KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN (Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid di Indonesia) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Akidah Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh M. Leliyanto NIM. 104033101057
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT. yang Maha Pencipta dan Yang Maha Memelihara ciptaan-Nya. Dengan kekuatan-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat terselesaikan, meskipun kekurangan dan kesalahan tentunya masih menghiggapi penulisan skripsi ini. Salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw., keluaraga, sahabat, serta para pengikutnya yang senantiasa setia kepada ajarannya hingga akhir zaman. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, ikut memberikan partisipasinya dalam penyusunan atau pun dalam pengumpulan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini. Untuk itu, sudah selayaknya penulis memberikan penghargaan kepada semua pihak yang tulus telah memberikan konstribusi, dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Sebagai pihak yang ditunjuk selaku pembimbing dan pengarah kepada penulis, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Syamsuri, M.Ag., yang dengan tulus dan sabar membimbing dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya Kepada pihak dekanat dan jajarannya, penulis haturkan terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Fisafat, juga kepada Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils., selaku ketua jurusan Akidah Filsafat beserta Ibu Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku sekretaris jurusan. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak berjasa memberikan motivasi serta bimbingan dalam
i
perkuliahan di kampus tercinta. Serta pihak perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah. Kepada pihak Yayasan Paramadina yang telah memberikan pelayanan serta menyediakan referensi berupa buku-buku karya Nurcholish Madjid kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Teman-teman di bangku perkuliahan kelas AF angkatan 2004 yang telah memberikan dukungan dan informasi selama berdiskusi di kelas dan dalam penyelesaian skripsi ini. Teman-teman Organsisasi Pemuda 16 (Gebang Raya), dan teman spesial penulis Wiwin yang memberi penulis semangat baru dalam menjalani kehidupan. Rasa syukur dan bakti penulis haturkan kepada Ayahanda Uja bin Juki, serta Ibunda tercinta Siti Maemunah yang tak henti-hentinya bekerja keras, sabar dalam mendidik, penuh kasih sayang dalam mengasuh, dan ikhlas dalam berdo’a yang senantiasa diperuntukkan kepada penulis. Terima kasih semuanya. Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sumbangsih berupa saran dan kritik sangat penulis harapkan. Namun penulis berharap, semoga dengan skripsi ini, sedikit banyak dapat memberikan manfaat dan konstribusi yang positif khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin. Tangerang, 15 Maret 2010 Penulis,
M. Leliyanto
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
= Tidak dilambangkan
ل
=l
ب
=b
م
=m
ت
=t
ن
=n
ث
= ts
و
=w
ج
=j
ه
=h
ح
=h
ء
=’
خ
= kh
ي
=y
د
=d
ذ
= dz
ر
=r
ز
=z
ش
= sy
ص
= sh
ض
= dl
ط
= th
ظ
= zh
ع
=‘
غ
= gh
ف
=f
ق
=q
ك
=k
ا
iii
Vokal Panjang (Mad) dan Diftong
َا َُ و ﻲ َ ْاي ْاو
=â =û =î = ay = aw
Ta Marbûthah (
ة
ة
)
dalam posisi di-mudlaf-kan = “t” Contoh: rawdat al-jannah, wahdat al-wujûd
ة
dalam posisi tidak di-mudlaf-kan = “h” Contoh: tharîqah, al-islâmiyyah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………... KATA PENGANTAR ………………………………………………….......
i
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………... iii DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. BAB I
v
PENDAHULUAN …………………………………………........ 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………………... 7 C. Tinjauan Pustaka …………………………………………….
7
D. Tujuan Penulisan …………………………………………….
9
E. Metode Penelitian ………………………………………........ 9 F. Sistematika Penulisan ……………………………………….. 10 BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID …… 12 A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ……………………………… 12 B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya15 C. Karier Kepnulisan dan Karya-karya …………………………. 21
BAB III
SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID 26 A. Makna dan Hakikat Sufisme serta Kedudukannya dalam Islam 26 B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya ……………….. 31 C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme …………………… 38 D. Sufisme Baru ………………………………………………… 43
v
BAB IV
KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN ……………………………………… 50 A. Sufisme dalam Konteks Kemodernan ……………………….. 50 1. Makna Kemodernan ………………………………………. 50 2. Sufisme dan Kemodernan ………………………………… 54 B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan ……………………..
60
1. Sufisme dan Kebudayaan Lokal ………………………… 60 2. Sufisme dan Kebhinekaan ……………………………….
64
3. Sufisme dan Politik ……………………………………… 69 4. Sufisme dan Pendidikan Moral Bangsa ………………..... 75
BAB V
5. Sufisme dan Dunia Usaha ……………………………….
80
PENUTUP ………………………………………………………
87
A. Kesimpulan ……………………………………………… 88 B. Saran-Saran ……………………………………………… 90 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
vi
92
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peradaban dunia kahir-akhir ini tengah menjalankan proyek modernisme dimana penekanan individualisme dan rasionalisme empirisme serta sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi salah satu ciri masyarakatnya yang paling menonjol. Harus diakui bahwa modernisme telah memacu perkembangan msyarakat dalam bebagai bidang kehidupan. Namun pada saat yang sama, modernisme meggiring manusia memasuki masa-masa krisis bagi kualitas nilai kemanusiaannya. Hal ini ditandai dengan fenomena perilaku dan pola pikir manusia yang semakin menjauh dari eksistensi kemanusiaanya. Nilainilai kemanusiaa telah banyak diabdikan dan dikorbankan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dan pragmatisme tampil dengan gagahnya di permukaan bumi ini, seraya dianggap telah berhasil menggeser dogmatisme agama. 1 Dengan didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya dipahamai semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan
1
Nurcholish Madjid et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 97.
1
2
Tuhan. 2 Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual. Pada gilirannya, manusia lupa akan eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan, karena mereka sudah terputus dari akar-akar spiritualitas. Ini merupakan fenomena yang menunjukkan betapa manusia modern spiritualitasnya begitu akut, yang mengakibatkan mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, kemudian terperangkap dalam “kehampaan spiritual”, atau yang dalam bahasa sosiolog disebut alienasi. 3 Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan dimana manusia mengalami keterasingan jiwa. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan sekaligus membebaskannya dari derita aliensi, jusru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal), karena Tuhan Maha Wujud (omnipresent) dan Maha Absolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi akan tidak berarti di hadapan eksistensi Yang Absolut. Keyakinan dan perasaan inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali, dan kedamaian jiwa seseorang sehingga yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang selalu menjadi pegangan hakiki. 4 Dengan kata lain, manusia tidak bisa dipahami tanpa ketergantungan dengan Tuhan sekaligus keterkaitan dengan manusia lain baik secara individual maupun komunal. Pemahaman seperti ini sesungguhnya berada dalam wacana spritualitas dan dalam khazanah intelektual Islam yang biasa disebut “tasawuf” atau “sufisme”.
2
Nurcholish et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: h. 99. M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 3. 4 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 5. 3
3
Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. 5 Selanjutnya tasawuf atau sufisme menjadi salah satu khazanah Islam yang menarik perhatian kaum intelkutaual baik di Timur maupun di Barat. Doktrin-doktrin sufisme terus merembes – terlepas dari beberapa golongan dari tradisi keilmuan Islam yang menolak doktrin tasawuf 6 – ke dalam ranah intelektual para pemikir besar Islam. Dalam pada itu, sekalipun sufisme berkembang dan dapat bertahan hingga berabad-abad, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, terdapat
pula
pergeseran
dalam
ajaran-ajaranya.
Karena
dalam
masa
perkembangannya tasawuf menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan unsur-unsur dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal, khususnya di bidang filsafat lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri. 7 Namun demikian, Kenyataannya sufisme terus berkembang pesat dan masih tetap hidup selama berabad-abad hingga mencapai kepulauan Indonesia. Kehadiran ajaran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Sufisme secara langung terlibat dalam penyebaran Islam di
5
Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1986),
h. 71. 6
Dalam perkembangannya, terdapat hubungan yang senantiasa tidak harmonis antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari’ah. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 47. 7 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48.
4
Indonesia. 8 Aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran Islam hingga akhirnya sufisme tersebar di berbagai kepulauan Indonesia. Tasawuf memainkan peranan besar dan menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di Kepulauan Indonesia. Bukan hanya dalam proses islamisasi semata, tasawuf juga menunjukkan peranannya yang cukup signifikan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. 9 Namun demikian, perlu diingat bahwa Islam bukanlah agama pertama yang masuk di Indonesia. Pra-Islam, Indonesia telah memiliki “agama asli”10 yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara internal tumbuh, berkembanga dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal. Selanjutnya, agama yang kemudian dianut orangorang Indonesia adalah Hindu-Budha yang dibawa oleh para pedagang India. 11 Jadi, sebelum Islam datang, Indonesia telah memiliki tradisi dan kebudayaan lokal yang sudah melekat dalam keyakinan mereka, yakni tradisi dan kebudayaan agama asli serta Hindu-Budha. Kebudayaan lokal inilah yang nantinya akan berdampingan dan berkolaborasi dengan ajaran-ajaran Islam [baca:sufisme].
8
Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), h. 252. 9 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung:Pustaka Hidayah, 2002), h. 27. 10 Agama asli tersebut tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka mempercayai adanya Ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk. Kekuatan tubuh sesuai dengan kapasitas Ruh Tuhan yang mengalir di dalamnya sehingga di antara mereka ada yang memuja dan mengultuskan leluhur atas dasar keyakinan bahwa ruh leluhur lebih kuat daripada ruh mereka sendiri. Bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2. 11 Alwi, Islam Sufistik, h. 3.
5
Sufisme hadir dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan lokal. Karenanya, model Islam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Indonesia adalah model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariah. 12 Hal inilah yang nantinya menjadi sasaran kritik tokoh-tokoh intelektual Muslim modernis. Terkait dengan hal tersebut dan dalam konteks itu pula, Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh intelektual muslim modernis yang patut diperhitungkan pemikirannya. Beliau menaruh perhatian yang cukup tinggi dan memiliki pandangan tersendiri mengenai konsep tasawuf serta memiliki pandangan positif terhadap ajaran tasawuf (sufisme) di tengah-tengah habitat modernitas. Nurcholish Madjid menganggap bahwa tasawuf – yang merupakan inti keagamaan (religiusitas) yang bersifat esoteris – masih, dan akan tetap relevan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Menurut Nurcholish Madjid kita harus lebih mencermati dan memahami dengan seksama konsep ajaran dan tradisi-tradisi sufisme sehingga tidak terjadi penyelewengan dari ajaran Al-Quran dan hadis. Sufisme tidak harus terkungkung dalam teks-teks kuno yang diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu. Kerena sufisme tradisional – seiring dengan perkembangannya – dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur asing. 13 Oleh karena itu, sufisme perlu dipahami secara kontekstual, namun tetap terjaga kemurniannya. Dalam pada itu, sebagai bentuk pembaruan konsep ajaran sufisme tradisional, Nurcholish Madjid 12 13
Huda, Islam Nusantara, h. 253. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48.
6
menawarkan sebuah konsep sufisme baru atau yang biasa disebut dengan “neosufisme”. 14 Relevansi tasawuf dalam kehidupan manusia modern diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, misalnya, dalam sebuah pengantar pada Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, karya M. Solihin. Nurcholish Madjid (dalam buku itu) menegaskan betapa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan mayarakat Indonesia-modern karena tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan bangsa ini. Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan sosial mana pun dan di tempat mana pun. 15 Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang pandangan sufisme Nurcholish Madjid ini. Dalam pada itu, sesunggunya konsep sufisme yang ditawarkan Nurcholish Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan mengingat masyarakat Indonesia saat ini telah terkungkung dalam pola hidup modern, dimana manusia menjadi serba dilayani perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi. Akibatnya, manusia lupa eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan. Demikianlah yang mejadi latar belakang masalah penulisan skripsi ini dengan
14
Istilah neo-sufisme berasal dari Fazlur Rahman, seorang pengkaji Ibn Taimîyah yang sangat bergairah. Neo-sufisme yang dia maksud adalah suatu paham kesufian yang tidak terlalu banyak terkungkung oleh sufisme tradisonal (poluler). Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), h. 3311. 15 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 6.
7
judul “Kontekstualisasi Sufisme dalam Kemodernan dan Keindonesiaan (Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid di Indonesia)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini agar tidak terjadi kerancuan dan pembahasan yang melebar, penulis tidak membahas seluruh aspek pemikiran Nurcholish Madjid, namun dibatasi hanya seputar pandangan sufisme, yang menurut anggapan penulis mempunyai relevansi yang cukup signifikan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Setelah membatasi permasalahan penulis merumuskan masalah dalam skripsi ini, rumusannya adalah pertama, bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang sufisme? Kedua, bagaimana memahami konsep sufisme secara kontekstual sehingga terlihat relevansi yang cukup signifikan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan menurut Nurcholish Madjid?
C. Tinjauan Pustaka Sejauh pengetahuan dan tinjauan pustaka yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya tulis baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang telah mengkaji lebih dahulu mengenai pemikiran Nurcholish Madjid. Namun demikian, berdasarkan analisa penulis – dari seluruh kajian ilmiah tersebut – belum ada satu pun penelitian yang mengangkat sebuah relevansi dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan dari konsep sufisme Nurcholish Madjid.
8
Untuk menunjukkan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan menguraikan beberapa karya tulis, yang penulis anggap sudah cukup mewakili karya-karya tulis lainnya. Pertama, buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba dengan judul Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa (Jakarta: Paramadina, 2004). Dalam buku tersebut dibahas secara gamblang sisi religiusitas Nurcholish Madjid, dimana iman dan tauhid merupakan dasar dari pandangan dan sikap sufistik Nurcholish Madjid. Kedua, tulisan Mahmud Afifi dengan judul Teologi Islam Agama-Agama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (tesis, UIN Jakarta, 2003). Dalam penelitiannya, Mahmud Afifi ingin melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama (yang benar), dilihat dari kacamata doktirn Islam (Al-Quran) serta relevansi dalam konteks saat ini. Ketiga, karya Anwar Sodik Tauhid dan Nilainilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (skripsi, UIN Jakarta, 2008). Tidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, Anwar Sodik pun ingin mengangkat sisi religiusitas Nurcholish Madjid. Dalam penelitiannya, Anwar Sodik menilai bahwa konsep tauhid Nurcholish Madjid sarat dengan dimensi nilai-nilai kemanusian. Berdasarkan data-data tersebut, apa yang ingin dikaji penulis dalam penelitian ini tentulah sangat berbeda. Perbedaan itu dikarenakan penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian konsep sufismenya Nurcholish Madjid, yang menurut pandangan penulis terdapat relevansi yang cukup signifikan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Oleh karenanya, adalah sebuah keharusan ilmiah dan intelektual untuk melakukan penelitan lebih lanjut dan
9
menguji kebenaran hipotesis tersebut. Maka, masih terbuka lebar bagi penulis untuk melakukan penelitan (skripsi) ini, di samping juga belum ada yang meneliti sebelumnya sebagaimana telah penulis kemukakan di atas.
D. Tujuan Penulisan 1. Tujuan untuk melengkapi tugas akademi, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Mengetahui secara jelas pemahaman Nurcholish Madjid tentang sufisme dan relevansinya dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.
E. Metode Penelitian Dalam upaya memaparkan penelitian ini, penulis menggunakan metode library research atau penelitian kepustakaan. Artinya, data-data yang dihadirkan diperoleh dari data primer dalam hal ini tentunya buku-buku yang ditulis oleh Nurcholish Madjid. Sebagaian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan utama dalam penelitan ini adalah Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) dan beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Disamping itu, penulis juga menggunakan beberapa data sekunder berupa buku-buku yang mengkaji tentang pemikiran Nurcholish Madjid serta buku-buku lainnya yang memiliki korelasi dengan topik pembahasan dalam skripsi ini.
10
Adapun pendekatan metodologi penelitan ini besifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini ingin mengungkapkan pemikiran sufisme yang memiliki relevansi dengan konteks kemodernan dan keindonesiaan semata-mata apa adanya (objektif). Sedangkan pendekatan analisis kritis adalah menganalisa serta menilai scara kritis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu pula kelemahan dari konsep sufisme Nurcholish Madjid. Terakhir berkaitan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Ceqda Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gamabaran yang jelas tentang apa yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memaparkan sistematika penulisannya. Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penulisan, metode penelitan, dan sistematika penulisan. Bab II, penulis menampilkan profil Nurcholish Madjid dengan memotret riwayat hidup dan pendidikan, serta corak pemikiran dan iklim intelektual sekitar yang mempengaruhinya, berikut beberapa karyanya yang merefleksikan perkembangan pemikirannya.
