URGENSI PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN OLEH DRS. ISAK MUNAWAR, MH1 PENDAHULUAN Perwalian dalam hukum perkawinan Islam adalah salah satu unsur pembeda dengan hukum perkawinan dalam syariat agama yang lainnya, oleh karena itu ketentuan yang berhubungan dengan perwalian dalam hukum perkawinan Islam, harus tunduk terhadap hukum Islam itu sendiri yang menentukan sah atau tidak sahnya seorang bertindak sebagai wali dalam perkawinan. Perwalian dalam perkawinan menurut hukum Islam pada dasarnya terbagi kepada dua kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.2 Wali nasab adalah adanya hubungan perwalian antara seorang dengan orang lain disebabkan karena adanya nasab atau hubungan darah dari perkawinan yang sah sedangkan wali hakim adalah hubungan perwalian antara seorang dengan orang lain disebabkan adanya kekuasaan yang ditunjuk oleh negara untuk bertindak sebagai wali bagi seorang calon mempelai perempuan yang tidak memiliki wali nasab, wali nasab tidak memenuhi syarat, wali nasab mafqud atau wali nasab enggan bertindak sebagai wali (adlal). Dengan demikian persoalan perwalian nasabiyah dalam perkawinan berkaitan langsung dengan sah atau tidak sahnya status sebagai anak menurut hukum. Artinya apabila anak itu sah sebagai anak, maka anak itu memiliki hubungan perwalian dengan ayahnya, kakeknya, paman-pamannya dan seterusnya, kebalikannya apabila anak itu berstatus sebagai anak tidak sah, maka anak itu tidak memiliki hubungan perwalian dengan ayahnya, kakeknya dan seterusnya. Persoalan perwalian menjadi rumit setelah lahirnya Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19974 yang kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang mendefinisikan anak sah dengan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan pasal tersebut melahirkan dua substansi penafsiran, pertama anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan kedua anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang menjadi persoalan berkaitan dengan penafsiran yang pertama, yaitu anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Ketentuan ini 1
Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka Pasal 1 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 menyebutkan, yang dimaksud dengan a) wali nasab adalah pria yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam, b) wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. 2
2
menggeneralisirkan setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, termasuk didalamnya anak sebagai akibat pembuahan setelah adanya perkawinan dan anak sebagai akibat pembuahan sebelum adanya perkawinan kemudian dilahirkan setelah adanya perkawinan itu. Seorang perempuan dengan seorang laki-laki melakukan hubungan suami istri, kemudian perempuan tersebut hamil dan setelah itu perempuan dan laki-laki tersebut menikah, dalam ikatan perkawinan tersebut anaknya itu dilahirkan. Menurut ketentuan Pasal di atas, status anak yang demikian adalah anak sah. Dari gambaran tersebut, menunjukan bahwa seorang perempuan hamil sebelum adanya ikatan perkawinan, anak yang dikandung tersebut adalah anak sah bila dilahirkan setelah perempuan tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. konsekwensinya bila anak itu perempuan dan akan melaksanakan pernikahan, maka yang menjadi walinya adalah ayah yang menghamilinya itu. Substansi ketentuan ini nampak sejalan dengan ketentuan Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan “tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya” artinya setiap anak yang dilahirkan atau dipelihara dalam perkawinan, maka anak itu sebagai anak sah dan memiliki hubungan nasab dengan suami dari istri yang melahirkannya itu. Apabila anak tersebut perempuan maka suami dari istri yang melahirkannya yang akan bertindak sebagai walinya. Substansi ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19974 yang kemudian dimuat kembali pada Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah diadopsi dari Pasal 250 KUHPerdata tersebut. Sedangkan substansi ketentuan yang dimuat dalam KUHPerdata itu bertentangan dan atau tidak sejalan dengan hukum Islam yang disepakati ulama dalam berbagai aliran. Sebab menurut hukum Islam seorang anak akan memiliki hubungan nasab dengan ayahnya apabila anak itu lahir sebagai akibat perkawinan yang sah, masa kehamilan ibunya minimal berusia enam bulan dan tidak nyata dari hasil perzinaan 3 oleh karena itu menurut hukum Islam, seorang anak yang dilahirkan baik sebelum adanya ikatan perkawinan maupun setelah adanya ikatan perkawinan, apabila anak itu merupakan hasil pembuahan yang tidak sah atau sebelum adanya akad perkawinan, maka anak itu adalah anak yang hanya memiliki nasab dengan ibunya saja, dan konsekwensinya bila anak tersebut perempuan maka yang akan menjadi walinya bukanlah ayah biologisnya melainkan beralih ke wali hakim.
3
Lihat Drs. H. Syamsul Anwar, SH, MH. Artikel Nasab Anak Diluar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih Dan Perundang-Undangan, dimuat dalam WEB Badilag Mahkamah Agung RI pada bulan April 2012
3
PEMBAHASAN Definisi Perwalian. Terdapat dua bentuk perwalian, yaitu Al-Wilayah al-Khasakh dan Al-Wilayah al-‘ammah4, yang dimaksud al-Wilayah al-khashakh adalah wali yang bertindak atas diri seseorang dalam perkawinan dan untuk dan atas nama diri seseorang dalam hukum harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud al-Wilayah al-‘mmah adalah termasuk dalam katagori wakil dalam berbagai bidang hukum. Abu Zahrah 5 mendefinisikan perwalian dengan kekuasaan yang diberikan hukum untuk melakukan suatu perikatan (akad), terdapat dua bagian perwalian, yaitu wilayah al-qashirah dan wilayah almuta’adiyah. Yang dimaksaud dengan wilayah al-qashirah adalah kekuasaan seorang ‘aqid untuk melakukan akad atau perikatan tertentu atas namanya sendiri dan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum tentang akad tersebut. Sedangkan wilayah al-muta’adiyah adalah kekuasaaan seorang yang diberikan hukum untuk melakukan perikatan tertentu atas nama orang lain. Terdapat dua bentuk wilayah al-muta’adiyah yaitu wilayah ‘ala al-mal dan wilayah ‘ala al-nafs. wilayah ‘ala al-mal adalah kekuasaaan seorang untuk melakukan suatu perikatan tertentu yang berkaitan dengan harta dan melaksanakan perikatan itu. Sedangkan wilayah ‘ala al-nafs adalah kekuasaan seorang untuk melakukan perikatan perkawinan dengan tanpa membutuhkan kuasa dari seseorang sebagai calon mempelai perempuan. Dari penjelasaan tersebut, menunjukan bahwa perwalian dalam perkawinan tidak selamanya menjadikan sebagai perwalian dalam harta, melainkan terkadang seorang wali dalam harta sekaligus sebagai wali dalam perkawinan. Apabila wali dalam harta adalah seorang wali yang dipilih melalui wasiat dari ayah atau kakeknya atau wasiat yang ditetapkan melalui penetapan pengadilan, maka wali tersebut tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan, melainkan wali dalam perkawinan itu adalah orang-orang yang tergolong ‘ashabah sebagaimana juga ayah dan kakek. Yang menjadi dasar perbedaan perwalian tersebut adalah perwalian dalam harta berdasarkan kebebasan untuk memilih orang-orang yang terpercaya dan memiliki kemampuan untuk mengurus harta kekayaan. Sedangkan perwalian dalam perkawinan adalah apabila wali ayah dan kakek tidak ada, untuk melakukan perikatan perkawinan itu, tidak saja dikembalikan kepada kedua mempelai (calon suami istri), melainkan juga harus diserahkan kepada orang-orang yang terikat hubungan keluarga (usrah). Wali Dalam Perkawinan. Wali nikah adalah seseorang yang ditetapkan sebagai wali menurut hukum dari pihak calon mempelai perempuan untuk melakukan aqad pernikahan (ijab).
