RASIONALITAS NURCHOLISH MADJID DALAM WACANA KEISLAMAN DI INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyatratan Memperolah Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh: Ikhya Ulumuddin NIM: 1111033100065
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H. /2017 M.
LEMBAR PERSETUJUAN
RASIONALITAS NURCHOLISH MADJID DALAM WACANA KEISLAMAN DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh: Ikhya Ulumuddin NIM: 1111033100065
Dosen Pembimbing
Dr. Edwin Syarif, MA NIP. 19670918 199703 1 001 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H. /2017 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta 03 Februari 2017
Ikhya Ulumuddin
ii
Lembar Pengesahan Skripsi yang berjudul “Rasionalitas Nurcholish Madjid Dalam Wacana Keislaman di Indonesia” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. Jakarta 18 April 2017
Sidang Munaqasyah, Ketua merangkap anggota
Sekertaris merangkap anggota
Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 19680803 199403 2 002
Abdul Hakim Wahid, SHI., MA NIP. 19780424 201503 1 001
Anggota
Dr. Fariz Pari, M.Fils NIP. 19660629 199203 1 003
Drs. Agus Darmaji, M.Fils NIP. 19610827 199303 1 002
Dr. Edwin Syarif. MA NIP. 19670918 199703 1 001
iii
ABSTRAK Di dalam Islam teori mengenai rasionalitas pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Abduh yang dijuluki juga sebagai bapak moderenisme Islam. Pergerakan Abduh untuk mengubah paradigma Islam begitu masif sehingga tidak hanya Mesir –kota kelahiran Muhammad Abduh– yang terkena dampaknya melainkan hampir seluruh dunia Islam. Pengaruh Muhammad Abduh ini terasa sampai Indonesia. Di Indonesia, banyak para ulama dan para santri yang pergi ke Mekkah untuk belajar agama kepada para ahlinya. Setelah mereka selesai belajar dan pulang ke kampung halaman, mereka membawa gagasan-gagasan Islam yang bermacam-macam termasuk gagasan pembaruan Islam-nya Muhammad Abduh yang dimotori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asyari. Seiring dengan perkembangan zaman gagasan pembaruan itu semakin masif disuarakan. Salah satu tokoh Neo Modernis, yaitu Nurcholish Madjid –yang kita bahas di sini− meneruskan perjuangan para pendahulunya itu dengan membuka kebenaran rasionalitas dalam Islam yang memang sudah berabad-abad ditentang oleh masyarakat Muslim radikal. Menurutnya umat muslim sangat membutuhkan sekali rasionalitas demi kelangsungan hidup agamanya. Namun demikian, rasionalitas dalam Islam adalah rasionalitas yang terbatas. Islam mewajibkan bagi seluruh umatnya bahkan seluruh manusia untuk menggunakan akalnya, akan tetapi hal-hal yang di luar batas kemampuan akalnya seperti kebenaran absolut, dalam hal ini Tuhan, Islam melarangnya. Metode rasionalitas yang digunakan Nurcholish memang terdengar tidak biasa dengan masyarakat Indonesia yang pada waktu itu masih menggunakan metode taqlid dan pengajaran tradisional yang mengharamkan penggunaan akal dalam hal urusan agama. Oleh karena itu menjadi wajar ketika Nurcholish menggagas metode rasionalisasi Islam. Dari renungan-renungannya itu, Nurcholish Madjid menemukan sebuah teori rasionalitas dalam Islam yang menghasilkan banyak sekali pertentangan terutama pada tubuh Islam tradisionalis. Tak elak lagi, pada waktu itu, Nurcholish Madjid banyak yang membenci, namun demikian tidak sedikit juga yang menyanjung dan mengaguminya. Kendati Nurcholish tetap bersiteguh dengan keyakinanya, bahwa Islam dengan kemunduranya seperti sekarang ini, disebabkan oleh para pemeluknya yang tidak mau menggunakan dan memaksimalkan pikarannya.
iv
KATA PENGANTAR Bismillᾱhirrahmᾱnirrahīm Alhamdulillahāh segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan begitu sempurnanya, dan yang telah mengatur segala sesuatunya sehingga alam semesta ini berjalan dengan harmonis. Atas kesehatan dan kasih sayangnya, penulis akhirnya menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul “Rasionalitas Nurcholish Madjid Dalam Wacana Keislaman di Indonesia”. Ṣhalawat serta salam penulis hantarkan kepada baginda Nabi besar Muhammad saw, beserta sahabat-sahabat, dan keluarganya. Nabi sebagai manusia sempurna yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman kepintaran, dari masyarakat amoral menuju masyarakat yang bermoral mulia. Semoga kita dipertemukan denganya di akhirat kelak. Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai syarat dalam pengajuan gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari bahwa, dalam penelitian ini sedari awal sampai akhir bukan sebatas hasil sendiri, melainkan juga atas bantuan motivasi dan semangat baik secara material dan non-material, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu patut kiranya penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Edwin Syarif, MA, selaku Dosen Pembimbing peneliti dalam skripsi yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, masukan, saran, kritik dan waktu untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini tanpa lelah. Kebaikan bapak akan menjadi nasihat yang mulia untuk peneliti. Semoga Allah memberikan kebaikan untuk bapak. Amin ya Rabbal Alamin.
v
vi
2. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus menjadi dosen penasihat akademik peneliti, yang ikut serta membimbing sampai judul penelitian ini di terima. Dan bapak Abdul Hakim Wahid, SHI.,MA, selaku sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran dekanatnya. 4. Kepada Dosen-dosen Fakultas Ushuluddin yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi kepada penulis tanpa pamrih selama proses belajar. Serta terima kasih pula kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, dan semua yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Segenap staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam mencari referensi terbaik semasa-masa perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini. 5. Selanjutnya terima kasih penulis persembahkan kepada kedua orang tua ayahanda H. Abdul Ajid dan ibunda Hj. Mardiah yang tak henti-hentinya menasehati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Seluruh dukungan baik material maupun non-material telah mereka curahkan. Berkat rasa cinta mereka penulis dapat bangkit dari peyakit kemalasan dan mulai bersemangat untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan rahmat dan rizki yang melimpah kepada mereka. Dan semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan kepada mereka. Amin. 6. Adik-adik penulis, Dzuratunnasikhah, Khopipah dan Muttaqin Aziz. Terimakasih dik. Kalianlah yang telah menghiburku untuk menyelesaikan penelitan skripsi ini.
vii
7. Selanjutnya kepada kawan-kawan seangkatan jurusan Aqidah Filsafat 2011 yang selalu membuat penulis tersenyum dan bahagia dalam mengerjakan skripsi ini. Teruntuk bung Ali Nawawi, Tanwirunnadzir, Fajar Agung,
Nanang Rosidi,
Ahmad Syauqi, Awam Nuryadin, Imam Santoso/Emon, Ines Dwi Puspa, Mileh, Huda Riana, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka. Thanks kawan. 8. Kawan-kawan FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat), Imam Besar Fedullah Congor, bung Erwin Simbolon, bung Iir Irham, bung Abdallah. Sy, bung Roy Gratisan, bung Saepul Yahya, bung Cendy Vicky, bung Didi, bung Ehma, bung Aldo, de Ayu Alfiah, dan para pendahulu atau senior FORMACI yang tanpa pamrih telah begitu banyak memberikan ilmu dan pengetahuan yang Insya Allah bermanfaat bagi penulis dunia dan akhirat. 9. Kepada abang-abang satu Kosan, Anis Masykur, Ali Khumaeni, M. Zahidin Arif, Caesar, dan Kacung. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan informasi yang berharga mengenai segala hal terutama terkait penelitian ini. 10. Para sahabat-sahabat tetangga Kosan, Don Al, Oriza Kampret, Ari Mulki. Z (penikmat buku Pram), Habib Bilal, Yai Gusti, Budi, Ilyas, dan bang Syafiq. Terima kasih brother.
Jakarta 03 Februari 2017
(Ikhya Ulumuddin)
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
ا
a
ط
ṭ
ب
b
ظ
ẓ
ت
t
ع
'
ث
ts
غ
gh
ج
j
ف
f
ح
ḥ
ق
q
خ
kh
ك
k
د
d
ل
l
ذ
dz
م
m
ر
r
ن
n
ز
z
و
w
س
s
ه
h
ش
sy
ء
'
ص
ṣ
ي
y
ض
ḍ
ة
h
Vokal Panjang
Arab
Indonesia
آ
ā
ٳى
ī
أو
ū
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii ABSTRAK ....................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................v PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1 B. Permasalahan ................................................................................................5 1. Identifikasi Masalah ............................................................................... 5 2. Batasan Masalah .....................................................................................6 3. Rumusan Masalah ...................................................................................7 C. Tujuan Penelitian ..........................................................................................7 D. Manfaat Penelitian ........................................................................................8 E. Tinjauan Pustaka ...........................................................................................8 F. Metedologi Penelitian ...................................................................................9 1. Sumber Data ...........................................................................................9 2. Tekhnik Pengumpulan Data .................................................................10 3. Tekhnik Analisis Data ..........................................................................10 4. Tekhnik Penulisan Data ........................................................................11 G. Sistematika Penulisan .................................................................................12
BAB II SKETSA BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ..................................................................15 B. Karya-karya ................................................................................................21 C. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Indonesia ..............................25
ix
x
BAB III TINJAUAN UMUM PEMIKIRAN RASIONAL DALAM ISLAM A. Pengertian Pemikiran Rasional ...................................................................29 B. Pemikiran Rasional Dalam Islam ...............................................................33 C. Perbedaan Antara Rasio, Rasionalisme dan Rasionalitas ............................38
BAB IV NURCHOLISH MADJID DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA A. Munculnya Gerakan Islam Rasional di Indonesia ......................................44 B. Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid .......................................................49 C. Karakter Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid ........................................56 D. Rasionalitas Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern ....................................59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................67 B. Saran-Saran .................................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................70
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tidak ada gagasan yang berdiri di atas angin. Setiap gagasan—apalagi gagasan baru—selalu merupakan respons atas situasi sosial-historis tertentu. Begitulah dengan gagasan pembaruan dalam Islam. Pembaruan Islam itu juga bukan sesuatu yang berdiri sendiri dalam konteks lokal dan problem kontemporer. Tapi juga berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia Islam internasional, maupun pembaruan-pembaruan yang sudah terjadi sebelum masa Orde Baru ini, khususnya tokoh-tokoh Masyumi (sebelum 1955). Mereka semua adalah golongan yang biasa disebut “kaum modernis Islam”.1 Gerakan Islam kontemporer muncul di Indonesia awal 1970. Gerakan ini sebagai kelanjutan dari pembaharuan pada masa klasik (abad ke 17) hingga tahun 1969. Berbagai faktor menjadi penyebab kelahiran gerakan ini, seperti yang diungkapkan Nurcholis ketika menyampaikan gagasan pembaharuannya di Menteng Raya tanggal 3 Januari 1970 sebagai berikut: “Pertama, bahwa organisasi-organisasi
yang
menerima
aspirasi
pembaharuan
seperti
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis telah berhenti sebagai pembaharupembaharu,
karena
ketiga
organsasi
ini
tidak
sanggup
berbuat
dan
mengungkapkan semangat dan ide pembaharuan itu sendiri. 2
1
Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, edisi digital, (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 19 2 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 25
1
2
Kedua, organisasi-organisasi kontra reformasi seperti NU, Al-Wasliyah, dan yang lain ternyata telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai pembaharuan. Ketiga, terjadinya stagnasi pemikiran secara menyeluruh yang melanda umat Islam.3 Dalam perjalanan sejarah intelektual Islam Indonesia, Nurcholish Madjid termasuk tokoh yang sering menyuarakan ide tentang rasionalisasi atau pembaharuan.4 Ciri kaum rasionalis ini adalah mengupayakan penghadiran Islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah.5 Maksudnya menghadirkan Islam dalam penalaran rasional. Islam rasional yang dibawa oleh Nurcholish Madjid dapat dilihat dari ide-ide pembaruan yang dimajukanya. Apa yang disebut gerakan pembaruan pada sebagian pemuda muslim pada masa 1970-1972 merupakan perkembangan paling radikal dalam pemikiran religio-politik Islam di masa Orde Baru Indonesia. Kandungan intelektual pembaruan merupakan suatu usaha untuk memformulasi kembali secara umum postulat-postulat Islam fundamental mengenai Tuhan,6 manusia dan alam fisik, dan cara perhubungan semua itu di dalam realitas-realitas politik. Okrisal Eka Putra, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru” dalam Jurnal Dakwah, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember, 2008, h. 190 4 Pirhat Abbas, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi” dalam Jurnal Media Akademika: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Kesilaman, Vol.22, No.4, Oktober 2007, h. 246 5 Rasionalis berasal dari bahasa Inggris yaitu rasio atau rasion yang artinya akal pikiran atau otak manusia. Dengan demikian kata rasionalis mengacu pada subjek yang menggunakan akal pikiranya dengan sebaik-baiknya. Istilah ini diperkenalkan oleh sejumlah filosof eropa terkemuka, seperti Descartes dan Immanuel Kant dan menjadi sebuah aliran dalam tradisi filsafat. Aliran rasional ini sangat mementingkan rasio dalam memutuskan segala hal. Menurut aliran ini di dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Lihat, A. Susanto, dalam Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 36 6 Imdadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 17 3
3