11
Bab III, memaparkan tentang pandangan Nurcholish Madjid tentang sufisme secara umum. Bab ini meliputi: makna dan hakikat sufisme serta kedudukannya dalam Islam, tradisi awal sufisme dan perkembangannya, Tarekat dan Korelasinya dengan sufisme, kemudian Sufisme Baru. Bab
IV,
menjelaskan
pandangan
Nurcholish
Madjid
tentang
kontekstualisasi sufisme dalam kemodernan dan keindonesaan. Bab ini meliputi: Pertama, sufisme dalam konteks kemodernan, di dalamnya mencakup makna kemodernan, serta kedudukan tasawuf dalam kemodernan. Kedua, sufisme dalam konteks keindonesiaan, mencakup relevansi sufisme dan kebudayaan lokal, sufisme dan kebhinnekaan, sufisme dan politik, sufisme dan pendidikan, serta sufisme dan dunia usaha. Bab V, penutup berupa kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini dan diakhiri dengan saran.
12
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Nurcholish Madjid (yang populer dipanggil Cak Nur) – selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut Nurcholish – adalah seorang cendikiawan muslim yang merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia dilahirkan pada 17 Maret 1939, bertepatan dengan 26 Muharam 1358 H. di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. 1 Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya (Abdul Madjid), seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari. 2 Meskipun ayahnya berlatar belakang pendidikan NU, namun dalam segi politik, ayahnya, begitu pula ibunya adalah tokoh pendukung MASYUMI yang tulus. Nurcholish, pertama kali mendapatkan pelajaran agama lewat ayah dan ibunya serta di madrasah yang didirikan oleh keluarganya pada 1948. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya. 3 Setelah tamat Sekolah Rakyat, Kemudian melanjutkan pendidikannya (tingkat menengah SMP) di pesantren Dârul ‘Ulûm, Rejoso, Jombang selama dua tahun, 4 dan kemudian 1
Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: mizan, 2006), h. iv. 2 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 121. 3 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 122. 4 Ada dua alasan, yang menurut Nurcholish Madjid, mengapa ia hanya bertahan selama dua tahun nyantri di Rejoso. Pertama, karena alasan kesehatan, dan kedua, karena alasan ideologi atau politik. Dedy, Zaman Baru Islam, 123.
12
13
akhirnya ia pindah ke pesantren KMI (Kulliyatul Mu‘allimîn Al-Islâmiyyah), Pesntren Dâr al-Salâm di Gontor, Ponorogo. 5 Pondok “modern” Gontor dimana Madjid mengenyam pendidikan Islam tingkat
SLTP/SLTA,
adalah
pondok
pesantren
yang
berkecenderungan
“modernis”. 6 Di tempat inilah Nurcholish mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang dasar-dasar agama Islam, serta pelajaran untuk berpikir kritis, tidak memihak pada salah satu mazhab secara fanatik. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Gontor, Nurcholish melanjutkan pendidikannya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 7 Di masa inilah Nurcholish berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dibesarkan dan sekaligus membesarkannya. Setiap jenjang organisasi dilaluinya dengan penuh semangat. Karirnya di HMI dimulai dari komisariat, lalu menjadi Katua Umum HMI Cabang Jakarta, hingga akhirnya berhasil menjadi Katua Umum PB-HMI selama dua periode berturut-turut, yakni pada 1966-1968 dan 1968-1970. 8 Dalam masa itu pula, ia menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. 9
5
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv. Disebut “modernis” karma pendidikan di pesantren Gontor berbeda dengan pesantren “tradisional”. Pembeda dari pondok-pondok yang “tradisional”, adalah di Gontor, kitab-kitab kuning yang dikaji sudah bersifat majemuk. Hal ini menjadi pembeda, karena di pesantren “tradisional”, kitab kuning tertentu saja yang dikaji. Jadi, ada tradisi dan sikap untuk kaji banding yang mengisyaratkan adanya peluang luas menumbuhkan sikap dan cara pikir “ijtihad”, yang bersifat sintesis, yang memunculkan asumsi bahwa pendapat masa lampau ditempatkan secara non-mutlak. Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 96. 7 Zamharir, Agama dan Negara, h. 101. 8 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 125. 9 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 6
14
Masih dalam dunia akademik, pada tahun 1978 Nurcholish pergi ke Amerika untuk mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, Kemudian pada tahun 1984 ia kembali ke Indonesia 10 dengan meraih gelar Ph.D. dalam bidang filsafat Islam dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah (Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelatiaon in Islam). 11 Intelektualitas Nurcholish tidak dapat diragukan, dan eksistensinya dalam ranah pemikiran Islam bersinar hingga taraf internasional sejak tahun 1970-an. Tahun 1977, ia menjadi sarjana tamu dan pembicara pada konferensi tahunan MESA (Middle East Studies Association) di San Fransisco, AS. Juga masih dalam posisi dan peran yang sama, pada AAR (American Academy or Religion). 12 Pada tingkat nasional, Nurcholish mulai berkiprah tahun 1980-an, antara lain dengan ditandai oleh kedudukannya sebagai: (1) anggota Dewan Pers (1991-1997); (2) Anggota Komnas HAM (1993-1998); (3) Anggota Dewan Riset Nasional (19941998); dan (4) Anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim seIndonesia (ICMI), 1995-1998. Pada tahun 1998, Nurcholish dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Falsafah dan Kalam pada Fakultas Ushuluddin, IAIN (kini UIN) Jakarta. 13 Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia bersama tokoh-tokoh pembaru Islam yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina 10
Ketika Nurcholish Madjid pulang dari Amerika pada 1984, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009. 11 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 12 Zamharir, Agama dan Negara, h. 102. 13 Zamharir, Agama dan Negara, h. 103.
15
pada Oktober 1986. 14 Sejak Paramadina didirikan, aktivitas dakwah dan menulisnya dalam bidang keislaman pun semakin menjadi, hingga akhirnya, ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. 15 Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 30 Agustus 2005, dengan upacara militer dipimpin oleh Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat Nurwahid, MA. 16
B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya Jika kita kategorikan pemikiran Islam di Indonesia kepada dua golongan, yakni Islam tradisional dan Islam modern, maka Nurcholish adalah sosok pemikir Islam yang berada pada keduanya sekaligus. Karena dilihat dari lingkungan keluarga, ia berasal dari keluarga – dimana untuk pertama kalinya ia mendapatkan pelajaran agama – yang berkultur keagamaan NU. Dalam hal ini ia menulis: “…….bolehlah dikatakan bahwa saya ini adalah seorang (dengan kultur) NU, meskipun bukan anggota NU! Sebab sampai dengan sekitar umur 15 tahun, kegiatan utama saya adalah mempelajari kitab-kitab kuning……”. 17 Namun, ditinjau dari dari jenjang pendidikan, ia banyak mengenyam pengetahuan tentang Islam modern, mulai dari pesantren Gontor, IAIN (sekarang UIN) Jakarta, dan Universitas Chicago. Karier intelektualnya, sebagai pemikir 14
Dedy, Zaman Baru Islam, h. 137. Nurcholish Madjid meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nurcholish-madjid/biografi/index.html, artikel diakses tanggal 4 November 2009. 16 Marwan Saridjo, Cak Nur di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 62. 17 Zamharir, Agama dan Negara, h. 97. 15
16
Muslim, dimulai ketika ia menjadi mahasiswa UIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). 18 Dalam masa inilah Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Bahkan karena karya-karya ilmiahnya di masa ini – dan terutama bakat intelektualnya yang luar biasa, dan pemikirannya yang berkecenderungan modern, tetapi sekaligus sosialis religius – ia pun oleh generasi Masyumi yang lebih tua, sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan Mohamad Natsir, sehingga di masa ini ia pun dikenal sebagai “Natsir Muda”, sampai saatnya pada 1970, mereka, dolongan tua, kecewa akibat makalah Nurcholish yang mempromosikan paham sekularisasi. 19 Intelektualitas Nurcholish semakin terbentuk ketika ia belajar di Universitas Chicago, dimana ia secara leluasa bisa berjumpa dengan kepustakaan Islam klasik abad pertengahan yang bergitu luas dan kaya langsung di bawah bimbingan ilmuwan neo-Modernis asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman. Fazlur Rahman barangkali bisa disebut sebagai “guru utama” yang penting dalam pematangan intelektual Nurcholish Madjid. 20 Selain kepada Fazlur Rahman, ia tentu saja mengagumi orang-orang yang paling dekat dalam kehidupannya. Mereka, diantaranya adalah ayahnya sendiri, pamannya, 21 dan beberapa pejuang nasional yang kapasitas kecendikiaan dan komitmen keislamannya cukup kuat seperti K.H. Agus Salim dan Bung Hatta.
18
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. ix. 20 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 128. 21 Paman Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh masyarakat santri yang tinggal di sebuah desa Jombang, Jawa Timur, yang dipandang gagah berani saat itu. Dedy, Zaman Baru Islam, h. 133. 19
17
Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, Nurcholish
rupanya merasa berhutang budi kepada almarhum
Buya Hamka. Lebih dari itu, “…Beliau (Hamka) adalah tempat saya berdiskusi dan menyelsaikan problem pribadi…” tulis Nurcholish. 22 Dari berbagai unsur-unsur di atas, teramu sosok intelektual muslim Indonesia yang – acap kali menemukakan gagasan – konteoversial, 23 yakni Nurcholish Madjid. Pola pemikiran keagamaannya dapat dilacak sejak pembaruannya melalui ide “Islam yes, partai Islam no.” Kemudian dilanjutakan dengan ide tentang sekularisasi, yang kemudian disalah pahami kebanyakan orang kerena disamakan begitu saja dengan sekularisme. 24 Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan bahwa terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah: pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, pendekatan rasional kepada seuatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral,
22
Nurcholish Madjid sangat berterimakasih kepada Hamka karena tradisi menulisnya semakin berkembang tatkala ia bertempat tinggal di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebuah bilik di masjid tersebut yang sengaja disediakan Hamka untuk tempat tinggal perantau muda ini. Dedy, Zaman Baru Islam, 129. 23 Setidaknya, terdapat dua buah buku sengaja ditulis untuk membantah dan mengoreksi pendapat Nurcholish Madjid yang membuat kontroversi ini semakin menghangatkan iklim intelektual Islam Indonesia. Pertama, yang ditulis Rasjidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972) dan Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973), semuanya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Bulan Bintang; kedua, yang ditulis oleh Endang Saefudin Anshari, Kritik atas Paham dan Gerakan Pembaruan Drs. Nurcholish Madjid, (Bandung: Bulan Bintang, 1973), yang merupakan kritik paling panjang dari rekan segenerasi Nurcholish Madjid. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxvii. 24 Di antara reaksi kontroversi Nurcholish Madjid tentang pembaruan yang pernah dikemukakan pada awal tahun 1970, ialah ketidaksetujuan terhadap istilah “sekularisasi”, dan mungkin jenis reaksi ini adalah yang paling keras. Untuk kajian lebih konfrehensif mengenai “sekularisasi”nya Nurcholish Madjid, lihat, Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), h. 221-237.
18
tabu, dan lain-lain menjadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, untuk kembali kepada prisip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap untuk tidak men-tabukan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu, dan karenanya tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya itu. Artinya, dengan bertitik tolak dari syahadat itu, manusia
dapat
memecahkan
masalah-masalah
kehidupannya
dengan
mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan. 25 Bedasarkan gambaran di atas, jelas corak pemikiran Nurcholish berada pada psosisi seimbang dalam menilai tradisi dan modernitas. Oleh karena itu, Nurcholish juga dikenal sebagai tokoh neo-modernisme Islam Indonesia. 26 Ia mencoba untuk mengkombinasikan dua unsur penting dalam peradaban Islam Indonesia: moderinisme dan tradisionalisme. Nurcholish menganggap bahwa Kehadiran modernisme memang tidak mungkin dihindari. Tetapi, dengan mengakomodasikan
ide-ide
modernisme
tersebut
tidak
berarti
bahwa
tradisionalisme harus dibuang. Dalam neo-modernisme, kedua ide yang berbeda ini dapat dipertemukan dalam satu sintesis. Neo-Modernisme jauh lebih siap untuk menerima ide-ide paling maju yang dikembangkan kalangan modernis, dan, pada saat yang sama, juga bisa mengakomodasi pandangan kaum tradisionalis. 27
25
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 229. Lihat, misalnya, Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineka, 1999), h.22. 27 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: serambi, 2004), h.321. 26
19
Dalam potret demikian, ia merumuskan apa yang harus dibangun oleh ide pembaruan Islam, yaitu usaha penyegaran pemahaman. Jadi, inti makna pembaruan adalah up dating pemahaman orang atas ajaran agamanya dan cara mewujudkan ajaran itu dalam masyarakat. Sedangkan tujuan pembaruan itu sendiri adalah untuk membuat agama yang diyakini itu lebih fungsional dalam memberi jawaban terhadap tantangan modern. Selanjutnya, corak pemikiran Nurcholish pada masa belakangan ini lebih mengarah ke usaha menampilkan Islam secara inklusif, dalam rangka untuk lebih mengaktualkan nilai-nilai keislaman masa meodern. Ciri mendasar teologi inklusif adalah penegasan bahwa Islam itu agama terbuka, dan penolakan ekslusifisme dan absolutisme. Paradigma terpenting dari teologi inklusif adalah komitmen pada pluralisme. Dengan pluralisme, kita ingin menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali (menurut Nurcholish) dalam agama kita. Ketika dalam agama disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang pada dasarnya suci dan benar. Potensi untuk benar adalah primer. Inklusivisme, dengan demikian adalah suatu kemanusiaan universal yang dalam Al-Qur’ân, surat ar-Rûm, ayat 30, 28 disebutkan sebagai agama yang benar. 29 Jikalau ini kita jadikan dasar, maka inklusivisme akan menjadi suatu konsekuensi logis. Karena logika dari kemanusiaan universal adalah inklusivisme itu sendiri. Juga termasuk di sini adalah pluralisme. Dunia ini, sebetulnya, secara 28
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rûm:30). 29 Nurcholish Madjid, sekapur sirih dalam, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. xiii.
20
sejati mengalami mayarakat yang pluralistik. Atau yang pluralis dalam arti menerima plurlitas sebagai satu kenyataan positif. 30 Dari sini kita bisa melihat misi Madjid yang mengupayakan penghadiran Islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah. Maksudnya mengadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Dengan kata lain, gerakan Madjid, terutama ialah mendorong kepada tegaknya subtansi Islam. Sementara tokoh-tokoh Islam yang lain banyak yang sibuk membicarakan wadah gerakan Islam, seperti Negara Islam, partai Islam, syariat Islam, dan institusi-institusi lain yang diharapkan dapat membawa kepada kemajuan Islam. Sementara Nurcholish lebih mengedepankan substansi daripada wadah atau kulit. Itulah sebabnya selama ini ia sering melontarkan pernyataan yang terkesan kontroversial dan mengagetkan orang, terutama orang yang sibuk mengurus wadah dari pada substansi. Mengembangkan substansi adalah cara berpikir tasawuf. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nurcholish bahwa tasawuf sangat banyak menekankan pentinganya pengahayatan ketuhanan melaui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi. 31 Jadi, tasawuf merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoteris. 32 Cara berpikir tasawuf bersifat utuh dan padu, di mana iman, ibadah, amal saleh, dan akhlak yang mulia itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
30
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. xiv. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 47. 32 “Esoteris” dari bahasa Yunani “soteros” yang artinya “dalam” atau “batin”. Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 216. 31
21
satu sama lain. Keterpaduan dan keutuhan pemikiran itu akan melahirkan kekuatan untuk membangun umat dan peradaban manusia umumnya.
C. Karier Kepenulisan dan Karya-karya Sebagaimana yang telah disinggung di atas, karier intelektual Nurcholish sebagai pemikir muslim dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI. Namun demikian, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangakan Presiden Soekarno dan mendudukkan
Mayor
Jenderal
Soeharto
sebagai
penggantinya.
