Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
BAB V MELACAK AKAR HISTORIS PEMIKIRAN NEO-SUFISME NURCHOLISH MADJID
A. Tasawuf Salafi Ibnu Taimiyah 1. Biografi Ibnu Taimiyah arikh atau sejarah perkembangan Islam menjelaskan bahwa pada paroh kedua abad ketujuh hijrah atau abad ketiga belas Masehi di kala dunia Islam mengalami kemunduran baik karena perpecahan intern sesama Dinasti Islam sendiri maupun karena permusuhannya dengan bangsa barat (Kristen), lahir seorang bayi laki-laki yang kemudian ditakdirkan Allah SWT menjadi salah seorang pemikir Islam terkemuka dan paling berpengaruh di zamannya dan juga berpengaruh kepada pemikir Islam pada zaman sesudahnya. Bayi yang dimaksud adalah Ibnu Taimiyah, tokoh muslim zaman silam yang oleh banyak orang di sebutsebut sebagai Mujaddid al-Islam (pembaharu Islam). Nama lengkap Ibnu Taimiyah sebagaiamana dikemukakan Abu Zahrah adalah Ahmad Ibn Abd Halim Ibn Abd Salam Ibn Taimiyah,
T
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 94
Muhamad Nur
dilahirkan di kota Harran Negara Syria1 pada hari senin 10 Rabi'al-Awwal2 661 H/22 Januari 1263 M, dan wafat di Damaskus pada malam Senin 20 Zu al-Qa'dat 728 H/ 26 September 1328 M (Katsir, 1966: 135-136). Ibn Taimiyah berasal dari keluarga besar Taimiyyah3 yang amat terpelajar dan sangat Islami, serta dihormati dan disegani oleh masyarakat luas di zamannya. Ayahnya, Syihab al-Din Abdul Halim Ibn Abdussalam (627-682 H), dia seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid Agung Damaskus. Ia bertindak selaku khatib dan imam besar di masjid tersebut, sekaligus sebagai mu'allim (guru) dalam mata pelajaran tafsir dan hadis. Jabatan lain yang juga diemban Abdul Halim ialah Direktur Madrasah Darul Hadis Al-Sukkariyyat, (Zahrah, t.th.: 17) yaitu salah satu lembaga pendidikan Islam bermazhab Hanbali yang sangat maju dan berkualitas tinggi pada waktu itu. Di lembaga pendidikan inilah Abdul Halim mendidik Ibn Taimiyah, putera kesayangannya. Kakeknya, Syeikh Majduddin Abi Al-Barakah Abdussalam Ibn Abdillah (590-652 H) yang oleh Imam al-Syaukani (1172-1250 H) dinyatakan sebagai mujtahid mutlak, (Syaukani, t.th.: 3) ia juga seorang ahli tafsir (mufassir) yang masyhur, ahli hadis (muhaddis), ahli ushul al-fiqh (ushuli), ahli fiqh (faqih), ahli nahwu (nahwiy) dan pengarang (mushannif) 1
Sebelum masa-masa Islam, kota Harran yang terletak di antara dua sungai sebelah utara Irak dikenal sebagai salah satu pusat filsafat dan kediaman para filosof di samping basis agama Shabi'at dan para pemeluknya yakni Shabi'in (Zahrah, t.th.: 17). Bandingkan dengan (Hafizh, 1969: 8). 2 Menurut sebagian pendapat, Ibn Taimiyah lahir pada hari senin tanggal 12 Rabi'al Awwal tahun 661 Hijrah. Namun, pendapat ini seperti disinyalir Abu Zahrah, agaknya terlalu dibuat-buat agar persis sama dengan hari, tanggal dan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, mungkin atas dasar pertimbangan karena syariatnya kelak seolah-olah dihidupkan kembali oleh Ibn Taimiyah (Zahrah, t.th.: 17). 3 Kakek Ibn Taimiyah ditanya tentang asal-usul nama Taimiyah, jawabnya: ketika ia menunaikan ibadah haji, istrinya (nenek Ibn Taimiyah) yang ditinggalkan di rumah sedang hamil. Di tengah perjalanan, tepatnya di Taima', sebuah daerah di dekat Tabuk, secara tiba-tiba kakek Ibn Taimiyah melihat seorang gadis kecil cantik yang muncul dari sebuah pintu gerbang. Sepulang dari Mekah, kakek Ibn Taimiyah diberitahu bahwa istrinya telah melahirkan seorang bayi perempuan. Kabar gembira itu disambutnya dengan nada kasih sayang, seraya memanggil-manggilnya ya Taimiyah! Ya Taimiyah!. Jadi, bayi perempuan yang kelak melahirkan Ibn Taimiyah itu di nisbahkan kepada gadis kecil cantik yang pernah dilihat dan dikaguminya ketika di Tayma'. Di samping itu, ada riwayat lain yang mengisahkan bahwa nama Taimiyah itu dinisbahkan nenek moyang Ibn Taimiyah. Kisah singkatnya, konon datuk Ibn Taimiyah yang bernama Muhammad Abdullah Ibn al-Khadhr, mempunyai seorang ibu yang sering memberi nasehat (wa'izhah). Ibu dimaksud namanya Taimiyah. Jadi menurut versi ini, kepada Taimiyah itulah keluarga Ibn Taimiyah dinisbahkan (al-Baythar, t.th.: 8).
95 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
(Muhammad, t.th.: 10) Sedangkan Al-Khatib Fakhruddin, paman Ibn Taimiyah dari pihak Ayah, ia adalah seorang cendekiawan muslim popular dan pengarang yang produktif di masanya (Zahrah, t.th. 20) Kemudian Syarifuddin Abdullah Ibn Abdul Halim (696-727 H), yaitu adik laki-laki Ibn Taimiyah, dia dikenal sebagai ilmuwan muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (fara'idh), ilmu-ilmu hadis (ulum alhadis) dan ilmu pasti (al-riyadhiyyat) (Hafizh, 1969: 8). Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sangat lincah dan mempunyai kecerdasan otak luar biasa, memiliki kemauan yang keras dan berkemampuan tinggi, tekun dan cermat dalam menelaah dan menggali suatu masalah, tegas dan istiqamah dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat, ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam beramal, rela berkorban dan siap berjuang di jalan Allah dan kebenaran. Karena kejeniusannya, Ibn Taimiyah yang berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, matematika dan filasafat, serta berhasil menjadi yang terbaik di antara teman-teman seperguruannya (Katsir, 1966: 136-137). Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa kepada kaum muslimin (Katsir, 1966: 341) Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan penguasa, ia menolak tawaran tersebut (Rajab, 1953: 388). Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi mencakup keberaniannya dalam berlaga di medan perang. Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian kalangan merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan empat kali sebagai akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 96
Muhamad Nur
Selama menjalani hukuman dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti berkarya. Ibnu Taimiyah menyempatkan waktu untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang.4 Lebih dari itu Ibnu Taimiyah disebut sebagai salah seorang tokoh Islam yang pemahaman keislamannya independen, dalam pengertian tidak mau terikat pada pemahaman siapa dan aliran Islam yang manapun. Namun berbarengan dengan itu Ibnu Taimiyah tidak menolak untuk menerima dan membela pendapat siapa dan aliran Islam manapun jika menurut penilaiannya ternyata sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Apabila melihat kepiawian Ibn Taimiyah yang menguasai berbagai bidang keilmuan Islam dan mampu merespon dan mendialogkannya dengan perkembangan sosial budayanya, sehingga mengahasilkan puluhan bahkan ratusan karya yang meliputi bidang filsafat, teologi, tasawuf, tafsir, Hadits, politik, ekonomi dan sebagainya, maka selayaknya dia ditempatkan dan digolongkan sebagai seorang tokoh pemikir, ulama yang berpengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam generasi berikutnya. Apalagi ditunjang keatifan Ibn Taimiyah yang juga langsung berkecimpung di bidang-bidang kehidupan yang menyangkut kehidupan konkrit hajat hidup masyarakat banyak demi survivelitas dan tegaknya agama Islam di muka bumi, membuatnya diperhitungkan sebagai “pahlawan”, khususnya kegigihannya menggelorakan semangat aktifisme melawan penjajah negaranya pada saat itu, dan sebagai pioneer teladan bagi pengembangan dan kebangkitan Islam. 2. Pemikiran Tasawuf Salafi Ibnu Taimiyah Dalam diskursus tasawuf atau sufisme, pemikiran tasawuf Ibnu Taimiyah merupakan model tasawuf salafi yang berpengaruh terhadap proyek pembaruan tasawuf yang dilakukan oleh generasi sesudahnya yang sering dinamakan sebagai sufisme baru atau neo-sufisme. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa tasawuf yang dikonstruk Ibn Taimiyah dapat dikategorikan sebagai tasawuf model Salafi. Sebuah 4 Karena semangatnya yang begitu tinggi dalam menulis, Ibn Taimiyah telah menghasilkan puluhan bahkan ratusan karya ilmiyah dan sebagian dari karya-karyanya itu terdiri dari puluhan jilid pula bahkan ada yang ratusan. Diantara karya terbesarnya adalah Majmu' al-Fatawa Syaikh al-Islam, (Rajab, 1953: 134 dan 363-364).