4 5
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Al-‘Araby al-Qahirah Mesir 1995, halaman 197 Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1950, halaman 122
4
Dasar disyari’atkannya wali dalam pernikahan adalah sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah SWT berfirman “ Wa ankihuu al-ayyaama’ minkum wa al-shalihiina min ‘ibadikum wa imaa’ikum” 6 dalam ayat yang lain Allah berfirman “Wala tunkihuu al-musyrikina hatta yu’minuu” 7 . Abu Muasa meriwayatkan Hadis yang diterima dari Rasulullah SAW, beliau bersabda “La nikaha illa biwaliyyin”8 Dalam hadis lain ditambahkan dengan “wa syahidai ‘adlin” Para pakar hukum Islam, berbeda pendapat tentang eksistensi wali dalam pernikahan, pendapat mayoritas menyatakan bahwa wali dalam setiap pernikahan adalah rukun, baik pernikahan seorang perempuan yang masih perawan maupun janda,9 hal ini sesuai ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam dengan menyatakan “Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Menurut pendapat yang lain bukan rukun, tetapi hanya syarat saja dan berlaku bagi calon istri yang masih perawan. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat tentang filosofi fungsi wali dalam pernikahan, apakah ia bertindak sebagai wakil atau sebagai al-hijr pengapu yang bertindak untuk dan atas nama calon mempelai istri, atau perwalian itu bukanlah perbuatan hukum untuk dan atas nama, melainkan perbuatan yang bersifat imperative yang dilekatkan kepada orang tua (ayah) atau penggantinya dari calon mempelai istri sebagai salah satu kewajiban orang tua terhadap anak perempuannya. Dengan demikian karena nash-nash baik al-Qur’an maupun al-Hadis menunjuk orang tua atau penggantinya untuk bertindak sebagai wali, maka perwalian itu merupakan hak asasi mereka yang tidak dapat dicabut, kecuali memiliki alasan yang dibenarkan hukum. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran tentang ayat al-Qur’an maupun al-Hadis yang berkaitan dengan wali nikah. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dapat bertindak sebagai orang yang menikahkan atas nama dirinya atau orang lain, bila pernikahan itu terjadi maka pernikahannya tidak sah menurut hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum 10 . Karena subjek sebagai pelaku pernikahan dari pihak pertama atau pihak calon istri bukanlah istri itu sendiri, malainkan yang berwenang untuk itu adalah walinya. pendapat ini beralasan karena setiap perintah menikahkan baik dalam ayat alQur’an maupun al-Hadis, objek perintahnya ditujukan kepada wali bukan kepada calon istri itu atau kepada yang lainnya. Dalam ayat al-Qur’an di sebutkan “Ankihuu al-
6
Surat Al-Nisa’ ayat 141 Surat Al-Baqarah ayat 221 8 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhab al-Sunan al-arba’ (al-Shan’any, Subul Al-Salam, Jilid II halaman 182) 9 Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1989) Juz VII halaman 194 10 Lihat Abdur Rahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzaahib Al-‘Arba’ah, (Bairut: Dar Al-Fikr, tt) jilid IV halaman 36 7
5
ayyama’ minkum….”11 “wala tunkihuu al-musyrikiina”12 ‘ibarat dalam kedua ayat ini menggunakan fi’il muta’addi “ankaha” bukanlah “nakaha”. Kalimat ankaha berasal dari nakaha yang pada dasarnya merupakan fi’il lazim yang harus dimu’taadikan dengan “ba hrf jar” contoh misalnya “nakahtu bizaidin” artinya aku nikah dengan Zaid. Kemudian kalimat “nakaha” itu dimuta’adikan lagi dengan hamzah, menjadi “ankaha”, maka kalimat tersebut menjadi salah satu fi’il yang membutuhkan dua maf’ul, tidak mungkin dinyatakan “ankahtu bizaidin” artinya saya nikahkan dengan Zaid, karena memerlukan objek yang lain, yaitu yang dinikahkannya, dengan demikian kalimat itu seharusnya menjadi “ankahtuka bizaidin” artinya saya nikahkan kamu dengan zaid. Dengan demikian perbuatan menikahkan pada dasarnya bukanlah kedua calon mempelai sebagai subjek hukumnya, malainkan yang menjadi subjek hukum itu adalah walinya saja. Dalam kedua ayat tersebut di atas sangatlah jelas perintah dan larangan itu bukan kepada calon mempelai. malinkan kepada wali, dalam ayat pertama dinyatakan “ankihuu al-ayyama minkum” arti literal ayat ini adalah nikahkanlah perempuan-perempuan yang masih perawan dari sebagian kamu. maksudnya adalah “ankihuu ayuha al-auliya’ al-ayyama al-rijala minkum” artinya nikahkan lah wahai para wali perempuan-perempuan yang masih melajang kepada laki-laki dari golongan kamu. Begitu pula dalam larangan ayat yang kedua tersebut “wala tunkihuu almusyrikiina” arti literalnya adalah jalanlah menikahkan kepada orang-orang musyrik, maksudnya adalah wala tunkihuu ayuha al-auliya’ al-ayyama al-musyrikiina” artinya janganlah kamu wahai para wali menikahkan perempuan-perempuan yang masih melajang kepada orang-orang musyrik. Seandainya perintah dan larangan dalam kedua ayat tersebut ditujukan kepada calon mempelai , maka ibarat yang seharusnya adalah bukanlah ankihuu, melainkan inkihii (dengan menyertakan alat dhamir mukhatabah), artinya nikahlah kamu wahai para perempuan, dalam ayat yang kedua bukanlah laa tunkihuu, melainkan seharusnya laa tankihii, artinya jangalah kamu menikah wahai perempuan. Penafsiran sebagaimana tersebut di atas yang melekatkan perbuatan menikahkan itu kepada wali sebagai subjek hukumnya, dikuatkan dengan Hadis dari Abu Musa, Rasulullah bersabda “laa nikaha illa bi waliyyin” 13 “laa” dalam pengertian hadis ini adalah “laa linafy al-jinsi” yang artinya tidak ada nikah, sebagaimana juga arti laa ilaaha, laa junaha, laa syaea’, laa haula, dan yang lainnya, pada umumnya berma’na meniadakan jenis yang berada setelah laa itu. Wallahu a’lam bissawab. Bentuk nikah dengan menggunakan kalimat fi’il madi yang di-muta’adi-kan kepada satu maf’ul dalam al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam Surat al-Baqarah 232, “wa idza thallaqtum al-nisa’ fa balaghna ajalahunna fala ta’dliluuhunna an yankihna azwajahunna” artinya apabila kamu mentalak istri-istri kamu, kemudian 11
Surat Al-Nur ayat 32 Surat Al-Baqarah ayat 224 13 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban, al-Tarmidzi dan al-Hakim. 12
6
