ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
URGENSI SUFISME DALAM APLIKASI HUKUM ISLAM Barowi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara Email:
[email protected] Abstract
Keywords sufism, Islamic law, hilah, syari'ah.
This article aims to present the importance of sufism in the application of Islamic law, and how both are ideally positioned. In many legal issues, sufism often separable. Sharia and law, all this time always use sight of valid non-valid towards 'ubudiyah. Thus the law made often feels dry because of lack of ethics, or even without ethics. This can be seen from the existing hilah in the concept of fiqh. While on the other hand sufism emphasizes the servitude, sincerity and honesty. Based on this literature research, it is known that basically, sufism and shariah equally put God as the purpose of worship. The difference is in terms of motivation. Sufis wishes to melt with God because of the encouragement of love or ittihad (unification), while the motivation in shari'ah is the desire to obey God. Ideally, the worship of Allah, shari'ah and sufism approaches should be equally used. It is impossible that people can love deeply without adherence to a loved one. Love is sufism, and obedience is shari'ah. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pentingnya sufisme dalam penerapan hukum Islam, dan bagaimana keduanya idealnya diposisikan. Dalam banyak masalah hukum, sufisme sering dipisahkan. Syariah dan hukum, selama ini selalu menggunakan kaca mata sah-tidak sah dalam ubudiyah. Dengan demikian hukum yang dibuat sering terasa kering karena kurangnya etika, atau bahkan tanpa etika. Hal ini dapat dilihat dari hilah yang ada dalam konsep fiqh. Sementara di sisi lain sufisme menekankan penghambaan, ketulusan dan kejujuran. Berdasarkan penelitian pustaka ini, diketahui bahwa pada dasarnya, sufisme dan syariah sama menempatkan Tuhan sebagai tujuan ibadah. Perbedaannya adalah dalam hal motivasi. Sufi mengharapkan mencair bersama-sama Allah karena dorongan cinta atau ittihad (penyatuan), sedangkan motivasi syariah adalah keinginan untuk taat kepada Allah. Idealnya, dalam menyembah Allah, syariah dan pendekatan tasawuf harus sama-sama digunakan secara bersama. Tidak mungkin bahwa orang-orang yang benar-benar mencintai tanpa kepatuhan terhadap orang yang dicintai. Cinta adalah sufisme, dan ketaatan adalah syari'ah.
1
Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 2 Pendahuluan “Quid leges sine moribus” (apa artinya peraturan hukum jika tidak disertai moralitas). Demikianlah pepatah Romawi Kuno ketika diterapkan untuk menggambarkan pelaksanaan syari'ah tanpa sufisme. Di sini, syari'ah digambarkan sebagai praktik berfiqh atas prosedur-prosedur hukum, sementara sufisme diandaikan sebagai ruh tindakan berfiqh. Syari'ah cenderung ke arah leges, sementara sufisme ke aspek moribus. Syari'ah sebagai pranata eksoteris dalam Islam, kerapkali hanya berjalan di atas rel positivisme-empirisme, lahiriah-inderawi. Konsepsi “nahnu nahkumu bi dzawahir” membangun orientasi bahwa syari'ah hanya “menghukumi” yang tampak kasat mata belaka. Akibatnya, hukum agama yang terkandung dalam syari'ah dijalankan atas dasar, dengan, dan untuk persoalan yang dapat terukur dengan mata kepala (formal-legal), tanpa memperhitungkan mata batin (moralintuitif). Seolah apa saja yang dibenarkan menurut panca indera, maka pasti akan benar pula menurut syari'ah. Sebaliknya, apa saja yang tidak tampak secara lahir, maka akan terabaikan meski sesuai dengan maqashid alsyari'ah. Syari'ah, sebagai seperangkat hukum Islam, yang dilaksanakan atas dasar nalar positifistik juga terbukti membuka peluang terjadinya rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) untuk