PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)
INTAN TOLISTIAWATY
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK INTAN TOLISTIAWATY. Perkembangan dan Pertumbuhan Plasenta Tikus (Rattus norvegicus) Pada Umur Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin). Di bawah bimbingan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian bST (bovine Somatotropin) terhadap pertumbuhan dan perkembangan plasenta tikus pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari. Tikus betina bunting sebanyak 36 ekor dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok tikus yang tidak mendapatkan perlakuan (kontrol/K), kelompok tikus yang disuntikkan dengan bST 0 mg/kg BB (minyak/M) dan kelompok tikus yang disuntikkan dengan bST 9 mg/kg BB (hormon/H). Penyuntikan dilakukan pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-12 kebuntingan. Pada usia kebuntingan 13, 17, dan 21 hari dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan plasenta beserta fetus untuk dilakukan pengukuran bobot, kandungan DNA, dan RNA dengan menggunakan alat spektrofotometer. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian bST meningkatkan kadar DNA dan tidak berpengaruh pada kadar RNA. Kata kunci : bST, plasenta, tikus, DNA, RNA
PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)
INTAN TOLISTIAWATY
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul
:
Perkembangan dan Pertumbuhan Plasenta Tikus (Rattus norvegicus) Pada Umur Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)
Nama Mahasiswa
:
Intan Tolistiawaty
NRP
:
B04103053
Program Studi
:
Kedokteran Hewan
Disetujui
Dr. Drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc Pembimbing I
Drs. Pudji Achmadi Pembimbing II
Diketahui
Dr. Drh. Wayan Teguh Wibawan, MS. Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Toli-toli 18 Januari 1986 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan suami-istri Ir. Zainal Abidin Gani dan Ir Nurbaety. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Tanamodindi II Palu pada tahun 1997. Lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 1 Luwuk pada tahun 2000 dan lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMUN I Luwuk pada tahun 2003. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan penulis berperan serta dalam kegiatan kemahasiswaan diantaranya sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa selama periode 2005-2006, sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia selama dua periode (2005-2006 dan 2006-2007) sebagai anggota dan pengurus Himpro Ruminansia dua periode (2004-2005 dan 2005-2006), dan sebagai pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi tentang Perkembangan dan Pertumbuhan Plasenta Tikus (Rattus norvegicus) Pada Umur Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin). Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas MSc. selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, dorongan dan nasehat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. 2.
Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, dorongan dan nasehat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis selama penelitian dan penulisan skripsi.
3. Dr. drh. Hera Maheshwari MSc. selaku dosen penguji atas segala masukan yang diberikan. 4. Dr. drh Razak Achmad Hamzah MS. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehatnya selama masa perkuliahan. 5. Dr. Nastiti Kusumorini atas bimbingan dan nasehatnya. 6. Program hibah kompetensi A3 yang telah mendanai penelitian ini. 7. Ibu Sri, Bu Ida, Pak Edi dan seluruh staf di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. 8. Papa Ir. Zainal Abidin Gani, mama Ir Nurbaety, kak zia, Ika, Inda dan Ajeng atas doa, kasih sayang serta dukungannya baik material dan spiritual. 9. Keluarga besar yang berada di Makassar atas segala doa dan nasehat yang diberikan. 10. Widia, Agus, Metha, Atin, dan Nurul atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian di laboratorium Fisiologi.
11. Anak-anak Rulita (Rhiska, Rikki, Ais, Mbak Dhika, Lina dan Ninit) atas motivasi dan kebersamaan selama ini serta telah menjadi keluarga keduaku. 12. Teman-teman MPV 2007, Green Gonjreng, kenanga 14, Djejaka, Chandra, Au, Reny, Eka, Bayu, Bone, Zaldi, Achy, Nie Peng atas kebersamaan. 13. Sahabatku Irvan dan Yuyun atas support, pengertian dan masukan yang diberikan. 14. Teman baruku ‘Giadi Seto Pratomo’ yang mau mendengar keluh kesah, celoteh, dan terima kasih telah memberi warna baru. 15. Gymnolemata 40 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2007
Intan Tolistiawaty
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL……………………………………………………...
Halaman vi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..
vii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….
1
Tujuan………………………………………………………………..
2
Hipotesa………………………………………………………...........
2
Manfaat………………………………………………………………
3
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus…………………………………………............
4
Siklus Reproduksi Tikus……………………………………………..
4
Plasenta……………………………………………………………….
7
Fungsi Plasenta ………………………………………………............
8
Somatotropin…………………………………………………............
9
Bovine Somatotropin…………………………………………............
11
DNA dan RNA……………………………………………………….
12
Sintetis Protein……………………………………………………….
14
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat…………………………………………………...
15
Hewan Percobaan…………………………………………………….
15
Bahan dan Alat……………………………………………………….
15
Metode Penelitian…………………………………………………….
16
Cara Kerja……………………………………………………............
16
Analisa Statisik ………………………………………........................
20
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………...
21
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….......
28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….....
29
LAMPIRAN……………………………………………………………
32
DAFTAR TABEL Halaman 1. Data biologi umum tikus ……………………………………………
6
2. Konsentrasi standar DNA……………………………………………
17
3. Konsentrasi reagen untuk uji kadar DNA……………………….......
18
4. Konsentrasi standar RNA....................................................................
19
5. Labeling untuk pewarnaan dan pengujian kadar RNA.......................
20
6. Bobot basah, bobot kering, dan kadar air pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari...............................................................................
21
7. Konsentrasi dan total DNA dan RNA pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari.....................................................................................
24
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Susunan embrio dan plasenta..................................................
7
2.
Produksi bST.............................................................................
12
3a.
Bobot basah plasenta................................................................
22
3b.
Bobot kering bebas lemak plasenta.........................................
22
3c.
Kadar air plasenta.....................................................................
22
4.
Konsentrasi DNA plasenta.......................................................
25
5.
Konsentrasi RNA plasenta.......................................................
26
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 33
1.
Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
2.
Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 17..................................................................................
33
3.
Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
33
4.
Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 13.............................................................
33
5.
Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 17.............................................................
34
6.
Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 21.............................................................
34
7.
Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
34
8.
Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 17..................................................................................
34
9.
Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
35
10. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
35
11. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 17..................................................................................
35
12. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
35
13. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
36
14. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 17..................................................................................
36
15. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
36
16. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
36
17. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 17.................................................................................
37
18. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
37
19. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 13..................................................................................
37
20. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 17..................................................................................
37
21. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 21..................................................................................
38
PENDAHULUAN Latar belakang Rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat disebabkan karena pemerintah belum dapat memenuhi permintaan akan daging, susu, ataupun telur yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk itu diperlukan suatu cara untuk mengembangkan ternak yang mempunyai daya reproduksi dan produksi yang cepat dan banyak seperti hewan atau ternak yang dapat menghasilkan lebih dari 1 anak persekelahiran (hewan politokus) seperti babi dan tikus. Dewasa ini banyak dilakukan penelitian dalam upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ternak seperti inseminasi buatan, transfer embrio, dan superovulasi. Penambahan feed additive pada pakan dan pemberian hormon eksogen juga dilakukan dalam beberapa penelitian untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan yang maksimal pada hewan. Penggunaan hormon sebagai growth promotor untuk peningkatan bobot badan tanpa harus memberikan pakan dalam jumlah banyak pada ternak sapi, domba, dan unggas telah dilakukan sejak tahun 1950 di USA (Omega 2003). Salah satu faktor pertumbuhan yang sudah mulai diteliti orang adalah pemberian hormon pertumbuhan eksogen yaitu bST (bovine Somatotropin) dan pST (porcine Somatotropin). Hormon pertumbuhan (Somatotropin) merupakan molekul protein kecil yang berguna untuk pertumbuhan seluruh jaringan tubuh dan dapat menambah ukuran sel serta meningkatkan proses mitosis yang diikuti dengan bertambahnya jumlah sel (Guyton dan Hall 1997). Beberapa penelitian tentang pemberian bST pada peternakan sapi perah telah dilakukan di USA sejak tahun 1994 dan terlihat adanya peningkatan produksi susu yang dihasilkan (APHIS 2003). bST diproduksi oleh sapi dan bekerja untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh hewan. Pemberian bST dapat meningkatkan bobot badan ternak, memperbaiki Feed Conversion Ratio (FCR),dan meningkatkan kualitas karkas karena menurunkan kandungan lemak dalam daging (Omega 2003).