setelah sampai masa iddahnya, maka janganlah kalian menghalang-halangi mereka untuk menikah (kembali) dengan (bekas) suami-suaminya. Ayat tersebut menurut Imam al-Bukhary 14 , berkenaan dengan peristiwa ma’qal bin Yasar. Ma’qal menceritakan bahwa saya menikahkan saudara perempuan saya kepada seorang lakilaki, kemudian ia mentalaknya, hingga sampai pada masa iddahnya, ia datang kembali dengan maksud meminangnya kembali, kemudian saya nikahkan kembali mereka itu, dan setelah itu ia mentalaknya lagi, kemudian setelah itu ia datang lagi dengan maksud meminangnya lagi, dan saya nyatakan tidak demi Allah kamu jangan kembali lagi kepadanya, padahal laki-laki itu tidak ada cacat dan perempuannya juga menghendaki kembali lagi. maka turunlah ayat ini. Dari asbab nuzul ayat ini juga dapat dipahami bahwa walaupun dhamir dalam awal ayat yang terdapat dalam kalimat thallaqtum adalah sebagai kata pengganti suami, tapi dalam ayat falaa ta’dliluu itu dhamirnya sebagai kata ganti wali yang diperintahkan untuk tidak menghalang-halangi atau dengan arti lain, larangan untuk tidak melaksanakan hak nya sebagai wali nikah bagi perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat,15 bahwa seorang perempuan yang sudah dewasa, dan berakal sehat berhak untuk melakukan akad pernikahan atas nama dirinya, baik ia sudah janda maupun masih perawan, akan tetapi menurut mereka mewakilkan akad nikah kepada walinya adalah lebih baik, untuk memelihara hal-hal yang tidak diinginkan dan dijauhkan dari kehinaan, karena pada acara pernikahan tersebut dihadiri oleh orang-orang lain. Wali dari golongan ‘ashabah tidak berhak menentangnya, kecuali pernikahan yang dilakukannya itu tidak sekufu (tidak sebanding), atau maharnya lebih kecil dari pada mahar mitsil. Apabila pernikahan yang dilakukan atas namanya sendiri, dengan tidak sekufu, akan tetapi wali yang tergolong mu’ashibnya mengizinkan pernikahan tersebut, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf sebagaimana dimuat dalam fatwanya, pernikahan tersebut tidak sah, karena menurut mereka, tidak setiap wali memiliki pertimbangan yang baik, sebagaimana tidak setiap hakim dapat berlaku adil. Oleh karena itu mereka menfatwakan pernikahan tersebut tidak sah dengan tujuan sebagai upaya prepentif agar tidak terjadi persengketaan yang berkepanjangan. Menurut riwayat yang lain wali berhak menentang pernikahan tersebut dan oleh karena itu wali berhak menuntut perceraian melalui pengadilan degan tujuan untuk menghindari terjadinya kemadaratan dalam rumah tangganya, selama suami istri itu belum melahirkan anak atau telah terjadi kehamilan yang nyata, maka dalam hal yang demikian hak wali untuk menuntut cerai menjadi gugur, agar anak yang dikandung tersebut tetap terpelihara. Apabila calon suami istri itu sekufu, akan tetapi maharnya lebih kecil dari mahar mitsil, dan apabila suaminya tersebut diterima, maka akadnya mengikat dan apabila ditolak, maka wali berhak mengajukan perceraian ke pengadilan. ‘Ulama Hanafiyah beralasan, sesuai firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 220 “Fa in thallaqaha falaa tahillu min ba’du hatta tankiha zaujan ghairah” yang artinya jika ia menthalaknya, maka ia tidak halal setelah itu, sampai ia menikah dengan suami yang lain. Begitu pula dalam Surat al-Baqarah ayat 130 sebagaimana tersebut di 14
Al-Imam Aby Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Aby Al-Mughirah Bin Bardizbah Al-Bukhary, Shahih Al-Bukhary, (Dar Wa Muthaabi’ Al-Sy’b, tt jilid VI halaman 21 15 Abd Al-Rahman Al-Jaziry, op.cit halaman 52
7
atas. Kedua ayat ini menurut mereka menghubungkan pernikahan terhadap perempuan secara langsung, bukan kepada wali. Oleh karena itu pada pokoknya menghubungkan perbuatan nikah kepada subjek hukum yang sebenarnya tiada lain adalah perempuan itu sendiri. Selain itu pernikahan merupakan perikatan yang berdiri sendiri, sebagaimana perikatan jual beli dan yang lainnya, demikian juga hak perempuan adalah berdiri sendiri dalam akad pernikahannya, sebagaimana juga dalam akad yang lainnya, karena suatu akad dengan akad yang lainnya tidak ada perbedaan. Dengan demikian akad pernikahan yang dilakukan dirinya walaupun dalam akad itu terdapat hak wali, akan tetapi hak wali tersebut tidak dapat mengenyampingkan hak dirinya, kecuali jika keadaan calon suaminya itu kelakuannya tidak baik, dan tidak ada kesebandingan, karena dengan kelakuan yang tidak baik akan berhubungan langsung dan akan mempengaruhi keadaan keluarga walinya. Mereka menyatakan hadis-hadis yang berkaitan dengan persyaratan wali dalam pernikahan adalah berlaku terhadap seorang perempuan yang tidak atau kurang memiliki kecakapan hukum, seperti orang dibawah umur, gila dan lain sebagainya.16 Kewajiban Memperoleh Persetujuan Calon Istri Sebelum Menikah Seorang wali berkewajiban, memperoleh persetujuan calon istri dan persetujuan itu diketahui sebelum terjadinya pernikahan, karena ikatan pernikahan merupakan ikatan pergaulan sehari-hari dalam jangka waktu yang lama atau untuk selamanya dan suatu kerjasama untuk menegakan kehidupan rumah tangga yang kokoh, keadaan yang diharapkan seperti itu tidak akan terbukti selama calon istri tidak rela atas pernikahan tersebut. Oleh karena itu Syara’ melarang memaksa calon istri baik perawan maupun janda untuk melaksanakan pernikahan dengan calon suami yang tidak disukainya, suatu akad pernikahan yang tidak direstui itu adalah akad yang tidak sah menurut hukum, dan pernikahan seperti ini memberikan hak kepada istri itu untuk mengajukan tututan pembatalan nikahnya. Pendapat ini menentang fatwa jumhur Ulama Syafi’iyah yang menyatakan, apabila ayah atau kakek bertindak sebagai wali, maka ayah dan kakek itu memiliki hak ijbary (pemaksaan kehendak), walaupun anak perempuannya atau cucu perempuannya tidak mencintai calon suaminya dapat dipaksakan untuk dinikahkan, dan pernikahan tersebut adalah sah. Penulis berpendapat, pemaksaan kehendak dari sisi manapun, adalah tidak dibenarkan menurut hukum, karena pemaksaan kehendak sebagai salah satu cara pemerkosaan hak azasi manusia yang seharusnya dihormati oleh siapapun dan oleh aturan manapun. Padahal pemaksaan kehendak ini dalam Hukum Islam, merupakan pelanggaran terhadap azas hukum al-hurriyah sehingga menurut Hukum Islam pula peristiwa hukum yang didalamnya terdapat pemaksaan kehendak, maka peristiwa hukum itu termasuk peristiwa hukum yang fasid sejak semula. Banyak dalil-dalil baik al-Qur’an maupun al-Hadis yang menyatakan pemaksaan kehendak merupakan illah fasidnya suatu perbuatan hukum. 16
Lihat Al-Syaikh Muhammad Al-Syarbny Al-Khathib, Mughny al-Muhtaj, (Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, tt) jilid V halaman 67
8
Dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman “Laa ikrah fi aldin qad tabayyana rusyd min al-ghay…” Dalam beberapa Hadis Rasullah bersabda “al-Tsaib ahaqqu binafsiha min waliyiha wa al-bikr tusta’dzanu fi nafsiha wa idznuha shamatuha” 17 “Wa al-bikr yasta’miruha abuha ay yathlubu ‘amruha qabla al-aqd”18 “laa tankih al-ayma hatta tusta’mara walaa al-bikr hatta tusta’dzana” dan hadishadis yang lainnya. Wilayah Al-Ijbar. Wilayah al-Ijbar adalah suatu perwalian dengan hak untuk memaksakan kehendak. Perwalian semacam ini berlaku terhadap orang yang sama sekali tidak memiliki kecakapan untuk berbuat hukum, seperti orang gila atau sakit ingatan dan orang yang belum sempurna akalnya seperti orang yang belum mumayyiz. Dan terhadap orang yang kurang cakap untuk melakukan perbuatan hukum, seperti anakanak yang sudah mumayyiz dan seorang yang berada di bawah pengapuan. Pengertian perwalian ini adalah bahwa seorang wali diberikan hak untuk melaksanakan akad nikah bagi orang-orang sebagaimana tersebut yang berada di bawah perwaliannya dengan tanpa