Definisi rasionalisasi tersebut, senada dengan penegasan yang diberikan oleh Muhammad Natsir, yang mana menurut beliau bahwa ciri-ciri rasionalisasi yang essensial ialah adanya kemampuan dan keberanian seseorang untuk melepaskan diri dari cara berpikir dan bertindak tradisionl. Seorang rasionalis berarti seorang yang berpikir tanpa prejudice (prasangka) dan tidak dogmatis dengan istilah apapun juga.7 Kebenaran dapat ditemukan melalui kerja rasio, tetapi rasio sifatnya terbatas, sehingga Tuhan perlu menurunkan petunjuk kepada manusia lewat seorang nabi yang berupa wahyu.8 Oleh karena itu Nurcholish membedakan antara rasionalisme dan rasionalitas. Rasionalisme menurutnya adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio. Seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikiranya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikiranya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran yang ditemukanya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. Maka menurut Islam sekalipun, rasio dapat menemukan kebenarankebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih
7 8
h.179
Pirhat Abbas, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi”, h. 248 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 1993),
4
tinggi dari pada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui nabi-nabi.9 Keterbatasan kemampuan rasio, dan keharusan manusia untuk menerima sesuatu yang lebih tinggi dari pada rasio dalam rangka mencari kebenaran mempunyai dasar dari ajaran Islam. Oleh karena itu Allah dalam Al-Quran, berfirman: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan sedikit saja” (QS. 17:85).10 Dan menurut ilmu pengetahuan modern, menurut Nurcholish yang mengutip perkataan Einstein: “Kesadaran bahwa seluruh pengetahuan kita tentang alam raya hanyalah semata-mata residu daripada kesan-kesan yang diselubungi oleh akalpikiran kita yang tidak sempurna, membuat mencari kenyataan itu (kebenaran) nampaknya tidak bisa diharapkan.11 Dalam salah satu bukunya: Islam, Doktrin, dan Peradaban, Nurcholish meletakkan rasio sebagai fitrah manusia. Dan sebagai manusia, dengan rasionya, ia mampu mengaktualisasikan agar amanah yang diberikan dari Tuhan kepadanya dapat terealisasikan. 12 Salah satu bentuk realisasinya adalah dengan meletakkan kerja kognitif terhadap berbagai macam aspek keduniawian, sehingga dapat mewujudkan nilainilai universal kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Penegakan nilai universal, serta penekanan pada sisi rasio pada segenap kehidupan ummat
9
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 1993),
h.181
ْ وح قُ ِل الرُّ و ُح ِم ْن أَ ْم ِر َربِّى َو َما أُوتِيتُم ِمنَ ْال ِع ْل ِم ِإال قَ ِل Ayat lengkapnya adalah: يْل َ ََويَسْأَلُون ِ ُّك َع ِن الر Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h.182 12 Nurcholish Madjid, dalam kata pengantar buku Islam: Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. xii-xiii 10 11
5
manusia ini yang memungkinkan Nurcholish untuk menolak nilai lahiriyah keagamaan yang bersifat eksklusif.13 Dalam pandangan Nurcholish: “sekalipun agama itu lebih tinggi daripada akal, namun karena ia sejalan dengan akal, atau tidak bertentangan denganya, maka hendaknya didekati dengan melalui jalan argumen yang masuk akal, metode yang kritis”.14 B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Banyak sekali masalah keislaman di Indonesia yang harus diselesaikan dengan hasil yang meyakinkan. Sejak zaman Orde Baru, dimana Nurcolish mengalami popularitas tinggi sebagai cendikiawan Muslim, ia mampu memecahkan masalah-masalah kaum muslim di Indonesia pada waktu itu yang tidak mudah dipecahkan bagi orang muslim biasa (awam), dan pemecahan masalah tersebut disertai dengan hasil yang meyakinkan. Gagasan-gagasanya mampu menembus relung terdalam pemikiran manusia terutama berkaitan dengan Islam. Begitu banyak dan rumit apabila kita mengkaji pemikiranya secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis di sini hanya akan mengidentifikasi masalahmasalah yang berkaitan dengan rasionalitas dalam ranah keislaman perspektif Nurcholish Madjid yang diungkapakan dalam beberapa pertanyaan seperti di bawah ini:
13
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xii-xiii Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Djalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaan Wacana Mulia 1998), h. 226 14
6
1.1. Apa yang dimaksud dengan Islam rasional menurut Nurcholish? 1.2. Apa
perbedaan
antara
Rasionalitas
dan
Rasionalisme
menurut
Nurcholish? 1.3.Bagaimana pemikiran rasional dalam Islam menurut Nucholish Madjid? 1.4. Bagaimana rasionalitas Nurcholish Madjid dalam wacana keislaman di Indonesia? 1.5. Bagaimana
Nurcholish
Madjid
menjelaskan
rasionalisasi
sebagai
keharusan dalam Islam? 1.6. Apa perbedaan rasionalitas dan modernitas dalam wacana keislaman Nurcholish Madjid? 1.7. Bagaimana mengharmonisasikan Islam dengan ilmu pengetahuan modern? 2. Batasan Masalah Masyarakat luas sudah banyak yang mengetahui bahwa sosok yang akrab disebut Cak Nur ini adalah sosok pendobrak dan pencetus banyak ide-ide baru. Keluasan pemikiranya banyak menginspirasi para intelektual sesudahnya. Ia adalah sosok yang berani mengubah haluan masyarakat Muslim di Indonesia dengan gagasan-gagasanya yang brilian. Dengan tawarannya rasionalisasi Islam, ia berusaha mengangkat masyarakat Muslim Indonesia, khususnya para intelektualnya untuk bangkit menuju jalan yang benar sebagaimana intelektual, yaitu melahirkan ide-ide baru, menggantikan ide-ide lama. Dari keluasan pemikiranya itu, penulis mencoba membatasi masalah yang akan dibahas di sini. Dari identifikasi masalah di atas, penulis mengambil
7
poin ke satu yaitu: Apa yang dimaksud dengan Islam rasional menurut Nurcholish Madjid? 3. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, agar penelitian skripsi ini menjadi cukup jelas, penulis mencoba merumuskan dengan beberapa pertanyaanpertanyaan yang mendasari pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) terkait rasionalitasnya dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mengingat sepak terjangnya di Indonesia cukup mengesankan dan pengaruhnya pun cukup luas. Pertanyaan-pertanyaan ini juga yang nantinya mengarahkan tujuan penelitian penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti: 1. Apa yang dimaksud pemikiran rasional dalam Islam menurut Nucholish Madjid? 2. Bagaimana Nurcholish Madjid merumuskan pemikiran rasional dalam Islam tersebut? C. Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui secara mendalam tentang dinamika keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia sejak sekitar tahun 1970-an, di mana pada tahun itu Nurcholish mengalami populeritas yang tinggi sebagai cendikiawan Muslim. Sedangkan secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengungkap makna rasionalitas yang selama ini dianggap tidak layak untuk diterapkan dalam pemikiran Islam. Tentu saja semua itu dalam satu perspektif, yaitu menurut Nurcholish Madjid, di mana dialah yang mempopulerkan istilah itu di Indonesia.
8
D. Manfaat Penelitian Terkait tujuan penelitian di atas, penulis mengira penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu bersifat akademis dan praktis: 1. Manfaat akademis A. Mengetahui lebih jelas makna dari rasionalitas B. Memahami secara lugas pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid terkait rasionalitas dalam Islam C. Paham sejarah, khususnya sejarah dinamika Islam di Indonesia 2. Manfaat praktis A. Memberikan kontribusi pemahaman rasionalitas Islam persepektif Nurcholish Madjid yang nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut. B. Secara umum diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai masalah-masalah yang menyangkut pemikiran rasional dalam Islam. E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa orang yang menulis tentang Islam Rasional, diantaranya adalah Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1989). Sejauh penulis mengkaji buku tersebut, penulis berani menyimpulkan bahwa, buku tersebut cukup padat dan jelas untuk menjelaskan masalah hubungan Islam dan Rasional bahkan dalam salah satu sub-babnya, Harun mencantumkan penjelasan Nurcholish mengenai sekularisasi dan sekularisme. Akan tetapi secara
9
spesifik buku tersebut tidak mengarah pada pemikiran Islam rasional versi Nurcholish Madjid khususnya di Indonesia. Selanjutnya ada skripsi yang di tulis oleh Jaenudin dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon dengan judul Pandangan Nurcholish Madjid Tentang Islam Modern di Indonesia (2010). Judul Skripsi tersebut jika dilihat berbeda dengan judul yang penulis ajukan, tetapi isinya mempunyai kemiripan, sebab dalam pandangan Nurcholish, berpikir rasional berarti berpikir modern begitu pula sebaliknya. Meskipun demikian, ada jurang pemisah yang membedakan skripsi saya dengan yang ditulis Jaenudin. Jika Jaenudin berfokus pada Islam Modern dengan artian modernisme Islam di Indonesia, saya secara spesifik membahas pemikiran
Nurcholish
Madjid
mengenai
epistemologi
rasional
–bukan
modernisme secara luas– dalam Islam. Selanjutnya, dalam lingkup civitas akademik Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, penulis tidak menemukan studi pemikiran yang mirip dengan judul di atas, baik yang ditulis dalam skripsi, tesis, maupun disertasi. F. Metedologi Penelitian 1. Sumber Data Untuk penelitian ini, penulis menggunakan baik data-data primer maupun sekunder. Untuk data primer, penulis mengacu pada buku-buku asli yang di tulis Nurcholish Madjid, seperti Islam, Doktrin, Dan Peradaban, dan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Sedangkan untuk data-data sekunder, penulis mengacu pada buku-buku yang terdapat kaitanya dengan pemikiran rasional dalam Islam dalam perspektif Nurcholish Madjid seperti buku-buku yang ditulis
10
Budhy Munawar-Rachman dengan judul Ensiklopedia Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban dan Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Selain itu, ada juga buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF dengan judul Api Islam Nurcholish Madjid. Buku tersebut hanya untuk lebih mempermudah penulis dalam menganalisis pemikiran Nurcholish dengan tema seperti penulis angkat. 2. Tekhnik Pengumpulan Data Untuk tekhnik pengumpulan data, penulis tidak terlalu sulit untuk mengumpulkanya, sebab, akses untuk data-data primer banyak kita temukan di perpustakaan seperti karya-karya Nurcholish Madid dengan judul Islam, Doktrin, dan Peradaban; Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan; Pintu-Pintu Menuju Tuhan; Indonesia Kita; Cita-cita Politik Islam, dan lain-lain. Begitu juga untuk data-data sekunder, penulis tidak mengalami kesulitan untuk menghimpunya. Data-data yang penulis kumpulkan tidak hanya bersumber dari buku-buku, melainkan juga dari artikel, jurnal dan majalah yang relevan dengan judul di atas. 3. Tekhnik Analisis Data Dari data-data yang penulis kumpulkan, baik primer maupun sekunder, penulis hanya mengambil bab-bab tertentu yang mempunyai kaitan dengan rasionalitas dalam Islam versi Nurcholish Madjid. Selanjutnya, penulis menganalisis kembali apa yang sebenarnya dimaksud rasionalitas Islam menurut pandanganya. Data yang terpenting bagi penulis adalah artikel yang di tulis oleh
11
Nurcholish Madjid dengan judul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan. Sudah barang tentu Nurcholish menulis tentang Islam dan rasionalitas tidak hanya dalam artikel di atas, melainkan di hampir semua buku yang ditulisnya, Sebab, pemikiran rasional baginya adalah kunci untuk membuka gerbang Islam yang tertutup oleh fundamentalisme-konservatif. Oleh karena itu penulis akan selalu mengecek dalam buku-bukunya yang tersedia seperti Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan; Islam, Doktrin, dan Peradaban; Pintu-pintu Menuju Tuhan; Khazanah Intelektual Islam; Tradisi Islam; dan lain-lain. Pengecekan tersebut dalam rangka mencari substansi dari Islam dan rasionalitas menurut Nurcholish Madjid. 4. Tekhnik Penulisan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tekhnik library research (studi kepustakaan). Teknik ini berupaya mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik primer maupun sekunder. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Deskriptif digunakan untuk mampu memahami dan memberikan pemahaman yang jelas mengenai permasalahan yang di usung dari skripsi ini. Sementara, analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga menjalur pada inti permasalahan. Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik tahun 2011/2012 Program Strata 1 (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
12
diterbitkan oleh biro administrasi dan akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddīn yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin). 5. Sistematika Penulisan Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka skripsi disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini. Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul, dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas sudah dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, tekhnik pengumpulan data, analisis data dan tekhnik penulisan data. Pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini
13
tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga, bab keempat, dan bab kelima. Bab kedua membahas sketsa biografi Nurcholish Madjid. Mengingat dalam sebuah penelitian baik dalam skripsi, tesis, maupun disertasi, apabila kita mengambil tema yang menyoroti seorang tokoh, wajib bagi sang peneliti mencantumkan biografi objek penelitianya, sebab kita bisa tahu akar pemikiranya itu akibat kita menelusuri sejarah serta semangat zaman pada masa sang tokoh tersebut hidup. Di dalam penelitian ini penulis mencantumkan biografi Nurcholish beserta perjalanan pendidikanya, karir intelektual, dan kontribusinya bagi bangsa Indonesia. Dalam bab tiga penulis membahas tinjauan umum pemikiran rasional dalam Islam. Dalam bab ini penulis mencoba menelusuri akar sejarah pemikiran rasional dalam Islam. Pertama yang harus diungkap adalah pendefinisian arti dari pemikiran rasional, dan selanjutnya bagaimana pemikiran tersebut bisa diterima dalam tubuh Islam. Dan pada akhirnya dalam bab tiga ini, penulis berfokus pada pergulatan pemikiran bangsa Indonesia khususnya seorang muslim di masa Nurcholish hidup. Dalam bab empat, penulis akan memaparkan tema inti dari penelitian skripsi ini, yaitu pemikiran rasional Nurcholish Madjid. Tema tersebut memang terdengar masih belum spesifik, oleh karena itu penulis mencoba mencari celah bagaimana menemukan inti dari pemikiran rasional Nurcholish ini terutama ketika berbicara soal cara seorang beragama dan berislam dengan benar. Di sinilah letak
14
tema besarnya yaitu tawhid, kausalitas, dan etika seorang muslim yang sangat ditekankan oleh Nurcholish menggunakan epistemoligi yang rasional. Bab kelima berisi kesimpulan dari semua pembahasan di dalam skripsi ini disertai dengan saran-saran dari penulis.
