Konstruksi Identitas Keagamaan (Studi tentang Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki dengan Masyarakat Lokal) M. Nurun Najib Universitas Indonesia Abstraksi Penelitian ini melihat proses konstruksi identitas keagamaan yang terjadi di Ngruki dan implikasinya pada relasi sosial antar warga. Dari proses penelitian tersebut, ditemukan bahwa relasi sosial yang terbentuk di Ngruki sangat dipengaruhi oleh identitas keagamaan yang melekat pada diri individu maupun kelompok. Berdasarkan persamaan maupun perbedaan identitas keagamaan tersebut, selain akhirnya warga Ngruki terpolarisasi menjadi kelompok Islam Desa dan Islam Pesantren, juga memiliki jalinan relasi sosial dengan pola yang unik. Identitas keagamaan kelompok Islam Pesantren yang berwatak skripturalistik dan berseberangan dengan identitas keagamaan Islam Desa yang lokalistik memainkan peran yang sangat penting dalam menjalin relasi sosial diantara mereka. Sehingga semakin tinggi tingkat perbedaan identitas keagamaan yang mereka miliki berbanding lurus dengan relasi sosial yang terbentuk. Maka untuk menjembatani relasi sosial yang berjarak ini perlu ada ruang publik yang bisa diakses bersama tempat di mana kedua kelompok ini bertemu. Kata Kunci: konstruksi sosial, relasi sosial, identitas keagamaan, islam desa, islam pesantren A. Pengantar Ngruki, sebuah kampung kecil di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah yang letaknya berbatasan langsung dengan Kota Surakarta, sontak menjadi sorotan Internasional tatkala bom menyalak di Bali pada penghujung akhir 2002 dan menyebabkan tewasnya ratusan orang. Penyebabnya tidak lain karena beberapa orang yang tertangkap dan diduga sebagai pelaku Bom Bali memiliki kaitan erat dengan Pesantren Al-Mukmin yang terletak di Ngruki (Jones, 2001). Jauh sebelum mencuatnya kasus tersebut, dalam lintasan sejarah, Pesantren AlMukmin Ngruki juga pernah tercatat menjadi sasaran represifitas Orde Baru karena dinilai melakukan tindakan subversif dengan menyerukan golongan putih (Golput) dan menolak asas tunggal Pancasila (Solahudin, 2011; Tan, 2011). Sementara jika kita lihat dari semangat kelahiran pesantren ini pada tahun 1973memang ditujukan untuk menanggulangi gelombang komunisme yang merebak di Solo Raya, selain juga untuk menanggulangi kristenisasi dan sinkretisme yang mereka anggap semakin meningkat intensitasnya. Purifikasi ajaran Islam selain juga mampu melahirkan bibit radikalisme ternyata dalam studi ini juga memperlihatkan adanya pengaruh kuat dalam konteks relasi dengan masyarakat lokal yang berlainan corak. Kondisi ini didasari fakta bahwa identitas keagamaan yang ada di Ngruki tidaklah homogen, seperti
yang dibayangkan selama ini, tetapi heterogen. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pembahasan dalam studi ini menekankan pada relasi yang terbentuk antara pesantren dengan masyarakat lokal. Ketertarikan untuk membahas relasi antara pesantren dengan masyarakat lokal ini berangkat dari kekosongan studi-studi sejenis tentang Pesantren Al-Mukmin yang memiliki corak purifikasi ajaran Islam dengan masyarakat lokal yang ada di sekitarnya. Studi-studi tentang pesantren tersebut seringkali hanya memperlihatkan tentang jaringan yang terbentuk dan juga ideologi yang menyertainya akan tetapi alpa atas relasinya dengan masyarakat lokal. Studi ini juga mengacu pada beberapa studi yang pernah dilakukan di Ngruki. Penggunaan studi terdahulu ini penting artinya agar tidak terjebak pada pengulangan studi-studi yang pernah dilakukan. Selain itu juga bermaksud untuk melengkapi apa yang belum tergali dari studi tersebut dan menguji keberlakuan konsep yang digunakan dalam membedah realitas yang terjadi di lapangan. Studi pertama adalah studi yang pernah dilakukan Sidney Jones (2001) yang mengangkat jejaring Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Pada studinya ini Jones menjelaskan ikhwal bagaimana terbentuknya jejaring kelompok Islam radikal yang ada di Indonesia dan transformasinya dari waktu ke waktu. Pesantren AlMukmin Ngruki menurutnya memiliki andil yang cukup besar dalam memperlebar jangkauan kelompok Islam radikal yang ada di Indonesia yang dalam hal ini juga disokong oleh jejaring Islam radikal di luar negeri. Selain itu, menurut peneliti dari International Crisis Groups (ICG) ini menjelaskan bahwa tindakan represif dari negara ternyata malah membuat identitas kelompok Islam radikal semakin kuat dalam menemukan momentumnya. Studi tentang sistem pengajaran yang ada di dalam Pesantren juga pernah dilakukan Martin van Bruinessen (2008). Dalam studinya ini, ia menjelaskan bahwa pesantren ini memang memiliki perbedaan dengan umumnya pesantren yang ada di Indonesia. Letak perbedaan tersebut terletak pada paham yang diajarkan dalam pesantren yang lebih berkiblat pada gerakan salafi yang muncul di semenanjung jazirah Arab dengan corak purifikasi Islam. Martin dalam studinya ini juga memiliki simpulan yang kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan oleh Jones (2001) tentang sikap represif negara kepada kelompok Islam radikal. Menurutnya sikap represif negara kepada kelompok Islam radikal malah membuat paham ini semakin tersemai di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah tidak diizinkannya M. Natsir dan Muhammad Roem untuk ikut dalam pemilu oleh Orde Baru. Kebijakan ini yang akhirnya turut menyumbang beberapa tokoh Pesantren Al-Mukmin termasuk di dalamnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir untuk melakukan boikot pemilu pada pemilu 1977. Sementara itu, studi lain yang dilakukan Tan (2011) ingin memperlihatkan tradisi indoktrinasi yang ada di dalam pesantren dan juga pola yang terjadi dalam proses indoktrinasi tersebut. Dari studinya ini, Tan memetakan bahwa bekerjanya indoktrinasi melewati tiga saluran yaitu pada kurikulum keagamaan (religious curriculum), aktivitas sekolah (the school’s activities), dan kurikulum yang tersembunyi (the school’s hidden curriculum). Dari studi-studi yang telah dilakukan tersebut, sayangnya tidak ada satupun studi yang memfokuskan relasi yang terbentuk antara Pesantren AlMukmin dengan masyarakat lokal. Studi-studi tersebut terlihat lebih tertarik untuk
meneliti masalah yang ada di dalam pesantren semata dan jangkauannya secara nasional dan global. Celah yang ditinggalkan dari studi-studi tersebutlah yang akan diisi dalam studi ini, yaitu pada relasi yang terbentuk antara Pesantren AlMukmin Ngruki dengan masyarakat lokal. Pernyataan ini dilandasi bahwa identitas keagamaan memainkan peranan yang penting dalam membangun pola relasi masyarakat dalam suatu komunitas, karena semakin berbeda identitas keagamaan yang ada di dalam satu komunitas maka relasi sosial yang terbentuk semakin berjarak (social distance). Studi ini menjadi penting karena fakta yang ada di Ngruki bahwa corak yang dimiliki oleh kampung ini sebelum lahirnya pesantren sangat berbeda dengan apa yang ada saat ini. Dari lintasan sejarah terlihat bahwa sebelum lahirnya Pesantren Al-Mukmin, wajah Ngruki secara keagamaan lebih bercorak abangan dan secara pilihan politik ke Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). B. Metode Penelitian Dalam studi ini, metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan sekaligus menganalisis data yang telah didapatkan yaitu dengan metode kualitatif. Penggunaan metode ini digunakan karena studi ini berusaha untuk lebih mendalami fenomena yang terjadi di lokus penelitian. Sementara, tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan penelitian kasus masyarakat Ngruki sebagai titik berangkatnya. Tujuan menggunakan penelitian eksploratif di sini adalah untuk memahami secara lebih mendalam atas fenomena yang terjadi pada masyarakat Ngruki. Dengan kita bisa memahami fenomena yang terjadi di Ngruki secara mendalam, maka nantinya akan bisa merumuskan hipotesa tertentu terkait dengan permasalahan penelitian. Sementara itu, unit analisis dalam penelitian ini menekankan pada individu dan kelompok. Lokasi penelitian ini terletak di Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Secara geografis, letak dari Ngruki ini berbatasan langsung dengan Kota Surakarta yang menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa, selain Yogyakarta. Untuk informan kategori pertama yaitu warga yang memiliki kesepahaman yang sama dengan apa yang menjadi keyakinan di Pesantren Al-Mukmin. Sedangkan untuk kategori kedua, yaitu warga Ngruki yang berada di luar irisan tersebut. Sementara untuk teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui wawancara mendalam, observasi, dan juga pelacakan dokumen yang berkaitan dengan tema studi ini. Proses analisis data dalam studi ini meliputi pengujian, pemilihan, kategorisasi, evaluasi, membandingkan, melakukan sintesis, dan kembali melakukan refleksi atas data yang telah dikumpulkan sementara. Dari proses refleksi tersebut maka akan diambil simpulan yang bersifat sementara, simpulan sementara yang telah diperoleh tersebut lantas diuji kembali dan setelah itu dilakukan penarikan kesimpulan kembali. Sementara itu, dikarenakan proses pengumpulan data didasarkan atas pemanfaatan konsep, maka dalam proses analisis data akan menggunakan metode ilustratif. Dalam metode ilustratif inilah pengorganisasian data akan didasarkan atas wawasan teori yang ada. C. Kerangka Teori
