Terbit Sejak 1993
Pembaca Media Pustakawan yang berbahagia, Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki pasar bebas ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Salah satu elemen utama dari “AEC Blueprint” yaitu adanya arus bebas tenaga terampil. Maka dipastikan akan terbuka kesempatan kerja seluasluasnya bagi warga negara di ASEAN untuk mendapatkan pekerjaan di kawasan ASEAN tanpa mendapat hambatan, termasuk peluang kerja di bidang perpustakaan. Mengingat semakin dekatnya implementasi kesepakatan bangsa-bangsa ASEAN tersebut, maka pustakawan Indonesia harus bersiap diri untuk dapat bersaing dengan pustakawan dari negara anggota ASEAN lainnya. Kompetensi dan profesionalisme pustakawan Indonesia harus terus ditingkatkan sesuai dengan
tuntutan pasar global. Salah satu bentuk pengakuan kompetensi kerja adalah melalui sertifikasi kompetensi. Sertifikasi kompetensi pustakawan diselanggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Pustakawan (LSP) Pustakawan. Uji kompetensi mengacu pada standar SKKNI bidang Perpustakaan. Tujuan sertifikasi ini adalah dalam upaya peningkatan kualitas pustakawan sesuai standar yang berlaku sehingga dapat berimbas pada peningkatan kualitas layanan per pustakaan. Kajian kita kali ini bertemakan tentang sertifikasi kompetensi pustakawan. Pada edisi kali ini terpilih 5 artikel yang layak untuk anda baca. Artikel pertama tentang Sertifikasi Profesi Pustakawan Berbasis Kinerja sebagai Upaya Menghadapi Era Global ditulis oleh Sri Rumani (Pustakawan Madya pada Perpustakaan FISIPOL UGM).
06
Sertifikasi Profesi Pustakawan Berbasis Kinerja sebagai Upaya Menghadapi Era Global Oleh: Sri Rumani (Pustakawan Madya pada Perpustakaan FISIPOL UGM)
14
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 Tentang Pengukuhan Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional (Peluang dan Tantangan Pustakawan berkiprah di Oganisasi Internasional) Oleh: Dodi Pribadi (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI)
Artikel kedua berjudul Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 Tentang Pengukuhan Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional (Peluang dan Tantangan Pustakawan berkiprah di Oganisasi Internasional) ditulis oleh Dodi Pribadi (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI), selanjutnya artikel yang berjudul Sertifikasi Pustakawan Berdasarkan SKKNI Bidang Perpustakaan yang ditulis oleh Suharyanto (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI). Selanjutnya artikel berjudul Peran Perpustakaan dalam Upaya Mencerdaskan Bangsa Dan Sebagai Tolok Ukur Peradaban ditulis oleh Supriyanto (Pustakawan Utama pada Perpustakaan Nasional RI) dan terakhir tulisan Sri Endah Pertiwi (Pustakawan Muda pada UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro) berjudul Implementasi CSR Perpustakaan dan Filantropi Buku. Selamat membaca!
24
Sertifikasi Pustakawan Berdasarkan SKKNI Bidang Perpustakaan Oleh: Suharyanto (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI)
32
Peran Perpustakaan dalam Upaya Mencerdaskan Bangsa Dan Sebagai Tolok Ukur Peradaban Oleh: Supriyanto (Pustakawan Utama pada Perpustakaan Nasional RI)
47
Implementasi CSR Perpustakaan dan Filantropi Buku Oleh: Sri Endah Pertiwi (Pustakawan Muda pada UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro)
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Opong Sumiati, Penyunting Opong Sumiati, Lily Suarni, Catur Wijiadi, Harjo, Novi Herawati, Sadarta, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Akhmad Priangga, Desain Grafis Rudianto, Khosyi Alfin Maulana, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto, Alamat Redaksi Jl. Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat, Tlp.(021) 3906923 / 3901099, Ext. 118, 109, Email :
[email protected],
[email protected], ISSN : 1412-8519 Cover Depan: Kegiatan Sertifikasi Pustakawan di TUK Perpustakaan Nasional RI tahun 2014
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
3
editorial TUNTUTAN SERTIFIKASI PROFESI PADA MASYARAKAT MODERN
S
alah satu ciri masyarakat modern adalah adanya persaingan antar individu atau komunitas secara terbuka, sportif dan objektif. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan kualitas kehidupan komunitasnya, atau bahkan bagi peningkatan taraf dan kesejahteraan hidup dari individu masing-masing. Sehingga makna hidup untuk masyarakat modern menjadi tidak hanya sekedar untuk mempertahankan kondisi saat ini sebagai bagian dari masa lampau, akan tetapi juga sudah memikirkan kehidupan yang akan datang sesuai target yang telah direncanakan sebelumnya, salah satunya adalah yang unggul dan berkualitas dengan memperhatikan estetis, kenyamanan dan keamanan. Untuk itu, berbagai upaya percepatan, efektivitas, dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan menjadi arah capaian kehidupan utama masyarakat dewasa ini. Terkait dengan tuntutan yang mengedepankan kualitas yang berlaku umum, maka saat ini masyarakat modern mengembangkan tolak ukur yang ditetapkan secara konsensus dan komitmen dari pihak terkait dalam pemberlakuan dan penerapannya. Fenomena ini menghasilkan berbagai penetapan dan pengembangan standar yang berlaku pada suatu tempat atau masyarakat umum maupun tertentu (khusus). Standar ini tidak hanya berlaku untuk barang sebagai hasil suatu produksi, akan tetapi juga bagi sektor atau bidang jasa sebagai hasil suatu kinerja sumber daya manusia. Tuntutan formal akan adanya standar produk dan jasa diejawantahkan masyarakat saat ini melalui program lisensi, akreditasi dan sertifikasi. Sehingga program tersebut pada era ini sudah merupakan tuntutan yang tak dapat dielakkan lagi untuk dapat eksis dan bersaing meraih penghidupan yang lebih baik. Program tersebut merupakan salah satu tanda masyarakat zaman global ini, yaitu yang mengedepankan kualitas terstandar. Ketiganya merupakan pengakuan formal dari suatu lembaga yang secara resmi diterima oleh masyarakat, bahkan Negara dan/atau disepakati oleh kalangan berkepentingan. Program “lisensi” dalam pengertian umum dapat diartikan member izin dari pihak pemberi lisensi kepada
4
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
penerima lisensi untuk melakukan atau menggunakan seluruh atau sebagian barang/jasa sesuai dengan perjanjian yang disepakati dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Sedangkan “akreditasi” menurut Komite Akreditasi Nasional (KAN), yakni merupakan pengakuan formal yang diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi suatulembaga atau organisasi dalam melakukan penilaian kesesuaian tertentu. Selanjutnya, apa itu “sertifikasi” ? Istilah ini sudah tidak asing lagi bagi kita. Sertifikasi merupakan pernyataan kesesuaian dari pihak ketiga terkait dengan produk, proses, sistem manajemen atau personal terhadap standar tertentu. Sertifikasi itu juga sebagai suatu proses untuk melakukan konfirmasi tentang karakteristik orang, organisasi atau objek tertentu. Sehingga, sertifikasi dikenal tidak hanya untuk produk suatu barang akan tetapi juga untuk personal atau individu. Hal ini sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Whatls.com, yaitu sebagai suatu proses formal untuk memastikan bahwa seorang individu memiliki kualifikasi dalam pengetahuan atau keterampilan (Certification is a formal process of making certain that an individual is qualified in terms of particular knowledge or skills). Terkait dengan sertifikasi personal, salah satu jenis yang paling dikenal umum pada masyarakat modern adalah sertifikasi profesional (One of the most common types of certification in modern society is professional certification). Dengan demikian, seseorang disebut tersertifikasi jika ia mampu memenuhi kompetensi untuk dapat melakukan suatu pekerjaan atau tugas. Sertifikasi diperoleh melalui suatu rangkaian ujian atau asesmen atau konfirmasi kompetensi. Konfirmasi ini lazimnya dilakukan oleh institusi atau lembaga eksternal pihak ketiga, yang mengembangkan dan mengawasinya adalah beberapa agensi sertifikasi, seperti asosiasi profesi (Certification programs are often fostered or supervised by some certifying agency, such as a professional association). Berikut ini merupakan hal-hal terkait dengan sertifikasi yang dikemukan oleh American Library Association-Allied Profession Association (ALA-APA), yaitu: biasanya ditawarkan oleh asosiasi profesional (usually offered by a professional
association); sukarela (voluntary); pelamar memenuhi kriteria minimum, seperti pengalaman atau pendidikan (requiring that applicants meet minimum criteria, such as experience oreducation); pemberian kewenangan bagi lulusan untuk menggunakan sebutan (granting the authority for graduates to use a designation); asesmen meliputi juga terhadap rangkaian keterampilan (including an assessment covering a broad range of skills); memastikan privasi para peserta (ensuring the privacy of participants); dan mensyaratkan bahwa para profesional tersertifikat untuk mematuhi prosedur untuk mempertahankan sebutannya (requiring that certified professionals adhere to procedures to retain the designation)
profesionalitasnya sehingga berdampak pada peningkatan kepercayaan dan penghargaan terhadap dirinya. Sehingga akhirnya, menghasilkan kinerja profesional sesuai tuntutan dari pengguna profesinya. Hal ini mengakibatkan pada akhirnya akan dapat memuaskan nasabahnya.
professional terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik. (Professional certification is a process in which a person proves that he or she has the knowledge, experience, and skills to perform a specific job).
Di Indonesia, sertifikasi kompetensi kerja atau profesi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Berdasarkan Peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Nomor: 2/BNSP/III/2014 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi, BNSP memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi (LSP) untuk melaksanakan sertifikasi profesi atas nama BNSP. Saat ini di negeri tercinta ini telah berdiri berbagai Lembaga Sertifikasi (LSP), baik LSP pihak pertama, kedua maupun pihak ketiga. Termasuk salah satunya adalah LSP Pustakawan. LSP Pustakawan ini merupakan pihak ketiga yang beralamatkan di Jalan Salemba Raya Nomor 28A, Jakarta Pusat. LSP Pustakawan didirikan atas inisiatif dan dukungan Perpustaka an Nasional RI beserta berbagai pihak terkait/ berkepentingan (stake holders), seperti pustakawannya sendiri, pengguna, asosiasi profesi maupun akademisi bidang Kepustakawanan. Dengan berdirinya LSP Pustakawan ini, mudah-mudahan para Pustakawan Indonesia siap menyongsong implemetasi kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. Kepada para Pustakawan yang ingin memastikan kompetensi kepustakawanannya, silahkan kontak Sekertariat LSP Pustakawan dengan alamat di atas atau kunjungi situs resminya.
Apabila melihat manfaatnya, adanya sertifikasi profesi ini sangat menguntungkan, baik bagi penyandang profesi tersebut maupun untuk pengguna profesi dan pemanfaat profesi atau nasabah (client). Bagi para profesional, sertifikasi merupakan pernyataan tentang pengakuan terhadap
LSP Pustakawan merupakan milik kita bersama. Oleh karena itu, mari dukung dan berikan kritik serta masukan yang membangun agar lembaga ini berdiri dan berkembang dengan profesional untuk memenuhi kebutuhan profesi pustakawan Indonesia di era modern ini.
Dengan demikian, sertifikasi profesional merupakan suatu penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
5
Oleh: Sri Rumani1 Email:
[email protected]
Sertifikasi Profesi Pustakawan Berbasis Kinerja Sebagai Upaya Menghadapi Era Global Abstrak Abad ke-21 disebut era globalisasi mempunyai karakteristik keterkaitan dan ketergantungan antar individu, kelompok, dan negara saling berinteraksi tanpa batas (borderless). Globalisasi sebagai proses sosial yang alami menuju internasionalisasi, universalisasi, liberalisasi, dan westernisasi dalam ranah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Dalam era global profesi pustakawan mendapat tantangan dan peluang emas untuk tetap eksis dan bersinergi dengan profesi lain. Perlu upaya dan strategi dalam menghadapi perubahan yang cepat. Masalahnya pustakawan senang di “zona nyaman dan kemapanan”, menentang perubahan, mempertahankan status quo, under estime dengan profesinya, motivasi berprestasi rendah, tidak senang “membaca dan menulis”. Tujuan penelitian untuk mengetahui kesiapan pustakawan dalam menghadapi era persaingan bebas dan faktor-faktor yang menjadi kendala transformasi bagi profesi pustakawan. Jenis penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan sampel purposive sampling dan snowball sampling. Instrumen penelitian human instrument, dengan sumber data primer. Metode pengumpulan data wawancara/interview, dan studi dokumentasi. Analisis data melalui reduksi data kemudian ditafsirkan, dianalisis, dan diintepretasikan. Hasil penelitian menunjukkan pustakawan belum menyadari dan menjiwai profesinya yang menuntut kompetensi personal dan profesional. Kendala utama merubah mental dan perilaku bekerja “asal jalan”. Kinerja belum sesuai tupoksi seperti dalam SK Menpan No.132/2002. Pustakawan sering “terjebak pekerjaan rutinitas” diluar kepustakawanan. Untuk menghadapi era global persiapan yang diperlukan adalah kompetensi TI, komunikasi, kepribadian dan ilmu yang mendukung. Profesi pustakawan dalam menghadapi era persaingan bebas masih berkutat dengan persoalan “klasik” baik secara internal maupun eksternal. Kata kunci: sertifikasi pustakawan, kinerja, era global
Latar Belakang Memasuki abad ke-21 sering disebut era globalisasi mempunyai karakteristik keterkaitan dan ketergantungan antar individu, kelompok, dan negara saling berinteraksi tanpa sekat, tanpa batas (borderless). Kondisi ini karena teknologi komunikasi berkembang pesat dengan bantuan teknologi elektronika, akibanya proses komunikasi tidak lagi dibatasi oleh ruang, waktu, dan wilayah. Globalisasi sebagai
1
Pustakawan Madya padaPerpustakaan FISIPOL UGM.
6
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
proses sosial alami menuju internasionalisasi, universisalisasi, liberalisasi, westernisasi dalam ranah sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatnya hubungan antar negara, penerapan pasar bebas (global market), liberalisasi keuangan internasional adalah faktor-faktor yang mendorong ke arah “kesejagatan/mendunia”.
Di tengah persaingan pasar bebas, profesi pustakawan mempunyai tantangan sekaligus peluang emas agar tetap eksis di bidangnya tanpa rasa khawatir dikuasai profesi lain. Tantangan, karena persaingan sangat ketat, perlu strategi untuk berbuat dan bertindak cerdas, dengan perhitungan tepat dan tetap beretika profesi. Peluang, karena profesi pustakawan diuji eksistensi dalam berkiprah di masyarakat informasi. Perubahan paradigma tugas, fungsi, wewenang, citra, dari pustakawan konvensional menjadi pustakawan berwawasan modern dengan segala atribut yang melekat. Kompetensi profesi dan daya saing tinggi menjadi kunci dan modal utama memasuki pasar bebas di bidang ekonomi, politik dan budaya, dengan tatanan dan tuntutan baru, yang perlu dipahami pustakawan.
Landasan Teori Pasar global telah merubah pola kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari orientasi pangsa pasar (market share) menjadi pasar bebas (global market). Van Kessel (1996:97) dalam Mangkunegara ( 2005:1-2) berpendapat bahwa :”pasar global merupakan suatu sikap, cara berpikir, suatu tatanan baru sebagai akibat terjadinya pertukaran secara bebas di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan”. Selanjutnya A. Sonny Kerap (1998:221) mengatakan:”Pasar global sebagai pranata moral yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak, karena moral dijadikan landasan pasar global dan merupakan modal bagi dunia bisnis untuk mempersiapkan diri agar mampu bersaing secara sehat dan fair”.
Namun masalahnya, pustakawan masih menghadapi permasalahan klasik kepustakawanan, terlena dengan “zona nyaman”, belum siap berubah cepat sesuai tuntutan yang kompleks. Sikap dan perilaku apatis dengan perubahan, mempertahankan status quo, kurang percaya diri/under estime dengan profesi, motivasi berprestasi rendah, tidak senang “membaca dan menulis”, pola pikir, pola tindak, pola kerja stagnan, kurang senang tantangan dan menarik diri keluar dari fungsional ke jalur struktural. Lebih memprihatinkan, bila sikap dan perilaku ini dilakukan oleh pustakawan tingkat ahli, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan moral dalam melakukan transformasi di perpustakaan. Padahal menurut data dari Perpustakaan Nasional (2012), jumlah pustakawan berijazah S1 sebanyak 1352 orang (44 %), S2 ada 225 orang (7 %), dari jumlah pustakawan di Indonesia 3045 orang. Kondisi ini dapat menjadi modal intelektual untuk mengembangkan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia, karena S1 dan S2, berjumlah 1577 orang (51,79%). Pustakawan tingkat ahli, “dianggap” memiliki kompetensi bidang kepustakawanan, sebagai pustakawan “pemikir” dan “peneliti”.
Kondisi serba mendunia telah memunculkan masyarakat informasi, yang menurut Simpson dalam Abrar (2003: 81) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: “informasi menjadi senjata strategis, pemilihan informasi menjadi dasar konflik antara pemerintah dan pengusaha, informasi tidak lagi gratis, semua informasi yang bernilai tinggi akan tersimpan dalam bentuk digital, pustaka akan dipenuhi oleh buku-buku pintar elektronik, pustaka dunia akan muncul dalam bentuk informasi elektronik, konsep manusia tentang privacy, security dan pemilikan berubah, pertukaran informasi meruntuhkan batas-batas budaya dan wilayah, konflik akan terjadi antara pemakai dan manajemen sistem informasi, dan orang-orang yang menjadi “spesialis informasi” akan menjadi sangat berkuasa.
Bertitik tolak dari pemikiran diatas maka penelitian ini akan membahas tentang kinerja dan sertifikasi pustakawan dalam menghadapi era persaingan bebas. Kinerja mempunyai hubungan dengan kompetensi, semakin baik kinerja pustakawan semakin tinggi kompetensinya. Sebaliknya semakin buruk kinerja pustakawan semakin rendah kompetensi yang dimiliki. Sedangkan sertifikasi berarti kompetensi, sertifikasi bukan sekedar “nilai rupiah”. Sertifikasi sebagai konsekuensi dari kompetensi. Dari latar belakang tersebut pokok masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana kinerja profesi pustakawan dalam menghadapi era global ? b. Persiapan apa sajakah yang dilakukan pustakawan dalam menghadapi era persaingan bebas ? c. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala transformasi bagi profesi pustakawan di era global ?
Untuk memenuhi tenaga kerja/SDM di pasar global perlu mempunyai daya saing tinggi, dengan modal kompetensi, yang berimbas pada kinerja. Menurut Wibisono (2006:2-10), dalam menghadapi pasar bebas, berpendapat bahwa: ”Untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kinerja, banyak perusahaan merasa Sistem Manajemen Kinerja (SMK) yang dikembangkan saat ini, yang mayoritas didasarkan pada sistem pengukuran finansial, belum dapat mengakomodasikan tuntutan persaingan. Saat ini telah dikembangkan dengan memenuhi kepuasan dari setiap stakeholder (pihak yang berkepentingan), sehingga dapat bertahan dan berhasil dalam jangka panjang. Kepuasan stakeholder ini perlu diperhatikan mengingat kondisi lingkungan persaingan sudah sangat tidak dapat diramalkan, persaingan begitu ketat, siklus produk menjadi sangat pendek, informasi tersebar begitu cepatnya, dan konsumen memiliki banyak pilihan produk global”. Liberalisasi perdagangan dalam masyarakat informasi telah membuka peluang pasar lebih kompetitif, dalam segala bidang (ekonomi, politik, budaya, hukum), selalu mengalami perubahan tidak menentu “turbulensi”, siapapun perlu persiapan secara intelektual, mental dan moral. Tanpa persiapan berarti hanya menjadi “penonton” di rumah sendiri ditengah hiruk pikuk perubahan dan persaingan ketat yang
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
7
sudah dirasakan saat ini. Globalisasi tenaga kerja tidak dapat dielakkan atau ditunda sedetik pun, secara alamiah sudah masuk dalam tataran era persaingan yang ketat. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional, sedang buruh kasar biasa diperoleh dari negara berkembang seperti Indonesia. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas. Kunci untuk dapat masuk di bursa tenaga kerja secara nasional maupun lintas negara adalah kompetensi yaitu mempunyai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dihayati, dan dikuasai. Kondisi ini akan lebih mendekati sempurna bila ditambah dengan pengetahuan berkomunikasi yang baik dengan setiap orang. Namun perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ternyata mempunyai dampak yang merugikan bagi instansi pemerintah maupun lembaga swasta. Berdasarkan survei yang dilakukan Microsoft menunjukkan hasil yang sangat mengejutkan: ”64 persen karyawan mengerjakan tugas kantor dari rumah dan 75 persen orang menggunakan komputer kantor tidak hanya untuk mengerjakan tugas kantor, tetapi juga keperluan pribadi. Karyawan yang kelihatan tekun ternyata banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk melakukan kegiatan yang tidak terkait dengan pekerjaan, baik “on line shopping” seperti mencari tiket maupun chatting di berbabagi media sosial sekaligus, seperti Yahoo, Skype, Twitter dan Facebook (Kompas. 11 Agustus 2012). Kondisi ini tidak diharapkan terjadi di lingkungan perpustakaan, dimana pustakawan kelihatan tekun dibalik komputer, namun yang dikerjakan bukan pekerjaan yang menjadi tupoksi, sesuai dengan SK Menpan No.132/2002. Kinerja pustakawan dapat diukur dari butir-butir kegiatan tupoksi sesuai dengan pangkat/jabatan. Pustakawan saat ini dituntut selalu siap dan cepat merespon perubahan yang terjadi disekelilingnya. Oleh karena itu perlu terus belajar sepanjang hayat (long life learning). Merujuk dari Unesco pustakawan perlu belajar untuk mengetahui sesuatu (learn to know), belajar untuk dapat mengerjakan (learn to do) sesuatu dengan baik dan belajar untuk dapat hidup bersama (learn to live together). Di sisi lain menurut Everett Hagen dalam Mangkunegara (2005:7) dikatakan bahwa: ”hambatan pembangunan ekonomi pada negara berkembang termasuk Indonesia disebabkan karena SDM tidak memiliki jiwa kreatif dan inovatif, bahkan ada kecenderungan sebagian besar SDM masih memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang kurang baik (sifat iri hati, dengki, benci, sakit hati, dendam, minder, mudah depresi, mudah marah, tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling menjatuhkan kawan sekerja dan menfitnah rekan sendiri”.