menghindari beban taklif. Seorang mukallaf dapat saja menghindari beban kewajiban asal secara prosedur (lahiriyah) memenuhi syarat, meskipun di sisi lain akan tampak keringnya semangat ketulusan dalam ketaatan beragama. Pelaksanaan syari'ah yang hanya berkutat pada persoalan “sah-tidak sah” menjadikan praktik beragama terjebak dalam prosesi “menggugurkan kewajiban” belaka. Dengan mencari celah-celah untuk merekayasa hukum, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, maka akan tampak menjadi halal. Karena keringnya praktik beragama, berbagai cara dilakukan untuk mengelabui dan untuk memperdaya sehingga mendapatkan label halal dalam bermu'amalah. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang ditempuh tidak jauh
berbeda dengan hukum aslinya. Sekedar memutar cara atau jalan untuk memuaskan nafsu, agar bisa menikmati yang haram maupun yang syubhat. Syari'ah terasa kaku, kering, dan gamang. Ia hanya mampu menuntut tanpa mampu memahami. Hukum berpihak kepada yang berkuasadan mampu menuruti, tetapi gagap memahami pihak yang lemah. Terbukti, misalnya, pengabaian kehidupan perempuan dan anak-anak dilegalkan atas nama sahnya poligami dan nikah sirri. Aspek psiko-sosial perempuan dan anak-anak akibat dua perbuatan hukum tersebut tidak mampu ditangkap karena kesibukan memperhatikan legal-formalnya saja. Suramnya masa depan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri dan poligami sangat jelas bisa disaksikan, namun kemudian dinafikan karena alasan nikah sirri dan poligami adalah sah menurut hukum syara'. Bahkan ironisnya, kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan (istri) disahkan atas nama penegakan syari'ah, sambil di saat bersamaan melantangkan bahwa syari'ah ditujukan untuk menjaga keselamatan jiwa-raga (hifdz al-nafs). Atas dasar pemikiran di atas, tulisan ini mencoba “menakar ulang” sufisme dalam penegakan syari'ah. Itu sebabnya, masalah utama yang dikaji di sini adalah: (1) bagaimana dialektika sufisme dan syari'ah terjadi? (2) mengapa rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) bisa terjadi, serta bagaimana kaitannya dengan sufisme dan syari'ah? (3) apa tujuan dan manfaat sufisme dalam pelaksanaan syari'ah? Dialektika Sufisme dan Syari'at; dari Ideologi ke Epistemologi Sufisme (bahasa Inggris) dan tasawuf (bahasa Arab) merupakan dua kata yang menunjuk pada konsepsi yang sama, yaitu tentang hal-ihwal etika dan moralitas dalam beragama. Ia merupakan perangkat untuk membenahi hati agar dalam menjalankan agama sampai kepada tingkatan terbaik di sisi Allah, serta untuk mewujudkan misi rahmatan li al-'alamin. Sufisme secara perilaku telah diajarkan oleh Nabi, sedangkan kata tasawuf baru muncul sekitar abad ke tiga Hijriah (Amin Syukur, 2011: 43-45). Perbedaan kemunculan inilah yang kerapkali mendasari dialektika
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
3 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam sufisme dengan syariah. Dalam catatan sejarah, yang pertama sering dituduh antagonis-bid'ah, yang kedua diposisikan sebagai protagonisabsah. Dialektika sufisme dan syari'ah ini merupakan pergulatan dua arus besar pemikiran yang berkembang dalam tradisi pemikiran Islam. Menurut Abed al-Jabiri (1991: 21-23; 2000:10-21), pergulatan itu bermula dari benturan tradisi kaum SunniAbbasiyah dengan tradisi kaum Syi'ahFatimiyah. Benturan ini bukan hanya pada persoalan ideologi (politik) saja, melainkan menukik hingga ke akar-akar epistemologis. Tradisi pemikiran Syi'ah Fatimiyah, sebagaimana pemikiran Syi'ah lainnya, berdasar pada sistem pemikiran irfani (gnosismistis). Dalam tradisi ini, pemikiran Syi'ah dibangun dengan gerakan kaum sufi, kaum falasifah-bathiniyah, dan kaum isyraqy (illuminasionis). Sementara