KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA1
Ifdhal Kasim
1. Dengan tema “konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia”, yang diberikan kepada saya, saya kira panitia mengharapkan kepada saya untuk memberikan pembahasan yang lebih luas daripada sekedar berbicara tentang pengajaran hak asasi manusia itu sendiri. Tapi pada aspek-aspek yang menciptakan, mendorong, dan memicu adanya pengajaran hak asasi manusia. 2. Saya akan membahas dari sudut yang luas itu. Bagian pertama, saya akan membahas konteks ekonomi-politik dunia setelah penyerangan 11 September di New York, USA, yang berimplikasi sangat besar pada hak asasi manusia. Pada bagian kedua saya berbicara mengenai pengajaran hak asasi manusia setelah 11 September, dan lembaga-lembaga finansial pendukungnya. Terakhir saya fokuskan bahasan pada prospek pengajaran hak asasi manusia pasca 11 September.
I 1. Saya ingin memulai pembahasan dengan mengulas kemunculan “the age of enforcement” dalam gerakan hak asasi manusia. Istilah ini diberikan oleh Geoffrey Robertson dalam bukunya yang terkenal, Crimes Against Humanity: The Strunggle for Global Justice, untuk menyebutkan kepada gerakan yang muncul pada dua dekade terakhir ini dalam gerakan hak asasi manusia, yakni kepada
1
Makalah disampaikan dalam Semiloka tentang Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan NCHR University of Oslo Norway, Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2005 di Yogyakarta.
gerakan yang menuntut pertanggungjawaban (accountability) atau keadilan (justice), yakni menuntut mereka yang bersalah! Gerakan ini menjadikan isu hak asasi populer, yang menuntut perlunya perluasan hak asasi manusia di semua level masyarakat dan negara. PBB akhirnya mengeluarkan Dekade untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (1993). 2. Kemunculan gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks keruntuhan Perang Dingin. Para diktator tidak bisa lagi berlindung dibalik isu politik “perang dingin” tersebut, karena itu kejahatan mereka dapat dibongkar dan diajukan ke pengadilan. Kecenderungan dalam menerapkan kewajiban semacam itu telah dimulai dengan setengah hati setelah Perang Dunia I dengan Perjanjian Perdamaian Versailles, yang melahirkan penuntutan hukum terhadap Kaisar Wilhelm. Jerman diwajibkan menuntut individu-individu yang tingkatannya lebih rendah melalui pengadilan khusus yang dibentuk di Leipzig. Inisiatif-inisiatif ini tidak menghasilkan apa-apa, sang Kaisar mendapatkan suaka di Belanda; pengadilan
Leipzig
menunjukkan
kurangnya
kemauan
politik
Jerman
menghukum warga negaranya sendiri. 3. Komitmen yang serius terhadap pertanggungjawaban pidana muncul setelah Perang Dunia II, ketika diplomasi Amerika mendorong penyelesaian hukum terhadap apa yang dilakukan pemimpin-pemimpin Nazi dan Jepang; jalan penyelesaian yang nampaknya lebih masuk akal bila dibandingkan dengan eksekusi massal yang diinginkan Stalin dan Churchill. Pengadilan Nuremberg dan Tokyo dijalankan, khususnya Nuremberg menunjukkan dengan gamblang dan sepenuhnya kepada dunia tentang kekejaman Nazi kepada segmen publik yang luas. Sebaliknya dengan pengadilan Tokyo terasa lebih sepi, dengan penuntutan yang tampak segan. Tidak terlalu berani menekan tertuduh, karena Jepang dilihat sebagai sekutu yang tidak dapat disingkirkan dalam konflik global dengan Uni Soviet yang sedang berkembang. 4. Tetapi pengadilan Nuremberg dan Tokyo yang spektakuler itu tak luput dari tuduhan “keadilan pemenang perang” (victor justice). Sebab ada larangan membuat penelitian terhadap pelanggaran hukum perang yang telah dilakukan AS ketika membom kota-kota Jerman dan Jepang secara indiskriminatif, yang telah
menyebabkan tewasnya ratusan ribu warga sipil. Bahkan pemeriksaan terhadap kasus penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tidak diperbolehkan. 5. Ketika Perang Dingin mulai, inisiatif-inisiatif membawa mereka yang bersalah ke pengadilan
pidana
mulai
menghadapi
tembok
politik
global
tersebut.