8
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab lemahnya kualitas SDM di Indonesia. Kualitas SDM rendah, tidak mempunyai motivasi (sering mangkir kerja, tidak disiplin, tidak punya inisiatif, asal kerja tanpa target, sekedar memenuhi kewajiban ke kantor untuk presensi/finger print, supaya insentif tidak dipotong). Ada SDM cerdas dan cekatan tetapi tidak mempunyai sikap/attitude yang baik, tidak kredibel, perilaku buruk, licik, iri hati, culas, suka mengadu domba, sering bikin onar, dan suka ABS (asal bapak senang) dan AIS (asal ibu senang), tidak jujur, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Kinerja SDM Kinerja SDM merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual Perfomance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Menurut Kusriyanto (1991:3) dalam Mangkunegara (2005:9) difinisi kinerja karyawan adalah :”perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya per jam)”. Sedangkan Gomes (1995:195) dalam Mangkunegara (2005:9) mengemukakan:”difinisi kinerja karyawan sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta efektifitas sering dihubungkan dengan produktivitas”. Selanjutnya menurut Mangkunegara kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah “prestasi kerja atau hasil kerja (output) secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang karyawan/SDM dalam persatuan periode waktu untuk melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Sedang menurut Sulistyani (2009:276) kinerja adalah :”kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai hasil kerjanya”. Dari beberapa difinisi kinerja tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan berdasarkan kemampuan, usaha dan kesempatan. Kinerja SDM menjadi salah satu tolok ukur untuk menghadapi era global, sehingga perlu ada upaya untuk meningkatkan daya saing. Hasil penelitian Goleman (2000) dalam Mangkunegara (2005:4-5) menyimpulkan bahwa: ”Kecerdasan Emosi (EQ) menentukan 80 persen pencapaian kinerja individu dan organisasi, sedangkan Kecerdasan Pikiran (IQ) hanya 20 persen saja menentukan kinerja”. Bahkan Charles Schreiber menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa:”keberhasilan hidup seseorang ditentukan pendidikan formalnya hanya 15 %, sedangkan 85 % lagi ditentukan oleh sikap mentalnya (kepribadian)”. Oleh karena itu, pada abad 21 ini, kecerdasan emosi (EQ) perlu diperbaiki dan dikembangkan agar pencapaian kinerja individu dan organisasi dapat secara optimal. Evaluasi kinerja perlu terus dilakukan secara periodik, supaya dapat meningkatkan daya saing menuju era pasar global.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja menurut Mangkunegara (2005:13-14) adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Faktor kemampuan, secara psikologis terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge plus skill). Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas ratarata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal. Faktor motivasi (motivation), adalah sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja di lingkungan organisasinya, mencakup hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. Profesi Pustakawan Pustakawan adalah profesi yang secara fungsional sudah diakui pemerintah sejak tahun 1988. Di era global ini mempunyai kesempatan sekaligus tantangan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai harapan masyarakat. Oleh karena itu kinerja yang tinggi dari pustakawan sangat diperlukan dalam mewujudkan pelayanan prima, menuju pemerintahan yang baik (good govermance), dan daya saing tinggi di era global. Kinerja tinggi karena telah mempunyai “core competencies”, yang berdampak pada pengakuan profesi pustakawan berupa sertifikasi profesi pustakawan. Pustakawan menurut Partelo (2005) dalam Sudarsono (2005:8) harus mempunyai “core competencies” yang meliputi 7 kelompok kompetensi yaitu filosofi dan etika, kelengkapan kepribadian, administrasi, manajemen koleksi, layanan publik, layanan teknis, dan teknologi. Inti kompetensi sebagai modal intelektual pustakawan di perpustakaan mengingat fungsi perpustakaan sebagai pengelola pengetahuan (knowledge management). Oleh karena itu konsep modal intelektual perlu dikembangkan di lingkungan perpustakaan. Hal ini senada dengan pendapat Sudarsono (2011:5), mengatakan bahwa: ”sebuah perpustakaan adalah pustakawannya”. Jadi semua yang menyangkut kehidupan sebuah perpustakaan sangat tergantung pada pustakawannya. Terutama jika perpustakaan sudah dianggap atau diterima sebagai profesional merekalah yang harus menentukan hidup matinya perpustakaan”. Pustakawan perlu melakukan transformasi dengan pikiran dan tindakan menuju perpustakaan 2.0 dan pustakawan 2.0 serta web 2.0. Perpustakaan sebagai himpunan koleksi dan tempat mengakses informasi mempunyai sumber daya manusia fungsional pustakawan. Menurut UU No.43 Tahun 2007 pasal 1 angka 8 pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.
Sertifikasi Berbasis Kinerja Perlu ditegaskan bahwa sertifikasi sama dengan kinerja berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh seorang pustakawan. Sertifikasi tidak semata-mata berupa nilai rupiah, yang sering disalah artikan oleh para pustakawan dan non pustakawan. Kondisi ini pernah terjadi pada tahun 1988, ketika profesi pustakawan mendapatkan tunjangan fungsional, ada PNS alih jalur dari struktural ke jalur fungsional pustakawan dengan penyesuaian/impasing. Ketika naik pangkat/jabatan harus mengumpulkan angka kredit, sehingga pada berguguran karena tidak mempunyai kompetensi. Hal ini terjadi karena harapan masuk pustakawan adalah “nilai rupiah”, bukan kompetensi. Ketika wacana sertifikasi pustakawan digulirkan, tanggapan pustakawan dan non pustakawan kembali seperti tahun 1988. Semangatnya luar biasa untuk masuk profesi pustakawan, karena “impian/harapannya” akan mendapat “nilai rupiah” seperti profesi guru dan dosen. Namun ketika mengetahui sertifikasi sama dengan kompetensi, maka semangat berubah menjadi “kegalauan”. Tidak demikian bagi pustakawan yang mempunyai komitmen tinggi dan menjalani profesinya sebagai panggilan hidup, ada atau tidak ada sertifikasi tetap bekerja dengan semangat tinggi. Kompetensi menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar lagi untuk menghadapi sertifikasi profesi pustakawan. Kualifikasi pustakawan kompeten adalah mempunyai dasar pengetahuan profesi (knowledge base) yaitu berasal dari pendidikan formal atau pelatihan dari lembaga pelatihan bidang perpustakaan yang terakreditasi. Selain itu pengalaman profesi yang diperoleh dari pengalaman kerja di bidang perpustakaan; dan kompetensi, yang sesuai dengan standar kompetensi pustakawan. Sertifikasi Profesi Pustakawan Menurut Komisi II Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional, yang dimaksud dengan: “sertifikasi pustakawan adalah proses pemberian sertifikat pustakawan kepada pustakawan yang telah memenuhi standar kerja pustakawan. Sertifikasi pustakawan merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan bukan merupakan tujuan itu sendiri, akan tetapi dilakukan untuk menuju kualitas pustakawan yang baku sehingga dapat berimbas pada peningkatan kualitas layanan perpustakaan. Dengan melalui sertifikasi pustakawan, menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi pustakawan. Sertifikasi terhadap kompetensi profesi pustakawan dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang handal (memiliki lisensi). Sertifikat seseorang hanya berlaku apabila yang bersangkutan masih kompeten”.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
9
Sertifikasi kompetensi kerja merupakan proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/ atau Internasional (PP No.23 Tahun 2004, pasal 1 angka 1). Sertifikasi diperlukan karena tuntutan mutu dan keamanan akan produk dan jasa, tuntutan persaingan global yang tidak hanya persaingan produk dan jasa, tetapi lebih kepada persaingan tenaga kerja. Sertifikasi yang akan diberlakukan untuk profesi pustakawan adalah sertifikasi terhadap kompetensi profesi. Jadi berbeda dengan sertifikasi guru dan dosen yang awalnya sebagai sertifikasi portofolio. Tujuan sertifikasi menurut Titik Kismiyati (2011:15) adalah: ”untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan, menentukan kelayakan seorang pustakawan dalam memberikan layanan informasi, serta meningkatkan layanan perpustakaan”. Dengan adanya sertifikasi profesi pustakawan berlaku untuk semua pustakawan baik yang berstatus PNS maupun non PNS. Manfaat sertifikasi bagi pustakawan meningkatkan mobilitas dan daya saing, meningkatkan pengakuan atas kompetensi, dan meningkatkan prospek karier. Bagi instansi dapat memudahkan rekrutmen dan seleksi personal serta memudahkan penempatan dan penugasan SDM. Sedang manfaat sertifikasi di dunia kepustakawanan, bagi pustakawan menjadi bukti terhadap kompetensi profesi, sehingga dapat meningkatkan kualitas kinerja. Kerangka Pikir Era global, dunia dalam genggaman tangan (world in hand), dunia tanpa batas wilayah, ruang dan waktu. (borderless). Hal ini karena inovasi di bidang teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi, dan dengan ada nya kesepakatan AFTA, APEC, GATT, Uni Eropa. Dibutuhkan SDM dengan daya saing tinggi bagi profesi pustakawan, yang memberi jasa informasi. Kinerja tinggi dengan kompetensi profesional dan personal menjadi modal masuk di arena pasar bebas, yang berimbas pada sertifikasi kompetensi. Era pasar bebas (AFTA, APEC, GATT, Uni Eropa, WTO) perlu daya saing tinggi
Sumber Daya Manusia (SDM) Profesi Pustakawan
Sertifikasi kompetensi (proses pemberian sertifikat)
Kinerja (kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya)
Kompetensi (kemampuan melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai unjuk kerja: a. Kompetensi Profesional b. Kompetensi Personal
10
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Sampel Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi social situation atau situasi sosial, yang terdiri dari tiga elemen yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2009: 215-219). Situasi sosial dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin diketahui “apa yang terjadi” di dalamnya. Juga tidak dikenal istilah responden, tetapi nara sumber, atau partisipan, informan. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, karena nara sumber dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan. Snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data yang awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Sumber Data Sumber data primer adalah Pustakawan Tingkat Ahli minimum berijazah S1 Pusdokinfo atau S1 bidang lain yang sudah mengikuti diklat di Perpustakaan Nasional. Namun pustakawan ahli ini hanya diambil pustakawan yang pernah berprestasi baik tingkat UGM maupun tingkat Nasional. Alasan memilih pustakawan yang berprestasi karena telah mempunyai pemikiran yang jauh kedepan diatas rata-rata pustakawan lainnya. Pustakawan berprestasi yang dijadikan nara sumber juga dibatasi antara tahun 2009 sampai 2012. Sumber data lainnya adalah Direktur SDM UGM dan Plt Kepala UPT Perpustakaan UGM sebagai informan ahli. Pertimbangannya karena mengetahui kebijakan yang telah dan akan diambil untuk perkembangan perpustakaan dan profesi pustakawan di Universitas Gadjah Mada. Metode Pengumpulan, Pengolahan, Analisis dan Teknik Pemerikasaan Data Data diperoleh dengan observasi partisipasi pasif, wawancara/interview dengan, indepth interview yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide), dan studi dokumentasi. Pengolahan data dari berbagai sumber (triangulasi), secara deskripsif kualitatif memahami dan memberi gambaran gejala/fenomena yang diteliti. Analisis data dengan reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan penting. Data yang terkumpul dianalisis, ditafsirkan dan interpretasi, serta memberi kesimpulan dan saran/rekomendasi. Teknik pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk kepentingan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2008:330). Dalam penelitian ini teknik triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber, artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Patton, 1987:331 dalam Moleong, 2008:330-331). Hal ini dicapai dengan jalan: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan dengan dua (2) jalan, yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil wawancara meliputi kesiapan pustakawan, kompetensi yang harus dimiliki, kinerja pustakawan, kendala yang dihadapi pustakawan dan kebijakan yang telah dilakukan. Analisis dan Pembahasan Perpustakaan UGM mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan visi dan misi Universitas Gadjah Mada yaitu menghasilkan lulusan yang berwawasan global dan produk penelitian yang dipublikasikan secara internasional. Sebagai Universitas Riset berkelas dunia, peran pustakawan diakui strategis untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan visi dan misi tersebut. Jumlah pustakawan ahli sebanyak 35 orang (S1 17 orang dan S2 18 orang). berpotensi sebagai modal intelektual. Berkolaborasi secara kolektif dapat menjadi kekuatan hebat untuk menyumbangkan pemikiran UGM menuju Universitas Riset berkelas dunia. Syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi adalah kerja keras, bertindak dan berpikir cerdas, serta kompeten di bidang kepustakawanan. Keunikan dan Kekhasan Perpustakaan UGM Perpustakaan UGM sebagai Perpustakaan Perguruan Tinggi mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri bila dibandingkan dengan perpustakaan sejenis yang ada di Indonesia. Keunikan dan kekhasan itu berdasarkan lokasi kerja pustakawan yang tersebar di 18 fakultas, jurusan, progam studi, lembaga penelitian, pusat studi yang ada di lingkungan UGM. Kondisi ini berdampak pada kebijakan yang berbeda dalam memperlakukan perpustakaan dan pustakawan. Ada perpustaaan dan pustakawan yang sudah mendapat perhatian dari pimpinan fakultas, jurusan, program studi, lembaga penelitian dan pusat studi, tetapi
ada juga yang masih menjadi “pelengkap penderita”. Hal ini terjadi karena pimpinan belum merasakan secara langsung manfaat perpustakaan. Kondisi tingkat perhatian yang beda berimbas pada “kesejahteraan pustakawan”. Berdasarkan pengamatan, pustakawan UGM sudah mendapat “peluang emas” untuk “berkiprah”. Buktinya perpustakaan fakultas/lembaga yang berkembang dengan baik, pasti dinahkodai oleh pustakawan yang “berani” melakukan terobosan dan “berani bermimpi” (pinjam istilah Profesor Pratikno/Rektor UGM). Hal ini selaras dengan pidato Rektor saat pelantikan Wakil Rektor I – IV UGM yang mengatakan bahwa: ”Saling mengingatkan dengan speed yang tinggi agar apa yang sudah dimandatkan dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan full time, full speed, full komitmen, dan integritas tinggi harapannya bisa menjalankan mandat dengan baik. Semangat Rektor UGM ini semestinya dapat menjadi “energi” seluruh civitas akademika UGM, termasuk para pustakawan yang menjadi bagian dari tenaga kependidikan. Keunikan pustakawan UGM, mempunyai “dua pimpinan/ atasan” yaitu Kepala Perpustakaan UGM dan Dekan/ Kepala/Direktur/Ketua Jurusan dimana pustakawan itu ditempatkan. Status pustakawan PNS seperti “orang pusat yang diperbantukan di daerah”. Kondisi ini disebabkan karena sistem perpustakaan di UGM adalah campuran antara sistem sentralisasi dan desentralisasi (SK Rektor UGM No.UGM/004/471/UM/01/37 tanggal 17 Januari 1990 tentang Sentralisasi Perpustakaan di lingkungan Universitas). SK Rektor ini tidak berlaku efektif, sehingga hanya pustakawannya yang disentralkan, tetapi koleksi tetap ada di fakultas masing-masing. Sentralisasi Pustakawan dan Desentralisasi Koleksi Sentralisasi pustakawan awalnya sangat merugikan karir dan penghasilan pustakawan yang ditempatkan di fakultas/ lembaga, karena “kehilangan” segala hak yang sebelumnya didapatkan di fakultas/lembaga. Misalnya THR, hak mengawasi ujian, lembur, piknik, seragam, bahkan tidak boleh pinjam uang. Secara psikologis kondisi ini dapat menganggu kinerja, karena lingkungan kerja yang tidak kondusif. Apalagi fakultas/lembaga “sering” mengembalikan pustakawan yang sudah “dianggap” tidak produktif, dengan kinerja tidak baik ke Perpustakaan Pusat. Demi pengembangan karir menjadi “alasan pembenaran” bagi pimpinan fakultas/lembaga untuk memindahkan pustakawan ke Perpustakaan Pusat, sehingga menjadi “terminal” bagi pustakawan yang sudah “dianggap” tidak berpotensi di Fakultas/Lembaga. Kondisi berubah ketika sudah ada kesepakatan antara Wakil Dekan II (bidang Administrasi, Kepegawaian dan Keuangan) Fakultas dengan Kepala Perpustakaan dan pimpinan Universitas, pada tahun 1995 an. Pustakawan
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
11
di fakultas/lembaga tetap memperoleh hak-haknya dari fakultas. Bahkan pustakawan yang memenuhi syarat (usia maksimum 40 tahun, tes TPA 550, dan TOEFEL 450) mendapat beasiswa penuh dari Universitas dan diberi ijin fakultas untuk melanjutkan pendidikan (dari D3 ke S1 dan dari S1 ke S2). Pustakawan juga diberi kesempatan studi banding dan magang ke luar negeri. Terakhir sejak tahun 2012 pustakawan UGM yang masih berstatus sebagai tenaga honorer (SK Rektor) mendapat tunjangan pustakawan besarnya seperti yang diperoleh pustakawan PNS. Sentralisasi pustakawan tidak berarti sentralisasi koleksi, karena masih ada di fakultas masing-masing. Namun demikian tetap dapat diakses untuk diketahui “lokasi koleksi” ada di fakultas mana melalui http://lib.ugm.ac.id. Kondisi ini dapat dilakukan karena website Perpustakaan UGM sudah “link” dengan perpustakaan fakultas/lembaga yang ada di UGM. Pemustaka yang akan memanfaatkan koleksi di fakultas/lembaga dapat langsung menghubungi fakultas/ lembaga sesuai dengan tatatertib/ketentuan yang berlaku di masing-masing fakultas/lembaga. Inilah ciri khas dan keunikan perpustakaan dan pustakawan di UGM. Koordinasi antar fakultas memang sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada setiap pemustaka, tanpa harus saling mengorbankan dan dikorbankan. Profesi Pustakawan di UGM UGM termasuk Perguruan Tinggi yang mempunyai pustakawan paling banyak di Indonesia untuk jenis perpustakaan Perguruan Tinggi. Saat ini pustakawan di UGM ada 86 orang dengan rincian pustakawan ahli 35 orang, pustakawan terampil 50 orang, dan 1 orang pustakawan non PNS. Khusus pustakawan non PNS mendapat tunjangan pustakawan sama dengan PNS. Untuk kenaikan pangkat/ golongan harus mengumpulkan angka kredit yang mengacu pada Kepmenpan No.132/2002. Profesi pustakawan di UGM sudah mendapat pengakuan dari pimpinan universitas. Hal ini terbukti dalam sistem pengelolaan SDM UGM (Peraturan Rektor UGM No.203/P/SK/ HT/2009) yang dikatakan bahwa pustakawan termasuk jalur karir keahlian (pasal 45 huruf b), dalam meniti jenjang jabatan dibedakan menjadi: a. Asisten Spesialis : tingkat 3 – 4 angka kredit : 50 – 79 b. Spesialis Muda : tingkat 5 – 8 angka kredit : 80 – 174 c. Spesialis Masdya : tingkat 9 – 13 angka kredit : 175 – 499 d. Spesialis Utama : tingkat 14 – 15 angka kredit : 500 – 650 Namun jenjang jabatan ini belum jelas apa konsekuensi secara moral dan material terhadap profesi pustakawan. Menurut Direktur SDM: ”untuk mendisiplinkan SDM, kinerja, sudah ada konsep pengganti PP, buku biru UGM adalah Peraturan Rektor UGM No.203/P/SK/HT/2009 sedang direvisi”
12
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
(Wawancara tanggal 18 Desember 2012 pukul 0.8.00 – 0.9.00). Terobosan yang sudah diambil, saat ini UGM mempunyai pustakawan non PNS yang mendapat tunjangan fungsional pustakawan, ada 1 (satu) orang, lulusan D3 yang disetarakan dengan golongan II/c. Kedepan masih akan diangkat pustakawan non PNS, dengan syarat lolos seleksi yang diadakan oleh UGM. Apresiasi Pustakawan Berprestasi di UGM Pustakawan UGM tahun 2006 telah berprestasi sebagai peringkat IV Nasional Versi Perpustakaan Nasional. Kemudian tahun 2009 untuk pertama kali Dikti mengadakan ajang kompetisi bagi pustakawan, dan UGM mendapat gelar juara 3. Tahun 2010 dan 2012 ada pustakawan yang memenangkan Lomba Hibah Kompetensi Penelitian Bidang Kepustakawanan yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional. Kondisi inilah yang “menyadarkan” pihak Rektorat untuk memberi apresiasi sebagai Insan Berprestasi di UGM setiap menjelang Dies Natalis tanggal 19 Desember. Apresiasi bergengsi ini juga diserahkah untuk dosen, mahasiswa, arsiparis, laboran, tenaga administrasi, dan teknisi. Kriteria untuk mendapat apresiasi Insan Berprestasi UGM bagi Pustakawan khusus untuk Pustakawan Berprestasi Versi Dikti (2012). Sedang Pustakawan yang menang karya tulis/hibah kompetisi hanya disebut dalam Laporan Tahunan Rektor UGM. Kondisi “tebang pilih” dalam menentukan Insan Berprestasi UGM, berarti mengingkari komitmen yang sering didengungkan untuk memberikan “reward” bagi pustakawan yang berprestasi.. Namun demikian pustakawan tersebut tetap semangat untuk terus berprestasi dan tetap menyebarkan “virus juara” kepada pustakawan lain. Ada kewajiban moral untuk menularkan ilmu dan pengalaman kepada pustakawan lain dalam “Forum Pustakawan UGM”. Deskripsi Nara Sumber Nara sumber adalah pustakawan berprestasi selama 2009 – 2012 yang menghasilkan 12 orang. Namun ternyata hanya 10 orang karena ada yang 1 orang menjadi juara tahun 2009 dan 2012, serta 1 orang lagi menjadi juara tahun 2010 dan 2011. Dari 10 orang itu terdiri 5 orang perempuan (50%), dan 5 orang laki-laki (50%). Namun yang menjadi nara sumber hanya 8 orang (80%), alasannya 2 orang tidak menjadi nara sumber karena 1 orang sudah pindah intansi dan 1 orang tidak dapat dihubungi. Dari 10 orang pustakawan tersebut 5 orang (50%) berhasil mendapatkan predikat prestasi tingkat Nasional baik versi Perpusnas dan versi Dikti. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel IV.1: Data Pustakawan Berprestasi 2009 – 2012
Tahun
Jenis Lomba
Hasil Prestasi
2009 2009 2010 2011 2012
Pustakawan Berprestasi Versi Dikti Pustakawan Berprestasi Versi Perpusnas Pustakawan Berprestasi Versi Dikti Pustakawan Berprestasi Versi Dikti Pustakawan Berprestasi Versi Dikti
Juara 3 Juara 2 Juara 2 Juara 1 Juara 1
Sumber: Data diolah (2012)
Prestasi pustakawan UGM mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini sangat membanggakan sehingga semakin diperhitungkan oleh para pimpinan Universitas dan Fakultas/Jurusan/Lembaga/Pusat Studi. Namun kalau dibandingkan dengan jumlah pustakawan secara keseluruhan dari 86 orang, yang berprestasi baru 10 orang (11,62%). Artinya masih perlu memberi motivasi untuk pustakawan lain agar mempunyai semangat untuk berprestasi. Kinerja Profesi Pustakawan Menghadapi Era Global Kinerja profesi pustakawan sebenarnya dapat diukur dengan tupoksi yang tercantum dalam Kepmenpan No.132/2002. Namun belum semua pustakawan memahami butir-butir tupoksi untuk menjadi angka kredit sebagai syarat naik pangkat/jabatan. Kondisi ini karena pustakawan belum menjiwai profesi yang disandang menuntut profesionalisme. Secara umum kinerja pustakawan masih setengah-setengah, bekerja apa adanya dan belum menyadari tuntutan kerja jabatan fungsional. Sering terjebak rutinitas kerja yang melenceng dari tupoksi. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan nara sumber pertama yang mengatakan sebagai berikut: ”sudah difungsionalkan, tetapi masih berjiwa struktural karena belum mempunyai budaya kerja dan kedewasaan kerja dan belum disiplin diri. Pola kerja masih struktural, semestinya jam kerja lebih fleksibel karena sebagai fungsional. Kemudian yang mempunyai kinerja bagus justru dipindah, dan perpustakaan masih dijadikan sebagai tempat pembinaan orang-orang bermasalah”, pustakawan tejebak dengan tugas atau pekerjaan rutinitas diluar tupoksi atau pekerjaan dibawah tupoksi beberapa tingkat/diatas tupoksi ” (Wawancara tanggal 26 Nopember 2012 pukul 13.30 – 14.30). Pustakawan menghadapi ASEAN Community 2015, persaingan yang sangat ketat, era pasar bebas yang masuk dalam AFTA, APEC, GATT, Uni Eropa, dan WTO. Semua itu perlu daya saing yang tinggi dan berwawasan global. Era pasar bebas dapat “kebanjiran atau dibanjiri” tidak saja produk barang, tetapi jasa dan tenaga kerja, termasuk pustakawan. Kalau tidak mempunyai kinerja yang baik dan kompetensi secara profesional dan personal, tentu
peluang emas itu diambil oleh profesi lain. Saat ini profesi pustakawan sudah mulai dilirik oleh guru (karena mengajar kurang 24 jam per minggu), lulusan TI, sastra dan bahasa Inggris, komunikasi, manajemen, hukum, psikologi, ekonomi, statistik, akutansi, hubungan internasional, dan lain-lain. seperti pernyataan nara sumber sebagai berikut: “Kinerja profesi akan masuk persaingan yang ketat, kalau tidak mempunyai kapasitas akan tertinggal, persaingan itu sudah mulai terasa. Kinerja pustakawan harus bertindak cepat dan tepat yang dapat menembus ruang dan waktu dengan memanfaatkan TI”. (Wawancara tanggal 3 Desember 2012 pukul 14.00 – 15.00). Persiapan Untuk Menghadapi Era Persaingan Bebas Persaingan global yang ketat menuntut para pustakawan untuk selalu siap dengan segala bentuk “perubahan” menuju yang lebih baik. Fakta menunjukkan bahwa generasi yang dilayani adalah generasi gadget/ milenia, sehingga perlu ada perubahan perilaku pustakawan untuk memanfaatkan TIK. Perubahan perilaku ini mutlak, tidak dapat di “zona nyaman”, apalagi mempertahankan “status quo”. Bila sudah berubah maka pustakawan bisa menjadi “agen perubahan”, dan harus bisa menularkan perubahan ke organisasi dimana pustakawan berada. Seperti hasil wawancara sebagai berikut: “pustakawan harus paham situasi dan kondisi tuntutan pasar bebas, dimana tenaga kerja juga masuk ke Indonesia, iklim kompetisi sangat ketat (di institusi dan pustakawan). Pustakawan harus mampu bersaing dengan pustakawan asing, standar akreditasi dan pelayanan secara internasional akan diberlakukan, sehingga harus dapat menyesuaikan”. (Wawancara nara sumber tanggal 29 Nopember pukul 09.00 -10.00 WIB). Dalam mempersiapkan era persaingan bebas pustakawan harus memiliki kompetensi baik profesional maupun personal. Kompetensi ini harus dimiliki pustakawan adalah: a. Kompetensi Kepustakawanan menjadi “roh” perpustakaan untuk mendapatkan informasi, mengolah, mengelola dan menyebarkan informasi. Kompetensi ini meliputi administrasi, manajemen koleksi, layanan teknis, shelving, wedding, ini mutlak dimiliki oleh pustakawan, yang dapat diperoleh dengan pendidikan formal dan non formal (diklat). b. Kompetensi Teknologi Informasi, dalam memanfaatkan koleksi e-book, e-journal, membuat paket informasi berdasarkan subyek dan minat, mengelola web perpustakaan, menelusur informasi, memanfaatkan database, mendownload, upload informasi. Selain itu kompeten dalam mengatasi hacker, sistem jaringan, menghilangkan virus. c. Kompetensi Komunikasi, untuk melakukan komunikasi verbal (dengan kata-kata), non verbal (bahasa tubuh),
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
13
tertulis dan lisan. Komunikasi penting karena pustakawan harus memberi pelayanan dengan pemustaka yang beragam (beda generasi, budaya). Dalam melakukan komunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pemustaka (baik orang asing maupun orang Indonesia). Oleh karena itu bahasa Inggris menjadi sangat penting ketika perpustakaan sudah mencanangkan visi dan misi “berkelas dunia”. d. Kompetensi Kepribadian/Soft Skill, adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, bijaksana, berakhlak mulia. Bangga menjadi pustakawan dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan etika profesi. Memiliki etos kerja, berpikiran terbuka, maju, siap menerima perubahan, mandiri. Menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak, disegani bukan ditakuti. Dapat menjadi teladan, bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong, menghilangkan penyakit hati seperti iri, dengki, benci, sakit hati, dendam). Juga menghilangkan sifat-sifat yang merugikan seperti minder, mudah putus asa, depresi, mudah marah, tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling menjatuhkan kawan sekerja dan menfitnah rekan sendiri. e. Kompetensi Ilmu-ilmu lain yang mendukung. Misal ilmu ekonomi, psikologi, hukum, public relation, teknik, dll.
