Pluralisme dan Inklusivisme
PLURALISME DAN INKLUSIVISME (Analisa Kritik Terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid) Muh. Rusydy Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Abstrak Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual yang mendapat dua pola pendidikan yaitu tradisionalis dan modernis sekaligus. Kemudian ia memperdalam keilmuannya melalui bacaan khazanah Barat dan Islam. Dari dua pola pendidikan dan rujukan keilmuan ini ia mengembangkan pemikiran lalu mengemukakan wacana keagamaan yang pluralis dan inklusif. Dari wacana keagamaan yang pluralis dan inklusif lalu berkembang menjadi wacana pluralisme dan inklusivisme yakni keterbukaan, kebersamaan, toleransi, ukhuwah, dan saling menghormati. Dalam pluralisme dan inklusivisme beragama tidak ada sikap mutlak-mutlakan yaitu sikap merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Pemahaman pluralisme dan inklusivisme keberagamaan ini mempunyai rujukan dalam Islam dan dapat ditelusuri pada sumber Islam yang autentik. Pluralisme dan inklusivisme keberagamaan Islam sudah dibuktikan dalam perjalanan sejarah Islam sejak masa awal. Kata Kunci: Modernisme, Liberalisme, Ekslusif, Pluralisme, Fundamentalisme A. Pendahuluan Munculnya pemikiran keislaman Nurcholish Madjid tentang pluralitas dan inklusivitas tidak terlepas dari perjalanan intelektualnya. Dari segi ini, ia adalah seorang intelektual muslim yang dididik dalam ilmu-ilmu agama terutama Islam. Namun dengan bacaan buku-buku yang luas, termasuk kepustakaan berbahasa Arab dan Barat, ia pun menguasai ilmu-
TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
297
Muh. Rusydi
ilmu umum.1 Jadi, selain menguasai ilmu pengetahuan keislaman, sekaligus juga ia menguasai ilmu pengetahuan umum. Ini suatu penguasaan ilmu pengetahuan yang komprehensif dan saling bersinergi sebagai dasar intelektualitas Nurcholish Madjid. Bila ditelusuri perjalanan intelektualitas Nurcholish Madjid ke belakang mudah dipahami mengapa Nurcholish Madjid muncul dengan pemikiran pluralisme dan inklusivisme keislaman yang menggugah kemapanan. Selama lima tahun menempuh pendidikan menengah di Pondok Modern Gontor, ia memperoleh iklim pendidikan yang mengajarkan untuk berpikir kritis dan netral. Bila dibandingkan dengan lulusan pesantren lainnya, salah satu ciri menonjol pada lulusan Pondok Modern Gontor adalah terlatih untuk berpikir komparatif sehingga tidak mudah terjebak ke dalam fanatisisme golongan.2 Akar pemikiran keislaman Nurcholish Madjid diperkuat setelah ia masuk ke Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang Program Studi pokoknya ialah Sastra Arab dan Sejarah Peradaban Islam. Dari sini ia mulai mengkaji Islam secara pluralistik dan inklusivistik. Bahkan faham inklusivismenya berkembang setelah dekat dengan Hamka. Pada masa itu, sebagai mahasiswa, Nurcholish Madjid tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar, Jakarta. Secara tidak langsung ia telah berguru pada Hamka dan kagum padanya yang dinilai mampu mepertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat al-Qur’an sehingga faham keislaman dan dakwah Hamka berjalan dan berhasil efektif di kalangan masyarakat perkotaan.3 Kemudian untuk kepentingan peningkatan intelektualitas yang pluralistik dan inklusivistik, Nurcholish Madjid bekerja pada LIPI sebagai seorang peneliti, suatu tempat yang sesuai 1
M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi, Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, pengantar dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), cet. XII, 17-18. 2 Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II, xii-xiii. 3 Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban…, xiii. 298 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
dengan minat dan bakat intelektualitasnya. Di LIPI ia terlibat dalam penelitian ilmiah empiris dan bergaul dengan para ilmuan yang setia dengan tradisi dan etika keilmuan. Lantas intelektualitas keislaman Nurcholish Madjid memperoleh landasan epistemologis yang kuat setelah pulang dari Chicago, Amerika Serikat. Ketika itu Nurcholish Madjid telah menyelesaikan program doktor dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam. Pluralisme dan inklusivisme adalah tema pokok dalam pemikiran keislaman Nurcholish Madjid.4 Dikatakan pokok atau penting karena term pluralisme dan inklusivisme merupakan pemikiran keislamanan Nurcholish Madjid yang muncul dengan pemahaman aktual sehingga berbeda dengan pemahaman sebagian umat Islam Indonesia sebelumnya. Karena itu, masalah pluralisme dan inklusivisme dianggap sebagai pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang “kontroversial” dan memancing kritikan dari para tokoh dan aktivis umat Islam misalnya dari Ahmad Sumargono, Ridwan Saidi, Daud Rasyid, dan Adian Husaini.5 Padahal pada skala yang luas, perbedaan pemikiran yang berseberangan terhadap gagasan keislaman bisa mengarah pada terjadinya radikalisasi intelektual dalam kelompok-kelompok yang alergi terhadap gagasan pembaharuan keislaman. Radikalisasi intelektual akan memunculkan 4
Dari catatan yang dapat diakses dari berbagai sumber bahwa Nurcholish Madjid dilahirkan di Desa Mojoanyar, Jombang, pada tanggal 17 Maret 1939, dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005. Kegiatan tulis menulis ia mulai dengan menerjemahkan makalah berbahasa Arab tentang fiqih ‘Umar bin Khaththâb yang dimuat di Gema Islam pimpinan Hamka. Untuk kegiatan organisasi kemasyarakatan ia berkecimpung di HMI, PEMIAT, IIFSO, LSIK, dan LKIS; kemudian Paramadina, Komnas HAM, KIPP, Tim 11, dan MPR. Karyanya yan penting: Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Islam Doktrin dan Peradaban, Islam Agama Peradaban, Islam Agama Kemanusiaan. 5 Ahmad Sumargono, Ridwan Saidi, dan Daud Rasyid merupakan pemuka Lembaga Manajemen dan Pengembangan Infaq Jakarta. Pernah terjadi perdebatan dengan Nurcholish Madjid di Masjid Amir Hamzah TIM Jakarta, tanggal 13 Desember 1992. Adian Husaini menganggap bahwa pemikiran keislaman Nurcholish Madjid dijadikan idola dan Nurcholish Madjid telah dikultuskan. Lihat Adian Husaini dalam, http://adianhusaini.blogspot.com/2007/03/kritik-terhadap-ensiklopedinurcholish.html. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 299
Muh. Rusydi
dorongan bagi umat Islam yang alergi untuk memahami dan memegangi Islam secara ekslusif.6 Pluralisme dan inklusivisme dalam gagasan keislaman Nurcholish Madjid ialah keyakinan terhadap keragaman kebenaran setiap agama sebagai realitas dan keterbukaan dalam kehidupan beragama, bukan relativisme dan eksklusivisme. Pluralisme dan inklusivisme merupakan pemikiran yang berisikan prinsip-prinsip untuk saling mengerti dan saling menerima dalam perbedaan, karena di dalam perbedaan ada ikatan persatuan oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan etis, sebagaimana dalam konteks keindonesiaan, yang terumuskan dalam Pancasila.7 Baik pluralisme maupun inklusivisme mempunyai dasar-dasar yang dapat digali dari dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka mudah bagi umat Islam, tanpa melepaskan keyakinan agamanya, untuk menerima pemikiran ini. B. Latar Belakang Sosial Intelektual Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid lahir di Jombang, salah satu wilayah yang menjadi pusat perkembangan intelektual. Di sana ditemukan pesantren-pesantren besar misalnya Pesantren Rejoso, Pesantren Denanyar, Pesantren Tambakberas, dan Pesantren Tebuireng. Bahkan ada diantara pesantren-pesantren itu yang mempunyai penyelenggaraan pendidikan tinggi seperti Pesantren Rejoso dengan Universitas Darul ‘Ulum dan Pesantren Tebuireng dengan Universitas yang bernama Hasyim Asy’ari.8 Nurcholosh Madjid memperoleh pendidikan dasar-dasar agama dari ayahnya sejak dini. Pada usia enam tahun ia belajar membaca al-Qur'an. Maka ayahnya memberi pengaruh pada wawasan dan intelektualitas Nurcholish Madjid. Ini dikarenakan ayahnya memiliki pengetahuan yang luas. Penguasaannya akan bahasa Arab memberi akses padanya untuk memperluas cakrawala wawasan pengetahuan keislaman melalui referensi 6
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani Gagasan Fakta dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. II, 152. 7 Masalah pluralisme dan inklusivisme akan menjadi pembahasan inti pada bab berikutnya. 8 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), 71. 300 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