BAB II SKETSA BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Nurcholish Madjid yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Cak Nur,1 sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan ulama dan cendikiawan muslim, baik di kelompok tradisional maupun pembaharu. Beliau adalah ulama sekaligus cendikiawan yang berpengaruh besar terhadap pembaruan pemikiran Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Pada awal kelahiranya nama pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “hamba Allah” (malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah). Perubahan nama menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering menderita sakit dianggap keberatan nama, dan karena itu perlu ganti nama. Sewaktu mulai diajari ngaji oleh ibunya, dan membaca surat al-Fatihah, ia selalu meminta agar kata ‘maliki’ (yawmaiddin) dalam surat itu diloncati saja. Pemberian nama Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas asal –muasalnya, kecuali bahwa nama itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya” dan cholish berarti “murni”
1 Kata cak (lengkapnya: cacak) berarti kakak, mas, atau kang; kata ini dipakai sebagai sapaan akrab yang biasa dipergunakan di kalangan masyarakat Surabaya, Jawa Timur. Lihat, Faisal Ismail, Membongksr Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid: Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam, (Jakarta: Laswell Visitama, 2010), h. 17
15
16
atau “bersih”. Sementara itu nama belakangnya, Madjid, diambil dari nama belakang sang ayah.2 Nurcholish Madjid dilahirkan di sebuah kampung kecil di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H.3 Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia).4 Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Madrasah al-Wathoniyah yang dipimpin ayahnya dan di SR Mojoanyar, Jombang. Nurcholish Madjid melanjutkan ke sekolah tingkat pertama di kota yang sama. Sehingga Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan sekaligus. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah yang sarat dengan penggunaan kitab-kitab kuning. Kedua, pola pendidikan umum yang memadai, sekaligus berkenalan dengan model pendidikan modern. Setelah itu oleh Abdul Madjid, Nurcholish dimasukkan ke pesantren Darul Ulum, yang lebih dikenal dengan nama pesantren Rejoso, karena terletak di desa Rejoso, Kecamatan Peterongan, Jombang. Pada saat suasana politik menjelang pemilu 1955 sangat terasa di desadesa. Partai-partai kaum santri yang diwakili oleh NU dan Masyumi berusaha menarik dukungan dari kantong-kantong Islam di Jombang. NU telah keluar dari Masyumi dalam Muktamar Palembang (1952) dengan aroma konflik yang tidak
2 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 1 3 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), h. 68 4 Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, jil. 1, (Bandung: Mizan, 2006), h. liv
17
bisa ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, persaingan NU dan Masyumi di tingkat pusat merembes ke desa-desa tempat ke dua partai ini membangun basis dukungan. Ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini, sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu`allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya bahasa Arab dan Inggris.5 Studi Cak Nur di Pesantren Modern Darussalam Gontor, memberikan pengalaman yang sangat berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Cak Nur masuk pesantren ini pada tahun 1955, Pesantren ini merupakan pesantren yang cukup memberikan nuansa pemikiran reformis baginya. Ia sendiri pernah mengatakan: “Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya demikian adalah berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang. Para santri diwajibkan bercakap sehari-hari dalam bahasa Arab atau Inggris. Untuk para santri baru, mereka diperbolehkan berbahasa Indonesia selama setengah tahun mereka masuk pesantren. Tapi mereka sudah dilarang berbicara dalam bahasa daerah masing-masing. Kemudian setelah setengah tahun, mereka harus berbahasa Arab atau Inggris. Agar disiplin ini berjalan dengan baik, di kalangan para santri ada orang-orang yang disebut jâsûs, mata-mata. Tugas mereka adalah melaporkan siapa saja yang melanggar disiplin berbahasa itu. Kalau sampai tiga kali melanggar, hukumannya adalah kepala kita digundul”.6
5
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. 1, h. liv Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. 1, h. lv
6
18
Di Gontor tidak pernah ada isu pertentangan NU-Masyumi. Pilihanpilihan materi pengajaran pada kitab-kitab yang tidak monolitik merupakan salah satu alasanya. Di sini, misalnya, diajarkan kitab karya filsuf dari Spanyol, Ibn Rusyd, Bidᾱyah al-Mujtahid. Kitab fikih klasik ini berwawasan perbandingan mazhab, sehingga mendorong para santri bersikap terbuka dan berjiwa bebas.7 Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah, Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba. Belakangan terbetik kabar bahwa kala itu di Mesir sulit memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid pergi ke Mesir.8 Nurcholish melanjutkan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, di Fakultas Adab, Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam pada tahun 1961, sampai tamat Sarjana Lengkap (Drs.), pada 1968. Dan kemudian mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978-1984.9 Perjalanan pendidikan Nurcholish Madjid di Amerika ini didanai oleh Ford Foundation. Ketika itu Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya, bertujuan untuk mencari peserta program seminar dan loka karya di The University of Chicago. 7
Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 18 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 19 9 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 4
8
19
Di Chicago, Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor antara tahun 1978-1984, dengan disertasi yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation (Ibnu Taymiyyah dalam Kalam dan Filsafat: antara Akal dan Wahyu dalam Islam).10 Beliau kembali ke Indonesia dan tetap mengajar di Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam) di samping pada program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai menjadi guru besar. Di almamaternya yang merupakan perguruan tinggi Islam terkenal ini beliau sempat menjabat Dekan Fakultas Pasca Sarjana, di samping itu juga beliau mengajar di beberapa perguruan tinggi lainya.11 Karir intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), selama dua kali periode, yang dianggapnya sebagai “kecelakaan sejarah” pada 1966-1968 dan 1969- 1971.12 Pada tahun itu juga Cak Nur juga menjadi Wakil Sekretaris Umum dan pendiri International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO: Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia). Kemudian ia menjadi pemimpin umum majalah MIMBAR Jakarta (1973-1976). Bersama temantemannya mendirikan sekaligus menjadi direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu
10
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, h. 32 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 659 12 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme, h. 4 11
20
Kemasyarakatan) 1972-1976 dan seterusnya LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi) 1974-1976.13 Selama di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid juga menekuni dunia jurnalistik. Dimulai ketika ia menerjemahkan artikel berbahasa Arab tentang fiqih umat yang dikirimnya ke majalah Gema Islam, majalah Islam pimpinan Buya Hamka. Dengan bakat ini Nurcholish Madjid mendapat perhatian khusus dari Buya Hamka. Sebagai penghargaan atas kepandaian Nurcholish Madjid dalam dunia jurnalistik, Buya Hamka memberi tempat tinggal di bilik masjid al-Azhar yang dikelolanya sendiri yang bertempat di Kebayoran Baru.14 Kegiatan ilmiahnya yang menonjol diantaranya, memberikan ceramah ilmiah di berbagai tempat, mengikuti seminar, bahkan sering sebagai pemrasaran atau narasumber, baik di dalam maupun di luar negeri, mengadakan penelitian di berbagai daerah, menjadi dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Motreal Kanada (1991), pernah pula aktif sebagai staf peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Pada hari Senin, 25 Agustus 2005, di rumah sakit Pondok Indah Jakarta, Allah telah memanggilnya dalam usia 66 tahun. Bangsa Indonesia jelas telah kehilangan salah seorang tokoh multidimensi yang cerdas dan bijak. Tanpa bermaksud mencampuri rahasia Allah, Nurcholish dikenal oleh masyarakat luas sebagai tokoh yang berhati bersih "seputih kapas dan selembut awan". Ucapannya
13
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 224 14 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Glang Pres, 2002), h. 56-57
21
pun lembut, santun serta jarang melukai orang lain, kendati orang itu sedang dikritiknya. Namun, di balik kelembutan hatinya, salah satu organ tubuhnya justru sering mengalami gangguan. Dalam beberapa tahun terakhir organ hatinya mulai mengeras, dan sejumlah dokter menyebutnya terserang hepatisis. Ketika organ vitalnya itu kian mengeras, Nurcholish tak bisa menolak ketika rekan-rekannya dipelopori oleh Arifin Panigoro membawanya berobat ke Cina. Setiba di tanah air, kesehatan Nurcholish masih belum membaik. Terpaksa ia menjalani perawatan intensif di National University Hospital Singapura, sejak 19 Agustus 2004. Sempat membaik hingga beberapa bulan, ia kembali harus menjalani perawatan di RS Pondok Indah Jakarta Selatan, sejak awal Februari 2005 lalu. Itu karena organ hati yang baru dicangkokkan ke tubuhnya mengalami gangguan yang sama mengeras. Sejak awal bulan Agustus 2005 yang lalu, dia harus balik lagi ke rumah sakit yang sama, ketika penyakitnya makin parah, dan Allah pun tak ingin menambah penderitaan Nurcholish dengan cara memanggilnya agar segera bisa menghadap di sisi-Nya.15 B. Karya-karya Nurcholish Madjid tergolong cendekiawan Muslim yang banyak menghasilkan karya, baik berupa buku, makalah, dan artikel. Karya-karya Nurcholish Madjid itu tersebar dalam berbagai media cetak seperti majalah dan
15
Mohammad Masrur, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa" dalam Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006, Semarang: Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah X Jawa Tengah, h. 337
22
koran, maupun dalam bentuk buku. Dengan diterbitkannya karya-karyanya itu, maka pemikiran-pemikirannya dapat dibaca, dikaji, dan dikritisi secara utuh oleh umat Islam. Untuk memudahkan pemikiran-pemikirannya sampai ke masyarakat secara luas, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, didirikanlah Yayasan Paramadina sebagai sarana untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, baik melalui perkuliahan, seminar-seminar, maupun penerbitan buku. Di antara buku-bukunya yang cukup terkenal adalah: 1. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan Buku yang memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berusaha memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Buku ini termasuk salah satu karya Nurcholish Madjid yang laris. Ini terbukti dengan adanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya tahun 1987 sampai tahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini mendapat perhatian luas dari umat Islam, baik yang pro maupun yang kontra. 2. Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan Diterbitkan tahun 1992 merupakan buku “terlengkap” Nurcholish Madjid. Buku ini merupakan kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang diselenggarakan olehYayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Oleh karena itu, tulisan dalam buku ini memuat pembahasan-pembahasan terkait
23
dengan suatu masalah tertentu, seperti misalnya pembahasan mengenai Islam dan budaya lokal. Pendekatan topikal ini menurut Nurcholish Madjid diperlukan untuk mempertajam pemusatan pembahasan, sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Dengan tulisan-tulisan dalam buku ini diharapkan pembaca mampu memahami Islam secara lebih komprehensif. 3. Khazanah Intelektual Islam Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1984. Karya ini oleh Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh muslim klasik, seperti al-Kindi, al-Asy‘ari, al-Farabi, al-Afghani, Ibn Sīnā, al-Ghāzalī, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldun, dan Muhammad Abduh. Buku ini sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. 4. Pintu-Pintu Menuju Tuhan Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1994. karya ini merupakan kesimpulan tulisan Cak Nur pada kolom “pelita hati” yang dimuat di harian Pelita dan Tempo. Cak Nur menjelaskan dalam buku ini bahwa Islam menyediakan banyak pintu menuju Tuhan bagi umat manusia. Cak Nur berusaha menjelaskan bahwa semua aspek kehidupan manusia seperti Tauhid, Tafsir, Etika Moral, Spritual kemanusiaan, serta Sosial Politik adalah pintu menuju Tuhan. Dalam sebuah isi buku menjelaskan salah satu contoh tentang Islam agama manusia sepanjang masa, menceritakan bahwa Islam artinya pasrah sepenuhnya (kepada
24
Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah oleh karena itu semua agama yang benar disebut Islam. 5. Kaki Langit Peradaban Islam Buku ini merupakan hasil suntingan dari makalah Nurcholish Madjid yang ditulis dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun (1986-1996). Buku ini berisi tentang, pertama mengetengahkan wawasan peradaban Islam, Kedua menjelaskan sumbangan pemikiran-pemikiran para tokoh muslim antara lain : Asy-Syafii dalam bidang hukum Islam, al-Ghāzalī dalam bidang tasawuf, Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat, Ibnu Khaldun dalam bidang filsafat sejarah, dan sosial. Tentunya isi buku ini mengulas makna sejarah peradaban Islam, misalnya ketika Napoleon Bonaparte menyerbu dan mengalahkan Mesir, umat Islam seluruh dunia mengalami shock luar biasa, karena selama ini mereka berpikir bahwa tidak suatu golongan manusia pun yang lebih unggul dan sanggup mengalahkan serangan dari luar. Padahal selama berabad-abad orang-orang muslim betul-betul memahami bahwa Islam adalah unggul dan tak terungguli oleh orang lain. 6. Masyarakat Religius Buku ini mengangkat persoalan yang sangat populer dalam kehidupan sehari-hari seperti : masalah disiplin, pernikahan, dan keluarga, iman hari kemudian, muzijat dan karomah. Cak Nur menjelaskan semuanya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, akan tetapi bukan berarti substansi permasalahan di kesampingkan. Buku ini termasuk karyanya yang banyak diminati secara luas
25
oleh masyarakat isi dari pada buku ini menceritakan kehidupan keagamaan atau religiutas dan sikap-sikap hidup. 7. Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi Buku ini juga merupakan kumpulan kotbah di Paramadina, namun buku ini berbeda dari buku sebelumnya, buku ini lebih variatif tidak saja masalah keislaman, seperti contohnya, beriman kepada Allah tapi syirik sehingga di jelaskan oleh Cak Nur bagaimana pentingnya manusia selalu mengoreksi pemahaman tentang ketuhanan dengan cara memahami dengan benar konsep tauhid Islam. Akan tetapi juga masalah politik, kekuasaan dan kenegaraan serta sedikit menyinggung masalah ekonomi. C. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Indonesia Nurcholish Madjid merupakan salah satu intelektual muslim Indonesia yang memiliki beberapa corak pemikiran yang bersifat realistis. Menurut Anis Saidi (peneliti LIPI, Jakarta) ada beberapa hal yang relatif khas dan konsisten dari pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu, pertama, upaya yang kuat untuk melakukan desakralisasi atas wilayah-wilayah yang dianggap profan. Inti dari pemikiran ini untuk menghadang instrumentalisasi agama dan politik. Jargon “Islam yes, partai politik No!” sama sekali tidak memiliki konotasi atas perlunya pemisahan agama dari negara. Agama tetap ingin difungsikan sebagai pengawal (moral) dalam penyelenggaraan negara, tetapi bukan dilembagakan dalam partai politik. Kedua, yang khas dari pemikiran Nurcholish Madjid adalah kuatnya semangat keberagamaan yang mengedepankan substansi dari pada ritualitas yang lebih berorientasi pada perilaku religius dari pada perilaku syari’at, konotasi ini
26
sama sekali tidak mengandung pengertian untuk mengabaikan syari’at. Tetapi syari’at hanya dipandang sebagai instrumen untuk mencapai substansi. Ketiga pemikiran Nurcholish adalah fungsi agama sebagai pembebasan (Rahmatan lil ‘alamin) agama bukan sebagai penyekat idealisme yang menjadi sumbu perpecahan atau eksklusivitas sebuah keyakinan.16 Banyak sekali ide yang dilontarkan Nurcholish Madjid, khususnya setelah pulang dari Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa kalau kita pemimpin atau menjadi seorang pemimpin kita harus seperti lokomotif bagian dari kereta api, yang tidak ditarik oleh gerbong-gerbongnya. Lokomotif lah yang harus menarik gerbong-gerbongya, pemimpin harus menarik umat ke arah yang lebih baik.17 Adapun tema pokok dari pemikiran Nurcholish Madjid pada umumnya dilontarkan pada masalah-masalah keterbukaan, egalitarian, kebebasan, aktifisme positif, keniscayaan untuk membumikan ajaran Islam, dan keharusan untuk menyesuaikan aturan-aturan hidup dengan perubahan-perubahan sosial tanpa mengkhianati atau justru untuk menegaskan kembali pesan-pesan Islam. Kiranya tidak berlebihan jika pernyataan di atas dikaitkan dengan apa yang pernah dikatakan Dawam Raharjo, yang menyebutkan bahwa orang-orang yang berpendidikan Barat semacam Nurcholish Madjid, memperkenalkan gagasan-gagasan modernisasi Fazlur Rahman. Segala bentuk perbincangan tokohtokoh semacam Nurcholish Madjid menurut Dawam sangat membentuk citra
Anas Saidi, “Tafsir Pemikiran Nurcholis Madjid”, (Media Indonesia, 23 Maret 2005),
16
h. 25 17
Nurcholish Madjid, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesian, (Bandung: Mizan, 1993),
h. 5
27
kecendekiawaan Muslim di samping mempengaruhi alam pikiran Islam Indonesia.18 Dawam Raharjo menuturkan, tahun 1970-an Nurcholish Madjid diusianya yang relatif muda telah mengguncangkan wacana pemikiran Islam di tanah air, sebelumnya ia telah dikenal dengan Natsir Muda, yaitu prototipe pemimpin Islam yang didambakan, memiliki simbol tradisi santri yang kuat, pendidikan modern, sahih, fasih mengucapkan lafal Arab. Sarjana Muslim yang dididik dalam ilmu-ilmu keislaman, tapi dengan bacaan buku-buku umum yang cukup luas, termasuk kepustakaan asing Arab maupun Barat, dia berusaha untuk memberi “jawaban muslim” terhadap modernisasi. Akan tetapi, karena pidatonya tanggal 3 Januari 1970 yang berjudul “ Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”, gelar Natsir mudanya dicopot terutama karena ia mengajarkan “sekulerisasi” yang pemahaman kala itu termasuk salah satu bentuk “Liberalisasi” atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan yang keliru yang telah mapan.19 Nurcholish Madjid menyadari benar bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralisik baik dari segi etnis, budaya, suku, adat istiadat maupun agama. Dari segi agama, sejarah menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agamaagama besar dapat berkembang dengan subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi dan dialog antaragama menjadi sangat penting, kalau bukan sebagai keharusan. Namun kenyataan ini menurut Adian Husaini tidak selamanya menjadi inspirasi dalam penafsiran ajaran Islam 18 Dawam Raharjo, Intelaktual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 25-26. 19 Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, h. 19
28
secara liberal, khususnya teologi inklusifnya Nurcholish Madjid yang dinilainya amburadul, absurd, dekonstruktif terhadap konsep-konsep Islam.20 Meskipun tidak setiap orang itu dianggap egois sampai batas yang zalim, namun tirani vested intrest itu senantiasa menjadi penghalang bagi terjadinya proses mobilitas sosial yang lancar, khususnya dalam dimensinya yang vertikal, yaitu pergeseran dalam proses perubahan susunan kemasyarakatan dari bawah ke atas akan senantiasa terhambat oleh kalangan-kalangan yang timbul dari mereka yang memperoleh sublimasi begitu rupa sehingga pola sosial yang timbul karenanya mendapatkan pengesahan dari masyarakat sendiri dan kemudian diakuai sebagai sesuatu yang wajar. Ketika kondisi ini dibiarkan tanpa pemecahan puncaknya adalah krisis multidimensi. Sebab sekarang itu, yang menjadi halangan utama bagi para agama, yang positif dalam perubahan sosial menuju demokrasi dan pluralisme adanya prasangka-prasangka dan kecurigaan. Sebagian dari prasangka itu tidak berdiri sendiri jelas adanya yang merupakan akibat dari proses-proses dan strukturstruktur hasil bekerjanya. Perubahan sosial inilah yang menjadi stereotip tentang golongan tertentu seperti Islam yang ekstrim kanan, Kristen-Katolik yang konspiratif.21 Demikianlah sosok Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan umat Islam khususnya di Indonesaia.