14
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Selain persiapan kompetensi, pustakawan perlu menyiapkan mental yang membaja, pantang menyerah dan konsekwen dengan pilihan sebagai pejabat fungsional pustakawan. Artinya siap bekerja sesuai dengan tupoksi, tidak “asal jalan”, seperti hasil wawancara ini: “Dulu asal jalan, sekarang ada persaingan luar biasa, di level lokal dan internasional, semangat, kemampuan bersaing sangat perlu. Pelayanan harus lebih baik supaya lebih menang. Etos interpreunership penting, kekuatan dipakai untuk merebut pelu ang. Ada sistem reward and punishment secara tegas. Penegakan disiplin dengan presensi 4 (empat) kali untuk siap melayani pemus taka. DP3 berorientasi kinerja/hasil dibuktikan dengan data-data yang mendukung, penilaian tidak tergantung atasan langsung, tetapi teman-teman, bawahan, orang lain (yang dilayani)”. Reward diberikan kepada yang rajin dan mempunyai kinerja baik, dan punishment bagi yang seenaknya/lalai, apalagi “nakal”. (Wawancara dengan Nara Sumber Direktur SDM UGM tangal 18 Desember 2012 pukul 08.00 – 09.00 WIB). Pustakawan harus mempunyai motivasi, kemauan, semangat untuk berubah mencapai target-target yang sudah ditentukan. Mempersiapkan keahlian secara individu, jaringan sesama pustakawan. Pustakawan harus secara personal mempersiapkan soft skill (kepribadian) lebih pada etika yang mendukung pekerjaan, mempunyai etos kerja, berpikiran terbuka dan maju yang siap menerima perubahan.
Persiapan tidak hanya dilakukan oleh pustakawan, tetapi secara kelembagaan seperti Perpustakaan Nasional RI sebagai pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia dan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, perlu mempunyai agenda jelas, framework, grand deigns/gambaran pengembangan pustakawan dan perpustakaan. Harus mempunyai kebijakan jelas/tidak rancu untuk mengem bangkan keahlian, keterampilan dan sikap para pustakawan. Diklat, kursus, workshop, berdasarkan peta kebutuhan yang diperlukan pustakawan, bukan berdasarkan “proyek”.
mental “asal jalan”, tanpa perencanaan, program, target, sasaran, dan evaluasi. Untuk merubah mental “asal jalan dan asal kerja” menjadi mental yang bekerja dengan target, tidak seperti membalik tangan. Seperti hasil wawancara dari nara sumber sebagai berikut: ”Merubah mental/perilaku yang terbiasa sejak dulu bekerja “asal jalan, tanpa target”, memerlukan waktu tidak sebentar, perlu proses panjang. Sementara persaingan luar biasa ketat, baik level lokal maupun internasional sudah didepan mata”. (Wawancara tanggal 18 Desember 2012 pukul 08.00 - 09.00).
Kendala Bagi Profesi Pustakawan di Era Global Kendala berasal dari diri pustakawan (internal) dan lembaga dimana pustakawan bekerja (eksternal). Pustakawan pada umumnya masih terjebak pola kerja rutinitas dan lebih suka di ”zona nyaman”. Akibat terjebak kegiatan rutinitas tidak dapat mengembangkan diri, dan ketika ada pustakawan yang berprestasi ditanggapi secara apatis, berprasangka negatif. Seperti yang diungkapkan oleh nara sumber dalam wawancara berikut ini: “Kendala profesi pustakawan terjebak dengan rutinitas seharihari, sehingga tidak ada waktu untuk mengembangkan diri. Ketika ada pustakawan berprestasi/maju justru ditanggapi negatif karena sering meninggalkan rutinitasnya, diluar tupoksi dan kepustakawanan. Breprestasi bukan ditanggapi positif untuk meniru dan memacu semangat agar dapat berprestasi” (Wawancara tanggal 3 Desember 2012 pukul 13.00 – 14.00 WIB).
Kendala dari pustakawan yang lain adalah terjebak oleh “zona nyaman”, tidak suka dengan perubahan, kurang siap menerima tantangan, belum dicoba sudah merasa tidak mampu. Kurang percayadiri/kurang PD dengan profesi pustakawan, sehingga takut berubah ketika ada kebijakan baru, tergantung pada orang lain dan tidak bertanggungjawab atas pekerjaan sendiri, serta tidak mau belajar dari siapapun. Pustakawan juga kurang PD dengan kemampuan sendiri, sehingga ketika ada kompetisi tidak banyak yang berpartisipasi.
Masalah terjebak rutinitas ini dialami oleh semua pustakawan baik tingkat terampil maupun ahli. Akibatnya pekerjaan teknis masih dikerjakan oleh golongan tingkat tinggi. Kondisi ini sering dialami oleh pustakawan tingkat ahli di Fakultas/Jurusan/Lembaga/Pusat Studi yang pustakawannya terbatas. Waktu tersita untuk rutinitas karena beban kerja sering tidak sesuai dengan tupoksi. Misal pustakawan madya mengerjakan shelving, pelayanan sirkulasi, penelusuran koleksi di rak. Padahal dalam tupoksi pustakawan madya semestinya lebih banyak mengerjakan konsep dan manajerial, bukan pekerjaan teknis. Hal ini terjadi karena jumlah pustakawan/staf perpustakaan lebih sedikit dibandingkan dengan beban pekerjaan dan pemustaka yang harus dilayani. Juga sering terjadi, waktu tersita untuk rutinitas karena beban kerja yang diluar kepustakawanan (administrasi, keuangan). Jadi pustakawan harus “hangabehi/ bekerja menyeluruh” agar pelaksanaan pelayanan kepada pemustaka dapat berjalan lancar. Kendala dari Pustakawan Sendiri (Internal) Kendala dari pustakawan (internal) berawal sejak menjalani profesi pustakawan bukan berdasarkan panggilan jiwa, dan rasa senang, tetapi “terpaksa” masuk karena tidak ada “pilihan profesi lain”. Akibatnya terbiasa bekerja dengan
Kendala dari Lembaga (Eksternal) Kendala eksternal yang dialami pustakawan untuk menghadapi era global adalah masih ada institusi yang menganggap perpustakaan penting tetapi kebijakan dari para birokrat belum memberi dukungan secara moral dan material. Sering dianggap “sebagai jantung/organ” yang penting/vital, tetapi kebijakan tidak menyentuh perpustakaan, apalagi pustakawan tidak diperhatikan pengembangan karir dan kesejahteraan secara material dan moral. Disamping itu “kepercayaan” dari atasan kurang dan “meremehkan” kemampuan pustakawan. Penutup Berdasarkan dari hasil dan analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Profesi pustakawan di UGM sudah mendapat pengakuan dari Pimpinan UGM dengan pemberian “penghargaan insan berprestasi setiap menjelasng acara Dies Natalis UGM tanggal 19 Desember. 2. Khusus penghargaan insan berprestasi dari pustakawan hanya diambil dari pustakawan berprestasi versi UGM yang akan dikirim ke lomba pustakawan tingkat Nasional versi Dikti. 3. Pustakawan lebih senang berada di “zona nyaman”, belum siap secara mental dan perilaku untuk melakukan perubahan yang memerlukan kompetensi profesional dan personal. 4. Pustakawan sering terjebak dengan pekerjaan rutinitas di luar kepustakawanan dan tupoksi 5. Kinerja pustakawan belum maksimal sesuai dengan tupoksi, bekerja “asal jalan”, belum menyadari tuntutan
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
15
kerja jabatan fungsional. Pola pikir dan pola kerja masih seperti dalam jabatan struktural. 6. Kendala pustakawan dalam menghadapi persaingan global dapat berasal dari diri pustakawan (internal) dan lembaga (eksternal). Pustakawan kurang percaya diri dengan profesinya karena menjadi pustakawan bukan “panggilan jiwa dan hati”. 7. Alih jalur dari fungsional ke jalur struktural dan sebaliknya masih sering terjadi, sehingga profesi pustakawan menjadi tempat yang ideal untuk memperpanjang usia pensiun (dari 56 tahun dapat menjadi 60 tahun).
Profesi pustakawan menjadi menarik ketika ada wacana jabatan fungsional, sertifikasi, renumerasi, karena yang terpikir dalam benak “nilai rupiah”. Ketika profesi pustakawan dituntut mempunyai kompetensi personal, profesional, maka muncul “kegalauan”. Hal ini terjadi karena menjalani profesi pustakawan bukan panggilan hati/jiwa, tetapi “terpaksa” dan/atau “terlanjur”. Kalau dirunut sejak masuk menjadi mahasiswa ilmu perpustakaan pun bukan pilihan pertama, tetapi pilihan terakhir. Inilah salah satu penyebab kenapa perkembangan kepustakawanan di Indonesia “terkesan” stagnan.
daftarpustaka Abrar, Ana Nadhya. (2003). Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI
Kismiyati, Titik. (2011). Kesiapan Sertifikasi Pustakawan. Media Pustaka. Vol 18 No.3 & 4 (13-18).
Arikunto, Suharsimi. (2000). Manajemen Penelitian. Cet, Kelima. Jakarta: Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Ed Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudarsono, Blasius. (2011). Pustakawan dan Perpustakaan dalam Menghadapi Tantangan di Era Global. Media Pustakawa. Vol.18 No.3 & 4 (5-12).
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Cet. Ke-8. Bandung: Alfabeta.
________. (2005). Membangun Kemampuan Pustakawan. Makalah pada Temu karya Pustakawan Madya dan Pustakawan Utama se Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Indonesia. (2004). Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2004 Tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
16
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Sulistyani, Ambar Teguh. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sulistyo-Basuki. (2007). Perpustakaan, Dahulu, Kini dan Mendatang. Bahan diskusi di UI Bookfest. Jakarta: Departeman Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI, 15 s.d 17 Nopember.
Wibisono, Dermawan. (2006). Manajemen Kinerja: Konsep, Desain, dan Teknik Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: Erlangga. Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional. Rekomendasi Komisi II Program Peningkatan Kualitas pejabat Fungsional Pustakawan Dalam Rangka Persiapan Sertifikasi. www.pnri. go.id. Diakses tanggal 27 Desember 2012 pukul 11.10 www.kompaskarier.com. Work Life Mix. 2012. Dalam Kompas Klasika tanggal 11 Agustus. www.pnri.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2012 pukul 14.10 UGM Melantik Enam Pejabat Baru . http://ugm. ac.id . Diakses tanggal 24 Desember 2012 pukul 12.01
Oleh: Dodi Pribadi 1 E-mail :
[email protected]
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 Tentang Pengukuhan Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional Peluang dan Tantangan Pustakawan Berkiprah di Organisasi Internasional Abstrak Organisasi internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan, bersama. Keanggotaan Indonesia pada suatu Organisasi Internasional harus ditetapkan sekurang-kurangnya dengan Keputusan Presiden. Perpustakaan Nasional sebagai pumpunan (pusat) kegiatan (focal point) organisasi internasional untuk perpustakaan di Indonesia telah mengusulkan keikutsertaan aktif dalam 11 (sebelas) organisasi internasional agar masuk dalam daftar Keputusan Presiden. Keputusan Presiden diperlukan sebagai data dukung utama dalam penganggaran kegiatan pada suatu instansi dalam keikut sertaan pada organisasi internasional. Kata kunci: perpustakaan, organisasi internasional, keputusan presiden
Pendahuluan Kerja sama perpustakaan yang dilaksanakan Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) merupakan kegiatan Perpusnas dengan satu atau lebih lembaga/instansi/badan/ organisasi yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang memiliki kekuatan hukum, guna mencapai suatu keserasian atau kesepakatan kerja sama dalam memberikan hasil terbaik bagi semua pihak terutama masyarakat pengguna perpustakaan. Pada sisi lain Perpusnas sebagai focal point organisasi internasional untuk perpustakaan di Indonesia telah mengusulkan keikutsertaan aktif dalam 11 (sebelas) organisasi internasional agar masuk dalam daftar Keputusan Presiden.
1
Keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-organisasi Internasional diatur dalam Keputusan presiden (Keppres) nomor 64 tahun 1999 yang diterbitkan pada bulan Agustus 1999. Dalam pasal 2 Keppres dimaksud tertera bahwa keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional harus ditetapkan sekurang-kurangnya dengan keputusan presiden. Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka tertib administrasi dan tersedianya dasar hukum bagi keanggotaan Indonesia dan pertanggungjawaban pengeluaran keuangan negara yang digunakan sebagai pembayaran kontribusi pemerintah Indonesia bagi keanggotaan pada organisasi internasional, pemerintah Indonesia pada tahun 2011 membentuk
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
17
Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Orgaisasi Internasional (Tim Pokja). Tim Pokja atau Kelompok Kerja yang terdiri atas Sekretariat Negara, Sekretaris Kabinet, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan bertugas mengevaluasi keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional yang tidak memiliki dasar hukum yaitu keanggotaan yang terjadi sebelum Keppres nomor 64 tahun 1999 diterbitkan. Menindaklanjuti hal tersebut, Perpusnas, melalui Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, selama tahun 2011 beberapa kali mempresentasikan mengenai organisasi internasional yang telah diikuti selama ini kepada Tim Pokja. Adapun organisasi internasional yang dimaksud adalah : 1. IFLA (The International Federation of Library Associations and Institutions) 2. CONSAL (Congress of Southeast Asian Librarians) 3. SEAPAVAA (Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association) 4. CDNL (Conference of Directors of National Libraries) 5. CDNL-AO (Conference of Directors of National Libraries of Asia and Oceania) 6. ISBN (International Standard Book Number) 7. ISMN (International Standard Music Number) 8. SLA (Special Library Associations) 9. IASL (International Association of School Librarian) 10. ISNI (International Standard Name Identifier) 11. IAML (International Association of Music Libraries) The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) IFLA merupakan suatu federasi internasional nonpemerintah yang independen dan merupakan organisasi nirlaba. IFLA didirikan tahun 1927 di Edinburgh, Scotland di suatu konferensi internasional. IFLA mempunyai 1600 anggota dari 150 negara yang merepresentasikan 700.000 perpustakaan dan profesional informasi. IFLA terdaftar di Belanda tahun 1971 dan The Royal Library, Perpustakaan Nasional Belanda , dijadikan sebagai kantor pusat IFLA. Organisasi IFLA terdiri dari : 1. General Assembly Merupakan supreme governing body yang terdiri dari delegasi anggota voting. Bertemu setiap tahun pada waktu konferensi tahunan, memilih Presiden dan anggota dari Governing Board. Mengkonsiderasikan resolusi umum dan professional, jika disetujui, akan disampaikan kepada Executive Committee dan Professional Committee untuk melakukan tindak lanjut yang sesuai. 2. Governing Board Bertanggung jawab terhadap arah pengelolaan dan profesionalitas dari IFLA sesuai dengan guideline yang telah ditetapkan oleh General assembly. Governing Board terdiri dari Presiden terpilih, 10 anggota yang terpilih
18
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
3.
4.
5.
6.
secara langsung, 6 anggota yang terpilih secara tidak langsung dari Professional Committee. Executive Committee Mempunyai tanggung jawab eksekutif yang didelegasikan oleh Governing Board untuk melihat arah kebijakan IFLA yang ditetapkan oleh Governing Board. Committee ini terdiri dari Presiden terpilih, Bendahara, Ketua Professional Committee, 2 anggota Governing Board dan Sekretaris Jenderal IFLA. Professional Committee Memastikan dan menkoordinasikan semua tugas dari unit IFLA yang bertanggung jawab terhadap aktivitas profesional, kebijakan dan program kegiatan. Committee ini terdiri dari Ketua terpilih dari Section Officers, officer dari 5 Divisi IFLA ditambah 2 anggota dari Governing Board. Committee ini bertemu tiga kali setahun, salah satunya adalah pada saat konferensi tahunan. Divisons and Sections Difokuskan pada karya IFLA yang terkait dengan jenis layanan perpustakaan dan informasi dalam aspek ilmu perpustakaan informasi dan/atau dalam kawasan tertentu. Semua anggota IFLA berhak menjadi anggota Section sesuai dengan pilihannya masing-masing. Setelah terdaftar, anggota berhak menominasikan specialist sebagai anggota standing committee. Standing committee merupakan kelompok kunci bagi para profesional yang mengembangkan dan memonitor program kegiatan dari section (Africa, Asia dan Oceania, Latin America dan Karibia). Setiap section dikelompokkan menjadi 5 Division. Tiga Regional Section (Africa, Asia dan Oceania, Merika Latin dan Karibia) membentuk Regional Divison (Division 5). Divisi ini menaruh perhatian besar terhadap semua aspek dari layanan perpustakaan dan informasi di kawasannya. Special Interest Groups Group ini dapat dibentuk tidak permanen dan bersifat informal yang memungkinkan anggota group berdiskusi tentang hal yang lebih spesifik dibidang profesionalitas, sosial dan budaya yang terkait dengan profesi.
