KONSUMSI PAKAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN HARIAN TIKUS (Rattus norvegicus) BUNTING AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)
DWI HAYATIN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK DWI HAYATIN. Konsumsi Pakan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Tikus (Rattus norvegicus) Bunting Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin). Di bimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI Penelitian ini bertujuan untuk melihat konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian tikus bunting yang disuntik bovine Somatotropin (bST) selama 9 hari kebuntingan yaitu hari ke-4 sampai dengan hari ke-12. Sampel yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) bunting sebanyak 26 ekor dan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok minyak yang diberi bST 0 mg/KgBB (M) dan kelompok hormon yang diberi bST 9 mg/KgBB (H). Parameter yang digunakan adalah konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian tikus selama kebuntingan dari hari ke-4 sampai hari ke-19. Hasil penelitian menunjukkan bST tidak mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada tikus bunting. Konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada 2 kelompok tikus perlakuan (M & H) tidak berbeda nyata.
Kata Kunci : tikus, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, bST.
KONSUMSI PAKAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN HARIAN TIKUS (Rattus norvegicus) BUNTING AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)
DWI HAYATIN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Skripsi
: Konsumsi Pakan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Tikus (Rattus norvegicus) Bunting Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin). : Dwi Hayatin : B04103034
Nama NIM
Disetujui
Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui
Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal Lulus :
Drs.Pudji Achmadi
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala karuniaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Konsumsi Pakan dan Pertambahan Bobot Badan Harian Tikus (Rattus norvegicus) Bunting Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin). Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini : 1. Bapak (Najumudin) dan ibu (Supina), Ayuk Lia, Adik Sidik serta keluarga besar penulis 2. Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc, Drs.Pudji Achmadi, Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing skripsi. 3. Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc selaku dosen penguji 4. Dr. drh. Fadjar Satrija, M.Sc, selaku pembimbing akademik 5. Program Hibah Kompetisi A3 FKH IPB yang telah membiayai dan mendukung terlaksananya penelitian ini 6. Staf laboratorium Fisiologi dan Farmakologi (Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Edi, Pak Wawan dkk). 7. Teman sepenelitian : Nurul, Intan, Meetha, Agus Dompu, Widia 8. Teman-teman penulis Gymnolemata’ 40, keluarga besar Asrama Putri Darmaga,
HAMAS,
Wisma
“Elegant”
DKM
An-Nahl,
Himpro
Ruminansia, TPAI IPB, BEM FKH IPB, Ikhwah fillah, Mba Nur, Mba Sari, Mba Vina, Kak Novi, Mpo Hamida, Mba Beta dan adik-adik kelas (41,42) 9. Semua pihak yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini yang belum tercantum diatas Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan seperti yang diharapkan.
Bogor, September 2007
Dwi Hayatin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kasui pada tanggal 23 Januari 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Najamudin dan ibu Supina. Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1990 dengan memasuki TK Taman Kanak-kanak Pratiwi Kasui. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri I Kasui pada Tahun 1991 sampai dengan 1997, kemudian dilanjutkan ke SLTPN I Kasui hingga tahun 2000 dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMU KARTIKATAMA METRO, Lampung. Pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler antara lain : Badan Eksekutif Mahasiswa (2003-2004) sebagai Sekretaris Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) , Pengurus Besar IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) periode 2004-2006, Pengurus HIMPRO Ruminansia (20052006), DKM An-Nahl sebagai pengurus Departemen Human Resource Development (2006-2007), sebagai Sekretaris
Tim Pendidikan Agama Islam
(TPAI IPB 2006-2007) dan sebagai Ketua Asrama Putri Darmaga (2005-2006). Selama menjadi mahasiswi, penulis pernah manjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (2005-2006).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………. vii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… viii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang…………………….……………………………….. Tujuan……………………………………………………………… Manfaat……………………………………………………………..
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tikus…………………………………………………... Biologi Tikus………………………………………………………. Pakan……………………………………………………………… Sistem Pencernaan………………………………………………… Kecernaan………………………………………………………….. Karbohidrat………………………………………………………… Lemak……………………………………………………………… Protein……………………………………………………………... Energi……………………………………………………………… Pertumbuhan……………………………………………………….. Somatotropin dan Mekanisme Kerja………………………………. bovine Somatotropin………………………………………………. Efek bovine Somatotropin Terhadap Produksi Susu…….………… Efek porcine Somatotropin Terhadap Karkas…………………….
3 3 7 9 9 10 10 11 12 13 14 18 19 20
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu…………………………………………………. Persiapan Penelitian………………………………………………... Metode……………………………………………………………… Parameter yang diamati…………………………………………….. Analisis Data……………………….………………………………
21 21 21 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………….
23
KESIMPULAN…………………………………………………………….
29
SARAN……………………………………………………………………………
29
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
30
LAMPIRAN………………………………………………………………..
36
DAFTAR TABEL Halaman 1. Data biologis tikus.......…………….…………………. ..………………..
7
2. Kebutuhan energi dan bahan kering dari tikus dengan densitas energi 14,5 KJ/g pada beberapa kondisi fisiologis BB tertentu………………...
12
3. Komposisi asam amino ST pada delapan jenis mamalia………………...
15
4. Rataan konsumsi pakan harian…………………………………………..
24
5. Rataan bobot badan………………………………………………………
25
6. Bobot lahir tikus dan jumlah anak……………………………………….
28
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme …………………………………………………………….. 16 2. Rataan konsumsi pakan harian …………………………………….……. 24 3. Rataan bobot badan harian tikus bunting ………….………………………..
25
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Uji-T untuk peningkatan bobot badan kelompok minyak dan hormon dari hari ke-4 sampai hari ke-13…………………………………………
36
2.
Uji-T untuk peningkatan bobot badan kelompok minyak dan hormon 36 dari hari ke-14 sampai hari ke-19..............................................................
3.
Uji-T untuk peningkatan bobot badan kelompok minyak dan hormon 36 dari hari ke-4 sampai hari ke-19.................................................................
4.
Uji-T untuk perbandingan bobot badan anak.............................................
37
5.
Uji-T untuk perbandingan konsumsi pakan...............................................
37
6.
Uji-T untuk konsumsi pakan pada beberapa selang hari............................ 41
7.
Uji-T untuk membandingkan jumlah anak tikus………………………… 42
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan daging sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang. Daging sebagai salah satu produk peternakan yang berfungsi sebagai sumber protein hewani semakin dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perlu dilakukan peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak (Apriantono 2007). Salah satu cara mempercepat pemenuhan kebutuhan protein hewani adalah dengan mengusahakan peningkatan populasi ternak prolifik seperti domba, kambing atau babi. Hewan prolifik adalah hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi yang menghasilkan anak lebih dari satu dalam satu kali kelahiran. Namun demikian penambahan kuantitas tanpa adanya peningkatan kualitas kurang dapat diandalkan sebagai pemenuhan protein hewani yang optimal. Dewasa ini sudah banyak dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan bobot badan ternak dengan penambahan suplemen (feed aditif) dan tehnik-tehnik manipulasi reproduksi lainnya. Salah satu cara yang sedang dikembangkan adalah pemberian hormon
pertumbuhan
atau
somatotropin
yang
mempunyai
efek
untuk
meningkatkan kualitas (kinerja) ternak. Peningkatan bobot
badan merupakan indikator keberhasilan suatu
peternakan terkait dengan besarnya keuntungan yang diperoleh.
Peningkatan
bobot badan adalah sebagai akibat adanya peningkatan sintesis protein dan efisiensi pakan ternak sehingga tercapainya pertumbuhan yang optimal (Boyce 2004). Pemberian hormon pertumbuhan pada produksi ternak dapat mengubah kebutuhan nutrien tubuh karena adanya peningkatan sintesis protein (Collier 1992). Growth Hormon (GH) atau Somatotropin (ST) secara langsung dapat mempengaruhi lemak daging khususnya daging sapi dan domba yaitu menurunkan kadar lemak sehingga menjadi daya tarik konsumen (Kampster 1988). GH pada sapi, domba dan unggas mampu meningkatkan bobot badan, memperbaiki Feed Conversion Ratio (FCR), meningkatkan kualitas karkas karena
2
menurunkan kandungan lemak dalam daging, mengurangi limbah peternakan dan eskresi nitrogen (Omega 2003). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bovine Somatotropin (bST) terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan tikus yang sedang bunting. Dasar pemikirannya adalah somatotropin atau GH dapat mempengaruhi metabolisme tubuh sehingga akan memperbaiki kinerja selama kebuntingan dan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan. ST berpengaruh pada metabolisme tubuh yang pada gilirannya akan menyediakan nutrien yang digunakan untuk memperbaiki fungsi produksi dan homeostatis tubuh (Vernon 1989). Pemberian hormon Porcine Somatotropin (pST) pada babi dapat meningkatkan bobot badan sebesar 100–140 kg (Kanis 1988). Pertambahan bobot badan induk diharapkan dapat menampilkan suatu kinerja reproduksi yang lebih baik sehingga ada pengaruh terhadap penampilan anak yang dikandung dan dilahirkan
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk melihat konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian tikus bunting yang disuntik bST selama 9 hari kebuntingan yaitu hari ke-4 sampai dengan hari ke-12.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pengaruh penyuntikan bST terhadap peningkatan bobot badan sehingga dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya yang mungkin dapat dikaitkan dengan optimalisasi efek bST terhadap kinerja reproduksinya.
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tikus Tikus yang sudah menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) yang berasal dari Asia Tengah (Malole dan Pramono 1989).
Tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat
antara tahun 1877 dan 1893 (Robinson 1979). Menurut Robinson (1979) taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata (Craniata)
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Infrakelas
: Eutheria
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Myomarpha
Superfamili
: Muroidea
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Biologi Tikus Tikus merupakan spesies poliestrus yang siklusnya berulang-ulang sepanjang tahun tanpa ada variasi, apabila tidak diganggu dengan kebuntingan atau bunting semu. Bunting semu adalah prosedur yang memperpanjang fungsi sekretori korpus luteum ovulasi dengan demikian menunda estrus berikutnya. Siklus estrus tikus berlangsung dalam waktu 4-6 hari dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : cahaya, suhu, nutrisi, dan hubungan sosial (Turner & Bagnara 1976). Tikus laboratorium lebih cepat dewasa dibandingkan dengan tikus liar, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih mudah
4
berkembang biak (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Menurut (Turner & Bagnara 1976) siklus estrus pada tikus dibagi menjadi 4 stadium yaitu: 1. Proestrus Proestrus berlangsung kira-kira 12 jam (Smith & Mangkoedjojo 1988). Stadium ini menandakan datangnya birahi dan mempunyai ciri-ciri involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel. Cairan terkumpul didalam uterus dan uterus menjadi sangat kontraktil. Pada preparat ulas vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan. 2. Estrus Stadium ini merupakan masa birahi dan kopulasi hanya dimungkinkan terjadi pada stadium ini.
Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam (Smith &
Mangkoedjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan ciri-ciri aktivitas berlari-berlari yang sangat tinggi. Pengaruh FSH menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat dimana folikel ini memproduksi estrogen sehingga dengan makin banyaknya sel folikel ovari yang tumbuh maka sekresi estrogen juga meningkat. meningkat.
Estrus disebabkan oleh sekresi estrogen yang
Perubahan-perubahan atau ciri-ciri tikus yang estrus termasuk
menggerak-gerakan
telinga,
lordosis,
melengkungnya
punggung
dalam
menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan jantan. Pada sediaan ulas vagina terlihat hanya sel-sel kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali tanpa inti) (Smith & Mangkoedjojo 1988).
Apabila terjadi
kebuntingan, siklus akan terganggu selama masa gestasi yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus.
Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan namun
siklusnya tertunda sampai berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976). Tikus betina siap kawin selama stadium ini. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik didalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal. Cairan lumen didalam uterus hilang sebelum ovulasi (Turner & Bagnara 1976). 3. Metestrus Stadium ini terjadi sesudah ovulasi dan merupakan antara estrus dan diestrus. Periodenya berakhir 10 sampai 14 jam. Ovarium mengandung korpus luteum dan
5
folikel-folikel kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraksi berkurang. Menurut (Smith & Mangkoedjojo 1988) metestrus dapat dibedakan menjadi metestrus I dan metestrus II. o Metestrus 1 Stadium ini berlangsung kira-kira 15 jam. Pada sediaan ulas vagina terlihat sel-sel kornifikasi, tetapi dapat dibedakan dengan stadium 2 karena biasanya ada sumbat air mani menggumpal dalam vagina (bila hewan sudah kawin). o Metestrus II Stadium ini berlangsung kira-kira 6 jam. Pada sediaan ulas vagina tampak selsel kornifikasi dan mulai tampak leukosit. 4. Diestrus Stadium ini berakhir 60 sampai 70 jam (Turner & Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith & Mangkoedjojo 1988) stadium ini berlangsung kira-kira 57-60 jam. Pada stadium ini terjadi regresi fungsional korpus luteum. Mukosa vagina tipis dan leukosit bermigrasi (Turner & Bagnara 1976). Pada stadium ini terlihat sel-sel epitel dan leukosit. Tidak ada batas waktu kapan stadium ini berakhir (Smith & Mangkoedjojo 1988).
Menurut Turner &Bagnara (1976) masa kebuntingan tikus adalah 21 hari dan maksimal 23 hari (Partodiharjo 1980). Jumlah anak yang dilahirkan 6-9 ekor/kelahiran (Partodiharjo 1980). Dalam penelitian terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang sering dipergunakan diantaranya : Wistar, SpragueDawley, Long Evans dan Holdzman (Kohn dan Barthold 1984). Galur yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Malole dan Pramono 1989), serta kemampuan laktasinya tinggi sehingga sering dipergunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan reproduksi (Beker et al. 1979). Galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek dan galur Long Evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari. Tikus dapat hidup lebih dari 3
6
tahun dengan berat badan 450-520 gram pada jantan dewasa dan 250-300 gram pada betina dewasa (Malole dan Pramono 1989). Tikus tidak memiliki musim reproduksi tertentu sebagai akibat seleksi dan pengaruh lingkungan (Bennet and Vickery 1970). Setiap hewan betina yang telah dewasa akan mendapat estrus secara teratur dan berlangsung menurut suatu siklus dengan ritme yang khas (Hafez 1987). Siklus birahi pada mamalia betina ditandai dengan adanya perubahan morfologik pada organ reproduksi dan perubahan tingkah laku yang berlangsung menurut suatu siklus tertentu (Cole dan Cupps 1977). Apabila tikus melakukan perkawinan dan terjadi fertilisasi maka dalam tubuh tikus akan terjadi masa implantasi dan masa plasentasi, masa implantasi adalah proses bersarangnya blastosis didalam rahim, sehingga terjadi hubungan antara selaput ekstra embrionik dan selaput lendir rahim yang terjadi pada hari ke 4 kebuntingan (Sukra 1999), sedangkan masa plasentasi adalah masa dimana plasenta sudah terbentuk yang didefinisikan sebagai masa terbentuknya zona yang berbatasan dan memiliki vaskularisasi yang tinggi yang menghubungkan antara induk dan embrio (Hunter 1995). Periode awal plasenta dimulai hari ke 9 dan 10 (Beker et al. 1979), pada tikus proses plasentasi terjadi kira-kira pada usia kebuntingan 12 hari yang diperlihatkan oleh tingginya konsentrasi laktogen plasenta dalam serum induk (Kelly et al. 1976). Istilah plasentasi mencakup implantasi, pembentukan embrio dan terjalinnya hubungan antara induk dan fetus selama kebuntingan (Sukra 1999).
Pembesaran abdomen terlihat pada usia
kebuntingan 13 hari dan usia kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya perubahan pada kelenjar mamae (Malole dan Pramono 1989).
7
Tabel 1 Data biologis tikus Keterangan Lama hidup Lama kebuntingan Umur disapih Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus estrus Lama estrus Ovulasi Implantasi Jumlah anak Puting susu
Usia 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 20-22 hari 21 hari 40-60 hari 10 minggu 4-5 hari 9-20 jam 8-11 jam setelah muncul estrus, spontan 5-6 hari sesudah fertilisasi Rata-rata 9 maksimal 20 ekor 12 puting, 3 pasang di daerah dada, 3 pasang di daerah perut 5-6 gram Bobot lahir 300-400 gram untuk jantan, 250-300 gram untuk Bobot dewasa betina 5 gram/hari Kecepatan tumbuh Sumber : Smith & Mangkoewidjojo (1988) Pakan Umumnya makanan tikus tersusun dari komposisi alami dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Protein pakan harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus yaitu: Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine (Mc Donald 1980). Pakan juga harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B12, Alfatokoferol, Asam linoleat, Thiamin, Riboflavin, Phantotenat, Biotin, Pyridoksin, dan Cholin. National pakan
yang
Research Council (1978) menyatakan bahwa ada dua jenis diberikan
untuk
tikus
laboratorium
yaitu
diet
untuk
perkembangbiakan dan diet untuk pemeliharaan. Diet untuk perkembangbiakan mengandung protein dan energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Diet untuk pameliharaan adalah diet yang distandarisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan masa kebuntingan dan menyusui (Kohn dan Barthold 1984).
8
Menurut (Pond dan Houpt 1995), rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis.
Selera makan berhubungan dengan kondisi internal yaitu kondisi
fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar dan selera makan adalah hal yang berhubungan dan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah maka kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan. Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 gram pakan dan 10 ml air per 100 gram BB (Malole dan Pramono 1989) atau 12-20 g/hari/ekor dan 20-40 ml air/hari/ekor (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Secara spesifik Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyebutkan bahwa pada suhu 210C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 /100g BB/hari dan tikus betina yang berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 g/100g/BB/hari. Ratarata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research Council 1978). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin dan suhu lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam memperkirakan
kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan,
reproduksi, pola tingkah laku, kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam amino dan protein pada jaringan (National Research Council 1978). Beberapa
kriteria
lain
yang
berkembang
dan
digunakan
untuk
memperkirakan kecukupan nutrisi mencakup kandungan nutrisi pada jaringan penyimpan (misal vitamin A dalam hati) atau jaringan dimana nutrisi tersebut merupakan satu komponen struktural (misal kalsium dalam tulang), kandungan nutrisi dalam darah atau urin, aktivitas enzim dimana nutrisi tersebut merupakan koenzim atau sebagai bagian koenzim, keseimbangan nutrisi (seperti pertumbuhan atau kehilangan asam amino nitrogen), perubahan biokimia spesifik untuk
9
pemberian nutrisi (seperti waktu protrombin untuk vitamin K), kandungan protein atau asam nukleat pada jaringan dan perubahan kebiasaan atau tingkah laku Rogers (1979). Sistem Pencernaan Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 1/1 dan geraham 3/3 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh (Malole & Pramono 1989). Secara umum sistem pencernaan pada tikus hampir sama dengan hewan mamalia lainnya. Alat pencernaan mulai dari mulut, esofagus, lambung, usus halus dan berakhir diusus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian kurvatura minor bersambung ke lipatan dari bagian peninggian yang membagi lamb ung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri dari duodenum, jejenum dan ileum. Panjang usus halus ini kira-kira lima kali panjang usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing bagian usus halus tergantung kepada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap dijejenum dan dibagian atas ileum, galaktosa dipertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap disegmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap dijejenum. Usus besar terdiri dari sekum, kolon dan rektum (Bivin et al. 1979).