harus ada persetujuan atau kerelaannya. Eksistensi perwalian al-ijbary ini bertujuan untuk kemaslahatan bagi mereka yang berada di bawah perwalian 19 , karena orang yang tidak atau kurang memiliki kecakapan tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan hal-hal yang bermaslahat bagi dirinya, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk menemukan kemaslahatan dalam setiap perikatan yang dilakukannya. Dengan demikian setiap perikatan dan perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan kepentingan mereka diserahkan kepada walinya. seorang yang sama sekali tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum memiliki perbedaan dengan orang yang kurang memiliki kecakapan. Suatu perikatan yang dilakukan orang yang sama sekali tidak memiliki kecakapan, maka perikatannya itu batal demi hukum, sedangkan yang dilakukan orang yang kurang cakap, perikatannya tetap sah, akan tetapi tergantung pada izin dari walinya. Ulama Hanafiyah20 menyatakan bahwa perwalian tersebut berlaku bagi orangorang yang memiliki hubungan darah secara ‘ushubiyah baik untuk anak-anak, orangorang gila maupun yang berada dalam pengapuan. Adapun menurut Ulama selain Hanafiyah membedakan antara perwalian terhadap anak-anak, terhadap orang-orang gila, maupun terhadap orang-orang yang berada dalam pengapuan. Mereka sepakat perwalian untuk orang gila dan berada dalam pengapuan diserahkan kepada ayah, kakek dan orang yang menerima wasiat. Mereka berbeda pendapat tentang perwalian terhadap anak-anak, menurut Imam Malik dan Imam Ahmad perwaliannya diserahkan 17
Hadis ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abas. Hadis ini diriwayatkan al-Jama’ah kecuali al-Bukhary. 19 Abu Zahrah, Ahwal Al-Syakhshiyah, op. Cit halaman 135 20 Abu Zahrah, ibid.
18
9
kepada ayah dan orang yang menerima wasiat saja sedangkan menurut Imam AlSyafe’iy walinya adalah ayah dan kakek saja. Orang-orang Yang Berhak Menjadi Wali Nikah. Dalam prespektif Fikih, begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam, Wali terbagi kepada dua bagian, yaitu wali nasab dan wali hakim (sulthan). Hal ini didasarkan Kepada Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan ‘Aisyah, beliau bersabda: “Ayyumamra’atin nakahat bighairi idzni waliyyiha fanikahuha bathilun, fanikahuha bathilun, fanikahuha bathilun, fa in dakhala biha falaha al-mihru bima istahalla min furujiha fain isyta’jarau fa al-sulthanu waliyyun man laa waliyya laha”21 Mayoritas Ulama, yaitu Imam Malik, Al-Tsaury, Al-Laitsi, dan Al-Syafi’i berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah orang-orang yang memiliki hubungan nasab secara ‘ashabah dengan calon mempelai perempuan, yang selain nasabiyah ‘ashabah tidak berhak menjadi wali, seperti anakanak ibu, saudara-saudara ibu dan lain sebagainya. Imam Syafi’i menyatakan suatu pernikahan tidak sah kecuali dengan wali yang memiliki hubungan nashab ashabiyah yang paling dekat dengan calon mempelai perempuan, apabila tidak ada, baru perpindah kepada yang lebih jauh, dan apabila tidak ada pula maka hak wali berpindah kepada sulthan (hakim)22 Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah orang-orang yang berhak menjadi wali, tidak bergantung hanya kepada orang-orang yang memiliki hubungan nasab ashabiyah saja, nasabiyah yang bukan ashabah pun memiliki hak untuk menjadi wali, seperti dari golongan dzi al-saham (daw al-furudh) seperti saudara laki-laki seibu, atau dzaw al-arham seperti cucu laki-laki dari anak perempuan. beliau beralasan bahwa benar hubungan kekerabatan dalam keluarga besar sebagiannya ada yang lebih dekat dan ada yang lebih jauh, akan tetapi dalam perwalian ini bukanlah hak untuk mendapatkan atau menguasai bagian harta sebagaimana dalam kewarisan atau perwalian anak di bawah umur, melainkan mempertimbangkan hal lain, yaitu adanya hubungan kekerabatan pada keluarga besar yang erat, dengan demikian perwalian tidak ditentukan oleh kerabat ‘ashabiyat saja, termasuk juga kekerabatan yang lainnya. oleh karena itu susunan wali menurut beliau adalah ayah dan anak-anak harus diutamakan dari yang lain, kemudian sadudara-saudara kandung, saudarasaudara seayah, saudara-saudara seibu, kemudian cucu dari anak laki-laki, atau cucu dari anak perempuan, kemudian anak-anak dari saudara-saudara laki-laki dan anakanak dari saudara-saudara perempuan, kemudian paman-paman, bibi-bibi, kemudian yang lainnya. 21
HR. Muslim Tertib wali menurut Imam Syafi’i adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman dan kemudian hakim. Apabila susunan ketertiban wali ini tidak diikuti, maka pernikahannya tidak sah. 22
10
Susunan wali menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dalam Pasal 21 KHI terdapat empat kelompok wali, yaitu: 1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas. 2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau seayah dan keturunan lakilaki mereka. 3. Kelompok kerabat paman, saudara laki-laki kandung atau seayah dari ayah dan keturunan mereka. 4. Kelompok saudara laki-laki kandung atau seayah dari kakek dan keturunan mereka. Susunan wali tersebut dapat dilihat, bahwa nampak jelas adanya kesesuaian antara pendapat Jumhur Ulama dengan Kompilasi Hukum Islam, kedua-duanya tidak memasukan kelompok anak-anak atau cucu-cucu dapat bertindak sebagai wali. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah memasukan kelompok anak-anak atau cucucucu ke dalam kelompok wali, dan tidak memasukan kelompok kakek ke dalam kelompok wali itu. Pemindahan hak wali dari wali yang paling dekat kekerabatannya dengan calon mempelai perempuan kepada wali berikutnya, menurut ketentuan Pasal 22 KHI adalah karena wali yang paling dekat itu tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, yaitu tidak memilki kebebasan untuk bertindak, tidak berakal sehat, belum baligh dan bukan seorang muslim, atau wali nikah yang paling dekat itu menderita tuna wicara, tuna rungu dan atau sudah udzur. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Malik apabila wali yang lebih dekat memenuhi syarat sebagai wali itu ada, maka wali yang lebih jauh tidak berhak menjadi wali, misalnya apabila ayahnya ada, maka saudara-saudaranya tidak berhak menjadi wali begitu pula yang lainnya. Adapun jika wali yang lebih dekat itu ghaib atau tidak diketahui tempat tinggalnya, maka hak perwaliannya berpindah kepada wali berikutnya dengan mempertimbangkan kemashlahatan. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i beliau menyatakan apabila wali yang paling dekat itu ghaib atau tidak diketahui tempat tinggalnya, hak perwaliannya tidak berpindah kepada susunan wali berikutnya, melainkan berpindah kepada hakim sebagai wali. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan (adhal). Ketentuan ini menunjukan bahwa wali hakim belum dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila seluruh kelompok wali masih ada dan diketahui tempat tinggalnya, kecuali dalam hal adlalnya wali.