tradisi yang berkembang di tradisi Sunni-Abbasiyah bertolak dari kodifikasi (tadwin) disiplindisiplin keilmuan Islam. Karenanya, tradisi pemikiran ini mengambil bentuk kompilasi dan rekonstruksi warisan pra-Islam dan masa permulaan Islam, termasuk tradisi filsafat Yunani. Dasar epistemologisnya adalah bayani, yang berarti bukan hanya pengungkapan/ penjelasan teks yang baik, tetapi sebuah pandangan dunia yang ortodoks. Pertentangan dua tradisi besar tersebut kemudian membentuk konflik baru, yaitu antara kaum mistis (irfaniyun) dengan kaum tekstualis (nashiyun). Yang pertama dikenal dengan “kalangan esoteris”(ahl bathin), sementara yang kedua dikenal dengan “kalangan eksoteris” (yang jauh dari takwil atau penafsiran metaforis-alegoris). Dari benturan dua arus di atas, menurut al-Jabiri, tradisi pemikiran Andalusia dengan tokohnya Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd mengambil bentuk pemikiran tersendiri yang literalis namun kritis dengan mendasarkan pada sistem burhani(rasionalis). Dengan berbekal ilmu-ilmu eksakta dan warisan pemikiran pra-Islam, Andalusia mengkritisi kedua tradisi pemikiran di atas. Di sinilah, peta pemikiran Islam secara garis besar dapat dibaca dengan batas-batas pengertian aliran, yaitu aliran arus irfani, bayani, dan burhani, yang
menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Pertentangan sistem pemikiran di kalangan syari'ah dan sufisme terus berlanjut hingga sekarang. Kaum Sunni sebagai pengawal syari'ah pada perkembangannya mampu menempati posisi dominan dalam kekuasaan politik. Adanya reaksi keras atas dominasi ini memunculkan oposisi dari kalangan sufisme yang biasanya berasal dari kalangan luar kekuasaan. Gerakan oposisi ini terus meluas, hingga pada akhirnya memunculkan gerakan pembaharuan Islam. Meskipun demikian, dominasi syari'ah tetap tidak terkalahkan. Hal ini semakin tampak ketika gerakan Wahabisme berhasil meraih kekuasaan politik yang kemudian diatur di bawah konstitusi syari'ah Saudi Arabia. Hanya saja, gerakan purifikasi semacam ini hanya menyentuh wilayah keagamaan secara dangkal. Bahkan, sebagaimana Turner yang disitir Bizawie, gerakan purifikasi Islam itupun gagal menumbuhkan sistem etika duniawi yang rasional dan produktif. Tidak jarang, syari'ah dimanipulasi elit untuk kepentingan politik tertentu (Bizawie, 2012: 19). Kecenderungan kalangan syari'ah seperti itu mengingat syari'ah yang sejak awalnya diartikan agama, akhirnya ditujukan sebagai perangkat hukum-hukum yang bersifat amaliyah. Bahkan, syari'ah terkadang dikhususkan untuk menyebut hal-hal yang bersangkutan dengan peradilan dan pengajuan kepada mahkamah dan tidak mencakup halal-haram. Syari'at menyangkut kewajiban, had-had perintah, dan larangan. Sehingga tidak termasuk di dalamnya akidah dan hikmah-hikmah, seperti sabar, khusyu', ikhlas, tawakkal, pemaaf, kearifan, dan muatan moral lainnya (Syah, 1992: 12). Ketegangan antara aspek esoteris (sufisme) dan eksoteris (syari'ah) ini disatukan oleh al-Ghazali. Baginya, “amaliyah” terbagi atas dua kategori, yakni amal yang berurusan dengan batin manusia dan amal yang berkenaan dengan luar atau lahirnya (dzahir). Dalam penjelasan etisnya, perhatian terhadap amal lahir mendahului amal batin. Latihan spiritual bagi seorang yang hendak meningkatkan kualitas keagamaannya harus dimulai dari amal lahir, kemudian setelah itu baru diperkenankan melatih diri dengan amal