97 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
model tasawuf yang secara epistimologis berdasarkan acuan normative al-Quran dan al-Sunnah, menjadikannya Nabi dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya yang tidak berlebih-lebihan dalam menjalankan proses spiritualisasi ketuhanannya dengan mengeliminir unsur mistico-filosofis-metafisik yang cenderung eksklusif-individualpesimistik, dan digantikan dengan unsur Islam ortodok yang tiada lain merupakan postulat-postulat keislaman yang bersifat puritanis, aktivis, progresif dan populis. Tasawuf salafi yang dikembangkan Ibnu Taimiyah pada dekade berikutnya menjadi kerangka model pembaruan Islam, dan model tasawuf salafi tersebut memiliki jaringan tokoh pembaharu tasawuf yang bersemangat salafi, yang kelak mempengaruhi pemikiran tasawuf modern Hamka dan pemikiran neo-sufisme Nurcholish Madjid. Fenomena ketegangan antara dimensi esoterik-batiniah dan eksoterik-lahiriah dalam wacana intelektual Islam melahirkan kesadaran untuk membentuk suatu “sintesis baru”, yang memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan tradisi sebelumnya dan dalam banyak hal juga mengandung beberapa unsur kesinambungan (kontinuitas) dengan tradisi-tradisi sebelumnya. Sikap sintesis dan saling-pendekatan (reapproachement) atau rekonsiliasi diantara kedua kelompok / kecenderungan dalam keilmuan dan keberagamaan tersebut telah banyak direalisasikan sebagaimana dalam pemikiran tasawuf al-Qusyairi dan al-Ghazali. Para ulama’ setelahnya terus melakukan proses rekonsiliasi tersebut disosialisasikan melalui berbagai tradisi intelektual yang berkembang. Diantara kalangan yang mensosialisasikan reapproachement dan rekonsiliasi adalah para ulama’ sufi (tarekat) yang akhirnya mengakibatkan lahirnya apa yang nantinya dinamakan “neo-sufisme” (Azra, 1998: 109) Sikap ini, menurut Fazlur Rahman merupakan upaya untuk melucuti sufisme dari kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tiada lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Tasawuf yang diperbaharui ini (reformed Sufism) menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri yang berlebihan (ekstravagansa) dari tasawuf populer yang menyimpang (unortodoxs Sufism) (Rahman, 1979: 205-206) Karakteristik model sufisme baru ini
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 98
Muhamad Nur
adalah aktivisme-puritanis (purifikasionis), yaitu semangat untuk mengembalikan praktik sufisme sebagaimana yang diajarkan Nabi berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Maka tiada lain bahwa model ini lebih sebagai tasawuf salafi. Kelompok ulama terpenting yang paling bertanggungjawab dalam membentuk merealisasikan kebangkitan tasawuf salafi (atau neosufisme) adalah “para ahli tradisi” (ahl al-Hadits). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa setelah gerakan sufi menawan perhatian dunia Islam secara emosional, spiritual dan intelektual pada abad VII-VIII H atau abad XII-XIII M, namun tradisionis menyadari bahwa adalah mustahil mengabaikan sepenuhnya kekuatan kaum sufi. Karena itu Fazlur Rahman menegaskan: ”Mereka berusaha, dalam metodologi mereka, untuk memasukkan sebanyak mungkin warisan sufi yang dapat didamaikan dengan Islam ortodoks dan yang dapat diusahakan untuk menghasilkan suatu sumbangan positif terhadapnya. Pertama-tama, motif moral tasawuf diberi tekanan dan sebagian dari tehnik dzikir atau muraqabah, “konsentrasi spiritual” digunakan. Tetapi objek dan kandungan konsentrasi ini disatukan dengan doktrin ortodoks dan cita-citanya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman dalam ajaran-ajaran dogmatic dan kesucian moral dan jiwa. Neo-sufisme model ini cenderung memperbaruhi aktivisme ortodoks dan menemukan kembali suatu sikap terhadap dunia ini” (Rahman, 1979: 195). Tempat yang menjadi pusat utama Hadits adalah Haramayn.4 Dua ahli hukum yaitu Maliki dan Hanbali, yang dikenal sebagai ahl al-Hadits, sesungguhnya telah mengembangkan dan menanamkan pengaruh kuat di Jazirah Arabia. Meskipun kaum Hanbali dikenal keteguhannya berpegang pada Hadits dan penolakannya filosofi rasional serta mistisisme spikulatif, banyak diantara mereka menerima tasawuf asalkan dijalankan sesuai dengan syariat. Ibn Taimiyah merupakan salah satu
4 Haramayn adalah dua kota Makkah dan Madinah. Dua kota tersebut menduduki posisi yang sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum muslimin, Haramayn merupakan tempat Islam diturunkan kepad Nabi Muhammad, Makkah adalah qiblah, ke arah mana para penganut Islam menghadap wajah dalam shalat, dan dimana mereka melakukan ibadah haji. Dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, tidak heran kalau kebanyakan keutamaan (fadha‟it) diletakkan kepad Mekkah dan Madinah (al-Suyuthi, 1985: 93).
99 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
ulama Hanbali terkemuka yang justru mendekonstruksikan sufisme menuju sufisme yang lebih Islami (Rahman, 1979: 194-195).5 Para ahli Hadits baik dari kalangan Hanbali maupun Maliki, selain mereka mengkonsentrasikan pada telaah Hadits dalam rangka mempertahankan dan mengorganisasikan dan menafsirkan al-kutub alsittah, mereka juga memantapkan kontak-kontak dan hubungan dengan para ulama dari tradisi-tradisi religio-intelektual yang lain. Mereka menyebar ke wilayah-wilayah Mesir, Afrika Timur dan Timur Tengah. Diantara mereka adalah Ibn Hajar al-Ashqalani (w. 853 /1419). Jalal al-Din al-Suyuti, dan Zakaria al-Ansari (Al-Imad, t.th.: 134-136) Juga terdapat para ulama utama yang dikenal sebagai sufi yang mempunyai kaitan erat dengan tradisi ilmiah Hadits Mesir dan Afrika Utara adalah al-Qusyasyi,9 al-Kurani, al-Nakhli atau ‘Abd Allah al-Bashri. Jaringan ulama Hadits dengan metode isnadnya dengan dukungan tradisi silsilah dalam sufisme mereka membuat semakin solid hubungan para ulama’ yang berasal dari berbagai tempat di dunia muslim. Dalam sistem jaringan keilmuan semacam inilah yang dijadikan sebagai wahana transmisi dan sosialisasi model tasawuf yang diperbaharui yang bersifat purifikatif-salafi.10 Seorang ulama Hadits dan sufi terkemuka misalnya Zakariya al-Ansari, yang dikenal kegigihannya menyelaraskan ajaran tasawuf dengan ajaran syariat. Model tasawufnya juga disebarkan muridnya yang terkenal al-Sya’rani disebut Michael Winter, (1982: 53-58) sebagai “jalan tengah”, yaitu gabungan antara pengamalan tasawuf dan fiqih. Ahmad al-Nakhli juga termasuk ulama Hadits yang berhubungan isnad pada Zakaria al-Ansari dan Ibn Hajar al-Ashqalani, memberikan perhatian khusus pada telaah Hadits yang isnadnya untuk mendalami ilmu-ilmu esoteric (batin) dan eksoterik (zahir). 5
Pembahasan mengenai peranan beberapa ulama Hanbali terkemuka dalam tasawuf, lihat G. Makdisi, (1973: 950-1150). Lihat juga Trimingham, (1973: 41-42). 9 Adalah Shafi al-Din Ahmad bin Muhammad Yunus al-Qusyasyi al-Dajani alMadani, lahir di Madinah 991 / 1538. Bila dilacak dia masih kental dengan tradisi sufistik dari Ahmad al-Syinnawi, yang masih berhubungan erat dengan sufi besar „Abd al-Wahhab al-Say‟rani. Ayahnya adalah seorang „alim terkenal madzab Maliki, Muhammad „Isa al-Tilmisani, (Azra, 1998: 87-89). 10 Hal ini bisa dilihat misalnya jaringan dari murid-murid al-Qusyasyi yang tidak kurang dari 100 orang, dimana mereka datang dari berbagai tempat di dunia Muslim. Mereka merupakan mata rantai krusial yang menghubungkan banyak ulama di dalam jaringan. Yang paling terkenal diantara murid-muridnya adalah Ibrahim al-Kurani (10231102/ 1614-990); dan tokoh tasawuf yang terkenal di Nusantara yaitu al-Sinkili dan alMaqassari. Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 100
Muhamad Nur
Makna khusus yang diberikan oleh ulama Hadits mencerminkan usaha-usaha yang mereka lakukan dengan sadar untuk membuat caracara Nabi disamping ajaran al-Quran tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi amalan moral. Telaah Hadits mereka dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan kesalehan lebih tinggi. Ahmad al-Nakhli percaya bahwa Hadits akan menuntun kepada kedekatan yang sejati kepada Nabi, yang menepati posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman. Menurut al-Qusyasyi, sebagaimana dikutip Azra (1998: 116) Nabi adalah tokoh paling penting bagi orang tarekat, sebab beliau adalah sumber syariat Tuhan. Begitu lekat para ulama tersebut dengan Hadits sehingga Ibrahim al-Kurani menegaskan: “Aku tidak menyimpan keraguan bahwa Hadits itu kan abadi di atas bumi ini” (Azra, 1998: 116) Tekanan para ulama Hadits tersebut menimbulkan perubahanperubahan yang mendasar dalam pandangan mereka atas tasawuf dengan syariat, dengan aktivisme, dengan kelembagaan tarekat dan dengan kesinambungan perubahan yang diantara mereka membentuk jaringan koneksi yang kuat di berbagai wilayah negara Muslim. Ciri-ciri yang dapat dinisbatkan kepada kelompok ulama Hadits yang sufistik ini adalah: (1) Keterpaduan antara dimensi syariat dan hakikat. Hal ini sebagaimana pandangan al-Qusyasyi dan al-Kurani yang meyakini harus ada kepatuhan pada ketentuan syar’at, diatas doktrin dan praktik hakikat di bangun. Seluruh aspek mistis harus mempraktikan seluruh doktrin syariat sebelum mereka patut berharap mendapat kepercayaan Tuhan (2) Sumber acuan yang ketat pada al-Quran dan Hadits. Seperti al-Qusyasyi yang mencurahkan penafsiran dan pandangannya dengan selalu mengutip al-Quran yang mencurahkan penafsiran dan pandangannya dengan selalu mengutip al-Quran dan alHadits (Azra, 1998: 118-123) (3) Aktivisme para ulama, baik pada intelektualisme dengan penggunaan akal yang lebih longgar (ijtihad) maupun aktivisme dalam bidang kemanusiaan seperti membantu orang lemah, jihad dan bekerja sama dengan masyarakat lain untuk membentuk tatanan sosial yang diidamkan (4) Dalam mereka bertarekat, kelembagaan mereka bersifat longgar dan kosmopolit; tidak ada batasanbatasan jelas antara berbagai tarekat yang jumlahnya cukup banyak baik
