RESPON INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA TERHADAP PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID, KONTROVERSI TENTANG PEMIKIRAN PLURALISME NURDIN PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JAMBI Abstract: pluralism was sunnatullah, that could be seen in nature, which might not be resisted and avoided. However, the reality was not everyone able to accept it as an inevitability. In fact, this issue being debated and controversial of all the time. Nurcholish Madjid is a supporting character of this problem. Thoughts on pluralism lack of sympathy, even totally negative portion from Muslim intellectual. This research, showed that the controversy against the idea of pluralism Nurcholish Madjid caused: a difference in providing an understanding "meaning" pluralism itself. According to Nurcholish Madjid, pluralism was a system that saw the value of human existence in a positive and optimistic, and accept it as a fact that was very much appreciated. Another experts, though that all religions were the same, and considers the theological pluralism was theology infidels. Nurcholish’s opinion was influenced from his education in America. He often quotes from Western literature and analysis of social sciences that development there. Due to "religious fanaticism" that considers all Islamic teachings was final and could not be bothered anymore, especially regarding religious beliefs. Muslim intellectual was not directly criticize pluralism, but was associated with other problems, such as secularization, orientalism, liberalism, and Christianization. Key words: Nurcholish Madjid, pluralism, the Qur'an, Assunnah.
I.
Pendahuluan
Secara
umum,
pluralisme
berarti
paham
keberagamaan
(majemuk).
Keberagamaan disini meliputi keberagamaaan suku, agama, ras dan adat istiadat.1 Menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu, tentu tidak mengambil sikap anti 1
Antom M. Moeliono et-al, kamus Besar Bahsa Indonesia, (Jaakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 691 : Hartini G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 310: Ariyono Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Persindo, 1985), hlm. 326
1
pluralisme, justru dituntut untuk hidup diatas dasar dan semangat pluralisme, ia merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkindi hindari. Bahkan ia menyusup dang menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Dalam kenyataanya, dapat dilihat adanya pluralisme bangasa, pluralisme agama, pluralisme budaya, pluralisme pemikiran atau pendapat, merupakan kehendak Tuhan atau sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku agar mereka saling mengenal dan menghargai.2 Perbedaan manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.3 Juga terdapat penegasan tentang kemajemukan dalam pandangan cara hidup antara manusia yang tidak perlu digusarkan, dan hendaknya dipakai sebagai pangkal untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, bahwa Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda-beda, nanti kita kembali kepada-Nya.4 Kemajemukan tersebut, oleh pengamat modern banyak yang menghargai dengan tulus, misalnya, dalam dunia Islam seperti terdapat Fazlur Rahman (Pakistan), Muhammed Arkoun (Al-Jazair), Abdullahi ahmedAn-Naim (Sudan), dan Abid Al-Jabiri (Maroko) dan lain-lain merupakan pemikir-pemikir hebat Islam.
5
sebenarnya, pandangan menghargai kemajemukan bukan hanya khas
Negara-Negara Arab saja. Di Indonesia mengenai hal ini, terutama setelah kemerdekaan, terdapat beberapa tokoh seperti Nurcholish Madjid, KH. Abdurrahman wahid, M. Dawam Raharjo, A. Syafi’I Ma’arif6 yang menyadari pentingnya pembaharuan dilakukan dalam tubuh umat Islam. Agendanya adalah
2
Lihat Q.S. Al-Hujaraat/49:13. Lihat Q.S. Ar-Ruum/30:22. 4 “untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya” (Q.S. Al-Maaidah/5:48). 5 Penjelajah mendetail tentang pemikiran Arab dapat dilihat dalam karya, Isa J, Boulota, Pemikiran Arab Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS, 2001). 6 Lutfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, (Depok: Kata Kita, 2007), hlm. 6. Greg barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, (Jakarta:Paramadina dan antara, 1999), dan Fachry ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jaalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung:Mizan, 1986) 3
2
