i
KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI, DAN PERKEMBANGAN PSIKOMOTORIK ANAK BALITA PADA IBU PEKERJA DAN IBU BUKAN PEKERJA DI JAKARTA SELATAN
AFIFAH FADILA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsumsi Pangan, Status Gizi, dan Perkembangan Psikomotorik Anak Balita pada Ibu Pekerja dan Ibu Bukan Pekerja di Jakarta Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016 Afifah Fadila NIM I14120091
ABSTRAK AFIFAH FADILA. Konsumsi Pangan, Status Gizi, dan Perkembangan Psikomotorik Anak Balita pada Ibu Pekerja dan Ibu Bukan Pekerja di Jakarta Selatan. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari konsumsi pangan, status gizi, dan psikomotorik balita pada ibu pekerja dan ibu bukan pekerja. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah subjek 80 balita yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu 40 balita ibu bekerja dan 40 balita ibu tidak bekerja. Tempat penelitian dipilih secara purposive di kelurahan Bintaro. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2016. Berdasarkan uji beda Mann-Whitney terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok yaitu pada variabel pola asuh makan, tingkat kecukupan energi, beban kerja ibu (p<0.05). Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi (p<0.05). Status gizi (BB/TB) berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan zat besi, motorik halus, dan motorik kasar (p<0.05). Status gizi (BB/U) berhubungan dengan tingkat kecukupan zat besi, motorik halus, dan motorik kasar (p<0.05). Status gizi (TB/U) berhubungan dengan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan vitamin A (p<0.05). Kata kunci : balita, konsumsi pangan, perkembangan psikomotorik, status gizi
ABSTRACT AFIFAH FADILA. Food Consumption, Nutritional Status, and Psychomotor Development of Children Under Five on Worker and Not Worker Mothers in South Jakarta. Supervised by ALI KHOMSAN. This research was aimed to study food consumption, nutritional status, and psychomotor development of children under five on mother workers and mother not workers. The study design was a cross sectional with 80 childrens, divided into two groups; 40 childrens of working mother and 40 childrens of mothers who do not work. Place were selected purposively in Bintaro urban village. The research was conducted on February – March 2016. Mann-whitney test showed significant difference between two groups, in term of food parenting, adequacy level of energy, mother’s workload (p<0.05). Spearman correlation test showed significant correlation between food parenting with adequacy level of energy (p<0.05). There was significant correlation between nutritional status (BB/TB) with adequacy level of energy and iron, fine motoric, and gross motoric (p<0.05). There was significant correlation between nutritional status (BB/U) with adequacy level of iron, fine motoric, and gross motoric (p<0.05). There was significant correlation between nutritional status (TB/U) with adequacy level of protein, iron, and vitamin A (p<0.05). Key words : children under five, food consumption, nutritional status, psychomotor development
KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI, DAN PERKEMBANGAN PSIKOMOTORIK ANAK BALITA PADA IBU PEKERJA DAN IBU BUKAN PEKERJA DI JAKARTA SELATAN
AFIFAH FADILA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah balita, dengan judul Konsumsi Pangan Status Gizi dan Perkembangan Psikomotorik Anak Balita pada Ibu Pekerja dan Ibu Bukan Pekerja di Jakarta Selatan. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen penguji skripsi yang telah membimbing penulis selama 7 semester terakhir. 3. Keluarga tercinta dan tersayang: Umi (Esti Dewayanti), Abi (Kashmir), dan adik-adiku (Bakhitah Hanifa, Chusnul Luthfiyah, Durriyah Ramadhani, dan Aisyah Nurbaiti Shaffiyullah). 4. Andung Nurbaiti, Pakde Beni, Pakde Chendy, Pakde Andi, Bude Ita, Bude Intan, Bude Fira, Bule Fery, Ma’adang, Ma’ajo, Ma’ete, Tante Ida, Tante Upik, Tante Ammah serta sanak saudara, kakak dan adik sepupu. 5. Sahabat seperjuangan dari TPB (Afifa Karima, Evni Fina T, Ichsan AlHakim, Adel Oktavian, Fadhlan Pramatana, Yodhi Muhtadi, Satria Maulana). 6. Keluarga KKN-P Subi Besar Natuna 2015 ( Sylvi, Jeni, Ana, Jodi dan Hamzah). 7. Teman-teman satu perjuangan penelitian (Erfin, Elza, Ani, Ulfa, Nabila). 8. Teman-teman seperjuangan ID RS. Cipto Mangunkusumo 9. Keluarga PSDM BEM FEMA Kabinet Mozaik Toska dan Terasa Manis 10. Keluarga BEM FEMA 2013 – 2014 Kabinet Mozaik Toska 11. Keluarga BEM FEMA 2014 – 2015 Kabinet Terasa Manis 12. Teman-teman seperjuangan (Gizi Masyarakat 49) dan adik-adik (Gizi Masyarakat 50)
Bogor, Juni 2016 Afifah Fadila
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Balita Karakteristik Keluarga Pengetahuan Gizi Ibu Pola Asuh Makan Konsumsi Pangan Status Gizi Perkembangan Psikomotorik Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Pola Asuh Makan Hubungan Pola Asuh Makan dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Gizi Hubungan Status Gizi dengan Perkembangan Psikomotorik SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi vi vi 1 1 2 3 3 3 5 5 5 6 7 10 11 11 11 12 16 17 20 23 24 31 31 32 33 35 36 40
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan cara pengumpulan data 2 Cara pengkategorian variabel penelitian 3 Sebaran anak menurut jenis kelamin dan usia 4 Sebaran karakteristik keluarga 5 Statistik deskriptif alokasi waktu ibu 6 Sebaran pengetahuan gizi ibu 7 Sebaran pola asuh makan 8 Sebaran anak berdasarkan praktek ibu dalam pemberian makan 9 Sebaran anak berdasarkan partisipasi ibu dalam pemberian makan 10 Sebaran anak berdasarkan sikap ibu dalam pemberian makan anak 11 Total asupan, angka kecukupan gizi, dan tingkat kecukupan gizi anak 12 Sebaran kategori tingkat kecukupan gizi per hari 13 Sebaran anak menurut status gizi 14 Sebaran perkembangan motorik 15 Sebaran motorik halus usia 1.5 – 2.4 tahun 16 Sebaran motorik halus usia 2.5 – 3.4 tahun 17 Sebaran motorik halus usia 3.5 – 4.4 tahun 18 Sebaran motorik halus usia 4.5 – 5 tahun 19 Sebaran kasar halus usia 1.5 – 2.4 tahun 20 Sebaran kasar halus usia 2.5 – 3.4 tahun 21 Sebaran kasar halus usia 3.5 – 4.4 tahun 22 Sebaran kasar halus usia 4.5 – 5 tahun 23 Hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi 24 Hubungan antara status gizi dengan perkembangan psikomotorik
6 9 12 13 15 16 17 18 19 20 20 22 23 24 25 26 26 27 28 29 29 30 32 34
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran
4
DAFTAR LAMPIRAN 1 Stastika deskriptif alokasi waktu ibu 2 Sebaran jawaban pola asuh makan aspek praktik ibu 3 Sebaran jawaban pola asuh makan aspek pasrtisipasi ibu 4 Sebaran jawaban pola asuh makan aspek sikap ibu 5 Sebaran jawaban motorik halus usia 1.5 – 2.4 tahun 6 Sebaran jawaban motorik halus usia 2.5 – 3.4 tahun 7 Sebaran jawaban motorik halus usia 3.5 – 4.4 tahun 8 Sebaran jawaban motorik halus usia 4.5 – 5 tahun 9 Sebaran jawaban motorik kasar usia 1.5 – 2.4 tahun 10 Sebaran jawaban motorik kasar usia 2.5 – 3.4 tahun 11 Sebaran jawaban motorik kasar usia 3.5 – 4.4 tahun 12 Sebaran jawaban motorik kasar usia 4.5 – 5 tahun
40 41 41 42 42 43 43 44 44 45 45 46
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Balita merupakan kelompok usia dimana masa pertumbuhan dan perkembangan tengah berkembang pesat. Pertumbuhan dan perkembangan balita sangat didukung oleh kualitas dan kuantitas gizi. Asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan gagalnya tumbuh kembang serta meningkatkan kesakitan dan kematian terutama pada kelompok usia anak bawah lima tahun (balita) yang rawan akan penyakit dan kesehatan. Gizi buruk pada balita merupakan masalah gizi yang cukup banyak terjadi pada masalah kesehatan masyarakat (Sihadi 2009). Data Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19.6 persen, yang menunjukkan masalah gizi buruk-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Masalah gizi pada balita diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta yang menunjukkan pada tahun 2012, terdapat 193 kasus gizi buruk diantara lima wilayah (tidak termasuk data Jakarta Timur). Jakarta Selatan merupakan wilayah dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi yaitu 89 kasus, diikuti Jakarta Pusat dengan 43 kasus, dan wilayah dengan gizi buruk terendah yaitu Jakarta Barat 12 kasus balita gizi buruk. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita, antara lain kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kondisi sosial ekonomi (pendapatan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan) dan budaya keluarga seperti pola asuh keluarga serta pengetahuan (Depkes RI 2005). Kekurangan gizi pada usia bawah lima tahun akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak yang akan mempengaruhi kualitas otak anak (Prado dan Dewey 2014). Kualitas otak anak selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak seiring dengan bertambahnya usia. Salah satu aspek perkembangan anak yang penting adalah aspek psikomotorik. Psikomotorik juga dikenal dengan istilah perkembangan motorik yang secara umum dibagi menjadi dua, yaitu motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar merupakan keterampilan yang digerakkan oleh otot-otot besar, sedangkan motorik halus merupakan kemampuan motor yang dilakukan oleh otot-otot kecil (Soetjiningsih dalam Sari et al. 2012). Ibu memiliki peranan yang penting dalam mengasuh anak yang dapat mempengaruhi status gizi dan psikomotorik balita. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Melva (2006) tentang pola asuh dan hubungannya dengan status gizi anak, menyebutkan bahwa di Indonesia ibu memegang peranan dalam mengurus tata laksana rumah tangga, termasuk hal pengaturan makanan keluarga. Anak balita yang mendapatkan kualitas pengasuhan yang lebih baik besar kemungkinan akan memiliki angka kesakitan yang rendah dan status gizi yang relatif lebih baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi dan Pujiastuti (2012) menunjukkan adanya hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perkembangan anak usia prasekolah di Cimahi. Hal ini menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan faktor penting dalam status gizi dan psikomotorik anak balita.
2
Pengasuhan adalah interaksi antara ibu dan anak yang menghasilkan timbal balik positif mengenai psikososial. Menurut Hastuti dalam Khomsan et al. (2013) pengasuhan merupakan peranan penting dalam mencapai perkembangan anak yang optimal. Pola pengasuhan yang memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang anak adalah pola asuh makan anak untuk mendukung konsumsi pangan yang baik dan berkualitas. Pola asuh makan merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan situasi dan cara makan. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status gizi anak (Hastuti dalam Khomsan et al. 2013). Disisi lain, pengetahuan gizi ibu juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pola asuh ibu kepada anak. Pengetahuan gizi ibu merupakan wawasan ibu tentang hal – hal yang berhubungan dengan gizi, makanan, dan kesehatan yang akan mempengaruhi keadaan gizi keluarga dan mempengaruhi konsumsi pangan keluarga. Menurut Zarnowiecki et al. (2011), dari sekian faktor yang dapat mempengaruhi asupan zat gizi seseorang adalah pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi yang baik akan memicu sesorang untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. Asupan zat gizi adalah banyaknya zat gizi yang dikonsumsi seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan status gizi, konsumsi pangan yang baik juga didukung dengan tingginya tingkat keberagaman pangan (Khomsan 2003). Keberagaman pangan memiliki peranan yang penting dalam mengatasi masalah gizi. Steyn et al. (2005) menyebutkan bahwa konsumsi anekaragam pangan pada anak berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak. Beban kerja ibu menjadi salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan, yang dapat berdampak kepada status gizi dan psikomotorik anak. Pada umumnya ibu pekerja akan memiliki waktu pengasuhan yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ibu bukan pekerja, oleh karena itu akan menjadi hal yang menarik untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana status gizi dan psikomotorik anak balita pada ibu pekerja dan ibu bukan pekerja, hubungannya dengan pola asuh dan konsumsi pangan, serta penting sebagai upaya dalam peningkatan status gizi anak balita yang tengah tumbuh kembang dan rawan akan terjadinya masalah gizi dan kesehatan.
Tujuan Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melihat konsumsi pangan, status gizi, dan psikomotorik balita pada ibu pekerja dan ibu bukan pekerja. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1. Menganalisis perbedaan pengetahuan gizi ibu dan pola asuh makan anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 2. Menganalisis perbedaan konsumsi pangan dan status gizi anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja.
3
3. Menganalisis perbedaan perkembangan psikomotorik anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 4. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi – pola asuh makan, pola asuh makan – tingkat kecukupan gizi, tingkat kecukupan gizi – status gizi, dan status gizi – perkembangan psikomotorik.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan antara pengetahuan gizi ibu dan pola asuh makan anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 2. Terdapat perbedaan antara konsumsi pangan dan status gizi anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 3. Terdapat perbedaan antara perkembangan psikomotorik anak pada kelompok ibu bekerja dan kelompok ibu tidak bekerja. 4. Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan pola asuh makan 5. Terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan gizi anak balita 6. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi anak balita 7. Terdapat hubungan antara status gizi dengan perkembangan psikomotorik anak balita
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peneliti sendiri mengenai pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan, asupan zat gizi, status gizi dan psikomotorik anak balita pada ibu pekerja dan bukan pekerja. Manfaat penelitian ini bagi para peneliti lain adalah memberikan informasi mengenai pola asuh, asupan zat gizi, pengetahuan gizi ibu, status gizi dan psikomotorik anak balita pada ibu pekerja dan ibu bukan pekerja untuk dapat digunakan dalam penelitian lebih lanjut. Manfaat penelitian ini bagi subjek penelitian dan masyarakat umum adalah memberikan informasi mengenai pentingnya pola asuh makan dan konsumsi pangan untuk status gizi dan psikomotorik anak balita.
KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi balita merupakan penentu baik atau tidaknya pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita, antara lain kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kondisi sosial ekonomi (pendapatan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan) dan budaya keluarga seperti pola asuh keluarga serta pengetahuan. Perkembangan anak merupakan salah satu faktor yang dapat dipengaruhi oleh status gizi. Salah
4
satu aspek perkembangan pada anak adalah aspek psikomotorik. Psikomotorik anak merupakan kemampuan anak dalam mengendalikan gerakan tubuh yang berkoordinasi dengan otak. Penelitian yang dilakukan oleh Kasenda et al. (2015) menyimpulkan bahwa status gizi anak memiliki pengaruh terhadap perkembangan motorik anak. Selain itu menurut Hastuti dalam Khomsan et al. (2013) menyebutkan bahwa perkembangan anak yang optimal dapat dilihat dari pengasuhan ibu kepada anaknya. Pengasuhan yang umum dilakukan ibu kepada anak adalah pola asuh makan. Pola asuh merupakan interaksi antara ibu dan anak berupa bimbingan, arahan, pengawasan mengenai hal – hal dalam peningkatan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengasuhan yang berkaitan kuat dengan status gizi balita adalah pola asuh makan. Pola asuh makan mengatur mengenai situasi dan cara makan antara ibu dan anak.
Karakteristik Keluarga: 1. Besar Keluarga 2. Pendidikan orang tua 3. Pekerjaan orang tua 4. Pendapatan orang tua 5. Beban kerja ibu
Karakteristik Anak: 1. Umur 2. Jenis Kelamin
Konsumsi Pangan
Pola Asuh Makan 1. Praktek pemberian makan anak 2. Jadwal makan anak 3. Sikap ibu dalam pemberian makan anak
Status Gizi Balita
Pengetahuan Gizi Ibu
Psikomotorik Balita
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran status gizi dan psikomotorik balita
5
Asupan zat gizi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi. Menurut Wurbach et al. (2009) terdapat hubungan antara asupan zat gizi dengan status gizi seseorang. Konsumsi pangan yang beragam akan berdampak pada kualitas status gizi khususnya pada balita yang tengah mengalami tumbuh kembang. Pola asuh dan asupan zat gizi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita, namun terdapat faktor lain yang saling terkait yaitu pengetahuan gizi. Menurut Zarnowiecki et al. (2011) pengetahuan gizi merupakan faktor yang signifikan dalam mengubah asupan zat gizi. Pengetahuan gizi ibu juga dapat mempengaruhi pola asuh. Baik buruknya pola asuh dapat terlihat dari pengetahuan gizi ibu (Hastuti 2008). Gambar 1 menunjukkan hubungan antarvariabel determinan status gizi dan psikomotorik balita yang diteliti dan tidak diteliti.
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan lokasi penelitian di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan kelurahan tersebut memiliki posyandu yang memiliki data pekerjaan ibu yang bekerja dan memiliki anak usia balita. Penelitian dilakukan pada Februari – Maret 2016. Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Pengambilan subjek penelitian dilakukan secara purposive sampling. Penentuan subjek dalam penelitian dengan beberapa pertimbangan, yaitu: 1) anak usia balita (1.5 – 5 tahun), 2) ibu bekerja dan bukan pekerja, 3) bersedia untuk diwawancara dan kooperatif. Kriteria eksklusi penelitian adalah anak yang sedang sakit atau dalam pengobatan sehingga cenderung kurang bersemangat dan mudah rewel. Penarikan contoh dilakukan dengan perhitungan jumlah contoh minimal menggunakan rumus Lameshow et al. (1997) yaitu: ⁄
6
Keterangan: n Z2 (1 – α/2) P d
= Jumlah contoh minimal yang diperlukan = Tingkat signifikansi pada 95% (α = 0.05) = 1.96 = Prevalensi underweight di Jakarta 10.2% [Riskesdas 2013] = Presisi (limit error 10% atau 0.1)
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah contoh minimum adalah sebanyak 35 balita. Jumlah sampel yang digunakan ditingkatkan menjadi 40 balita pada ibu bekerja dan 40 balita pada ibu tidak bekerja, sehingga perbandingan balita 1:1. Dengan demikian total sampel yang digunakan adalah sebanyak 80 balita. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dan pengisian kuisioner, sedangkan data sekunder didapatkan dari kantor Kelurahan Bintaro. Adapun rincian variabel, data, jenis data, dan cara pengambilan data yang diteliti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No Variabel Data Jenis data 1 Gambaran lokasi Wilayah dan Sekunder penelitian kependudukan 2 Karakteristik Umur Primer keluarga Pendapatan Pendidikan Pekerjaan Besar keluarga Beban kerja ibu 3 Karakteristik balita Umur Primer Jenis kelamin 4 Pola asuh makan Peran ibu dalam Primer pemberian, pengawasan, dan penjadwalan makan balita 5 Konsumsi pangan Tingkat kecukupan Primer gizi Kebiasaan makan 6 Pengetahuan gizi Correct answer Primer ibu multiple choice. 7 Status gizi balita Berat badan (kg) Primer (Z-Score) Tinggi badan (cm)
8
Perkembangan psikomotorik
Motorik kasar Motorik halus
Primer
Cara pengumpulan Wawancara, pengisian kuisioner
Wawancara, pengisian kuisioner Pengisian kuisioner
Food recall 1x24 jam Pengisian kuisioner Pengukuran BB, TB dengan timbangan berat badan digital dan staturemeter Wawancara dan observasi
7
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengeditan (editing), dan analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2010 dan analisis data menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for windows versi 16.0. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis inferensia. Uji Kolmogororv-smirnov digunakan untuk melihat normalitas data hasil penelitian. Uji beda Mann-Whitney dilakukan untuk melihat adanya perbedaan beban kerja ibu, pengetahuan gizi, pola asuh makan, status gizi, konsumsi pangan, dan perkembangan psikomotorik antara balita ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Uji korelasi Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara pengetahuan gizi, pola asuh makan, konsumsi pangan, status gizi, dan perkembangan psikomotorik balita. Data karakteristik balita meliputi jenis kelamin, usia (tahun), dan status gizi. Data karakteristik keluarga meliputi umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Data tersebut diperoleh dari pengisian kuisioner oleh orang tua. Pengkategorian data karakteristik keluarga terdapat pada tabel 2. Status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) diolah menggunakan software WHO Anthro plus dengan memasukkan data berat badan (kg) dan tinggi badan (m), jenis kelamin, dan usia. Berat badan diukur menggunakan timbangan berat badan digital yang ditempatkan di permukaan/lantai dasar. Tinggi badan balita diukur dengan menggunakan alat stature meter (ketelitian 0.1 cm) yang ditempelkan di dinding dengan tinggi maksimal dari alat tersebut adalah 2 meter. Saat pengukuran tinggi badan, posisi tubuh balita diharuskan berdiri tanpa alas kaki, tumit ditempelkan ke dinding, tubuh tegak, pendangan lurus ke depan, kepala dan badan menempel ke dinding. Setelah status gizi balita dihitung menggunakan software WHO Anthro plus kemudian dilakukan pengelompokkan status gizi berdasarkan WHO (2010). Data perkembangan psikomotorik terdiri dari perkembangan motorik kasar dan motorik halus. Data tersebut didapatkan dari hasil wawancara dan observasi secara langsung menggunakan panduan kuisioner tes perkembangan anak Puskur (2004). Kuisioner perkembangan psikomotorik dibagi sesuai dengan jenjang usia yaitu mulai usia 1.5 – 2.4 tahun, 2.5 – 3.4 tahun, 3.5 – 4.4 tahun, dan 4.5 – 5 tahun. Pernyataan yang diajukan dalam kuisioner yaitu mengenai gerakan-gerakan kasar dan halus yang dapat dilakukan oleh balita sesuai dengan usianya. Cara pengukuran data adalah dengan menjumlahkan skor tiap pernyataan yang dapat dilakukan oleh balita. Kategori perkembangan psikomotorik yaitu rendah (< 60%), sedang (60 – 80%), dan tinggi (> 80%) (Puskur 2004). Data beban kerja ibu ditentukan dengan cara menggunakan recall alokasi waktu ibu selama 24 jam sebanyak dua kali (weekday dan weekend). Beban kerja ibu dibagi kedalam 6 kegiatan yaitu, waktu produktif, domestik, pribadi, sosial, pengasuh, dan istirahat. Waktu yang diukur menggunakan satuan jam. Data pengetahuan gizi ibu ditentukan dengan cara menggunakan metode kuisioner berbentuk pertanyaan correct answer multiple choice. Skor benar bernilai 1 dan skor salah bernilai 0. Total pertanyaan pengetahuan gizi ibu dalam kuisioner sebesar 10 pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner seputar pengetahuan gizi umum. Cara pengukuran data adalah dengan mengisi kuisioner
8
dan dihitung skor total. Kategori pengetahuan gizi yaitu rendah (< 60%), sedang (60 – 80%), dan baik (> 80%) (Khomsan 2000). Data konsumsi pangan ditentukan dengan cara menggunakan metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang dibimbing langsung oleh enumerator untuk pengisian kuisioner konsumsi pangan dengan cara wawancara langsung face to face kepada ibu kandung balita. Metode kuantitatif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi balita. Metode ini menggunakan kuisioner food recall 1x24 jam dan selanjutnya dikonversi sehingga diketahui asupan energi dan zat gizi dengan menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM) 2010. Konversi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut. KGij
= [(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)]
Keterangan: KGij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-i Bij = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gram) Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 gram BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan Asupan energi dan zat gizi serta angka kecukupan zat gizi balita yang telah diketahui selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi, protein, zat besi, dan vitamin A. Salah satu syarat untuk menghitung TKG yaitu berdasarkan status gizi balita. Rumus yang digunakan untuk menentukan Tingkat Kecukupan Gizi balita adalah sebagai berikut. TKGi = [Ki/AKGi] x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukpan energi atau protein-i Ki = Konsumsi energi atau protein-i AKG = Angka kecukupan energi atau protein (sesuai dengan tabel AKG) Kategori tingkat kecukupan terdiri dari kurang (< 90%) dan cukup (90 – 119%). Data pola asuh makan ditentukan dengan cara menggunakan metode kuisioner berbentuk pertanyaan dengan sistem skoring, skor terendah adalah 1 dan skor tertinggi adalah 3 untuk tiap pertanyaan. Total pertanyaan dalam kuisioner sebesar 15 soal. Pertanyaan pola asuh makan yang diajukan adalah seputar peran ibu dalam pemberian, pengawasan dan penjadwalan makan anak balita meliputi siapa orang yang menyiapkan makan, praktik pemberian makan (menyuapi atau tidak), pengawasan ibu ketika tidak disuapi, penentu jadwal makan, ketepatan jadwal makan, cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makan, memperkenalkan makanan baru, dan apakah anak menghabiskan makanan (Khomsan et al. 2013). Data skor tiap pertanyaan selanjutnya dikalkulasikan dan dilihat skor totalnya serta dikelompokkan sesuai kategori pola asuh makan. Kategori pola asuh makan yaitu rendah (< 60%), sedang (60 – 80%), dan baik (> 80%).
9
Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian No 1
2
3 4
5
6
7
8
9 10
11
Karakteristik keluarga Usia orang tua (WNPG 2004)
Kategori a. Dewasa muda (20-29 tahun) b. Dewasa madya (30-49 tahun c. Dewasa lanjut (≥ 50 tahun) Pendidikan orang tua a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMA e. Diploma f. Sarjana Pekerjaan orang tua Kategorikal Pendapatan keluarga (perkapita) a. ≤ 1 000 000 b. 1 000 000 – 1 999 999 c. 2 000 000 – 2 999 999 d. 3 000 000 – 3 999 999 e. 4 000 000 – 4 999 999 f. ≥ 5 000 000 Besar keluarga (BKKBN 1998) a. Kecil (≤ 4 orang) b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (≥ 8 orang) Status gizi a. Gizi buruk (z-score < -3 SD) b. Gizi kurang (z-score < -2 SD) c. Gizi normal (-2 SD ≤ z-score < +2 SD) d. Gizi lebih (z-score ≥ +2 SD) e. Obesitas (z-score ≥ +3 SD) Pengetahuan gizi ibu (Khomsan a. Kurang (< 60%) 2000) b. Sedang (60 – 80%) c. Baik (> 80%) Pola asuh makan a. Kurang (< 60%) b. Sedang (60 – 80%) c. Baik (> 80%) Beban kerja ibu (alokasi waktu) Kategorikal Perkembangan psikomotorik (Puskur a. Rendah (< 60%) 2004) b. Sedang (60 – 80%) c. Tinggi (> 80%) Tingkat kecukupan energi dan zat a. Kurang (< 90%) gizi b. Cukup (90 – 119%)
10
Definisi Operasional Balita adalah anak berusia 1.5 – 5 tahun yang memiliki ibu (bekerja atau tidak bekerja) dan memenuhi kriteria inklusi. Beban kerja ibu adalah lamanya waktu ibu dalam menghabiskan waktu untuk bekerja diluar pekerjaan rumah tangga. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal di atap yang sama. Ibu pekerja adalah ibu yang memiliki pekerjaan dan memiliki anak balita sesuai kriteria inklusi. Ibu bukan pekerja adalah ibu yang tidak memiliki pekerjaan (ibu rumah tangga) dan memiliki balita sesuai kriteria inklusi. Jenis kelamin balita adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologis balita sejak lahir. Konsumsi pangan adalah zat gizi yang dihitung dari makanan dan minuman yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi. Karakteristik balita adalah kondisi balita yang melekat yaitu jenis kelamin dan usia, berat badan, tinggi badan, dan status gizi balita.. Karakteristik keluarga adalah gambaran atau kondisi keluarga balita, meliputi usia orang tua, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Motorik halus adalah perkembangan anak yang melibatkan koordinasi otak dengan otot-otot kecil. Motorik kasar adalah perkembangan anak yang melibatkan koordinasi otak dengan otot-otot besar. Pekerjaan orang tua adalah jenis matapencaharian yang orang tua geluti untuk mendapatkan penghasilan. Pengetahuan gizi ibu adalah wawasan ibu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan gizi, makanan, dan kesehatan. Pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang telah diikuti ayah dan ibu balita. Pendapatan keluarga adalah banyaknya penerimaan keluarga tiap bulan yang dinyatakan dalam uang (rupiah). Perkembangan psikomotorik adalah salah satu aspek perkembangan anak. Kemampuan anak dalam melibatkan gerakan tubuh dengaan koordinasi otak. Pola asuh makan adalah praktek pengasuhan ibu kepada anak meliputi pemberian, pengawasan dan penjadwalan makan ibu kepada anak. Status gizi balita adalah keadaan gizi balita yang dilihat dari hasil pengukuran antropometri dengan indeks IMT menurut umur dibandingkan standar baku WHO-NCHS. Usia balita adalah lama hidup balita terhitung sejak pertama dilahirkan.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan ibu kota Negara Indonesia yang terbagi menjadi lima kota wilayah, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta, Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan. Menurut Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, pada tahun 2012 kasus gizi buruk tertinggi berada pada wilayah kota Jakarta Selatan dan terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan demikian lokasi penelitian kali ini dilakukan di kota Jakarta Selatan. Kota Jakarta Selatan terbagi menjadi 10 kecamatan, yaitu Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, Jagakarsa, Mampang Praparan, Pancoran, Tebet, dan Setia Budi. Kecamatan Pesanggrahan dipilih untuk menjadi lokasi penelitian. Kecamatan Pesanggrahan merupakan hasil pemekaran wilayah Kecamatan Kebayoran Lama yang terletak di sisi barat. Kecamatan Pesanggarahan memiliki 5 kelurahan, yaitu Ulujami, Petukangan Utara, Petukangan Selatan, Pesanggarahan, dan Bintaro. Kelurahan Bintaro merupakan lokasi penelitian kali ini. Kelurahan Bintaro berbatasan dengan Kebayoran Lama di sebelah utara, berbatasan dengan Tangerang di sebelah barat, berbatasan dengan Pondok Pinang di sebelah timur. Luas wilayah kelurahan Bintaro adalah 450.5 Ha, yang terdiri dari 135 RT dan 14 RW. Pengambilan data dilakukan di 4 posyandu berbeda, yaitu posyandu katuk I, posyandu katuk II, posyandu katuk III, dan posyandu katuk IV dikarenakan lokasi yang tidak berjauhan dan strategis. Menurut data puskesmas kelurahan Bintaro, posyandu tersebut memiliki jumlah balita aktif terbanyak yang rutin mengikuti posyandu tiap bulannya, serta memiliki data pekerjaan ibu dikarenakan lokasi posyandu tersebut berada di komplek perumahan.