Prestasi
Nurcholish lebih terukir di pentas pemikiran. 33 Pada masa ini (1968) ia menulis “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pendoman ideologis HMI, yang disebut “Nilai-nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislman HMI, dan bernama nilai-nilai identitas kader (NIK). 34 buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel Nurcholish yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu dasar-dasar islamisme. 35
33
http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009. 34 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 35 Ide-ide pembaruan Madjid – yang tertuang dalam buku kecil ini, yang kemudian diidentikkan dengan jati diri HMI – sebenarnya merefleksikan dilema kalangan muda Muslim yang merasa teralienasi karena perebutan politik di kalangan umat Islam serta adanya citra yang
22
Gagasan Nurcholish “muda” memang sudah mulai menggelindingkan isuisu demokrasi, keadilan sosial, kebebasan berbicara dan berpikir, teloransi agama, dunia intelektual, dan masalah figur pemimpin yang diyakinya ideal baik menurut pendangan Islam atau pun bedasarkan kriteria demokrasi modern. Namun, yang paling dominan pada masa itu adalah kentalnya gagasan Nurcholish tentang persamaan manusia dan pembelaannya terhadap kaum lemah. Gagasan Nurcholish “muda”, seperti tampak lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di Pos Bangsa, Tribun dan Mimbar sekitar tahun 1970-an merupakan contoh dari pergumulan pemikiran dalam merespons tentang pertumbuhan yang diperdebatkan di awal masa pembangunan politik ekonomi Orde-Baru. 36 Juga dari tulisan-tulisan Nurcholish pada kurun itu, kita bisa melihat bagaimana komitmen seorang intelektual muda Islam yang hadir dalam kapasitasnya sebagai pembela kaum lemah. 37 Keprihatinan Nurcholish terhadap nasib kaum lemah yang sudah sejak awal muncul, misalnya, bisa kita lihat dari salah satu tulisannya berjudu “kaum buruh seluruh Indonesia, bersatulah”. Tulisan itu tampaknya akan tetap relevan dalam konteks Indonesia mutakhir saat persoalan nasib buruh kecil dan kaum penggiran merupakan agenda kebangsaan yang belum sepenuhnya tuntas. 38
kurang bagus tentang Islam sendiri. Kebangkitan gerakan pembaruan pemikiran ini juga merupakan gambaran dari adanya krisis identitas yang dialami kalangan intelektual Muslim pada saat loyalitas pada ideologi primordial menjadi bertentangan dengan cita-cita para penguasa di pemerintahan. Formulasi yang ditawarkan Madjid tentang pembaruan ini merupakan upaya menyelesaikan persoalan ketegangan internal di kalangan umat Islam. Fauzan, Teologi Pembaruan, h.321. 36 Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, h.22. 37 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 130. 38 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 131.
23
Selanjutnya, Nurcholish menulis artikel yang berjudu “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. 39 Sebuah artikel yang dipresentasikan Madjid pada pertemuan silaturahim antara para aktivis, anggota, dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu PERSAMI, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970. 40 Dalam artikel ini, Madjid menggambarkan persoalan-persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyakngkut integrasi umat akibat terpecah belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Nurcholish dengan jargon “sekularisasi”-nya dan “Islam yes, partai Islam no” hendak mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah, ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu istilah Nurcholish sendiri, psychological striking force (daya tonjok psikologis) yang menumbuhkan ikiran-pikiran segar. 41 Karena artikel ini sangat subtansial, dan menimbulkan kontroversi besar, – bahkan sempat membuat Nurcholish kehilangan reputasi baik di kalangan tua yang konservatif – maka Nurcholish merasa perlu memeberikan penjelasan lebih mendalam tentang artikelnya itu. Kemudian ia pun menulis “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, yang muncul tidak lama setelah heboh kertas kerja 3 Januari 1970 itu, dan “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”
39
Artikel inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan besar di kalangan intelektual Muslim Indonesia mengenai sekularisasi-sekularisme. 40 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. x. 41 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xi.
24
(1972) dan “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” (artikel ditampilkan dalam acara sastra Dewan Kesenian Jakarta, 20 Oktober 1972). 42 Selanjutnya, setelah kembali dari Chicago, pada 1984, dengan menggondol gelar Doktornya, Nurcholish mencoba mengaktualkan kembali gagasan-gagasan pembaruan 1970-an itu dengan subtansi yang lebih mendalam. Tulisan pertamanya yang sangat mendalam terbit bebarapa saat sebelum kedatangannya, yaitu wawancara tertulis yang diberi judul “Cita-cita Politik Kita”. Dalam tulisan tersebut, Nurcholish memberi substansi atas gagasan sekularisasi politiknya yang dulu dirumuskan dalam jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” dalam tulisan inilah, Madjid terlihat mempergunakan perspektif hermeneutika Neo-Modernisme dalam melihat persoalan kemodernan Islam. 43 Pada saat yang hampir bersamaan, terbit pula buku pertama Nurcholish yang merupakan karya terjemahan dan diberi kata pengantanya sendiri, yaitu Khazanah Intelktual Islam, diterbitkan Bulan Bintang, Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. 44 Pada 1987, terbit pula bukunya yang lain – kumpulan tulisan Nurcholish selama 20 tahun – yaitu Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung. Lewat buku ini kita bisa melihat bagaimana pergolakan pemikiran Madjid dalam mengaitkan persoalan keislaman dalam konteks keindonesiaan. 45 Tulisan Nurcholish yang lain yang tak kalah pentingnya juga terkoleksi dalam bunga rampai karya Gloria Dabis, What is Modern Indonesia?, 1979. Di
42
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xii. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxix. 44 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 131. 45 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 132. 43
25
situ Nurcholish menyumbangkan tulisan dengan topik “The Issues of Modernization Among Muslims in Indonesia”. Di kesempatan lain, ia juga telah menuangkan
gagasan
tentang:
“Islam
in
Indonesia:
Challenges
and
Opportunities” yang ikut menghiasi kumpulan karangan Cyriac K. Pullapilly, Islam in The Contemporary World, terbit 1980. 46 Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia dan kawankawannya yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, pada Oktober 1986. Maka sejak Paramadina didirikan hampir setiap bulan ia menulis paper untuk keperluan diskusi di Klub Kajian Agama (KKA). Sebagian makalah-makalah Madjid kemudian menjadi buku seperti Islam: Doktrin dan Peradaban (1992), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam Agama Peradaban (1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan bebarapa buku lain yang tidak terkait dengan KKA, tetapi merupakan pengisian lebih detail ide-ide dalam KKA itu, seperti Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), Kaki Langit Peradaban Islam (1997) Bilik-Bilik Peasntren (1997), Perjalanan Religius Umrah dan Haji (1997), dan Dialog Keterbukaan (1997). 47
46 47
Dedy, Zaman Baru Islam, h. 133. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxxii.
26
BAB III SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
A. Makna dan Hakikat Tasawuf serta Kedudukannya dalam Islam Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagaman eksoterik (zhâhirî, lahiri) dan esoterik (bâthinî, batini) sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek pengahayaan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibirium (tawâzun) dalam Islam, namun kenyataanya banyak kaum Muslim yang pengahayatan keislamannaya lebih mengarah kepada yang lahiri (lalu disebut ahl al-zhawâhir) dan banyak pula yang lebih mengarah kepada yang batini (dan disebut ahl al-bawâthin). Kaum syarî’ah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syarî’ah atau hukum, sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum tharîqah, yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan “tarekat”, dinamakan kaum batini. 1 “Esoterik” juga biasa disebut mistik atau mistisme. Kita harus ingat bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar kata mysterion dan mistisme. 2 Dengan demikian orang dapat mengaitkannya dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrâr (misteri-misteri) atau bâthin (esoterik atau batin), mengingat bahwa kaum Sufi menyebut diri mereka
1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 77. 2 Lihat. Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 216.
26
27
sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrâr Ilahi. 3 Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientaslis disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain. 4 Jadi, tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekakan aspek esoterik ketimbang eksoterik, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. Karena para ahli taswuf, yang kita sebut sufi, secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, realitas sejati bersifat spiritual. 5 Dari pengertian ini terlihat perbedaan orientasi keagamaan yang signifikan antara kaum lahiri dan batini. Sebagaimana yang menjadi pengetahuan kita, bahwa inti dari keseluruhan sistem agama Islam adalah ajaran tawhîd, dan inti ajaran al-Qur’an adalah tawhîd
3
Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003) h. 459. 4 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2006), h. 43. 5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 3.
28
merupakan
sesuatu
yang
tidak
boleh
diragukan. 6
Tawhîd
kemudian
termanifestasikan dalam bentuk ibadah serta amal-perbuatan sebagai bentuk institusi iman. Penghayatan dan pengamalan akan iman inilah yang berbeda penekannya antara kaum lahiri dan kaum batini. Perbedaan atara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam keduaduanya kemudian tumbuh cabang ilmu keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Kedua-duanya seolah hendak merebut sumber legitimasi dari al-Qur’an dan menganggap paham serta jalan yang mereka tempuh par excellence. 7 Sama halnya – perbedaan orientasi keagamaan – tasawuf dengan fiqih, demikian pula halnya tasawuf dengan ilmu kalam. Bisa dikatakan antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqih atau syari‘ah memang tidak senantiasa harmonis. Tetapi harus dikatakan di sini bahwa pada awalnya perbedaan atara ketiga cabang ilmu itu, terutama antara tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajarannya. Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan dari pada isinya, sebab baik ilmu kalam maupn ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak pada kalimat syadadat lâ ilâha illa Allâh. Menurut kaum sufi, dari kalimat syahadat itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka. Kaum sufi
6
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 45. 7 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 252.
29
bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu. 8 Karenanya, para sufi menyebut diri mereka “ahl al-haqîqah”. Penyebutan ini mencerminkan obesesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Maka, mudah dipahamai kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-Haqq”, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w. 922 H.), “anâ al-Haqq”. 9 Dari sini terlihat immanensi Tuhan dalam ajaran tasawuf. Selain persoalan transendealisme 10 , ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi. 11 Yang dilakukan kaum sufi – untuk sampai kepada al-Haqq – dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad yang merupakan prototype kehidupan ruhani dalam Islam. Dalam pada itu, mereka pun menempuh jalan dalam mencari pengalaman ruhani yang ukuran sempurnanya adalah mi‘raj Nabi. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isrâ’-Mi’râj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang 8
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 6. 10 Dalam teologi aliran ilmu kalam (khususnya teologi Asy’ari) sangat ditekenkan ajaran bahwa Tuhan adalah transendental, mengatasi dan terpisah dari apa pun yang merupakan ciptaanNya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang dua puluh mencakup sifat mukhâlafat li al-hawâdits, bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Sedangkan dalam tasawuf sebaliknya, bahwa Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu mawjûd di mana-mana. Lihat. Madjid, Bilik-bilik Pesantren, h. 43-45. 11 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 47. 9
30
sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia “bertemu” dengan Dzat Yang Mahatinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah Hadîts sebagai “sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu, segala rahasia kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fanâ) dalam Kebenaran. 12 Tasawuf lebih merupakan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrindoktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat sangat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis kaum sufi hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Karenanya sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan “di luar garis”, dan orang lain, lebih-lebih sesama sufi sendiri, akan memandangnya dengan penuh pengertian, bahkan kekaguman. 13 Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbedaharaan kaum sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagaian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan “dlamîr al-sya’n”, yaitu kata-kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syadat pertama, Asyhadu an lâ ilâh illa Allâh (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensnya 12 13
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 257. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 258.
31
mereka menghayati tawhîd, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Mahaada. 14 Selanjutnya, di dalam al-Qur’an juga banyak ditegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi, termasuk ketika al-Qur’an berbicara tentang hukum. Seorang Muslim harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqih yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thahârah) lahir, sebagai awal pensucian batin. 15 Di sini Madjid ingin mengatakan bahwa tasawuf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqh yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam. 16
B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya Jika melacak tradisi awal sufisme, rasanya sulit untuk memastikan kapan tepatnya mucul tradisi sufisme ini. Terlebih jika kita mengartikan tasawuf sebagai “cara atau jalan – yang lebih mengarah kepada segi esoterik atau batini – bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah (al-Haqq)”.
14
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, 255. 16 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. 15
32
Sebab sejak manusia menyadari hubungannya dengan Yang Mahabenar (alHaqq), maka ia mencari kebenaran. 17 Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam Islam yang menjadi pokok pangkal agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan Tuhan, suatu monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dalam pada itu, sepanjang ajaran alQur’an, tawhîd adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman. Di kalangan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama Nabi Ibrâhîm 18 sudah dikenal, khususnya oleh penduduk kota Makkah suku Quraisy. Para pengamal agama itu disebut “orang-orang hanîf” atau “hunafâ”, yang berarti orang-orang yang memelihara dan memegang kebenaran. Sebelum ditutusnya Nabi Muhammad, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafâ. 19 Muhammad yang kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafâ. 20 Jadi, menurut Nurcholish, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam “tasawuf” tidak ada, namun banyak terdapat tokoh-tokoh yang dianggap penempuh jalan sufi yang biasa disebut para ahli zuhud (zâhid) atau ahli ibadah (âbid). Kenyataannya, dalam tradisi tasawuf mengakui beberapa diantara sahabatsahabat Nabi sebagai nenek moyang rohani tasawuf. Kita sering mendengar apa yang dikenal sebagai ahl as-suffah – salah-satu kata yang dirujuk sebagai asal
17
Syekh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-nilai Universal dalam Tasawuf, terj. Andityas, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 24. 18 Ada petunjuk bahwa yang pertama mengememukakan ajara tawhîd itu dengan jelas dan sistematis adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama menoteistis utama. Tiga di antaranya tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 57-58. 19 Bentounes, Tasawuf Jantung Islam, h.25. 20 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 41.
33
etimologi kata “sufi” 21 – yakni anggota masyarakat yang miskin dan saleh yang hidup di masjid Madinah. Sahabat-sahabat Nabi itu sering melontarkan ucapaucapan tentang kemiskinan, dan ia muncul sebagai prototipe fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apa pun tetapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNya yang abadi. 22 Namun demikian, – menurut Nurcholish – pada masa Nabi Muhammad sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau ahli kalam, maupun ahli hukum fiqih. Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan semakin dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisikan, dan kedua teologi yang sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan oleh sebab kewajaran serta keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi lahiriah daripada agama itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi semakin peka dan sadar-diri. Usahausaha dari kaum asketik dan zuhud yang telah ada sebelumnya untuk memperoleh kesempurnaan etis tidak ditinggalkan samasekali, bahkan berangsur-angsur dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita etis yang dinyatakan melalui ajaran “takhallaqû bi akhlâq Allâh” (berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti Tuhan) tidak lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang
21
Harun Nasution menyatakan terdapat lima teori yang dianggap sebagai asal etimologi kata “sufi”: ahl al-suffah, saff, sûfî, sophos, dan shûf. Lihat, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-44. 22 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 27.
34
dipaksakan dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna pengalaman ruhani yang mendalam dan nyata. 23 Dari sudut pandang lain, menurut Nurcholish, tasawuf juga nampak sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Hârûn al-Rasyîd (786 M.). Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah (705 M.) di Damaskus, yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci (pious opposition) di kalangan tertentu, khususnya di Bashrah, Irak. Di zaman Hârûn al-Rasyîd kota Bashrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi intelektual Islam. Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (al-fuqahâ) yang terkenal, sementara Bashrah banyak menampilkan “orang-orang suci” (al-nussâk –para ahli nusuk atau ibadah; atau al-zuhhâd -para ahli zuhud atau asketik). Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan ada indikasi bahwa persaingan itu cukup tajam, dengan masing-masing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar daripada lainnya. 24 Nama yang melambangkan awal sikap pertapa dan anti-pemerintah ini adalah Hasan al-Basri (110 H./728 M.). Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezin Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan. Begitu pula para ulama dengan orientasi Sunnî dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hudup zuhud (asketik). Mereka yang 23 24
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 46. Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92.
35
tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Bashrah, yang disebut kaum sufi (shûfî), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shûf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shûf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum sufi. 25 Dalam perkembangannya lebih lanjut, tasawuf tidak lagi bersifat tertutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi. 26 Karena apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya. Namun
demikian,
Nurcholish
melanjutkan,
sekalipun
sufisme
mendasarkan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an dan al-Sunnah, khususnya dalam soal-soal doktrin, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsurunsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syria dan Persia yang dalam beberapa hal,
25 26
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 250. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 251.