IFLA menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti penyelenggaraan forum, penyusunan pedoman dan standar di bidang perpustakaan dan informasi, layanan perpustakaan dan informasi, pustakawan dan masyarakat pemustaka di seluruh dunia. Untuk mencapai tujuan ini IFLA mempromosikan standar yang tinggi dalam memberikan layanan kepada masyarakat, profesionalitas yang tinggi bagi pustakawannya, dan juga memberikan akses, perlindungan dan pelestarian terhadap dokumentasi budaya. Hal tersebut dilakukan melalui: 1. Peningkatan pendidikan profesional, pengembangan standar-standar profesional, penyebarluasan best practices dan kemajuan ilmu pengetahuan dan pengetahuan profesional.
2. Mendorong dan menyebarluaskan kesadaran akan pentingnya penyelenggaraan layanan prima oleh perpustakaan dan penyediaan informasi di sektor umum maupun swasta secara sukarela. 3. Merepresentasikan pengetahuan dan keahlian yang diminati anggotanya di seluruh dunia. Keanggotaan : 1. Dalam keanggotaan IFLA tidak ada kewajiban yang mengikat diantara asosiasi dan lembaga perpustakaan dan informasi. 2. Keanggotaan IFLA mempunyai 3 kategori yaitu keanggotaan asosiasi, lembaga dan individu. 3. Keanggotaan terbuka bagi semua perpustakaan, pusat informasi, asosiasi perpustakaan, pustakawan, information professional, mahasiswa jurusan informasi dan perpustakaan, lembaga dan individu. 4. Keanggotaan mulai 1 Januari sampai 31 Desember setiap tahunnya. 5. Keanggotaan terhenti kalau meninggal, bubar, mengundurkan diri, dan dikeluarkan. Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada IFLA : 1. Secara Internasional : a. Dunia perpustakaan dan informasi saat ini berkembang sangat cepat dan pesat, terlebih dengan adanya perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi berpengaruh terhadap keberadaan perpustakaan dan pusat informasi di dalam memberikan layanannya kepada masyarakat. Perpusnas merupakan bagian dari jaringan perpustakaan dunia, karena tidak satupun perpustakaan yang dapat berdiri sendiri tanpa menjadi bagian dari suatu jaringan. Dengan menjadi anggota jaringan, diharapkan dapat berbagi informasi baik dalam bentuk tercetak, terekam, tertulis dan digital. b. Perpusnas merupakan bagian dari sistem perpustakaan dunia. Standar Internasional pengelolaan perpustakaan merupakan acuan yang digunakan Indonesia didalam pengelolaan perpustakaan secara nasional. c. Perpusnas berkontribusi aktif terhadap penyusunan dan pengembangan standar dan pedoman perpustakaan. d. Mendapatkan dan berlangganan terbitan IFLA seperti Bi-annual IFLA Directory, IFLA Annual Report, IFLA Journal dan IFLA Newsletter. 2. Secara Nasional : a. Upaya percepatan pengembangan perpustakaan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan berbagi informasi terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan best practices dalam
pengelolaan perpustakaan secara baik dan benar yang dapat memuaskan masyarakat. b. Standar dan pedoman yang dipergunakan di Indonesia pada umumnya mengacu kepada standar dan pedoman internasional. Dengan demikian diharapkan bahwa pengelolaan perpustakaan di Indonesia berdasarkan kepada standar dan pedoman internasional. c. Keikutsertaan dalam forum internasional di bidang perpustakaan dan informasi sangat diperlukan sebagai upaya menjadi anggota jejaring perpustakaan secara global 3. Secara Teknis : a. Alat kerja di perpustakaan yang digunakan mengacu kepada pedoman yang telah ditetapkan secara internasional misalnya Dewey Decimal Classficication (DDC) dan Anglo-American Cataloging Rules (AACR) dimana Indonesia memperoleh hak menterjemahkan kedua pedoman tersebut kedalam bahasa Indonesia. b. Selain itu juga Machine Readable Cataloging (MARC) merupakan format data bibliography. Perpusnas berkewajiban untuk mengembangkan INDOMARC yang mengacu kepada MARC yang terstandar. c. Perpusnas juga mendapatkan hak menterjemahkan pengelolaan perpustakaan Library For All dan School Library Manifesto. Kedua buku ini merupakan acuan terhadap pengelolaan perpustakaan umum dan manifesto dunia tentang keberadaan dan pentingnya perpustakaan sekolah CONGRESS OF SOUTHEAST ASIAN LIBRARIANS (CONSAL) CONSAL didirikan tahun 1970 di Singapura sebagai bentuk respon terhadap tumbuh kembangnya rasa identitas diri di lingkungan pustakawan se-Asia Tenggara. Inisiasi pembentukkan CONSAL berasal dari Library Association of Singapore dan Malaysia. Pada saat itu CONSAL, yang masih merupakan merupakan Conference of South East Asian Librarians, baru beranggotakan 7 negara yaitu Kambodja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Seiring berjalannya waktu jumlah anggota CONSAL saat ini telah mencapai 10 negara, yaitu Kambodja, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar dan Brunei. Organisasi CONSAL terdiri dari Executive Boards dan Sekretariat Jenderal. 1. Executive Board a. Keanggotaan Executive Boards terdiri dari 3 anggota nasional untuk setiap negara yaitu : • Kepala Perpustakaan Nasional. • Ketua Organisasi Profesi. • Sekretaris Jenderal atau Perwakilan lainnya dari Organisasi Profesi. b. Bertemu sekurang kurangnya satu kali dalam satu tahun.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
19
c. Menyimpan laporan kegiatan dan laporan keuangan CONSAL dan menyerahkannya kepada tua rumah berikutnya. d. Menyelenggarakan general conference sekali dalam tiga tahun. e. Menetapkan Sekretaris Jenderal. 2. Sekretariat Jenderal a. Sejak bulan April tahun 2000, CONSAL Executive Board besepakat untuk membentuk CONSAL Secretariat dengan hostnya Singapura selama 3 tahun. Tugas utama Secretariat ini mengkoordinasikan projectproject CONSAL yang setujui oleh Executive Boards, namun sejak tahun 2007 host Secretariat menempel pada tuan rumah kegiatan General Conference. b. Sekretariat di pimpin oleh Sekretaris Jenderal yang ditunjuk oleh Executive Board. c. Sekretaris Jenderal berfungsi sebagai sekretaris dari Executive Board dan mengikuti pertemuan Executive Board. d. Masa kerja Sekretaris Jenderal selama 3 tahun. Keanggotaan : 1. Keanggotaan dalam CONSAL terdiri dari keanggotaan nasional, keanggotaan asosiasi, keanggotaan kehormatan. 2. Dalam keanggotaan CONSAL tidak ada kewajiban yang mengikat. 3. Keanggotaan tidak dikenakan iuran tahunan. 4. Indonesia telah menjadi anggota CONSAL sejak tahun 1975. Tujuan CONSAL : 1. Mendirikan, menjaga dan memperkuat jaringan, kemitraan dan hubungan di antara pustakawan, perpustakaan, sekolah perpustakaan dan asosiasi perpustakaan serta intitusi terkait di wilayah Asia Tenggara. 2. Mendorong kerja sama dan menyediakan bantuan dalam pengembangan kepustakawanan, ilmu perpustakaan dan informasi, dokumentasi, informasi dan layanan terkait di wilayah Asia Tenggara. 3. Bekerja sama dengan organisasi regional dan internasional serta institusi lain dalam upaya mendorong terlaksananya kegiatan dan terwujudnyA tujuan CONSAL. 4. Menyediakan forum untuk berbagi dan bertukar informasi serta pengalaman dalam bidang kepustakawanan, ilmu perpustakaan dan informasi serta layanan terkait di wilayah Asia Tenggara. Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada CONSAL 1. Secara Internasional : a. Memperkuat rasa persuadaraan di antara anggota negara ASEAN.
20
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
b. Indonesia mempunyai pengaruh yang dominan di dalam pengembangan perpustakaan di Asia Tenggara sehingga keikutsertan Indonesia dalam CONSAL diharapkan dapat meningkatkan dan meragamkan kegiatan kepustakwanan di Asia Tenggara. c. CONSAL merupakan suatu organisasi yang mendorong terciptanya semangat kerjasama dan kemitraan yang sejajar didalam mengembangkan kepustakawanan, sehingga keikutsertaan Indonesia didalam CONSAL dapat berbagi resources untuk memuaskan pemustaka. d. Mendapatkan terbitan CONSAL. 2. Secara Nasional Dengan adanya forum untuk berbagi dan bertukar informasi serta pengalaman dalam bidang kepustakawanan, ilmu perpustakaan dan informasi serta layanan terkait di wilayah Asia Tenggara maka dapat mempercepat pengembangan perpustakaan dan pustakawan Indonesia. 3. Secara Teknis beberapa project telah dikembangkan bersama antara lain: • pengembangan minat baca melalui layanan perpustakaan. • penyusunan index Ethnobotany. • pembuatan koleksi digital candi-candi. • pengumpulan folklores di Asia Tenggara. • pembuatan direktori sekolah perpustakaan. • pertukaran expertise dibidang perpustakaan, informasi dan dokumentasi. • sharing metadata dan konten digital. • pengembangan jejaring perpustakaan. • penyusunan pedoman pengeloalaan perpustakaan. ISBN – International Standard Book Number(Standar Internasional nomor buku) International Standard Book Number atau Standar Internasional Nomor Buku adalah salah satu cara pemberian nomor buku yang diterima semua pihak dengan berpedoman pada standar internasional yang telah ditentukan. Sistem ISBN secara menyeluruh dikelola oleh Badan ISBN (International ISBN Agency) yang berkedudukan di Berlin Barat. Sejak tahun 2007 hingga saat ini Badan ISBN berkedudukan di Inggris dan diketuai oleh Brian Green, Executive Director International ISBN Agency. Badan ini setiap tahunnya mengadakan ” ISBN International Annual General Meeting”. Fungsi Badan ISBN adalah mengawasi sistem ini, menentukan dan menyediakan identitas kelompok (Group identifier), memberi nasihat kepada badan-badan nasional, serta mengalokasi identitas penerbit (Publisher identifier). Pelaksanaan ISBN di Indonesia ditangani oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia merupakan badan ISBN yang disepakati dan disetujui bersama, baik pihak penerbit dan lembaga perpustakaan lainnya.
Fungsi ISBN 1. Memberikan identitas terhadap satu judul buku yang diterbitkan oleh penerbit. 2. Membantu memperlancar arus distribusi buku karena dapat mencegah terjadinya kekeliruan dalam pemesanan buku. 3. Sarana promosi bagi penerbit karena informasi pencantuman ISBN disebarluaskan baik oleh Badan Nasional ISBN di Jakarta, maupun Badan Internasional yang berkedudukan di London. 4. Untuk mengetahui jumlah terbitan setiap tahunnya di Indonesia. Keanggotaan 1. Setiap negara anggota Badan ISBN membayar iuran tahun sebesar 250 EURO Pertemuan ”ISBN Annual General Meeting” diadakan setiap tahun. 2. ISBN masuk dalam badan organisasi internasional lain diantaranya : a. The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) b. The international Council on Archives (ICA) c. European Bureau of Library, Information and Documentation Associations(RBLIDA) d. The International Music Council (IMC) e. Bagian dari Unesco non-governmental Organization yang berhubungan dengan The International of Sound Archives (IASA) . f. Termasuk dalam dua grup Project Groups on the International Standard Bibliographic Description (ISBD) g. Berkolaborasi dengan IFLA untuk membahas revisi ISBDs for Non-Book Materials (NBM) and Printed Music (PM). 3. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 1985. Pentingnya Indonesia (Perpusnas) sebagai Anggota ISBN 1. Secara internasional Keikutsertaan Perpusnas dan Lembaga penerbit, baik swasta maupun pemerintah, dalam pelaksanaan ISBN akan mendatangkan manfaat bagi dunia perbukuan pada umumnya, khususnya dalam hal promosi dan distribusi buku dalam skala internasional. 2. Secara nasional Indonesia memiliki 34 Provinsi, dengan setiap provinsi yang memiliki sumber daya alam dan kebudayaan yang beragam. Keberagaman tersebut menumbuhkan karyakarya dan tentu saja penerbit-penerbit, baik penerbit swasta maupun penerbit pemerintah yang menjadi sumber informasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. ISBN mempermudah tersimpannya berbagai karya intelektual bangsa atau sumber informasi, sehingga dapat terkumpul kekayaan intelektual bangsa.
Conference of Directors of National Libraries (CDNL) Conference of Directors of National Libraries merupakan suatu asosiasi independen Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional dari berbagai negara yang dibentuk sebagai wadah diskusi, mempromosikan pemahaman dan kerjasama untuk kepentingan bersama seluruh Peprustakan Nasional di Dunia. Pertemuan dilaksanakan setiap tahunnya pada hari rabu pada saat IFLA conference. Kehadiran Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional pada pertemuan ini dapat diwakilkan kepada para Deputinya. Perpustakaan Nasional di seluruh dunia mempunyai misi yang sama yaitu menggumpulkan, merekam, mengorga nisir, menyimpan dan mempreservasi dan menyediakan akses untuk warisan budaya dan karya intelektual bangsa dalam bentuk dokumentasi. CDNL mempunyai visi jangka panjang yaitu pengembangan perpustakaan digital secara global yang komprehensif, terbuka dan dapat diakses melalui internet. Pengembangan perpustakaan digital secara global diarahkan untuk dapat memberikan akses kepada bahan perpustakaan dari seluruh perpustakaan nasional di dunia untuk mengembangkan penelitian, pendidikan , belajar sepanjang masa, inovasi dan pengembangan ekonomi dan mempromosikan pemahaman bersama secara internasional. Indonesia menjadi anggota CDNL sejak tahun 1975. Organisasi CDNL 1. Executive Conference terdiri dari 3 orang yaitu Ketua dan 2 Wakil Ketua yang dipilih melalui pemungutan suara. Masa kepemimpinanya selama 4 tahun dan mempunyai hak penuh didalam memimpin konferensi. 2. Committee/ Task Force/ Ad Hoc Group Konferensi (CDNL) dengan persetujuan Executive Conference dapat membentuk sebuah komite untuk bidang tertentu atau kelompok kerja atau tim ad hoc. Komite/kelompok kerja/tim ad hoc mempunyai tugas untuk melakukan penelitian, kajian dan/atau mengembangan suatu project untuk kepentingan bersama berdasarkan masalah-masalah umum dunia yang terkait dengan perpustakaan, informasi dan dokumentasi. 3. Sekretariat Ketua membentuk sekretariat untuk mengatur pertemuan, mencatat, menyebarkan informasi hasil pertemuan dan bertanggung jaewab terhadap persuratan Dalam keanggotaan CDNL tidak ada kewajiban yang mengikat: 1. Setiap Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional merupakan anggota CDNL. 2. Keanggotaan terbuka bagi semua Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional. 3. Keanggotaan tidak dipungut biaya.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
21
Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada CDNL 1. Secara Internasional a. Indonesia menjadi bagian perpustakaan dunia yang harus ikut didalam berkontribusi didalam menyediakan bahan perpustakaan yang dapat diakses secara global untuk kepentingan penelitian, pendidikan, belajar sepanjang masa secara universal. b. Indonesia mempunyai banyak kearifan lokal yang dapat dikembangkan dan dibagi pemanfaatannya secara bersama-sama. 2. Secara Nasional a. Indonesia merupakan negara yang kepulauan yang sangat luas, memiliki banyak ragam informasi kearifan local yang belum ter-explore dan ter-expose keberadaanya. Dengan menjadi anggota CDNL, Indonesia dapat menjadi salah satu rujukan yang potensial didalam menyediakan informasi tersebut. b. Informasi yang tehimpun diperpustakaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, belajar sepanjang masa setiap warga negara. 3. Secara Teknis Beberapa penelitian dan project yang dikembangkan bersama: a. Legal deposit. b. Bibliograpphy control. c. Preseervation on national hariytage. d. Literacy campaign. e. Digital Library. f. Web archiving. Conference of Directors of National Libraries in Asian and Oceania (CDNLAO) CDNLAO (1979) merupakan tindakan lanjutan dari Kepala/Direktur Perpustakaan Nasional wilayah Asia-Oceania yang juga tergabung dalam CDNLAO. Forum ini dibentuk dengan latar belakang salah satunya yaitu persamaan budaya dan sejarah antar bangsa di wilayah Asia Oceania. Pertemuan dilaksanakan setiap tahunnya dengan tuan rumah yang bergantian dan untuk tahun 2012 Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi ini. Secara umum dapat dikatan bahwa tujuan dari CDNLAO adalah 1. Bertukar informasi dan mempromosikan kerjasama untuk menggembangkan perpustakaan di wilayah Asia dan Oceania. 2. Membantu perpustakaan dari less developed. 3. Memahami kondisi terbaru perkembangan perpustakaan anggota CDNLAO. Keanggotaan 1. Dalam keanggotaan CDNLAO tidak ada kewajiban yang mengikat.
22
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
2. Setiap Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional di Asia Oceania merupakan anggota CDNLAO. 3. Keanggotaan terbuka bagi semua Direktur/Kepala Perpustakaan Nasional di wilayah Asia dan Pasific. 4. Keanggotaan tidak dipungut biaya. 5. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 1979. Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada CDNLAO 1. Secara Internasional Indonesia menjadi bagian dari perpustakaan Asia Oceania yang harus ikut didalam berkontribusi secara aktif didalam mempromosikan pemahaman dan kerjasama dibidang perpustakaan, informasi dan dokumentas, memempromosikan dan berbagi sumber daya perpustakaan yang dapat diakses secara global, memberikan bantuan dan/atau menerima bantuan technical assistance untuk pengembangan perpustakaan. 2. Secara Nasional a. Indonesia merupakan negara yang kepulauan yang sangat luas, memiliki banyak ragam informasi kearifan lokal yang belum tereksplor dan terekspose keberadaanya. CDNLAO dapat menjadi tempat promosi atau memperkenalkan kearifan lokal Indonesia pada Dunia khususnya dalam menyediakan informasi mengenai kearifan lokal Indonesia. b. Informasi yang tehimpun diperpustakaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, belajar sepanjang masa setiap warga negara. c. Menerima bantuan technical assistance seperti ketika bencana tsunami di Aceh dan Padang 3. Secara Teknis Beberapa penelitian dan project yang dikembangkan bersama menerima bantuan technical assistance pada saat bencana tsunami di Aceh dan Padang, Web Archieving, Digital Library, Reference services, Preservation. Southeast Asia-Pacific audio Visual Archive Association (SEAPAVAA) SEAPAVAA merupakan forum regional untuk mengemukakan isu-isu umum dan concern pada koleksi dan pelestariannya serta menyediakan akses pada koleksi AV yang berupa budaya bangsa kepada masing-masing anggotanya. Tujuan dari SEAPAVAA adalah mempromosikan dan mengembangkan kearsipan audiovisual pada tingkat nasional, regional dan internasional serta memperkuat kapabilitas nasional pada akuisisi audio visual, manajemen, pelestarian dan penyediaan akses pada koleksi audio visual termasuk penelitian, pelatihan dan teknologi alih media serta metodenya maupun pengelolaannya.
Pentingnya keanggotaan Indonesia pada SEAPAVAA 1. Secara internasional Indonesia memiliki kekayaan budaya yang beragam sehingga sangat diperlukan untuk melestarikannya menjadi Memory of the World. 2. Secara Nasional Dapat memperluas jaringan kerja sama pada tingkat Asia Tenggara-Pasifik di bidang pengarsipan bahan perpustakaan audio visual serta meningkatkan kualitas pustakawan di bidang pengembangan pengarsipan bahan perpustakaan audio visual dan informasi. 3. Secara Teknis Sejak Indonesia (Perpusnas) masuk dalam organisassi ini tahun 1993, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sumber daya manusia melalui konferensi dan workshop diantaranya tahun 1998 di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta diperoleh standar alih media digital koleksi audio visual bentuk analog ke bentuk digital serta pengelolaan koleksi yang bersifat perawatan, pemeliharaan dan perbaikan koleksi. International Standard Music Number (ISMN) Agency yang memberikan identitas / penomoran terhadap 1 (satu) judul partitur dengan berpedoman pada standar intenasional serta mengetahui jumlah partitur music setiap tahunnya. Indonesia masuk sebagai anggota ISMN sejak tahun 2002, yang secara rutin mengadakan pertemuan tahunan (ISMN International Annual General Meeting) International Association of School Librarianship (IASL) Merupakan forum internasional yang mewadahi orang yang memiliki interest terhadap promosi program media perpustakaan sekolah yang efektif sebagai instrumen yang penting dalam proses pembelajaran. IASL juga memberikan panduan dan nasehat dalam mengembangkan program dan profesi perpustakaan sekolah. Dalam menjalankan misinya, IASL bekerjasama dengan asosiasi dan lembaga profesi yang lain. Tujuan 1. Memberikan advokasi dalam pengembangan perpustakaan sekolah di semua negara. 2. Mendorong integrasi program perpustakaan sekolah dalam pengembangan instruksional dan kurikulum sekolah. 3. Memasyarakatkan peningkatan profesionalisme dan pendidikan yang berkelanjutan tenaga perpustakaan sekolah. 4. Mendorong hubungan yang lebih luas antara tenaga perpustakaan sekolah dan profesi lain yang berkaitan dengan anak dan remaja.