Karakteristik Subjek Subjek dalam penelitian ini adalah balita berusia 1.5 – 5 tahun. Subjek yang diamati sebanyak 80 anak dari empat posyandu berbeda yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ibu tidak bekerja dan ibu bekerja. Masing-masing kelompok berjumlah 40 anak. Jenis Kelamin Jenis kelamin setiap balita merupakan penentu orangtua dalam berinteraksi dengan anak. Interaksi antara laki-laki dan perempuan cenderung berbeda. Lakilaki pada umumnya terkesan cuek dan angkuh, sedangkan perempuan lebih membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Proporsi laki-laki pada kedua kelompok lebih mendominasi dibandingkan proporsi perempuan, yaitu pada kelompok ibu tidak bekerja (52.5%) dan kelompok ibu bekerja (55%). Berdasarkan hasil analisis uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin balita pada kedua kelompok (p > 0.05).
12
Tabel 3 Sebaran anak menurut jenis kelamin dan usia Variabel Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Usia 12 – 23 bulan 24 – 35 bulan 36 – 47 bulan 48 – 60 bulan Rata-rata±SD
Ibu tidak bekerja n % 21 19
52.5 47.5
4 11 5 20
10.0 27.5 12.5 50.0 39.9±18.6
Ibu bekerja n %
n
%
22 18
43 37
46.2 53.8
55.0 45.0
4 10.0 7 17.5 7 17.5 22 55.0 42.5±17.1
Total
8 10.0 18 22.5 12 15.0 42 52.5 41.3±17.7
Usia Usia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi gaya pengasuhan anak. Anak berusia 1.5 tahun akan memiliki gaya pengasuhan yang berbeda dengan anak berusia 5 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriana et al. (2007) menyimpulkan bahwa umur anak berhubungan signifikan dengan pola asuh. Ratarata usia balita pada kelompok ibu tidak bekerja 39.9±18.6 tahun, sedangkan usia balita pada kelompok ibu bekerja sedikit lebih tinggi 42.5±17.1 tahun. Sebagian besar usia balita pada kedua kelompok berada pada rentang usia 48 – 60 bulan (52.5%). Berdasarkan hasil analisis uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia balita pada kedua kelompok (p > 0.05).
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga merupakan ciri khas yang melekat pada suatu keluarga yang meliputi usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan keluarga dan beban kerja ibu. Berikut merupakan rincian dari tiap varibel. Besar Keluarga Besar keluarga merupakan banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam suatu tempat yang sama dan menjadi tanggungan keluarga. Besar keluarga pada penelitian ini digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5 – 7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Rata-rata besar keluarga pada kedua kelompok tergolong keluarga sedang, yaitu pada kelompok ibu tidak bekerja (62.5%) dan kelompok ibu bekerja (77.5%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Astari et al. (2005) mengenai hubungan karakteristik keluarga, pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 tahun, menunjukkan bahwa besar keluarga pada umumnya termasuk dalam kelompok keluarga sedang. Usia Orang Tua Usia orang tua dibagi kedalam tiga kategori, yaitu dewasa muda (20 – 29 tahun), dewasa madya (30 – 49 tahun), dan dewasa lanjut (≥ 50 tahun). Usia ayah pada kedua kelompok umumnya termasuk dalam kategori dewasa madya, dengan rata-rata usia ayah kelompok ibu tidak bekerja 41.3 tahun dan kelompok ibu
13
bekerja 39.7 tahun. Usia ayah pada kelompok ibu tidak bekerja yang termasuk dalam kategori dewasa muda (17.5%) lebih besar dibandingkan kelompok ibu bekerja (7.5%). Tidak ada usia ayah yang termasuk dalam kategori dewasa lanjut pada kelompok ibu bekerja, sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar 5%. Rata-rata usia ibu yaitu 37.5±8.4 pada kelompok ibu tidak bekerja dan 35.6±8.2 pada kelompok ibu bekerja. Proporsi usia ibu yang tergolong dewasa muda pada kelompok ibu tidak bekerja (40%), tidak jauh berbeda dengan kelompok ibu bekerja (42.5%). Tidak ada usia ibu yang termasuk dalam kategori dewasa lanjut. Berdasarkan hasil analisis uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia orang tua pada kedua kelompok (p > 0.05). Tabel 4 Sebaran karakteristik keluarga Variabel Besar keluarga Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga sedang ( 5 – 7 orang) Keluarga besar (≥ 8 orang) Rata-rata±SD Usia ayah Dewasa muda (20 – 29 tahun) Dewasa madya (30 – 49 tahun) Dewasa lanjut (≥ 50 tahun) Rata-rata±SD Usia ibu Dewasa muda (20 – 29 tahun) Dewasa madya (30 – 49 tahun) Dewasa lanjut (≥ 50 tahun) Rata-rata±SD Pendidikan ayah Tidak sekolah SD SMP SMA Diploma Sarjana Pendidikan ibu Tidak sekolah SD SMP SMA Diploma Sarjana Pekerjaan ayah PNS Swasta Buruh Karyawan Wiraswasta Pekerjaan ibu PNS
Ibu tidak bekerja n %
Ibu bekerja n %
n
Total
15 37.5 25 62.5 0 0.0 4.2±1.2
5 12.5 31 77.5 4 10.0 4.9±1.5
20 25.0 56 70.0 4 5.0 4.5±1.4
7 17.5 31 77.5 2 5.0 41.3±8.8
3 7.5 37 92.5 0 0.0 39.7±8.8
10 12.5 68 85.0 2 2.5 40.5±8.8
16 40.0 24 60.0 0 0.0 37.5±8.4
17 42.5 23 57.5 0 0.0 35.6±8.2
33 41.3 47 58.7 0 0.0 36.6±8.3
0 0 0 10 13 17
0.0 0.0 0.0 25.0 32.5 42.5
0 0 0 8 12 20
0.0 0.0 0.0 20.0 30.0 50.0
0 0 0 18 25 37
0.0 0.0 0.0 22.5 31.3 46.2
0 0 0 27 10 3
0.0 0.0 0.0 67.5 25.0 7.5
0 0 0 19 11 10
0.0 0.0 0.0 47.5 27.5 25.0
0 0 0 46 21 13
0.0 0.0 0.0 57.5 26.3 16.2
7 8 2 14 9
17.5 20.0 5.0 35.0 22.5
6 13 5 10 6
15.0 32.5 12.5 25.0 15.0
13 21 7 24 15
16.3 26.3 8.7 30.0 18.7
0
0.0
4
10.0
4
5.0
%
14
Tabel 4 Sebaran karakteristik keluarga (lanjutan) Variabel Swasta Buruh Karyawan Wiraswasta IRT Pendapatan perkapita < 1 000 000 1 000 000 – 1 999 999 2 000 000 – 2 999 999 3 000 000 – 3 999 999 4 000 000 – 4 999 999 ≥ 5 000 000 Rata-rata±SD
Ibu tidak bekerja n % 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 40 100.0
Ibu bekerja n % 7 17.5 0 0.0 29 72.5 0 0.0 0 0.0
n 7 0 29 0 40
Total
17 42.5 22 55.0 0 0 0 0 0 0 1 2 1 130 208 ± 704 721
10 25 17 42.5 6 15.0 1 2.5 1 2.5 5 12.5 2 005 565 ± 1 554 563
27 33.7 39 48.7 6 7.5 1 1.3 1 1.3 6 7.5 1 567 885 ± 1 129 642
% 8.7 0.0 36.3 0 50.0
Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan orang tua terakhir ayah dan ibu. Jenjang pendidikan orang tua pada penelitian ini dimulai dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi (sarjana). Pendidikan ayah pada kedua kelompok maksimal berada pada jenjang sarjana, yaitu pada kelompok ibu tidak bekerja (42.5%) dan pada kelompok ibu bekerja (50%). Pendidikan ibu pada kedua kelompok maksimal berada pada jenjang SMA, yaitu kelompok ibu tidak bekerja (67.5%) dan kelompok ibu bekerja (47.5%). Proporsi pendidikan ibu yang berada pada jenjang sarjana pada kelompok ibu bekerja (25%) 3 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu tidak bekerja (7.5%). Tidak ada pendidikan orang tua yang berada dibawah jenjang SMA. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua merupakan jenis mata pencaharian yang orang tua geluti yang bertujuan untuk menghasilkan pendapatan. Pekerjaan orang tua pada penelitian ini cukup bervariasi. Tidak ada ayah dari kedua kelompok contoh yang tidak bekerja. Sebagian besar pekerjaan ayah yang digeluti kelompok ibu tidak bekerja adalah karyawan (35%), sedangkan kelompok ibu bekerja adalah swasta (32.5%). Pekerjaan ibu pada kelompok ibu bekerja maksimal yaitu karyawan (72.5%), serta pada kelompok ibu tidak bekerja secara keseluruhan merupakan ibu rumah tangga (100%). Pendapatan perkapita Keluarga Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pendapatan perkapita keluarga adalah total penghasilan ayah, ibu dan anggota keluarga per bulan yang diperoleh dari hasil bekerja lalu dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Pendapatan perkapita keluarga merupakan salah satu faktor penentu kualitas keluarga yang sering dihubungkan dengan daya beli pangan keluarga. Pendapatan perkapita keluarga pada kedua kelompok memiliki rata-rata yang berbeda, yaitu pada kelompok ibu tidak bekerja sebesar Rp 1 130 208 dan pada kelompok ibu bekerja sebesar Rp 2 005 565.
