Terbit Sejak 1993
Pembaca Media Pustakawan yang berbahagia, Kini kita tiba di pengujung tahun 2014 dan bersiap menyongsong tahun 2015. Persiapan terakhir menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah di tahun 2015 karena MEA akan dimulai tepat 31 Desember 2015. MEA merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang bagi pustakawan dari berbagai jenis perpustakaan untuk mengembangkan karir dan intelektualnya. Artikel-artikel yang ditampilkan di media pustakawan edisi saat ini merupakan artikel-artikel pilihan yang cukup merepresentasikan
06
apa saja yang akan dihadapi dan persiapan untuk menghadapi masa depan. Artikel-artikel ini bila dikelompokkan dalam sebuah tema besar dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) teknologi dan organisasi informasi, yang dipaparkan dalam artikel Kiki Fauziah, Ikhwan Arif dan Yunita Riris (Juara I Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014), (2) Pustakawan dan pendidikan (sekolah) yang dipaparkan dalam artikel Mujiati dan James Frederich (Juara III Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014), (3) Sertifikasi Profesi, yang dipaparkan dalam artikel
Forum Ultima: Upaya Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara Mengelola Pengetahuan Implisit (tacit) Oleh: Yunita Riris Widawaty
42
(Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara)
11
Sertifikasi Pustakawan Sebagai Tolak Ukur Profesionalisme dan Peningkatan Citra Profesi Pustakawan dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015 Oleh: Ahmad Hidayah (Pustakawan pada UPT Perpustakaan UNISSULA)
18
Pustakawan Sekolah dan Pembelajar Sepanjang Hayat: Konsep dan penerapan literasi informasi di sekolah Oleh: James Frederich Kurniajaya (Pustakawan pada Perpustakaan SMA Katolik Rajawali Makassar, Sulawesi Selatan)
27
Pengaruh Kepemimpinan dan Pengaturan Staf Terhadap Keterbatasan Kuantitas SDM Dalam Upaya Optimalisasi Jadwal Kerja dan Layanan Prima di Perpustakaan Universitas X Oleh: Erika (Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia)
49
Fakta dan Pencitraan Pustakawan dalam Sertifikasi Oleh: R. Deffi Kurniawati dan Wuri Setya Intarti (Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI)
56
Pustakawan Layanan Prima: Kunci eksistensi perpustakaan Oleh: Arief Wicaksono (Pustakawan Pertama pada Perpustakaan Nasional RI)
61
Peran Pustakawan Sekolah Menyongsong Kurikulum 2013 Oleh: Mujiati (Pustakawan pada Universitas STAIN Ponorogo)
Dasar-dasar Pelayanan Instansi Pemerintah Menuju Pelayanan Prima (Service Excellence) Oleh: Arta Simamora
69
(Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI)
34
Ahmad Hidayah (Juara II Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014) dan artikel R. Deffi Kurniawati beserta Wuri Setya Intarti, (4) Layanan prima yang dipaparkan dalam artikel Arief Wicaksono, Arta Simamora dan Erika. Keempat tema besar tersebut menurut redaksi merupakan hal yang perlu dicermati oleh pustakawan se-Indonesia. Keempat tema besar ini menuntun pustakawan untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar kepustakawanan, termasuk kode etik profesi pustakawan. Selamat membaca!
Pemanfaatan Internet Sebagai Alat Referensi Oleh Pustakawan Referensi Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi X Jakarta Oleh: Kiki Fauziah (Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Perpustaaan Universitas Indonesia)
Membangun Palapa di Gadjah Mada: Strategi Integrasi Sistem Informasi Perpustakaan (SIP) Universitas Gadjah Mada Oleh: Ikhwan Arif (Pustakawan Perpustakaan Hukum UGM)
75
Naskah Kuno Sebagai Warisan Budaya Bangsa (Naskah Kuno Digital di Frankfurt Book Fair 2015) Oleh: Lies Suliestyowati (Pustakawan Madya pada Bidang Perpustakaan, PDIS-BPPT)
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Opong Sumiati, Penyunting Opong Sumiati, Lily Suarni, Catur Wijiadi, Harjo, Novi Herawati, Sadarta, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Akhmad Priangga, Desain Grafis Rudianto, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Tlp. (021) 3812136,3448813,375718, Ext. 218,220 Fax. : 345611, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519 Cover Depan: Peraih Nugra Jasadarma Pustaloka Kategori Pustakawan Terbaik Tahun 2014. Dari ki-ka: Pemenang Ketiga (James Kurniajaya - Sulsel), Pemenang Kedua (Ahmad Hidayah - Jateng) dan Pemenang Pertama (Yunita Riris - Banten).
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
3
editorial Pustakawan dan Perpustakaan Indonesia Sebuah Refleksi Akhir Tahun
T
ak terasa, waktu terus berlalu dengan begitu cepat. Kita menyadari, betapa tidak satu detik pun akan dapat diraihnya kembali. Itu sudah ketentuan Illahi. Namun, patut kita syukuri, di era yang semakin maju dan mengedepankan penerapan teknologi dalam berbagai bidang seperti ini, menjadikan umat manusia mampu menengok kembali serpihan-serpihan mozaik yang menjadi lembaran sejarah kehidupan dan budaya manusia yang telah berlalu dengan mudah. Rekaman sejarah dapat dilihat atau untuk dipelajari yang berasal dari berbagai sumber informasi
Para Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014.
4
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
yang tercipta. Beragam format dapat ditemui, yaitu mulai dari yang berbentuk klasik, seperti karya tertulis, tercetak maupun yang modern, dalam format elektronik/digital. Hasil karya budaya bangsa tersebut merupakan warisan yang sangat berharga. Semua itu, perlu dilestarikan, baik fisik maupun isi yang terkandung di dalamnya. Perpustakaan adalah sebuah organisasi atau institusi yang memiliki tugas dan kewajiban melakukan hal tersebut, diharapkan perpustakaan mampu menjadi mercusuar budaya bangsa.
Pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pengertian perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Berdasarkan tersebut, koleksi perpustakaan itu harus dikelola secara profesional. Tentunya yang dapat melakukan pekerjaan secara profesional adalah seorang profesional.
yang berwenang menerbitkan sertifikat kompetensi bidang profesinya. Syukur Alhamdulillah, para Pustakawan yang hendak diakui profesionalitasnya dapat mengikuti sertifikasi yang dilakukan lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pustakawan. Semoga dengan sertifikasi ini pulalah, Pustakawan dapat siap menyongsong pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada tahun 2015 yang sudah di depan mata ini. Diharapkan, akan membuat pustakawan Indonesia mampu bersaing dengan pustakawan lainnya.
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan hanya saja dari praktik dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang memberikan hak pada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan pengguna (Sulistyo Basuki, 1991) . Sedangkan dalam kamus Merriam Webster, profesional terkait dengan suatu pekerjaan (job) yang memerlukan pendidikan, pelatihan atau keterampilan tertentu (relating to a job that requires special education, training, or skill). Dari dua penjelasan di atas maka sebuah profesi sangat menekankan pada keahlian khsusus yang didapat melalui pendidikan.Sesuai dengan amanat Undang-undang, Perpustakaan harus dikelola secara profesional, dalam hal ini sumber daya manusia (SDM) yang profesional di bidang perpustakaan merupakan aspek terpenting. Dengan SDM yang profesional, suatu perpustakaan dapat dikelola dengan tepat sehingga koleksi perpustakaan akan dapat didayagunakan secara optimal. Yang disebut SDM yang profesional bidang perpustakaan adalah Pustakawan. Sehingga perpustakaan tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik tanpa pustakawan.
Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pustakawan Indonesia. Di Edisi Media Pustakawan kali ini terdapat beberapa topik mengenai sertifikasi, di antaranya Saudara Ahmad Hidayah, peraih Juara II Perpustakaan Berprestasi tahun 2014, dalam tulisannya yang berjudul “Sertifikasi Pustakawan Sebagai Tolak Ukur Profesionalisme dan Peningkatan Pustakawan dalam Menghadapi ASEAN Economic Community”, menjelaskan tentang urgensi dari sertifikasi dan manfaatnya bagi pustakawan Indonesia dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Artikel lain dari R. Deffi Kurniawati dan Wuri Setya Intarti, Pustakawan Madya Perpustakaan Nasional RI, dalam tulisannya yang berjudul “Fakta dan Pencitraan Pustakawan dalam Sertifikasi” yang memaparkan fakta terkait dengan sertifikasi dan kaitannya dengan citra atau image pustakawan serta kode etik profesi pustakawan sebagai pegangan moral untuk semua pustakawan.
Profesionalitas seorang profesional dewasa ini akan diakui apabila yang berangkutan memiliki sertifikat resmi yang diperoleh dari lembaga
Kita harus optimis, karena mau tidak mau pustakawan dan dunia perpustakaan di Indonesia, akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai konsekuensi dari globalisasi. Marilah memanfaatkan hal ini dan menjadikannya lecutan semangat bagi pustakawan Indonesia untuk mengembangkan karir dan jati dirinya. Penguasaan kompetensi kepustakawanan, teknologi serta bahasa wajib ditingkatkan dan menjadi perhatian. Akan tetapi hal yang tidak kalah penting dan sangat mendasar adalah tentang eksistensi dari pustakawan itu sendiri, sudahkah pustakawan Indonesia benar-benar ada? Bisakah pustakawan Indonesia saat ini benar-benar yang mengendalikan teknologi? Siapakah yang pantas disebut pustakawan? Pertanyaanpertanyaan seperti ini lah yang harus terus menerus digali demi menyadari jati diri pustakawan Indonesia agar tidak tergerus oleh pustakawan bangsa lainnya serta menyadari bahwa pustakawan mencerminkan perpustakaan itu sendiri. Prinsip dasar inilah yang menjadi dasar dari perilaku profesional dan integritas pustakawan. Tahun baru berada di depan mata kita, semoga dengan suasana kepemimpinan dan politik bangsa kita yang baru dan masih hangat ini akan mendorong dunia kepustakawanan lebih mendapat perhatian pemerintah saat ini, sehingga para pustakawan dapat berjaya dan eksis tidak hanya di lingkup nasional akan tetapi juga ASEAN, bahkan internasional. Amin.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
5
Oleh: Yunita Riris Widawaty2 Email:
[email protected]
Forum Ultima: Upaya Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara Mengelola Pengetahuan Implisit (tacit)1 Abstrak Di universitas setiap hari terjadi terjadi penciptaan dan pemindahan (sharing) pengetahuan. Secara umum pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu pengetahuan eksplisit dan implisit (tacit). Pengetahuan eksplisit lebih mudah dikelola karena telah terekam dalam berbagai format dan dapat disebarkan melalui berbagai media. Tidak demikian halnya dengan pengetahuan implisit yang masih tersimpan dalam pikiran masing-masing sesuai dengan karakteristik dan keahlian yang berbeda-beda, maka sulit menangkap dan merekamnya untuk kemudian disebarluaskan. Padahal pengetahuan implisit jauh lebih luas dan dalam serta unik dibandingkan pengetahuan eksplisit. Pengetahuan implisit (tacit) bersifat tidak berwujud, tersimpan dan terikat secara mendalam dengan pemiliknya. Pengetahuan implisit lebih kompleks dan tidak mudah dikelola, namun justru menjadi kekuatan performa organisasi dan penyebarannya krusial dalam memperkaya sumber-sumber yang ada. Selama ini, perpustakaan lebih banyak berfokus pada organisasi (seleksi, katalogisasi) dan penyebaran (termasuk pencarian) pengetahuan eksplisit. Padahal banyak pengetahuan yang masih ada dalam kepala dan belum pernah direkam dalam sumber-sumber informasi yang umumnya dikelola oleh Perpustakaan. Melalui penyelenggaraan Forum Ultima secara berkala, Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara berupaya mengelola pengetahuan implisit (tacit) sivitas akademika. Pengelolaan yang dilakukan meliputi penangkapan, perekaman, penyimpanan, hingga pencarian informasinya. Kata kunci: knowledge management, implisit or tacit knowledge, Forum Ultima.
Latar Belakang Perguruan tinggi menjadi tempat bertemunya insan cendekiawan negeri ini. Di kampus setiap hari mahasiswa, dosen dan karyawan berkutat dengan proses keilmuan. Setiap hari terjadi interaksi yang bersifat ilmiah diantara civitas academica dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Interaksi yang biasa terjadi diantaranya adalah ketika dosen memberikan perkuliahan di depan kelas, sekelompok mahasiswa berdiskusi saling bertukar pikiran dalam memahami suatu permasalahan, mencari solusi
untuk menyelesaikan tugas, sekelompok dosen berdiskusi dalam menyelesaikan laporan penelitian, sekelompok karyawan berdiskusi membahas event yang akan diselenggarakan dan berbagai kegiatan lainnya. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi dalam kelompok yang homogen, namun bisa saja terdiri dari variasi antara mahasiswa, dosen atau karyawan. Di kelas, dosen lebih banyak membagikan ilmunya kepada mahasiswa, sehingga tidak terjadi interaksi dua arah antara mahasiswa
Dibawakan pada Konferensi Call for Paper “Peranan Jejaring Perpustakaan dalam Meningkatkan Kompetensi Pustakawan” dan Musyawarah Daerah II FPPTI 2 Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara 3 Pemenang Pertama Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional 2014 1
6
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
dengan dosen atau sebaliknya.
pengetahuan implisit (implicit) atau individu (tacit).
Padahal pengetahuan tidak hanya menjadi milik dosen saja. Setiap mahasiswa memiliki kekayaan pengetahuan yang hendaknya tidak hanya dibagikan kepada sesama mahasiswa saja. Mahasiswa juga dapat membagikan pengetahuan yang masih disimpan secara individual kepada dosennya. Dengan kata lain, setiap insan akademis memiliki pengetahuan yang masih disimpan secara individual.
Pengetahuan eksplisit lebih mudah dikelola karena telah terekam dalam berbagai format dan dapat disebarkan melalui berbagai media. Tidak demikian halnya dengan pengetahuan implisit (tacit) yang masih tersimpan dalam pikiran masing-masing sesuai dengan karakteristik dan keahlian yang berbeda-beda, maka sulit untuk menangkap dan merekamnya kemudian disebarluaskan. Padahal pengetahuan implisit (tacit) jauh lebih luas dan dalam serta unik dibandingkan pengetahuan eksplisit. Pengetahuan implisit (tacit) adalah salah satu komponen terbesar pengetahuan.
Rowley (2003:437) mengatakan universitas adalah organisasi yang kaya akan pengetahuan. Pengetahuan dapat dibagi menjadi pengetahuan individu dan organisasi. Pengetahuan individu masih berada dalam pikiran masing-masing individu, sedangkan pengetahuan organisasi terbentuk melalui interaksi antara teknologi, teknik dan orang. Oleh karena itu tidak jarang kita mendengar universitas berbasis pengetahuan atau disebut knowledge center atau knowledge society. Dalam masyarakat berbasis pengetahuan, keunggulan masyarakat ditentukan oleh sejauh mana suatu keputusan dan tindakan diambil lebih berdasarkan pengetahuan daripada aset lainnya (seperti materi, energi, teknologi, kedudukan, dsb). Pengetahuan eksplicit dan implisit (tacit) Di era percepatan teknologi, orang tidak sulit mendapatkan pengetahuan. Menurut Nonaka seperti dikutip Rowley (2003:434) pengetahuan yang menjadi aset perusahaan dan harus dikelola dibagi menjadi pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), dan
Spender seperti dikutip Dinur (2011:246) mengatakan “tacit organizational knowledge is intangible, implisit, and profoundly attached to people”. Pengetahuan implisit(tacit) memang lebih rumit, namun justru menjadi kekuatan performa organisasi dan penyebarannya krusial dalam memperkaya sumber-sumber yang ada (eksplisit). Pengelolaan terlebih penyebaran pengetahuan implisit (tacit) dalam organisasi tidaklah mudah. Spender selanjutnya mengatakan “tacit knowledge is knowledge that is profoundly attached to people” (Dinur, 2011:247). Penyebaran pengetahuan implisit (tacit) bersifat sangat internal dan karena tidak dapat disentuh maka tidak dapat langsung ditangkap (captured). Pengelolaan pengetahuan implisit (tacit) adalah proses menangkap pengalaman dan keahlian seseorang dalam sebuah organisasi dan menyediakannya bagi siapapun yang membutuhkannya. Tabel 1 menunjukkan ciri-ciri pengetahuan implisit (tacit) dan pengetahuan eksplisit.
Tabel 1. Ciri-ciri pengetahuan implisit (tacit) dan pengetahuan eksplisit (Dalkir, 2011:10) Pengetahuan tacit
Pengetahuan eksplisit
Kemampuan untuk beradaptasi, berhadapan dengan hal baru dan Kemampuan untuk menyebarkan, memperbanyak, situasi yang merupakan pengecualian. mengakses dan mengaplikasikan berulang kali dalam organisasi. Keahlian, know-how, know-why dan care-why.
Kemampuan untuk mengajar dan melatih.
Kemampuan untuk bekerja sama, berbagi visi, mewariskan budaya.
Kemampuan untuk mengelola, membuat sistematisasi, menerjemahkan visi ke dalam misi, mengubah menjadi petunjuk operasional.
Melatih dan mengajarkan perpindahan pengetahuan berdasarkan Perpindahan pengetahuan melalui produk, layanan dan pengalaman dari 1 orang ke 1 orang lainnya secara langsung. proses yang didokumentasikan.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
7
Berbagi pengetahuan implisit (tacit): kunci kekuatan kaum akademisi Berbagi pengetahuan adalah proses pemindahan pengetahuan antar individu. Tiga hal penting dalam proses berbagi pengetahuan adalah (Becerra-Fernandez, 2010,60): a. Perpindahan efektif memungkinkan penerima pengetahuan memahami dengan jelas untuk melakukan pengetahuan yang telah dibagi. b. Pengetahuanlah yang dibagi dan bukan saran yang berdasarkan pengetahuan. Individu yang membagi pengetahuan dapat langsung memberitahukan hal yang telah dipraktekkannya. c. Berbagi pengetahuan tidak hanya terjadi antar individu saja, tetapi bisa juga dalam kelompok, bagian atau lembaga. Bukan hal mudah untuk memformulasikan dan menyampaikan pengetahuan implisit (tacit) untuk dibagi kepada orang lain. Pengetahuan implisit (tacit) lebih bersifat personal dan berdasarkan pada aktivitas dan pengalaman individual. Pengetahuan implisit (tacit) juga termasuk keahlian yang sangat spesifik dan sangat berharga untuk diubah menjadi pengetahuan eksplisit, sehingga lebih baik tetap menjadi pengetahuan implisit (tacit).Yang harus dilakukan adalah menangkap dan merekamnya untuk disebarkan. Sistem berbagi pengetahuan merupakan pondasi dari proses belajar sebuah organisasi, mendukung kegiatan berbagi dan menggunakan pengetahuan individu ataupun organisasi secara berulang kali. Berbagi pengetahuan dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan pengetahuan baru atau melakukan perbaikan dari pengetahuan yang telah ada sebelumnya (Christensen, 2007:37). Perpustakaan berbasis pengetahuan (pengelola dan penyebar pengetahuan) Selama ini, perpustakaan lebih banyak berfokus pada organisasi (seleksi, katalogisasi koleksi) dan penyebaran (termasuk pencarian) informasi. Di samping itu, perpustakaan lebih memperhatikan pengetahuan yang sudah terekam di luar pikiran penciptanya. Padahal banyak pengetahuan yang masih ada dalam kepala dan belum pernah terekam terdapat di sumber-sumber pengetahuan yang umumnya belum dikelola oleh perpustakaan selama ini atau disebut pengetahuan implisit atau tacit. Hal yang mendasari perlunya perubahan tersebut dikarenakan pengguna perpustakaan perguruan tinggi adalah pemakai sekaligus produser pengetahuan ilmiah. Oleh sebab itu, jika perpustakaan perguruan tinggi
8
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
tidak memperluas cakupan kegiatannya dari manajemen informasi ke manajemen pengetahuan, maka perpustakaan akan ditinggalkan penggunanya. Dengan mengadopsi konsep ini, perpustakaan harus menyediakan fasilitas yang memudahkan terjadinya keseluruhan proses pengetahuan, yaitu dengan cara membantu pengguna, baik secara individu maupun kelompok, menjadi agen pengetahuan (agent of knowledge). Dalkir (2011:22) mengatakan “[Libraries] through activities aimed at helping to capture tacit knowledge and by turning personal knowledge into corporate knowledge that can be widely shared through the library and applied appropriately” atau perpustakaan mengadakan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menangkap pengetahuan tacit dan dengan mengubah pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi yang dapat disebarluaskan melalui perpustakaan dan diaplikasikan dengan benar. Forum Ultima: sarana berbagi pengetahuan implisit (tacit) civitas academica Universitas Multimedia Nusantara Berdasarkan uraian di atas, perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) berusaha memposisikan dirinya untuk menangkap banyak pengetahuan yang masih ada dalam pikiran penciptanya atau disebut pengetahuan implisit (tacit) dan mengelola serta menyebarkannya dengan menyelenggarakan Forum Ultima. Forum Ultima diselenggarakan setiap bulan (kecuali pada waktu libur perkuliahan) yang dikoordinir pustakawan dan dilaksanakan sepenuhnya oleh mahasiswa yang secara sukarela bekerja dari mulai pemilihan topik, publikasi di berbagai media online, poster, dan lainnya. Tidak hanya sampai disitu, para mahasiswa yang tergabung dalam Friends of the Library (FLY) atau disebut FLYers turut merekam proses berbagi pengetahuan melalui foto, video dan rekaman audio. Tahapan ini yang disebut dengan pengelolaan pengetahuan untuk selanjutnya disebarkan dengan menggunakan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Gambar 1 menunjukkan keseluruhan proses pengelolaan pengetahuan melalui Forum Ultima. Proses dimulai dengan melakukan brainstorming bersama pemilik pengetahuan untuk membantu menguraikan dan membuat pengetahuan tersebut sistematis untuk disampaikan kepada orang lain. Tahap ini dilakukan berulang kali, hingga pemilik pengetahuan merasa pengetahuan yang akan dibaginya cukup lengkap, jelas dan sistematis. Setelah tahap ini selesai dilakukan, dapat dikatakan telah terjadi penciptaan (creation) pengetahuan implisit (tacit).
transkripsi audio, menyunting file video, dan meng-edit file foto. Semua pekerjaan tersebut dilakukan oleh para mahasiswa dibawah koordinasi pustakawan.
Brainstorming
Searching
Dissemination
Creation
Repositories
Gambar 1. Pengelolaan Pengetahuan Implisit (tacit) lewat Forum Ultima Tahap penyimpanan (repositories) dilakukan dengan merekam setiap ide dan perkataan yang disampaikan di Forum Ultima dalam format suara (audio), dokumen (picture, photo, diagram, slide, paper, sample, software program, etc) dan video. Untuk memudahkan penyebaran dilakukan identifikasi dengan membuat hyperlink antar file, memasukkan metadata dan menyimpannya dalam database. Oleh sebab itu, dibutuhkan keterampilan beberapa orang yang akan bertugas untuk membuat
Setelah semua tahapan tersebut selesai dilakukan maka pengetahuan individu yang telah direkam dan diolah sedemikian rupa siap untuk disebarkan. Penyebaran (dissemination)dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media sosial yang marak saat ini. Pencarian (searching) format multimedia seperti yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan mengembangkan website www. forumultima.com seperti pada Gambar 2. Forum Ultima telah dilaksanakan sebanyak 13 kali sejak 28 Oktober 2011 (lihat Lampiran I). Tema yang diambil dari setiap penyelenggaraan Forum Ultima tidak hanya mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan secara umum, tetapi juga mengedepankan trend yang sedang marak. Animo peserta yang hadir semakin meningkat dan beragam dalam setiap penyelenggaraan Forum Ultima, tidak hanya komposisi jumlah mahasiswa atau dosen, namun juga program studinya. Penutup Universitas adalah organisasi yang kaya akan pengetahuan. Secara umum pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan eksplisit dan implisit (tacit). Pengetahuan eksplisit lebih mudah dikelola, namun tidak demikian dengan pengetahuan implisit (tacit). Pengetahuan implisit (tacit) bersifat unik, rumit dan masih tersimpan (attached) dengan pemiliknya. Dengan menyelenggarakan Forum Ultima secara berkala, Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara berupaya mengelola pengetahuan implisit (tacit) seluruh civitas academica. Pengelolaan yang dilakukan meliputi brainstorming, penangkapan, perekaman, penyimpanan, hingga pencarian informasinya.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
9
daftarpustaka Becerra-Fernandez, I. & Sabherwal, R., (2010). Knowledge Management: systems and processes, M.E. Sharpe, New York. Dalkir, K., (2011). Knowledge Management in Theory and Practice, The MIT Press, Massachusetts. Dinur, A., (2011). Tacit Knowledge Taxonomy and Transfer: case-based research, Journal of Behavioral and Applied Management, Vol. 12, No. 3, 246-268.
LAMPIRAN I – Poster-poster Forum Ultima
10
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Peter, C. H., (2007). Knowledge Sharing: moving away from the obsession with best practices, Journal of Management, Vol.11, No.1, 36-47. Rowley, J., (2003). Knowledge Management: the new librarianship? From custodians of history to gatekeepers to the future, Library Management, Vol. 24, No. 8/9, 433-440.
Oleh: Ahmad Hidayah1 Email:
[email protected]
Sertifikasi Pustakawan Sebagai Tolak Ukur Profesionalisme dan Peningkatan Citra Profesi Pustakawan dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015 Abstrak Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui asesmen kerja nasional Indonesia atau internasional yang berpedoman BNSP 202 Rev.2-2009. Bagi pustakawan yang melalui proses sertifikasi dan lulus uji kompetensi akan diberikan sertifikat. Perpustakaan merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekan secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Oleh karena itu pustakawan harus bersikap profesional dalam mengelola perpustakaan. Seperti yang sudah tertuang dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yaitu “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”. Artinya pustakawan adalah pegawai yang mampu mengelola dan mengembangkan perpustakaan dengan kompetensinya. Masyarakat Ekonomi Asean atau yang lebih dikenal dengan Asean Economic Community (AEC) menuntut masyarakat Indonesia dapat bersaing secara regional dan global dalam berbagai bidang baik bidang ekonomi pada Asean Free Trade Area (AFTA), bidang pendidikan dan teknologi pada ASEAN Ministerial Meeting on Science and Technology (AMMST) dan bidang lain termasuk didalamnya bidang Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi sehingga kelak kedepannya bangsa Indonesia dapat bersaing secara global dan menjadi salah satu pusat pengetahuan dunia melalui lembaga Perpustakaan. Kata Kunci: Sertifikasi, kompetensi, karir pustakawan, ASEAN Economic Community
Latar Belakang Perpustakaan sebagai sarana belajar dan menuntut ilmu sepanjang hayat merupakan suatu lembaga atau instansi yang bergerak di bidang pelayanan ilmu pengetahuan kepada masyarakat atau pemustakanya. Dunia perpustakaan tak dapat lepas dari 4 unsur utama yaitu adanya gedung, koleksi, pustakawan dan pemustaka, dalam hal ini pustakawan memiliki peran vital dalam proses pengelolaan dan manajemen perpustakaan baik itu Perpustakaan Umum, Perpustakaan Khusus, Perpustakaan
1 2
Sekolah dan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Asean Economic Community (AEC) yang pada tahun 2015 mulai diberlakukan menjadi tantangan tersendiri bagi dunia perpustakaan. Tahun 2015 mendatang masyarakat di negara Asia Tenggara akan bebas keluar masuk Indonesia, ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam segala bidang tidak terkecuali bidang pendidikan, teknologi dan perpustakaan. Asean Economic Community (AEC) menuntut
Pustakawan pada UPT Perpustakaan UNISSULA Pemenang Kedua Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional 2014
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
11
warga negara Indonesia dapat bersaing secara global dan secara langsung dengan masyarakat ekononomi di kawasan Association of South East Asia Nations (ASEAN). Peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang tidak dapat dipungkiri lagi, karena pada saatnya nanti yang tertinggal dalam hal IPTEK maka ia akan semakin jauh tertinggal dalam persaingan di era AEC tahun 2015. Pustakawan yang dalam hal ini sebagai pelayan informasi pada masyarakat dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan dan ilmu pengetahuan dalam bidang kepustakawanan sehingga dapat meningkatkan pelayanan yang lebih baik, profesional, efektif dan efisien pada pemustaka di perpustakaan baik itu information retrieval, comfortable service dan pelayanan prima bagi para pemustaka, sehingga selain informasi yang dibutuhkan pemustaka dapat terpenuhi dengan maksimal juga dapat meningkatkan citra dan profesionalisme pustakawan khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas di Asean Economic Community (AEC). Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi, saat ini perpustakaan lebih dikenal sebagai lembaga penyimpan dan penyedia informasi tanpa terbatas ruang dan waktu. Pemustaka ke perpustakaan tidak lagi hanya sekedar untuk meminjam dan mengembalikan buku di perpustakaan melainkan menggunakan perpustakaan sebagai tempat belajar dan mencari bahan informasi dan referensi guna kepentingan ilmiah. Vitalnya perana pustakawan dalam pengelolaan dan manajemen perpustakaan menuntut pustakawan untuk selalu melakukan aktualisasi diri guna meningkatkan profesionalisme, citra pustakawan dan meningkatkan kualitas layanan perpustakaan pada pemustaka sebagai user atau pengguna perpustakaan, baik itu perpustakaan umum, perpustakaan khusus, perpustakaan sekolah dan perpustakaan perguruan tinggi. Dengan diterbitkannya lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) sektor kebudayaan, hiburan dan rekreasi bidang perpustakaan menjadi standar kompetensi kerja nasional Indonesia. Mernindak lanjuti keputusan Menakertrans tersebut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui LSP (Lembaga Sertifikasi Pustakawan) menyelenggarakan program asesi bagi Pustakawan yang selanjutnya jika pustakawan lulus mengikuti proses asesi akan diberikan sertifikat sebagai bukti pengakuan resmi/ formal dari pemerintah pusat sebagai Pustakawan tersertifikasi.
12
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Sertifikasi pustakawan tersebut diperuntukan bagi seluruh pustakawan di Indonesia baik lembaga perpustakaan berstatus negeri atau swasta. Metode Penulisan dan Pengumpulan Data Metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan artikel ilmiah ini adalah: 1. Penelitian Deskriptif Menurut Moh Nazir (1988: 63) dalam Khoirunnafiatin penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Adapun metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah: 1. Studi Pustaka Menurut Joko Subagyo (dalam Mardiyaso, 2007: 4), metode studi pustaka bertujuan untuk mendapatkan atau memperoleh informasi secara lengkap serta untuk menentukan tindakan atau langkah yang akan diambil sebagai langkah penting dalam kegiatan ilmiah dan memberikan sebuah kerangka berfikir dalam sebuah penulisan ilmiah. 2. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988: 111). Hasil dan Pembahasan Pustakawan idealnya adalah seseorang yang berkerja di perpustakaan dan menjalankan tugas dan fungsi kepustakawanan sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau lembaga yang bersangkutan, guna terciptanya layanan yang baik di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi bagi masyarakat luas. Peningkatan profesionalisme bagi pustakawan mutlak diperlukan guna menghadapi persaingan bebas di era masyarakat ekonomi asia tenggara tahun 2015 yang lebih dikenal dengan Asean Economic Community (AEC). Peningkatan jenjang karier bagi pustakawan baik itu pustakawan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pustakawan swasta harus terus ditingkatkan dengan disertai peningkatan kompetensi di bidang kepustakawanan.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 (UU No. 43 Tahun 2007) tentang perpustakaan menjelaskan bawa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekan secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Perpustakaan yang dimaksud adalah perpustakaan yang berada di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote, baik institusi pemerintah maupun swasta.
pustakawan dapat dibedakan menjadi dua: 1. Kompetensi fungsional yaitu pengetahuan pada sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen, penelitian yang digunakan untuk menyediakan layanan. 2. Kompetensi personal yaitu keterampilan, perilaku yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif sebagai komunikator, meningkatkan kemampuan dan dapat bertahan terhadap berubahan dan perkembangan jaman.
Oleh karena itu pustakawan harus bersikap profesional dalam mengelola suatu perpustakaan. Seperti yang sudah tertuang dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 43 Tahun 2007, yaitu “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”. Artinya pustakawan adalah pegawai yang mampu mengelola dan mengembangkan perpustakaan dengan kompetensinya.
Secara sederhana pustakawan seharusnya melakukan peran utama, dan tidak hanya sekedar melakukannya dengan benar namun terlebih melakukan yang benar dalam menjawab setiap perubahan kejadian. Namun, sampai saat ini standar kompetensi pustakawan di Indonesia masih dalam proses penyusunan sehingga belum jelas pedoman yang dijadikan sebagai acuan untuk kompetensi pustakawan seperti ukuran, sistem, aturan main, materi uji kompetensi dan sebagainya.
Kompetensi menurut SKKNI Kemenakertrans tahun 2012 adalah suatu kemampuan menguasai dan menerapkan pengetahuan, ketrampilan/keahlian dan sikap kerja tertentu di tempat kerja sesuai dengan kinerja yang dipersyaratkan. Seorang pustakawan harus mempunyai kompetensi karena kompetensi dianggap penting sehingga para pimpinan perpustakaan mulai mensyaratkan kompetensi bagi pustakawan dengan tujuan: 1. Menstimulasi layanan unggulan 2. Menyediakan dokumen yang membantun pengembangan uraian tugas (Job Description) dan sarana mengevaluasi jawaban profesinya 3. Memperbaharui antusiasme para pustakawan terhadap profesinya 4. Membantu perencanaan program pengembangan pegawai secara berkelanjutan 5. Menyediakan dokumen yang dapat digunakan dalam pengembangan kebijakan, terutama yang berhubungan dengan organisasi dan susunan pegawai perpustakaan 6. Mengajarkan masyarakat lembaga pemerintahan dan lembaga donor tentang pentingnya keterampilan dan pengetahuan bagi pustakawan profesional. Kompetensi memiliki hubungan yang erat dengan kewenangan dan pengambilan kebijakan. Seseorang yang memiliki kompetensi dalam suatu bidang tentulah cakap dalam mengambil kebijakan terkait bidang tersebut, misalnya bidang kepustakawanan. Jenis kompetensi
Pengembangan Karier Pustakawan. Karir adalah semua pekerjaan atau jabatan yang dipegang selama kehidupan kerja seseorang. Istilah karir tidak hanya mengacu pada kedudukan posisi tinggi tapi juga mengacu pada perjalanan riwayat pekerjaan seseorang. Kemajuan karir seseorang dapat terwujud bila memiliki pemahaman yang baik mengenai pengembangan karir. Pengembangan karir meliputi aktivitas-aktivitas untuk mempersiapkan seorang individu pada kemajuan jalur karir yang direncanakan dan diharapkan. Melalui pengembangan karir, seseorang akan mendapatkan hak-hak yang lebih baik dari apa yang diperoleh sebelumnya, baik material maupun nonmaterial. Setiap orang yang mempunyai pekerjaan diharapkan dapat mengembangkan karirnya dengan penyusunan prasyarat yang harus dimiliki oleh seseorang tersebut. Prasyarat tersebut harus memenuhi kriteria yang sudah ditentukan seperti: prestasi, bobot tugas/ pekerjaan, adanya lowongan jabatan, efisien, dan lain-lain. Kualitas layanan publik merupakan cerminan kualitas dari sebuah organisasi, terutama perpustakaan sehingga pengembangan karir pustakawan menjadi hal yang penting. Dalam pengembangan karir pustakawan, diharapkan dapat menghasilkan pustakawan yang berkualitas, profesional, bertanggung jawab, jujur dan lebih mampu serta akuntabel dalam pemberian pelayanan publik. Dengan pustakawan yang demikian maka layanan perpustakaan akan mampu mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
13
Tenaga perpustakaan terdiri atas pustakawan, tenaga teknis perpustakaan dan tenaga ahli perpustakaan. Untuk menjadi seorang kepala perpustakaan seseorang harus menjabat sebagai pustakawan atau setidaktidaknya menjadi tenaga ahli perpustakaan. Tenaga teknis perpustakaan biasanya diambil dari seseorang
nonpustakawan atau pustakawan yang secara teknis mendukung pelaksanaan fungsi perpustakaan. Pembeda antara Pustakawan dan tenaga perpustakaan lainnya dapat kita lihat dari kriteria masing-masing tenaga perpustakaan.
Tabel 1. Kriteria Tenaga Perpustakaan Pustakawan
Tenaga Teknis Perpustakaan
Pustakawan harus memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) di bidang perpustakaan dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
harus memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S-1) di bidang perpustakaan dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Tenaga teknis perpustakaan harus melaksanakan kegiatan yang bersifat membantu pekerjaan fungsional yang dilaksanakan pustakawan, serta melaksanakan pekerjaan perpustakaan lainnya.
Seseorang yang memiliki kualifikasi akademik serendah-rendahnya sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) di luar bidang perpustakaan dari perguruan tinggi yang terakreditasi juga dapat menjadi pustakawan setelah lulus pendidikan dan pelatihanbidangperpustakaan.
Memiliki kompetensi profesional yang mencakup aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja, dan kompetensi personal yang mencangkup aspek kepribadian dan interaksi sosial.
Tenaga teknis perpustakaan terdiri atas tenaga teknis komputer, tenaga teknis audio visual, tenaga teknis ketatausahaan, tenaga teknis asisten perpustakaan, dan/ atau tenaga teknis lainnya yang diatur oleh peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI.
Pendidikan dan pelatihan di bidang perpustakaan diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional atau lembaga lain yang diakreditasi oleh Perpustakaan Nasional atau lembaga sertifikasi yang diatur oleh Perpustakaan Nasional RI.
Tenaga ahli di bidang perpustakaan adalah pustakawan yang memiliki kapabilitas bidang perpustakaan, integritas (keadaan yang mewujudkan suatu kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan di bidang perpustakaan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran, dan kesetiaan), dan kompetensi (kemampuan yang mencakup aspek pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap kerja yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau lembaga pendidikan yang terakreditasi di bidang perpustakaan.
Tenaga teknis perpustakaan memiliki kualifikasi akademik paling rendah diploma II (D-II) ditambah pendidikan dan/atau pelatihan sesuai bidang tugasnya.
Pustakawan harus memiliki kompetensi profesional yang mencakup aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja, dan kompetensi personal yang mencangkup aspek kepribadian dan interaksi sosial. Dan jika seorang pustakwan memiliki kompetensi tersebut akan mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial yang sudah ditetapkan di peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI.
pengalaman bekerja di perpustakaan minimal 5 (lima) tahun.
Tenaga teknis perpustakaan harus memiliki kompetensi profesional (aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja) dan kompetensi personal (aspek kepribadian dan interaksi sosial) yang kedepannya akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Pustakawan harus memiliki sertifikat kompetensi kepustakawanan yang diberikan oleh lembaga sertifikasi mandiri atau lembaga pendidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI
14
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Tenaga Ahli Perpustakaan
Tenaga teknis perpustakaan harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya yang diberikan oleh lembaga sertifikasi mandiri atau lembaga pendidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI.