101 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
doktrin-doktrin maupun praktik-praktik ritus atau keanggotaan mereka.15 (5) Adanya fenomena kesinambungan dan perubahan (continuity and change), artinya model tasawuf tersebut yang dikembangkan tetap bertumpu pada landasan normative ortodok (salafi) dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai ortodoks (salafi) serta sekaligus mengadakan berbagai perubahan (akomodatif) seiring dengan perubahan dan kondisi sosio-kultural jamannya. Kesinambungan model tasawuf salafi yang dikembangkan Ibnu Taimiyah dipertahankan generasi sesudahnya dalam koneksitasnya dengan ulama-ulama lain baik di Mesir, Afrika Utara, India dan yang lainnya, yang kesemuanya pada umumnya berpusat dulu dalam “kawah penggodogan” (melting pot) di Haramayn. Dalam jaringan inilah ajaran tasawuf salafi tersebar dan mempengaruhi berbagai tokoh pembaharu di berbagai wilayah Muslim di seluruh dunia. Adapun langkah-langkah yang mereka lakukan sebagaimana telah disebutkan di atas adalah: Pertama, menekankan motif moral bukan pemikiran filosofis-spikulatif sebagaimana dalam tasawuf popular dan tehnik dzikir untuk menumbuhkan “konsentrasi” (muraqabah). Kedua, melakukan redefinisi objek doktrin ortodoks dari tujuan sufisme sebagai peneguhan keimanan sejalan dengan doktrin tersebut dan kesucian moral ruhani. Ketiga, menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan sikap positif terhadap dunia. Atas dasar upaya dan langkahlangkah rekonstruksi tasawuf di atas, maka sinyalemen Fazlur Rahman bahwa Hanbaliyah terutama Ibn Taimiyah yang kemudian diikuti muridnya Ibn Qayyim al-Janziyyah sebagai tokoh terkemuka madzhab Hanbali adalah perintis atau pelopor neo-sufisme. Hal tersebut dapat
15
Prototipe ini misalnya terletak pada al-Qusyasyi, yang diriwayatkan bahwa dia berafiliasi dengan hampir selusin tarekat, yaitu Syattariyah, Chistiyyah, Firdaushyiyah, Kubrawiyyah yang kesemuanya diterimanya dari Ahmad al-Syinawi atau langsung dari Sibghat Allah. Dia juga mengambil tarekat Suhrawardiyyah dari Sibghat Allah dan dari al-Syinawi melalui sesuatu silsilah yang mencakup al-Sya‟rani. Sedangkan tarekat Qadariyah dia mengambilnya dari ayahnya dan al-Syinnawi dan Syibhat Allah. Dia juga berafiliasi dengan tarekat Tayfuriyyah, Awisiyahan, Khalwatiyyah dan Naqshabandiyyah yang kesemuanya diterimanya dari al-Syinawi dan Sibgha Allah. Lalu dia mengambil tarekat. Bathiriyyah melalui silsilah yang berawal dari Hasan al-Bashri. Akhirnya dia menerima tarekat. Syadziliyyah dan tarekat Ibn „Arabi dari al-Syinawi melalui silsilah yang mencakup al-Sya‟rani (Lihat Azra, 1998: 128). Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 102
Muhamad Nur
dibenarkan sebab meskipun mereka menterang tasawuf habis-habisan, ternyata hanya sebatas tasawuf bid’ah (un ortodoks) dan antinomin. Pebenaran ini dapat dipertanggung jawabkan pula manakala kita telusuri pemikiran keagamaan termasuk pemikiran tasawuf kaum Hanbaliyah terutama Ibn Taimiyah yang bertumpu pada tiga prinsip, yaitu: (1) otoritas al-Quran dan al-Sunnah sebagai kerangka acuannya; (2) Nabi sebagai teladan praktiknya, dan mencontohkan generasi salaf alshalihin; (3) Kesatuan antara berbagai dimensi keislaman yang ada. Melihat karakteristik sufisme Ibn Taimiyah yang salafi, yang lebih menekankan pada penghayatan syari’ah dari pada hanya menekankan penghayatan pada Tuhan saja, dapat dikatakan bahwa model tasawuf yang dibangkitkan Ibn Taimiyah itulah yang memberikan pola atau prototype bagi tumbuhnya semangat salafi atau neo-sufisme yang kemudian disebarkan oleh para ahl al-Hadits yang sekaligus para ahli tarekat (sufi). Model tasawuf salafi Taimiyah tersebut dijadikan paradigma kebangkitan neo-sufisme, baik oleh para ahli Hadits yang sufi maupun oleh para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh di Mesir, Fazlurrahman di Pakistan, Ahmad Sirhindi di India, dan Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Pengaruh pemikiran tasawuf salafi Ibnu Taimiyah di Indonesia seperti Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dengan tasawuf modern, dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan neo-sufisme. Pengaruh pemikiran tasawuf salafi Ibnu Taimiyah dapat ditemukan pada banyaknya rujukan yang digunakan kedua tokoh tersebut. B. Tasawuf Modern Hamka 1. Biografi Intelektual Hamka Hamka atau sering disebut dengan Buya Hamka, nama lengkapnya adalah Haji Abdullah Malik bin Abd Al-Karim Amr Allah, lahir di negeri Sungai Batang, kampung Molik di tepi danau Minanjau pada tanggal 14 Muharram 1326 H / 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera Barat dan beliau wafat pada tahun 1982 di Jakarta. Kakeknya, Syaikh Amrullah, adalah seorang ulama terkenal yang memimpin sebuah surau dan mursyid Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah pada pertengahan abab ke 19. Sedang ayahnya, Abd Al-Karim Amr Allah, juga mendirikan surau setelah belajar selama sepuluh tahun di Makkah
103 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
dimana salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, tokoh yang terkenal anti-tarekat. Tetapi berbeda dengan ayahnya, Abd Al-Karim Amr Allah, yang sudah menerima banyak pengaruh dari Syaikh Ahmad Khatib dan modernisme Muhamad Abduh, menjadi penentang keras praktik-praktik tarekat, taqlid, dan sistem warisan matrilineal. Dalam corak pemikiran keagamaan demikianlah Hamka lahir dan pertama kali mendapat pendidikan agama (Steenbrink 1994:127 –130). Setelah menamatkan sekolah tawalib, dia pindah ke Jawa dan hasil perkenalannya mendorongnya belajar ke Makkah. Sepulangnya dari sana ia aktif di Muhammadiyah, di Departemen Agama RI dan mengajar di berbagai perguruan Tinggi Islam. Selain itu dia aktif diberbagai forum internasional, kegiatan sosial keagamaan, dan pernah menjadi ketua MUI yang dijabatnya sampai pada tahun 1981. Pada tanggal 17 Juli 1981 dia menghadap ke hadirat Tuhan dalam usia 78 tahun. Pemikiran keagamaan Hamka pada masa hidupnya dipengaruhi oleh corak reformasi Islam yang diterimanya sejak kecil dan karena kontaknya dengan literatur keagamaan modern. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukannya juga ditujukan untuk menyebarkan dan mengembangkan ide dan gerakan reformasi Islam di Indonesia, termasuk reformasi tasawuf. Hamka, menurut Madjid (1997:124), adalah tokoh yang unik. Keunikan tersebut pada kenyataan dia tidak hanya penganut reformasi Islam tetapi juga pelopor dan pemimpin berpengaruh. Namun, berbeda dengan mayoritas tokoh reformis lain yang cenderung bersikap antitasawuf, dia memberikan apresiasi tinggi terhadap sufisme. Bahkan tulisan-tulisannya sarat muatan-muatan tasawuf. Menurut Rahardjo (194:203-204) kecenderungan Hamka kepada tasawuf berkaitan erat dengan kesastrawanannya. Hamka mengadakan pendekatan lebih “dingin” terhadap tasawuf yakni sebagai pengamat yang menjaga jarak. Dia tampak lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai sarjana dan sejarawan daripada sebagai tokoh sufi. Sebagai seorang Muhammadiyah, lanjut Rahardjo, Hamka mendapat resiko dalam memperkenalkan tasawuf. Hamka sendiri menyadari bahwa Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur bid’ah dan khurafat. Sementara Islam yang datang ke Indonesia sangat bercorak tasawuf dan fenomena tersebut menjadi sasaran utama gerakan Muhammadiyah.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 104
Muhamad Nur
