Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
T
asawuf merupakan bagian dari syariat Islam (perwujudan dari ihsan), yang merupakan salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Tasawuf merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga mengajak manusia untuk mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya (Syukur, 2004: 12-13). Titik tolak dari lokus pemaknaan tasawuf tersebut menurut Khotimah, (2005: 209) adalah usaha untuk membersihkan hati dan jiwa manusia yang dengannya seseorang akan menemukan makna dan nilai hakiki kehidupan untuk menuju dan sampai kepada Tuhan. Kelahiran tasawuf dalam konteks historis merupakan respon atas ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalistik dan legalistik. Tasawuf lahir sebagai gerakan etis terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang dilakukan umat Islam terutama para penguasa pada waktu itu. Tasawuf juga menawarkan solusi dengan spiritualisasi ritualnya dengan doktrin khusus dan hebat. Doktrin tersebut oleh kelompok tertentu pada periode sufi, dirumuskan sebagai metode pengasingan diri secara ekstrim, yakni pengingkaran dunia secara ekstrim dan cenderung bersikap pasif terhadap interaksi sosial.
1 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Tasawuf bukan berarti suatu tindakan yang terkesan sebagai pelarian diri dari kenyataan hidup dan kehidupan dunia, lalu bersifat asosial, sebagaimana telah dituduhkan oleh sebagian orang,1 tetapi tasawuf merupakan usaha mempersenjatai manusia dengan nilai-nilai ruhaniyah yang baru, yang akan mengokohkan jiwa pada saat menghadapi kehidupan materialistis, dan juga untuk merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika menghadapi berbagai kesulitan atau masalah hidupnya. Pengertian tasawuf demikian, menurut Taftazani (1979: vii) sepanjang dapat mengaitkan individu dengan kehidupan masyarakatnya, bermakna positif dan tidak negatif. Sikap sufistik yang positif ialah sikap sufistik yang bersikap positif terhadap dunia dan memiliki tanggung jawab sosial. Tebba, (2004: 164) memberikan contoh sikap tasawuf positip tersebut dengan didasari tauhid yang mengharuskan seseorang memiliki kebebasan pribadi disertai tanggung jawab, hal ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki kebebasan menjalankan wewenang sebagai khalifah disertai keberanian memikul tanggung jawabnya sendiri secara pribadi kepada Allah tanpa perantara atau bantuan orang lain. Contoh lain sikap sufistik negatif adalah sikap apatis terhadap kehidupan dunia, lupa pada tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Sikap demikian menyebabkan terjadinya ketimpangan, jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat. Kondisi demikian menurut Hamka, (2002: 68) menyebabkan umat Islam menjadi lemah karena cukup lama menjauhi dunia, ketika seseorang hendak berkurban, tidak ada yang hendak dikurbankan, berzakat tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan. Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia. Menghadapi realitas ini, pada awal abad ke XX, lahir pemikiran baru yang menginginkan tasawuf tidak berpola negatif dalam memandang 1
Tuduhan ini pernah dilontarkan oleh Zakki Mubarak berkaitan dengan tuduhan uzlah yang dilakukan al-Ghazali di tengah-tengah tuntutan perang dan perjuangan negaranya (dalam Syukur, 2011: 7). Neo Sufisme Nurcholish Madjid
|2
Pendahuluan
dunia. Pemikiran tersebut menginginkan bahwa tasawuf harus positif memandang kehidupan dunia, tidak boleh menjauhinya dan justru harus berperan aktif di dalamnya. Gerakan ini mempunyai berbagai istilah seperti Tasauf Modern oleh Hamka, Urban Sufisme oleh Julie Howell, Tasawuf Progresif oleh Hasan Hanafi, dan Neo-Sufisme oleh Fazlurrahman dan Nurcholish Madjid. Gejala ini juga bisa dikatakan sebagai pembaharuan pada dunia sufisme, menurut Azra (2005: 44) terjadi akibat berbagai permasalahan agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang kompleks. Salah satu permasalahan yang banyak disoroti pada dunia tasawuf adalah pertentangan antara penganut syariah yang mengutamakan aspek lahiriyah melalui pendekatan eksoteris, dengan penganut tasawuf