Program Sertifikasi Pustakawan Sebagai Tolok Ukur & Peningkatan Citra Profesi Pustakaawan Dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC). AEC akan dimulai pada tahun 2015, artinya banyak tenaga perpustakaan khususnya pustakawan di negara Asia Tenggara yang bisa memasuki Indonesia, atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan pustakawan harus mampu bersaing secara global, baik secara intelektual maupun penguasaan teknologi yang bertujuan untuk pengembangan pendidikan. Salah satu program pemerintah guna meningkatkan dan melindungi pustakawan adalah dengan adanya program sertifikasi pustakawan. Sertifikasi sendiri merupakan tolok ukur yang diberlakukan pemerintah guna menguji sejauh mana tingkat pengetahuan seorang pustakawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara professional di perpustakaan. Salah satu poin dari AEC adalah ASEAN Ministerial Meeting on Science and Technology (AMMST) yang pemaparan awalnya adalah sebagai berikut: “Science, technology and innovation can be powerful determinants and enablers of economic development, educational programmes and protection of the environment. This view is shared by the ASEAN Leaders who have recognised science and technology (S&T) as a key factor in sustaining economic growth, enhancing community well-being and promoting integration in ASEAN. The Leaders have envisioned that by 2020 that ASEAN will be technology competitive, competent in strategic and enabling technologies, with an adequate pool of technologically qualified and trained manpower, and strong networks of scientific and technological institution and centres of excellence”(Official Website of ASEAN) Dari pemaparan tersebut sangat jelas bahwa pengembangan bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi akan menjadi penentu suatu pengembangan ekonomi, program pendidikan dan perlindungan masyarakat. Perkembangan pesat Ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut pustakawan untuk bisa menyesuaikan diri, mampu mengapliasikannya di perpustakaan. Pada tahun 2020 sebagaimana kutipan AMMST, para pemimpin di kawasan Asia Tenggara mempunya visi yang untuk mengembangkan bidang teknologi yang kompetitif dan strategis serta pengembangan sumber daya manusia yang terlatih, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat dan terciptanya pusat-pusat informasi yang terbaik.
Sebagaimana pemaparan diatas tentu ini menjadi sebuah peluang dan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh seluruh perpustakaan dan pustakawan di Indonesia. Pustakawan sebagai pengelola, pelayan dan pemberi informasi pada pemustaka di perpustakaan perlu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang, agar mampu bersaing dalam menghadapi AEC. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui asesmen kerja nasional Indonesia atau internasional yang berpedoman BNSP 202 Rev.2-2009. Sertifikasi pustakawan merupakan perwujudan bukti kompetensi pustakawan dinyatakan dalam bentuk sertifikasi profesi. Bagi pustakawan yang melalui proses sertifikasi dan lulus uji kompetensi kepada mereka akan diberikan sertifikat. Syarat pelaksanaan uji kompetensi dalam kerangka sertifikasi harus terdapat Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan Asosiasi Profesi (Ilmu Perpustakaan bisa ambil peran besar tentunya) dengan memperoleh lisensi untuk menguji kompetensi pustakawan. Pelaksanaan uji kompetensi, sebagai beriku: 1. Uji kompetensi dalam rangka sertifikasi kompetensi kerja dilakukan oleh LSP yang telah memiliki lisensi dari BNSP 2. Dalam hal LSP untuk bidang profesi tertentu belum terbentuk, uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi dilakukan oleh BNSP dengan membentuk panitia teknis 3. Pelaksaaan sertifikasi kompetensi dimaksud ayat (1) dan (2), harus memenuhi ketentuan mengeni materi uji,metode pengujian, tempat uji, penilaian dan asesor uji kompetensi Untuk dapat menyelenggarakan uji kompetensi, sebuah lembaga harus mendapat izin dari lembaga sertifikasi profesi, yang merupakan kepanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi, sebagai pengakuan formal. Izin atau lisensi tersebut didapat melalui proses akreditasi yang menyatakan bahwa LSP tersebut telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi. Sertifikat kompetensi adalah bukti pengakuan tertulis atas penguasaan kompetensi kerja pada jenis profesi. Sertifikasi kompetensi juga merupakan proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional maupun internasional. Beberapa acuan sertifikasi
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
15
kompetensi kerja sebagai berikut: 1. Sertifikasi kompetensi kerja nasional dapat dilakukan untuk unit kompetensi dan kualifikasi profesi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja yang berlaku, bisa berupa SKKNI yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, atau standar internassional atau standar khusus yang telah diverifikasi. 2. Sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan melalui uji kompetensi (assesmen). Dengan kata lain pada saatnya nanti harus disiapkan asesor-asesor yang siap menguji kompetensi pustakawan. Sertifikasi dapat dibedakan menjadi sertifikasi kompetensi profesi, sertifikasi untuk mendapatkan status profesi dan sertifikat pelatihan. Adapun uraiannya adalah sebagi berikut: 1. Sertifikasi kompetensi profesi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Personil/ Profesi dan akan berlaku apabila masih berkompeten. Sertifikasi ini berlaku untuk kompetensi yang dimiliki paling akhir (current competence). 2. Sertifikasi untuk mendapat status profesi: dilakukan organisasi profesi, biasa disebut juga lisensi/ registrasi profesi. Kadang lisensi ini dikeluarkan setelah yang bersangkutan memiliki sertifikat nomor 1 di atas. 3. Sertifikat pelatihan: oleh lembaga pelatihan, biasa disebut juga Certificate of attainment, berlaku selamanya. Sertifikasi yang akan diberlakukan bagi pustakawan adalah sertifikasi terhadap kompetensi profesi. Sertifikasi ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan, menentukankelayakan seorang pustakawan dalam memberikan layanan informasi, serta meningkatkan layanan perpustakaan. Sertifikasi juga akan menghilangkan dikotomi pustakawan PNS dan pustakawan swasta. Para pustakawan yang tersertifikasi akan memiliki kedudukan yang sama terhadap pengakuan kemampuan mereka, karena sudah ada lembaga penjamin mutu (quality assurance). Sebelumnya sudah disebutkan bahwa sertifikat kompetensi adalah bentuk pengakuan bahwa seseorang mampu melakukan suatu pekerjaan sesuai bidangnya masing-masing. Pada konteks dunia perpustakaan sertifikasi bermanfaat untuk mengembangkan tenaga perpustakaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak, diantaranya: 1. Pustakawan Bagi pustakawan, sertifikasi menjadi bukti atau pengakuan terhadap kemampuan mereka serta sarana untuk meningkatkan jenjang karier dan memacu diri
16
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
agar lebih profesional dan mencapai hasil pekerjaan yang berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan sertifikat kompetensi, mereka dapat memilih peluang-peluang untuk pengembangan karir yang cocok. Para pustakawan akan memiliki kepercayaan tinggi dalam melakukan penawaran posisi serta tidak akan canggung berkomunikasi dengan rekan seprofesi. 2. Lembaga Perpustakaan Bagi lembaga perpustakaan, adanya sertifikasi kompetensi yang menjamin kemampuan pustakawannya dan persyaratan pengalaman menjadi kurang relevan lagi dalam perekrutan pustakawan. Perekrutan pustakawan untuk lembaga perpustakaan menjadi lebih sederhana, hanya dengan menyebutkan jenis dan tingkat sertifikasi pustakawan yang dibutuhkan, maka pustakawan yang dimaksud akan segera didapatkan. Bahkan cukup hanya menyebutkan jenis dan tingkat sertifikasi pustakawan tersebut. Oleh karena itu sertifikasi ini dapat menunjang pula eksistensi kelembagaan yang menapung puskakawan yang kompeten. Hal yang sangat disayangkan dari sertifikasi pustalawan, sertifikasi perpustakaan masih buming di perbincangkan. Peraturan pelaksanaan tindak lanjut UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, belum muncul dalam wujud Peraturan Pemerintah khususnya mengenai pelaksanaan “isu sertifikasi”. Namun pada awal 2012 sertifikasi pustakawan mulai di perhatikan oleh pemerintah meskipun belum terealisasikan, tetapi paling tidak profesi pustakawan sudah mendapat tempat di masyarakat dan menjadi agenda bagi pemangku kebijakan. Pustakawan bisa menjadi tenaga pendidik yang ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan harus menjadi ruang publik untuk pembelajaran sepanjang hayat. Sudah selayaknya pemerintah memikirkan bahwa kompetensi para pustakawan Indonesia patut mendapatkan apresiasi dengan disertifikasi. Hal ini untuk melindungi citra dan profesi pustakawan dan tentunya untuk penjaminan kesejahteran seperti halnya sertifikasi yang diberlakukan pada PNS dosen, guru dan jabatan fungsional lainnya yang selain mendapatkan pengakuan secara sah dari pemerintah juga pendapatkan tunjangan kesejahteraan guna meningkatkan kinerja pada profesi yang bersangkutan agar dapat lebih bersaing di era Asean Economic Community (AEC) 2015. Jika hal ini diberlakukan untuk pustakawan maka selain akan meningkatkan kinerja dan profesionalisme pustakawa, juga akan meningkatkan citra
perpustakaan yang selama ini hanya dikesankan sebagai pegawai yang kurang dikenal di masyarakat umum. Saran Dalam menyikapi sertifikasi, penulis memberikan beberapa saran, yaitu: 1. Perpustakaan Nasional RI sebagai penyelenggaran program sertifikasi perpustakaan menyediakan fasilitas yang memadai guna terciptanya rasa nyaman pada saat dilakukan proses sertifikasi mulai dari perserta datang, test dan setelah selesai mengikuti semua proses asesi. 2. Adanya prosedur atau tahapan yang jelas tentang proses atau langkah-langkah yang akan dilalui selama proses asesi.
3. Adanya penjadwalan yang jelas sehingga tidak membingungkan peserta asesi dalam mengikuti proses sertifikasi pustakawan mengingat proses sertifikasi hanya dilakukan di satu tempat yaitu di Perpusnas RI, Jakarta. 4. Diajukan adanya tunjangan profesi pustakawan seperti halnya pada dosen dan guru sehingga tidak ada kesan pustakawan selalu terbelakang terutama dalam masalah kesejahteraan. 5. Sosialisasi yang lebih menyeluruh dan dikeluarkannya pedoman dan peraturan pemerintah terkait pelaksanaan Sertifikasi Pustakawan.
daftarpustaka Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional. (2008) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah. Diambil 11 Oktober 2013 dari http://kelembagaan.pnri.go.id
Mardiyarso, Tony. (2007). Pengadaan Bahan Pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang. Tugas Akhir. Program Diploma III Perpustakaan dan Informasi. Fakultas Ilmu Budaya UNDIP Semarang.
Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (2012) SKKNI Depnakertrans tahun 2012. Diambil 11 Desember 2013 dari www.infokursus.net
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Indonesia, Perpustakaan Nasional. (2009). STANDAR NASIONAL PERPUSTAKAAN Tahun 2009. Diambil 16 Desember 2013 dari www.kelembagaan.pnri.go.id. Indonesia. (1999). UU RI No.87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Diambil 11 Desember 2012 dari http:// www.pu.go.id Indonesia. (2007). UU RI No. 43 Tahun 2007. Tentang Perpustakaan. Diambil 6 Juli 2014 dari http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ images/brweb20140613-uu-perpus.pdf.
Sulistyo-Basuki. (1994). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suprianto, Wahyu dan Ahmad Muhsin. (2008). Teknologi Informasi Perpustakaan. Strategi Perencanaan Perpustakaan Digital. Yogyakarta : Kanisius Sutarno. (2008). Kamus Perpustakaan dan Informasi. Jakarta: Jala Permata Suwarno, Wiji. (2010). Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Jakarta: Arruz Media.
Sumber Website: http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/artikel/669-menanti-sertifikasi-pustakawanhttp://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/artikel/669-menanti-sertifikasi-pustakawanhttp://www.asean.org/communities/asean-economic-community http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/category/asean-ministerial-meeting-on-science-and-technology-ammst http://www.asean.org
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
17
Oleh: James Frederich Kurniajaya1 Email:
[email protected]
Pustakawan Sekolah dan Pembelajar Sepanjang Hayat: Konsep dan penerapan literasi informasi di sekolah Abstrak Perpustakaan sebagai salah satu sarana pembelajaran harus mampu menyediakan berbagai macam informasi yang dibutuhkan siswa dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Pustakawan harus tanggap akan kebutuhan pemustaka. Sistem pendidikan yang menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran, menjadikan perpustakaan sebagai pusat informasi primer dalam penyelesaian tugas-tugas sekolah. Seiring dengan perkembangan teknologi, beragam informasi dapat ditemukan dengan cepat. Dibutuhkan keterampilan khusus untuk mengantisipasi membludaknya informasi yang ditemukan dalam proses penelusurannya. Keterampilan ini akan sangat bermanfaat dalam setiap aspek kehidupan siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat. Keterampilan Literasi Informasi mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan logis dalam memecahkan setiap permasalahan yang ditemukan. Perpustakaan dan pustakawan sekolah sangat berperan dalam mengajarkan keterampilan Literasi Informasi dengan berbagai konsep dan model. Berbagai model Literasi Informasi dapat diintegrasikan ke dalam program sekolah dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing institusi/lembaga. Kata kunci: Literasi informasi, pustakawan sekolah, pembelajar sepanjang hayat, berpikir kritis.
Pendahuluan Dalam Pedoman Perpustakaan Sekolah IFLA/ UNESCO (2006: 3) disebutkan bahwa perpustakaan sekolah merupakan tempat yang menyediakan berbagai macam informasi dan ide yang merupakan landasan agar berfungsi dengan baik di dalam masyarakat yang berbasis informasi dan pengetahuan. Pendidikan harus mampu mempersiapkan setiap siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan keterampilan kepada siswa bagaimana cara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Melalui, perpustakaan sekolah wajib membekali siswa dengan keterampilan menjadi pembelajar sepanjang hayat agar dapat dikembangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Perpustakaan sekolah juga wajib memfasilitasi para siswa dalam proses pembelajaran
1 2
melalui penyediaan bahan pustaka dan pelayanan yang sesuai dengan kurikulum sekolah. Dengan fasilitas perpustakaan, para siswa dapat mengembangkan kreativitas dan imajinasi mereka. Siswa yang sukses adalah siswa yang mampu berpikir kreatif dan memiliki keterampilan yang memungkinkannya bergerak secara kompeten menuju masyarakat kaya informasi. Masih sering dijumpai dalam banyak kegiatan belajar di kelas, siswa hanya menghafal pelajaran yang diberikan tanpa melewati proses pemahaman isi dan latihan berpikir logis, serta menyerapnya dengan mengaitkan pelajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menciptakan suasana belajar yang ideal, pendidik tidak lagi menjadi sumber informasi sentral yang hanya mampu “menyuapi” bahan pelajaran kepada siswa.
Pustakawan pada Perpustakaan SMA Katolik Rajawali Makassar, Sulawesi Selatan Pemenang Ketiga Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional 2014
18
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Berbagai sumber informasi yang tersedia mengharuskan setiap siswa mampu memilah informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa selain informasi positif, juga terdapat informasi negatif. Oleh karena itu diperlukan sebuah keterampilan yang dibutuhkan untuk menyaring informasi yang melimpah. Keterampilan tersebut dinamakan literasi informasi. Literasi informasi dapat diajarkan sejak usia dini ketika siswa berada di bangku pendidikan dasar. Keterbukaan Informasi Dalam era keterbukaan informasi, berbagai informasi dapat dengan mudah diakses menggunakan perangkat teknologi. Banjir informasi tidak dapat dihindari oleh setiap orang, termasuk siswa yang merupakan bagian dari masyarakat informasi (information society). Memilah informasi yang sesuai dengan kebutuhan kita bukanlah pekerjaan mudah, apabila kita tidak mengetahui cara menyeleksinya. Kendala ini masih dirasakan oleh setiap orang, khususnya siswa. Banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam menggunakan informasi yang diperolehnya. Bahkan masih banyak siswa yang kesulitan dalam mengorganisasikan informasi tersebut. Di era informasi, ketersediaan informasi sangatlah beragam dalam berbagai bentuk, tetapi tidak semua informasi tersebut berguna dan dibutuhkan oleh masyarakat. Informasi memiliki nilai pada saat informasi tersebut berguna dan bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Saat masyarakat telah mampu mengetahui informasi yang dibutuhkan, mengidentifikasinya dan menelusur sumber informasi tersebut, bahkan menemukan informasi dan menggunakannya sesuai kebutuhan, maka tanpa disadari mereka telah menjadi literate dengan informasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh UNESCO (2005: 4-5) sebagai berikut: “Literasi informasi adalah kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Secara terperinci dapat dikatakan bahwa literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi dibutuhkan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengomunikasikannya secara efektif, legal dan etis”. Keterampilan mencari dan menemukan informasi menjadi faktor pendukung dan semacam fasilitas untuk
belajar secara lebih efektif dan efisien. Penguasaan literasi informasi dianggap dapat menciptakan keberaksaraan yang berbasis keterampilan (skills-based literacy). Dikemukakan oleh Webber dan Johnston (dalam Hasugian, 2008: 35) bahwa yang termasuk ke dalam keterampilan ini adalah kemampuan mencari informasi, memilih sumber informasi secara cerdas, menilai dan memilah-milah sumber informasi, menggunakan serta menyajikan informasi secara etis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa literasi informasi merupakan sebuah kemampuan yang memiliki komponen-komponen dasar seperti yang diuraikan oleh American Library Association (dalam Goad, 2002: 22), yaitu: 1. Mengetahui kebutuhan informasi; 2. Mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah; 3. Menemukan kebutuhan informasi; 4. Mengevaluasi dan menganalisis kebutuhan informasi; 5. Menggunakan dan memanfaatkan informasi tersebut secara efektif untuk penyelesaian masalah. Seseorang yang memiliki kemampuan literasi informasi harus memperhatikan kebutuhan informasi berdasarkan pengetahuan yang ia miliki sebagai langkah awal untuk mencari informasi tersebut, maka ia akan mengalami proses mengetahui kebutuhan informasi dan mengidentifikasi informasi tersebut. Setelah ia mencarinya melalui sumber-sumber informasi dan mendapatkannya, ia akan mengevaluasi dan menganalisis informasi tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian ia akan memanfaatkan informasi yang didapatkan sesuai tujuan tertentu. Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang tepat bagi setiap siswa, diperlukan seperangkat keterampilan, mulai dari kemampuan mengidentifikasi masalah yang dihadapi, menentukan sumber informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian masalah, kemudian mengakses informasi, sampai pada penggunaan informasi tersebut. Seperangkat keterampilan inilah yang disebut dengan literasi informasi. Keterampilan ini menjadi penting karena keterampilan tersebut yang akan melengkapi setiap siswa untuk dapat berpikir dan berperilaku kritis sebagai pembelajar mandiri sepanjang hayat. Pembelajar sepanjang hayat mengandung makna bagaimana setiap manusia nantinya memiliki kecakapan dalam bertahan hidup (APISI, 2008: 11). Definisi Literasi Informasi Istilah information literacy berangkat dari pemahaman dasar literacy dan information. Literacy menurut arti katanya dalam Bahasa Inggris mengandung makna huruf, melek huruf dan yang berkaitan dengan kegiatan membaca dan menulis. Information menurut arti katanya mengandung
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
19
sesuatu yang dikatakan, atau bagian dari pengetahuan (The Concise Oxford Dictionary, 1990). Dalam bahasa Indonesia, kata literacy diterjemahkan secara bebas menjadi literasi. Dari beberapa bahan referensi seperti kamus dan thesaurus yang ada, beberapa diantaranya yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh Badudu-Zain tahun 2001, Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia Jilid 1 tahun 2009 dan Tesaurus Bahasa Indonesia oleh Eko Endarmoko tahun 2007, tidak ada satupun yang mendaftar kata “literasi” dalam kumpulan entri mereka. Jika mencari arti kata yang sama maknanya dengan arti “huruf” dan “kemampuan baca tulis”, maka istilah yang dapat digunakan adalah aksara dan keberaksaraan (Kamus Umum Bahasa Indonesia: Badudu-Zain, 2001). Kata “literasi” ditemukan dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara yang merupakan hasil karya kolaborasi tiga Negara yaitu Brunei, Indonesia dan Malaysia pada tahun 2003 yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei di Bandar Seri Begawan. Entri “literasi” ini digunakan di Negara Brunei dan Malaysia yang berarti kebolehan (kemampuan) menulis dan membaca; celik huruf, keberaksaraan. Informasi, jika ditelaah dari arti katanya, dalam Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia (2009: 532) mencatat bahwa informasi merupakan suatu garis-besar, gagasan dari informare/informatum bermakna memberi suatu bentuk pada, menguraikan. Selain itu disebutkan pula bahwa dalam penggunaan umum, semacam pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung, melalui studi, melalui pertanyaan-pertanyaan atau melalui konsultasi suatu sumber informasi, seperti buku, jadwal atau teleteks (2009: 533). Istilah literasi informasi digunakan dalam dokumen UNESCO yang mendaftar beragam sumbersumber tentang literasi informasi dari berbagai negara. Istilah literasi informasi diperkenalkan pertama kali oleh Paul G. Zurkowski pada tahun 1974. Zurkowski (Presiden Information Industry Association) mengusulkan bahwa prioritas utama dari program nasional US National Commission on Libraries and Information Science adalah membangun sebuah program utama untuk mencapai literasi informasi universal di tahun 1984 (Zurkowski, 1974: 6). Usulan ini dengan latar belakang bahwa informasi yang tersedia sangat begitu banyaknya hingga individu dapat mengalami kesulitan untuk mengevaluasinya. Menyadari bahwa kemampuan pencarian informasi tiap individu berbeda dari segi waktu dan serta beragamnya ketersediaan informasi, maka ada celah bagi individu
20
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
untuk tidak dapat menggunakan informasi dengan pemahaman yang lebih baik dan maksimal. Lebih lanjut Zurkowski berpendapat bahwa orang yang terlatih dalam menerapkan sumber informasi dalam pekerjaan mereka, dapat dikatakan information literate. Pemahaman dan implemetasi literasi informasi berawal dari kegiatan membaca di perpustakaan. Pada awalnya, anak-anak diajar untuk bisa membaca. Mulailah mereka diperkenalkan dengan deretan abjad A hingga Z. Pelajaran ini diberikan kepada para siswa sekolah dasar. Bahkan saat ini, guru di Taman Kanak-kanak sebagian besar sudah mengajari siswanya cara membaca. Mereka belajar mengenal huruf, diikuti dengan mengombinasi huruf hingga akhirnya mereka bisa membaca suku kata menjadi kata serta mengetahui artinya. Kata demi kata terangkai hingga membentuk sebuah makna kalimat, kemudian makna paragraf hingga akhirnya makna pokok-pokok pikiran dalam sebuah cerita. Ketika anak-anak ini sudah pandai membaca, maka mereka didorong untuk bisa terus mengembangkan kebiasaan membaca. Pada proses inilah, mereka memperlancar keterampilan membaca. Secara tidak langsung mereka juga menyerap makna bacaan yang mereka baca. Mulailah, koleksi buku-buku dimanfaatkan dan perpustakaan sekolah sangat berperan. Lama kelamaan, kegiatan membaca semakin melatih siswa untuk belajar menangkap ide dan gagasan dari apa yang mereka baca. Pada proses ini juga, kecintaan para siswa pada kegiatan membaca dapat ditumbuhkan. Proses ini menjadi penting, karena kecintaan pada membaca pada usia dini, akan menolong mereka untuk mempelajari literasi informasi, literasi media dan lainnya. Literasi ini menjadi kunci untuk kesuksesan mereka di tahapan pembelajaran selanjutnya. Perpustakaan sekolah menyediakan sumber bacaan bagi para siswa. Mereka dapat memilih bacaan yang mereka suka. Di sisi lain, perpustakaan dapat memenuhi kebutuhan membaca bagi siswa sesuai dengan tingkat usia mereka. Inilah konsep awal keberadaan perpustakaan. Citra perpustakaan sebagai tempat menyimpan buku sangat melekat dalam benak masyarakat hingga saat ini. Sejalan dengan perkembangannya, koleksi perpustakaan berkembang bukan saja dari segi jumlah buku, juga variasi jenis bacaan. Berangkat dari urusan perpustakaan yang melahirkan spesifikasi kerja perpustakaan menjadi tiga posisi yaitu seperti yang diungkap oleh Shera (dalam Ray,
2001:30) dengan sebutan Tripartite Role, yaitu (1) bibliographer– orang yang bertugas memilih buku dan bahan-bahan lainnya untuk penambahan koleksi perpustakaan; (2) reference librarians – orang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh pengguna perpustakaan; dan (3) cataloging librarians – orang yang membuat kartu katalog atau kartu elektronik dan memastikan bahwa koleksinya sesuai penempatannya. Ketiga peran ini terlihat kaku dan berjarak dengan pemustaka. Jelas sekali relasi antara pustakawan dengan pemustaka hanya terjadi pada peran pustakawan referensi. Meskipun bentuk komunikasi tidak secara langsung melalui katalog perpustakaan. Harapan pustakawan adalah pemustaka dapat menemukan buku yang dicari melalui katalog yang dibuat. Namun cara ini pun belum maksimal, karena pemustaka perlu mengetahui bagaimana cara menggunakan katalog perpustakaan. Berkembanglah inisiatif untuk mengadakan program pengenalan perpustakaan atau library instruction. Branch dan Gilchrist (dalam Andretta, 2005: 6) menyebutkan pada tahun 1970an Association of Colleges and Research Libraries (ACRL) mendefinisikan library instruction sebagai pemberian tuntunan bagi individu maupun kelompok dalam menggunakan bahan-bahan dan sumber-sumber serta dalam menginterpretasikan alat-alat pembelajaran. Namun demikian, menurut Branch dan Gilchrist, cakupan pendidikan pemakai ini sebatas pengenalan bahan-bahan pustaka dan interprestasi alatalat pembelajaran dan bukan kepada perolehan atau pemilihan informasi dalam rangka pembelajaran. Lebih lanjut, Mellon (dalam Andretta, 2005: 6-7) mengemukakan argumentasinya bahwa permasalahan dalam penerapan pendidikan pemakai tradisional adalah fokus dari kegiatan ini lebih pada kegiatan perpustakaan yang mencakup pemanfaatan sarana informasi dan bukan kepada tugas-tugas yang lebih kompleks dalam penelurusan informasi berdasarkan pemikiran kritis dan keterampilan evaluatif. Cakupan ini gagal dalam mendorong para siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Dengan berkembangnya teknologi pada tahun 1990an, ACRL kemudian mengubah definisi library instruction ini menjadi program yang memberikan instruksi bibliografi melalui beragam teknik yang memungkinkan mereka menjadi information literate (Mellon dalam Andretta, 2005: 7). Dalam The Final Report of The American Library Association (ALA) Presidential Committee, literasi informasi didefinisikan sebagai berikut : “To be information literate, a
person must be able to recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information” (dalam Goad, 2002: 22). Dari definisi di atas, dapat kita ketahui bahwa kemampuan literasi informasi memiliki beberapa kompetensi atau keahlian, yaitu (1) mengetahui kebutuhan informasi; (2) mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah; (3) menemukan kebutuhan informasi; (4) mengevaluasi dan menganalisa kebutuhan informasi; dan (5) menggunakan dan memanfaatkan informasi tersebut secara efektif dalam penyelesaian masalah (dalam Goad, 2002: 22) Seiring dengan pengembangan keterampilan literasi informasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga yang berkompeten di bidang perpustakaan dan informasi, maka lahirlah beberapa definisi dari istilah tersebut, antara lain: 1. Association of College and Research Libraries (ACRL) “Information literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information.” 2. Chartered Institute of Library and Information Professsionals (CILIP) “Information literacy is knowing when and why you need information, where to find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner.” Program literasi informasi merupakan komponen yang penting untuk dikuasai mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, bahkan menjadi suatu keahlian yang dibutuhkan untuk bertahan di era informasi (Salmubi, 2007: 37). Siswa yang telah memiliki kemampuan literasi informasi biasanya dapat memecahkan masalah dan mampu mengkomunikasikan idenya dengan baik. Dalam mempertahankan idenya tersebut, ia akan membangun argumentasi yang logis. Jika terdapat hal baru, maka siswa tersebut tanpa ragu akan mempelajarinya untuk kemudian menanggapi dengan kritis dan selektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan literasi informasi adalah seorang siswa yang berpandangan kritis. Model Literasi Informasi Sejak diperkenalkan tahun 1974, model literasi informasi kemudian berkembang. Perkembangan ini menunjukkan keragaman pendekatan terhadap pemahaman literasi informasi di beberapa negara maju. Kebanyakan model literasi informasi yang berkembang adalah untuk aplikasi bagi siswa di sekolah. Hal ini berbeda dengan yang disebut Zurkowski dalam cakupannya pada konteks pekerja. Hal ini
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
21
menunjukkan kesadaran bahwa para siswa perlu diberikan keterampilan untuk memecahkan masalahnya dengan sistematis sejak dini, agar mereka siap menjadi pekerja yang information literate di dunia kerja mereka nanti. Dalam tulisan ini, penulis mengambil lima contoh model dari lima belas model literasi informasi yang dipakai di berbagai negara. Pembahasan tentang lima model tersebut akan diuraikan dengan keunikan masing-masing. Kelima model tersebut adalah sebagai berikut: 1. British Model (Wools, 2006) adalah sebuah model yang pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Michael Marland dalam bukunya Information Skills in the Secondary Curriculum (Wools,2006:1). Model ini adalah yang pertama kali muncul setelah pertama kali dicetuskan konsepnya pada tahun 1974. Model ini diterapkan di sekolah dan disebut dengan keterampilan informasi. British Model mempunyai sembilan langkah untuk memecahkan masalah tersebut yaitu: (1) memformulasikan dan menganalisis kebutuhan; (2) mengidentifikasi dan memeriksa sumber-sumber informasi; (3) menelusur dan menemukan sumber individu; (4) menguji, memilih sumber informasi; (5) mengintegrasikan sumber informasi tersebut; (6) menyimpan dan menyortir informasi; (7) menginterpretasikan, menganalisis, mensintesiskan dan mengevaluasi informasi; (8) mempresentasikan atau mengomunikasikan informasi; dan (9) mengevaluasi. 2. The Big 6™ (Wools, 2006) adalah sebuah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg and Robert E. Berkowitz di Amerika Serikat pada tahun 1988. Model ini sangat populer, bukan saja di Amerika Serikat melainkan juga negaranegara lain yang sudah menyadari pentingnya penerapan literasi informasi dalam proses belajar mengajar di sekolahnya. Eisenberg dan Berkowitz juga secara aktif dan berkelanjutan melakukan promosi dengan mengeluarkan terbitan yang bermanfaat bagi pemustaka. Di Indonesia sendiri, model ini juga populer digunakan di banyak sekolah maju dalam kegiatan program literasi informasi mereka. Bahan tentang model ini juga sangat mudah diperoleh di internet dibandingkan model lainnya. Itu sebabnya, pengguna model ini dapat dengan mudah memperoleh hal-hal baru yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Berkowitz melalui internet. Dengan demikian, penggunaannya juga semakin memasyarakat. Apalagi, pengembang model ini juga menciptakan model sederhana bagi para siswa di sekolah dasar untuk memudahkan mereka dalam mengembangkan keterampilan literasi informasi sejak
22
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
dini. Model ini disebut dengan Super3 yaitu Plan, Do dan Review. Sejauh ini, hanya model ini yang dikembangkan secara khusus untuk anak-anak di sekolah dasar. Enam langkah dalam model Big 6™ adalah: (1) penentuan tugas atau masalah; (2) strategi pencarian informasi; (3) pencarian sumber informasi yang diperlukan; (4) pemanfaatan informasi yang sudah diperoleh; (5) pengintegrasian informasi yang diperoleh dari sumber tersebut; dan (6) pengevaluasian terhadap hasil informasi yang diperoleh dan proses pemecahan masalahnya. 3. Empowering 8 (Wijetunge & Alahakoon, 2005: 14) Pada tahun 2004, sebuah modul yang dirancang khusus untuk kepentingan orang Asia dirumuskan dalam sebuah pertemuan International Workshop on Information Skills for Learning yang diorganisasi oleh IFLA/ALP dan NILIS di University of Colombo, Sri Lanka. Model yang dihasilkan oleh peserta dari negara-negara Asia ini disebut dengan Empowering 8 dan dipercaya sebagai model yang cocok penerapannya di Negara Asia. Kedelapan langkah tersebut adalah: (1) mengidentifikasi masalah; (2) mengeksplorasi sumber informasi; (3) memilih sumber informasi; (4) menyusun informasi yang diperoleh; (5) menciptakan sebuah pengetahuan baru dari informasi yang terkumpul sebagai jawaban dari masalah; (6) mempresentasikan pengetahuan baru yang sudah tercipta; (7) memberi penilaian terhadap pengetahuan baru tersebut; dan (8) mengaplikasikan pengetahuan baru tersebut. 4. Tujuh Langkah Knowledge Management (Diao Ai Lien et.al, 2007) Di Indonesia, lahir sebuah model baru yang disebut dengan Tujuh Langkah Knowledge Management yang dikembangkan oleh Diao Ai Lien dan kawan-kawan dari Universitas Atmajaya Jakarta pada tahun 2007. Model ini merupakan gabungan antara The Big 6™ dan Empowering 8 yaitu dengan menambahkan kemampuan ke-8 dari Empowering 8 ke dalam The Big 6™ (Diao Ai Lien et.al, 2007: 6). Model ini dikembangkan untuk membantu para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas penelitian mereka di kampus. Dengan target pengguna yang spesifik ini maka pada langkah menciptakan kegiatan yang secara jelas dilakukan adalah menulis, yaitu menulis hasil karya penelitian maupun skripsi mereka. Tujuh langkah dalam model ini adalah: (1) merumuskan masalah; (2) mengidentifikasi dan mengakses informasi; (3) mengevaluasi sumber informasi dan informasi; (4) menggunakan informasi; (5) menciptakan karya; (6) mengevaluasi karya; dan (7) menarik pelajaran. 5. Skema dan Aplikasi Media and information Literacy (Latuputty dan Mulkan, 2012) UNESCO masuk ke Indonesia dengan konsep yang lebih luas dari information literacy yaitu Media and
Information Literacy (MIL). Sebuah workshop diadakan di Depok untuk membahas sebuah dokumen terbitan UNESCO tahun 2011 yang berjudul Media and Information Literacy Curriculum for Teachers. Dokumen ini menjelaskan dan menguraikan topik media dan informasi secara gamblang, namun kurang dapat dipahami dimana letak masing-masingnya secara jelas. Pertanyaan ini muncul karena dari dokumen yang dibuat, hanya satu bab membahas tentang literasi informasi dan kurang terlihat pemahaman yang menyeluruh tentang dua konsep ini. Dari sudut pandang kepustakawanan yang memasukkan media ke dalam cakupan literasi informasi, Latuputty dan Mulkan berusaha membuat sebuah skema yang menjelaskan dimana letak posisi media literacy dan information literacy dalam konteks Democracy and Good Governance yang diusung oleh UNESCO. Seperti terlihat pada gambar 1, maka tahapan literasi informasi dapat digambarkan ke dalam sebuah siklus yang terdiri dari enam langkah, yaitu: (1) NEED/Kebutuhan Informasi Kebutuhan dalam langkah awal ini merupakan sebuah kata benda dan bukan kata kerja, karena kebutuhan merupakan bagian dalam kehidupan manusia yang muncul bukan karena suatu pekerjaan yang sengaja dilakukan atau diadakan oleh manusia. Hal ini berdampak pada kemunculannya yang tidak tergantung pada suatu usaha, namun suatu keadaan yang muncul sebagai efek kehidupan manusia. Misalnya, kebutuhan dasar manusia akan sandang, pangan dan papan. Demikian pula munculnya kebutuhan informasi manusia. Dalam kehidupan pribadi, kebutuhan informasi biasanya berkaitan dengan suatu masalah yang harus diselesaikan. Contohnya dalam kehidupan sekolah, siswa membutuhkan informasi saat ia harus menyelesaikan tugas karya tulisnya ataupun tugas akhir. Seorang dosen membutuhkan informasi untuk melengkapi bahan ajar yang akan disampaikan kepada para mahasiswanya. Jadi, kebutuhan disini menandai bahwa ia tidak akan bisa lepas dari manusia selama ia menjalani kehidupannya. Bukan karena ia menginginkan kebutuhan itu, namun lebih karena kebutuhan itu muncul dengan sendirinya secara terus menerus. Kebutuhan ini lebih berkaitan dengan adanya unsur pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan formal di dunia pendidikan dan pekerjaan. (2) ACCESS/Akses informasi Langkah selanjutnya saat seseorang menyadari
bahwa ia membutuhkan informasi adalah to access, kata kerja yang menunjukkan kegiatan aktif seseorang untuk mengakses informasi. Akses informasi dilakukan saat seseorang memutuskan kemana ia harus pergi dalam usaha memenuhi kebutuhan informasinya. Akses informasi saat ini dengan membuka laptop dan membuka file ‘perpustakaan digital’ atau ke rak buku koleksi pribadi atau ke perpustakaan. Akses adalah kegiatan aktif manusia memasuki sumber informasi yang diperlukan. (3) LOCATE/Penelusuran Proses kegiatan aktif selanjutnya saat ia sudah berada di sumber informasi adalah menemukan informasi yang diperlukannya. Misalnya, saat ia berada di sebuah perpustakaan, maka ia akan secara aktif menelusur untuk menemukan informasi yang sesuai kebutuhannya. Katalog perpustakaan akan menunjukkan keberagaman media yang memiliki informasi yang diperlukan. Bisa saja ia menemukan sebuah film, lima buah buku, serta tiga jurnal yang mempunyai informasi yang terkait dengan masalah yang ingin ia pecahkan. Dari sini ia akan masuk dalam tahap penyelarasan (Synthesize). (4) SYNTHESIZE/Penyelarasan Proses sintesis atau menyelaraskan informasi yang diperoleh dari beragam media tadi merupakan tahapan penting dalam seseorang memecahkan permasalahannya. Pemikiran kritis sangat diperlukan dalam tahap ini. Ia perlu mengkritisi apakah semua informasi yang diperolehnya itu ia perlukan. Lebih jauh lagi, pemikiran kritis diperlukan saat ia membangun sebuah pengetahuan baru dari proses perolehan informasi yang diperlukannya itu. (5) CREATE/Penciptaan Tahap penciptaan adalah tahap menemukan jawaban atas masalah yang dipecahkan. Bentuk penciptaan sendiri bisa beragam tergantung pada kebutuhan seseorang. Pada pendidikan formal, kebanyakan penciptaan terjadi dalam bentuk karya tulis. (6) EVALUATE/Pengevaluasian Tahap akhir dari siklus ini adalah evaluasi. Evaluasi yang dilakukan mencakup dua aspek, yaitu aspek proses perolehan jawaban atas masalah yang ditemui, sejak tahap NEED hingga CREATE serta evaluasi isi, yaitu evaluasi terhadap hasil atau jawaban itu sendiri. Mengapa evaluasi ini penting dan harus ada? Jawabannya adalah karena siklus literasi informasi ini akan terus berputar dan jawaban atas permasalahan yang dipecahkan akan tersimpan dan membentuk pengetahuan baru seseorang. Evaluasi memungkinkan perbaikan dari ‘kesalahan’ proses maupun penyempurnaan jawaban, dan disinilah
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
23
letak proses pembelajaran seseorang. Proses pembelajaran ini akan terus berlangsung karena manusia akan terus mempunyai kebutuhan informasi dalam kehidupannya.