“Memperkenalkan tasawuf bisa berarti melawan arus reformasi yang di bawa oleh Muhammadiyah” (Rahardjo 1994:204). Tetapi Hamka tidak memperkenalkan tasawuf ke Indonesia untuk pertama kali tetapi memperkenalkan kembali tasawuf murni yang selama ini telah difahami dan dipraktikkan secara salah. 2. Pemikiran Tasawuf Modern Hamka Hamka adalah seorang ulama yang memahami secara luas dan mendalam sejarah dan pemikiran tasawuf. Ini, paling tidak tampak dari tulisannya yang berjudul Tasuf: Perkembangan dan Pemurniannya yang merupakan gabungan dari dua bukunya yaitu Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad yang terbit pertama tahun 1952 dan Mengembalikan Tasauf ke Pangkalnya yang berasal dari pidato inaugurasi sebagai Gurubesar Ilmu Tasawuf di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta tahun 1958. dalam buku tersebut Hamka (1930) memulai uraiannya dengan mengungkapkan hidup keruhaniahan yang sudah ada pada setiap bangsa di dunia. Dalam Islam hidup keruhaniahan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad sendiri yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, hidup keruhaniahan itu sesungguhnya bersumber dari Islam sendiri yakni Al-Quran, Hadits Nabi, dan kehidupan para sahabatnya. Setelah memaparkan secara komprehensif pendapat-pendapat para ahli yang telah mengkaji tasawuf tentang pengaruh-pengaruh Hindu, Persia, Nasrani, dan Yunani terhadap keruhaniahan Islam, Hamka menganalisis masing-masing pengaruh tersebut yang berakhir pada kesimpulan bahwa tasawuf bukan lahir karena pengaruh agama dan filsafat tersebut tetapi bersumber dari ajaran Islam yang murni. Hamka kemudian menjelaskan permulaan tumbuhnya kehidupan keruhaniahan dalam Islam dan memaparkan tokoh-tokohnya yang terkenal dari abad ke abad termasuk kehidupan dan pemikiran tasawufnya. Menjelang akhir buku tersebut, Hamka mendeskripsikan perkembangan tasawuf di Indonesia dan kemudian memaparkan gerakan-gerakan pemurnian tasawuf yang diawali dengan pemikiran Ibnu Taymiah. Buku tersebut berakhir dengan pemikiran tentang bagaimana mengembalikan tasawuf ke pangkalnya. Dari alur pemikiran dalam buku tersebut tampak bahwa Hamka berkeinginan untuk mengadakan pemurnian terhadap ajaran-
105 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
ajaran tasawuf yang sudah berabad-abad lamanya dipraktikkan oleh masyarakat Islam di dunia dengan berpijak pada pemikiran Ibnu Taimiyah. Menurut Cak Nur (1993:95), pemikiran sufisme Hamka menunjukkan konsistensi dengan pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, disamping masih dalam garis kontinyuitas pemikiran Al-Ghazali. Meskipun ingin mengadakan pemurnian, Hamka bersikap toleran terhadap asal usul istilah tasawuf. Dari manapun istilah tersebut berasal, menurut Hamka, praktiknya bersumber dari ajaran Islam sendiri. Mengawali buku Tasauf Modern, Hamka (1990: 1-2) menulis: Arti Tasauf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli logat. Setengahnya berkata bahwa perkataan itu diambil dari perkataan shifa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Katanya setengahnya dari perkataan “shuf” artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasauf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci mereka kepada pakaian yang indah-indah, pakaian “orang dunia” ini. Dan kata setengahnya diambil dari kaum “shuffah”, ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di satu tempat terpencil di samping mesjid Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan “shufanah”, ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman terakhir ini mengatakan bahwa perkataan “shufi” itu bukanlah bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani lama yang telah di Arabkan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga merubah menjadi “tasauf”. Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, dari bahasa Arabkah atau bahasa Yunani, namun dari asal-asal pengambilan itu sudah nyata bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasauf, atau kaum “Shufi” itu ialah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, jangan memakai pakaian orang dunia, biar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan Khaliknya (Hamka, 1990: 1-2). Uraian lebih rinci tentang asal kata dan pengertian tasawuf juga dikemukakan Hamka dalam buku Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya. Tetapi, Hamka sendiri tidak menganalisis kemungkinan pendapat tentang asal usul istilah yang paling tepat. Hanya saja kutipan tersebut menunjukkan kesamaan pengertian objektif tentang kaum sufi. Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 106
Muhamad Nur
Sedang formulasi pengertian ideal tasawuf yang dipegang Hamka (1993:82) adalah rumusan Al-Junaid yang pada prinsipnya sama dengan formulasi-formulasi dari ulama tarekat di atas, yaitu: “Tasauf ialah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci keruhanian, dan bergantung kepada ilmuilmu hakikat, memakai barang yang penting dan lebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesama ummat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at (Hamka, 1993: 82). Hamka menegaskan pengertian tasawuf yang dikemukakan AlJunaid di atas dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad baik oleh Nabi sendiri maupun oleh sahabat-sahabatnya. Berpijak dari rumusan AlJunaid tersebut, Hamka mengemukakan pengertian tasawuf yang murni. Dia menulis: “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1990:7). Tampaknya, inilah yang dimaksud Hamka dengan tasawuf modern, untuk membedakannya dengan tasawuf tradisional (lama). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Hamka berpendapat bahwa tasawuf memiliki sumber yang otentik dari ajaran Islam. Dia juga menekankan bahwa tasawuf yang murni tidak bertentangan dengan syari’ah meskipun dalam sejarah telah terjadi penyelewengan baik di kalangan ahli-ahli syari’ah maupun ahli-ahli sufi. Bahkan telah terjadi pertentangan dan pertikaian antara kedua kelompok ahli agama tersebut, yakni eksoteris dan ahli esoteris. Hamka juga menyatakan bahwa seorang sufi besar berpandangan bahwa puncak kebahagiaan tertinggi dalam tasawuf itu ialah gabungan antara syari’ah dan tasawuf itu sendiri. Dia mencontohkan beberapa ulama syari’ah terkenal seperti Ibnu Qayyim, Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi yang menjalani kehidupan tasawuf dan zuhud. Menurut Hamka, seorang ahli sufi sejati menjunjung tinggi dimensi syari’ah dan mentaatinya dengan tanpa ada keraguan sedikitpun. Demikian juga halnya dengan ulama-ulama syari’ah yang sejati (Hamka 1993:84). Hamka
107 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
(1993:87) selanjutnya menulis: “Alhasil kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tasauf dan fighi; gabungan otak dan hati. Dengan fighi kita menentukan batas-batas hokum, dan dengan tasauf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak merasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama”. Dia juga menjelaskan maksud hadits Nabi saw. mengenai Islam, Iman dan Ihsan sehingga setiap orang muslim harus mempelajari figh, aqidah, dan tasawuf. Sedang kunci dari semuanya itu terletak pada ihsan, yang berarti mengabdi kepada Allah seakan kita melihat-Nya dihadapan kita sendiri, sehingga seseorang harus memasuki tasawuf (Hamka 1993:87). Meskipun menyadari tasawuf bersumber dari ajaran Islam yang murni, Hamka melihat bahwa tasawuf sudah difahami dan dipraktikkan secara salah. Jadi yang dikritik Hamka bukan tasawuf itu an sich tetapi tasawuf yang diamalkan oleh orang banyak. Aliran-aliran yang berkembang dalam tasawuf banyak yang telah menyimpang dari orodoksi Islam terutama karena pengaruh dari luar Islam. Oleh karena itu, Hamka berusaha membersihkan tasawuf dari unsur-unsur yang bertentangan dengan tauhid (Rahardjo 1994:204). Cak Nur (1997:126) menyamakan Hamka dengan Ibnu Taimiyah yang sama-sama menggunakan kategori analisis sufisme-filosofis dan sufisme-populer sebagai dasar pijakan dalam mengadakan pemurnian tasawuf. Menurut Nurkholis Madjid, Hamka membenarkan sufisme-filosofis yang dikembangkan dan diluruskannya dalam berbagai karangannya dan pada saat yang sama dia melancarkan kritik dan kecaman terhadap sufisme popular. Seperti halnya Ibnu Taimiyah, Hamka melihat penyimpangan sufisme-populer yang mengandung praktik-praktik bid’ah. Yang termasuk ke dalam praktik-praktik bid’ah tersebut adalah pengukultusan tokohtokoh baik ketiak masih hidup maupun sesudah meninggal dunia. Sebagaimana ayahnya, Hamka menolak sistem tasawuf tarekat dengan tata cara dan peraturan masing-masing. Sistem tarekat termasuk kategori sufisme-populer. Sementara pemahaman masyarakat di Indonesia tentang tasawuf biasanya identik dengan aliran dan persaudaraan tarekat seperti Naqsyabandiyah, Sadziliyah, dan Sammaniyah. Namun demikian, dia tidak banyak mengangkat tarekat sebagai masalah penting untuk dikaji. Dalam upaya serius untuk mengkaji kecenderungan Hamka terhadap sufisme-filosofis, Steenvrink (1994:134)
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 108
Muhamad Nur