20 Adian Husaini, Nurcholish Madjid; Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta : Khoirul Bayan Press, 2005), h. 117. 21 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1997) h. 137
BAB III TINJAUAN UMUM PEMIKIRAN RASIONAL DALAM ISLAM A. Pengertian Pemikiran Rasional Dalam pengertiannya, Pemikiran rasional adalah cara atau metode berpikir yang berdasarkan akal (rasio). Dalam pendekatan filosofis, akal adalah sebagai sumber utama pengetahuan, mendahulukan atau mengunggulkan dari pengamatan inderawi.1 Seperti juga dikatakan Michael Proudfoot dan A. R. Lacey dalam kamusnya The Routledge Dictionary of Philosophy bahwa, pemikiran rasional adalah pemikiran yang bersumber dari akal dan menjadi sumber pengetahuan atau pembenaran. Akal (reason) dapat dibandingkan dengan wahyu, agama, atau dengan emosi dan perasaan seperti dalam etika, namun dalam filsafat biasanya dikontraskan dengan indera atau empiris (termasuk introspeksi, tetapi bukan intuisi).2 Dalam sejarah filsafat, orang yang pertama kali mencetuskan pemikiran rasional adalah Plato3. Ia berpendapat bahwa, untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui, tetapi, jika ia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya? Plato menyatakan: bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah suatu pernyataan itu benar kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. 1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakart: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 929 Michael Proudfoot and A. R. Lacey, The Routledge Dictionary of Philosophy, (New York: Routledge, 2010), h. 338 3 Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M. dan meninggal di sana pada tahun 347 S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Atena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang pemerintahan. Tetapi perkembangan politik dimasanya tidak memberi kesempatan padanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkanya itu. Penjelasan lebih rincinya lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 87 2
29
30
Kesimpulanya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apa pun; ia hanya “teringat apa yang telah ia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indra paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam pikiran.4 Dengan demikian, pada intinya, Plato hendak memproklamirkan pemikiran atau cara berpikir rasional dan membenarkannya sebagai sumber kesejatian pengetahuan yang abadi. Dari sini tentu saja ada satu aspek metode pemikiran yang ia tolak, yaitu metode pemikiran yang bersumber dari pengalaman.5 Tokoh kedua yang memfokuskan diri pada pemikiran rasional dari zaman Yunani klasik adalah Aristoteles.6 Dari Aristoteles ini, pembahasan mengenai rasio menjadi lebih kompleks, sebab ia “menguliti” apa yang masih sangat umum dalam pemikiran Plato. Seperti masalah rasio, Aristoteles mempersepsikannya menjadi lebih nyata, ketimbang Plato yang masih sangat abstrak. Aristoteles menjadikan pemikiran rasional lebih bervariasi dan lebih kreatif dengan mencetuskan metode logika dalam cara berfikir rasional.7
4
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 131 5 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Sodiq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 720 6 Aristoteles lahir di Stageira pada semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 S.M. dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M. ia mencapai umur 63 tahun. Bapaknya yang bernama Machaon adalah seorang dokter istana pada raja Macedonia Amyntas II. Dari kecil ia mendapatkan asuhan dari bapaknya sendiri. Tatkala bapaknya meninggal, ia pergi ke Atena dan belajar pada Plato di Akedemia. Dua puluh tahun Aristoteles menjadi murid Plato dan bergaul dengan dia…lebih lanjut lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, h. 115 7 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, h. 715
31
Rasio bagi Aristoteles merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia yang membedakanya dengan makhluk-makhluk lain. Ia sendiri pernah mengatakan bahwa “manusia adalah hewan yang berfikir”. Oleh karena itu, manusia sama saja dengan hewan-hewan lain apabila dalam kehidupanya ia tidak menggunakan akal pikiranya. Dengan demikian dalam sumbangannya terhadap khazanah pemikiran rasional, Aristoteles tidak kalah pentingya meskipun secara spesifik ia tidak menghususkan pemikiranya pada hal tersebut. 8 Seiring dengan perkembangan zaman, cara berfikir rasional tersebut mengalami perkembangan yang pesat sehingga membentuk sebuah aliran yang di kalangan penggiat filsafat dikenal juga dengan aliran rasionalisme. Di zaman modern pemikiran rasional dibangkitkan kembali –setelah sekian lama dilarang oleh para pastur greja– oleh Renѐ Descartes.9 Descartes berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Dengan memberikan tekanan pada metode deduktif ini, seorang penganut rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya 8
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, h. 120 Renѐ Descartes (nama Latinya: Renatus Cartesius, 1596-1650) dijuluki bapak filsafat modern. Ia adalah seorang ahli matematika yang berkeinginan besar untuk memperoleh pengetahuan yang ia harapkan “bisa kutemukan dalam diriku sendiri atau dalam buku besar dunia”. Untuk itu, ia melakukan banyak perjalanan ke luar negri. Ia menjalani pendidikan militer di Belanda (1618) dan, sebagai tentara, pernah tinggal di Neubau (dekat kota Ulm, Jerman), tempat ia menemukan keyakinan filosofis cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada) dalam satu “pengalaman menara” (1619). Sebagai rasa syukurnya atas pengalaman itu, ia pergi ke Loreto, tempat peziarahan termasyhur di Italia, di mana –menurut hikayat lama– terdapat rumah keluarga kudus (Yesus, Maria, Yosef) yang dibawa ke sana pada abad ke-13. Ia kemudian tinggal di Paris (1625-1628) dan mulai mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan. Kemudian, ia tinggal lagi di Belanda (1628) dan di sana mendapatkan seorang putri dari kekasihnya, seorang pembantu rumah tangga (1635). Sayang, putrinya meninggal saat berusia lima tahun. Pada tahun 1649 ia pergi ke Swedia atas undangan Ratu Cristina. Namun, ia terkena radang paru-paru. Pada tanggal 11 Februari 1650 Descartes meninggal di Stockholm. Lihat Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 206 9
32
dengan kebenaran-kebenaran mengakibatkan
yang dikandung oleh premis-premis
kesimpulan-kesimpulan
tersebut.
Karena
itu
jika
yang kita
menginginkan agar kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premispremis haruslah benar secara mutlak. Demikianlah seorang pemikir rasionalisme mempunyai suatu cara untuk memperoleh kebenaran-kebenaran yang harus dikenalnya, bahkan sebelum adanya pengalaman. Bagi Descartes, kebenarankebenaran apriori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.10 Bagi Descartes, rasio merupakan sarana yang tertinggi untuk mengetahui sesuatu. Pengetahuan merupakan jalan, bukti eksistensi manusia, dan bahkan menjadi ukuran kebernilaian manusia.11 Rasionalitas Descartes sama halnya rasionalitasnya Plato, menyatakan bahwa akal ada dalam manusia, pemikiran merupakan elemen terpenting dalam sifat alami manusia, pemikiran merupakan alat satu-satunya atas kepastian pengetahuan, dan akal merupakan jalan untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik. Descartes juga menolak tradisi diskusi dan kerja sama yang merupakan tradisi Socrates. Baginya, kesatuan seluruh ilmu harus digarap dan dikonsepsikan oleh satu orang dengan satu metode. Kalau ilmu dibangun oleh banyak orang, tentu akan kacau, seperti gedung yang digarap oleh beberapa arsitek. Ini tidak berarti bahwa seluruh pandangan Descartes itu serba baru, akan tetapi koherensi yang tepat dari seluruh ilmu harus datang dari satu orang.12
10 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj, Soejono Soemargono (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1986), h.135 11 Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 44 12 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Gh.ia Indonesia 1986), h. 72
33
Slogan Descartes yang populer adalah cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada), dimana slogan ini dijadikan pedoman bagi para filosof di zaman modern. Hal itu dibuktikan bahwa dengan slogan tersebut membuat pikiran menjadi lebih pasti daripada materi, dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang lain.13 Oleh karena itu, seluruh pemikiran yang diturunkan dari Descartes cendrung pada subjektivisme dan cenderung untuk menganggap materi sebagai sesuatu yang bisa diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari apa yang diketahui pikiran. Di sini saya tidak akan membahas lebih jauh rasionalime Descartes. Dengan perkecualian ini, pemikiran modern telah banyak sekali menerima perumusan masalah-masalahnya dari Descartes, tetapi tidak menerima solusi-solusinya.14 Dari
pemaparan
di
atas
terkait
pemikiran
rasional
penulis
menyimpulkan bahwa suatu kebenaran apa pun dapat kita ketahui melalui kerja rasio bahkan sampai pada kebenaran terakhir atau Tuhan. Selagi akal manusia itu masih normal dan dapat berfungsi ia bisa mencapai kebenaran-kebenaran tersebut. Dengan kata lain, manusia dapat mencapai tuhan melalui akalnya. B. Pemikiran Rasional Dalam Islam Tradisi pemikiran rasional dalam Islam dapat dipelajari dan dilihat dalam berbagai cara. Adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal apabila tidak memandang tradisi rasional dalam Islam dengan pandangan yang luas sehingga mencakup hampir setiap hal dalam sejarah dan kebudayaan Islam. Karena, dengan 13 14
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h. 74 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, h. 740
34
sudut pandang yang luas ini, kapan saja orang-orang muslim terlibat dalam pemikiran dan ke arah mana pun jalan pemikiran yang mereka ambil, mereka harus menggunakan akal, dan dengan melakukan hal itu mereka dianggap menjadi bagian dari tradisi rasional, baik mereka mengiginkanya atau tidak.15 Dalam sejarah, tradisi pemikiran rasional di dunia Islam ini mencapai puncaknya ketika terjadi interaksi secara intensif dengan pemikiran rasional (filsafat) Yunani melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Kemajuan peradaban Islam dapat dicapai jika pemikiran umat Islam juga maju, dan pemikiran maju tersebut bertitik tolak pada pemikiran teologinya. Pandangan teologi yang dapat membawa kemajuan tersebut adalah pemikiran teologi rasional. Sebaliknya, pemikiran teologi tradisional, yang pada umumnya dianut oleh sebagian besar umat Islam dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat kemajuan umat Islam.16 Sementara itu, beberapa peneliti Barat, seperti Renan, menyatakan bahwa Islam tidak memiliki pemikiran rasional dan filsafat. Apa yang sekarang disebut filsafat Islam, menurutnya, bukanlah orisinil dari Islam itu sendiri, melainkan hanya pengulangan dari filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles (384-322 SM).17 Terlepas dari pernyataan para sarjana Barat di atas terkait pemikiran rasional dalam Islam, jika kita melihat ke belakang, Pada empat abad pertama
15
Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, terj: Fuad Jabali, Udjang Tholib, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 63 16 Abdul Halim (ed.), Teologi Islam Rasional Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 14 17 Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhajuha wa Tathbiquha, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tanpa tahun), h. 21
35
Islam, muncul dua isu dan proses politik utama yang, menurut Hugh Kennedy (Guru Besar Sejarah Timur Tengah di Universitas St. Andrews), membentuk latar belakang penting bagi perkembangan kebudayaan Islam. Isu pertama yang dihadapi masyarakat Islam, dan yang memicu perdebatan politik panas di antara mereka, adalah persoalan kepemimpinan umat. Tidak terdapat konsensus umat tentang sifat dasar kepemimpinan setelah Nabi saw.18 Isu yang kedua adalah persoalan mengenai penyebaran Islam. Setelah Rasulullah saw wafat, masyarakat Islam berkembang terus. Perkembangan besar pertama terjadi pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, terutama pada masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab. Di zaman kekhalifahannya, penyebaran Islam telah mencapai Mesir di Afrika Utara, Palestina, Suriah, dan Irak di Asia Barat. Dengan demikian, masyarakat yang dihadapi Khalifah Umar tidak lagi hanya bangsa Arab saja (homogen), melainkan terdiri dari berbagai bangsa, bahasa, dan agama: Islam, Nasrani, Yahudi, dan Majusi (heterogen).19 Seiring dengan semakin luasnya kekuasaan Islam, muncul masalahmasalah baru di bidang agama dan sosial yang dihadapi Khalifah Umar dan Khalifah-khalifah setelahnya, sebagai konsekuensi dari terjadinya interaksi dan asimilasi antara bangsa Arab Islam dan non-Arab. Dalam mengatasi masalahmasalah tersebut, Khalifah Umar dan para sahabat lainnya berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Namun acap kali tidak dijumpai ajaran yang tegas baik dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw tentang penyelesaian masalah-masalah baru tersebut. Oleh karena itu, para sahabat melakukan ijtihad dalam
18 19
Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, h. 25 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 89
36
menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dengan demikian, lahirlah ajaran-ajaran Islam yang dikembangkan dari hasil ijtihad para sahabat tersebut.20 Pada empat abad pertama sejarah Islam, ilmu-ilmu yang datang dari luar tradisi Islam, seperti: filsafat, sains, kedokteran, dan astronomi, belum banyak ditekuni oleh sebagian besar intelektual muslim, kecuali oleh sekelompok kecil saja. Ilmu-ilmu dari luar tradisi Islam tersebut dibawa ke dalam tradisi Islam melalui gerakan penerjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama pada abad ke-9 M, pada masa kekhalifahan Abbasiyah.21 Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini, ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah, terutama pada masa kekhalifahan Abbasiyah I, dan para pembesar lainnya membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama yang mecintai ilmu, juga menghormati dan memuliakan para ilmuwan, sehingga pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam menjadi berkembang pesat dan mencapai masa keemasannya. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini pula kebebasan berfikir diakui sepenuhnya. Akal benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid. Kondisi ini menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang, termasuk bidang aqidah, filsafat, ibadah, dan sebagainya.22
20
Harun Nasution, Islam Rasional, h. 90 Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, h. 36-37 22 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 51 21
37