Konsep yang pertama digunakan dalam studi ini adalah konsep konstruksi sosial yang digagas oleg Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1991). Sebagai salah satu penggagas sosiologi pengetahuan, mereka melihat ada dua realitas yang saling berkelindan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas subjektif bisa kita maknai sebagai realitas yang hadir dalam individu semata, terkadang realitas ini juga dimaknai dengan pengetahuan individu. Ia akan menjadi realitas objektif tatkala telah menjadi pengetahuan bersama dalam masyarakat. Maka dua realitas tersebut bisa kita pahami tidak hanya berjalan pada arah yang linear. Ini artinya bahwa pengetahuan yang terbentuk baik pada level individu maupun masyarakat sama sekali tidak pernah lepas dari nilai dan kepentingan yang ada di dalamnya. Pengetahuan yang ada pada tataran realitas subjektif (dikarenakan terletak pada individu) juga mengalami kontestasi diantara banyak pengetahuan yang tertanam. Kontestasi pengetahuan inilah yang kemudian melahirkan realitas objektif yang bekerja pada tingkatan sosial. Dalam paradigma sosiologi pengetahuan, pengetahuan selalu berjalan dinamis dan dialektik. Paradigma ini menekankan pada bagaimana bekerjanya sebuah pengetahuan dikembangkan, dialihkan dan dipelihara dalam proses sosial di masyarakat. Karena pengetahuan berjalan dinamis dan dialektik, maka menurut Berger dan Luckmann proses berjalannya pengetahuan melalui tiga tahapan, eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang menjadi inti dari karya Berger dan Luckmann yang kemudian disebut dengan konstruksi sosial. Eksternalisasi adalah proses penyesuaian diri dengan kondisi sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi adalah adalah interaksi dalam dunia intersubjektif yang mengalami institusionalisasi. Internalisasi adalah proses indentifikasi individu melalui institusi-institusi sosial yang ada. Dari ketiga proses tersebut maka menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial yang bekerja di tengah masyarakat adalah hasil konstruksi dari masyarakat itu sendiri. Pemahaman yang ditanamakan oleh Berger dan Luckmann ini juga berusaha untuk mengatasi keterpisahan antara masalah makro dan mikro yang seolah tidak memiliki titik temu. Keberadaan manusia sebagai individu tidak mungkin dilepaskan dari pemaknaan yang diberikan oleh masyarakat, begitupun juga sebaliknya bahwa masyarakat sendiri tidak mungkin terbentuk tanpa adanya pemaknaan dari individu. Dalam karyanya ini (1967), Peter Berger menuliskannya seperti di bawah ini:
“…Every individual biography is an episode within the history of society, which both precedes and survives it. Society was there before the individual was born and it will be there after he has died. What is more, it is within society, and as a result of social processes, that the individual becomes a person, that he attains and holds on to an identity, and that he carries out the various project that constitute his life. Man cannot exist apart from society. The two statements, that society is the product of man and that man is the product of society, are not contradictory. They rather reflect inherently dialectic character of the societal phenomenon. Only if
this character is recognized will society be understood in terms that are adequate to its empirical reality.”
Konsep selanjutnya yang digunakan dalam studi ini adalah konsep Total Institutions dari Erving Goffman (1961) yang dalam studi ini lantas disebut dengan institusi total.Konsep ini merujuk pada suatu tempat yang terpisah dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Dalam kerangka institusi total, tujuan yang paling utama adalah membentuk satu identitas baru, sehingga kepatuhan akan nilai yang diterapkan menjadi satu keharusan, seperti yang ada di rumah sakit jiwa, barak militer, asrama dan juga penjara. Goffman sendiri (lihat dalam Scott, 2011), mendefinisikan institusi total seperti berikut: “A place of residence and work where a large number of like-situated individuals, cut off from the wider society for an appreciable period of time, together lead an enclosed, formally administrated, round of life.”
Ada beberapa karakteristik dari suatu kondisi sehingga kondisi tersebut bisa disebut dengan institusi total seperti yang digambarkan Goffman, diantaranya adalah dimana dalam satu kondisi ada satu otoritas yang sama dan harus dipatuhi oleh semuanya; adanya sekelompok orang yang hidup dalam satu tempat yang sama; adanya aturan yang telah disusun sedemikian rupa dalam sehari semalam; dan adanya proses resosialisasi di dalam lingkungan tersebut. Dalam suasana asylum seperti yang digambarkan oleh Goffman, orang-orang yang berada di dalam institusi tersebut lebih berusaha untuk menafsirkan pengalamanmereka daripada membenarkannya. Institusi total ini digunakan untuk melihat institusiinstitusi yang membatasi ruang gerak individu yang ada di dalamnya melalui proses teratur yang sedemikian rupa, sehingga dengan kondisi tersebut individu yang ada di dalamnya menjadi terisolasi secara fisik dari aktivitas normal di sekitarnya. Sementara itu, dalam institusi total, seperti yang digambarkan Goffman, hierarki yang ada juga dengan tegas tergambarkan. Praktik eksploitasi yang begitu ketat dalam institusi total memang ditujukan untuk menghasilkan identitas baru yang nantinya akan ditransformasikan ketika individu sudah tidak lagi berada di institusi tersebut. Konsep ketiga yang digunakan adalah konsep identitas dari Manuel Castells (2010). Dalam salah satu triloginya yaitu The Power of Identity menjelaskan bahwa keberadaan identitas akan bisa terbentuk hanya ketika ada internalisasi. Maka asumsi yang dibangun oleh Castells, karena berangkatnya identitas ini dari internalisasi, yang mempengaruhi identitas adalah proses pemaknaan daripada aturan yang telah ditetapkan oleh satu institusi. Konstruksi identitas sendiri dalam prosesnya sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya bersumber dari konteks sejarah, geografi, biologi, institusi produktif dan reproduktif, memori kolektif, fantasi personal, kekuasaan dan juga sisi-sisi keagamaan. Sehingga dalam era informasi (information age) seperti sekarang ini,
menurut Castells, tidak hanya akan melahirkan masyarakat jaringan (network societies) semata, tetapi juga turut mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang politik, budaya, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dalam menjelaskan proses konstruksi sosial atas identitas, Manuel castells dalam The Power of Identity menuliskannya dalam tiga proposisi. Pertama, Legitimazing Identity, yang mana diperkenalkan oleh institusi yang dominan dalam satu masyarakat. Institusi inilah yang kemudian melakukan rasionalisasi atas identitas yang ingin mereka internalisasikan kepada anggota masyarakat melalui simpul aktor-aktornya. Kedua, Resistance Identity, yang mana terjadi ketika aktor-aktor merasa bahwa proses legitimizing identity mengalami penurunan nilai. Sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya membawa mereka untuk melakukan suatu tindakan oposisi atas proses legitimizing identity yang dilakukan oleh institusi dominan. Pada tahapan ini, lantas mereka akan mencoba untuk membangun pemakanaan baru akan identitas. Munculnya identitas baru ini yang lantas melahirkan adanya politik identitas dalam satu tatanan masyarakat. Ketiga, Project Identity, akan terjadi ketika aktor-aktor sosial berusaha untuk membangun identitas baru yang mendefiniskan mereka kembali dalam posisinya ditengah-tengah masyarakat dan selain itu juga berusaha untuk melakukan transformasi pada struktur sosial yang ada. Manuel Castells dalam proposisi yang ini mencontohkannya dengan gerakan-gerakan feminisime yang mengalami metamorfosis dari waktu ke waktu yaitu dengan adanya pendefinisian baru atas identitas yang melekat pada mereka. Konsep keempat yang digunakan adalah konsep strukturasi dari Anthony Giddens (1984). Munculnya konsep strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens setidaknya memiliki dua latar belakang, yaitu kelemahan-kelamahan yang ada dalam konsep fusngionalisme dan strukturalisme yang menekankan pada sisi dualisme. Sementara itu, menurut Giddens, dalam memahami gejala sosial yang juga tidak kalah penting adalah dualitas antara agen dan struktur itu sendiri, bukan dualisme seperti yang diandaikan oleh fungsionalisme dan strukturalisme. Dalam kacamata fungsionalisme dan strukturalisme, agen dipandang tidak memiliki kekuatan dihadapan stuktur yang memiliki sifat mengekang (constrain). Pada titik inilah kritik keras Anthony Giddens dilancarkan. Lebih lanjut memang antara agen dengan struktur memiliki hubungan, akan tetapi bagaimana antara agen dan struktur saling berhubungan itu yang seharusnya dilihat lebih dalam kerangka ilmu sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan struktur oleh Anthony Giddens (1984), seperti yang tertulis di bawah ini: “…Structure thus refers, in social analysis, to the structuring properties allowing the binding of time space in social systems, the properties which make it possible for discernibly similiar social practices to exist across varying spans of time and space and which lend them systemic form”. Dari prinsip-prinsip struktural yang dikemukakan, Giddens membaginya menjadi tiga bagian besar. Pertama, struktur signifikansi yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur
penguasaan atau dominasi, di mana pada bagian ini mencakup penguasaan atas politik maupun ekonomi. Ketiga, stuktur pembenaran atau legitimasi yang mana menyangkut masalah-masalah normatif. Pada bagian yang terakhir ini, Giddens menjelaskan jika legitimasi berkaitan erat dengan masalah-masalah tata hukum yang berlaku. Meskipun terlihat dari ketiga bagian tersebut seolah terpisah, tetapi sebenarnya ketiganya memiliki keterkaitan. Dari sini maka bisa kita lihat bahwa Giddens lebih memilih praktik-praktik sosial sebagai pusat perhatian dalam studistudi yang dilakukannya karena menghubungkan antara keberadaan agen dan struktur (Ritzer, 2005). Dalam melakukan praktik-praktik atau tindakan sosial, Giddens mengatakan bahwa keberadaannya tidak mungkin lepas dari apa yang namanya kesadaran. Meskipun secara lebih lanjut Giddens membedakan kesadaran yang ada pada individu itu menjadi tiga bagian, yaitu motivasi tak sadar (unconscious motives) yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi dalam mengarahkan tindakan tetapi bukan tindakan itu sendiri, kesadaran praktis (practical consciousness) yang mana kesadaran ini merupakan kunci dalam memahami proses praktik sosial keseharian menjadi struktur, dan kesadaran diskursif (discursive consciousness) yang mengacu pada kapasitas dalam merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan yang dilakukan (Priyono, 2002; Ritzer, 2005). D. Ngrukidalam Lintasan Sejarah Dilihat dari lintasan sejarah, wajah Ngruki saat ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebelum berdirinya Pesantren Al-Mukmin Ngruki dengan tipologi masyarakat yang abangan. Konteks abangan dalam studi ini tentu saja merujuk pada usaha Clifford Geertz (1960) dengan tiga tipologi masyarakat Jawa, yaitu abangan, santri dan priyayi. Meskipun pada tahap lanjutan apa yang telah dirintis oleh Geertz tersebut mendapat kritik di sana-sini, utamanya pendekatan Geertz yang melihat masyarakat Islam Jawa dengan pendekatan Islam Modernis. Karena pendekatan itulah, tipologi yang dihasilkan oleh Geertz terkesan sangat kaku dan terdapat garis yang tegas diantara ketiga kelompok masyarakat yang ada di Jawa, padahal seperti ditunjukkan dalam penelitian-penelitian lanjutan, batas antara santri, priyayi dan abangan sangatlah cair dan tidak seperti yang digambarkan Geertz (Koentjaraningrat, 1994; Pranowo, 2009; Dhofier, 2011). Maka terkait dengan masyarakat abangan tersebut, pada bagian ini, saya akan memaparkan tentang Kampung Ngruki secara khusus terkait dengan kondisi kampung di dekade 50 dan 60-an yang wajahnya tentu saja berbeda dengan apa yang bisa kita lihat saat ini. Dari informasi yang didapatkan di lapangan, menjelaskan bahwa saat Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda, Ngruki sebagai kampung kecil kondisinya masih sangat sepi. Hanya ada beberapa rumah saja di kampung tersebut. Dengan pilihan keagamaan yang lebih cenderung ke kelompok abangan¸ maka secara pilihan politik warga Ngruki saat itu lebih memilih Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) daripada partai-partai Islam.Salah satu informan juga menceritakan bahwa Ngruki saat masih di bawah kepemimpinan Soekarno peta perpolitikan hanya diisi oleh dua parta besar, yaitu
PNI dan PKI. Sementara itu untuk Masyumi, hanya sedikit saja. Ini karena memang saat itu Ngruki menurut Mbah Citro tidak banyak penduduk yang tergolong santri. “Kalau dahulu di Ngruki itu yang banyak ya kelompoknya Pak Karno dan Palu Arit. Dan saar ada huru-hara saling bunuh itu, di Ngruki sini saya sering melihat tetangga-tetangga yang diseret-seret. Biasanya orang yang diseret ini adalah orang PKI.” Kemenangan PNI sebagai partai yang dipimpin oleh Soekarno sebenarnya tidak hanya terjadi dalam konteks Ngruki semata. Pada konstelasi peta perpolitikan yang lebih besar, PNI juga mampu menunjukkan dirinya menjadi partai yang bisa meraup suara terbanyak di antara puluhan partai lainnya. Bahkan dengan jumlah peserta pemilu yang lebih dari 37 juta jiwa, PNI pada pemilu 1955 ini mampu meraup suara sebanyak lebih dari 9 juta jiwa atau sekitar 23,87 persen. Sementara itu untuk partai Islam yang salah satunya diwakili Masyumi berada di urutan selanjutnya dengan perolehan suara lebih dari 7 juta jiwa atau dengan persentase 20,59 persen. Baru setelah Masyumi, perolehannya disusul oleh Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Berikut di bawah ini perolehan suara sepuluh besar partai-partai peserta pemilu pertama kali yang di helat di Indonesia pada tahun 1955. Tabel 4.4 Perolehan Suara pada Pemilu Pertama Indonesia 1955
No
Partai
(1)
(2) Partai Nasional Indonesia (PNI) Masyumi Nahdlatul Ulama (NU) Partai Komunis Indonesia (PKI) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik Partai Sosialis Indonesia (PSI) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perolehan Suara
Persentase (%) Suara
(3)
(4)
Jumlah Perolehan Kursi (5)
9.070.218
23,97
57
7.789.619 6.989.333
20,59 18,47
57 45
6.232.512
16,47
39
1.059.922
2,80
8
988.810
2,61
8
748.591
1,98
6
695.932
1,84
5
544.803
1,44
4
465.359
1,23
4
Sumber: Data KPU Pusat
Sepuluh tahun setelah pesta demokrasi pertama kali dilakukan pada tahun 1955, terjadi satu perisitwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September (Rossa, 2008; Anderson, 2001; Ling, 2010). Akibat adanya usaha kudeta yang gagal tersebut akhirnya memaksa lengsernya Soekarno dari tampuk kepemimpinan Presiden Indonesia dan digantikan dengan Soeharto. Konstelasi perpolitikan yang terjadi di Jakarta tersebut akhirnya juga segera memicu pecahnya kerusuhan sosial di daerah-daerah. Tidak luput juga dengan apa yang terjadi di Solo Raya. Segera setelah terjadi pergantian penguasa dari Orde Lama ke Orde Baru tersebut, peengajaran, pemenjaraan dan bahkan juga pembunuhan terhadap eksponen PKI dan yang dicurigai memiliki keterkaitan serentak dilakukan di saentero Indonesia. Korbanpun berjatuhan. Beberapa data menunjukkan aksi teror yang dilakukan oleh Soeharto dengan menggunakan tangan militer tersebut berhasil menumpas anggota PKI dan simpatisannya sampai angka ratusan ribu. Oei Tjut Tat yang menjadi ketua tim Fact Finding Commision yang bertugas untuk menyelidiki kebenaran peristiwa tersebut menyebutkan jumlah korban mencapai angka 780.000 jiwa1. Konstelasi perpolitikan nasional di penghujung tahun ’65 tersebut akhirnya juga berimbas di Ngruki. Kampung kecil yang semula tenang dan damai berubah menjadi penuh ketegangan dan saling curiga, bahkan antar sesama tetangga. Masing-masing kelompok baik itu nasionalis, agama maupun komunis saling menjaga diri masing-masing. Bagaimana perkelahian tingkat lokal ini juga terjadi di Ngruki dituturkan juga oleh salah satu informan yang saat itu baru beberapa tahun tinggal di kampung tersebut. Terkait dengan ketegangan dan perkelahian tingkat lokal ini ia menceritakan bahwa sebelum adanya peristiwa ’65 tersebut, beberapa anggota PKI yang ada di Kampung Ngruki yang menurutnya hanya ada delapan keluarga berencana untuk menculik orang-orang yang dianggap santri, termasuk di dalamnya adalah keluarganya sendiri yang menjadi sasaran penculikan. Pernah juga suatu hari, tetangganya yang seorang polisi dan juga anggota PKI, berusaha untuk mengancam dirinya seperti apa yang diceritakannya di bawah ini: 1
Laporan resmi yang dikeluarkan oleh Fact Finding Comission yang dibentuk oleh Presiden Soekarno waktu itu menyebutkan jumlah korban hanya 78.000 jiwa. Kecilnya angka ini lebih dikarenakan ketakutan dari tim sendiri jika mengumumkan angka terlalu besar akan mendapatkan teror dari militer. Akhirnya beberapa tahun setelah pengumuman resmi tersebut dengan beberapa pertimbangan komisi merevisinya menjadi sepuluh kali lipat dan angkanya menjadi 780 ribu jiwa. Sementara laporan dari Kopkamtib menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai 1 juta orang yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebanyak 800 ribu jiwa dan Bali serta Sumatera masing-masing 100 ribu jiwa (Cribb, 2004). Pada tahun 1989, mantan Komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD), Brigadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo menyebutkan jumlahnya mencapai 3 juta jiwa. Dengan kesimpangsiuran jumlah pasti tersebut akhirnya Robert Cribb yang juga sebagai Guru Besar Australia National University pada bidang Politik dan Sejarah Asia Tenggara pada juga akhirnya mengalami kebingungan dalam menentukan berapa angka yang pasti untuk jumlah korban tragedi ‘65 tersebut (Tempo, 2012).