mengemukakan pandangan yang berbeda dengan Cak Nur. Tanpa menyusun batasan yang tegas antara kedua kategori analisis tersebut, Cak Nur berpendapat bahwa Hamka membenarkan sufisme-filosofis dan menolak sufisme-populer. Sedangkan Steenbrink tampaknya lebih berhati-hati dalam emnilai kecenderungan Hamka tersebut daripada Cak Nur yang cenderung over-generalisasi. Pendapat Steenbrink tampaknya lebih tepat karena Hamka sendiri sesungguhnya tidak membenarkan sufisme-filosofis secara bulat. Steenbrink (1994:134) menulis: “His attitude towards the speculative and classical mysticism of writers such as lbn ‘Arabi and al-Halaj is somewhat ambigious: he gives a lively and sympathetic description of their ideas, but in the end he rejects all forms of mysticism that try to eliminate the boundaries between man and his Creator. Mysticism that is in search of the unity of man and his Lord exceeds these boundaries, the some way as the science figh of Islamic law often exceeds its boundaries, when it wants too much certainty about unimportant details”. Steenbrink (1994:134) menjelaskan sufisme yang ditekankan oleh Hamka dalam buku-bukunya adalah tipe sufisme yang dipraktikkan pada abad-abad awal Islam terutama yang berfokus pada ide zuhud. Tulisantulisan Hamka yang bercorak sufisme tampaknya banyak dipengaruhi oleh tasawuf Al-Ghazali dan Al-Junaid daripada oleh tasawuf filosofis Ibnu ‘Arabi atau Al-halaj. Hamka (1961:899) juga mempunyai pendapat negatif terhadap Hamzah Fansuri, ulama sufi Aceh yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi pada abad ke 16, dengan mengatakan bahwa sufisme Hamzah Fansuri terlalu jauh karena berpegang pada sufisme wujudiyah yang mengajarkan kesatuan antara Tuhan dan makhluk dan mengajarkan kelemahan mental yang bertentangan dengan semangat jihad. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama, Hamka secara eksplisit mengecam ajaran tasawuf wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din al-Sumatrani dan mendukung upaya reformasi yang digalakkan oleh Syaikh Nur Al-Din alRaniri yang menolak faham wujudiyah. Hamka (1982:293), menulis: Tetapi setelah Raja Perkasa itu mangkat, pengajian Hamzah dan Syamsuddin telah tersebar kepada orang awam. Orang awam telah memperkatakan tarikat, syari’at, ma’rifat dan hakikat. Mereka mengerjakan Suluk, sebab itu bernamalah mereka Salik! Mata pandangan
109 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
mereka tertuju hanya kepada satu belaka, yaitu Allah! Dan Allah dalam diri! Buta mereka dari yang lain, nyalang mata mereka kepada Yang Esa! Maka disebutlah mereka oleh orang Aceh “Salik Buta” ! Pengajian mereka bernama “Wujudiyah” (Eksistensialisme). Tidak perlu ke sawah atau ke ladang dan kebun lagi, karena hati sudah ma’rifat. Tidak perlu sembahyanglagi karena Syari’at hanya bagi orang mubtadi (cara mulamula menempuh jalan). Mereka mengerjakan zikir sampai jauh malam. “Allah, Allah, Allah,” akhirnya kacau balaulah di stabilitas kemanusiaan antara laki-laki dengan perempuan! Mereka merasa diri Tuhan (Hamka, 1982: 293). Hamka memandang Nur al-Din al-Raniri sebagai ulama beraliran salaf yang dengan gagah berani menentang faham wujudiyah. Dengan demikian, sesungguhnya dasar pemikiran sufisme Hamka masih berada dalam corak yang sama dengan dasar pemikiran para ulama tarekat sehingga kritik Hamka terhadap praktik tarekat terlalu mengeneralisasi. Penyimpangan ajaran sufisme yang juga menjadi sasaran kritik adalah sikap kepasifan akibat dari kesalahfahaman terhadap ajaran-ajaran tasawuf seperti zuhud. Padahal kehidupan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya berciri zuhud yang murni. Hamka menggambarkan bahwa pada mulanya maksud para sufi untuk memerangi hawa nafsu itu baik tetapi kadang-kadang mereka menempuh jalan yang tidak digariskan oleh agama. Menurut Hamka, pengamalan tasawuf yang terlalu berlebihan tersebut telah menyebabkan masyarakat Islam lemah dan tak berdaya sehingga ketika tentara Mongol datang menyerbu wilayah Islam masyarakat Islam tidak mampu mempertahankan diri. Ketidakmampuan tersebut sebetulnya bukan semata-mata kesalahan kaum sufi tetapi juga karena masyarakat Islam telah mengalami pecah-belah. Sebagian masyarakat menjadi sufi yang asyik berkhalwat dan lezat dalam kesunyian tasawuf tanpa peduli dengan keadaan di luarnya, sebagian masyarakat menjadi penganut figh yang kaku dan sebagiannya lagi terdiri dari orang-orang yang rakus dan pemuja harta. Kelompok-kelompok yang terpecah tersebut sama sekali tidak mampu menahan serangan ganas dari tentara Mongol. Terhadap kelompok sufi yang cenderung anti-dunia tersebut, Hamka (1990:4) menulis: “Tasauf yang demikian tidaklah asal dari pelajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan Islam.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 110
Muhamad Nur
Semangat Islam ialah semangat berjuan. Semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah-paruh dan melempem”. Tasawuf yang hingga sekarang dipraktikkan dalam masyarakat Islam, termasuk Indonesia, menurut Hamka, telah membawa mereka kepada keterbelakangan dan ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak negatifnya juga berpengaruh terhadap kesalihan sosial seperti zakat dan infaq karena mereka tidak memiliki harta untuk dikeluarkan. Akibatnya, landasan ekonomi masyarakat Islam menjadi rapuh dan oleh sebab itu kebanyakan nagara muslim atau negara yang mayoritas penduduknya muslim termasuk negara miskin. Dampak pemahaman dan praktik sufisme yang salah dan telah melemahkan masyarakat muslim tersebut digambarkan oleh Hamka (1990:5-6) sebagai berikut: Sekian lamanya kaum Muslimin membenci dunia dan tidak menggunakan kesempatan sebagaimana orang lain. Lantaran itu kaum Muslimin menjadi lemah. Ketika akan berkorban, tidak ada yang akan dikorbankan, karena harta-benda dunia telah dibenci. Ketika akan berzakat, tidak ada yang akan dizakatkan, karena mencari harta dikutuki. Orang lain maju dilapangan penghidupan, sedang kaum Muslimin mundur. Dan apabila ada yang berusaha mencari harta benda, dikatakan telah jadi orang dunia. Tetapi, pada sisi lain, Hamka (1990), yang banyak membahas kedudukan harta dan kaitannya dengan bahagia, memandang bahwa harta tidak boleh menjadi tujuan hidup dan bahagia tidak boleh tergantung dengan kepemilikan terhadap harta. Dia menegaskan bahwa harta harus diperoleh dengan cara yang halal dan sumber yang halal. Terhadap harta harus bersikap pertengahan, tidak berlebihan dan melampaui batas. Sebagaimana ulama tarekat, Hamka juga menganjurkan hidup sederhana baik dalam hal makanan, pakaian maupun perumahan. Dalam bukunya yang lain, Lembaga Hidup, yang ditulis sebagai kelanjutan dari Tasauf Modern, Hamka (1984) juga menguraikan berbagai hak dan kewajiban termasuk hak dan kewajiban terhadap harta. Hamka (1990:212) menekankan bahwa harta itu hanya merupakan sarana untuk hidup dalam rangka mencapai kesempurnaan jiwa, bukan untuk tujuan harta itu sendiri. Hamka memberikan interpretasi yang menarik mengenai konsep zuhud yang sejiwa konsepsi K.H. A. Shahib Al-Wafa Taj Al-Arifin Hamka
111 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
(1990:226) menyatakan: “Dari itu bukanlah orang yang zuhud itu yang tidak suka menyimpan harta, atau tak suka mencari harta, dan mentalak harta samasekali. Bukan itu orang zuhud. Zuhud ialah yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sepersen juga, sudi jadi milyuner, tetapi harta itu tidak menjadi sebab buat dia melupakan Tuhan, atau lalai dari kewajiban.” Pemahaman tentang zuhud ini sesuai dengan hakikat Islam sendiri sebagai agama yang menyeru umatnya untuk bekerja keras mencari rizki dan berusaha untuk mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan agar dapat menjadi pemimpin bangsa-bangsa di dunia yang berlandaskan prinsip keadilan (Hamka 1990:4). Setelah membahas zuhud, Hamka langsung membahas qana’ah atau menerima cukup yang dianggapnya sebagai kekayaan yang hakiki. Qana’ah mencakup lima hal, yaitu menerima dengan rela apa yang ada, memohon mendapat tambahan sambil berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada-Nya, dan tidak terpengaruh oleh tipu daya dunia. Hamka juga menyadari bahwa seringkali terjadi kesalahfahaman tentang konsep qana’ah sehingga menimbulkan kesan bahwa agama Islam mengajarkan agar umatnya menjadi pemalas, membenci dunia, menerima apa adanya tanpa harus berikhtiar. Akibatnya, umat Islam yang zuhud jatuh ke lembah kemiskinan sementara yang non-muslim memiliki kekayaan dan kesejahteraan. Kesalahan tersebut juga terjadi di kalangan masyarakat Islam sendiri yang memahami qana’ah sebagai “menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi” (Hamka 1990:229). Masyarakat Islam juga banyak yang berpandangan sempit mengenai konsep ketaqwaan yang seringkali diukur dengan sorban dan simbol-simbol keagamaan lain sementara sikap terhadap ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan hal-hal yang dapat menghasilkan kemajuan sebagai yang dilarang oleh agama. Selanjutnya Hamka menegaskan bahwa qana’ah yang ada dalam agama Islam adalah qana’ah hati, bukan qana’ah ikhtiar dengan mencontohkan bahwa tidak sedikit sahabat Nabi Muhammad yang kaya raya tetapi memiliki sifat qana’ah. Dengan demikian, qana’ah bukanlah ajaran tentang anjuran untuk berpangku tangan tetapi merupakan modal utama untuk menghadapi kehidupan dan menimbulkan semangat untuk mencari rizki. Selain itu, qana’ah mengajarkan agar umat Islam istiqamah (konsisten) dan