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini pula perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pemikiran rasional mencapai puncak kejayaannya. Yang termasuk ilmu ini antara lain: filsafat, kimia, fisika, kedokteran, ilmu hitung, astronomi, dan lain-lain. Usaha penerjemahan karyakarya Yunani, Persia, atau India, mencapai puncaknya pada masa Khalifah alMakmun dengan didirikannya Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan pengembangan ilmu pengetahuan.23 Bertolak dari karya-karya yang diterjemahkan tadi, para intelektual muslim mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, serta melakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan eksperimen dan pengamatan, bahkan membantah, mengkritik dan membatalkan filsafat dan teori ilmu pengetahuan Yunani. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam telah dimulai pada masa Rasulullah saw dan Khalifah al-Rasyidin. Fokus perhatian pengembangan ilmu pengetahuan saat itu terpusat pada upaya untuk memahami al-Quran dan Hadits sebagai sumber dasar utama ajaran Islam. Selanjutnya, pada masa kekhalifahan Umawiyah dan puncaknya pada masa kekhalifahan Abbasiyah, tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam sudah mulai luas, tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga meliputi filsafat dan sains yang berasal dari luar dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya Yunani.
23
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, h. 78-79
38
Di samping itu di bidang teologi, hanya aliran Mu’tazilah saja yang memegang kendali terhadap rasionalitas. Aliran ini lahir kurang lebih pada permualaan abad pertama hijriah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam di kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Untuk mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan perbedaan pendapat, Mu’tazillah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam usaha mengkompromomikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya tidak terlalu keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu lemah sebagaimana pendapat Murjiah, tetapi bainal manzilataini, di antara dua pendapat yang berbeda. Terhadap serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam, Mu'tazilah muncul dengan pikiran-pikiran baru guna menyelamatkan Islam. Usaha itu melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam”. Ilmu ini berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam. C. Perbedaan Antara Rasio, Rasionalisme dan Rasionalitas Inti dari rasio adalah argumen-argumen bagi pandangan atau pemikiran yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, rasio oleh para filosof terutama Plato dan Aristoteles dipahami sebagai sebuah kapasitas yang memiliki kemampuan
39
membuat suatu putusan, sekaligus mengandung alasan-alasan atau dasar-dasar argumentasi bagi putusan yang telah dibuat.24 Sedangkan Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai
kesamaan
dari
segi
ideologi
dan
tujuan
dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.25 Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.26 Rasionalitas merupakan konsep normatif yang mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan alasan seseorang untuk percaya, atau tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk bertindak. Namun, istilah "rasionalitas" cenderung digunakan secara berbeda dalam berbagai disiplin ilmu,
24
Ahmad Tafsir, FilsafatUmum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 39 25 A. Susanto, Filsafat Ilmu, h. 30 26 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h.53
40
termasuk diskusi khusus ekonomi, sosiologi, psikologi, biologi evolusioner dan ilmu politik. Sebuah keputusan yang rasional adalah salah satu yang tidak hanya beralasan, tetapi juga optimal untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah. Menentukan optimal untuk perilaku rasional membutuhkan formulasi diukur dari masalah, dan membuat beberapa asumsi utama. Ketika tujuan atau masalah melibatkan membuat keputusan, faktor rasionalitas dalam berapa banyak informasi yang tersedia (misalnya lengkap atau pengetahuan yang tidak lengkap). Secara kolektif, perumusan dan latar belakang asumsi yang model di mana rasionalitas berlaku. Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika seseorang menerima model yang diuntungkan diri sendiri adalah optimal, maka rasionalitas disamakan dengan perilaku yang mementingkan diri sendiri ke titik yang egois.27 Secara kolektif, perumusan dan latar belakang asumsi model rasionalitas mana yang berlaku. Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika seseorang menerima model optimal yang menguntungkan diri mereka sendiri, maka rasionalitas disamakan dengan perilaku egois untuk titik yang egois; sedangkan jika seseorang menerima model menguntungkan optimal, maka perilaku murni egois tidak rasional. Oleh karena itu sarana untuk menegaskan rasionalitas tanpa juga menentukan asumsi dari model yang menggambarkan bagaimana latar belakang masalah dibingkai dan dirumuskan.28 Selanjutnya Rasionalitas merupakan kepercayaan pada kemampuan ilmu-ilmu alam untuk menangani berbagai permasalahan dalam masyarakat. Jadi
27 28
Wikipedia tentang Rasionalitas, https://id.wikipedia.org/wiki/Rasional Harun Nasution, Islam Rasional, h. 55
41
rasionalitas dalam pengertian Weber adalah proses meluasnya penggunaan rasional ke dalam segenap aspek kehidupan masyarakat.29 Menurut Weber, secara garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan (Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).30 Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu tindakan berorientasi pada tujuan tindakan, cara mencapainya dan akibat-akibatnya. Ciri khas rasionalitas ini adalah bersifat formal,
karena
hanya
mementingkan
tujuan
dan
tidak
mengindahkan
pertimbangan nilai. Rasionalitas nilai adalah rasionalitas yang mempertimbangkan nilainilai atau norma-norma yang membenarkan atau menyalahkan suatu penggunaan cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan. 31 Untuk kesimpulan lebih jelas lagi terkait tiga konsep diatas, lihat tabel di bawah ini. Dalam tabel tersebut, penulis sengaja menambahkan pengertian kata rasional, rasionalis, rasionalisasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Filsafat. Penambahan pengertian tersebut agar pemahaman terhadap ketiga konsep di atas yang menjadi fokus di sini, menjadi jelas.
29
Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), h.
30
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h.59 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, h. 110
107 31
42
Tabel Perbandingan Bentuk Kata
Etimologi Kamus Besar Pengertian Perspektif Bahasa Indonesia Filsafat
Rasio
Pemikiran menurut akal sehat, akal budi, nalar, menggunakan akal dengan baik, berpikir secara logis (masuk akal). Menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal.
Rasional
Tindakan yang sudah diyakini sebagai sesuatu yang sudah tepat. Tindakan yang diyakini sudah tepat secara subjektif.
Rasionalis
Orang yang menganut paham rasionalisme
Orang yang menganut paham rasionalisme.
Rasionalisasi
Proses, perbuatan menjadikan bersifat rasional; perbuatan merasionalkan (sesuatu yang mungkin semula tidak rasional)
Proses menginterpretasikan tindakan dan ucapan untuk menilai sesuatu itu rasional atau tidak.
Rasionalitas
Kerasionalan
Argumen tentang sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehingga dapat meraih kebenaran
Perspektif Nurcholish Madjid
Proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional). Orang yang menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya, karena dengan akal manusia dapat menemukan kebenaran sampai kebenaran yang terakhir. Proses berpikir dan bekerja melalui akal yang menjadi fitrah atau sunnatullah (Hukum Ilahi) guna kebahagiaan umat manusia. Penggunaan akal di dalam Islam untuk mencapai kebenaran, namun kebenarankebenaran yang diperoleh itu bersifat insani
43
Rasionalisme
Teori atau paham yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satusatunya dasar untuk memecahkan problem (kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra; paham yang lebih mengutamakan (kemampuan) akal dari pada emosi atau batin.
Aliran filsafat yang mengutamakan rasio dalam meraih kebenaran. Aliran ini pertama kali berkembang pada abad 16 di Prancis yang di populerkan oleh Rene Descartes.
atau relatif. Sedangkan kebenaran yang absolut dapat dicapai melalui wahyu (revelation). Suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum Komunis.
BAB IV NURCHOLISH MADJID DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA A. Munculnya Gerakan Islam Rasional di Indonesia Kemunculan gerakan Islam Rasional Indonesia sejatinya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan yang terjadi di negara-negara lain secara keseluruhan yang terjadi perubahan besar.1 Seperti perubahan yang terjadi di ranah global, dinamika pada konteks regional dan nasional juga memiliki pengaruh yang penting terkait dengan tumbuh dan perkembangan pemikiran Islam rasional. Apa yang terjadi di beberapa negara Asia dan Asia Tenggara secara tidak langsung memberi pengaruh gerakan perubahan. Munculnya gerakan Islam rasional di Indonesia di mulai sejak terbentuknya organisasi masyarakat yang dinamakan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang tujuannya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Dari sinilah awal mula gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang K.H. Abu Bakar bin Kitai Sulaiman, khatib di masjid Sultan di kota itu. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim yang seorang penghulu.2
1
Zuly Qodir, Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 70 2 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, terj: Deliar Noer (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 76
44
45
Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 di mana ia belajar selama setahun. Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mengunjungi kembali tanah suci di mana ia menetap selama dua tahun lamanya. Ahmad Dahlan telah menghayati cita-cita pembaharuan sekembali dari hajinya yang pertama. Tidak pasti, apakah ia sampai pada pemikiran pembaruan itu secara perorangan ataukah ia dipengaruhi oleh orang-orang lain dalam hal ini.3 Akan tetapi menurut Ulil Abshar Abdalla4 dalam ceramahnya pada acara Democracy Project, ia mengatakan bahwa, K.H Ahmad Dahlan sangat terpengaruh oleh tokoh pembaharuan Islam yang ada di Mesir yaitu Muhammad Abduh.5 Melalui majalah Almanar yang diterbitkan Abduh, dihampir sebagian belahan dunia Islam mengalami perubahan besar termasuk di Indonesia. Ahmad Dahlan sangat terpengaruh oleh gagasan Abduh tentang tajdidi movement (gerakan pembaharuan) di mana kondisi sosial umat Islam pada saat itu diliputi 3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 85 Ulil Abshar Abdalla adalah seorang cendikiawan muslim Indonesia yang masih hidup sampai sekarang. Selain itu ia juga yang mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertempat di Utan Kayu, Jakarta Pusat. 5 Muhamammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaharu Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia lahir di mesir pada 1849 M/ 226 H, pada masa pemerintahan Ali Pasya dan dibesarkan di Mah.lat Nasr.Abduh mengawali pendidikanya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang ia perleh adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an. Abduh mampu menghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu yang sangat singkat, yaitu hanya dua tahun. Setelah besar ia pergi ke Al-Azhar untuk menunut ilmu lebih dalam. Di Al-Azhar, ia dan kawan-kawanya mempunyai kesempatan berdialog dengan tokoh pembaharu Jamaluddin Al-Afghani.Dari sini lah awal mula corak pemikiran Abduh dibangun. Ketika belajar degan Al-Afghani, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, teologi, politik, dan jurnalistik. Salah satu bidang yang paling menarik perhatianya adalah teologi, terutama teologi Mu’tazilah yang dikenal sangat rasional dan liberal dalam menanggapi sesuatu. Lihat Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.116 4
46
oleh taqlid pada tradisi mazhab fiqh (tradisionalisme mazhabiyah) dan menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Di sini lah peran Muhammad Abduh sebagai pembaharu pemikiran Islam sangat penting, dan di kemudian hari gagasan-gagasanya diikuti oleh pemikir-pemikir setelahnya termasuk Ahmad Dahlan di Indonesia.6 Menurut Mujamil Qomar, pada paruh pertama abad ke-20, pemikiran Abduh ini telah berpengaruh terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang bercorak modernis seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad serta bercorak puritan seperti Persis, sehingga mengakibatkan gesekan-gesekan dengan ulama tradisional yang berbasis pesantren yang kemudian membangun saluran wadah organisasi sendiri, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang berbasis pesantren ini sejak awal berdirinya menyatakan dalam Anggaran Dasarnya, mengikuti Islam ala Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Karena itu, gesekan-gesekan tersebut makin meruncing, tidak hanya melibatkan level tokoh-tokohnya, tetapi tidak jarang juga menyeret para pengikutnya dalam bentuk perdebatan.7 Pada 1936, perdebatan semakin parah. Sebagai contoh perdebatan antara ulama yang diwakili tokoh-tokoh Persis dan Al-Irsyad melawan ulama tradisional dari Nahdlatul Ulama. Bahkan pada bagian lain hubungan antar Muhammadiyah dan NU kadang-kadang ditandai oleh sikap saling curiga dan pada masa tertentu tampaknya seperti ingin meniadakan. Masing-masing ingin tampil sebagai kekuatan Islam yang paling sah dengan paradigm keislamanya
6 Ulil Abshar Abdalla Tentang Muhammad Abduh, Democracy Project, https://www.youtube.com/watch?v=96ZFsS0dWdU 7 Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia?: Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah Dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012), h. 42
47
sendiri.8 Gerakan Islam sendiri pada dekade 1930-an cenderung mengalami dinamika semata-mata atas dasar politik aliran. Basis sosial Islam ketika itu nyaris terpolarisasi pada dua tren aliran, yaitu aliran tradisionalis yang diwakili NU dan aliran modernis yang diwakili Muhammadiyah.9 Hampir semua organisasi Islam tersebut mengklaim dirinya sebagai Ahl Al-Sunnah, baik secara legal formal yang dinyatakan oleh institusinya, keputusanya, maupun pengakuan tokohnya. Hal ini menunjukan bahwa secara teologis, paham keagamaan mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah Ahl Al-Sunnah. Tetapi, mereka berbeda-beda dalam memaknai, menafsirkan, dan menerjemahkan Ahl Al-Sunnah itu dalam konteks aplikasi kehidupan keagamaan mereka sehari-hari. Tidak jarang terjadi pertentangan di antara mereka dalam persoalan
yang
kecil-kecil
atau
furûiyah
akibat
khilᾱfiyah
(perbedaan
pandangan).10 Dari perdebatan organisasi-organisasi masyarakat di atas dapat kita simpulkan bahwa, dalam pandangan, ideologi, visi dan misi, mereka semua sama. Menggenggam teguh aqidah Islam, menjunjung tinggi Islam, dan memajukan Islam. Semua itu terwadahkan dalam satu aqidah, yaitu Ahl Al-Sunnah wa AlJama’ah. Selanjutnya, yang jadi permasalahan adalah cara penafsiran-nya yang berbeda-beda. Yang dapat kita soroti di sini adalah gaya penafsiran organisasi
8
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 80 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 86 10 Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia, h. 43 9
48
Muhammadiyah yang lebih bersifat modernis dan reformis mengikuti alur pikirnya Muhammad Abduh yang lebih rasionalis.11 Terlepas dari perdebatan ormas-ormas di atas, pada 1970-an terdapat gelombang baru yang sengaja diciptakan. Harun Nasutuion mengenalkan dan mempopulerkan gagasan teologi rasional ala Mu’tazilah di
Indonesia.
