MAKALAH ISLAM Urgensi Sumpah Dalam Perspektif Islam
26 Maret 2014
Makalah Islam Urgensi Sumpah Dalam Perspektif Islam
H. Jamaluddin M. Marky, M. Si, Lc. (Kasi Penyuluhan dan Pengembangan Syariah)
Isu kepemimpinan nasional kembali mengemuka seiring dengan makin dekatnya pelaksanaan Pemilihan Umum. Jika dicermati, wacana pencalonan seseorang sebagai anggota legislatif atau eksekutif memiliki effectt erhadap kehidupan bangsa ini, baik langsung maupun tidak. Karena, sosok wakil rakyat atau pemimpin akan membawa perubahan banyak sisi kehidupan, baik politik maupun
non-politik.
Namun,
dibalik
wacana
pencalonannya, secara umum, selalu muncul penilaian publik terkait dengan komitmen, integritas, dan janjijanjinya yang pernah dilontarkan sebelumnya. Menarik apa yang ditulis oleh Taufik Effendi, Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Media Indonesia,12/4/2005)tentang komitmen seseorang dalam melaksanakan Sumpah Jabatan.Menurutnya, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam sebuah seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya mengandung unsur spiritualitas. Hal ini
dapat
dilihat
dari
teks
Demi
bersumpah/berjanji bahwa saya..........
Allah,
saya
Pada posisi inilah, sumpah menjadiraison d`etre “pewahyuan” jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, penting--sebelum
pelantikan
dilaksanakan--terlebih
dahulu dihadirkan para rohaniwan masing-masing agama guna menjelaskan arti, makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri.Dalam lafal sumpah yang diucapkan di bawah persaksian kitab suci. Intinya, pengikraran kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan—atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan dari dalam (jiwa) masingmasing pemimpin karena ikatan sumpah yang pernah diucapkannya. Dalam Islam, ada beberapa kata sinonim (murâdhifat) yang mempunyai arti kata sumpah, yakni; Yamîn, Half, Îla, dan Qasam. Yang umum dipakai ialah yamîn, arti yamîn, yang dalam bahasa Arab diartikan dengatangan kanan. Hubungan tangan kanan dengan kata
sumpah dikarenakan kebiasaan orang Arab ketika melaksanakan sumpah mengambil dan memegang tangan orang yang diajaknya bersumpah dengan tangan kanannya, hingga kemudian sumpah itu disebut dengan yamîn. Dalam sejarah Arab, terutama di Mesir, ada kebiasaan bagi tentara yang akan maju ke medan perang terlebih dahulu berbai’at dengan meletakkan tangan kanan mereka di atas kitab al-Qur’an, sebagai tanda mereka akan berjuang dibawah naungan perintah tuhan. Sedangkan kata yamîn dalam istilah fiqh sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi dan Imam Nawawi dalam Kifayatul Akhyar Juz II halaman 152, “Sumpah menurut syara adalah menyatakan sesuatu atau menguatkan dengan menyebut lafal ‘Allah” atau sifatsifatnya.” Definisi ini diperkuat oleh para ulama fikih bahwa sumpah secara terminologisnya adalah Penegasan dengan ucapan sesuatu yang mungkin terjadi baik terhadap sesuatu yang telah terjadi, maupun yang akan terjadi. Dari definisi ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sumpah itu berlaku untuk masa yang telah lalu, dan juga yang akan datang. Sumpah terhadap sesuatu yang
telah lalu merupakan pernyataan terhadap apa yang terjadi dilihat dan didengar tentang orang lain. Dalam pengertian bahasa Indonesia sehari-hari, dapat dibedakan antara sumpah dengan janji, karena sumpah itu harus didahului dengan ucapan “Demi Allah” dan yang semisalnya, sedangkan janji tidak mesti demikian. Term sumpah dalam syariat Islam didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan Ijma’ Ulama. Term Sumpah disebutkan dalam surat al-Maidah :1;89, al-Imran: 77, alNahl: 91, al-Isra’:34, Saba’:3, Al-Taghabun: 7. Ayat-ayat tersebut menegaskan tentang sumpah dan pelaksanaannya agar
tidak
membatalkan
sumpah
sesudah
meneguhkannya. Rasulullah Saw. Memperingatkan pula dalam hal melakukan sumpah seharus diperhatikan tuntunannya antara lain: “Sesungguhnya Allah melarang kamu sekalian bersumpah dengan nama nenek moyangmu; barang siapa akan bersumpah, bersumpahlah dengan nama Allah atau diam.” Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. Bersabda,
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka ia telah kafir atau telah musyrik.”. Sumpah itu harus dikaitkan kepada Allah, maka bagi orang yang beragama, yang percaya kepada Allah, sumpah itu mempunyai nilai agung dan dianggap sakti atau keramat. Hal demikian didasari pada keyakinan bahwa janji atau sumpah itu adalah seuatu yang harus ditepati. Bagi yang meyakininya, takut akan ditimpa dosa dan bahkan lebih besar daripada sanksi kafarah terhadap yang melanggarnya.Kewajiban menetapi janji itu tersirat dalam beberapa ayat al-Qur’an antara lain: Surat alMaidah:1, 89, al-Nahl: 91, al-Isra: 34, dan al-Imran: 77. Demikian beberapa dalil yang dapat dijadikan pegangan untuk melaksanakan sumpah. Lantas,setelah sumpah diucapkan, sanksi apakah yang diberikan jika seseorang melanggar sumpahatau janjinya? Di antara sabda Rasulullah Saw. terkait dengan sanksi terhadap yang melanggar sumpah, yang cukup terkenal adalah dikelompokkannya pelanggar sumpah itu ke dalam orang yang munafik, Rasulullah Saw, bersabda: “Tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berkata ia
berdusta, bila ia berjanji ia ingkari, bila ia diberi amanat ia khianati.” Ayat-ayat serta hadits Nabi Saw. tersebut di atas mengharuskan orang yang mengucapkan sumpah untuk selalu mentaatinya, sanksi dosa bagi pelanggarnya menempatkan sumpah itu di tempat yang dianggap sakral bagi orang yang beragama. Bagi para pejabat negara, pegawai negeri, profesional, dan lain sebagainya, sumpah jabatan memang sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya, mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda. Menurut Taufik, ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan tidak memberikan dampak signifikan. Pertama, karena pribadi yang bermasalah. Yaitu kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan sifat-sifat ataupun perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin buruk serta rendahnya
kadar
moralitas.
Padahal,
sejarah
menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak dapat mengantarkan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.Kedua, sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mendukung. Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di berbagai dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun sektor-sektor yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan konduite perlu diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier berlandaskan sistem merit. Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 77, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih.”
Semoga tulisan ini semakin meneguhkan sumpah dan janji yang telah kita ucapkan.Wallahu ‘a’lam bishawwab
Sumber : bimasislam.kemanag.go.id/informasi/opini