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 112
Muhamad Nur
tawakkal kepada Allah serta terhindar dari keragu-raguan dalam menghadapi segala cobaan. Untuk itu, menurut Hamka, umat Islam harus “berikhtiar dan percaya kepada takdir” (Hamka 1990:229-231). Hamka (1990:238) juga menulis: Qana’ah tidak berlawanan dengan harta, selama harta itu belum menghilangkan ketenteraman hati, sebab qana’ah ialah tangga ketenteraman hati. Dan selama harta itu masih diikat oleh niat yang suci yaitu untuk menyokong segala keperluan hidup, berhubung dengan sesama manusia dan ibadat, untuk bersedekah kepada fakir dan miskin. Berdasarkan ajaran tersebut, tidaklah bernama Zahid lantaran tidak berharta. Siapa saja sanggup menjadi orang Zuhud, menjadi Shufi, bukan dihalangi oleh kenyataan harta. Orang yang zahid ialah orang yang tidak dipengaruhi harta, walaupun seluruh isi dunia ini dia yang punya. Penjelasan Hamka tentang qana’ah tersebut dilanjutkan dengan tawakkal, yaitu “menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuham semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, kita lemah dan tak berdaya” (Hamka 1990:242). Hamka kemudian mengemukakan berbagai contoh dari kehidupan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang menggambarkan sifat tawakkal. Inti Tawakkal, menurut Hamka, sama sekali tidak bertentangan dengan ikhtiar. Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT itu adalah orang yang selalu berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin sebelum menyerahkan segalanya kepada kekuasaan dan keputusan Allah. Hamka menegaskan agar umat Islam tidak salah dalam memahami tawakkal sehingga menduga bahwa tawakkal itu menyerahkan segalanya kepada Allah tanpa berusaha dan berikhtiar terlebih dahulu. Mengutip pandangan Al-Ghazali, Hamka menerangkan bahwa orang yang benar-benar tawakkal kepada Allah tidak merasa sakit terhadap bahaya yang menimpa dirinya karena perhatiannya hanya semata-mata kepada Allah. Bahkan dia merasakan kerinduan dan kecintaan kepada-Nya sehaingga ingin sekali bertemu dengan-Nya (Hamka 1990:242-252). Meskipun menolak praktik-praktik tarekat, pandangan Hamka tentang zuhud qana’ah, dan tawakkal tampaknya secara umum sejiwa dengan pandangan-pandangan ulama tarekat karena baik ulama tarekat maupun Hamka sama-sama snagat kuat dipengaruhi oleh ajaran tasawuf Al-Ghazali. Hanya saja, berbeda dengan kebanyakan ulama tarekat,
113 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Hamka seringkali melandaskan penjelasannya dengan kondisi objektif pemahaman dan praktik masyarakat Islam tentang ajaran-ajaran tersebut yang dinilainya menyimpang dari dan bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Ajaran-ajaran sufisme mengenai zuhud, qana’ah, dan tawakkal tidak bertentangan dengan masalah usaha, ikhtiar, dan mencari harta kekayaan. Ketiga ajaran tersebut sama sekali tidak menolak kehidupan dan kemajuan di dunia. Tetapi ketiganya merupakan modal utama umat Islam untuk bersungguh-sungguh meningkatkan taraf hidup dan kemajuan secara maksimal agar dapat menjadi umat terbaik yang dapat memimpin masyarakat dunia. Dengan demikian, tasawuf modern Hamka adalah tasawuf yang mengajarkan keaktifan hidup di dunia yang dilengkapi dengan nilai-nilai akhlaq yang mulia. Cak Nur (1997:131) memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pemikiran Hamka dengan menyatakan bahwa inti faham tasawuf Hamka sangat relevan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia pada masa yang akan datang yaitu masa yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat dihindarkan bangsa ini. Cak Nur (1997:131-132) selanjutnya mengemukakan lima inti faham kesufian Hamka yang dinukil dari bab penutup buku Hamka (1993) yang berjudul Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, yaitu: Pertama dan utama ialah tauhid yakni faham ketuhanan yang betul-betul murni yang terhindar dari unsur-unsur wujudiyah. Pemurnian tauhid memang menjadi sasaran utama reformisme tasawuf Hamka dengan beanggapan bahwa pemahaman dan praktik yang berkembang telah menodai dan mengancam kemurnian tauhid sehingga “tasawuf harus dikembalikan ke pangkalnya”. Hamka (1993: 228) menulis: “Dan membawa mereka kepada pokok pangkal Tasawuf yang sebenarnya, kembali kepada tauhid, yaitu bahwa Tuhan Hanya Satu., yang lain alam semua. Bukan Wihdatul wujud, yang berarti segala yang wujud adalah satu; dan itulah Tuhan!“. Kedua ialah ijtihad, setiap orang memiliki tanggung jawab pribadi dalam memahami agama sehingga tidak dapat bersikap taqlid buta dalam beragama. Ketiga ialah taqarrub. Seseorang harus menghayati secara mendalam makna ibadah yang digariskan oleh agama dan melaksanakan ibadah secara kontinyu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keempat adalah akhlaq al-karimah. Disamping melaksanakan ibadah dan menggunakan simbol-simbol
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 114
Muhamad Nur
keagamaan, seseorang dituntut dapat menangkap makna di balik ibadah dan symbol tersebut terutama dalam bentuk pendidikan moral, etika dan akhlak yang mulia. Kelima, keterlibatan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang dihiasi dengan akhlaq al-karimah yakni sifat-sifat mulia dan agung yang ada pada Tuhan yang dapat dijadikan sifat manusia. Keseriusan beragama harus mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam usaha bersama memperbaiki masyarakat, tidak untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Tentang yang terakhir ini, Cak Nur mengutip langsung pernyataan Hamka yang sangat menarik dan dalam maknanya. Di sini perlu dikutip sebagiannya saja secara langsung dari buku Hamka (1993: 229): “Bertasauf tetapi bukan menolak hidup. Bertasauf, lalu meleburkan diri ke dalam gelanggang masyarakat”. Di sinilah letak perbedaan yang tajam antara Hamka di satu pihak dengan AlGhazali dan ulama tarekat Indonesia di pihak lain tentang ajaran uzlah. Hamka sama sekali menolak uzlah, sementara Al-Ghazali dan ulamaulama tarekat tersebut memberi kemungkinan dilaksanakannya uzlah dalam kondisi yang memaksa untuk melakukannya. Hamka, dengan Tasauf Modern-nya, bermaksud menyajikan bentuk dan wajah tasawuf dapat berjalan seiring dengan aspek-aspek kemodernan dan perubahan sosiokultural. Apalagi, dia melihat terdapat kecenderungan tinggi dalam masyarakat Indonesia untuk menggeluti kehidupan keruhanian sehingga tidak sedikit di antara mereka memilih dan memasuki aliran kebatinan. Bahkan sejak masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan dan masa kemerdekaan ini kecenderungan masyarakat Indonesia mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf cukup kuat sehingga Hamka, (1993: 10) mengatakan bahwa “Tasauf dapat menjadi alat bagi manusia untuk menghadapi hidup, dan dapat pula membawa mati”. Tentang tingginya kebutuhan manusia akan kebatinan tersebut, Hamka (1993:11) menulis sebagai berikut: “Di zaman sekarang, melihat keadaan yang ada di tanah air kita sendiri setelah merdeka, betapa hebatnya ombak gelombang hidup kebendaan dan tekanan hawa nafsu, banyaklah orang yang masih sehat fikiran dan hendak mencari kekuatan pada keteguhan ruhani, pada hidup kebatinan”. Kecenderungan yang tinggi masyarakat Indonesia kepada kehidupan keruhaniahan ini melatar
115 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
belakangi Hamka menulis buku Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya yang berisi sejarah tasawuf masa Nabi, sahabat, hingga merosotnya kehidupan tasawuf. Hamka melihat bahwa kehidupan kebatinan, keruhanian dan tasawuf merupakan unsur penting pandangan hidup masyarakat Indonesia dan dalam perkembangan Islam. Hamka memang merupakan tokoh pertama di Indonesia yang mempopulerkan istilah tasawuf modern tersebut. Berdasarkan pemikiran sufisme modern di atas, Cak Nur (1993: 95) bahkan memandang Hamka sebagai peletak dasar neo-sufisme di Indonesia. Cak Nur menulis: Ketika Prof. Dr. K.H. Hamka menulis bukunya yang terkenal, Tasauf Moderen, beliau sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar Sufisme baru di tanah air kita Indonesia. Dalam buku itu terdapat alur fikiran yang memberi apresiasi yng wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syari’ah (Madjid, 1993: 95). Apresiasi yang tinggi terhadap pemikiran sufisme (tasawuf modern) Hamka juga disampaikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid (1996:30-31) yang menulis bahwa Hamka telah berhasil mendudukan kembali beberapa aspek ilmiah yang hilang dari sebagian diskursus intelektual tasawuf karena sebagian pembaharu muslim memandang tasawuf sebagai ajaran yang tidak bersumber dari Islam yang murni sehingga menganggapnya sebagai momok. Akan tetapi, meskipun seorang pembaharu Hamka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sufisme. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Hamka mengembalikan posisi tasawuf sebagai wahana ibadah yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah dengan tetap berusaha menyaring aspek-aspek praktis yang dipandang menyimpang dari sumber aslinya. Dimensi asketis dan spiritual dari agama Islam akan melengkapi kekakuan dan kekerasan sikap yang biasa terjadi di kalangan golongan pembaharu. Sementara Hamka berjasa besar dalam mengembangkan sikap asketis dalam warga Muhammadiyah dan kalangan pembaharu lainnya. Abdurrohman Wahid sebagai ketua ormas besar Nahdlatul Ulama melihat bahwa Tasauf Moderen Hamka telah memberi legitimasi terhadap kecenderungan sikap positif penganut gerakan Muhammadiyah terhadap tasawuf yang memang sudah ada sebelumnya meskipun secara formal menolak praktik-praktik tasawuf. Keterbukaan sikap terhadap