“Tetangga sini ada yang letaknya di depan sana itu juga dulunya anggota PKI. Dia dulu anggota polisi. Dia yang juga berencana untuk menculik saya waktu itu. Waktu itu, saya masih ingat sekali, dia itu masuk rumah saya ini sambil menenteng pistolnya itu. Ya saya marah waktu itu, masuk rumah orang lain kok tanpa izin sama sekali. Seperti tidak punya sopan santun sama sekali. Tapi dia tetap saja tidak bergeming. Tetap masuk rumah, sambil bicara agak keras kepada saya. Intinya waktu itu, dia bilang kalau saya suruh hati-hati. Itu dulu waktu PKI masih jaya-jayanya. Setelah PKI tumbang itu, ya kondisinya berbalik. Dia tidak berani lagi macam-macam dan akhirnya dia masuk Kristen. Ya namanya kalau kita berpegang pada agama Allah itu kapanpun dan dimanapun pasti mendapatkan pertolongan. Ini seperti yang saya alami sendiri waktu itu.” Dari cerita yang dituturkannya terlihat bahwa apa yang terjadi pada konteks nasional akhirnya memberikan imbas yang sangat besar pada tataran yang sangat lokal seperti apa yang terjadi di Ngruki. Ledakan ketegangan sosial akhirnya tidak bisa dihindari di kampung ini. Akan tetapi yang menjadi permasalahan kemudian, dalam konteks Solo Raya, yang membawahi beberapa daerah termasuk juga di dalamnya Kabupaten Sukoharjo, ketegangan sosial semacam itu bukan menjadi sesuatu yang baru. Munculnya Sarekat Islam (SI) yang di gagas di Laweyan, yang lebih karena faktor perebutan sumber daya ekonomi antara pribumi dengan warga keturunan Tionghoa, menjadi contoh yang sangat vulgar betapa perbedaan pandangan bukan menjadi barang baru (Siraishi, 1997). Pada tahapan lanjut, keberadaan SI juga akhirnya mengalami perpecahan yang kemudian banyak di antara eksponen SI menyebut dirinya sebagai SI Merah yang kelak akan menjadi motor utama dalam menggerakkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun ketegangan dan perkelahian politik terjadi di Ngruki khususnya antara kelompok PKI dan lawan-lawannya (PNI dan Islam) tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa seorangpun. Informan lain dalam salah satu wawancara menjelaskan bahwa di Ngruki tidak ada setetespun darah mengalir akibar adanya konflik tersebut, baik itu dari pihak PKI maupun pihak yang lain, termasuk di dalamnya adalah kelompok Islam yang berafiliasi secara politik ke Masyumi. “Yang saya amati dan juga berita-berita yang saya terima di sini ini tidak ada kebrutalan pembunuhan PKI. Tidak ada sama sekali. Tidak ada satupun yang dibunuh waktu itu, baik dari PKI maupun orang muslim. Kalau yang banyak ya yang di Kampung Sewu itu di Bengawan Solo sana tepatnya di Jembatan Bacem. Kalau di sini memang tidak ada sama sekali. Sementara kalau yang masuk Pulau Buru saja di Kampung Ngruki ini hanya seorang saja, tidak lebih. Kalau tidak salah namanya Sugimo. Nah rumah yang saya tempati ini dahulunya juga milik orang PKI dan juga kejawen.” Waktu itu, orang-orang dari PNI dan kelompok Islam saling bahu membahu mengamankan kondisi desa. Dengan adanya tragedi ini, beberapa
informan seolah-olah mengalami keterputusan interaksi dengan saudara dan bahkan tetangga yang kebetulan menjadi anggota PKI. Bahkan juga, kekhawatiran tersebut muncul diantara warga yang bukan anggota PKI.Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa perubahan konstelasi politik yang ada pada tingkatan nasional juga memiliki efek yang sangat signifikan pada tingkatan yang sangat lokal. Kelompok Islam di kampung Ngruki yang mana sebelumnya hanya menggambarkan suara minor akhirnya dengan kondisi ini posisinya berbalik arah. Kelompok Islam akhirnya turut mengambil bagian dengan porsi yang paling besar dalam usaha menumpas sisa-sisa kekuatan PKI yang tersebar di berbagai daerah. Dalam catatan Robert Cribb (2004) sebenarnya perkelahian antara Islam dengan PKI tidak dimulai saat adanya Gerakan Kudeta ’65, jauh sebelum itu keteganganketegangan antara dua kelompok ini sudah seringkali terjadi. Sementara dalam pandangan Hefner, sejarah konflik yang antara kelompok Islam dengan Kejawen juga terjadi di Jawa Timur dimana kelompok Islam lebih memilih Masyumi dan NU sebagai penyalur aspirasi mereka dan juga identitas politik dan Kejawen lebih memilih Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai saluran identitas politiknya (Jay, 1963; Geertz, 1965; Feith, 1957 dalam Hefner 1999). Begitu juga dengan apa yang terjadi di Surakarta waktu itu, pengejaran yang seringkali berujung pada pembantaian tanpa proses pengadilan menjadi hal yang jamak ditemui. Jembatan Bacem menjadi saksi bisu betapa perkelahian politik akhirnya membawa akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa. E. Berdirinya Pondok Pesantren Al-Mukmin dan Akhir Cerita Nasionalis – Komunis Kudeta gagal yang dilancarkan pada tahun 1965 dengan ditandainya terenggutnya nyawa tujuh jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya membuat PKI menjadi partai yang terlarang di Indonesia (Sulistyo, 2011)2. Peritiwa tersebut akhirnya membawa Indonesia ke dalam sejarah yang kelam, karena tidak hanya menyebabkan konflik vertikal antara PKI dengan pemerintah tetapi juga menimbulkan konflik horizontal yang ditandai dengan terjunnya para-militer yang membantu pemerintah dalam usaha untuk menumpas sisa-sisa kekuatan PKI yang masih ada. Tidak lama setelah aksi kudeta gagal tersebut, militer khususnya Angkatan Darat memiliki legitimasi secara lebih dalam hubungannya dengan Soekarno selaku presiden. Hal ini salah satunya ditandai dengan dibentuknya Komando Operasi untuk Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di bawah pimpinan langsung Soeharto. Kopkamtib ini memiliki fungsi utama untuk membersihkan dan menertibkan personil sipil dari PKI di kompartemenkompartemen, departemen-departemen, lembaga-lembaga dan badan-badan lainnya dalam aparatur pemerintahan (Elson, 2001).