15
Beban Kerja Ibu Beban kerja ibu merupakan beban yang ditanggung ibu akibat lamanya waktu ibu bekerja. Ibu bekerja dikenal juga dengan wanita karier yang memiliki tugas seperti ibu rumah tangga pada umumnya, yaitu mengurus rumah tangga dan menjaga anak. Beban kerja ibu dapat mempengaruhi gaya pengasuhan atau pola asuh anak. Beban kerja ibu diukur menggunakan alokasi waktu ibu yang dibagi menjadi 6 jenis kegiatan, yaitu produktif, domestik, pribadi, sosial, pengasuhan, dan istirahat. Berikut merupakan tabel yang menyajikan alokasi waktu ibu. Tabel 5 Statistik deskriptif alokasi waktu ibu Kategori beban kerja ibu Produktif Domestik Pribadi Sosial Pengasuh Istirahat
Ibu tidak bekerja Total Weekday Weekend (jam) (jam) (jam) 0.6 0.5 1.1 2.7 2.8 5.5 4.9 5.1 10.0 0.8 0.8 1.6 4.5 5.2 9.7 6.5 7.0 13.5
Weekday (jam) 9.8 0.9 5.3 0.6 1.9 6.3
Ibu bekerja Weekend (jam) 1.1 2.4 5.3 0.8 5.1 7.3
Total (jam) 10.9 3.3 10.6 1.4 7.0 13.6
pvalue 1)
0.000 0.000 0.008 0.106 0.000 0.747
1)
uji Mann-Whitney
Tabel 5 menunjukkan alokasi waktu ibu yang dinyatakan dengan satuan jam. Kegiatan produktif pada penelitian ini merupakan kegiatan ibu yang menghasilkan uang untuk pendapatan keluarga. Rata-rata alokasi waktu total kegiatan produktif pada kelompok ibu tidak bekerja (1.1 jam) lebih rendah dari kelompok ibu bekerja (10.9 jam). Hal ini dikarenakan tidak semua dari kelompok ibu tidak bekerja yang memiliki kegiatan menghasilkan uang. Kegiatan ibu tidak bekerja yang termasuk dalam waktu produktif ialah seperti usaha online shop yang dilakukan dirumah dan arisan yang dapat menghasilkan uang. Berdasarkan uji beda Mann-Whitney, kegiatan produktif berhubungan signifikan antar kedua kelompok (p < 0.05). Kegiatan domestik pada penelitian ini merupakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan rumah tangga, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, memasak, dan lainnya. Rata-rata alokasi waktu total kegiatan domestik pada kelompok ibu tidak bekerja (5.5 jam) lebih besar dibandingkan kelompok ibu bekerja (3.3 jam). Hal ini dapat terjadi karena ibu bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit saat weekday (0.9 jam) untuk mengurus rumah, dikarenakan waktu yang terpakai untuk bekerja (produktif). Berdasarkan uji beda Mann-Whitney, kegiatan domestik berhubungan signifikan antar kedua kelompok (p < 0.05). Kegiatan pribadi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan individual ibu seperti, makan, dandan, minum, mandi, ibadah, menonton TV. Rata-rata alokasi waktu total (weekday + weekend) kegiatan pribadi pada kelompok ibu tidak bekerja (10.0 jam), tidak jauh berbeda dengan kelompok ibu bekerja (10.6 jam). Sama halnya dengan kegiatan sosial kedua kelompok, rata-rata total alokasi waktu sosial kelompok ibu tidak bekerja (1.6 jam) dan kelompok ibu bekerja (1.4 jam). Berdasarkan uji beda Mann-Whitney, kegiatan pribadi dan sosial tidak berhubungan signifikan antar kedua kelompok (p < 0.05). Kegiatan pengasuh pada penelitian ini merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengasuhan anak, seperti memberi makan anak, memandikan anak,
16
menidurkan anak, hingga bermain dengan anak. Rata-rata alokasi waktu total (weekday + weekend) kegiatan pengasuh pada kelompok ibu tidak bekerja (9.7 jam) lebih besar dibandingkan kelompok ibu bekerja (7.0 jam). Hal ini dapat terjadi karena ibu bekerja memiliki waktu pengasuh yang lebih sedikit saat weekday (1.9 jam) untuk mengasuh anak, dikarenakan waktu yang terpakai untuk bekerja (produktif). Penelitian yang dilakukan oleh Yulianis et al. (2008) memiliki hasil yang sama yaitu, waktu pengasuhan ibu tidak bekerja (9 jam) lebih besar dibandingkan ibu bekerja (2 jam). Berdasarkan uji beda Mann-Whitney, kegiatan pengasuh berhubungan signifikan antar kedua kelompok (p < 0.05). Sedangkan alokasi waktu istirahat ibu pada kedua kelompok tidak berhubungan signifikan (p > 0.05), dengan rata-rata masing-masing yaitu 13.5 jam dan 13.6 jam. Pengetahuan Gizi Ibu Ibu merupakan madrasah pertama bagi anak. Peran ibu didalam suatu keluarga khususnya dalam pemenuhan asupan zat gizi balita berhubungan erat dengan tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi. Pengetahuan merupakan sistemasi kompleks bentuk dari pengalaman pribadi individu termasuk dengan aspek sosial, fisik, dan lingkungan sekitarnya (Worsley 2002). Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pemahaman ibu mengenai pertumbuhan anak balita, perawatan dan pemberian makan anak balita dan pemilihan serta pengolahan makanan anak balita. Menurut Wonatorey et al. (2006) dalam penelitiannya disebutkan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik dalam pengolahan dan perawatan balita kemungkinan dapat berpengaruh terhadap peningkatan status gizi balita. Berikut merupakan Tabel 6 yang menyajikan sebaran pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok. Tabel 6 Sebaran pengetahuan gizi ibu Kategori Pengetahuan Gizi Ibu Kurang Sedang Baik Rata-rata±SD 1) uji Mann-Whitney
Ibu tidak bekerja N % 6 15.0 33 82.5 1 2.5 65.0±11.3
Ibu bekerja n % 7 17.5 31 77.5 2 5.0 66.7±11.6
Total n % 13 16.3 64 80.0 3 3.7 65.9±11.4
p-value1) 0.972
Pengetahuan gizi ibu pada penelitian ini terdiri dari 10 pertanyaan yang meliputi pengetahuan gizi secara umum. Ibu contoh dari kelompok ibu tidak bekera dan ibu tidak bekerja sebagian besar mempunyai pengetahuan gizi dengan kategori sedang, masing-masing sebesar 82.5% dan 77.5%. Namun, jika dilihat dari skor pengetahuan gizi yang tergolong baik kelompok ibu bekerja lebih tinggi (5%) dibandingkan kelompok ibu tidak bekerja (2.5%). Hal ini kemungkinan terjadi karena tingkat pendidikan ibu pada kelompok ibu bekerja umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dengan ibu tidak bekerja (Tabel 3). Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok (p > 0.05). Menurut Rahmawati dan Kusharto (2006), penelitiannya menyimpulkan bahwa
17
pengetahuan gizi ibu yang baik akan berpengaruh terhadap peningkatan status gizi anak. Pola Asuh Makan Aspek pengasuhan yang memiliki peranan penting dalam pembentukan asupan zat gizi seseorang adalah pola asuh makan. Pola asuh makan anak pada umumnya dilakukan oleh ibu, nenek, atau saudara kandung. Praktek pengasuhan yang berkaitan dengan situasi dan cara makan menjadi faktor yang dapat berpengaruh terhadap status gizi anak. Menurut Hastuti dalam Khomsan et al. (2013) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi. Kualitas dan kuantitas pola asuh makan menjadi indikator penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya teknik pola asuh makan ibu kepada anak. Kuantitas pola asuh makan dilihat dari seberapa sering (intensitas) ibu dalam memberi makan pada anak, sedangkan kualitas pola asuh makan dilihat dari bagaimana metode atau cara ibu memberikan makan kepada anak. Tabel 7 Sebaran pola asuh makan Kategori Pola Asuh Makan Kurang Sedang Baik Rata-rata±SD 1) uji Mann-Whitney
Ibu tidak bekerja n % 0 0.0 3 7.5 37 92.5 85.0±6.4
Ibu bekerja n % 3 7.5 23 57.5 14 35.0 74.9±9.3
Total n % 3 3.7 26 32.5 51 63.8 80.0±9.5
p-value1) 0.000
Pola asuh makan pada penelitian ini terdiri dari 15 pertanyaan. Rata-rata skor pola asuh makan ibu contoh pada kelompok ibu tidak bekerja (85.0±64) lebih tinggi dari kelompok ibu bekerja (74.9±9.3). Berdasarkan hasil uji beda MannWhitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pola asuh makan ibu pada kedua kelompok (p < 0.05). Pola asuh makan yang tergolong baik pada kelompok ibu tidak bekerja (92.5%) 2.5 kali lebih besar dari kelompok ibu bekerja (35%). Tidak ada pola asuh makan yang tergolong kurang pada ibu tidak bekerja (0%), sedangkan pada kelompok ibu bekerja (7.5%). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ibu tidak bekerja memiliki pola asuh makan yang lebih baik dibandingkan kelompok ibu bekerja, dikarenakan waktu yang digunakan untuk pengasuhan makan anak pada ibu bekerja terpotong oleh waktu kerjanya. Ibu tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak untuk menyiapkan dan mengasuh makan contoh, sehingga kemungkinan besar akan membentuk kebiasaan makan yang baik pada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Mustika (2015) yang berjudul “Pola Asuh Makan antara Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja dan Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar”, yang menyatakan bahwa ibu tidak bekerja lebih memiliki pola asuh makan yang baik dibandingkan ibu bekerja, dikarenakan ketersediaan waktu yang lebih banyak untuk menyiapkan dan menyediakan makan anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Diana (2006) pada anak batita di Kota Padang, menyebutkan bahwa pola asuh makan yang baik lebih tinggi persentasenya pada contoh yang ibunya tidak bekerja (65.0%) dibandingkan ibu yang bekerja (38.1%).
18
Pertanyaan pola asuh makan yang diajukan dalam penelitian ini adalah meliputi praktek ibu dalam pemberian makan, partisipasi ibu dalam pemberian makan, dan sikap ibu dalam pemberian makan. Skor dari tiap jawaban disesuaikan dengan menurut pertanyaannya dengan skor maksimal 3 poin dan minimal 1 poin. Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan praktek ibu dalam pemberian makan Praktek pemberian makan Pemberi makan anak Ibu Anggota keluarga Pengasuh Penyusun menu makan Ibu Anggota keluarga Pengasuh Pemasak makanan Ibu Anggota keluarga Pengasuh Penyaji makanan Ibu Anggota keluarga Pengasuh
Ibu tidak bekerja n %
Ibu bekerja n %
40 0 0
100.0 0.0 0.0
7 8 25
17.5 20.0 62.5
40 0 0
100.0 0.0 0.0
20 3 17
50.0 7.5 42.5
40 0 0
100.0 0.0 0.0
17 3 20
42.5 7.5 50.0
40 0 0
100.0 0.0 0.0
7 9 24
17.5 22.5 60.0
Praktek pemberian makan pada penelitian ini meliputi pemberi makanan, penyusun menu makan, pemasak makanan, dan penyaji makanan anak. Pada kelompok ibu tidak bekerja praktek pemberian makan dilakukan keseluruhan oleh ibu (100%), sedangkan pada kelompok ibu bekerja sebagian besar praktek pemberian makan dilakukan oleh pengasuh (50.8%). Hal ini terjadi karena ibu bekerja tidak selalu mempunyai waktu untuk melakukan praktek pemberian makan kepada anak, dan digantikan oleh anggota keluarga (nenek, kakak/adik permpuan) atau pengasuh. Menurut Meintosh dan Bauer (2006), ibu yang tidak bekerja lebih aktif dalam mengatur pola makan anak, sehingga anak mendapat makanan yang sehat dan bergizi, sedangkan pada ibu bekerja memiliki waktu kebersamaan yang minim dengan anak-anaknya. Partisipasi pemberian makan merupakan partisipasi ibu turut serta dalam membantu memilih, menyiapkan dan menyajikan makanan, memonitor pola makan dan waktu makan anak, anak menghabiskan makan dan makan dengan keluarga, serta konsumsi sayur pada anak. Tingkat partisipasi ibu yang selalu membantu memilih, menyiapkan, dan menyajikan makanan pada kelompok ibu tidak bekerja (80%) 3.5 kali lebih besar dari kelompok ibu bekerja (22.5%). Sedangkan dalam memonitor pola makan dan waktu makan, kelompok ibu tidak bekerja juga memiliki partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu bekerja. Kemampuan anak dalam menghabiskan porsi makan kedua kelompok memiliki proporsi yang sama besar (42.5%). Kebiasaan makan anak pada kedua kelompok sebagian besar menyatakan kadang-kadang menyantap makanan bersama keluarga (75%). Pengasuhan anak untuk mengkonsumsi sayuran pada
19
kedua kelompok menurut analisis uji beda Mann-Whitney tidak jauh berbeda (p < 0.05). Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan partisipasi ibu dalam pemberian makan Ibu tidak bekerja Partisipasi pemberian makan n % Membantu memilih, menyiapkan, menyajikan makanan Selalu 32 80.0 Kadang-kadang 8 20.0 Tidak pernah 0 0.0 Memonitor pola makan Selalu 22 55.0 Kadang-kadang 18 45.0 Tidak pernah 0 0.0 Memonitor waktu makan Selalu 18 45.0 Kadang-kadang 22 55.0 Tidak pernah 0 0.0 Menghabiskan porsi makan Selalu 17 42.5 Kadang-kadang 23 57.5 Tidak pernah 0 0.0 Makan bersama keluarga Selalu 0 0.0 Kadang-kadang 28 70.0 Tidak pernah 12 30.0 Diharuskan mengkonsumsi sayuran Selalu 17 42.5 Kadang-kadang 21 52.5 Tidak pernah 2 5.0 Dihidangkan sayuran setiap makan Selalu 15 37.5 Kadang-kadang 23 57.5 Tidak pernah 2 5.0 Diberitahu sayuran makanan bergizi dan menyehatkan Selalu 7 17.5 Kadang-kadang 19 47.5 Tidak pernah 14 35.0
Ibu bekerja n % 9 30 1
22.5 75.0 2.5
17 20 3
42.5 50.0 7.5
15 23 2
37.5 57.5 5.0
17 23 0
42.5 57.5 0.0
5 32 3
12.5 80.0 7.5
16 24 0
40.0 60.0 0.0
15 23 2
37.5 57.5 5.0
6 30 4
15.0 75.0 10.0
Sikap ibu dalam pemberian makan meliputi jika anak tidak mau menghabiskan makanan, jika anak tidak mau makan, dan jika anak tidak mau makan sayur. Sebagian besar sikap ibu pada kedua kelompok adalah membujuk anak agar mau makan dengan rata-rata 80%. Hal ini menunjukkan bahwa ibu memiliki rasa kasih sayang terhadap anaknya, sehingga cenderung membujuk anak agar mau menghabiskan makan. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati dan Panunggal (2014) menyebutkan bahwa rata-rata sikap ibu dalam pemberian makan pada anak usia balita adalah dengan membujuk anak agar mau makan/menghabiskan makan.