Semangatnya mengenalkan teologi ini menyebabkan Nasution sering disebut sebagai neo-Mu’tazilah. Popularisasi pemikiran Mu’tazilah ini mendapatkan penolakan yang sangat keras dari kalangan umat Islam pengikut Ahl Al-Sunnah, terutama dari kalangan ulama tradisional atau ulama konservatif yang berbasis pesantren. Tetapi, tidak demikian dengan dosen maupun mahasiswa UIN.12 Pemikiran-pemikiran
Mu’tazilah
yang
disosialisasikan
Nasution
untuk
membangkitkan semangat umat Islam Indonesia dapat diterima oleh dosen maupun mahasiswa UIN. Dosen-dosen yang berpengaruh, banyak sekali mendapatkan pengaruh dari pemikiran Mu’tazilah Harun Nasution.13 Dalam mengamati kondisi sosial masyarakat Islam di zaman itu, Harun menegaskan bahwa: “yang membuat Islam itu maju adalah para pemimpin yang pemikir, yaitu para intelektual. Setiap negara atau masyarakat yang maju adalah lebih disebabkan oleh kaum intelektual, bukan golongan awam. Golongan intelektual di Indonesia belum terlihat dengan jelas yang menjadi juru dakwah, maka mereka ini yang harus dimasukkan jiwa Islam, kalau mereka sudah tertanam
11
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 44 12 Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 57 13 Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia, h. 44
49
jiwa Islam dengan benar dan baik, maka perkembangan Islam akan lebih baik dan maju.14 Lahirnya gagasan Islam rasional sebenarnya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: keyakinan perlunya sebuah filsafat dialektik; keyakinan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; perlunya membuka kembali pintu ijtihad; penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; perlunya pembaharuan pendidikan, dan pentingnya menaruh simpati pada hak-hak perempuan dalam Islam.15 B. Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid Setelah melalui pergulatan panjang selama satu dasawarsa, sejak tahun 1980-an, pemikiran dan aksi Islam Indonesia tampak sekali mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan signifikan ini sekurang-kurangnya ditandai dengan tiga hal. Pertama, format pemikiran Islam era 1990-an jauh berbeda dengan corak pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pergulatan pemikiran Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupakan kelanjutan dari corak pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang muncul di pentas nasional. Salah satu dari tokoh-tokoh tersebut adalah Nurcholish Madjid yang akan kita bahas pada bab ini.16 Tahun 1990-an merupakan era di mana rezim Soeharto telah mulai menampakan tanda-tanda penerimaanya terhadap Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga yang merepresentasikan Nurhadi, “Harun Nasution: Islam Rasional Dalam Gagasan dan Pemikiran”, dalam Jurnal Edukasi, Volume 01, No, 01, Juni 2013, h. 48 15 Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 95 16 Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 87 14
50
Islam seperti ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), BMI (Bank Muamalat Indonesia), dan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Kedua, perubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran Islam pada era ini sejatinya mempunyai kecendrungan menjembatani ketegangan konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide politik dan kenegaraan yang muncul dari pengalaman dan trauma politik tahun 1970 dan 1980-an di bawah rezim Orde Baru.17 Ketiga, pada tahun 1990-an telah muncul generasi baru pemikiran Islam Indonesia, dengan nuansa yang lebih terbuka dan memunculkan apa yang bisa disebut mazhab baru pemikiran Islam Indonesia, yakni mazhab liberal Islam. Era 1990-an bisa disebut juga sebagai era “bulan madu” Islam dengan negara, sebab pada tahun ini negara benar-benar menengok Islam sebagai sesuatu yang amat penting.18 Perubahan-perubahan di atas, sejatinya bukan berubah secara alamiah melainkan ada yang memotorinya, yaitu para tokoh intelektual Muslim, dimana salah satunya adalah
Nurcholish Madjid yang pemikiran-pemikiranya sangat
tajam sehingga tidak sedikit orang yang menganggapnya kontroversial. Salah satu gagasanya yang brilian adalah tentang rasionalisasi Islam. Bagi Nurcholish, sifat rasional itu bertujuan untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja maksimal untuk kebahagiaan umat manusia. Tujuan itu bisa dicapai dengan terus
17
Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 87 Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 88
18
51
menerus mengusahakan segala perbaikan, baik pribadi maupun masyarakat, yang semuanya dilakukan dengan semangat the ultimate truth, yakni Allah sendiri.19 Selanjutnya Nurcholish sangat berhati-hati dan membedakan antara rasionalisme dan rasionalitas Islam. Menurutnya, rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis dan juga mayoritas masyarakat di Barat.20 Maka, seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. Karenanya, menurut Islam sekalipun rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, yakni kebenaran-kebenaran yang relatif, namun kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui nabi-nabi.21
19
Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 94 Menurut Nurcholish Madjid, komunisme adalah bentuk yang paling tinggi dari sekularisme–Sekularisme itu sendiri adalah suatu paham dari Barat yang menekankan kemerdekaan individu di dunia tanpa ada intervensi dari Tuhan–sebeb, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam komunismelah seseorang menjadi ateis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajaranya pada prinsip persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu, sehingga tinggal semboyan semata. Malahan yang terjadi ialah adanya supermasi mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya. Diktator proletar, pada hakikatnya, ialah diktator pemimpin-pemimpin dan penguasa-penguasa. Lihat, Nurcholish Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 189 21 Nurcholish Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 181 20
52
Penyataan di atas didukung juga oleh firman Tuhan yang berbunyi: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan sedikit saja (Qs, 17: 85).22 Selanjutnya Cak Nur mengemukakan pekataan Einstein
yang
merupakan sang jenius abad 20 bahwa: “Kesadaran bahwa seluruh pengetahuan kita tentang alam raya hanyalah semata-mata residu dari kesan-kesan yang diselubungi oleh akal pikiran kita yang tidak sempurna, membuat mencari kenyataan itu (kebenaran) tampaknya tidak bisa diharapkan.” Agaknya, karena kesadaran akan keterbatasan akal pikiran inilah, Einstein memasuki alam keinsafan keagamaan yang sangat mendalam. Maksud sikap rasional itu sendiri ialah memperoleh dayaguna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena manusia –karena keterbatasan kemampuanya– tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi rasional adalah juga berarti progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di sisi lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan
warisan
generasi
sebelumnya
yang
mengandung
nilai
kebenaran.23
Ayat lengkapnya adalah: ُوح قُ ِل ال ُر ُح ِم ْن أَ ْم ِر َربِّي َو َما أُوتِيتُ ْم ِمنَ ال ِع ْل ِم إِالَّ قَلِيْال َ ََويَ ْسئَلُون ِ ك َع ِن الر Nurcholish Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 173-174
22 23
53
Islam memiliki dasar-dasar yang jelas tentang kesiapanya untuk menjadi modern dan rasional. Hal ini dibuktikan bahwa sejak awal Islam telah mampu menyerap peradaban umat manusia dan sekaligus mempertahankan keteguhan iman untuk menolak mana yang tidak baik. Sumber-sumber universalisme maupun kosmopolitanisme ajaran Islam termuat dalam makna Islam yang berarti sikap pasrah ke hadirat Tuhan, yang sebenarnya merupakan agama manusia sepanjang masa. Dengan makna itu, Islam merupakan makna kesatuan kenabian dan kesatuan kemanusiaan yang muncul dari konsep kesatuan ke-Maha Esaan Tuhan. Dengan konsep inilah Islam sejalan dengan hakikat humanitas yang berdasarkan semangat alhanafiyah as-samhah: semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa fanatik, dan tidak membelenggu jiwa.24 Selanjutnya Cak Nur meruntut tahapan epistemologi manusia dalam mencapai kebenaran yang final. Menurutnya, manusia untuk kehidupanya yang bahagia, ia harus melalui empat tahap epistemologis berturut-turut. Pertama, tahap naluriah, dengannya seorang manusia yang baru lahir ke dunia, hidup. Kedua, tahap panca indra atau indra umumnya, yang akan menyempurnakan bekerjanya naluri, malahan memang bekerja atas dasar bekerjanya naluri pula. Tetapi, indra pun belum cukup, sebab indra masih terlalu banyak membuat kesalahan. Maka dilengkapilah dengan tahap ketiga, yaitu akal pikiran, yang memberikan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh indra, dan bekerja atas dasar bekerjanya indra pula. Akal pikiran atau rasio ini pun mempunyai kemampuan yang terbatas, seperti diakui oleh Einstein, seorang
24
Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 95
54
ilmuwan (rasional) terbesar abad sekarang. Padahal, demi kebahagiaan sejati, manusia harus sampai kepada kebenaran terakhir. Oleh karena itu, Tuhan pun memberikan pengajaran kepada manusia tentang kebenaran terakhir (ultimate truth) itu melalui nabi-nabi dan rasul-rasul yang dipilih di antara manusia. Pengajaran Tuhan itu –dan juga termasuk dalam tahap epistemologis yang keempat‒ yaitu dinamakan wahyu (revelation). Wahyu penghabisan Tuhan ialah Al-Quran, kitab suci Agama Islam. Maka Islam mengklaim dirinya sebagai kebenaran terakhir. Empat tahap jalan hidup manusia itu adalah seperti jenjang anak tangga: naluri, indra, rasio, dan wahyu (agama). Sekalipun menunjukan urutan yang semakin tinggi nilainya, namun tidak boleh ada yang bertentangan dengan akal (rasio), sekalipun lebih tinggi daripada rasio.25 Pernyataan-pernyataan Nurcholish di atas mempunyai kemiripan — dengan tidak bermaksud menyamakan atau membandingkan— dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seorang filsuf berkebangsaan Iran, yaitu Murtadha Muthahhari yang mengatakan bahwa, dalam perkembangan pengetahuan, manusia akan mengalami tiga tahap pengetahuan. Pertama adalah indra, namun indra adalah untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh pengetahuan dari alam materi. Dan kedua berbagai argumen logika, argumen yang rasional — yang dalam ilmu logika disebut qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi)— yang ini adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat tersebut dapat diberlakukan, saat kita meyakininya sebagai suatu sumber pengetahuan. Mereka yang membatasi sumber pengatahuan itu pada alam materi saja, dan membatasi instrumen pengetahuan hanya indra, tentunya mereka menolak rasio
25
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h.182
55
sebagai sumber pengetahuan, dan jelas mereka juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi (burhan). Selama kita tidak mengakui rasio sebagai sumber pengetahuan, maka kita pun tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan demonstrasi. Yakni kita tidak dapat mengakuinya
sebagai suatu alat
pengetahuan.26 Sampailah kita kepada sumber yang terakhir atau yang ketiga yaitu qalb (hati) atau nafs (jiwa) manusia. Menurut Muthahhari, Kita mesti meyakini bahwa alat untuk sumber pengetahuan yang ketiga ini, adalah penyucian hati atau jiwa (tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat mengambil manfaat sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati” (tazkiyah an-nafs).27 Dengan demikian, baik Murtadha Muthahhari maupun Nurcholish Madjid, ke duanya sangat mengutamakan pengetahuan yang bersumberkan wahyu sebagai kebenaran yang final. Meskipun demikian bukan berarti mereka menafikan sumber yang lain, melainkan keseluruhanya saling bertautan dan saling melengkapi. Dengan demikian runtuhlah semua anggapan bahwa kebenaran terakhir yang terkandung dalam Islam bisa dicapai melalui akal pikiran. Ada sedikit perbedaan dari argument Muthahhari ini dengan Nurcholish. Nurcholish membagi dalam empat kategori tahapan ilmu pengetahuan bagi manusia, yaitu naluri, panca indra, rasio (akal pikiran), dan wahyu yang dengan alat pencapaianya yaitu qalb (hati). Pencapaian ini menuju kebenaran terakhir atau