5. Mendorong penelitian di bidang kepustakawanan sekolah dan integrasi dari kesimpulannya dengan pengetahuan yang berkaitan. 6. Memasyarakakan terbitan dan meyebarluaskan informasi tentang keberhasilan advokasi dan insiatif program dalam kepustakawanan sekolah. 7. Berbagi informasi tentang program dan materi perpustakaan sekolah untuk anak dan remaja kepada seluruh komunitas internasional. 8. Memprakarsai dan mengkoordinasikan kegitan, konferensi dan projek dalam bidang kepustakawanan sekolah dan layanan informasi. Organisasi IASL terdiri dari Board of the Association, Excutive Committee, Regional Directors dan Sekretaris. 1. The Board of Association adalah mereka yang terdaftar sebgai anggota, terdiri dari Excutive Committee dan Regional Director yang dipilih. Sekretaris merupakan anggota ex-oficio dari Board, yang tidak memilii hak untuk melakukan voting. 2. Masa jabatan regional director adalah 3 tahun dan tidak boleh dipilih lebih dari dua kali. 3. Pada setiap rapat tahunan asosiasi, anggota Board yang masa jabatannya telah berakhir, harus berhenti dari jabatannya, tetapi memenuhi persyaratanuntuk dipilih kembali. 4. Anggota Badan hasil dari voting hanya dapat dipilih sesuai dengan peraturan untuk anggota terpilih dari Excutive committee dan biasanya diharapkan berada pada wilayah yang diwakilinya. 5. Paling sedikit Sembilan Regional Director yang terpilih mewakili asosiasi secara geografis. Wakil dari setipa wilyah geografis secara teratur harus dinilai oleh Excutive Committee untuk menjamin distribusi yang sesuai. 6. Dari waktu ke waktu Excutive Committee dapat menunjuk petugas tambahan dalam periode tertentu untuk melengkapi kegiatan projek yang spesifik. Keanggotaan Keanggotaan IASL mencakup seluruh dunia dan meliputi dari pustakawan sekolah (tenaga perpustakaan sekolah), guru, pustakawan, Pembina perpustakaan, konsultan, administrator pendidikan dan mereka yang bertanggung jawab terhadap perpustakaan dan layanan informasi di sekolah. Keanggotaan juga meliputi professor dan dosen dari universitas atau perguruan tinggi yang memiliki program untuk perpustakaan sekolah. Jenis keanggotaan: 1. Individual, meliputi: a. Pribadi yaitu orang yang memiliki interest individu terhadap perkembangan perpustakaan sekolah dan program media perpustakaan sekolah.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
23
Jumlah anggota pribadi tidak dibatasi dan mereka mempunyai hak memiliki posisi dan satu suara dalam rapat umum. b. Mahasiswa, jumlah anggota mahasiswa tidak dibatasi dan mereka mempunyai hak memilikiposisi dan satu suara dalam rapat umum. c. Anggota dalam wilayah tertentu yang membayar biaya yang ditentutakan dalam zona dimana dia mendaftar. Jumlah anggota mahasiswa tidak dibatasi dan mereka mempunyai hak memiliki posisi dan satu suara dalam rapat umum. d. Anggota Kehormatan adalah mereka yang secara individual memiliki kontribusi yang luar biasa dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Jumlahnya dibatasi hanya sepuluh orang. Mereka mempunyai hak memilikiposisi dan satu suara dalam rapat umum. e. Keanggotaan Purnawirawan adalah mereka yang berusia 65 tahun atau lebih dan terikat dengan kerja penuh waktu. Jumlah anggota pensiunan tidak dibatasi dan mereka mempunyai hak memiliki posisi dan satu suara dalam rapat umum. 2. Institusi adalah anggota yang merupakan lembaga pendidikan dan komersial yang mendukung tercapainya tujuan asosiasi. Jumlahnya tidak dibatasi. Salah satu wakil dari lembaga yang telah dicatat oleh sekretaris mempunyai hak memiliki posisi dan suara dalam rapat umum. 3. Keanggotaan Asosiasi dapat berupa regional, nasional maupu internasional yang memiliki kegiatan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah keanggotaan tidak dibatasi. Salah satu wakil dari lembaga yang telah dicatat oleh sekretaris mempunyai hak memiliki posisi dan suara dalam rapat umum. 4. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 2006. Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada IASL 1. Secara Internasional Di Indonesia terdapat lebih dari 265.000 sekolah, setiap sekolah diharuskan memiliki perpustakaan sesuai dengan amant UU nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah di Indonesia diantaranya dengan mengembangkan koleksi, membangun gedung/ruangan perpustakaan, pelatihan tenaga perpustakaan sekolah, penyusunan standar dan pedoman perpustakaan sekolah. Dengan keikutsertaan Indonesia yang memiliki banyak sekolah dan pengalaman dalam mengembangkan perpustakaan sekolah diharapkan dapat memperkuat peran IASL dalam mengembangkan perpustakaan sekolah di dunia. 2. Secara Nasional Indonesia sudah mulai mengembangkan perpustakaan sekolah di seluruh wilayah tetapi pengembangannya
24
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
masih belum merata. Dalam mengembangkan Perpustakaan Sekolah di Indonesia, Perpustakaan Nasional sebagai instansi Pembina perpustakaan sekolah mengusulkan pengintegrasian program perpustakaan ke dalam kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah. Usulan ini merupakan adaptasi dari kebijakan pengembangan perpustakaan sekolah di beberapa negara anggota IASL. Selain itu pustakawan sekolah/ tenaga perpustakaan sekolah sudah ikut serta dalam menyusun kurikulum sekolah. Indonesia diharapkan dapat belajar dari negara anggota IASL tersebut melalui forum interest yang disiapakan dalam milis, konferensi tahunan maupun konferensi jarak jauh. Special Library Association (SLA) Special Library Association adalah organisasi dunia nonprofit untuk profesional informasi, perpustakaan di dunia. SLA didirikan pada tahun 1909 di Amerika Serikat, sampai saat ini SLA memiliki lebih dari 11.000 anggota di lebih dari 80 negara. Asosiasi ini memiliki CEO (karyawan dari asosiasi) dan Presiden terpilih (mandat satu tahun), dan pusat SLA di Alexandria, Virginia. Anggota SLA biasanya memiliki gelar master dalam perpustakaan atau ilmu informasi. Mengingat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, diperlukan analisis untuk memilih, menganalisis, mengelola, menyimpan, dan memberikan informasi dan pengetahuan. Kegiatan Asosiasi mencakup konferensi, pendidikan profesional, jaringan dan advokasi. Organisasi SLA Organisasi SLA terdiri dari advisory council, Board of Directors yang di dalamnya terdapat, President, President Elect, Past President, Treasurer, dan Chapter Cabinet, Advisory Council. Board of Directors merupakan perwakilan dari keanggotaan asosiasi. Direksi bertugas mengontrol asosiasi dalam hal realisasi pelayanan dan pemenuhan kewajibannya kepada anggota. Bertanggung jawab dalam masalah perencanaan, organisasi, operasional, dan audit. President berperan sebagai Ketua Dewan Direksi dan pejabat terpilih, bertanggung jawab atas manajemen asosiasi dalam pencapaian visi dan misi asosiasi. Presiden-Elect adalah wakil Presiden yang terpilih dalam asosiasi Perpustakaan Khusus, bertugas mendukung Presiden dalam memenuhi tujuan dan sasaran dari Direksi dengan memberikan kontinuitas untuk program dan merumuskan program-program masa depan. Past Prersident, mendukung tujuan dan kegiatan Presiden, serta memberikan saran, nasehat, bantuan, dan informasi kepada Presiden, dewan lainnya, komite, dan keanggotaan asosiasi lainnya. Treasurer bertanggungjawab dalam masalah keuangan, membantu asosiasi dalam mempersiapkan anggaran tahunan, serta memantau pengeluaran dan pemasukan melalui laporan bulanan, serta membantu memantau asosiasi dalam investasi jangka panjang. Chapter Cabinet Chair melayani Dewan Direksi dan SLA bekerja sama dengan Ketua
Kabinet Divisi. Dipilih oleh anggota untuk jangka waktu 3 tahun. Advisory Council mempunyai tugas memilih tema, dalam konsultasi dengan Direksi; menentukan tema dan pembicara untuk Sesi Umum; bekerja dengan Unit Perencana Konferensi dan Komite Asosiasi untuk merencanakan dan mengkoordinasikan program Konferensi keseluruhan; bertindak sebagai penghubung antara unit Association dan Asosiasi Staf. Keanggotaan 1. Keanggotaan SLA terdiri perorangan (pustakawan atau pekerja informasi), lembaga, atau kelompok (group). 2. Membayar biaya keanggotaan. 3. Pendaftaran anggota bisa dilakukan secara online. 4. Masa keanggotaan berlaku untuk satu tahun. 5. Kenggotaan SLA terbuka untuk semua negara. 6. Anggota lembaga terdiri dari Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan dan Pengkajian untuk Parlemen, Perpustakaan dari berbagai perusahaan. 7. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 2008. Tujuan SLA 1. Memfasilitasi kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan perpustakaan khusus, baik dalam bentuk seminar sharing pengetahuan serta menyediakan jaringan profesional informasi secara online. 2. Sebagai ajang diskusi dan berbagi pengetahuan serta kemungkinan menjalin kerjasama internasional bagi para anggotanya. 3. Mempromosikan dan memperkuat anggotanya melalui pembelajaran, advokasi, dan inisiatif jaringan. 4. Memberikan kesempatan untuk berdiskusi, konsultasi, dan tukar menukar informasi, berakaitan dengan pengembangan perpustakaan dan informasi. Pentingnya Keanggotaan Indonesia Pada SLA 1. Secara Internasional a. Mempromosikan pengembangan perpustakaan khusus di Indonesia dalam kancah internasional. b. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang perkembangan kepustakawanan di tingkat internasional. c. SLA menyediakan jaringan profesional informasi di komunitas lokal untuk masing-masing Negara. d. SLA menawarkan beragam kesempatan pengembangan profesional, termasuk programprogram terbaik, pendidikan online yang dirancang untuk mempertajam keterampilan profesional. 2. Secara Nasional a. Perpustakaan khusus di Indonesia merupakan perpustakaan yang dikembangkan oleh organisasi atau lembaga baik swasta maupun pemerintah. Keikutsertaan dalam SLA akan mempermudah
bagi perpustakaan khusus dalam mengatasi permasalahan dalam pengembangan perpustakaan khusus di Indonesia. b. Informasi mengenai perkembangan pengetahuan, teknologi, dan informasi global berkembang pesat sehingga keikutsertaan dalam forum internasional sangat diperlukan bagi perpustakaan khusus yang berkecimpung dalam pengelolaan informasi. 3. Secara Teknis Kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Komite dan Dewan yang saat ini telah berlangsung, yaitu: Cataloguing Comitte, Research Services Librarian & Knowledge Management International Association of Music Libraries (IAML) IAML adalah organisasi yang memberikan informasi kepada para anggotanya yang menyangkut didalam penyimpanan dan pengelolaan bahan pustaka berupa lembaran musik seperti : 1. Pengolahan sumber-sumber musik / naskah musik yang muncul termasuk naskah musik pada sisa masa perang. 2. Membuat pusat pemegang kopi photo graphic musik dari negara yang sebagai sumber bahan pustaka tersebut dengan memberikan bentukan berupa microfilm untuk keperluan penelitian. IAML juga sebagai salah satu partner dengan IFLA dan termasuk sebagai badan organisasi yang masuk dalam IFLA Working Group for ISBD (Printed Music). Pada saat sekarang ini keanggotaan IAML sudah mencapai 45 negara di dunia, Bentukan organisasi ini secara resmi telah berjalan sejak tahun 1951 Keanggotaan 1. Setiap negara anggota membayar iuran tahun sebesar 62 EURO. 2. Pertemuan diselenggaraan secara tahunan 3. IAML masuk dalam badan organisasi internasional lain yakni : a. The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), b. The International Council on Archives (ICA), c. European Bureau of Library, Information and Documentation Associations (EBLIDA) d. The International Music Council (IMC), e. Bagian dari UNESCO non-governmental organization yang berhubungan dengan the International Association of Sound Archives (IASA) and the International Association of Music Information Centres (IAMIC). f. Termasuk dalamn dua grup Project Groups on the International Standard Bibliographic Description (ISBD)
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
25
g. Berkolaborasi dengan IFLA untuk revisi membahasa revisi ISBDs for Non-Book Materials (NBM) and Printed Music (PM). h. IAML juga bekerjasama dengan the International Organization for Standardization (ISO) on the development of the International Standard Music Number (ISMN). 4. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 2002. Pentingnya Keanggotaan Indonesia pada IAML 1. Secara internasional Indonesia memiliki kekhasan musik yang tidak dimiliki oleh negara lain misalnya gamelan jawa, bali dan lain-lain. Irama musik ini mendapat perhatian dari manca negara. Hal ini menyebabkan irama musik ciri khas Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan di dalam lembaran musik/ partitur musik yang perlu dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi aset bangsa yang mendunia 2. Secara nasional Indonesia termasuk negara yang memiliki beragam musik daerah namun pendokumentasian dan paten dari irama musik tersebut belum terkelola dengan cukup baik, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai hal tersebut. Dengan mengikuti IAML diharapkan Indonesia mampu memperbaika pengelolaan irama musik daerah tersebut Misalnya dengan membuat partitur musik atau notasi angka irama daerah. Bila hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik maka pengakuan terhadap
26
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
musik daerah Indonesia dapat mendunia dan terjaga dari klaim negara lain. The Intenational Standard Name Identifier (ISNI) Indonesia terdaftar dalam ISO 27729 untuk cakupan dalam bagian indentifikasi Indentitas Publik/Masyarakat (Public Identities). Indentitas ini berkaitan erat dengan berbagai industry media termasuk produksi, manajemen beserta rangkain kontribusinya. ISNI memiliki cara untuk menghindarkan ambigu nama-nama yang kemungkinan membingungkan. Oleh karena itu ISNI memiliki sistem yang unik yang dapat memberikan identitas publik/masyarakat secara tepat. Indonesia menjadi anggota ISNI sejak tahun 2011 Keanggotaan ISNI berpusat di Inggris yakni di British Library. Pertemuan diselenggaraan secara tahunan dan iuran pembayaran sebagai anggota. ISNI masuk dalam badan organisasi internasional lain yakni : 1. International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) ( www.cisac.org ) 2. International Federation of Reproduction Rights Organisations (IFRRO)( www.ifrro.org ) 3. International Performers’ Database Association (ipda.sami. se) 4. Bowker (www.bowker.com) 5. Online Computer Library Center (OCLC) (www.oclc.org)
6. Bibliothèque Nationale de France 7. The British Library Pentingnya Indonesia sebagai anggota ISNI 1. Secara internasional Indonesia memiliki kekhasan nama/marga/gelar yang tidak dimiliki oleh negara lain misalnya marga Nasution, marga Sitompul, juga gelar Teuku, i dan lain-lain. Namanama ini dapat menjadikan ciri khas indentitas Indonesia untuk berhubungan dengan dunia internasional/manca negara sehingga nama ciri khas Indonesia memberikan indentitas masyarakat yang perlu dikelola dengan baik di dunia maupun di Indonesia. 2. Secara nasional Indonesia termasuk negara yang memiliki beragam nama dan marga dari berbagai daerah yang memberikan indentitas dari daerah mana seseorang itu berasal. Supaya nama/marga tersebut dapat tersimpan dengan baik di perpustakaan termasuk Perpusnas perlu dibuat sebuah authority file yang dibantu dengan mengikuti ISNI. Dengan menghasilkan database nama-nama secara nasional dan disimpan serta dikelola dengan baik oleh perpustakaan maka identitas bangsa Indonesia dapat dikenal oleh negara lain di dunia ini. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 Untuk meningkatkan peran serta dan kegiatan Pemerintah Republik Indonesia pada organisasi-organisasi internasional, dipandang perlu untuk melakukan pengkajian terhadap keanggotaan Indonesia pada organisasi-organisasi internasional dengan memperhatikan asas-asas efisiensi, efektivitas, manfaat dan kemampuan keuangan negara,
karena kontribusi adalah beban keuangan yang harus dibayarkan oleh setiap negara anggota kepada organisasi internasional untuk membiayai kegiatan organisasi dan kegiatan program dalam mencapai tujuannya. Yaitu konstribusi yang harus dibayar sebagaimana disepakati bersama dan diatur dalam ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula perhitungannya. Kontribusi pemerintah untuk keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui anggaran Departemen Luar Negeri. Sekitar duaratus empatpuluh empat milyar rupiah yang harus dibayarkan untuk keikut sertaan 62 kementerian/lembaga atau lebih kurang 120 organisasi internasional, untuk itu Keanggotaan Indonesia pada suatu Organisasi Internasional harus ditetapkan sekurangkurangnya dengan Keputusan Presiden. Sehubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional, keikutsertaan Perpustakaan Nasional sebagai focal point (pumpunan kegiatan) untuk mengikuti organisasi internasional, dalam lampiran Kepres nomor 32 tahun 2012 telah disetujui untuk mengikuti 6 (enam) Organisasi Internasional. Perpustakaan Nasional berharap Kepres Nomor 32 tahun 2012 dapat berdampak positif untuk pustakawan dan pengelola perpustakaan di Indonesia, hal ini merupakan suatu terobosan bagi pustakawan atau pengelola perpustakaan menyalurkan bakat dan kemampuan yang dimiliki untuk berkecimpung dalam organisasi internasional, di sisi lain dengan berbekal Kepres nomor 32 tahun 2012 dapat dijadikan sebagai data dukung penganggaran kegiatan mengikuti organisasi internasional.
daftarpustaka Indonesia (1999). Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999. Jakarta : Kementerian Sekretariat Negara Indonesia Indonesia (2012). Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional. Jakarta : Kementerian Sekreatiat Negara Indonesia, Perpustakaan Nasional (2011) Naskah Urgensi Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional. Jakarta : Perpustakaan Nasional Indonesia, Perpustakaan Nasional (2013. 20 tahun (1992-2012) memorandum of understanding (MoU) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan instansi (pemerintah/swasta)dalam dan luar negeri. Jakarta : Perpustakaan Nasional
Conference of Directors of National Library (2008). Statues of CDNL : Revised. < http://www.cdnl. info/2008/Statutes_of_CDNL__as_ revised_August_2008.pdf > Conference of Directors of National Library Asian-Oceania . Statues Amended. < http://www.ndl.go.jp/ en/cdnlao/statutes_amended.pdf > Conference of Southeast Asian Librarians. (2014) . About CONSAL. < http://www.consal.org/ International Agency of School Libraries . About IASL. < http://www.iasl-online. org/about/>
International Association of Music Libraries. About IAML. < http:// www.iaml.info/organization/ what_is_iaml > International Federation of Library Associations and Institutions (2014). About IFLA.
Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association. < http://www. seapavaa.com/ > Special Library Association. About SLA < http://www.sla.org/about-sla/ >
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
27
Oleh: Suharyanto 1 Email: [email protected]
Sertifikasi Pustakawan Berdasarkan SKKNI Bidang Perpustakaan Abstrak Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki era komunitas ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Salah satu elemen utama dari “AEC Blueprint” yaitu adanya arus bebas tenaga terampil. Maka dipastikan akan terbuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi warga negara di ASEAN untuk mendapatkan pekerjaan di kawasan ASEAN tanpa mendapat hambatan, termasuk peluang kerja dibidang perpustakaan. Oleh karena itu kompetensi pustakaw an merupakan tuntutan profesionalisme yang harus dapat dipenuhi. Kompetensi pustakawan adalah kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Salah satu bentuk pengakuan kompetensi kerja adalah melalui sertifikasi kompetensi. Sertifikasi kompetensi pustakawan diselanggarakan oleh LSP Pustakawan. Uji kompetensi mengacu pada standar SKKNI bidang Perpustakaan. Tujuan sertifikasi ini adalah dalam upaya peningkatan kualitas pustakawan yang baku sehingga dapat berimbas pada peningkatan kualitas layanan perpustakaan. Dengan memiliki sertifikat kompetensi pustakawan maka seseorang pustakawan akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasainya. Namun disisi lain kesiapan pustakawan dalam mengikuti sertifikasi belum dibekali dengan informasi yang cukup tentang sertifikasi komptensi pustakawan. Bahkan ada pustakawan yang belum mengerti tentang SKKNI bidang Perpustakaan. Tulisan ini akan membahas tentang kesiapan pustakawan, sertifikasi pustakawan, SKKNI bidang perpustakaan, Lembaga Sertifikasi Profesi Pustakawan (LSP Pustakawan), dan proses sertifikasi. Kata kunci: asesi, asesor, kompetensi, lsp pustakawan, perpustakaan, pustakawan, sertifikasi, SKKNI
Pendahuluan Sertifikasi kompetensi pustakawan sejatinya telah lama dinantikan oleh pustakawan sebagai bentuk pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasainya. Kompetensi kerja merupakan tuntutan profesionalisme masyarakat modern dalam menghadapi persaingan global. Terutama sekali Indonesia pada tahun 2015 akan memasuki era komunitas ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Salah satu elemen utama dari “AEC Blueprint” yaitu adanya arus bebas tenaga terampil (Departemen perdagangan: 2014). Maka dipastikan akan terbuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi warga negara di ASEAN untuk mendapatkan pekerjaan di kawasan ASEAN tanpa mendapat hambatan. AEC 2015 akan menjadi peluang
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI.
1
28
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
sekaligus juga sebagai tantangan bagi pustakawan. Pada saat ini kompetensi pustakawan juga merupakan suatu keharusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 34 ayat 1 bahwa Pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi personal. Pada bulan September 2013, Lembaga Sertifikasi Profesi Pustakawan (selanjutnya disingkat LSP Pustakawan) mulai menyelenggarakan sertifikasi kompetensi pustakawan dengan melakukan uji kompetensi pustakawan tahap pertama. Sertifikasi kompetensi pustakawan terbuka bagi setiap pustakawan baik pustakawan PNS maupun swasta
yang telah memenuhi persyaratan dan bersifat transparan. Berdasarkan data dari LSP Pustakawan sampai dengan tahap ketiga bulan Januari 2014 jumlah pustakawan yang telah dinyatakan lulus uji kompetensi dan berhak mendapatkan sertifikasi sebanyak 93 orang. Uji kompetensi pustakawan yang dilaksanakan oleh LSP Pustakawan mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 tentang Penetapan rancangan standar kompetensi kerja nasional Indonesia sektor jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan perorangan lainnya bidang perpustakaan menjadi standar kompetensi kerja nasional Indonesia dikenal dengan sebutan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia bidang Perpustakaan (selanjutnya disingkat SKKNI Bidang Perpustakaan). Serifikasi kompetensi pustakawan juga masih dimaknai oleh kebanyakan pustakawan sebagai bentuk tambahan penghasilan atau tunjangan profesi. Padahal jika bicara tentang “reward” akan beragam bentuknya, bisa dalam bentuk kenaikan jabatan/pangkat, peningkatan peran, maupun dalam bentuk finansial (Titiek: 2009). Sertifikasi kompetensi pustakawan pada saat ini belum terkait dengan “reward” atau tunjangan profesi sebagaimana yang telah diterapkan untuk sertifikasi guru. Kesiapan Pustakawan Berdasarkan pengamatan penulis, ketika mengikuti proses uji kompetensi pustakawan di LSP Pustakawan, antusiasme pustakawan sangatlah tinggi. Namun disisi lain kesiapan pustakawan dalam mengikuti kegiatan ini belum dibekali dengan informasi yang cukup tentang sertifikasi komptensi pustakawan. Berikut ini adalah beberapa catatan pengamatan penulis ketika mengikuti sertifikasi pustakawan terkait dengan kesiapan pustakawan: 1. Pustakawan belum sepenuhnya memahami tentang apa dan bagaimana proses uji kompetensi pustakawan. Sehingga terjadi kebingungan bahkan ketidaksiapan ketika melakukan pendaftaran, proses pra assemen dan real assemen. 2. Pustakawan belum memahami tentang SKKNI bidang Perpustakaan bahkan ada pustakawan yang tidak tahu tentang SKKNI bidang Perpustakaan. Padahal SKKNI bidang perpustakaan merupakan salah satu pedoman utama dalam penyelenggarakan uji kompetensi pustakawan. 3. Pustakawan belum memahami untuk apa sebenarnya sertifikasi pustakawan. Ironisnya lagi bahkan ada pustakawan yang ikut uji komptensi sekedar hanya ingin coba-coba saja.