Plasenta merupakan sistem yang berkomponen ganda yaitu selaput embrional dan selaput lendir rahim. Kedua komponen tersebut membentuk suatu kesatuan untuk keperluan pertukaran timbal balik faali antara induk dan fetus serta menghasilkan hormon-hormon (Sukra 2000). Pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir ditentukan oleh fungsi plasenta sebagai transport nutrisi antara induk dan embrio pada saat dalam kandungan. Mc Donald (1980) melaporkan bahwa dengan meningkatnya ukuran embrio, proses difusi pemberian makan terhadap embrio menjadi tidak cukup untuk mempertahankan hidup dan meneruskan pertumbuhannya, sehingga membran ekstra embrional berkembang sebagai sarana untuk mencukupi meningkatnya kebutuhan nutrisi. Pemberian hormon pertumbuhan akan mengakibatkan peningkatan kecepatan sintetis protein di seluruh sel-sel tubuh dan meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa, meningkatkan asam lemak bebas dalam darah, serta meningkatkan penggunaan asam lemak untuk energi (Guyton dan Hall 1997). Penelitian ini dilakukan untuk melihat pemberian bST pada tikus bunting pada hari kebuntingan ke ke 13, 17, dan 21 terhadap peningkatan perkembangan dan pertumbuhan plasenta. Bila pertumbuhan dan perkembangan plasenta berjalan dengan baik maka dapat diasumsikan bahwa asupan nutrisi dari induk ke fetus melalui plasenta menjadi lebih baik. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian bST terhadap pertumbuhan dan perkembangan plasenta tikus pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari. Hipotesa Hipotesis yang diuji adalah bST memberikan efek pada pertumbuhan dan perkembangan plasenta tikus pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari.
Manfaat Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan mengenai
efek penggunaan somatotropin pada organ reproduksi dalam upaya
peningkatan mutu dari ternak sehingga dapat dihasilkan ternak yang dapat tumbuh dengan baik dan maksimal, serta mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik pula ketika masa lepas sapih.
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus Tikus adalah hewan yang sering digunakan untuk penelitian-penelitian bidang reproduksi karena mempunyai siklus reproduksi yang pendek dan merupakan mamalia yang paling subur diantara mamalia lain (data mengenai biologi umum tikus disajikan pada Tabel 1). Tikus dapat berkembang biak dengan cepat, berukuran kecil, pemeliharaannya mudah tidak memerlukan biaya yang besar (Malole dan Pramono 1989). Tikus putih lebih cepat dewasa dibandingkan hewan coba lain seperti kelinci dan tidak memperlihatkan perkawinan musiman (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Klasifikasi tikus menurut Ballenger pada tahun 2001 adalah sebagai berikut : Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Sciurognathi
Familia
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Siklus Reproduksi Tikus Kemampuan reproduksi tikus sangat tinggi, dimana tikus dapat kawin sepanjang tahun dan mulai kawin pada umur 8-9 minggu. Siklus birahi tikus terjadi kira-kira tiap 4-5 hari, dan segera kembali sesudah beranak. Satu siklus birahi terdiri dari 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus dimana estrus sering terjadi pada malam hari dibanding pada siang hari. Tikus termasuk hewan yang bersifat poliestrus, karena dalam setahun estrus terjadi lebih dari 2 kali dan berulang secara periodik tanpa banyak variasi. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus, akan tetapi tikus tidak dikawinkan dalam masa estrus postpartum
supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Tikus mempunyai kemampuan reproduksi tinggi karena ditunjang oleh kematangan seksual yang cepat yaitu antara 2-3 bulan, masa bunting yang singkat yaitu antara 21-23 hari dan melahirkan keturunan dalam jumlah yang banyak hingga mencapai 20 ekor persekelahiran. Siklus reproduksi tikus putih terdiri dari beberapa fase yaitu : a.
Proestrus adalah fase persiapan, waktunya pendek dan terjadi perubahan tingkah laku serta alat kelamin bagian luar (Partodihardjo 1987). Fase ini berlangsung selama 12 jam dan pada sediaan apus vagina terlihat adanya sel-sel kecil dengan inti bulat (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
b. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina sehingga ciri khas dari estrus adalah terjadinya kopulasi, menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya (Partodihardjo 1987). Fase ini berlangsung selama 9-20 jam dan pada sediaan apus vagina terlihat sel epitel yang mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) c. Metestrus adalah fase yang terjadi segera setelah estrus selesai dan tidak terlihat nyata berlangsung kira-kira 21 jam. Pada fase ini terbentuk corpus luteum dan terjadi penghambatan pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus (Nalbandov 1990). Pada sediaan apus vagina tampak sel-sel kornifikasi dan mulai tampak leukosit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). d. Diestrus adalah periode terakhir dan terlama dari siklus birahi, dimana terjadi pematangan CL. Bila terjadi fertilisasi keberadaan CL akan dipertahankan, tetapi jika tidak terjadi regresi dari CL akibat pengaruh PGF2α (Hafez 1980). Fase ini berlangsung kira-kira 57-60 jam dan pada sediaan vagina terlihat sel-sel epitel dan leukosit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Tabel 1. Data Biologi Umum Tikus Parameter
Keterangan
Lama bunting
20-22 hari
Kawin sesudah beranak
1-24 jam
Umur disapih
21 hari
Umur dikawinkan/ pubertas
10 minggu
Siklus kelamin
poliestrus
Siklus estrus
4-5 hari
Lama estrus
9-20 jam
Ovulasi
8-11 jam setelah muncul estrus, spontan
Perkawinan
Pada waktu estrus
Fertilisasi
7-10 jam
Berat lahir
5-6 gram
Berat dewasa
Jantan : 300-400 gram Betina : 250-300 gram
Jumlah anak
Rata-rata 9 ekor
Plasenta
Diskoidal, hemokorial
Uterus
2 kornua, bermuara sebelum serviks
Perkawinan kelompok
3 betina 1 jantan
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo, 1988 Pada saat sesudah fertilisasi maka akan terjadi pembelahan sel dari zigot. Kemudian akan berkembang menjadi morula, blastula, dan gastrula.
Blastosis
(blastula dan gastrula) merupakan bentuk awal embrio yang susunannya terdiri atas kelompok sel dalam (inner cell mass) yang akan berkembang menjadi embrio, lapisan trophoblast, dan gastrosul. Lapisan trophoblast akan berkembang menjadi selaput ekstra embrionik yang akan berfungsi sebagai alat untuk kelangsungan hidup dan melindungi perkembangan embrio (Sukra 2000). Pada saat belum implantasi zigot memperoleh makanan dari sekresi kelenjar-kelenjar uterus yang berupa cairan uterine, sesudah implantasi memperoleh makanan dari saluran induk(Toelihere 1985).