26
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epitemologi Islam, terj: Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. 62 27 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epitemologi Islam, h. 78-79
56
Tuhan. Sedangkan Muthahhari membaginya hanya dalam tiga kategori, yaitu panca indra, rasio atau logika, qalb (hati). C. Karakter Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid Tradisi rasional dalam Islam ini dimulai sejak bermunculanya para pemikir atau filsuf Muslim pada masa dinasti Abbasiah. Bagi para filsuf Muslim ini, rasionalitas adalah pembeda hakiki (alfashl al-dzâtî, differensia essensial) bagi manusia dari makhluk hidup lainnya. Karena itu, terkenal sekali definisi mereka tentang manusia sebagai “hewan rasional” (hayawân nâthiq). Bagi mereka ini, rasio adalah anugerah Allah: sesuatu yang paling berharga bagi manusia. Rasiolah yang memberi kemampuan kepada Adam (manusia) untuk mengenali dunia sekelilingnya. Atas dasar kemampuan itu manusia dipilih Tuhan sebagai Khalifah-Nya di bumi, dan protes malaikat ditolak meskipun mereka ini senantiasa bertasbih memuji Allah dan mengkuduskan-Nya (Qs, 25: 44).28 Para failasuf Muslim juga memandang fundamental berbagai firman Allah yang mengaitkan iman dengan akal-pikiran, dan kekafiran dengan kebodohan dan ketidak mampuan menggunakan akal-pikiran. Bahkan terdapat ilustrasi bahwa kaum kafir itu, seperti raja kaya, malah lebih sesat lagi (Q., 2:3034).29 Oleh karena itu, sangat wajar bahwa kebangkitan bangsa-bangsa Eropa untuk memasuki Zaman Renaisans kemudian ke Zaman Modern terjadi setelah mengalami kontak dengan dunia pikiran Islam.30
َ َ َ ُ َ َ َ َ ض ُّل س َِب يل َ ََام َب ْل ُه ْم أ ِ أ ْم َتحْ سَ بُ أنَّ أ ْكثرَ ُه ْم َيسْ َمعُونَ أ ْو َيعْ ِقلونَ إِنْ إِال َكاألنع ُ ض َخلِيفَةً قَالُوآ أَتَجْ َع ُل فِيهَا َم ْن يُ ْف ِس ُد فِ ْيهَا َويَ ْف ِس ُ ُ ِِّّك ال ِّد َمآ َء َونَْحْ نُ نُ َس َ ُّال َرب َ ََوإِ ْذ ق ِ ْك لِل َمإلكة ِإنِّى َجا ِع ٌل فِى األَر . َيس أَبَى َوا ْستَ ْكَِّ َر َو َكانَ ِمنَ ْالكَافِ ِريْن َ بِ َْح ْم ِد َ ِ َوإِ ْذ قُ ْلنَا لِل َملئك ِة اس ُجدُوا ِألَ َد َم فَ َس َجدُوآ إِ ََّّل إِ ْبل# َ قَا َل إِنِّى أَ ْعلَ ُم ما الَ تَ ْعلَ ُمون.ك َونُقَدِّسُ لَك 30 Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madji, jil. IV, h. 2842 28 29
57
Dalam hal ini, Ibn Rusyd dan filsafatnya (“Averroisme”) adalah yang paling jauh penetrasi dan pengaruhnya ke dalam dunia pemikiran Barat. Mengenai tokoh ini, penting sekali kita melihat betapa ia adalah seorang yang sangat percaya kepada rasionalitas, namun tetap seorang agamawan yang saleh, bahkan seorang yang sangat ahli dalam fiqih seperti dicerminkan dalam kitabnya yang sangat masyhur, Bidâyat Al-Mujtahid wa Nihâyat Al-Muqtashid. Ibn Rusyd dan para failasuf Islam lainnya seperti Al-Kindi, AlFarabi, Ibn Sina, dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh pemikir yang mempersonifikasikan rasionalitas dan religiusitas sekaligus, tanpa pemisahan antara keduanya. Oleh karena itu, mereka juga dapat dipandang sebagai bukti tentang adanya kesatuan organik dalam sistem ajaran Islam antara religiusitas dan rasionalitas. Dengan kata-kata lain, rasionalitas adalah sui generis dari Islam, artinya hasil yang secara sejati berasal dari ajaran Islam sendiri, bukan sesuatu yang ditambahkan atau didapatkan dari luar. Inilah yang menyebabkan kaum Muslim klasik (salaf) menunjukkan sikap-sikap spontan terhadap ilmu pengetahuan ketika mereka menemukannya di kawasan-kawasan yang mereka bebaskan seperti Syria, Mesir, Persia, India, dan lain-lain. Karena itu pula, mereka (kaum Muslim) adalah yang pertama di antara umat manusia yang menginternasionalkan ilmu pengetahuan dan menyudahi watak pseudorasional parokialisme dalam ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Ibn Rusyd bukan hanya memengaruhi cara berpikir orang-orang Barat, tapi juga membangkitkan revolusi pemikiran yang keras dan gaduh, disebabkan oleh rasionalitasnya yang mengandung makna menentang
58
dogmatika gereja Kristen saat itu. Akibatnya, setiap orang Eropa (Kristen) yang menunjukkan etos ilmiah yang tinggi dengan rasionalitas yang tampak jelas akan dituduh telah terpengaruh oleh agama Islam dan oleh Ibn Rusyd.31 Karena itu, di Eropa, setiap kali muncul seorang yang kreatif dalam pemikiran keilmuan dan kefilsafatan tentu memusuhi agama yang ada di sana dan menjadi sasaran pengejaran dan penyiksaan oleh gereja, yang terkenal dengan Inkuisisi. Namun kita ketahui bahwa “perang tanding” antara ilmu pengetahuan dan agama di Barat (yang Kristen) itu akhirnya dimenangkan oleh ilmu pengetahuan. Itulah garis besar keadaan yang kini dapat kita saksikan sendiri di sana, meskipun sisa-sisa “perang tanding” itu masih berlangsung, seperti pertentangan antara “Creatioinism” lawan “Evolutionism”, dan lain-lain. Timbulnya fundamentalisme Kristen di Barat, khususnya di Amerika sekarang ini, dapat dipandang sebagai kelanjutan “perang tanding” antara ilmu dan teologi Kristen, antara rasionalitas dan dogma. Meskipun fundamentalisme menghasilkan suara yang gemuruh, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menang atas ilmu.32 Hal ini menunjukan bahwa, dalam kesejarahan Islam klasik para bangsa Muslim Arab –khususnya para failasuf– karena sifat reijiusitas mereka yang tinggi, pemikiran spekulatif kefalsafahan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu, bagi mereka, telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh falsafah. Yang paling penting dari kontribusi ilmu
31
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. IV, h. 2843 Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. IV, h. 2844
32
59
pengetahuan orang-orang Muslim dulu adalah –juga yang menjadi landasan sains modern– matematika dan kimia.33 Tidak adanya orisinalitas yang mengesankan pada pemikiranya kefilsafatan Islam klasik kiranya tidak perlu mengherankan. Sebabnya, para failsafuf klasik Islam, betapa pun luas pengembaraan intelektualnya, adalah orang-orang yang relijius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa nuktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun, berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa skolastik, Renaissance dan Modern, yang umumnya menolak atau meragukan agama, para failasuf muslim klasik itu berfalsafah karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama.34 Seperti yang dikatakan R.T. Wallis, seorang ahli dalam bidang falsafah Islam, bahwa “para failasuf Arab, meski dalam cara yang agak berbeda, semuanya orang-orang relijius yang ikhlas, sekalipun paham keagamaan mereka tidaklah sepenuhnya sejalan dengan ortodoksi Islam”.35 D. Rasionalitas Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern Telah disebutkan di atas bahwa, peradaban Islam, agaknya memang lebih kreatif dan orisinal dalam pengembangan ilmu pengetahuan (science), bukan falsafah yang spekulatif dan teoretis. Hal-hal yang bersifat kefalsafahan, yang mebentuk pandangan dunia dan hidup menyeluruh, sesungguhnya telah disediakan oleh pokok-pokok ajaran Islam sendiri dalam al-Qur’an. Karena itu 33
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), h.
132 34
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 133 R.T. Wallis, Neoplatonism (London: Gerald Duckworth & Company, 1972), h. 164
35
60
dalam sains-lah peradaban Islam memiliki keunggulan pasti dan amat mengesankan atas yang lain, termasuk atas peradaban Yunani. Tidak ada pertentangan dalam tubuh Islam mengenai sains dan agama malahan sains itu sangat didukung oleh agama demi mengoptimalkan sifat rasionalitas dalam manusia. Seperti yang dikatakan Oliver Leaman bahwa: Tujuan utama sains Islam adalah menegaskan bahwa Islam ataupun sains alam samasama bersandar pada sikap tertentu tentang rasionalitas. Jenis rasionalitas yang digunakan oleh sains melibatkan kepercayaan yang sama dengan yang ada pada agama. Karena itu, sains tidak lebih meyakinkan daripada agama. Keduanya sama-sama melibatkan keyakinan tertentu pada serangkaian asas yang tak berdalil. Orang bisa mengatakan bahwa sains tampaknya berhasil, tetapi demikian pula halnya dengan agama.36 Keunggulan utama gagasan sains Islam adalah wataknya yang permisif sehubungan dengan metodelogi. Artinya, ia memperluas konsep pengetahuan mencakup berbagai pengetahuan. Akibatnya, pada saat bersamaan, ia bisa melahirkan ragam sains yang lebih kaya. Islam membenarkan banyak jalan untuk mengetahui sesuatu secara sahih. Sekalipun demikian, sebagianya boleh jadi terasa sangat personal dan subjektif. Hal ini tidak lain adalah hasil dari pengetahuan Islam yang sedang berkembang pada waktu itu.37 Peradaban Islam adalah yang pertama menginternasionalisasikan ilmu pengetahuan. Internasionalisasi itu terjadi dalam dua bentuk: pertama, sesuai
36
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 64-65 37 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, h. 65
61
dengan kedudukan dan tugas suci mereka sebagai “umat penengah” dan “saksi atas manusia”, orang-orang Muslim klasik menyatukan dan mengembangkan semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia dari hampir seluruh muka bumi; kedua, sejalan dengan keyakinan bahwa ajaran agama mereka harus membawa kebaikan seluruh umat manusia sebagai “rahmat untuk sekalian alam”, ilmu pengetahuan yang telah mereka satukan dan kembangkan itu mereka sebarkan kepada seluruh umat manusia tanpa parokialisme dan fanatisme. Maka dunia dan umat manusia mewarisi dari orang-orang muslim berbagai dasar dan cabang ilmu pengetahuan.38 Pengaruh ilmu pengetahuan dan sains Islam itu kepada ilmu pengetahuan modern sama sekali tidak dapat diremehkan. Pengaruh itu meliputi hampir bidang kajian, yang sampai saat ini sebagian dari padanya secara permanen terbakukan dalam istilah-istilah Arab yang masuk ke dalam Bahasabahasa Barat, seperti Bahasa Inggris yang menunjukan lingkup kehidupan yang luas. Pervez Hoodbhoy, seorang ahli dalam sejarah Islam klasik, menuturkan dalam bukunya “Islam dan Sains” bahwa: Pada masa kekpemerintahan Harun alRasyd dan al-Ma’mun, sains tidak merupakan sekedar kesenangan bagi pangeranpangeran tercerahkan atau bahan polemik di kalangan cendikiawan. Alih-alih, ia telah menjadi sarana yang denganya seluruh peradaban ummat manusia tertransformasi secara tak-terbalikkan. Kekuatan militer, kekuatan politis dan
38
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 138
62
kesejahteraan ekonomis menjadi tergantung pada kemampuan bangsa-bangsa modern memahami, mengontrol dan menciptakan sains.39 Secara historis, peradaban Islam telah membayar mahal atas kegagalanya melanjutkan peradaban saintisnya. Tak pelak, kegagalan ini dapat menjelaskan kemunduran peradaban Islam dan meningkatnya Barat selama ratusan tahun. Pada abad pertengahan, hubungan Islam dan Barat berbeda secara kualitatif. Ada masa-masa yang penuh dengan kolaborasi yang akrab dan kaya hasil, dan masa-masa yang penuh dengan kekerasan dan konfrontasi. Tujuh abad kekuasaan Muslim di Spanyol memberi bangsa-bangsa Eropa, antara lain, akses ke arah harta tersimpan ilmu pengetahuan Yunani dan Islam. Sebaliknya, konfrontasi yang berkepanjangan dan pahit selama Perang Salib, dan selanjutnya dominasi dinasti Utsmani atas semenanjung Balkan, meninggalkan –untuk ke dua belah pihak– prasangka dan kerisihan. Prasaan bermusuhan ini meyebabkan perbedaan-perbedaan antara kedua peradaban menjadi luar biasa besar.40 Meski demikian pengaruh pengetahuan dan sains Islam terhadapa peradaban Barat sangat besar sekali. Selanjutnya menurut Osman Bakar, yang menjadi masalah dalam sains itu adalah dalam hal metodologi-nya ketika dihadapkan dengan agama, sebab, pada kenyataanya, terdapat perbedaaan-perbedaan fundamental antara konsepsi metodologi sains dalam Islam, atau dalam semua peradaban tradisional lainya.