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 4 batin. Berikut pernyataan al-Ghazali: “...harus disadari bahwa petunjuk itu ada awal dan akhirnya, aspek lahir dan batin. Tidak seorang dapat mencapai akhir itu tanpa menyelesaikan awalnya; tidak seorang bisa menemukan aspek batin tersebut tanpa menguasai aspek lahirnya. Maka di sini saya berikan nasehat tentang awal petunjuk itu, agar dengan begitu Anda dapat meneliti sendiri dan menyelidiki hatimu. Jika Anda dapati hatimu tertarik kepada hal itu dan jiwa Anda tenang dan menerima, lanjutkanlah, dan tujulah akhirnya........” (Al-Ghazali, t.th: 87). Amal lahir tersebut dibagi al-Ghazali ke dalam dua arah, yaitu ditujukan untuk Allah dan diarahkan kepada sesama manusia. Arah pertama adalah sama sebagaimana ibadah yang diperintahkan syari'at, tujuh jumlahnya: salat, puasa, zakat, pergi haji, membaca al-Qur'an, dzikir kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Empat yang pertama wajib, dan tiga setelahnya sunnah. Semakin tinggi tingkat kesalehan seseorang semakin banyak amal sunnah yang dilakukannya sebagai ihsan. Sebaliknya, orang yang gagal melaksanakan yang wajib adalah orang yang krisis moral (Al-Ghazali, 1346 H: 141). Di sinilah, sufisme ditekankan al-Ghazali dalam pelaksanan syari'ah sejak dalam pengamalan ibadah mahdlah. Seiring waktu, dialektika sufisme dan syari'ah terus berjalan hingga sekarang. Pe ny a t u a n ' a l a a l - G h a z a l i t e r ny a t a mendapatkan respon yang tidak selamanya positif. Bahkan, tidak jarang, ia dituduh sebagai biang kemunduran Islam terutama oleh kalangan pejuang purifikasi Islam.Masuknya muatan sufisme ke dalam syari'at masih belum sepenuhnya memadahi. Al-Hilah al-Syar'iyyah; Potret Keculasan Syari'ah Dinamika hukum Islam berjalan terusmenerus, melintasi batas-batas waktu dan tempat. Salah satu dinamika dalam hukum Islam terdapat suatu model hilah hukum (alhilah al-syar'iyyah) untuk mendapatkan kemudahan dengan “benar”. Secara bahasa, kata hilah, sebagaimana
dijelaskan al-'Asqalani, mempunyai arti “segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut)” (al-Asqalani, t.th, XII: 326). Adapun secara istilah, hilah adalah “melakukan suatu amalan yang dzahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar'i serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya” (Al-Syathibi, t.th, IV: 201). Ibnu Taimiyyah menyatakan, “kata hilah bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram” (Ibn Taimiyyah, 1976, III: 223). Sementara bagi Ibnu Qudamah,hilah adalah “menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…” (Ibn Qudamah, t.th, IV: 179). Dengan demikian, dapat dikatakan, rekayasa hukum bisa menjadi diharamkan ketika rekayasa tersebut dalam perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara tidak langsung atau terselubung. Dengan upaya seperti itu, hukum ditransformasikan melalui metode yang halus demi tujuan tertentu yang tidak bisa dimengerti kecuali disertai oleh bentuk kecerdasan dan kecerdikan. Apabila yang dimaksud adalah baik, maka dimungkinkan hilah hukum yang dilakukan akan baik. Sebaliknya, jika buruk, akan buruk pula hilah yang terjadi. Sebagian kalangan memandang jika penerapan hilah hukum dimaksudkan untuk menghalalkan yang haram, maka sikap semacam ini diidentikkan dengan perilaku munafiq yang menjalankan agamanya tidak disertai dengan ketulusan. Ketundukan terhadap agama hanya dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang lebih ringan. Sehingga, ketika terdapat alasan yang meringankan beban hukum tersebut, ia lebih memilih hilah hukum demi kemudahan dan keringanan dirinya (Uways, 1998: 127). Hilah hukum adalah rekayasa hukum. Dan rekayasa hukum menjadi mungkin jika dilakukan dengan pertimbangan pragmatisme atas formalitas dan prosedur hukum. Pragmatisme selalu mencari celah yang “menguntungkan” bagi dirinya, tanpa memikirkan hikmah dan tujuan hukum yang
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
