Urgensi Bahasa Arab dalam Memahami Ilmu Islam Oleh H. Ahmad Bukhari Muslim, MA Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung
ABSTRACT Since Al-Qur‘an and As-Sunnah—as the main sources of Islamic revealed sciences— are written in Arabic language, it goes without saying that this language plays an important and decisive role for understanding the message of Islamic religion. Without Arabic mastery, it is impossible to study and understand Islam comprehensively. Arabic and Islam are two different faces of the one coin: both are the integral parts. Mastery of Arabic is a must for those who study Islamic revealed sciences. This article aims at searching and explaining some theological bases of that importance of Arabic originating in both Al-Qur‘an and As-Sunnah.
Keywords: Bahasa Arab, Al-Qur‘an, As-Sunnah.
Pendahuluan Arti penting bahasa Arab sebagai ilmu alat bagi umat Islam untuk memperdalam agamanya merupakan suatu kebutuhan primer yang tak bisa ditawar. Maka setiap muslim, terlebih aktivis dakwah, sudah semestinya memulai untuk mempelajari bahasa Arab dan berkutat dengan kitab-kitab kuning utamanya kitab-kitab turast (induk) dalam mendulang lautan ulum al-syar‟i. Suatu ironi apabila mayoritas kaum muslimin hari ini lebih intens dengan bahasabahasa asing lainnya dan mengabaikan lughatul jannah (bahasa surga) dengan seribu satu alasan. Lebih mengenaskan lagi apabila aktivis dakwah terus terbelenggu dengan buku-buku terjemahan padahal tantangan dakwah mengharuskan para aktivis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur‘an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah:
ِإآَّن اَأآْلْن َأ ْلَأ اُها ُهْن ْل آًن ا َأ َأ ِإًّي اَأ َأ َّن ُه ْل ا َأْن ْل ِإ ُه َأنا
―Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.‖ Ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas, Ibnu katsir berkata: ―Yang demikian itu (bahwa Al -Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur‘an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.‖ (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirotil Mustaqim berkata: ―Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi‘ar-syi‘ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.‖ Bahasa Arab memiliki keutamaan-keutamaan tersebut dan memudahkan kita mempelajari ajaran Islam. Dan sangat disayangkan jika kita tidak menguasainya dan tidak mencoba mempelajari bahasa Arab. Sungguh memprihatinkan musibah yang telah menimpa umat ini. Hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan sungguh-sungguh. Mayoritas terbenam dalam tujuan dunia yang fana, sehingga enggan dan ogah-ogahan mempelajari bahasa Arab yang konon tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan sekalipun fasih berbahasa Arab. Kontras dengan bahasa Inggris, sesusah apapun, dengan biaya berapapun, dan bagaimanapun caranya, bahasa Inggris harus dalam genggaman. Tak heran kursus-kursus bahasa Inggris menjamur di mana-mana; beda nasibnya dengan kursus bahasa Arab.
Pengaruh Bahasa Arab dalam Kehidupan Syaikhul Islam berkata: ―Dan ketahuilah! Membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.‖ (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Mereka yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur‘an serta haditshadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbaiki akhlak dan agamanya serta lebih lurus alur pemikirannya. Sebab, betapa banyak buku-buku terjemahan yang memelencengkan maksud si penulis sehingga menyesatkan khalayak. Imam Az-Zahroh berkata: ―Sesungguhnya kebanyakan manusia salah dalam mentakwilkan Al-Qur‘an disebabkan minimnya pengetahuan bahasa Arab mereka‖. Imam Ayub As-Sakhtiyani berkata: ―Kebanyakan penduduk Iraq menjadi zindiq (keluar dari pemahaman Islam yang benar) karena bodohnya mereka dengan bahasa Arab‖. Penduduk Irak pada sekitar tahun 73 H memiliki pemahaman Islam yang menyimpang yang dipimpin oleh Azariqoh sehingga dengan kesesatan mereka ini terjadi fitnah luar biasa di negeri Islam pada saat itu. Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: ―Amma ba‟du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab‖. Umar juga berkata: ―Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian‖. Beliau juga mengatakan: “Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan”. Imam Syafi‘i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur‟an. Tidak pernah ada satu kata yang terlewatkan olehku, kecuali aku memahami maknanya”.
Demikian perkataan ulama salaf tentang mempelajari bahasa Arab. Mereka begitu peduli bahkan siap menghabiskan umur untuk menguasai bahasa arab sebagai ilmu alat utama untuk memasuki dunia ilmu agama Islam, utamanya Al Qur‘an dan Sunnah.