Kecernaan Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak diekresikan melalui feses (Mc Donald 1980). Kecernaan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen (%). Pengukuran kecernaan dilakukan dengan pemberian pakan yang diketahui jumlahnya, lalu berat feses yang diekresikan ditimbang. Misalnya berat pakan yang diberikan adalah A gram dan berat feses adalah B gram, maka kecernaan pakan tersebut adalah % Kecernaaan = A-B x 100% A Kecernaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis hewan, komposisi makanan, cara pengolahan makanan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan (Mc Donald 1980). Peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan menyebabkan peningkatan kecepatan laju alir ingesta. Ingesta tersebut akan bereaksi dengan enzim pencernaan dalam waktu
10
yang relatif singkat sehingga terjadi penurunan kecernaan makanan. Menurut Flatt (1975) kecernaan pakan dipengaruhi oleh level pemberian pakan dan komposisi kimia yang dikandung pakan. Dibawah ini akan dijelaskan secara umum kecernaan zat-zat makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, dan energi yang dikandung oleh pakan.
Karbohidrat Karbohidrat bagi manusia dan hewan digunakan sebagai sumber energi. Lemak dan karbohidrat menyediakan sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Senyawa-senyawa karbohidrat mudah dipecah dalam reaksi tubuh yang kemudian menghasilkan energi (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kebutuhan karbohidrat seekor tikus dari pakan yang mengandung bahan kering 90% adalah sebesar 40-50% (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Karbohidrat yang bisa
digunakan tikus antara lain : glukosa, sukrosa, maltosa, fruktosa dan pati yang berasal dari jagung, beras dan gandum. Pemberian laktosa atau galaktosa akan menyebabkan kelemahan pertumbuhan dan katarak. Metabolisme karbohidrat dipengaruhi atau mempengaruhi zat gizi lain (Rogers 1979).
Lemak Lemak pada pakan, terutama asam lemak esensial (Esensial Fatty Acid = EFA) dibutuhkan untuk sintesis jaringan lemak dan membran sel. Secara nyata lemak merupakan sumber kalori dan penting untuk absorbsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak.
Masa pertumbuhan, masa dewasa dan masa reproduksi
tergantung dari ketersediaan lemak, tetapi kelebihan lemak juga akan menyebabkan masalah yang tidak kalah penting misalnya timbul penyakit jantung dan obesitas (Rogers 1979). Jumlah lemak yang dibutuhkan tikus adalah 5-15% setiap hari (Rogers, 1979; Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Lemak yang berlebihan akan disimpan dalam tubuh sebagai sumber cadangan energi. Tikus muda mempunyai jaringan lemak dibagian leher sampai scapula dan jumlahnya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur (Malole dan Pramono 1989).
11
Zhao et al (1996) menyatakan bahwa kecernaan lemak dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya kecernaan lemak dan energi akan lebih tinggi pada suhu 180C dan peningkatan protein dalam ransum secara nyata akan meningkatkan kecernaan lemak. Peningkatan kecernaan lemak dengan bertambahnya jumlah protein dalam ransum berhubungan dengan adanya protein yang tidak tercerna di saluran pencernaan. Protein yang tidak tercerna ini mempunyai peranan dalam pembentukan dan stabilisasi misel diusus. Setiap gram lemak mengandung energi 38 KJ atau 99 kkal, nilai ini dua kali lebih besar dari energi yang dikandung oleh protein dan karbohidrat. Pada keadaan ini, lemak mempunyai nilai besar terhadap pertambahan BB terutama saat nafsu makan menurun (Groenewegen et al. 1990). Protein Protein adalah salah satu zat gizi yang sangat penting bagi makhluk hidup karena kulit, tulang, otot dan semua bagian tubuh lain dibangun oleh protein. Groenewegen et al. (1990) menyebutkan bahwa protein mempunyai banyak fungsi yaitu digunakan untuk membangun jaringan yang baru selama periode pertumbuhan, kehamilan, masa anak-anak, untuk kesehatan tubuh dan juga untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kebutuhan protein dan asam amino untuk kesehatan tikus dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : status fisiologis hewan (umur, kecepatan tumbuh, kebuntingan, masa menyusui) juga dipengaruhi oleh jumlah kalori dalam diet dan komposisi asam amino serta kecernaan asam amino tertentu yang banyak digunakan tubuh.
Kebutuhan protein menurun dengan bertambahnya umur
setelah lepas sapih, kebutuhan tikus jantan dan betina yang tidak bunting diatas umur tiga bulan sangat rendah sekali dibandingkan dengan masa pertumbuhan aktif (Rogers 1979). Tidak seperti zat gizi yang lainnya, pengambilan protein dalam jumlah yang berlebihan tidak disimpan dalam tubuh, protein harus dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah kebutuhan dasar hewan (Groenewegen et al. 1990). Secara umum dalam sehari tikus membutuhkan protein sebanyak 12% (Malole dan Pranomo 1989).
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) selanjutnya menyatakan
bahwa tikus dewasa membutuhkan protein 20-25%, tetapi bisa hanya 12% jika
12
protein tersebut mengandung asam amino esensial dalam jumlah dan konsentrasi yang tepat. Kadar protein yang dikandung pakan dan suhu lingkungan dimana seekor tikus ditempatkan akan mempengaruhi energi, kecernaan lemak dan protein. Jumlah protein yang tinggi dalam pakan secara nyata akan menyebabkan peningkatan kecernaan protein, energi dan lemak. Jumlah protein yang masuk dan protein yang tertahan didalam tubuh pada suhu 180C akan lebih besar dibandingkan pada suhu 280C dan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah protein didalam pakan. Hal ini menunjukkan bahwa termogenesis berpengaruh terhadap konsumsi dan kecernaan protein (Zhao et al. 1996).
Energi Energi yang dibutuhkan oleh tikus merupakan jumlah dari kebutuhan energi untuk hidup pokok, tumbuh, bunting, menyusui, aktivitas fisik, produksi panas dan kondisi-kondisi fisiologis atau patologis lainnya (Rogers 1979). Energi yang digunakan untuk mempertahankan hidup disebut energi basal yang merupakan bagian terbesar kebutuhan energi yaitu sekitar 1/2 sampai 2/3 dari energi yang digunakan. Energi basal dipengaruhi oleh komposisi tubuh, luas permukaan dan ukuran tubuh, jenis kelamin, tahap pertumbuhan, umur dan suhu tubuh. Aktivitas tubuh memerlukan energi dalam jumlah terbesar nomor dua setelah energi basal. Kebutuhan energi untuk aktivitas bervariasi sesuai dengan jenis dan waktu aktivitas. Groenewegen et al. (1990) melaporkan, jumlah energi yang dibutuhkan tikus yang diberi pakan ad libitum pada beberapa kondisi fisiologis dengan BB tertentu terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2
Kebutuhan energi dan bahan kering dari tikus dengan densitas energi 14,5 KJ/g pada beberapa kondisi fisiologis dan BB tertentu
Kondisi Tumbuh Tumbuh Tumbuh Hidup pokok Bunting Laktasi
BB(gr) 100 200 300 400 400 400
Sumber : Groenewegen et al. (1990)
Energi (MJ/hr) 0.21 0.36 0.49 0.23 0.30 0.65
Pakan (gr/hr) 15 25 34 16 21 46
13
Pond dan Houpt (1995) menyebutkan bahwa energi yang tertahan didalam tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan, tetapi hubungan ini tidak bersifat linier dan berbeda pada berbagai tipe diet. Alasan terhadap perbedaan ini sampai sekarang belum dapat dimengerti secara lengkap. Kecernaan energi dapat menurun pada kondisi dimana kecepatan laju alir makanan meningkat, misalnya dengan adanya peningkatan konsumsi pakan maka laju alir makanan juga meningkat dan lamanya makanan tinggal diusus menurun sehingga serapan makanan menurun, produksi feses semakin banyak dan akibatnya kecernaan menurun.
Pertumbuhan Pertumbuhan mengandung makna yang cukup luas bagi seekor makhluk hidup. Pertumbuhan bisa berarti bertambahnya ukuran panjang, tinggi tubuh atau bisa juga menunjukkan bertambahnya bobot badan (BB).
Pertumbuhan
didefinisikan sebagai pertambahan BB dan peningkatan ukuran akibat peningkatan jumlah sel (hiperplasia) atau peningkatan ukran sel (hipertrofi) (Lawrence dan Fowler 2002). Pola pertumbuhan pada tikus sama seperti pola pertumbuhan pada hewan secara umum yaitu berbentuk kurva sigmoid. Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Pada hewan
tikus, pertumbuhan berlaku terus menerus selama tikus hidup. Pertumbuhan yang cepat terjadi sampai tikus lepas sapih, setelah tikus mencapai umur dewasa kecepatan pertumbuhan akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Pertumbuhan hewan dimulai sejak masih fetus. Pertumbuhan pada waktu fetus dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesuburan induk, jenis kelamin, suhu lingkungan dan tidak kalah penting adalah nutrisi induk (Robinson 1979). Pada tikus betina pertumbuhan setelah kelahiran dipengaruhi oleh hormon estrogen, sedangkan pada jantan oleh
hormon testosteron dimana pada awal
pertumbuhan hormon testosteron lebih tinggi dari betina (Robinson 1979). Menurut Robinson (1979) pencapaian umur pubertas, bobot badan, ukuran litter, serta parameter-parameter lain yang diukur pada pertumbuhan dan reproduksi dipengaruhi oleh faktor genetik.