5 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam memikirkan hikmah dan tujuan hukum yang sesungguhnya. Dengan demikian, hilah hukum merupakan upaya mendahulukan amal lahiriah—meskipun diperkenankan—untuk membatalkan hukum semula dan mengubahnya menjadi hukum lain. Hilah hukum Islam sendiri terdiri dari dua kategori: (1) hilah hukum Islam yang diperbolehkan, (2) hilah hukum Islam yang tidak diperbolehkan.Menurut Ibnu Qayyim, hilah yang pertama mengantarkan kepada amalan yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarangNya, m e m b e b a s k a n o r a n g te r t i n d a s d a r i penindasan orang-orang yang dzalim. Jenis hilahini termasuk baik dan tidak dilarang. Hilah yang kedua, adalah hilah yang bertujuan untuk menggugurkan kewajiban, menghalalkan yang haram, merubah kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Jenis hilah seperti ini tidak diperbolehkan (Ibn Qayyim, t.th, III: 158, 342). Dalam catatan al-Syatibi,hilah dalam bentuk yang tidak diperbolehkan tersebut akan mengacaukan sumber hukum syari'at yang sebenarnya, serta meniadakan maslahat yang dituju oleh syari'at yang terdapat di dalam ketentuan asal (Al-Syathibi, t.th, IV: 387). Dengan kata lain, perbuatan hilah seperti ini termasuk dalam kategori mempermainkan agama. Dari sisi perbuatannya telah haram, karena adanya rekayasa dan ketidaktulusan di dalamnya. Ditinjau dari maksud dan tujuannya, hilah juga haram, karena untuk meniadakan kebenaran dan kepastianhukum (Ibn Qayyim, t.th., III: 287-288). Lebih jauh, Ibnu Qayyim (t.th., III: 155156) membagi hilah hukum Islam menjadi 3 (tiga) macam. Pertama,hilah haram yang ditujukan kepada sesuatu yang haram pula, s e p e r t i m e l a k u k a n r e k ay a s a u n t u k menghalalkan amalan yang mengandung unsur riba. Kedua,cara atau perbuatan asalnya boleh, akan tetapi dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Seperti melakukan safar yang digunakan untuk maksiat. Ketiga,cara yang dipakai pada asalnya tidak dipergunakan untuk sesuatu yang haram, bahkan dimaksudkan untuk sesuatu yang
disyari'atkan (seperti menikah, melakukan jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya), namun kemudian dipakai sebagai cara menuju sesuatu yang diharamkan. Contoh-contoh praktik hilah yang tidak diperbolehkan di antaranya sebagai berikut: 1. Transaksi gadai emas dalam Bank Syariah. Gadai emas merupakan produk Bank Syariah berupa fasilitas pembiayaan dengan cara memberikan utang (qardh) kepada nasabah dengan jaminan emas (perhiasan) melalui akad gadai (rahn). Bank syariah selanjutnya mengambil upah (ujrah, fee) atas jasa penyimpanan/penitipan yang dilakukannya atas emas tersebut berdasarkan akad ijarah (jasa). Jadi, gadai emas merupak an ak ad rangk ap (uqudmurakkabah, multi-akad), yaitu gabungan akad rahn dan ijarah. Praktik gadai emas dengan cara tersebut, walaupun disebut ujrah atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum (hilah) untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini merupakan riba. 2. Hilah seorang suami yang ingin berbuat jahat kepada isterinya, dengan berusaha menggugurkan hak istrinya untuk mendapatkan warisan dari hartanya, ia segera mentalaknya sebanyak tiga kali. 3. Hilah orang yang tidak mau berpuasa Ramadhan, dengan cara merencanakan safar setiap bulan Ramadhan datang. 4. H i l a h s e s e o r a n g y a n g i n g i n menggugurkan kewajiban zakat hartanya yang akan mencapai satu tahun (masa haul), dengan menukarkannya dengan barang,atau dengan menjualnya, atau dengan cara menghibahkannyasehingga ia memulai hitungan awal tahun dari barang baru tersebut. Begitu seterusnya dan seterusnya, setiap akan mencapai waktu satu tahun umur hartanya tersebut. Dengan berbuat seperti itu, menurutnya, selamanya ia akan terbebas
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