6
EVALUATE
1
NEED
SIKLUS Literasi Informasi 5
CREATE
4
(LATUPUTTY & MULKAN, 2012)
SYNTHESIZE
2
3
ACCESS
LOCATE
Gambar 1 Siklus Literasi Informasi oleh Hanna Latuputty dan Dede Mulkan, 2012 Pembelajar Sepanjang Hayat Hepworth dalam Andretta (2005: 21) mendeskripsikan seorang pembelajar sepanjang hayat adalah seseorang yang mampu mengedukasi dirinya sendiri, membangun hubungan yang kuat antara proses pencarian dan belajar mempelajari sesuatu dalam konteks literasi informasi. Proses pembelajaran ini merupakan sebuah komponen penting karena memungkinkan siswa mengembangkan kerangka pemikiran pada saat dia belajar mandiri dan mampu mentransfer keterampilannya serta mengaplikasikannya pada situasi dan masalah yang baru. Saat ini literasi informasi menjadi komponen yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dalam Undangundang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Disebutkan pula, bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah mewujudkan manusia pembelajar sepanjang hayat. Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, semakin terlihat bahwa peran pendidik semakin penting dalam memberikan stimulasi pembelajaran mandiri pada para siswa. Membekali setiap siswa dengan keterampilan literasi informasi dalam konteks pembelajaran nasional merupakan sebuah langkah tepat untuk menunjang keberhasilan Sistem Pendidikan Nasional RI dalam mencetak pembelajar mandiri sepanjang hayat. Penerapan keterampilan literasi informasi dalam pendidikan formal di tingkat dasar akan sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran sepanjang
24
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
hayat. Siswa yang telah dilengkapi dengan keterampilan literasi informasi akan membawa keterampilan tersebut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi sehingga menjadi modal dasar untuk diaplikasikan di dunia kerja dan karir di masa yang akan datang. Lebih dari pada itu, keterampilan ini dapat digunakan dalam segala aspek kehidupan mereka saat membuat keputusan yang tepat atas jawaban persoalan dalam kehidupan mereka. Kaitan yang lainnya lagi adalah literasi informasi dan pembelajaran sepanjang hayat memiliki hubungan yang strategis, saling menguntungkan dan menguatkan satu dengan lainnya untuk mencapai keberhasilan setiap individu, organisasi, dan lembaga dalam masyarakat informasi (Lau, 2006: 12). Dapat dikatakan bahwa tanpa penguasaan keterampilan literasi informasi, tidak mungkin seseorang dapat menjadi pembelajar sepanjang hayat untuk dirinya. Menjadi pembelajar sepanjang hayat berarti menjadi pembelajar mandiri. Aplikasi belajar sepanjang hayat tidak selalu berada dalam konteks akademik, tetapi dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan sosial lainnya. Penerapan literasi informasi sangat penting untuk diberikan kepada setiap siswa karena sangat membantu siswa dalam mengeksplorasi sumber-sumber informasi yang ada di dalam perpustakaan baik informasi tercetak maupun elektronik. Peran Perpustakaan dan Pustakawan Sekolah Keberhasilan program literasi informasi tidak dapat dilepaskan dari peranan perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi dan pustakawan sebagai tenaga pengelola perpustakaan. Perpustakaan memiliki peranan penting dalam menciptakan masyarakat literate di era informasi. Perpustakaan juga memiliki kontribusi besar untuk membentuk masyarakat informasi yang berpikir kritis dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Seluruh akses informasi yang terdapat di perpustakaan harus dapat dimaksimalkan untuk kepentingan pengguna dalam menciptakan manusia pembelajar yang mandiri. Hal tersebut dapat dilakukan apabila tenaga pustakawan yang melayani juga memiliki kemampuan atau keterampilan dan menguasai literasi informasi. Dalam Pedoman Perpustakaan Sekolah IFLA/UNESCO (2006: 18) disebutkan bahwa peran utama pustakawan sekolah adalah memberikan sumbangan pada misi dan tujuan sekolah termasuk prosedur evaluasi dan mengembangkan serta melaksanakan misi dan tujuan perpustakaan sekolah. Hal ini berarti pustakawan sekolah turut serta dalam pengembangan rencana kurikulum sekolah. Oleh karena itu, pustakawan sekolah harus bekerja sama dengan manajemen sekolah dan tenaga pendidik.
Bekerja sama dalam proses kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan dengan menjadi mitra yang “sejajar” dengan tenaga pendidik. Bermitra dengan tenaga pendidik berarti kita melakukan kolaborasi sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Kolaborasi merupakan salah satu cara yang sangat baik yang dapat dilakukan oleh komponen-komponen di sekolah, dalam hal ini tenaga pendidik dan pustakawan, untuk menghidupkan aktifitas di perpustakaan dalam menggali dan memanfaatkan sumbersumber informasi. Pustakawan sekolah saat ini harus berperan lebih aktif dan dinamis. Berbeda dengan peran pustakawan di masa lalu, pustakawan sekolah saat ini tidak hanya mengurusi pekerjaan administrasi saja, melainkan memainkan perannya sebagai mitra tenaga pendidik, yaitu sebagai fasilitator proses pembelajaran siswa (Darmono, 2007: 260). Peran ini yang sering disebut sebagai guru pustakawan (teacher-librarian). Seorang guru pustakawan harus menguasai aspek pengajaran dan ilmu pengetahuan untuk mendukung proses pembelajaran siswa. Selain harus menguasai kurikulum yang diterapkan di sekolah, guru pustakawan harus memiliki kemampuan menyampaikan materi pembelajaran tentang literasi informasi kepada siswa. Mengingat banyaknya hal yang harus dilakukan oleh seorang pustakawan sekolah, dalam hal ini guru pustakawan, maka diperlukan kompetensi tenaga perpustakaan sekolah sesuai tuntutan pekerjaannya. Seseorang yang memiliki kompetensi berarti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang diterapkan dalam melaksanakan tugasnya (Darmono, 2007: 261). Kegiatan Penerapan Literasi Informasi di Sekolah Proses pengajaran literasi informasi dapat dilakukan oleh pustakawan dan/atau tenaga pendidik melalui dua cara, yaitu terintegrasi dengan mata pelajaran dan terpisah dengan mata pelajaran lain (stand-alone). Di banyak sekolah saat ini, pengajaran literasi informasi telah dilakukan oleh seorang guru pustakawan yang bertanggung jawab dalam membuat rencana pembelajaran sampai dengan evaluasi keberhasilan pengajaran. Konsep pengajaran di tiap tingkatan kelas berbeda karena disesuaikan dengan tingkat pemahaman masing-masing siswa. Kegiatan yang dilakukan dalam penerapan literasi informasi tidak selalu sama di tiap sekolah. Kegiatan dapat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masing-masing sekolah. Kegiatan penerapan literasi informasi sebaiknya
dibedakan sesuai tingkat pendidikan karena terdapat pola pemahaman yang cukup signifikan antara siswa di tingkat dasar dengan siswa di tingkat menengah. Pola pengembangan literasi informasi di tingkat dasar mungkin akan lebih banyak dilakukan dengan cara yang lebih sederhana, misalnya melalui permainan, bercerita, melakukan aktivitas yang menuntut banyak pergerakan anggota badan, dan sebagainya. Sedangkan untuk siswa di tingkat menengah, pengajaran sudah dapat dilakukan dengan kombinasi teori dan praktek yang langsung mengaplikasikan skills yang diperoleh terhadap sumbersumber informasi yang tersedia di perpustakaan. Biasanya siswa yang sudah terlatih menggunakan keterampilan literasi informasi, akan lebih terstruktur dan sistematis dalam menyelesaikan sebuah masalah/persoalan dalam pelajarannya. Siswa terlatih untuk berpikir kritis dan mampu memilah informasi yang sesuai kebutuhannya. Berikut ini adalah beberapa contoh kegiatan/program yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan literasi informasi di sekolah, yaitu: a. Pendidikan pemakai (untuk siswa SD – SMA) Dilakukan setiap awal tahun ajaran baru dan diperuntukkan bagi semua siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya. Melalui kegiatan ini, para siswa akan dibekali dengan pengetahuan tentang perpustakaan, termasuk mengenalkan seluruh informasi yang ada di perpustakaan dan bagaimana menggunakan perpustakaan dengan baik. b. Kelas perpustakaan terjadwal (untuk siswa SD) Program ini difokuskan untuk siswa di tingkat dasar, dimana program ini dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan terjadwal secara rutin tiap minggu. Program ini dilakukan oleh seorang guru pustakawan untuk mengajar keterampilan tentang bagaimana dan apa saja yang ada di perpustakaan. Keterampilan yang diajarkan diharapkan akan menjadi bekal bagi setiap siswa dalam memenuhi kebutuhan informasi di waktu yang akan datang. c. Kelas pelatihan penulisan karya ilmiah (untuk siswa SMP & SMA) Program ini ditujukan untuk membantu para siswa di tingkat menengah dalam menyusun atau membuat sebuah karya ilmiah yang ditugaskan oleh guru dalam bidang studi tertentu. Siswa akan diajarkan bagaimana membuat sebuah tulisan ilmiah yang baik dan berkualitas. Siswa juga diajarkan bagaimana langkahlangkah penelitian menggunakan salah satu model literasi informasi. Melalui kelas pelatihan ini diharapkan para siswa dapat memahami beberapa hal penting, antara lain menghindari plagiarisme, mengetahui teknik sitasi dan pencantuman bibliografi, mampu
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
25
menggunakan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan, baik secara online maupun tercetak, dan sebagainya. d. Pelatihan penelusuran informasi terpadu (untuk siswa SMA) Program ini dilakukan untuk menunjang kegiatan ekstrakurikuler Jurnalistik, di mana siswa yang terlibat dalam kegiatan ini memiliki kebutuhan informasi yang sangat tinggi untuk menghasilkan sebuah tulisan/ artikel yang akan dimuat di dalam majalah atau buletin sekolah. Banyak sekolah, khususnya di jenjang SMA, memiliki media informasi tercetak yang melibatkan para siswa sebagai reporter atau jurnalis. Melalui pelatihan ini, para siswa diharapkan dapat mengakses informasi dengan cepat dan tepat dari sumber yang relevan dan terpercaya. e. Mengintegrasikan ke dalam proses belajar mengajar (untuk siswa SMA) Beberapa bidang studi yang diajarkan dalam proses belajar mengajar di kelas dapat berintegrasi dengan keterampilan literasi informasi, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Agama, Biologi, Geografi, Sejarah, dan sebagainya. Beberapa mata pelajaran tersebut membutuhkan literatur tambahan, baik dalam bentuk tercetak maupun
noncetak. Ada kalanya tugas yang diberikan oleh guru berbentuk makalah dan siswa diwajibkan untuk mempresentasikan makalah tersebut. Tidak jarang pula beberapa materi dalam pelajaran secara tidak langsung mengharuskan siswa memiliki kemampuan literasi informasi. Contohnya materi penulisan karya ilmiah dalam bidang studi Bahasa Indonesia. Penutup Literasi informasi merupakan sebuah kompetensi mutlak yang harus dimiliki oleh setiap orang di era informasi, tidak terkecuali para siswa. Literasi informasi menuntut kemampuan berpikir kritis dan kemauan untuk terus menjadi pembelajar sepanjang hayat. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat tidak selalu membawa kemudahan dalam mengolah dan mengelolanya. Membludaknya informasi dapat menimbulkan kebingungan dalam diri siswa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan pemakai dengan fokus pada pengembangan literasi informasi. Pustakawan dapat mengambil peran dalam pengajaran literasi informasi melalui pendidikan pemakai perpustakaan. Program pendidikan pemakai di perpustakaan harus diarahkan pada pencapaian literasi informasi setiap siswa.
daftarpustaka Andretta, Susie. (2005). Information Literacy: A Practitioner’s Guide. Oxford: Chandos. Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI). 2008. Aplikasi Literasi Informasi dalam Kurikulum Nasional (KTSP): Contoh Penerapan untuk Tingkat SD, SMP dan SMA. Tangerang: Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI) & International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Darmono. (2007). Perpustakaan Sekolah: Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Diao Ai Lien et al. (2007). Tujuh Langkah Knowledge Management. Jakarta: Universitas Atmajaya. Goad, T.W. (2002). Information Literacy and Workplace Performance. New York: Quorum Books. Hasanuddin W. S. & A. Chaedar Alwasilah (Eds). (2009). Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia (Jilid II F-K). Bandung: Penerbit Angkasa. Hasugian, Jonner. (2008). Urgensi Literasi Informasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi. Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008.
Lau, Jesus. (2006). Guidelines on Information Literacy for Lifelong Learning. Veracruz: International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Perpustakaan Nasional RI. (2006). Pedoman Perpustakaan Sekolah IFLA/UNESCO. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI & Departemen Pendidikan Nasional. Ray, Michael S. (2001). Shifting Sands-The Jurisdiction of Librarians in Scholarly Communication. Denver, Colorado: ACRL Tenth National Conference. Salmubi. (2007). Peningkatan Daya Saing Bangsa Lewat Program Literasi Informasi: Sebuah Peran Perpustakaan Nasional di Era Informasi. Visi Pustaka, Vol. 9, No. 3, Desember 2007. UNESCO. 2005. Development of Information Literacy: Through School Libraries in South-East Asia Countries. Bangkok: UNESCO. Wijetunge, P. & Alahakoon, U. (2005). Empowering 8: the information literacy model developed in Sri Lanka to underpin changing education paradigms of Sri Lanka. Sri Lanka Journal of Librarianship & Information Management, Vol. 1 (1) pp. 31-41.
Indonesia. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
Wools, Blanche. (2006). Development of Concept Models: an Outline for a Workshop at the International Workshop on Information Literacy. Paper dipresentasikan pada International Workshop on Information Literacy, Kuala Lumpur, Malaysia
Latuputty, Hanna & Dede Mulkan. (2012). Developing a Media and Information Literacy Program: a MIL Program Guide for Teachers and Librarians on Elementary School in Indonesia. Paper disajikan pada The 15th Consal Meeting and General Conference.
Zurkowski, Paul G. (1974). The Information Service Environment Relationship and Priorities (Related Paper Number Five). National Program for Library and Information Services. Washington D.C.: U.S.National Commission on Libraries and Information Science.
26
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Oleh: Arta Simamora1 Email:
[email protected]
Dasar-dasar Pelayanan Instansi Pemerintah Menuju Pelayanan Prima (Service Excellence) Abstrak Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan prima dan dipublikasikan sebagai jaminan kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dilakukan dalam penyelenggaraan pada pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima pelayanan agar tercapai kualitas layanan yang dapat memberikan kepuasan pengguna layanan (KepmenPAN No.63 KEP/MenPAN/7/ 2003). Banyak instansi pemerintah telah mengimplementasi service excellence (pelayanan prima) namun gagal. Apa masalahnya?. Aparatur merupakan kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Penilaian masyarakat terhadap instansi pemerintah yang mengelola pelayanan publik terhadap masyarakat masih dinilai masih buruk/kurang sampai saat ini. Oleh karena itu perlunya meningkatkan sumber daya manusia aparatur yang memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat. Kata Kunci: Pelayanan prima, service excellence, kompetensi
Pendahuluan Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma rule government menjadi good governance pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Adanya pergeseran paradigma instansi pemerintah yang mendasar di berbagai bidang kehidupan manusia menjadikan tantangan bagi administrasi publik, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan terhadap pelayanan masyarakat yang efisien dan responsif. Pelayanan terhadap masyarakat diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam upaya peningkatan daya saing dan pembangunan nasional, bukan sebagai sumber inefisien dan ketidakpastian yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik maladministrasi. 1
Peran pemerintah dalam sektor publik lebih dominan daripada sektor swasta. Oleh karena itu fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah itu sebagai besar di antaranya secara langsung atau tidak menyangkut pelayanan publik, maka dengan sendirinya distribusi atas paket-paket pelayanan yang disediakan oleh pemerintah itu pada umumnya akan dilakukan melalui struktur dan mesin birokrasi pemerintah (Schaffer, 1986). Dalam keadaan demikian maka penyediaan biaya alokasi pelayanan publik itu mau tidak mau sepenuhnya akan dikontrol oleh instansi pemerintah. Atas dasar itu maka secara tak terelakkan birokrasi pemerintah biasanya akan merupakan a single agency yang memainkan peran kunci dalam memberikan pelayanan sekaligus mengevaluasi efektivitas kinerja sendiri.
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
27
Pengertian Secara etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dahlan, dkk., 1995:646) menyatakan pelayanan ialah ”usaha melayani kebutuhan orang lain”. Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan yang dilayani, yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Sejalan dengan hal tersebut, Norman (1991: 14) menyatakan karakteristik pelayanan sebagai berikut: a) Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi. b) Pelayanan pada kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang bersifat tindakan sosial. c) Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya terjadi dalam waktu dan tempat bersamaan. Karakteristik tersebut dapat menjadi dasar pemberian pelayanan terbaik. Pengertian lebih luas disampaikan Daviddow dan Uttal (Sutopo dan Suryanto, 2003: 9) bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan. Pelayanan publik yang dimaksud dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 (Menpan, 2003:2) adalah ”segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan.” Ada tiga fungsi pelayanan umum (publik) yang dilakukan pemerintah yaitu environmental service, development service dan protective service. Pelayanan oleh pemerintah juga dibedakan berdasarkan siapa yang menikmati atau menerima dampak layanan baik individu maupun kelompok. Konsep barang layanan pada dasarnya terdiri dari barang layanan privat (private goods) dan barang layanan kolektif (public goods). Pelayanan prima adalah pelayanan yang sangat baik dan atau pelayanan yang terbaik, sesuai dengan standar yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberi pelayanan sehingga mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan) (LAN-RI 2004). Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Agenda perilaku pelayanan sektor publik (SESPANAS LAN dalam Nurhasyim, 2004:16) menyatakan bahwa pelayanan prima adalah: a. Pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada pelanggan atau pengguna jasa. b. Pelayanan prima ada bila ada standar pelayanan.
28
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
c. Pelayanan prima bila melebihi standar atau sama dengan standar. Sedangkan yang belum ada standar pelayanan yang terbaik dapat diberikan pelayanan yang mendekati apa yang dianggap pelayanan standar dan pelayanan yang dilakukan secara maksimal. d. Pelanggan adalah masyarakat dalam arti luas; masyarakat eksternal dan internal. Dasar-dasar Pelayanan Publik dan Pelayanan Prima Pelayanan masyarakat (publik) adalah segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparatur pemerintah, termasuk aparat yang bergerak di bidang perekonomian dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Sianipar, 1998: 5). Dalam pengertian tersebut secara konkret diutarakan beberapa hal: 1. Pelayanan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan aparatur pemerintah, termasuk aparatur di bidang perekonomian 2. Obyek yang dilayani adalah masyarakat (publik) 3. Bentuk layanan itu barang atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Proses Pelayanan Pelayanan merupakan suatu proses. Proses tersebut menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan kemudian diberikan kepada pelanggan. Pelayanan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok (Gonroos dalam Sutopo dan Suryanto, 2003: 13): a. Core service adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sebagai produk utamanya. Misalnya untuk hotel berupa penyediaan kamar. Perusahaan dapat memiliki beberapa core service, misalnya perusahaan penerbangan menawarkan penerbangan dalam negeri dan luar negeri. b. Facilitating service adalah fasilitas pelayanan tambahan kepada pelanggan. Misalnya pelayanan “check in” dalam penerbangan. Facilitating service merupakan pelayanan tambahan yang wajib. c. Supporting service adalah pelayanan tambahan untuk meningkatkan nilai pelayanan atau membedakan dengan pelayanan pesaing. Misalnya restoran di suatu hotel. Janji pelayanan (service offering) merupakan suatu proses yaitu interaksi antara pembeli (pelanggan) dan penjual (penyedia layanan). Pelayanan meliputi berbagai bentuk. Pelayanan perlu ditawarkan agar dikenal dan menarik perhatian pelanggan. Pelayanan yang ditawarkan merupakan “janji” dari pemberi layanan kepada pelanggan yang wajib diketahui agar pelanggan puas seperti terlihat pada gambar 1.
PROSES PELAYANAN
sesuai dengan ketentuan
Dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat sesuai dengan GOODS Kepmen PAN No 63/2003 menetapkan beberapa komponen NEEDS SERVICE = JASA standar minimum pelayanan yaitu: 1. Prosedur pelayanan mencakup beberapa sub-unsur yang digunakan untuk menilai kinerja SERVICE instansi pelayanan publik adalah: CUSTOMER PROVIDER a) kesederhanaan prosedur, b) persyaratan pelayanan, c) keadilan Pihak penyedia layanan adalah mendapatkan pelayanan. Pihak yang menerima / perlu pihak yang dapat memberikan layanan dari pihak penyedia layanan. 2. Jangka waktu pelayanan suatu layanan tertentu kepada (one who reveives significant added mencakup sub unsur: a) kecepatan konsumen, baik berupa layanan value from a service provider) dalam bentuk penyediaan dan pelayanan, b) kepastian jadwal. penyerahan barang (goods) atau 3. Biaya pelayanan mencakup jasa-jasa (services). sub-sub unsur: a) kewajaran biaya, b) kepastian biaya pelayanan. 4. Produk pelayanan. 5. Sarana dan prasarana mencakup sub-sub unsur: a) Gambar 1. Proses Pelayanan kenyamanan lingkungan, b) keamanan pelayanan 6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan adalah Agar dapat menyelenggarakan pelayanan dengan penilaian sebuah instansi pelayanan publik. baik dan berkualitas pelayanan perlu memperhatikan tata cara atau aturan prosedur yang adil. Leventhal dalam Hal ini senada dengan Keputusan Menteri Negara Faturochman (2001: 24) menyatakan bahwa tujuh aturan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor pokok dalam prosedur yang adil yaitu: 81/1995. Dalam keputusan ini dijelaskan sendi-sendi a. Ada aturan yang jelas dan kriteria yang baku sebagai pelayanan prima: standar dalam melakukan evaluasi a) Kesederhanaan, dalam arti bahwa posedur/tatacara b. Ada wakil yang berfungsi mengumpulkan informasi pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, dan membuat keputusan sehingga tuntutan-tuntutan cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan yang berkaitan dengan keadilan prosedur arahnya mudah dilaksanakan. jelas b) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan c. Ada tindakan nyata untuk mengumpulkan dan dan kepastian mengenai: 1) prosedur/tata cara menayangkan informasi. Tanpa aktivitas ini maka pelayanan umum; 2) persyaratan umum, baik teknis penilaian keadilan akan sulit dilakukan maupun administratif; 3) unit kerja dan/atau pejabat d. Ada struktur dan hirarki keputusan. Kedudukan yang berwenang dan bertanggung jawab dalam hasil keputusan harus diatur porsinya sehingga memberikan pelayanan umum; 4) rincian biaya/tarif secara sistematis peran masing-masing menjadi pelayanan umum dan tata cara pembayarannya; 5) jelas, keputusan yang posisinya lebih tinggi tidak jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum; 6) hak bisa dibatalkan oleh keputusan yang posisinya lebih dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima rendah. pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerima. e. Keputusan yang dibuat selalu disimpulkan secara c) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil terbuka kepada semua pihak yang bersangkutan. pelayanan umum dapat memberikan keamanan Ini merupakan upaya untuk menjadi netralisasi dan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian minimalisasi bias hukum. f. Prosedur selalu dijaga agar tetap standar melalui d) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tatacara, pengawasan dan pemberian sanksi bila ada persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab penyimpangan pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan g. Ada mekanisme untuk mengubah prosedur bila rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan prosedur yang ditetapkan ternyata tidak bisa jalan Rasa yang timbul secara alami dari dalam diri manusia untuk memenuhi segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupannya. (Dasar-dasar Pelayanan Prima)
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
29
e)
f )
g)
h)
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. Efisien dalam arti: 1) persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan, 2) dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan, dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan dari satuan kerja/ instansi pemerintah lain yang terkait. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: 1) nilai barang dan atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajiban, 2) kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum, 3) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselenggarakan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Tujuan dan Manfaat Pelayanan Prima Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan. Pelayanan prima dalam sektor publik didasarkan pada aksioma bahwa “pelayanan adalah pemberdayaan”. Pelayanan pada sektor bisnis berorientasi profit, sedangkan pelayanan prima pada sektor publik bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat secara sangat baik atau terbaik. Perbaikan pelayanan sektor publik merupakan kebutuhan yang mendesak sebagai kunci keberhasilan reformasi administrasi negara. Pelayanan prima bertujuan: a. Untuk memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kepada pelanggan. b. Untuk menimbulkan keputusan dari pihak pelanggan agar segera membeli barang/jasa yang ditawarkan pada saat itu juga. c. Untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap pelanggan terhadap barang/jasa yang ditawarkan. d. Untuk menghindari terjadinya tuntutan-tuntutan yang
30
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
tidak perlu dikemudian hari terhadap produsen. e. Untuk menciptakan kepercayaan dan kepuasan kepada pelanggan. f. Untuk menjaga agar pelanggan merasa diperhatikan segala kebutuhannya. g. Untuk mempertahankan pelanggan. Manfaat Pelayanan Prima: 1. Peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat sebagai pelanggan 2. Sebagai acuan pengembangan penyusunan standar pelayanan. 3. Meningkatkan pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara bidang tugas, budaya organisasinya dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat 4. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi. Prinsip Service Excellence Penerapan prinsip-prinsip pelayanan prima bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau konsumen agar lebih maksimal dan berhasil. Prinsip pelayanan prima diperlukan untuk mengatur langkahlangkah, cara-cara atau strategi dalam menjalankan fungsi perusahaan atau organisasi untuk melayani pelanggannya.Melalui prinsip pelayanan prima ini, suatu perusahaan maupun organisasi akan diarahkan pada pencapaian tujuan yang hendak dicapainya, terutama dalam meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat khususnya pada para pelanggan. Service excellence dikembangakan berdasarkan prinsip-prinsip 3 A: 1). attitude (sikap), 2). attention (perhatian), 3). action (tindakan). Penerapan prinsip-prinsip pelayanan prima bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau konsumen agar lebih maksimal dan berhasil. Jadi, penerapan prinsip-prinsip tersebut merupakan tujuan utama dari pencapaian pelayanan. Prinsip pelayanan prima diperlukan untuk mengatur langkah-langkah, caracara atau strategi dalam menjalankan fungsi perusahaan atau organisasi untuk melayani pelangganya. Menurut Lukman dan Sutopo (2001: 8-15) mengatakan prinsip pelayanan prima adalah sebagai berikut: Prinsip pertama, menciptakan citra positif di mata pelanggan dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1. Berusaha mengerti lebih dulu, baru dimengerti, maksudnya bersikaplah mengerti apa yang didengar
dari pelanggan, jangan serba tahu atau sibuk dengan kegiatan lain; 2. Mengenal karakter pelanggan, seperti: a. Memusatkan perhatian pada pelanggan; b. Memberikan pelanggan yang efisien; c. Meningkatkan perasaan harga diri pelanggan; d. Dapat menentukan apa keinginan pelanggan, mengalihkan pelayanan ke orang lain. Prinsip kedua, cara meningkatkan citra positif di mata pelanggan dengan cara mengenal karakter pelanggan yaitu: 1. Kategori pelanggan yang pendiam; 2. Kategori pelanggan tak sabar; 3. Kategori pelanggan yang banyak bicara 4. Kategori pelanggan yang senang berdebat/ membantah; 5. Kategori pelanggan yang banyak permintaan Standar Mutu Pelayanan Standar mutu pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik, dengan memperhatikan baku mutu pelayanan (LAN RI 2004). Untuk mencapai standar mutu pelayanan masalah kompetensi menjadi penting, karena kompetensi menawarkan suatu kerangka kerja organisasi yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas. Seseorang yang memiliki kompetensi dalam profesinya akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik serta efisien, efektif, tepat waktu dan sesuai dengan sasaran. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS, berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (PP 101 Tahun 2000) seperti terlihat pada gambar 2.
KOMPETENSI? Kemampuan Pengalaman Keahlian Ketrampilan Pengetahuan
K O M P E T E N S I
Sikap Keunggulan Kualitas Wawasan Dst
Hal-hal yang perlu diperhatikan, berkaitan dengan konsep service excellence yaitu: 1. Apabila dikaitkan dengan tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka servic excellence adalah pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. 2. Service excellence didasarkan pada standar pelayanan yang terbaik. 3. Untuk instansi yang sudah mempunyai standar pelayanan maka service xcellence adalan pelayanan yang memenuhi standar 4. Apabila pelayanan selama ini sudah memenuhi standar maka service excellence berarti adanya terobosan baru, yaitu pelayanan yang melibihi harapan pelanggan. 5. Untuk instansi yang belum mempunyai standar pelayan maka service excellence adalan pelayanan yang terbaik dari instansi. Usaha selanjutnya adalah menyusun standar service excellence seperti terlihat pada gambar 3.
1. Service Proses Analysis 5. Service Excellence Measurement
4. Evaluation of Achievement
2. Set Target of Service Inplementation
3. Achieve the Target of Service Inplementation
Gambar 3. Konsep service excellence Harapan Pelanggan Terhadap Service Excellence Setiap pelanggan sudah pasti mengharapkan untuk memperoleh pelayanan yang terbaik dari pedagang, penjual atau produsen. Umumnya harapan itu berupa sikap sopan santun, perhatian dan pelayanan yang cepat terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan. Dalam memberikan service excellence yang diharapkan oleh para pelanggan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelayanan pegawai Setiap pelanggan sudah pasti mengharapkan untuk memperoleh pelayanan yang terbaik dari pedagang, penjual atau produsesn. Umumnya harapan itu berupa sikap sopan santun, perhatian, dan pelayanan yang cepat terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan.
Gambar 2. Kompetensi
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
31
2. Pendekatan positif Membina karyawan agar memiliki keterampilan dalam menerapkan service excellence bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun pemimpin harus berusaha memberikan keteladanan penerapan service excellence terhadap bawahan. 3. Perhatian Hal-hal yang diharapkan pelanggan adalah sistem yang menyenangkan pelanggan (friendly system). perlakukan meraka dengan sebaik-baiknya, keinginan pelanggan adalan pelayanan yang terbaik Pengukuran Kepuasan Pelanggan Untuk mengukur puas tidaknya pelanggan/konsumen dapat dinilai dari persepsi pelanggan itu sendiri, apakah itu reaksi emosional yang menyenangkan maupun reaksi yang tidak menyenangkan terhadap produk/jasa atau pelayanan yang diterima. Gearson (1993: 23) mengatakan bahwa untuk mempelajari cara-cara memperbaiki mutu, mengetahui dan meningkatkan kepuasan konsumen perlu dilakukan program pengukuran mutu dan kepuasan konsumen. Mengukur kepuasan pelanggan sangat bermanfaat bagi perusahaan maupun organisasi pelayanan publik untuk mengevaluasi kinerjanya. Umpan balik dari pelanggan secara langsung atau dari focus group atau dari keluhan pelanggan merupakan alat untuk mengukur kepuasan pelanggan. Untuk mengukur kepuasan pelanggan dapat menggunakan indeks kepuasan yaitu alat yang dirancang untuk mengukur seberapa puas pelanggan terhadap kualitas produk atau jasa yang diterima. Dengan membandingkan nilai indeks ini, secara longitudinal, dapat diperoleh informasi yang sangat berharga untuk perbaikan internal serta mengetahui kecenderungan kepuasan pelanggan. Menurut Kotler dan Amstrong (1996 : 254) ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur kepuasan yaitu: 1. Sistem keluhan dan saran. Disini perusahaan memberikan kesempatan seluasluasnya kepada konsumen untuk menyampaikan saran, komentar, pendapat dan keluhan mereka. Media yang digunakan berupa kotak saran, kartu komentar, saluran bebasa pulsa dan sebagainya 2. Survey kepuasan konsumen Metode ini adalah metode yang paling populer, yaitu dengan melaksanakan penelitian survey baik dengan survay melalui pos, telepon maupun wawancara pribadi/langsung 3. Ghost shoping (pembelian bayangan)
32
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Dengan metode ini perusahaan memperkerjakan beberapa orang (ghost shoppers) untuk berperan atau bersikap sebagai konsumen potential perusahaan dan pesaing untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan produk pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk atau jasa tersebut. Ghost shoping dapat juga dilakukan dengan cara mengamati perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan konsumen, cara menjawab pertanyaan konsumen dalam menangani setiap keluhan. 4. Lost customer analysis Dengan metode ini, perusahaan menghubungi para konsumen yang telah berhenti atau yang telah beralih pada produk atau penyedia jasa yang lain agar dapat memahami mengapa hal ini terjadi dan agar perusahaan dapat mengambil kebijakan/ penyempurnaan selanjutnya Sedangkan menurut Martila dan John dalam Supranto (1997 : 239) mengatakan bahwa untuk mengukur kepuasan konsumen dari sisi kepentingannya dapat digunakan Important Performnce Analysis atau Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja Kepuasan Konsumen. Disini persepsi atau tingkat pelaksanaan pelayanan akan dibandingkan dengan tingkat kepentingannya bagi konsumen. Kalau di konsepkan, untuk mengetahui puas tidaknya konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut:
Skor Penilaian Kinerja Perusahaan
Tingkat Kepentingan =
————————————————— Skor Penilaian Kepentingan Konsumen
Gearson (2002 : 65-76) menambahkan untuk mengetahui kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan cara: a) Survei tertulis yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan atau pernyataan tertulis disertai dengan jawaban yang mensyaratkan orang untuk menjawab sesuai dengan skala yang ditetapkan sebelumnya. b) Survei telepon sangat efektif untuk mengumpulkan data kepuasan pelanggan jika petugas surveinya sangat terlatih dalam mengajukan pertanyaanpertanyaan, ada panduannya dan dapat menghubungi pelanggan pada waktu yang tepat. c) Wawancara tatap muka dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada responden dan tidak diperkenankan untuk melenceng dari urutan dan batasan yang telah ditetapkan d) Kelompok fokus (focus group) adalah kelompok yang biasanya terdiri dari 3 sampai 10 orang yang bertemu dengan fasilitator untuk menjawab pertanyaan atau pernyataan dengan cara berdiskusi dalam kelompok
berkaitan dengan kinerja suatu lembaga dan menjelaskan kepuasannya terhadap jasa yang mereka terima. Rangkuti (2002 : 87-90) menambahkan bahwa kepuasan pelanggan dapat diukur dengan cara: 1. Tradisional Approach yaitu pelanggan diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator prosuk atau jasa yang mereka nikmati (pada umumnya dengan menggunakan skala Likert). 2. Analisa secara deskriptif yaitu perhitungan nilai ratarata, nilai distribusi serta standar deviasi Kesimpulan Pelayanan prima merupakan kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan secara baik atau minimal sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan. Pelayanan prima adalah pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan dan memuaskan pelanggan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004,
tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.Salah satu ukuran keberhasilan menyajikan pelayanan prima sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pengukuran tingkat kepuasan merupakan hal yang penting dilakukan secara terus menerus untuk mengevaluasi kinerja penyedia pelayanan dibandingkan dengan penyedia layanan lainnya (pesaing), serta menemukan bagian mana yang membutuhkan perbaikan. Sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global, untuk mewujudkan good governance diperlukan SDM aparatur yang memiliki kompetensi. Kompetensi menurut UU No. 13/2003 sebagai kemampuan kerja setiap individu yang berbasis pada pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang sitetapkan. Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta berfokus kepada pelanggan/masyarakat secara sangat baik atau terbaik. Pelayanan prima bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat sebagai pelanggan dan sebagai acuan pengembangan penyusunan standar pelayanan.
daftarpustaka Alwi Dahlan, dkk. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kotler, Philip. (1996). Manajemen Pemasaran. Jakarta: Salemba Empat
Gearson, Richard F. (1993). Mengukur Kepuasan Pelanggan, Terjemahan Hesty Widyaningrum. Jakarta: PPM
Leventhal, Lance A. (2001). Clipper Deliver’s lLibrary. Jakarta: Dinastindo Adi Perkasa Internasional.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M/2/2/2004, tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Norman. (1991). Service Management. Chicester, England: Wiley & Son.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Menpan Nomor 81 Tahun 1993. Menteri Negara Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. Tentang Penataan dan Perbaikan Pelayanan Umum. Jakarta Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 2003. Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63. Tahun 2003 Tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Jakarta
Rangkuti, Freddy.( 2002). Measuring Customer Relationship Strategy: Teknik mengukur dan strategi meningkatkan kepuasan pelanggan & analisis kasus PLN-JP. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sapara, Lukman & Sutopo. (2001). Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Administrasi Publik RI. Sianipar. (1998). Manajemen Pelayanan Masyarakat. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Sutopo dan Adi Suryanto. (2003). Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
33
Oleh: Kiki Fauziah1 Email:
[email protected]
Pemanfaatan Internet Sebagai Alat Referensi Oleh Pustakawan Referensi Pada Perpustakaan Perguruan Tinggi X Jakarta Abstrak Pustakawan referensi merupakan seseorang yang berperan dalam memberikan petunjuk atau arahan kepada setiap pemustaka yang membutuhkan bantuan dalam mendapat informasi yang dibutuhkan. Dalam memberikan bimbingan kepada pemustaka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, maka pustakawan referensi sudah seharusnya memanfaatkan internet sebagai alat referensi dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai teknik pustakawan referensi dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi yaitu kapan dan bagaimana pustakawan referensi dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi. Kata kunci: pustakawan referensi, internet, perpustakaan perguruan tinggi
Pendahuluan Pada era digital saat ini, berkembangnya internet menyebabkan peran pustakawan menjadi lebih kompleks dalam memenuhi kebutuhan pemustaka. Peran pustakawan referensi tidak hanya sebatas memberikan rujukan terkait keberadaan koleksi tetapi juga memberikan arahan kepada pemustaka dalam menyeleksi informasi yang terdapat di internet. Terdapat sebuah literatur yang menunjukkan bahwa pemustaka secara umum antusias mengenai layanan yang terdapat di internet tetapi kesulitan dalam memilih database, memformulasikan strategi pencarian, dan menganalisis hasil pencarian, dan dibutuhkannya bantuan dalam pencarian yang kompleks (Nicholas, 1988: 103). Dengan demikian, dibutuhkannya peran pustakawan referensi dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
1
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia
34
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
pemustaka dalam mencari informasi di internet. Menurut Cassell & Hiremath (2009) internet merupakan resource reference yang paling menggiurkan dan terdapat dimana-dimana. Bahkan dapat dikatakan bahwa internet sudah menjadi bagian tersendiri yang menyatu dalam kehidupan manusia saat ini. Dahulu, pemanfaatan internet ketika datangnya “www” pada tahun 1990, internet hanya dimanfaatkan sebagai ensiklopedia yang merupakan sebuah all purpose resource yang dapat diakses oleh manusia. Namun pada saat ini, perkembangan internet semakin cepat sehingga pemanfaatan internet telah digunakan dalam segala aspek kehidupan manusia begitu pun pada perpustakaan. Berdasarkan ALA Fact Sheet 26 (Cassell & Hiremath,
2009: 271) dikatakan bahwa saat ini, hampir 99% perpustakaan umum di Amerika Serikat dan sedikit lebih 90,1% perpustakaan media sekolah di Amerika Serikat memiliki akses internet. Hal ini sama seperti yang terdapat di dalam negeri bahwa perpustakaan sekolah, perguruan tinggi, nasional, umum, serta khusus sudah mengandalkan internet sebagai suatu sumber yang harus terdapat didalam perpustakaan. Dapat dikatakan, bahwa akses internet sudah dijadikan salah satu jenis layanan yang disediakan oleh perpustakaan. Tanpa adanya akses internet dalam suatu perpustakaan maka dapat dikatakan layanan perpustakaan tersebut belum optimal dalam menjamu para pemustaka. Pada pertengahan tahun 2001, Carol Tenopir menanyakan kepada 70 pustakawan penelitian utama di Amerika Serikat untuk mendeskripsikan perubahan dalam layanan referensi selama tiga tahun yang lalu dan peran sumberdaya elektronik dalam layanan referensi. Adapun hasil yang didapat ialah: • Semua layanan email tersedia begitupun telepon, fax, dan lain-lain. • Sekitar sepertiga dilaporkan beberapa bentuk layanan digital secara nyata. • Hampir keseluruhan telah memiliki layanan digital dalam tahap perencanaan. • Banyak yang percaya bahwa layanan digital akan menjadi sama jelasnya seperti telepon, email, dan menyerupai beberapa layanan yang lebih kuno. Berdasarkan hasil survei tersebut, maka kecenderungan layanan referensi digital akan menjadi suatu jenis layanan referensi di perpustakaan suatu saat nanti (Liu, 2007: hal. 17). Perpustakaan X merupakan jenis perpustakaan perguruan tinggi. Adapun penelitian ini dilakukan pada Perpustakaan X yang terdapat di daerah Ibu Kota Jakarta. Perpustakaan X diperuntukkan khusus bagi mahasiswa S2 maupun S3. Kampus X merupakan kampus yang berorientasi mengenai berbagai ilmu bisnis & manajemen dalam suatu organisasi. Hal ini tercermin pada koleksi yang lebih fokus pada informasi bisnis dan manajemen pada suatu organisasi. Mengingat jenis koleksi yang terdapat di Perpustakaan X terkait bisnis maka seharusnya pustakawan referensi disini lebih dapat membantu para pemustaka dalam memberikan informasi terkait perkembangan bisnis terkini. Dengan demikian, artikel ini akan menguraikan terkait pemanfaatan internet sebagai alat referensi oleh Pustakawan Referensi pada Perpustakaan X terkait bagaimana dan kapan pustakawan referensi memanfaatkan internet tersebut.