14
Penurunan jumlah protein didalam pakan berhubungan dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan (Zhao et al. 1996). Bila jumlah kalori yang diperoleh dari makanan lebih kecil dari energi yang dikeluarkan (keseimbangan negatif) maka cadangan nutrien tubuh akan digunakan, glikogen, protein tubuh dan lemak akan dihancurkan dan bobot badan akan berkurang (Ganong 2002).
Somatotropin dan Mekanisme Kerja Growth Hormon adalah suatu hormon protein yang
secara alami di
produksi kelenjar pituitari untuk meningkatkan pertumbuhan dan mempengaruhi lemak tubuh (Marchlin 1972). Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (Growth Hormon atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida dengan rangkaian 190-191 asam amino yang membentuk satu molekul polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang terletak dalam lobus anterior kelenjar pituitari dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh neural, metabolik dan hormonal (Turner dan Bagnara 1976). Sekresi ST oleh kelenjar hipofise dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis melalui dua faktor pengaturan yaitu Growth Hormon Releasing Faktor (GHRF) dan Growth Hormon Inhibiting Factor (GHIF) atau somatostatin. Tabel 3 menyajikan komposisi asam amino yang dimiliki oleh GH pada berbagai mamalia (manusia, sapi, domba, kuda, babi, anjing, kelinci dan tikus)
15
Tabel 3 Komposisi asam amino ST pada delapan jenis mamalia
Sumber : Turner dan Bagnara (1976) ST setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah, namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di membran sel Turner dan Bagnara (1976). Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun 1937 para peneliti melaporkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST dari hipofise sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) memperlihatkan peningkatan produksi susu. Pada tahun 70-an, kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan komersial, hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak hipofise yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001). Sekresi atau pelepasan ST dari adenohipofise dipengaruhi oleh banyak hal. Pelepasan somatotropin meningkat pada saat puasa, latihan fisik dan tidur. Keadaan stres meningkatkan pelepasan ST bersamaan dengan peningkatan ACTH dan glukokortikoid. Peningkatan ST seirama dengan meningkatnya pelepasan ADH, apabila hewan mengalami hipovolemik (kadar glukosa yang rendah) dan hewan menderita defisiensi protein yang kronis (Frandson 1992).
ST dapat
meningkatkan kadar gula darah tanpa menggunakan protein (Frandson 1992). Pengaruh yang lain adalah terhadap suatu kelas protein yang disebut somatomedin
16
yang disekresikan oleh hati, somatomedin
merangsang pertumbuhan tulang-
tulang panjang pada hewan pradewasa dan merangsang peningkatan ukuran tubuh. Pengaruh hormon ini terlihat jelas dari peningkatan massa tulang, otot, hati dan ginjal (Frandson 1992). Berikut disajikan Gambar Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme (Kamil et al. 2001)
Gambar 1
Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme (Kamil et al. 2001)
ST mempunyai dua pengaruh utama. Pengaruh yang pertama berkaitan dengan proses-proses produksi yang mungkin diperantarai oleh Insulin Like Growth Factor 1 (IGF 1).
Pengaruh yang kedua adalah penyediaan zat-zat
makanan yang diperantarai oleh ST sendiri. Hipotesa klasik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu bahwa aksi ST menstimulasi hati untuk memproduksi somatomedin atau Insulin Like Growth Faktor 1 (IGF-1) yang selanjutnya akan diangkut melalui darah untuk bereaksi pada organ yang spesifik (Sharma et al.1994). Reseptor ST banyak dijumpai dihati sehingga diyakini sebagian besar peneliti bahwa ST memodulasi hati untuk mensintesis IGF-1. Insulin Like Growth Faktor 1 (IGF-1) mempunyai peranan penting dalam mengatur metabolisme sel mamalia, pertumbuhan dan diferensiasi. Insulin Like Growth Faktor 1 (IGF-1)
17
hampir sebagian besar disintesis dihati (55%) (Kamil et al. 2001) walaupun beberapa jaringan dapat mensintesisnya sehingga IGF-1 bukan saja bereaksi secara endokrin tetapi juga sebagai autokrin atau parakrin (Prosser & Mephan 1989; Sharma et al. 1994; Tucker 2000; Kamil et al. 2001) sehingga level plasma IGF-1 merupakan produksi kumulatif dari beberapa jaringan (Tucker 2000). Produksi IGF-1 akut sensitif terhadap status nutrien (Prosser & Mepham 1989). Pengaruh langsung khususnya dalam rangka penggalangan zat-zat makanan, sedangkan pengaruh tidak langsung bukan berkaitan dengan proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-1. Kerja somatotropin bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan. Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui sintesis protein, menigkatkan transportasi asam
amino
glukoneogenesis
kedalam didalam
sel,
mempengaruhi
hati,
memacu
metabolisme
mobilisasi
asam
karbohidrat, lemak
tubuh
(Hardjopronjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001) dan meningkatkan oksidasi
asam
lemak
serta
mempengaruhi
metabolisme
mineral
yaitu
meningkatkan retensi Ca, Mg, P, Na, K dan Cl, memacu pertumbuhan misalnya panjang tulang rawan (Taylor dan Field 2004).
ST mampu mempercepat
pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino di dalam sel dan dapat meningkatkan sintesa protein (Harper et al. 1979). Selain itu ST juga dapat meningkatkan pembentukan asam ribonukleat (ARN) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom didalam sitoplasma sel sehingga dapat mengakibatkan seintesa protein
(Hardjopronjoto 2001).
Somatotropin
merangsang seluruh sintesis protein sehingga mengakibatkan peningkatan retensi nitrogen dan posfor, asam amino dan urea turun, dalam hal ini ST
bekerja
sinergis dengan insulin (Harper et al. 1979). Menurut Frandson (1992) somatotropin mempunyai pengaruh penting dalam meningkatkan sintesis protein serta retensi protein dalam tubuh, mencegah pemecahan protein secara berlebihan dalam tubuh.
ST dapat meningkatkan
keparahan Diabetes Melitus serta menyebabkan pengurangan lemak tubuh. Somatotropin memperparah Diabetes Melitus karena kerjanya yang antagonis
18
terhadap insulin didalam otot dan jaringan adiposa, dimana hormon ini meningkatkan lipolisis dan meningkatkan jumlah benda-benda keton di dalam darah (Frandson 1992). bovine Somatotropin (bST) bovine Somatoropin adalah growth hormone yang secara alami dihasilkan oleh kelenjar pituitari sapi yang ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding) dan mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, transportasi asam amino ke dalam sel, metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, mobilisasi lemak tubuh serta memacu pertumbuhan (Guyton dan Hall 1997). Efek dari bST menurut Crooker et al. (1994) yaitu : 1. bST mengkoordinir pemanfaatan dari bahan gizi. 2. bST meningkatkan efisiensi dari pemanfaatan makanan 5 – 15% 3. Food and Drug Administration telah menetapkan daging dan susu yang diperoleh dari perlakuan bST aman untuk dikonsumsi. 4. Sapi atau hewan yang mendapat perlakuan bST sehat. 5. bST tidak meningkatkan efek dari perlakuan antibiotik sebelumnya. Setelah 50 tahun pemakaian ST berkembang pesat khususnya ketika ditemukan sistem rekombinan, ST
banyak digunakan untuk meningkatkan
produksi daging dan susu ( Kamil et al. 2001). Dewasa ini berkembang hormon rekombinan antara lain rekombinant growth hormon (rbGH) atau rekombinan Somatotropin (rbST).
Salah satu produk tersebut dibuat oleh Monsanto
Corporation melalui rekayasa genetika, yakni rbGH dengan nama dagang posilac yang juga dikenal bST atau bGH atau rbGH. Terdapat 3 macam hormon yang mendapat perhatian dalam penggunaanya dewasa ini yaitu bovine Somatotropin (bST),
ovine
Somatotropin
(oST),
dan
porcine
Somatotropin
(pST)
(Hardjopranjoto 2001). bST juga dapat dihasilkan dari suatu rekayasa genetika DNA sapi, dimana gen yang berfungsi mengendalikan atau mengkode produksi dari bST dimasukkan secara in vitro pada bakteri Eschericia coli yang terdapat pada saluran
19
pencernaan. Hasil dari bakteri tersebut akan dimurnikan dan disuntikan kembali ke sapi sebagai suatu penambahan hormon pertumbuhan dari luar (Hartwig 1991). Secara alami bST yang dihasilkan langsung maupun tidak langsung berefek dalam mengkoordinir metabolisme dari berbagai organ dan jaringan pendukung dalam produksi susu. Kombinasi penggunaan pST dapat meningkatkan
efisiensi pakan dan
penurunan jumlah deposisi lemak pada tubuh hewan (Gillespie 1992). Porcine somatotropin memecah enzim diusus babi sebelum mancapai pembuluh darah karena itu tidak dapat mencapai target organ bila tidak ada suplemen tambahan (Feed additif) (Gillespie 1992). Konsentrasi bST adalah 5-15 mg / kelenjar jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise lainya. bST aktif pada manusia dan tikus (Harper et al.1979). pST dan bST mempunyai fungsi fisiologik dan metabolik pada pertumbuhan dan laktasi. bST merangsang sintesis protein, transport asam amino di sel otot, metabolisme karbohidrat (Taylor dan Field 2004). Efek bovine Somatotropin Terhadap Produksi Susu Penggunaaan somatotropin pada sapi laktasi dapat memodifikasi hampir seluruh aspek metabolisme baik melalui pengaruh langsung atau tidak langsung (Vernon 1989). Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu sangat ditentukan oleh konsentrasi substrat dan laju aliran darah kekelanjar susu. Substrat atau zatzat makanan yang berada dalam sirkulasi berasal dari penyerapan sistem saluran pencernaan (Davis & Collier 1983) dan mobilisasi cadangan energi tubuh (Vernon 1989), yang selanjutnya masuk kedalam sel-sel sekretori dengan sistem transportasi melalui pengaturan hormonal. Perlakuan bST akan menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat karena terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang tinggi untuk sintesis susu. Dengan demikian, terjadi peningkatan produksi glukosa hati dan terjadi penurunan oksidasi oleh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan glukosa untuk sintesis susu. Pada hewan ruminan, produk fermentasi rumen adalah volatil fatty acid (VFA) dan hanya sedikit persentase (15%) pada glukosa
20
darah yang berasal dari makanan.