4. Pustakawan masih beranggapan dengan adanya sertifikasi pustakawan akan memperoleh tambahan penghasilan “tunjangan profesi”. 5. Pustakawan rekan sejawat yang belum mengikuti sertikasi beranggapan bahwa sertifikasi belum diperlukan karena tidak berpengaruh terhadap rutinitas pekerjaan sehari-hari. Apalagi sertifikasi belum terkait dengan tunjangan sertifikasi. Permasalahan tersebut sejalan dengan hasil kajian tentang peluang dan tantangan program sertifikasi pustakawan di Indonesia yang dilakukan oleh Khaiyatun dan Akhmad Syaikhu pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa permasalahan program sertifikasi pustakawan di Indonesia sebagai berikut: 1. Sebanyak 84 persen responden dari 155 responden belum memahami pengertian sertifikasi pustakawan secara tepat. 2. Sebanyak sebanyak 64 persen responden menilai bahwa sertifikasi pustakawan sangat diperlukan dan 36 persen menganggap bahwa sertifikasi pustakawan perlu dilakukan. 3. Masih banyak pustakawan yang belum mengetahui sertifikasi pustakawan secara luas, oleh karena itu sosialisasi tentang program ini sangat diperlukan. 4. Sebanyak 51 persen responden menginginkan sertifikasi berdasarkan jenjang jabatan, 17 persen berdasarkan lembaga perpustakaan, 7 persen hanya berlaku untuk PNS saja,dan 25 persen responden mengharapkan agar sertifikasi juga berlaku untuk lembaga swasta. (Khaiyatun: 2011) Dari uraian tersebut jelaslah pustakawan harus menyiapkan diri sebelum mengikuti uji kompetensi terutama sekali memahami SKKNI Bidang Perpustakaan. Sertifikasi kompetensi pustakawan Program sertifikasi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)No. 23 tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Dalam Pasal 1 PP tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional. Selanjutnya pada poin ke-2 dijelaskan pulan bahwa Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Khaiyatun: 2011)
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
29
Adapun sertifikasi kompetensi pustakawan telah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada Pasal 1, Ayat (8) yang menyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Selanjutnya pada bagian penjelasan untuk Pasal 11, Ayat (1) huru d disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan standar tenaga perpustakaan juga mencakup kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi. Sertifikasi kompetensi pustakawan untuk pejabat fungsional pustakawan juga telah diatur di dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 tahun 2014 tentang jabatan pustakawan dan angka kreditnya pada Bab X Kompetensi, pasal 33 disebutkan bahwa (1) Untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, pustakawan yang akan naik jabatan harus mengikuti dan lulus uji kompetensi. (2) Dikecualikan dari uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pustakawan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Dengan keluarnyaPeraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, sertifikasi pustakawan merupakan suatu keharusan sebagaimana diatur dalam PP tersebut pada pasal 35 ayat 1 bahwa Pustakawan harus memiliki sertifikat kompetensi. Dari uraian tersebut di atas sangatlah jelas bahwa pustakawan dalam melaksanakan tugas disyaratakan sebagai berikut : 1. Memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan 2. Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dengan mengikuti dan lulus uji kompetensi 3. Memiliki sertifikat kompetensi Sedangkan sertifikasi kompetensi pustakawan adalah proses pemberian sertifikat kompetensi pustakawan kepada pustakawan yang telah memenuhi standar kerja perpustakaan yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional bidang Perpustakaan (SKKNI bidang Perpustakaan). Sertifikasi pustakawan merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan bukan merupakan tujuan itu sendiri, akan tetapi dilakukan untuk menuju kualitas pustakawan yang baku sehingga dapat berimbas pada peningkatan kualitas layanan perpustakaan. Sertifikasi pustakawan juga sebagai bentuk pengakuan pengetahuan, ketrampilan, sikap perilaku di bidang ilmu informasi dan perpustakaan (Ninis: 2011).
30
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Beberapa alasan yangmendasar tentang perlunya sertifikasi pustakawan, yaitu: (1) membuat pustakawan lebih diakui oleh masyarakat, (2) memotivasi diri pustakawan untuk maju, (3) membuat pemerintah lebih memperhatikan profesi pustakawan, (4) memberikan rasa keadilan bagi pustakawan, serta (5) dapat digunakan sebagai standar minimal kemampuan pustakawan(Rochani: 2011). Sertifikasi kompetensi pustakawan mempunyai tujuan diantaranya: (1) meningkatkan layanan perpustakaan, (2) memotivasi pustakawan untuk selalu meningkatkan ketrampilannya,(3) meningkatkan citra pustakawan dan perpustakaan dalam masyarakat (4) panduan bagi perpustakaan atau pimpinan perpustakaan untuk seleksi pegawai dan mempertahankan pegawai yang ada, (5) mengetahuai kemampuan pustakawan mana yang harus ditingkatkan ketrampilannya atau pustakawan yang harus ditingkatkan pengetahuannya, (6) meningkatkan program pendidikan perpustakaan bagi pustakawan.(The Kentucky State Board for the Certification of Librarians). Dengan memiliki sertifikat kompetensi pustakawan maka seseorang pustakawan akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasainya. Khusus bagi pustakawan PNS yaitu pejabat fungsional pustakawan, sertifikasi merupakan suatu keharusan sebagaimana diatur dalam Permenpan no, 009 tahun 20014 yaitu pustakawan yang akan naik jabatan harus mengikuti dan lulus uji kompetensi atau memiliki sertifikat kompetensi. SKKNI bidang Perpustakaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKKNI Bidang Perpustakaan ditetapkan pada bulan Mei 2012. SKKNI ini berlaku secara nasional dan menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan profesi serta uji kompetensi dalam rangka sertifikasi kompetensi. Tujuan penyusunan SKKNI Bidang Perpustakaan Tujuan penyusunan SKKNI Bidang Perpustakaan adalah: 1. Meningkatkan profesionalisme pustakawan dalam menjalankan perannya sebagai mediator dan fasilitator informasi 2. Menjadi tolak ukur kinerja pustakawan. 3. Menghasilkan pengelompokan keahlian pustakawan sesuai dengan standardisasi yang telah divalidasi oleh lembaga sertifikasi.
4. Memberi arah, petunjuk dan metode atau prosedur yang baku dalam menjalankan profesinya dengan mengedepankan kode etik kepustakawanan Indonesia Dengan adanya SKKNI ini maka kompetensi pustakawan mempunyai standar yang terukur dan akan menghasilkan pengelompokan keahlian pustakawan, misalkan pustakawan yang mempunyai keahlian dalam pengolahan bahan perpustakaan dasar. Kelompok unit kompetensi Kompetensi adalah kemampuan seseorang yang menca kup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Kompetensi pustakawan diwujudkan dalam 3 (tiga) kelompok unit kompetensi, yaitu Kelompok Kompetensi Umum, Kelompok Kompetensi Inti dan Kelompok Kompetensi Khusus. Kompetensi Umum Kompetensi umum adalah kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan, diperlukan untuk melakukan tugas-tugas perpustakaan, meliputi: (1) Mengoperasikan Komputer Tingkat Dasar, (2) Menyusun Rencana Kerja Perpustakaan, (3) Membuat Laporan Kerja Perpustakaan. Kompetensi umum ini melekat dalam kompetensi inti dan khusus. Kompetensi Inti Kompetensi inti adalah kompetensi fungsional yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan dalam menjalankan tugas-tugas perpustakaan. Kompetensi inti mencakup unitunit kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugastugas inti dan wajib dikuasai oleh pustakawan. Kompetensi inti meliputi: (1) Melakukan Seleksi Bahan Perpustakaan, (2) Melakukan Pengadaan Bahan Perpustakaan, (3) Melakukan Pengatalogan Deskriptif, (4) Melakukan Pengatalogan Subyek, (5) Melakukan Perawatan Bahan Perpustakaan, (6) Melakukan Layanan Sirkulasi, (7) Melakukan Layanan Referensi, (8) Melakukan Penelusuran Informasi Sederhana, (9) Melakukan Promosi Perpustakaan, (10) Melakukan Kegiatan Literasi Informasi, (11) Memanfaatkan Jaringan Internet untuk Layanan Perpustakaan. Kompetensi Khusus Kompetensi khusus merupakan kompetensi tingkat lanjut yang bersifat spesifik, meliputi: (1) Merancang Tata Ruang dan Perabot Perpustakaan, (2) Melakukan Perbaikan Bahan Perpustakaan, (3) Membuat Literatur Sekunder, (4) Melakukan Penelusuran Informasi Kompleks, (5) Melakukan Kajian Perpustakaan, (6) Membuat Karya Tulis Ilmiah. Kompetensi kunci Selain 3 (tiga) kelompok unit kompetensi (umum, inti,
khusus) pustakawan juga harus memiliki kompetensi lainya, yaitu yang dikenal dengan kompetensi kunci. Kompetensi kunci adalah sikap kerja yang harus dimiliki pustakawan untuk mencapai unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan setiap unit kompetensi (Umum, Inti dan Khusus). Kompetensi kunci memiliki 7 (tujuh) kriteria, yaitu: (1) mengumpulkan, menganalisis dan mengorganisasikan informasi, (2) Mengkomunikasikan informasi dan ideide, (3) Merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan, (4) Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok. (5) Menggunakan gagasan secara matematis dan teknis, (6) Memecahkan masalah. (7) Menggunakan teknologi Masing-masing dari ketujuh kompetensi kunci tersebut, memiliki tingkatan dalam 3 (tiga) katagori: Tingkatan 1. Melakukan kegiatan, Tingkatan 2 . Mengelola kegiatan, dan Tingkatan 3. Mengevaluasi dan memodifikasi proses. LSP Pustakawan Lembaga Sertifikaasi Profesi adalah Lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi(BNSP). Lembaga Sertifikaasi Profesi Pustakawan (LSP Pustakawan) merupakan lembaga independen penyelenggara Uji kompetensi Pustakawan. LSP Pustakawan telah mendapatkan lisensi dari BNSP dengan nomor sertifikat: BNSP-LSP-107-ID 2013 dengan masa berlaku hingga 1 Agustus 2016. LSP Pustakawan dipersiapkan oleh Panitia Kerja yang dibentuk oleh Perpustakaan Nasional RI yang terdiri dari ketua, sekretaris dan anggota yang berasal dari asosiasi profesi dan asosiasi perpustakaan. Latar belakang dibentuknya LSP Pustakawan antara lain: 1. Didorong oleh keinginan untuk memberikan layanan yang optimal kepada calon asesi, serta jaminan kualitas (quality assurance) bagi pemilik sertifikat kompetensi dari LSP Pustakawan yang independen sesuai pedoman BNSP; 2. Memenuhi amanat Undang-Undang, yaitu : 1. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional; 6. Surat Keputusan Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor KEP-10/BNSP/V/2011 tentang Lisensi kepada Lembaga SertifikasiProfesi (LSP) Pustakawan. LSP Pustakawan mempunyai tugas pokok, meliputi: 1. Melaksanakan sertifikasi kompetensi pustakawan 2. Membuat Materi Uji Kompetensi (MUK) 3. Melaksanakan verifikasi Tempat Uji Kompetensi (TUK)
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
31
4. Menerbitkan sertifikasi kompetensi di bidang perpustakaan 5. Memiliki tanggung jawab teknis dan administrasi atas implementasi, pembinaan dan pengembangan skema sertifikasi kompetensi 6. Melaksanakan tugas pokok dan fungsi LSP Pustakawan yang merujuk pada Sertifikat ISO 17024. Proses sertifikasi Proses sertifikasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi untuk menetapkan bahwa seseorang memenuhi persyaratan kompetensi yang ditetapkan, mencakup permohonan, evaluasi, keputusan sertifikasi, survailen dan sertifikasi ulang, dan penggunaan sertifikat. Pustakawan yang akan mengikuti sertifikasi harus memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses sertifikasi yaitu persyaratan pendaftaran dan prosedur sertifikasi. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengikuti sertifikasi adalah sebagai berikut: 1. Minimal pendidikan S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi, atau 2. Minimal pendidikan S1 Ilmu lain ditambah lulus diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli, dan memiliki pengalaman kerja di perpustakaan minimal 1 tahun. 3. Bagi calon asesi (calon peserta uji) yang akan mengambil Klaster bidang Keahlian, maka harus telah Kompeten (lulus uji kompetensi) pada salah satu klaster bidang pekerjaan. Adapun prosedur pelaksanaan sertifikasi melalui tahapan sebagai berikut: 1. Pengajuan permohonan dan pendaftaran untuk mengikuti Uji Kompetensi Peserta memilih klaster uji kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaannya. Berikut klaster Kompetensi: a. Pengembangan koleksi dasar b. Pengolahan Bahan Perpustakaan dasar c. Layanan perpustakaan dasar d. Pelestarian bahan perpustakaan dasar 2. Melakukan pengumpulan berkas portofolio (ijasah pendidikan, sertifikat kegiatan diklat dan atau seminar yang terkait dengan uji kompetensi, karya tulis, prestasi kerja pustakawan, bukti pekerjaan pustakawan, dll.). 3. Pelaksanaan Pra Asesmen/penilaian terhadap calon peserta berupa wawancara dan penelaahan terhadap dokumen/bukti-bukti pendukung. Apabila peserta dinyatakan layak selanjutnya mengikuti uji kompetensi selanjutnya disebut dengan peserta asesman (asesi). Asesi adalah pemohon yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk dapat ikut serta dalam proses sertifikasi
32
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
4. Uji kompetensi, dilaksanakan dengan carauji tertulis, wawancara, uji Praktik/demonstrasi maupun observasi di tempat kerja. Uji kompetensi dilakukan oleh Asesor teregistrasi BNSP dengan memakai Materi Uji Kompetensi (MUK) yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Perpustakaan. Asesor kompetensi adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi yang relevan dan kompeten untuk melaksanakan dan/ atau asesmen/penilaian kompetensi. 5. Rekomendasi asesor. Apabila uji kompetensi telah dilaksanakan, maka Asesor akan menyampaikan rekomendasi kepada LSP Pustakawan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan apakah peserta dinyatakan telah Kompeten (K) atau Belum Kompeten (BK). Apabila dinyatakan kompeten maka pustakawan akan mendapatkan sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi pustakawan diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Pustakawan (LSP Pustakawan) atas nama Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikat kompetensi berlaku selama 3 (tiga) tahun. Di dalam sertifikat disebutkan kualifikasi/kompetensi yang dikuasi oleh seorang pustakawan. Penutup Sertifikasi kompetensi pustakawan sangatlah diperlukan sebagai upaya untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme pustakawan dalam pelaksanaan tugasnya dan memotivasi pustakawan untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya Sertifikasi diharapkan berimbas pada peningkatan kualitas layanan perpustakaan dan peningkatan citra perpustakaan dan pustakawan dalam masyarakat. Kesimpulan 1. Kompetensi pustakawan merupakan suatu keharusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 34 ayat 1 bahwa Pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi personal. 2. Uji kompetensi pustakawan dilaksanakan oleh LSP Pustakawan mengacu pada SKKNI bidang Perpustakaan 3. Pustakawan harus mempunyai sertifikat kompetensi pustakawan sebagaimana diatur PERMENPAN nomor 9 tahun 2014 yaitu pustakawan yang akan naik jabatan harus mengikuti dan lulus uji kompetensi atau telah memiliki sertifikat kompetensi pustakawan, dan diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2014 pasal 35 ayat bahwa Pustakawan harus memiliki sertifikat kompetensi. 4. Program serifikasi pustakawan masih belum banyak dipahami oleh pustakawan
5. Pustakawan belum sepenuhnya memahami SKKNI bidang Perpustakaan Saran 1. Program sertifikasi pustakawan yang dilakasanakan oleh LSP Pustakawan perlu dilakukan sosialisasi yang lebih luas oleh pemangku kepentingan perpustakaan (Perpustakaan Nasional RI, perpustakaan provinsi dan perpustakaan kabupaten/kota, LSP Pustakawan)
2. SKKNI bidang Perpustakaan sebagai landasan uji kompetensi perlu dilakukan sosialisasi yang lebih luas oleh Perpustakaan Nasional RI 3. Pustakawan yang ingin mengikuti uji kompetensi harus memahami proses sertfikasi yang telah ditetapkan oleh LSP Pustakawan 4. Pustakawan yang ingin mengikuti uji kompetensi harus memahami SKKNI bidang Perpustakaan
daftarpustaka Indonesia. (2007). Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta : Perpustakaan Nasional. Indonesia. (2004). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi Indonesia. (2014). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 24 tahun 2014 tentang tentang Pelaksanaan Undangundang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan Indonesia. Departemen Perdagangan. Menuju ASEAN Economic Community 2015. http://ditjenkpi.kemendag.go.id/ website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20 Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20 COMMUNITY%202015.pdf (Akses 29 April 2014) Indonesia. Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara. (2002). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 132/KEP/M.PAN/12.2002 Tentang Jabatan fungsional dan angka kreditnya. Indonesia. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2014). Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya.
Indonesia. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2012). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2012 tentang Penetapan rancangan standar kompetensi kerja nasional Indonesia sektor jasa kemasyarakatan, hiburan dan perorangan lainnya bidang perpustakaan menjadi standar kompetensi kerja nasional Indonesia. Jakarta : Perpustakaan Nasional Kentucky Certification and Recertification Manual for Librarians. http :// kdla.ky.gov/ librarians /staffdevelopment/Documents/ manual.pdf. (Akses 29 April 2014) Khayatun & Akhmad Syaikhu. (2011). Kajian tentang peluang dan tantangan program sertifikasi pustakawan di Indonesia. Ninis Agustinis Damayanti. (2011). Kompetensi dan sertifikasi pustakawan: ditinjau dari kesiapan dunia pendidikan ilmu perpustakaan. Media Pustakawan. Vol. 18, No.3-4. hlm. 18-24 tahun 2011
Sri Rumani.(2012). Sertifikasi pustakawan.. http://iapsuka. files.wordpress.com /2012/01/ sertifikasi-pustakawanolehsrirumani-sh-sip-msi1.pdf (Akses, 15 April 2014) Suharyanto. (2013). Kemandirian pustakawan dalam pelaksanaan tugas. Makalah disampaikan pada Rakerpus dan Seminar Ilmiah IPI, 1-3 Oktober 2013 di Banjarmasin. Titiek Kismiati. (2011). Kesiapan sertifikasi pustakawan. Media Pustakawan. Vol. 18, No.3-4. hlm. 13-18 tahun 2011 http://www.bnsp.go.id/ http://www.lsppustakawan.com/ profil-kami.html http://www.pustakawan.pnri.go.id/
Rochani Nani Rahayu dan Wahid Nashihuddin.( 2011). Perceptions of Head of Libraries and Librarians in Regional Agency for Libraries and Archives (BPAD) towards Librarian Professional Certification. http://pustakapusdokinfo. files.wordpress.com/2013/09/ naskahsertifikasi-pustakawan.pdf. (Akses, 1 Mei 2014)
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
33
Oleh: Supriyanto 2 Email :
Peran Perpustakaan Dalam Upaya Mencerdaskan Bangsa dan Sebagai Tolok Ukur Peradaban1 Abstrak Peradaban merupakan ikhtisar dari pengetahuan dan kenang-kenangan yang telah dikumpulkan oleh angkatan-angkatan yang mendahului kita. Bila kita hendak ikut memilikinya, salah satu jalan sekaligus membuat kita berbudaya melalui membaca, dengan kata lain melalui perpustakaan dan pustakawannya. Perpustakaan sebagai salah satu lembaga informasi tertua dengan tenaga pengelolanya bertindak sebagai pengusung peradaban masa lalu untuk sekarang, dan masa yang akan datang serta sudah semestinya menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Koleksi Perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Artinya bahwa keberadaan dan perkembangan TIK demikian juga perkembangan sistem informasi sampai pada penyediaan informasi bagi kebutuhan pemustakanya. Pustakawan harus menyadari perlunya kepustakawanan dengan paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang masih diperlukan. Kata Kunci: perpustakaan, pustakawan, peradaban
Pendahuluan Buku adalah hasil rasa cipta, karsa dan karya manusia yang bermakna hasil peradaban umat manusia, buku identik dengan perpustakaan yang bermakna “simbol” dari peradaban dan kebudayaan. Nampak dalam penjelasan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dijelaskan: 1. Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki; 2. Hal itu karena ketika manusia purba mulai menggores dinding gua tempat mereka tinggal, sebenarnya mereka mulai merekam pengetahuannya untuk diingat dan disampaikan kepada pihak lain;
1
2
34
3. Indonesia telah merdeka lebih dari 60 (enam puluh) tahun, tetapi perpustakaan ternyata belum menjadi bagian hidup keseharian masyarakat. (Sebagai catatan kini Tahun 2014, bermakna sudah lebih dari 68 tahun merdeka). Sebelumnya tatkala republik ini merdeka amanah dalam UUD RI 1945 Pasal 28F dalam kerangka ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa nampak jelas, bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
Makalah pernah disampaikan pada “Forum Komunikasi Mitra Kerja Bidang Perpustakaan Se DIY”. Diselenggarakan Badan Perpustakaan Dan Arsip Daerah, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Hotel Santika (Ruang Griya Kresna), Kamis, 6 Maret 2014. (Pustakawan Madya di PDII-LIPI). Pustakawan Utama pada Perpustakaan Nasional RI; Pengajar FTI Univ. YARSI Jakarta; Badan Pembina PP-IPI. )
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Lebih lanjut dituangkan dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 14, bahwa: 1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; 2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Artinya bahwa setiap orang baik itu individu, kelompok dan masyarakat banyak membutuhkan informasi untuk kepentingannya, bahkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat dimungkinkan untuk memperoleh informasi kapan saja dimana saja dari setiap Badan Publik, termasuk perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu lembaga yang menghimpun “informasi” praktis harus melayani kebutuhan masyarakat pemakainya, baik individu, maupun kelompok. Kalau informasi yang dibutuhkan tidak tersedia, adalah tugas kewajiban pustakawan untuk mencarikan melalui berbagai jaringan informasi dan fasilitas yang tersedia terlebih di era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dewasa ini seperti kerjasama antar perpustakaan “Inter Library Loan” dan sebagainya. Permasalahan timbul tatkala jarak antara pengadaan informasi dan permintaan informasi tidak dalam waktu yang sama, koleksi yang ada belum tentu sesuai dengan permintaan informasi masa datang. Disamping itu ilmu pengetahuan senantiasa berkembang, dan kebutuhan akan informasi yang beragam. Untuk itu tugas pustakawan bagaimana menjembatani “pemustaka yang butuh informasi banyak dan tahu perpustakaan ada informasi banyak”. Menyikapi perkembangan teknologi informasi dewasa ini, pustakawan harus menjadi pendukung dari kebebasan informasi. Teknologi informasi memberikan harapan besar untuk memberikan akses tak terbatas kepada mereka yang mencari dan memerlukan informasi. Perkembangan Layanan Perpustakaan Perkembangan TIK mengakibatkan semua bidang pekerjaan perpustakaan tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan “keajaiban” TIK. Keilmuan perpustakaan saat ini dituntut mampu mengikuti perubahan sosial pemakainya. Perubahan dalam kebutuhan informasi, dalam berinteraksi, berkompetisi, dsb. Pustakawan harus menyadari perlunya kepustakawanan dengan paradigma-paradigma baru yang mampu menjawab tantangan media elektronik tanpa meninggalkan kepustakawanan konvensional yang masih diperlukan. Hanya dengan SDM, yaitu tenaga pengelola perpustakaan dan/atau tenaga fungsional pustakawan yang berkualitas bisa membangun paradigma kepustakawanan Indonesia.