berbahasa Arab dengan cara autodidak. Di samping belajar membaca al-Qur’an di rumahnya, Nurcholish Madjid memperoleh pendidikan dasar di SR pada pagi hari dan Madrasah al-Wathaniyyah pada sore hari.9 Jadi, sejak masa kanak-kanak, Nurcholish Madjid telah memperoleh dua model pendidikan sebagai dasar intelektualitasnya yaitu umum dan agama.10 Setelah tamat dari SR dan Madrasah al-Wathaniyyah (1952) ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya di Pesantren Darul ‘Ulum Rejoso, Jombang. Di pesantren ini ia tetap memperoleh prestasi yang terbaik. Namun ia hanya bertahan belajar di Pesantren ini selama dua tahun. Menurut beberapa data, bahwa ia tidak betah berlama-lama belajar di Pesantren Darul 'Ulum karena ayahnya, Abdul Madjid, sebagai anggota NU tetap berafiliasi ke Partai Masyumi dalam bidang politik. Sementara anggota-anggota NU lainnya memilih keluar dari Masyumi (1952). Ini menyebabkan Nurcholish Madjid kadang-kadang mendapat sindiran, ejekan, dan penolakan dari kalangan santri-santri Pesantren Darul 'Ulum yang berasal dari kalangan keluarga NU.11 Lantas ia melanjutkan pendidikan ke Pondok Modern Gontor (1954). Di sini ia kembali memperlihatkan kecerdesannya. Ia juara kelas sehingga dari kelas satu langsung 9
Greg Barton, The Emergence of Neo-Modernism A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought In Indonesia A Textual Study Study Examining The Writings of Nurcholish Madjid Djohan Effendi Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980, terjemahan dengan judul, Gagasan Islam Liberal di Indonesia Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid Djohan Effendi Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina-Pustaka Antara dan Adikarya-The Ford Foundation, 1999), 72. 10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), cet. I, h. 171. Dibahas juga dalam Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. I, 21. 11 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia..., 74-75. Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, 22; Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid M. Amin Rais Nurcholish Madjid dan Jalalluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), 122. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 301
Muh. Rusydi
naik ke kelas tiga. Prestasinya ini ia pertahankan selama menempuh pendidikan di Pondok Modern Gontor. Karena itu, ia hanya perlu waktu lima tahun untuk menyelesaikan pendidikannya. Kemudian ia mengajar di Pondok Modern Gontor, selama satu tahun. Di sini ia memperoleh wawasan keilmuan yang memadai. Sebagaimana menurut Greg Barton, bahwa Pondok Modern Gontor cukup berpengaruh bagi perkembangan intelektualitas Nurcholish Madjid.12 Setelah tamat dan setelah mengajar satu tahun di Pondok Modern Gontor (1961), Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Di Jakarta ia kuliah di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat. Di IAIN ia masuk Fakultas Adab dan mengambil Jurusan Sastera Arab dan Sejarah Peradaban Islam dan selesai dengan predikat cumlaude (1968). Ia masuk IAIN ini bukan tanpa alasan. Semula Kiyai Pondok Modern Gontor, K.H. Imam Zarkasyi, ingin mengirimnya untuk belajar ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun karena situasi politik di Mesir kurang kondusif maka ia tidak jadi berangkat ke sana. Atas arahan dan dorongan Kiyai Pondok Modern Gontor, akhirnya ia belajar di IAIN Jakarta.13 Walaupun pilihan Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Jakarta, pada awalnya tanpa niatan intelektual tertentu,14 namun, di sini ia mendapat tempat untuk melanjutkan mengkaji Islam secara analitis, filosofis, dan inklusif. Intelektualitas Nurcholish Madjid ini mejadi kuat dan mapan karena bergaul dekat dengan Hamka dalam waktu yang relatif lama. Sebagai mahasiswa IAIN, ia tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar pimpinan Hamka Kebayoran Baru, Jakarta. Nurcholish Madjid kagum pada Hamka yang dinilai mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat al-Qur’an sehingga faham keislaman dan dakwah
12
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia..., 75. Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia…, 124. 14 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia..., 77. 302 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 13
Pluralisme dan Inklusivisme
Hamka berjalan dan berhasil di kalangan penduduk perkotaan yang heterogen.15 Kemudian Nurcholish Madjdi berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 dan S-3 di Universitas Chicago (1978). Ia menyelesaikan jenjang S-3 (1984) dengan prestasi akademik yang gemilang, cumlaude. Di Chicago pada mulanya, ia ingin memperdalam ilmu politik di bawah bimbingan Leonard Binder. Namun setelah bertemu dengan Fazlur Rahman, Fazlur Rahman mendorongnya untuk mengambil konsentrasi bidang kajian Islam.16 Sampai akhirnya terdapat benang merah untuk dapat dikatakan, bahwa pendidikan di lingkungan keluarga, Pondok Pesantren, IAIN dan Universitas Chicago sebagai lembaga pendidikan tinggi serta Hamka dan Fazlur Rahman sebagai pribadi dan intelektual Islam, memberi pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan wawasan intelektualitas Nurcholish Madjid. Dari lingkungan semacam ini ia memperoleh landasan metodologi dan epistemologi yang kuat untuk menggali dan mengembangkan wacana keislaman. Maka wajar bila kemudian ia lebih kaya dengan pemikiran-pemikiran keislaman yang aktual, namun tetap berpijak di atas dasar-dasar keislaman yang autentik. Belakangan terbukti bahwa ia mampu untuk muncul dan tampil sebagai seorang intelektual di Indonesia. C. Nurcholish Madjid dan Pemikirannya Tentang Pluralisme Dan Inklusivisme 1. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pluralisme Nurcholish Madjid terlebih dahulu menjelaskan kata pluralitas yang merupakan satu akar kata dengan pluralisme. Menurutnya bahwa pluralitas adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak mutlak Tuhan. Artinya, dalam realitas, umat manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai macam suku, bangsa, bahasa, dan juga warna kulit yang menimbulkan keanekaragaman budaya dan peradaban. Keanekaragaman ini hanya bisa diyakini bahwa ini memang salah satu bukti 15
Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. II. 16 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, 85. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 303
Muh. Rusydi
kekuasaan Tuhan. Kemudian keanekaragaman ini harus bisa diterima secara objektif karena ia tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Bila keanekaragaman tidak dihormati apalagi kalau tidak diakui, maka sama saja dengan tiadanya pengakuan terhadap adanya sang Pencipta.17 Kelihatannya ungkapan Nurcholish Madjid berkenaan dengan pluralitas nadanya bersifat fatalistis, namun ungkapan ini memang demikian sebenarnya. Ungkapan tentang pluralitas tersebut, selain didasarkan pada kenyataan yang disebut olehnya sebagai sunnatulah, juga didasarkan pada suatu ayat al-Qur'an.18 Di dalam ayat ini pada intinya dinyatakan adanya suatu keanekaragaman. Ini artinya manusia diciptakan berbangsabangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, bukan saling mendiamkan dan menghacurkan. Bagi Nurcholish Madjid, pluralitas yang sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan meningkat menjadi pluralisme. Pluralisme adalah suatu paham atau sistem nilai yang memandang pluralitas secara positif optimis. Pluralisme ini telah menerima pluralitas sebagai kenyataan yang harus disikapi dengan baik.19 Dari pemikiran tentang pluralisme, Nurcholish Madjid mengembangkan penafsiran tentang pluralisme agama. Dalam penafsiran Nurcholish Madjid bahwa Islam menghargai tinggitinggi pluralisme agama dalam arti Islam mengakui keragaman dan keberadaan agama-agama sebelumnya khususnya Yahudi dan Kristen. Ini berarti Islam mengakui sepenuhnya kesinambungan agama-agama langit. Berkenaan dengan ini dapat dilihat bahwa menurut Nurcholish Madjid, Islam sebagai agama langit terakhir mengakomodasi kebersamaan. Maka 17
Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, ixxxi. Dielaborasi juga dalam Budhy Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, 2006), jilid, II, 1156. 18 Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxv. Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”. ( Q.S. 49:13). 19 Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxv. 304 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