Suplai glukosa tubuh dipenuhi melalui
glukokoneogenesis hati yang mana produksinya dapat bertambah 3 kg/hari pada sapi laktasi yang tinggi (Peel and Bauman 1981). bST yang mempunyai efek terhadap produksi susu sapi agar menjadi lebih tinggi hingga mencapai 10-20%, mempunyai konsekuensi yaitu tubuh akan memerlukan pakan dan energi yang lebih tinggi yang dipergunakan untuk peningkatan efisiensi produksi kelenjar susu (Damron 2003), sehingga pemberian bST secara langsung akan membutuhkan tambahan pakan untuk pemeliharaan tubuh (Taylor dan Field 2004). Di USA tahun 1998 produksi susu rata-rata 14,378 pon. Kombinasi antara pengembangan pakan dan managemen serta adanya suplemen bST dapat meningkatkan produksi susu rata-rata 25 % (17,992 pon ) pada tahun 2000. Secara alami, hormon ini sudah dihasilkan tubuh tetapi tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan tubuh bila tidak ada suplemen tambahan dari luar (Anonim 2007). Efek porcine Somatotropin Terhadap Karkas Beberapa hasil penelitian mengenai pemberian pST menunjukkan adanya efek yang ditimbulkan pada pertumbuhan dan karakteristik karkas babi. Hormon pertumbuhan yang diberikan pada
babi (porcine Somatotropin / pST) dapat
meningkatkan 100 pon kenaikkan berat badan (Anonim 2007). Peneliti-peneliti terdahulu telah menemukan bahwa pST dapat meningkatkan ukuran tubuh, mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan tubuh secara optimal, menggunakan pakan secara efisien dan mengurangi produksi lemak pada karkas (Taylor dan Field 2004).
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di kandang hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi mulai bulan Mei-Desember 2006.
Persiapan Penelitian Tikus jantan dan betina (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley berumur kira-kira 16 minggu diletakkan dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik, dengan alas mengunakan sekam dan tutup kandang tikus menggunakan kawat kasa. Tikus betina yang digunakan berasal dari hasil perkawinan paritas kedua. Tikus jantan digunakan untuk mengawini betina sehingga diperoleh tikus betina bunting.
Selama penelitian tikus dikandangkan secara individu dalam
kandang yang terbuat dari bahan plastik yang berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm yang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atasnya. Pencahayaan dilakukan selama 12 jam (06.00 – 18.00) dan pakan diberikan 50 gram/hari sedangkan air minum diberikan ad libitum.
Metode 1. Tikus dikawinkan terlebih dahulu untuk memperoleh tikus bunting, ciri bunting adalah dengan ditemukannya sperma pada preparat ulas vagina yang dilakukan di pagi hari. Setelah dilakukan ulas vagina, tikus jantan dan betina yang bunting dipisahkan sehingga tidak ada kesempatan untuk kawin kembali setelah diswab. Sedangkan tikus yang tidak bunting akan dikawinkan kembali kira-kira pukul 16.00-17.00 WIB. 2. Tikus yang bunting dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok yang
disuntik dengan minyak (M) dan hormon (H).Tikus kelompok M dan H disuntik dari hari ke 4 hingga hari ke 12.
Penyuntikan dilakukan secara
intramuskuler (IM) pada kaki belakang secara bergantian. Dosis bST yang diberikan adalah 0 mg/KgBB (M) dan 9 mg/KgBB (H). 3. Pada hari keempat kebuntingan konsumsi pakan mulai dihitung dengan cara memberikan 50 gram pakan kemudian keesokan harinya jumlah pakan yang
22
dikonsumsi dihitung dengan cara menimbang sisa pakan, (50 gram-sisa pakan). Perhitungan pakan dilakukan setiap hari sampai hari ke 19. Pada semua kelompok
perlakuan dilakukan pencatatan bobot badan induk dan
dibiarkan lahir secara alami.
Parameter yang diamati 1. Bobot badan tikus bunting (hari ke 4 sampai dengan hari ke 19) 2. Konsumsi pakan harian (hari ke 4 sampai dengan hari ke 19)
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t student (Steel dan Torrie 1989) untuk membandingkan antara perlakuan yang diberi bST 0 mg /KgBB (M) dan bST 9 mg /KgBB (H) (Azain et al. 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN bST sudah banyak digunakan dalam penelitian yang menyangkut reproduksi dan produksi susu melalui peran bST terhadap metabolisme karbohidrat dan lemak. Berdasarkan penelitian yang sudah pernah dilaporkan peneliti terdahulu bahwa bST dapat meningkatkan produksi susu hingga mencapai 30 % (Manalu 1994), maka efek bST terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan tikus bunting perlu dikaji lebih lanjut. Penelitian ini menyajikan efek bST terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan (BB) pada tikus bunting. Perhitungan kenaikan bobot badan dilakukan pada tiga titik yaitu pada hari 4-13, 14-19 dan 4-19.
Perhitungan BB
dimulai dari hari ke 4-13, hal ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyuntikan bST terhadap kenaikan bobot badan. Perhitungan BB dimulai pada hari ke-4 sesuai dengan hari dimulainya penyuntikan.
Masa implantasi pada tikus terjadi pada hari ke-4 kebuntingan
dimana masa ini adalah masa rentan untuk mengetahui keberhasilan implantasi sehingga bST disuntikan pada hari ke-4 untuk mengantisipasi hal tersebut. Perhitungan konsumsi pakan dan pertambahan BB hari ke-13 yaitu sehari setelah penyuntikan (hari ke-12 kebuntingan). Masa plasentasi pada tikus terjadi pada hari ke-12 yang juga merupakan masa pertumbuhan optimal sehingga penyuntikan dilakukan dari hari ke-4 sampai dengan ke-12. Perhitungan BB pada hari ke-13 diasumsikan masih ada pengaruh bST pada penyuntikan terakhir (hari ke-12). Perhitungan BB hari ke 14-19 dilakukan untuk mengetahui bST masih berpengaruh atau tidak terhadap kenaikan BB.
Hari ke 4-19 dilakukan
pengukuran BB untuk mengetahui total kenaikan BB.
Data yang diperoleh
dianalisa dengan menggunakan uji t student karena hanya ada dua perlakuan yaitu minyak dan hormon. Rata-rata konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian tikus yang sedang bunting yang diberi bST 9 mg/KgBB (H) dan bST 0 mg/KgBB (M) secara eksogen melalui penyuntikan selama 9 hari yaitu hari ke 4 sampai dengan hari ke 12 kebuntingan disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 2.
24
Tabel 4 Rataan konsumsi pakan harian (gram) Usia kebuntingan (hari) 4-13 14-19 4-19
Minyak (bST 0 mg/KgBB) 14.253 ± 1.0999a 16.950 ± 0.898 a 15.169 ± 1.739 a
Hormon (bST 9 mg/KgBB) 14.878 ± 0.726 a 17.824 ± 1.485 a 15.983 ± 1.795 a
P Value tn tn tn
Rata-rata Konsumsi Pakan (gram)
Keterangan : huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (p> 0.05) ; tn = tidak nyata
21 18 15 12
minyak
9
hormon
6 3 0 4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17 18
19
Hari Pengamatan
Gambar 2 Rataan konsumsi pakan harian.
Dari Gambar 2 atas dapat dilihat bahwa konsumsi pakan tikus yang diberi perlakuan hormon cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi pakan tikus yang diberi perlakuan minyak, hanya pada beberapa titik berlaku kebalikannya, pada hari ke 7, 12, 15, 18. Penyuntikan bST 9 mg/KgBB lebih tinggi konsumsi pakannya bila dibandingkan dengan bST 0 mg/KgBB. National Research Council (1978) menyatakan bahwa rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus putih galur Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 gram untuk jantan dan 10-15 gram untuk betina. Faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin dan suhu lingkungan berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Konsumsi pakan untuk tikus betina pada usia kebuntingan 4-13 hari yang diberi perlakuan hormon adalah sebesar 14-15 gram/hari (normal 10-15 gram/hari) yang masih berada dalam kisaran normal. Pada usia kebuntingan 14-19 hari konsumsi pakan mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa semakin tua usia kebuntingan maka konsumsi pakan akan meningkat karena metabolisme dalam kondisi fisiologis bunting juga meningkat.