Implantasi adalah proses yang berlangsung secara bertahap yaitu tahap persentuhan embrio dengan endometrium, terlepasnya zona pellucida, pergeseran atau pembagian tempat, dan pertautan antara trophoblast dengan epitel endometriun. Pada hewan politokus implantasi tiap-tiap embrio dalam uterus diatur oleh suatu mekanisme kontraksi myometrium hingga tidak terjadi pertimbunan embrio pada satu tempat,
melainkan
terjadi
penyebaran
keseluruh
permukaan
endometrium
(Partodihardjo 1987). Plasenta Plasenta adalah suatu tenunan yang tumbuh dari embrio dan induknya yang terjalin saat waktu proses pertumbuhan embrio.
Dalam plasenta terdapat dua
komponen ganda yaitu selaput embrional dan selaput lendir rahim (Sukra 2000). Menurut Frandson (1992) plasenta terdiri dari susunan membran sedemikian rupa yang berisikan selaput chorion yang merupakan membran paling luar yang berkontak langsung dengan uterus maternal, allantois yang terletak diantara korion dan amnion, amnion merupakan membran yang paling dekat dengan fetus, dan kuning-kuning telur vestigial (seperti yang terlihat pada Gambar 1).
Gambar 1. Susunan embrio dan Plasenta Sumber : embryology.med.unsw.edu.au/Notes/placenta5.htm (2007)
Tikus mempunyai bentuk plasenta tipe discoidal dan secara makroskopik susunan plasenta pada tikus yaitu hemoendothelial dimana pembuluh darah pada fetus masuk ke pool darah maternal, sehingga hanya endotel dari pembuluh darah fetal memisahkan sirkulasi induk dan anak (Frandson 1992). Fungsi Plasenta Plasenta berfungsi untuk pertukaran produk-produk metabolisme dan produk gas antara ibu dan janin seperti oksigen, karbon monoksida yang berlangsung secara difusi primitif, pertukaran nutrien dan elektrolit seperti asam amino, asam lemak bebas, karbohidrat, dan vitamin yang berjalan seiring usia kebuntingan, dan pemindahan antibodi induk oleh sinsitiotrophoblas dengan cara pinositosis dan selanjutnya diangkut ke pembuluh darah janin, dengan demikian janin memperoleh antibodi induk (Sadler 2000). Menurut Hafez (1980) peranan plasenta selama masa kebuntingan adalah sebagai transport, tempat penyimpanan, dan biosintetis. Pada blastosit, nutrisi berasal dari cairan uterine dan setelah terjadi perlekatan pada endometrium, nutrisi berasal dari produk yang dihasilkan dari metabolisme endometrium. Pada awal konseptus, embrio berkembang pada uterus (endometrium) dimana kebutuhan nutrisi diambil langsung dari maternal.
Dan ketika sirkulasi antara maternal dan fetal sudah
mencapai keseimbangan maka nutrisi diabsorbsi dari pembuluh darah maternal ke pembuluh darah fetal melalui placental barier. Mekanisme transport metabolit pada plasenta dilakukan secara difusi pasif, difusi fasilitatif, transport aktif, dan penyebaran bahan-bahan serta ada beberapa metabolit yang dapat memperoleh akses ke fetus melalui kontak trophoblast fetus dengan bagian uterus pada sisi plasenta (Ferrel 1989). Plasenta adalah organ endokrin kompleks yang mensintesa dan metabolisme sejumlah peptida, hormon dan transport nutrisi serta produk buangan.
Plasenta
menghasilkan 2 jenis hormon selama masa gestasi yaitu hormon steroid dan gonadotropin. Estrogen dan progesteron dihasilkan dibagian syncitial trophoblast
manusia, tikus, kucing, babi, dan sapi. Dan hormon gonadotropin diproduksi oleh placental cytotrophoblast (Hafez 1980). Menurut Guyton dan Hall (1997) plasenta menghasilkan beberapa hormon yaitu : 1. Pada manusia : Human Chorionic Gonadotropin yang meningkatkan pertumbuhan corpus luteum dan sekresi estrogen dan progesteron oleh korpus luteum. 2. Estrogen yang meningkatkan pertumbuhan organ kelamin induk dan beberapa jaringan janin. 3. Progesteron yang membantu perkembangan khusus dari endometrium uterus, peningkatan perkembangan dan beberapa jaringan dan organ janin, dan membantu meningkatkan perkembangan apparatus sekretori dari kelenjar mammae. 4. Pada manusia : Human somatomammotropin yang mungkin meningkatkan pertumbuhan beberapa jaringan janin serta membantu perkembangan kelenjar mammae. Sekresi ini akan
meningkat
dengan
adanya
peningkatkan ukuran plasenta dan disekresikan ke dalam sirkulasi fetus dan maternal (Ferrel 1989) Menurut Ferrel (1989) jaringan plasenta juga memproduksi prolaktin yang berperan dalam perkembangbiakan fetus. Peran ini merupakan pelayanan sebagai “hormon pertumbuhan” fetus, stabilisasi dari produksi prostaglandin uterus, dan mungkin dalam regulasi volume cairan amnion. Somatotropin Hormon merupakan zat kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh oleh satu sel atau sekelompok sel dan mempunyai efek pengaturan fisiologis terhadap selsel tubuh lain. Somatotropin (ST) adalah molekul protein kecil yang berasal dari adenohipofisis, terdiri atas 191 asam amino yang dihubungkan dengan rantai tunggal dan mempunyai berat molekul 22.005 serta berfungsi untuk pertumbuhan hampir seluruh sel dan jaringan tubuh (Guyton dan Hall 1997). ST disintetis dan dihasilkan
oleh pituitary anterior terutama oleh kelompok sel-sel asidofil khususnya sel-sel somatotrof (Muller et al 1999), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural, metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990). ST disekresi oleh kelenjar hipofisa sesuai dengan kebutuhan fisiologis yakni melalui dua pengaturan yaitu Growth Hormone Releasing Factor (GHRF) dan Growth Hormone Inhibiting Factor (GHIF). Setelah dikeluarkan oleh hipofisa ST akan diangkut melalui sistem aliran darah, namun karena molekulnya yang besar maka tidak dapat menerobos membran sel sehingga hormon memerlukan kehadiran reseptor spesifik di membran sel (Shahib 2001; Manalu 2001). ST mempengaruhi pertumbuhan berbagai jaringan target secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung somatotropin dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah merangsang produksi faktor pertumbuhan yaitu dengan merangsang pembentukan Insulin Like Growth Factor (IGF-I) di hati (Campbell et al 2004) dimana IGF-I mempunyai efek kuat dalam menstimulasi pertumbuhan. ST berperan penting dalam meningkatkan sintetis protein serta retensi protein di dalam tubuh, mencegah pemecahan protein secara berlebihan di dalam tubuh. Selain itu juga berperan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan bertindak untuk memperkuat di dalam meningkatkan pengaruh hormon-hormon lain (Turner dan Bagnara 1976). Dengan meningkatnya sintesa protein secara langsung berefek pada peningkatan pengangkutan asam amino melewati membran sel ke bagian dalam sel sehingga akan meningkatkan konsentrasi asam amino dalam sel dan juga akan meningkatkan transkripsi inti DNA untuk membentuk RNA, dimana ST akan merangsang transkripsi DNA dalam inti sehingga akan meningkatkan jumlah pembentukan RNA (Guyton dan Hall 1997). ST juga melakukan kerja terhadap selsel badan dan meningkatkan pemecahan glikogen (glikogenolisis). Disamping itu juga meningkatkan glukoneogenesis (sintesa glukosa dari precursor yang bukan asam amino, seperti piruvat, laktat dan gliserol). Sebaliknya, ST menurunkan glukoneogenesis dari asam-asam amino melalui penurunan aktivitas enzim transaminase dan juga meningkatkan pemecahan lemak (lipolisis) dengan meningkatkan aktivitas lipase yang sensitif terhadap hormon (Frandson 1992).