20
Tabel 10 Sebaran anak berdasarkan sikap ibu dalam pemberian makan Ibu tidak bekerja Sikap ibu dalam pemberian makan n % Jika tidak mau menghabiskan makanan Membujuk 32 Memaksa 2 Membiarkan saja 6 Jika tidak mau makan Membujuk 33 Memaksa 4 Membiarkan saja 3 Jika tidak mau makan sayur Membujuk 35 Memaksa 3 Membiarkan saja 2
Ibu bekerja n % 80.0 5.0 15.0
24 7 9
60.0 17.5 22.5
82.5 10.0 7.5
32 5 2
80.0 12.5 5.0
87.5 7.5 5.0
37 2 1
92.5 5.0 2.5
Konsumsi Pangan Pangan merupakan kebutuhan terpenting manusia. Tidak adanya pangan akan membahayakan keberlangsungan hidup manusia. Konsumsi pangan merupakan kumpulan informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2006). Menurut Sediaoetama (2008), bahan pangan yang telah dikonsumsi dan diserap dalam tubuh akan dicerna menjadi berbagai zat gizi. Zat gizi memiliki fungsi antara lain: sebagai sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, mengatur metabolisme dan keseimbangan tubuh. Menurut Wurbach yang diacu dalam Franko et al. (2007), konsumsi pangan adalah bentuk kualitas dan kuantitas pangan yang melihat frekuensi dan jumlah pangan yang dikonsumsi dalam suatu waktu. Tabel 11 Total asupan, angka kecukupan gizi, dan tingkat kecukupan gizi anak Variabel Ibu tidak bekerja Asupan Energi 1220.0 Protein 40.0 Zat besi 9.0 Vitamin A 696.0 Angka Kecukupan Gizi Energi 1275.0 Protein 32.0 Zat besi 8.5 Vitamin A 425.0 Tingkat Kecukupan Gizi Energi 95.0 Protein 130.0 Zat besi 107.0 Vitamin A 165.0
Ibu bekerja
Total
1219.0 38.0 8.7 795.0
1219.5 39.0 8.8 745.5
1302.0 32.7 8.5 427.5
1288.5 32.3 8.5 426.3
93.0 128.0 103.0 187.0
94.0 129.0 105.0 176.0
21
Konsumsi pangan yang diteliti pada penelitian ini adalah asupan energi, protein, zat besi dan vitamin A. Menurut Khomsan et al. (2013), pada masa balita konsumsi energi dan protein perlu mendapat perhatian lebih karena keduanya memiliki peranan yang besar dalam mendukung pertumbuhan anak. Konsumsi pangan sumber zat besi dan vitamin A juga tidak kalah penting, untuk menghindari terjadinya anemia dan kekurangan vitamin A (KVA) yang rawan terjadi di usia balita. Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan sel yang dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan. Kekurangan vitamin A juga dapat menyababkan penurunan kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi (Almatsier 2011). Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa rata-rata asupan energi dan protein pada kedua kelompok tidak jauh berbeda, dengan rata-rata total 1219.5 kkal dan 39.0 gram. Rata-rata asupan energi dan protein pada kedua kelompok subjek sudah memenuhi anjuran konsumsi energi dan protein pada balita, yaitu konsumsi energi yang dianjurkan untuk anak balita berkisar antara 1000 – 1550 kkal, dan konsumsi protein yang dianjurkan untuk anak balita berkisar 25 – 39 gram (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Asupan zat besi pada kelompok ibu tidak bekerja (9.0 miligram) sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu bekerja (8.7 miligram), sedangkan asupan vitamin A pada kelompok ibu bekerja (795.0 RE) lebih besar dibandingkan kelompok ibu tidak bekerja (696.0 RE). Rata-rata asupan zat besi dan vitamin A pada kedua kelompok subjek juga sudah mencukupi dari nilai yang dianjurkan. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan asupan zat gizi antara dua kelompok (P > 0.05). Angka kecukupan zat gizi pada kelompok ibu bekerja cenderung lebih tinggi dibandingkan angka kecukupan zat gizi kelompok ibu tidak bekerja. Hal ini kemungkinan terjadi karena rata-rata usia kedua kelompok berbeda (Tabel 4), balita kelompok ibu bekerja memiliki rata-rata usia contoh 42.5 bulan lebih tinggi dibandingkan balita kelompok ibu bekerja yang memiliki rata-rata usia 39.9 bulan, sehingga angka kecukupan energi kedua kelompok juga berbeda. Tabel 11 menunjukkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi rata-rata lebih dari 90%, hal ini memunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan zat gizi kedua kelompok tercukupi. Tingkat kecukupan vitamin A memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Hal ini kemungkin terjadi karena konsumsi pangan sumber vitamin A yang cukup sering dikonsumsi contoh, seperti seperti telur, susu, sayur, bayam dan wortel dengan frekuensi hampir 2 kali/hari, serta konsumsi minyak kelapa sawit yang telah di fortifikasi vitamin A juga menjadi salah satu sumber pangan vitamin A. Tingkat kecukupan protein juga memiliki nilai yang cukup besar. Hal ini dikarenakan contoh mengkonsumsi pangan sumber protein, meliputi ikan, daging, telur, dan ayam dengan frekuensi 2-3 kali/hari. Selain itu terdapat beberapa ibu contoh yang memberikan minyak ikan kepada anaknya sebagai suplemen makanan. Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi pada kelompok ibu tidak bekerja yang tergolong kategori cukup (95%), lebih baik dibandingkan kelompok ibu bekerja (82.5%). Proporsi tingkat kecukupan energi yang tergolong kurang pada kelompok ibu bekerja (17.5%) 3 kali lebih besar dibandingkan kelompok ibu tidak bekerja (5%). Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney, tingkat kecukupan energi berbeda signifikan antar kedua kelompok contoh (p <
22
0.05). Sedangkan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan vitamin A tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Tabel 12 Sebaran kategori tingkat kecukupan gizi per hari Ibu tidak bekerja n % Tk Kecukupan Energi Kurang 2 5.0 Cukup 38 95.0 Rata-rata±SD 95.0±7.0 Tk Kecukupan Protein Kurang 1 2.5 Cukup 39 97.5 Rata-rata±SD 130.0±26.0 Tk Kecukupan Fe Kurang 6 15.0 Cukup 34 85.0 Rata-rata±SD 107.0±36.0 Tk Kecukupan Vit.A Kurang 2 5.0 Cukup 38 95.0 Rata-rata±SD 165.0±59.0 Variabel
Ibu bekerja n %
n
Total
7 17.5 33 82.5 93.0±5.0
9 11.3 71 88.7 94.0±6.0
0.044
3 7.5 37 92.5 128.0±35.0
4 5.0 74 95.0 129.0±30.0
0.169
8 20.0 32 80.0 103.0±16.0
14 17.5 66 82.5 105.0±28.0
0.559
0 0.0 40 100.0 187.0±62.0
2 2.5 78 97.5 176.0±62.0
0.155
%
p-value1)
1)
uji Mann-Whitney
Proporsi tingkat kecukupan protein (7.5%) yang tergolong kurang pada kelompok ibu bekerja 3 kali lebih besar dibandingkan kelompok ibu tidak bekerja (2.5%). Begitupun juga dengan tingkat kecukupan zat besi, pada kelompok ibu bekerja (20%) yang tergolong kurang, sedikit lebih besar dibandingkan kelompok ibu tidak bekerja (20%). Proporsi tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong kurang pada kelompok ibu tidak bekerja (5%), sedangkan pada kelompok ibu bekerja tidak ada (0%). Hal ini diduga terjadi karena subjek pada kelompok ibu bekerja lebih sering mengkonsumsi pangan sumber vitamin A seperti telur, susu, bayam dan wortel, serta pangan yang digoreng dengan minyak kelapa sawit fortifikasi vitamin A. Menurut Almatsier et al. (2011), vitamin A terdapat dalam bahan pangan hewani (telur, susu, mentega , dan kuning telur) sedangkan karoten di dalam sayur dan buah berwarna kuning jingga
Status Gizi Status gizi merupakan keadaan atau kondisi yang terjadi pada setiap manusia akibat dari respon keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh, produktivitas dan aktifitas fisik. Status gizi balita terdiri dari BB/TB, BB/U, dan TB/U yang dihitung menggunakan skor z-score. Status gizi balita dikatakan baik apabila berada pada rentang ≥ -2 s/d ≤ 2, kurang ataupun lebih dari skor tersebut dikatakan malnutrisi. Berikut merupakan Tabel 13 yang menyajikan status gizi kedua kelompok.
23
Tabel 13 Sebaran anak menurut status gizi Ibu tidak bekerja n % Status Gizi menurut BB/U Gizi Kurang 5 12.5 Gizi Baik 34 85.0 Gizi Lebih 1 2.5 Skor Z BB/U±SD -0.7±1.4 Status Gizi menurut TB/U Pendek 2 5.0 Normal 38 95.0 Skor Z TB/U±SD -0.4±1.2 Status Gizi menurut BB/TB Kurus 4 10.0 Normal 35 87.5 Gemuk 0 0.0 Obesitas 1 2.5 Skor Z BB/TB±SD -0.7±1.5 1) uji Mann-Whitney Kategori
Ibu bekerja n %
n
Total
2 5.0 33 82.5 5 12.5 0.1±1.7
7 8.7 67 83.8 6 7.5 -0.3±1.6
1 2.5 39 97.5 0.2±1.2
3 3.7 77 96.3 -0.1±1.2
3 7.5 30 75.0 3 7.5 4 10.0 -0.1±1.9
7 8.7 65 81.3 3 3.7 5 6.3 -0.4±1.2
%
pvalue1)
0.053
0.579
0.843
Tabel 13 menyajikan data status gizi kedua kelompok contoh menurut indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Status gizi kedua kelompok contoh menurut indeks BB/U sebagian besar tergolong gizi baik, masing-masing sebesar 85% dan 82.5%. Namun, proporsi status gizi (BB/U) pada kelompok ibu bekerja yang tergolong gizi lebih (12.5%) 5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu tidak bekerja (2.5%). Indeks BB/U menunjukkan keadaan status gizi anak saat kini, karena berat badan (massa tubuh) lebih sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti, konsumsi pangan yang tidak mencukupi, penyakit infeksi, dan diare (WHO 1995 dalam Khomsan et al. 2013). Pada Tabel 13 terlihat bahwa status gizi (TB/U) baik pada kedua kelompok tergolong kategori normal (77%). Sedangkan indeks TB/U yang tergolong pendek pada kelompok ibu tidak bekerja (5%) dan kelompok ibu bekerja (2.5%). Tidak ada satu pun contoh dari kedua kelompok yang tergolong kategori tinggi (0%). Indeks TB/U menunjukkan keadaan status gizi anak masa lampau, karena tinggi badan tidak sensitif terhadap perubahan. Indeks BB/TB merupakan indeks status gizi yang sering digunakan untuk melihat status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut tinggi badan. Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan menunjukkan bahwa jumlah contoh yang berstatus gizi normal pada kelompok ibu tidak bekerja dan ibu bekerja masing-masing sebesar 87.5% dan 75%. Namun, status gizi (BB/TB) pada kelompok ibu bekerja yang tergolong obesitas (10%) 4 kali lebih besar dari kelompok ibu tidak bekerja (2.5%). Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena kurangnya kontrol asupan makan balita oleh ibu bekerja, sehingga menimbulkan resiko obesitas lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi pada kedua kelompok (p > 0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sumarni et al. (2011), yang menyimpulkan tidak adanya perbedaan status gizi anak usia 6-24 bulan pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. .
24
Perkembangan Psikomotorik Perkembangan merupakan proses bertambahnya kemampuan tubuh secara struktural dan fungsional yang lebih kompleks sebagai hasil dari proses pematangan. Salah satu aspek penting pada perkembangan anak adalah psikomotorik atau yang dikenal juga dengan istilah perkembangan motorik. Perkembangan motorik adalah berkembangnya pengendalian gerakan tubuh dan kematangan pada usia balita yang mengalami perkembangan motorik, verbal, dan kemampuan sosial secara progresif (Lindawati 2013). Pada penelitian kali ini perkembangan motorik dibagi menjadi dua, yaitu motorik halus dan motorik kasar. Berikut Tabel 14 yang menyajikan sebaran perkembangan motorik anak. Tabel 14 Sebaran perkembangan motorik Ibu tidak bekerja Kategori motorik n % Motorik Kasar Kurang 0 0.0 Sedang 19 47.5 Baik 21 52.5 Rata-rata±SD 77.0±10.4 Motorik Halus Kurang 1 2.5 Sedang 21 52.5 Baik 18 45.0 Rata-rata±SD 66.0±11.3
Ibu bekerja n %
Total n
0 0.0 17 42.5 23 57.5 78.0±8.7
0 0.0 36 45.0 44 55.0 77.5±10.0
0 0.0 22 55.0 18 45.0 68.0±9.7
1 1.3 43 53.7 36 45.0 67.0±10.0
%
p-value1)
0.446
0.254
1)
uji Mann-Whitney
Perkembangan Motorik Halus Perkembangan motorik halus hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja, yang dilakukan dengan otot-otot kecil. Gerakan ini tidak memerlukan tenaga yang besar, akan tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Pada Tabel 14 terlihat bahwa perkembangan motorik halus yang tergolong sedang pada kedua kelompok tidak jauh berbeda dengan rata-rata 53.7%. Terdapat satu anak dari kelompok ibu tidak bekerja yang memiliki perkembangan motorik halus tergolong kurang (2.5%). Berdasarkan analisis uji beda Mann-Whitney, perkembangan motorik halus tidak berhubungan signifikan antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sitoresmi et al. (2014) yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan motorik halus antara kedua kelompok (p > 0.05). Perkembangan motorik halus jika dibandingkan dengan motorik kasar (Tabel 14), memiliki persentase yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena kemampuan motorik halus lebih lama pencapaiannya dari pada kemampuan motorik kasar. Kemampuan motorik halus lebih membutuhkan konsentrasi, kontrol, kehati – hatian, dan berhubungan dengan kondisi otot tubuh yang satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Yudha dan Rudyanto (2005) bahwa kemampuan motorik halus berkembang setelah kemampuan motorik kasar anak berkembang secara optimal. Perkembangan motorik halus dibagi sesuai jenjang usia, mulai dari 1.5 – 5 tahun. Pertanyaan perkembangan motorik disesuaikan dengan jenjang usia balita.