dalam konteks ini, Islam meskipun mengakui dirinya sebagai puncak proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis kesinambungan tradisi agama Ibrahim, menolak pengembangan agama dengan cara-cara paksaan. Islam juga mengisyaratkan para penganut agama lain, sepanjang beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik semuanya akan selamat.20 Pemikiran Nurcholish Madjid mengenai pluralisme mendapat kritikan. Kritikan itu dikemukakan misalnya oleh Adian Husaini dan Nuim Hidayat dengan menulis karya di bawah judul Islam Liberal Sejarah Konsepsi Penyimpangan dan Jawabannya.21 Menurut Keduanya, pemikiran Nurcholish Madjid mengenai pluralisme agama-agama menganggap semua agama itu sama. Keduanya menyimpulkan pemikiran Nurcholish Madjid dengan mengutip dari tulisan Sukidi, bahwa Nurcholish Madjid menganggap semua agama adalah benar atau banyak agama yang benar. Dengan demikian menurut keduanya, bahwa teologi pluralis inklusif yang dicobakembangkan oleh Nurcholish Madjid mengandung muatan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan bukan hanya dalam agama Islam, melainkan juga dalam agama-agama lain. Orang bisa disebut muslim tanpa harus memeluk Islam. Kebenaran dan keselamatan esensinya ialah sikap berserah diri kepada Tuhan. Maka umat agama apa saja khususnya Yahudi, Kristen, dan Islam dapat masuk surga.22 20
M. Syafi’i Anwar, “Islam dan Pluralisme di Tengah Maraknya Kekerasan yang Mengatasnamakan Agama”, makalah tidak diterbitkan, tanggal 25 Pebruari 2006, 3. Penolakan pengembangan agama berdasarkan paksaan didasarkan pada al-Qur’an, “Tidak ada paksaan untuk agama, sesungguhnya telah jelas jalan…” (Q.S. 2:256). “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi”. (Q.S. 10:99). Jaminan berbagai penganur agama yang beriman akan selamat didasarkan atas al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka”. (Q.S. 2:62). 21 Lihat Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah konsepsi Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2002), 2630. 22 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi…, 104-105. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 305
Muh. Rusydi
Kritikan Adian Husaini dan Nuim Hidayat ini menunjukkan bahwa keduanya tidak memahami pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama. Keduanya mengira bahwa Nurcholish Madjid menganggap semua agama sama. Wajar bila pemahaman keduanya tidak sesuai dengan pemikiran Nurcholish Madjid karena keduanya membaca pemikiran Nurcholish Madjid dari sumber kedua, bukan dari tulisan Nurcholish Madjid sendiri. Bila dicermati dengan baik pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama dapat dilihat bahwa Nurcholish Madjid tidak menganggap semua agama sama. Ia hanya mengakui bahwa setiap agama mempunyai jalan kebenaran sendiri-sendiri yang dinamakan syarî’ah. Pemikiran ini yang disebut pluralisme, faham tentang pluralistis, yaitu sikap keterbukaan untuk mengakui kebenaran agama lain menurut versi agama itu.23 Dalam kritikan lain, Adian Husaini dan Nuim Hidayat menyimpulkan pemikiran pluralisme Nurcholish Madjid dari kata pengantar Nurcholish Madjid dalam buku Tiga Agama Satu Tuhan, bahwa ada tiga sikap keberagamaan yang perlu difahami. Pertama ialah sikap eksklusif, yaitu sikap tertutup yang menganggap hanya agamanya yang benar, agama orang lain salah. Kedua ialah sikap inklusif, yakni sikap keterbukaan yang mengakui bahwa penganut suatu agama mengakui kebenaran agamanya dan kebenaran agama orang lain. Ketiga ialah sikap pluralis, yakni sikap yang mengakui keanekaragaman kepercayaan dan keanekaragaman kehidupan keagamaan. Menurut perspektif ini bahwa setiap agama tanpa dibedakan nama dan sistem kepercayaannya serta Nabi dan Rasul yang membawanya adalah benar.24 Kritikan Adian Husaini dan Nuim Hidayat di sini, bila dicermati, tidak ada yang substantif karena pandangan keberagamaan itu pada dasarnya memang dapat dibagi tiga yaitu 23
Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaba…, lxxv. 24 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi…, 105. Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam di Indonesia Pengusung Ide Sekularisme Pluralisme dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), cet. I, 72. 306 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
eksklusif, inklusif, dan pluralis. Kebanyakan umat beragama menganut pandangan eksklusif. Pandangan seperti ini yang ingin dicobacairkan oleh Nurcholish Madjid dengan menawarkan pemikiran pluralisme karena sikap eksklusif menyebabkan munculnya perasaan benar sendiri dalam beragama sehingga berpeluang menimbulkan benturan. Sementara sikap yang bersifat pluralis mendorong timbulnya perasaan rendah hati dalam beragama sehingga berpeluang menimbulkan toleransi di kalangan umat beragama. Setelah itu, Adian Husaini kembali mengeritik pemikiran pluralisme agama Nurcholish Madjid dengan menulis karya di bawah judul Islam Liberal Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual,25 sambil menyebut nama-nama yang dianggap sebagai kader-kader pembela dan pelanjut ide ini, misalnya Budhy Munawar- Rahman, Ulil Abshar Abdalla, dan Sukidi. Adian Husaini mengatakan lebih lanjut bahwa pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi, yang tidak bisa didefenisikan sesuka hati. Menurut Adian Husaini, para penganut faham ini sudah memiliki defenisi sendiri. Karena itu, Adian Husaini berkesimpulan bahwa faham pluralisme agama menolak kebenaran eksklusif aqidah Islam dan mempersamakan Islam dengan semua agama.26 Kritikan Adian Husaini ini pun tidak sesuai dengan pemikiran para intelekktual muslim yang memunculkan faham pluralisme agama. Bagi mereka konsep pluralisme agama, tidak menolak faham eksklusivisme Islam. Bahkan menurut mereka, konsep pluralisme agama perlu dilengakapi dengan sikap keberagamaan yang eksklusif. Mereka juga tidak mempersamakan begitu saja Islam dengan agama lainnya. Kritikan yang tajam terhadap faham pluralisme datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sampai kemudian MUI mengeluarkan fatwa, nasehat hukum menurut fiqih, pada tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan bahwa liberalisme, sekularisme, dan pluralisme adalah haram dan bertentangan dengan ajaran Islam serta haram diikuti. MUI memberi defenisi tentang 25
Lihat Adian Husaini, Islam Liberal Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), cet. I. 26 Adian Husaini, Islam Liberal Pluralisme Agama…, 12-18. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 307
Muh. Rusydi
peluralisme agama sebagai “Paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di Surga”.27 MUI pun kelihatannya kurang cermat memahami apa yang dimaksud pluralisme agama oleh kalangan intelektual muslim. Para intelektual muslim termasuk Nurcholish Madjid misalnya, tidak pernah mengartikan pluralisme agama sebagai relativisme agama. Mereka hanya sampai kepada pemahaman bahwa setiap agama mempunyai kebenaran. Karena itu, pemeluk suatu agama tidak berhak mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar, agama orang lain salah. Jadi, mereka hanya mempunyai pemikiran tentang pluralisme agama. Perdebatan yang muncul di antara para intelektual muslim khususnya Nurcholish Madjid dan para pengeritiknya tentang pemikiran pluralisme agama dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman mengenai peluralisme agama. Sama halnya dengan perdebatan di sekitar masalah sekularisasi dan sekularisme yang terjadi sebelumnya. Para pengeritik pluralisme agama membawa terma ini ke dalam wilayah pengertian teologis, sementara pendukung ide ini membatasinya pada tataran pengertian sosiologis. Dari sini maka pengeritik ide pluralisme agama menyamakan antara pluralisme dan relativisme, sehingga mereka mengatakan bahwa pluralisme agama adalah faham yang mengakui semua agama itu sama atau penyamaan agamaagama. Padahal bagi pendukung gagasan pluralisme agama, khususnya Nurcholish Madjid, apa yang dimaksud dengan pluralisme agama hanya mengakui kesamaan fungsi dan kedudukan semua agama dalam rangka saling pengertian dan saling menghormati. Mereka hanya mengakui bahwa semua agama itu sama-sama benar bagi pemeluknya sehingga tidak boleh saling melecehkan. Untuk memperjelas apa makna pluralisme sebagaiman menurut pemikiran Nurcholish Madjid, dapat dibandingkan 27
Adian Husaini, Islam Liberal Pluralisme Agama…, 11-12.
308 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
dengan apa yang dikemukakan oleh M. Syafi’i Anwar, salah seorang intelektual muslim lainnya. Ia mengemukakan pengertian yang berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh MUI di atas. Bagi M. Syafi’i Anwar, pluralisme ialah suatu sistem nilai yang menghargai pluralitas. Berdasarkan pengertian ini maka pluralisme agama adalah pandangan yang menghargai pluralitas keyakinan keagamaan setiap orang sebagai bagian yang asasi dan inheren dalam diri manusia, tanpa harus mengikuti kebenaran ajaran agama orang lain itu. M. Syafi’i Anwar menegaskan bahwa pengakuan akan kebenaran agama orang lain itu dalam konteks benar menurut penganut agama yang bersangkutan. Argumen M. Syafi’i Anwar ini sejalan dengan pandangan Frans Magnis Suseno yang melihat pluralisme agama bukan sinkretisme agama. Sinkretisme agama adalah penyatuan dan penggabungan ajaran berbagai agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang bermuara pada penyamaan semua agama.28 Penyamaan semua agama, atau anggapan semua agama itu sama sehingga muncul pemahaman bahwa semua agama itu sama dan benar, akan menghilangkan dimensi pluralitas dalam agama-agama tersebut. Ini sejalan dengan penjelasan Frans Magnis Suseno yang mengatakan bahwa pluralisme yang benar itu ditandai oleh adanya pengakuan terhadap perbedaan di antara agama-agama dan kesediaan menerima perbedaan itu. Pluralisme justeru menerima kenyataan bahwa manusia mempunyai agama yang berbeda. Ini berbeda dengan relativisme yang menolak pluralitas dan tidak toleran, karena menuntut setiap agama untuk melepaskan terlebih dahulu keyakinan subjektivitas mereka, bahwa mereka benar. Kaum pluralis tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing. Kaum pluralis mempercayai kebenaran agamanya masingmasing, namun mereka tetap bisa bersatu dalam nilai-nilai yang berbeda.29 28
M. Syafi’i Anwar, “Islam dan Pluralisme di Tengah Maraknya Kekerasan…”, 3. Franz Magnis Suseno, “Islam’s Contribution to a Pluralism Indonesia”, dalam Farinia Fianto, (eds.), Islam and Universal Values, (Jakarta: ICIP, 2008), ed. I, 39. 29 M. Syafi’i Anwar, “Islam dan Pluralisme di Tengah Maraknya Kekerasan…”, 3. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 309
Muh. Rusydi
Penjelasan M. Syafi’i Anwar tentang pluralisme yang berbeda dari penjelasan MUI di atas dikatakan keliru oleh Adian Husaini. Bagi Adian Husaini, pengertian tentang pluralisme yang tidak menyamakan semua agama, melainkan lebih pada mutual respect, saling menghormati, seperti yang dikemukakan oleh M. Syafi’i Anwar mengandung unsur manipulasi atau ketidaktahuan. Pengertian pluralisme semacam ini melenceng dari defenisi dalam makna akademis dan empiris sesuai dengan dimensi teologis. Demikian pula pengertian pluralisme yang dikatakan sebagai sikap positif dalam menghadapi perbedaan, dan sikap ingin belajar dari yang lain yang berbeda sebagaimana yang difahami oleh Ulil Abshar Abdalla.30 Kembali kepada masalah pluralitas yang sudah menjadi hukum alam sebaimana menurut pemikiran Nurcholish Madjid di atas, mempunyai jalinan keterkaitan yang relevan dengan konteks Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di muka bumi, maka pluralitas dari segi sosial budaya dan kultural akan tetap merupakan gejala menonjol yang harus selalu diperhitungkan. Di sini menurut Nurcholish Madjid, harus ada usaha untuk berbuat sesuai dengan kenyataan dalam kerangka yang menjadi tuntutannya.31 Berkenaan dengan realitas pluralitas ini menurut Nurcholish Madjid, bahwa untuk Indonesia khususnya, diperlukan adanya sebuah titik temu dalam nilai kesamaan bagi semua kelompok masyarakat yang ada. Dari sudut pandang ajaran Islam untuk mencari dan menemukan titik kesamaan (common platform) ini adalah bagian dari ajarannya yang dianggap penting. Ia mendasarkan pemikirannya tentang hal ini pada argumen ayat al-Qur’an.32 Dalam ayat ini menurut Nurcholish Madjid, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak para 30
Adian Husaini, Islam Liberal Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), 12. 31 Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxv. 32 “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri"” Q.S. 3:64. 310 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
Ahl al-Kitâb bersatu dalam satu pandangan yang sama, yaitu faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam ayat ini disertai catatan logis bahwa kalau para Ahl al-Kitâb atau siapa saja selain umat Islam menolak bertemu dalam titik kesamaan, maka umat Islam harus tetap tegak dengan identitasnya sendiri sebagai kaum muslimin. Hanya saja prinsip dasar yang terkandung dalam perintah Tuhan itu menuntut untuk selalu diusahakan pelaksanaannya sepanjang masa.33 Atas dasar adanya tuntutan tersebut, Nurcholish Madjid mengelaborasi bagaimana Nabi Muhammad mengapresiasi pluralitas. Dia tidak memaksakan agama Islam kepada kelompok lain, Yahudi dan Nasrani, tetapi ia membuat kesepakatan yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Sunnah Nabi Muhammad diteruskan oleh ‘Umar ibn al-Khaththâb yang mengakomodir keanekaragaman keyakinan dengan membuat dokumen kesepahaman yang dinamakan “Piagam Aelia” (Piagam Yerusalem). Kemudian tradisi ini dilanjutkan oleh sebagian Khalifah Daulah Islamiyyah terutama para Khalifah Umawiyyah di Andalusia. Para Khalifah ini secara konsisten menjalankan pluralisme dengan mengakui keberadaan tiga agama besar: Yahudi, Kristen, di samping Islam secara mengesankan. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa kebijakan semacam ini di dunia Islam berlanjut sampai sekarang.34 Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa menurut pemikiran Nurcholish Madjid pluralisme sebagaimana disebutkan di atas adalah salah satu nilai yang tinggi dalam ajaran pokok Islam dan tetap relevan sampai zaman sekarang. Pluralisme ini dapat dihargai oleh para pengamat modern dengan objektif. Di antara mereka ialah Max I. Dimont misalnya, yang menggambarkan pluralisme di Afrika Utara, Mesir, dan Turki Utsmani pada abad-abad yang lalu. Pluralisme ini lama dinikmati oleh orang-orang Yahudi dalam bidang agama dan ekonomi. Penilaian yang sama ialah apa yang
33
Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxvi. 34 Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxvi. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 311
Muh. Rusydi
dikatakan oleh Bertrand Russel, seorang ateis sekularis militan.35 Dalam uraian di atas tampak betapa Nurcholish Madjid mengingatkan umat Islam Indonesia bahwa negara dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralistik, baik dari segi etnis, adat istiadat, maupun agama. Dari segi agama misalnya, khususnya agama-agama besar, masing-masing dimungkinkan untuk berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi menjadi penting artinya. Walau demikian Nurcholish Madjid optimis bahwa dalam soal toleransi ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara meyakinkan sejak awal mula Islam dikembangkan oleh Nabi Muhammad.36 Dasar pemikiran Nurcholish Madjid tentang konsep pluralisme Islam, sebagaimana sering dikemukakan olehnya, sebenarnya berpijak pada semangat universalisme dan 35
Max I. Dimont, The Indestructible Jews, (New York: New American Library, 1973), 223. Ia ahli sejarah Yahudi. Bertrand Russel, A History of Western Philosophy, (New York: Simon and Schuster, 1959), 420-421, sebagaimana ditulis dalam Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, lxxxiv-lxxxv. 36 Nabi Muhammad tidak menyeragamkan keyakinan tapi mencari titik persamaan di antara golongan-golongan yang dipimpinnya. Ini salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya “Piagam Madinah” suatu kesepakatan yang mengakui eksistensi masing-masing golongan. Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, h. lxxvi. Lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Pararmadina, 1995), 230. Optimisme Nurcholish Madjid ini bantahan terhadap pesimisme non muslim Indonesia misalnya Walter Bonar Sidjabat yang melihat Islam adalah penghalang pluralisme dan toleransi di Indonesia karena Islam dianggap berlawanan dengan Pancasila. Walter Bonar Sidjabat, Religious Tolerance and Christian Faith, A Study concerning the Concept of Divine Omnipotence Constitution in The Light of Islam and Cristianity,(Jakarta: Badan Penerbit Gunung Mulia, 1982), 91 sebagaimana dikutip dalam Nurcholish Madjid, “Pengantar: Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…, xci. Kalau dicermati dengan baik Islam itu seiringjalan dengan Pancasila, bahkan sila-sila Pancasila inspirasinya dari ajaran-ajaran Islam. Nurcholis Madjid, “Umat Islam Indonesia Memasuki…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., xci. 312 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
globalisme Islam. Apa yang dimaksud dengan semangat universalisme dan globalisme Islam di sini ialah bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat. Ini dibuktikan antara lain oleh kenyataan bahwa Islam adalah agama yang banyak dianut oleh berbagai suku bangsa, dengan kawasan yang meliputi hampir semua geografis. Memang kerasulan Nabi Muhammad ditujukan sebagai rahmat bagi seluruh bangsa-bangsa meskipun ada bangsa-bangsa tertentu yang menolak kehadiran Nabi Muhammad. Dengan demikian Islam bukan hanya ditujukan kepada komunitas tertentu saja melainkan ditujukan kepada seluruh komunitas jagat raya. 2. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Inklusivisme Sementara itu, pemikiran Nurcholish Madjid tentang inklusivisme sama halnya dengan pemikirannya tentang pluralisme. Pemikirannya tentang inklusivisme dengan titik tekan pada keterbukaan maka dasar-dasarnya dapat digali dari dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka mudah bagi umat muslim Indonesia, tanpa melepaskan keyakinan agamanya, untuk menerima sepenuh hati konsep ini. Inklusivisme adalah konsep pemikiran Nurcholish Madjid yang berisikan prinsipprinsip untuk saling mengerti dan saling menerima dalam perbedaan, karena di dalam perbedaan ini ada ikatan persatuan oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan etis, sebagaimana dalam konteks keindonesiaan, terumuskan dalam lima sila Pancasila. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam sebagai agama inklusif berintikan gagasan bahwa Islam adalah agama terbuka dan mempunyai kebenaran yang mencakup dan meliputi. Dalam suatu wawancara, Nurcholish Madjid pernah ditanya tentang Islam inklusif. Ia menjawab bahwa Islam inklusif itu ialah Islam yang terbuka, toleran, dan kosmopolit. Dari sini dapat ditarik suatu benang merah bahwa apa yang dimaksud oleh Nurcholish Madjid tentang Islam sebagai agama inklusif tidak lain kecuali bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan toleran. Ia bukan agama yang ekslusif dalam arti mempunyai klaim kebenaran yang ekstrim. Kebenaran dalam Islam adalah mencakup dan meliputi kebenaran yang terdapat dalam agama-agama sebelumnya khususnya agama Yahudi dan Kristen. Jadi, ide utama perumusan Islam inklusif Nurcholish Madjid terletak TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
313
Muh. Rusydi
pada penekanannya untuk memahami pesan takwa dari Tuhan yang termuat dalam semua Kitab Suci-Nya (Injil, Taurat, Zabur, dan al-Qur’an). Pesan takwa ini, sebagaimana menurut Muhammad Asad, merupakan kesadaran Ketuhanan, bahwa Tuhan itu Maha Hadir (omni present).37 Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam sebagai agama inklusif yang toleran, terbuka, dan kosmopolit ini mempunyai akar dalam sejarah khazanah keilmuan Islam. Nurcholish Madjid mengakui hal ini dan menurutnya dapat ditelusuri akarnya sampai ke jejak pemikiran Ibn Taymiyyah. Menurut Ibn Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, Islam diturunkan oleh Tuhan kepada seluruh umat manusia untuk mendukung sekaligus melanjutkan kebenaran agama-agama yang telah ada sebelumnya terutama ajaran-ajarannya yang tidak diganti atau dihapus nilainya oleh Islam. Menurut Nurcholish Madjid bahwa terdapat argumentasi dalam al-Qur’an, sebagai kitab suci agama Islam, yang mengukuhkan eksistensi agamaagama sebelumnya. Maka dalam hal ini Islam telah menjadi saksi dan hakim yang autentik untuk agama-agama sebelumnya itu.38 Jadi, dalam realitas memang Islam tetap mempertahankan hukum yang ada dalam agama-agama terdahulu, selama tidak dihapus, dan menjadi saksi akan kebenaran ajarannya selama tidak diganti oleh Islam. Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Islam inklusif ini kembali memunculkan kontroversi, sebagaimana pemikirannya tentang sekularisasi dan pluralisme, yang ditandai oleh mengemukanya berbagai tanggapan, misalnya yang datang dari Adian Husaini. Bagi Adian Husaini bahwa pemikiran Islam inklusif ini bukan sekedar wacana, melainkan sudah diterapkan di SD-SMA Sekolah Madania, sekolah milik Yayasan Wakaf Paramadina. Secara sederhana pelaksanaan wawasan inklusif pluralis di Sekolah Madania dimulai dengan menghormati orang yang berbeda agama lalu tidak diklaim kafir. Agama lain tidak 37
Majalah HumOr, “Apa Kata Kiai Saja”, no. 52/25 wawancara bulan Nopember – 8 Desember 1992,. Dimuat tanpa perubahan judul dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet. I, 287. 38 Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 143. 314 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
disebut sesat dan menyesatkan. Dari sini dimulai langkah pertama untuk bisa menerima persahabatan dan pertemanan dalam dunia sekolah. Padahal, masih menurut Adian Husaini, konsep teologi inklusif atau pluralis yang mengakui kebenaran semua agama, seperti yang disampaikan para tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi tauhid Islam yang secara tegas disebutkan dalam al-Qur'an.39 Selanjutnya seperti menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat lagi, dalam situs www.islamlib.com., ditemukan banyak lontaran pemikiran yang bervariasi dalam berbagai bidang mulai dari aqidah, syariat, sosial, budaya, politik, sampai politik internasional. Mereka berdua menyoroti masalah aqidah yang dipromosikan oleh kelompok ini khususnya masalah teologi inklusif dan pluralis. Bagi keduanya, penyebaran pemikiran teologi inklusif pluralis ini dapat dipandang sebagai hal yang serius dalam penghancuran aqidah Islam. Apalagi yang menyebarkan teologi jenis ini justru orang-orang yang dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam, cendikiawan, kiai, dan aktivis organisasi Islam.40 Adian Husaini dan Nuim Hidayat meninjau kembali peristiwa tahun 1970 ketika Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan sekularisasi yang menghebohkan. Tahun 1992 Nurcholish Madjid kembali memunculkan pemikiran yang menggugat kultus dan fundamentalisme yang juga menuai polemik dan kritikan. Namun dalam catatan keduanya bahwa akhir-akhir ini ketika serbuan teologi inklusif pluralis berlangsung gencar, tanggapan dari umat Islam tidak ada, tenang-tenang saja. Lembaga-lembaga dan organisasi Islam juga tidak menganggapnya sebagai hal yang serius. Keduanya pun
39
Adian Husaini, Islam Liberal Pluralisme Agama…, 44. Ayat alQur’an dimaksud: “Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam”. (Q.S. 3:19). “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S. 3:85). 40 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi…, h. 82. Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal…, 1. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 315
Muh. Rusydi
mengajukan pertanyaan, apakah yang terjadi pada umat Islam Indonesia sekarang.?41 Dalam catatan Adian Husaini dan Nuim Hidayat bahwa dulu dalam masalah sekularisasi baru sebatas gagasan sudah menimbulkan polemik. Padahal masalah sekularisasi baru sampai batas mereduksi ajaran Islam sebagai suatu sistem ajaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Namun sekarang melalui penyebaran teologi inklusif pluralis, penggagasnya sudah melangkah lebih jauh dengan menggempur konsep Islam yang mendasar yaitu konsep di bidang aqidah Islam. Sudah menjadi keyakinan di kalangan kaum muslimin bahwa jalan keselamatan dan kebenaran hanya melalui agama Islam. Di luar agama Islam adalah jalan kesesatan. Agama Kristen yang meyakini Trinitas dan agama Yahudi yang menolak kenabian Muhammad adalah kepercayaan kufur yang digolongkan ke dalam kafir Ahli Kitab.42 Dari alur pemikiran keduanya maka dapat dianalisis bahwa bila agama-agama diluar Islam bukan jalan keselamatan melainkan jalan kesesatan, logikanya menurut mereka berdua teologi inklusif pluralis juga adalah sesat karena mengakomodir agama-agama yang sesat. Karena itu, dalam alur pikir mereka berdua dan kalangan intelektual yang tidak sejalan dengan pemikiran pendukung teologi inklusif pluralis, teologi inklusif pluralis bertentangan dengan aqidah Islam dan harus ditolak. Munculnya kritikan terhadap pemikiran inklusivisme Islam Nurcholish Madjid seperti yang dilancarkan oleh Daud Rasyid, Adian Husaini, dan Nuim Hidayat sebagaimana diuraikan di atas tidak terlepas dari kesalahpahaman mereka terhadap ide inklusivisme. Bila dicermati dengan seksama, setiap agama mempunyai segi-segi eksklusivitas dan inklusivitas. Para pengeritik paham inklusif hanya mengakui segi eksklusivitas dari setiap agama dan mengabaikan segi inklusivitasnya. Kalangan pembaharu pemikiran keislaman misalnya Nurcholish Madjid mengakui dan mengelaborasi segi-segi inklusivitas agama Islam tanpa meninggalkan segi eksklusivitasnya. Ini 41
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, Sejarah Konsepsi…,
82. 42
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, Sejarah Konsepsi…, 82-83. 316 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
dalam usaha Nurcholish Madjid untuk membangun peradaban Islam dan keindonesiaan yang terbuka. Sebenarnya mudah untuk mencermati bangunan pemikiran inklusivisme Islam sebagaimana menurut pemikiran Nurcholish Madjid. Pemikiran inklusivisme Islam Nurcholish Madjid dimulai dengan penafsirannya tentang pengertian “islam” sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Kepasrahan ini menurut Nurcholish Madjid menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Ini adalah pandangan pokok dalam al-Qur’an bahwa semua agama yang benar adalah “islam”, yaitu sikap pasrah dan berserah diri kepada Tuhan. Orang yang pasrah dan berserah diri kepada Tuhan itu yang disebut dalam berbagai kitab tafsir al-Qur’an misalnya al-Kasysyâf karya Zamakhsyariy sebagai muslim.43 Nurcholish Madjid, dalam rangka mengelaborasi inklusivisme Islam seperti telah disinggung di atas, membandingkan antara ajaran Islam dan ajaran agama-agama langit lainnya. Menurut Nurcholish Madjid, ada kemungkinan atau boleh jadi jalan atau metode agama-agama yang lama tersebut berbeda dengan jalan dan metode dalam Islam. Namun hal itu terjadi hanya karena tuntutan ruang dan waktu. Jadi, perbedaan jalan dan metode itu tidak prinsipil, tidak mengurangi dan tidak mengganggu esensi ajaran yang dibawa oleh agamaagama itu. Bagi Nurcholish Madjid dengan mengikuti alur argumentasi Ibn Taymiyyah sebagaiman dipaparkan di atas, inilah apa yang dimaksud oleh Islam bahwa untuk setiap golongan umat manusia telah dibuatkan jalan dan cara yang terang. Terdapat bukti yang memberi indikasi bahwa Nabi Muhammad juga telah menjalankan hukum sebagaimana yang terdapat dalam agama Yahudi misalnya hukum rajam bagi pelaku zina.44 43
Nurcholish Madjid, “Islam di Indonesia: Masalah Ajaran Universal…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, xxviii. Nurcholish Madjid, “Reorientasi Wawasan Pemikiran Keislaman…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 76-82. Ini juga dicobajelaskan oleh Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), cet. I. 21. 44 Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 143. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 317
Muh. Rusydi
Bagi Nurcholish Madjid dengan mengikuti alur argumentasi Ibn Taymiyyah itu, bahwa agama-agama terdahulu, seperti telah disebutkan di atas, tetap mengandung ajaran-ajaran yang telah diturunkan oleh Tuhan. Ajaran-ajaran ini masih banyak yang berlaku meskipun telah datang para Nabi dan Rasul sesudahnya. Nurcholish Madjid mengakui bahwa tidak bisa dipungkiri kemungkinan, dan pada kenyataannya, memang telah terjadi perubahan-perubahan penting beberapa ajaran agama-agama itu, namun perubahan-perubahan itu terjadi hanya dalam beberapa ungkapan yang mengandung berita dan perintah.45 Dengan demikian, maka persamaan antara kebenaran agama-agama terdahulu dan kebenaran dalam agama Islam bermuara pada suatu paham bahwa Islam itu adalah agama inklusif, toleran, dan egaliter. Persamaan yang penting semua agama tauhid itu ialah menyembah Tuhan Yang Maha Esa semata, agama yang memerintahkan untuk menjalankan apa yang diperintahkan, dan hanya menjalankan hukum yang diturunkan oleh-Nya, dalam agama manapun hukum itu diturunkan. Namun bagi umat Islam tentu ketaatan itu yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam Islam. Menurut pemikiran Nurcholish Madjid selanjutnya, paham inklusivisme Islam sebagaimana disebutkan di atas itu, urgen dan relevan untuk dikembangkan pada masa sekarang. Bukankah masa sekarang adalah zaman globalisasi karena adanya ledakan perkembangan teknologi informatika dan transportasi yang membuat umat manusia hidup penuh kemudahan. Mereka bagaikan hidup dalam sebuah desa yaitu “desa buana” (global village).46 Bahkan ia tetap urgen dan relevan untuk diaktualisasikan pada masa mendatang, karena masa mendatang tersebut akan merupakan zaman globalisasi multi dimensi dengan perkembangan teknologi informatika dan transportasi yang mempunyai lonpatan lebih jauh lagi ke depan.
45
Misalnya perubahan berita kedatangan Nabi Muhammad dan perubahan perintah mentaati hukum dalam Taurat oleh kaum Yahudi. Lihat kembali Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 143. 46 Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 144. 318 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
Dari sini Nurcholish Madjid melihat Islam sebagai agama inklusif yang terkait erat dengan posisi Islam. Posisi Islam merupakan agama monoteis yang terakhir. Pada posisi ini Islam bukannya agama baru, melainkan kesinambungan agama-agama sebelumnya, yakni sikap penyerahan diri kepada Tuhan secara penuh sebagaimana tradisi agama-agama monoteis terdahulu. Karena itu, bagi Nurcholish Madjid Islam sering disebut sebagai millah Ibrâhîm. Atas dasar ini maka Islam bukan agama alternatif. Dalam ajaran Islam, unsur-unsur dan nilai-nilai dari tradisi penyerahan diri kepada Tuhan diserap sedemikian rupa, dan diakui oleh Islam sebagai bagian yang integral dengan Islam. Oleh sebab itu, Islam dikatakan melebihi agama lain karena sifatnya yang inklusif yaitu artikulatif terhadap cita-cita kebenaran agama-agama terdahulu.47 Watak Islam yang inklusif seperti itu, menurut Nurcholish Madjid, secara historis sosiologis telah diwujudnyatakan oleh Nabi Muhammad ketika ia membentuk masyarakat Madinah. Masyarakat Madinah bersifat heterogen yang memiliki kesepakatan untuk membangun kebersamaan sosial politik.48 Bahkan bagi Nurcholish Madjid, watak Islam yang inklusif ini berlanjut sampai pada masa 'Umar bin Khaththâb. Para Khalifah di wilayah-wilayah Islam, misalnya Spanyol, tidak pernah memaksakan Islam kepada pemeluk agama lain terutama Yahudi dan Kristen, bahkan diperlakukan dengan penuh toleransi. Diakui hak keberadaan mereka dan diterima jizyah mereka sebagai imbalan untuk keamanan yang diberikan kepada mereka termasuk keamanan beragama. Ini secara langsung berarti mengandung pengakuan oleh Islam akan hak keberadaan dan perlindungan bagi non muslim tersebut.49 47
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 142. 48 Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, 145. 49 Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 145. Menurut Nurcholish Madjid, para pemimpin Islam sering mengemukakan: “Islam adalah agama toleran yang menghargai agama-agama lain”. Terhadap pandangan ini terdapat banyak dukungan dalam ajaran Islam. Maka yang diperlukan masa sekarang, di tengah banyaknya tindakan radikal atas nama agama, ialah sosialisasi pandangan toleransi ini sehingga diketahui, dimengerti, dihayati, TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 319
Muh. Rusydi
Atas dasar fakta ini, maka bagi Nurcholish Madjid, bahwa negara-negara Islam adalah masyarakat heterogen. Heterogenitas ini untuk zaman dan tempatnya begitu sejati dan tulus. Spanyol sebagai misal, ketika dikuasai oleh Islam, dilukiskan oleh ahli sejarah sebagai Spanyol dari tiga agama. Di sana, di bawah kekuasaan Islam, penganut agama Kristen, Yahudi, dan Islam secara terbuka mendukung peradaban yang gemilang. Padahal sebelum Islam datang ke Spanyol, telah terjadi pemaksaan agama di sana.50 Lebih dari pada itu, menurut Nurcholish Madjid, pandangan tentang inklusivisme Islam itu harus mempunyai dasar yang kokoh untuk dapat tumbuh dengan aman dan sejati. Karena itu, baginya, yang penting ialah adanya pencarian dan pengakuan terhadap semangat kebenaran. Baginya, soal kepercayaan dan menyembah Tuhan, maka konsep tentang Tuhan ini dapat berbeda-beda. Konsep tentang Tuhan yang bervariasi itu ia jelaskan dengan suatu perbandingkan, misalnya perbandingan dengan konsep Tuhan yakni “Allah” pada orang Arab masa Jahiliah, berbeda dengan konsep tentang “Allah” dalam Islam. Konsep tentang “Allah” pada masa Jahiliah dimanifestasikan dalam berbagai berhala, sedangkan konsep tentang “Allah” dalam Islam adalah Yang Maha Esa. Berdasarkan argumen ini maka baginya, berkemungkinan ada orang yang memahami Tuhan sedemikian rupa sehingga menyembah kepada-Nya, namun sebenarnya berada dalam nalar kemustahilan. Bila hal ini terjadi maka akan membawa kepada “kemusyrikan” yang membelenggu diri pribadi secara ruhani. Hal ini bisa terjadi terutama kalau konsepsi orang itu tentang Tuhan menghasilkan penggambaran, baik visual maupun khayal, tentang wujud Tuhan dimaksud. Ini dalam kenyataannya menjadikan Tuhan
dan diamalkan oleh semua lapisan masyarakat Islam. Budhy MunawarRahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid…, hilid, 1138. 50 Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 146. Menurut Nurcholish, ilustrasi tentang Spanyol bagaikan satu kamar tidur buat tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi selama lima abad lihat misalnya Max I. Dimont, The Indestructible Jews, (New York: New American Library, 1973), jil. 3, 258. 320 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
sama dengan diri sendiri atau sama dengan suatu alam. Ini pada hakekatnya menurut Nurcholish Madjid adalah berhala.51 Jadi, bagi Nurcholish Madjid, berhala pada hakekatnya adalah perasaan menganggap sesuatu itu agung yang sebenarnya merupakan buatan manusia itu sendiri yang membelenggu kebebasannya sebagai makhluk yang mulia. Maka penyembahan berhala merupakan suatu alienasi. Alienasi atau pengucilan diri adalah situasi di mana manusia ditundukkan oleh buatan tangannya sendiri. Maka para Nabi dan Rasul diutus oleh Tuhan untuk memberantas berhala demi pembebasan manusia dari belenggu-belenggu tersebut yang menguasai dirinya. Jadi, pemikiran Nurcholish Madjid mengenai Inklusivisme Islam sebagaimana diuraikan di atas adalah suatu formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka. Prinsip Islam sebagai agama terbuka ialah toleran dan egaliter. Kemudian dari situ dapat dipahami bahwa Islam agama yang menolak eksklusivisme absolutisme. Eksklusivisme absolutisme ialah sistem nilai yang tertutup, bilama sistem ini dianut, maka akan mendorong seseorang untuk merasa benar sendiri. Ia tidak toleran. Dalam perspektif inklusivisme Islam ini menurut Nurcholish Madjid, umat Islam juga harus menjadi golongan yang terbuka. Dengan demikian umat Islam bisa tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi dan bersikap pembela yang melindungi golongan-golongan lain. Adapun penolakan Islam terhadap eksklusivisme absolutisme mengandung arti bahwa Islam pada dasarnya memberikan penghargaan yang tinggi kepada ide pertumbuhan dan perkembangan dan tidak memberikan tempat pada statisme, pesimisme, dan kejumudan. Ide pertumbuhan dan perkembangan dalam Islam merupakan paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam. Ide tentang etos gerak, itu yang seiring sejalan dengan pemikiran pembaharuan Islam,52 dan juga sejalan dengan perkembangan modernitas.