25
bST menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang dapat dipergunakan oleh tikus untuk aktivitas reproduksi. Peningkatan kebutuhan glukosa menuntut asupan pakan yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan tikus bunting. Berikut disajikan tabel rata-rata bobot badan harian Tabel 5 dan Gambar 3. Tabel 5 Rataan bobot badan (gram) Usia kebuntingan (Hari) 4-13 14-19 4-19
Minyak (bST 0 mg/KgBB) 213.9 ± 16.84 a 245.11 ± 13.99 a 225.592 ± 21.89 a
Hormon (bST 9 mg/KgBB) 215.03 ± 12.22 a 251.518 ± 13.99 a 228.713 ± 22.11 a
P Value tn tn tn
Keterangan : huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (p> 0.05) ; tn = tidak nyata
Rata-rata Berat Badan (gram)
300 250 200 minyak
150
hormon
100 50 0 4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Hari Pengamatan
Gambar 3 Rataan bobot badan harian tikus bunting. Bobot badan meningkat sesuai umur kebuntingan yang semakin tua, dimana kebutuhan nutrien untuk fetus semakin besar sehingga konsumsi pakan yang sema kin meningkat dari hari ke hari, tetapi kenaikan tersebut relatif kecil pada hari ke-4 sampai hari ke-12.
Sedangkan mulai pada hari ke-13 terjadi
fluktuasi peningkatan sampai pada hari ke-19.
Hal ini karena tikus telah
memasuki masa plasentasi. Masa plasentasi adalah masa dimana plasenta sudah terbentuk dan terjadi pembesaran abdomen serta adanya vaskularisasi yang tinggi yang menghubungkan antara induk dan embrio (Hunter 1995). Pada tikus proses plasentasi terjadi kira-kira pada usia kebuntingan 12 hari yang diperlihatkan oleh
26
tingginya konsentrasi laktogen plasenta dalam serum induk (Kelly et al. 1976). Secara umum, bobot badan tikus yang diberi perlakuan hormon cenderung lebih besar daripada bobot badan tikus yang diberi perlakuan minyak, tetapi perbedaannya relatif kecil, terutama jika dilihat pada selang hari ke-4 sampai hari ke-12. Mulai hari ke 13 terjadi fluktuasi dimana pada hari ke-13 dan ke 18 perlakuan minyak memberi pengaruh yang lebih besar terhadap bobot badan daripada perlakuan hormon, ini mungkin terjadi karena pemberian bST sudah dihentikan pada hari ke 12. bST sangat berperan dalam pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu pada sapi (Cunningham 1994).
Dalam hubungannya dengan
pertumbuhan, penelitian yang dilakukan oleh Groenewegen et al. (1990) dan Burton et al. (1994) pada sapi pedaging Eropa menunjukkan bahwa pemberian hormon
pertumbuhan
dapat
meningkatkan
rata-rata
pertumbuhan
sapi.
Meningkatnya pertumbuhan ini diduga melalui perantara kerja IGF-I (Armstrong et al. 1995 dan Enright et al. 1990). Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ballard et al. (1993) yang menunjukkan bahwa pengaruh secara tidak langsung melalui IGF-I menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan. Pengaruh Somatotropin (ST) yang mirip dengan pengaruh insulin terjadi selama awal-awal pemberian. Pengaruh lanjutan ST adalah bersifat anti insulin yaitu mampu mengurangi penggunaan glukosa dengan merombak cadangan lemak, saat sintesis asam lemak berantai panjang terhambat (Manalu 1994). Berdasarkan
penelitian
pada
domba,
peneliti–peneliti
terdahulu
menemukan bahwa ST tidak berpengaruh pada sintesis dan perombakan protein, sementara IGF-1 merangsang sintesa protein dan mempunyai pengaruh terhadap perombakan protein (Manalu 1994). Pemberian ST pada sapi dalam jangka waktu panjang akan menurunkan laju lipogenesis, yang menunjukkan ST bekerja pada jaringan itu sendiri. Secara umum
konsumsi pakan cenderung lebih tinggi pada perlakuan
hormon daripada perlakuan minyak tetapi konsumsi pakan yang tinggi tidak diikuti dengan pertambahan BB yang signifikan. Efek ST terhadap konsumsi pakan pada umumnya kecil atau tidak ada sama sekali, besarnya peningkatan konsumsi pakan berhubungan dengan pertambahan bobot badan harian (Enright
27
1989).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa, pengaruh yang muncul dengan
adanya ST menyebabkan konsumsi pakan meningkat sehingga efisiensi pakan menjadi lebih baik (Sandles and Peel 1987) atau konsumsi pakan meningkat tetapi efisiensi pakan sama (Fabry et al. 1987). Dari Tabel 5 terlihat bahwa bobot badan pada perlakuan bST 9 mg/KgBB lebih tinggi dibandingkan dengan dengan perlakuan bST 0 mg/KgBB. Hal ini disebabkan karena tubuh berespon terhadap kondisi stres yang menyebabkan dikeluarkannya hormon-hormon pertumbuhan, glukagon dan hormon-hormon lainnya (Guyton dan Hall 1997).
Perlakuan bST berespon dengan adanya
cekaman (stres) dengan tujuan menyediakan energi yang dibutuhkan oleh tubuh (Guyton dan Hall 1997).
Respon ini bisa berupa meningkatkan lipolisis
(pemecahan lemak tubuh) sehingga energi terpenuhi kembali. Energi yang dialokasikan sebagai respon terhadap stres menyebabkan berkurangnya nutrisi yang seharusnya menjadi depo lemak tubuh sehingga perlakuan bST pada kebuntingan 4-13, 14-19 dan 4-19 hari menyebabkan kenaikan bobot badan yang tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan minyak. Pada umumnya ST berpengaruh kecil atau tidak signifikan terhadap kenaikan BB. Tetapi hal yang menarik adalah bila ST diaplikasikan dalam waktu yang lama dan dosis tinggi akan berpengaruh pada perkembangan kerangka tubuh hal ini dikemukakan oleh (Sandles & Peel 1987). Somatotropin merangsang glukoneogenesis dari asam amino, mobilisasi lemak tubuh dan meningkatkan oksidasi asam lemak. ST juga mempengaruhi metabolisme mineral, meningkatkan retensi Ca, Mg, P, Na, K dan Cl, memacu pertumbuhan misalnya panjang tulang rawan (Taylor & Field 2004 ). Kinerja hormon pertumbuhan yang diberikan selama kebuntingan dapat dilihat dari bobot badan anak dan jumlah anak. Ada dua kemungkinan, pertama bobot badan tinggi tetapi jumlah anak sedikit atau jumlah anak banyak tetapi bobot badan rendah. Data tentang bobot badan anak dan jumlah anak pada tikus bunting yang diberi somatotropin dapat dilihat pada Tabel 6 (Adnan 2007).
28
Tabel 6 Bobot lahir tikus dan jumlah anak Keterangan Bobot Badan Anak Jumlah Anak
Minyak (bST 0 mg/KgBB) 6.131 ± 0.694 a 8.0769 ± 2.6602 a
Hormon (bST 9 mg/KgBB) 6.149 ± 0.674 a 7.6154 ± 2.9308 a
P Value tn tn
Keterangan : huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (p> 0.05) ; tn = tidak nyata
Dari Tabel 6, terlihat bahwa bobot badan dan jumlah anak yang dilahirkan pada perlakuan bST 9 mg/KgBB (H) dan bST 0 mg/KgBB (M) tidak berbeda nyata, hal ini terjadi sebagai akibat dari konsumsi pakan dan bobot badan yang tidak signifikan pada kedua perlakuan. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh tikus itu sendiri (Malole dan Pramono 1989). Beberapa faktor penting yang dapat meningkatkan metabolisme basal tubuh antara lain suhu lingkungan, jenis kelamin, umur, keadaan psikologi/fisiologi hewan (Ganong 2002). Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor fisiologis kebuntingan. Pada tikus, pertumbuhan berlaku terus menerus selama tikus hidup. Berat lahir anak akan menurun oleh adanya stres, panas, dan nutrisi induk yang kurang baik selama kebuntingan (Robinson 1979). Menurut Malole dan Pramono (1989) bobot lahir tikus adalah 5-6 gram. Bobot badan anak pada kedua perlakuan berada dalam kisaran normal, hal ini menunjukkan bahwa pemberian bST tidak mempengaruhi bobot badan. Jumlah anak perkelahiran 6-12 ekor (Malole dan Pramono 1989). Berdasarkan Tabel 6, jumlah anak perkelahiran pada kelompok M dan H adalah tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa pemberian bST tidak mempengaruhi jumlah anak.
29
KESIMPULAN Bovine
Somatotropin
tidak
mempengaruhi
konsumsi
pakan
dan
pertambahan bobot badan pada tikus bunting. Konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada 2 kelompok tikus perlakuan (M & H) tidak berbeda nyata. Demikian juga dengan bobot badan anak dan jumlah anak tidak dipengaruhi oleh pemberian bST. SARAN
Peningkatan BB dengan penambahan suplemen bST pada saat kebuntingan kurang efektif sehingga diperlukan penelitian tentang efek bST pada saat yang berbeda terhadap peningkatan BB dengan konsumsi pakan dengan komposisi yang berbeda sehingga diperoleh komposisi ransum yang paling tepat.