ST akan memacu gerakan asam-asam lemak tak berester dari depo lemak, sehingga mengakibatkan pengurangan lemak karkas dan menambah kandungan lipid plasma darah dan hati (Turner dan Bagnara 1976). Pemberian ST dapat meningkatkan bobot badan ternak, memperbaiki Feed Conversion Ratio (FCR), meningkatkan kualitas karkas karena menurunkan kandungan lemak dalam daging (Omega 2003). Pada babi yang disuntikkan ST, katabolisme protein dan efisiensi makanan meningkat serta daging yang dihasilkan mempunyai kadar lemak yang sangat rendah (Bush et al 2002; Davis et al 2004) dan pemberian ST pada tikus yang diambil hipofisisnya mengalami peningkatan bobot badan .
Bovine Somatotropin Bovine somatotropin (bST) merupakan hormon protein
diproduksi oleh
kelenjar pituitary sapi yang terdapat pada dasar otak hewan dan bekerja penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi tubuh hewan. bST yang diberikan secara injeksi bukan dengan peroral karena mengakibatkan penghambatan dan inaktivasi pembentukan asam amino dan peptida dalam saluran cerna (Biotech 2003). bST didapatkan dari kelenjar pituitary sapi yang diambil dan diekstraksi, tetapi hanya dalam jumlah yang kecil dan harganya sangat mahal. Dengan adanya kemajuan teknologi
pembuatan bST dilakukan dengan membuat rekombinan bST dengan
mengambil gen yang berespon terhadap produksi bST dari sapi, yang diidentifikasi dari jaringan sel sapi. Gen tersebut diisolasi dan diinokulasikan ke dalam bagian plasmid bakteri Eschericia coli. Dimana bakteri ini sering ditemukan dalam saluran pencernaan hewan maupun manusia. Kemudian hasil dari bakteri tersebut dimurnikan dan disuntikkan lagi ke sapi, untuk digunakan dalam upaya peningkatan produksi dan reproduksi sapi (seperti pada Gambar 2). bST mampu mempercepat pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan RNA dalam inti sel
sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma (Hardjopranjoto 1995). E. coli
Natural bST Gene
bST
Gene Insertion Fermentation
Isolation and Purification of Protein
Gambar 2 Produksi bST (bovine Somatotropin) Sumber : Biotech 2003 Efek fisiologi dari penggunaan bST adalah peningkatan produksi dari sapi seperti peningkatan produksi susu dan berpengaruh pada reproduksi jika diberikan pada dosis tinggi dapat mengakibatkan peningkatan kematian embrio, sehingga pemberian bST sebaiknya dilakukan pada awal kebuntingan (Biotech 2003). Pemberian bST efektif untuk merangsang pertumbuhan tikus tetapi tidak untuk manusia (Harper et al 1979), hal ini dikarenakan somatotropin pada sapi dan tikus memiliki kesamaan beberapa asam amino pembentuk hormon tersebut (Turner dan Bagnara 1976). Pemberian bST pada tikus akan mengakibatkan pertambahan berat badan terus-menerus (Turner dan Bagnara 1976). DNA dan RNA DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) adalah asam nukleotida, biasanya dalam bentuk heliks ganda yang mengandung instruksi genetik yang menentukan
perkembangan biologis dari seluruh bentuk kehidupan sel. Berbentuk polimer panjang nukleotida, mengkode barisan residu asam amino dalam protein dengan menggunakan kode genetik, sebuah kode nukleotida triplet, dengan nukleotida terdiri dari empat tipe: Adenine (A), Guanine (G), Cytosine (C), dan Thymine (T). DNA seringkali dirujuk sebagai molekul hereditas karena ia bertanggung jawab untuk penurunan sifat genetika dari kebanyakan ciri yang diwariskan. Informasi genetika yang diwariskan oleh keturunan dari suatu organisme ditentukan oleh barisan pasangan basa.
Sebuah untai DNA mengandung gen, sebagai ”cetak biru”
organisme. DNA membuat genom organisme (Hadi dan Nurlaila 2006). Selama pembelahan sel, DNA direplikasi dan dapat diteruskan ke keturunan selama reproduksi. Ribo Nucleid Acid (RNA) atau asam ribonukleat terdiri dari benang panjang ribonukleotida.
Tiap ribonukleotida terdiri dari gula pentose, molekul gugusan
phospat, dan sebuah basa nitrogen. Berbeda dengan DNA, basa timin tidak terdapat pada RNA melainkan digantikan dengan basa Urasil (U) (Suryo 1986). Molekul ini jauh lebih pendek dari DNA dan ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak didalam sel. Terdapat 3 golongan utama RNA adalah RNA data (mRNA), RNA pemindah, dan RNA ribosom. mRNA berfungsi sebagai cetakan yang digunakan oleh ribosom untuk melangsungkan proses translasi informasi genetik. Urutan nukleotida mRNA bersifat komplementer dengan pesan genetik yang terkandung di dalam potongan spesifik untai cetakan DNA (Lehninger 1998). Gen merupakan unit fungsional materi genetik dan DNA merupakan unit struktural atau kimia dari gen. Gen berfungsi mengatur kehidupan sel dan individu. Gen bekerja mengatur kehidupan lewat dua proses: 1) replikasi; 2) transkripsi. Replikasi atau mengganda, ialah menggandanya sepasang DNA yang double-helix anti-paralel
menjadi
dua
pasang
yang
susunan
basanya
persis
sama.
Replikasi ini bertujuan untuk pembelahan sel. Pembelahan sel bertujuan untuk perbiakan, pertumbuhan sejak embrio, lahir dan sampai dewasa, regenerasi bagian tubuh yang lepas dan untuk menyembuhkan bagian tubuh yang rusak.
Setelah
replikasi disusul dengan menggandanya kromosom jadi sepasang kromosom anak.
Tiap
belah
kromosom
anak
akan
mengisi
inti
sel
anak.
Transkripsi ialah mencetak RNA yang bertujuan untuk sintesa protein.
Sintesa
protein dibuat untuk pembentukan sejumlah enzim yang mengkatalisa sintesa berbagai organik lain dalam sel. Jika gen aktif bereplikasi atau transkripsi maka ikatan hidrogen jadi lepas dan tiap utas jadi terentang lurus. Jika seluruh panjang satu molekul atau fragmen DNA lepas demikian, disebut denaturasi, artinya tidak dalam keadaan alami (Yatim 2000). Sintesa Protein Protein mempunyai peranan penting dalam organisasi struktural dan fungsional dari sel. Proses pembuatan protein menyangkut informasi genetik yang beralih dari asam nukleat ke protein. Tahap pertama ini dikenal dengan proses transkripsi, dimana tidak menimbulkan perubahan dalam kode, karena DNA dan RNA data adalah komplementer.
Tahap kedua adalah proses translasi, dimana
menimbulkan perubahan dalam kode yaitu dari urutan nukleotida ke urutan asam amino (Suryo 1986). Hormon pertumbuhan meningkatkan transkripsi inti DNA, sehingga meningkatkan jumlah pembentukan RNA yang mana akan berdampak pada peningkatan sintetis protein.