7 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam jiwa manusia; 3. Faqr, akan membentuk jiwa yang bersahaja, rendah hati, dan mengikis sikap oportunistik; 4. Shabr, akan membentuk pribadi yang bermental baja; 5 . Ta w a k k a l , a k a n m e m b a n g u n independensi seseorang, dan; 6. Syukur, akan memberangus keserakahan seseorang. Sufisme memang acapkali dipahami terlepas dari kehidupan duniawi. Menjadi sufi seolah diharuskan anti dunia dengan larut dalam kehidupan batinnya sendiri. Sebenarnya bukanlah demikian. Karena, sebagaimana dijelaskan Sahal Mahfudh, sufisme memandang dunia ini sebagai jembatan yang harus dilalui menuju akhirat. Artinya, kehidupan dunia merupakan media yang sangat penting untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Seorang yang mendalami sufisme diperintahkan untuk bekerja sebaik mungkin bagi penghasilannya sehari-hari. Sama sekali tidak diperkenankan berpasrah diri dan tawakkal kepada Allah saja, namun sembari rajin mengerjakan salat sunnah dan banyak berdzikir, ia memulai kewajiban-kewajibannya sebagai—misalnya—kepala rumah tangga untuk mencari nafkah. Meskipun demikian, sufisme lebih memandang dunia laksana api, di mana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalam hal ini sufisme berprinsip: “Jika harta ini dikumpulkan maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang musti dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan.” (Mahfudh, 2004: 79). Dalam laju sejarah Islam, paling tidak terdapat 4 (empat) momentum yang menjadikan sufisme penting untuk dimuat dalam pelaksanaan syari'at (Al-Mughni, 2001: 189). Pertama, faktor keberhasilan al-Ghazali (w. 505/ 1111). Dalam suasana pertentangan jalan mencapai kebenaran, ia menemukan sufisme sebagai jalan kebenaran. Keberhasilan al-Ghazali ini mengarah pada dua kesuksesan,
yaitu; membersihkan sufisme dari elemenelemen yang tidak Islami, dan menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari syari'at. Sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman (1979: 140), melalui al-Ghazali lah sufisme mendapat pengakuan ijma' umat Islam. Kedua, jatuhnya imperium Islam pada abad pertengahan yang menjadikan rasa tidak aman bagi kalangan muslim. akibatnya, lembaga sufisme menjadi tempat perlindungan dari kevakuman pemerintahan yang seharusnya menjamin tatanan sosial. Ketiga, keyakinan bahwa sufisme mampu mengantarkan manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Ajaran mengenai berkah, syafa'at, dan karamah, mampu menguatkan keyakinan akan Tuhan dalam beragama sekaligus menguatkan ketertundukan yang sebenarnya (taqwa). Keempat, sufisme mengedepankan sikap toleran terhadap keyakinan dan praktik budaya lokal. Sikap ini sangat menarik banyak kalangan sekaligus mempertegas Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin. Tujuan sufisme sendiri adalah menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syari'ah secara lebih mendalam dalam rangka menemukan hakikatagama dan ajaran agama Islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari'ah dan hakikat sekaligus, salat misalnya, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu, tetapi adalah dialog spiritual antara manusia dengan Tuhan. Jika syari'at mengharuskan memenuhi syarat dan rukun, maka sufisme mengharuskan aktivitas hati yang tulus, hudlur dan khusyu'. Semakin mendalam realisasi sufisme seseorang, pada gilirannya justru semakin meningkatkan kualitas ke-syariah-an orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.Di sisi lain, penguatan aspek sufisme juga mampu menjadi dinamisator bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu al-Tsaurah al-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syari'at ibarat jalan yang akan dilalui sufi dalam ber”revolusi” (Syukur, 2011: 87, 99).