yang mengutamakan pendekatan batiniyah/esoteris, telah menjadi pertentangan berkepanjangan dan bahkan melelahkan. Masing-masing membenarkan keberagamaannya sendiri dan sekaligus menyalahkan keberagamaan kelompok lain (Siregar, 2002: 313). Bentuk-bentuk pertentangan tersebut kadang-kadang sudah tidak dapat dibenarkan dan tentu saja sudah keluar dari kode etik ikhtilaf ummati rahmah.2 Ulamaulama sufi bermunculan dalam rangka mengadakan rekonsiliasi antara kedua dimensi keberagamaan tersebut. Al-Ghazali dipandang sebagai tokoh yang paling berhasil dalam usaha merekonsiliasi tersebut sehingga dikenal dengan hujjah al-Islam (Kertanegara, 2000: 167). Kebesaran dan kemasyhurannya diakui tidak hanya oleh kalangan ulama dan masyarakat muslim sendiri tetapi juga oleh para ahli dan penulis non-muslim. Karena al-Ghazali, tasawuf diakui sebagai dimensi keberagamaan yang absah dan kemudian menjadi bagian dari ortodoksi Islam. Meskipun al-Ghazali dipandang berhasil meletakkan posisi tasawuf dalam ortodoksi Islam, penyimpangan dan ekses-eskses negatif tetap terjadi pada masa sesudahnya. Kecenderungan pada aspek filosofis sufisme menjadi kuat. Banyak yang mengaitkan kuatnya kecenderungan sufisme pada aspek filosofis tersebut dengan ajaran dan karya-karya Ibnu Arabi. Merespon kondisi tersebut, muncul para ulama yang berusaha mengadakan pemurnian terhadap ajaran-ajaran sufisme. Pemurnian dan 2 Dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan ini sempat terjadi ketegangan dan polemik, dengan sikap-sikap saling menuduh bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama dan sesat, atau penghayatan keagamaan mereka tidak sempurna.
3 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
pembaharuan tersebut sering disebut neo-sufisme. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir muslim kontemporer, Fazlur Rahman, dalam bukunya “Islam” (1979: 194). Karakteristik noe-sufisme secara umum menurut Tebba, (2004: 165) ialah puritanis dan aktivis. Neo-sufisme menekankan sifat-sifat ortodoksi syariah dan mengandung ajaran-ajaran yang tercakup dalam ortodoksi Islam, di samping menolak asketisme individual juga mementingkan moral sosial dan keaktifan politik. Fazlurrahman (1979: 195) menjelaskan neo-sufisme itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian melalui pensucian jiwa guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Berdasarkan konsep tersebut, neo-sufisme dapat dikatakan sebagai bentuk sufisme yang mementingkan kemurnian ajaran-ajarannya dan menanamkan sikap positif kepada dunia yang dimanifestasikan melalui keaktifan hidup dalam masyarakat. Tokoh yang dianggap sebagai pelopor neo-sufisme ialah Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah memberikan apresiasi terhadap sufisme sebagai ajaran yang berkapasitas ijtihad, dan menghendaki keseimbangan antara syariat dan hakikat, serta kembali pada ajaran al-Quran dan Sunnah (Taimiyah,1348: 17-22). Fakta ini menunjukkan bahwa neo-sufisme bukan merupakan fenomena pascamodernisme saja tetapi sudah memiliki akar historis yang kuat. Neo-sufisme merupakan fenomena umum terjadi di hampir seluruh negara muslim pada masa pasca-modernisme, bahkan di negara-negara berpenduduk minoritas muslim seperti Amerika dan Inggris (Azra, 1996: 286). Modernisme dianggap gagal memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat, sehingga muncul persoalan serius di tengah-tengah umat manusia sekarang ini yaitu krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern, di mana sekularisme menjadi mentalitas zaman, dan karena itu spiritualisme tereduksi dari dalam kehidupan modern umat manusia. Seyyed Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern men, Nestapa Orang-orang Moderen (Nasr, 1987: 27). Kondisi ini menurut Madjid (1983: 280-281) membuat masyarakat Barat pada umumnya
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
|4
Pendahuluan