Dan juga terjadi peningkatan translasi RNA yang
menyebabkan jumlah protein yang disintesis oleh ribosom di dalam sitoplasma bertambah (Guyton dan Hall 1997)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada bulan MeiDesember 2006. Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus betina dari spesies Rattus norvegicus, galur Sprague-Dawley paritas kedua dan berumur ± 16 minggu serta tikus jantan berumur ± 16 minggu untuk mengawini betina. Untuk mendapatkan tikus betina bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan betina dalam satu kandang. Kebuntingan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan vagina. Pemeliharaan tikus bunting dilakukan kandang hewan coba FKH IPB dan setiap tikus dikandangkan secara terpisah dalam kandang yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm X 20 cm X 12 cm dan dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Pakan dan air minum dilakukan ad libitum. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah hormon somatotropin (bST), minyak jagung, eter, dan alkohol. Selain itu juga digunakan zat-zat kimia, antara lain untuk pengujian kadar RNA : TCA 5%, KOH 1 N, H2O, HCN 1 N, FeCl 0.1 %, orcinol, dan standar RNA. Untuk pengujian kadar DNA : TCA 5%, P-nitrofenilhidrazin, nbutilasetat, NaOH 2 N, dan standar DNA. Peralatan yang digunakan adalah alat suntik, timbangan analitik, tabung reaksi dan rak, penangas air, pinset, gunting, sentrifuge, refrigerator, drop pipet dan pipet Pasteur, dan spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi.
Metode Penelitian Sebanyak 36 tikus betina bunting dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu K (kelompok kontrol) yang tidak diberi perlakuan apapun, M (kelompok minyak) yang disuntik dengan minyak jagung dengan dosis 0 mg bST/kg BB, dan H (kelompok hormon) yang disuntik dengan hormon somatotropin dengan dosis 9 mg bST/kg BB (Azain et al 1993). Penyuntikan dilakukan secara intra muskular (IM) pada bagian otot paha belakang kiri dan kanan secara bergantian setiap hari, dimulai pada usia kebuntingan hari ke 4 sampai dengan hari ke 12. Fetus dikorbankan pada usia kebuntingan 13, 17, dan 21 hari untuk mengukur pertumbuhan dan perkembangan plasenta melalui pengukuran bobot, kandungan DNA, dan RNA baik dari kelompok M atau H masing-masing dengan jumlah 4 ekor. Cara Kerja Pembedahan tikus dilakukan untuk mengeluarkan plasenta bersama dengan fetus. Plasenta yang akan dianalisis dimasukkan kedalam alkohol 70 % dan kemudian dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven sehingga diperoleh bahan kering bebas lemak (BKBL). Dengan menggunakan mortar, plasenta dihaluskan hingga menjadi tepung dan hasilnya yang digunakan untuk pengujian DNA dan RNA. Metode penentuan kadar DNA dan RNA, dilakukan sesuai yang dilakukan oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). 1. Prosedur penentuan kadar Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) Prinsip dari metode ini adalah terjadinya hidrolisis DNA dalam TCA. Hidrolisis ini akan mengakibatkan terjadinya reaksi pewarnaan spesifik dengan pnitrofenilhidrazin dan NaOH serta pemecahan ikatan deoksiribose oleh pemanasan. Pengembangan warna berakhir dengan penambahan n-butilasetat dan konsentrasi DNA yang didasarkan kepekatan warna larutan dapat dibaca dengan spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi dengan panjang gelombang 560 µm. Tahap awal dari penentuan kadar DNA adalah tahap ekstraksi sampel. Sampel berupa bahan kering bebas lemak (BKBL) ditimbang sebanyak ±12.5 mg dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setiap sampel ditambahkan TCA 5% sebanyak
2.5 ml, tabung reaksi ditutup dengan tutup beraluminium foil, kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah itu, didinginkan dalam penangas air dingin selama 5 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 20 menit. Proses sentrifuge ini menghasilkan supernatan (1). Supernatan ini dituang ke dalam tabung reaksi dan disimpan. Endapan yang diperoleh diekstraksi ulang. Dari hasil ekstraksi ini diperoleh supernatan (2). Supernatan (1) dan (2) dicampurkan, kemudian diencerkan dengan TCA 5% hingga volumenya menjadi 7.5 ml, kemudian disimpan dalam refrigerator/ice box selama satu malam. Tahap berikutnya adalah pewarnaan dan pengujian kadar DNA. Hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan tabung reaksi yang telah dilabel untuk pembuatan blank, standar dan juga semua sampel. Standar DNA dibuat dengan konsentrasi seperti pada Tabel 2. Selanjutnya untuk masing-masing tabung diisi dengan reagen seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Konsentrasi standar DNA Konsentrasi
Standar
Absorbent
0
Blank (1 ml H2O)
0
5
12.5 μl stock + 987.5 μl H2O
0.003
10
25 μl stock + 975 μl H2O
0.069
20
50 μl stock + 950 μl H2O
0.088
50
125 μl stock + 875 μl H2O
0.145
100
250 μl stock + 750 μl H2O
0.194
200
500 μl stock + 500 μl H2O
0.317
400
1000 μl (1 ml)
0.443
(μg/ml)
Tabel 3. Konsentrasi reagen untuk uji kadar DNA p-nitrofenil
Tabung
Hidrazin
TCA 5%
Vol. akhir
Blank Standar 400
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
Standar 200
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
Standar 5
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
Sampel 1
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
Sampel 2
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
1 ml
0.1 ml
1 ml
2.1 ml
.
. Sampel 36
Semua tabung ditutup dengan aluminium foil dan diletakkan kembali pada penangas air mendidih selama 20 menit, kemudian didinginkan selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan n-butilasetat (2.5 ml) dan dikocok selama 7 kali, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Aliquots yang terbentuk diambil 1.5 ml dan ditambahkan 0.5 ml NaOH 2 N pada setiap tabung. Larutan diencerkan dengan ditambahkan H2O sebanyak 0.5 ml. Larutan divorteks, selanjutnya dibaca dengan spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi dengan panjang gelombang 560 µm. Sebelumnya alat dipanaskan 15 menit dan setiap 25 sampel distandarisasi lagi untuk blanko. Faktor pengenceran sampel adalah 12.5 mg BKBL/7.5 ml TCA 5% = 1.67 mg BKBL/ml. Sampel yang dibaca sebanyak 1 ml = 1 x 1.67 = 1.67 mg BKBL. Misal hasil baca spektrofotometer = Y μg/ml. Jadi konsentrasi DNA sampel = Y/1.67 μg/mg BKBL. 2. Prosedur penentuan kadar Ribo Nucleic Acid (RNA) Tahap awal dari penentuan kadar RNA adalah tahap ekstraksi sampel. Sampel berupa bahan kering bebas lemak (BKBL) ditimbang sebanyak ± 12.5 mg dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setiap sampel ditambahkan KOH 1 N sebanyak 1.5 ml, kemudian tabung reaksi ditempatkan pada penangas air 37oC selama 5 jam. Setelah itu, tabung reaksi ditempatkan di dalam wadah yang berisi es dan ditambahkan 150 μl HCL 6 N. Masih di tempat yang sama, larutan ditambahi 1.65 ml TCA 5% sehingga terbentuk larutan putih keruh. Larutan yang terbentuk disentrifuge dengan kecepatan 1800 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil ekstraksi pertama dan kedua diencerkan sampai volume 7.5 ml dengan TCA 5%. Tahap berikutnya setelah tahap ekstraksi adalah tahap pewarnaan, kedua tahap ini harus dilakukan pada hari yang sama. Tahap pewarnaan dan pengujian RNA diawali dengan mempersiapkan tabung reaksi untuk blank, standar dan sampel. Untuk pembuatan standar RNA, digunakan stock RNA standar stock 2 mg/ml (2000 μg/ml).