Pengaruh Bahasa Arab untuk Pendidikan a. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah berfirman:
ْلْن َأ ْلا ِإ ْلا ِإ ا َأِّب َأ ا َّن ِإ ا َأ َأ َأا Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. [Al 'Alaq: 1]. Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan. Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham/bait syair. Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunan, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik. b. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata: ”Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.” Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasi. Dan ini salah satu factor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk m1erenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah:
اا َأ َأ َأآَّن ا َّن ا ِإ ا َّن ِإ ِإ ِإ ٍن ا ْل ِإ ْل ا ِإ ِإ اا ِإ ٍنا ل َأ آا َأْنَأ ْل لَأُه ُها لَّنْلْن ُه اَأ ْل ا َأْن ْل ِإ ا ِإ ا ِّب ُهيا ا َأ َأ ن َأ َأ َأ ُه َأ َأ َأ
Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. [Al Hajj: 31]. Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka perumpamaan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan beramai-ramai menyambarnyasehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, syetan-syetan itu menghancurkan.
c. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor. Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi‟in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”.
Hukum Mempelajari Bahasa Arab Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:
االا ا جبا الا ا ا جب “Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Ibnu Taimiyah menambahkan: “Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib „ain (individual) dan ada yang wajib kifayah (kolektif). Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy‟ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I‟roblah Al-Qur‟an karena Al-Qur‟an itu berbahasa Arab.” Dalam riwayat lain, Umar bin Khattab R.A berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian; dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Dengan kata lain, mempelajari bahasa Arab secara mendalam hukumnya adalah wajib kifayah/kolektif, seperti apa yang dijelaskan Allah SWT: (At-Taubah: 122): ―Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya‖. Jadi, bahasa Arab tetap penting, bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Dan merupakan kewajiban kita mempelajarinya dan menjadi perhatian kaum muslimin. Meskipun untuk memahami secara mendalam terhadap ajaran agama islam itu hukumnya wajib kifayah, tetap saja kita perlu mempelajarinya agar kita paling tidak memahami bacaan-bacaan sholat, do‘a sehari-hari, amalan-amalan zikir dan lain sebagainya untuk lebih khusyu‘ dan terhayati. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur‘an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan dengan tepat dan benar.
Bahasa Arab sebagai Jalan Mencari Ilmu Syar’i yang Benar Ilmu syar‘i yang benar adalah sarana seorang hamba untuk beribadah kepada Allah SWT dengan benar. Sedangkan ibadah adalah tujuan utama diciptakannya para jin dan manusia, Allah SWT berfirman:
إلآسا الّاِإ بد ن ُه تا ج َّن ا ا َأ
ا ا
―Tidaklah Aku (Allah) menciptakan para jinn dan manusia melainkan agar mereka ber‘ibadah kepada-Ku) QS. Ad-Dzariyat: 56. Ilmu syar‘i termasuk qurbah (pendekatan diri) yang paling tinggi kepada Allah, bahkan para ulama berkata, sesungguhnya lmu syar‘i merupakan agama. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita memperhatikan dengan baik dari siapa kita mengambil agama kita ini, dan dari sumber yang bagaimana kita menerima ajaran agama kita ini. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkanbisa jadi kita bagaikan