25
Usia 1.5 – 2.4 tahun Usia 1.5 – 2.4 tahun merupakan usia dimana pertumbuhan dan perkembangan balita tengah berkembang pesat. Balita pada usia ini pada umumnya masih belajar mengenal lingkungan sekitarnya. Berikut Tabel 15 menyajikan sebaran motorik halus balita berusia 1.5 – 2.4 tahun. Tabel 15 Sebaran motorik halus usia 1.5 – 2.4 tahun Pertanyaan Motorik Halus Membangun menara 3 balok Membalik buku per halaman Meremas/memilin benda lunak Membuat coretan di kertas Melipat kertas menjadi dua Menjiplak gambar geometris Menggunting kertas 2 bagian Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 4 9 0 5 8 0 2 10 1 2 11 0 1 8 4 0 7 6 0 11 2 63.2
Ibu bekerja (n = 9) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 2 7 0 1 8 0 3 6 0 1 7 1 0 7 2 0 7 2 0 6 3 63.4
Jumlah balita berusia 1.5 – 2.4 tahun pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 13 balita dan pada kelompok ibu bekerja 9 balita. Penilaian motorik halus pada usia 1.5 – 2.4 tahun meliputi, membangun menara, membalik halaman buku, meremas benda lunak, membuat coretan, melipat kertas, menjiplak gambar, menggunting kertas. Pada usia ini tingkat kesukaran masih dasar, yaitu membangun 3 tugu balok, melipat dan menggunting kertas menjadi 2 bagian. Rata-rata balita pada kedua kelompok dapat melakukannya dengan kategori sedang (Tabel 15). Kegiatan yang belum dapat dilakukan dengan sempurna oleh kedua kelompok adalah, melipat kertas menjadi dua, menjiplak gambar geometris dan menggunting kertas menjadi 2 bagian. Hal ini terjadi karena anak belum diajarkan cara memegang gunting dengan baik, karena orang tua yang masih melarang anak untuk memegang gunting. Usia 2.5 – 3.4 tahun Motorik halus pada balita berusia 2.5 – 3.4 tahun pada umumnya sudah mulai berkembang dibandingkan usia sebelumnya. Rasa ingin tahu yang tinggi ditambah stimulasi psikososial dari orang tua dapat membantu kemampuan motorik halus anak. Tabel 16 menyajikan sebaran motorik halus balita berusia 2.5 – 3.4 tahun. Jumlah balita yang berusia 1.5 – 2.4 tahun pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 7 balita dan pada kelompok ibu bekerja 8 balita. Penilaian motorik halus pada usia 2.5 – 3.4 tahun hampir sama dengan usia 1.5 – 2.4 tahun, akan tetapi tingkat kesukaran berbeda. Pada usia ini balok yang digunakan untuk membangun menara ditingkatkan menjadi 6 balok, menarik garis datar, dan menggunting mengikuti garis lurus. Rata-rata kemampuan motorik halus usia 2.5 – 3.4 tahun pada subjek kelompok ibu bekerja lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu tidak bekerja (Tabel 16). Perbedaan mencolok antar dua kelompok terlihat pada kegiatan membalik halaman buku per halaman. Pada kelompok ibu tidak bekerja hanya 3 dari 7 anak yang dapat melakukan dengan baik, sedangkan pada kelompok ibu bekerja 6 dari 8 anak yang dapat melakukan dengan baik. Hal
26
ini dapat terjadi kemungkinan balita pada kelompok ibu bekerja sudah terbiasa memegang atau melihat buku dibanding balita kelompok ibu tidak bekerja. Tabel 16 Sebaran motorik halus usia 2.5 – 3.4 tahun Pertanyaan Motorik Halus Membangun menara 6 balok Membalik buku per halaman Meremas/memilin benda lunak Menarik garis datar dan tegak Melipat kertas menjadi dua Menjiplak gambar geometris Menggunting garis lurus Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 7) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 4 3 0 3 4 0 4 3 0 2 5 0 1 6 0 0 4 3 0 6 1 65.3
Ibu bekerja (n = 8) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 3 5 0 6 2 0 6 2 0 1 7 0 0 7 1 0 7 1 0 5 3 67.8
Usia 3.5 – 4.4 tahun Kemampuan motorik halus pada balita berusia 3.5 – 4.4 tahun umumnya sudah lancar dalam menggunakan alat tulis dengan baik dan benar. Berikut Tabel 17 menyajikan sebaran motorik halus balita usia 3.5 – 4.4 tahun. Tabel 17 Sebaran motorik halus usia 3.5 – 4.4 tahun Ibu tidak bekerja (n = 7) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat Membangun menara 6 balok 3 4 0 Membalik buku per halaman 3 4 0 Memilin benda lunak 6 1 0 Membuat tanda (x) dan (=) 5 2 0 Menggambar figuratif 0 6 1 Menjiplak gambar geometris 0 6 1 Melipat kertas vertikal/horizontal 3 4 0 Menggunting garis lurus 2 5 0 Rata-rata 66.3 Pertanyaan Motorik Halus
Ibu bekerja (n = 10) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 4 6 0 6 4 0 7 3 0 5 5 0 1 8 1 1 9 0 4 6 0 3 6 1 71.2
Tabel 17 menyajikan sebaran motorik halus balita berusia 3.5 – 4.4 tahun. Jumlah balita yang berusia 1.5 – 2.4 tahun pada kelompok ibu tidak bekerja adalah 7 balita dan pada kelompok ibu bekerja 10 balita. Penilaian motorik halus pada usia 3.5 – 4.4 tahun memiliki kesukaran yang lebih tinggi dari jenjang usia sebelumnya, yaitu seperti membuat tanda silang dan sama dengan, menggambar figuratif gambar orang, dan melipat kertas vertikal horizontal. Rata-rata kemampuan motorik halus usia 3.5 – 4.4 tahun pada subjek kelompok ibu bekerja lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu tidak bekerja (Tabel 17). Kegiatan yang tidak dapat dilakukan dengan baik oleh kelompok ibu tidak bekerja adalah menggambar figuratif gambar orang dan menjiplak gambar geometris, sedangkan pada kelompok ibu bekerja hanya 1 dari 10 balita yang dapat melakukan dengan baik. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena balita pada kelompok ibu tidak bekerja tidak dibiasakan untuk mencoret kertas sebelumnya.
27
Usia 4.5 – 5 tahun Anak usia 4.5 – 5 tahun pada umumnya sudah mulai menginjak bangku playgroup atau taman kanak-kanak. Hal ini membuat kemampuan motorik halus anak lebih bervariasi. Berikut Tabel 18 menyajikan sebaran motorik halus balita usia 4.5 – 5 tahun. Tabel 18 Sebaran motorik halus usia 4.5 – 5 tahun Pertanyaan Motorik Halus Membangun menara 10 balok Menggambar bentuk geometris Mewarnai gambar geometris Melipat kertas beberapa kali Menggunting kertas melengkung Memasukkan tali ke lubang Meronce manik-manik Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 8 5 0 3 10 0 2 11 0 5 8 0
Ibu bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 8 5 0 4 9 0 4 9 0 8 5 0
2
11
0
3
10
0
0 1
13 12 68.2
0 0
1 0
10 11 67.1
2 2
Tabel 18 menyajikan sebaran motorik halus balita berusia 4.5 – 5 tahun. Jumlah balita yang berusia 4.5 – 5 tahun pada kedua kelompok seimbang, yaitu masing-masing 13 balita Penilaian motorik halus pada usia 4.5 – 5 tahun memiliki kesukaran yang semakin tinggi dari jenjang usia sebelumnya, yaitu seperti membangun menara 10 balok, mewarnai gambar, melipat kertas beberapa kali, menggunting kertas lengkung, memasukkan tali ke lubangm dan meronce manikmanik. Rata-rata balita pada kedua kelompok dapat melakukannya dengan kategori sedang (Tabel 18). Kegiatan yang tidak dapat dilakukan dengan baik oleh kelompok ibu tidak bekerja adalah memasukan tali ke lubang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena anak tidak diajarkan sebelumnya. Sedangkan kegiatan yang tidak dapat dilakukan dengan baik oleh kelompok ibu bekerja adalah meronce manik-manik. Hal ini kemungkinan terjadi karena anak belum diajarkan meronce sebelumnya. Perkembangan Motorik Kasar Perkembangan motorik kasar merupakan perkembangan yang erat kaitannya dengan pusat motorik di otak, yang bila digerakkan melibatkan sebagian besar bagian tubuh (otot-otot besar), sehingga memerlukan tenaga yang lebih besar dibanding gerakan motorik halus. Kemampuan gerakan motorik kasar akan berbeda disetiap jenjang usia, sama seperti motorik halus. Proporsi perkembangan motorik kasar yang tergolong kategori baik pada kelompok ibu tidak bekerja (52.5%) lebih rendah dibandingkan kelompok ibu bekerja (57.5%). Perkembangan motorik kasar yang tergolong kategori sedang (47.5%) pada kelompok ibu tidak bekerja, lebih besar dibandingkan kelompok ibu bekerja (42.5%). Tidak ada perkembangan motorik kasar yang tergolong kategori kurang (0%). Berdasarkan analisis uji beda Mann-Whitney, perkembangan motorik kasar tidak berhubungan signifikan antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sitoresmi et al. (2014) yang menyebutkan bahwa tidak
28
ada perbedaan yang signifikan antara perkembangan motorik halus antara kedua kelompok (p > 0.05). Usia 1.5 – 2.4 tahun Kemampuan motorik kasar pada anak usia 1.5 - 2.4 tahun terlebih dahulu berkembang dibandingkan motorik halus. Hal ini dikarenakan kemampuan otot besar terlebih dahulu aktif dibandingkan otot kecil. Berikut Tabel 19 menyajikan sebaran motorik kasar usia 1.5 – 2.4 tahun. Tabel 19 Sebaran motorik kasar usia 1.5 – 2.4 tahun Pertanyaan Motorik Kasar Berjalan dengan lancar Berjalan mundur Mengambil benda di lantai Duduk sendiri di kursi Mengayunkan lengan Membungkukkan badan Gerak koordinasi mata dan kaki Gerak koordinasi mata dan tangan Bergoyang-goyang dengan musik Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 9 4 0 3 10 0 7 6 0 3 10 0 6 7 0 2 10 1
Ibu bekerja (n = 9) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 5 4 0 3 6 0 6 3 0 3 6 0 2 7 0 2 7 0
3
10
0
2
6
1
3
10
0
3
6
0
8
5
0
4
5
0
72.6
74.7
Tabel 19 menyajikan sebaran motorik kasar balita berusia 1.5 – 2.4 tahun. Penilaian motorik kasar pada usia 1.5 – 2.4 tahun meliputi, berjalan, berjalan mundur, mengambil benda, duduk sendiri, mengayunkan lengan, membungkukkan badan, gerakaan koordinasi mata, kaki, dan tangan, bergoyang mengikuti musik. Pada usia ini tingkat kesukaran masih dasar dibandingkan jenjang usia lainnya. Rata-rata skor motorik kasar lebih tinggi dibandingkan motorik halus, walaupun demikian rata-rata motorik kasar juga tergolong sedang. Subjek kelompok ibu bekerja memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu tidak bekerja (Tabel 19). Hal ini dapat terjadi karena kemampuan motorik kasar subjek kelompok ibu bekerja cenderung lebih baik. Usia 2.5 – 3.4 tahun Kemampuan motorik kasar balita berusia 2.5 – 3.4 tahun pada umumnya sudah mampu berlari sendiri dengan baik. Tabel 20 menyajikan sebaran motorik kasar balita berusia 2.5 – 3.4 tahun. Penilaian motorik kasar pada usia 2.5 – 3.4 tahun hampir sama dengan usia 1.5 – 3.4 tahun, akan tetapi tingkat kesukaran yang berbeda yaitu seperti melompat, melambungkan bola dengan dua tangan, dan berdiri dengan satu kaki. Rata-rata kemampuan motorik halus usia 3.5 – 4.4 tahun pada subjek kelompok ibu bekerja lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu tidak bekerja (Tabel 20). Hal ini dapat dimungkinkan karena terdapat subjek pada kelompok ibu tidak bekerja yang belum dapat berdiri dengan 1 kaki. Seluruh balita usia 2.5 – 3.4 tahun dapat berjalan dengan lancar dan berlari
29
dengan baik (100%). Kegiatan yang masih sukar dilakukan dengan baik adalah berdiri dengan satu kaki. Tabel 20 Sebaran motorik kasar usia 2.5 – 3.4 tahun Pertanyaan Motorik Kasar Berjalan dengan lancar Berjalan diatas garis lurus Berlari Melompat Mengayunkan lengan Membungkukkan badan Gerak koordinasi mata dan kaki Gerak koordinasi mata dan tangan Melambungkan bola dengan 2 tangan Berdiri dengan 1 kaki Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 7) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 7 0 0 3 4 0 7 0 0 6 1 0 5 2 0 3 4 0
Ibu bekerja (n = 8) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 8 0 0 5 3 0 8 0 0 8 0 0 4 4 0 2 6 0
4
3
0
4
4
0
3
4
0
3
5
0
4
3
0
4
4
0
2
4 75.0
1
2
6 77.5
0
Usia 3.5 – 4.4 tahun Balita berusia 3.5 – 4.4 tahun merupaka usia dimana anak sudah mulai tertarik terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan yang mendukung akan membentuk kemampuan motorik kasar anak dengan baik. Berikut Tabel 21 menyajikan sebaran motorik kasar balita usia 3.5 – 4.4 tahun. Tabel 21 Sebaran motorik kasar usia 3.5 – 4.4 tahun Pertanyaan Motorik Kasar Berjalan Berjalan jinjit Berlari Berlari kencang dan berhenti mendadak tanpa jatuh Melompat Membungkukkan badan Gerak koordinasi mata dan kaki Gerak koordinasi mata dan tangan Melambungkan bola dengan 2 tangan Berdiri dengan 1 kaki Berjalan diatas papan titian Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 7) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 7 0 0 5 1 1 6 1 0
Ibu bekerja (n = 10) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 10 0 0 6 4 0 9 1 0
3
4
0
2
8
0
4 4
3 3
0 0
7 3
3 7
0 0
3
4
0
3
7
0
2
5
0
2
8
0
3
4
0
3
7
0
2 3
5 4 78.6
0 0
3 3
7 6 79.6
0 1
Tabel 21 menyajikan sebaran motorik kasar balita berusia 3.5 – 4.4 tahun. Penilaian motorik kasar pada usia 3.5 – 4.4 tahun hampir sama dengan usia
30
2.5 – 3.4 tahun, akan tetapi terdapat penambahan tingkat kesukaran yaitu seperti berjalan jinjit, berhenti mendadak, dan berjalan di papan titian. Rata-rata kemampuan motorik kasar pada usia 3.5 – 4.4 tahun tidak jauh berbeda dan termasuk kategori sedang (Tabel 20). Berjalan, berjalan jinjit, dan berlari merupakan kegiatan yang paling banyak dapat dilakukan oleh kedua kelompok. Sedangkan kegiatan yang masih belum dapat dilakukan dengan baik adalah gerak koordinasi mata, kaki, dan tangan, berdiri dengan 1 kaki, dan berjalan diatas papan titian. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya stimulasi motorik dari orang tua maupun lingkungan. Usia 4.5 – 5 tahun Motorik kasar pada balita berusia 4.5 – 5 tahun mulai bervariasi. Hal ini dikarenakan anak mulai berinteraksi dengan lingkungannya seperti playgroup atau taman kanak-kanak. Berikut Tabel 22 menyajikan sebaran motorik kasar usia 4.5 – 5 tahun. Tabel 22 Sebaran motorik kasar usia 4.5 – 5 tahun Pertanyaan Motorik Kasar Berjalan dan melompat Berlari dan melompat ke depan Melompat meraih benda Berlari dan melompat Melompat Melompat ke belakang Membungkukkan badan Gerak koordinasi mata dan kaki Gerak koordinasi mata dan tangan Melempar dan menangkap bola Berdiri dengan 1 kaki Berjalan diatas papan titian Berjalan sambil membawa air Rata-rata
Ibu tidak bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 13 0 0
Ibu bekerja (n = 13) Kurang Tidak Sempurna sempurna dapat 10 3 0
11
2
0
8
5
0
9 7 7 3 4
4 6 6 10 9
0 0 0 0 0
8 5 9 4 4
5 8 4 8 8
0 0 0 1 1
6
7
0
4
9
0
4
9
0
5
8
0
7
6
0
4
9
0
7
6
0
5
8
0
4
9
0
4
8
1
13
0
0
12
1
0
79.9
78.4
Tabel 22 menyajikan sebaran motorik kasar balita berusia 4.5 – 5 tahun. Penilaian motorik kasar pada usia 4.5 – 5 tahun hampir sama dengan usia 3.5 – 4.4 tahun, akan tetapi terdapat penambahan tingkat kesukaran yaitu seperti berlari dan melompat secara bersamaan, berjalan sambil membawa air tanpa tumpah. Rata-rata kemampuan motorik halus usia 4.5 – 5 tahun pada subjek kelompok ibu tidak bekerja lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu bekerja (Tabel 22). Hal ini kemungkinan terjadi karena subjek pada kelompok ibu tidak bekerja mampu berjalan sambil membawa air dan berjalan melompat ke depan dengan baik dan sempurna (100%). Pada kelompok ibu bekerja, dua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dengan sempurna oleh seluruh subjek, selain itu subjek
31
kelompok ibu tidak bekerja memiliki kemampuan melempar dan menangkap bola yang lebih baik. Berjalan sambil membawa air dapat dilakukan dengan baik oleh balita diduga karena anak sudah dibiasakan sejak kecil untuk mengambil minum sendiri.