mengalami apa yang disebut dengan krisis epistimologis, yakni masyarakat Barat tidak lagi mengetahui tentang makna dan tujuan hidupnya di dunia ini. Realitas kehidupan masyarakat modern yang sekuler tersebut digambarkan dengan jelas oleh Syukur: Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern atau sering disebut sebagai masyarakat sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Pada masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler, dan materialistis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketenteraman hidupnya. Akibat lebih jauh adalah manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Oleh karena itu manusia dianjurkan untuk berjuang memperbaiki akhlaknya melalui riyadah dan mujahadah sesuai agama Islam (Syukur, 2011: 11). Kekacauan yang dimunculkan oleh peradaban manusia dalam kehidupannya pada masa modern sebagaimana digambarkan di atas, semakin menjelaskan bahwa modernisme dianggap gagal memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Kemunculan pasca-modernisme yang memberikan kemungkinan pluralisme merupakan lahan subur bagi tumbuhnya keberagamaan termasuk neo-sufisme. Di Indonesia sufisme menarik minat masyarakat kelas menengah terdidik untuk menggali khazanah intelektual dan filosofis tokoh-tokoh sufi terkenal dalam sejarah peradaban Islam sebagaimana dilakukan UIN Walisongo dan Perguruan Tinggi Islam lainnya. Kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan sosial keagamaan seperti Lembkota di Semarang pimpinan Prof. Dr. H. Syukur, MA, Tazkiya Sejati di Bandung pimpinan Prof. Dr. H. Jalaluddin Rakhmat, IIMAN (Indonesian Islamic Media Network) pimpinan Dr. H. Haidar Bagir, dan Paramadina pimpinan Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid, di Jakarta telah menarik minat yang cukup tinggi di kalangan kaum terdidik kelas menengah perkotaan. Sufisme juga merambah ke dunia seni, dengan munculnya berbagai lagu bernafaskan kesufian dan lainnya. Selain itu buku-buku yang bertema tasawuf banyak bermunculan di berbagai toko buku di Indonesia. Menurut kajian Azra, (dalam Nafis,
5 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
1996: 286) buku-buku bertema tasawuf merupakan literatur yang terlaris di pasaran. Tayangan dakwah Islam di televisi juga menunjukkan penekanan yang lebih kepada nilai-nilai sufisme sebagaimana dakwah bertema Islam itu Indah oleh Muhammad Nur Maulana, dan dakwah Arifin Ilham. Kecenderungan masyarakat sekarang ke arah tasawuf juga terlihat dari fenomena para tokoh sufi dan tarekat ramai dikunjungi tidak hanya oleh kalangan masyarakat pedesaan tetapi juga oleh golongan kelas menengah perkotaan, terlepas dari tujuan mereka mempelajari sufisme dan memasuki tarekat, ini merupakan fenomena yang menarik. Di tengah derasnya arus modernisasi dan ketika dengan peralatan teknologi hidup menjadi mudah, tasawuf semakin dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat. Fenomena ini tentu saja menolak anggapan bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat. Neo-sufisme yang memang memiliki akar historis yang kuat, juga didukung oleh kondisi sosio-religius dan kultural masyarakat pada masa kini. Perubahan-perubahan sosio-kultural dan politik yang terjadi di dunia Islam terutama di Timur Tengah tampaknya mendukung terjadinya perubahan-perubahan pada neo-sufisme di Indonesia baik segi praktis maupun intektualnya (Azra, 1994: 37). Sejak awal abad ke 20 telah terjadi perubahan yang mendasar di Makkah dan Madinah, yang sebelumnya sudah menjadi kiblat pendidikan dan wacana intelektual Islam dan sufisme. Negara Saudi Arabia yang mendasarkan ajaran Wahabi secara resmi menolak segala bentuk sufisme sehingga Makkah dan Madinah tidka lagi menjadi pusat sufisme dunia dan sufisme tidak lagi memiliki pusat yang mengatur ajaran dan perkembangannya. Orang-orang Indonesia yang ingin mempelajari sufisme tidak lagi mencari guru di Makkah atau Madinah dan syaikh-syaikh sufi di Indonesia secara bebas mengembangkan ajaran-ajarn sufinya. Pada sisi lain, tokoh-tokoh intelektual muslim Indonesia tidak lagi mendalami Islam di Universitasuniversitas di Timur Tengah, tetapi mereka mengkaji Islam secara kritis di Universitas-universitas di Amerika, Canada, Inggris, dan Australia. Perubahan-perubahan ekstern dan intern tersebut diduga kuat telah mempengaruhi perkembangan karakteristik neo-sufisme di Indonesia (Zulkifli, 1997: 9).