Hakekatnya perpustakaan dari dahulu sampai sekarang tidak berubah fungsi dan perannya. Perpustakaan adalah lembaga jasa yang memberikan informasi kepada pemustakanya. Kegiatan teknis berupa pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan pelestarian bukan merupakan tujuan tetapi sarana untuk dapat memberikan pelayanan sebagai tujuan akhir. Tugas utama pustakawan adalah penyebaran informasi (dissemination of information), bahkan pemasaran (marketing) hendaknya merupakan bagian yang harus dilakukannya. Kewajiban pustakawan untuk mempromosikan, merupakan kegiatan pemasyarakatan perpustakaan. Sudah semestinya didukung para pemangku kepentingan seperti pejabat, politikus, dosen, guru, kepala sekolah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dlsb. Pergeseran pustakawan mengelola pengetahuan tercetak ke informasi digital dicerminkan dengan perangkat komunikasi modern yaitu jaringan komputer. Tatkala teknologi perangkat keras dan lunak, sebagai sebuah tawaran kemudahan akses untuk mencari informasi sehari-hari mendorong orang untuk mencari sendiri (tanpa bantuan pustakawan). CD-ROM dan sebagainya berisi informasi lengkap maupun informasi rujukan (referensi) secara terpasang nyaris menjadi kegiatan sehari-hari memberi kesan tidak perlu keahlian dan ketrampilan khusus. Pencarian informasi melalui goegle yang “lengkap”, bahkan karena lengkapnya orang sampai menyebut “Professor” Google. Untuk tidak ditinggal pemustaka, maka perpustakaan harus tanggap dalam menyambut perubahan ini. Artinya hadirnya internet yang “banyak” kandungan informasinya, bila perpustakaan tidak tanggap perubahan dan memperbaiki kekurangan maka bisa ditinggalkan pemustakanya. Peluang, dengan internet terkadang informasi yang didapatkan tidak penuh, sedang di perpustakaan informasi yang didapat bisa secara penuh didapat melalui dokumen fisiknya. Untuk itu sebagai peluang pustakawan sepantasnya menerima dan memahami teknologi secara antusias dengan mempelajari sistem dan terlibat dalam program-program pelatihan seperti sistem otomasi, digitalisasi perpustakaan, memahami program aplikasi, dan sebagainya. Perkembangan google dan yahoo yang fenomenal membuktikan bahwa mesin-pencari mudah digunakan. Tatkala mesin-pencari geogle, yahoo tidak memberikan jawaban yang tidak memuaskan kebutuhan informasi seseorang, disinilah peran pustakawan diperlukan sebagai mediator, dan fasilitator bukan sekedar sebagai pihak yang melayani, bahkan sekiranya perlu untuk menuntun mereka mencapai tujuannya. Dengan terbitnya UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, diharapkan adanya implementasi nyata baik Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
35
Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi dan Perpustakaan Khusus. Bagaimanapun bagusnya perpustakaan baik dari segi gedungnya yang megah, koleksi yang beragam, teknologi mutakhir yang digunakan apabila tidak didukung dengan pustakawan yang berkualitas dan profesional tentu peran perpustakaan tidak bernilai. Dengan kata lain perpustakaan dan pustakawan di era TIK saat ini adalah “man behind the machine” sebuah perpustakaan sebagai pengelola informasi yang profesional. Nampaknya UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, sudah menyikapi perkembangan teknologi informasi dewasa ini, sebagaimana pasal 14 khususnya tentang layanan jasa perpustakaan, sebagai berikut: 1. Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka; 2. Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan; 3. Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; 4. Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka; 5. Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka; 6. Layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui kerja sama antar perpustakaan; 7. Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tersebut dilaksanakan melalui jejaring telematika. Perpustakaan dan Kecerdasan Perkembangan pemahaman perpustakaan masa lalu dan sekarang tentu sudah banyak berubah, dari masa-masa tradisional/konvensional ke perkembangan perpustakaan modern, bandingkan masa lalu perpustakaan sebagai “Sebuah ruangan yang berisikan buku-buku, tersusun rapi dalam rak dimana sewaktu-waktu dapat dipinjam, kalau mengantuk ke perpustakaan, dan sejenisnya”. Berkembang sebagai “Sebuah lembaga yang menyediakan aneka jenis informasi yang dapat diakses atau dipinjam oleh anggota sebuah komunitas guna berbagai keperluan melalui bahan bacaan dan sumber referensi lainnya”. Kini menurut UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dikehendaki “Perpustakaan adalah “Institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/ atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka”.
36
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Artinya Perpustakaan harus sebagai sebuah institusi (lembaga) yang memiliki koleksi dalam berbagai media dan dikelola secara profesional berdasarkan standar yang baku guna memenuhi kebutuhan pemustaka, memenuhi standar kompetensi seperti SKKNI, dsb. Untuk itu keberadaan perpustakaan tidak bisa lepas dari struktur organisasi yang membentuknya, termasuk didalamnya koleksi, tenaga, sarana dan prasarana, dan sumber pendanaan, sehingga nampak strategis. Sebagaimana dikehendaki pada pasal 4 UU Perpustakaan “Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih lanjut dikehendaki amanah dalam Pasal 12 ayat (1) “Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi”. Perkembangan TIK secara berangsur-angsur menghendaki adanya perubahan dalam pengelolaan perpustakaan. Koleksi tidak lagi dalam bentuk tercetak, namun sudah bergeser pada koleksi non cetak/elektronik dan seterusnya, sehingga dalam penanganannya memerlukan sumber daya yang professional. Demikian pula dalam hal sarana dan prasarana yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik. Kebutuhan fisik meliputi komponen perangkat keras berbagai teknologi informasi, yaitu komponen input, komponen out put, komponen pengolah untuk melakukan pengolahan data, dan komponen elektronik digital. Perangkat keras lainnya yang diperlukan adalah jaringan intranet dan internet. Kebutuhan non fisik meliputi perangkat lunak mencakup sekumpulan aturan untuk kelangsungan aktivitas sistem informasi, program aplikasi komputer, program pengembangan dan program sistem operasi. Salah satu keberhasilan perpustakaan adalah apabila berhasil memenuhi atau memuaskan informasi apa yang dibutuhkan pemustakanya (users needs), untuk itu perpustakaan dalam hal ini pustakawan perlu melakukan/ mempelajari perilaku pencarian informasi (information seeking behavior) seperti perusahaan komersil sebelum memasarkan produknya, perpustakaan terlebih dahulu fokus masuk ke pasar mengetahui siapa pemakai utamanya, mencari tahu apa yang diinginkan dengan mempelajari perilaku konsumen atau pemustaka. Produk apa yang dibutuhkan? Apakah pemustaka menghendaki informasi berupa indeks, katalog induk, abstrak/fulltext, informasi terseleksi, kemas informasi, penelusuran sumber-sumber dalam negeri dan luar negeri atau jenis informasi lain?
Pemustaka era TIK saat ini tidak bisa lepas dari kebutuh an akan informasi berbasis TI. Perpustakaan dan pengelola yang memahami perilaku pencarian informasi (information seeking behavior) dan mampu memahami kebutuhan pemus takanya, sehingga mencapai tujuan nasional yang diharapkan pasal 4 UU Perpustakaan, dan tujuan internal dimana saja pustakawan bekerja, tentu saja perpustakaan sebagaimana yang dikehendaki dalam UU Perpustakaan tersebut. Bermakna bahwa tenaga perpustakaan baik itu pengelola, pustakawan dan bahkan pemakai (pemustaka) memaknai penggunaan atau pemanfaatan informasi (information usage) dan lingkungan informasi (information environment). Dalam bahasa yang sederhana adalah suatu kemampuan memaknai, menguasai dan menerapkan apa yang dibaca, dan itulah literasi informasi (information literation). Unsur penting dalam konsep pemakai, sebagai berikut: a. Kebutuhan pemakai (users needs); b. Perilaku pencarian informasi (information seeking behavior); c. Penggunaan/ pemanfaatan informasi (information usage); d. Lingkungan informasi (information environment). Bagaimanapun perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi tertua tidak boleh ketinggalan dengan adanya banyak mesin pencari informasi di internet. Namun sebaliknya perpustakaan harus bisa memanfaatkan internet sebagai media dalam menyebarkan informasi yang dimiliknya. Keberadaan internet “akan” menggeser perpustakaan tradisional tatkala internet lebih memberi kemudahan kepada pemustaka dari pada harus masuk ke perpustakaan yang pasti dihadapkan dengan segala peraturan dan birokrasinya, ditambah dengan citra pustakawan yang “jadul”, dsb. Dengan berinternet di rumah, dikantor atau di warnet pemustaka akan dimanjakan dengan informasi yang luas. Dengan berinternet pemustaka bisa menikmati informasi yang kadang tidak ditemukan di perpustakaan. Untuk itu perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi perlu melakukan strategi, dengan memanfaatkan jasa layanan internet, namun demikian internet yang bisa memberi kesempatan kepada pustakawan dan perpustakaan untuk menjawab kebutuhan informasi. Tolok Ukur Peradaban Peradaban, merupakan ikhtisar dari pengetahuan dan kenang-kenangan yang telah dikumpulkan oleh angkatan-angkatan yang mendahului kita. Bila kita hendak ikut memilikinya, salah satu jalan sekaligus membuat kita “berbudaya” melalui membaca (Andre Maurois, 1977), dengan kata lain melalui perpustakaan dan pustakawannya. Tenaga pengelola perpustakaan (Pustakawan), dikehendaki UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan adalah “Seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan
serta mempunyai tugas dan tanggung- jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”. Sementara pada Keputusan MENPAN No. 132/KEP/M. PAN/12/ 2002, “Pustakawan, adalah pejabat fungsional yang bekedudukan sebagai pelaksana penyelenggara tugas utama kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi”. Lebih lanjut disebut “Pekerjaan Kepustakawanan adalah Kegiatan utama dalam lingkungan unit Perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang meliputi kegiatan pengadaan, pengolahan dan pengelolaan bahan pustaka/ sumber informasi; pendayagunaan dan pemasyarakatan informasi baik dalam bentuk karya cetak, karya rekam maupun multi media; serta kegiatan pengkajian atau kegiatan lain untuk pengembangan perpustakaan termasuk pengembangan profesi”. Namun demikian saat ini masih banyak pandangan dalam keragu-raguan untuk mengatakan bahwa Pustakawan adalah profesi dan mereka bekerja secara profesional. Profesi pustakawan, merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia. Pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang memuaskan berbagai pihak tentang profesi yang diperoleh dari regulasi dan buku maka digunakan pendekatan lain dengan menggunakan ciri-ciri profesi, seperti: Memiliki pendidikan khusus, baik teori maupun praktek; Memiliki organisasi profesi, wadah mengembangkan profesi dan anggota; Memiliki kode etik sebagai pedoman profesi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna, dan berorientasi kepada jasa. Pandangan positip disampaikan Prof. Djoko Marihandono (IPI Banjarmasin, 1-3 Oktober 2013), yang menyatakan Perpustakaan yang berkinerja sebagai penghubung: a. Ilmuwan/intelektual tidak pernah ada tanpa kehadiran pustakawan; b. Perpustakaan akan menjadi gudang data yang tidak dapat dimanfaatkan tanpa sentuhan pustakawan; c. Pemustaka memiliki hak untuk memperoleh informasi, sementara Pustakawan tahu banyak tentang informasi yang menjadi koleksinya; d. Pustakawan yang komunikatif akan sangat membantu pemustaka; dan e. Sekecil apa pun perpustakaan (ditinjau dari koleksi dan fasilitasnya) tetap dibutuhkan oleh pemustaka. Berperan juga sebagai Pustakawan yang profesional a. Pengertian profesional: hal yang berhubungan dengan profesi yang memerlukan kepandaian tertentu: 1. Mampu untuk mengembangkan dirinya demi pengembangan lembaganya;
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
37
2. Menjaga mutu, kualitas, dan perilaku yang merupakan ciri suatu tindakan profesional; 3. Hubungan timbal balik antara pimpinan dan staff; 4. Pustakawan yang mandiri; 5. Mampu berdiri sendiri tanpa tergantung dari pihak lain; 6. Kreatif namun tetap waspada terhadap resiko pekerjaan; 7. Meng”ada”kan yang belum “ada”. Misalnya membuat bibliografi beranotasi, dsb. Sejatinya harus ada keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat dan kompetensi dalam kerangka dukungan kecerdasan. Misal Pustakawan Pertama tugas Membuat sari karangan indikatif; Pustakawan Muda Membuat sari karangan informatif; Pustakawan Madya Menyusun desain prototip/ model, dlsb. Artinya peran pustakawan “tidak saja harus memahami pengelolaan informasi pada umumnya, tapi juga analisis kebutuhan informasi, sumber-sumber informasi, strategi penelusuran informasi, teknik pengemasan informasi, teknik pendayagunaan informasi, dst” yang sangat bermanfaat bagi dukungan kecerdasannya. Sebagai contoh jenjang Jabatan Fungsional Keahlian, sebagaimana dikehendaki Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999, adalah Kualifikasi Profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya mensyaratkan penguasaan IPTEK di bidang keahliannya. Tugas utama : pengembangan pengetahuan, penerapan konsep dan teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah dan pemberian pengajaran dengan cara yang sistematis. Terdiri atas : 1. Jenjang Pertama, bersifat operasional mensyaratkan kualifikasi profesi tingkat Dasar (III/a-III/b); 2. Jenjang Muda, bersifat taktis operasional, mensyaratkan kualifikasi profesi tingkat Lanjutan (III/c-III/d); 3. Jenjang Madya, bersifat strategis sektoral mensyaratkan kualifikasi profesi tingkat Tinggi (IVa-IV/c); 4. Jenjang Utama, bersifat strategis nasional, mensyaratkan kualifikasi profesi tingkat Tertinggi (IV/dIV/e). Sejalan dengan pemikiran dan pemahaman keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat dan kompetensi, nampaknya bisa mencermati apa yang disampaikan TAXONOMI BLOOM, sebagai berikut :
38
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Level gambar dalam bentuk piramida diatas (Taksonomi Bloom) dapat digambarkan sbb.: 1. Tiga level pertama (terbawah) yaitu pengetahuan, pemahaman & penerapan merupakan Lower Order Thinking Skills. 2. Tiga level berikutnya, yaitu analisa, sintesa & evaluasi merupakan Higher Order Thinking Skill. Pembuatan level ini bukan berarti bahwa lower level tidak penting. Justru lower order thinking skill ini harus dilalui dulu untuk naik ke tingkat berikutnya, pustakawan ???. Strategi Peningkatan Peran Perpustakaan Perkembangan layanan perpustakaan dari pola-pola tradisional atau konvensional ke perpustakaan yang lebih modern sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini sudah sepantasnya menuntut tenaga pengelola perpustakaan (SDM) menyesuaikan diri. Disisi lain organisasi sebagai wadah yang menampung kegiatan aktivitas SDM dan perkembangan TIK juga dikehendaki menyesuaikan kebutuhan. Bukan organisasi yang ”besar”, akan tetapi yang mampu mendukung tugas pokok dan fungsi lembaga. Beberapa hal yang mempengaruhi dan perlu penguatan, antara lain : 1. Sumber Daya Manusia. Ada kebutuhan baru dari keahlian para pustakawan dalam TIK yang bertindak sebagai mediator antara pemakai dan teknologi dalam proses temu kembali informasi. Program-program pendidikan dan/atau pelatihan harus ditempatkan untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan staf dan/atau
pustakawan. Bila dipandang perlu juga merevisi pola layanan untuk menarik para peserta baru terhadap profesi pustakawan menciptakan jalur karier tersendiri untuk staf profesional dan administrasi. Dengan perkataan lain perlu memiliki kompetensi baik kompetensi individual maupun profesional guna mendukung tugas pokok dan fungsi dalam kerangka kecerdasan bangsa. 2. Teknologi. Perpustakaan harus memanfaatkan teknologi secara tepat guna dan hasil guna, secara luas untuk memberikan tingkat layanan yang lebih luas. Perkembangan TIK mengakibatkan semua bidang pekerjaaan termasuk perpustakaan, tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan ”keajaiban” TIK. Keilmuah perpustakaan saat ini dituntut mampu mengikuti perubahan sesuai keperluan pemustakanya, khususnya keperluan akan informasi. Bagi perpustakaan sendiri teknologi sangat bermanfaat bagi mempersingkat pelaksanaan dalam penyelenggaraan layanan yang lebih cepat, tepat, akurat dan lebih baik. Artinya mempermudah temu kembali informasi-informasi yang diperlukan. 3. Organisasi. Untuk memadukan kecanggihan teknologi di satu sisi, sementara di sisi lain tersedianya sumber daya manusia yang memadai dengan kemampuan dan keterbatasannya tentunya perlu dikoordinasikan melalui peran organisasi, baik dilingkungan pemerintah maupun swasta. Sesungguhnya mencermati peraturan perundangan yang ada organisasi perpustakaan apapun jenisnya memiliki posisi yang strategis. Bahkan dalam struktur organisasinya memiliki kedudukan yang
terhormat dibawah pimpinan instansi, sebagaimana diatur dalam SNI 2009 dan peraturan perundangan terkait lainnya. Untuk itu perlu penguatan kelembagaan perpustakaan pada segala tataran yang mampu mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, dengan kata lain bisa menjamin sebagai institusi publik yang demokratis dalam melayani kebutuhan informasi masyarakatnya. Penutup Tenaga pengelola perpustakaan (pustakawan) memainkan peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ia adalah pemelihara kebudayaan/peradaban umat manusia. Ia juga bertindak selaku penghubung antara hasil-hasil peradaban itu yang dikumpulkan selama berabadabad oleh pendahulu. Peningkatan peran perpustakaan era TIK dewasa ini menjadikan tidak mungkin dikelola apa adanya, setidaknya pola-pola tradisional/ konvensional didukung TIK. Guna menumbuh kembangkan dan memenuhi kebutuhan pemustaka bagi kecerdasan bangsa. Perpustakaan dengan pustakawannya dapat secara rasional dan proporsional mendukung tugas pokok dan fungsi lembaga dimana pustakawan itu bekerja. Berdayaguna dan berhasil guna sebagai pengusung peradaban masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Pada akhirnya perpustakaan bertujuan “memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca serta memerluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” terwujud. Amien.
daftarpustaka Indonesia. (2007). Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta : Perpustakaan Nasional. Indonesia. (2007). Undang-undang Nomor 14Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Indonesia. (1999). Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS. Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 132/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya.
Blasius Sudarsono. (2011). Pustakawan dan Perpustakaan Dalam Menghadapi Tantangan Di Era Global. Media Pustakawan Vol. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI. Maurois, Andre. (1977). ”Perpustakaan Umum dan Pembangunan”. Jakarta : Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Judul asli buku ini adalah : “Public Libraries And Their Mission”, diterbitkan UNESCO, Paris, 1961. Supriyanto, dkk.(1997). ”Strategi Perpustakaan Dalam Menghadapi Era Informasi Global”, dalam ”Perpustakaan Menjawab Tantangan Jaman”. Seri Pengembangan Perpustakaan 3. Universitas Katolik Soegijapranata bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
39
Oleh: Sri Endah Pertiwi 1 Email: [email protected]
Implementasi CSR Perpustakaan dan Filantropi Buku Abstrak Pada sebuah organisasi memiliki tanggung jawab sosial meskipun perpustakaan bukanlah perusahaan yang berorientasi mencari perolehan laba. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai tanggung jawab perusahaan atau organisasi terhadap komunitas maupun lingkungan sekitar dalam bentuk kedermawanan sosial. Pemanfaatan CSR dilakukan oleh manajemen perpustakaan dimana di lingkup organisasi ini divisi Public Relation (PR) dilakukan oleh pustakawan bekerjasama dengan pihak manajemen. Upaya membuat penting kembali CSR di lingkup perpustakaan mempunyai tujuan sebagai berikut pertama, membangun optimisme masyarakat terhadap eksistensi perpustakaan. Kedua, CSR dapat menunjukkan tanggung jawab sosial terhadap komunitas sekitar dengan kegiatan kedermawanan yang terprogram dan berkelanjutan. Ketiga, program-program CSR difokuskan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan memelihara saling pengertian antara perpustakaan, pemerintah, pemustaka dan masyarakat dalam memberdayakan kegemaran membaca. Implementasi CSR dilakukan dengan jalan filantropi atau kedermawanan buku dan dapat dilakukan perpustakaan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Kata kunci: Corporate Social Responsibility, filantropi, kedermawanan, perpustakaan, program, tanggung jawab sosial
Pendahuluan Pada era globalisasi perpustakaan bukan lagi dikonotasikan sebagai tempat terasing yang belum menjadi bagian suatu komunitas. Pembangunan perpustakaan di suatu lingkungan tertentu mengisyaratkan pentingnya kebutuhan sumber informasi. Masyarakat dan lingkungannya memberikan aspirasi terhadap pendirian perpustakaan sebagai sebuah entitas. Keberadaannya sangat urgen karena publik mempunyai kepentingan untuk mendayagunakannya. Perpustakaan menjadi bagian dari masyarakat yang tidak bisa menutup diri terhadap dinamika sosial lingkungannya. Perpustakaan yang bersikap statis dan tidak responsif terhadap pemustaka, lingkungan dan komunitas, menunjukkan ketidakberdayaannya dalam siklus kemasyarakatan. Sebagai sebuah organisasi, maka pengembangan perpustakaan menjadi dinamis, modern dan dapat mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi menjadi hal mutlak tak terelakkan. Kekuatan perpustakaan sebenarnya
tidak hanya secara fisik tapi lebih pada nilai moral. Terutama misi pemberdayaan masyarakat akan kegemaran membaca. Persoalan kegemaran membaca ternyata bukan sesuatu yang sederhana. Karena memerlukan konsep, pemikiran dan implementasi program yang terarah dan kebutuhan waktu yang relatif lama. Perpustakaan mempunyai kesadaran untuk memasyarakatkan budaya gemar membaca. Hal ini tidak semata-mata menjalankan perannya sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat tapi lebih pada tanggung jawab sosial perpustakaan pada masyarakat luas. Kepedulian terhadap lingkungan sekitar akan berpengaruh terhadap eksistensi perpustakaan. Citra positif yang terbentuk akan menambah kepercayaan publik terhadap organisasi tersebut. Reputasi yang baik memiliki nilai moral tersendiri. Hal itupun berpengaruh pada pengembangan perpustakaan ke arah lebih maju secara kualitas dan kuantitas!