36
khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri. 27 Kenyataannya, memang keberadaan unsur-unsur asing yang timbul baik karena pengaruh langsung maupun tidak langsung, tidak seluruhnya dapat dicegah. Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan terbukanya pintu bagi masuknya paham-paham panteisme. 28 Sebut saja, misalnya, paham seorang sufi dari Persia Abû Yazîd al-Bustâmî (w. 874 M.) tentang fanâ (terleburnya diri pribadi dalam Tuhan) dan baqâ (mengekalnya diri pribadi dalam kesatuan dengan Tuhan) berseru dengan kalimat subhânî (Maha Suci Aku), atau paham hulûl pada al-Hallâj (858 M.) yang termasyhur dengan ucapannya Anâ alHaqq, yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 922 M. 29 Namun menurut Nurcholish, tidak adil rasanya jika kita mengatakan bahwa tasawuf itu sesat. Karena jika kita menghukum unsur asing yang menyusup, maka yang kita sedang hukum bukanlah tasawuf Islam, tapi unsur asing tersebut. Tasawuf Islam ialah ruh yang terdapat dalam al-Qur’an dan alSunnah, hal ini merupakan pernyataan yang keluar dari para imam-imam sufi dan hal ini pula yang diakui oleh para ulama yang bersikap objektif ketika mereka berbicara masalah sufi. Mereka telah mencoba memberikan definisi tentang tasawuf dengan puluhan definisi sesuai dengan pemahaman mereka dan pengalaman spiritual mereka. 30
27
Hal inilah yang menyebabkan para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidak-aslian sufisme sebagai berasal dari Islam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. 28 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 50. 29 Lihat, misalnya, Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, terj. Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 66-69. 30 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi: Menyucikan Tasawuf dari Noda-noda, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 84.
37
Bentuk yang sangat populer dari pengaruh luar terhadap sufisme adalah praktek-praktek pemujaan kepada para wali. Praktek ini bersumber dari ajaran tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi berkah kepada orang lain, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ajaran ini mendorong tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang suci yang kemudian dijadikan tempat perantara dalam berdo’a. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki ambisi tertentu. 31 Hal inilah yang menjadi sasarang kritik para pemikir modern Islam nantinya. Tidak lama kemudian muncullah al-Qusyayrî dengan karyanya yang terkenal Risâlah, dan al-Ghazâlî (w. 505 H./1111 M.) dengan karyanya yang terkenal Ihyâ Ulûm al-Dîn yang merupakan seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Al-Ghazâlî berperan besar dalam memberikan penyelesaian pada sebagian besar pertikaian paham di kalangan kaum Muslimin (mutakallimîn, fuqqahâ, dan sufi), sehingga ia memperoleh gelar Hujjah al-Islâm yang bisa diartikan “argumentasi Islam” atau “pembela Islam”. 32 Namun demikian, betapa pun besarnya jasa al-Ghazali, ia tidak luput dari kritikan-kritikan tokoh-tokoh Islam setelahnya. Kritikan paling keras adalah yang datang dari Ibnu Taymîyah, seorang ulama yang banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan pembaruan dalam Islam. Kecamannya terutama ditujukan pada pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan asketik atau zuhud sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi (’uzlah). 31
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 51. Lihat, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 52. dan Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 86. 32
38
Menurut Nurcholish, sekarang ini sikap dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada imam al-Ghazâlî dan mereka yang lebih merorientasi kepada Ibnu Taymîyah. Mungkin tidak bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan orientasi itu sangat jelas terasa.
C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual maupun
cara
kolektif.
Melaksanakan
tasawuf
secara
individual
ialah
mengamalkan sikap-siakp sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas, rida, dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa disebut tarekat. 33 Sebenarnya perkataan “tarekat” (tharîqah) itu sendiri – menurut Madjid – secara harfiah berarti “jalan”, sama dengan arti perkataan “syarîa’ah”, “sabîl”, “shirâth”, dan “manhaj”. Dalam hal ini yang dimaksud ialah jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti “jalan” itu terdapat dalam kitab suci al-Qur’an: 34 “Kalau saja mereka berjalan dengan terguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah”. (Q.S. al-Jinn: 16) Perkataan tharîqah dalam firman tersebut menunjuk pada agama secara keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi keagamaan seperti yang kita 33
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 177. 34 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92.
39
lihat sekarang sebagai “tarekat”.35 Agama memang selalu digambarkan sebagai jalan. Sama dengan Marga atau Darma dalam bahasa Sansekerta, atau Tao dalam bahasa Cina. 36 Jadi dengan menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten, manusia dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian, air karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” (mâ’u al-hayâti). Inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidak lain ialah “pertemuan” dengan Tuhan dengan ridla-Nya. Harapan kepada ridla Allah itu juga dicerminkan dalam sebuah wirid tarekat yang berbunyi “Ilahî Anta maqshûdî a ridlâ-Ka mathlûbî” 37 Tarekat juga bisa didefiniskan sebagai sebuah persaudaraan kaum sufi yang memiliki silsilah guru spiritual yang sama, tempat bagi para syekh atau mursyid untuk mewisuda murid-muridnya dan memberikan mereka ijin resmi untuk melanjutkan mazhab pemikiran dan amalan yang umum. Terekat ini ada yang memiliki – ada yang tidak – organisasi. Namun, pada tingkat lokal terdapat kegiatan yang terorganisir. 38 Salah satu aspek penting dari suatu tarekat adala silsilah, yakni mata-rantai para guru sufi yang berpangkal pada Nabi Muhammad. Ciri ini begitu penting,
35
Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), h. 3297. 36 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.3300. 37 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. 38 Baldick, Islam Mistik, h. 103.
40
sehingga pada tingkatan yang lebih luas, tarekat adalah sisilah itu sendiri: suatu ekspresi hidup dari kesinambungan dari generasi ke generasi. 39 Namun, menurut Nurcholish, penggunaan istilah “tharîqah” dalam arti persaudaan kesufian (shûfî brotherhood) adalah hasil perkembangan makna semantik perkataan itu, sama dengan yang terjadi pada perkataan “syarî’ah” untuk ilmu hukum Islam (juga dapat disebut “fiqh” dalam pengertian yang sedikit lebih sempit – sementara makna “fiqh” itu menurut asalnya ialah pemahaman agama secara keseluruhan, tidak terbatas hanya kepada bidang hukum dan peribadatan semata). 40 Selanjunya, Nurcholish menegaskan, setiap ajaran esoterik atau batini tentu memiliki segi-segi ekslusif. Jadi tidak dapat dibuat untuk orang umum. Segisegi eksklusif itu menyangkut hal-hal yang “rahasia”, yang bobot keruhaniannya yang berat membuatnya sukar dimengerti oleh kaum awam (orang umum), atau mudah menimbulkan salah paham pada mereka. Kerena itu segi-segi eksklusif tersebut seyogyanya tidak dipahamai seseorang melalui kegiatan pribadinya semata, melainkan dipahamai melalui tarekat dari seorang guru pembimbing (mursyid) yang sudah diakui kewenangannya. 41 Namun, segi-segi ekslusif seperti ini menimbulkan masalah “keabsahan” tarekat – dalam pengertian – sebagai ikatan persaudaraan kaum sufi. Pengalaman dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam sendiri, menunjukkan bahwa 39
Semenjak abad ke-10, daftar guru sufi hanya merujuk sampai para tabiin, generasi Islam yang hidup pada masa sesudah sahabat Nabi dan diangap memiliki otoritas kolektif. Baru setelah masa tabiin inilah mulai muncul penyebutan nama individu. Tapi, dalam sumber-sumber abad ke-12 dan terkemudian, kita menemukan bahwa daftar itu sengaja dibuat hingga sampai kepada Muhammad, yaitu melalui para penerus pertamanya. Baldick, Islam Mistik, h. 104. 40 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 93. 41 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 94.
41
esoterisme yang tak terkendali dapat menjadi sumber kesesatan umum yang mengacaukan masyarakat. Kenyataanya, saat ini – setidaknya – terdapat dua Negara yang secara resmi melarang amalan tarekat yakni Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki. 42 Tidak dapat disangkal bahwa keanggotaan dalam suatu tarekat dapat memeberikan ketenteraman batin yang luar biasa. Secara doktrin, dzikir atau ingat kepada Allah itulah yang memberikan ketenteraman. Tetapi kenyataan sosialnya, “attachment” kepada organisasi tarekat yang dipimpin kiai itulah yang lebih berfungsi. Karena itu, sering terjadi sseseorang yang telah luas pengatahuan agamanya, yang secara teoretis telah memahami sendiri bagaimana menjalankan zikir dan ibadah, masih merasa perlu mengikatkan diri kepada seorang kiai tarekat dan ahli wirid yang sebenarnya pengetahuannya lebih rendah. 43 Menurut Nurcholish, tradisi seperti ini mungkin saja ada manfaatnya. Misalnya bagi orang-orang yang mental kagamaannya masih kekanak-kanakan, dalam arti masih memerlukan bimbingan langsung tokoh yang disegani layakna anak memerlukan bimbingan orang tua. Namun sifatnya yang hierarkis itu, tak pelak lagi, sangatlah membahayakan bagi perkembangan kedewasaan keagamaan kaum muslim pada umumnya. Sebab, dengan menempatkan seorang tokoh sebagai “model” bagi segala macam tindakan, maka kesalahan atau kekhilafan sekecil apa pun yang dilakukan tokoh tersebut akan berdampak besar bagi para
42
Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki melarang kegiatan tarekat dengan alasan yang berlainan. Saudi Arabia melarang tasawuf karena dinilai bertentangan dengan jaran-ajaran Islam murni (puritanisme ortodoks), sedangkan Turki melarangnya karena bertentangan dengan paham hidup modern (sekularisme). Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 54. 43 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3298.
42
pengikutnaya. 44 Hal ini dikarenakan bahwa seorang guru tarekat seringkali dipadang memiliki kualitas-kualitas kewalian, pada gilirannnya menimbulkan tradisi pengkultusan kepada sorang guru bahkan setelah guru atau syaikh itu meninggal. 45 Adanya unsur negatif seperti itu telah mengundang adanya generalasi terhadap tarekat atau gerakan kesufian sebagai negatif. Namun demikian, menurut Nurcholish, sikap negatif secara pukul rata jelas tidak dibenarkan, sebagaimana sikap positif secara pukul rata (tanpa penilaian kritis atas kasus-kasus spesifknya) juga tidak dapat dibenarkan. Kita harus secara kritis dan adil melihat perkaranya masalah-demi-masalah, dan hendaknya tidak melakukan penilaian bedasarkan generalisasi yang tidak ditopang oleh fakta. Karena itu organisasi-organsasi Islam – khususnya di Indonesia – semisal NU (Nahdlatul Ulama) menetapkan kriteria tertentu untuk dapat disahkannya suatu tarekat. Tarekat yang absah dan yang secara syariat dapat dipertanggungjawabkan itu biasa disebut “tharîah mu’tabarah”. Pada pokoknya suatu tarekat absah jika ia tidak menyimpang dari syari’ah. Ini tentu saja merupakakan kelanjutan dari pemikiran al-Ghazâlî dan juga al-Qusyairî sebelumnya, 46 yang tercatat dalam sejarah Islam telah mencoba “mendamaikan” antara orientasi lahiri (disiplin syarî’ah) dan orientasi batini (disiplin tasawuf).
44
Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 24. 45 Setelah seorang guru tarekat meninggal, biasanya akan secara langsung dianggap wali yang keramat sehingga makamnya banyak dikunjungi atau diziarahi orang-rang yang hendak meminta berkah. Lama-kelamaan seroang wali, apalagi makamnya, menajadi semacam mysterium tremendum et fascimosum yang memiliki daya tarik begitu kuat bagi kaum Muslim awam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 62. 46 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 96.
43
Dari pemaparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan; dan kedua dalam pengertian persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah (sufi) murid dan seorang guru, yang dibantu oleh mursyid-mursyid lainnya. Tarekat tidak membicarakan segi filsafat dari tasawuf, tetapi membicarakan segi amalan atau prakteknya.
D. Sufisme Baru Setiap gerakan pembaruan atau pemurnian agama (Islam) tentu mencakup agenda pemberantasan bid‘ah dan khurafat, sebagai tindakan menambah-nambah hal baru kepada agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri. Perbuatan bid‘ah tentu akan berakibat mengaburkan ajaran agama yang murni, dan sebagai kepercayaan kepada obyek-obyek yang palsu khurafat dengan sendirinya sudah merupakan penyimpangan dari kemurnian agama. Walaupun begitu, untuk menentukan mana yang bid‘ah dan mana pula yang khurafat bukanlah perkara yang dapat dengan mudah disepakati oleh semua kelompok Islam sebab masing-masing kelompok mengaku sebagai penganut ajaran yang murni, yang bebas dari bid‘ah dan khurafat. Beberapa gerakan pemurnian Islam memiliki konsep yang tegas tentang apa yang mereka pendang sebagai bid‘ah dan khurafat, serta melancarkan program pemberantasannya dengan gigih. Gerakan pembaruan atau pemurnian juga terjadi di dalam dunia tasawuf atau sufisme. Dalam konteks kemodernan, – setidaknya – ada dua istialah atau
44
sebutan yang biasa dilekatkan kepada paham sufisme baru yang dianggap (Nurcholish) sebagai pemurnian ajaran Islam (baca: tasawuf), yakni: sebuah terminologi yang pertama kali dimuncukan oleh pemikir muslim kontemporer, Fazlur Rahman, yakni “neo-sufisme”, 47 dan istilah yang dipopularkan oleh pemikir Islam Indonesia, pfof. Hamka, yakni “tasawuf modern” 48 . Baik Hamka maupun Fazlur Rahman, keduanya adalah tokoh pembaruan Islam yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik seperti Ibn Taymîyah dan Ibn Qayyim al-Jawzîyah. Kedua tokoh itu (Fazlur Rahman dan Hamka) menunjukkan kepada kenyataan yang sama, yaitu suatu jenis kesufian yang terkait erat dengan syarî’ah, atau dalam wawasan Ibn Taymîyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam mayarakat secara aktif. 49 Di sini Nurcholish mencoba untuk merekonstruksi pemikiran sufisme terdahulu (sufisme tradisional atau sufisme poluler) yang secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada pendekatan esoteris, pendekatan batiniyah, yang berdampak kepada timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan makna
47
Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 311. 48 Istilah “neo-Sufisme” terasa lebih netral daripada istilah “tasawuf modern”. Istilah “tasawuf modern” terasa lebih optimistik, karena “modern” acapkali berkonotasi positif dan optimis. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3311. 49 Ibn Taymiyah dan ibn Qayyim al-Jawziyyah disebut-sebut sebagai kaum neo-Sufi, atau perintis kearah kecenderungan ini, karena mereka sangat memusuhi sufisme populer. Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h.78.
45
batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Akhirnya, wajar apbila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi (terdahulu) tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi agama. 50 sementara sufisme baru menekankan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan murâqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi 51 (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai sufisme baru (atau neo-Sufisme) ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. 52 Dalam pada itu, kaum neo-Sufisme juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme intelektual: mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif, tetapi menolak klaim mereka seolah-olah tidak dapat salah (ma’shûm), dengan menekankan bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga. Bahkan, baik Ibn Taymîyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang 50
Rivay, Tasawuf, h. 309. Perkataan Arab “salaf” secara harfiah berarti “yang lampau”. Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan “salaf” mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas sebagai sumber pemahaman ajaran agama Islam sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Karena dekat dengan masa hidup Nabi. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 365. 52 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 79. 51
46
sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taymîyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminoligi kesufian – termasuk istilah sâlik, penempuh jalan keruhanian – dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi. 53 Dalam semangat empatik, mungkin justru pengalaman mistis kaum sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi‘râj yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak terkomunikasikan, pengalaman mistis kaum sufi pun sesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untuk menggambarkannya. Kaum sufi gemar mengatakan bahwa untuk mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanya harus mengalaminya sendiri. Tidak munkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak pernah mencicipinya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan yang kaya untuk melukiskan kenyaaan itu. Meskipun pengalaman mistis tertinggi dalam dunia kesufian (ekstase) hanya bersifat sesaat (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat awet. Sebab dalam pengamalan intens sesaat itu orang berhasil menagkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatu euphoria yang tak terlukiskan. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu “tahu diri” (ma‘rifat al-nafs) yang tidak lebih dari pada seorang makhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat
53
Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 80.