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
|6
Pendahuluan
Salah satu tokoh yang mengembangkan neo-sufisme di Indonesia ialah Nurcholish Madjid. Sebagai tokoh intelektual Islam yang memiliki pengetahuan mendalam dan komprehensif tentang tasawuf, beliau memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap tasawuf (Azra, 1999: 158). Pandangannya tentang tasawuf secara eksplisit dapat ditemukan dalam berbagai karyanya yang bertema tasawuf, dan juga ceramahnya ketika memberikan pelatihan tasawuf di Yayasan Paramadina. Secara implisit, nuansa pemikiran sufistiknya dapat dilihat dari tulisannya yang mengupas masalah sosial keagamaan. Apresiasi Cak Nur terhadap tasawuf ini melebihi guru spiritualnya, yakni Ibnu Taimiyah. Ini bisa dilihat dalam tulisannya tentang tasawuf dan tarekat pada buku Islam Agama Peradaban, tentu saja tidak luput dikemukakannya kritik-kritik tajam Ibnu Taimiyah terhadap sufisme populer. Tetapi Cak Nur dengan bijak mengajak orang tidak buru-buru menggeneralisasikan berbagai hal negatif atas pengamalan ajaran tasawuf. Cak Nur menyebut Ibnu Taimiyah sebagai seorang pemikir besar Islam yang paling kuat argumentasinya untuk mempertahankan tetap terbukanya pintu ijtihad sepanjang masa. Sekalipun kritik dan kecamannya kepada sufi begitu keras, namun Ibnu Taimiyah tetap memandang sufisme sebagai sejenis ijtihad untuk mendekati Allah (Madjid, 1993: 1). Cak Nur juga mengemukakan banyak hal positif tentang tasawuf serta potensinya untuk merespon kebutuhan spiritualitas masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masa mendatang. Senada dengan ungkapan di atas, Muhayya, (2002: 3) menegaskan bahwa neo-sufisme sangat relevan untuk merespon persoalan-persoalan yang sedang trend di era post-modern ini yaitu demokratisasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan perdagangan bebas. Realitas sekarang ini menunjukkan umat Islam Indonesia dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi terbaik terhadap persoalanpersoalan modernitas juga mengalami persoalan internal yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme (Maksum, 1994: 1).
7 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Disinilah pemikiran Cak Nur tentang neo-sufisme menunjukan suatu optimisme bagaimana masa depan manusia modern dapat terbingkai dengan nilai-nilai keagamaan, khususnya melalui perspektif tasawuf sebagai dimensi esoterik Islam, dengan upaya penelusuran kembali arti dan makna hidup yang hakiki. Dengan memberikan landasan teologis terhadap modernitas, manusia modern tidak mengalami split personality (keterpecahan jiwa) dalam menjalani kehidupannya di dunia yang dibangun menjadi sebuah peradaban manusia yang bersifat global. Menurut Cak Nur, (dalam Azra, 1999: 59) bagi umat Islam disamping perlu kembali mengelaborasi pesan-pesan universal al-Quran, juga perlu membuktikan dengan penciptaan infrastruktur teknologi, ekonomi, politik, dan ekologi berdasarkan pada landasan spiritual yang telah ada. Pada persoalan inilah umat Islam menghadapi tantangan berat karena radius persoalannya telah sampai pada adanya dominasi struktural Barat. Inilah yang diingatkan Marshall Hodgson bahwa hal itu bisa dilakukan apabila kaum muslimin di dunia ini mengenali dengan baik visi dan tradisi yang dimilikinya. Tradisi, menurut Hodgson, bukan sebagai ''seperangkat perilaku'' melainkan sebagai ''suatu dialog yang