Pandangan Pustakawan Referensi terkait Internet Pandangan pustakawan referensi mengenai internet menurut Cassel & Hiremath (2009: 271) menyatakan bahwa pustakawan referensi merasa takut dalam mengklaim secara keseluruhan, megorganisasikan, dan memetakan sumber penelitian internet. Adapun Ross dan Nilsen (tahun dan tambahkan di daftar pustaka) menemukan bahwa pustakawan referensi terlihat memandang internet sebagai sumberdaya eksternal yang pengguna dapat mencari secara mandiri, Tetapi tidak menganggap internet sebagai alat referensi yang lengkap yang mana pustakawan referensi memiliki sebuah tanggung jawab untuk membantu pemustaka dalam mencari dan mengevaluasi informasi yang terdapat di internet (Cassel & Hiremath, 2009: 271). Menurut Breakstone dalam Cassel & Hiremath menyatakan bahwa pustakawan tidak hanya berpartisipasi dalam revolusi informasi tetapi membantu untuk mengarahkan sumber dari informasi tersebut. Hal ini menyatakan bahwa peran pustakawan referensi pada era digital ini sangat kompleks karena mereka berperan tidak hanya untuk mendapatkan informasi melainkan juga harus dapat mengarahkan pemustaka untuk menemukan informasi yang tepat dan akurat yang terdapat di internet. Dengan demikian, dalam era digital saat ini pandangan pustakawan referensi terkait internet harus dapat diubah dari “rival” menjadi “suplemen tambahan” dalam melakukan kegiatan perpustakaan. Istilah “suplemen tambahan” dimaksudkan sebagai skill penunjang yang harus dimiliki oleh pustakawan referensi dalam membantu pemustaka mencarikan ataupun menyediakan informasi yang up to date dan akurat. Pada tahun 2008, OCLC dan the information schools of Syracuse University dan University of Washington menyatakan bahwa seharusnya pustakawan referensi memandang internet sebagai “full-fledged reference tools”. OCLC menciptakan sebuah search engine yang komprehensif berdasarkan pada rekomendasi pustakawan dan mengumpulkan secara otomatis terhadap URL yang dapat dipercaya dari referensi digital yang telah diseleksi oleh perpustakaan untuk situs lembaga yang dimilikinya, merupakan pondasi terhadap spekulasi yang tepat yang dinamai Reference Extract (Order, 2008) tidak muncul di daftar pustaka. Internet dalam kegiatan layanan referensi dapat dimanfaatkan melalui berbagai kegitan yaitu email reference, chat reference, wikia, blogs, dan IM references. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Perpustakaan X, bahwa terlihat pandangan pustakawan referensi saat ini tidak lagi mengabaikan ataupun kahawatir akan kedatangan internet. Bahkan, internet sudah menjadi teman sehari-hari dalam kehidupan baik digunakan sebagai sarana pencari informasi maupun hiburan. Hal ini terlihat di
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
35
Perpustakaan X sudah memiliki ruang multimedia yang digunakan untuk mengakses segala informasi online seperti jurnal-jurnal online yang sudah berlanggan, laporan-laporan terkini terkait bisnis, serta diperbolehkan untuk mengakses internet sebagai sarana hiburan. Internet Menurut Kluegel menyatakan bahwa “the internet has a brief but explosive history”. Internet menjadi sebuah ubiquitous phenomenon yang tumbuh pada tingkat yang tidak dapat dipercaya. Berbagai arti digunakan untuk menilai ukuran internet dan world wide web. Internet Software Consortioum menyatakan bahwa sejak Januari 2000 terdapat 72.398.092 top level domain name hosts. Hal ini menandakan bahwa dengan adanya internet mempercepat penyebaran informasi dari berbagai dunia. Adapun penyebaran informasi yang cepat ini, harus dapat ditangkap dan diorganisasikan oleh pustakawan sebagai
peran pustakawan dalam melayani masyarakat dengan memberikan informasi yang akurat kepada pemustakanya. Untuk dapat memilah suatu informasi yang terdapat di internet, seorang pustakawan hendaknya mengenal internet secara mendalam terutama terkait teknik pencarian informasi pada internet. Seorang pustakawan dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi, harus terlebih dahulu memahami internet, baik keunggulan dan kelemahan internet serta langkah-langkah dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi secara efektif dan efisien. Keunggulan dan Kelemahan Internet Dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi maka pustakawan perlu mengetahui lebih dahulu keunggulan dan kelemahan dari internet. Adapun keunggulan dan kelemahan internet ialah dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Internet (Sumber: Cassell & Hiremath, 2009: 273-278) Keunggulan
Kelemahan
Mudah dalam menemukan jawaban
Kurang terhadap kualitas pengawasan aturan
Terkini
Evaluasi jatuh kepada pemustaka
Informasi yang terdapat di internet up to date.
Dalam mencari informasi melalui internet, pengguna harus dapat mengevaluasi secara mandiri infromasi yang ditemukannya. Disinilah peran penting pustakawan dalam memberikan arahan bagi pemustaka untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat bagi kebutuhannya.
Audiovisual
Kurang overview
Internet memiliki kemampuan untuk memberikan informasi dalam berbagai format yaitu teks, visual, dan audio.
Hal ini dikarenakan dalam mencari informasi pada internet sangat tergantung pada key word pencarian.
Eksklusivitas
Recall tinggi
Melalui internet memberikan kemudahan dalam mengakses dan memasukkan informasi meliputi informasi terkait terbitan, proseding, transkrip, dan data yang tersedia hanya pada internet. Selain itu, hasil proseding konferensi, dokumen pemerintah, daftar pekerjaan negara, bentuk aplikasi lamaran kerja, subjek wikis, dan bahkan contoh komunikasi profesional dapat ditemukan secara ekslusif pada internet.
Tidak dapat dipungkiri bahwa internet memberikan recall tinggi dibandingkan pada precision. Sehingga ketika mencari informasi di internet, kita harus mereview kembali hasil temuan kita yang sesuai dengan kebutuhan informasi yang kita perlukan.
Interaktif
Tidak ada jaminan terhadap free full text
Informasi yang terdapat pada internet memiliki kemampuan untuk menjadi interaktif melalui kelompok diskusi, listservs, e-mail newletters, wikis, live interview, dan halaman komentar yang memungkinkan agar dialog dapat diciptakan.
Internet tidak selalu menyediakan artikel jurnal secara free full. Melainkan biasanya hanya diberikan abstrak dari jurnal tersebut.
Secara Bersama (Mass Convenience)
Kadang mengulas materi histori
Internet dapat diakses oleh banyak orang dalam waktu yang bersamaan.
Informasi yang terdapat di internet biasanya hanya memuat mengenai informasi dasar saja tidak memberikan informasi secara lengkap.
Cakupan
Volatility
Internet memiliki cakupan yang sangat luas sehingga tidak ada batasan terhadap cakupan yang terdapat di internet.
Informasi yang terdapat di internet dapat ditambahkan, dimodifikasi, dihapus atau dilupakan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan informasi yang semakin cepat sehingga mengakibatkan informasi yang terdapat diinternet tidak konstan.
36
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Dengan memahami keunggulan dan kelemahan yang dimiliki oleh internet, seharusnya pustakawan referensi mampu meningkatkan perannya sebagai seorang yang melengkapi kelemahan internet menjadi suatu navigasi bagi pemustaka dalam memanfaatkan internet secara menyeluruh dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, di era digital saat ini sangat diperlukan sosok pustakawan referensi yang bertugas dalam memberikan arahan kepada para pemustaka dalam mencari informasi secara mandiri melalui internet. Pemanfaatan internet secara efektif Menurut Cassel & Hiremath (2009: 278 - 287) terdapat lima tahapan untuk keberhasilan pemanfaatan internet sebagai alat referensi yaitu: 1. Menanyakan kepada diri sendiri, apakah internet merupakan medium yang tepat? Hal pertama yang harus dilakukan dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi ialah pustakawan harus memikirkan keuntungan dan kelemahan dari internet. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut pustakawan akan membuat
Glossbrenner, 1999 : 5). Adapun yang disebut dengan web search engine adalah sebuah sistem pencarian www yang meliputi tiga komponen utama yaitu spider, indeks, dan search engine itu sendiri. Spider adalah sebuah robot program yang dikirimkan keluar pada www untuk menjelajah web pages baru dan mengeksplor web pages lainnya pada setiap situs. Informasi untuk setiap halaman web (URL, judul, kata, dan phrase dari halaman, dan lain-lain) ditambahkan ke indeks. Search engine mengoperasikan pencarian melalui indeks dan mengidentifikasi semua halaman yang “match” terhadap permintaan pencarian (Kluegel dalam Bopp & Smith, 2001: 136). Terdapat beberapa search engine yang popular yaitu Yahoo! Search, Google, MSN Serach, Ask (dahulu dikenal sebagai Ask Jeeves), Gigablast, AOL, Earth Link, Exalead, dan MyWay. Dalam memilih search engine pustakawan referensi harus dapat mengetahui keunikan fitur dari setiap jenis search engine serta bagaimana strategi dalam pencariannya. Misalnya saja perbedaan search engine’ google’,‘yahoo’, and ask.com.
Tabel 2. Perbedaan Search engine Google, Yahoo! dan Ask.com (Sumber Cassel & Hiremath, 2009: 280) Tahun Debut Situs
Google
Yahoo!
Ask.com
1998
1994
2000
www.google.com
www.yahoo.com
www.ask.com
Boolean
OR (huruf kapital); default AND
AND, OR, AND NOT, NOT
OR (huruf kapital); default AND
Keunikan Fitur
1. Sedikitnya 44 fitur khusus seperti daftar bisnis lokal di US, UK, dan Kanada.
1. Kedua search engine dan direktori dapat digunakan secara bersama-sama.
1. Dapat menyaring hasil pencarian melalui memfilter kata dan memberikan saran
2. Alat spesial seperti blogging dan layanan seperti sebuah sistem untuk mengorganisaskan rekod online medikal.
2. Tanda seru mengarahkan pengguna untuk layanan khusus seperti jika kita ingin mencari informasi travel maka ke situs Yahoo! Travel.
2. Hasil menunjukkan konteks istilah pencarian.
3. Situs “cached” sehingga jika halaman tidak tersedia, halaman asli dapat didisplay.
3. Layanan komunikasi seperti chat dan layanan perniagaan seperti investasi dan keuangan personal.
3. Komentar editorial pada Link Web sering diberikan.
suatu pilihan menggunakan internet secara bersamasama atau dalam pilihan, untuk tercetak maupun dalam medium lainnya. 2. Memilih alat internet yang tepat Adapun tahapan kedua ialah menggunakan alat pencarian yang paling efisien seperti search engine, metasearch engine, dan direktori subjek. a. Search Engine Definisi search engine adalah sebuah alat yang membebaskan orang untuk mengeksplore database yang terdiri text dari 10 juta halaman web (Alfred &
b. Metasearch engine Adapun metasearch engine menghasilkan hasil yang jauh lebih banyak. Hal ini karena metaserach engine mengumpulkan situs dari berbagai search engine. Pencarian dapat menjadi menyeluruh dan pernyataan pencarian dapat dibaca secara berbeda. Dengan demikian metasearch engine merupakan alat pencarian terbaik yang digunakan untuk melihat secara menyeluruh mengenai subjek yang sangat luas . Adapun jenis metasearch engine yaitu Ixquick, ez2find, QueryServer, KartOO, Clusty, dan Dogpile.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
37
Direktori merupakan suatu situs seperti database yang dapat dicari secara khusus yang secara jenis tidak dapat ditemukan dalam search engine secara umum (Sherman and Proce, 2001) dimunculkan di daftar pustaka. Adapun contoh dari direktori subjek yaitu
Dalam memilih metasearch engine yang tepat digunakan oleh pustakawan referens yaitu dengan mengenal strategi pencarian serta keunikan fitur dari setiap metasearch engine. Seperti pada Tabel 3 terkait perbedaan metasearch engine ‘Dogpile’ dan ‘clusty’.
Tabel 3. Perbedaan Meta Search Engine Dogpile dan Clusty (Sumber Cassel & Hiremath, 2009: 281)
Dogpile
Tahun Debut Situs
Clusty
1996
2004
www.dogpile.com
www.clusty.com
Metasearchs
Google, Yahoo ! Live Search, dan Ask
Ask, Open Directory, Gigablast, Yahoo! News, dll
Keunikan Fitur
1. Pengaturan kesalahan pencarian dapat diubah meliputi penyaringan.
1. Mengelompokkan berdasarkan topik, sumber, atau URL yang meliputi co.uk.
2. Pencarian dapat dilakukan dengan lebih dari 10 bahasa.
2. Menampilkan 200-500 hasil pada halaman pertama.
3. Terdapat 15 display pencarian terbaru pada halaman
3. Pengguna memiliki pilihan untuk mengatur display tabs dan memasukan tabs baru pada pilihan.
4. Widget pencarian baru menampilkan Arfie, Dogpile mascot, yang juga berfungsi sebagai Search Spy yang menampilkan ‘ what the rest of the world is searching.’
4. Dioptimalkan untuk Nintendo Wii sehingga secara unik sama dengan pencarian pada Wii.
5. Tombol radio untuk audio, video, gambar, berita, dan direktori.
5. “Details” tabs dalam halama hasil memperbolehkan pengguna untuk memeriksa semua mesin pencari.
c. Direktori Subjek Adapun direktori menggunakan tajuk subjek yang dibuat berdasarkan pada standar kosakata yang diorganisasikan oleh manusia sehingga untuk menjawab pertanyaan spesifik dapat menggunakan sebuah direktori. Sebaliknya, jika pemustaka tidak jelas mengenai istilah pencarian mengenai suatu subjek maka direktori menyediakan istilah tersebut.
infomine, librarians internet index/internet public library, resource discovery network/intute, dan lainlain. Pustakawan referensi harus dapat mengenal mengenai kenunikan fitur serta teknik pencarian informasi pada setiap direktori subjek yang akan digunakan. Berikut tabel 4 mengenai contoh dari direktori subjek.
Tabel 4. Conth Direktori Subjek (Sumber : Cassell & Hiremath, 2009: 282)
Librarians' Internet Index/Internet Public Librray (2008)
Infomine
Tahun Debut Situs
Resource Discovery Network/Intute (2006)
1994
1993
1998
http://infomine.ucr.edu/
www.lii.org/ www.ipl.org
www.intute.ac.uk
Boolean
NEAR, NOT, AND, OR dieksekusi pada direktori subjek ini
Gunakan NOT and OR
Tidak menggunakan OR dan tanda minus (-)
Keunikan Fitur
1. Penelitian tingkat universitas dengan situs yang diperiksa oleh pustakawan dari University of California, Wake Forest University, California State University, dll.
1. Iklan gratis
1. Kolaborasi 7 universitas dan pendidikan multiple dan penelitian organisasi di UK terarah pada penelitian tingkat lebih tinggi.
2. Kaya akan sumberdaya untuk database “ invisible Web”, jurnal dan buku elektronik, dan buletin.
2. Situs diperiksa oleh staf permanen dan 100 kontributor dari perpustakaan di Kalifornia dan Washington
2. Terdapat empat “hubs” yang fokus pada subjek spesialis. Melalui sebuah hun merupaka sub-spesialis.
3. Terdapat sembilan tajuk subjek utama.
3. Koran setiap minggu gratis untuk sumberdaya uptodate
3. Secara tinggi bermanfaat dalam tutorial Web interaktif.
4. Deskripsi singkat untuk setiap rekod.
4. Terdapat empat belas tajuk subjek utama dan banyak sub-tajuk.
4. Sebuah rangkaian terhadap studi kasus online yang diberikan untuk setiap hub.
5. Hidup RSS feed untuk layanan berita “Behind the Headlines”.
38
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
3. Istilah pencarian yang tepat Dalam menggunakan alat internet yang tepat terutama pada search engine diperlukan keahlian bagi pustakawan referensi dalam merangkai istilah pencarian (key word) yang tepat agar menghasilkan penemuan informasi yang tepat untuk pemustaka. Menurut Cassel & Hiremath (2009: 282-283) dalam menentukan istilah pencarian yang tepat maka pustakawan referensi perlu membuat sebuah daftar, mengalternatifkan ejaan, dan konteks dari sebuah kata. Terdapat panduan yang lebih lengkap bagi pustakawan referensi dalam menetukan istilah pencarian kata kunci yang tepat yaitu (Alfred & Glossbrenner, 1999: 17). a. Menggunakan kata kunci yang paling unik Dalam menentukan kata kunci yang unik, hal pertama yang harus dilakukan oleh pustakawan ialah memikirkan mengenai kata yang sering muncul pada jenis halaman web. Kemudian mengambil kata yang paling unik dari daftar tersebut. Seperti contoh ketika ingin mencari informasi tentang usaha untuk menyelamatkan populasi harimau di Asia. Jangan menggunakan kata harimau melainkan dengan menggunakan kata yang merupakan bagian dari spesies harimau misalnya Bengal Tiger. b. Membuat kata kunci melalui multi-step process Dalam hasil percobaan kata kunci pertama maka akan ditemukan recall yang banyak. Sehingga disinilah peran pustakawan untuk mereview terkait precision dari hasil temuan. Buatlah daftar catatan dan kemudian menggunakan pencarian yang lain dengan menggunakan kata yang sama. c. Mengkhususkan area pencarian melalui hasil pencarian sebelumnya Jika kata kunci yang telah digunakan untuk mencari menghasilkan recall yang terlalu banyak namun precision rendah, maka gunakan infoseek untuk membantu dalam meningkatkan precision terhadap informasi yang dibutuhkan. Adapun infoseek merupakan sebuah search engines yang digunakan sebagai quick reference karena menampilkan secara cepat jawaban terkait berbagai jenis pertannyaan yang dicari (Alfred &Glossbrenner, 1999: 123). d. Melihat untuk kata kunci dalam halaman judul web. Terkadang strategi pencarian tebaik adalah dengan melihat pertama kali terhadap keunikan kata kunci dalam judul halaman web. Seperti contoh jika ingin mencari informasi mengenai adat pernikahan pada pertengahan abad, maka teknik pencariannya dengan mengetik pertengahan abad dalam judul, seperti: ”Middle Ages”. Kemudian melakukan pencarian kedua dengan mencari adat pernikahan.
e. Menggunakan huruf kecil dalam pengetikan kata kunci Jika menggunakan huruf besar dalam mengetik kata kunci maka hasil temuan akan semakin sempit karena dianggap sebagai kombinasi kata bagi search engines. Maka untuk mendapatkan hasil temuan yang lebih luas sebaiknya gunakan huruf kecil pada kata kunci. f. Menggunakan huruf awal besar untuk mencari pada nama yang umum. Ketika akan mencari nama orang, lokasi tempat, judul buku atau bioskop maka gunakan awalan huruf besar untuk meningkatkan precision dalam pencarian. g. Memeriksa ejaan kata Ketika mengetik kata kunci dan ternyata hasil yang didapat sebuah pesan “No results found” maka periksa ejaan sebelum melakukan sesuatu yang lain. Dan biasanya pada search engine terdapat suatu saran terkait maksud kata kunci seperti sebuah pesan “Do you mean … “). Adapun seorang pustakawam referensi harus dapat menguasai teknik dalam menentukan kata kunci yang tepat dalam membantu pemustaka untuk mencari informasi yang dibutuhkannya. Pustakawan referensi berkewajiban dalam mencari strategi yang tepat untuk memanfaatkan search engines secara mahir untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka melalui strategi pencarian yang intensif dan ekstensif (Kluegel dalam Bopp & Smith, 2001: 138). Adapun starategi pencarian yang intensif ialah dengan mempelajari satu atau dua search engines secara baik agar logika dasar terhadap pengindeksan dan sistem temu kembali menjadi jelas. Strategi pencarian yang ekstensif ialah dengan menelusur secara selektif sebuah search engines yang baru atau situs metasearch secara rutin dengan tujuan untuk dapat membandingkan hasil dan fasilitas yang terdapat pada setiap search engines yang bermanfaat dalam menelusur sumberdaya informasi dan mempertajam kemampuan pencarian pustakawan. Dengan demikian, pustakawan referensi dapat melakukan pencarian sumberdaya informasi di internet secara efektif dan efisien dengan tingkat precision yang tinggi. 4. Menggunakan Teknik Pencarian yang tepat Dalam memanfaatkan internet sebagai alat referensi, pustakawan referensi sudah sewajarnya untuk mengetahui berbagai teknik pencarian dalam menelusur infromasi pada internet. Adapun teknik penelusuran yaitu operator Boolean, truncations, wild cards, quotation marks atau parentheses, dan proximity matrices. Adapun teknik pencarian pada setiap search engine berbeda-beda
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
39
sehingga untuk mengetahui teknik pencarian yang sesuai dengan search engine yang dipakai, pustakawan dapat melihat pada ikon “help”, “about”, atau “tip” yang terdapat pada setiap situs web. 5. Evaluasi Hasil Pencarian Adapun tahapan terakhir dari keberhasilan pemanfaatan internet sebagai alat referensi ialah melakukan evaluasi terhadap hasil pencarian. Kita ketahui bahwa dalam mencari informasi melalui internet lebih tinggi pada recall dibandingkan precision. Hal ini dikarenakan pada internet menggunakan bahasa alamiah yang memungkinkan pencarian kata pada seluruh teks sehingga ketika mencari dengan menggunakan istilah kata, banyak yang terjaring bukanlah konteks isi yang dimaksud dari kata tersebut. Dalam melakukan evaluasi terhadap hasil pencarian dengan mempertimbangkan pada tiga aspek yaitu (1) kepengarangan yaitu meliputi siapa pengarang tulisan tersebut apakah orang yang professional dan memiliki latar belakang yang berhubungan dengan subjek yang ditulismya, (2) reliabilitas yaitu mencakup tulisan tersebut apakah ditulis oleh orang yang memang berkecimpung pada subjek yang ditulisnya, dan (3) keterkinian yaitu mencakup kemutakhiran dari informasi yang tertulis apakah masih relevan jika dikaitkan dengan masa kini. Pemanfaatan Internet sebagai alat referensi oleh Pustakawan Referensi Perpustakaan X Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara terkait pemanfaatan internet oleh pustakawan di Perpustakaan X ialah ditemukan bahwa pustakawan referensi memanfaatkan internet sebagai alat referensi. Adapun salah satu pemanfaatan internet yang dimanfaatkan oleh pustakawan ialah email reference. Para pemustaka dapat berinteraksi kepada pustakawan melalui email dan nantinya pustakawan wajib memberikan jawaban secara cepat dan tepat. Jika ternyata pertanyaan yang diajukan oleh pemustaka merupakan jenis pertanyaan terkait informasi untuk penulisan tesis, disertasi, ataupun penelitian ilmiah maka pustakawan membalas email dengan memberikan rentang waktu untuk menjawab pernyataan tersebut. Berdasarkan pengalaman pustakawan, mahasiswa (pemustaka) lebih membutuhkan koleksi buku/artikel jurnal yang terkini. Sehingga pertama-tama pustakawan referensi mengecek koleksi buku dan jurnal baik tercetak maupun elektronik (seperti e-book, e-journal) yang terdapat di perpustakaan. Jika koleksi tersebut tidak up to date, maka pustakawan akan memanfaatkan search engine google untuk membantu memberikan informasi
40
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
terbaru dari subjek yang dibutuhkan oleh pemustaka. Dalam meggunakan search engine google, pustakawan menggunakan teknik Boolean Operator dan truncation untuk membantu dalam meningkatkan precision. Hal ini dikarenakan menurut pustakawan, kalau menelusur tanpa menggunakan teknik pencarian sama saja seperti mencari pasir dalam jemari. Kemudian, hasil dari penelusuran dievaluasi terlebih dahulu oleh pustakawan dengan melihat tiga aspek yaitu kepengarangan, reliabilitas, dan terkini dari informasi tersebut. Adapun alasan pustakawan melakukan evaluasi terhadap hasil penelusuran ialah karena menurut pustakawan search engine google hanyalah sebagai perantara bagi pustakawan untuk menuju ke sumber situs yang resmi. Sehingga diperlukan evaluasi kembali terhadap hasil temuan yang di dapat dari search engine google tersebut. Setelah pustakawan selesai menyeleksi hasil penelusuran maka pustakawan akan memberikan link kepada pemustaka terkait informasi yang dibutuhkan. Biasanya jika terkait koleksi buku terbaru biasanya pustakawan mengarahkan pemustaka menuju situs google books atau amazon, namun jika terkait ke koleksi jurnal pustakawan merujuk pemustaka untuk mengunjungi situs Proquest ataupun JSTOR karena Perpustakaan X tidak berlangganan dengan kedua situs tersebut. Selain itu, pustakawan referensi juga memanfaatkan subjek direktori sebagai alat referensi dalam menemukan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Adapun direktori subjek yang digunakan ialah Library of Congress Subject Headings Online. Pemanfaatan LCSH Online oleh pustakawan digunakan jika pustakawan kesulitan dalam menentukan kata kunci pencarian yang tepat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pustakawan referensi yang terdapat di Perpustakaan X sudah memanfaatkan internet sebagai alat referensi secara optimal dan sudah memahami keunggulan dan kelemahan yang dimiliki internet. Namun, pemanfaatan internet dilakukan oleh pustakawan hanya ketika tidak terdapatnya koleksi buku/ e-resource yang dibutuhkan oleh pemustaka. 5. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa pustakawan referensi yang terdapat di Perpustakaan X sudah memanfaatkan internet sebagai alat referensi. Hanya saja pemanfatan internet sebagai alat referensi bersifat optional saja. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil wawancara bahwa pustakawan menggunakan search engine google dalam mencari informasi ketika tidak tersedianya informasi yang dimiliki oleh perpustakaan. Selain itu juga, pustakawan referensi
di Perpustakaan X cukup menguasai teknik-teknik penelusuran serta memahami pengevaluasian terkait informasi yang ditemukan pada internet. Namun, terdapat kekurangan dari pustakawan referensi ialah tidak adanya follow up yang dilakukan oleh pustakawan setelah memberikan link terkait informasi yang dibutuhkan. Kegiatan follow up merupakan jenis kegiatan dimana pustakawan melakukan recheck kembali kepada pemustaka terkait informasi yang telah diberikan apakah sudah sesuai kebutuhan ataukah belum. Follow up merupakan kegiatan praktik terbaik untuk meminta kembali kepada pemustaka agar kembali datang keperpustakaan ataupun menghubungi pustakawan refrensi jika masih terdapat informasi lain yang dibutuhkan. Selain itu, pustkawan referensi melayani pemustaka hanya ketika terdapat pemustaka yang meminta bantuan kepadanya, jika tidak ada pemustaka yang meminta bantuan maka pustakawan referensi tidak akan melayani kebutuhan pemustaka. Padahal seharusnya, pustakawan referensi lebih proaktif dalam memberikan layanan kepada pemustaka. Adapun ketidakaktifan sang pustakawan referensi terlihat pada ruangan layanan audio visual yang berisikan
e-resource yang dimiliki perpustakaan jarang sekali di sentuh oleh pemustaka. Hal ini dikarenakan ruangan layanan audio visual terkunci dan komputer yang terdapat pada ruang layanan audio visual dimatikan dan akan di hidupkan ketika ada pemustaka yang akan memanfaatkannya. Hal ini karena para pemustaka jarang memanfaatkan layanan audio visual. Menurut salah satu pemustaka mengatakan bahwa koleksi e-resource yang dimiliki perpustakaan tidak up to date sehinnga tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian maupun kebutuhan informasi sehari-hari. Berdasarkan permasalah-permasalah tersebut, maka pustakawan referensi yang terdapat di Perpustakaan X harus dapat menunjukkan keeksistensian dirinya di perpustakaan serta fungsi pustakawan referensi kepada pemustaka. Sedikitnya pemustaka dalam memanfaatkan layanan audio visual yang berisikan referensi terkait e-resource mungkin dikarenakan kurang ramahnya pustakawan dalam melayani atau memperkenalkan pemanfaatan layanan audio visual bagi kebutuhan para mahasiswa. Disinilah pentingnya pustakawan untuk proaktif dalam menunjukkan peran sebagai seseorang yang memberikan arahan dan bimbingan kepada pemustaka dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan secara akurat dan tepat.
daftarpustaka Alfred & Glossbrenner, Emily. (1999). Search Engines: for the world wide web. Second Edition. United States: Peachpit Press. American Library Association. ALA Fact Sheet Number 26: Internet Use in Libraries. Available: www.ala.org. Bopp, Richard E & Smith, Linda C. (2001). Reference and Information Services: an introduction. Third Edition. Colorado: Libraries Unlimited.
Cassel, Kay Ann & Hiremath, Uma. (2009). Reference and Information Services in the 21st Century: an introduction. Second Edition. London: Facet Publishing. Liu, Jia. (2007). The Evaluation of Worldwide Digital Reference Services in Libraries. Oxford: Chandos Publishing. Nicholas, David. (1988). End-users of Online Information Systems. London: Mansell Publishing.
Breakstone, Elizabeth. (2005). “Libraries”. Chronicle of Higher Education, Supplement, 52, no. 6 (September 30): B6.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
41
Oleh: Erika2 Email:
[email protected]
Pengaruh Kepemimpinan dan Pengaturan Staf Terhadap Keterbatasan Kuantitas SDM Dalam Upaya Optimalisasi Jadwal Kerja dan Layanan Prima di Perpustakaan Universitas X1 Abstrak Kebutuhan informasi dan riset di perguruan tinggi menuntut perpustakaan untuk menyediakan jam operasional yang lebih panjang selain koleksi yang mendukung dan layanan prima dari pustakawan. Perpustakaan Univeristas X dalam upaya tersebut beroperasi selama 14 jam dalam sehari mulai pukul 07.00 sampai 21.00 pada hari Senin sampai Jumat dan pukul 09.00 sampai 17.00 pada hari Sabtu dengan jumlah pustakawan yang terbatas, yaitu 5 orang di Perpustakaan Kampus A. Sementara Perpustakaan di Kampus B buka dari pukul 08.00 sampai 19.00 dengan jumlah pustakawan 1 orang. Penelitian ini fokus pada pengaturan jadwal kerja dalam upaya memaksimalkan jam buka layanan perpustakaan, dan pengaruh gaya kepemimpinan untuk memotivasi pustakawan agar tetap memberikan layanan yang prima. Melalui metode observasi dan wawancara, Perpustakaan Universitas X memberlakukan 3 jadwal kerja dari hari Senin hingga Jumat dan 2 jadwal kerja di hari Sabtu. Gaya pemimpin dalam manajerial mempengaruhi kedisiplinan waktu para pustakawan terhadap shifting serta dapat juga memotivasi untuk memberikan layanan prima pada pemustaka. Kata kunci: leadership, kepemimpinan, shifting, perpustakaan perguruan tinggi, layanan prima, sumber daya manusia
Pendahuluan Perpustakaan Universitas X beroperasi selama 14 jam sehari dari Senin - Jumat untuk memberikan layanan kepada pemustakanya yang merupakan civitas akademika kampus tersebut. Waktu buka yang panjang tersebut membuat manajemen menentukan kebijakan bahwa pustakawan akan bekerja dalam shift dengan berbagai alasan. Pengaturan shift tersebut diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan jadwal kuliah para mahasiswa, jam
1 2
makan, serta jumlah jam kerja. Bekerja dalam shift seperti yang terjadi di Perpustakaan Universitas X menuntut kekompakan serta teamwork yang kuat. Tak hanya masalah disiplin dengan waktu agar pelayanan tetap berjalan, tetapi juga toleransi antar pustakawan. Sebab waktu serta tenggang rasa antar sesama menjadi masalah utama dalam pekerjaan shift seperti ini.
Nama universitas disamarkan menjadi Universitas X atas permintaan pihak-pihak terkait Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
42
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Upaya-upaya memberi pemahaman bahwa di dalam teamwork harus kompak dilakukan oleh pimpinan, terutama sekali pimpinan yang membawahi langsung tim. Sebab selain pengaturan jadwal, kepemimpinan akan sangat mempengaruhi alur kerja di dalam tim. Bila kepemimpinan ternyata tidak mendukung berlangsungnya shift tersebut, motivasi pustakawan akan menjadi berkurang sehingga pelayanan yang diberikan kepada pemustaka tidak prima. Operasional Perpustakaan Universitas X Perpustakaan Universitas X memiliki filosofi sebagai pusat pengetahuan bagi civitas akademikanya. Dimana Universitas X sendiri memiliki 2 cabang kampus, yaitu Kampus A dan Kampus B, keduanya memiliki perpustakaan sendiri yang saling terintegrasi. Universitas X memiliki civitas akademika mulai dari S1 hingga S3 dan mahasiswa kursus 4 bulan dengan jurusan yang beragam namun lebih menekankan pada manajemen. Dimana setiap strata memiliki jam kuliah yang berbeda dan sangat mempengaruhi jam layanan perpustakaan Universitas X di Kampus A: 1. Mahasiswa S1 memiliki jam kuliah dari jam 07.00 pagi hingga sore hari. 2. Mahasiswa S2 dibagi menjadi 2 jenis yaitu MM (Magister Manajemen) Reguler dan MM (Magister Manajemen) Executive. MM Reguler diperuntukkan bagi para pekerja dan juga mahasiswa fresh graduate yang ingin melanjutkan kuliah magister. Sementara MM Executive diperuntukkan bagi para pemimpin perusahaan atau setidaknya yang memiliki posisi tinggi di suatu perusahaan atau instansi, alasannya adalah magister yang satu ini lebih dikhususkan terhadap materi untuk kepemimpinan manajerial dengan meminimalisir pembelajaran yang menekankan pada teori. Jadwal kuliah MM Reguler adalah setiap hari Senin - Jumat mulai dari 18.30 - 21.30. Untuk MM Executive jadwal kuliahnya adalah setiap hari Sabtu. 3. Mahasiwa S3 memiliki jadwal kuliah setiap hari Sabtu. 4. Mahasiswa kursus, adalah mahasiswa yang mengambil kelas pelatihan singkat selama 4 bulan yang memiliki 4 level. Jadwal kuliah dari pagi hingga malam hari serta operasional yang berlangsung dari hari Senin hingga Sabtu membuat perpustakaan dituntut untuk membuka jam layanan yang panjang juga agar kebutuhan informasi mahasiswa dapat terpenuhi dalam hal meminjam buku, mencari sumber-sumber informasi lainnya, sehingga Perpustakaan Kampus A memiliki jam layanan: 1. Senin - Jumat dari pukul 07.00 hingga pukul 21.00.