tetap sama, yakni melakukan pembaharuan terhadap pemikiran keagamaan yang sempit dan kaku, bahkan “sulit” diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, diskursus pluralisme-khususnya Islam dan pluralis memerupakan tema yang banyak menjadi sorotan dari para cendikiawan para decade 1980-an, bahkan sampai hari ini. Urgensi memperbincangkan diskursus pluralisme berangkat dari kondisi objektif bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan cukup tinggi, baik secara fisik (Negara kepulauan) maupun sosial budaya: bukan saja suku, bahasa, adat istiadat, bahkan agama yang menunjukkan tingkat hetegorenitas yang cukup signifikan.7 Nurcholish madjid (1939-2005) merupakan salah satu pemikir muslim terkemuka di Indonesia, yang menurut hasil penelitian Greg Barton, disebut sebagai neomodernisme Islam, telah banyak menggulirkan pemikiran yang bernuansa pluralisme.8pluralisme menurutnya, sebuah keniscayaan Tuhan (hukum alam atau “sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga tidak meungkin dilawan.9 Pluralisme yang memandang suatu sistem nilai secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan
itu.10
Baginya,
pluralism
bukan
sekear
sebatas
memahami
kemnajemukan, namun juga suatu keharusan bagi keselamatan manusia.11 Karena itu, pluralisme harus dipangku dalam ikataan kewargaan (bonds of civility) yang penuh sikap saling penghargaan dan harapan baik, satu dengan lainnya.12 Oleh karena itu, paham kemajemukan adalah satu nilai keislaman yang sangat tinggi, yang seharusnya dihargai karenaa ia salah satu ajaraan pokok Islam yang amat relavan dengan zaman sekarang.13 7
Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,2000), hlm.. iv. Neo-modernisme merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebagain jawaban terhadap pembaharuan-pembaharuan sebelumnya, dari revivalisme pra-modernis, modernism klasik sampai neo-revivalisme, seperti wahabineo-Mu’tazili dan jamaat-i-Islam. Aliran ini mencoba kritis dan objektif menilai hasil-hasil pemikiran umat Islam dan barat sekaligus. Dikutif dari catatan kaki Abd A’la. “Al-Qur’an dan hermenuetik: memahami Bahsa Agamadalam Macana Neo-modernisme”, Tashwirul Akfar, (VIII, 2000), hlm. 121. 9 Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,h.xxxvii-xxviii. 10 Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,h.xxv 11 Dikutip dari Budhy munawar-Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta:Paramadina, 2001), hlm.31 12 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta:Paramadina, 1997). hlm. 35 13 Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.xxxiv. 8
3
Salah satu contoh khas pemikirannya adalah diktum “kembali kepada AlQur’an dan Sunnah”. Hampir seluruh umat muslim menyakini diktum tersebut sebuah keniscayaan teologis. Tapi, secara sosiologis diktum tersebut bisa membawa dampak yang berbeda-beda. Ada yang memahaami sebagai eksklusivisme, tetapi pihak lain adaa yang memahaminya sebagai inklusivisme. Nurcholish madjid telah mehadirkan sebuah penafsiran yang mempunyai relevansi dengan konteks kebangsaan daan keragaman. Al-Qur’an dan Sunna merupakan sumber inklusivisme. Misalnya dalam memhami Al-Islam. Selama ini, berbagai kalangan muslim memahami Islam secara Eksklusif. Namun, Nurcholish Madjid merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, bahwa makna yang lebih tepat tentang Al-Islam adalah Agamaa dibawa oleh para Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad SAW.14 Inti sari dari Islam adalah ajaran tentang toleransi dan kelapangdadaan (al-hanifiyyah al-samhah), maka kaum Muslim harus terbuka terhadap semua pandangan. Semuanya menepatkan Nurcholish dalam posisi yang unik sebagai seorang cendikiawan Muslim Indonesia. Bahwa ia juga ditanggapi secara kontroversial, itu sepenuhnya sangat dimaklumi. Sungguhpun begitu, tesis-tesis pemikirannya segera mendapat berbagai tanggapan, terutama dari intelektual muslim. Misalnya, penafsiran Nurcholish Madjid mengenai kata Islam segera mendapat respon oleh Daud rasyid. Menurutnya, terma “Islam” adalah “nama” dan “identitas” dengan demikian tidak mungkin Allah menurunkan agama atau konsep hidup manusia tanpa nama, karena itu “nama” atau “identitas”, tidak bisa ditafsirkan atau diterjemahkan lain.15 Tanggapan yang tak kalah vulgarnya dalam menanggapi pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid lahir dari tokoh senior, yakni Rasjidi. Kritiknya terdapat dalam karyanya koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang 14
Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. hlm. 427-428.”sesungguhnya kamitelah wahyukan kepada engkau (Muhammad) seperti yang telah kami wahyukan kepadaa Nuh dan nabi-nabi sesudahnya, dan seperti yang telah kami wahyu (pula) kepadaIbrahim, isma’il, Ishak,Y’qub dan kelompok-kelopmpok (para nabi), serta Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Telah pula kami berikan kepada Daud (kitab) Zabur. Juga kepad para Rasul yang telah kami kisahkaan mereka kepadamu (Muhammad) sebelumnya, dan para Rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) kepada “Musa”. (Q.S.An-Nisaa’/4:163-164). 15 Lihat Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dala Sorotan, (Jakarta:Usamah Press, 1993).