DAFTAR PUSTAKA Adnan Apriantono A. 2007. Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). www.deptan.go.id [27 Agustus 2007] Armstrong JD, Harvey RW, Poore MA, Simpson RB, Miller DC, Gregory GM & Hartnell GF. 1995. Recombinant bovine somatotropin increases milk yield and calf gain in diverse breeds of beef cattle: associated changes in hormones and indices of metabolism. J. of Anim Sci 73, 3051-3061. [22 Januari 2007] Azain MJ, Kasser TR. Sabacky MJ, Baile CA. 1993. Comparison of the growth promoting properties of daily versus continuous administration of somatotropin in female rats with intack pituitaries. J. of Anim Sci 71: 384-392. Ballard F J, Francis GL, Walton PE, Knowles, SE, Owens PC et al. 1993. Modification of animal growth with growth hormone and insulin-like growth factors. Australian J. of Agricul Res 44:567-577. [22 Januari 2007] Beker DEJ, JR Lindsey and SH Weisbroth. 1979. The Laboratory Rat Vol 1. Di dalam Fox JG, BJ Cohon and FM Loew, editor. Laboratory Animal Medicine. Academic Press. Bennet JP and BH Vickery. 1970. Rats and Mice. Di dalam : Hafez ESE, editor. Reproduction and Breeding Techniques for laboratory Animal. Philadelphia. Lea and Febiger. Boyce PW. 2004. Aplied Pharmacology For the Veterinary Technician.Ed ke-3. USA. Elsevier Sounders. Bivin WS, Crawford MP, Brawer NR.1979. The Laboratory Rat. New York. Academic Press. Burton JL, McBride BW, Block E, Glimm DR & Kennelly JJ. 1994. A review of bovine growth hormone. C. J. of Anim Sci 74, 167-201. [22 Januari 2007] Cole HH and P.T Cupps. 1977. Reproduction in Domestic Animal. Ed ke-3 New York and London. Academic Press.
.
Collier. 1992. Livestock and Poultry Production. Ed ke-4. America. Delmar Publising Croocker BA et al. 1994. Dairy Research and Bovine Somatotropin. Http://www.extension.umn.edu/distribution/livestocksystems/DI6337.html [2004]
31
Cunningham EP. 1994. The use of bovine somatotropin in milk production-a review [Review]. Irish Veterinary Journal 47:207-210, 3061 [22 Januari 2007 Damron WS 2003. Introduction Jersey. Prentice Hall.
to Animal Science. Ed ke-3. Pearson New
Davis SR, Collier RJ. 1983. Mammary blood flow and regulation of substrat supply for milk synthesis. J. Dairy Sci. 68 : 1041-1058. Enright WJ. 1989. Effects of Administration of Somatotropin on Growth, Feed Eficiency and Carcas Compotition of Ruminants. Serjsen K. et al. editor America. Elsevier Applied Science. Enright WJ, Quirke JF, Gluckman PD, Breier BH, Kennedy LG, Hart IC, Roche, JF, Coert A & Allen P. 1990. Effects of long-term administration of pituitary-derived bovine growth hormone and estradiol on growth in steers. J. of Anim Sci 68, 2345-2356. [22 Januari 2007] Fabry J, Claes V and Rulle R. 1987. Effect of Growth Hormon on Heifer Meat Production. Serjsen K. et al. editor. America. Elsevier Applied Science. Flatt. 1975. The Biology of the Laboratory Rabbit. New York. Academic Press. Frandson R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B dan Praseno Koen, penerjemah Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hlm. 840-841. Ganong WF. 2002. Review of Medical physiology. Adji Dharma, penerjemah . Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Gillespie RJ 1992. Livestock and Poultry Production. Ed k-4. Amerika. Delmar Publising Groenewegen PP, McBride, B W, Burton JH. & Elsasser T H. 1990. Bioactivity of milk from bST-treated cows. J. of Nut 120, 514. [22 Januari 2007] Guyton AC, JE Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hafez E.S.E. 1987. Reproductive Cycles. Di dalam Hafez E.S.E Reproduction In Fram Animal, Ed ke-5. Philadelphia. Lea and Febiger. Harper HA, VW Rodwel and PA Mayes. 1979. Riview of Physiological Chemistry. Martin Muliawan, penerjemah. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.
32
Hardjopranjoto S. 2001. Ilmu Kamjiran Ternak. Surabaya. Airlangga University Press. Hartwig NR. 1991. Biotechnology Information Series Bovine Somatotropin (bST). Http://www.extension.iastate.edu/Publications/NCR488.pdf. [2004] Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Bandung. Penerbit ITB Kamil K, Eten Maryuman, An-an Yulianti, Elvia Hernawan, Diding Latifudin. 2001. Peranan somatotropic axis dalam pengaturan pertumbuhan ternak ruminansia. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Februari 2001. Bandung: jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Hlm. 14-27. Kampster. 1988. Market Requirements and Their Relation to Carcas Quality. London. Elsevier Applied Science. Kanis E. 1988. Effect of Recombinant Porcine Somatotropin (rpST) Treatment on Carcas Characteristics and Organ Weights of Growing Pigs. London. Elsevier Applied Science. Kelly PAT, Tsushima RPC, Shiu and HG Friensen. 1976. Lactogenic and Growth Hormon Like Activities in Pregnancy Determined by Radioreceptor Assay. Endokrinologi 99. Koentjoko 2001. Penggunaan Hormon Pemacu Pertumbuhan Bagi Ternak. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Februari 2001. Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Hlm. 33-37. Kohn FD and Barthold. 1984. Biologi and Disease of Rats. Di dalam Fox JG, BJ Cohon and FM Loew, editor. Laboratory Animal Medicine. Academic Press. Lawrence TLJ dan Fowler VR 2002. Growth of Animal. New York. CABI Publising. Malole MBM & Pramono CSU 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Institut Pertanian Bogor. Manalu W. 1994. Menyongsong Aplikasi Hasil Bioeknologi dalam Indusri Peternakan : Suatu Ulasan Mengenai Kegunaan Somatotropin untuk Meningkatkan Produksi Susu dan Dampaknya Terhadap Kesehatan dan
33
Reproduksi Sapi Perah Serta Masa Depannya dalam Industri Sapi Perah di Indonesia. J. Med Vet 1 (1) : 19-26. Marchlin. 1972. Porcine Somatotropin, Another Step Toward Leaner Pork. Di Dalam Fiems LO and Demeyer DI, editor. Animal Biotechnology and the Quality of Meat Production. New York Elsevier Science Publishing Company Inc. Mc Donald. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia. Lea and Febiger. National Research Council. 1978. Nutrient Requirement of Cats. Washington. National Academic Press. Omega MP. 2003. Hormon Pemacu Pertumbuhan dan Efeknya Bagi Kesehatan.http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0926/kes2. html [27 Agustus 2007. Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta. Penerbit Mutiara. : Hlmn 173-181. Peel CJ and Bauman DE. 1981. Effect of exogenous growth hormon on lactational performance in high yielding dairy cows. J. Nutr. 111, 1662-1671. Pond WG, Houpt KA. 1995. The Biology of the Pig. New York. Cornel Univercity Press. Prosser CG, Mepham TB. 1989. Mechanism of action of bovine somatotropin in increasing milk secretion in dairy ruminant. Di dalam : Serjsen K, M vestergaard and A. Neimann-Sorensen, editor. Use Somatotropin in Livestock Production. New York. Elsevier Applied Sciance. Hlm. 1-17. Robinson. 1979. Taxonomi and Genetic. Di dalam Beker HJ, JR Lindsay, S Weisbroth, editor. The Laboratory Rat London. Academic Press Rogers AE. 1979. The Laboratory Rat. London. Academic Press. Sandles LD dan Peel CJ. 1987. Growth and Carcas Compotition of Pre Pubertal Dairy Heifer Treated with bovine Growth Hormon. London. Elsevier Applied Science. Sharma BK, Vandehaar JM, Ames NK. 1994. Expression of insulin like growth factor 1 in cows at different stages of lactation and in late lactation cows treated with somatotropin. J. Dairy Sci. 77:2232-2241. Smith John B & Mangkoewidjojo Soesanto. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta. Universitas Indonesia Salemba 4. Hlm. 37-48.