ِإ با َّنْل ِإا ا ُه
“pencari kayu
bakar dimalam hari”, yang mana bisa jadi diantara kayu bakar yang ia kumpulkan terselip pula ular berbisa yang akan mematuk dan membunuhnya. Al Imam Muslim –rahimahullah- mengeluarkan sebuah hadits dalam muqaddimah shahihnya, dari Muhammad Bin Sirin –rahimahullah-, beliau (Muhammad Bin Sirin) berkata:
َّننا َأ ا ْل ِإ ْل َأا ِإ َأ ا ِّبد ْل ِإ ا َأ آْل ُهُه ْل ا َأ َّن ْل ا َأْل ُه ُه ْل َأنا ِإ ْلْنَأ ُه ْلا ―Sesungguhnya ‗ilmu (syar‘i) ini adalah bagian dari agama, oleh karena itu perhatikanlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian?‖ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan tentang bagaimanakah cara mendapatkan ilmu yang benar. Beliau katakan:
ِإ اا لاآَأْن ْل ٍن ا ُه َأ َّند ٍن ا َأ اآَأ َأ ٍنا ُه َأ َّن ٍنا ْل ْل ُها َأ ْل ُه ―Ilmu itu membutuhkan penukilan yang terpercaya dan pengkajian yang teruji‖. Jadi, kita dituntut untuk mengerti makna yang dikandung oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah dimana keduanya tertulis dan sampai kepada kita dalam bahasa Arab, dan memang itulah cara untuk menghasilkan ilmu yang tepat dan benar. Ini berarti, tanpa pengetahuan akan hal itu maka kita tidak dapat memetik manfa‘at dari kandungan nash-nash tersebut, atau kita akan salah memahami maksudnya sehingga salah pula pengamalannya, jika salah pengamalan maka tersesatlah kita dari jalan yang benar –na‘udzu billah min dzalik
Oleh karena itu, kita harus memahami makna kandungan nash-nash syar‘i tersebut dengan benar. Dan ini tidak dapat terlaksana kecuali jika kita mengetahui ilmu bahasa Arab. Apa yang disampaikan oleh seseorang berkaitan tentang Al Qur`an ataupun As Sunnah tanpa dasar ilmu adalah suatu tindakan tercela dan takalluf (memaksa diri). Hal itu sangat terlarang didalam Islam. Umar Bin Khathab R.A berkata:
ّف
آُهِإ ْلْنَأ ا َأ ا
―Kami (para shahabat) dilarang untuk takalluf (berlebih-lebihan/memaksa diri)‖. HR. Al-Bukhary (no.6863). Meskipun hadits ini hukum sanadnya marfu‟ (bersandar kepada sahabat), namun larangan ini sebenarnya bersumber dari Rasulullah SAW; karena larangan tersebut yang diberlakukan bagi Umar dan sahabat lainnya pasti bersumber dari Rasulullah SAW, mustahil dari selain beliau. Rasulullah SAW juga bersabda:
ّا ضّ ا ا ض
اغ ا
سا آ ًنا اج ًنال ا ل ا ا ُه
لا ذ ا ا ْنُهْلب ِإ ا ًن ا
―Sehingga jika tidak tersisa lagi seorangpun ahli ‗ilmu maka para manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin itu akan ditanya, lalu merekapun berfatwa tanpa dasar ‗ilmu, maka akhirnya mereka sesat dan menyesatkan‖. HR. Al-Bukhary (no. 100), dan Muslim (no. 2673). Al Imam Asy Syathibi berkata: (yang demikan itu terjadi) karena mereka (para pemimpin yang bodoh) jika tidak mengerti bahasa ‗Arab, maka merekapun akan menjadikan bahasa ‗Ajam (non ‗Arab) sebagai alat untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Allah SWT menurunkan Al Qur`an di satu sisi dengan bahasa Arab bukan dengan bahasa selainnya, di sisi lain Allah SWT mensifati Al Qur‘an berbahasa arab. Allah SWT berfirman:
ن
آ اج اا آ ا ّ ا ّ ا