Standar RNA dibuat dengan
ketentuan seperti pada Tabel 4. selanjutnya masing-masing tabung diisi reagen sesuai dengan Tabel 5. Tabel 4. Konsentrasi standar RNA Konsentrasi
Standar
Absorbent
0
Blank (1 ml H2O + 1 mlTCA 5%)
0
10
5 μl stock + 995 μl H2O
0.078
20
10 μl stock + 990 μl H2O
0.190
40
20 μl stock + 980 μl H2O
0.482
60
30 μl stock + 970 μl H2O
0.706
80
40 μl stock + 960 μl H2O
0.845
100
50 μl stock + 950 μl H2O
1.133
200
100 μl + 900 μl H2O
2.171
(μg/ml)
Tabel 5. Labeling untuk pewarnaan dan pengujian kadar RNA Tabung FeCl3 0.1% Orcinol Blank
Vol. akhir
1 ml H2O 1 ml TCA 5%
Standar a
0.5 ml standar 200
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
Standar b
0.5 ml standar 100
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
Standar h
0.5 ml standar 0
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
Sampel 1
0.5 ml sampel 1
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
Sampel 2
0.5 ml sampel 2
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
0.5 ml sampel 36
1 ml
0.1 ml
1.6 ml
.
. Sampel 36
Larutan akan berwarna kuning, selanjutnya semua tabung ditutup dengan tutup beraluminium foil dan diletakkan pada penangas air mendidih selama 30 menit dan diusahakan pemanasan merata untuk setiap tabung sehingga larutan akan berwarna hijau. Konsentrasi RNA di dalam tabung dibaca dengan spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi dengan panjang gelombang 670 μm dan sebelumnya alat dipanaskan 15 menit, setiap 25 sampel distandarisasi lagi untuk blanko. Faktor pengenceran sampel adalah 12.5 mg BKBL/7.5 ml TCA 5% = 1.67 mg BKBL/ml. Sampel yang dibaca sebanyak 0.5 ml = 0.5 x 1.67 = 0.835 mg BKBL. Misalkan hasil baca spektrofotometer = Y μg/ml. Jadi konsentrasi RNA sampel = Y/0.835 μg/mg BKBL. Analisis Statistik Data dianalisis dengan uji sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (Steel and Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dziuk (1992) menyatakan bahwa potensi pertumbuhan anak dipengaruhi oleh kondisi sejak berada dalam kandungan maka asupan nutrisi untuk fetus harus bagus. Pemberian bovine Somatotropin (bST) dengan dosis 0 mg/kg BB dan 9 mg/kg BB secara IM pada tikus putih bunting dilakukan untuk melihat kemampuannya dalam meningkatkan fungsi dari plasenta dalam pertukaran nutrisi dan metabolit dari induk ke anak dan sebaliknya. Tabel 6 menyajikan data pengaruh penyuntikan bST pada hari kebuntingan 4 sampai dengan 12 terhadap pertumbuhan dan perkembangan dari plasenta tikus bunting 13, 17, dan 21 hari. Tabel 6. Bobot basah, bobot kering, kadar air, pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari. Usia Parameter
Kebuntingan
Kontrol
(hari) Bobot basah (g) BKBL (g)
Kadar Air (%)
bST 0
bST 9
mg/KgBB
mg/KgBB
13
0.795 ± 0.164a
1.270 ± 0.748a
0.717 ±0.257a
17
0.282 ± 0.038a 0.579 ± 0.046a
0.291 ±0.051a
21
0.279 ± 0.071a 0.528 ± 0.127a
13
0,038 ± 0,035b
0,115 ± 0,029a
0,120 ±0,029a
17
0,039 ± 0,004a
0,038 ± 0,011a
0,034 ±0,008a
21
0,082 ± 0,011a
0,079 ± 0,013a
0,085 ±0,009a
13
94,97 ± 5,01a
87,14 ± 8,76a
82,41 ± 3,43b
17
86,04 ± 0,72a
86,42 ± 2,43a
88,12 ± 1,70a
21
85,97 ± 0,87ab
84,78 ± 0,98b
86,49 ± 0,67a
0.628 ±0.069a
Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan bahwa data tidak berbeda nyata (p>0.05) Bobot basah dan kering hari 13 : Bobot plasenta + fetus BKBL = Bobot Kering Tanpa Lemak
Bobot Basah (g)
1.1 0.6 0.1 13
17
21
Hari kebuntingan
Hormon
Minyak
Kontrol
BKBL (g)
Gambar 3a. Bobot Basah Plasenta
0.16 0.11 0.06 0.01 13
17
21
Hari kebuntingan Hormon
Minyak
Kontrol
Gambar 3b. Bobot Kering Bebas Lemak Plasenta
Kadar Air (%)
100 95 90 85 80 13
17
21
Hari kebuntingan Hormon
Gambar 3c. Kadar Air Plasenta
Minyak
Kontrol
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bST 9 mg/kg BB hanya memberikan pengaruh terhadap bobot kering bebas lemak plasenta. Ini terlihat bahwa pada hari ke-13 kebuntingan bobot kering bebas lemak plasenta lebih tinggi dibandingkan dengan kedua perlakuan lain tetapi tidak diiringi dengan peningkatan bobot basah. Hal ini menunjukkan bahwa bST tidak meretensi air tetapi justru menaikkan proliferasi sel-sel plasenta. Penyuntikan bST pada tikus dilakukan pada hari ke 4 sampai dengan 12 kebuntingan sedangkan masa plasentasi pada tikus terjadi pada umur kebuntingan 12 hari sehingga pemberian bST dapat diandalkan untuk membantu proses tersebut. Secara fisiologis pada awal-awal kebuntingan plasenta belum tumbuh sempurna dimana membran plasma masih berbentuk padat dan belum terisi cairan serta belum berkembang sepenuhnya sehingga daerah permukaannya sempit karena plasenta belum tumbuh sempurna, tetapi seiring dengan pertambahan umur kebuntingan dan pertumbuhan umur fetus terjadi peningkatan konduktivitas dan permeabilitas mengakibatkan penipisan lapisan-lapisan difusi membran dan daerah permukaan menjadi sangat luas (Guyton dan Hall 1997). Hal ini yang menyebabkan bobot kering bebas lemak lebih tinggi secara signifikan pada umur kebuntingan 13. Selain itu peningkatan yang terjadi pada umur kebuntingan 13 karena plasenta dan fetus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila terlihat adanya peningkatan bobot basah pada plasenta pada hari ke 17 dan 21 umur kebuntingan karena pada umur tersebut fungsi plasenta telah berlangsung
baik
dalam
penyaluran
nutrisi,
menghasilkan
hormon
untuk
mempertahankan kebuntingan serta transfer air yang digunakan untuk memperluas ruang cairan (Ferrel 1989). Dan juga dengan meningkatnya ukuran embrio, maka proses difusi tidak mencukupi lagi sehingga membran ekstrak embrional diperlukan sebagai sarana untuk mencukupi meningkatnya kebutuhan nutrisi yang lebih banyak (Mc Donald 1980). Seiring dengan pertumbuhan umur kebuntingan hari 17 dan 21, terjadi peningkatan bobot basah hal ini karena adanya peningkatan vaskularisasi selama akhir kebuntingan yang ditujukan untuk peningkatan sirkulasi nutrisi dari induk ke
fetus dan sisa metabolit dari fetus ke induk. Peningkatan bobot basah juga diduga sebagai
pengaruh
fungsi
plasenta
dalam
menghasilkan
hormon
untuk
mempertahankan kebuntingan dan proses reproduksi lainnya yang semakin meningkat misalnya plasenta akan
menghasilkan placental lactogen yang dapat
meningkat dengan adanya peningkatan ukuran plasenta dan hormon ini disekresikan ke dalam sirkulasi fetus dan maternal (Ferrel 1989). Tabel 7. Konsentrasi dan total DNA dan RNA pada umur kebuntingan 13, 17, dan 21 hari. Usia Parameter