47
(Islâm) 54 kepada Sang Maha Pencipta (al-Khâliq). 55 Jadi, menurut Nurcholish, tasawuf dengan pengertian seperti ini adalah Islâm itu sendiri. Selanjutnya, mengenai pengasingan diri atau ‘uzlah – seperti yang diajarkan oleh al-Ghazâlî dan para pemikir kesufian lainnya – dalam tingkatnya yang melewati batas, dimana seseorang melakukannya tidak semata-mata karena hendak melepaskan diri sementara dari kenyataan hidup sehari-hari dan hendak menempuh hidup pasif dan tidak mau tahu kepada masalah kemasyarkatan, tentu saja merugikan. Karena itu ‘uzlah pernah menjadi sasaran kritik kaum modernis, seperti Hamka, karena ‘uzlah yang demikian dapat menjadi excuse atau alasan bagi kepasifan dan ketidak-pedulian sosial. 56 Menurut Nurcholish, ‘uzlah barang kali masih bisa dibenarkan, karena kita sulit menilai suatu masalah secara jujur jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu. Keterlibatan kita tentu akan mempengaruhi pandangan dan penilaian kita, sehingga sering terjadi kekeliruan. 57 Tetapi ‘uzlah yang dimaksud Nurcholish adalah sebatas pengasingan diri itu digunakan untuk merenung (tadabbur), berpikir (tafakkur) dan mawas diri (ihtisâb). Hal yang demikian adalah sebagai suatu “exercise” untuk memahami lebih baik keadaan sekitar, melalui “disengagement” sementara (untuk memperoleh penilaian yang obektif dan jujur). Semuanya itu harus kembali menuju kepada penemuan jawaban yang sebaik-baiknya atas persoalan bagaimana melibatkan diri secara positif dalam
54
Islâm, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Lihat, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, h. 2-3. 55 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. 56 Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 156. 57 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 283..
48
hidup ini, sejalan dengan tujuan hidup itu sendiri. 58 Artinya, tidak menutup diri dari perkembangan dunia dan peradaban manusia, tetapi justru sangat menekankan pentingnya pelibatan diri dalam masyarakat secara intensif. 59 Jadi neo-sufisme menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarkat secara lebih kuat dari pada sufisme lama, serta menolak secara keras sekali terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i‘tizâliyah). Selanjutnya, Berkenaan dengan ajaran pokok spiritualisme sosial itu terdapat suatu nilai yang sudah secara umum telah diketahui kaum Muslimin, yaitu nilai keseimbangan (mîzân atau tawâzun) sesuai dengan prinsip yang difirmankan Allah: 60 “Langit Ia tinggikan dan diadakannya neraca (keadilan), supaya jangan kamu lampaui batas timbangan.” (QS. Al-Rahmân: 7-8) Kalau kita perhatikan firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagad raya. Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, kalau manusia disebut sebagai “jagad kecil” atau “mikrokosmos,” maka, tidak terkecuali, manusia pun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya. 61 Sampai di sini dapat dipahami bahwa, – apa pun istilahnya – baik “neosufisme” maupun “tasawuf modern”, adalah “reformed Sufism” atau sufisme yang telah diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek 58
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 283. Rivay, Tasawuf, h. 316. 60 Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 168. 61 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 81. 59
49
yang paling dominan adalah sifat ekstatik metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini digantikan atau di-reform dengan prinsip-prinsip Islam ortodok. Sufisme baru mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosiomoral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan (hampir) tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan sufisme baru adalah “puritan dan aktivis”.
50
BAB IV KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN
A. Sufisme dalam Konteks Kemodernan 1. Makna Kemodernan Penyebutan
tahap
perkembangan
sejarah
manusia
yang
sedang
berlangsung sekaran ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (“modern” berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang berarti berikutnya. Di samping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan suatu penilaian tertentu yang cenderung positif (“modern” berarti maju dan baik), padahal dari sudut hakikatnya, zaman modern itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, bisa bersifat atau berdampak fositif, dan juga sebaliknya. menurut Nurcholish, pengertian yang mudah tentang “modernisasi” adalah pengeritan yang identik, atau hampir identik dengan pengertian “rasionalisasi”, yakni proses perombakkan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. 1 Maka “modernitas” bisa diartikan dengan kondisi konkret zaman modern yang di dalamnya meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ditinjau dari sosio-historis, periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode 1
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) h.
172.
50
51
sebelumnya (periode pertengahan) 2 . Menurut Bertrand Russell, ada dua hal terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas agama (dalam konteks Barat saat itu otoritas gereja), dan menguatnya otoritas sains. 3 Peristiwaperistiwa penting yang turut mendorong modernitas antara lain, Revolusi Industri Inggris dan Revolusi Prancis pada abad ke-18. 4 Menurut Nurcholish, betapa pun hebatnya zaman modern, namun kreativitas itu, dalam perspektif sejarah dunia dan umat manusia secara keseluruhan, masih merupakan kelanjutan berbagai hasil usaha (achievements) umat manusia sebelumnya. Unsur-unsur kultural kehidupan modern seperti bahasa, norma-norma etis, bahkan huruf dan angka serta temuan-temuan ilmiah, meskipun dalam bentuknya yang masih germinal dan embrionik, adalah produk zaman sebelumnya, yaitu zaman Agraria. Tanpa pernah ada zaman Agraria, zaman modern sendiri sama sekali mustahil. Oleh sebab itu, pertama-tama zaman modern harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan logis perkembangan kehidupan manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. 5 Karena merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, maka modernitas adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Lambat atau pun capat modernitas tentu muncul di kalangan umat manusia, entah kapan dan di bagian mana dari muka bumi ini. Jika 2
Masyarakat abad pertengahan adalah masyarakat yang relatif kecil, homogen, tanpa pembagian kerja, dimana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 68. 3 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko et. al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 645. 4 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 446.
52
“kebetulan” momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat Laut sekitar dua abad yang lalu, maka sebenarnya telah pula terjadi “kebetulan” serupa sebelumya, yaitu dimulainya momentum zaman Agraria dari Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar lima ribu tahun yang lalu.6 Lebih jauh lagi, munculnya zaman Agraria juga disebut sebagai permulaan sejarah, dan zaman sebelumnya disebut zaman “prasejarah” yang tanpa “peradaban”. Karena itu Lembah Mesopotamia dianggap sebagai tempat “buaian” peradaban manusia. 7 Jadi, modernitas (kemodernan), jika seandainya sekarang ini belum muncul, tentu akan membuka kemungkinan bagi kelompok manusia mana pun, dengan keungulan relatif antara mereka, untuk memunculkannya. Namun karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat itu, maka modernitas sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa-bangsa Barat), tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Kembali kepada kemodernan yang merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, pada gilirannya membawa dampak negatif yang sangat menantang, yaitu materialisme. Dimulai dengan kenyataan bahwa teknikalisasi – sebagai salah satu wujud kemodernan – dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama, 8 atau paling tidak mendorong ajaran agama pada posisi pinggiran, jika bukan 6
Jika zaman modern membawa implikasi terbentuknya Negara-negara nasional, maka konsep dan lembaga kenegaraan itu sendiri adalah akibat langsung dan diciptakan oleh zaman Agraria. 7 Patut diingat bahwa semua agama besar, baik yang Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) maupun yang “Asia” (Hiduisme, Budhisme, Konfusionisme) lahir dan berkembang di zaman Agraria. Zaman Agraria itu sendiri, semenjak permulaannya oleh bangsa Sumeria, telah berlangsung selama sekitar lima puluh abad, sementara zaman modern, dalam bentuknya yang mekar sekarang ini, baru berlangsung sekitar dua abad saja. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 447. 8 Fenomena tragis ini telah ditunjukkan dalam sejarah awal zaman modern di Barat, dimana otoritas gereja digantikan oleh otoritas sains. Lihat, Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 645647.
53
membuatnya tidak relevan dengan kenyatan hidup manusia. 9 Pada kenyataannya, Masyarakat modern bukan lagi masyarakat kecil dimana satu sama lain saling kenal dan bergotong royong secara sukarela. Masyarakat modern adalah masyarakat orang-orang asing yang heterogen secara kultural dan agama, dimana norma hubungan antar-manusia dieksploitasi dalam bentuk kontrak 10 (“saya bekerja bukan karena saya kenal anda, tetapi karena menurut perjanjian anda akan mengupah saya 100 perak per jam”). Berkenaan dengan bangsa Indonesia, masalah yang harus kita perhatikan adalah kenyataan religo-sosio-kultural bahwa sebagian besar bangsa kita adalah Muslim. Hal ini mengisyaratkan adanya potensi konflik antara modernitas – dengan materialisme sebagai implikasinya – di satu pihak dan Islam-Indonesia di pihak lainnya. Namun, menurut Nurcholish, sebenarnya ada segi dari Islam dan tradisi kaum Muslim yang diharapkan (secara lebih menentukan) mengambil bagian dalam usaha-usaha menanggulangi berbagai krisis zaman Modern, yakni pemahaman hakikat tawhîd yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang dilakukan berdasarkan dorongan batinnya. 11 Jika pola revolusi ilmiah umumnya tidak lebih dari pada hasil dari mencari pemcehan teka-teki (puzzle solving) – dan bukannya terbit dari semangat mencari Kebenaran Terakhir (Ultimate Truth) 12 –
9
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 72. 10 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 11 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 12 Dalam proses-proses kreatifitas ilmiah modern, umumnya, tidak mau, atau tidak berani, mengaku sebagai mencari “kebenaran”, melainkan lebih banyak mencari pemecahan berbagai teka-teki yang terkandung dalam suatu paradigma ilmiah yang dianggap mapan. Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73.
54
maka sebab utamanya adalah karena hilangnya semangat tawhîd dalam diri manusia modern. Dari penjelasan tentang kemodernan – dengan implikasi positif dan negatifnya – sebagai suatu kelanjutan logis sejarah, maka faktor – yang disebut Nurcholish dengan – “the man behind the gun” memegang peran amat menentukan dalam menjadikan teknologi bermanfaat atau bermudarat. “The man” adalah hakikat yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang dilakukan berdasarkan dorongan batinnya. 13
2. Sufisme dan Kemodernan Zaman modern, dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau sains serta teknologi sebagai bentuk terapannya, tidak dapat dibantah telah membuat hidup umat manusia menjadi lebih baik, atau jauh lebih baik. Kenyataan ini diperkuat oleh adanya dambaan semua bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan kemajuan, kekuatan dan kemakmurannya. Tetapi dari sisi lain, – yang gelap – ialah ketika ilmu pengetahuan berkembang menjadi “paham ilmu-pengetahuan” atau scientism, menuju ke arah pertumbuhan sebuah ideologi tertutup. Yaitu ideologi atau paham yang memandang ilmu pengetahuan sebagai hal terakhir (final), memiliki nilai kemutlakan, dan serba cukup dengan dirinya sendiri. Kenyataan ini terlihat ketika sains (modern) meyakini bahwa
13
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 532.
55
hakikat hanyalah kenyataan empirik, dan kemudian meragukan hal-hal di luar jangkuannya. 14 Pada gilirannya hal ini dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama, atau paling tidak mendorong agama pada posisi pinggiran, jika bukan membuatnya tidak relavan dengan kenyataan hidup manusia. 15 Dalam masyarakat serupa itulah timbul sinyalemen bahwa teknologi modern mengakibatkan alienasi, yaitu keadaan seseorang yang “terasing” dari dirinya sendiri dan nilai kepribadiannya, karena ia menjadi tawanan sistem yang melingkarinya dan di mana ia hidup, tanpa ia sendiri berdaya berbuat sesuatu apa pun. 16 Pada gilirannya, manusia modern menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap lingkungan alam manusia, dan ia menciptakan suatu situasi di mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran tatanan masyarakat tapi juga perbuatan bunuh diri. 17 Dengan kata lain, Beberapa implikasi negatif dari kemodernan itu melahirkan kegelisahan yang akut dalam jiwa manusia modern. Permasalahan yang muncul – dari kemodernan – kemudian adalah jika kemodernan – sebagaimana yang telah diungkapkan Nurcholish – adalah suatu kelanjutan logis sejarah atau perkembangan alami manusia, maka ketidak cocokan itu bisa bermakna serius, yaitu ketidak cocokan antara alam manusia dengan manusia itu sendiri serta ajaran agamanya. Namun optimistik Nurcholish tetap
14
Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: mizan, 2006h), h. 2768. 15 Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73. 16 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 17 Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta, Gramedia, 2009), h. 1.
56
kuat dalam memandang relevansi tasawuf dalam kemodernan. Menurut Nurcholish, kita perlu menumbuhkan kembali keyakinan kepada keserasian atau keseimbangan (mîzân atau tawâzun) atara diri kita (sebagai jagad kecil atau mikro-kosmos) dengan dengan alam raya keseluruhan (sebagai makro-kosmos). 18 Ini juga berarti menumbuhkan kembali dimensi religusitas dalam kehidupan manusia (modern). Karena religiusitas adalah milik praktis setiap orang. Manusia hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan jiwanya atau ruhaninya. 19 Demikian pula pada manusia modern, dimensi religius atau spiritual bukannya tak ada, tapi karena manusia modern “hidup di pingir lingkaran eksistensi”, tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. 20 Dengan kata lain permasalahan modernitas, atau sebagaian orang yang mempermasalahkan relavansi agama dengan modernitas, adalah dikarenakan memudarnya daerah kegaiban atau mistik dalam penghayatan keagamaan. Padahal tindakan keagamaan pada dasarnya dilakukan karena pengakuan adanya kenyataan supra-empiris atau gaib dan misteri (mistik). 21 Permasalahan tidak selesai sampai di situ. Pengakuan akan adanya kenyataan supra-empiris atau gaib pun terdapat pada manusia primitif dengan berbagai ritual pemujaannya 22 . Sebagai tokoh pembaru Islam, – yang mempunyai misi memurnikan ajaran Islam dari bid‘ah dan khurafat – Nurcholish, justru 18
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 81. 19 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 9. 20 Komaruddin, Agama Masa Depan, h. 3. 21 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 148. 22 Seperti agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam serta pengkultusan kepada leluhur.
57
melihat sisi positif lainnya dari kemodernan. Bahkan kemodernan menopang dan meningkatkan misi pemurnian ajaran agama atau meningkatkan religiusitas yang paling murni dan sejati. Yakni sikap keagamaan yang memandang keparcayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengaharapkan kegunaan di luari imannya sendiri. Maka agama menjadi semakin murni, dalam arti bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. 23 Dalam pada itu, sebagaimana telah diungkapkan Nurcholish, bahwa modernisasi adalah rasionalisasi, yakni proses perombakan pola berpikir dan tatakerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata-kerja baru yang akliah. Keguanaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Maka dalam menetapkan penilaian tentang kemodernan, juga berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Di sini Nurcholish ingin menegaskan bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah (Hukum Ilahi) yang haqq (sebab alam adalah haqq). Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat
23
Contoh sederhana, karena “instrument” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu masyarakat industrial (modern) telah disediakan oleh ilmu dan teknoogi – misalnya dalam bentuk insektisida – maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan – misalnya dalam bentuk doa – dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama; ia – dengan modernitas – mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 149.
58
menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Tuhan). 24 Namun demikian, karena keterbatasan kemampuannya, manusia tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan dinamis. Maka sekalipun bersikap modern (to be modern) itu suatu keharusan mutlak, tetapi kemodernan (modernitiy) itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam. Jadi, modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenarankebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. 25 Bukankah tujuan akhir (ultimate goal) hidup manusia ialah Kebenaran Akhir (Ultimate Truth), yaitu Tuhan itu sendiri atau Kebenaran Ilahi? Dari sini kita bisa melihat relevansi sufisme (tasawuf baru atau neosufisme) yang ditawarkan Nurcholish. Tasawuf yang mengajarkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, dan kaum sufi bertujuan untuk sampai kepada al-Haqq itu 26 dengan memelihara prinsip keseimbangan (mîzân atau tawâzun) dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya dan tetap bersikap positif kepada dunia. 27 Pembahasan di atas diharapkan dapat memberi gambaran memadai tentang prinsip-prinsip tawhîd, – sebagaimana semangat kaum sufi dalam menghayati dan 24
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 172. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 174. 26 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 48. 27 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 79. 25
59
mengamalkan tawhîd – adalah prinsip abadi, berlaku untuk selama-lamanya. Maka dengan sendirinya juga seharusnya dan memang berlaku untuk masa sekarang di zaman modern ini, dan kita dapat melihat apa saja yang dihasilkan sains (modern) yang sekiranya bisa menguatkan sistem keimanan agama. Itu semua membawa kita ke dalam hidup dan menjalani kehidupan dengan selalu bersandar (tawakal) kepada Allah, ingat (dzikir) dengan berdo‘a, dan berbuat hanya atas perintah-Nya dan demi ridlâ-Nya. Selanjutnya Nurcholish mengatakan bahwa yang diperlukan disni adalah adanya sikap istiqâmah agar dapat memperoleh hikmah agama secara optimal – lebih-lebih lagi – dizaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas, modernity) syarat dengan perubahan, bahkan “perubahan yang terlembagakan” (institutionalized change). 28 Istiqâmah yang di maksud (Nurcholish), tidak bermakna statis. Meskipun mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Jadi dalam modernitas, yang bericirikan perubahan yang terlembagakan ini, kita harus tetap bergerak, maju, namun tetap stabil, tanpa goyah, apalagi takut dengan oleh lajunya perubahan. Ini bisa terwujud kalau kita – lagi-lagi – menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, Sang Kebenaran Mutlak dan Abadi.