―Sesungguhnya Kami turunkan al Qur`an dalam bahasa ‗Arab agar kalian memahaminya‖ QS. Az-Zukhruf: 3. Begitu pula Rasulullah SAW sebagai orang yang menerima wahyu Al Qur`an adalah seorang Arab tulen, juga para manusia yang menyaksikan masa-masa turunnya wahyu adalah orang-orang Arab. Maka Al Qur`anpun ditujukan kepada mereka dengan gaya bahasa mereka dan tidak sedikitpun terdapat kata ‗ajam (kata selain Arab). Bahasa Arab adalah salah satu penolong terbesar bagi kita untuk memahami maksud Allah dan Rasul-Nya yang tertuang didalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Pada umumnya, kesesatan ahli bid‘ah adalah disebabkan ketidakfahaman mereka akan bahasa Arab. Merekapun menafsirkan Al Qur`an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman yang mereka klaim adalah benar, padahal tidak demikian adanya. Mengerti bahasa Arab dengan baik dapat menjaga kita agar tidak terjerumus kedalam perkara-perkara yang syubhat (samar/tidak jelas) dan perbuatan mengada-ngada dalam beragama, sebagaimana yang banyak terjadi pada individu atau kelompok yang mengatasnamakan ajaran Islam. Al Imam Muhammad Bin Idris Asy Syafi‘i –rahimahullah- berkata:
ا لا ل ِإنا الل س
ْل ا الا ك ا ل َأنا با ا
س ا االا اج ِإ ا ُه
―Tidaklah terjadi kebodohan dan perpecahan umat manusia kecuali karena mereka meninggalkan bahasa ‗Arab dan lebih menyenangi bahasanya Aristoteles‖. Beliau (Al Imam Asy Syafi‘i) –rahimahullah- juga berkata:
ِإ با ٌداج َأاا ةا ل ِإنا ب
الا ُها ِإ ْل ا ض ِإحاج ا ْل ِإ ا
―Seseorang tidak akan mengetahui penjelasan susunan kata yang dikandung ‗ilmu Al Qur`an jika ia tidak mengerti akan luasnya bahasa ‗Arab‖. Dari penjelasan di atas, memiliki kemampuan bahasa Arab adalah memudahkan kita untuk meniti jalan yang benar dalam beribadah kepada Allah SWT, sebagaiman yang difirmankan Allah SWT:
ل آ اا ل ا ّ ا ك ن ّ إآ ا ―Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur`an itu melalui bahasamu (wahai Muhammad) agar mereka mendapat pelajaran‖ Ad-Dukhan: 58. Bahasa ‗Arab, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adalah syi‘ar Islam dan kaum muslimin, karena bahasa adalah simbol masingmasing ummat dan cirri khas mereka. Untuk itu, kita sebagai umat Islam hendaknya menjadikan syi‘ar/symbol cirri khas kita adalah bahasa Al Qur‘an dan As Sunnah, bahasa Islam dan kaum Muslimin, yaitu bahasa Arab.
Ancaman Terhadap Mereka yang Ingin Memahami Al Qur’an Tanpa Penguasaan Bahasa Arab Kaum Muslimin meyakini bahwa Al-Qur‘an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Sang Pencipta Alam. Ia adalah kalam Allah yang berbeda dengan teks-teks buatan manusia seperti buku, koran atau majalah. Karenanya, dalam memperlakukan kitab ini, umat Islam memiliki adab yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar orang yang mengaku beriman pada Allah tidak sembarang memperlakukan kalam suci ini, baik terhadap fisiknya, apalagi isinya. Rasulullah dalam riwayat Tirmidzi telah mengancam setiap orang yang berani menafsirkan Al-Qur‘an tanpa ilmu dengan ancaman yang besar yaitu neraka. Karena itu setiap orang yang beriman hendaknya mengetahui adab-adab terhadap AlQur‘an dengan baik. Diantara adab yang harus perhatikan bagi yang hendak memahami atau menafsirkan Al-Qur‘an antara lain wajib menguasai bahasa Arab. Seorang tabi‘in bernama Mujahid pernah berkata:‖Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Al-Qur‘an sedang ia tidak paham bahasa Arab‖. Ini artinya, hukumnya haram bagi seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab dengan baik tapi berani berpendapat tentang sesuatu yang ada di dalamnya. Mereka yang berani melakukan hal itu sama saja menganggap kalam IIahi ini bukan sebagai kitab suci, sebagaimana keyakinan orang-orang kafir.