Pustakawan Muda pada UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro (Undip).
1
40
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Jika kita menyimak buku fiksi sejarah Vicky Myron dan Bret Witter berjudul Dewey, Kucing perpustakaan kota kecil yang bikin dunia jatuh hati, di dalamnya terdapat gugatan terhadap sosok sebuah perpustakaan. Perpustakaan yang hebat bukanlah perpustakaan yang besar atau indah. Ju ga bukan yang paling efisien atau pengunjungnya sangat banyak. Tidak juga yang memiliki fasilitas terbaik. Tapi per pustakaan yang hebat bila dia tidak terlihat oleh siapapun ka rena selalu ada dan selalu dibutuhkan! Artinya perpustakaan dikatakan hebat apabila mampu melayani pengguna. Dalam kesehariannya dapat membaur dengan masyarakat sehingga dalam dinamisasi kehidupan posisi perpustakaan tidak tergantikan oleh siapapun dan apapun juga! Corporate Social Responsibility (CSR) Pada sebuah organisasi memiliki tanggung jawab sosial meskipun perpustakaan bukanlah perusahaan yang berorientasi mencari perolehan laba. Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai tanggung jawab perusahaan atau organisasi terhadap komunitas maupun lingkungan sekitar dalam bentuk kedermawanan sosial (John A. Pearce II, 2008). CSR menurut UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007 pasal 7 ayat 1 pada Edi Suharto, 2008 tertulis Perseroan Terbatas yang menjalankan usaha di bidang dan atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial. Namun sejauh ini belum ada peraturan yang tegas dalam mengatur kisaran biaya dan pertanggung jawaban kegiatan amal itu. Sehingga masih banyak perusahaan dan organisasi yang belum memiliki kepedulian sosial seperti yang diharapkan masyarakat luas. Implementasi CSR dalam ruang lingkup perpustakaan seperti bagan berikut ini: Perpustakaan Pustakawan
Manajemen CSR Program Praktik
Filantropi Buku
Rumah Pintar
Perpustakaan komunitas
Citra Positif Kepercayaan Publik
Obyek Wisata
Pemanfaatan CSR dilakukan oleh manajemen perpustakaan dimana di lingkup organisasi ini divisi Public Relation (PR) dilakukan oleh pustakawan bekerjasama dengan pihak manajemen. Belum adanya departemen kehumasan yang khusus menangani tanggung jawab sosial perpustakaan menyebabkan kurangnya perhatian terhadap kegiatan yang bersifat sukarela tersebut. Revitalisasi CSR menjadi agenda penting yang memberi banyak manfaat bagi publik. Upaya membuat penting kembali CSR di lingkup perpustakaan mempunyai tujuan sebagai berikut : Pertama, membangun optimisme masyarakat terhadap eksistensi perpustakaan. Apabila organisasi ini mempunyai citra yang baik akan mendatangkan simpati publik sehingga mendorong kemajuan dan perkembangannya. Masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif maupun pasif karena mereka punya kepentingan yang urgen terhadap organisasi ini. Setiap langkah yang dilakukan menjadi perhatian publik. Pameran buku yang digelar selalu penuh pengunjung karena mereka percaya setiap program kegiatan memberi keuntungan positif secara personal dengan nilai kemanfaatan tinggi. Tiap praktik kegiatan menjadi incaran publik karena keyakinan masyarakat atas citra perpustakaan yang positif. Citra baik menunjukkan kepercayaan sebagai pusat informasi yang terpercaya. Kedua, CSR dapat menunjukkan tanggung jawab sosial terhadap komunitas sekitar dengan kegiatan kedermawanan yang terprogram dan berkelanjutan. Kegiatan amal perpustakaan tidak berupa bantuan sesaat misalnya sumbangan di event-event tertentu saja. Tapi direncanakan ke arah pemberdayaan dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perpustakaan. Sumbangan dana misalnya ke yatim piatu yang hanya dilakukan sekali-kali, tidak akan mengubah nasib anak yatim menjadi lebih baik. Kontribusi sesaat itu tidak akan berpengaruh atau menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi penerimanya. Tapi kegiatan amal diarahkan pada program berkelanjutan yang dapat mengangkat derajat dan nasib anak-anak yatim menjadi lebih baik. Konsep pemberdayaan dilakukan dengan jalan pemberian beasiswa bagi anak-anak sekolah SD sampai SMA bahkan sampai jenjang Perguruan Tinggi. Selanjutnya tidak sulit merekrut mereka menjadi karyawan honorer perpustakaan atau menerima praktek kerja siswa agar membuka wawasan pengetahuan terhadap pengelolaan bahan pustaka. Memang program pemberdayaan seperti ini pelaksanaannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan tapi pustakawan dengan manajemen perpustakaan hendaknya berupaya membidik komunitas sekitar untuk ikut berperan dalam memasyarakatkan perpustakaan melalui kegiatan amal yang terprogram! Hal ini menunjukkan pemanfaatan CSR di perpustakaan sudah berjalan maksimal dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
41
Ketiga, program-program CSR difokuskan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan memelihara saling pengertian antara perpustakaan, pemerintah, pemustaka dan masyarakat dalam memberdayakan kegemaran membaca. Adakalanya perpustakaan melaksanakan kegiatan amal tapi tidak berlandaskan transparansi atau keterbukaan. Artinya kegiatan tersebut hanya bersifat euforia saja. Kegiatan sekilas itu tidak memberikan nilai tambah pada masyarakat luas. Pola kegiatan seumur jagung tersebut tidak bernilai pemberdayaan tapi bersifat tentatif saja. Program tersebut tidak dapat membentuk saling pengertian antar stakeholder dalam menciptakan atmosfir budaya baca. Program-program CSR sangat dipengaruhi aspek moralitas pustakawan dan manajemen perpustakaan. Realitas empiris membuktikan, kegiatan yang bersifat sekejap dan tidak didorong atas kemauan baik untuk peduli terhadap komunitas sekitarnya beresiko ketidakpercayaan publik. Kepercayaan adalah jantung organisasi. Pustakawan adalah motor penggerak perpustakaan. Membangun optimisme publik melalui kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan adalah peluang terbesar kepedulian perpustakaan terhadap masyarakat sekitarnya. Implementasi program harus berlandaskan nilai kejujuran. Spontanitas sosial bernilai kebajikan menjadi investasi terbesar dalam pengembangan perpustakaan. Ketidakpedulian pada lingkungan dan masyarakat sekitar dapat menciptakan kepercayaan instrumental yang bersifat semu. Kemajuan perpustakaan tak bisa lepas dari atmosfir lingkungan dan dukungan seluruh stake holder yaitu pustakawan, manajemen perpustakaan, pemustaka, pemerintah, perpustakaan mitra lainnya dan masyarakat. Kepercayaan publik menjadi satu kekuatan yang dapat membangun reputasi perpustakaan. Adanya saling percaya, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan menjadi investasi sosial dalam pengembangan perpustakaan. Membentuk kegemaran baca masyarakat tidak dapat dilakukan secara spontan. Kecenderungan publik untuk memiliki motivasi baca hanya dapat diimplementasikan secara terprogram, berkelanjutan dan terencana. Sekarang realitasnya, apakah citra baik yang dibentuk perpustakaan sebagai tanggung jawab sosial organisasi itu dapat mempengaruhi pengembangan perpustakaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, apabila kita mengkaji lebih jauh, perpustakaan mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai pasal 2, 3, 4 UU RI Nomor 43 tahun 2007 menyatakan perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, dan bertujuan meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Sudah sangat jelas perpustakaan adalah organisasi yang tidak berorientasi pada pencarian laba atau
42
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
keuntungan finansial. Tapi lebih berfokus pada tanggung jawab secara moral pada masyarakat luas. Apakah selama ini perpustakaan sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat dalam pemenuhan sumber belajar maupun pusat informasi? Reputasi atau citra baik itu perlu dibentuk oleh perpus takaan dalam hal ini dilakukan pustakawan bekerjasama dengan manajemen perpustakaan. Citra positif di mata masyarakat menjadi sangat urgen manakala berpengaruh pada produk perpustakaan. Produk perpustakaan tidak hanya buku tapi berupa informasi. Informasi yang selalu valid, akurat dan up to date. Perpustakaan harus bersikap proaktif dan santun dalam berbagai layanan produk yang dimilikinya. Apabila tercipta kesan perpustakaan yang ramah dan bersahabat, pasti masyarakat beramai-ramai memanfaatkan jasa informasi tersebut. Perlu dipahami bahwa perpustakaan tak bisa hidup sendiri. Organisasi itu hadir dan ada di tengah-tengah masyarakat pengguna. Apabila sepi peminat, diibaratkan perpustakaan mati suri. Hidup enggan mati tak mau! Apa artinya sebuah wahana dibangun megah tapi tidak dimanfaatkan pengguna bahkan cenderung ditelantarkan? Citra positif perpustakaan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat pengguna. Mereka punya rasa memiliki karena kehadiran perpustakaan sangat memberi manfaat dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Contoh yang paling sederhana, siswa SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi dapat memperoleh buku-buku pelajaran dan materi kuliah secara gratis dengan meminjamnya di perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan apabila membelinya di toko buku? Seandainya masyarakat pengguna memiliki kepercayaan dan rasa keterikatan dengan perpustakaan akan memberi dampak positif bagi perkembangan entitas tersebut. Setiap program perpustakaan yang terekspos ke permukaan selalu direspons positif dan didukung banyak pihak. Rasa simpati dan kepercayaan masyarakat akan membuka pemikiran manajemen dan mendorong kemajuan perpustakaan. Hasilnya, koleksi buku-buku meningkat secara kualitas dan kuantitas, layanan semakin memuaskan dan wahana tersebut berubah menjadi tempat representatif untuk belajar. Reputasi di mata masyarakat menjadi modal utama pengembangan dan pemberdayaan perpustakaan. Citra positif itu mampu memberikan kontribusi lebih pada kemajuan wahana tersebut. Banyak golongan masyarakat yang menunjukkan simpati karena kredibilitas perpustakaan selalu terjaga. Reputasi yang baik memudahkan dalam menjalin komunikasi antar pemustaka, komunitas sekitar, pemerintah dan masyarakat luas. Komunikasi positif sedemikian penting sehingga membantu perkembangan perpustakaan menjadi lebih maju dan dinamis.
Aktifitas CSR Pemanfaatan CSR di perpustakaan sebenarnya merupa kan kepedulian wahana tersebut pada aktifitas kederma wanan. Perpustakaan mempunyai tanggung jawab hukum, moral dan etika sejak berlakunya UU RI No. 43 tahun 2007. Dimana pasal 14 dinyatakan bahwa layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka. Hal ini memberi ketegasan bahwa perpustakaan mempunyai tanggung jawab secara hukum untuk memberi kan pelayanan terbaik bagi masyarakat pengguna. Pelayanan secara prima atau excellent service yaitu pelayanan yang sangat baik yang diperoleh pengguna pada waktu transaksi di perpustakaan. Artinya, selama berada di wahana tersebut pemustaka memperoleh perhatian dan pelayanan yang me muaskan sehingga termotivasi untuk datang dan memanfaat kan jasa layanan perpustakaan pada waktu-waktu berikutnya. Praktik CSR merupakan cerminan tanggung jawab moral dan etika perpustakaan. Kegiatan program-program kedermawanan menunjukkan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan masyarakat. Secara moral perpustakaan punya empati terhadap permasalahan yang menimpa komunitas setempat. Sehingga terdapat kohesifitas antara perpustakaan dan masyarakat. Hubungan yang harmonis dan saling mendukung akan memicu pengembangan organisasi. Akhirnya tercapai umpan balik yang diharapkan yaitu mencerdaskan masyarakat melalui kegemaran membaca di perpustakaan.Aktifitas CSR perpustakaan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat diantaranya adalah:
kearah lebih maju. Praktik filantropi buku dapat diaplikasikan pada pemberdayaan komunitas tertentu. Misalnya pada komunitas anak-anak jalanan. Pada umumnya, filantropi diberikan berupa uang sebagai ungkapan belas kasihan. Bila ditelaah lebih jauh, filantropi buku oleh perpustakaan yang berorientasi pemberdayaan lebih tepat secara sistemik. Pemberian buku-buku pelajaran dapat membuka cakrawala mereka sehingga memotivasi diri untuk kembali ke bangku sekolah. Wajib belajar 9 tahun dimana pendidikan tidak dipungut biaya alias gratis ditambah beasiswa yang diberikan perpustakaan secara rutin menjadi upaya untuk mengubah nasib. Jadi program filantropi tidak hanya tebar pesona. Gemerlap sesaat tapi selesai dengan cepat. Praktik implementasi harus terstruktur dan berkelanjutan. Arahnya memperbaiki nasib kearah lebih baik. Minimal memberikan nilai tambah bagi komunitas penerima. Satu hal yang tidak mudah! Tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin! Diliputi semangat persaudaraan dan kebersamaan dengan niat tulus, perpustakaan mampu memberikan suatu hal kecil tapi nilainya sangat tinggi!
Filantropi buku Filantropi atau kedermawanan buku dapat dilakukan perpustakaan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Praktik filantropi buku tidak termotivasi dari belas kasihan. Sebab sumbangan berujud buku tidak dilakukan sebagai santunan pada orang-orang lemah. Tapi diarahkan untuk mencerdaskan masyarakat dengan budaya baca buku. Sumbangan tersebut tidak hanya mencerminkan kepedulian tapi menjaga etika dan menunjukkan sikap moralitas perpustakaan sebagai milik bersama.
Rumah Pintar Rumah Pintar di Semarang seperti jamur tumbuh di musim hujan. Keberadaannya ditengarai sebagai apresiasi warga terhadap tingginya minat baca. Walaupun bukan sebagai perpustakaan tapi didalamnya pasti terdapat koleksi beraneka macam buku. Rumah Pintar yang berdiri, dikelola dan menjadi pusat kegiatan warga kampung, menjelma sebagai wahana sumber belajar. Kegiatan warga kelurahan seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita, PAUD, pertemuan warga, pelatihan kewirausahaan, semua bertempat di Rumah Pintar. Lokasi khusus untuk perpustakaan mini menempati ruang tersendiri. Semua tergantung swadaya dan kemandirian warga. Ada yang representatif tapi ada pula yang mengubah pos ronda menjadi perpustakaan. Satu permasalahan yang mendasar yaitu, minimnya buku-buku yang menjadi koleksi Rumah Pintar karena keterbatasan dana.
Praktik filantropi dilakukan secara terprogram dan terus menerus. Ada suatu kegiatan rutin pengelolaan pustaka yang mendukung program ini. Weeding atau penyiangan yang dilakukan perpustakaan tiap tahun, membuahkan hasil positif berupa buku-buku yang tidak dapat dimanfaatkan. Misalnya perpustakaan Perguruan Tinggi mempunyai koleksi buku-buku cerita anak-anak berasal dari sumbangan salah satu penerbit. Karena tidak sesuai dengan karakteristik pemustaka maka buku-buku tersebut tidak diolah dan tidak masuk rak koleksi. Sangat disayangkan sekali buku-buku terbitan baru itu tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. Lebih baik disumbangkan secara rutin ke taman bacaan anak-anak, selain bermanfaat juga akan mengembangkan taman bacaan
Perpustakaan melalui tangan-tangan pustakawan dapat melatih warga untuk mengolah buku secara benar dan sistematis. Pustakawan dapat menularkan ilmu kepustakawanan pada warga yang secara suka rela mengelola Rumah Pintar. Sumbangan buku-buku yang kelebihan eksemplar maupun yang tidak dimanfaatkan lagi dapat didayagunakan di Rumah Pintar. Dapat pula meminjamkan buku-buku ke Rumah Pintar, untuk jangka waktu tertentu misalnya satu bulan kemudian dikembalikan dan diganti dengan judul-judul lain untuk bulan berikutnya. Hal itu berarti perpustakaan ikut bertanggung jawab secara sosial pada lingkungan sekitar dengan memotivasi dan mendukung Rumah Pintar.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
43
Perpustakaan Komunitas Perpustakaan komunitas di Indonesia pada tahuntahun terakhir menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Wahana ini mempunyai ciri spesifik bersifat independen dan lahir dari komunitas tertentu. Inisiatif pendirian berasal dari personal dan secara swadaya mengelolanya untuk kepentingan komunitas sekitar. Seperti perpustakaan Masjid, Taman Bacaan Bunda Yessi, Agus Munawar, T.B. Ellen Simanungkalit, Rumah Dunia Gola Gong dan sebagainya. Fenomena ini menunjukkan tingginya kepedulian mereka terhadap perkembangan literasi. Secara sukarela mengembangkan perpustakaan komunitas untuk kepentingan pemasyarakatan budaya baca.
Adapula yang dibangun gedung tersendiri tapi masih satu lokasi di obyek wisata, contohnya Desa Buku di obyek wisata Kyai Langgeng, Magelang-Jawa Tengah.
Perpustakaan umum dapat menjadi Perpustakaan Pem bina bagi Taman Bacaan yang menyebar ke seluruh perkota an dan pedesaan. Melalui pemanfaatan CSR mampu mem berdayakan taman bacaan agar tetap eksis dan fungsional. Praktik CSR difokuskan agar perpustakaan komunitas mampu memberdayakan dirinya secara progresif. Secara luwes dapat mendisain perpustakaan yang adaptif, faktual dan akrab di tengah-tengah masyarakat. Sebab taman bacaan menjadi cerminan komunitas dalam dinamika pengetahuan di segala aspek kehidupan melalui aktifitas membaca dan menulis!
Pemasyarakatan gemar membaca yang disosialisasikan di lokasi wisata merupakan terobosan baru yang hasilnya sangat efektif. Buku-buku bacaan yang selama ini hanya disentuh beberapa orang dapat dimanfaatkan lebih banyak pembaca. Sebab didorong untuk mengetahui sejarah obyek wisata dan informasi-informasi penting lain yang diperlukan para wisatawan. Secara tidak langsung, berkunjung ke berbagai lokasi wisata selain berekreasi dapat pula menambah pengetahuan dengan bacaan-bacaan yang bermanfaat.
Obyek Wisata Penetrasi baru yang dilakukan komunitas masyarakat ialah mendirikan perpustakaan mini di lokasi wisata. Wahana itu dibangun dengan konsep sederhana sebagai unsur pelengkap yang menambah daya tarik konsumen untuk berwisata di tempat tersebut. Selain itu juga memberi referensi yang memadai berkaitan dengan sejarah dan informasi obyek wisata. Perpustakaan mini memiliki rak koleksi berisi buku-buku dan majalah diletakkan menyatu dengan ruang wisata seperti terdapat di obyek Taman Reptil, Purbalingga-Jawa Tengah.
Pemanfaatan CSR terutama sekali akan tepat sasaran pada obyek wisata yang benar-benar membutuhkan kehadiran perpustakaan. Tingkat kepedulian perpustakaan melalui CSR dapat mendukung wahana-wahana di atas dengan cara-cara simpati dan berkelanjutan. Selain menjaga kelangsungan hidup perpustakaan mini dengan jalan filantropi buku. Dapat pula menjalin kerjasama dengan pengelola obyek wisata untuk memberi training dan latihan pengolahan/pelayanan bahan pustaka bagi staf-staf terkait.
Penutup Pemanfaatan CSR tidak hanya sebagai perpanjangan tangan perpustakaan dalam merangkul komunitas sekitarnya sebagai bentuk kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan yang dihadapi mereka. Implementasi CSR perpustakaan secara efektif dapat meningkatkan kegemaran membaca masyarakat. Selain itu memberdayakan masyarakat sekitar terhadap kepedulian sesama dengan jalan filantropi buku. Sebuah keinsyafan yang terlahir dari hati nurani yang tulus untuk turut berbagi! Tidak saja pada saat menderita tapi sebagai konsep pemberdayaan diri agar komunitas tersebut mampu untuk mandiri. Suatu langkah kecil yang terkadang tak berarti ternyata dapat menjadi sesuatu yang sangat bermakna bagi mereka yang menerima!
daftarpustaka Bamualim, C.S., & Abubakar, I. (2005). Revitalisasi Filantropi Islam: Studi kasus lembaga zakat dan wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah. Gaardeer, J., & Hagerup, K. (2006). Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Bandung: Mizan. Griffin, R.W. (2003). Manajemen (jilid 1 edisi 7). Jakarta: Erlangga. Griffin, R.W, & Ebert, R.J. (2007). Bisnis (jilid 1 edisi 8). Jakarta: Erlangga. Pearce II, J.A., & Robinson Jr., R.B. (2008). Manajemen Strategis: Formulasi, implementasi dan pengendalian (buku 1). Jakarta: Salemba Empat. Madura, J. (2007). Pengantar Bisnis (buku 1 edisi 4). Jakarta: Salemba Empat.
44
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
Myron, V., & Witter, B. (2008). Dewey: Kucing perpustakaan kota kecil yang bikin dunia jatuh hati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Perilaku Organisasi, Organizational Behavior (buku 2 edisi 12). Jakarta: Salemba Empat. Roqib, M., & Mustafid, F. (Ed). (2009). Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan pendidikan integratif di sekolah, keluarga dan masyarakat. Yogyakarta: LKIS. Suharto, E. (2008).Tanggung jawab sosial perusahaan. Harian Pikiran Rakyat, 22 April. Widjajanti, A. & Yuniwati. (2009). Undang-undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (UU RI No. 4 Tahun 1990), Hak Cipta (UU RI No. 19 Tahun 2002), Perpustakaan (UU No. 43 Tahun 2007). Semarang: BP Undip.
Vol. 21 No. 2 Tahun 2014
45