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 8 Integrasi sufisme dalam syari'at juga tampak dari pertautan ajaran mujahadah dengan jihad. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan pertempuran, memerangi kemaksiatan, serta perjuangan material lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan hawa nafsu, amarah, serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk perjuangan di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilah antara satu dengan lainnya. Sufisme dan syari'ah sebetulnya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut hanya akan memunculkan kesan parsialitas Islam. Lebih dari itu, sufisme juga mampu menjadi muara bagi semua madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan Sunni, Syi'i, Mu'tazili dan lainnya. Bahkan, syari'at lintas agama pun mampu tertampung dalam sufisme. Dengan demikian, kaum syariah yang dalam beramal selama ini selalu melihat dari segi sah atau tidaknya amal itu ('ubudiyah), perlu membangun niat yang benar dan haruslah diorientasikan pada tujuan pen-ciptaan manusia, yaitu untuk mengabdi ('ibadah) kepada Allah. Semua amal haruslah didasarkan pada rasa ketaatan manusia kepada Allah, sehingga, terjalinnya ketaatan itu akan melahirkan taqarrub(kedekatan) manusia dengan Tuhannya. Bagi kaum syariah, Allah adalah Mukallif (yang memberikan kewajiban) dalam hubungannya dengan penetapan hukum. Ia adalah al-Hakim sedangkan manusia adalah mukallaf. Dalam kaitannya dengan hukum, manusia adalah mahkum 'alaih (yang diberi beban hukum). Adapun yang menjadi beban adalah segala aktifitas manusia, baik berupa 'ubudiyah maupun mu'amalah, yang berkenaan dengan “keharusan, larangan, ataupun kewenangan untuk memilih” yang dirinci dalam 5 (lima) hukum (al-ahkam al-khamsah) yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram (Al-Qurtuby, 1999: 47-50). Pendekatan tersebut hanya menyentuh aspek legal-formal dalam beragama, sehingga dirasakan kurang menyentuh bagian rohani manusia. Pada dasarnya, sufisme dan syari'ah
sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan ibadah. Perbedaannya terletak pada segi motivasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ittihad (penyatuan), sedangkan pada kaum syari'ah motifasinya adalah keinginan untuk taat kepada Allah. Kesulitan kaum syariah menerima paham ittihad adalah karena kaum syari'ah menyakini kemustahilan menyatunya makhluk dan Sang Khalik dalam satu diri. Dengan kata lain, pijakan sufisme lebih megandalkan rohani sementara syari'ah lebih condong pada penggunaan akal (Praja, 1995: 69). Tentang pendekatan akal dan rohani itu sebenarnya keduanya saling melengkapi. Bila hanya pendekatan akal maka pengalaman beragama akan kering, bila pendekatan rohani saja maka norma-norma hukum mungkin saja terabaikan. Karena itu, sangat tepat ketika alGhazali mengatakan bahwa penyerasian pendekatan akal dengan rasa dalam melaksanakan ajaran agama sangatlah perlu (AlTaftazani, 1997: 175). Bahwa untuk mencapai kesempurnaan beragama, pedekatan hukum (pendekatan syari'ah) tidak boleh ditinggalkan, tetapi pendekatan rasa (pendekatan sufisme) tidak boleh dilupakan karena keduanya saling menguatkan. Tidak mungkin orang yang betulbetul mencintai tanpa patuh terhadap yang dicintai. Mencintai itu sufisme, dan patuh adalah syari'ah. Perlu dipikirkan lagi di sini bagaimana jika syari'ah dilaksanakan tanpa sufisme. Sebagaimana dicontohkan di atas, orang yang menghibahkan hartanya di akhir haul (ujung tahun) untuk menghindari zakat, misalnya, pada asalnya diperkenankan. Akan tetapi, seseorang yang menolak zakat tanpa sebelumnya mengeluarkan hibah, hal itu terlarang. Hal ini terjadi karena adanya sikap pragmatis dan opor tunis dari yang berkewajiban mengeluarkan zakat, namun ia berupaya menghindar dari membayar zakat dengan memilih mengeluarkan hibah sebelum haul. Dalam pertimbangan syari'ah yang mempertimbangkan aspek lahiriah dalam persyaratan hukum, sikap tersebut memang diperkenankan karena cukup dianggap sah secara hukum. Namun terasa ironis jika
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