39
Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, ter: Luqman (Bandung: Pustaka, 1997), h.2 40 Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains, h. 3
63
Namun, dalam kebiasaan cara berpikir kita, kita telah menerima pula sebuah gagasan yang lain. Telah lama kita tidak lagi mempersoalkan pendapat yang mengatakan bahwa sains modern diciptakan dengan menggunakan satu metodologi saja, yang termasyhur dengan sebutan Metode Ilmiah. Gagasan bahwa hanya satu jenis sains tentang alam yang mungkin ada, yakni melalui penggunaan Metode Ilmiah, sangat mempengaruhi seluruh cara pandang kita mengenai sains-sains pra-modern, termasuk sains Islam. Tingkat penerapan Metode Ilmiah menjadi alat ukur universal bagi masyarakat ilmiah dalam menentukan drajat kreativitas ilmiah dan “kemurnian” pemikiran pramodern.41 Dengan pengecualian yang amat sedikit, tanggapan orang Islam terhadap keyakinan modern tentang metodologi ilmiah di atas pada umumnya adalah dengan berupaya untuk memperlihatkan bahwa peradaban Islam telah mendahului Barat modern dalam hal penerapan Metode Ilmiah, diperaktikan secara luas dalam sains Islam kini merupakan fakta yang telah diakui di halamanhalaman sejarah sains. Tetapi kita juga mengetahui bahwa hal ini tidak berarti metode tersebut adalah satu-satunya metode yang digunakan para ilmuawan Muslim dalam menciptakan elemen sains Islam itu, yang sangat sesuai dengan makna term ‘sains’ saat ini. Sangat menarik ketika kita melihat bahwa para orang-orang Muslim klasik itu tidak menggunakan satu metode pun dalam sains itu yang mengenyampingakan metode-metode lainya. Sebaliknya, sains Islam senantiasa 41
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 23
64
berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuwan Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains, telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasionalisasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi. Bahkan dalam sains modern sendiri, gagasan bahwa hanya satu metodologi saja yang bertanggung jawab atas terciptanya sains itu telah disingkirkan oleh sejumlah besar karya tentang metodologi sains, yang terbit selama dekade terakhir ini. Sebaliknya, gagasan tentang kemajmukan metodologi kini telah mendapat pengakuan umum di kalangan sejarahwan dan saintis kontemporer. Sebagian mereka telah memperluasnya hingga bahkan menerima Kitab Suci sebagai komponen yang tak dapat dipisahkan dari pluralitas metodologi ini. 42 Metodologi sains dalam Islam didasarkan pada sebuah epistemologi yang secara fundamental berbeda dari epistemologi yang dominan dalam sains modern, yang sejauh ini tetap tidak terpengaruh oleh perkembangan intelektual yang baru ini meskipun semakin banyak jumlah ilmuan, sejarahwan, dan saintis yang berbicara tentang perlunya paradigma epistemologi baru yang dapat memberikan pandangan yang koheren tentang dunia yang disingkapkan oleh sains modern. Lebih dari pada itu, Cak Nur berpandangan bahwa, jika sains mengikuti metodenya sendiri dengan lebih terbuka dan tidak apriori membatasi kenyataan
42
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, h. 25
65
hanya kepada yang tampak mata saja, maka barangkali ia akan mampu ikut membimbing manusia ke arah menginsafi alam ruhani secara lebih mendalam, suatu alam yang sesungguhnya menguasai seluruh yang ada. Sebagai “berita” dari Yang Mahakuasa, Al-Quran pun memberi petunjuk tentang adanya dimensi keruhanian dalam benda-benda, baik yang bernyawa maupun tidak: 43 Langit yang tujuh dan bumi, juga penghuninya semua bertasbih kepadaNya (Allah), dan tidak ada sesuatu apa pun kecuali tentu bertasbih memuji-Nya, namun kamu sekalian (wahai manusia) tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Allah lah yang maha bijaksana nan pengampun (Q., 17: 44).44 Tidak ada binatang yang melata di bumi ataupun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat umat seperti kamu (wahai manusia)! (Q., 6: 38).45 Jadi, agaknya ada harapan kepada ilmu pengetahuan untuk dapat membantu membawa manusia kepada tingkat kehidupan yang lebih tinggi—dan tidak terbatas hanya kepada kehidupan material seperti yang sekarang ada. Harapan itu tumbuh karena adanya kebenaran dasar dalam seruan agama tersebut di atas, yaitu seruan untuk memerhatikan secara mendalam hakikat alam dan lingkungan. Apalagi Al-Quran sendiri memberi antisipasi, bahwa Allah akan memperlihatkan kepada manusia berbagai pertanda atau ayat-Nya, baik dalam seluruh cakrawala (jagat besar) maupun dalam diri manusia sendiri (jagat kecil) sehingga mereka akan tahu bahwa Dia dan ajaran-ajaran-Nya benar belaka.46
43
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 2915 ُ تُ َسِِّّ ُ ُ لَهُ ال َّس َما َو َ إِنَّهُ َكان.َي ٍء إِالَّيُ َسِِّّ ُ ُ بِ َْح ْم ِد ِه َولَ ِك ْن الَ تَ ْفقَهُونَ تَ ْسِِّي َْحهُ ْم ْ َوإِ ْن ِم ْن ش.ات ال َّس ِّْ ُع َواألَرْ ضُ َو َم ْن فِي ِه َّن
44
.َحلِ ْي ًما َغفُورًا
45
. َيُْحْ َشرُون 46
ْ َّما فَر.ض والَطَآئِ ٍر يَ ِطي ُر بِ َجنَا َح ْي ِه إِ آَّل أُ َم ٌم أَ ْمثَالُ ُك ْم ب ِمن َشي ٍء ثُ َّم ِإلَى َربِّ ِه ْم ِ َّطنَا فِى ال ِكتَا ِ َْو َما ِم ْن دَآبَّ ٍة فِى األَر
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 2916
66
Dengan demikian Cak Nur tidak menolak mentah-mentah sains yang didasarkan pada ilmu pengetahuan alam, sebab, alam sendiri butuh diketahui demi kelangsungan hidup manusia. Lebih dari itu dalam Islam Al-Qur’an menyuruh kepada seluruh umat manusia untuk melestarikan alam –baik yang makro (jagat raya ini) maupun yang mikro (seperti manusia)– melaui ilmu pengetahuan tersebut. Pendapat Cak Nur mengenai ilmu pengetahuan alam (sains) tersebut bahwa, dasar pengetahuan dari sains modern yang menghasilkan kemajuan yang sangat pesat dibarengi dengan kemunculan tekhnologi-tekhnologi canggih tidak lain berasal dari peradan Islam yang terkenal sangat rasional dan yang sekarang sedang mengalami tidur panjangnya. Pemegang otoritas sains modern sekarang berasal dari peradaban Barat daimana dalam sejarah kemunculanya di tampuk dunia mengadopsi sains Islam tanpa membawa sifat keimanan orang para saintis Islam itu. Ini lah yang ditentang Cak Nur, bahwa sains modern itu seakan tidak menggunakan rasionalitasnya lagi. Dalam prosesnya sains memang sangat rasional, tapi dalam hal kesejahteraan umum sains modern melupakanya, lebihlebih mereka tidak beriman lagi kepada Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian panjang di atas, akhirnya penulis menyimpulkan sesuai dengan pertanyaan rumusan masalah yang penulis susun, bahwa Nurcholish sama sekali tidak menentang pemikiran rasional dalam Islam. Pemikiran rasional menurutnya adalah suatu keadaan alamiah manusia dimana dengan alasan apa pun mau tidak mau manusia harus menggunakan pikiranya termasuk dalam hal urusan agama. Oleh karena itu Nurcholish Madjid menganjurkan seluruh umat Muslim untuk mengoptimalkan pikiranya demi kemajuan Islam, sebab di zaman sekarang apabila umat muslim masih terpuruk dengan sifat kejumudan dan konservatifnya, maka mereka akan lebih jauh tertinggal dari peradaban lain. Pernyataan Nurcholish tersebut menjadi lebih kuat sebab didukung oleh ayat Al-Qur’an. Sebuah Pemikiran yang agung yang akan terus bertahan dan tidak akan terhapus oleh waktu adalah pemikiran yang berasaskan pada Al-Qur’an laiknya pemikiran Nurcholish Madjid ini. Menurut Nurcholish, Islam mengalami masa kejayaan pada periode kekhalifahan Abbasiyah berkat para kaum muslim yang bebas mengekspresikan pikiranya selagi tidak keluar jalur ketawhidan. Hal-hal yang menyangkut bidang filsafat dan sains tidak menjadi sebuah pertentangan dalam tubuh Islam. Umat Islam mengembangkan beraneka ragam penemuan-penemuan ilmiah. Salah satu contohnya adalah Ibn Haitam dengan penemuan optiknya, al-Khawarizmi dengan penemuan al-Jabar, Umar Khayyam sang ahli astronomi, Jabir bin Hayyan sang
67
68
bapak kimia Islam dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Razi menempati rengking pertama. Hal di atas menunjukan bahwa suatu kemajuan akan selalu dicapai apabila antara agama dan rasionalitas sains, juga filsafat, tidak selalu dipertentangkan. Meski demikian, Nurcholish membatasi penggunaan rasio. Menurutnya rasio tidak bisa dipergunakan dan dianggap bisa mencapai suatu kebenaran hakiki seperti tuhan. Penggunaan rasionalitas dalam tubuh Islam tersebut memang sebuah kemestian di zaman modern ini sehingga orang-orang yang mengikutinya dikenal dengan istilah kaum modernis. Di Indonesia istilah ini mulai popular pada tahun 1970 an dan dipopulerkan kembali pada tahun 1990 oleh para tokoh-tokoh intelektual khususnya Nurcholish Madjid. Mereka –para kaum neo-modernis− termasuk Nurcholish bertujuan agar umat Islam Indonesia terus-menerus mengusahakan segala perbaikan, baik pribadi maupun masyarakat, yang semuanya dilakukan dengan semangat the ultimate truth, yakni Allah sendiri. Nurcholish menegaskan bahwa Upaya rasionalisasi Islam itu bukanlah westernisasi, sekularisme, ataupun materialisme. Meski demikian, Islam membenarkan rasionalitas dalam arti penggunaan akal pikiran manusia untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam bimbingan kebenaran yang lebih tinggi dari rasio, yakni wahyu. Dari argumenya itu, Nurcholish merasa harus bergerak untuk mengubah paradigma-paradigma tradisional yang masih bersarang di dalam umat
69
muslim Indonesia karena paradigma-paradigma tersebut tidak membuat Islam menjadi maju, alih-alih menenggelamkan islam dalam zaman modern ini. B. Saran-Saran Untuk saran-saran ini penulis tujukan kepada semua kalangan terutama kalangan pemerintah, akademisi, dan masyarakat umum. Untuk kalangan pemerintahan dalam menanggapi permasalahan keagamaan di zaman modern ini sepatutnya bersikap tegas dalam merespon sikapsikap masyarakat yang berpeluang besar memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang di dalamnya terdapat berbagai macam agama, budaya, dan bahasa. Ia mampu bersikpa rasional dan modern, dalam artian, cara beragama yang mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga seorang pemerintah seharusnya memahami betul konteks keagamaan dari semua agama yang ada di Indonesia sehingga mampu menghasilkan sikap yang toleran. Tidak seharusnya Pemerintah bersikap konservatif dan radikal dalam beragama, karena sikap demikian dapat menjadi contoh buruk bagi masyarakatnya. Saran selanjutnya ditujukan untuk kalangan akademisi. Tidak sedikit dari kalangan akademisi yang tidak mampu bersikap toleran terhadap agama lain. Hal ini disebabkan terutama oleh cara pengajaran yang kurang baik dengan mengedepankan kekerasan untuk menegakan hukum syariat dan memberikan stigma negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996 Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta, Ghlmia Indonesia 1986 Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995 Daftary, Farhad, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, Jakarta, Erlangga, 2002 Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Bru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Djalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaan Wacana Mulia, 1998 Effendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Jakarta, Kompas, 2010 Gaus AF, Ahmad, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner, Jakarta, Kompas, 2010 Hakim, Abdul dan Saebani Beni Ahmad, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, Bandung, Pustaka Setia, 2008 Halim, Abdul, Teologi Islam Rasional Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, Jakarta, Ciputat Press, 2005 Hoodbhoy, Pervez, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, Bandung, Pustaka, 1997 Husaini, Adian, Nurcholish Madjid; kontroversi Kematian dan Pemikirannya, Jakarta, Khoirul Bayan Press, 2005 Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Yoyakarta, Tiara Wacana, 1986 Kurniawan,Samsul dan Mahrus, Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2011 Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung, Mizan, 2002 Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta, Paramadina, 1992 ---------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan 1993
70
71
---------, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina, 2003 ---------, Tradisi Islam: Peran dan fungsinya Dalam pembangunan di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1997 ---------, Islam kerakyatan dan Keindonesian, Bandung, Mizan, 1993 Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhajuhawa Tathbiquha, Kairo, Dar al-Ma’arif, TT Munawar-Rachman, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Bandung, Mizan, 2006 ----------, Membaca Nurcholish Madjid, Jakarta, Democracy Project, 2011 Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991 Muthahhari, Murtadha, Pengantar Epitemologi Islam, Jakarta, Sadra Press, 2010 Nasution,Harun, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1996 Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982 Proudfoot, Michael and Lacey A. R., The Routledge Dictionary of Philosophy, New York, Routledge, 2010 Qodir, Zuly, Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 19912002, Yogyakarta, LKIS, 2010 Qomar, Mujamil, Fajar baru Islam Indonesia?: Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah Dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, bandung, Mizan, 2012 Raharjo, Dawam, Intelaktual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993 Rahmat, Imdadun Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta, Erlangga, 2005 Ridwan, Nur Kholik, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta, Galang Pres, 2002 Rusell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosiopolitik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007 Saidi, Anis, Tafsir Pemikiran Nurcholis madjid, Media Indonesia, 23 Maret 2005
72
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2004 Suprapto, Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Jakarta, Gramedia, 2009 Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012 Susanto, A, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Jakarta, Bumi Aksara, 2011 Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010 Thaha,Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta, Teraju, 2005 Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta, Kanisius, 2004 Wallis, R.T., Neoplatonism, London, Gerald Duckworth & Company, 1972
REFERENSI JURNAL: Abbas,
Pirhat, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Modernisasi”,Jurnal Media Akademika: Jurnal Kesilaman, Vol.22, No.4, Oktober 2007
Madjid Tentang Kajian Ilmu-Ilmu
Eka, Putra Okrisal, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru”,Jurnal Dakwah, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember, 2008 Masrur, Mohammad, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa",Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006 Nurhadi, “Harun Nasution (Islam Rasional Dalam Gagasan dan Pemikiran)”, Jurnal Edukasi, Volume 01, No, 01, Juni 2013
REFERENSI INTERNET Ulil Absha Abdala, Muhammad Abduh, Demokrasi Project, diakses pada tanggal 07 Desembe 2016. https://www.youtube.com/watch?v=96ZFsS0dWdU. Wikipedia, Pengertian Rasionalitas, diakses pada tanggal 17 Januari 2017 https://id.wikipedia.org/wiki/Rasional