hidup dan berakar pada prefensi bersama atas peristiwa kreatif tertentu'' dari masa lampau. Tradisi itu ''bukan lawan dari kemajuan melainkan sarana baginya''. Tradisi itu sebenarnya adalah aktualisasi komulatif dari visi yang bersifat kontinu (Pabotinggi, 1996: 193). Pemikiran neo-sufisme Cak Nur dalam konteks ini, mempunyai posisi penting untuk dikaji. Cak Nur selain memiliki basis tradisi Islam yang kuat yaitu kultur Indonesia dari tanah kelahirannya di Kota Jombang provinsi Jawa Timur, Cak Nur, juga banyak menghabiskan masa perambahan intelektualnya di Barat, tempat tumbuh pesatnya sains dan teknologi. Cak Nur adalah tokoh yang dalam pemikiranya mengesankan dua arus pemikiran yang dikonfrotasikan antara satu dan lainnya, yaitu matefisika Barat disatu pihak dan paham matefisika Islam dipihak lain. Yang terakhir ini lebih menekankan kepada faham sufisme, yang menurut Kuswanto (2007: 171) corak pandangan sufistiknya adalah neo-sufisme, sebagai kelanjutan dari neo-sufisme Fazlurrahaman dan Tasawuf Modern Hamka di Indonesia.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
|8
Pendahuluan
Latar belakang pemikiran neo-sufisme Cak Nur sebenarnya sangat dipengaruhi model tasawuf modern Buya Hamka. Apalagi Cak Nur memang sangat dekat dengan Buya Hamka pada waktu masih mahasiswa di era awal dan pertengahan tahun 60-an. Menurut Rachman, (dalam Kuswanto, 2007: xxii) Hamka seperti juga Cak Nur seperti menggenggam pisau bermata dua. Di satu sisi, merupakan kritik tajam yang ditujukan kepada mereka yang menghayati agama terlalu kering, yang dalam retorika di Indonesia biasa disebut keberagamaan yang terlalu fiqh oriented. Dalam posisi ini tasawuf modern Hamka mencoba mengisi sisi-sisi keruhanian yang dilupakan oleh pendekatan keagamaan yang terlalu formal itu. Di sisi yang lain, Hamka juga melakukan kritk tajam kepada mereka yang terlalu jauh tenggelam dalam dunia tasawuf sehingga terkesan lari dari kehidupan dunia, lalu bersifat anti sosial, menekankan segi kesalihan dalam beragama yang bersifat terlalu spiritual dengan melupakan segi-segi-segi kesalihan sosial atau subtansional. Hamka adalah orang yang sangat memahami pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah yang banyak dituangkan dalam bukunya Tasawuf Modern. Pemikiran Neo-Sufisme Cak Nur juga dilatarbelakangi oleh NeoSufisme Fazlurrahman. Apalagi Cak Nur merupakan alumni Cornell University AS, di mana Fazlurrahman merupakan dosen walinya. Menurut Rachman (dalam Kuswanto, 2007: xxiii) pemikiran Fazlurrahman banyak menyerap pemikiran Ibnu Taimiyah yang disebutnya sebagai perintis sufisme baru. Setelah kegagalan mengembangkan pemikiranpemikirannya di tanah airnya sendiri yaitu Pakistan, Fazlurrahman menaruh harapan bahwa Neo-Sufisme akan berkembang di Indonesia, karena Indonesia dianggap memiliki struktur sosial dan budaya yang berbeda dengan Pakistan, inilah alasan mengapa Fazlurrahman menaruh harapan besar kepada Cak Nur untuk memberikan pencerahan kepada umat Islam di Indonesia. Semangat Cak Nur untuk mengembangkan Noe-Sufisme di Indonesia adalah sama dengan semangat pendahulunya yaitu Ibnu Taimiyah, Buya Hamka, dan Fazlurrahman, yakni semangat kembali kepada ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah) yang sahih. Akan tetapi mereka memiliki perbedaan sosial dan budaya serta implikasi yang responsif dengan negara dan zamannya sendiri-sendiri.