Hubungan Antar Variabel Hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan pola asuh makan Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu tidak berhubungan signifikan dengan pola asuh makan (p = 0.057, r = 0.214). Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara pengetahuan gizi kelompok ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja berdasarkan uji MannWhitney (p > 0.05). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian El-Nmer et al. (2013) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan pola asuh makan pada anak di Mesir, akan tetapi pengetahuan gizi ibu memiliki kontribusi terhadap konsumsi pangan anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ulfa dan Latifah (2007), juga menyimpulkan bahwa pengetahuan gizi ibu tidak berhubungan signifikan dengan pola asuh makan. Faktor yang berhubungan dengan ketersediaan makanan tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan gizi saja, akan tetapi juga didukung oleh ketersediaan daya beli rumah tangga. Menurut Khomsan et al. (2013), pengetahuan gizi akan membentuk pola makan rumah tangga yang baik apabila pengetahuan gizi diimplementasikan dengan sikap dan praktik. Hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan zat gizi Pola asuh makan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak. Pola asuh makan yang baik akan membentuk kebiasaan makan anak yang baik dan berdampak terhadap kualitas makan anak ( Ohly et al. 2012). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi berhubungan signifikan positif dengan pola asuh makan ( p = 0.000, r = 0.449). Hal ini menyimpulkan bahwa semakin baik pola asuh makan maka tingkat kecukupan energi juga semakin baik, begitupun sebaliknya pola asuh makan yang kurang cenderung memiliki tingkat kecukupan energi yang defisit. Hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi memiliki kekuatan korelasi yang sedang dengan nilai r = 0.449. Hasil ini diperkuat dengan penelitian Ariefani (2009) yang menyebutkan bahwa tingkat kecukupan energi berhubungan dengan pola asuh makan pada balita di kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pola asuh makan yang baik jika dipraktikkan ibu dalam membentuk kebiasaan makan anak, maka pola makan anak cenderung teratur. Penelitian lain yang dilakukan Yulia (2011) juga menyimpulkan bahwa pola asuh makan berhubungan signifikan positif dengan tingkat kecukupan gizi, salah satunya energi. Tingkat kecukupan protein tidak berhubungan secara signifikan terhadap pola asuh makan (r = 0.217, p = 0.053). Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara tingkat kecukupan protein kelompok ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja berdasarkan uji Mann-Whitney (p > 0.05). Akan tetapi nilai signifikansi mendekati angka 0.05, yang memungkinkan adanya hubungan
32
walaupun sangat lemah. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2011) menerangkan bahwa pola asuh makan berhubungan signifikan hanya dengan tingkat kecukupan energi saja, sedangkan tingkat kecukupan protein tidak disebutkan berhubungan signifikan. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan pola asuh tidak berhubungan signifikan dengan tingkat kecukupan zat besi dan vitamin A. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara tingkat kecukupan zat besi dan tingkat kecukupan vitamin A kelompok ibu tidak bekerja dan kelompok ibu bekerja berdasarkan uji MannWhitney (p > 0.05). Hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi Konsumsi pangan merupakan salah satu metode penilaian status gizi. Menurut Steyn et al. (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa konsumsi anekaragam pangan pada anak berdampak positif terhadap status gizi dan tumbuh kembang anak. Konsumsi pangan individu tercukupi atau tidak dilihat dari tingkat kecukupan zat gizi. Berikut tabel 23 yang menyajikan hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi. Tabel 23 Hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi Variabel Tingkat Kecukupan Energi – status gizi (BB/TB) Tingkat Kecukupan Protein – status gizi (TB/U) Tingkat Kecukupan Zat Besi – status gizi (BB/TB) Tingkat Kecukupan Zat Besi – status gizi (BB/U) Tingkat Kecukupan Zat Besi – status gizi (TB/U) Tingkat Kecukupan Vitamin A – status gizi (TB/U)
r 0.282 0.228 0.296 0.311 0.258 0.384
P 0.011 0.042 0.008 0.005 0.021 0.000
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tingkat kecukupan energi berhubungan signifikan positif dengan status gizi (BB/TB) (p = 0.011, r = 0.282). Hal ini menyimpulkan bahwa semakin baik tingkat kecukupan energi subjek maka status gizi (BB/TB) subjek juga semakin baik, begitupun sebaliknya tingkat kecukupan energi yang defisit cenderung menyebabkan status gizi (BB/TB) kurang, dengan kekuatan korelasi yang lemah (r = 0.282). Hasil ini didukung oleh penelitian Solihin et al. (2013), yang menyebutkan bahwa tingkat kecukupan energi berhubungan signifikan positif dengan status gizi. Status gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan infeksi, asupan energi akan berpengaruh terhadap status gizi anak apabila tidak terdapat riwayat penyakit infeksi yang diderita anak. Tingkat kecukupan energi tidak berhubungan signifikan dengan status gizi (BB/U) dan (TB/U) dikarenakan p > 0.05. Hasil ini serupa dengan penelitian Regar dan Sekartini (2013), yang menyebutkan bahwa tingkat kecukupan energi tidak berhubungan signifikan dengan status gizi indeks BB/U dan TB/U. Hal tersebut mungkin disebabkan perbedaan kelompok umur subjek penelitian yang menyebabkan status gizi menurut umur tidak berhubungan signifikan. Selain itu konsumsi energi hanya menggambarkan keadaan konsumsi saat ini, sedangkan status gizi TB/U menggambarkan riwayat gizi masa lalu. Pengukuran food recall 24 jam yang hanya dilakukan satu kali dapat menjadi salah satu penyebab, sehingga belum tentu dapat menggambarkan keadaan status gizi TB/U atau BB/U. Keberadaan infeksi juga dapat menjadi faktor perancu yang dapat mempengaruhi keseimbangan energi.
33
Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein berhubungan positif dengan status gizi (TB/U) dengan (r = 0.228, p = 0.042). Hal ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan protein maka status gizi (TB/U) juga semakin baik, dengan kekuatan korelasi yang lemah (r = 0.228). Hasil ini didukung dengan penelitian Regar dan Sekartini (2013), yang menyebutkan bahwa tingkat kecukupan protein berhubungan signifikan dengan indeks status gizi (TB/U). Protein berperan dalam membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh, oleh sebab itu protein berperan dalam pertumbuhan balita (Solihin et al. (2013), diacu dalam Almatsier (2011)), sehingga protein merupakan salah satu zat gizi yang penting bagi status gizi balita, khususnya indeks TB/U. Studi di China menyebutkan bahwa anak laki-laki usia bawah 6 tahun menunjukkan adanya kaitan antara stunted dengan asupan protein yang rendah (Chunming 2000). Tingkat kecukupan protein tidak berhubungan signifikan dengan status gizi indeks (BB/TB) dan (BB/U) (p = 0.087 dan p = 0.268). Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya faktor yang dapat mempengaruhi yaitu pengukuran food recall 24 jam yang hanya dilakukan satu kali, sehingga belum tentu dapat menggambarkan keadaan status gizi BB/TB atau BB/U secara menyeluruh. Keberadaan infeksi juga dapat menjadi faktor perancu yang dapat mempengaruhi keseimbangan zat gizi seperti protein. Zat besi merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting bagi balita. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan anemia defisiensi besi yang rawan terjadi di usia balita. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi yang sering terjadi, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap status gizi. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat gizi berhubungan signifikan positif dengan status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB) dengan nilai p < 0.05. Hal ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan zat besi maka status gizi juga semakin baik. Jika dilihat dari nilai r (0.296, 0.311, dan 0.258), maka hubungan antara tingkat kecukupan zat besi dengan status gizi memiliki kekuatan korelasi yang lemah. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahmat et al. (2011), yang menyatakan bahwa asupan zat besi pada balita (24 – 59 bulan) di kepulauan Nusa Tenggara memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting (TB/U), kurangnya asupan zat besi pada anak menyebabkan petumbuhan anak terhambat. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin berhubungan signifikan positif dengan status gizi (TB/U) dengan signifikansi p = 0.000. Hal ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecukupan vitamin A maka status gizi (TB/U) juga semakin baik. Vitamin A merupakan salah satu jenis vitamin yang penting untuk diperhatikan asupannya sejak dini. Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan sel. Dengan demikian balita yang mengalami defisiensi vitamin A akan mengalami kegagalan pertumbuhan (stunting) (Almatsier 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Yuningsi (2015) menunjukkan bahwa asupan vitamin A memiliki hubungan terhadap kejadian balita pendek (stunting) dengan p = 0.001. Hadi et al. (2000) dalam penelitiannya menyebutkan sumplementasi vitamin A dapat meningkatkan tinggi badan anak 0.10 – 0.22 cm yang secara langsung mempengaruhi status gizi (TB/U).
34
Tingkat kecukupan vitamin A tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (BB/U dan BB/TB), dikarenakan nilai signifikansi p > 0.05. Penelitian yang dilakukan Bahmat et al. (2011), yang menyatakan bahwa asupan vitamin A tidak berhubungan signifikan dengan status gizi balita (p > 0.05). Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan pengukuran food recall 24 jam yang hanya dilakukan satu kali, sehingga tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan anak yang mengkonsumsi pangan sumber vitamin A. Hubungan tingkat status gizi dengan perkembangan motorik Keadaan gizi seseorang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Balita yang mengalami gizi buruk/kurang memiliki kecenderungan perkembangan yang terhambat. Menurut Walker et al. (2005), malnutrisi pada anak dapat menyebabkan perkembangan anak terganggu. Tabel 24 Hubungan status gizi dengan perkembangan motorik Variabel Status gizi (BB/TB) – motorik halus Status gizi (BB/TB) – motorik kasar Status gizi (BB/U) – motorik halus Status gizi (BB/U) – motorik kasar
r 0.236 0.264 0.243 0.231
p 0.035 0.018 0.030 0.039
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa status gizi (BB/TB) berhubungan signifikan positif dengan perkembangan motorik halus dengan p = 0.035, sedangkan kekuatan korelasi antara dua variabel tersebut memiliki hubungan positif yang lemah (r = 0.236). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik status gizi (BB/TB), maka perkembangan motorik halus juga semakin baik. Hasil ini didukung dengan penelitian Kasenda et al. (2015) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status gizi dengan perkembangan motorik halus anak usia prasekolah di Minahasa. Anak yang memiliki status gizi baik cenderung memiliki kematangan otak yang lebih baik dibandingkan dengan anak kekurangan gizi, sehingga kemampuan motorik pada anak yang mengalami gizi kurang/buruk akan terhambat. Status gizi (BB/TB) juga memiliki hubungan yang signifikan positif dengan perkembangan motorik kasar (p = 0.018), dengan kekuatan korelasi yang lemah (r = 0.264). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik status gizi (BB/TB), maka perkembangan motorik kasar juga semakin baik. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subasinghe dan Wijesinghe (2008) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik kasar pada anak Srilanka dengan status gizi buruk lebih rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal, yang secara tidak langsung memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wu et al. (2010) dalam Kuringan dan Nieuwerkerken (2015), menyebutkan bahwa anak yang mengalami gizi buruk cenderung mengalami penurunan perkembangan motorik, hal ini dikarenakan kemampuan verbal pada anak gizi buruk yang terhambat menyebabkan kemampuan motorik tidak berkembang sempurna. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa status gizi (BB/U) berhubungan signifikan positif dengan perkembangan motorik halus dengan p = 0.030, sedangkan kekuatan korelasi antara dua variabel tersebut memiliki
35
hubungan positif yang lemah (r = 0.243). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik status gizi (BB/U), maka perkembangan motorik halus juga semakin baik. Hasil ini didukung dengan penelitian Pasapan et al. (2014) yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan perkembangan motorik halus balita adalah status gizi. Status gizi (BB/U) juga memiliki hubungan yang signifikan positif dengan perkembangan motorik kasar (p = 0.039), dengan kekuatan korelasi yang lemah (r = 0.231). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik status gizi (BB/U), maka perkembangan motorik kasar juga semakin baik. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasapan et al. (2014) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik kasar berhubungan signifikan dengan status gizi menurut BB/U dengan p = 0.003. Status gizi yang baik didukung dengan stimulasi motorik anak menjadi salah satu faktor yang dapat membantu kemampuan motorik anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa status gizi menurut TB/U tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan motorik halus maupun perkembangan motorik kasar (p > 0.05). Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan status gizi menurut TB/U melihat keadaan status gizi masa lampau, sehingga dimungkinkan adanya missed correlation. Hasil ini memiliki perbedaan dengan penelitian Solihin et al. (2013), yang menyebutkan adanya hubungan signifikan antara status gizi dengan perkembangan motorik balita (motorik halus dan kasar). Penelitian lain yang mendukung hasil yang sama yaitu Sari et al. (2012) menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan perkembangan motorik balita di Posyandu Buah Hati Banjarsari Surakarta.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Subjek pada penelitian ini adalah balita berusia 1.5 – 5 tahun. Rata-rata usia pada balita ibu bekerja yaitu 42.5 bulan lebih dewasa dibandingkan dengan balita ibu tidak bekerja yang memiliki rata-rata usia 39.9 bulan. Proporsi laki-laki pada kedua kelompok lebih banyak dari pada perempuan. Pengetahuan gizi ibu pada kedua kelompok termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata skor 65.9, dari hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan pengetahuan gizi ibu antara kedua kelompok (p > 0.05). Sebagian besar pola asuh makan pada kelompok ibu tidak bekerja adalah tergolong baik (92.5%) sedangkan pada kelompok ibu bekerja sebagian besar pola asuh makan tergolong sedang (57.5%), dari hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan pola asuh makan antara kedua kelompok (p < 0.05). Rata-rata asupan energi, protein, zat besi, dan vitamin A pada kedua kelompok sudah tercukupi sesuai angka kecukupan gizi. Angka kecukupan gizi pada subjek ibu bekerja memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan subjek ibu tidak bekerja, hal ini dikarenakan rata-rata usia subjek ibu bekerja yang lebih tinggi. Sebagian besar tingkat kecukupan gizi kedua kelompok lebih dari 80%, hal
36
ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan gizi subjek tercukupi. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi saja yang memiliki perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (p < 0.05). Rata-rata status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB) pada kedua kelompok tergolong dalam kategori gizi baik (normal). Tidak ada perbedaan yang signifikan status gizi antara kedua kelompok berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney (p > 0.05). Perkembangan motorik halus subjek kelompok ibu bekerja memiliki ratarata skor 68, lebih tinggi dibandingkan subjek kelompok ibu tidak bekerja yang memiliki rata-rata skor 66. Hal ini dikarenakan terdapat satu responden dari kelompok ibu tidak bekerja yang kategori kurang. Perkembangan motorik kasar pada kedua kelompok tidak jauh berbeda dengan rata-rata skor 77.5. Secara keseluruhan perkembangan motorik halus dan motorik kasar pada kedua kelompok tergolong kategori sedang. Tidak ada perbedaan yang signifikan perkembangan psikomotorik antara kedua kelompok berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney (p > 0.05). Hasil uji korelasi spearman terdapat hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi (p = 0.000; r = 0.449), tingkat kecukupan energi dengan status gizi (BB/TB) (p = 0.011; r = 0.282), tingkat kecukupan protein dengan status gizi (TB/U) (p = 0.042; r = 0.228), tingkat kecukupan zat besi dengan status gizi (BB/TB, BB/U, TB/U), tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi (TB/U) (p = 0.000; r = 0.384), status gizi (BB/TB) dengan motorik halus (p = 0.030; r = 0.236), status gizi (BB/TB) dengan motorik kasar (p = 0.018; r = 0.264), status gizi (BB/U) dengan motorik halus (p = 0.030; r = 0.243), dan status gizi (BB/U) dengan motorik kasar (p = 0.039; r = 0.231). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan pola asuh makan, pola asuh makan dengan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan vitamin A, status gizi (TB/U) dengan perkembangan motorik halus dan motorik kasar (p > 0.05). Saran Pola asuh makan pada ibu bekerja masih relatif rendah jika dibandingkan ibu tidak bekerja dan waktu pengasuhan ibu kepada anak lebih terbatas, sehingga peran ibu dalam mendukung konsumsi pangan anak pada ibu bekerja pun kurang maksimal. Pada penelitian ini menghasilkan bahwa pola asuh makan berhubungan signifikan positif dengan tingkat kecukupan energi, yang artinya apabila pola asuh makan rendah maka tingkat kecukupan energi juga akan rendah. Sehingga pola asuh makan pada ibu yang bekerja perlu ditingkatkan. Selain itu stimulasi psikososial sejak dini juga penting dilakukan agar perkembangan psikomotorik anak dapat berkembang dengan baik.