11
Imam al-Qurthuby23 menyatakan bahwa apabila terdapat anak perempuan di suatu tempat dan disitu tidak ada pemerintahan dan tidak ada seorangpun yang dapat bertindak sebagai wali, maka urusan perwaliannya diserahkan kepada tetangga yang dipercayainya untuk bertindak sebagai wali. Demikian pula menurut Imam Malik24 bagi seorang perempuan yang tidak dapat menghadirkan wali hakim, karena ia sebagai seorang yang tidak mampu dari sisi ekonomi dianalogikan dengan suatu daerah yang tidak ada pemerintahannya, walaupun kenyataannnya ada. Imam Syafi’i menyatakan bahwa apabila ditemukan seorang perempuan yang kesulitan, ia tidak memiliki wali, maka perwaliannya diserahkan kepada seorang laki-laki, sehingga laki-laki itu menikahkannya25, hal yang demikian itu diperbolehkan, karena perempuan yang dalam keadaan seperti itu sama dengan dan seolah-olah adanya pengangkatan wali hakim. Ulama sepakat, bahwa seorang wali diharuskan menggunakan hak walinya ketika terjadi suatu pernikahan orang yang berada di bawah perwaliannya dan dilarang untuk mendhalimi dan menghalang-halanginya, apabila terjadi demikian, orang yang berada dibawah perwaliannya itu berhak mengajukan perkaranya kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggalnya atau tempat dimana pernikahan itu akan dilaksanakan, keengganan seorang wali untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa alasan yang sah menurut hukum, mengakibatkan hak walinya berpindah kepada wali hakim, bukan kepada wali berikutnya. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah ketika wali enggan melaksanakan perwaliannya dan ketika tidak ada wali, baik tidak ada secara mutlak maupun tidak diketahui tempat tinggalnya serta tidak ada wali yang lainnya. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim. Wali hakim dalam Fikih sebagaimana tersebut di atas terdapat dua kelompok, yaitu: a. Unsur pemerintahan (sulthan) yang memiliki kewenangan untuk itu atau penggantinya. b. Seorang atau sekelompok orang yang menerima penyerahan (Tauliyah) perwalian dari calon mempelai perempuan, ketika tidak ada unsur pemerintahan atau sulit menghadirkan wali dari unsur pemerintahan. Sedangkan dalam ketentuan perundang-undangan, sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987, wali hakim 23
Al-Imam Al-Qurthuby, Al-jami Liahkam Al Qur’an,(Bairut: Dar Ahya Turats Al-Araby, 1985) Juz V halaman 95 24 Lihat Al-Imam Jalal Al-Din ‘Abd Al-Rahman Al-Suyuthy, Tanwiir Al-Haulik Syarah ‘Ala Muatha Imam Malik, (Bairut: Dar Al-Fikr, tt) Jilid II halaman 64 25 Lihat Al-Imam Aby Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Um, (tt) Juz II halaman 11
12
adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut dalam pasal ini adalah sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (1 dan 2) peraturan ini, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah atau pembatu Pegawai Pencatat Nikah tersebut yang ditunjuk untuk itu. WALI BAGI SEORANG ANAK PREMPUAN HASIL PERZINAAN. Sebagaimana di jelaskan di atas, seorang anak memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibunya adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Unang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan, terdapat dua kemungkinan, yaitu anak lahir dalam perkawinan sebagai akibat pembuahan setelah adanya ikatan perkawinan itu dan anak lahir dalam perkawinan sebagai akibat pembuahan sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah. Yang menjadi pembahasan dalam tulisan disini adalah kemungkinan kedua, yaitu anak lahir dalam perkawinan sebagai akibat pembuahan sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah. Persoalan menjadi bertambah kompleks seiring dengan realitas zaman yang terus berubah. Arus globalisasi pada berbagai aspek kehidupan manusia telah membuka sekat-sekat budaya masyarakat dunia antar satu dengan lainnya. Kemajuan teknologi dan kebebasan informasi membawa implikasi, baik positif maupun negatif. Secara umum, positifnya adalah sebagai alat atau sarana untuk mempermudah manusia dalam mencapai berbagai tujuan hidup. Sedangkan negatifnya adalah semakin melonggarnya batasan moral yang selama ini menjadi pegangan masyarakat sehingga semakin terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Kaitannya dengan permasalahan di atas, hubungan seksual pra-nikah dan perselingkuhan, sebagaimana dikatakan Ahmad Rofiq, menjadi “kebiasaan salah” yang dianggap “biasa” 26 . Dampak lebih jauh dari perbuatan tersebut adalah kehamilan sebelum adanya ikatan perkawinan dan lahirnya anak luar nikah. Kehadiran anak yang tidak diinginkan ini memunculkan fakta sosial lain yang lebih mengenaskan; kasus pembuangan dan penelantaran anak atau bayi sering ditemukan di pemberitaan media, cetak maupun elektronik. Persoalan lain yang muncul adalah implikasi hukum dan sosial yang melekat pada anak tersebut. Anak-anak hasil hubungan yang tidak sah seringkali turut menanggung akibat dari perbuatan kedua orang tuanya. Pelabelan negatif dan diskriminatif, seperti sebutan ”anak haram”, ”anak jadah”, ”anak zina”, ”anak tidak sah”, ”anak semak-semak”, dan lain-lain seringkali melekat pada dirinya. 26
143
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2000) halaman
13