Komponen dalam bahasa Arab itu banyak dan harus dikuasai dengan baik sebelum memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an. Diantaranya harus menguasai nahwu-shorof untuk mengetahui perubahan kalimat. Kemudian asalibul (talisitas) bahasa Arab untuk mengetahui gaya bahasa (balaghah) supaya bisa mengetahui kalimat majaz (arti yang tidak sebenarnya) dan isti‘aroh (peribahasa)-nya. Selain itu harus menguasai ilmu dilalah atau mafhumun nusus (pemahaman khusus). Misalkan, dalam Al-Qur‘an
kata perintah tidak semuanya
menunjukkan kata wajib. Lalu juga harus menguasai ilmu tarakib (susunan kalimat). Demikian juga harus memahami bahwa kadang suatu ayat yang menunjukkan keumuman arti („âm), ternyata keumuman itu dibatasi oleh ayat yang lain (takhshîshul-„âm). Atau arti suatu ayat terlalu global (mujmal), sehingga kemudian diperinci (tafshîl) oleh ayat yang lain. Juga melihat indikasi-indikasi dan petunjuk-petunjuk yang dimunculkan ayat, keterkaitan antara suatu ayat dengan yang mendahului dan yang menyudahinya, dan lain sebagainya. Dan semua ini memerlukan metodologi yang baku. Ilmu-ilmu ini harus dikuasai sebelum memahami atau menafsirkan Al-Qur‘an. Kalau tidak,
maka
pemahaman
atau
penafsirannya
pasti
ngawur
dan
tidak
bisa
dipertangungjawabkan secara ilmiah. Sebagai contoh, penafsiran yang dilakukan Agus Mustofa dalam karya-karyanya yang terhimpun dalam buku serial diskusi tasawuf modern, jauh dari penafsiran ilmiah bahkan penafsiranya menyesatkan. Ini karena ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dengan baik. Misalkan ia tidak bisa membedakan antara hawa sebagai hawa nafsu dan hawa sebagai ibu Hawa, istri Nabi Adam. Padahal awalan kedua kata tersebut jelas berbeda. Yang pertama berawalan ()ه, yang kedua berawalan ( )ح. Lebih parah lagi, ia juga berani membuat metode penafsiran sendiri yang dinamakan metode puzzle. Metode yang tidak dikenal dalam tradisi keilmuan Islam ini, jika ditelaah metode itu menyesatkan. Ini karena ia hanya didasarkan pada persepsi dangkal tanpa referensi yang jelas. Cara kerja metode ini yaitu mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu yang tersebar di beberapa surat dalam Al-Qur‘an, kemudian digabungkan, dirumuskan untuk mendapatkan gambaran utuhnya menurut persepsinya. Sekadar contoh, dalam buku serial diskusi tasawuf modern ke-2,‖ Ternyata Akhirat Tidak Kekal‖, sebagaimana diceritakan sendiri, sebelumnya ia sudah berpersepsi bahwa ‗tidak logis‘ kalau akhirat itu kekal, sebab jelas yang kekal itu hanya Allah SWT saja. Karena itu untuk membenarkan persepsi ini, ia kemudian mengumpulkan ayat-ayat mengenai akhirat,
lalu menyeleksinya, dan menggiringnya agar sesuai dengan persepsi awal yang telah dibangunnya. Setelah menemukan ayat yang cocok, yaitu ayat yang terdapat dalam QS. Hud [11]: 108, ia kemudian mati-matian melakukan rasionalisasi, dan menyatakan bahwa akhirat memang tidak kekal, dengan berdasarkan ayat itu. Kesimpulannya itu ia dasarkan pada kata “illâ mâ syâ‟a Rabbuka” (kecuali jika Tuhanmu menghendaki [yang lain]). Padahal jika hanya menyandarkan pada kata itu jelas tidak tepat. Sebab selain tidak seirama dengan ratusan ayat yang lain, kajian ini juga tidak metodologis. Dalam hal ini ia tidak memperhatikan rentetan ayatnya, tapi hanya fokus pada kalimat tersebut. Padahal rentetan ayat itu mengatakan ―‘athâ‟an ghaira majdzûdz‖ (sebagai karunia yang tiada putus-putusnya), yang sebetulnya sudah menepis praduga Agus Mustofa (akhirat tidak kekal) dengan tanpa memperhatikan ayat-ayat yang lain. Demikian juga jika ayat tersebut ditafsiri dengan ayat Al-Qur‘an yang lain, hasilnya akhirat kekal abadi. Demikianlah yang