28
“Institutionalized change” artinya, jika pada zaman-zaman sebelumya perubahan adalah sesuatu yang “luar biasa” dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan. Nurcholish Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 174.
60
Kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati. 29
B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan 1. Sufisme dan Kebudayaan Lokal Potret sejarah Indonesia menujukkan bahwa sebelum Islam masuk di wilayah ini, kepulauan Nusantara telah mengenal kebudayaan Hindu-Budha. 30 Kebudayaan yang kemudian berkembang dalam masyarakat Indonesia terbentuk sebagai dampak dari kehadiran agama Hindu, Budha, dan Islam (dan belakangan Kristen). Bangunan budaya yang perekembangannya besendikan ajaran agama Islam dalam aspek-aspeknya yang tertentu, bertumpang tindih dengan budaya dan sistem kepercayaan lokal (Hindu-Budha). Ini terlihat dari upacara-upacara keagamaan di berbagai daerah di kepulauan Nusantara, bentuk dan corak sastra atau keseniannya, serta dalam berbagai kearifan lokal. 31 Berkaitan dengan kehadiran Islam di Indonesia, para da‘i sufi dengan paham tasawufnya, memainkan peranan penting dalam proses islamisasi di kepulauan Nusantara. Melalui tasawuf, semangat intelektual dan rasional Islam memasuki alam pikiran masyarakat Indonesia. Dengan adanya akulturasi atau
29
Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, h. 175. Bahkan jika melihat lebih jauh lagi, sebelum Hindu-Budha masuk di wilayah ini, Indonesia telah memiliki agama asli (primitif), yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara internal tumbuh, berkembang, dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal. Agama tersebut tidak jauh berbeda dengan agamaagama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomenafenomena alam. Mereka mempercayai adanya ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk, bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2. 31 Abdul Halim (ed.), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 95. 30
61
hubungan timbal balik ajaran Islam (baca: tasawuf) dengan budaya lokal, melahirkan manifestsi intelektual dan dan budaya baru yang tidak pernah ada sebelum Islam datang. Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal memang diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushûl al-Fiqh, bahwa “adat itu dihukumkan”, atau, lebih lengkapnya, “adat adalah syarî‘ah yang dihukumkan”. Dengan kata lain, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, bisa menjadi salah satu sumber hukum dalam Islam. Namun Nurcholish menegaskan, bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. 32 Namun, adalah hal yang sia-sia upaya menghilangkan dan menghapuskan – sama sekali – pengaruh (budaya lokal) dalam penerapan ajaran-ajaran tasawuf. Tetapi, dikarenakan adanya sejumlah titik temu (kemiripan) antara akidah Islam versi kaum sufi dengan kepercayaan-kepercayaan Hindu-Budha 33 yang sudah terlebih dahulu berakar di Nusantara, dan oleh karena sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang, maka tasawuf pun mudah diterima. Bahkan warisan ajaran-ajaran agama Hindu-Budha – menurut Nurcholish – telah membantu mematangkan kesiapan bangsa Indonesia menerima 32
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 544. Dalam agama Hindu terdapat ajaran yang mendorong manusia untuk meniggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman; Di dalam ajaran Budha terdapat paham nirwana. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2006), h. 45. 33
62
kedatangan
agama
Islam
melalui
tasawufnya
itu.
Sebaliknya
dalam
perkembangannya, sufisme telah ikut memepengaruhi ajaran-ajaran mistik setempat. 34 Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan, bahwa apa yang disebut “kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisme Jawa. Pengaruh al-Ghazâlî juga amat terasa dalam kalangan “kejawen”, 35 . Kenyataannya, dalam Kepustakaan Kejawen, banyak terdapat naskah-naskah gubahan – kebanyakan –
dalam bentuk sekar macapat (puisi),
yang isinya banyak mengungkapkan konsep-konsep ajaran martabat tujuh (suatu ajaran tasawuf yang pada dasarnya berpaham pantheistis dari pengembangan Ibn ‘Arabi). Sastra Mistik yang berbentuk sekar dalam sastra Jawa disebut serat suluk. 36 Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri. Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaan-bacaan itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab seperti yang diajarkan oleh kiai atau guru mereka. Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn adalah yang paling banyak dipelajari ketika mendalami ajaran-ajaran kesufian. Oleh karena pengaruh kuat dari kitab Ihyâ’ itu maka boleh dikatakan tidak pernah ada ekses-ekses yang ditimbulkan
34
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55. Ini bisa dilihat dari banyaknya konsep kesufian dalam literatur kejawen, seperti konsep tarikat, makrifat, hakikat, dan lain-lain. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 67. 36 Lihat, Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 19-20. 35
63
kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun dalam amalan-amalannya. 37 Sekalipun budaya lokal (Hindu-Budha), serta mistik setempat selalu dianggap sebagai unsur dalam kalangan sufi, tetapi gejala itu tidak pernah menjadi ciri yang menonjol. Paham-paham yang lebih murni atau ortodoks dari ilmu-ilmu kalam dan fiqih senantiasa “mengawasi” amalan-amalan sufisme dan intuisinya agar tidak jatuh dalam amalan-amalan yang menyimpang. Karena itu gerakan sufisme dan tarekatnya tidak pernah terkena pengertian yang dikandung dalam perkataan klenik. Klenik lebih banyak diasosiasikan dengan gerakan kebatinan di luar tarekat-tarekat. 38 Pendekatan kompromis yang dijalankan oleh para sufi dan guru-guru tarekat yang tidak mempersoalkan kemurnian agama memang cukup luwes, tasawuf bisa diterima berdampingan dengan tradisi lama tanpa menimbulkan ketegangan yang berarti. Institusi-institusi lama seperti kenduri dan upacaraupacara lainnya bisa diislamkan dengan mudah hanya dengan Pak Kiai yang memberi berkah doa atau bacaan-bacaan tahlil dan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.39 Inilah yang dimaksud Nurcholish dengan adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara tasawuf dengan tradisi atau budaya lokal. Tradisi-tradisi masyarakat yang pada masa lalu diliputi oleh praktik-oraktik yang berlawanan dengan ajaran tawhîd serta ajaran-ajaran lain dalam Islam, seperti, misalnya,
37
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 56. Organisasi seperti NU pun berjasa dalam mencegah adanya kecenderungankecenderungan esoteris yang berlebihan. Sebagaimana telah disinggung di muka, NU menetapkan ketentuan tentang tarekat mana yang sah (mu‘tabarah) dan yang tidak sah (ghayr al-mu‘tabarah). Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 67. 39 Simuh, Sufisme Jawa, h. 21. 38
64
takhayul dan mitologi, semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran-ajran Islam tentang tawhîd atau paham Ketuahanan Yang Maha Esa (dengan implikasi terkuat anti pemujaan gejala alam dan sesama manusia atau kultus). 40 Jadi, kehadiran tasawuf di Indonesia mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Tapi, pada saat yang sama, kehadirannya tasawuf tidak mesti “distuptif” atau memotong suatu tradisi masyarakat dari masa lampaunya semata.
2. Sufisme dan Kebhinnekaan Kita di negeri ini biasa menyebut masyarakat Indonesia sebagai sebuah mayarakat majemuk (plural). 41 Menurut Nurcholish, kemajemukan (pluralis) bangsa Indonesia bukanlah suatu keunikan dari kalangan masyarakat atau bangsabangsa lain. Karena dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat pun yang benarbenar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Meskipun ada suatu masyarakat yang bersatu, tidak terpecah-belah, tetapi keadaan bersatu (being united) itu tidak dengan sendirinya berarti kesatuan atau ketunggalan (unity) yang mutlak. Sebab, persatuan itu dapat terjadi, dan justru kebanyakan terjadi, dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E Pluribus Unum, Bhinneka Tunggal Ika). 42
40
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 546. Dilihat dari segi geografis, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 13.000 pulau, baik dihuni atau tidak. Disamping itu, secara sosial, Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, dan adat istiadat, yang menunjukkan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi. Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineka, 1999), h. 49. 42 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 155. 41
65
Dalam Kitab Suci terdapat petunjuk yang tegas bahwa kemajemukan (kebhinnekaan) itu adalah kepastian atau ketentuan Ilahi (taqdîr menurut maknanya dalam al-Qur’an) dari Allah Ta‘âlâ. Sebagai ketentuan Ilahi, kemajemukan berarti termasuk ke dalam kategori sunnatullâh yang tak terhindarkan karena kepastiannya. 43 Tentu saja, dan tidak perlu lagi ditegaskan, perbedaan yang dapat ditenggang itu ialah yang tidak membawa kepada kerusakan kehidupan bersama, melainkan menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri. Namun, dalam potret sejarah masyarakat Indonesia mempunyai pegalaman kemajemukan internal, bahkan perpecahan dan pertentangan yang acapkali mengalami eskalasi sampai ke tingkat yang berbahaya. Penomena ini pernah terjadi di bidang politik, dan pendidikan. 44 Kenyataan itu sebagian masih dapat disaksikan sampai saati ini, dan masih mempengaruhi kalangan tertentu di antara kita, baik antara umat Islam maupun antar umat lainnya. Menurut Nurcholish, pertentangan antar umat atau golongan itu terjadi dikarenakan kealpaan manusia terhadap prinsip-prinsip dalam berbagai nuktah ajaran dalam Kitab Suci, yakni tentang Kebenaran Universal. Pokok pangkal
43
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mangetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujarât: 13). 44 Di bidang politik di zaman penjajahan, pernah terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang memilih sikap non-kooperatif (misalnya, Sarekat Islam) dan kooferatif (misalnya, Muhammadiyah). Di bidang pendidikan, juga terdapat pertentangan cukup gawat antara, misalnya, Muhammadiyah dan al-irsyad, yang membuka diri menerima unsur-unsur modern yang telah diperkenalkan oleh sistem sekolah Belanda (HIS, MULO, AMS, HBS, dan seterusnya) di satu pihak, dan, contohnya, Nahdlatul ‘Ulama yang menolak sistem Belanda dan mempertahankan sistem “asli” Islam dan bangsa sendiri (madrasah, pesantren, dan seterusnya) di lain pihak. Lihat, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 157-158.
66
Kebenaran Universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhîd. Kebenaran Universal, dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beragam. Ini juga mengahasilkan pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal, karena berpegang kepada kebenaran yang tunggal. Tetapi kemudian mereka berselisih sesama mereka, justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang dan mereka berusaha memahami setaraf dengan kemampuan mereka. 45 Maka terjadilah perbedaan penafisran terhadap kebenaran yang tunggal itu, yang perbedaan itu kemudian menajam berkat masuknya vested interest akibat nafsu memenangkan suatu persaingan. 46 Disebabkan adanya prinsip Kebenaran Universal tersebut, maka al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious pluralitiy). Ajaran itu tidak perlu diartikan sebagai pengakuan langsung akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan utnuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok. 47 Sikap demikian dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada. Karena – sebagaimana telah diuraikan di atas – semua agama itu
45
Semula manusia adalah yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kitab suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan dan tidaklah berselisish tentang hal itu kecuali mereka yang telah menerima kitab suci itu sesudah datang kepada mereka berbagai keterangan, karena persaingan antara mereka. (Q.S: al-Baqarah: 213) 46 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176. 47 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 180.
67
pada mulanya mengantu prinsip yang sama, yaitu prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan keharusan manusia untuk berserah diri kepada-Nya (al-Islâm), maka agama-agam itu, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungannya satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik temu”, “common platform” atau dalam istilah al-Qur’an, “kalîmah sawâ”. 48 Selanjutnya, melalui semangat kebhinnekaan diusahakan mengubah perbedaan menjadi pangkal sikap hidup yang positif, seperti “berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan (al-khirât)”, dengan sikap saling menghormati sesama anggota masyarakat, dan menghargai pendirian serta pandangan masing-masing. Dalam pada itu, tradisi tasawuf atau mistisisme Islam, ada diskurusus yang lebih menekankan sisi esoteris dan esensi (baca:hakikat). Di sana banyak kita jumpai para asketis dan kaum Sufi yang tidak henti-hentinya mengajak pentingnya
persatauan
agama-agama
(wihdat
al-adyân).
Seperti
yang
diungkapkan oleh Abû al-Mughîts Husain al-Hallâj (w. 309 H.), dan Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî (w. 638 H./1240 M.) misalnya. Menurut mereka, semua agama itu hakikatnya satu, yaitu mengakui, menyembah, dan mengabdi kepada Tuhan alam semesta, Tuhan semua agama. Sementara namanya, yakni atribut dan simbolsimbolnya, bisa saja bervariasi. Ada Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau pun lainnya. Namun jelas, hakikatnya itu tidak ada bedanya. 49 Perbedaan agama tak ubahnya seperti lingkaran yang tak punya ujung dan pangkalnya. Dalam lingkaran itu tergambar prinsip kausalitas yang menuntut adanya perbedaan keberagamaan. 48
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 181. Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), h. 280. 49
68
Namun di balik itu, justeru terdapat kesatuan. Perbedaaan agama itu muncul karena perbedaan hubungan-hubungan keilahian, atau berbedanya pintu-pintu menuju Tuhan. 50 Dari keterangan di atas kiranya menjadi jelas bahwa bentuk-bentuk kegamaan tertentu dapat merupakan masalah dalam usaha mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Upaya menggoyahkan nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika, tidak lepas dari pemahaman yang belum tuntas akan makna “hidup” dan “kehidupan”. Pemahaman nilai-nilai eksoteris dan ajaran formal agama yang hanya mengutaman simbol-simbol ketimbang esensinya merupakan salah satu kendala bagi implementasi somboyan tersebut. Begitu pula munculnya politik yang sarat kepentingan pribadi dan golongan sebagai sarana pemuas hawa nafsu belaka. Sejarah mencatat intrik-intrik tersebut, cepat atau lambat, akan menceburkan manusia ke dalam kehidupan yang serba tidak menentu. 51 Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, untuk mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika, hendaknya manusia tidak membanggakan apa yang ada dalam diri sendiri atau kelompok sendiri, yang antara lain dapat mengahasilkan pandangan diri sendiri atau kelompok sendiri sebagai yang pasti paling benar dan diri orang lain atau kelompok lain pasti salah. Bahkan hal ini dapat disebutkan sebagai jenis kemusyrikan karena dibalik itu teselip pandangan memutlakkan diri sendiri dan kelompok sendiri. Sikap ini jelas bertentangan dengan semangat tawhîd yang konsekuensi logis utama dan pertamanya ialah meniadakan kemutlakan kepada apa pun, termasuk diri sendiri dan kelompok sendiri, sebab yang mutlak hanya 50 51
Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 314. Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 282.
69
Allah, Tuhan Yang Maha Esa semata. 52 Dengan kata lain, pemutlakan diri sendiri dengan berbagai kecenderungan subyektifnya, begitu pula ketaatan mutlak kepada sesama makhluk, adalah tidak sejalan dengan iman yang benar berdasarkan tawhîd, sehingga akhirnya juga berdampak negatif kepada jiwa persaudaraan atas dasar persamaan hak dan kewajiban serta harkat dan martabat manusia. Di sini sesunggunhnya kita diajarkan untuk menerapkan prinsip kenisbian ke dalam diri (internal relativism), tanpa klaim kemutlakan untuk diri sendiri dan kelompok sendiri, sebagai yang benar. Maka yang diperlukan di sini adalah penghayatan dalam batin (esoteris) tentang orientasi hidup pribadi yang transendental, melalui tawhîd yang murni. Orientasi hidup pribadi itu kemudian diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial. 53 Jadi, semangat Bhinneka Tunggal Ika (kemajemukan ras, bahasa dan agama), dan juga pengalaman esoteris agama (seperti tasawuf dalam Islam) adalah suatu keniscayaan bagi sebuah komunitas yang beragama di Indonesia sebagai upaya menumbuhkan kerukunan hidup antar-umat beragama. 54 Dengan demikian, sufisme selalu up to date bagi masanya dan relevan dengan kehidupan dan tantangan yang dihadapi manusia di setiap waktu dan tempat. Hal ini jelas akan lebih baik jika dilakukan bersama-sama dengan membangun iklim dialog antarumat beragama yang kondusif.