Kenyataannya pemenang Perang Dunia II diasosiasikan dengan kekuatan yang menggunakan taktik-taktik kotor dalam perang yang dihujat di Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Meskipun demikian gagasan pertanggungjawaban masih tetap hidup, terutama karena inisiatif tanpa lelah masyarakat sipil. Perang Vietnam menimbulkan perpecahan dalam masyarakat-masyarakat demokratis, termasuk Amerika Serikat. Telford Taylor, mantan pejabat militer dan jaksa penuntut pengadilan Nuremberg, menulis buku yang sangat berpengaruh saat akhir Perang Vietnam, menyatakan bahwa kebijakan yang diterapkan AS di Vietnam setara dengan apa yang dianggap sebagai tindakan kriminal pada Nuremberg ---yang telah menjadi dasar bagi penyelidikan dan penghukuman terhadap pimpinan-pimpinan Nazi. 6. Pemenang hadiah Nobel dari Inggris, filsuf Bertrand Russell, mendirikan tribunal kejahatan perang --yang panelnya berasal dari kaum intelektual dan tokoh-tokoh budaya yang mengumpulkan bukti dan meneliti tanggungjawab AS di Vietnam, yang kemudian mencapai keputusan bersalah. Gerakan masyarakat sipil yang berdasarkan pada panggilan suara hati nurahi semacam itu membuat banyak warga Amerika membenarkan penolakan berpartisipasi dalam perang, melalui penolakan wajib militer atau membayar pajak, dengan mengacu kepada apa yang dinamakan “Kewajiban Nuremberg”, yakni hak warga negara menolak kewenangan pemerintah apabila “negara” melanggar kewajiban sebagaimana telah ditentukan dalam hukum internasional yang diterapkan di Nuremberg. Praktis
sejak
tahun
1945
negara-negara
telah
mengabaikan
gagasan
pertanggungjawaban pidana, tetapi gagasan itu masih tetap bertahan karena komitmen-komitmen visioner dari masyarakat sipil yang terus melawan kebijakan-kebijakan negara yang memerintah.
7. Tetapi gagasan yang bertahan itulah yang menang. Kita saksikan kemudian akhir tahun 80-an dan awal 90-an, gagasan mengenai pertanggungjawaban kembali naik daun. Dua pengadilan internasional yang terbentuk, yakni International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) menjadi saksinya. Kemudian disusul dengan pembentukan International Criminal Court (ICC) melalui Statuta Roma. Pertanggungjawaban kembali menjadi fokus advokasi gerakan hak asasi manusia, yang kemudian merebak ke negara-negara yang mengalami transisi politik ke demokrasi (yang merebak
pada
tahun
80-an).
Berdiri
berbagai
macam
mekanisme
pertanggungjawaban, yang sebagian besar diinsiatif oleh masyarakat sipil. Diantaranya adalah Komisi Kebenaran, Pengadilan Campuran, dan penggunaan mekanisme “jurisdiksi universal” seperti yang terdapat di Belgia, Inggris, Belanda.