Berbagai persoalan di atas perlu diurai secara detail untuk menemukan solusi pemecahannya. Begitu luas dan kompleknya pembahasan, tentu saja tidak cukup hanya dalam beberapa lembar tulisan, Karena itu, akan mencoba memberikan sumbangan pemikiran melalui itulisan ini, sebelum memaparkan sub pokok pembahasan. Allah SWT jauh-jauh hari telah mengingatkan agar kita ummat Islam diharuskan menghadapkan wajah, pandangan dan pemikiran kita terhadap agama secara lurus, sesuai firman-Nya “fa’aqim wajhaka liddini haniifa”27 dalam ayat lain Allah mengingatkan kita agar berpegang teguh terhadap wahyu Allah dalam firmannya “wa’tashimuu bi habl Allah jamii’a” 28 . Menghadapkan pandangan dan memegang teguh terhadap wahyu Allah artinya adalah bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah harus dijadikan sebagai grund norm atau norma dasar dalam setiap prilaku kehidupan seharihari, misalnya dalam hal perzinaan dalam segala bentuknya Allah telah mengingatkan “laa taqrabuu al-zina’ innahu kaana fahisyatan wa saa’ sabiila”29 artinya janganlah kamu mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan. Perbuatan zina atau persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan di luar ikatan perkawinan adalah perbuatan nista dan tidak dibenarkan oleh aturan manapun, oleh agama apapun dan oleh negara apapun, walaupun dalam katagori yang sedikit berbeda. Dalam Islam berpuatan zina dengan segala bentuknya baik dilakukan suka-sama suka, maupun tidak, dilakukan oleh orang yang belum berkeluarga maupun telah berkeluarga adalah terlarang dan termasuk perbuatan dosa besar, bahkan pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan hukuman rajam atau jilid30. Demikian tegasnya hukum Islam terhadap pelaku zina, karena apabila perzinaan dibiarkan dan menjadikannya sebagai perbuatan yang biasa dilakukan, akan berakibat kehidupan manusia yang seharusnya berada pada tatanan kehidupan terhormat sesuai martabat manusia itu sendiri, dengan merebaknya perzinaan akan berakibat menghancurkan tatanan kehidupan manusia itu dan akan mengganggu bangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegana (social socity)31 apabila perzinaan diperbolehkan dan dibiarkan dalam masyarakat, maka kehidupan manusia sama saja dengan kehidupan binatang yang bebas dari nilai-nilai. Akibat lain dari perbuatan zina 27
Surat Al-Rum ayat 30 Surat Ali Imran ayat 102 29 Surat Al-Isra ayat 32 30 Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, menyatakan fazzina min al-asbaabi alati taqwidhu da’aima alumami wa tuhaddimu majdaha wa tajlibu lahaa al-dzilla wa al-isti’maara li’annahu mu’athilun linnasli al-qawiy al-shalihi al-mutanaashiri, wa qaatili linnakhwati wa al-syahaamati wa mumayyitu liljar’ati wa al-syaja’ah wa qaathi’u lirrahmi allati turabbitu baina al-naas wa allati ‘ala nidhaamiha wa taqdiiriha tbna’ kaafahtu al-rawaabith al-insaniyah min al-ubuwwah wa al-bunuwwah wa al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah artinya perzinaan adalah merupakan salah satu sebab robohnya dan hancurnya pondasi bangunan kehidupan ummat manusia dalam bermasyarakat yang layak dan bermartabat, dengan melegalkan zina akan membawa masyarakat kejurang kehinaan dan kenistaan, karena dengan perbuatan zina akan menyia-nyiakan keturunannya, sebagai unsur utama pembentuk masyarakat manusia itu, perzinaan berakibat membunuh semangat dan kemandirian dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan perzinaan berakibat memutuskan mata rantai silah al-rahmi (hubungan silaturrahmi) melalui ikatan al-ubuwwah wa al-bunuwwah wa al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah yang seharusnya terjalin sebagai pengikat antar ummat manusi dalam membangun hubungan antar satu individu dengan individu yang lain secara menyeluruh. Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, loc.cit, halaman 57 31 Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz II, halaman 52 28
14
ini adalah berakibat langsung menelantarkan anak-anak yang dilahirkannya, sebab seorang laki-laki melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dan berakibat melahirkan anak, laki-laki dan perempuan itu tidak terikat hubungan hukum dan demikian pula dengan anak yang dilahirkannya itu. Oleh karena itu di antara mereka tidak terikat hak dan kewajiban. Dengan demikian Islam memandang bahwa zina dengan segala bentuknya adalah merupakan tindak pidana umum yang disyari’atkan untuk menjaga stabilitas masyarakat dan menghindari kemadaratan yang akan dialami anak-anak yang dilahirkannya32 Demikian pula hukum Perkawinan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan pemeliharaan keturunan yang dilahirkannya, disamping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. al-Ruum ayat 21, yang artinya ; • Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar-Rum (30) : 21) Oleh karena itu, solusi terbaik dalam memecahkan masalah tersebut di atas adalah harus dikembalikan kepada petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah bahwa zina dengan segala bentuknya merupakan tindak pidana (hudud) umum, yang pelakunya harus mendapatkan hukumam yang setimpal, sebab yang dirugikan oleh perbuatan zina bukan pribadi melainkan kehormatan manusia secara umum yang harus pendapatkan perlindungan dari negara. Seandainya perzinaan itu telah terjadi dan berakibat kehamilan dan anaknya itu lahir baik setelah ada ikatan perkawinan maupun sebelum adanya ikatan perkawinan, maka anaknya itu bersatus sebagai anak yang harus mendapat perlindungan hukum dan harus diperlakukan sebagaimana anak yang lainnya, hanya saja anak tersebut dalam perwalian hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja sesuai pandangan mayoritas ulama khalaf, mereka menyatakan seorang anak hasil perzinaan hanya dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, keduanya saling mewarisi, sedangkan dengan ayah biologisnya tidak terdapat hubungan nasab, karena anak tersebut dilahirkan sebagai akibat hubungan badan yang tidak dibenarkan Syara’33 sesuai hadis mutafaq ‘alaih Al-Walad li al-firasy wa li ‘al-‘ahir al-hijr. Ulama memberikan perincian terhadap status anak hasil perzinaan, sebagai berikut: a. Ibu yang melahirkan anak memiliki suami.