2
Tentang pelarangan PKI di Indonesia lihat dalam TAP MPRS No. XXVI tahun 1966 yang ditandatangi oleh Jenderal AH. Nasution tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Salah seorang informanmengatakan bahwa perubahan identitas warga yang abangan secara sosial-keagamaan dan secara politik ke nasionalis dan komunis menjadi lebih Islami ini terjadi di akhir dekade 70-an. Perubahan tersebut tentu saja bisa kita pahami sebagai akibat adanya kebijakan politik Orde Baru yang represif dengan tidak menghendaki adanya PNI dan sekaligus juga PKI3. Sehingga warga Kampung Ngruki yang semula secara keagamaan cenderung ke abangan dan secara politik ke PNI dan PKI juga turut merubahnya. Orde Baru dalam melakukan proyek pembersihan sisa-sisa kekuatan PKI tentu tidak berjalan dengan sendiri. Asumsi yang digunakan oleh Orde Baru di bawah bayang-bayang Soeharto adalah dengan semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam usaha menumpas sisa kekuatan PKI di seluruh negeri, maka akan memunculkan anggapan bahwa PKI benar-benar telah melakukan kesalahan tersebut dan sekaligus juga meminimalisir kejahatan yang diarsiteki Orde Baru. Maka dengan pemikiran yang demikian, tidak aneh jika penumpasan sisa-sisa kekuatan PKI di berbagai penjuru negeri tidak hanya menggunakan kekuatan militer semata, tetapi juga melibatkan masyarakat sipil yang tergabung dalam milisi-milisi (Roosa, 2004; 2008). Dalam konteks di Jawa Tengah, penumpasan PKI ini selain dilakukan oleh Angkatan Darat juga banyak melibatkan kelompok Islam, salah satunya adalah eks tentara Darul Islam. Penumpasan yang dilakukan di Jawa Tengah ini berada di bawah komando Kodam Siliwangi dan Bakin seperti Dharsono, Aang Kunaefi, Yoga Sugama dan juga Ali Moertopo. Mereka ini yang lantas melakukan kontak dengan mantan para pemimpin DI untuk membantu menumpas PKI, yang mana diantaranya adalah Ateng Djaelani, Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, dan Dodo Muhammad Darda (Sholahudin, 2011)4. Eksponen-eksponen Islam yang selama ini berseberangan dengan PKI juga turut ambil bagian dalam usaha pembersihan sisa-sisa kekuatan yang dianggap mengganjal jalannya pemerintahan Orde baru. Salah satunya adalah Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang saat itu dipimpin oleh M. Natsir 5. Natsir 3
Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Orde Baru tidak dilarang secara langsung seperti apa yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini karena Soeharto menyadari dengan penuh bahwa loyalis Soekarno jumlahnya masih sangat banyak dan jika PNI dilarang secara tiba-tiba akan memunculkan resistensi terhadap kepemimpinannya yang masih baru saja ia pegang. Dengan kesadaran tersebut, akhirnya Soeharto lebih memilih untuk “membiarkan” PNI mengikuti pemilu pada tahun 1971 ini dan kemudian pada pemilu tahun 1977, ketika kondisi dirasa sudah semakin “kondusif” serta untuk melanggengkan kekuasaannya, maka Soeharto melakukan fusi partai dengan hanya menjadi tiga, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan di PDI inilah kemudian PNI difusikan. 4 Pada titik ini, dengan adanya peristiwa 1965 hubungan antara militer dengan kelompok Islam sangatlah terjalin dengan baik. Pada satu sisi militer membutuhkan “tangan” lebih banyak untuk menumpas PKI, sementara di sisi kelompok Islam, yang dalam hal ini adalah mantan anggota Darul Islam (DI), yang anti-komunis memang sudah sejak lama memendam amarah kepada PKI karena mereka diasumsikan anti-Tuhan. Untuk membaca bagaimana hubungan mesra antara militer dengan kelompok Islam baca juga karya Robert W. Hefner (1999), Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Menjelang pemilu 1971, para eksponen petinggi DI dibujuk oleh Bakin dan Kodam Siliwangi untuk bergabung dengan Golkar dan secara tidak langsung tawaran ini tidak disia-siakan oleh eksponen petinggi DI tersebut. 5 M. Natsir selain pernah menjabat sebagai ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) pernah juga menjabat sebagai Ketua Masyumi. DDII ini sendiri dibentuk salah satunya oleh M. Natsir pasca semakin mengcilnya kekuasaan Soekarno, yaitu pada tahun 1967. Saat dirinya memimpin
memang orang yang sangat getol untuk menyuarakan bahayanya komunisme khususnya bagi umat Islam di Indonesia karena dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.Apa yang dilakukan oleh M. Natsir ini lantas menemukan titik perjumpaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang ada di Surakarta6. Titik perjumpaan tersebut adalah adanya kesamaan pandangan bahwa Solo yang secara kesejarahan memiliki banyak pendukung PKI dan juga gelombang Kristenisasi yang sangat massif perlu diimbangi dengan satu strategi dakwah tersendiri agar Islam tidak menjadi minoritas di daerah ini. Sementara itu Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir dan beberapa orang lainnya membaca keadaan yang demikian akhirnya mendirikan Radio Dakwah Islam (RADIS) yang kemudian beberapa tahun setelah pendirian, radio tersebut dibredel oleh pemerintah karena dinilai isi-isi yang disajikan dianggap terlalu keras dan bisa menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat. Selain mendirikan radio, mereka juga membukan lembaga pengajian yang dipusatkan di Masjid Agung Surakarta. Di mana pengajian ini diadakan setiap hari setelah sholat dzuhur. Terkait dengan pembredelan radio yang menjadi media dakwah mereka ini, salah seorang informan menjelaskan seperti di bawah ini.
DDII, lembaga ini banyak menerjemahkan karya-karya tokoh Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir seperti Sayyid Qutb dan juga dari Jamiat Islam Pakistan seperti karya-karyanya Abu A’la AlMaududi. Pada saat di bawah kepemimpinan Natsir ini, DDII memang aktif menjalin kerjasama dengan lembaga dakwah dari luar negeri, di antaranya adalah Rabithah A’lam Islamy dan juga International Islamic Federation of student Organization (IFFSO). Dari kedua lembaga inilah, DDII mendapatkan banyak kucuran dana untuk menerbitkan buku-buku dari Ikhwanul Muslimin (IM) dan Jamiat Al-Islamy (JI) dalam Bahasa Indonesia (lihat dalam Solahudin, 2011). 6 Abu Bakar Ba’asyir dilahirkan di Jombang pada 17 Agustus 1938 di dalam keluarga Arab Hadrami. Ustad Abu, demikian akrab dipanggil, pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Selepas dari pesantren tersebut, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Al-Irsyad Surakarta dan menyelesaikan studinya tiga tahun menjelang Gerakan 30 September. Selama aktif menjadi mahasiswa, ia juga terlibat aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1961, ia terpilih menjadi ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan pada awal tahun 1970-an ia bertemu dengan Abdullah Sungkar, Abdullah Baraja dan juga Yoyo Roswandi yang mana kelak akan menjadi perintis Pondok Pesantren AlMukmin Ngruki dan juga sama-sama aktif di gerakan Darul Islam. Pada akhir dekade 70-an ia bersama dengan Abdullah Sungkar dipenjara karena dianggap melakukan tindakan yang membahayakan, salah satunya adalah kampanye anti pemilu. Pada tahun 1985, bersama dengan Abdullah Sungkar, keduanya melarikan diri ke Malaysia karena sikap represif Orde Baru pada mereka semakin menguat dan keduanya baru kembali ke Indonesia setelah Orde Baru mengalami kebangkrutan di penghujung dekade 90-an. Abdullah Sungkar dilahirkan di Surakarta satu tahun sebelum Abu Bakar Ba’asyir dilahirkan yaitu pada tahun 1937. Ia adalah putra dari Ahmad bin Ali Sungkar yang juga sama-sama memiliki garis keturunan dari keluarga Arab Hadrami. Latar belakang pendidikannya pernah mengenyam bangku kuliah di Universitas Muhammadiya Surakarta dan lulus pada tahun 1957. Abdullah Sungkar aktif dalam kesehariannya juga banyak dihabiskan di organisasi Al-Irsyad, selain itu juga ia bergabung di Masyumi yang saat itu dipimpin M. Natsir dan kelak pada tahun 1960 keberadaan partai tersebut dibredel oleh Soekarno. Bersama-sama dengan Abu Bakar Ba’asyir dan beberapa orang lainnya mendirikan Radio Dakwah Islam (RADIS) sebagai media dakwah mereka. Di mana isi siaran dari radi tersebut banyak yang menganggapnya terlalu keras, sehingga sempat juga ditutup paksa oleh pemerintah saat itu (Noor, 2007).
“RADIS dahulu juga pernah dibredel oleh pemerintah, karena isinya memang menyerang pemerintah. Dulu itu kan banyak khilafiah-khilafiah (perbedaan, pen) seperti itu…jadi RADIS itu isi dakwahnya terlalu ekslusif. Jadi di RADIS itu kan banyak dakwah yang kalau orang mati itu tidak boleh lagi didoakan, karena memang sudah mati, jadi ya putus. Didoakan pun juga tidak akan sampai. Acara-acara tahlilan pun waktu itu juga diserang sama mereka.”