2. Sabtu dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00. Jam layanan yang panjang tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kenyamanan pustakawan dalam bekerja. Pustakawan tetap bekerja selama 8 jam hingga 9 jam dalam satu hari dengan pengaturan: jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu maka jam kerjanya menjadi 8 jam dari hari Senin Jumat dengan dipotong istirahat selama 1 jam. Apabila seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu maka jam kerjanya menjadi 9 jam dari Senin - Jumat dengan dipotong masa istirahat selama 1 jam. Pembagian jam kerja tersebut agar tetap memenuhi jam buka Kampus A diaturlah jadwal kerja atau sering disebut sebagai shift sebanyak 3 kali. Pembagiannya diatur mulai dari shift pertama mulai jam 07.00 hingga pukul 15.00 (jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu) atau 16.00 (jika seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu), shift kedua mulai jam 11.00 (jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu) atau jam 10.00 (jika seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu) hingga pukul 19.00, dan shift ketiga mulai jam 13.00 (jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu) atau jam 12.00 (jika seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu) hingga jam 21.00. Jam kerja tersebut juga diatur berdasarkan jadwal piket pada hari Sabtu, dimana tidak akan ada seorang pustakawan yang piket hari Sabtu tetapi jam kerja dari hari Senin - Jumat selama 9 jam perhari. Sehingga pasangan piket pada hari Sabtu tetap sama, kecuali jika ada pertukaran jadwal yang diajukan secara perorangan. Jam kerja tersebut diberlakukan untuk 4 orang pustakawan Perpustakaan Kampus A dari level staf (berjumlah 3 orang) dan koordinator (1 orang). Satu orang pustakawan dari 4 orang tersebut akan secara bergantian shift di Perpustakaan Kampus B untuk membackup pustakawan yang in charge di perpustakaan cabang tersebut yang buka dari jam 08.00 - 19.00 dengan penjadwalan yang berbeda dari Perpustakaan Kampus A. Perputaran jadwal 1 pustakawan ke Perpustakaan Kampus A secara bergantian setiap minggu adalah karena Perpustakaan Kampus B masih merupakan bagian dari Universitas X dan untuk memenuhi jam buka layanan karena ada beberapa jurusan yang ditempatkan di sana serta menjaga kenyamanan bekerja pustakawan di Perpustakaan Kampus B yang berjumlah satu orang. Sehingga hanya 3 orang yang benar-benar bertugas di Perpustakaan Kampus A. Jadwal kerja di Perpustakaan Kampus B sendiri dimulai dari jam 08.00 hingga pukul 16.00 (jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu) atau 17.00 (jika
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
43
seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu) untuk shift pertama. Sementara shift kedua dimulai dari pukul 11.00 (jika seorang pustakawan piket pada hari Sabtu) atau 10.00 (jika seorang pustakawan tidak piket pada hari Sabtu) hingga jam tutup perpustakaan yaitu pada pukul 19.00. Namun Perpustakaan Kampus B hanya buka dari hari Senin - Jumat, sementara hari Sabtu tutup, dan semua penjadwalan kerja pustakawan (baik pustakawan Perpustakaan Kampus A maupun Kampus B) pada hari Sabtu dipusatkan di Perpustakaan Kampus A. Kepala perpustakaan sendiri memiliki jam kerja yang berbeda, yaitu dari pukul 09.00 hingga 17.00 karena tugasnya memantau dan mengkoordinasi para pustakawan yang berada di bawah pimpinannya. Maka jumlah pustakawan di Perpustakaan Kampus A adalah 5 orang, ditambah 1 pustakawan yang bertugas tetap di Perpustakaan Kampus B, sehingga totalnya menjadi 6 pustakawan. Penjadwalan yang telah diatur tersebut membuat pelayanan dari segi jam operasional telah memenuhi kebutuhan pemustaka dengan menyesuaikan jadwal kuliah. Sehingga mahasiswa S1 yang kuliah di pagi hari dapat meminjam buku di perpustakaan karena sudah dibuka sejak jam 07.00 (jam 08.00 di Kampus B), serta mahasiswa S2 yang kuliah dimalam hari dan hari Sabtu tetap dapat melakukan pencarian informasi karena perpustakaan masih tetap buka (hanya berlaku di Kampus A). Pengaturan Staf dalam Jadwal Kerja untuk Meningkatkan Layanan Penjadwalan jam kerja tersebut diatur sedemikian rupa selain untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dari beberapa tingkat strata dengan jam kuliah yang berbeda, juga untuk mengimbangi kenyamanan para pustakawan dalam bekerja. Dimana jam kerja ideal adalah 8 jam sehari agar emosi serta efektifitas bekerja tetap terjaga untuk tetap menjaga dan meningkatkan layanan yang prima kepada pemustaka. Meskipun jam kerja telah diatur dengan sangat ideal namun tetap saja muncul permasalahan karena selain harus tetap menyelesaikan pekerjaan di tiap-tiap posisi yang diisi oleh pustakawan, tiap-tiap pustakawan harus dapat mengisi pertukaran shift di jam-jam tertentu
3
dengan jumlah pustakawan yang masuk ke dalam shift hanya 3 orang di Perpustakaan Kampus A dan 2 orang di Perpustakaan Kampus B. Jam-jam tersebut adalah jam istirahat pukul 11.00 - 13.003 dan 17.00 - 19.004. Pada pukul 11.00 - 13.00 adalah waktu makan siang, dimana antara pustakawan yang bertugas di shift pertama dan kedua secara bergantian untuk makan siang, istirahat, dan salat, hanya ada 1 orang yang bertugas pada waktu tersebut kecuali jika shift ketiga sedang mendapat jadwal pukul 12.00 siang. Jam siang tersebut merupakan waktu dimana perpustakaan ramai dikunjungi mahasiswa S1 yang baru selesai belajar di kelas. Sehingga pustakawan yang berjaga sendirian pada waktu tersebut harus benarbenar waspada dengan mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan untuk meminjam buku, mencari informasi yang dibutuhkan, atau mengawasi mahasiswa yang belajar di perpustakaan untuk memastikan bahwa mereka mematuhi aturan dengan tidak membawa makanan, minuman, atau berisik. Sementara pada pukul 17.00 19.00 berlaku sama yaitu dimana hanya ada 1 pustakawan yang berjaga sementara yang lain makan malam, istirahat, dan salat. Berbeda dengan disiang hari, dimalam hari ini mahasiswa yang banyak mengunjungi perpustakaan adalah S2 dengan berbagai macam tujuan, mulai dari meminjam buku, mengerjakan tesis, belajar, atau mencari informasi. Namun biasanya mahasiswa S2 ini lebih aktif daripada S1, sehingga kesibukan pustakawan pada jam ini lebih tinggi daripada disiang hari karena mahasiswa S2 ini lebih banyak membutuhkan pertolongan pustakawan. Pada dua waktu istirahat tersebut yaitu pukul 11.00 13.00 dan pukul 17.00 - 19.00 pustakawan dituntut untuk konsisten mengenai waktu datang dan istirahat agar tidak mengganggu perputaran waktu istirahat pustakawan yang lain. Pustakawan shift kedua diharapkan datang tepat waktu, supaya pustakawan shift pertama dapat segera istirahat dan makan sesaat setelah dia datang sehingga pada pukul 12.00 pustakawan shift pertama dapat bergantian istirahat makan agar tercukupi waktu istirahat dari pukul 11.00-13.00. Hal yang agak berbeda terjadi disaat jam makan malam, yang mana pustakawan yang bertugas di shift kedua dan ketiga harus dapat mengukur waktu istirahatnya selama 1 jam agar antara keduanya dapat istirahat, makan, dan salat. Pengaturan jadwal tersebut merupakan perhitungan waktu istirahat ideal antar pustakawan agar dapat
Jam ini merupakan jangka waktu disediakannya konsumsi oleh Universitas X di kantin kepada seluruh karyawannya untuk jatah 1 kali dalam sehari sekaligus menjadi waktu istirahat makan siang selama 1 jam 4 Jam ini merupakan jangka waktu disediakannya konsumsi oleh Universitas X di kantin kepada seluruh karyawannya untuk jatah 1 kali dalam sehari sekaligus menjadi waktu istirahat makan malam selama 1 jam
44
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
mencukupi waktu istirahat yang diberikan oleh kantor, serta memenuhi kebutuhan pemustaka dalam mencari informasi karena pada saat istirahat tersebut perpustakaan tetap buka. Namun seringnya terjadi kesepakatan tidak tertulis antar pustakawan shift kedua dan ketiga, bahwa pustakawan yang mendapat shift kedua tidak makan malam di kantor karena sudah mengambil konsumsi yang diberikan disiang hari dan lebih memilih makan di rumah, sehingga waktu yang dibutuhkannya hanya untuk salat saja. Berbeda dengan waktu istirahat siang hari dimana seringnya antara pustakawan shift pertama dan kedua akan mengambil konsumsi pada masa itu. Sehingga diperlukan ketepatan waktu datang untuk pustakawan shift kedua dan waktu istirahat yang dipergunakan oleh pustakawan shift ketiga. Ketepatan waktu tersebut walaupun terdengar sederhana namun menjadi sesuatu hal yang mengikat dan membingungkan bagi pustakawan baru. Terasa mengikat karena anggapan bahwa waktu istirahat pun diatur, dan membingungkan mengenai pengaturan tersebut disepakati agar semua pustakawan dapat mengambil konsumsi yang diberikan kantor seperti yang diungkapkan. Katakanlah kantor tidak memberikan konsumsi, pustakawan tersebut akan tetap memerlukan waktu beristirahat untuk memenuhi kebutuhan fisik dan pikirannya agar dapat kembali prima dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Hal tersebut akan menjadi pemahaman tersendiri oleh pustakawan baru jika dia sudah lama bekerja karena sudah mulai beradaptasi seperti yang diungkapkan oleh salah satu pustakawan di perpustakaan tersebut. Kondisi fisik dan emosi yang baik sangat mempengaruhi seorang pustakawan dalam memberikan pelayanan yang baik. Ditambah lagi aktivitas di Perpustakaan Universitas X akan semakin meningkat disiang hingga malam hari, antara pukul 13.00 - 19.00. Rahman pustakawan di Universitas X mengungkapkan pandangannya mengenai shift bekerja. “Emang adanya begitu mau diapain. sebenarnya kalo kerja shift itu menurut saya kurang menarik, stabilitas kegiatan harian jadi tidak normal pada umumnya. Tergantung individunya dapat menyesuaikan atau engga. Penyesuaian lingkungan itu penting menurut saya dalam lingkup kerja”. (Rahman) Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perpustakaan Kampus B dimana hanya akan ada 1 pertukaran waktu makan, istirahat, dan salat disiang hari. Sementara saat salat magrib biasanya pustakawan meminta kepada satpam agar perpustakaan dikunci sementara karena aktivitas di Perpustakaan Kampus B tidak terlalu ramai
seperti di Perpustakaan Kampus A. Selain karena jadwal operasionalnya lebih singkat, mahasiswa yang kuliah di Kampus B Universitas X juga lebih sedikit jumlahnya. Pengaturan waktu, toleransi pustakawan agar mempergunakan waktu istirahat selama 1 jam dan tidak lebih, serta kesadaran pustakawan akan kewajibannya untuk datang tepat waktu sangat mempengaruhi operasional perpustakaan, pelayanan prima yang diberikan kepada pemustaka, dan yang paling utama adalah hubungan antar pustakawan. Hubungan antar pustakawan menjadi sangat penting karena dalam jadwal kerja shift diperlukan adanya teamwork yang kuat. Jadwal kerja yang tidak normal dengan pekerja biasanya akan menciptakan emosi berbeda dalam tekanan bekerja di dalam suatu organisasi yang bisa muncul sewaktu-waktu di antara pustakawan. Emosi yang muncul di tempat kerja dan upaya pengendaliannya disebut oleh Schermerhorn sebagai emotional labor. Emotional labor adalah situasi dimana seseorang menunjukkan sekumpulan emosi di dalam sebuah pekerjaan (Schermerhorn, 2012: 58). Emosi tersebut diupayakan untuk diatur agar menghasilkan sebuah pekerjaan yang baik. Tidak adanya toleransi waktu antar pustakawan terkadang menjadi suatu masalah yang besar terjadi di Perpustakaan Universitas X dibandingkan terlambat membuka perpustakaan. Terlambat membuka perpustakaan akan merugikan pemustaka, namun tidak adanya toleransi waktu antar pustakawan akan mempengaruhi hubungan antar sesama rekan kerja yang berakibat pada kurangnya kekompakan di teamwork dan kurangnya motivasi bekerja sehingga memburuknya pelayanan yang diberikan kepada pemustaka, seperti yang diungkapkan oleh Tika, pustakawan di Perpustakaan Kampus A yang sudah cukup lama bekerja di sana dibanding rekannya yang lain. “Sangat mempengaruhi sekali ya. Apalagi kalau kita shift pertama, terus yang shift kedua datangnya telat yang artinya istirahat kita jadi terlambat dan berkurang, soalnya harus makan cepat-cepat, salat, dan istirahat sebentar, terus gantian jaga supaya dia bisa istirahat juga dan mencukupkan waktu istirahat jam 1. Kalau sesekali sih nggak apa, tapi kalau sering kesel juga karena kita kan butuh istirahat”. (Tika) Lain halnya seperti yang diungkapkan oleh Laila mengenai pertukaran shift saat istirahat, bahwa dia tidak terlalu mementingkan urusan waktu istirahat dan makan tetapi lebih kepada masalah salat, terutama jika sedang bertugas di malam hari.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
45
“Kalau gue sih yang penting waktu salat jangan sampai ketinggalan hanya gara-gara temen kerja istirahatnya lama. Mencoba saling mengerti dan tahu diri aja pas istirahat”. (Laila) Pernyataan serupa dengan yang dikatakan Laila juga disampaikan oleh Ahmad, pustakawan Perpustakaan Universitas X Kampus B, yang berpendapat bahwa hal terpenting adalah waktu untuk salat dan makan. “Kerja di shift ini ibaratnya kaya mesinlah. Jadi kalau ada gir, satu gir yang macet ya mesinnya jadi gag ikut jalan lancar. Satu gir rusak atau macet, yang lain ikut kena imbasnya”. (Ahmad) Antara Tika, Laila, dan Ahmad memiliki keperluan yang berbeda namun ketiganya memiliki kebutuhan yang sama, yaitu waktu untuk dirinya sendiri. Meskipun yang satu menginginkan waktu untuk istirahat dan yang lainnya untuk salat. Tampak sekali dari pernyataan Tika bahwa ketidakdisiplinan rekan kerja akan sangat mempengaruhi rekan kerja yang lain, setidaknya dari segi hubungan antar sesama. “Pengennya sih nggak ada masalah kesel dengan teman kerja hanya karena urusan waktu. Tapi kalau teman kerja gag disiplin kan mempengaruhi kitanya sendiri dan juga kalau udah kesel, berpengaruh dalam memberi pelayanan ke pemustaka”. (Tika) Apa yang diungkapkan oleh Tika merupakan representasi dari pengalamannya ketika perpustakaan mengalami masa-masa tidak kompak antar pustakawannya, terutama dalam hal penjadwalan shift yang tidak dipatuhi. Sehingga karena kesal dengan rekan kerja yang tidak disiplin tersebut berdampak sekali pada dirinya yang ikut tidak disiplin yang akhirnya menular pada rekan-rekan kerja yang lain. Masalah itu menjadi urusan pribadi yang membuat antar pustakawan kesal dengan rekan yang tidak disiplin, dan meluas ke masalahmasalah lain. Akibatnya adalah ketika para pustakawan tidak disiplin, hak pemustaka menjadi terganggu karena para pustakawan mengurusi masalah internal tersebut. Menyadari hal tersebut para pustakawan di Perpustakaan Universitas X secara tidak langsung bernegoisasi mengenai masalah perputaran jadwal ini, mulai dari kedisiplinan waktu saat masuk kerja hingga masalah mengenai pertukaran jaga ketika istirahat. Mereka berusaha untuk mengabari ke rekan kerja lainnya yang sedang berjaga jika akan datang terlambat disertai alasan. Untuk masalah ini para pustakawan itu berusaha
46
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
untuk mengikuti aturan namun tidak kaku karena mereka saling bekerja sama untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pemustaka. Masalah kedisiplinan dalam hubungan pekerjaan dan sesama rekan kerja ini masuk dalam delapan kategori pendekatan yang harus diikuti oleh sebuah teamwork (Paris et al, 2000): 1. Pendekatan psikologis sosial: bagaimana anggota tim berhubungan dan berinteraksi dengan rekan kerja. 2. Pendekatan sosioteknis: implikasi hubungan kerja terhadap hubungan dan interaksi antar anggota tim. 3. Pendekatan ekologis: bagaimana organisasi atau lingkungan kerja mempengaruhi kerja tim. 4. Pendekatan sumber daya manusia: bagaimana tim memanfaatkan kemampuan dan bakat anggota. 5. Pendekatan teknologi: berhubungan dengan perkembangan teknologi. 6. Pendekatan siklus hidup: bagaimana perubahan performa tim dalam sebuah siklus. 7. Pendekatan yang berorientasi pada tugas: peran tim, fungsi, dan tugas-tugas. 8. Pendekatan integrative: sebuah fusi dalam berbagai macam perbedaan pendekatan. Secara tidak langsung, pernyataan yang disampaikan oleh Tika dan Laila seperti saling mengerti dan sadar diri dalam urusan shift mengarah pada kebutuhan yang harus diikuti oleh anggota tim agar performa menjadi baik. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dalam Pengaturan Staf untuk Meningkatkan Layanan Usaha dalam mengatur jadwal kerja, kedisiplinan waktu, dan toleransi dalam hal waktu istirahat yang dilakukan oleh para pustakawan di Perpustakaan Universitas X akan sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya, yang tak lain adalah kepala Perpustakaan Universitas X yaitu Pak Djoko. Kepala Perpustakaan Universitas X, meskipun jadwal kerjanya tidak masuk dalam shift, tetapi perlu memahami ritme kerja shift yang dialami oleh bawahannya. Hal tersebut disadari benar oleh Pak Djoko yang memang sebelum menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Universitas X, beliau adalah pustakawan referensi di perpustakaan tersebut dan pernah merasakan bekerja dalam shift. Beliau mempercayakan bawahannya untuk mengatur sendiri jadwal kerja di perpustakaan tetapi memberi patokan jadwal tersebut setidaknya dibuat untuk selama 6 bulan ke depan sehingga akan terlihat ritme kerjanya serta para pustakawan dapat menentukan cuti yang akan diambil sejak jauh-jauh hari sehingga dapat
bernegoisasi dengan rekan kerja lain dalam pengaturan shift saat cuti tersebut. Hal yang dilakukan oleh Pak Djoko disebut oleh (Schermerhorn, 2012: 150) sebagai perencanaan dan pengaturan waktu kerja dengan tetap memberikan kebebasan penuh kepada bawahannya untuk menyusun jadwal kerja namun tetap dengan strategi yang diberikannya, yaitu membuat jadwal selama 6 bulan ke depan. Walaupun terlihat sederhana akan tetapi masalah waktu menjadi hal yang sangat penting dalam kondisi bekerja shift ini. Hal yang ditekankan oleh Pak Djoko mengenai shift ini ada 2, yang pertama adalah untuk disiplin membuka perpustakaan sesuai dengan jam operasional buka, yaitu pukul 07.00 pagi. Sehingga pustakawan yang mendapat tugas shift pertama harus datang setidaknya beberapa menit sebelum jam 07.00. Kedua adalah toleransi masa istirahat, yang mana pustakawan shift kedua harus datang tepat waktu sehingga pertukaran waktu istirahat akan mudah diatur. Namun Pak Djoko kembali memberi keleluasaan kepada bawahannya untuk mengatur masalah ini sesuai dengan kondisi mereka. Sebagai contoh jika pustakawan yang bertugas shift kedua tidak ingin mengambil konsumsi di siang hari yang berarti dia hanya memerlukan waktu untuk shalat, pustakawan shift pertama tidak perlu terlalu terburu-buru istirahat agar dapat bertukar jaga untuk mencukupkan waktu istirahat sampai pukul 13.00. Penekanan tersebut merupakan refleksi dari pendapat (Heifetz dan Laurie, 2001: 7) bahwa orang-orang yang berbeda di dalam sebuah organisasi yang sama membawa pengalaman-pengalaman, asumsi-asumsi, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda ke tempat kerjanya. Sehingga perlu ditanamkan pemahaman yang sama dalam bekerja memberikan pelayanan kepada pemustaka. Pak Djoko terkadang mengambil alih tugas jaga ini jika memang waktu yang diperlukan oleh bawahannya lebih banyak untuk istirahat. Menurutnya ini dilakukan karena bekerja di dalam shift diperlukan teamwork yang baik, termasuk dirinya yang merupakan kepala perpustakaan. Setiap anggota di dalam teamwork harus saling bersinergi agar tujuan dari suatu organisasi dapat tercapai serta menjadikan tim tersebut sebagai tim efektif. Tim yang efektif adalah pencapaian tertinggi dari sebuah performa, kepuasan anggotanya, dan kelangsungan hidup tim tersebut (Schermerhorn, 2012: 152). Selain itu Pak Djoko secara berkala memberikan penjelasan dan pemahaman bahwa dalam bekerja
shift seperti ini antara satu sama lain harus saling sadar diri dan disiplin mengenai waktu. Agar permasalahan ketidakkompakan yang pernah terjadi tidak terulang kembali. Sehingga pemustaka yang datang pagi tetap dilayani karena perpustakaan sudah buka sesuai aturan, dan selama waktu istirahat perpustakaan tetap beroperasi karena pustakawan secara bergantian berjaga. Pemahaman ini diharapkan dapat tertanam di diri setiap pustakawan bahwa orientasi pekerjaan mereka sebenarnya adalah memberikan jasa layanan informasi. Usaha Pak Djoko dalam memberikan pemahaman ini merupakan suatu bentuk upaya untuk menciptakan kepemimpinan manajerial tingkat dua dan tiga yang kuat (Schermerhorn, 2012: 150). Sehingga bila pondasi manajerial di perpustakaan kuat, maka bangunan manajemen yang menaungi perpustakaan akan menjadi baik untuk memberikan pelayanan kepada pemustaka. Meskipun secara pribadi beliau mengakui terkadang melakukan kesalahan-kesalahan yang menjadi sifat manusia, yaitu tempat salah dan lupa. Sehingga memahami antar satu sama lain di dalam tim yang bekerja secara shift juga sangat penting. Manajemen kepemimpinan tingkat dua ini dirasakan sekali oleh koordinator para pustakawan lainnya. Jajang yang berada satu tingkat di bawah Pak Djoko karena lebih sering berinteraksi langsung dengan 4 rekannya. Dia berpendapat bahwa dengan tipe kerja shift seperti ini dia selalu menekankan untuk tenggang rasa antar rekan kerja, terutama saat jam istirahat. Sebab tidak sama dengan kantor yang tidak memberlakukan sistem shift. Menurutnya lagi perpustakaan merupakan lembaga yang memberikan layanan jasa informasi, sehingga orientasinya adalah kepada pemustaka, jika dianalogikan seperti supermarket yang memiliki pelanggan yang setiap waktu ada. Tenggang rasa yang ditekankan oleh Jajang kepada rekan-rekannya merupakan sebuah etika moral yang menjadi sebuah konsekuensi pembuat keputusan dan orang-orang lainnya untuk dilakukan. Pendekatan ini dapat meminimalisir dampak negatif dan meningkatkan rasa hormat terhadap hak-hak orang lain. Kesimpulan Jam operasional Perpustakaan Universitas X yang panjang dari pukul 07.00 hingga 21.00 menjadikan tim pustakawannya menyusun jadwal shift sebanyak 3 kali dalam satu hari. Tujuannya adalah selain dapat memberikan pelayanan sesuai dengan jam operasional, juga untuk memberikan kenyamanan dalam bekerja setiap
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
47
pustakawan yaitu 8 jam sehari. Jumlah orang dalam tim yang sedikit menjadikan para pustakawan di perpustakaan tersebut harus disiplin dan mematuhi aturan penjadwalan yang telah dibuat. Terutama sekali dalam masalah jam masuk dan waktu istirahat yang mana antar pustakawan harus secara bergantian berjaga karena perpustakaan tidak pernah tutup selama jam operasional tersebut. Ketidakdisiplinan tersebut pernah menjadi suatu masalah yang sangat mengganggu antar pustakawan yang berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada pemustaka. Masalah ketidakkompakan yang pernah terjadi tersebut membuat mereka bernegosiasi mengenai jadwal kerja dan komitmen untuk tidak terlambat masuk serta
disiplin dalam masalah waktu istirahat. Hal tersebut dilakukan agar hubungan antar pustakawan tetap nyaman dan tidak timbul lagi masalah yang pernah terjadi sebelumnya. Aturan waktu tersebut tentunya membutuhkan adaptasi para pustakawan terutama yang masih baru bekerja. Selain karena bekerja dalam shift, juga karena ada jam-jam tertentu yang mana mereka harus bergantian jaga sementara aktivitas di perpustakaan padat. Aturan tersebut akan menjadi kaku bagi pustakawan baru karena belum terbiasa. Sehingga secara tidak tertulis antar pustakawan di Perpustakaan Universitas X berusaha untuk tetap fleksibel mengenai penjadwalan tersebut.
daftarpustaka Allen, David. (2001). Getting Things Done. New York: Penguin Group mohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung Heifetz, Ronald A & Donald R. Laurie. “The Work of Leadership.” Harvard Business Review (December 2001), hal: 3 -14 mohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung Paris, Carol. R et al. “Teamwork in Multi-person Systems: a Review and Analysis.” Ergonomics, vol. 43 no. 8, (2000) hal: 1052-1075
48
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Salas, Eduardo et al. “Situation Awareness in in Team Performance: Implication for Measurement and Training.” Human Factors, vol. 37 no. 1 (1995) hal: 123-136 mohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung Schermerhorn, John R. 2012. Organizational Behavior. New York: Wiley
Oleh: R. Deffi Kurniawati1 dan Wuri Setya Intarti2 Email:
[email protected] dan
[email protected]
Fakta dan Pencitraan Pustakawan dalam Sertifikasi Abstrak Perpustakaan yang baik adalah saat perpustakaan banyak dikunjungi dan diminati pemustaka. Banyaknya pemustaka berkunjung ke perpustakaan tidak luput dari layanan yang menyenangkan dan memuaskan, di samping tentunya sarana dan prasarana yang mendukung. Hal ini juga tidak luput dari peran pustakawan. Pustakawan yang baik dan profesional merupakan kunci dari keberhasilan perpustakaan maju dan berkembang. Pustakawan dituntut untuk berkreasi dan berkarya dalam memajukan perpustakaan, guna memikat pemustaka. Citra pustakawan merupakan kunci bagaimana seseorang dapat dihargai dan dihormati profesinya. Keterampilan dan keahlian pustakawan dapat dilihat dari bagaimana pustakawan bekerja. Fakta di lapangan sangat menentukan pustakawan untuk bersaing di era globalisasi pada saat ini. Salah satu dampak hasil yang diperoleh dari pencitraan pustakawan dapat dilihat bagaimana perpustakaan terus berkembang dan bersaing dengan sarana informasi lain, seperti internet dan search engine lainnya, yang bisa memfasilitasi informasi serta memuaskan pemustaka. Kata kunci: Pustakawan, Kompetensi, Pencitraan pustakawan
Pendahuluan Perpustakaan dan pustakawan adalah satu kaitan yang tak terpisahkan karena saling mendukung dalam berbagai hal. Pustakawan adalah sosok yang sangat dibutuhkan dalam melakukan layanan kepada pemustaka. Pustakawan harus dapat mengerti dan memahami arti suatu layanan yang baik, efektif dan efisien dalam mengelola perpustakaan, juga dituntut memiliki etika serta komunikasi yang baik, baik sesama rekan kerja, atasan maupun pemustakanya. Komunikasi yang baik akan membawa suasana yang menyenangkan dan akan tercipta hubungan harmonis, yang bermuara pada suatu layanan dan kondisi yang kondusif, sehingga perpustakaan akan diminati oleh pemustaka, disamping pustakawan memiliki etika dan kompeten. Pustakawan harus dapat memahami karakter pemustaka, agar pemustaka merasa nyaman, sehingga
1 2
senang dan betah berada di perpustakaan. Perpustakaan yang banyak dikunjungi dan berhasil memenuhi atau memuaskan informasi yang diperlukan pemustaka berarti dapat dikatakan berhasil. Jika dilihat dari statistik pemustaka terus bertambah dalam arti grafiknya naik, berarti perpustakaan sudah ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan dapat dikatakan bahwa perpustakaan merupakan tempat pembelajaran sepanjang hayat (long life education) serta dapat turut meningkatkan minat baca masyarakat. Saat ini kita mengenal istilah General Agreement on Trade (GAT) yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) sebagai bagian dari agenda pasar bebas di seluruh dunia, sedangkan pada tingkat lokal Asean Free Trade Agreement (AFTA) yang merupakan bagian dari kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI Pustakawan Madya pada Perpustakaan Nasional RI
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
49
Kebijakan pasar bebas ini akan menyebabkan ketatnya persaingan sumber daya manusia dalam pasar ekonomi bebas tersebut. Persaingan tersebut sudah di depan mata, dan sudah pasti akan kita alami. Untuk menjawab tantangan dan peluang globalisasi, liberalisme dan demokratis pustakawan harus mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut. Untuk menjawab tantangan ini salah satunya dengan cara sertifikasi. Dengan ikut sertanya pustakawan dalam sertifikasi, mengindikasikan bahwa pustakawan tersebut diakui kompetensinya, sehingga akan menambah nilai (value) pustakawan tersebut serta menambah pecitraan pustakawan. Dengan adanya pencitraan pustakawan yang baik akan berdampak kepada kepercayaan pemustaka, dimana perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk mendapatkan informasi. Dengan demikian untuk menentukan kemajuan suatu bangsa, tidak dapat di pungkiri bahwa perpustakaan sangat penting bagi pemustaka. Oleh karena itu, pustakawan sebagai pelayan publik harus meningkatkan penguasaan informasi secara maksimal. Dalam hal ini, peran pustakawan sangat dibutuhkan sebagai salah satu sarana sumber informasi. Untuk menjawab itu semua diperlukan pencitraan yang baik dan menunjang dari pustakawan, karena fakta di lapangan peran pustakawan sangat menentukan layanan yang prima dan memuaskan pemustakanya. Pustakawan Pustakawan merupakan sosok atau sumber daya manusia dengan kemampuan dan kemahirannya memajukan dan mendorong bagaimana perpustakaan dan pemustaka dapat saling mendukung dan maju dengan sarana dan prasarana yang dimilikinya. UU No. 43 Tahun 2007 adalah memperkuat keputusan MENPAN No. 132/KEP/M.PAN/12/2002, dimana pustakawan dikehendaki “Pustakawan adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai penyelenggara tugas utama kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan dokumentasi dan informasi”. Hal ini jelas bahwa sesungguhnya jabatan pustakawan merupakan posisi atau jabatan yang cukup strategis. Pustakawan dengan kompetensi personal dan profesional akan dapat secara jeli melihat peluang yang demikian terbuka lebar dengan perubahan teknologi informasi dan komunikasi. Pustakawan akan merasakan bahwa perubahan dan perkembangan yang terjadi pada dunia informasi dan komuniasi saat ini akan dijadikan sebagai salah suatu peluang dan tantangan untuk dapat mengembangkan diri, yang nantinya akan membawa perubahan pada pencitraan diri ke tingkat yang lebih baik.
50
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Kepustakawanan atau dalam istilah asing dikenal dengan librarianships pada intinya adalah sebuah profesi, yaitu pustakawan. Hal ini menjadi pemerhati bagi perpustakaan dan pustakawan di Indonesia, karena dalam undangundang tersebut pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelola an perpustakaan dengan baik. Oleh karena itu pustakawan di tuntut untuk memiliki profesionalisme dan diakui melalui sertifikasi, dimana sertifikasi merupakan salah satu instrumen untuk mengetahui bahwa pustakawan tersebut berkompeten dibidangnya. Kompetensi Pustakawan Kompetensi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat dalam bekerja sesuai dengan profesi. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno, 2001 dalam Saleh, 2007) dalam Khayatun (2011), dengan demikian dapat dikatakan bahwa: kompetensi adalah suatu cara mengembangkan sumberdaya manusia bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan dedikasi yang tinggi dalam profesinya. Kemampuan kompetensi pustakawan mencakup atau dapat dilihat dari 3 (tiga) unsur penguasaan, yakni: 1. Pengetahuan (knowledge, science) Dapat dilihat dari kemampuan pemahaman pustakawan melakukan tugas sehari-hari Sebagai pustakawan harus mengetahui banyak hal di dunia perpustakaan, misalnya: - Bagaimana mencari atau menentukan suatu kelas dan subyek; - Apa yang dinamakan katalog; - Apa itu abstrak dan sebagainya. 2. Keterampilan teknis (skill, teknologi) Dapat diukur dari perilaku bagaimana pustakawan bekerja dan hasil kerjanya. Pustakawan harus dapat: - Membuat anotasi dan abstrak; - Menulis dan sebagainya. 3. Sikap perilaku (attitude) Dapat dilihat bagaimana pustakawan bersikap dalam kesehariannya, baik terhadap atasan, sesama rekan kerja, maupun pemustaka. Pustakawan harus dapat: - Berkomunikasi dan bersosialisasi dengan baik. Jika digambarkan akan berbentuk seperti segitiga yang saling terkait satu sama lain. Karena hal ini merupakan salah satu tolak ukur prestasi kerja atau penguasan diri pustakawan dalam berkompetensi dan pengakuan atas pengembangan kariernya seperti terlihat pada gambar 1.
Pengetahuan (knowledge, science)
Keterampilan (skill)
Sikap perilaku (attitude)
Gambar 1. Hubungan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan demikian dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya kompetensi pustakawan dapat dijadikan standar atau acuan untuk mengukur diri memegang jabatan pustakawan. Menurut Lasa Hs. (2011) kompetensi pustakawan dalam aspek teknis, mencakup : 1. Collecting of information, mengumpulkan tidak lagi berarti harus menyimpan dalam satu ruangan/gedung tertentu tetapi tahu dimana informasi berada dan bagaimana mengaksesnya; 2. Processing of information, memproses atau mengolah informasi berarti membuat informasi yang dibutuhkan mudah ditemukan kembali oleh pemustaka; 3. Disseminating of information, menyebarkan informasi berarti memberikan layanan informasi seperti yang diinginkan pemustaka; 4. Preserving of information, menyelamatkan hasil pikir manusia yang terekam dan terdokumentasikan melalui cara-cara yang aman bagi kepentingan pengembangan pengetahuan dan peradaban. Sementara itu kompetensi menurut SKKNI Kemenakertrans (2012), adalah suatu kemampuan menguasai dan menerapkan pengetahuan, keterampilan/ keahlian dan sikap kerja tertentu di tempat kerja sesuai dengan kinerja yang dipersyaratkan. Seorang pustakawan harus mempunyai kompetensi karena kompetensi dianggap penting sehingga para pimpinan perpustakaan mulai mensyaratkan kompetensi bagi pustakawan dengan tujuan: 1. Menstimulasi layanan unggulan; 2. Menyediakan dokumen yang membantu pengembangan uraian tugas (Job Description) dan sarana mengevaluasi jawaban profesinya; 3. Memperbaharui antusiasme para pustakawan terhadap profesinya; 4. Membantu perencanaan program pengembangan pegawai secara berkelanjutan; 5. Menyediakan dokumen yang dapat digunakan dalam pengembangan kebijakan, terutama yang
berhubungan dengan organisasi dan susunan pegawai perpustakaan; 6. Mengajarkan masyarakat lembaga pemerintahan dan lembaga donor tentang pentingnya keterampilan dan pengetahuan bagi pustakawan profesional (NJLA. 2005). Pustakawan berkompetensi dapat dikatakan mampu melakukan berbagai tugas dan tanggungjawab kepustakawanan, sehingga sudah pasti dapat pula dikatakan profesional sesuai dengan jabatan dijenjangnya. Dengan demikian pustakawan profesional adalah orang yang kompeten. Orang yang kompeten adalah orang yang memiliki kemampuan dibidangnya. Untuk itu diperlukan komitmen dan kompetensi pustakawan dalam memenuhi harapan masyarakat pemustakanya. Dengan kompetensi tersebut pustakawan mampu membangun dan mengembangkan perpustakaan serta membangun masyarakat yang cerdas, masyarakat pembelajar (learning society), artinya perpustakaan berperan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah selayaknya perlu dibangun karakter dan citra pustakawan terasa lebih baik tatkala seorang pustakawan mampu melaksanakan tugasnya secara rasional dan proporsional terhadap dukungan tugas pokok dan fungsinya dengan cara memiliki kompetensi. Jadi yang menyangkut dunia perpustakaan peran pustakawan sangat penting. Dengan demikian jelaslah bahwasannya kompetensi pustakawan merupakan hal penting yang harus dimiliki pustakawan guna menunjang karier dan jabatan yang disandangnya. Pencitraan Pustakawan Pencitraan adalah suatu pandangan seseorang pada suatu objek. Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran yang ada di dalam benak seseorang. (Holt, Rinehart and Winston Inc.). Citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan; kesan yang sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.(Bill Canton). Citra adalah kesan yang diperoleh dari tingkat pengetahuan dan pengertian terhadap fakta (tentang orang-orang, produk atau situasi) (Philip Henslowe). Citra sebagai kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan (Rhenald Kasali) (dalam Arif Surachman). Citra adalah kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri pustakawan yang sampai ke publik. (Anis, 2002: 177).