Kebuntingan
Kontrol
(hari)
bST 0
bST 9
mg/KgBB
mg/KgBB
13
101,68 ± 7,22b
140,35 ± 21,37a
162,33 ± 35,31a
17
83,40 ± 9,72b
116,45 ± 44,34b
228,08 ± 45,66a
21
68,37 ± 8,76b
173,82 ± 43,88b
405,08 ±133,72a
Total DNA
13
3,839 ± 3,632b
16,156 ± 4,565a
19,471 ± 6,987a
(μg/BKBL)
17
3,111 ± 0,788b
4,543 ± 1,617ab
5,779 ± 1,414a
21
5,350 ± 0,213b
14,041 ± 3,464b
35,035 ± 14,391a
13
110,28 ± 5,82b
117,48 ± 11,08ab
125,47 ± 7,90a
17
101,56 ± 17,17a
117,39 ± 2,40a
117,99 ± 9,02a
21
97,26 ± 14,27a
92,68 ± 11,10a
92,68 ± 11,10a
13
4,093 ± 3,745b
13,469 ± 3,436a
14,922 ± 3,156a
17
3,788 ± 1,201a
4,601 ± 0,332a
4,055 ± 0,903a
21
7,605 ± 0,491a
7,488 ± 0,635a
7,573 ± 1,166a
Konsentrasi DNA (μg/mgr)
Konsentrasi RNA (μg/mgr) Total RNA (μg/BKBL)
Keterangan : Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan bahwa data tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambaran
pengaruh
penyuntikan
bST
terhadap
perkembangan
dan
pertumbuhan plasenta dapat terlihat dengan adanya peningkatan yang signifikan pada konsentrasi DNA. Peningkatan tersebut terlihat dari hari kebuntingan ke 13, 17, dan 21 pada setiap kelompok hormon maupun kelompok minyak dibandingkan dengan
kontrol (seperti pada Gambar 4). Terjadinya peningkatan konsentrasi DNA pada kelompok minyak dan hormon dapat diasumsikan adanya faktor cekaman dan stres sehingga menyebabkan dikeluarkannya growth hormon endogen, glukagon, dan hormon lain (Guyton dan Hall 1997). Penyuntikan bST mempunyai pengaruh untuk meningkatkan proliferasi sel seperti sel trophoblast yang nantinya akan berkembang membentuk penonjolan-penonjolan vili plasenta yang berguna untuk transfer nutrien. DNA mengandung instruksi genetik yang menentukan perkembangan biologis (Hadi dan Nurlaila 2006) dan menurut Guyton dan Hall (1997) dengan pemberian somatotropin dapat mengakibatkan peningkatan transkripsi inti DNA yang
Konsentrasi DNA (mikrogram/mg)
berpengaruh pada peningkatan RNA. 400 350 300 250 200 150 100 50 13
17
21
Hari kebuntingan
Hormon
Minyak
Kontrol
Gambar 4. Konsentrasi DNA Plasenta Pada hari ke 13 dan 17 terjadi peningkatan kadar konsentrasi RNA secara signifikan. Peningkatan konsentrasi RNA terjadi seiring dengan peningkatan kadar DNA (seperti pada Gambar 5). Hal ini terjadi karena adanya peningkatan transkripsi inti DNA untuk membentuk RNA, dimana ST akan merangsang transkripsi DNA dalam inti sehingga akan meningkatkan jumlah pembentukan RNA (Guyton dan Hall 1997). Peningkatan kadar RNA juga berarti terjadi peningkatan sintetis protein. Protein mempunyai peranan penting dalam organisasi struktural dan fungsional dari sel, dimana protein menghasilkan beberapa komponen sel dan beberapa bagian diluar sel dan protein fungsional (misalnya enzim) yang akan mengawasi hampir semua
kegiatan metabolisme, biosintesa, pertumbuhan, pernafasan, dan perkembangbiakan
Konsentrasi RNA (mikrogram/BK)
dari sel (Suryo 1986) 150 140 130 120 110 100 90 80 13
17
21
Hari kebuntingan Hormon
Minyak
Kontrol
Gambar 5. Konsentrasi RNA Plasenta Pada hari kebuntingan ke 13 dan 17 terjadi peningkatan proliferasi sel diiringi dengan peningkatan aktivitas sintetis sel-sel pada plasenta dimana pada usia kebuntingan 13 kadar RNA adalah yang tertinggi, yaitu saat awal penghentian pemberian bST (pada hari ke 12). Somatotropin merangsang aktivasi sintesa protein pada sel-sel yang mengalami proliferasi. Mendekati hari terjadinya partus (yaitu pada usia kebuntingan 21) aktivitas sel-sel ini terlihat menurun bila dilihat dari kadar RNA. Proliferasi sel yang terjadi pada hari ke 21 tidak lagi diiringi oleh aktivitas sintesa sel-sel tersebut. Penurunan ini diduga karena efek bST sudah mulai berkurang dan juga kinerja dari plasenta mulai menurun, sedangkan pada hari ke 21 kadar DNA yang masih tinggi diduga karena efek endogenous estrogen yang mulai meningkat saat menjelang partus. Yamashita et al (1990) menyatakan bahwa proliferasi sel-sel uterus diatur oleh estrogen, sehingga dapat diasumsikan bahwa estrogen juga menyebabkan proliferasi sel-sel pada plasenta. Plasenta berfungsi untuk pertukaran produk-produk metabolisme dan produk gas antara peredaran darah ibu dan janin, pembentukan hormon, pertukaran gas seperti oksigen, karbon monoksida yang berlangsung secara difusi primitif,
pertukaran nutrien dan elektrolit seperti asam amino, asam lemak bebas, karbohidrat, dan vitamin yang berjalan seiring usia kebuntingan.
Selain itu plasenta juga
berfungsi dalam pemindahan antibodi induk yang diambil oleh sinsitiotrophoblast dengan cara pinositosis dan selanjutnya diangkut ke pembuluh darah janin sehingga janin memperoleh antibodi induk (Sadler 2000). Plasenta juga menghasilkan hormon yang berfungsi untuk menjaga fetus selama kebuntingan seperti estrogen, progesteron, dan placental lactogen. Bila pertumbuhan dan perkembangan plasenta menjadi sangat optimal maka semua fungsi plasenta yang telah disebutkan diatas juga menjadi semakin baik. Ini akan memberikan keuntungan atau manfaat bagi pertumbuhan fetus yang dikandung sehingga menjadi lebih baik. Kondisi fetus yang baik saat dalam kandungan sangat menentukan kualitas hidup anak yang akan dihasilkan. Sebagai konsekuensi dari pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik, diharapkan anak yang lahir dapat mempunyai daya tahan hidup sampai dewasa. Daya tahan anak pada usia lepas sapih biasanya sangat rentan bila anak tersebut tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup baik pada saat dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. Kondisi saat dalam kandungan banyak ditentukan oleh lingkungan mikro uterus dan plasenta sedangkan kondisi anak setelah dilahirkan tergantung dari air susu induk yang ditentukan oleh kualitas kelenjar ambing.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Pemberian bST dengan dosis 9 mg/kg BB pada usia kebuntingan 4 sampai dengan 12 hari mempunyai efek pada pertumbuhan dan perkembangan plasenta yaitu meningkatkan kadar DNA, tetapi bST tidak mempengaruhi aktivitas sintetis sel (RNA). SARAN Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan untuk melihat pengaruh bST terhadap ketahanan hidup anak setelah lahir mengingat jika fetus mendapatkan nutrisi yang baik maka anak yang dihasilkan akan memiliki daya tahan hidup yang baik.