32 33
Muhammad Aly Al-Shabuny, ibid halaman 53 Ibu Qadamah, Al-Mughni, Juz VI halaman 184-185
15
Apabila ibu yang melahirkan anak itu bersuami, maka status anaknya tergantung pada ada atau tidak adanya pengakuan suaminya, apabila suaminya itu mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya adalah anaknya, maka status anak tersebut dinasabkan kepada suami itu, apabila suami mengingkari anak yang dilahirkan istrinya, maka status anak tersebut tergantung pada ada atau tidak adanya pengakuan istri, bila istri mengakui atau terdapat bukti-bukti bahwa anak tersebut sebagai hasil perselingkuhan dengan laki-laki lain, maka terhadapnya diberlakukan hukum rajam dan anak yang dilahirkannya sebagai anak hasil zina yang nasabnya dihubungkan kepada istri itu sebagai ibunya, bila istri mengingkari anak tersebut hasil perselingkuhan, dan tidak ada bukti-bukti yang dapat membuktikan kebenaranya, maka antara suami istri tersebut saling mula’anah, pernikahannya dipisahkan untuk selamanya dan anaknya disebut dengan anak mula’anah, dan nasabnya dihubungkan kepada ibunya. b. Ibu yang melahirkan anak tidak bersuami. Apabila ibu yang melahirkan anak itu tidak bersuami, baik perawan maupun janda, maka status anak tersebut tergantung pada adanya pengakuan laki-laki yang menjizainya, apabila tidak ada serangpun yang yang meminta anak tersebut dinasabkan terhadapnya, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan apabila ada laki-laki yang mengakui anak tersebut adalah anaknya, dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayah yang menzinainya melainkan kepada ibunya saja. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama empat imam madzhab 34 demikian pula pendapat Ibnu Hazm 35 dan pendapat inilah yang ditarjihkan Ibnu Qadamah dalam al-Mughni-nya36. Pandapat ini didasarkan kepada beberapa hadis, sebagai berikut: 1. Rasulullah bersabda Al-walad li al-firasy wa li al-‘ahir al-hijr artinya anak yang lahir adalah milik pemilik tempat tidur (suami dari istri itu) dan pezinanya dihukum 37 . Hadis ini menunjukan bahwa anak hasil perselingkuhan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya. 2. Seorang berdiri di hadapan Rasulullah seranya berkata, ‘wahai Rasulullah sungguh si fulan itu adalah anak saya, karena saya dulu di masa Jahiliyah pernah menzinai ibunya, kemudian Rasulullah SAW menjawab laa da’wa fi al-Islam wa dzahaba amru al-Jahiliyah al-walad li al-firasy wa li al-‘ahir al-hijr tidak ada pengakuan dalam Islam dan urusan Jahiliyah telah berlalu. Anak adalah pemilik suami dan peniza dihukum38
34
Lihat Ibnu Taimiyah, Al-Ikhiyarat Al-Fiqhiyah (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1995) halaman 412, 35 Aby Muhammad Aly bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, (Bairut: Dar Al-Afaq AlJadidah, tt) juz X halaman 323 36 Ibnu Qadamah, lok. cit 37 Hadis diriwayatkan Bukhary Muslim. 38 Hadis riwayat Abu Dawud
16
3. Rasulullah bersabda tidak ada perzinaan dalam Islam, orang yang berzina di masa Jahiliyah, maka dinasabkan kepada ahli warisnya dan orang yang yang mengakui tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak diwarisi39 4. Hadis ‘A’isyah ra beliau menyatakan telah terjadi persengketaan antara Sa’du ibnu Aby Waqash dan ‘Abd ibnu Zam’ah tentang seorang anak, Sa’du menyatakan wahai Rasulullah anak ini adalah anak saudara laki-laki saya yang bernama ‘Utbah ibnu Aby Waqash, ia menegaskan kepada saya bahwa anak itu adalah anaknya, lihatlah diantara mereka ada keserupaan, ‘Abd ibnu Zam’ah menyatakan wahai Rasulullah anak ini adalah saudara laki-laki saya, dia dilahirkan di atas tempat tidur ayah saya dari ibunya, kemudian Rasulullah melihat keserupaan dan kemiripannya, dan beliau melihat kemiripannya anak tersebut dengan ‘Utbah, setelah itu Rasulullah menyatakan huwa laka ya ‘Abd ibnu Zam’ah al-walad li al-firasy wa li al-‘ahir al-hajr wa ihtajiby minhu ya Saudah binti Zam’ah” ia untukmu wahai ‘Abd ibnu Zam’ah seorang anak untuk pemilik tempat tidur dan pezina dihukum, dan terhijablah engkau darinya wahai Saudah bintu Zam’ah40 5. Hadis yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amru beliau menyatakan yang artinya bahwa Rasulullah menghendaki setiap anak dinasabkan kepada ayahnya setelah meninggal dunia dan diakui oleh ahli warisnya, lalu Rasulullah menjatuhkan putusan bahwa seluruh anak yang lahir dari budak yang dimiliki sang majikan sebagai akibat hubungan badan, maka anak tersebut dinasabkan kepada orang yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak berhak menerima harta warisan sebelum tetap penasabannya dan anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya apabila ia mengingkarinya, demikian pula bila anak tersebut dilahirkan dari budak perempuan yang tidak dimilikinya atau dari perempuan yang meredeka, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada orang yang menzinainya dan tidak mewarisinya, walaupun adanya pengakuan darinya, karena anak tersebut hasil zina baik dari perempuan merdeka maupun dari budak perempuan yang tidak dimilikinya41 . Ibnu Qayyim menyatakan hadis ini membantah pendapat Ishaq dan yang sependapat dengannya42 6. Rasulullah bersabda “ayyuma rajulin ‘aahara bihurratin au ammatin fa al-walad walad al-zina la yarisu wa laa yurasu” yang artinya siapa saja seorang laki-laki berzina dengan perempuan merdeka atau budak perempuan, tidak mewarisi dan tidak mewariskan43. Pendapat kedua menyatakan bahwa anak zina dinasabkan kepada pezinanya, apabila pezina meminta penasabannya, pendapat ini adalah pendapat Ishaaq bin Rahawaih, Urwah bin Al-Zubaer, Salaiman bin Yasar dan Ibnu Taemiyah. Ibnu Taemiyah menyatakan bila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan janda atau perawan dan berakibat melahirkan anak, maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki yang menzinahi ibu yang melahirkannya dengan syarat laki-laki itu mengakui atau meminta penasaban anak (istihlaq) terhadapnya, karena menurut beliau kasus tersebut tidak termasuk pelaku sebagaimana yang ditunjuk pada hadis al-walad li al39
Hadis riwayat Abu Dawud. Hadis dikeluarkan Al-Bukhary Nomor 1912 41 Hadis riwayat Abu Dawud dan Syu’aib al-Arna’uth dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 42 Muhammad bin Abd Al-Wahab ibn Al-Qayyiim Al-Jauziyah, Zaad Al-Ma’ad V halaman 384 43 Hadis riwayat Al-Tarmidy 40
17