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 116
Muhamad Nur
tasawuf yang sesungguhnya memang tidak bertentangan dengan ajaran agama merupakan sumbangan dari tulisan-tulisan Hamka terutama Tasauf Moderen-nya. Dawam Rahardjo (1994: 206-207) menyatakan bahwa para pembaca buku Tasauf Modern dapat meletakkan posisi Hamka di antara berbagai aliran tasawuf di Nusantara. Pada satu sisi, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf kepada Al-Quran dan Al-Sunnah, dua sumber utama ajaran Islam, tetapi pada sisi lain, Hamka berusaha membangun konsep baru tasawuf untuk kehidupan masyarakat modern. Menurut Rahardjo, Hamka dapat didudukkan sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah terpenting dalam memberikan sumbangan pemikiran keislaman. Hamka ingin menggabungkan kembali tasawuf ke dalam pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam mengenai modernisme yang menjadi misi Muhammadiyah. Dawam Rahardjo menduga bahwa Hamka mungkin melihat bahwa anjuran-anjuran untuk meningkatkan penggunaan akal harus diimbangi dengan meningkatkan penggunaan rasa atau pengahayatan dalam rangka menghadapi aspek-aspek modernitas. C. Neo-Sufisme Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid termasuk tokoh pemikir Islam Indonesia yang pertama mempopulerkan istilah neo-sufisme atau sufisme baru. Pemikir Islam yang lahir pada 17 Maret 1939 di Desa Mojoanyar Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang Jawa Timur ini adalah salah seorang pemikir Islam Indonesia yang berlatar belakang pendidikan di Barat. Cak Nur menyelesaikan Ph.D-nya di University of Chicago, AS, setelah sebelumnya menyelesaikan Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarijo, 2005: 1). Berbeda dengan Hamka dan ulama-ulama tarekat, Cak Nur dibentuk oleh berbagai tradisi Islam dan tipe kajian keislaman sehingga keragaman tradisi tersebut mewarnai corak kajian dan karya intelektual Islam yang dihasilkannya. Pertama kali Cak Nur dididik dalam lingkungan Islam tradisional di daerah kelahirannya dan dilanjutkan dengan corak pendidikan Islam modern Gontor yang menurut pengakuannya, memiliki andil besar dalam memberikan dasar-dasar yang kokoh kemampuan Bahasa Arab dan Inggris bagi Cak Nur, yang dengan kemampuan bahasa
117 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
asing itu ia dapat berkenalan dan mendalami pemikiran keislaman para ulama dan tokoh intelektual Islam. Gontor termasuk pesantren yang mengajarkan Islam moderat dan terbuka (Sarijo, 2005: 5-6). Setelah melengkapi corak kajian-kajian Islam tradisional di IAIN, Cak Nur mendalami kajian-kajian Islam actual-historis di Amerika Serikat di mana dia menjadi mahasiswa seorang tokoh neo-modernis Islam terkenal, Fazlur Rahman, salah satu pemikir yang banyak mempengaruhi pemikirannya, sehingga penulis seperti Greg Barton menyebut Cak Nur sebagai tokoh neo-modernis Islam di Indonesia. Penguasaan terhadap berbagai tradisi Islam dan corak kajian keislaman membuat karya-karya intelektual Islam Nurcholish Madjid mencakup berbagai tradisi dan dimensi Islam meskipun karya-karya tersebut masih terbatas pada kalangan mahasiswa dan golongan berpendidikan tinggi. Cak Nur juga merupakan seorang sosok intelektual yang mempunyai konsen tinggi terhadap problematika masyarakat yang terkait erat dengan kehidupan keummatan dan kebangsaan.5 Hal ini dapat dilihat dari aktifitas-aktifitas yang digelutinya. Kepeloporannya dalam membangun tradisi intelektual Islam Modern khususnya di Indonesia telah banyak diakui oleh banyak kalangan, dan pendapatnya menjadi referensi dalam diskursus keislaman dan kemoderenan Indonesia (Hasan, 1987: 30-41) (Abdurrahman, 1995: 81-87) Keilmuannya di bidang keislaman dikuasainya dengan baik mencakup teologi, tasawuf, metodologi tafsir dan Hadits, sejarah, fiqih, filsafat, dan sosial politik (Madjid, dalam Rahman, 1997: 11-41). Pandangan Cak Nur tentang neo-sufisme secara khusus dapat dilihat secara eksplisit dalam karya-karyanya baik buku ataupun artikel seperti: Islam Doktrin dan Peradaban, Islam Agama Peradaban, PintuPintu Menuju Tuhan, Masyarakat Religius, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Tasawuf dan Masa Depan Agama, dan Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Secara implisit nuansa sufistiknya dapat dilihat dalam karyakaryanya di bidang sosial-keagamaan dan ceramah-ceramahnya dalam diskusi dan seminar di berbagai tempat. Berikut deskripsi pemikiran Cak Nur berkenaan dengan neo-sufisme: 5
Lihat buku-bukunya tentang hal tersebut misalnya Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Islam kerakyatan dan Keindonesiaan dan Tradisi Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, dan lain-lainnya. Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 118
Muhamad Nur
1. Sebab Historis Munculnya Pemikiran Neo-Sufisme Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid merupakan seorang reformis yang sangat memperhatikan kepentingan kesadaran sejarah, yang berarti kesadaran bahwa hal yang terjadi pada masa lampau berpautan dengan kejadian pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Menurut Cak Nur sebagaimana dikutip Kuswanto (2007: 148) Islam harus dipahami secara historis, karena Islam telah terlanjur menyatu dengan pengalaman hidup para pemeluknya di masa lampau, sehingga pada akhirnya pemahaman itu segera diteruskan dengan suatu kesadaran bahwa Islam itu universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu, senantiasa cocok untuk setiap zaman yang datang kemudian. Dengan perkataan lain Islam sejak awal sudah menyatakan diri sebagai agama yang berdimensi masa lalu, masa kini/sekarang, dan masa yang akan datang. Konsep tersebut mengandung pengertian bahwa Islam mengindikasikan adanya doktrin yang tekstual dan kontekstual. Kajian sejarah ini menurut Cak Nur dimaksudkan untuk menumbuhkan keterbukaan yang dinamis dan untuk membuat suatu generasi menjadi kaya akan gagasan, sebagaimana jargon ulama klasik “ memelihara nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” (Kuswanto, 2007: 150) Hal ini yang dilakukan Cak Nur dan menjadi prinsip dalam setiap objek kajian pemikirannya. Pandangan neo-sufisme Cak Nur juga didasari atas prinsip di atas. Kemunculuan neo-sufisme dilatarbelakangi oleh sejarah kesufian itu sendiri. Jadi neo-sufisme itu terkait dengan sufisme populer yang merupakan kelanjutan setelah mengalami modifikasi, adaptasi, dan penyerapan (kontekstualisasi). Menurut Nurcholish Madjid, munculnya kecenderungan asketissufistik dalam sejarah peradaban Islam di masa lalu dikarenakan oleh adanya sistem dan praktik pemerintahan Bani Umayyah yang banyak mengandung fitnah besar dalam Islam. Sebagai respon terhadap keadaan tersebut muncullah oposisi keagamaan kepada rezim Damaskus, yang tidak saja oleh musuh tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi’ah dan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah yang kaum Ummayah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya (Madjid, 1995: 253-254).
119 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Selain itu, seiring perkembangan wilayah Islam, yang akhirnya menuntut penguasa untuk memusatkan perhatiannya pada masalahmasalah pengaturan kehidupan sosial-kemasyarakatan, maka sarananya adalah sistem hukum. Begitu kuatnya posisi hukum dan ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, dan jalan hukum (figh) menjadi identik dengan keseluruhan jalan hidup yang benar (syari’ah). Klaim inilah yang mendorong munculnya oposisi dari sekelompok kaum yang lebih konsern dengan aspek batiniah-esoterik agama.6 Dengan munculnya dua kelompok kecenderungan tersebut tidak heran bila kemudian muncul tension, bahkan ketegangan itu digambarkan seperti pertentangan kaum Yahudi dan Kristen.7 Salah satu bentuk pertentangan tersebut dalam rentan sejarah dapat dilihat dari sikap Abu Dzar al-Ghifari,8 dan Hasan al-Basri,9 yang begitu ekstrim dalam mengapresiasikan sikap zuhudnya, sebagai bentuk protes terhadap perilaku kezaliman yang dipraktikkan penguasa pada waktu itu. Selain kedua tokoh tersebut, al-ghazali oleh sebagaian ulama juga dipandang telah mengajarkan praktik uzlah di tengah tuntutan perang untuk membela bangsa dan negara dari rongrongan musuh (Syukur, 1999: 93-106).