dinyatakan dalam ratusan ayat lain secara tegas. Demikian pula keterangan dari Hadits-Hadits sahih, sekaligus kesepakatan para ulama. Berdasar hal ini kemudian kaum muslimin meyakini bahwa akhirat itu kekal karena dikekalkan oleh Allah. Sedang kekalnya Allah karena kekal dengan sendirinya. Kesalahan lain metode puzzle, yaitu tidak menyertakan Hadits sebagai salah satu komponennya. Padahal tidak semua ayat Al-Qur‘an bisa ditafsiri dengan ayat lainnya. Terdapat sekian banyak ayat Al-Qur‘an yang justru penjelasan rincinya tidak didapati dalam Al-Qur‘an, namun ada dalam Hadits. Misalnya tentang bagaimana cara shalat yang benar, sebab Al-Qur‘an hanya memerintahkan ―aqîmush-shalâh‖ (dirikanlah shalat), dengan tanpa memberikan penjabarannya. Begitu pula perintah puasa, zakat, dan haji. Perintah dalam AlQur‘an adalah global, kemudian dirinci dan dijelaskan oleh Hadits. Demikian pula ayat-ayat mutasyâbihât yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali melalui Hadits. Dengan demikian, jelaslah sudah, bahwa metode puzzle yang digunakan Agus Mustofa untuk menafsiri Al-Qur‘an, berbeda seratus persen dengan metode tafsîrul-Qur‟ân bil-Qur‟ân yang digunakan oleh para ulama. Metode puzzle inilah yang menjerumuskannya ke dalam jurang kekeliruan, seperti terjadi pada sekte-sekte sesat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aris Gunawan dalam buku RLQ (Revolutionary Way in Learning Qur'an). Tanpa bekal bahasa Arab yang memadai, ia seenaknya menafsiri Al-Qur‘an. Misalkan ia mengartikan kata ―hadits‖ dalam surat Luqman ayat 6 sebagai Hadits
Rasulullah. Padahal yang benar kata itu artinya adalah ―perkataan‖ karena ia berkedudukan sebagai mudhaf ilaih dari kata ―lahwu (sia-sia)‖ yang berkedudukan sebagai mudhaf. ―Lahwu al-hadits‖ adalah idhafah yang jika dipisahkan akan rancu artinya. Kata tersebut menurut Ibnu Abbas bermakna perkataan atau syair orang-orang bodoh (lihat tafsir Qurtubi), bukan Hadits Rasulullah. Kalau ―hadits‖ dalam ayat itu diartikan sebagai Hadits Rasulullah, sehingga harus ditinggalkan, lalu bagaimana dengan surat Al Waqiah ayat 81, dimana Allah yang Maha Benar mencelah orang yang meremehkan ―hadits‖. Ini artinya, jika kata ―hadits‖ dalam kedua ayat itu diartikan Hadits Rasulullah berarti Allah tidak konsisten dan ini tidak mungkin terjadi. Karena itu, kata ―hadits‖ dalam kedua ayat tersebut tidak bisa diartikan sebagai Hadits Rasulullah. ―Hadits‖ dalam surat Luqman artinya perkataan, sedang dalam surat Waqiah maksudnya adalah Al-Qur‘an. Belum lagi fenomena yang akhir-akhir terjadi di kalangan umat Islam tanah air. Banyak masjid dan musholla diukur ulang arah kiblatnya lantaran diyakini telah terjadi pergeseran tanah sebagai akibat terjadinya gempa bumi dan sunami serta pengaruh cuaca ekstrim global. Ini dilakukan karena mereka menganggap sholat akan tidak sah jika tidak tepat menghadap kiblat, sebab dalam niat sholat yang diucapkan ada kata-kata ―mustaqbilal qiblah‖ (menghadap kiblat). Padahal jika kita merujuk kepada Al Qur‘an, maka kita akan menjumpai kata kunci tentang kiblat sholat, yaitu kata ―syatrun‖. Allah SWT berfirman:
ما ث اك ا
ا ب ةا ض ا لا ج اشل ا لجدا نا آ ا ا ا ا َأ َأ ا ّ ُها ِإغَأ ِإ ٍن ا َأ َّن ا َأْن ْل َأ ُه َأنا با
ا ا ل آا ا
ا
داآ ىا با ج
اشل اا نا
اج
―Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan‖. Al-Baqoroh: 144