Kesamaan pandangan seperti yang tertulis di ataslah yang akhirnya menghantarkan Abdullah Sungkar dan juga Abu Bakar Ba’asyir kemudian menjadi salah satu anggota Dewan Dakwah Islam Indonesia yang ada di Jawa Tengah. Lebih lanjut, strategi dakwah yang mereka baca ternyata membutuhkan satu tempat tersendiri dan kemudian disepakati untuk mendirikan pesantren di daerah Ngruki. Maka pada tahun 1972 lahirlah Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki yang diprakarsai oleh beberapa orang, diantaranya adalah Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Baraja, Yoyo Rosywandi, Hasan Basri dan beberapa yang lainnya7. Dipilihnya Ngruki sebagai tempat pendirian Pondok Pesantren bukan tanpa sebab, tidak lain karena di kampung ini terdapat sebidang tanah dari Abu Amar yang akan diwakafkan untuk pendirian pesantren. Abu Amar sendiri adalah seorang kiai dari Pesantren Jamsaren yang letaknya kurang lebih 3 km dari Ngruki. Dengan kondisi warga Kampung Ngruki yang cenderung abangan secara sosial-keagamaan dan secara politis lebih ke PNI dan PKI, maka keberadaan pesantren menimbulkan resistensi tersendiri bagi sebagian besar warga. Bahkan menurut cerita dari warga, awal keberadaan pesantren sempat ditolak secara terbuka oleh warga kampung yang tidak menghendaki adanya pesantren. Hal ini memang masuk akal jika kemudian kita lacak semangat awal yang ingin dibangun oleh pihak pesantren dan sekaligus kondisi Ngruki sebelum tahun 1965-an. Selain keberadaan pesantren dimaksudkan untuk menanggulangi sisa-sisa gelombang komunisme agar tidak semakin menyebar ke arah selatan, penanggulangan kristenisasi yang dianggap pihak pesantren semakin santer, juga meluruskan aqidah umat Islam yang dianggap telah banyak melakukan penyimpangan dengan mencampurkan unsur-unsur lokal dalam beragama (bid’ah). Semangat terakhir yang dibangun oleh pesantren tersebut menjadi sangat wajar karena memang pesantren ini secara faham keagamaan mengacu pada gerakan purifikasi Islam yang mana gerakan ini dimunculkan oleh Ibn Abd al-Wahhab di Jazirah Arab (Delong-Bas, 2004)8. 7
Terdapat versi lain yang menyebutkan bahwa Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan oleh Muhammad Amir semenjak tahun 1962. Santri awal yang saat itu tinggal di asrama yang dibuatnya hanya berjumlah 12 orang. Berjalannya waktu, karena memang ada kesamaan pandangan bahwa umat Islam di Solo Raya perlu merapatkan barisan, maka pada tahun 1972 meleburlah antara pesantren yang dirintisnya dengan madrasah diniyah yang ada di Masjid Agung Surakarta yang mana untuk madrasah ini digawangi oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. 8 Dengan sangat apik, Delong-Bas (2004) dalam karyanya Wahhabi Islam, From Revival and Reform to Global Jihad menjelaskan bagaimana semangat awal Abdullah ibn Wahhab yang
Kondisi warga Ngruki yang abangan akhirnya menjadi satu tantangan tersendiri bagi pihak pesantren dalam melakukan “islamisasi”. Ini tercermin pada sambutan salah satu acara perkenalan santri baru yang mengkritik keras budayabudaya yang masih saja dijalankan oleh warga Kampung Ngruki. Pesantren melihat budaya sinkretisme yang mencampurkan kebiasaan-kebiasaan orang Jawa seperti upacara kematian (tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari), pemujaan terhadap kuburan, dan peribadatan-peribdatan yang dilakukan setiap harinya menyalahi aturan yang telah ditetapkan dalam Islam (bid’ah). Dalam salah satu majalah yang diterbitkan oleh internal pesantren (Majalah Syamil, Edisi 04 Februari 2012), tergambarkan bagaimana mereka sangat keras terhadap kebiasaan-kebiasaan lokal yang dianggap sangat menyimpang dari ajaran Islam. “…Bulan Muharram atau Suro telah berlalu, akan tetapi keyakinan atau mitos-mitos tentang bulan tersebut masih kuat di tengah-tengah masyarakat. Seperti keyakinan masyarakat Jawa bahwa menikahkan putra dan putrinya di Bulan Muharram akan mendatangkan malapetakan atau bencana. Sehingga sampai sekarang ini mayoritas masyarakat masih memegang kuat keyakinan tersebut, padahal sangat bertentangan dengan aqidah Islam. Termasuk juga tradisi keraton yang masih identik dengan dengan arakan kerbau bule-nya yang diyakini membawa berkah, rezeki yang melimpah dan ketenangan batin. Ternyata Islam tidak pernah memberikan ajaran yang demikian. Justru sangat memuliakan Bulan Muharram atau Suro. Di dalamnya banyak ibadah-ibadah yang memberikan pahala besar bagi umat Islam, seperti ajaran untuk berpuasa untuk setiap muslim pada tanggal 9 dan 10 Muharram yang dikenal dengan hari tasyu’a dan asyura…Mitos-mitos yang terpelihara dalam masyarakat Jawa ini jelas saja menyelisihi dari ajaran Islam yang sebenarnya.” Praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok warga yang abangan ini bahkan secara ekstrim pernah dibahas oleh beberapa laskar-laskar untuk menghancurkan simbol-simbol yang dianggap keramat. Salah satu simbol tersebut adalah kerbau bule yang mana setiap Bulan Muharram diarak ditengah-tengah Kota Surakarta. Kesepakatan yang diambil saat itu adalah membunuh kerbau Bule yang dianggap sebagai sumber kemusyrikan yang ada di masyarakat. Maka strategi yang diambil saat itu adalah meledakkan kerbau tersebut, akan tetapi pada hari yang telah ditentukan, ternyata bom yang telah dipasang tidak bisa meledak. Sementara di Kampung Ngruki sendiri, salah seorang informan juga menyebutkan semula digerakkan karena ingin “membersihkan” praktik-praktik keagamaan yang dianggap menyimpang dari Al-Qur’an dan Al-Hadits kemudian berjalannya waktu bermetamorfosis menjadi gerakan-gerakan yang cenderung radikal dan selalu mengobarkan suasana perang. Salah satu ciri yang paling menonjol dari gerakan Wahabi ini adalah sikpnya yang seringkali intoleran terhadap perbedaan yang ada di sekitar mereka. Lebih lanjut, Delong-Bas menjelaskan Taliban adalah salah satu contoh gerakan Wahabi yang sangat menolak adanya dialog dengan kebudayaan-kebudayaan yang dianggap tidak pernah diajarkan dalam dua sumber hukum yang utama dalam Islam tersebut.
bahwa dahulu di kampung ini pernah ada yang namanya arca peninggalan kerajaan terdahulu. Arca itu seringkali dijadikan sebagai tempat pemujaan oleh warga lokal. Warga saat itu sangat mengkeramatkan adanya arca tersebut, sehingga dalam waktu-waktu tertentu arca tersebut diberi sesaji. Bermacammacam tujuan warga yang datang ke tempat tersebut, tetapi umumnya mereka biasanya meminta keberkahan dengan perantara arca tersebut. Melihat praktikpraktik yang dilakukan warga tersebut, akhirnya membuat pihak pesantren sangat berang. Beberapa santri kemudian memutuskan melakukan praktik jihad dengan cara menghancurkan arca tersebut di malam hari. Setelah berhasil mengambil, arca tersebut kemudian di bawa ke dalam lingkungan pesantren dan warga tidak ada yang berani untuk mempertanyakan kepada pihak pesantren secara lebih jauh. Warga sepertinya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh santri-santri dari Pesantren Al-Mukmin tersebut.