6 Oposisi tersebut lebih bersemangat lagi manakala dalam realitasnya otoritas hukum (figh/syari‟ah)menjadi alat untuk melegitimasi rezim status quo. Lebih lanjut lihat (Madjid, 1995: 255-257). 7 Hal ini dijelaskan Cak Nur dengan mengutip Ibn Taimiyah dengan mendasarkan pada ayat QS. Al-Baqarah (2): 13, Kaum Yahudi berkata: “Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya”, sementara kaum Kristen mengatakan: “Orang-orang Yahudi tidak ada apa-apanya”. Ibn Taimiyah lebih lanjut mengatakan: “Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Figh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadah (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat. Sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan anda dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari‟ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada syari‟ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah”. Lihat (Madjid, 1995: 91-92). 8 Sikap Zuhud yang ditampilkan Abu Dzar adalah sebagai bentuk protes terhadap penguasa Usman dan Muawiyah yang berlaku sewenang-wenang, menumpuk harta, dan menubadzirkan harta rakyat. Lihat (Syukur, 1999: 93-98). 9 Sikap Hasan Basri dikatakan oleh Amin Syukur (1999: 99) sebagai sikap oposisi terhadap rezim pemerintahan kaum Umawi di Damaskus, yang dipandang kurang religius sehingga banyak orang muslim yang menarik diri dari gemerlap dunia.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 120
Muhamad Nur
Terhadap pandangan negatif pada sikap zuhud yang ditampilkan ketiga tokoh tersebut, Amin Syukur (1999: 108) memberikan pembelaan secara arif bahwa apa yang dilakukan ketiga tokoh tersebut merupakan gambaran tanggung jawab tasawuf dalam prespektif historis. Apa yang dilakukan ketiga tokoh tersebut sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kondisi carut-marutnya akhlak penguasa dengan menarik diri dari keramaian. Dengan demikian maka nampaklah bahwa tasawuf membumi dan aplikatif terhadap problema yang dihadapi pada masanya. Tentunya sikap tersebut berbeda dengan masa sekarang. Sebab lain yang menjadi latar belakang pemikiran neo-sufisme Cak Nur menurut Kuswanto, (2007: 151-153) adalah adanya penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan oleh para sufi klasik. Untuk memperkuat argumentasinya, Kuswanto mengutip Abdurrahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Bercak-bercak Sufi, (2005) yang mengemukakan empat pikiran sufi yang dianggap sangat membahayakan: Pertama, memalingkan manusia dari al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini kaum sufi berasumsi bahwa mengkaji al-Quran secara detail hanya akan menyia-nyiakan waktu dan melalaikan dzikir kepada Allah. Konsep dzikir dalam pandangan kaum sufi tertentu merupakan pujian untuk mengenal Allah dengan mengetahui sifat-sifatnya dan hal demikian lebih utama dari pada memikirkan kandungan al-Quran secara rinci dan detail. Kedua, interprestasi bathin atas nash al-Quran dan Hadits. Dalam hal ini kaum sufi seakan-akan memberikan konklusi bahwa kebenaran interprestasi terhadap ayat al-Quran dan Hadits adalah jika dilakukan oleh ahli tasawuf. Ketiga, mengahancurkan akidah Islam. Dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah doktrin wahdatul wujud, hulul, ismah, dan haqiqotul Muhammadiyah. Doktrin tersebut menurut Abdurrahman, telah disusupi ajaran filsafat, bid`ah dan khurafat yang menyebabkan kezindikan (kekafiran). Keempat, mengajak ke arah kefasikan dan kedustaan. Dalam hal ini menurut Abdurrahman Abdul Khalik, kaum sufi telah mengajarkan tentang terbebasnya beban syari`at (hukum) bagi seorang sufi karena kesuciannya, kemudian memisahkan syariat dengan hakikat, menghalalkan ganja dan minuman keras yang dapat menghilangkan akal. Doktrin tersebut menurut Abdurrahman Abdul Khalik, memberikan kesempatan melakukan kezaliman serta kemaksiatan di tengah kehidupan kaum muslimin (Kuswanto, 2007: 154).
121 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Berbagai bentuk penyimpangan tasawuf di atas menjadi sebab prinsipil bagi timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara kaum sufi dan kaum syariah. Cak Nur menegaskan bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan tersebut sempat terjadi ketegangan dan polemik, mereka saling menuduh bahwa lawannya penyeleweng dari agama dan sesat, atau penghayatan keagamaan mereka tidak sempurna. Sikap Cak Nur dalam hal ini tidak memihak kepada salah satu. Namun seperti Ibnu Taimiyah dan Hamka, sikap Cak Nur adalah purifikatif dan menarik benang merah (mengintegrasikan) kedua aspek penghayatan keagamaan tersebut dengan benar dan kontekstual sebagai bagian dari ajaran Islam. 2. Sebab Aktual Munculnya Pemikiran Neo-Sufisme Nurcholish Madjid Abad XXI merupakan era modern (post modern) di mana terjadi perkembangan peradaban manusia yang spektakuler, rasional, empiris, dan menjanjikan kebahagiaan dan kemudahan bagi masyarakat modern. Amin Syukur, (1999: 111) mengambarkan masyarakat modern ini dengan kehidupan yang ditandai lima ciri pokok, yaitu: “Pertama, berkembangnya massa culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur atau budaya tidak lagi bersifat lokal, malainkan nasional atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju pergerakan ke masa depan. Dengan ditaklukkan alam akan mempermudah langkah manusia lebih leluasa atau berkuasa. Ketiga, tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional sehingga kehidupan manusia cenderung diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur dan diatur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi demi mencapai standar hidup lebih layak”. (Syukur, 1999: 111). Berdasarkan kriteria masyaraat modern di atas, dapat dibayangkan terjadinya pembauran antar budaya dan peradaban. Dimensi tasawuf sebagai bagian dari peradaban manusia tentunya tidak luput dari pembauran dengan ajaran lainnya, seperti budaya Hindu, Budha, dan Kristen, serta budaya lokal.10 Proses pembauran ini dalam konteks 10 Salah satu contoh akulturasi budaya yang masih kuat di Jawa seperti kesenian wayang, tingkepan, kepercayaan kharisma Kucing, Kharisma Jumat Kliwon, budaya
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 122
Muhamad Nur
historis menjadi strategi keberhasilan para sufi dalam mengislamkan Nusantara dengan waktu relatif singkat, dan sampai saat ini menjadi dimensi ajaran yang masih kental pada umat Islam Indonesia. Dalam konteks ini Cak Nur sebgaimana dikutip Kuswanto, (2007: 164) memberikan apresiasi bahwa pembauran antara ajaran tasawuf dengan unsur luar tidak perlu dipersoalkan, karena hal itu menyangkut masalah seberapa jauh dibenarkan terjadi nuktah universal ajaran Islam dengan unsur budaya lokal atau justru untuk membuat noktah universal itu terlaksana. Pembauran tidak akan mengurangi keabsahan pemikiran Islam. Alasan ini cukup relevan dan tepat mengingat Cak Nur menyerukan agar memberikan perhatian yang cukup terhadap tasawuf. Menurutnya tasawuf dalam perkembangannya di Indonesia sempat tercecer dan secara perlahan umat cenderung beralih kepada orientasi fiqih atau hukum yang dalam perkembangannya lebih lanjut telah menumbuhkan paham puritanisme dan reformisme. Fenomena ini berdampak nyata yang mengakibatkan banyak kaum muslim yang kembali mencari perbendaharaan keruhaniahan dalam khazanah Islam, sehingga lahirlah gerakan-gerakan dan paham kebatinan yang akhir-akhir ini banyak tumbuh di Indonesia. Di samping alasan rasional yang telah disampaikan di atas, sebab aktual lain yang dikemukakan Cak Nur adalah kejeliannya dalam mengamati dan memprediksi arus budaya Indonesia. Menurutnya, pada zaman modern ini masyarakat Barat dan juga masyarakat Indonesia cenderung mengalami gejala kekeriangan jiwa dan kehampaan spiritual atau sering disebut alienasi, sehingga banyak orang tertarik ajaran tasawuf. Oleh karena itu, Cak Nur menyerukan ajaran tasawuf harus diberi porsi perhatian yang lebih banyak dan lebih besar, sehingga diharapkan akan menjadi faktor penyeimbang bagi pola kehidupan masyarakat industrial modern yang serba materialistik (Madjid, 1992: 57). Cak Nur berharap bahwa tasawuf akan menjadi obat dan kendali atas fenomena kekeringan spiritual dan tantangan hidup yang semakin berat di era modern. Berdasarkan pemaparan di atas ada dua alasan yang menjadi sebab munculnya pemikiran neo-sufisme Nurcholish Madjid. Satu sisi Cak Nur Nyadran pada masyarakat di pesisir laut jawa, model kerahiban yang ditampilkan para kyai dukun, dan contoh lainnya.
123 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Melacak Akar Historis Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid
memandang adanya keharusan mengambil dan menempatkan dimensi esoteris Islam (tasawuf) dalam setiap perilaku yang bernilai ibadah dan di sisi yang lain Cak Nur mendambakan tasawuf yang mencerminkan nilai uiversal Islam, yakni tasawuf dinamis, terbuka, responsif dan senantiasa kondisional dengan zamannya. Tasawuf yang demikian yang diformulasikan Cak Nur di era modern ini, yang memunculkan prototipe sufi-sufi yang bercirikan: intelektual, modern, dan progresif yang bermanfaat bagi sesama manusia dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini sangat sesuai dengan Islam yang memiliki semangat humanisme dan transendental.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 124