9 | Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam dikaitkan dengan semangat sufisme yang mendorong untuk bersyukur dengan melaksanakan kewajiban zakat, ikhlas beramal sesuai ketentuan syari'at, menyadari rizki yang ia terima dari Allah, dan mewujudkan rasa kecintaan terhadap sesama. Di sinilah, muatan sufisme dalam syari'ah menemukan relevansinya. Beragama tidak cukup dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan saja, mengingat Islam adalah ajaran penyempurna akhlak pemeluknya. Tegas sekali dijelaskan bahwa kerasulan Nabi terutama untuk me-nyempurnakan akhlak, “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Dengan demikian, mengutip Sahal Mahfudh (2004: 80), manfaat sufisme beserta segala komponennya adalah sebagai pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme, seperti zuhud, akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumerisme dan pragmatisme yang mendorong untuk melakukan rakayasa hukum (al-hilah al-syar'iyyah). Sufisme dan syari'ah dalam skala lebih luas adalah bentuk aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga, di tengah kegalauan zaman, sufisme dapat dijadikan sebagai kompensasi positif. A k h i r nya , t a mp a k j e l a s b a h wa “beragama adalah berakhlak”, baik kepada Allah, kepada manusia, maupun kepada alam raya sekitarnya. Pemahaman semacam ini hanya akan bisa terlaksana jika sufisme menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjalankan syari'ah, baik berupa ketaatan menjalankan perintah, menjauhi larangan, maupun menentukan pilihan secara arifbijaksana. Kesimpulan Dialektika sufisme dan syari'ah bermula karena perselisihan dalam urusan ideologipolitik, di samping memang terdapat muatan “selera” keagamaan yang berbeda. Sufisme lahir dari kalangan oposisi politik yang cenderung mementingkan aspek batiniyah (esoterisme), sedangkan syari'ah lahir dan tumbuh dalam tradisi pemegang kekuasaan yang legalis-formalis yang memperhatikan aspek lahiriyah (eksoterisme). Pertentangan
dalam ranah ideologi-politik ini kemudian berlanjut dan meluas pada pertentangan epistemologis. Rekayasa hukum (al-hilah al-syar'iyah) bisa terjadi karena dominannya nalar pragmatisme dan oportunisme (hubb aldunya) dalam menjalankan syari'ah. Dengan kata lain, hilah hukum lebih dimungkinkan terjadi di kalangan pemegang syari'ah yang tanpa disertai sufisme. Hilah hukum dengan mudah terjadi dalam menjalankan syari'ah yang hanya berdasar pada “ketaatan”, namun bukan atas dasar “ketertundukan”. Secara umum, tujuan dan manfaat sufisme dalam pelaksanaan syariah adalah sebagai “kekuatan moral” dalam rangka peningkatan kualitas jiwa (ihsan). Hal ini sekaligus menegaskan bahwa “beragama adalah berakhlak”, sebagaimana maksud utama diutusnya Rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak. Penutup Ketegangan dalam pergulatan sufisme dan syari'ah sampai sekarang senantiasa terasa. Bukan hanya antar kelompok pendukung masing-masing dari keduanya, tetapi bahkan dalam diri umat Islam secara personal. Esoterisme dan eksoterisme. Ketegangan semacam inilah yang memerlukan upaya pemaduan antara sufisme dan syari'ah. Dalam rangka agenda tersebut, mengingat kajian ini sangat belum mencukupi, maka perlu kajian yang lebih lengkap dan memadahi. Masukan dan kritik juga sangat diharapkan demi pembenahan tulisan ini. Semoga bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Al-Ashfahani, al-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Mesir: al-Halabi, 1961. Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiy, t.th. Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (16451740), Yogyakarta: SAMHA, 2002. Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979. Al-Ghazali, Abu Hamid, Bidayat al-Hidayah,
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Barowi; Urgensi Sufisme dalam Aplikasi Hukum Islam | 10 Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.th. ______________, Ihya Ulum al-Din, Mesir: alMaktabah al-Ilmiah, 1346 H. Al-Jabiri, Mohammad Abed, al-Turats wa alHadatsah; Dirasah wa Munaqasyah,Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991. ______________,Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000. Mahfudh, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2004. Mughni, Syafiq A., Nilai-Nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Al-Nabhani, Taqiyuddin, al-Tarikh al-Kabir, T.tp: al-Syakhshiyah al-Islamiyah, t.th. Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995.
Syukur, Amin, Sufi Healing; Terapi dalam L i t e ra t u r Ta s a w u f , S e m a r a n g : Walisongo Press, 2011. Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi; dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997. Taimiyah, Ibn, al-'Ubudiyah, Damaskus: alIhsan, 1966. ______________, al-Fatawa al-Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1976. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fiqh wa Fatawa Buyu', T.tp: Muassasah Salam, t.th. Uways, Abdul Halim, Fiqih Statis-Dinamis, Terj. Zarkasyi Chuamidy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Qayyim, Ibn, I'lamul Muwaqi'in, Beirut: Dar alKitab al-Arabi, t.th. Qudamah, Ibn, al-Mughni, Riyadh: Dar Syibiliya, t.th. Al-Qurtuby, Sumanto, KH. Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Cermin, 1999. Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Depag RI, 1992. Al-Syatibi, al-Muwafaqat, Riyadh: Dar Syibiliya, t.th.
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150