II 1. Tetapi belum lagi “the age of enforcement” tersebut bersemai, politik global berubah dengan munculnya “war against terorism”. Perang melawan terorisme telah mengubah pentas dunia secara signifikan, yang membawa imbas kepada gerakan hak asasi manusia. Inilah tantangan yang kita hadapi sekarang, yaitu menempatkan kembali isu pertanggungjawaban (accountability) dalam pentas dunia yang telah berubah tersebut. 2. Memasuki tahun 2000, politik global kembali berubah haluan. Setelah penyerangan 11 September 2001 di New York, USA, pentas politik global berubah dengan dratis. USA muncul sebagai pemimpin dunia dalam menghadapi bahaya terorime, muncul jargon “war against terorism”. Dalam konteks politik global “perang melawan terorisme” tersebut, berlangsunglah pembatasan terhadap pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Hampir setiap negara mengeluarkan regulasi anti-terorisme, dengan pembenaran pembatasan terhadap hak asasi manusia. Bersamaan dengan itu, komitmen negara-negara dalam memajukan pengajaran hak asasi manusia pun menjadi menyurut! Dalam sebuah
artikelnya yang tawar, Aryeh Neir menengarai fenomena ini sebagai akhir dari “the age of rights”. Kita memasuki “musim gugur” gerakan hak asasi manusia? 3. Indonesia sungguh tidak beruntung dalam konteks ini. Belum lagi seluruh proyek reformasi digagas dan diterapkan, kita masuk ke dalam perangkap politik global “war against terorism” tersebut. USA dan Inggris yang pernah “menghukum” tentara Indonesia, kini mulai melonggarkan prasyarat-prasyaratnya dalam kerja sama dengan tentara Indonesia. Pertanggungjawaban kasus Timor Leste setelah jajak-pendapat sudah tidak lagi menjadi batu sandungan yang serius dalam kerja sama militer, karena AS dan Inggris tidak begitu menyoal penyelesaian kasus tersebut melalui Truth and Friendship Commission (TFC). AS dan Inggris tampak tidak begitu antusia mendukung usaha Sekjen PBB membentuk Commission of Experts (CeO). Sebaliknya proyek-proyek pengajaran hak asasi kepada aparat negara (seperti polisi, tentara, jaksa) mulai pula melemah. 4. Introduksi “war against terorism” di tengah-tengah berjalannya reformasi politik di Indonesia, telah mengakibatkan kandasnya gagasan-gagasan reformasi penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Gagasan-gagasan reformasi hak asasi manusia yang sebagian besar berasal dari komunitas pembela hak asasi manusia, kini menjadi etalase pemanis Indonesia; bahwa di Indonesia telah berdiri pengadilan hak asasi manusia; bahwa Indonesia telah ratifikasi instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional; bahwa Indonesia telah mengakui hak asasi dalam konstitusinya; dan seterusnya. Tetapi semua ini sekedar etalase, sekarang kekuatan represi negara kembali diperkuat! Rantai impunitas masih membelenggu Indonesia.
5. IV. Prospek Pengajaran Hak Asasi Manusia 6. Ditengah konteks politik, ekonomi dan hukum seperti yang digambarkan di atas, maka interest untuk mengadakan dan mendukung pengajaran hak asasi manusia menjadi sangat lemah. Prospek pengajaran hak asasi manusia ditengah konteks tersebut tidak sebaik sebelum terjadinya perubahan politik global.
7. Dalam konteks perang melawan terorisme tersebut, saya kira agenda pengajaran hak asasi manusia ke semua tingkat perlu tetap dilakukan. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita bersama-sama dengannya menjadikan agenda pengajaran hak asasi manusia sebagai nilai bersama dalam membangun kekuasaan negara. 8. Penguatan organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia dan masyarakat sipilnya lainnya, dan membangun jaringan kekuatan dengan organisasi yang sama di dunia internasional menjadi salah satu jalan menghadapi situasi ini. 9. Dua dekade ini gerakan hak asasi manusia (internasional/nasional) memfokuskan perjuangan mereka pada isu pertanggungjawaban (accountability) atau keadilan (justice), yakni menuntut mereka yang bersalah! Perubahan politik global --yang ditandai dengan menghempasnya gelombang demokratisasi di negara-negara dengan rezim militer dan otoriter/totaliter, dan berakhirnya Perang Dingin-menjadi pematik api bagi munculnya gerakan menuntut pertanggungjawaban tersebut. Hasil paling spetakuler dari gerakan ini adalah berdirinya International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), International Criminal Court (ICC), dan pengadilan nasional di beberapa negara yang mengadili mantan penguasanya seperti di Argentina dan Yunani. 10. Pertanggungjawaban yang dituntut dalam gelombang gerakan tersebut bukan hanya terhenti pada state accountability, tetapi merambah ke entitas-entitas lain selain negara (non-state actor) seperti, antara lain, International Finance Institution (IFI), Transnational Corporations (TNC), dan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang terorganisir. Gerakan ini telah menantang hukum hak asasi manusia internasional agar memasukkan entitas selain negara (non-state actor) dalam cakupannya.