4
Sekularisme (1972) oleh M. Rasjidi dan juga datang dari Daud Rasyid. Krirtik tajam melalui magnum opusnya, yakni pembaharuan Islam dan Orientalis Sorotan (2002). Bahkan belakangan muncul lagi yang tak kalah seru dalam menanggapi ide-ide pokok pemikiran Nurcholish Madjid. Mereka lahir dari kalangan intelektual muda seperti Adian husaini. Kritiknya dapat dilihat hampir setiap karyanya ditujukan kepada Nurcholish Madjid. Sebelumnya terdapat tokoh senior dari adalah Hartono Ahmad Jaiz melalui bukunya: Bahaya JIL dan FLA (2004). Dan tentunya, dari semua kritik yang muncul, lahir dari sudut pandangan yang berbeda. Rasjidi mengenai sekularisasi dan sekularisme Nurcholish Madjid, dan terakhir Adian Husaini berkutat mengenai masalah kristenisasi. Sebenarnya, fenomena seperti bukan hanya terjadi pada Nurcholish Madjid yand sudah sejak lama dianggap sebagai agen barat. Belakangan muncul, beberapa nama yang menimpa nasib sama seperti KH. Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan para Pembaharu Islam lainnya. Bahkan, banyak pihak yang mencoba melahirkan fatwa keagamaan yang bertentangan dengan semangat universalitas Islam, namun pada akhirnya fatwa tersebut dengan sendirinya terbantahkan. Jika pluralitas berlaku bagi semua manusia, lepas dari perbedaan agama, ras, suku, bangsa, dan lain-lain, maka ia menjadi sangat penting, karena menjadi batu perekat dan kekuatan utama yang menjadi tulang punggung perjalanan dan kehidupan bersama. Ia rawan apabila agama justru disalah gunakan, sehingga berpotensi penyebab terjadinya konflik yang mengatas nama agama (kebenaran) yang berujung pada tindakan anarkis. ia juga merupakan daerah paling sensitif,dan mempunyai tingkat ketersinggungan yang tinggi, apabila baagianbagian tertentu-nya, disentuh dan tersentuh. Karena itu, ia memiliki makna penting bagi kelangsungan hidup bangsa dan manusia, mencari titik temu berbagai nilai luhur dari beragaman agama, menjadi faktor dominan bagi integrasi dan kedamaian manusia. Ditambah lagi, selama ini pada tataran praktis belum sepenuhnya dipahami umat beragama, sehingga yang sering terlihat kepermukaan adalah sikap ekskluvisme, sikap dimana merasa dirinya yang paling baik dan benar, sementara yang lainnya tidak benar dan salah. Sebenarnya sikap ini
5
merupakan akar konflik yang dapat meruntuhkan keharmonisan antarumat beragam.16 Padahal, Islam tidak memandang pluralitas sebagai sebuah perpecahan yang membawa kepada bencana. Islam memandang pluralitas sebagai rahmat yang Allah SWT turunkan bagi makhluk-Nya. Denga pluralitas, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena dapat kompetensi dari masing-masing elemen untuk yang berbuat yang terbaik. Ini membuat tidak membosankan karena selalu ada pembaharuan menuju kemajuan. Tujuan dari penelitian ini sebagai adalah untuk mengetahui sosok Nurcholish Madjid, ingin mengetahui bagaimana pluralisme dalam pandangan Nurcholish Madjid, ingin medeskripsikan bagaimana respon intelektual Muslim Indonesia terhadap pemikiran pluralism yang dibangun oleh Nurcholish Madjid.
II. KESARJANAAN DAN INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID a.
Latar belakang pendidikan Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid seperti ayahnya Abdul Madjid, yang sekolah di SR pagi hari dan sore hari di madrasah. Ia pernah belajar kitab kuning di pesantren Rejoso, Jombang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Gontor inilah yang menjadi kelanjutan Nurcholish Madjid, sehingga menghasilkan keluasan wawasan yang dijadikan bekal saat hijrah ke Jakarta , 1961. Kemudian melanjutkan lagi studinya ke Fakultas Adab Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam, IAIN Syarif Hidayaatullah, Ciputat. Menurut Greg Barton jurusan ini di IAIN memiliki karakter yang serupa dengan Uiversitas sekuler dengan basis kemanusian dari pada fiqih dan teologi.17 Semangat kemanusiaan ini yang selanjutnya menjadi karakter dan orientasi pemikiran Nurcholish Madjid di kemudian hari. Ia meraih gelar sarjana sekaligus menjadi lulusan terbaik pada tahun 1968, dengan mempertahankan skripsi dengan judul; Al-Qur’an : ‘Arabiyyun Luqhtan wa’ ‘alamiyyun Ma ‘na-an, (Al-Qur’an dilihat secara bahasa bersifat lokal), dengan 16
Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 172. Menurut Greg Barton, inilah yang menjadi kelemahan dari Nicholish Madjid di bidang Pendidikan: bahwa keputusan Nucholish madjid untuk mengelututi teologi tidak dapat dipertanggung jawabkankarena pendidikan resminya sangat lemah dibidang teologi. Lihat catatan kaki Greg barton, Gagasan Islaam liberal di Indonesia, hlm. 78 17
6
menggunakan Bahasa Arab, sedangkan dari segi makna mengandung sifat universal. Selanjutnya, pada tahun 1973, Fazlur Rahman18 datang ke Indonesia g bermaksud mencari peserta yang tepat untuk peserta program seminar dan lokakarya di University of Chicago yang di danai oleh Ford Foundation. Semula Rasjidi merupakan pilihan Fazlur Rahman dan Leonard Binder sebagai peserta , tetapi usianya terlalu tua, akhirnya mengusulkan Nucholish Madjid menjadi penggantinya. Selesai mengikuti program tersebut, Nucholish Madjid meminta kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali lagi dengan status mahasiswa. Tetapi ia harus kembali dulu ke Jakarta untuk mengambil bagian dari kampanye 1977. Pada bulan maret 1978 Nurcholish Madjid kembali ke Amerika Serikat mengambil program pascasarjana di University of Chicago. Pada tahun 1984, Ia berhasil mendapat predikat Cum Laude, dengan judul disertasi Ibn taymiya on Kalam and falsafah: A problem of Reason and Relevation in Islam (Ibnu Taimiyyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam). Tentu saja, di Universitas Chicago pemikiran Nurcholish Madjid semakin jelas arah dan bentuknya, yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Neomodernismenya
Fazlur
Rahman
yang
berusaha
memadukan
atau
mengkompromikan tradisi Islam dengan dunia modern, atau dengan kata lain, menjadi modern dengan tetap mengapresiasi tradisi. Garis pemikiran ini sangat nyata apabila dari pemikiran Nurcholish Madjid yang tertuang dalam tulisatulisannya. Dimana ia berusaha mengadopsi unsur-unsur dan problem-problem kemodernan dengan sumber-sumber klasik.