F. Relasi Sosial Islam Pesantren dengan Islam Desa Studi ini menunjukkan bahwa identitas keagamaan yang ada pada warga Ngruki terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Islam Desa, dimana kelompok ini dalam pola kehidupan sehari-hari (life patterns) masih terbiasa melakukan praktik-praktik budaya Jawa. Misalnya saja ziarah kubur yang dilakukan menjelang Bulan Ramadhan, memberikan sesaji pada waktu-waktu tertentu, upacara kehamilan (tingkeban), upacara kematian9, dan yang lainnya (Koentjaraningrat, 1994; Mulder, 2005; Stange, 2009). Dilihat latar belakang ekonomi, umumnya kelompok ini tergolong masuk dalam kategori ekonomi lemah. Beberapa pekerjaan yang dilakoni oleh mereka sifatnya temporal, misalnya saja buruh-buruh bangunan, tukang becak, toko kelontong skala kecil dan beberapa yang lain. Kelompok kedua adalah kelompok Islam Pesantren, dimana kelompok ini bercorak ataupun seirama dengan apa yang diajarkan di dalam pesantren Al-Mukmin.Pemahaman-pemahaman purifikasi Islam yang dibawa oleh Pesantren Al-Mukmin menjadikan sesuatu yang baru di kampung ini. Kelompok Islam Pesantren ini dalam praktik keagamaannya lebih menekankan pada kesalehan normatif. Misalnya saja kelompok Islam Pesantren ini lebih menekankan pada ritual-ritual seperti sholat lima waktu dengan berjama’ah di masjid, puasa Ramadhan, melaksanakan zakat, pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, mempelajari ajaran-ajaran Islam dari teks arab secara periodik dan lain sebagainya. Memperbincangkan kelompok Islam Pesantren memang tidak bisa kita lepaskan dari keberadaan Pesantren Al-Mukmin. Pemahaman pesantren yang sangat keras terhadap tradisi lokal dan seringkali juga beroposisi atas negara yang 9
Dalam kepercayaan Orang Jawa pada umumnya meyakini bahwa setelah orang meninggal dunia, maka jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) dan berada di sekitar rumahnya. Tetapi lama-kelamaan keberadaan roh tersebut akan pergi dan hanya pada saat-saat tertentu keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan upacara (slametan) untuk memperingati roh tersebut. maka dari itu di masyarakat Jawa lazim kita temui adanya upacara-upacara kematian tersebut (Untuk mengetahui lebih detail tentang sistem upacara kelahiran dan juga kematian yang ada di masyarakat Jawa ini lihat dalam karya Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa yang terbit pada tahun 1994).
dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka telah menjadikan identitas kelompok warga di Ngruki semakin terpolarisasi antara Islam Pesantren dan Islam Desa. Maka secara umum sebenarnya bisa kita lihat perbedaan yang sangat signifikan dengan umumnya keberadaan pesantren di Jawa di mana mereka lebih lentur pada tradisi-tradisi lokal. Watak pesantren yang demikian akhirnya menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi keberadaan Islam Pesantren di Ngruki yaitu stigma bahwa Islam yang mereka anut adalah Islam garis keras. Meskipun sebenarnya asumsi yang demikian seringkali malah membawa kita pada simplifikasi dalam memahami kelompok-kelompok yang ada di Islam Pesantren, karena tidak semua Islam Pesantren berwatak sedemikian keras terhadap tradisi lokal dan juga kebijakan pemerintah. Munculnya dua kelompok yang ada di Ngruki berbasis identitas keagamaan ini juga melahirkan relasi yang unik di dalamnya, yaitu munculnya legitimasi identitas. Menggunakan kacamata Castells (2010), proses legitimasi identitas ini dilakukan oleh kelompok yang lebih dominan, yaitu Islam Pesantren. Akan tetapi yang menarik, legitimasi identitas yang dikembangkan oleh Islam Pesantren di Ngruki ini ternyata tidak begitu berhasil dalam mengkonstruksikan identitas baru pada kelompok Islam Desa.Sulitnya untuk menginternalisasikan identitas baru keislaman pada kelompok Islam Desa yang dilakukan oleh Islam Pesantren ini dilatarbelakangi karena pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh kedua kelompok tersebut saling bertentangan. Selain itu juga disebabkan karena Pesantren Al-Mukmin yang dinilai Islam Desa mengembangkan bibit-bibit permusuhan dengan negara (Solahudin, 2011; Jones, 2001). Dari temuan lapang studi ini, memperlihatkan bahwa relasi antara kelompok Islam Desa dengan Islam Pesantren cenderung memiliki jarak sosial (social distance).Adanya jarak sosial (social distance) ini juga tidak terlepas dari konteks preferensi politik warga Ngruki saat Orde Baru, di mana mereka umumnya bergabung dengan PNI dan PKI. Sementara ketika Orde Baru berkuasa, ada rasa kecemasan pada warga Ngruki untuk tetap memilih partai yang kurang lebih memiliki garis ideologi yang hampir sama dengan PNI. Sehingga dengan tingkat represi Orde Baru yang begitu kuat, akhirnya preferensi mereka lari ke Golongan Karya (Golkar) sewaktu pemilihan umum. Maka ketidaktertarikan Islam Desa atas kehadiran pemahaman keagamaan yang ditawarkan oleh Islam Pesantren selain dikarenakan perbedaan yang sangat tajam atas pandangan mereka terhadap pemahaman agama juga dikarenakan konteks perpolitikan yang tidak memungkinkan mereka untuk melebur dalam Islam Pesantren karena memori masa lalu yang menghantui mereka. Kekalahan Islam Desa dalam aspek politik dan keagamaan mengakibatkan posisi mereka semakin terjepit. Keterjepitan identitas keagamaan yang melekat pada Islam Desa ini yang lantas membuat kelompok ini memiliki suatu perlawanan yang khas. Perlawanan identitas yang dilakukan oleh Islam Desa tidaklah mengambil sikap dengan perlawanan terbuka, melainkan memiliki menggunakan strategi dengan “seolah-olah” menerima identitas kegamaan yang dikonstruksikan oleh Islam Pesantren. Sementara itu, jalan perlawanan identitas yang ditempuh oleh kelompok Islam Desa ini memang unik, seperti umumnya yang dilakukan oleh orang-orang yang kalah, yaitu dengan perlawanannya tidak
menggunakan senjata dan secara terbuka akan tetapi lebih dengan menggunakan identitas sebagai modal perlawanannya. Seperti yang dituturkan informan di bawah ini: “…Ya sudah mas, dibiarkan saja. Nanti sembari berjalannya waktu, siapa yang salah siapa yang benar akan terlihat dengan sendirinya kok. Kalau saya sih ya berjalan seperti petuah-petuah Jawa saja, mengalah dan berpindah. Kalau saya sudah ngalah, kok ya masih tetap diributin, ya saya pindah mas. Menurut saya, yang penting itu sebenanya kita di sini tidak ribut sama tetangga saja…”. Ungkapan di atas mengindikasikan satu perlawanan identitas secara halus yang dilakukan oleh kelompok Islam Desa atas keterjepitan identitas mereka. Merujuk seperti apa yang dikatakan oleh Richard Jenkins (2004) yang mengatakan bahwa identitas seringkali dibangun atas dasar perbedaan dan persamaan, maka apa yang terjadi di Ngruki proses konstruksi identitas, baik yang terjadi pada kelompok Islam Desa maupun Islam Pesantren, lebih menitikberatkan pada persamaan maupun perbedaan yang mereka miliki. Atas dasar tersebut, identitas sosial keagamaan yang dianut baik oleh kelompok Islam Desa maupun Islam Pesantren memainkan peran yang sangat sentral dalam menjalin relasi sosial diantara mereka. Pola relasi yang terbuka (opennes relation) hanya terjadi pada sesama kelompok semata, sementara diluar kelompok terdapat kecenderungan relasinya semakin menunjukkan ketertutupan. Persis seperti apa yang digambarkanCastells (2010) yang menegaskan bahwa tumbuhnya perlawanan identitas bisa muncul karena adanya dominasi identitas tertentu yang diinternalisasikan secara paksa. Perbedaan pemahaman keagaamaan inilah yang lantas menggiring Islam Desa dalam derajatnya yang berbeda-beda berusaha untuk menumbuhkan perlawananan identitas. Meskipun dalam studi ini memperlihatkan bahwa perlawanan identitas yang dilakukan oleh kelompok Islam Desa cenderung bersifat lunak dan bergerak secara sendirisendiri. Ini yang kemudian membedakan dengan proses legitimasi identitas yang dilakukan oleh Islam Pesantren di kampung Ngruki yang berjalan cukup terorganisir dan memiliki arah yang jelas. Cair dan tidak terorganisirnya perlawanan identitas yang dilakukan oleh kelompok Islam Desa ini dikarenakan berbagai macam hal. Salah satunya adalah hilangnya orang yang ditokohkan dalam kelompok Islam Desa. Kiai yang biasanya menjadi satu panutan tersendiri bagi masyarakat Jawa karena bisa berdialog dengan tradisi lokal selama tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam sudah tidak ada lagi di kampung ini.