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
51
Dengan kata lain, apa yang dipahami orang tentang pustakawan sebenarnya dibentuk oleh akumulasi sikap, perilaku, dan cara pustakawan mengekspresikan diri. Kiprah pustakawan dalam pembentukkan citra dirinya dalam melayani pemustaka/masyarakat membutuhkan proses, yang secara perlahan-lahan akan memberi “kesan atau imej” tertentu dalam benak publik. Jadi apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar tentang pustakawan, itulah yang menjadi faktor pembentuk citra pustakawan di benak mereka. Oleh karena itu pustakawan harus memiliki performen yang baik, sehingga akan mendapatkan kepercayaan yang baik pula dari pemustaka/masyarakat. Citra pustakawan baik atau buruk bergantung dari bagaimana pustakawan itu mengapresiasikan dirinya pada pelayanan pemustaka / masyarakat. Untuk mendapatkan citra yang baik memang tidak mudah, untuk itu dituntut suatu dedikasi yang tinggi dalam berkerja dan berkarier. Sertifikasi Pustakawan Proses sertifikasi adalah proses pengumpulan bukti bahwa seseorang kompeten dibidang tertentu sesuai dengan amanah UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yang menyatakan bahwa pustakawan harus sesuai dengan standar nasional perpustakaan. Dengan keikutsertaan sertifikasi akan meningkatkan nilai pustakawan, karena kemampuannya telah diuji, sehingga meningkatakan nilai (value) serta meningkatkan citra institusinya. Adanya sertifikasi diharapkan memperoleh tenaga pustakawan yang kompeten di bidangnya untuk mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, kritis dan etis. Program sertifikasi pustakawan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka menuju terwujudnya pengakuan terhadap kompetensi dan profesionalisme pustakawan di Indonesia. Amanat UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan bahwa “Pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan (SNPerp), yaitu: kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi”. Hasil dari sebuah kompetensi seorang pustakawan adanya sertifikasi tersebut. Sertifikasi bermanfaat untuk mengembangkan tenaga perpustakaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak. Di dalam pelaksanaan uji kompetensi dalam kerangka sertifikasi harus ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan asosiasi profesi (IPI) dengan memperoleh lisensi untuk menguji kompetensi pustakawannya. Bagi pustakawan, sertifikasi menjadi bukti atau
52
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
pengakuan terhadap kemampuan mereka. Dengan sertifikat kompetensi, mereka dapat memilih peluangpeluang untuk pengembangan karier yang cocok dan sesuai. Dengan demikian sertifikasi menjadi sarana untuk meningkatkan jenjang karier dan memacu diri agar lebih profesional dan mencapai hasil pekerjaan yang berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan. Kode etik pustakawan Kode etik pustakawan merupakan panduan perilaku dan kinerja semua Pustakawan dalam melaksanakan tugasnya di bidang kepustakawanan. Setiap Pustakawan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kode etik ini dalam standar kepentingan pemustaka, profesi, perpustakaan, organisasi profesi dan masyarakat. Etika berasal dari bahasa asing yaitu Ethic (s) bahasa inggris atau Ethica dalam Bahasa Latin, Ethique dalam bahasa Prancis, Ethikos dalam bahasa Greek, yang artinya kebiasaan-kebiasaan terutama yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Etika (ethics) mempunyai pengertian standar tingkah laku atau perilaku manusia yang baik, yakni tindakan yang tepat, yang harus dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan ketentuan moral pada umumnya. Etika merupakan ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dikatakan baik ataukah tidak/ jahat. (dalam Aling story). Etika secara umum ialah tentang perilaku manusia sesuai dengan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sedangkan etiket ialah tata cara melakukan perbuatan yang baik dan benar yang terdapat dalam pergaulan, misalnya sikap sopan santun yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik di masyarakat maupun di lingkungan instansi. Untuk menjaga keseimbangan dalam perilaku pustakawan dengan pemustaka alangkah baiknya jika kita menerapkan sistem 5 S, yakni Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun. Dengan demikian akan tercipta suatu hubungan yang harmonis antara pustakawan dan pemustaka. Selain etiket pustakawan juga harus memiliki kode etik yang menaungi kegiatan atau pekerjaan seharihari. Kode etik berasal dari dua kata yaitu kode dan etik, dari segi bahasa kode berasal dari bahasa Inggris “code” diantaranya; tingkah laku, perilaku (behaviour), yaitu sejumlah aturan yang mengantarkan bagaimana orang berperilaku dalam hidupnya atau dalam situasi tertentu; peraturan atau undang-undang (rules/laws), tertulis yang harus diikuti. Menurut Suwarno (2012: 92) kode etik adalah sistem
norma, nilai, dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari (dalam Aling story). Pustakawan yang mengerti dan memahami kode etik dalam bekerja tentunya akan menghasilkan suatu karya yang baik. Untuk itu perlu adanya suatu pengetahuan definisi kode etik, karena semua berpegangan atau berpedoman pada kode etik tersebut. Adapun beberapa definisi kode etik yang di kutip oleh Hermawan (2006: 81-83), yaitu: a. Frans Magnis Suseno (1989) mendefinisikan bahwa kode etik adalah pedoman atau pegangan yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi agar kepercayaan para klien pasien tidak disalahgunakan. Kode etik merupakan kumpulan kewajiban yang mengikat para pelaku profesi itu dalam mempraktekannya; b. Dalam Harrods Librarians’Glossary and Referensce Books (Harrod, 1995) dikemukakan bahwa kode etik adalah “A document setting out the norms of professional conduct and behaviour required of memebers of a professional association” berdasarkan definisi tersebut di atas berarti bahwa kode etik adalah dokumen yang berisi norma moral dan perilaku profesional yang dituntut dari anggota asosiasi yang professional; c. Sedangkan dalam ALA Glosseary of Libaray and Information Scinece (1983) disebutkan bawa kode etik adalah pernyataan standar profesi yang ideal yang dianut oleh kelompok profesional atau organisasi profesi untuk menuntun anggotannya dalam mengemban tanggung jawab profesionalnya; d. Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian, pasal 28 menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan”. Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya kode etik pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari.
dalam menjalankan peranan dan tugas profesinya dalam masyarakat”. Kode etik profesi dibuat secara tertulis, sistematis, tegas dan jelas sehingga mudah dipahami oleh pustakawan. Kode etik pustakawan merupakan standar tingkah laku dan norma yang seharusnya dapat menuntun para pustakawan dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, pustakawan didalam melakukan pekerjaan sehari-hari harus berpedoman kepada kode etik. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hermawan (2006: 63) menyimpulkan bahwa “kode etik adalah seperangkat standar aturan tingkah laku, yang berupa norma-norma yang dibuat oleh organisasi profesi yang diharapkan dapat menuntun anggotanya
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etik adalah seperangkat standar aturan tingkah laku, yang berupa norma-norma yang dibuat oleh organisasi profesi yang menjadi landasan perilaku anggotanya dalam menjalankan peranan dan tugas profesinya dalam masyarakat. Ini berarti bahwa kode etik pustakawan adalah seperangkat aturan atau
Dengan demikian, kode etik pustakawan akan menghantarkan pustakawan mencapai tujuan yang diinginkan yakni mewujudkan pencitraan yang baik. Tujuan kode etik menurut Hermawan (2006: 84) menyatakan ada beberapa tujuan kode etik suatu organisasi profesi adalah untuk: a. Menjaga Martabat dan Moral Profesi; b. Memelihara hubungan anggota profesi; c. Menigkatkan pengabdian anggota profesi; d. Meningkatkan Mutu Profesi; e. Melindungan Masyarakat pemakai. Disamping kode etik, dalam pencitraan pustakawan juga dituntut profesional, karena profesinya sebagai pelayan dan pemberi informasi yang dibutuhkan pemustaka. Pustakawan memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar. Oleh sebab itu, tanggung jawab dan tugas di perpustakaan harus dijalankan semaksimal mungkin agar kegiatan organisasi perpustakaan dapat berjalan dengan baik, pustakawan harus dituntut profesional. Karena pustakawan merupakan suatu profesi. Pustakawan sebagai profesi perlu memiliki sikap: a. Komitmen untuk mengembangkan diri dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi; b. Komitmen untuk menggunakan hal-hal baru untuk menunjang tugas profesi; c. Komitmen untuk bersikap eksperimen dan inovatif; d. Komitmen untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan agama, ras, golongan, suku, jabatan, maupun politik; e. Komitmen untuk mematuhi kode etik pustakawan. Profesi harus berkembang terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam perkembangannya ini sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial, budaya, maupun politik.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
53
norma yang menjadi standar tingkah laku yang berlaku bagi profesi pustakawan dalam rangka melaksanakan kewajiban profesionalnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Maka setidaknya dalam rumusan kode etik ini melingkupi beberapa hal sebagaimana yang ditulis dalam Code of Professional Ethics (APA, 2003:4), yaitu bahwa suatu etika profesi menuntut memiliki prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari kewajiban moral anggotanya yang berupa: 1. Respect for rights and dignity of the person, yaitu prinsip yang selalu menghormati hak dan martabat manusia; 2. Competence, yaitu kemampuan atau keahlian yang sesuai dengan bidang kerja yang ditekuni; 3. Responsibility, yaitu tanggung jawab dalam setiap pelaksanaan tugas-tugas; 4. Integrity, yaitu tidak terpisah-pisah antara hak dan kewajiban, selalu ada keseimbangan antara tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban di setiap tugasnya; 5. Prinsip etika profesi tersebut merupakan suatu standar yang dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak profesional. Maka the American Library Association (ALA) memberikan rambu-rambu kompetensi dalam kode etiknya, yang mengandung suatu amanat bahwa kode etik sesungguhnya mengarahkan pustakawan untuk mencapai hal sebagai berikut: a. Kecakapan profesional, yaitu bekerja keras untuk memelihara kecakapan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan; b. Kerjasama, jujur, adil, dan menghormati kepentingan orang lain; c. Bekerja secara profesional, membedakan sikap pribadi dengan kewajiban profesi, serta memberikan pelayanan yang terbaik bagi pengguna dalam bidang informasi; d. Menghormati hak-hak orang lain, mengakui karya orang lain, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat semua orang. (ALA, 2008).
yang lebih baik.
Profesi Pustakawan Profesi pustakawan merupakan keahlian yang dimiliki seseorang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Profesi yang baik harus didukung oleh beberapa hal: 1. Mampu didalam memimpin dan me-manage dirinya sendiri; 2. Tekun dan ulet dalam berusaha; 3. Berfikir dan bertindak secara kreatif dan innovative; 4. Percaya diri dalam memecahkan segala permasalahan.
Demikian pula halnya dengan pustakawan, jika telah melakukan pekerjaan sesuai standar profesional, maka akan tercipta pustakawan yang berkualitas dan kompeten.
Jika pustakawan telah memahami arti profesinya dan bekerja secara profesional serta berkompetensi sudah barang tentu akan mudah baginya melangkah kearah
54
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman dan pengertian dalam profesi, yakni salah satunya dengan cara mengenali ciri dan sifatnya. Adapun secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu : 1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun; 2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi; 3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat; 4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus; 5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi. (http://miaalifah.blogspot.com/2012/11/ makalah-etika-profesi-pustakawan.html). Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, dapat disimpulkan bahwa profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.
Pengembangan karier Dalam pengembangan karier pustakawan, dibutuhkan kompetensi dibidangnya. Untuk menjadi pustakawan yang kompeten dibutuhkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang luas dan luwes. Dalam mencapai kondisi tersebut pustakawan harus; 1. Kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi. 2. Mampu melayani pemustaka dengan prima. 3. Mampu bekerjasama dan bersosialisasi dengan baik,
dengan masyarakat, rekan kerja dan atasan. 4. Memiliki kualitas yang diakui baik oleh masyarakat dan kedinasan. 5. Memiliki sertifikasi yang merupakan standar kompetensi. Dengan adanya pengembangan karier yang baik, pustakawan akan meningkatkan kredibilitas dan kemampuan dirinya dalam berkarya. Dengan banyaknya karya yang diakui akan membawa pustakawan kearah tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat memposisikan pustakawan menjadi orang yang profesional dan kompeten. Disamping itu jenjang kepustakawan otomasi akan meningkat. Dengan meningkatnya karier yang bagus dan baik akan memberikan kesempatan pustakawan menduduki jabatan yang lebih tinggi dan masa kerja yang panjang, misalnya dapat mencapai posisi pustakawan utama (IV/d-e) dengan masa kerja 65 tahun. Adanya pengembangan karier yang baik, pustakawan dituntut menjadi mandiri dan percaya diri atas apa yang dilakukannya demi kemajuan perpustakaan dan pencitraan yang baik dari prestasinya. Penutup Kemajuan karier seseorang dapat terwujud jika dia telah memahami tentang pengembangan karier. Pengembangan karier meliputi aktivitas untuk mempersiapkan seseorang pada kemajuan jalur karier yang direncanakan dan diharapkan. Pengembangan karier dirasa penting bagi seorang pustakawan yang diharapkan dapat menghasilkan pustakawan yang
berkualitas, profesional, bertanggung jawab, jujur dan lebih mampu serta akuntabel dalam pemberian pelayanan publik. Sebuah perpustakaan dikatakan bermutu apabila kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik telah memperoleh pengakuan dari masyarakat. Oleh karena itu pustakawan harus memahami standar perpustakaan dan standar pustakawaan serta mengaplikasikannya agar dapat mengembangkan kariernya. Seorang pustakawan harus bersikap profesional dalam mengelola perpustakaan artinya bahwa seorang pustakawan harus mampu mengelola dan mengembangkan perpustakaan dengan kompetensinya. Kompetensi perlu ditingkatkan dengan adanya pengembangan karier. Kompetensi yang baik itu dapat menunjang sertifikasi seorang pustakawan dimana sertifikasi tersebut sebagai sarana pengakuan profesi kepustakawanan dan menjadi perwujudan bukti kompetensi pustakawan. Kompetensi pada dasarnya adalah pengetahuan, keterampilan, kemampuan, atau karakteristik yang berhubungan dengan tingkat kinerja suatu pekerjaan. Jika pustakawan telah memahami dan memaknai suatu profesional profesi dan kompetensinya, maka dengan sendirinya pencitraan pustakawan akan tercipta dan masyarakat akan menilai, bagaimana dan siapa pustakawan itu serta fakta akan membuktikan bahwa pustakawan yang profesional dan berkompeten dan diakui melalui sertifikat akan memberi nilai positif bagi diri pustakawan. Diharapkan kedepanya pustakawan dapat membantu perpustakaan berkembang dan maju siap bersaing dengan dunia informasi lainnya.
daftarpustaka http://henisetiyaningsih.blogspot.com/2013/05/pengembangandan-pembinaan-karier.html dalam judul : Pengembangan dan pembinaan karier menuju sertifikasi pustakawan. Di unduh senin, 3 Februari 2014 http://ipijogja.files.wordpress.com/2011/09/plugin-95-kesiapansertifikasi-pustakawan-oleh-titiek-kismiyati-titikisyahoocom. pdf. Wednesday, 14 September 2011 05:01. Diunduh senin, 3 Februari 2014 http://miaalifah.blogspot.com/2012/11/makalah-etika-profesipustakawan.html. ALING merupakan singkatan dari Aku & Lingkungan. Diunduh senin, 3 Februari 2014
Matta, Anis. (2002). Menikmati Demokrasi. Jakarta: Pustaka Saksi. Surachman, Arif. Membangun Citra Pustakawan Perguruan Tinggi. http://id.wikipedia.org/wiki/Citra_(28Hubungan_Masyarakat). Diunduh senin, 3 Februari 2014 Hermawan, Rachman dan Zulfikar Zen. (2006). Etika Kepustakawanan: Suatu pendekatan terhadap kode etik pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto Khayatun. (2011). Kajian tentang Peluang dan tantangan Program Sertifikasi Pustakawan di Indonesia. Bogor, Institut Pertanian.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
55
Oleh: Arief Wicaksono1 Email:
[email protected]
Pustakawan Layanan Prima: Kunci eksistensi perpustakaan Abstrak Perpustakaan diamanatkan untuk memberikan layanan prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka. Jika perpustakaan mampu memberikan layanan prima maka perpustakaan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Agar mampu memberikan layanan prima, perpustakaan harus memperhatikan secara seimbang faktor SDM, sarana dan prasarana, dan produk. Namun dari ketiga faktor ini, faktor SDM memegang peran utama. Kunci eksistensi perpustakaan yang diperoleh dari layanan prima adalah pustakawan layanan prima. Kata kunci: Layanan prima, pustakawan
Pendahuluan Perpustakaan merupakan wahana pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat. Demikian citra yang ingin dilekatkan kepada perpustakaan. Masyarakat yang terus belajar sepanjang hidupnya diharapkan memanfaatkan perpustakaan secara berkelanjutan hingga akhir hayatnya. Agar citra tersebut menguat di masyarakat, termasuk menghapus anggapan remeh dari masyarakat, perpustakaan harus mampu membuktikan eksistensinya dengan memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Meskipun perpustakaan merupakan organisasi nirlaba, namun tidak berarti pelayanan yang berikan perpustakaan minim. Perpustakaan layak untuk menerapkan prinsip customer service yang berlaku di kalangan bisnis dalam mencapai layanan prima yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perpustakaan. Peningkatan kunjungan masyarakat di perpustakaan dan keterpakaian perpustakaan hanya dapat dicapai melalui pelayanan yang prima. Kepuasan pemustaka pun dapat dicapai dengan pelayanan yang prima. Kepuasan ini akan menjadi promosi gratis dari pemustaka yang sudah merasakannya kemudian disebarkan ke masyarakat lainnya yang belum
1
Pustakawan Pertama pada Perpustakaan Nasional RI
56
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
berkunjung dan menggunakan perpustakaan. Pelayanan yang prima di perpustakaan pada akhirnya akan mampu menguatkan citra perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat sekaligus menghilangkan anggapan sebelah mata dari masyarakat. Pelayanan Prima dalam Perpustakaan Perpustakaan jika ingin tetap eksis dalam masyarakat harus mampu berinovasi agar mampu memenuhi harapan masyarakat akan sebuah perpustakaan. Termasuk didalamnya adalah melakukan inovasi dalam hal pelayanan. Pelayanan sendiri diartikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan atau nasabah (Kasmir, 2005: 15). Tindakkan pelayanan dapat dilakukan melalui cara langsung melayani pelanggan maupun pelayanan tidak langsung. Dalam perpustakaan, pelanggan atau nasabah adalah pemustaka. Pelayanan langsung dalam perpustakaan artinya pustakawan langsung berhadapan dengan pemustaka atau pelayanan melalui telepon, sedangkan pelayanan tidak langsung oleh pustakawan akan tetap dilayani oleh mesin seperti mesin
pengembalian buku. Perpustakaan, agar tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat, harus melakukan inovasi secara kontinyu sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik bahkan prima. Yang dimaksud dengan pelayanan yang baik adalah kemampuan yang dapat diberikan seseorang atau organisasi dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang telah ditetapkan (Kasmir, 2005: 31). Sementara Nina Rahmayanty (2010: 17-18) memberikan empat pengertian mengenai layanan prima, yaitu 1) pelayanan yang sangat baik dan melampaui harapan pelanggan, 2) pelayanan yang memiliki ciri khas kualitas, 3) pelayanan dengan standar kualitas tinggi dan selalu mengikuti perkembangan kebutuhan pelanggan setiap saat, secara konsisten dan akurat, 4) pelayanan yang memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan emosional pelanggan. Dalam memberikan layanan yang prima, terdapat faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor sumber daya manusia (SDM), faktor sarana dan prasana, serta faktor produk yang disediakan. Untuk itu, perpustakaan perlu memperhatikan ketiga faktor tersebut. 1. Faktor SDM dalam hal ini pustakawan yang memberikan layanan Pustakawan merupakan SDM utama dalam perpustakaan. Pustakawan dalam perpustakaan ada yang bertugas melayani langsung pemustaka dan ada pula pustakawan yang berada di back office, seperti pustakawan di bagian akuisi dan pengolahan serta bagian lainnya yang mendukung layanan. Pustakawan yang melayani pemustaka harus memiliki kemampuan teknis layanan agar dapat melayani pemustaka secara tepat dan cepat. Disamping itu, pustakawan layanan harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi, sopan santun, ramah dan bertanggung jawab. Kesiapan pustakawan dalam melayani pemustaka merupakan faktor utama. Oleh karena itu, pustakawan perlu dipersiapkan secara matang sehingga mampu memberikan pelayanan prima kepada pemustaka. Pustakawan yang menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan harus diberikan bekal pengetahuan yang cukup. Pembekalan perlu diberikan mulai dari keterampilan teknis layanan, penampilan fisik, dan ditambah pembekalan dari dalam pribadi pustakawan itu sendiri. 2. Faktor tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung kecepatan, ketepatan, dan keakuratan
pekerjaan pustakawan Prasarana dan sarana yang dimiliki harus dilengkapi oleh kemajuan teknologi terkini. Ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh perpustakaan semata-mata untuk mempercepat pelayanan serta meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Faktor ini sangat mendukung terhadap kualitas pelayanan yang diberikan nantinya. Faktor seperti kenyamanan ruangan, yaitu ruangan yang luas, pendingin udara yang cukup, penyusunan meja kursi yang rapi dan artistik dapat membuat suasana nyaman. Demikian pula dengan ketersediaan tempat ibadat (mushola) serta toilet yang bersih termasuk hal penting bagi pemustaka. Di luar ruangan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah tempat parkir, baik dari segi kapasitas maupun keamanannya. Terlebih lagi jika perpustakaan mempunyai mesin pengembalian buku atau book drop. Termasuk pula penempatan meja pustakawan layanan. Jangan sampai meja pustakawan layanan membelakangi arah datangnya pemustaka, atau meja pustakawan terlalu tinggi sehingga pemustaka tidak melihat adanya pustakawan layanan. Juga mengenai katalog yang merupakan sarana penelusuran terhadap koleksi perpustakaan. Katalog yang dimiliki perpustakaan baik online maupun manual seharusnya selalu update. Hal ini mengandung arti bahwa bahan pustaka yang sudah tidak ada dalam koleksi baik karena stock opname atau hal lainnya harus dihilangkan atau tidak ditampilkan dalam katalog perpustakaan. 3. Kualitas koleksi dan produk yang disajikan oleh perpustakaan Kualitas koleksi dihasilkan dari kebijakan pengembangan koleksi yang baik. Untuk mendukung proses pembelajaran sepanjang hayat, tentunya perpustakaan harus mampu menyediakan buku yang memiliki kualitas yang baik dan diperlukan oleh masyarakat. Perpustakaan memang tidak akan bisa membeli semua buku yang ada. Penyelesaian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kerja sama antar perpustakaan. Antara perpustakaan yang satu dan perpustakaan yang lainnya dapat mempelopori adanya kerja sama silang layan. Kerja sama ini akan sangat membantu melayani pemustaka dengan prima. Jangan dilupakan pula, untuk membangun partisipasi
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
57
masyarakat dalam mengembangkan perpustakaan. Hal ini perlu dilakukan terkait dengan pembangunan partisipatif yang akan memberikan efek positif dengan tumbuhnya rasa kepemilikan yang tinggi terhadap perpustakaan dari masyarakat. Perpustakaan dalam melakukan layanan dapat menciptakan produk jasa yang memang dibutuhkan oleh pemustaka. Misalnya produk indeks yang dapat membantu penelusuran; produk anotasi, abstrak, dan resensi yang membantu pemustaka menemukan bahan pustaka yang tepat; produk informasi terbaru atau terseleksi yang membantu pemustaka mendapatkan informasi terkini, produk tinjauan literatur yang membantu pemustaka menguasai suatu subyek dengan cepat dan mudah, dan lain sebagainya. Semua produk tersebut akan memberikan nilai tambah tersendiri dalam memberikan pelayanan yang prima. Ketiga faktor diatas harus saling mendukung satu sama lainnya. Apabila salah satu faktor diabaikan, kualitas pelayanan yang diberikan menjadi berkurang nilainya. Dalam penerapan layanan yang prima, ketiga faktor diatas harus diperhatikan secara seimbang. Proses inovasi atau perbaikan secara terus-menerus pun harus dilakukan baik dalam inovasi dalam proses layanan, inovasi dalam produk layanan, dan inovasi dalam sistem manajerial layanan. Pustakawan Layanan Prima Seperti yang telah diungkap diatas, bahwa faktor utama dari ketiga faktor yang mempengaruhi pelayanan prima adalah faktor SDM, yang dalam hal ini adalah pustakawan layanan. Pustakawan layanan dalam memberikan layanan prima memerlukan keterampilan teknis dan keterampilan komunikasi. 1. Keterampilan Teknis Dalam melakukan layanan, pustakawan memerlukan kompetensi teknis berupa kompetensi melakukan layanan sirkulasi, melakukan layanan referensi, melakukan penelusuran informasi sederhana, melakukan kegiatan literasi informasi, dan memanfaatkan jaringan internet untuk layanan perpustakaan. Kompetensi tersebut merupakan bagian dari kompetensi inti yang ada dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Perpustakaan. Juga dibutuhkan kompetensi tingkat lanjut, yaitu kompetensi merancang tata ruang dan perabot perpustakaan, membuat literatur sekunder, dan melakukan penelusuran informasi kompleks.
58
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
2. Keterampilan Komunikasi Pustakawan layanan memerlukan keterampilan komunikasi yang baik dalam memberikan layanan menuju layanan prima. Kegagalan pelayanan disebabkan oleh banyak hal. Namun porsi terbesar yaitu sebanyak 68%, disebabkan dari sikap karyawan yang melayani. Dalam hal keterampilan komunikasi, secara garis besar, pustakawan layanan perlu memperhatikan etiket pelayanan, yaitu: a. Selalu ingin membantu setiap keinginan dan kebutuhan pemustaka sampai tuntas. b. Selalu memberikan perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi pemustaka. c. Sopan dan ramah dalam melayani pemustaka tanpa melalukan diskriminasi dalam bentuk apa pun. d. Memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam menghadapi setiap tindak tanduk para pemustaka. e. Menjaga perasaan pemustaka agar tetap merasa tenang dan nyaman. f. Dapat menahan emosi dari setiap kasus yang dihadapi terutama dalam melayani pemustaka yang berprilaku kurang baik. g. Menyenangkan orang lain merupakan sikap yang harus selalu ditunjukkan. Kemudian perlu juga diketahui hal-hal yang menjadi larangan dalam etiket pelayanan. Secara umum larangan dalam etiket pelayanan adalah: a. Dilarang berpakaian sembarangan, terutama pada saat jam kerja dan pada saat melayani pemustaka. b. Dilarang melayani pemustaka sambil makan, minum atau merokok atau mengunyah sesuatu seperti permen karet. c. Dilarang melayani pemustaka sambil mengobrol atau bercanda dengan yang lain dalam kondisi apa pun. d. Dilarang menampakkan wajah cemberut, memelas, atau sedih di depan pemustaka. Dalam membangun komunikasi dengan pemustaka, pustakawan layanan perlu mengembangkan gaya komunikasi asertif, yaitu tidak bersifat agresif dan tidak juga bersifat pasif. Gaya komunikasi asertif ini harus dipakai baik ketika berbicara maupun ketika mendengarkan. Komunikasi asertif adalah ketika kita dengan tegas dan positif mengekspresikan diri kita, tanpa bermaksud menyerang orang lain.
Tabel 1 Perbedaan Gaya Komunikasi Keterangan Ciri-ciri komunikasi
Perilaku komunikasi
Agresif
Pasif
Asertif
Jujur, terbuka, namun cara mengungkapkan perasaan tidak tepat
Menghindari konflik
Berani mengungkapkan perasaan, kebutuhan, pikiran, dengan memperhatiakn pikiran, perasaan orang lain
Cenderung memaksakan kehendak
Mengalahkan kebutuhan sendiri
Memperhatikan hak-hak sendiri dan orang lain
Diliputi rasa marah, menyalahkan Dikuasai rasa takut, salah, dan tertekan
Bersifat wajar dan adil
Ingin menjatuhkan orang lain
Terhambat dalam mengungkapkan diri
Percaya diri, hormati dirinya sendiri, dan juga orang lain
Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas, salah
Cenderung beraksi dibelakang
Membuat hubungan lebih baik
Mengutamakan kebutuhan, perasaan diri sendiri
Menyerah pada permintaan orang lain
Memperhatikan kebutuhan dan perasaan diri sendiri
Mengabaikan hak dan perasaan orang lain
Menomorduakan kebutuhan, perasaan diri sendiri
Menghargai hak orang lain
Menggunakan segala cara, verbal dan non verbal, seperti sinisme dan kekerasan
Menganggap diri lebih rendah dari orang lain
Tegas dan positif mengekspresikan diri sendiri, tanpa bermaksud menyerang orang lain
Wujud komunikasi asertif jika dituliskan dalam sebuah kalimat adalah “I am OK, You are OK”. Artinya melalui komunikasi asertif, komunikasi pustakawan layanan dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, sementara pemustaka yang terlibat proses komunikasi tersebut merasa senang. Dengan demikian hasil dari komunikasi ini adalah membuat hubungan lebih baik antara pemustaka dan pustakawan. Selain itu, pustakawan perlu melatih bahasa tubuh dan nada suara penyampaian pesan yang baik dan menyenangkan ketika berkomunikasi dengan pemustaka. Hal ini yang terkadang banyak dilupakan oleh pustakawan layanan. Dalam penyampaian suatu pesan secara efektif, ternyata bahasa tubuh memberikan porsi nilai terbesar yaitu 65%. Ditingkat kedua, nada suara memberikan porsi nilai sebesar 28% dalam penyampaian suatu pesan. Sementara kata-kata apa yang diucapkan hanya memberikan kontribusi 7% dalam penyampaian suatu pesan. Hal lain yang sering luput dari perhatian pustakawan layanan adalah masalah penampilan. Setelah pustakawan layanan memiliki “isi” yang memadai berupa keterampilan teknis yang mumpuni, memperhatikan etiket layanan dan larangan etiket layanan, menggunakan gaya komunikasi asertif baik dalam mendengarkan maupun ketika berbicara, memberikan bahasa tubuh serta nada
suara yang menyenangkan ketika berkomunikasi dengan pemustaka, maka “kulit” pun perlu diperhatikan. Kesan pertama dari penampilan ini sangat penting karena dapat memberikan kesan positif atau negatif yang akan mempengaruhi hubungan selanjutnya. Penampilan menunjukkan siapa kita sebelum kita sempat bertutur kata. Penampilan pustakawan layanan sama pentingnya dengan penampilan perpustakaan. Penampilan perpustakaan telah dibicarakan pada faktor tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung kecepatan, ketepatan, dan keakuratan pekerjaan pustakawan. Mungkin ada anggapan seorang pustakawan yang pekerjaannya mengurusi buku tidak perlu memperhatikan masalah penampilan dirinya. Hal ini yang perlu dirubah karena penampilan prima merupakan kunci pembuka dari keberhasilan. Dalam hal ini, penampilan merupakan kunci dari keberhasilan layanan prima. Jika perpustakaan terlihat tidak menarik secara kasat mata bagaimana mungkin masyarakat mau berkunjung. Demikian pula dengan pustakawan. Bagaimana mungkin pemustaka mau berkunjung jika kesan pertama dari penampilan pustakawan memberikan kesan negatif hanya karena penampilannya yang tidak menyenangkan dipandang mata bahkan mungkin juga mempunyai bau badan yang tidak sedap.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
59
Oleh karena itu pustakawan layanan harus memperhatikan etika dan estetika dalam masalah penampilan, mulai dari rambut hingga turun ke kaki. Untuk rambut tidak acak-acakan. Pakaian yang dikenakan bersih dan warna dan coraknya yang serasi. Jika perlu, untuk perpustakaan yang memang memiliki seragam khusus yang dirancang untuk pustakawan layanan. Sering ditemukan juga adalah penampilan kaki, misalnya pustakawan menggunakan sandal ketika melayani pemustaka. Hal-hal dalam masalah penampilan pula yang membuat perpustakaan masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Penutup Perpustakaan, seperti halnya organisasi lain, harus mampu membuktikan eksistensi dirinya. Eksistensi perpustakaan dapat diwujudkan setelah masyarakat merasakan peran dan fungsi perpustakaan, yaitu melalui
memberikan layanan prima. Untuk mewujudkan layanan prima, perpustakaan harus memperhatikan dengan baik secara seimbang faktor SDM, sarana dan prasarana, serta produk dari perpustakaan. Faktor SDM, dalam hal ini pustakawan layanan, adalah faktor utama. Untuk mampu melakukan layanan prima, pustakawan layanan harus memiliki kompetensi teknis layanan serta keterampilan komunikasi yang asertif. Pustakawan layanan sebaiknya membongkar habis anggapan-anggapan lama tentang layanan perpustakaan dan menerapkan prinsip customer service agar mampu melakukan layanan prima. Antara lain memperhatikan etika layanan dan larangannya, mengembangkan komunikasi asertif, memperhatikan bahasa tubuh dan nada dalam berkomunikasi, serta memperhatikan penampilannya.
daftarpustaka Deliani Nelwan. (2013). Effective Communication. Makalah disajikan dalam Personal Breakthrough Training Program Perpustakaan Nasional RI, 22 dan 23 Januasi 2013. Jakarta: John Robert Powers.
Pierre Gruno. (2013). Visual Statement. Makalah disajikan dalam Personal Breakthrough Training Program Perpustakaan Nasional RI, 22 dan 23 Januari 2013. Jakarta: John Robert Powers.
Kasmir. (2005). Etika Customer Service. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sumaryo. (2012). Komunikasi Asertif Mendongkrak Tingkat Kepuasan Pemangku Kepentingan. Diunduh dari http://www. bppk.depkeu.go.id/bdk/palembang/ attachments/246_ KOMUNIKASI%20ASERTIF%202013.pdf pada tanggal 18 Februari 2013.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. (2012). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 83 Tahun 2012 tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan Perorangan Lainnya Bidang Perpustakaan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Lena Ellitan dan Lina Anatan. (2009). Manajemen Inovasi: Transformasi menuju organisasi kelas dunia. Bandung: Alfabeta.
60
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Umar Farouk Zuhdi. (2011). Komunikasi Bisnis: Pemahaman secara mudah. Yogyakarta: Wahana Totalita. Yudhi Ismayadi. (2013). Managing Services. Makalah disajikan dalam Personal Breakthrough Training Program Perpustakaan Nasional RI, 22 dan 23 Januari 2013. Jakarta: John Robert Powers.
Oleh: Mujiati1 Email:
[email protected]
Peran Pustakawan Sekolah Menyongsong Kurikulum 2013 Abstrak Kurikulum 2013 merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004 yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, sehingga siswa memiliki kompetensi unggul dalam sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang seimbang dan memiliki wawasan yang luas. Kurikulum ini disiapkan untuk mencetak generasi handal yang siap di dalam menghadapi persaingan global. Karena itu kurikulum ini disusun agar siswa aktif, inovatif, kreatif dan menarik dengan menggunakan pendekatan ilmiah (science approach) yang bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan /mempresentasikan, apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya yang. untuk dapat mewujudkan hal itu, maka peran aktif dan kreatif dari pustakawan dalam membimbing siswa menelusuri informasi sangat penting, karena pembelajaran model tersebut tidak hanya di ruang kelas namun di tempat lain terutama perpustakaan. Kata kunci: Perpustakaan Sekolah, Peran pustakawan, kurikulum 2013
Pendahuluan Peningkatan mutu pendidikan menjadi perhatian utama untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia sejauh ini masih berusaha mencari formula yang tepat dan bagus dalam mencerdaskan bangsa. Formula yang dimaksud adalah sebuah kurikulum yang tepat untuk bahan ajar pada peserta didik tersebut adalah pergantian kurikulum yang silih berganti. Hal ini dilandasi adanya kenyataan bahwa penerapan kurikulum yang sebelum-sebelumnya dapat dikatakan belum menorehkan hasil yang maksimal, namun secara premature boleh dikatakan sudah diberlakukannya perubahan kebijakan yaitu diterapkannya kurikulum baru. Kehadiran Kurikulum 2013 suka tidak suka harus berjalan karena sudah di putuskan. Ini untuk mengimbangi jumlah pengetahuan dan informasi yang selalu berkembang dan juga untuk mempersiapkan generasi yang siap bersaing di pasar global.
1
Titik berat dari kurikulum 2013 adalah untuk mendorong peserta didik atau siswa agar mampu melakukan observasi, bertanya, bernalar dan mengkomunikasikan (mempresentasikan) apa yang mereka peroleh dan ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun objek yang menjadi penekanan pada kurikulum ini ada pada fenomena alam, sosial, seni dan budaya. Melalui pendekatan ini diharapkan siswa dapat memiliki kompetensi sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Mereka akan dapat berkreasi, berinovasi, lebih produktif dan lebih mengembangkan diri sendiri sehingga nantinya mereka dapat sukses dalam menghadapi persaingan dan memecahkan persoalan dan tantangan zaman untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Untuk membuat siswa kreatif dan punya pengetahuan
Pustakawan pada Universitas STAIN Ponorogo
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
61
luas, diperlukan sarana dan media pendukung yang bagus. Sarana tersebut yang paling cocok adalah perpustakaan. Pada Perguruan Tinggi dikenal slogan “Perpustakaan jantungnya Perguruan Tinggi”, sehingga pada ranah sekolah “Perpustakaan Jantungnya Sekolah”. Bagi penulis slogan tersebut tidak salah, namun penulis punya slogan yang lebih universal “Perpustakaan Jantungnya Pendidikan”. Sebagaimana manusia kalau jantungnya tidak berfungsi dan bahkan tidak ada jantung maka manusia tersebut akan mati. Demikian pula apabila dalam Pendidikan suatu bangsa tidak memiliki perpustakaan, baik perpustakaan tradisional maupun perpustakaan digital maka pendidikan runtuh dan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa tidak tercapai. Pendidikan yang runtuh serta tidak mencapai tujuannya membuat perjalanan bangsa jadi terseok-seok dan sulit untuk menjadi bangsa yang maju apabila tingkat masyarakat pembelajarnya (learning society) rendah. Hal ini akan menciptakan generasi yang mudah terprovokasi dalam menerima suatu informasi yang bersifat provokatif, karena tidak adanya kecerdasan dalam berfikir dan menganalisa suatu informasi. Ketidakmampuan menganalisa informasi mengakibatkan daya nalar dan daya kritis yang tumpul sehingga menciptakan generasi yang mudah marah, mudah tawuran, mudah hurahura, dan terjerumus dalam kenakalan remaja yang lebih kompleks. Hal ini diakibatkan dari ketidaktahuan menggunakan sumber pengetahuan yang ada di sekitarnya sehingga tidak tahu harus berbuat apa untuk menghasilkan sesuatu yang positif, akhirnya larinya ke hal-hal negatif. Kejadiannya akan berbeda kalau generasi kita natinya menjadi generasi yang cerdas dan punya daya analisis bagus terhadap informasi yang diterima, mereka akan berupaya mengeksplorasi diri lebih dalam sehingga dari informasi yang mereka terima akan ditemukan suatu inovasi baru untuk menanggulangi hal-hal negatif yang ada dan menciptakan sesuatu yang positif. Hal ini bagi anak-anak sangat menarik,sangatlah mungkin karena sebenarnya dunia anak-anak dan remaja adalah dunia yang ingin serba tahu, dunia yang memerlukan figur dan contoh, dunia yang penuh dengan ide dan kreasi. Secara konvensional terdapat kecenderungan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selalu dikaitkan dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, serta kompetensi guru. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Ada komponen lain yang jarang disentuh yaitu kurikulum. Dalam argumentasi ini, maka yang dikemukakan adalah bahwa kurikulum merupakan instrumen strategis bagi upaya peningkatan mutu
62
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
pendidikan. Kurikulum sebagai instrument peningkatan mutu pendidikan mempunyai tiga entitas yaitu tujuan, metode dan isi. Melihat tujuan akhir dari kurikulum 2013 ini, maka kebutuhan akan perpustakaan dan dunia kepustakawanannya sangat penting. Perpustakaan mendukung visi pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 35 (1) UU No 20 Tahun 2003 yaitu: standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Yang memiliki penjelasan sebagai berikut: Standar isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Standar tenaga kependidikan mencakup persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan tekonologi informasi dan komunikasi. Peningkatan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetensi antar bangsa dalam peradaban dunia. Tentang Kurikulum 2013 Pada tanggal 14 Juli 2014 secara serempak Kurikulum 2013 sudah diberlakukan. kurikulum ini dalam pelaksanaan di lapangan adalah dengan menggunakan pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik merupakan pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi anak. Pembelajaran tematik berorientasi pada praktek pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa untuk melihat dan membangun konsep-konsep yang saling berkaitan. Model ini akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami masalah yang komplek di lingkungan sekitarnya dengan pandangan yang utuh. Dengan pembelajaran tematik ini diharapkan
siswa memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, menilai dan menggunakan informasi yang ada di sekitar secara lebih bermakna. Untuk mewujudkan program ini tidaklah mudah, karena tidak semua sekolah memiliki sumber daya manusia dan sarana prasarana yang memenuhi standar. Dalam kenyataannya sampai detik tulisan ini ditulis seperti yang penulis kutip di harian Kompas (11/9) bahwa ada lima persoalan utama dalam pelaksanaan kurikulum 2013. Persoalan-persoalan tersebut ialah pendistribusian buku, penggunaan dana bantuan operasional sekolah, isi buku, percetakan dan pelatihan guru. Melihat kendala-kendala di atas, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka perlu diurai satu-persatu permasalahannya, namun memerlukan waktu yang lama karena bagaimanapun juga program ini harus tetap berjalan. Sekolah dapat menggunakan fasilitas yang telah dipunyai, misalnya dengan dana yang ada, sekolah dapat mendayagunakan koleksi perpustakaan yang telah ada, juga melakukan penambahan buku-buku kurikulum 2013 dengan cara foto copy. Kepala sekolah yang telah mendapatkan pelatihan kurikulum 2013 segera memberikan pelatihan kepada bawahannya. Masalah isi buku semua pihak harus terlibat mengkoreksi isi buku, apabila ditemukan sejumlah buku yang menyimpang maka segera di tarik. Dalam penyusunan buku pelajaran tentu di era kurikulum 2013 ini lebih fleksibel karena pembelajarannya secara tematik.Terdapat beberapa karakteristik yang perlu dipahami dari pembelajaran tematik ini, yaitu: 1. Berpusat pada siswa (student centered). Hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Peran guru lebih banyak sebagai fasilitator dengan memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar. 2. Dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct experience. Dengan pengalaman langsung ini, siswa di hadapkan pada sesuatu yang nyata/konkrit sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak. 3. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas, bahkan dalam pelaksanaan di kelas-kelas awal sekolah dasar, fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa. 4. Menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian siswa dapat memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 5. Bersifat luwes/fleksibel, sebab guru dapat mengaitkan bahan ajar satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada. 6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Dengan demikian, siswa di beri kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang di milikinya. Implementasi Kurikulum 2013 Kurikulum tahun 2013 akan berhasil apabila semua pihak ikut proaktif di dalamnya. Pada gambar dibawah ini menjelaskan bahwa iklim akademik, budaya sekolah/ kampus dapat di dukung oleh manajemen dan kepemimpinan dari pihak rektor, ketua sekolah tinggi, direktur akademi ataupun kepala sekolah. Pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, mengkomunikasikan, dan sebagainya dapat didukung dari pustakawan yang membantu proses pembelajaran, penilaian guru atau dosen yang didasarkan pada proses dan hasil pekerjaan serta kemampuan peserta didik itu sendiri dalam menilai dirinya sendiri. Peserta didik dapat merasakan dan mengamati dirinya sendiri sampai dimanakah kemampuannya terhadap suatu pelajaran, sejauh manakah minat dan kemampuannya terhadap mata pelajaran atau terhadap suatu pengetahuan. Hal tersebut memicu timbulnya kesinambungan pembelajaran secara horizontal dan vertikal. Antara diri mereka sendiri dengan lingkungan sosial dan lingkungan pendukung belajar serta secara vertikal ada kesinambungan dengan pihak guru dan dosen dan pihak manajemen. Transformasi nilai akan terwujud apabila ada koreksi dari semua pihak tersebut, dari yang menjadi anak yang biasa-biasa saja menjadi anak yang luar biasa, pandai menyikapi masalah-masalah dan persoalan baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari luar. Ini yang membedakan dengan kurikulum sebelumnya. Kurikulum terdahulu yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hanya mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Untuk kurikulum 2013 ini siswa dibekali dengan kompetensi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan serta wawasan yang luas. Skema di bawah ini menjelaskan pola hubungan dari berbagai elemen. Dalam melaksanakan kurikulum ini, agar dapat berhasil maka dengan diadakan perubahan pengurangan jumlah mata pelajaran, penambahan alokasi waktu belajar maka peran pustakawan dapat memberikan pembinaan minat
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
63
Iklim akademik, budaya sekolah/ kampus,...
Sistem Nilai : Universal Nasional Lokal
Efektivitas Interaksi
Manajemen dan Kepemimpinan
Pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (Menyimak, Melihat, Membaca, Mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan mengkomunikasikan,...
Efektivitas Pemahaman
Penilaian berdasarkan proses dan hasil pekerjaan serta kemampuan menilai sendiri
Efektivitas Penyerapan
Transformasi Nilai
Kesinambungan Pembelajaran secara horisontal dan vertikal
Skema 1. Strategi Kemungkinan Efektivitas Pembelajaran baca dan dengan segala kreatifitasnya dapat mengajak siswa untuk memakai koleksi perpustakaan dengan mengajari cara menelusuri bahan-bahan tematik yang disuguhkan guru dikelas. Pengintegrasian mata pelajaran diimplementasikan betul-betul agar tercapai kesimbangan antara ilmu dan laku. Potret Perpustakaan Sekolah Sebelum Kurikulum 2013 Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bidang Perpustakaan sekolah, Pusat Pembinaan Diknas terhadap keberadaan perpustakaan sekolah, menunjukan hal-hal sebagai berikut: 1. Banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan. 2. Perpustakaan sekolah yang ada kebanyakan belum menyelenggarakan layanan secara baik, kurang membantu proses belajar mengajar, dan sering berfungsi sebagai gudang buku. 3. Ada sejumlah kecil perpustakaan sekolah yang kondisinya cukup baik, tetapi belum terintegrasi dengan kegiatan belajar mengajar. 4. Keberadaan dan kegiatan perpustakaan sekolah sangat bergantung pada sikap kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan dalam segala hal. 5. Kebanyakan perpustakaan sekolah tidak memiliki pustakawan (tenaga pengelola tetap), sering hanya dikelola oleh seorang guru yang setiap saat dapat dimutasikan. 6. Pekerjaan di perpustakaan dianggap kurang terhormat sehingga kurang disukai, dan bahkan dianggap sebagai pekerja kelas dua. Oleh karena itu, ada
64
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
perpustakaan yang pengelolanya diserahkan kepada petugas tata usaha sebagai tugas sampingan. 7. Koleksi perpustakaan sekolah umumnya tidak bermutu dan belum terarah sesuai dengan tujuannya dan silabus kurikulum. 8. Layanan perpustakaan sekolah belum dilaksanakan dengan baik karena kurangnya SDM yang terdidik dalam bidang perpustakaan. 9. Dana yang dialokasikan untuk pembinaan dan pengembangan perpustakaan sangat terbatas. 10. Banyak sekolah yang tidak mempunyai ruangan khusus untuk perpustakaan, lebih banyak menyediakan ruangan dipojok nan sempit dan bergabung dengan ruangan lain. 11. Koleksinya, banyak perpustakaan sekolah yang hanya memiliki buku paket bidang studi, yang merupakan buku ajar atau buku teks yang dipakai dalam pengajaran. 12. Sebuah survey yang dilakukan oelh Education Network Indonesia terhadap beberapa perpustakaan di pulau jawa, bali, dan Lombok menunjukkan bahwa kondisi perpustakaan sekolah lebih mirip “gudang buku” dengan gambaran sebagai berikut: • Biasanya tidak ada siswa siswi yang mengunjungi perpustakaan. • Perpustakaannya hanya buka pada jam kelas (paling tambah 15 menit). • Guru-guru tidak secara rutin menyuruh siswa-siswi dalam jam kelas ke perpustakaan untuk tugas mencari informasi dan solusi sendiri.
• Guru-guru tidak dapat meminta siswa-siswinya mencari bahan informasi diperpustakaan diluar jam kelas karena perpustakaannya tidak buka. • Guru-guru sendiri jarang mengunjungi perpustakaan dan kurang tahu isinya. • Seringkali pengelola perpustakaan adalah guru yang juga jarang ada di perpustakaan. • Secara umum pengelolanya perpustakaan tidak pernah mempromosikan perpustakaan dan berjuang untuk meningkatkan minat baca siswa secara aktif dan kreatif. • Lingkungan sekolah termasuk masyarakat kurang aktif membangun perpustakaan. Peran Penting Perpustakaan dan Pustakawan Untuk menguasai ilmu, pengetahuan dan keterampilan, seorang siswa sebaiknya tidak hanya mengandalkan materi pelajaran dari guru dan buku latihan yang dimilikinya saja. Siswa harus mencari dan mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari kedua sumber utama tersebut, terutama yang berupa sumber bacaan, baik teks maupun gambar, yang pada umumnya termuat dalam buku. Dengan akses pada sumber-sumber tersebut, seorang siswa dapat memiliki wawasan yang lebih luas dan bervariasi, bahkan diketahui bahwa anak yang memiliki sumber pengetahuan yang banyak akan lebih mudah menguasai ilmu dan keterampilan yang diberikan di kelas. Kondisi ini dikenal sebagai literasi informasi sesuai yang disebutkan oleh American Library Association (ALA) bahwa literasi informasi adalah “...a set of abilities enabling individuals to “recognize when information isneeded and have the ability to locate, evaluate, and use effectively theneeded information. (ALA, 1989) Seseorang yang memiliki kemampuan literasi informasi yang baik adalah orang yang mengetahui kapan sebuah informasi dibutuhkan dan mampu menemukan, mengevaluasi, dan secara efektif menggunakannya. Seorang siswa dalam mencari ilmu dan pengetahuan harus memiliki kemampuan ini, sehingga secara mandiri dia dapat menambah pengetahuan melalui informasi yang nantinya dapat dijadikan sebagai pengetahuan. Literasi informasi merupakan kunci sukses bagi siswa untuk meningkatkan kualitas hidupnya, meningkatkan percaya diri, mampu untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka, mampu hidup bersama di dalam masyarakat, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu memahami berbagai masalah sendiri maupun masyarakat secara umum. Ini merupakan sumbangan yang tiada ternilai harganya dari pengetahuan
yang luas yang notabene dapat diperoleh melalui perpustakaan. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab III pasal 4 ayat 5 menyebutkan pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Melihat ayat tersebut, jelas perpustakaan tempat yang sangat ideal untuk belajar membaca, menulis, dan tempat berhitung. Dengan buku-buku dan sumber informasi lainnya di perpustakaan, koleksi perpustakaan dapat dijadikan media untuk membaca, menulis, dan khusus koleksi mengenai matematika dapat dijadikan media untuk belajar berhitung. Untuk mengembalikan fungsi perpustakaan sekolah yang telah lama tidur, akibat dari kurang koordinasinya antara kurikulum, guru, murid, dan pustakawan, perlu dibangun sistem yang terintegrasi antara para pengambil kebijakan, dalam hal ini kepala sekolah, guru, murid dan pustakawan. Pemberian hadiah bisa diterapkan di sekolah. Guru dapat memberikan hadiah kepada anak didik yang berprestasi. Pemberian hadiah tidak harus dilakukan pada waktu kenaikan kelas, atau ketika anak didik menerima rapor dalam setiap semester tetapi dapat dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar. Pada kegiatan belajar mengajar, guru dapat memberikan hadiah berupa apa saja kepada anak didik yang berprestasi dalam menyelesaikan tugas, PR misalnya, benar dalam menjawab ulangan formatif, dapat pula meningkatkan kedisiplinan dalam belajar, tata tertib disekolah dan lain-lain. Pustakawan hendaknya lebih kreatif dalam menarik minat baca siswa. Pustakawan dapat mengadakan program lomba membaca cepat, lomba menulis, atau secara diam-diam melalui data yang ada, pustakawan dapat memberikan hadiah bagi pengunjung yang paling sering/rajin. Hal ini untuk memotivasi secara alami minat siswa. Hadiah dapat berupa pemberian buku tulis, pulpen, pensil, penggaris, rautan pensil, stiker, gantungan kunci, atau dalam bentuk pembelian voucher internet, dimana voucher tersebut di harapkan dapat menambah wawasan siswa dalam mengakses informasi terbaru. Hadiah tidak harus mahal, namun disesuakan dengan umur. Hadiah yang murah juga bisa diberikan kepada siswa selama tujuannya untuk menggairahkan belajar anak didik. Keampuhan hadiah sebagai alat untuk mendapatkan umpan balik dari siswa akan terasa jika penggunaanya tepat. Terlalu sering memberikan hadiah tidak dibenarkan, sebab akan menjadi kebiasaan yang kurang
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
65
menguntungkan kegiatan belajar mengajar. Dikhawatirkan siswa giat belajar atau giat berkunjung ke perpustakaan bila hasil kerjanya mendapatkan imbalan. Ada hadiah, mereka giat, apabila tidak ada hadiah mereka malas. Alangkah bijaksana jika guru atau pustakawan tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada siswa sebelum menyelesaikan tugas dengan baik atau sebelum memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang ada dengan baik. Dengan kata lain berikanlah hadiah tersebut secara spontanitas kepada anak yang berprestasi dan paling rajin berkunjung ke perpustakaan. Dengan begitu, maka dia akan merasa bangga karena hasil kerja dan kemauan mereka dihargai. Selain dengan hadiah, sebuah pujian juga dapat memotivasi siswa untuk mengunjungi perpustakaan. Pujian adalah alat motivasi yang positif. Setiap orang senang dipuji,tidak peduli tua atau muda, bahkan anakanak pun senang dipuji atas sesuatu pekerjaan yang atau prestasi yang telah dilakukan. Namun begitu, pujian harus betul-betul sesuai dengan hasil kerja dan tingkat kerajinan siswa. Jangan memuji terlalu berlebihan, pujian yang berlebihan akan terkesan sebaliknya, yaitu pujian yang dibuat-buat. Pujian yang baik adalah pujian yang keluar dari hati seorang guru atau pustakawan secara wajar dengan maksud memberikan penghargaan kepada siswa atas jerih payahnya dalam mencapai prestasi belajar yang baik. Dapat pula seorang pustakawan memberikan gerak tubuh melalui senyuman, mimik muka yang cerah tidak cemberut, acungan jempol, tepuk tangan, memberikan salam yang dapat memberikan stimulus secara mendalam kepada siswa yang berusaha selalu ingin tahu tentang segala hal dalam proses pembelajaran yang memanfaatkan perpustakaan. Jadi gerakan tubuh yang tepat dapat memberikan umpan balik kepada siswa sebagai pemustaka untuk meningkatkan minat kunjungan ke perpustakaan untuk mencari literatur bahan pelajaran siswa. Pustakawan dapat memancing anak untuk berdiskusi dengan melontarkan topik bahasan yang menarik saat ini, atau melontarkan kata-kata yang syarat pertanyaan dan penuh kontroversi. Hal ini untuk memancing agar siswa berpikir dan berpikir, membuat anak penuh pertanyaan sehingga akan memperluas wawasan dan berusaha mencari jawabannya diperpustakaan atau tempat lain yang mempunyai nilai edukasi, misalnya bertanya pada orang tuanya. Tentang satu tema yang dilontarkan seorang pustakawan misalnya pustakawan memancing anak dengan kata-kata, “buat apa kamu sekolah dik, nanti juga bakalan nganggur”. Kata-kata yang kontroversi ini akan membuat anak akan berpikir dan menjawab secara utuh runut dan sistematis dengan mencari jawaban di berbagai
66
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
sumber yang akan memperkaya wawasan dia tentang pendidikan, ekonomi, sosial yang berkaitan dengan dunia sekolah, selesai sekolah, dunia kerja, dampak kalau tidak sekolah, dampaknya kalau tidak cakap, dan seterusnya. Jadi berkunjungnya ke perpustakaan murni karena kebutuhan, bukan karena ada hadiah. Terlebih saat ini, dengan diberlakukannya kurikulum 2013 yang mengharuskan siswa aktif, kreatif dan mempunyai banyak wawasan maka pustakawan sebenarnya sedikit diuntungkan karena sudah terbentuk suatu sistem yang menggiring anak-anak untuk belajar dengan menggunakan fasilitas perpustakaan. Hendaknya pustakawan selalu mengasah kemampuan dan wawasan serta meningkatkan dalam berkomunikasi dengan guru dan para siswa agar dapat menggali keinginan-keinginan dan informasi yang diperlukan oleh mereka. Kadang-kadang karena kurang komunikasi, pustakawan tidak pandai menggali informasi maka ada pengunjung yang bingung mencari informasi oleh karena pustakawan tersebut tidak dapat mengarahkan dan membimbing dengan benar, sehingga pengunjung jadi malas mengunjungi perpustakaan. Sebagai contoh: anak-anak disuruh mencari jawaban mengapa pesawat itu bisa terbang, atau mengapa kapal laut yang begitu besar tidak tenggelam saat berlayar, karena anak-anak tidak tahu cara mencari informasi yang berhubungan dengan pelajaran tersebut, maka anak-anak mencari buku-buku kesana kemari tidak fokus pada permasalahan sehingga banyak makan waktu. Pada situasi seperti ini, pustakawan dapat menjadi fasilitator bahwa jawabannya dapat di cari di ilmu fisika. Meski hanya kulit luarnya saja, pustakawan harus tahu mengenai hal tersebut dan dapat membantu siswa menemukan koleksi yang tepat, dalam contoh ini adalah koleksi ilmu fisika, terutama hukum Bernoully. Contoh soal selanjutnya adalah Kecepatan udara besar menimbulkan tekanan udara yang kecil. Sehingga tekanan udara di bawah sayap menjadi lebih besar dari sayap pesawat bagian atas. Sehingga akan timbul gaya angkat (Lift) yang menjadikan pesawat itu bisa terbang.Atau kenapa kapal laut tidak tenggelam? Maka pustakawan yang baik akan membantu siswa mencari jawaban lewat ilmu fisika, pada kasus ini berlaku hukum Archimedes. Oleh karena itu pustakawan juga harus cerdasa dan rajin membaca untuk menambah wawasan, terutama bacaan-bacaan yang berkaitan dengan pelajaran siswa. Dengan demikian siswa akan lebih tertarik untuk berkunjung ke perpustakaan karena melihat pustakawan yang cerdas dan cepat tanggap dalam melayani para siswa. Siswa dengan sendirinya akan rajin datang ke perpustakaan. Akan lebih baik lagi bila pustakawan kreatif dalam menggali informasi-informasi yang mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan anak muda, akan lebih memicu siswa menggunakan jasa perpustakaan.
Seperti yang dikutip Meuthia Septiana (2012) dalam Darmono (2001: 182), minat baca merupakan kecenderungan jiwa yang mendorong seseorang berbuat sesuatu terhadap membaca. Minat baca ditunjukan dengan keinginan yang kuat untuk melakukan kegiatan membaca. Orang yang memiliki minat baca yang tinggi senantiasa mengisi waktu luangnya dengan membaca. Orang yang demikian denantiasa haus terhadap bahan bacaan. Minat membaca sangat berpengaruh terhadap keterampilan membaca. Membaca adalah kegiatan penerjemahan simbol atau huruf kedalam kata dan kalimat yang memiliki makna bagi seseorang. Darmono, mengungkapkan bahwa minat dan kegemaran membaca tidak dengan sendirinya dimilliki oleh seseorang, termasuk anak-anak dalam usia sekolah (2001: 184-185). Minat baca dapat tumbuh dan berkembang dengan cara dibentuk, oleh karena itu untuk mengembangkan minat baca perlu melibatkan beberapa unsur yaitu anak-anak, guru sekolah, orang tua, lingkungan masyarakat, lembaga masyarakat dan pemerintah, semua elemen tersebut harus saling bekerja sama untuk menumbuhkan minat baca terhadap anak karena dengan bekerja sama sesuatu yang sulit dicapai akan mudah didapat. Mengapa pustakawan perlu belajar banyak hal? Karena selain dalam rangka melayani pengunjung dari berbagai kalangan juga memang tuntutan profesi, pustakawan beda dengan penjaga buku. Pustakawan adalah sumber informasi. Informasi apapun harus ada di perpustakaan. Alasan tersebut menjadikan perpustakaan harus dibuat senyaman mungkin dan selengkap mungkin, agar pengunjung tidak kecewa. Mengapa? Karena sekali kecewa pengunjung akan malas datang ke perpustakaan dan akan menceritakan perlakuan dan keadaan yang tidak enak tersebut kepada teman-temannya sehingga citra perpustakaan jadi jelek. Perpustakaan sekolah dalam menyongsong kurikulum 2013 ini diharapkan dapat melakukan perubahan yang signifikan dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan lama, misalnya dari yang tadinya hanya buka setengah hari maka sekarang jam buka perpustakaan harus buka pagi sampai minimal anak pulang sekolah perpustakaan baru tutup. Tujuan umum dari kegiatan membaca adalah untuk memdapatkan informasi baru. Dan kenyataannya terdapat tujuan yang lebih khusus dari kegiatan membaca, yaitu: (a) membaca untuk tujuan kesenangan. Termasuk dalam kategori ini adalah membaca novel, surat kabar, majalah dan komik, (b) membaca untuk meningkatkan pengetahuan seperti pada membaca buku-buku pelajaran, buku ilmu pengetahuan, (c) membaca untuk melakukan suatu pekerjaan, misalnya para mekanik perlu membaca buku petunjuk, ibu-ibu membaca buku tentang resep masakan
(Darmono, 2001:183). Dengan membaca anak-anak secara perlahan telah melengkapi kekurangan yang ada pada diri mereka, baik dalam bentuk kosa kata, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya. Namun saat ini, dengan diberlakukannya penambahan jam pelajaran di sekolah maka jumlah jam buka perpustakaan harus bertambah juga. Kondisi yang diharapkan dari perpustakaan sekolah yang bagus diantaranya adalah: 1. Siswa-siswi dapat memenuhi perpustakaan untuk melakukan kegiatan belajar, menggunakan referensi untuk memecahkan masalah, dan menambah pengetahuan baru tidak hanya fokus pada buku paket kurikulum saja. 2. Guru diharapkan dapat menggunakan seluruh koleksi dan layanan perpustakaan untuk kepentingan proses belajar mengajar, baik dilakukan sendiri atau dengan menugasi siswa. Hal ini dapat dilakukan karena jam layanan perpustakaan yang panjang di atas jam sekolah 3. Guru dan pustakawan secara rutin mengadakan pertemuan dan berdiskusi di ruang perpustakaan dan mengenai koleksi dan jenis layanan yang seharusnya disediakan di perpustakaan. Pustakawan secara rutin memberi informasi mengenai koleksi dan layanan terbaru yang disajkan kepada guru. 4. Bekerja sama dengan manajemen sekolah, guru dan siswa, perpustakaan mengadakan berbagai kegiatan agar keberadaannya selalu diketahui dan menarik banyak pihak, baik dari dalam lingkungan sekolah seperti siswa,guru dan manajemen sekolahnya, maupun masyarakat luar, termasuk orang tua dan pemerintah setempat. 5. Perpustakaan bekerja sama dengan masyarakat (orang tua siswa,komunitas pecinta perpustakaan, ikatan profesi pengelola perpustakaan)membangun dan memelihara keberlangsungan perpustakaan agar selaludalam kualitas yang tinggi. 6. Perpustakaan memiliki tempat berdiskusi dengan penataan meja kursi yang dapat menumbuhkan kenyamanan siswa sehingga mereka bisa berdiskusi cukup lama yang akan merangsang kreatifitas. 7. Perpustakaan menjadi pusat informasi apapun (dari jadwal pelajaran,majalah dinding, sampai lowongan kerja) dari sekolah, dari siswa, maupun dari pihak luar. Perpustakaan sekolah dibangun bukan hanya oleh pustakawan saja, namun merupakan tanggung jawab bersama antara pustakawan, guru dan murid. Guru merupakan motor utama dan rekan uatama dalam menentukan dan memilih koleksi bahan
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
67
perpustakaan, Guru dan pustakawan berperan sebagai manajer informasi. siswa dilibatkan dalam manajemen perpustakaan sebagai sebagai salah satu komponen pengelola perpustakaan yang dapat dibuatkan jadwal piket. Setiap siswa mendapatkan jatah piket. Hal ini merupakan cara yang sudah diterapkan diperpustakaan sekolah di Negara maju yang sudah terbukti menghasilkan siswa yang sangat kreatif dalam mencari dan menggunakan informasi. Siswa yang dilibatkan dalam pengelolaan perpustakaan akan mengetahui dan paham akan masalahmasalah yang dihadapi perpustakaan. Mereka akan mempunyai kreasi dan cara–cara yang mungkin tidak diduga sebelumnya untuk mengatasi masalah yang ada perpustakaan. Disini seperti yang tersebut diatas pada akhirnya pustakawan bukan hanya sebagai penjaga buku (keeper of the books) namun sudah mengalami perluasan fungsi yaitu sebgai ahli sumber informasi (information resource specialist). Pustakawan menjadi orang yang mengetahui informasi apa yang paling diperlukan siswa dan bagaimana mendapatkannya. Dengan segala kemampuannya seorang pustakawan dapat mendidik siswa menjadi siswa yang memiliki literasi informasi, mempunyai kemampuan membaca yang bagus dan mempunyai daya analisis yang bagus terhadap suatu bacaan. Penutup Demi mensukseskan pelaksanaan kurikulum 2013, pustakawan dan pegawai perpustakaan harus lebih meningkatkan kompetensinya dalam menumbuhkan minat baca siswa dan harus lebih proaktif dan kreatif dalam menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam ranah ini yang menjadi fokus adalah murid dan guru. Untuk pustakawan dan pegawai perpustakaan lainnya dapat menggali tema
apa saja yang menjadi topik bahasan di kelas. Dalam kurikulum 2013, pustakawan dapat memainkan beberapa peran. Sebagai edukator, artinya pustakawan dapat memberikan bimbingan informasi kepada pengguna (siswa dan guru). Berperan seperti manajer artinya pustakawan dapat menjadi mediator atau penengah apabila terjadi hal hal yang tidak dikehendaki pengguna, misalnya: seorang siswa yang menggunakan fasilitas internet tidak digunakan untuk menelusuri bahan pelajaran namun dipakai mengetik atau bermain game, maka pustakawan dapat menjadi penengah dengan memberikan penjelasan kepada siswa. Pustakawan dapat juga berfungsi sebagai administrator, maka ia harus menyediakan layanan administrasi yang tertib baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain misalnya pustakawan disiplin tepat waktu dalam bekerja, dan dapat mengevaluasi program dan menganalisis sasaran mutu perpustakaan. Disamping itu pustakawan dapat pula bertindak sebagai supervisor terutama misalnya dalam pengadaan koleksi yang dibutuhkan siswa, pustakawan dapat bekerja sama dengan guru pengajar yang ada dikelas untuk menyediakan dan memfasilitasi bahan-bahan diskusi yang menunjang pelajaran tematik yang sedang dibahas untuk hari ini maupun besok, atau bahkan lusa sehingga persiapan pustakawan dalam menyediakan bahan perpustakaan untuk siswa didik lebih matang. Peran-peran strategis tersebut tidak ditemukan pada era sebelum kurikulum 2013 diberlakukan. Mengingat sekarang kurikulum 2013 sudah berjalan, maka peran pustakawan jangan sampai tidak maksimal , jangan sampai disia-siakan peran tersebut karena kalau hal itu disia-siakan maka gaung bahwa pustakawan merupakan profesi mulia yang mencerdaskan kehidupan anak bangsa hanya akan menjadi slogan semata.
daftarpustaka Darmono. ( 2001). Manajemen Dan Tata Kerja Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Hernawan, Asep Herry . (2014) Pengembangan model pembelajaran Tematik di kelas awal sekolah dasar, Bandung. Diambil pada 17 September 2014 dari http:// file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._ PENDIDIKAN/196202071987031ASEP_HERRY_HERNAWAN/ Karya_Ilmiah/MODEL_PEMBELAJARAN_TEMATIK- Seminar_ Kuningan.pdfmohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
68
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Meuthia Septiana, Marlini. (2012). Optimalisasi Penerapan Literasi Informasi Di Perpustakaan Sma Negeri 1 Padang. Padang. Diambil dari (http://download.portalgaruda.org/article.php?a rticle=24650&val=1516&title) Rusmana, Agus. (2008). Membangun dan mengelola Perpustakaan Sekolah yang ideal. Jatinangormohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung Suprapto, Bonaventura. (2014). Tahun ajaran , kurikulum, dan seragam baru. Jakarta: Jawa Pos,mohon disertakan di dalam tulisan, kutipan yang diambil dari sumber ini, baik kutipan langsung maupun tidak langsung
Oleh: Ikhwan Arif1 Email:
[email protected]
Membangun Palapa di Gadjah Mada: Strategi Integrasi Sistem Informasi Perpustakaan (SIP) Universitas Gadjah Mada Abstrak Permasalahan rumit yang dihadapi Perpustakaan Universitas Gadjah Mada adalah adanya tantangan untuk mengintegrasikan sistem informasi perpustakaan (SIP) yang digunakan di berbagai perpustakaan di UGM. Berdasarkan pengalaman kompleksitas permasalahan yang dijumpai tidak bertumpu pada aspek teknis saja namun lebih menonjol pada aspek bersifat non-teknis. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan strategi yang dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu model strategi integrasi yang dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di UGM. Metode penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan semua data/informasi di lapangan berdasarakan fakta-fakta yang dijumpai seperti apa adanya. Dalam penelitian ini dihasilkan skema integrasi yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan prioritas saat ini. Kata kunci: Integrasi sistem informasi, otomasi perpustakaan, layanan perpustakaan terpadu.
Pendahuluan Penerapan sistem informasi berbasis komputer atau sering disebut dengan otomasi perpustakaan telah banyak memberi manfaat pada terwujudnya efisisiensi dan efektifitas kerja di berbagai perpustakaan di UGM, namun demikian sistem informasi yang berjalan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri sehingga tanpa disadari menciptakan pulau-pulau informasi di berbagai tempat (perpustakaan) di UGM. Permasalahan tersebut kini menjadi persoalan sendiri mengingat adanya peningkatan permintaan informasi yang berasal dari berbagai sumber. Adanya persoalan tersebut secara tidak langsung menuntut agar antar perpustakaan di UGM mampu berkolaborasi melakukan sharing informasi dari berbagai perpustakaan yang bermuara pada adanya
1
integrasi SIP. Hal ini berarti bahwa sistem informasi yang digunakan di berbagai perpustakaan di UGM diupayakan untuk dapat diintegrasikan. Terkait dengan integrasi sistem informasi di UGM, pengalaman membuktikan bahwa proses integrasi bukanlah perkara yang sederhana untuk dilakukan seperti halnya membalik tangan. Dari pengalaman membuktikan bahwa lamanya proses dan sering kandasnya usaha integrasi yang pernah dilakukan oleh Perpustakaan UGM menunjukan adanya kompleksitas permasalahan yang ada. Persoalannya tidak sekedar hanya bertumpu pada bidang teknis namun lebih didominasi oleh permasalahan non-teknis.
Pustakawan Perpustakaan Hukum UGM
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
69
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut diperlukan cara atau metodologi yang mampu menjawab berbagai kendala baik bersifat teknis dan non-teknis. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah strategi apa yang digunakan melakukan integrasi SIP di UGM? Integrasi Sistem Informasi Pesatnya perkembangan teknologi informasi serta tuntutan era globalisasi telah mendorong berbagai instansi dan organisasi untuk melakukan kolaborasi, salah satunya dengan melakukan integrasi sistem informasi yang dimiliki dengan organisasi lain yang sejenis seperti bidang perbankan. Menurut Ditjen Aplikasi Informatika Depkominfo latar belakang integrasi sistem informasi dari beberapa instansi atau unit kerja antara lain adalah: • Adanya kebutuhan konstituen untuk bekerja sama antar instansi
1
2
Exploit Local Capabilities
Conduct Soft Integration
3 Share Common Resources
• Terjadinya pengolahan data antar unit kerja yang membutuhkan proses pertukaran data dengan Sistem Informasi yang lain. Model integrasi sistem informasi telah memberikan banyak manfaat namun demikian untuk bisa melakukan hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena banyak permasalahan yang muncul dalam kaitanya memulai integrasi. Menurut Indrajit (2006) permasalahan berkaitan dengan integrasi sistem informasi adalah sebagai berikut: • Ego sektoral organisasi yang sangat tinggi sehingga menutup kemungkinan untuk mau diatur; • Anggapan bahwa sistem informasi merekalah yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki oleh pihakpihak mitra lainnya; • Konteks kepentingan yang berbeda pada setiap organisasi sehingga sulit dicari titik temu yang memungkinkan untuk melakukan integrasi secara cepat; • Berebutan untuk menjadi pimpinan tim integrasi dalam sebuah konsorsium kerja sama; • Ketidakinginan untuk saling membagi data, informasi, maupun pengetahuan yang dimiliki karena akan
70
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
dianggap mengurangi keunggulan kompetitif individu maupun organisasi; • Ketidaktahuan harus memulai usaha integrasi dari mana sehingga kondusif untuk dilakukan sejumlah pihak terkait; dan lain sebagainya. Strategi Integrasi Sistem Informasi Menurut Indrajit strategi integrasi diartikan sebagai metodologi penyelesaian berbagai kendala teknis maupun non-teknis yang disusun dalam beberapa tahapan disesuaikan dengan tingkat perkembangan proyek integrasi. Adapun tahapan integrasi menurut Indrajit berdasarkan teori evolusi standar yang diperkenalkan oleh seorang guru besar dari Massachusetts Institute of Technology adalah suatu rangkaian strategi yang beragam, yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan proyek integrasi, seperti ditunjukan dalam Gambar 1 berikut.
4
5
6
Redesign Process Architecture
Optimise Network Infrastructure
Transform Organisation Landscape
Gambar 1 Evolusi Strategi Integrasi( Indrajit, 2006) Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan data atau kejadian yang terjadi dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif. Nawawi (2007) mendifinisikan metode ini sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau mendiskripsikan keadaan obyek/ subjek penelitian pada berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui analisis dokumen, wawancara dan observasi yang dilakukan di 17 perpustakaan di UGM. Perkembangan Otomasi Perpustakaan di UGM Era 90-an Pemikiran dilakukannya integrasi SIP di UGM telah dimulai pada era 90-an dimana Perpustakaan Pusat UGM mempopulerkan dan mensosialisasikan dalam
bentuk pelatihan dan kursus penggunaan aplikasi database dari UNESCO yaitu CDS/ISIS untuk membangun database elektronik untuk pengelolaan data katalog bahan pustaka perpustakaan. Pada era tersebut CDS/ISIS menjadi software pioner di kalangan perpustakaan karena banyak memiliki keunggulan seperti dalam kemudahan dalam mendapatkannya, instalasi dan penggunaanya. Dalam CDS/ISIS terdapat fitur ekspor – impor data yang memudahkan berbagai perpustakaan melakukan pertukaran data atau penggabungan data. Semua fitur yang dimiliki software ini mudah untuk diimplementasikan di perpustakaan untuk mengelola berbagai kegiatan administrasi dan pengolahan data seperti buku, penelitian, majalah jurnal dan lain sebagainya. Sejak banyaknya perpustakaan yang menggunakan software ini maka pemikiran untuk melakukan integrasi data perpustakaan telah dipikirkan untuk dilakukan. Pada saat itu sistem integrasi menggunakan model penggabungan data menggunakan fitur ekspor impor data yang dilakukan secara manual dari berbagai perpustakaan di UGM. Era 2000-an Pada era ini Perpustakaan UGM mulai mengembangkan sistem otomasi perpustakaan yang menghasilkan suatu aplikasi otomasi perpustakaan yang dinamai dengan SIPUS 2000. Walaupun masih sederhana dan banyak kekurangan namun software tersebut telah mampu mengkonversi data dari CDS/ ISIS dan mampu mengotomasikan berbagai pekerjaan yang sebelumnya masih dilakukan secara manual seperti sistem pengelolaan anggota dan sirkulasi buku. Adanya software tersebut telah banyak membantu perpustakaan dalam pengelolaan data anggota, koleksi, sirkulasi buku, denda dan lain sebagainya sebelumnya dilakukan secara manual dan terpisah. Keberhasilan Perpustakaan Pusat UGM mengembangkan dan mengaplikasikan SIPUS 2000 kemudian diikuti oleh berbagai perpustakaan fakultas di lingkungan UGM baik yang menggunakan sistem yang sama maupun mengembangkan sistem sejenis seperti di di Fakultas Sospol, Kedokteran dan Ekonomi. Seiring perkembangan waktu software Sipus 2000 lah yang paling banyak digunakan oleh berbagai perpustakaan di UGM dan selanjutnya dijadikan software standar data untuk sistem otomasi perpustakaan di UGM. Latar Belakang Integrasi Di era tahun 2000-an implementasi otomasi di berbagai perpustakaan di UGM sangat marak dan tidak terkendali pengembangannya, masing-masing perpustakaan di UGM seolah berlomba untuk dapat mengaplikasikan sistem otomasi dengan menggunakan sistem mereka sendiri maupun menggunakan sistem
dari Perpustakaan Pusat UGM (SIPUS 2000). Kondisi pengaplikasian sistem otomasi perpustakaan menjadi tidak terkendali sehingga memunculkan pulau-pulau informasi di UGM. Masing-masing sistem di berbagai perpustakaan tidak terkoneksi dan berkembang sendirisendiri. Keadaan tersebut telah menyulitkan pihak eksekutif dalam pengembangan sistem perpustakaan maupun para pemustaka untuk mendapatkan layanan optimal dari berbagai fakultas yang ada di UGM. Kondisi ini melatarbelakangi pemikiran untuk diadakannya sistem informasi perpustakaan yang terintegrasi di UGM. Secara umum maka alasan integrasi SIP di UGM adalah sebagai berikut: 1. Memberikan kemudahan bagi pengelola dan pemustaka (pengguna) dalam memperoleh akses informasi dan layanan di semua perpustakaan di UGM. 2. Terjadinya pengolahan data antar sistem informasi tiap perpustakaan di UGM yang saling terkait 3. Memberikan nilai lebih bagi keberadaan perpustakaan di UGM. 4. Membangun sistem informasi eksekutif yang lebih baik. Guna mewujudkan harapan yang dimaksud maka target atau capaian bentuk integrasi sistem informasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Terbentuknya Portal Perpustakaan Terpadu (PALAPA) guna memudahkan pengguna dalam mengakses informasi dari berbagai perpustakaan. 2. Terbentuknya sistem informasi perpustakaan yang terpadu yang mendukung sistem pengelolaan keanggotaan, koleksi dan sirkulasi bahan pustaka sehingga terwujud sistem layanan perpustakaan yang terpadu dan terbuka. 3. Terbentuknya sistem informasi yang mendukung Sistem Informasi Eksekutif (SIE) bagi pimpinan Perpustakaan dan Universitas. Tujuan Integrasi Sistem Adanya integrasi sistem informasi perpustakaan di UGM diharapkan membawa banyak keuntungan, antara lain sebagai berikut: 1. Menciptakan sebuah proses bisnis perpustakaan yang terintegrasi meliputi database, aplikasi, dan networking yang mampu menyajikan informasi yang up to date. 2. Memberikan dukungan dalam penyediaan data dan informasi ekslusif ke semua perpustakaan yang terkait dan dapat digunakan untuk monitoring operasional, analisis kondisi perpustakaan baik sekarang atau di masa mendatang untuk membantu mengambil keputusan.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
71
3. Menggabungkan Sistem Informasi Perpustakaan yang tadinya terpisah dengan tujuan sebuah sumber daya informasi yang lebih komplit dan menyeluruh bagi sebuah perpustakaan yang tergabung dalam sistem terintegrasi. Kendala-kendala Integrasi Usaha integrasi SIP di UGM telah lama dilakukan namun demikian masih belum teratasinya kendala yang ada menyebabkan usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Adapun kendala-kendala yang ditemui dalam proses integrasi adalah sebagai berikut: Kendala Teknis 1. Bugs Aplikasi Walaupun Perpustakaan UGM telah mewajibkan aplikasi (software) SIPUS dijadikan aplikasi standar untuk otomasi perpustakaan namun demikian tidak semua perpustakaan menggunakan sotware ini dan memilih mengembangkan atau membeli software otomasi sendiri dengan alasan masih banyaknya kesalahan SIPUS (bugs software) dan tidak semua kebutuhan perpustakaan di fakultas dapat dipenuhi oleh software ini. Beberapa kesalahan atau kekurangan fitur dalam SIPUS adalah: 1. Kesalahan dalam perhitungan jumlah judul dengan eksemplar. 2. Penghitungan denda yang tidak fleksibel terhadap perubahan waktu. 3. Data tidak standar sehingga tidak mendukung sistem pertukaran data. 4. Tidak bisa dijalankan dengan semua browser. 2. Beragamnya Aplikasi Otomasi Meskipun sudah ada teknologi yang dapat mengintegrasikan berbagai perbedaan software menjadi suatu sistem yang terintegrasi namun demikian hingga sekarang sistem yang ada belum mampu mengintegrasikan keragaman SIP di UGM. Adapun ragam software otomasi di berbagai perpustakaan di UGM ditunjukan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Ragam Aplikasi No.