3. Sufisme dan Politik
52
Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 62. Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 65. 54 Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 316. 53
70
Sebagaimana
telah
disinggung
bahwa
tasawuf,
–
pada
awal
pertumbuhannya di dunia Islam – selain sebagai olah rohani, juga merupakan gerakan oposisi politik pada masa pemerintahan kaum Umawi di Damaskus (685705 M.) yang dipandang kurang “religius” oleh kaum Sufi (orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud pada masa itu). Semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. 55 Hal serupa juga terjadi di beberapa tempat lainnya 56 termasuk di Indonesia. Di Indonesia, kaum sufi atau sufisme, selain telah menjadi perantara bagi tersebarnya agama Islam, juga telah memilhara jiwa keagamaan di kalangan kaum Muslim pada saat Indonesia mengalami kemunduran dalam hal kekuatan politik dan militer pada masa kolonial Belanda (sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya sekitar tahun 1930-an). 57 Terlebih lagi ketika persepsi orang Indonesia mengenai penjajah Belanda kala itu bahwa mereka datang ke Indonesia untuk menghapus Islam dari negeri ini dan untuk kemudian digantikan dengan agama
55
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 251. Di tempat-tempat yang ada pengikut tarekat hampir selalu bisa ditemukan suatu pondokan atau zâwiyah guna menampung para fakir yang hendak melakukan wirid atau suluk. Zâwiyah itu dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, bahkan tidak jarang menjadi cikal bakal kekuatan politik yang besar pengaruhnya di kumudian hari. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55. 57 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 30. 56
71
Kristen. Hal ini mereka lihat dalam intensitas upaya yang dilakukan untuk menghalang-halangi ulama menyerukan jihad demi agama dan negara.58 Kebijakan-kebijakan (ordonasi) kolonial yang dipahamai sebagai tekanan, pada akhirnya menjadi akar keresahan orang Indonesia yang selanjutnya membangun sikap emosi dan frustasi yang kumulatif. Keadaan ini menjadi lebih buruk oleh runtuhnya kekuasaan para pemimpin mereka. Sejak akhir bad ke-18, sultan-sultan di seluruh Jawa (seperti Demak dan Banten, selanjutnya Mataram dan Cirebon) telah kehilangan hak-hak istimewa (previlage) dari rakyatnya, yang dihancurkan oleh politik kolinal. 59 Kehadiran Tarekat – terutama tarekat Qâdiriayah-Naqsyabandiyah – di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa terutama di pusat-pusat kegiatan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah seperti Banten, Kediri, dan Sidoarjo (sekitar tahun 1870 M.) telah membawa angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan pola hidup tertekan. Pada saat itu pula ia memperoleh momentum pengikut yang luar biasa, dan membuat gerakannya mengakar kuat di kalangan rakyat jajahan, dengan isu-isu sentralnya: “jihâd fî sabîlillah”, “kolonial kafir yang harus diusir”, dan sebagainya. Saat itu, tarekat mengubah fungsi dan perannya dari “sistem sosial-organik” atau gerakan keagamaan ke “sistem religio-politik”. 60 Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin menggebu, juga dikarenakan – meski pun secara samar-samar – kaum Muslim umumnya dan kalangan tarekat khususnya memercayai akan datangnya seorang pemimpin besar bernama Imam Mahdi. Apalagi tarekat Qâdiriayah-Naqsyabandiyah yang mengklaim pertautan 58
Alwi, Islam Sufistik, h. 194. Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, h. 31. 60 Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, h. 32. 59
72
amalannya dengan Nabi Muhammad adalah melalui ‘Alî, dan diperkuat oleh unsur-unsur Syî‘ah yang masuk. Dalam kebatinan, – yang menurut Nurcholish adalah sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisme Jawa – pengharapan akan datangnya seorang pemimpin besar yang mendapat hidayah atau petunjuk Ilahi dihubungkan dengan kedatangan Ratu Adil. 61 Pengharapan akan datangnya seorang pemimpin besar atau yang biasa disebut (messianisme), 62 Menurut Nurcholish, adalah sumber kekuatan dan semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan messianisme itu mereka tidak pernah kehilangan harapan kepada suatu bentuk pertolongan dari langit. Ia menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang dengan amat sangat mendambakan kebebasan dan keadilan. 63 Jadi, hubungan sufisme dalam perpolitikan di Indonesia dapat dilihat dari bagaimana efektifnya potensi yang dimiliki kaum tarekat (khususnya QâdiriayahNaqsyabandiyah) dengan kebutuhan psikologis dan sosiologis rakyat Indonesia. Ia telah menjadi katalisator dalam menggerakkan massa, bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga dalam pemikiran politik, baik melalui konsep-konsep jihad maupun dalam menentukan sasarana-sasaran pencapaiannya. Sampai di sini kita melihat hubungan yang signifikan antara sufisme dan dunia politik Indonesia pada masa kolonial atau sebelum kemerdekaan. Selanjutnya, relevansi sufisme dan politik Indonesia juga sangat signifikan,
61
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3299. Messianisme adalah suatu paham menantikan datangnya seorang “messiah” yang bakal menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi. “Messiah” beasal dari bahasa Ibrani, “messiah” yang merupakan padanan atau cognate perkataan Arab al-masîh. Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 103. 63 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 106. 62
73
bahkan sangat dibutuhkan hingga masa kemerdekaan saat ini, dimana demokrasi dengan nilai-nilai pancasila sebagai substansinya menjadi landasan politiknya. 64 Menurut Nurcholish, demokrasi sudah barang tentu mengimplikasikan sebuah kebebasan pribadi. Namun, banyak orang yang takut kebebasan, karena di situ dituntut tanggung jawab pribadi yang lebih besar. Ketakutan itu bisa menjadi penghalang yang besar atas terwujudnya demokrasi (khususnya di Indonesia). Oleh karena itu, penting sekali diperhatikan segi pendidikan politik, yang di situ masalah kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang mengiringinya harus diberikan secara proporsional. Suatu kebenaran yang mungkin terdengar ganjil bahwa dimensi sosial hidup manusia – termasuk sistem politik demokrasinya – akan membutuhkan tumbuhnya individu-individu yang kuat, yang menghargai kebabasan dan siap menerima konsekuensinya berupa tanggung jawab pribadi. 65 Masing-masing perorangan itu pulalah yang akhirnya dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya (dalam pengadilan Hadirat Ilahi di akhirat nanti) tanpa kemungkinan mendelgasikannya kepada pribadi yang lain.66 Jadi, untuk mewujudkan stabilitas politik guna memberi atmosfir yang baik bagi pembangunan Negara Indonesia, dibutuhkan kekokohan pribadi (yang bertanggungjawab), karena dalam nilai-nilai inilah terdapat makna dan tujuan
64
Meskipun dari rumusan verbalnya, pancasila, banyak menggunakan ungkapanungkapan dari bagasa Sanskerta (seperti kata Maha Esa) dan dari bahaa Arab (seperti kata adil, adab, rakyat, hikmat, dan musyawarah), namun segi-segi substansinya telah benar-benar ada dalam budaya “asli” masyarakat Indonesia. Nurcholish, Tradisi Islam, h. 181. 65 Nurcholish, Tradisi Islam, h. 185. 66 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 68.
74
hidup yang hakiki. 67 Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertangung-jawbkan
di
hadapan
Tuhan
adalah
sekaligus
yang
bisa
dipertangjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah sufisme yang lebih khusus, tanggung jawab yang bersifat pribadi itu membawa akibat adanya kesentosaan (salâmah) 68 yang terwujud melalui amal saleh yang ada dalam konteks interaksi antara sesama manusia dan bahkan sesama ciptaan Tuhan dalam arti seluas-luasnya. Maka perolehanan spiritual pribadi akibat adanya iman yang benar, sikap pasrah yang tulus (al-Islâm) ridlâ dan tawakal kepada Allah serta ingat (dzikr) kepada-Nya, tidak bisa tidak melahirkan berbagai konsekuaensi tingkah laku yang mewujud dalam kerangaka kehidupan sosial. 69 Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran harus mewujudkan diri dalam tindakan. 70 Dari sini bisa disimpulkan bahwa sikap sufistik atau sufisme – yang merupakan esoterik Islam atau penghayatan keagamaan batin dan bersifat pribadi – menurut Nurcholish, sangat diperlukan dalam dunia politik Indonesia yang berlandaskan demokrasi pancasila. Terlebih sufisme yang dikehendaki Nurcholish adalah sufisme yang hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah
67
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 156. Salâm atau salâmah adalah rasa kedamaian dan keselaranan ruhani yang merupakan buah langsung dari sikap pasrah yang tulus kepada Allah (al-Islâm mengahasilkan salâm). Sikap ini menghantarkan manusia kepada tingkat kebahagiaan ruhani yang tertinggi, yakni jiwa yang tenang-tentram (al-nafs al-muthma’innah). Lihat, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 340. 69 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaba, h. 343. 70 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 157. 68
75
kemasyarakatan atau sosio-politik. 71 Kemudian yang menjadi prioritas utamanya adalah perilaku dan moralitas manusia agar bisa berakhlak mulia, dan bukan mengutamakan unsur legal-formal agama Islam seperti terwujudnya – sebuah apologi – Negara Islam, 72 kejayaan partai Islam, serta ekpresi simbolis dan idiomidiom politik, kemasyarakatan, dan budaya Islam sebagai bagian dari eksperimentasi sistem ketatanegaraan Islam. 73 Jadi, meskipun tasawuf tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun tasawuf memberi etos, spirit, dan muatan doktrinal dalam individu-individu masyarakat Indonesia, yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratik.
4. Sufisme dan Pendidikan Moral Bangsa Dewasa ini, di Indonesia, terdapat persoalan-persoalan serius yang juga menarik perhatian dunia internasional. Di antara persoalan-persoalan bangsa tersebut yang paling terlihat dan bisa dirasakan sangat kuat adalah menurunnya martabat bangsa. Ini ditandai dengan mudahnya individu-individu tergelincir ke dalam berbagai pengaruh negatif yang datang dari modernisasi. 74 Julukan yang desematkan pada negeri kita pun semakin banyak saja, misalnya: “bangsa yang tingkat korupsinya tertinggi” atau “low trust society” atau masyarakat yang rendah tingkat kejujurannya. Sungguh sesuatu yang sangat ironis. Apalagi jika
71
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 176. 72 Untuk kajian yang lebih komferehensif mengenai apologi “Negara Islam”, Lihat, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 253-255. 73 Halim (ed.), Menembus Batas Tradisi, h. 58. 74 Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 236.
76
dikaitkan dengan kenyataan bahwa negeri ini sebagaian besar penduduknya adalah penganut agama Islam. Kenyataan ini, jelas dikarenakan oleh pembangunan bangsa yang tidak banyak memusatkan pada penataan nilai-nilai perwatakan budaya bangsa (nation and character building). Pemusatan yang berlebihan pada “investasi kapital” telah memakan korban pada penurunan mentalitas bangsa. Kepincangan ini akhirnya menghasilkan rendahnya SDM, pupusnya kreativitas, tumbuhnya keenderungan pembajakan budaya, serta tercerai-berainya moralitas bangsa. Dunia pendidikan yang diharapkan menjadi “kawah candradimuka” bagi penyebaran tata nilai humanis, serta ketahanan mental bangsa, ternyata banyak mendapat hardikan, karena tidak berdaya mengemban amanah bangsa. Maka pendidikan pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakanperombakan substansial menuju penyadaran hakiki (fitrah) dengan bertumpu pada pemaknaan hidup secara lebih humanis. Dengan kata lain, pendidikan, sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan, harus ditundukkan di bawah pertimbangan fitrah kemanusiaan. Ia tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan kesadaran kemanusian, sehingga dapat memberi umpan balik yang merusak kehidupan, bukan kebaikan. 75 Maka, menurut Nurcholish, yang diperlukan oleh manusia adalah sikap batin yang senantiasa komunikatif dengan Tuhan, karena kebaikan, atau juga Kebenaran Sejati, ialah Tuhan sendiri. Kebaikan yang memanusia ialah yang dirasakan oleh hati nurani ketika ia secara sungguh dan mendalam berkomunikasi dengan Tuhan sebagai Kebaikan Sejati, serta
75
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 270.
77
menginsafi adanya kehidupan kekal nanti. 76 Jadi, perubahan orientasi pendidikan ini sepatutnya diarahkan pada “wilayah esoteris” yang merupakan kesadaran hakiki terhadap potensi diri yang berwatak multidimensional. Kesadaran esoteris ini senantiasa meneguhkan nilai-nilai Ilahiah yang menjadi sumber dari segala bentuk kesadaran. Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat berjalan berkelindan dengan pertumbuhan dan proses sosialisasi dan inkulturasinya dalam bentuk yang bisa diserap secara optimal atau bahkan maksimal. Sebagaimana telah disinggung, tasawuf bukanlah suatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral-spiritual dalam masyarakat. Kaum sufi adalah kelompok garda depan di tengah masyarakatnya. Mereka sering kali memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial. Pendidikan, yang biasanya digelar di dalam maupun di serambi Nurcholish, merupakan instrument penyadaran itu. 77 Selanjutnya, pembicaraan tentang hubungan tasawuf dengan pendidikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia mengacu kepada pembicaraan peranan pesantren yang merupakan penjabaran real sistem pendidikan dalam tasawuf. 78
76
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 271. Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 52. 78 Meskipun pesantren atau pondok merupakan perkembangan dari sistem zâwiyah yang dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Sedangkan yang melakkukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit. Lebih sedikit lagi 77
78
Pesantren memiliki peranan menentukan dalam bidang pendidikan. Tidak dapat dibayangkan keadaan pendidikan pada umumnya dan agama khususnya bagi masyarakat Indonesia tanpa adanya pesantren ini dan bagaimana mereka dapat memainkan peran yang diinginkan karena pesantren umumnya di daerah pedesan yang merupakan 80 persen dari jumlah penduduk Indonesia. 79 Menurut Nurcholish, Jika melihat kenyataan di Indonesia, bahwa ajaranajaran tasawuf merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam yang paling mudah dan cepat menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya dan mistik setempat (kejawen). Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri. Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaa-bacaan itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab. 80 Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah yang paling banyak dipelajari ketika mendalami ajaran-ajaran kesufian. Ghazaliisme dapat dikatakan merupakan “modus vivendi” antara rasionalisme ilmu kalam ortodoks atau sunni dan ilmu fiqhnya dengan intuisiisme kaum sufi. Karena pengaruh kuat dari kitab Ihyâ itu maka boleh dikatakan tidak pernah ada ekses-ekses yang ditimbulkan
adalah pesantren yang mengkhususkan diri dalam bidang tasawuf sebagai objek pengajarannya. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55. 79 Alwi, Islam Sufistik, h. 194. 80 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 56.
79
kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun dalam amalan-amalannya. 81 Namun demikian, terdapat berberapa permasalahan metodik-didaktik dalam penerapan pendidikan yang berdimensi esoterik atau tasawuf di Indonesia. Masalah itu ditimbulkan oleh kenyataan bahwa pengajaran agama di lembagalembaga pendidikan kita (sekolah dan madrasah, dari tingkat paling bawah sampai tingkat paling tinggi) umumnya didominasi oleh orientasi lahiriah Fiqh dan Kalam, atau oleh segi-segi eksoteris. Kondisi ini melahirkan anak-anak didik yang lebih paham, misalnya, syarat dan rukun bagi sah-tidaknya shalat, tanpa dengan mantap mengetahui apa sesungguhnya makna shalat itu bagi pembentukan diri pribadinya, lahir dan batin. Kemudian, karena dominasi Kalam, mereka (anakanak didik) lebih mampu, misalnya, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan ada, tanpa memiliki keinsafan yang cukup mendalam tentang apa makan kehadiran Tuhan (rasa Ketuhanan dalam kalbu) itu dalam hidup ini. 82 Tetapi Nurcholish menegaskan, bukan berarti bahwa bukan berarti Fiqh dan Kalam menjadi tidak penting. Fiqh dan Kalam tetap penting diajarkan kepada anak didik, dan tasawuf – sehingga tumbuh menjadi disiplin kajian tersendiri dalam lingkungan ilmu-ilmu keislaman – adalah sedikit banyak merupakan usaha untuk membendung ekses orientasi lahiriah dari Fiqh dan Kalam (seperti yang disebutkan diatas, umpanya). Tasawuf – sebagaimana yang dijelaskan Nurcholish – lebih menekankan urusan batin, namun, tanpa meninggalkan urusan lahir. Mereka terkenal kaya dengan lukisan-lukisan tentang bagaimana yang lahir itu 81 82
Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 57. Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 141.