9 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Keberadaan Cak Nur dalam wilayah intelektual Indonesia saat ini, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Hal ini diakui Masrur, (2002: 11) kehadiran Cak Nur di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran Islam dengan menghadirkna suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya, secara genial Cak Nur mampu memadukan gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda. Pemikiran-pemikiran Cak Nur juga kerap kali direspon secara luas oleh masyarakat baik yang pro maupun kontra. Fachry Ali, (dalam Madjid, 1998: xxi-xxv) menggambarkan Cak Nur sebagai tokoh fenomenal untuk masyarakat Indonesia, yang dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu yang bersifat institusional dan literel di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu tokoh yang mengembangkan neo sufisme di Indonesia, pemikiran neo-sufisme Cak Nur berpegang pada jargon ulama klasik “Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Cak Nur, berusaha melakukan kontekstualisasi ajaran tasawuf yang subtansinya lebih ditekankan pada seruan untuk merentangkan tali penghubung antara ajaran sufisme dengan ajaran syariat. Neo-sufisme Cak Nur, juga menyerukan untuk menanamkan sikap optimis terhadap duniawi dan melibatkan diri dalam masyarakat secara lebih intens dan aktif. Dunia dan masyarakat adalah tempat menggali amal yang sebanyak-banyaknya untuk menggayuh prospek transendental dan Tuhan sebagai tujuan utamanya. Semangat neo-sufisme Cak Nur, adalah kembali kepada ajaran Islam yang sahih, yakni dengan merefleksi dan memanifestasi kembali konsep kosmologi haqqiyah dan konsep alHanifiyyat al-Samhah (Kuswanto, 2007: 250). Untuk mencapai maksudnya, Cak Nur, selalu meramu paham neosufisme yang dikuasainya dengan pengalaman dan hasil studi hasil di Barat. Cak Nur, mulai merasakan akan kekeringan spiritual pada masyarakat modern, sehingga mensosialisasikan tasawuf pada masyarakat di Indonesia merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, ada tiga alasan utama, yaitu: pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 10
Pendahuluan
pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya, maupun non Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, adalah jantung dari ajaran Islam, sehingga apabila wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam (Madjid, 2004: 39). Pokok permasalahan yang mendessak dan penting untuk dikaji terkait dengan tema tulisan ini pada kajian ini sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pemikiran neo-sufisme Cak Nur?, 2) Bagaimanakah latar belakang dan sumbangan pemikiran neo-sufisme Cak Nur bagi penyegaran kembali pemikiran dan kehidupan keagamaan? Kajian ini diharapkan menambah khazanah pemikiran Islam dengan menghadapkannya pada dinamika pemikiran yang berkembang saat ini. Selain itu, kajian ini merupakan upaya untuk mendiskripsikan latar belakang dan sumbangan pemikiran Nurcholish Madjid tentang NeoSufisme. Studi tokoh ini diharapkan memberikan manfaat membumikan tasawuf di Indonesia dengan menggali latar belakang dan sumbangan pemikiran Neo-Sufisme Nurcholish Madjid bagi penyegaran pemikiran Islam dan bagi kehidupan keagamaan di Indonesia di era modern ini. Sejauh ini ada beberapa tulisan mengenai pemikiran Cak Nur yang sudah terbit, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel. Namun, tulisan mengenai pemikiran Cak Nur yang berkenaan dengan neo-sufisme secara utuh dan komprohensif belum ditemukan. Skripsi karya Teguh Sri Hartatik, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, dengan judul “Neo-Sufisme dalam Perspektif Nurcholish Madjid” (Semarang: 1990), yang mendiskripsikan pemikiran-pemikiran Neo-Sufisme Nurcholish Madjid yang dielaborasikan dengan pemikiran Neo-Modernismenya sebagai respon terhadap munculnya paham fundamentalisme yang tumbuh semakin subur di Indonesia. Triyoga A. Kuswanto, dalam bukunya ''Neo-Sufisme, Jalan Sufi Nurcholish Madjid”, memaparkan ide-ide Nurcholish Madjid tentang NeoSufisme. Menurut Kuswanto, bahwa Cak Nur, seperti tercermin dalam pemikirannya, kritis terhadap modernisme dan mengambil bentuk kembali kepada ''Islam Tradisional ''bahkan lebih dari itu Cak Nur sangat mungkin pula seorang ''Neo-Sufisme'' yang menerima pluralisme dan perenialisme dalam kehidupan keagamaan. Semangat neo-sufisme Cak
11 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Muhamad Nur