18
Fazlur Rahmaan lulus sebagai sarjana dari Universitas Punjab dan mebdapat gelar Doktor (P.hD) dari Universitas Oxford. Setelah mengajar pada Universitas Durham dan Lembaga studi Keisslaman di Universitas McGill (di Monreal, Kanada), dia kembali ke paskitan dan menjabat sebagai direktur Pengkajian Islam (Islamic Research Institute) dan sebagai anggota penasehat ideology Islam (Advisory Council of Islamic Ideology) pada pemerintah Pakistan.ia pernah menjadi guru besar studi keislaman di Universsitas Chicago, Amerika Serikat. Fazlur Rahman juga dikenal sebagai pemikir dan intelektual Islam Kontemporer yang terkemuka atau lebih tepatnya ia dikenal sebagai neo-modernisme Islam. Baca Fazlur Rahman, metode dan alternative Neomodernisme Islam, ( Peny. Taufik Adnan Amal), (Bandung: Mizan, 1987).
7
b. Pokok pemikiran Nurcholish Madjid MenurutNurcholish , tantangan orang beragamaa paling berat adalah syirik atau polyteisme bukannya atheisme, karena syirik memberikaan peluang penyerahan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa. Nurcholish Madjid menjelaskan : Bahwa setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial dan udaya yang menjadi ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajemukan. Belum ada suatu pola sosial budaya yang dapat dipandang sebagai bentuk permanen ke Indonesiaan.19
Gagasan pemikiran Nurcholish menggambarkan upaya kontekstualisasi Islam denagan nilai ke Indonesiaan, yang sejkaligus mencerminkan teologi keindonesiaan, adalah soal terjemahan kalimat laila hailallah menjadi “tiada Tuhan selain Tuhan”20, terjemahan yang asing dan kontrovesional bagi Umat Islam Indonesia yang terbiasa dengan terjemahaan “tiada Tuhan selain Allah”, ia menganggap tiada Tuhan selain Tuhan adalah absah, hanya masalah bahasa saja, sedangkan hakikatnya adalah sama. Disinilah semangat inklusivisme atau pluralisme sangat mewarnai dan mendominasi pemikiran-pemikiran teologinya.
c.
Tema sentral pemikiran Nurcholish Madjid
Titik temu agama-agama (kalimatun sawa’) secara esensial dari sudut pandang Islam menjadi sangat mungkin, karena Islam mengakui berdasarkan kitab suci. Ia merupakan inti dari semua agama, tetapi secara ontologis, epistiomologis, karena gagasan Nurcholish Madjid tentang titik temu agama-agama menggunakan idiomidiom Islam, maka berhadapan dengan agama menjadi sangat problematik, sebab setiap agama untuk membahasakan maksud yang sama menggunakan idiomidiom yang berbeda. Meskipun demikian, dalam hubungan ini, karena gagasan tersebut memberikan landasan teologis-filosofis terhadap kesadaraan umat Islam
19 20
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.xviii Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.ii
8
akan kesatuan pesan agama yang dinaungi dalam berbagai wadah agama-agama. Maka, agar gagasan-gagasan itu dapat memberi rahmat yang lebih luas, konsepkonsepnya harus dipahami dalam perspektif filsafat perenial, filsafat yang dipandang bisa menjelaskan kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifat yang diperlukan dalam menjadi hidup yang benar, karena dengan filsafat ini kita bisa memahami kompleksitas perbedaan-perbedaan yang ada antara satu dan lain.21 Menurut Nurcholish Madjid, agama an sich bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat, tetapi budaya , dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat. Agama merupakan sesuatu yang primer, sementara budaya mengambarkan yang sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaaan, karena itu sub-ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah absolute, berlaku untuk setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relative, terbatasi oleh ruang dan waktu.22 Persoalannya, bukan terletak pada perkara apakah suatu hasil dialog antara ke universalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan dan zamaan itu abash atau baik, melainkan setiap hasil dialog kultural dari kedua aspek: universal-particular atau kulli-juz’I, tidak saja absah, tetapi juga merupakan kreatifitas kultural yang berharga. Dengan kreatifitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata paraa pemeluknya, menurut ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan dinamika dengan vitalitasnya.23
d. Pluralism dalam Pandangan Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid memberi penegasan bahwa pluralisme dalam pangan Islam memiliki dasar keagamaan yang dalam . Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, kesanalah ia mengarahkannya: maka berlombalah kamu dalam mengejar
21
Budhy munawar-Rachman, Pluralisme islam, h.79. lihat juga Seyyed hoesin Nasr, “Phylosophia Perenial and Study of Religion”, The World’s Religion Traditions, (Edinburg: T&T Clark LTD, 1984),hlm. 181-200. 22 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hlm.45. 23 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, hlm..39.
9
kebaikan, dimana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya.24 Ayat ini menurut Nurcholish Madjid menjadi inti dan sekaligus pemahaman masalah pluralisme. Fakta bahwa umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok, masing-masing memiliki tujuan hidup berbeda. Setiap komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman sosial budaya, toleransi satu sama lainyang memberi kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang yang menjalani kehidupannya menurut keyakinannya masing-masing. Karena yang dibutuhkan dalam masyarakat majemuk adalah, agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam jalan yang sehat dan benar. Tuhan lah Yang Maha Tahu, daalam arti asal, tentang baik atau buruk, benar atau salah.25 Pluralisme yang dikehendaki Nurcholish Madjid, harus diapahami sebagai pertalian “sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Pluralisme adalah suaatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.26
III. KONTROVERSI
INTELEKTUAL
MUSLIM
INDONESIA
TERHADAP PLURALISME NURCHOLISH MADJID. a.
Rasyidi dan Masalah Sekularisme
Rasjidi memberikan kritik keras, bahwa Nurcholish Madjid telah keliru dalam jalan pikirannya. Sekularisasi yang diterapkan dalam gambarannya tentang Islam tidak kena. Segala persoalan sekularisasi adalah dalam konteks kebudayaan Barat dan Cristendom (alam Kristen). Rasjidi mengatakan: ”Waktu dan tenaga umat Islam Indonesia lebih berharga dari sekedar untuk menanggapi kemauan seorang pemakai istilah-istilah sekuler, sekularisasi yang tidak tepat dan dapat di gantikan dengan kata lain apapun bentuk dan arti asalnya, seperti pisang goreng, kopi 24
Q.S Al-Baqarah/2:148; Q.S Al-Maidah/5:48; dan Q.S. Al-Hujarat/49:13. Nurcholish Madjid,”Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, Passing over: melintasi Batas Agama, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina, 2001), hlm.173 26 Nurcholish Madjid, “Beberapa Pemikiran Kearah Investasi Demokrasi”, Islam Liberalisme Demokrasi: membangun Sinerji Warisan sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, hlm.285 25
10
tubruk, dan es jeruk.27 Rasjidi menyimpulkan bahwa gagasan pembaharuan Islam yang dilontarkan Nurcholish Madjid merupakan ancaman terhadap umat Islam. Ia menilai Nurcholish Madjid kebingungan dalam beberapa isu keagamaan, karena ia belum
cukup dewasa, dan belum, qualified untuk menyinggung masalah
tentang agama. Teorinya dangkal, dan tidak ada seorangpun menerimanya.28
b.
Daud Rasyid Kebencian terhadap Orientalisme.
Salah satu yang membuat ketertarikan Daud Rasyid mengkritisi orientaalis paling tidak disebabkan oleh adanya anggapan tentang kritisnya mereka dalam berpikir, terkait dengan itu, juga disebabkan bahwa studi Islam di Arab kaya dengan materi dan lemah dibidang metodologi. Dua alasan ini yang mengusik pemikiran Daud Rasyid, sehingga bagian dari tulisannya selalu mencoba mendobrak pemikiran orientalis. Terhadap permasalahan yang pertama, Rasyid menilai asumsi itu tidak berjalan secara proporsional. Dalam hala-hal yang bersifat qath’i (pasti) dari ajaran Islam, mereka persoalkan dengan menggunakan senjata “objektivitas”, tetapi ideologi dan doktrin mereka jelas-jelas tidak masuk akal, tidak pernah mereka terapkan sikap kritis itu.29sementara pihak, bahwa studi Islam di Barat, miskin materi tetapi kaya dengan metodologi, ia menilai secara materi, bahwa Barat hingga kini tidak mampu mengelurkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam. Seperti ahli tafsir, ahli ushul fiqh, ahli bahasa, dan sebagainya. Aktifitas yang banyak dilakukan kaum orientalis mengumpulkan
manuskrip,
memberi
menerjemahkan kebahasa-bahasa Eropa.
komentar 30
buku-buku
klasik
dan
Namun, yang menarik dari kritiknya
bahwa Rasyid mengakui tidak semua tesis-tesis Nurcholish Madjid tidak benar, namun terdapat sejumlah kontradiksi pemikiran yang mengesankan bahwa dirinya senantiasa dalam posisi ragu. Inilah salah satu bahaya dalam mempelajari filsafat
27
HM. Rasjidi, Koreksi terhadap Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, hlm. 56, 85. Kritik Rasjidi terhadap masalah ini baca Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), Koreksi terhadap Dr.Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:Bulan Bintang, 1977). Lihat juga Fachry Ali dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam. hlm. 139-140. 29 Azzyumardi Azra, Historiografi Islam Kontempore, hlm. 68. 30 Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, hlm. 121. 28
11
yunani dan logika Aristoteles. Sehingga membuat ulama-ulama terkenal mengharamkan kaum Muslim mempelajarinya. Dari semua perbincangan mengenai pluralisme, Nurcholish Madjid, dan orientalis dengan segala tindak tanduknya, dalam menurut pertimbangan kita adalah: meniru kesungguhan mereka dalam melahirkan karya-karya kreatif, tetapi mengemmbangkan sikap ekstra kritis terhadap tafsiran mereka mengenai doktrin Islam. Sikap yang hanya mencurigai adalah bentuk lain dari ketidakberdayaan intelektual.
c.
Hartono Ahmad Jaiz-Anti Liberalisme
Dalam bukunya menangkal bahaya JIL dan menengaskan bahwa Nurcholish Madjid serta rekan-rekan tidak hanya memperkosa ayat tapi juga merambah pada hukum waris Islam berupa perkataan mereka “maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan”, Hartono Ahmad Jaiz menyangkal pernyataan diatas dengan mengatakan, bukanlah hukum pernikahan itu sendiri dalam Islam, demikian juga dengan hukum waris ada sendiri dengan dalil masing-masing. Hartono menganggap propaganda penyatuan agama (wihdatul adyan, pluralisme agama) dan menampilkan dalam satu kesatuan adalah propaganda yang sangat busuk. Misi propaganda itu adalah mencampur adukkan yang hak dengan yang batil, merubuhkan Islam dan meghancurkan pilar-pilarnya serta menyeret pemeluknya kepada kemurtadan.31 Dalam membangun teologi pluralisnya itu, Nurcholish Madjid dan rekanrekan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantaranya ayat yang mereka ambil yaitu: kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan Rasul tanpa membedakan seorangpun dan lainnya, dengan sikap berserah diri (Islam) kepada Tuhan.32 Hartono mengatakan teologi pluralisme Nurcholish Madjid runtuh oleh pernyataan mereka sendiri: kaum beriman harus percaya kepada nabi dan Rasul. Karena konsekuensinya, dengan datang Rasul terakhir, Muhammad yang membawa risalah Islamiyah dengan wahyu dari Allah berupa kitab suci AlQur’an, maka yang mampu melaksanakan keimanan seperti yang di kemukakan 31 32
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, hlm. 122. Q.S. Al-Baqarah/2:136 dan 285: Ali-Imran/5:84.
12
adalam kalimat terakhir itu hanyalah orang-oarang yang mengikuti agama Muhammad Rasulalllah SAW yaitu orang Muslim.33
d.
Adian Husaini dan Masalah Kristenisasi
Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikran teologi, seringkali, membawa ke arah “ketersekatan” meminjam istilah Amin Abdullah, konflik antaragama, disamping disebabkan karena klaim kebenaran, dan watak missioner dari setiap agama menyebabkan semakin besarnya peluang terjadi benturan dan kesalah pengertian antarpenganut agama sehingga menyebabkan retaknya hubungan antarumat beragama. Disinilah pengakuan terhadap pluralisme dibutuhkan. Karenanya, pluralisme harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dan keadilan illahi bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar atau salah tanpa megetahui dan memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya. Pemahaman seperti inilah yang diupayakan oleh intektual muslim.34 Namun kenyataan menunjukkan bahwa penyebaran paham pluralisme teologis, oleh sebagian “kelompok” justru sering dikaitkan dengan upaya Kristenisi. Mereka menganggap bahwa teologis pluralis sangat merugikan dikalangan umat Islam serta merupakan bagian dari upaya penghancuran. Dalam asumsi mereka umat Islam diprovokasi akan melepaskan aqidahnya. Tidak lagi menyakini agamanya saja yang benar, dan kemudian diajak untuk mengakui bahwa agama Kristen juga benar.35 Misi Kristen berangkat dari doktrin bahwa
33
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, hlm.232. Sekedar menyebutkan beberapa nama saja sperti Ahmad Syafi’i Ma’arif. Amin Abdullah, Azyumardi Azra, M. Syafii Anwar, Masdar F. Masudi, Budhy Munawar-Rachman, Luthfi assyaukanie, Ulil abshar Abdallah terutama mereka yang tergabung dalam kelompok jaringan Islam Liberal (JIL). 35 Dalam prakteknya kaum nasrani seringkali melakukan taktik “jalan antara” untuk menarik kaum muslim keagama mereka. Jalan diantara itu antara lain adalah upaya pendangkalan aqidah kaum muslimin dan menghalang-halangi kaum muslim untuk mengamalkan ajaran agamanya. Di Indonesia, kasus itu bisa dilihat sejak peristiwa yang disebut Natsir sebagai ultimatumkaum nasrani di Indonesia bagian timur kepada bangsa Indonesia. Isi pendek saja; ada 7 kata dalam mukadimah UUD 1945 yang harus dicabut. Kalau tidak umat Kristen di Indonesia sebelah timur tidak akan turut serta dalam Negara Republik Indonesia yang baru di proklamirkan.7 kata itu adalah dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sejak kasus ultimatum itu, kaum nasrani sangat aktif dalam upaya menjauhkan kaum muslimin untuk mengamalkan ajaran-ajarannya, khususnya hokum-hokum Islam. Reaksi keras kalangan Kristen terhadap RUU perkawinan untuk umat Islam (1979) dalam penolakan keras terhadap RUU 34
13
diluar gereja tidak ada keselamatan extra eclesian nulla salus. Tapi sebagian kalangan Kristen berusaha mendobrak doktrin itu dan melakukan liberalisasi teologi yang kemudian dikenal sebagai teologi pluralis, yang menganggap bahwa semua agama adalah jalan sama-sama sah menuju kebenaran. Teologi ini, oleh sebagian kalangan kemudian dipopularkan dengan istilah pluralisme agama yang dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial, seperti penghalalan perkawinan antaragama dan sebagainya. Jadi, paham pluralisme itu juga membuka “kran” terhadap pengakuan bahwa semua agama adalah sama. Konsekuensi terhadap pandangan agama seperti ini tidak hanya melemahkan akidah umat Islam satu sisi tetapi juga memberi legitimasi terhadap perkawinan beda agama dan pengakuan pada kitab suci selain Al-Qur’an. Teologi adalah “pembuka pintu” bagi misi Kristen. Pandangan yang mempersoalkan sikap inklusif dalam beragama, terutama pluralisme ini memunculkan tanggapan serius dari intelektual Muslim. Salah satu diantara mereka adalah Adian Husaini.36
IV.
KESIMPULAN
Mengapa terjadinya kontroversi tentang pemikiran pluralisme yang dipaparkan Nurcholish Madjid dengan segera mendapat respon kurang simpati bahkan negative oleh beberapa intelektual muslim Indonesia. Kontroversi tersebut muncul karena beberapa faktor: pertama, disebabkan dalam hal perbedaan pemahaman peradilan agama (1989) menunjukkan betapa tidak relanya kaum nasrani melihat kaum muslim agak leluasa menjalankan ajaran agamanya. Pada tanggal 1 februari 1969, sudah keluar memorandum kalangan Kristen dengan judul UU perkawinan harus tidak bermotifkan agama. Baca lukman hakim, Fakta dan Data, majalah Media dakwah, Jakarta: 1941, hlm. 41-44,45. 36 Konsen Adian Husaini terhadap masalah Kristenisasi demikian jelas apabila kita menjelajahi setiap karya-karyanya. Kekhawatiran tersebut teraplikasikan dalam bukunya yang berjudul “Hendak kemana Islam di Indonesia: Catatan Akhir pekan Adian husaini”, dalam buku ini seolah-olah ia berpesan, di samping Allah mengingatkan, supaya kaum Muslimin senantiasa berwaspada terhadap segala serangan, darimanapun datangnya, menunjukkan bahwa adalah orang yang selalu mengingatkan umat islam dari berbagai bentuk penyimpangan, termasuk masalah Kristenisasi. Jika demikian, dengan tidak mengabaikan tokoh-tokoh lain dalam masalah ini, adian husaini layak disebut “Rasjidi Muda”. Selain itu, terdapat juga dalam setiap kajiannya membicarakan masalah kristenisasi yang dikaitkan dengan paham Liberalisasi, sekularisasi, dan pluralism, seperti solusi damai Islam Kristen di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Dai, 2003), tantangan sekularisasi dan liberalisasi di dunia Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), Khususnya hlm. 5385.
14
mengenai pluralisme itu sendiri. Nurcholish Madjid dalam memberikan Pengertian pluralisme adalah suatu sistem nilai yang memandang eksistensi manusia secara positif dan optimis, dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang sangat dihargai dan dihormati. Sementara pihak, justru karena terlalu terburu-buru dalam memberi kesimpulan mengenai pengertian pluralisme tersebut. Pluralisme menganggap semua agama adalah sama dan teologi pluralisme adalah teologi orang kafir. Padahal, pluralisme adalah kesedian untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, keyakinan bersama dengan mereka. Kedua, Nurcholish Madjid merupakan intelektuaal Muslim Indonesia yang banyak mengeyam pendidikan di “sarang orientalisme”, yakni di Barat, tepatnya
Amerika serikat.
Karena itu,
dalam
memberikan pandangan-
pandangannya ia banyak menggunakan literatur-literatur Barat dalam memberi pandangannya mengenai Islam. Nurcholish Madjid juga sering menggunakan istilah-istilah ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Barat. Berbeda halnya mereka yang menempuh jalur pendidikan di Timur Tengah, termasuk juga alumnus Malaysia. Menurutnya sebagai sumber mengenai Islam dan peradabannya bukanlah dari sarang orientalis tersebut melainkan berada dilahirnya agamaagama besar, latar belakang perbedaan pendidikan ini, ikut andil dalam memberikan pandangan-pandangan mereka dalam memahami ajaran Islam, AlQur’an sebagai rujukan. Terakhir, penyebab lain terjadinya kontroversi tersebut disebabkan oleh “fanatisme agama”, yang menganggap semua ajan Islam sudah final dan tidak boleh diganggu lagi apalagi menyangkut masalah keyakinan dalam beragama. Sementara itu, beberapa pemikiran modern termasuk Nurcholish Madjid mencoba mengkaji ulang beberapa pandangan yang kaku di kalangan umat Islam, tetapi tidak akomatif bahkan “sulit” diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Gerakan Kristenisasi dianggap merupakaan hasil dari paham teologi pluralisme dengan memanfaatkan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Terkait masalah ini, dalam beberapa kesempatan reaksi mereka terhadapnya Nurcholish Madjid sangat keras, bahkan ada beberapa ulama yang memberi fatwa keagamaan kepadanya, mereka misalnya, menuduh bahwa ia sudah “dibeli” oleh
15
Pemerintah Orde Baru yang memang tengah melancarkan program depolitisasi Islam. Pada waktu yang sama, ia juga dituduh telah “menjual” Islam kepada kelompok-kelompok non-Islam tertentu yang memang tengah gencar melakukan deislamisasi di berbagai sektor. Dalam kaitan ini, akibat dari kontroversi tersebut diatas, menurut asumsi penulis akan berimplikasi kepada perkembangan pemikiran Islam di Indonesia itu sendiri, yaitu ‘penjegalan” terhadap pemikiran dan penafsiran kontekstual. Sehingga pemikiran yang mebebaskan itu tidak mendapat ruang yang layak apalagi tumbuh dan berkembang pemikiran yang progresif dan membebaskan itu. Konsekuensinya cara pandang dalam memahami perbedaan pendapat tidak “terbuka” bahkan tidak “dewasa” yang selalu khawatir dan mencurigai setiap yang lahir dari rahim yang berbeda. Memang, kontroversi itu menjadi semacam hukum alam (sunnatullah) yang mustahil untuk dielakkan. Sikap kritis ini juga berimplikasi positif, yaitu tidak terjadinya stagnasi perkembangan pemikran dan kebenaran mutlak suatu pendapat. Tradisi kritik (naqd/radd) adalah tahap awal dari upaya yang panjang dan berat dalam merumuskan konsep-konsep keilmuan Islam. Check and Balancing ini memang perlu agar tidak terjadi kebenaran tunggal satu sisi dan menghargai pandangan setiap perbedaan pada sisi lain. Semua berharap dengan pandangan-andangan keagamaan yang lebih progresif, pluralis, kita bisa lebih optimis mendapatkan saling pengertian antaragama, yang telah menjadi obsesi kultural maupun teologis di Indonesia. Apalagi Tuhan sendiri telah menjamin, “Wa ja’alnakum syu’uban wabaila lita’arafu”, dan (Kami) jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”, tetapi, mempertimbangkan suatu gagasan baru dalam pemikiran keagamaan merupakan suatu keharusan, jika tidak ingin beragama dalam taklid buta, tanpa reserve yang memadai pemahaman dan penafsiran atas doktrin agama (Islam) tampak jelas senantiasa harus diperbaharui agar tidak ketinggalan zaman, dan tidak lapuk dalam tumpukan peristiwa. Ijtihad merupakan hal yang tidak bisa ditinggalkan dan harus yakin satu Islam bermacam-macam ragam, dimana antara satu yang lain sama-sama Islam.
16
BIBLIOGRAFI
Ali, Fachry and Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan. 1986. Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramidana. 1999. Boulata, Isa J. Pemikran Arab Kontemporer. Yokyakarta: LKiS. 2001. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. 1992. ________________. Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta:Paramadina. 1995. ________________.”Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”, Passing over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Paramadina. 2001. ________________. Beberapa Pemikiran Kearah Investasi Demokrasi, Islam Liberalis Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktin dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina. 2002. ________________. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Pramadina. 2004. Rasyid, Daud. Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Jakarta: media Grafika .2002. ______________. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat: Jakarta Pramadina. 1979.
17