80
terkait (tanpa mungkin dipisahkan) dengan yang batin, dan sebaliknya. “yang batin memerlukan yang lahir, sebagaimana orang yang akan mampu mendaki gunung (batiniah) dengan sendirinya harus mampu berjalan di tanah datar (lahiriah). 83 Jadi dalam masalah pendidikan yang berorientasi kepada pembinaan moralitas adalah bagaimana cara menyadarkan anak didik akan makna ibadatibadat itu bagi pembentukan diri pribadinya, yakni akhlaknya. Oleh karena itu, tasawuf jelas sangat terkait dengan masalah ini. Karena ajaran tasawuf dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari ajaran tentang ihsan, salah satu dari tiga serangkai ajaran Islam (Islam, iman dan ihsan). Dengan demikian akan tertanam dalam jiwa anak didik kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup, dan Tuhan selalu mengawasi segala tingkah laku kita. 84 “Kemana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Tuhan” (Q.S. 2:115). “Dia beserta kamu di mana pun kamu berada, dan Dia mengetahui segala sesuatu yang kamu perbuat”. (Q.S. 57:4)
5. Sufisme dan Dunia Usaha Masyarat Indonesia pada dasarnya adalah mayarakat yang baik dan tahan menderita. Mereka bisa dibujuk untuk bersabar, termasuk tahan untuk menahan lapar. Yang tidak bisa diterima oleh mereka adalah kalau anak-anak mereka juga harus ikut menderita, tidak bisa makan, tidak bisa sekolah, dan lain-lain. Kondisi ini yang biasa disebut dengan “kemiskinan” dalam arti yang sebenarnya, karena sudah menyangkut sandang, pangan, dan papan. Pada gilirannya kejahatan, atau 83 84
Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 142. Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 121.
81
kriminalitas merejala rela karena kemiskinan adalah salah satu penyebab utama kejahatan. 85 Kalau kondisinya sudah sampai seperti itu, maka segala macam himbauan moral menjadi tidak relevan lagi. Maka pembahasan ekonomi dan dunia usaha dirasa sangat diperlukan. Terlebih jika melihat kemajuan peraadaban suatu bangsa dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekologi (IPTEK), dan perkembangan ekonomi. Indonesia saat ini misalnya dikatakan terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemerosotan sejak pertengahan 1997. Dengan demikian, untuk memulihkan pembangunan di Indonesia, maka ia harus dapat memulihkan kembali – selain memajukan mutu pendidikan – kehidupan ekonominya. Kita sering mengutuk Karl Marx (1818-1883 M.) yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Tetapi tanpa sadar kita sering membiarkan agama benar-benar menjadi candu, yakni ketika masyarakat memahami kemiskinan yang menimpa mereka sebagai “takdir Tuhan” yang tidak bisa diubah, dan tidak perlu diubah. Sehingga muncullah kepasrahan-kepasrahan yang tidak pada tempatnya. 86 Misalnya, “Biarlah saya hidup miskin di dunia, yang penting bisa bahagia di akhirat”. Sepintas kepasrahan semacam itu menunjukkan keluhuran budi yang tiada tara, bahkan seperti layaknya kapasitas akhlak seorang sufi. Menurut Nurcholish, ekonomi merupakan garis sentuh antara hidup nafsani-ruhani manusia dengan lingkungan jasmani atau kebendaan di sekitarnya. Dalam bahasa Arab, “ekonomi” adalah “iqtishâd”, suatu istilah yang mengarah 85
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, cet. 3, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 129. Nurcholish Madjid et. al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 463. 86
82
kepada pengertian tindakan hemat, penuh perhitungan, berkeseimbangan, dan tidak boros. Sebab penggunaan benda yang tersedia dalam alam lingkungan hidup manusia itu harus dilakukan dengan cara yang hemat (“ekonomis”). 87 Jadi, sudah menjadi suatu keharusan bagi manusia untuk hidup dengan cara ekonomis, dan bukan hidup dengan kepasrahan-kepasrahan yang tidak pada tempatnya tadi. Pembicaraan tentang ekonomi erat hubungannya dengan dunia usaha atau bisnis, baik yang dilakukan individu (perorangan) maupun kelompok, dan sudah barang tentu berkaitan dengan individu atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, dalam dunia usaha diperlukan perangkat-perangkat hukum (seperti undangundang
penanaman
modal,
undang-undang
perbankan,
undang-undang
ketenagakerjaan, dan lain-lain). Namun, perangkat hukum tersebut tidak dapat sepenuhnya menunjang dalam dunia usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan perangakat lain, yakni “etos”88 . Dalam konteks dunia usaha atau bisnis, maka yang dibutuhkan adalah etos kerja yang matang pada setiap individu. Perngertian etos ini mengarah kepada adanya keyakinan yang kuat akan harga atau nilai sesuatu yang menjadi bidang kegiatan usaha atau bisnis. Yang pertama-tama harus ada dalam etos bisnis ini ialah keyakinan yang teguh dan mendalam tentang nilai penting dan penuh arti dari suatu bisnis. jadi, seseorang disebut punya etos bisnis, jika padanya ada keyakinan yang kuat bahwa bisnisnya bermakna pernuh bagi hidupnya. unsur keyakinan dalam bisnis ini umumnya
87
Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 241. “Etos” berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karekter. Maka secara lengkapnya “etos” ialah karakter dan sikap, kebiasaan seseorang individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlâq” atau bersifat “akhlâqî”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 401. 88
83
terkait dengan masalah kesadaran tentang makna dan tujuan hidup. Seorang pelaku bisnis harus dapat melihat bahwa bidang usahanya sebagai kelanjutan dari makna dan tujuan hidupnya. Meskipun bisnis hanya bernilai alat atau jalan mencapai tujuan, tapi karena dalam keyakinannya itu terletak demikian kuat kaitan bisnis dengan makna dan tujuan hidupnya, maka seorang pelaku bisnis tidak menyikapinya dengan setengah hati. 89 Jika di atas disinggung bahwa “ekonomi” – yang erat kaitannya dengan bisnis – adalah suatu istilah yang mengarah kepada pengertian tindakan hemat, penuh perhitungan, berkeseimbangan, dan tidak boros, maka pepatah klasik poluler “hemat pangkal kaya” adalah benar. Ini adalah sikap kesadaran seseorang akan makna dan tujuan hidupnya yang berpandangan jauh ke depan. Asketisme atau zuhud, baik perorangn maupun kemasyarakatan, diperlukan dalam etos bisnis demi kesuksesannya sendiri. Zuhud merupakan the characteristic spirit, prevalent tone of sentiment, of a people or community. Ungkapan “You may lose the battle, but you shuld win the war”, “Wani ngalah duwur wekasane”, “Lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah dalam pertempuran”, “Berakit-rakit ke hulu berenang ketepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” dan lain sebagainya”, adalah dalil-dalil yang sangat bersangkutan dengan etos bisnis. Ini semua menunjukkan adanya sikap hidup berpandangan jauh ke depan, dan tidak menjadi tawanan kekinian dan kedisinian. 90 Sikap yang demikian, menurut Nurcholish, adalah sikap seorang yang tidak berputus asa dan orang yang berani menempuh risiko. Tapi pada waktu yang 89 90
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3306. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3308.
84
sama seorang pelaku ia adalah aorang yang “tahu diri” secara “pas”, yakni, tanpa melebihkan diri sehingga menjadi sombong, atau mengurangkan diri sehingga menjadi rendah diri dan kurang bersyukur kepada Tuhan. Ia tidak “rendah diri” tapi “rendah hati”. Karena itu, jika mengalami sukses ia tidak mengklaim “kredit” atau pengakuan hanya untuk dirinya sendiri semata, dan jika mengalami kegagalan ia tidak menjadi nelangsa dan kehilangan harapan. Sebab, semua itu tidak seluruhnya manusia sendiri yang menentukan, melaikan ada juga campur tangan Yang Gaib. Jadi ia terus melakukan “ikhtiyâr”. 91 Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, bahwa dalam ikhtiyâr, harus tertanam komitmen yang teguh atau niat dalam hati sebagai dasar nilai kerja, karena nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya. Jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridlâ Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti misalnya, hanya bertujuan memeproleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut. 92 Dengan niat yang ditujukan kepada Allah, maka kita tidak akan melakukan pekerjaan kita secara asal-asalan, karena kita bertanggung jawab langsung kepada-Nya. Karena itu, dalam etos kerja mengenal konsep yang disebut ihsân, yakni – yang langsung relevan dengan persoalan kita tentang etos kerja ini – perbuatan baik, dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal. 93 Jadi, ihsân adalah optimalisasi hasil kerja, dengan
91
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3309. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 404. 93 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 407. 92
85
jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. 94 Kemudian di samping ihsân, juga digunakan ungkapan lain, yakni itqân yang artinya kira-kira adalah mengerjakan sesuatau secara sunguh-sungguh dan teliti, sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian satu dengan yang lain dari bagianbagiannya 95 Hal yang demikian itu, terkait dengan konsep mengenai eksistensi manusia. Menurut Nurcholish, pemahaman akan eksistensi manusia amat penting agar manusia tidak terjebak dalam kungkungan alienasi, dimana seseorang tidak lagi mampu menemukan dirinya karena ia telah menjadi tawanan kerja. Melainkan kerja itulah yang membuat atau mengisi eksistensi kemanusiaannya. Jadi, jika filosof Perancis, Rene Descrates, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir, maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya adalah bentuk wujud manusia – maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada”. 96 Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Kitab Suci. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri. Itulah yang dimakusdkan Nurcholish dengan ungkapan bahwa kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia – yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dan dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai
94
Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka ber-ihsan-lah dalam membunuh itu; dan jika kamu menyembelih binatang (untuk dimakan), maka ber-ihsan-lah dalam menyembelih itu, dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenagkan binatang sembehannya itu. (H.R. Muslim) 95 Nurcholish et. al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, h. 470. 96 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 409.
86
harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan. 97 Dengan demikian, manusia – dengan segala macam bidang usaha atau pekerjaannya – tidak akan terjerumus dalam syirk, yakni mengalihkan tujuan pekerjaannya selain kepada Tuhan, Sang Mahabenar (al-Haqq), yang menjadi sumber nilai intrinsik pekerjaan manusia. Yang demikian itu, adalah perilaku sufistik sebagai teknik pembebasan manusia dari perangkap material ketika melakukan tindakan sosial-ekonomi (baca: bisnis). Sebagaimana yang telah disinggung, praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran lebih spiritual dan Ilahiah. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresapi tiap tindakan manusia di dalam dunia usaha. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama di dunia yang autentik. Jadi, dengan dimensi esoteris Islam (sufisme) ini, bisnis berjalan sejajar dengan kesungguhan dan dedikasi. Ia tidak dapat dilakukan sambil lalu. Dikaitkan dengan makna dan tujuan hidup, semakin seseorang bersungguh-sungguh (Arab: juhd, jihâd, ijtihâd, mujâhadah), semakin ia dapat diharap menemukan jalan menuju tujuan hidupnya. Begitu pula kebalikannya, semakin jauh setengah hati, semakin jauh pula tujuan untuk tercapai. Nurcholish menegaskan, Bisnis yang berpandangan esotoerik seperti ini bukanlah mengada-ada. Kenyataannya, bahwa dewasa ini banyak perusahaan dipimpin oleh para sufi, dalam arti nilai-nilai
97
Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 410.
87
keruhanian telah memengaruhi begitu mendalam etos kerja para pimimpin perusahaan. Inilah “Tasawuf@Work” (Tasawuf di Dunia Usaha). 98
98
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3310.
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Tasawuf, sebagai aspek mistisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Tidak dapat dipungkiri, pada perkembangannya, dalam ajaran-ajaran sufisme terdapat – atau setidaknya dianggap – penyimpangan-penyimpangan dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tidak relevan dengan kehidupan manusia modern, sehingga memunculkan kontroversi yang di kalangan umat Islam. Hal ini menggugah Madjid – meski pun bukan orang yang pertama, karena sebelumanya Fazlur Rahman dan Hamka, mislanya, telah mengemukakan hal yang serupa – untuk melakukan pembaruan dalam ajaran-ajaran sufisme (khususnya di Indonesia), dan menghadirkan relevansinya disetiap zaman. Sufisme yang diperbarui atau di re-form oleh Madjid dengan istilah “Sufisme baru” , atau “neo-Sufisme”, jika memang absah disebut demikian, adalah
sebuah
esoterisisme
atau
penghayatan
keagamaan
batini
yang
menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu
88
89
dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas segar lebih lanjut. Pengalaman metafisis pribadi seperti kasyf adalah absah, namun bersifat pibadi dan tidak boleh diklaim sebagai mesti benar, sebab kebenaran suatu pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebersihan hati yang bersangkutan. Faqr (fakir) bukan hidup miskin tanpa harta dan kuasa, tapi berlaku bagai si miskin atas harta dan kuasa yang dimiliki, sehingga seseorang mudah memberikan harta dan kuasanya bagi kesejehteraan publik. Di Indonesia, tasawuf mempunyai peranan penting dalam proses islamisasi. Selanjutnya, sufisme merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap meterialistik manusia modern ketika melakukan tindakan sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi (bisnis). Cara hidup sufi (perlilaku sufistik) melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tatanan lebih Ilahiah. Jadi, sebagai kesimpulan akhir, sufisme memiliki relevansi yang sangat signifikan di tengah-tengah habitan kemajuan ilmu dan teknologi kehidupan masyarakat Indonesia-modern. Karena tasawuf merupakan potensi Ilahiah yang berfungsi di antaranya untuk mendesain corak sejarah dan peradaban dunia. Tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang berdimensi sosial, poliitk, ekonomi maupun kebudayaan; tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasai yang mengarah kepada dekadensi moral dan anomali nilai-nilai, sehingga tasawuf akan mengahantarakan manusia pada tercapainya supreme moralitiy (keunggulan
90
moral); tasawuf mempunyai relevansi dan signifikansi dalam kemodernan dan keindonesiaan, karena tasawuf secara imbang telah memberikan kesejukan batin dan disiplin syarî‘ah sekaligus. Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan sosial mana pun dan di tempat mana pun.
B. Saran Sufisme memiliki peranan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Meski pun kehadirannya sering menimbulkan kontroversi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sufisme memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya. Menyikapi kontroversi tersebut, – sebagaimana yang dikemukakan Madjid – hendaknya kita menunjukkan kemungkinan suatu penilaian dari sudut pandangan yang netral. Sebab kaum Muslim sendiri rata-rata telah memiliki komitmen dalam sikapnya terhadap segi esoterik Islam itu yang akan mempengaruhi penilaiannya dalam pro-kontranya. Barang kali benar tuduhan beberapa tokoh pemikir Islam yang mengatakan bahwa tasawuf telah menyebabkan kaum Muslim mundur karena ajaran-ajarannya yang mengakibatkan jiwa “melempem”, atau, tasawuf sebagai biang keladi kemunduran dunia Islam sekarang ini. Jika hal itu dibenarkan, maka yang dapat dilakukan pada saat ini adalah meninjau kembali segi-segi kebaikan dan kekuatan gerakan-gerakan tasawuf –
91
baik di berbagai perkumpulan-perkumpulan kaum sufi (tarekat) maupun di pondok-pondok pesantren – serta meneliti segi-segi kelemahannya. Sebab, sampai sekarang ini masih banyak kita temukan pusat-pusat atau institusi-institusi penyebaran Islam yang menggunakan simbol-simbol tasawuf atau tarekat. Kita mengenal tradisi marhabanan, sekaten, ratiban, dan sebagainnya yang tipikal tasawuf. Kemudian, kelompok kaum Muslim yang memiliki “kesenian agama” adalah terutama mereka yang dekat hubungannya dengan dunia tasawuf atau tarekat, yaitu santri-santri, baik kesenian itu berupa seni baca al-Qur’an, qasidah, sampai pada seni suluk dan bacaan shalawat – seperti “Shalawat Badar” yang terkenal sangat mudah menggugah solidaritas dan semangat berjuang. Memang, timbulnya praktek superstitious (takhayul) yang menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks itu harus dicegah, tetapi jelas harus dipelihara unsur kedalaman rasa keagamaan yang ada. Dalam hal ini, dunia tarekat di Indonesia sendiri berhasil telah terlebih dahulu memagari diri, terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya, dengan menekankan kesatuan mutlak antara syarî‘ah, tharîqah, ma’rifah, dan haqîqah. Barangkali satu pagar lagi yang sangat diperlukan, yaitu peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya. Suatu tantangan baru yang harus diselesaikan oleh kaum sufi – baik di pesantren maupun organisasi tarekat – di Indonesia.