37
DAFTAR PUSTAKA [AKG] Angka Kecukupan Gizi. 2013. Tabel Kebutuhan Gizi Berdasarkan Kecukupan Gizi 2013. Jakarta (ID): AKG. Ariefiani R. 2009. Pola asuh makan dan kesehatan pada rumah tangga yang tahan dan tidak tahan pangan serta kaitannya dengan status gizi anak balita di kabupaten Banjarnegara provinsi Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bahmat DO, Bahar H, Jus’at I. 2011. Hubungan asupan seng, vitamin A, zat besi dan kejadian pada balita (24-59 bulan) dan kejadian stunting di kepulauan Nusa Tenggara (RISKESDAS 2010). [skripsi]. Jakarta(ID): Universitas Esa Unggul. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jakarta dalam Angka 2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Chunming C. 2000. Fat intake and nutritional status of children in China. Am J Clin Nutr, 72:1368-1372. [DEPKES] Departemen Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. __________Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya. El-Nmer F, Salama A, Elhawary D. 2014. Nutritional knowledge, attitude, and practice of parents and its impact on growth of their children. Menoufia medical journal, 27:612 – 616. Fitriana, Hartoyo, Nasoetion A. 2007. Hubungan pola asuh, status gizi dan status kesehatan anak balita korban gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Media Gizi & Keluarga 31(2): 12-19. Franko DL, Striegel-Moore RH, Thompson D, Affenito SG, Schreiber GB, Daniels SR, Crawford PB. 2007. The relationship between meal frequency and body mass index in black and white adolescent girls: more is less. Int J Obes 32: 23-29. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. New York (US): Oxford University Press Inc. Hadi H, Scoltzfus RJ, Dibkey MJ, Moulton LH, West KP, Kjolhede CL, Sadjimin T. 2000. Vitamin a supplementation selectively improves the linear growth of Indonesian preschool children: results from a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr, 71:507-513. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasi di Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kasenda MG, Sarimin S, Obnibala F. 2015. Hubungan status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia prasekolah di TK gmim solafide kelurahan Uner kecamatan Kawangkoan Induk kabupaten Minahasa. Jurnal Keperawatan. 3(1): 1-8. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): IPB Press.
38
________. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta (ID): PT. Rajagrafindo Persada. ________, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Warsito O, Herawati T. 2013. Growth cognitive development and psychosocial stimulation of preschool childern in poor farmer and non farmer households. Mal J Nutr. 19(3): 325337. Kuringen, Nieuwerkerken. 2015. Correlation between nutritional status and development of children up to 5 years of age, living in extreme poverty. [thesis]. Hasselt (BEG): University of Hasselt. Lindawati. 2013. Faktor – faktor yang berhubungan dengan perkembangan motorik anak usia prasekolah. Jurnal Health Quality. 4(1):1 – 76. Madanijah S. 2006. Pola konsumsi pangan. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan, A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.hlm 69-77. Melva D. 2006. Hubungan pola asuh dengan status gizi anak batita di kecamatan kuranji kelurahan pasar ambacang kota Padang tahun 2004. Jurnal kesehatan masyarakat, 1(1):2006. Mustika DT. 2015. Pola asuh makan antara ibu bekerja dan tidak bekerja dan faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar. e-journal, 4(1):162 – 166. Ohly H, Pealing J, Hayter A, Watt R, Rees G. 2012. Parental food involvment predicts childern’s diet quality. Proceedings of the Nutrition Society 71(OCE2): E79. doi:10.1017/S002966511200136X. Pasapan JP, Kapantow NH, Rombot DV. 2014. Hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik pada balita usia 1 – 3 tahun di wilayah kerja puskesmas ranomuut kota Manado. [skripsi]. Manado(ID): Universitas Sam Ratulangi. Prado EL, Dewey KG. 2014. Nutrition and brain development in early life. International Life Science Institute, 72(4):267-284.DOI: 10.1111/nure.12101 [PUSKUR] Pusat Kurikulum Pendidikan Nasional. 2004. Instrumen Penelitian Kompetensi (Perkembangan) Anak Usia 0.5-6.4 tahun. Jakarta (ID): Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Rakhmawati Z, Panunggal B. 2014. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan perilaku pemberian makanan anak usia 12-24 bulan. Journal of nutritional college, 3(1): 43 – 50. Rahmawati D, Kusharto CM. 2006. Pola asuh, status gizi, dan perkembangan anak di taman pendidikan karakter sutera alam, Tamansari, kabupaten Bogor. Media Gizi & Keluarga 30(2):1-8. Regar E, Sekartini R. 2013. Hubungan kecukupan asupan energi dan makronutrien dengan status gizi anak usia 5 – 7 tahun di kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur tahun 2012. e-Journal Kedokteran Indonesia 1(3): 184 – 189. Sari DW, Nur EW, Purwanto S. 2012. Hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik kasar anak usia 1-5 tahun di posyandu buah hati ketelan banjarsari Surakarta. Jurnal Kesehatan 5(2):157 – 164.doi:19797621.
39
Sediaoetama. 2008. Ilmu Gizi. Jakarta(ID): Dian Rakyat. Sihadi. 2009. Kajian profil gizi buruk di klinik gizi pusat penelitian dan pengembangan gizi dan makanan di Bogor. Gizi Indon 32(1):61-68. Sitoresmi S, Kusnanto, Krisnana I. 2014. Perkembangan motorik anak toddler pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Jurnal Pediomaternal, 3(1): 66-72. Solihin RD, Anwar F, Sukandar D. 2013. Kaitan antara status gizi, perkembangan kognitif, dan perkembangan motorik pada anak usia prasekolah. Penelitian gizi dan makanan 36(1): 62 – 72. Steyn NP, Nel JH, Nantel G, Kennedy G, Labadarios D. 2005. Food variety and diversity score in children: are they good indicators of dietary adequacy?. Public Health Nutrition 9(5): 644-650. Subasinghe SMLP, Wijesinghe DGNG. 2008. The effect of nutritional status on cognitive and motor development of pre-school children. Tropical Agricultural Research. Vol.18. Sumarni T, Sekarsiwi A, Jayusman H, Abidin Z. 2011. Perbedaan status gizi anak usia 6-24 bulan antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja di desa pepedan kecamanatan karangmoncom kabupaten Purbalingga [skripsi]. Purwokerto (ID): STIKES Harapan Bangsa Purwokerto. WHO. 2010. Physical Status : The Use and Interpretation of Anthropometry. Geneva (US): WHO Technical Series Report. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): WNPG. Wonatorey D, Madarina J, Adiyanti MG. 2006. Pengaruh konseling gizi individu terhadap pengetahuan gizi dan perbaikan status gizi balita gizi buruk yang mendapat PMT pemulihan di kota Sorong Irian Jaya [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. Worsley A. 2002. Nutrition knowledge and food consumption: can nutrition knowledge change food behaviour? Asia Pac J Clin Nutr 11(3): 579-585. Wu L, Katz J, Mullany LC, Haytmanek E, Khatry SK, Darmstadt GL, Tielsch JM. 2010. Association between nutritional status and positive childhood disability screening using the ten questions plus tool in Sarlahi , Nepal. Journal of health population and nutrition, 28(6): 585 – 594. Wurbach A, Zellner K, Kromeyer K. 2009. Meal patterns among children and adolescents and their associations with weight status and parental characteristics. Public Health Nutr 12(8): 1115-1121. doi:10.1017/S1368980009004996. Yulia C. 2011. Pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada keluarga pemetik teh di kebun malabar PTPN VIII. [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Yuningsi R. 2015. Hubungan asupan vitamin A dan zinc , riwayat pemberian asi eksklusif, dan pola auh makan dengan kejadian balita pendek (stunting) di wilayah kerja puskesmas lepo-lepo kota Kendari tahun 2015. [skripsi]. Kendari(ID): Universitas Haluoleo. Zarnowiecki D, Sinn N, Petkov J, Dollman J. 2011. Parental nutrition knowledge and attitudes as predictors of 5-6 year old children’s healthy food knowledge. Public Health Nutr 15(7): 1284-1290. doi:10.1017/S1368980011003259.
40
LAMPIRAN Lampiran 1 Statistik deskriptif alokasi waktu ibu Kategori beban kerja ibu Produktif Ratarata±SD (Min,Max) Domestik Ratarata±SD (Min,Max) Pribadi Ratarata±SD (Min,Max) Sosial Ratarata±SD (Min,Max) Pengasuh Ratarata±SD (Min,Max) Istirahat Ratarata±SD (Min,Max) 1)
Ibu tidak bekerja Weekday Weekend Total (jam) (jam) (jam)
Weekday (jam)
Ibu bekerja Weekend (jam)
Total (jam)
0.6±0.5
0.5±0.5
1.1±1.0
9.8±1.7
1.1±0.3
10.9±2.0
(1,0)
(1,0)
(2,0)
(13,5)
(2,1)
(15,6)
2.7±0.9
2.8±0.5
5.5±1.4
0.9±0.8
2.4±1.1
3.3±1.9
(4,0)
(4,2)
(8,2)
(3,0)
(4,0)
(7,0)
4.9±0.6
5.1±0.5
10.0±1.1
5.3±0.5
5.3±0.5
10.6±1.0
(6,4)
(6.5,4)
(12.5,8)
(6.5,4)
(7,4.5)
(13.5,9)
0.8±0.5
0.8±0.4
1.6±0.9
0.6±0.5
0.8±0.5
1.4±1.0
(2,0)
(1,0)
(3,0)
(1,0)
(2,0)
(3,0)
4.5±0.4
5.2±0.6
9.7±1.0
1.9±0.6
5.1±0.6
7.0±1.2
(5,4)
(6,4)
(11,8)
(2,0.5)
(6.5,4)
(8.5,4.5)
6.5±0.5
7.0±0.3
13.5±0.8
6.3±0.4
7.3±0.5
13.6±0.9
(7,5)
(8,6)
(15,12)
(7,5)
(8,6)
(15,12)
uji Mann-Whitney
pvalu e1) 0.00 0
0.00 0
0.00 8
0.10 6
0.00 0
0.74 7
41
42
43
44
45
46
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di RS. Muhammadiyah Taman Puring, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Agustus 1994 dari pasangan Kashmir dan Esti Dewayanti. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari TK Tat Twam Asi tahun 1999-2000 kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 011 Bintaro tahun 2000-2006. Tahun 2006-2009 penulis menempuh pendidikan di SMPN 19 Jakarta dan melanjutkan ke jenjang SMAN 47 Jakarta pada tahun 2009-2012. Tahun 2012 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Tulis. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus BEM FEMA (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia), pada tahun 2014 sebagai sekertaris Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa dan pada tahun 2015 juga melanjutkan kembali menjadi sekertaris Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pada tahun 2014 penulis juga berkontribusi dalam program bina desa Samisaena FEMA sebagai ketua Divisi Gizi dan Kesehatan. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti Nutrition Fair pada tahun 2014 dan INDEX FEMA pada tahun 2015. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa PPA selama 2 tahun berturut-turut. Tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Subi Besar, Kecamatan Subi, Natuna. Pada bulan November-Desember 2015, penulis mengikuti Internship Manajemen Sistem Penyelenggaraan dan Dietetik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.