ا.اشلْل َأ ا ْل َأ ْلل ِإج ِإدا ْل َأ َأ ِإما َأ ِإآَّن ُهاَأ ْل َأ ُّا ِإ ْل ا َأِّب َأ ا َأ َأ ا َّن ُها ِإغَأ ِإ ٍن ا َأ َّن ا َأْن ْل َأ ُه َأنا َأ ِإ ْل ا َأ ْل ُه تا َأْن َأ ِّبلا َأ ْلج َأ َأ َأ ثا َأ َأ ْلج َأ اشلْل َأاُهاِإئَأ َّنَّلا َأ ُه َأنا اشلْل َأ ا ْل َأ ْلل ِإج ِإدا ْل َأ َأ ِإما َأ َأ ْل ُه َأ ِإ ْل ا َأ ْل ُه ثا َأ ُهاك ْل ُه ْل ا َأْن َأ ُّ ا ُه ُهج َأ ُه ْل َأ تا َأْن َأ ِّبلا َأ ْلج َأ َأ َأ ثا َأ َأ ْلج َأ ِإ َّن ِإ سا َأ َأْل ُه ْل ا ُه َّنجةٌاِإَّنالا َّن ِإ َأ ا َأَأ ُه ا ِإ ْلْن ُه ْل ا َأ َأَّلا َأ ْل َأ ْل ُه ْل ا َأ ْل َأ ْل آِإ ا َأ ِإ ُهِإ َّناآِإ ْل َأ ِإ ا َأ َأْل ُه ْل ا َأ َأ َأ َّن ُه ْل ا َأْن ْل َأ ُهد َأنا Dan dari mana saja kamu ke luar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.(QS. 2:149) Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk,(QS. 2:150) Kata ―syatrun‖ dari segi bahasa berarti separuh/setengah. Ini berarti bahwa arah kiblat bagi yang tidak melihat ka‘bah atau masjidil haram cukup mengarahkan saja wajahnya ke arah masjidil haram, tanpa harus memastikan atau harus garis lurus ke arah masjidil haram. Allah SWT menggunakan kata ―syatrun‖ yang berarti arah untuk memudahkan kita, bahwa arah dimaksud adalah arah timur atau baratnya masjidil haram. Tanpa perlu mempermasalahkan melenceng ke utara atau selatan. Hal ini seperti yang dijelaskan Allah SWT dalam ayat lain:
ِإ ِإ ِإ ِإ ل َأ َأ آا ِإ َأ ا َّن ِإ با َأْن ْل ِإد ُّ َأاَأْن ُه ُهلا سا َأ ا َأالَّن ُه ْل ا َأ ا ْلبْن َأ ِإ ُها َّن َأاك آُه ْلا َأ َأْلْن َأ ا ُه اِّبّ ا ْل َأ ْل ِإ ُه ا َأ ْل َأ غْل ِإ ُه َأ ا َأ َأ آُهاِإَألا ِإ َأ ٍناا ُّ ْللَأ ِإ ٍنا ―Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". Dampak dari ketidakfahaman tersebut menimbulkan keresahan umat, bahkan ada yang tidak lagi merasa khusyu‘ di waktu sholat lantaran ia ragu tentang kiblatnya.
Contoh-contoh di atas hanya sebagai bukti bahwa seseorang yang tidak paham bahasa Arab, hasil pemafsirannya akan ‗ngawur‘ dan menyesatkan. Karena itu, setiap orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya hendaknya berhati-hati terhadap setiap penafsiran yang tidak berdasar pada kaidah yang benar. Al-Qur‘an adalah kalam Allah yang suci, bukan seperti koran, sehingga harus dijaga kesuciannya.
Kesimpulan Bahasa Arab merupakan alat dasar yang sangat urgen dalam memahami ilmu agama Islam, terutama sekali Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Lebih dari itu, Allah SWT telah mensifati Al-Qur‘an berbahasa Arab sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Siapa yang mencoba mendalami Ilmu Agama Islam tanpa memiliki komptensi bahasa Arab yang memadai akan terjebak dalam kesalahan. Bukan saja di dunia, yaitu memamahami dengan pemahaman keliru dan menyesatkan. Lebih dari itu ia akan mendapat murka Allas SWT di akhirat. Karena itu, kita harus kembali kepada ulama-ulama yang mumpuni dalam menggali ilmu ajaran agama Islam supaya tidak terjebak mendapatkan ilmu yang tidak benar, dan pada gilirannya akan mengamalkan ajaran agama Islam yang tidak benar juga sehingga menjadi sia-sia di hadapan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA Abbas Mahmod al-Aqqad, Al-Islam Fil Qarn Al „Isyriin (Islam Pada Abad Duapuluh), DarNahdhah, Cairo Abdul Rahman Al-Fauzan Ph.D dkk, Al “Arabiyah Baina Yadaik, Al Arabiyah Lil Jami‘, Arab Saudi, 2001 Ahmad Hamdani, Terjemahan Iqtdho‟ as-Shyrot al-Mustaqim libni Taimiyah (Meniti Jalan Lurus), Pustaka Ar-Rayyan, Solo. Asy-Sya‘rawy, Tafsir Asy-Sya‟rawy(Tafsir Seikh Asy-Sya‟rawy), Akhbar El-Youm, Cairo. Jamal Abdel Hadi, Ph.D & Wafa Mohamed, Ph.D, Akhtaa Yajib An Tusahhah (Kesalahan Yang Harus Dikoreksi), Dar Al-Wafa, Mesir, 1988 Manna‘ al-Qattan, Mabahis Fi Ulumil Qur‟an (Kajian-Kajian Dalam Ilmu Al-Qur‟an), Dar el Fikr, Cairo.