51
Nurcholish Madjid, “Kehidupan Keagamaan di Indonesia…”, dalalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan…, 146. 52 M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia…, 231. Nurcholish Madjid, “Apa Arti Kemenangan Islam”, sebagaimana dikutip dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia…, 232. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 321
Muh. Rusydi
Bila ajaran Inklusivisme Islam tersebut diaktualisasikan kepada Indonesia, maka keanekaragaman sosial budaya dan keagamaan yang merupakan ciri khas sosial masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa harus selalu dipertimbangkan. Konsekuensi dari penerimaan keanekaragaman ini, umat Islam terutama harus berada pada posisi sebagai mediator dan moderator di tengah keanekaragaman ini. Nurcholish Madjid yakin dengan pemahaman ini karena dalam pengamatannya, dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, yang jadi masalah ialah bagaimana menyikapi keanekaragaman. Untuk itu, ia berusaha meyakinkan umat Islam atau umat non muslim bahwa bersikap positif adalah suatu keharusan karena adanya tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, dan sudah dinyatakan secara tegas oleh al-Qur’an, serta sudah dibuktikan secara nyata oleh kejayaan peradaban Islam dimasa lampau. Pengamatan Nurcholish Madjid ini sejalan dengan pengamatan Harold Coward, Ketua Departemen Kajian-kajian Agama Universitas Calgary, Canada, yang menyatakan bahwa merupakan keharusan agama-agama menghadapi tantangan keanekaragaman peradaban modern. Namun terdapat perbedaan penilaian di mana Harold Coward bersikap skeptis dan berpandangan tidak adil dalam memahami ajaran Islam tentang hal ini.53 Nurcholish Madjid malah bersikap sebaliknya di mana ia melihat sisi-sisi cemerlang ajaran dan peradaban Islam dalam merespon keanekaragaman dimaksud.54 Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Inklusivisme Islam dapat dibandingkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid. Bila Nurcholish Madjid melihat inklusivisme Islam berdasarkan pengertian Islam dalam makna generik, kesinambungan ajaran Islam dengan agama-agama langit terdahulu, cakupan ajaran Islam terhadap ajaran-ajaran agama sebelumnya, dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad yang diutus untuk seluruh umat manusia, maka Abdurrahman Wahid melihat inklusivisme Islam dalam kaitan antara Islam dan keanekaragaman aplikasinya dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme 53
Harold Coward, Pluralism Challenge to World Religion, (New York: Orbis Book, 1985) seperti dikutip dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia…, 233. 54 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia…, 233. 322 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
ajaran-ajaran agama Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, ajaran agama Islam yang menunjukkan inklusivisme Islam adalah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada anggota masyarakat, baik secara perorangan maupun sebagai keluarga atau kelompok.55 Jaminan dasar tersebut diberikan kepada berbagai umat dan dari berbagai golongan tanpa tebang pilih sebagaimana yang dapat dilihat dalam sejarah. Jaminan dasar ini dalam istilah kontemporer, sering dikatakan sebagai hak azazi manusia. D. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan bahwa pemikiran tentang pluralitas adalah pemikiran mengenai realitas kebinekaan dari sisi agama dan kebangsaan yang menimbulkan keanekaragaman budaya dan peradaban. Keanekaragaman ini merupakan salah satu bukti kekuasaan Tuhan yang harus diterima secara objektif karena ia tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Keanekaragaman ini, selain didasarkan pada kenyataan yang disebut sebagai sunnatulah, juga didasarkan pada inti ajaran Islam. Pluralitas yang sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan meningkat menjadi pluralisme. Pluralisme adalah suatu sistem nilai yang memandang pluralitas secara positif optimis. Pluralisme ini telah menerima pluralitas sebagai kenyataan yang harus disikapi dengan baik. Dari pemikiran tentang pluralisme, berkembang penafsiran tentang pluralisme agama. Islam mengakui pluralisme agama dalam arti kesinambungan agamaagama langit. Maka Islam sebagai agama langit yang terakhir mengakomodasi kebersamaan. Maka dalam konteks ini, Islam meskipun mengakui dirinya sebagai puncak proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis kesinambungan tradisi agama Ibrahim, menolak pengembangan agama dengan 55
Jaminan dasar itu secara garis besar ada lima yaitu keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan keselamatan profesi. Lihat Abdurrahman Wahid, “universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), 545-552. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia…, 233. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 323
Muh. Rusydi
cara-cara paksaan. Islam juga mengisyaratkan para penganut agama lain, sepanjang beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik semuanya akan selamat. Pemikiran tentang inklusivisme mempunyai titik tekan pada keterbukaan yang dasar-dasarnya, sebagaimana pluralisme, dapat digali dari dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka mudah bagi umat Islam, tanpa melepaskan keyakinan agamanya, untuk menerima sepenuh hati konsep ini. Inklusivisme adalah pemikiran yang berisikan prinsip-prinsip untuk saling mengerti dan saling menerima dalam perbedaan yang mempunyai ikatan persatuan oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan etis, sebagaimana dalam konteks keindonesiaan, terumuskan dalam lima sila Pancasila. Pemikiran tentang inklusivisme Islam berintikan gagasan bahwa Islam adalah agama terbuka dan mempunyai kebenaran yang mencakup dan meliputi kebenaran yang terdapat dalam agama-agama sebelumnya. Islam itu agama yang terbuka, toleran, dan kosmopolit. tidak lain kecuali bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan toleran. Ia bukan agama yang ekslusif dalam arti mempunyai klaim kebenaran yang ekstrim. Jadi, ide utama pemikiran inklusivisme Islam terletak pada penekanannya untuk memahami pesan takwa dari Tuhan yang termuat dalam semua Kitab Suci-Nya (Injil, Taurat, Zabur, dan al-Qur’an). Pesan takwa ini merupakan kesadaran Ketuhanan, bahwa Tuhan itu Maha Hadir (omni present). Daftar Pustaka Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997). Ali, Fachry, dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986). Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Pararmadina, 1995). Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani Gagasan Fakta dan Tantangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000). Barton, Greg, The Emergence of Neo-Modernism A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought In Indonesia A 324 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Pluralisme dan Inklusivisme
Textual Study Study Examining The Writings of Nurcholish Madjid Djohan Effendi Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid 1968-1980, terjemahan dengan judul, Gagasan Islam Liberal di Indonesia Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid Djohan Effendi Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina-Pustaka Antara dan Adikarya-The Ford Foundation, 1999). Coward, Harold, Pluralism Challenge to World Religion, (New York: Orbis Book, 1985). Dimont, Max I., The Indestructible Jews, (New York: New American Library, 1973). Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam di Indonesia Pengusung Ide Sekularisme Pluralisme dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007). Husaini, Adian, dalam http://adianhusaini.blogspot.com /2007/03/kritik-terhadap-ensiklopedi-nurcholish.html. Husaini, Adian, dan Nuim Hidayat, Islam Liberal Sejarah konsepsi Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2002). Husaini, Adian, Islam Liberal Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005). Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995). -------, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998). -------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999). -------, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000). -------, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2000). Majalah HumOr, “Apa Kata Kiai Saja”, no. 52/25 wawancara bulan Nopember – 8 Desember 1992. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
325
Muh. Rusydi
Malik, Dedy Djamaluddin, dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid M. Amin Rais Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998). Nadroh, Siti, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Rachman, Budhy Munawar, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994). -------, Ensiklopedi Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, 2006). Russel, Bertrand, A History of Western Philosophy, (New York: Simon and Schuster, 1959. Sidjabat, Walter Bonar, Religious Tolerance and Christian Faith A Study concerning the Concept of Divine Omnipotence Constitution in The Light of Islam and Cristianity,(Jakarta: Badan Penerbit Gunung Mulia, 1982). Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994). Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001). Suseno, Franz Magnis, “Islam’s Contribution to a Pluralism Indonesia”, dalam Farinia Fianto, (eds.), Islam and Universal Values, (Jakarta: ICIP, 2008).
326 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014