firasy wa li al-‘ahir al-hajr, pelaku perempuan yang berzina dalam hadis ini adalah seorang perempuan tertentu, yaitu yang telah bersuami sesuai tek li al-firasy yang artinya perempuan itu adalah perempuan yang telah dimiliki seorang suami44. Selain itu Ibnu Taemiyah berargumentasi dengan keputusan Khalifah ‘Ummar bin Al-Khatab sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik dalam Al-Mu’atha’-nya 45 beliau menyatakan bahwa Ummar bin Al-Khatab dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam. Selain itu menurut beliau adalah suatu kejanggalan anak hasil zina hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya, padahal anak itu lahir sebagai akibat pertemuan induk telur yang dimiliki ibunya dengan sperma ayah biologisnya. Dengan demikian tidak terdapat sesuatu apapun yang menghalangi penasaban anak tersebut terhadap ayah dan keluarga ayahnya46 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama khalaf, disebabkan perbedaan penafsiran kalimat al-walad li al-firasy dalam hadis mutafaq ‘alaih di atas. Jumhur ulama berpandangan substansi ketiadaan hubungan nasab anak dengan ayah biologisnya, disebabkan hubungan badan antara ayahnya dengan ibu yang melahirkannya adalah hubungan yang melanggar hukum, sehingga segala sesuatu yang timbul dari perbuatan itu menjadi tidak sah secara hukum. Dengan demikian yang menjadi dasar utama dari pandangan ini adalah perlakuan perbuatan yang oleh hukum dilarang untuk dilakukan. Oleh karena itu anak yang lahir hasil zina tidak dinasabkan terhadap ayah biologisnya, baik ibu yang melahirkannya bersuami atau tidak bersuami, bila perzinaannya itu terbukti menurut hukum, generalisir pandangan ini sesuai dengan hadis riwayat Al-Tirmidy sebagaimana tersebut di atas.47 Sedangkan menurut Ibnu Taemiyah dan kawan-kawan, larangan penasaban anak hasil zina kepada ayah biologisnya dibatasi hanya bagi seorang perempuan yang bersuami saja, apabila perempuan itu tidak bersuami, dan pezinanya mengakui maka, anak yang dilahirkannya dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya itu. Dari perbedaan pendapat tersebut, kosekwensinya dalam hal perwalian menurut mayoritas ulama yang akan bertindak sebagai wali nikah seorang anak yang dilahirkan seorang perempuan bersuami dan keberadaannya diragukan, karena perempuan tersebut telah berselingkuh, akan tetapi ada pengakuan suaminya, maka suami tersebut yang akan bertindak sebagai walinya, apabila suami mengingkarinya dan ibu yang melahirkannya mengakui telah berselingkuh dan anak itu sebagai hasil perselingkuhannya, maka wali nikah dari anak itu adalah wali hakim dan apabila perempuan tersebut mengingkari telah selingkuh, maka terjadi li’an dan anak yang dilahirkannya sebagai anak mula’anah dan yang akan bertindak sebagai walinya adalah 44
Syaekh Al-Islam Ibnu Taemiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Juz 32 halaman 112 Imam Malik, Al-Mu’atha’ jilid II halaman 740 46 Ibnu Al-Qayyim, loc.cit Juz V halaman 381 47 Ibnu Umar ra menjelaskan : inna al-Nabiy laa’ana baina rajul wa imra’atihi fa intaqa’ min waladiha fafaraqa bainahuma wa al-haq al-walad liahli ummihi man kanuu artinya bahwa Nabi SAW mengadakan li’an antara seorang laki-laki dengan istrinya, laki-laki tersebut mengingkari anak yang dilahirkan istrinya, lalu Nabi memisahkan suai istri itu dan menyatakan yang benar anaknya itu dinasabkan kepada ahli ibunya yang masih ada. (hadis riwayat Bukhary, lihat Ibnu Hajar al-Nawawy, Fath Al-Bary, juz 15 halaman 74 (al-Maktabah Al-Syamilah) 45
18
wali hakim, demikian pula anak dari seorang perempuan yang tidak bersuami, yang bertindak sebagai walinya adalah wali hakim secara mutlak, sedangkan menurut Ibnu Taemiyah wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah ketika terjadi pada kasus kedua dan ketiga, sedangkan pada kasus-kasus yang lainnya yang akan bertindak sebagai wali dari anak tersebut adalah ayah biologisnya. Wallahu ‘A’lam bi Al-Stawab KESIMPULAN Dari pembahasan-pembahasan sebagaimana tersebut di atas, penulis mencatat beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Perwalian dalam hukum perkawinan Islam memiliki urgensi yang dominan, sebagai dasar terbentuknya keluarga besar pihak mempelai perempuan dengan pihak mempelai laki-laki. 2. Terdapat dua kelompok wali, yaitu wali nasab dan wali hakim dan wali hakim dalam hukum Islam terdapat dua kelompok, yaitu pejabat yang ditunjuk oleh negara sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai wali, dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 wali hakim dimaksud adalah Kepala Kantor Urusan Agama setempat atau wakilnya, kelompok kedua adalah kedua mempelai mengangkat seorang untuk bertindak sebagai wali (tauliyah), bila di tempat tinggalnya tidak ada unsur pemerintahan atau sulit menghadirkan wali hakim yang ditunjuk oleh negara. 3. Yang bertindak sebagai wali nikah bagi anak hasil perzinaan menurut mayoritas ulama adalah wali hakim. DAFTAR PUSTAKA Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt Abdullah Bin Ahmad Bin Qadamah Al-Muqaddas Abu Muhammad, Al-Mughny, Bairut Dar Al-Fikr, tt. Htt://www.shamela.ws Abu Zahrah, Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Bairut: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1950 Aby Muhammad Aly bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, Bairut: Dar AlAfaq Al-Jadidah, tt, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2000 ----------------------, “Menyoal Keabsahan Anak Dalam Formulasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam kata pengantar buku Musthofa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003 Al-Qur’an Al-‘Adhim. Al-Imam Al-Qurthuby, Al-jami Liahkam Al Qur’an,Bairut: Dar Ahya Turats AlAraby, 1985 Al-Imam Jalal Al-Din ‘Abd Al-Rahman Al-Suyuthy, Tanwiir Al-Haulik Syarah ‘Ala Muatha Imam Malik, Bairut: Dar Al-Fikr, tt Al-Syaikh Muhammad Al-Syarbny Al-Khathib, Mughny al-Muhtaj, Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, tt
19
Al-Imam Aby Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Aby Al-Mughirah Bin Bardizbah Al-Bukhary, Shahih Al-Bukhary, Dar Wa Muthaabi’ Al-Sy’b, tt Al-Imam Aby Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Um, (tt) Al-Imam Muhamad bin Isma’il Al-Kahlany Al-Shan’any, Subul Al-Salam, Bairut: Dar Al-Fikr, tt Drs. H. Syamsul Anwar, SH, MH. Dan Drs. Isak Munawar, MH, Artikel Nasab Anak Diluar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih Dan Perundang-Undangan, dimuat dalam WEB Badilag Mahkamah Agung RI pada bulan April 2012 Ibnu Hajar al-Asqalaany, Fath Al-Bary, juz 15 halaman 74 (al-Maktabah Al-Syamilah) Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min AlQur’an, Juz II, halaman 52 Muhammad bin Abd Al-Wahab ibn Al-Qayyiim Al-Jauziyah, Zaad Al-Ma’ad V halaman 384 Syaekh Al-Islam Ibnu Taemiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Juz 32 halaman 112 ---------------------------------------, Al-Ikhiyarat Al-Fiqhiyah (Bairut: Dar Al-Kutub AlIlmiyah, 1995) halaman 412, Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Al-‘Araby al-Qahirah Mesir 1995, halaman 197 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1989) Juz VII halaman 194 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Peraturan Pemteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim. INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.