34
Soeharsono. 2001. Kontroversi penggunaan hormon sebagai pemacu pertumbuhan pada produksi ternak. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi ternak. Bandung, 3 Februari 2001. Bandung: jurusan Nitrisi dan makanan ternak Fakultas peternakan universitas Padjajaran. Hlm. 60-67. Steel RGD and Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. B Sumantri, penerjemah. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Sukra Y. 1999. Wawasan Ilmu Pengetahuan Embrio. Benih Masa Depan . Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Taylor RE dan Field TG 2004. Scientific Farm Animal Production. New Jersey.Upper Saddle River. Tucker HA. 2000. Symposium : Hormonal regulation of synthesis, hormone, mammary growth and lactation : a 41 year perspektif. J.Dairy Sci. 83 : 874-884. Turner & Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Harsaja, penerjemah. Terjemahan dari General Endocrinology. Yogyakarta. Air langga University Press. Vernon RG. 1989. Role of Growth Hormon in The Regulation of Adipocyte Growth and Function. London. Butterworths. Zhao X, JH Burton, W McBride. 1996. Lactation, health, and reproduction of dairy cow receiving daily injectable or sustained released somatotropin. J. Dairy. Sci. 75 : 3122-3130
Uji T data bobot badan selama kebuntingan Lampiran 1 Uji-T untuk peningkatan berat badan kelompok minyak dan hormon dari hari ke-4 sampai hari ke-13 Two-sample T for bedaBB1_m vs bedaBB1_h Keterangan N Mean StDev bedaBB1_M 13 40,7 36,5 bedaBB1_H 13 44,0 13,7
SE Mean 10 3,8
P Value 0,765
Difference = mu (bedaBB1_m) - mu (bedaBB1_h) Estimate for difference: -3,29231 95% CI for difference: (-26,31706; 19,73245) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,30 P-Value = 0,765 DF = 15 Lampira n 2 Uji-T untuk peningkatan berat badan kelompok hormon dari hari ke-14 sampai hari ke-19 Two-sample T for bedaBB2_m vs bedaBB2_h Keterangan N Mean StDev bedaBB2_M 13 29,48 8,13 bedaBB2_H 13 23,3 11,1
SE Mean 2,3 3,1
minyak dan
P Value 0,120
Difference = mu (bedaBB2_m) - mu (bedaBB2_h) Estimate for difference: 6,16154 95% CI for difference: (-1,71553; 14,03861) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1,61 P-Value = 0,120 DF = 24 Both use Pooled StDev = 9,7305 Penggunaan minyak dan hormon juga tidak berbeda nyata dalam peningkatan berat badan dari hari ke-14 sampai pada hari ke-19. Lampiran 3 Uji-T untuk peningkatan berat badan kelompok minyak dan hormon dari hari ke-4 sampai hari ke-19 Two-sample T for bedaBB3_m vs bedaBB3_h Keterangan N Mean StDev bedaBB3_M 13 74,8 41,0 bedaBB3_H 13 67,2 19,0
SE Mean 41,0 5,3
P Value 0,556
Difference = mu (bedaBB3_m) - mu (bedaBB3_h) Estimate for difference: 7,53077 95% CI for difference: (-19,01831; 34,07985) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,60 P-Value = 0,556 DF = 16
37
Lampiran 4 Uji-T untuk perbandingan berat badan anak Two-sample T for anakM vs anakH Keterangan N Mean Anak M 13 6,131 Anak H 13 6,149
StDev 0,694 0,674
SE Mean 0,19 0,19
P Value 0,947
Difference = mu (anakM) - mu (anakH) Estimate for difference: -0,017860 95% CI for difference: (-0,571391; 0,535670) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,07 P-Value = 0,947 DF = 24 Both use Pooled StDev = 0,6838 Lampiran 5 Uji-T untuk perbandingan konsumsi pakan a. Hari ke 4 Two-sample T for h4-m vs h4-h Keterangan N Mean h4- M h4- H
13 13
12,82 13,94
StDev
SE Mean
4,89 2,59
1,4 0,72
P Value 0,472
Difference = mu (h4-m) - mu (h4-h) Estimate for difference: -1,12628 95% CI for difference: (-4,35003; 2,09747) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,73 P-Value = 0,472 DF = 18 b. Hari ke 5 Two-sample T for h5-m vs h5-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h5- M 13 12,15 4,43 1,2 0,085 h5- H 13 14,52 1,30 0,36 Difference = mu (h5-m) - mu (h5-h) Estimate for difference: -2,37692 95% CI for difference: (-5,12314; 0,36929) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,86 P-Value = 0,085 DF = 14 c. Hari ke 6 Two-sample T for h6-m vs h6-h Keterangan N Mean h6- M 13 13,30 h6- H 13 14,38 Difference = mu (h6-m) - mu (h6-h) Estimate for difference: -1,08462
StDev 2,90 1,72
SE Mean 0,80 0,48
P Value 0,260
38
95% CI for difference: (-3,04029; 0,87105) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,16 P-Value = 0,260 DF = 19 d. Hari ke 7 Two-sample T for h7-m vs h7Keterangan N
Mean
StDev
SE Mean
P Value 0,486
h7- M 13 14,50 3,09 0,86 h7- H 13 13,78 2,01 0,56 Difference = mu (h7-m) - mu (h7-h) Estimate for difference: 0,723077 95% CI for difference: (-1,384826; 2,830980) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,71 P-Value = 0,486 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,6039
e. Hari ke 8 Two-sample T for h8-m vs h8-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h8- M 13 13,50 2,72 0,76 0,069 h8- H 13 15,11 1,19 0,76 Difference = mu (h8-m) - mu (h8-h) Estimate for difference: -1,61026 95% CI for difference: (-3,35840; 0,13789) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,95 P-Value = 0,069 DF = 16 f. Hari ke 9 Two-sample T for h9-m vs h9-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h9- M 13 14,81 3,01 0,83 0,685 h9- H 13 15,26 2,62 0,73 Difference = mu (h9-m) - mu (h9-h) Estimate for difference: -0,453846 95% CI for difference: (-2,736489; 1,828797) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,41 P-Value = 0,685 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,8197 g. Hari ke 10 Two-sample T for h10-m vs h10-h Keterangan N Mean StDev h10- M 13 14,75 2,47 h10- H 13 15,64 2,40 Difference = mu (h10-m) - mu (h10-h) Estimate for difference: -0,892308 95% CI for difference: (-2,863381; 1,078765)
SE Mean 0,69 0,67
P Value 0,359
39
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,93 P-Value = 0,359 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,4348 h. Hari ke 11 Two-sample T for h11-m vs h11-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h11- M 13 14,67 2,59 0,72 0,396 h11- H 13 15,46 2,04 0,57 Difference = mu (h11-m) - mu (h11-h) Estimate for difference: -0,792308 95% CI for difference: (-2,682591; 1,097976) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,87 P-Value = 0,396 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,3350 i. Hari ke 12 Two-sample T for h12-m vs h12-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h12- M 13 14,86 3,17 0,88 0,929 h12- H 13 14,73 4,13 1,1 Difference = mu (h12-m) - mu (h12-h) Estimate for difference: 0,130769 95% CI for difference: (-2,848663; 3,110201) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,09 P-Value = 0,929 DF = 24 Both use Pooled StDev = 3,6805 j. Hari ke 13 Two-sample T for h13-m vs h13-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h13- M 13 15,66 3,35 0,93 0,805 h13- H 13 15,95 2,39 0,66 Difference = mu (h13-m) - mu (h13-h) Estimate for difference: -0,284615 95% CI for difference: (-2,638652; 2,069421) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,25 P-Value = 0,805 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,9079 k. Hari ke 14 Two-sample T for h14-m vs h14-h Keterangan N Mean StDev h14- M 13 15,78 2,80 h14- H 13 16,62 2,63 Difference = mu (h14-m) - mu (h14-h) Estimate for difference: -0,838462 95% CI for difference: (-3,036395; 1,359472)
SE Mean 0,78 0,73
P Value 0,439
40
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,79 P-Value = 0,439 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,7151 l. Hari ke 15 Two-sample T for h15-m vs h15-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h15- M 13 16,54 3,19 0,89 0,382 h15- H 13 15,51 2,70 0,75 Difference = mu (h15-m) - mu (h15-h) Estimate for difference: 1,03308 95% CI for difference: (-1,36204; 3,42819) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,89 P-Value = 0,382 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,9587 m. Hari ke 16 Two-sample T for h16-m vs h16-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h16-m 13 16,71 3,42 0,95 0,562 h16-h 13 17,87 6,20 1,7 Difference = mu (h16-m) - mu (h16-h) Estimate for difference: -1,15897 95% CI for difference: (-5,28483; 2,96689) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,59 P-Value = 0,562 DF = 18 n. Hari ke 17 Two-sample T for h17-m vs h17-h Keterangan N Mean h17- M 13 17,56 h17- H 13 19,15
StDev 3,90 6,15
SE Mean 1,1 1,7
P Value 0,438
Difference = mu (h17-m) - mu (h17-h) Estimate for difference: -1,59231 95% CI for difference: (-5,76269; 2,57808) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,79 P-Value = 0,438 DF = 24 Both use Pooled StDev = 5,1516 o. Hari ke 18 Two-sample T for h18-m vs h18-h Keterangan N Mean StDev h18- M 13 16,74 4,34 h18- H 13 15,59 6,38 Difference = mu (h18-m) - mu (h18-h) Estimate for difference: 1,14872 95% CI for difference: (-3,27001; 5,56744)
SE Mean 1,2 1,8
P Value 0,597
41
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,54 P-Value = 0,597 DF = 24 Both use Pooled StDev = 5,4584 p. Hari ke 19 Two-sample T for h19-m vs h19-h Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value h19- M 13 18,37 6,06 1,7 0,890 h19- H 13 18,65 3,76 1,0 Difference = mu (h19-m) - mu (h19-h) Estimate for difference: -0,276923 95% CI for difference: (-4,358487; 3,804640) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,14 P-Value = 0,890 DF = 24 Both use Pooled StDev = 5,0419 Lampiran 6 Uji-T untuk konsumsi pakan pada beberapa selang hari 1. Hari 4-13 Two-sample T for h4-13 vs m4-13 Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value H 4-13 13 2,85 3,72 1,0 0,886 M 4-13 13 3,08 4,39 1,2 Difference = mu (h4-13) - mu (m4-13) Estimate for difference: -0,230769 95% CI for difference: (-3,523962; 3,062424) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,14 P-Value = 0,886 DF = 24 Both use Pooled StDev = 4,0680 2. hari 14-19 Two-sample T for h14-19 vs m14-19 Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value H 14-19 13 -2,59 5,17 1,4 0,769 M 14-19 13 -2,03 4,43 1,2 Difference = mu (h14-19) - mu (m14-19) Estimate for difference: -0,561538 95% CI for difference: (-4,458628; 3,335551) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,30 P-Value = 0,769 DF = 24 Both use Pooled StDev = 4,8140 3. hari 4-19 Two-sample T for h4-19 vs m4-19 Keterangan N Mean H 4-19 13 5,55 M 4-19 13 5,78
StDev 6,74 4,01
SE Mean 1,9 1,1
P Value 0,919
42
Difference = mu (h4-19) - mu (m4-19) Estimate for difference: -0,223077 95% CI for difference: (-4,709799; 4,263645) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,10 P-Value = 0,919 DF = 24 Both use Pooled StDev = 5,5424 Lampiran 7 Uji-T untuk membandingkan jumlah anak tikus Two-sample T for h vs m Keterangan N Mean StDev SE Mean P Value M 13 8,08 2,66 0,74 0,678 H 13 7,62 2,93 0,81 Difference = mu (h) - mu (m) Estimate for difference: 0,461538 95% CI for difference: (-1,804175; 2,727252) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0,42 P-Value = 0,678 DF = 24 Both use Pooled StDev = 2,7988