DAFTAR PUSTAKA APHIS. 2003. Bovine Somatotropin. www.aphis.usda.gov/vs/ceah/cahm. [ 17 februari 2007] Azain MJ, Kasser TR, Sabacky MJ, Baile CA. 1993. Comparison of GrowthPromoting Properties of Daily Versus Continous Administration of Somatotropin in Female Rats With Intact Pituitaries. J Anim Sci 71 : 384-392. Ballenger L. 2001. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web. Http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_nov ergicus.html. [2004] Biotech. 2003. Biotechnology Information Series. Http.// www. biotech. iastate. edu/ biotech_info_series/bio3. html. [17 februari 2007]. Bush JA et al. 2002. Somatotropin Induced Amino Acid Conservation in Pigs Involves Differential Regulation of Liver and Gut Area Cycle Enzyme Activity. J Nutr 132 : 59-67. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biology (Biologi jilid III). Edisi 5. Manalu W (Alih bahasa). Terjemahan dari : Jakarta : penerbit Erlangga. Davis TA et al. 2004. Somatotropin Regulation of Protein Metabolism in Pigs. J Anim Sci 82 : 207-210 Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrinologi. Vol 1. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Dziuk PJ. 1992. Embryonic Development and Fetal Growth. In: Clinical Trends and Basic Research In Animal Reproduction. Dieleman SJ, B Collenbrander, P Booman, T Van Der Lende (Edt). Anim. Reprod. Sci. 28 : 59-308. Ferell CL. 1989. Placental Regulation of Fetal Growth. In : Animal Growth Regulation. DR Campion, GJ Hausman, RJ Martin (Editors). New York and London : Plenum Press. pp : 3-15. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi IV. B Srigandono, Koen P (Alih bahasa). Yoygakarta: Gajah Mada University Press. Guyton AC, Hall JE. 1997. Text Book of Medical Physiology (Fisiologi Kedokteran. Edisi XI). Irawati S, Ken AT, Alex S (Alih bahasa). Jakarta: ECG. Hadi M, Nurlaila I. 2006. Soliton dan DNA. Http:// www.nano. lipi. go. id. [5 juli 2006].
Hafez ESE. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4th edition. Philadelphia: Lea & Febinger. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press. Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Physiological Chemistry. Los Altos California: Lange Medical Publicatoins. Hill
M .2007. Placenta embryology.med.unsw.edu.au/Notes/placenta5.htm. [20 juli 2007]
Histology
Johnson M, Barry E. 1984. Essential Reproduction. Second Edition. Boston Melbourne: Blackwell Scientific Publications. Lehninger AL. 1998. Principles Of Biochemistry (Dasar-dasar Biokimia). Maggy Thenawidjaja (Alih bahasa). Jakarta: Penerbit Erlangga. Malole MBM, CS Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Maternal serum progesteron concentration during gestation mammary gland growth and development at parturition in javanese thin-tail ewes with carrying a single or multiple fetuses. Small Rum Ress 27 : 131-136. Manalu W. 2001. Somatotropin dalam industri peternakan sapi perah. Prosiding Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak : Bandung, 3 Februari 2001, Bandung : Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Hlm: 1-5 Mc Donald LE. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. 3rd Edit . Philadelphia: Lea and Febringer. pp: 21-23. Muller EE, Locatelli V, Cocchi D. 1999. Neuroendocrine Control of Growth Hormone Secretion. Physiological Reviews 79 : 511-607. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mammalia dan Unggas. Jakarta: University Indonesia Press. Omega MP. 2003. Hormon Pemacu Pertumbuhan dan Efeknya Bagi Kesehatan. Http:// www. sinar harapan. co. id/ iptek/ kesehatan/2003/096/ kes2. html. [24 januari 2006].
Partodihardjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Sadler TW. 2000. Langman’s Medical Embriology (Embriologi kedokteran Langman). Joko S (Alih bahasa) Jakarta: EGC. Shahib NM. 2001. Hormon dari Klinik Ke Bioteknologi. Prosiding Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak : Bandung, 3 Februari 2001, Bandung : Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. hlm 6-13 Smith JB, S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Depok: UI Press. Sukra Y. 2000. Wawasan Ilmu Pengetahuan Embrio Benih Masa Depan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B (Alih bahasa). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suryo. 1986. Genetika . Yoygakarta: Gajah Mada University Press. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung. Turner CD, JT Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Ed.6. Yogyakarta: Airlangga University Press. Yamashinta S, Newbold RR, Melachan JA, Korach KS. 1990. The roles of estrogen receptor in uterine epithelium proliferation and cytodifferentiation in neonatal mice. Endocrinology 127 : 2456-2463. Yatim
www.kompas.com/kompasW. 2000. Gen dan DNA. cetak/0010/20/iptek/rnap42. htm. 24k_[20 oktober 2000]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.716 0.358 1.65 0.246 Model Error
9
1.956
Corrected Total
11
2.672
0.217
Lampiran 2. Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.00029 0.00014 0.05 0.954 Model Error
9
0.02751
Corrected Total
11
0.02780
0.00306
Lampiran 3. Analisa data hasil penghitungan bobot basah plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.01991 0.00995 1.30 0.319 Model Error
9
0.06887
Corrected Total
11
0.08877
0.00765
Lampiran 4. Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.017117 0.008558 8.78 0.008 Model Error
9
0.008775
Corrected Total
11
0.008775
0.000975
Lampiran 5. Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.0000472 0.0000236 0.36 0.709 Model Error
9
0.0005945
Corrected Total
11
0.0006417
0.000066
Lampiran 6. Analisa data hasil penghitungan bobot kering bebas lemak plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 0.000056 0.000028 0.22 0.805 Model Error
9
0.001135
Corrected Total
11
0.001191
0.000126
Lampiran 7. Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 321.8 160.9 4.25 Model Error
9
340.9
Corrected Total
11
662.7
37.9
Lampiran 8. Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 9.84 4.92 1.59 Model Error
9
27.91
Corrected Total
11
37.75
Pr>F 0.050
3.10
Pr>F 0.257
Lampiran 9. Analisa data hasil penghitungan kadar air plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 6.182 3.091 4.30 Model Error
9
6.470
Corrected Total
11
12.652
Pr>F 0.049
0.719
Lampiran 10. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 7543 3771 6.44 0.018 Model 2 Error
9
5267
Corrected Total
11
12810
585
Lampiran 11. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 45980 22990 16.64 0.001 Model Error
9
12435
Corrected Total
11
58415
1382
Lampiran 12. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi DNA plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 237292 118646 17.90 0.001 Model Error
9
59650
Corrected Total
11
296942
6628
Lampiran 13. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 542.8 271.4 9.83 Model Error
9
248.5
Corrected Total
11
791.3
27.6
Lampiran 14. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 14.26 7.13 4.09 Model Error
9
15.70
Corrected Total
11
29.96
9
657.5
Corrected Total
11
2520.7
Pr>F 0.055
1.74
Lampiran 15. Analisa data hasil penghitungan total DNA plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 1863.3 931.6 12.75 Model Error
Pr>F 0.005
Pr>F 0.002
73.1
Lampiran 16. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 461.9 230.9 3.16 0.091 Model Error
9
657.5
Corrected Total
11
1119.3
73.1
Lampiran 17. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 695 347 2.73 0.118 Model Error
9
1145
Corrected Total
11
1840
127
Lampiran 18. Analisa data hasil penghitungan konsentrasi RNA plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F 2 132 66 0.55 0.595 Model Error
9
1082
Corrected Total
11
1215
120
Lampiran 19. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 13 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 276.4 138.2 11.58 Model Error
9
107.4
Corrected Total
11
383.8
11.9
Lampiran 20. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 17 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 1.375 0.688 0.87 Model Error
9
7.101
Corrected Total
11
8.476
Pr>F 0.003
0.789
Pr>F 0.451
Lampiran 21. Analisa data hasil penghitungan total RNA plasenta hari kebuntingan 21 Source DF Sum of Squares Mean Square F value 2 0.029 0.015 0.02 Model Error
9
6.011
Corrected Total
11
6.040
0.668
Pr>F 0.979