiri juga perlu merubah cara pandangnya dalam mengelola perpustakaan. Mereka perlu belajar dari Starbucks untuk memahami konsep “third place” agar bisa memberikan layanan terbaik bagi para pemustaka. Penulis berterimakasih kepada Bp. Ida Fajar Priyanto atas masukan yang diberikan untuk memperkaya artikel ini.
daftarpustaka Minimarket Berbasis Kafe: Simbol Eksistensi Rasionalisasi Konsumtif Masyarakat Ibukota. Diakses dari http:// pensosreg12.blogspot.com/2013/09/minimarket-berbasis-kafesimbol.html. Diakses tanggal 9 Desember 2013. BBC. Pengungunjung Perpustakaan Menurun. Diakses dari http://www.bbc.co.uk/ indonesia/majalah/2013/09/130929_ pendidikan_perpustakaan.shtml. Diakses tanggal 10 Desember 2013. Herlyana, Elly (2012). Fenomena Coffee Shop Sebagai Gejala Gaya Hidup Baru Kaum Muda. Diakses dari http://journal.uin-suka. ac.id/thaqafiyyat/article/ download /115/pdf. Diakses tanggal 14 Desember 2013
Title, Sam (2013).’Coffice’ Etiquette: How to Politely Work From a Coffee Shop Diakses dari http://www.huffingtonpost.ca/sam-title/coffice-coffeeshop-etiquette b_3605501.html. Diakses tanggal 13 Desember 2013. Davie, Chris Xu Janet; Brionny Harris dan Lin Bin. 2010. The Third Place: exploring the relationship beetween the mount gambier library and the local community september 2010. Diakses dari http://furcs.flinders.edu.au/education/med_stud/ y2/posters/2010%20GGT%20The%20Third%20Place.pdf. Diakses tanggal 10 Januari 2014.
Morris, Douglas E, 2005)It’s a sprawl world after all. Canada: New Society publisher
Ontario School Library Association. 2010. Together for learning: school libraries and the emergence of the learning commons, a vision of the 21st century, Ontario: Ontario School Library Association
Mustofa, Chakim. (2003). Perpustakaan : Kebanggaan Bersama Milik Masyarakat (Tinjauan Dari Segi Tantangan dan Peran di Era Informasi). Diakses dari http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd. aspx?id=54 diakses tanggal 27 Desember 2013.
Appleton, Leo, Stevenson, V., & Boden, D. (2011). Developing learning landscapes : academic libraries driving organisational change. Reference Services Review, 39(3), 343–361. doi:10.1108/00907321111161368
Oldenberg, Ray (1989). The Great Good Place, New York: Marlowe and Company.
Pennington, Tara M (2012) Third Space: Creating A Library Environment That Opens Doors For Collaboration, Value, And Student Achievement. Diakses dari http://centralspace.ucmo.edu/xmlui/ bitstream/handle/10768/119/TPennington_LIBRARYSCIENCE. pdf?sequence=1. Diakses tanggal 10 Januari 2014.
Orum, Anthony M. dan Zachary P. Neal. Common Ground? Readings and Reflections on Public Space. New York: Routledge Starbucks. Our Heritage. Diakses dari http://www.starbucks.com/ about-us/our-heritage. Diakses tanggal 13 Desember 2013 Sumut Pos. Perpustakaan Indonesia kurang diminati. 13 April 2012. Diakses dari http://sumutpos.co/2012/04/31290/perpustakaanindonesia-kurang-diminati tanggal 10 Desember 2013.
52
Vol. 21 No. 1 Tahun 2014
Clemons, Stephanie A, Waxman, Lisa K dan Banning, James. (2013) University Libraries as third place. Diakses dari http://www.ifla2009. it/online/wp-content/uploads/2009/06/Final.Clemons.pdf. Diakses tanggal 10 Januari 2014.