G. Kesimpulan Dalam melihat apa yang terjadi di Ngruki tidak bisa kita lepaskan dari konteks historis. Setidaknya semenjak awal kemerdekaan Indonesia, warna yang tampak di Ngruki seperti umumnya yang ada di Solo Raya waktu itu, masyarakatnya secara keagamaan termasuk masyarakat yang kejawen, yang dalam bahasa Geertz dikategorikan sebagai kelompok abangan, terlepas dari perdebatan tentang tipologi tersebut. Sementara dalam pilihan politik lebih
memilih PNI dan PKI sebagai saluran aspirasi politiknya. Larinya aspirasi warga ngruki pada tahun-tahun tersebut ke PNI dan PKI bukan menjadi sesuatu yang aneh. Herbert Feith (1988) dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 telah juga menggambarkan bahwa bagi masyarakat Jawa yang masih kental dengan tradisinya biasanya akan memilih partai tersebut sebagai tempat berlabuhnya. Sementara bagi kelompok Islam akan memilih Masyumi ataupun NU sebagai saluran aspirasi mereka. Konstelasi perpolitikan pada tahun 1965 turut juga mempengaruhi kehidupan sosial yang ada di Ngruki. PNI dan PKI tidak lagi menjadi partai mainstream bagi warga di kampung ini. Golkarlah yang lantas menjadi saluran baru bagi aspirasi politik mereka. Sementara munculnya Pesantren Al-Mukmin di tahun 1973 turut menyumbangkan perubahansosial di Ngruki. Selain semakin banyaknya warga pendatang di kampung yang mengakibatkan beragamnya kultur juga juga meningkatnya jumlah santri yang memutuskan untuk tinggal di sekitar pesantren. Menjelang akhir tahun 70-an, sikap pemerintah yang mengeluarkan kebijakan asas tunggal menuai banyak kecaman. Tidak luput kecaman yang datang dari para aktor di Pesantren Al-Mukmin ini. Menyikapi kondisi tersebut, Orde Baru menunjukkan sikap represif kepada Pesantren Al-Mukmin. Sikap represif yang ditunjukkan oleh Orde Baru tersebut lantas menimbulkan resistensi tersendiri bagi kelompok Islam. Seperti yang digambarkan oleh Castells (2010), yang mengatakan bahwa resistensi yang dihadapi oleh suatu kelompok akhirnya malah membawa identitas kelompok tersebut semakin mengeras. Sementara Pesantren Al-Mukmin terus menghadapi sikap represif dari pemerintah karena keputusannya yang dinilai oleh Orde Baru mengandung unsur subversif, di sisi lain Pesantren Al-Mukmin baik itu aktor maupun lembaganya secara simultan terus melakukan legitimasi identitas kepada warga-warga di sekitar pesantren baik itu kepada warga lokal maupun pendatang. Proses legitimasi ini dilakukan dengan tujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang diyakini oleh Pesantren Al-Mukmin. Di lingkup pesantren internalisasi nilai juga ditanamkan dengan lebih kencang. Praktik-praktik sosial yang dilakukan untuk menginternalisasikan nilai ini melalui beberapa saluran, mulai dari kurikulum pengajaran yang didesain sedemikian rupa, sampai pada pola kehidupan seharihari. Konstruksi sosial yang ada di dalam pesantren ternyata berjalan lebih efektif daripada konstruksi yang ada di luar pesantren. Ini disebabkan karena pesantren merupakan bentuk dari institusi total, seperti yang digambarkan Erving Goffman, yang mana di dalamnya memang bertujuan untuk membentuk satu identitas baru bagi individu yang ada di dalamnya. Dengan Ngruki sebagai arena ideologi tersebut akhirnya memang menciptakan satu kondisi tertentu, yaitu konstruksi identitas keagamaan yang terus menerus berlanjut hingga saat ini. Secara garis besar, pola konstruksi identitas keagamaan tersebut akhirnya melahirkan polarisasi masyarakat pada dua kutub yang berseberangan. Pada satu pihak muncul kelompok Islam Pesantren sebagai wajah baru pemahaman keagamaan di Kampung Ngruki, sementara di pihak yang lain keberadaan Islam Desa sebagai pemahaman keagamaan yang telah dahulu tumbuh di kampung ini mengalami stagnasi.
Dalam kacamata strukturasi Giddens (1984), berubahnya wajah Kampung Ngruki dari abangan ke santri tentu juga tidak bisa kita lepaskan dari peran serta aktor yang terus menerus melakukan Islamisasi di kampung ini dengan beragam cara. Mulai dari mendirikan masjid, membangun jama’ah-jama’ah pengajian untuk orang-orang tua, membangun tempat pengajian untuk anak-anak, menawarkan program pendidikan gratis sampai mendirikan sekolah-sekolah formal. Selain karena peran serta orang-orang tersebut, keberadaan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki juga memberikan perubahan warna keagamaan yang ada di kampung dengan salah satunya adalah semakin banyaknya santri yang menghuni daerah ini. Sementara itu, sektor industri yang semakin tumbuh subur sejak tahun 1970, atau sejak Orde Baru berdiri juga turut memberikan dampak pada Islamisasi yang terjadi. Sebagai tempat yang sangat dekat dengan pusatpusat industrialisasi, tentu Ngruki menjadi tujuan manis untuk menetap bagi para buruh tersebut. Kedatangan buruh untuk menetap di Ngruki ini lantas membutuhkan satu identitas baru bagi mereka. Islam Pesantrenlah yang lantas menjadi pilihan. Ini karena gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh Islam Pesantren tingkatannya lebih massif daripada saat kita bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Islam Desa, selain juga karena kesesuaian watak yang mereka miliki. Dengan polarisasi kelompok berdasarkan paham keagamaan antara Islam Desa dengan Islam Pesantren tersebut, maka juga membuat relasi sosial mereka cenderung berjarak (social distance). Keberjarakan tentu juga pada tahap lanjutan bisa menimbulkan beragam masalah, meski sampai saat ini masalah yang muncul cenderung bersifat latent. Tidak munculnya konflik terbuka antara kelompok Islam Pesantren dengan Islam Desa disebabkan karena kesadaran Islam Pesantren bahwa eksistensi Islam Desa bukanlah ancaman utama bagi mereka. Sehingga dari pembacaan seperti ini, bisa kita pahami mengapa sampai saat ini di Ngruki tidak pernah terjadi konflik terbuka antara kelompok Islam Pesantren dengan Islam Desa meskipun identitas keagamaan yang mereka bawa sangat berbeda. Sementara itu, kurangnya intensitas komunikasi pada relasi sosial mereka ini pada gilirannya juga akan semakin memupuk prasangka di antara mereka (prejudice). Jika prasangka seperti ini tidak segera dicairkan, maka tidak menutup kemungkinan relasi yang tercipta dalam satu wilayah, sebagai tempat hidup bersama, akan semakin berjarak. Maka melihat dari uraian tersebut, ternyata identitas keagamaan yang mereka miliki memainkan peranan yang sangat vital dalam menjalin relasi, baik itu antar kelompok maupun relasi dengan luar kelompok mereka.
Daftar Pustaka Awwas, Irfan Suryahardi. 2003. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. Wihdah Press: Yogyakarta. Bas, Natana J. DeLong. 2007. Wahhabi Islam, From revival and Reform to Global Jihad. I.B.Taurus: New York. Bruinessen, Martin van. 1999. Rakyat kecil, Islam dan Politik. Bentang: Jakarta.
Bruinessen, Martin (et. al). 2009. Islam and Modernity, Key Issues and Debates. Edinburgh University Press: Great Britain. Berger, Peter. L. and Thomas Luckmann. 1991. The Social Constructions of Reality; A Treatise in the Sociology of Knowledge. Penguin Books: England. Castells, Manuel. 2010. The Powerof Identity: The Information Age; Economy, Society, and Culture. Blackwell Company: United Kingdom. Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. LP3ES: Jakarta. Elson, R.E. 2008. The Idea of Indoensia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Serambi: Jakarta. Fealy, Greg. Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival? Southeast Asian Affairs. 2004. Fealy, Greg. Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival? Southeast Asian Affairs. 2004. Feith, Herbert. 1973. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University: Ithaca, New York. Geertz, Clifford. The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker. Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2, Jan 1960. Geertz, Clifford. Ritual and Social Change: A Javanese Example. American Anthropologist. Vol. 59, No. 1, 1957. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. The Free Press of Glencoe: London. Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Stanford University Press: USA. Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Politiy Press: Cambridge. Hadiz, Vedi. R. Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis terhadap Radikalisme Islam di Indonesia (Bagian 1 dan 2). Diakses dari www.indoprogress.com. 2008. Hadiz, Vedi R and Khoo Boo Teik. Approaching Islam and Politic from Political Economy: A Comparative Study of Indonesia and Malaysia. The Pacific Review. 24:4. 2011. Hasan, Noorhaidi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru. LP3ES dan KITLV: Jakarta. Jenkins, Richard. 2004. Social Identity. Routledge: London. Jones, Sidney. Al-Qaeda in Southeast Asia: the Case of the “Ngruki Network” in Indonesia. International Crisis Group: Jakarta/Brussels. 8 Agustus 2002.
Ling, Tan Swie. 2010. G 30 S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme, Pemikiran Cina Jelata Korban Orba. Komunitas Bambu: Jakarta. Noor, Farish. A. Ngruki Revisited, Modernity and Its Discontents at the Pondok Pesantren Al-Mukmin of Ngruki Surakarta. Nanyang Technological University. 2007. Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Hasta Mitra: Jakarta. Tan, Charlene. 2011. Islamic Education and Indoctrination, The Case in Indonesia. Routledge: New York. Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 19121926. Grafiti: Jakarta. Solahudin. 2011. NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia. Komunitas Bambu: Jakarta.