Aplikasi & Perpustakaan
Jumlah Perpustakan
1
Ibra (Fisipol & Kehutanan)
2
2
Open Biblio (Peternakan)
1
3
Rotasi (Kedokteran)
1
4
Sintesis (Ekonomi)
1
5
Sipus V3 & 4 (Hukum, Pertanian, Pusat dll)
12
Jumlah
17
72
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Kendala Non- teknis Beberapa usaha integrasi telah lama dilakukan namun demikian usaha tersebut sering kandas karena dominanya kendala non-teknis yang muncul. Kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Ego Sektoral Adanya konteks kepentingan yang berbeda di setiap perpustakaan sehingga sulit dicari titik temunya, beberapa alasan yang muncul adalah sebagai berikut: a. Beberapa perpustakaan menganggap sistem mereka lebih baik dari yang lainya. b. Beberapa perpustakaan menganggap bahwa sistem yang mereka gunakan sudah sesuai dengan kebutuhan mereka sehingga tidak perlu digantikan dengan sistem lainya. c. Enggan untuk berbagi data/ informasi dengan pihak lain; d. Adanya kekhawatiran dalam keamanan data. 2. Keterbatasan SDM dalam Bidang TI Sedikitnya jumlah perpustakaan di UGM yang mampu mengelola sistem informasi mereka secara mandiri. Keterbatasan SDM dalam bidang teknologi informasi telah menimbulkan ketergantungan kepada pihak lain. Kondisi seperti ini menyebabkan lambatnya penanganan dalam menghadapi berbagai permasalahan teknis yang muncul karena harus menunggu campur tangan pihak di luar perpustakaan. 3. Tidak Adanya Blueprint Implementasi SIP Tidak adanya kerangka kerja terperinci (arsitektur) sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkahlangkah atau implementasi yang harus dilaksanakan oleh setiap unit di lingkungan perpustakaan di UGM yang menyebabkan lemahnya koordinasi antar perpustakaan di UGM yang memicu disintegrasi informasi di berbagai perpustakaan di UGM sehingga menyulitkan dalam proses integrasi SIP. Rancangan Strategi Integrasi Integrasi SIP di UGM merupakan suatu proses kegiatan yang berskala besar dan memiliki tingkat kompleksitas permasalahan yang tinggi karena banyaknya permasalahan baik teknis maupun non-teknis yang harus diselesaikan, sehingga memerlukan upaya besar untuk melakukan serangkaian kegiatan secara paralel dalam waktu yang telah ditetapkan. Secara umum kegiatan integrasi ini dapat dikelompokan dalam dua kegiatan, yaitu kegiatan teknis (terkait dengan
pekerjaan pengembangan sistem) dan kegiatan non– teknis (terkait dengan proses bisnis, kerjasama, kolaborasi, kesepakatan antar perpustakaan dan lainya). Strategi integrasi SIP di UGM dilakukan secara bertahap dengan mendasarkan pada skala prioritas pada kebutuhan pengguna dan peluang keberhasilan yang segera bisa dicapai. Skema strategi integrasi SIP UGM yang dimaksudkan dapat dilihat dalam Gambar 2 berikut
integrassi SIP b. Terbentukanya Tim Integrasi c. Terbentuknya Portal Perpustakaan Terpadu (PALAPA) d. Terbentuknya sistem informasi terpadu 2. Tahap implementasi. Pada tahapan dilakukan uji coba yang meliputi pelatihan bagi pengelola perpustakaan fakultas,
Proses
Tim Integrasi
Cakupan
Kolaborasi Antar Perpustakaan
Luaran
Skema Tahapan Integrasi Sistem informasi Perpustakaan di UGM
Reengineering Pengembangan SIPUS & Integrator
SIPUS BARU & Portal Perpustakaan Terpadu (PALAPA)
Semua Perpustakaan
Implementasi 1
Implementasi 2
Testing System
Training, Instalasi SIPUS & PALAPA
Training SIPUS & PALAPA
SIPUS & PALAPA
Integrasi Katalog
Integrasi Sistem Informasi & Layanan
12 Perpustakaan
Klaster Sosial Humaniora
17 Perpustakaan Semua Perpustakaan
Klaster Agro Fauna Klaster-klaster lain Semua Perpustakaan
Gambar 2 Skema Strategi Integrasi
Tahapan Integrasi Skema strategi integrasi SIP dibagi dalam 2 (dua) tahapan yakni tahap pengembangan dan tahap implementasi. Adapun tahapan-tahapan integrasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap pengembangan. Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan untuk mendukung kebutuhan integrasi baik bersifat teknis maupun non-teknis dimulai dari pembuatan cetak biru (blueprint) berupa kerangka kerja terperinci (arsitektur) sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan integrasi SIP di UGM yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus kegiatan serta langkah-langkah atau implementasi yang harus dilaksanakan oleh setiap unit yang terlibat dalam proses integrasi SIP. Adapun luaran dari tahapan ini adalah: a. Kesepakatan antar perpustakaan untuk melakukan
melakukan instalasi aplikasi SIPUS yang baru dengan mempertimbangkan pada skala prioritas. Adapun luaran dari tahapan ini adalah : a. Adanya sistem katalog online terpadu dari berbagai perpustakaan fakultas. b. Tersedianya sistem layanan (sirkulasi) perpustakaan yang sama dan terbuka bagi semua sivitas akademika di UGM. c. Sistem Informasi Eksekutif UGM. Prioritas Integrasi SIP Prioritas Integrasi disusun dengan mempertimbangkan berbagai seperti berikut: • Tingkat kebutuhan integrasi yang bisa dilakukan • Kesiapan sumberdaya perpustakaan dalam melakukan integrasi SIP • Keterkaitan antar bidang perpustakaan dan lain-lain. Dari pertimbangan di atas maka prioritas integrasi
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
73
disusun sebagai berikut: 1. Terbentuknya (software) Integrasi Data Koleksi/katalog dalam sebuah portal perpustakaan integrasi data dengan prioritas seperti berikut: • Prioritas atau Tahap Pertama adalah perpustakaan yang telah menggunakan SIPUS sebelumnya ada 12 unit. • Prioritas atau Tahap Kedua adalah perpustakaan yang belum menggunakan SIPUS sebelumnya ada 5 unit. 2. Terbentuknya (software) Sistem Informasi Terpadu yang mengelola keanggotaan, layanan (sirkulasi buku), pengadaan dan pengolahan bahan pustaka dan kegiatan teknis administrasi lain di perpustakaan. Adapun prioritas pelaksanaan dari sistem ini adalah sebagai berikut: • Pertama adalah perpustakaan yang telah menggunakan SIPUS sebelumnya sebanyak 12 unit perpustakaan. • Kedua adalah perpustakaan yang belum menggunakan SIPUS sebelumnya sebanyak 5 unit perpustakaan. 3. Terbentuknya sistem layanan perpustakaan yang terbuka. • Klaster Agro-Fauna meliputi Fak. Pertanian, Fak. Teknik Pertanian, Fak. Peternakan, Fak Perikanan
dan Fak. Kedokteran Hewan. • Klaster Sosial Humaniora seperti Fak. Hukum, Fak. Psikologi, Fak. Isipol, Fak. Psikologi, Fak. Kebudayaan dan Sastra. • Klaster Kesehatan : Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Farmasi, Biologi dan lainya hingga semua perpustakaan. Kesimpulan Dari penelitian diperoleh skema integrasi SIP di UGM yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas. Adapun hasil integrasi SIP adalah: 1. Terbentuknya Sistem Informasi Terpadu baik itu berupa Portal Perpustakaan Terpadu (PALAPA) maupun sistem informasi layanan (sirkulasi) dan pengolahan data (anggota dan bahan pustaka), denda dan lain sebagainya yang terpadu. 2. Terbentuknya sistem yang mampu mengintegrasikan sistem layanan (sirkulasi buku), pengadaan dan pengolahan, serta keanggotaan sehingga meminimalisasi ada ego sektoral antar perpustakaan fakultas. 3. Nilai lebih dari Perpustakaan sebagai lembaga/unit universitas dalam rangka maksimalisasi perannya sebagai lembaga layanan publik dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
daftarpustaka Departemen Komunikasi dan Informatika. (2008). Kerangka acuan dan pedoman interoperabilitas sistem informasi pemerintahan.
Nawawi, H. (2007). Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hak, Ade Abdul. (2009). Rencana Strategis dan Standar Cobit Untuk Sistem Informasi Perpustakaan. http://abdulhak. multiply.com/journal/item/7, Akses 10 Januari 2010.
Nugroho, Lukito Edi. (2010). Enterprise Computing:Integrasi Sistem-Sistem Informasi. www.mti.ugm.ac.id/~lukito/E.../ESEnterprise%20 Computing.ppt. Akses 18 Maret 2010.
Henriyadi. (2008). Data Center dan Implementasinya Pada Perpustakaan. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 17, Nomor 2.
Nugroho, Lukito Edi. (2009). Pemanfaatan Teknologi Informasi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Prajnya Media.
Republik Indonesia. (2008). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK,01/2008 Tentang Pedoman dan Pentahapan Dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia National Single Window.
Nugroho, Lukito Edi. (2010). Perpustakaan Terbuka. Magister Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada. http://mti.ugm. ac.id/~lukito/CommService/ Perpustakaan%20Terbuka.ppt. Akses 18 Maret 2010.
Indrajit, Richardus Eko. (2006). Evolusi Strategi Integrasi Informasi Ragam Institusi. Kiat Memecahkan Permasalahan Politis dalam Kerangka Manajemen Perubahan. Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia.
Sandoe. (2001). Kent Sandoe,Gail Corbitt, Raymond Boykin ”Enterprise Integration” John Wiley & Sons,Inc,2001.
74
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
Oleh: Lies Suliestyowati1 Email:
[email protected]
Naskah Kuno Sebagai Warisan Budaya Bangsa
(Naskah Kuno Digital di Frankfurt Book Fair 2015) Pendahuluan Naskah Kuno dapat berbicara banyak hal, diantaranya filsafat, kesenian, arsitektur, serta kepemimpinan. Naskah Kuno merupakan salah satu benda cagar budaya bernilai penting dalam perkembangan sejarah Nusantara. Naskah Kuno terdiri dari beragam bahasa dan aksara serta banyak membahas mengenai kesusastraan, agama, hukum, adat istiadat, obat-obatan bahkan teknik arsitektur. Di Indonesia, Naskah Kuno sangat berkaitan dengan istana atau keraton. Istana/keraton memegang peran sentral sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan di berbagai kerajaan Nusantara seperti Riau, Aceh, Palembang, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Buton dan Bima. Informasi terkait warisan budaya bangsa dalam Naskah Kuno, kini secara mudah dapat diakses melalui internet. Kandungan informasi dalam Naskah Kuno yang bersifat universal dan tidak lekang dimakan zaman seperti makna kepemimpinan, sejarah, arsitektur, seni dan budaya, adat istiadat berbagai daerah, kuliner bahkan pangan dan obat herbal (jamu) yang telah ditulis keberadaannya sejak dahulu, kini secara mudah dapat di akses melalui internet baik melalui situs yang dikelola penyedia informasi di Indonesia maupun di mancanegara. Mencermati artikel mengenai “Perpustakaan Nasional dan Presentasi Digital untuk Frankfurt Book Fair 2015”, dimana Indonesia menjadi Guest of Honour, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Naskah Kuno di Indonesia yang dapat diakses secara digital. Pada presentasi di Goethe Institute, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan jasa Informasi - Perpustakaan Nasional (selanjutnya disebut Perpusnas), Ibu Welmin Sunyi Ariningsih menjelaskan bahwa Indonesia akan menampilkan Naskah Kuno: Babad
1
Diponegoro, Negarakertagama, dan La Galigo, yang sudah masuk dalam Memory of The World UNESCO. Apakah sebenarnya isi dari ketiga Naskah Kuno tersebut di atas, bagaimanakah Perpustakaan Nasional mengelola Naskah Kuno dan 6 Center of Excellence di Indonesia, serta akses Naskah Kuno secara digital? Apakah yang ingin dilihat masyarakat dunia mengenai Indonesia, di Frankfurt Book Fair 2015? Makalah ini lebih lanjut akan membahas sekilas mengenai hal tersebut di atas. Naskah Kuno Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 (PP No. 24 tahun 2014), yang merupakan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007, naskah Kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur paling rendah 50 tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan PP No. 24 tahun 2014, perhatian pemerintah terhadap pelestarian Naskah Kuno, diatur pada Bab II mengenai Pendaftaran Naskah Kuno, pasal 2 menjelaskan bahwa masyarakat wajib mendaftarkan Naskah Kuno yang dimiliki ke Perpustakaan Nasional. Pendaftaran Naskah Kuno dilakukan dalam rangka inventarisasi untuk kepentingan penyimpanan, perawatan, pelestarian dan pemanfaatannya. Pada Bab III yang mengatur mengenai penghargaan Naskah Kuno, diantaranya disebutkan bahwa masyarakat yang berjasa menyimpan, merawat, dan melestarikan Naskah Kuno yang dimiliki serta mendaftarkannya berhak mendapat
Pustakawan Madya pada Bidang Perpustakaan, PDIS-BPPT
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
75
penghargaan. Penghargaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat berupa piagam dan/atau bantuan biaya pemeliharaan. Dengan diberlakukan PP No. 24 tahun 2014 tersebut di atas, konservasi dan pelestarian Naskah Kuno Nusantara, menjadi urusan wajib pemerintah. Naskah Kuno Melayu yang merupakan peninggalan Kerajaan Melayu di Pulau Penyengat Inderasakti, Kepulauan Riau, yang berisi kitab syair Melayu, AlQuran berbahasa Melayu, kitab adat istiadat, hingga surat titah Raja-Raja Melayu tempo dulu, banyak menjadi buruan peneliti asing. Kolektor menaksir harga jual di pasar gelap internasional mencapai miliaran rupiah. Sedikitnya 50 negara termasuk Malaysia, sudah mengoleksi naskah kerajaan Melayu. Upaya menyelamatkan Naskah Kuno tersebut di atas, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Perpusnas, Badan Perpustakaan Daerah dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara. Menurut data yang dimiliki Perpusnas, saat ini terdapat 9.000 Naskah Kuno yang disimpan oleh Perpusnas. Diperkirakan masih ada sekitar satu juta naskah yang belum terdata. Naskah Kuno tidak boleh difotokopi karena kertasnya tua sehingga rentan rusak. Oleh karena itu Perpusnas mengalihmediakan ke bentuk digital. Bentuk digital dari Naskah kuno yang boleh difotokopi dan dicetak. Dari jumlah 9.000 naskah yang terdapat di Perpusnas, 50% diantaranya sudah didigitalisasi. Kepala Perpusnas menargetkan di tahun 2017 mendatang, seluruh Naskah Kuno yang ada sudah dialihkan ke dalam bentuk digital. (Warta, 2013). Pelestarian Warisan Digital Pelestarian warisan budaya berbentuk digital, termasuk informasi digital, menjadi perhatian utama UNESCO. Pelestarian digital merupakan rangkaian proses yang ditujukan untuk menjamin bahan digital dapat terus diakses. Agar informasi yang telah dilestarikan tetap dapat diakses oeh masyarakat, diperlukan piranti lunak maupun peralatan komputer yang tepat. (Agus Permadi dalam Alma Swan, 2013). Piagam Pelestarian Warisan Digital (2003) UNESCO menyatakan bahwa: Tujuan melestarikan warisan digital adalah untuk menjamin warisan tersebut dapat terus diakses oleh masyarakat. Karena itu, akses ke bahan warisan digital, khususnya yang merupakan milik umum, harus bebas dari pembatasan yang alasannya sulit diterima. Namun informasi yang bersifat rahasia dan pribadi harus dilindungi dari segala bentuk penyusupan. Program Ingatan dunia (Memory of the World) UNESCO ditujukan untuk melestarikan warisan dokumenter dunia dengan membuatnya dapat terus diakses oleh semua
76
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
orang tanpa hambatan. Misi program ingatan dunia (Memory of the World) adalah: • memudahkan pelestarian warisan dokumenter dunia dengan menggunakan teknik yang paling tepat • membantu akses ke warisan dokumenter oleh masyarakat dunia • meningkatkan kepedulian dunia akan adanya dan pentingnya warisan dokumenter. Perpusnas di era digital (e-Library) & Portal Web Pusaka Indonesia (PI) Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003 mengamanatkan perlunya sosialisasi kepada semua kalangan agar tumbuh kesadaran bersama untuk memelihara kekayaan pusaka bangsa dalam dimensi alam, budaya, dan saujana (kombinasi alam dan budaya). Pusaka alam adalah bentukan alam yang khas dan istimewa di seluruh wilayah Indonesia. Pusaka budaya hasil cipta, rasa, karsa yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di tanah Air. Adapun pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu di wilayah Indonesia. Dimensi pusaka budaya bisa berwuud bisa tak berwujud. Yang berwujud diantaranya berupa bangunan yang mencerminkan peradaban bangsa masa silam. Adapun yang tak berwujud antara lain kearifan-kearifan lokal. (Joko Santoso, 2012) Mengacu isi Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, perpustakaan Nasional RI melaksanakan pelestarian dan pengelolan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan berbagai bahan perpustakaan dan media. Perpustakaan Nasional RI bekerjasama dengan sejumlah perpustakaan daerah mengembangkan portal web Pusaka Indonesia dengan memberikan insentif pengembangan local content pusaka berupa perangkat keras dan lunak pemrosesan bahan multimedia dan pelatihan. Di samping itu Perpustakaan Nasional RI mendorong daerah-daerah untuk membangun Center of Excellence budaya lokal sesuai wilayah masing-masing. Jumlah konten digital berupa buku, foto, audio, video yang menggambarkan kekayaan budaya lokal seluruh Nusantara dapat diakses sejumlah lebih dari 15.000 file. Portal web Pusaka Indonesia dapat diakses di http://pdni.pnri.go.id/default.aspx. Terkait dengan pengembangan Portal Web Pusaka Indonesia, Perpustakaan Nasional RI secara khusus membangun Center of Excellence Layanan Perpustakaan Berbasis Muatan budaya lokal di 6 wilayah (Joko Santoso, 2012). Center of Excellence Layanan Perpustakaan Berbasis Muatan Budaya Lokal ialah perpustakaan yang menerapkan standar kinerja yang tinggi dalam penyelenggaraan layanan
perpustakaan dan informasi untuk memenuhi kebutuhan pemustaka akan informasi tentang budaya masyarakat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sasaran Center of Excellence layanan perpustakaan Berbasis Muatan Budaya Lokal adalah terwujudnya 6 (enam) perpustakaan daerah mitra Perpusnas yang mampu menyelenggarakan layanan perpustakaan dan informasi tentang budaya masyarakat yang ada di wilayah yang telah ditetapkan di Indonesia. Kegiatan Center of Excellence layanan perpustakaan berbasis Muatan Budaya Lokal yang telah dilakukan sejak tahun 2012 adalah pemberian bantuan kepada perpustakaan yang ditetapkan agar dapat mencapai standar minimal sebagai Center of Excellence layanan Perpustakan dan Informasi bermuatan budaya lokal sebagai berikut: • Penyediaan sejumlah bahan perpustakaan dan informasi Center of Excellence budaya Lokal • Pengolahan sejumlah bahan perpustakaan dan informasi Center of Excellence budaya lokal • layanan dan akses ke Center of Excellence ke seluruh bahan perpustakaan dan informasi budaya lokal • Preservasi bahan perpustakaan dan informasi Center of Excellence budaya lokal berupa 1 paket lengkap minilab preservasi bahan pustaka. Badan Perpustakaan Daerah Mitra sebagai Center of Excellence layanan Perpustakaan berbasis Muatan Budaya Lokal yaitu: 1. Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Propinsi Riau Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya Melayu dan budaya masyarakat lainnya yang ada di wilayah provinsi-provinsi yang ada di pulau Sumatera. 2. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Propinsi DI Yogyakarta Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya masyarakat yang ada di wilayah propinsi-propinsi dari daerah istimewa pulau Jawa. 3. Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Kalimantan Timur Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya masyarakat yang ada di pulau Kalimantan dan pulaupulau sekitarnya 4. Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Sulawesi Selatan Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya masyarakat yang ada di wilayah propinsi-propinsi yang ada di pulau dan kepulauan Sulawesi.
5. Badan Perpustakaan dan Arsip Propinsi Bali Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya masyarakat yang ada di Bali dan pulau-pulau di wilayah Propinsi Bali dan propinsi Nusa Tenggara Barat 6. Badan Perpustakaan dan Arsip Propinsi Nusa Tenggara Timur Lingkup Budaya Lokal yang dikelola adalah budaya masyarakat Melanesia dan Austronesia yang ada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Propinsi Maluku, Propinsi Maluku Utara, Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015 Frankfurt Book Fair (FBF) bukan hanya mengenai buku, tetapi konten. Jadi mari jangan lupakan aspek digitalnya. Pameran buku adalah soal konten, bukan pohon-pohon yang mati ditebang untuk bahan kertas. Kalimat tersebut adalah slogan dari Frankfurt Book Fair 2015. Di luar buku dalam format tradisionalnya, ada penerbitan digital, buku audio, crossmedia, storrytelling, format interaktif (untuk iPad) dan aplikasi layanan baru untuk pembaca. (Nadine Freischlad, 2013). Situs/website FBF 2015 akan menggambarkan apa yang diharapkan dunia khususnya Jerman mengenai Indonesia yang telah ditunjuk sebagai Guest of Honour 2015 (Negara peserta kehormatan). Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, dengan tradisi lisannya yang terkenal, inovasi digital, akan menghadirkan literatur mengenai seni, budaya, Indonesian Heritage, buku-buku pendidikan, buku anak, informasi mengenai perkembangan riset dan teknologi di Indonesia. Sedangkan instansi yang akan mewakili Indonesia dalam FBF 2015 adalah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional RI, Kementrian Riset dan Teknologi, The Habibie Center, Yayasan Lontar, Griya Sastra Budaya, beberapa anggota IKAPI dan Yayasan Obor. Bahkan konon Presiden Ke-3 R.I. Prof. DR. B.J. Habibie akan hadir dan menyampaikan Keynotes Speaker serta mempromosikan buku karyanya yang telah difilmkan “ Ainun dan Habibie” yang hingga saat ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Arab dan Perancis. Orang-orang Jerman benar-benar ingin mengetahui mengenai Indonesia. Karenanya, diharapkan penampilan Indonesia di FBF bisa dimulai sejak dini dengan platform digital yang menghadirkan informasi Indonesia dan dapat diakses oleh seluruh dunia. Salah satu warisan budaya bangsa yang akan ditampilkan oleh Perpustakaan Nasional adalah Naskah Kuno mengenai Babad Diponegoro, Nagarakertagama dan La Galigo, yang sudah masuk dalam Memory of The World UNESCO.
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
77
Apakah sebenarnya isi dan keistimewaan ketiga naskah kuno tersebut di atas? Babad Diponegoro (Masuk Dalam Memory of the World UNESCO tahun 2013) Babad Diponegoro adalah naskah kuno yang berisi kisah hidup Pangeran Diponegoro (Dalam aksara Jawa) yang hidup pada tahun 1785-1855. Naskah ini ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro, ketika diasingkan oleh Belanda ke Sulawesi Utara pada tahun 1831. Buku Babad Diponegoro, terdiri atas 4 buku dan telah diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI. Babad ini merupakan biografi awal masa kesusasteraan Jawa modern. Nagarakertagama (Masuk Dalam Memory of the World UNESCO tahun 2008) Kitab Negarakertagama yang judul aslinya Desawarnana ditulis oleh Mpu Prapanca dan merupakan sumber sejarah yang terpercaya, karena ditulis pada saat kerajaan Majapahit masih berdiri di bawah pemerintahan Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk). Kitab ini menceritakan banyak hal penting diantaranya tentang silsilah raja-raja Majapahit, candi Makam Raja, Keadaan Kota Raja, Upacara Smada, Wilayah Kerajaan Majapahit, Negara-negara bawahan Majapahit dan lain sebagainya. Dari uraian Negarakartagama kita dapat mengetahui seluk beluk kerajaan Majapahit dan sisi sosialekonomi, sosial-budaya, politik luar negeri, secara lebih mendalam. Penyelidikan mengenai keberadaan Majapahit ini dapat ditunjang dengan prasasti dan pendukung antara lain prasasti Bendasari, prasasti Kudadu, prasasti Waringin Pitu dan prasasti Trowulan. Negarakartagama merupakan kakawin yang menceritakan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang melakukan pelesiran ke daerah Blambangan dan dalam perjalanan pulang beliau singgah di Singosari. Dalam naskah ini juga dikisahkan peranan Patih Gajah Mada sebagai perdana menteri yang mumpuni. Masih dalam naskah Negarakertagama, dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dan taat menjalankan aturan agama. Sebagai contoh Raja Hayam Wuruk menghukum mati Demung Sora yangmerupakan seorang menteri karena dianggap bersalah setelah membunuh Mahesa Anabang yang ternyata tidak bersalah. Dengan demikian Demung Sora telah melanggar pasal Astadusta dari kitab UU Kitab Kutara Manawadirmasastra itu. Naskah Negarakertagama yang merupakan karya pujangga besar Mpu Prapanca, kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dan menjadi salah satu koleksi kebanggaan.
78
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
La Galigo (Masuk dalam Memory of the World UNESCO tahun 2011) La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Ia wujud sebelum epik Mahabarata. Ia mengandung sebagian besar puisi dan ditulis dalam bahasa Bugis lama. Epik ini mengisahkan tentang kisah Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo tidak dapat dijadikan sebagai teks sejarah karena penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa, meskipun demikian ia menggambarkan budaya Bugis sebelum abad ke-14. Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemukan di perpustakaan negara-negara Eropa, terutama Perpustakaan Leiden. Sebanyak 600 surat epik ini tersimpan di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sebanyak 6000 naskah tersimpan di perpustakaan negara Eropa, serta masih banyak yang disimpan perorangan dan perlu dilestarikan. Kitab La Galigo terdiri dari Kitab Hikayat La Galigo, La Galigo di Sulawesi Tengah, La Galigo di Sulawesi Tenggara, serta La Galigo di Gorontalo, Malaysia dan Riau. Naskah kuno berisikan informasi yang maknanya tidak lekang oleh zaman dan masih dapat dijadikan sebuah pertimbangan dalam putusan sampai saat ini. Sebagai contoh adalah prinsip kepemimpinan dalam Asthabrata. Ada 8 sifat yang wajib dimiliki pemimpin menurut Asthabrata antara lain: • Indra adalah seorang raja harus mampu mengayomi • Vayu, seorang pemimpin harus adil seperti hakim • Yama, seorang pemimpin harus tegas • Surya, seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan • Agni, seorang pemimpin harus mampu mengobarkan semangat rakyat • Varuna atau laut, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan luas • Chandra, seorang pemimpin harus bisa menyejukkan hati rakyatnya • Kuwera, seorang pemimpin harus berdana untuk kesejahteraan rakyat. Prinsip kepemimpinan dalam naskah Asthabrata ini dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai panduan atau pertimbangan dalam memilih pemimpin, misalnya Pemilihan Presiden pada tahun 2014. Bagi yang bingung memilih pemimpin yang paling tepat untuk Indonesia, kita bisa melihat makna pemimpin menurut Asthabrata. Hal ini membuktikan bahwa kandungan Naskah Kuno yang bersifat universal masih dapat dijadikan acuan dalam mencari pimpinan yang mampu menjaga amanah. Astha berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya delapan, sedangkan Brata berarti prasetia atau mampu menjaga amanah. Jadi Asthabrata berarti 8 kriteria pemimpin yang mampu menjaga amanah. Isi dari Asthabrata adalah:
1. Komandan. Kriteria pemimpin pertama mampu menjadi komandan atau komandan yang mampu memimpin jajarannya dan masyarakat untuk membangun bersama dan menciptakan kesejahteraan untuk kepentingan bersama. 2. Pelopor. Pemimpin harus mempunyai kreativitas dan inisiatif dalam membuat kebijakan yang bermanfaat untuk kemajuan bersama. 3. Bapak. Seorang pemimpin haruslah bijaksana dan mampu mengayomi, tidak hanya mengayomi masyarakat, tapi juga jajaran di bawahnya agar bisa bekerja bersama-sama. 4. Ibu. Seorang pemimpin harus punya sifat seperti ibu yang mampu menampung aspirasi dan curhatan anakanaknya atau masyarakatnya. 5. Guru. Pemimpin harus mampu mendidik, mengajar dan melatih jajarannya untuk bersama-sama membangun kesejahteraan. 6. Pandita . Pemimpin sebagai Pandita maksudnya adalah seorang pemimpin harus mampu menjadi imam bagi jajarannya dan masyarakat. 7. Sahabat. Pemimpin tidak boleh terlalu menjaga jarak dengan masyarakat dan jajarannya, dengan begitu rasa dekat dan saling memiliki akan selalu muncul. 8. Satria. Seorang pemimpin harus mampu menjadi kesatria bagi masyarakat, mampu melindungi dan berkorban bagi kesejahteran bersama. Terkait dengan kandungan Naskah Kuno Nusantara yang banyak diakses pengguna, menurut pengamatan penulis adalah Naskah Kuno yang berisi mengenai pangan, ramuan obat/jamu tradisional serta seni dan budaya berbagai propinsi di tanah air.
Kesimpulan Kemudahan akses Naskah Kuno di era digital sangat menguntungkan bagi masyarakat yang mencari referensi terkait dengan warisan budaya bangsa dalam segala aspeknya. Pemerintah melalui Perpustakaan Nasional telah berupaya mencari, mendapatkan kembali, melestarikan, menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris serta mengalihmediakan, menyimpan Naskah Kuno dalam Repositori yang dapat diakses secara terbuka. Terkait konservasi Naskah Kuno di Indonesia, pemerintah dinilai belum memberikan perhatian lebih. Diharapkan dengan terbitnya PP no. 24 tahun 2014 yang diantaranya juga mengatur masalah pelestarian Naskah Kuno yang menjadi urusan wajib pemerintah, diharapkan pelestarian Naskah Kuno di Perpustakaan Nasional dapat lebih ditingkatkan. Naskah-naskah Kuno Kerajaan Nusantara banyak tersebar di luar negeri atau di sekitar 60 negara (Sudibyo, 2012). Diharapkan melalui pendekatan yang baik, setidaknya replika (salinan) Naskah Kuno yang tersedia dalam format digital dan telah dikemas dalam format dan sajian yang menarik , dapat pula diakses oleh masyarakat Indonesia. Mengenai naskah kuno yang masih disimpan oleh ahli waris di berbagai provinsi di Indonesia, diharapkan dengan pendekatan yang baik melalui Center of Excellence yang telah dibentuk oleh Perpustakaan Nasional, naskah kuno dapat disimpan di berbagai Perpustakaan yang mengelola budaya lokal setempat. Terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam Frankfurt Book Fair 2015, diharapkan kita dapat menampilkan koleksi mengenai Indonesiana termasuk Digital Indonesian Heritage berupa Naskah Kuno yang berisi warisan budaya bangsa kepada masyarakat dunia dengan baik.
daftarpustaka Astha Bratha, Kriteria Pemimpin dalam Budaya Jawa, diakses dari http://adigunaku.blogspot.com/, 23 Mei 2014. Freischlad, Nadine. Presentasi Aspek Digital di Frankfurt Book Fair 2015. Jakarta: Goethe Institute, 2013. Indonesia Goes Frankfurt 2015: Getting Ready to be Guest Of Honour At The World’s Biggest Book Fair . Jakarta: Goethe Institute , 2013. Maulananusantara.wordpress.com/2008/01/22/kitab-negarakertagama-terjemahan/, diakses 26 Mei 2014. Naskah Kuno Melayu, Nasibmu Kini?. Warta: Media Informasi dan Komunikasi Perpustakaan Nasional RI, Vol. XVIII, No. 4 Tahun 2013, hal 15-18. Naskah Kuno Nusantara Dibedah dalam Simposium Internasional. Diakses dari http://nationalgeographicindonesia. com/, 23 Mei 2014.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Diakses dari http://www.setneg.go.id/, Mei 2014. Prajoko, Ahmad. Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada. Diakses dari http://parissweethome. com/, 23 Mei 2014. Santoso, Joko. Laporan Perkembangan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia (e-Library). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012. Swan, Alma. Membangun dan meningkatkan akses terbuka: Pedoman untuk Pembuat Kebijakan / diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Agus Permadi. Jakarta: PDII-LIPI, 2013. Tomaskumoro, Gilang. Astha Bratha, diakses dari http:// tomaskuro.blogspot.com/, 23 Mei 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakan. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 2007
Vol. 21 No. 3 & 4 Tahun 2014
79
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Artikel1 (Setiap kata diawali huruf kapital, 14 pt, bold, centered)
Penulis Pertama2, Penulis Kedua3 dan Penulis Ketiga3 (penulis tanpa gelar 12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
E-mail:
[email protected] (11 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal dan rata kiri-kanan. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian (teknik pengumpulan dan analisis data), serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata Kunci: maksimum 5 kata kunci (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tunggal, 12 pt)
Pendahuluan (12 pt, bold) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal dan rata kiri. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Apabila halaman naskah jauh melebihi jumlah tersebut maka dianjurkan untuk dibuat dalam dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk istilah asing ditulis miring (italic). Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Kata kunci ditulis di bawah abstrak untuk mendeskripsikan isi naskah. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar tanpa diberi penomoran. Kata pertama pada setiap awal paragraf menjorok 0.5 inch /1,27 cm. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Kesimpulan dan/atau Diskusi, serta Daftar Pustaka. Sebaiknya penggunaan subheadings dihindari, apabila diperlukan maka gunakan outline numbered yang terdiri dari angka Arab.
Daftar Pustaka (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan daftar pustaka mengadopsi format APA (American Psychological Association). Daftar pustaka sebaiknya menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang pengarang. Secara umum, urutan penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam kurung, tanda titik, judul tulisan, tempat terbit, tanda titik dua/colon, nama penerbit. Paling banyak nama 3 (tiga) orang pengarang yang dituliskan, apabila lebih dari 4 orang digunakan kata dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama pengarang agar memudahkan penulusuran kemutakhiran bahan acuan. Apabila pengarang yang diacu menulis dua atau lebih tulisan dalam setahun maka pada saat penulisan tahun terbit diberi tanda pemerlain agar tidak membingungkan pembaca tentang tulisan yang diacu, misalnya: Miner (2004a), Miner (2004b).
Makalah pernah dipresentasikan/disampaikan pada acara… (bila ada) Pustakawan Muda pada Perpustakaan X 3 Pustakawan Pertama pada Perpustakaan X 1 2
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Rujukan dari buku:
Lofland, Lyn. (1999). A World of Strangers: Order and action in urban public space. New York: Basic Books.
Rujukan bab dalam buku:
Markus Hazel Rose, Kitayama Shinobu, Heiman Rachel H. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higginss & A.W. Kruglanski (EDS.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press.
Rujukan dari dokumen online:
Van Wagner, Kendra. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Diakses November 16, 2006 dari http://psychology.about.com/od/apastyle/guide\
Rujukan artikel dalam jurnal:
McCright, Aaron M. & Dunlap, Riley E. (2003). Defeating Kyoto: The concervative movement’s impact on U.S. climate change policy. Social Problems, 50, 348-373.
Rujukan dari jurnal online:
Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of internet Psychological, 4. Diambil 16 November 2014 from http://www.journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html
Artikel dari database:
Henriques, Jeffrey B. & Davidson, Richard J. (1991). Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2014 dari PsychINFO database
Online Forums, Discussion Lists or Newgroups:
Leptkin, J. L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg.11]. Pesan disampaikan dalam http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html.
Rujukan dari makalah:
Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st century will impact on human resource development (HRD) professional and practitioners in organizations. Makalah dipresentasikan pada International Confrence on Education, Bandung, Indonesia.
Rujukan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi:
Santoso, Guritnaningsih A. (1993). Faktor-faktor sosial-psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analaisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor , Program Pascasarjanana Universitas Indonesia, Jakarta.
Rujukan dari laporan penelitan:
Villegas, Martha & Tinsley, Jeanne. (2003). Does education play a role in body image dissastification? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: psat Penelitian UI dan badan Narkotika Nasional.
Rujukan dari ensiklopedia atau kamus:
Sadie, Stanley. (Ed.). (1980). The new Grove dictionary of music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London: Macmillan.
Lampiran Lampiran/Appendices hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasul perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Pustaka. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab. Catatan: 1. Untuk mengurangi/mencegah tindakan plagiarisme. Mohon cantumkan kutipan dengan jelas, baik di dalam artikel dan terdaftar dalam daftar pustaka. Format kutipan: Nama penulis yang dikutip (tahun publikasi: halaman berapa kata/ kalimat yang akan dikutip) - Kutipan tidak langsung: Seperti definisi X menurut Arif (2011:11) adalah sesuatu yang hidup dan berkembang biak di alam Y. - Kutipan langsung: Menurut Sunderland (1979:12): “Pendirian lembaga maupun jurnalnya dapat dilihat sebagai upaya pihak kolonial untuk melanggengkan jajahannya.” 2. Bila sumber primer tidak ditemukan, dan hanya menemukan di artikel lain maka kutipannya menjadi: Sebagaimana yang diungkapkan Carey (dalam Aveling 1979: 103) bahwa Hurgronje telah melakukan upaya-upaya yang luar biasa dalam mengubah orientasi Belanda terhadap Islam dan mengakhiri periode penyikapan buta terhadap ibadah dan guru agama Aceh. 3. Hindari copy paste dari artikel lain, blog pribadi seseorang, Wikipedia, ataupun situs yang tidak jelas, karena tidak bisa dijadikan sebagai rujukan.
4.
Untuk gambar dan artikel diberi keterangan dan narasi dalam artikel. Sehingga kelihatan kejelasan dan penjelasannya. Untuk gambar keterangan di bawahnya, sedangkan untuk tabel keterangan ada di atasnya.
Gambar 1. Hasil pencarian publikasi menggunakan scholarometer.
Tabel 1. Sumber Data yang digunakan Sumber
Jumlah
Buku Dari Columbus untuk Indonesia: 70 tahun tahun Prof Bill Liddle
34
Buku direktori KITLV
316
Buku direktori LIPI
192
Buku direktori UNAIR Press
288
Jurnal Indonesia terbitan Cornell University’s Southeast Asia Program
454
Lipsus Tempo 14-20 November 2011
58
Total jumlah peneliti yang ditelusur via google scholar 1342
5.
Redaksi berhak menolak atau mengembalikan naskah artikel yang tidak memenuhi petunjuk penulisan ini.