Nur adalah kembali kepada ajaran Islam yang sahih, yakni dengan merefleksi dan memanifestasi kembali konsep kosmologi haqqiyah dan konsep al-Hanifiyyat al-Samhah. Kemudian sebuah tesis yang ditulis Chatib Saepullah, mahasiswa Pascasarjana (S2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berjudul “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Epistemologi”. Berdasarkan dari hasil kajiannya terhadap pemikiran epistemologi Nurcholish Madjid diungkap bahwa Cak Nur telah melakukan evaluasi kritis tentang kegagalan ilmu pengetahuan modern yang bersifat antroposentris. Kajian Muhammad Masrur, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, yang dimuat pada Jurnal Kajian Walisongo edisi 19 Tahun 2002 tentang “Tasawuf di Mata Nurcholish Madjid: Melacak Pemikiran Sufistiknya Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid”, dalam kajian ini Cak Nur menawarkan konsep neo-sufisme untuk menjembatani berbagai persoalan modern. Manusia mengalami krisis kehampaan spiritual. Dengan neo-sufisme manusia dituntut untuk menghayati agamanya lebih instent dengan memandang bahwa lingkungan sosial yang dinamis merupakan ladang spiritual untuk mengerjakan amal sebanyakbanyaknya bagi tergapainya alam transedental (kebahagiaan duniawiukhrowi) dengan sandaran Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Sebuah buku yang ditulis Sudirman Teba berjudul “Jalan Sufi Nurcholish Madjid”, juga mendukung gagasan neo-sufisme Nurcholish Madjid. Kata kunci spiritualitas Nurcholish Madjid dalam buku ini adalah beragama lewat prinsip-prinsip keagamaan yang lapang dan seimbang (tawazun). Seimbang dalam merentangkan tali penghubung antara ajaran sufisme dengan ajaran syariat. Spiritualitas individu yang cenderung isolatif atau cenderung menjauhi urusan metafisika, (sebagaimana yang dianut kebanyakan ulama tasawuf) dalam waktu yang bersamaan harus digerakkan menuju jalan keberagamaan baru bagi tercapainya spiritualitas sosial secara aktif dan kooperatif. Tulisan di atas memiliki kesamaan pada kajian sufistik Nurcholish Madjid dengan kajian yang penulis lakukan. Namun pada buku ini penulis lebih spisifik mengkaji Neo-sufisme Nurcholish Madjid bagi penyegaran kembali pemikiran dan kehidupan keagamaan yang ternyata belum dikaji secara spesifik dalam kajian di atas. Kajian di atas penulis jadikan sebagai pendukung dalam membangun kerangka teoritik pada kajian ini.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 12
Pendahuluan
Upaya mencermati dan menelusuri pemikiran Cak Nur dalam konteksi neo-sufisme ini, yang menjadi sumber data primer karya Cak Nur sendiri, dalam bentuk buku, artikel, dan Jurnal berkaitan dengan tema kajian ini, seperti: Islam, Doktrin dan Peradaban, Cita-cita Politik Islam Reformasi, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Islam dalam Wacana Sosial Kontemporer, Kehampaan Spiritual, Masyarakat Religius, Pintu-pintu Menuju Allah, Sufisme dan Pembebasan Spiritual, Sufisme Lama dan Sufisme Baru. Karya tersebut diterbitkan oleh Paramadina, kecuali yang terakhir merupakan sebuah artikel di harian Kompas. Sedangkan sumber skunder diperoleh dari berbagai karya tulis tentang Cak Nur, yang berisi tentang figur, dan pemikirannya atau hanya berkaitan dengan tema-tema tertentu seperti kehidupannya yang berbentuk buku, jurnal artikel maupun karya ilmiah. Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul, lalu dianalisis dengan menggunakan metode content analysis, yaitu metode analisis data yang mengupas tentang kandungan atau isi suatu pemikiran atau ide. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisis makna dengan cara menelusuri alur pemikiran Nurchalis Madjid yang terdapat pada beberapa karya beliau. Usaha ini dilakukan untuk mengungkap secara jelas pandanganya tentang neo-sufisme. Kajian ini bersifat deskriptif analisis kritis, karena sifat kajian untuk mendeskripsikan ide-ide atau pemikiran seseorang disertai dengan buktibukti atau sumber yang terpercaya dan juga ditinjau dari kondisi sosio kultural sehingga tercapai pemahaman atau kesimpulan secara utuh dan dapat dipertanggungjawabkan. Analisis kritis pada kajian ini menampilkan beberapa karya Cak Nur tentang pandangan sufismenya dan disertai dengan analisis kritis dari peneliti. Pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai permasalahan dilakukan melalui pendekatan historis, sosio cultural, dan filoshofis, guna mengurangi kesalahan persepsi terhadap pemikiran Cak Nur tersebut. Pendekatan historis dan sosio kultural dimaksudkan untuk mendiskripsikan sejauh mana dimensi sosial budaya mempengaruhi hidupnya yang turut mempengaruhi perkembangan pemikiran dan berbagai keputusan yang diambil oleh Cak Nur. Sedangkan pendekatan filoshophis diharapkan mampu mengungkap dasar pemikirannya dalam upaya ingin memahami keinginan yang sebenarnya dari pemikiran tersebut (Muhadjir, 1998: 28).
13 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid