BAB II LANDASAN TEORI A. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM AKTIFITAS SOSIAL KEAGAMAAN PONDOK PESANTREN 1. Pengertian Keterlibatan Masyarakat Keagamaan Pondok Pesantren
dalam
Aktifitas
Sosial
Keterlibatan berasal dari kata libat yang ketambahan awalan ke dan akhiran an yaitu “ketersangkutan”1 sedangkan "masyarakat" adalah Pergaulan hidup manusia atau himpunan orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikut-ikutan yang tentu.2 Keterlibataan adalah sinonim dari partisipasi yang memiliki makna keperansertaan yang berarti peran dalam proses sesuatu.3 Keterlibatan masyarakat dalam aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren berarti ikut pula dalam melakukan peranan dalam semua aspek aktifitas sosial keagamaan. Sedangkan, aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren bertujuan masyarakat bertakwa dan akhlakul karimah. Pesantren
merupakan
komunitas yang
mengandung
perspektif rohaniah sebagai muatan utama. Sehingga
unsur
mengkaitkannya
dengan perspektif perilaku keagamaan dalam kehidupan masyarakat merupakan upaya mengenal secara sublimatif multi dimensional yang erat kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peranan masyarakat dalam semua aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren karena dalam keberadaannya pesantren bukanlah sekedar tempat santri bermukim saja. Namun dalam perkembangannya pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan berusaha melakukan perubahan-perubahan sehingga eksistensi pesantren tetap terjaga dalam menjadi laboratorium pendidikan agama Islam yang patut diteladani. Dari
1
Wjs. Purwo Darminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1999),
hlm 594. 2 3
Ibid. hlm. 696 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, ( Jakarta: Pustaka Cianjur, 1999). Hlm 124
12
gambaran tersebut di atas terlihat dalam diri pesantren terjalinlah hubungan timbal balik dengan pihak-pihak luar pesantren.4 Hubungan kerjasama ini dapat menjadi alat bagi terselenggaranya usaha dan kelancaran program pesantren. Pesantren sebagai lembaga keagamaan tidak lagi bergerak dalam bidang agama saja. Tetapi pesantren memperluas fungsinya sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam urusan kemasyarakatan yang menyangkut masalah kehidupan seperti koperasi, kesehatan, dan pertanian, perdagangan dan sebagainya. Keterlibatan pesantren dalam hal tersebut sebenarnya tidak mengurangi arti tugas kegamaannya, karena hal itu merupakan penjabaran nilai nilai hidup keagamaan bagi kemaslahatan masyarakat luas. Dengan fungsi sosial ini, pesantren menciptakan jalinan baru dalam menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti: mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberntas pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan sehat dan sebagainya. Usaha-usaha yang mempunyai watak sosial tersebut merupakan kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada masyarakat sehingga masyarakat terasa terpanggil untuk aktif bekerja sama dalam semua aktivitas sosial keagamaan yang diadakan di pondok pesantren.
2. Faktor-Faktor yang Mendorong Keterlibatan Masyarakat dalam Aktivitas Sosial Keagamaan Pondok Pesantren a. Pesantren Sebagai Institusi Keilmuan Secara devinitif, pesantren merupakan pendidikan Islam untuk menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat setiap hari.5 Pendidikan pesantren yang 4
Dawam Raharjo, M, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, ( Jakarta: P3M, 1985, hlm. 16 5 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo Gramedia Widiya Sarana Indonesia, 2001), hlm. 103
13
mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengikuti kegiatan edukatifnya didasarkan pada persepsi masalah akherat yang bertujuan untuk memperoleh pahala. Contoh riilnya keterlibatannya dalam mengikuti pengajian selapanan masyarakat Dukuh mendengarkan ceramah kiyai dengan maksud mencari ilmu mendapat pahala. b. Pesantren Sebagai Institusi Dakwah Selain sebagai lembaga tafaqquh fi al-din (pendidikan agama), pesantren juga berfungsi sebagai lembaga dakwah. Oleh karena itu, pesantren tidaklah lupa pada tugas yang mulia yaitu berdakwah untuk mengajak umat manusia ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam mengemban tugasnya, pondok pesantren memiliki khas yang pada prinsipnya dakwah yang dilakukan oleh pondok pesantren. Menurut Amal Fathullah hanyalah terfokus pada satu hal, yaitu mendidik kader umat.6 Sebab dengan mendidik kader-kader ummat yang berkualitas dalam keimanan dan ketakwaannya berarti pesantren telah melakukan dakwah Islam yang sesungguhnya. Realisasi dari keterlibatan masyarakat Dukuh dalam partisipasinya pesantren sebagai institusi dakwah dibuktikan dengan partisipasinya dalam memberikan sumbangan materi dan tenaga dalam berbagai aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren seperti pengajianpengajian, seminar dan bakti sosial. c. Pesantren Sebagai Institusi Kemasyarakatan. Pesantren dalam pertumbuhannya mengalami perubahanperubahan yang dinamis sebagai bentuk aktualisasi evolusi pendidikan dan kebudayaan yang semakin global dan industrial. Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren, pesantren harus menghadapi kenyataan perubahan yang ada dalam masyarakat. Seiring dengan perubahan tersebut pesantren tidak lagi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Tetapi pesantren 6
Amal Fathullah, Pondok Pesntren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam: Solusi Islam Atas Problem umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 150
14
menempatkan eksistensinya sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk menjembatani perubahan ini. Fungsi lembaga sosial ini pesantren menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat.7 Diskripsi di atas, menunjukkan bahwa eksistensi pondok pesantren dalam menciptakan kebersamaan hidup bersama dalam komunitas pesantren dan masyarakat memberikan investasi sosial jangka panjang. Kegiatan dan partisipasi pesantren dalam perubahan sosial membawa pengaruh positif pada masyarakat yang hidup maju, berilmu pengetahuan yang dijiwai dengan keimanan dan ketakwaan dan berakhlak karimah.
3. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Masyarakat dalam Aktifitas Sosial Keagamaan Pondok Pesantren a. Kegiatan Keagamaan Pesantren sebagai lembaga keilmuan, menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan masyarakat desa melalui transmisi ajaran agama Islam ortodok yang akomodatif terhadap sistem budaya masyarakat. Bentuk dari penyelenggaraan tersebut pada pengajian kitab, yang di dalamnya terhimpun
nilai dasar
Islam. Serangkaian
dari kegiatan ini
mengandung dua visi pendidikan yaitu; pertama, visi moral, yakni pembinaan sikap mental (watak) dan akhlak karimah. Kedua, visi intelektual yakni mengembangkan akal pikiran.8 Bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini adalah mengikuti aktivitas pendidikan pesantren berupa pengajian selapanan, jam’iyah
7
Dawam Raharjo, ,op.cit, hlm.18 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Indonesia, op.cit., hlm. 168. 8
15
Manaqib, Tahlilan dan kegiatan pengajian-pegajian tahunan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren. b. Kegiatan Sosial Pesantren adalah satu lembaga yang penting dalam proses perubahan (kesadaran) pada tingkat individu dan perubahan sosial yakni pesantren dapat dimodifikasikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan khususnya untuk memenuhi keinginan dari para perencana ekonomi dan sosial.9 Pesantren sebagai lembaga sosial memiliki hubungan fungsional dengan masyarakatnya di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Adapun tujuan program kegiatan sosial ini adalah pertama, mengembangkan prasarana sosial yang mampu menggerakkan swadaya
dan
peran
masyarakat
untuk
melakukan
perbaikan
lingkungan hidup dari segi peningkatan eksistensi diri sebagai warga masyarakat dengan hak-haknya, ekonominya maupun pengembangan sosial lainnya. Seperti diadakannya seminar-seminar dan penyuluhan pertanian, pertukangan dan sebagainya. Kedua, membina dan mengembangkan lembaga pendidikan kedesaan (learning commonity centre) yang mandiri sebagai wahana transformasi kultural dalam rangka mentranformasikan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sebagai unsur perubahan.10 B. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Untuk memperjelas posisi dan kedudukan pondok pesantren, maka penulis kemukakan beberapa pendapat para pakar tentang pondok pesantren di antaranya adalah : 9 M.M. Billah,”Peran Pesantren (Kajian Peran Pesantren dalam Pembentukan Masyarakat Memasuki Melinium III)”, dalam Makalah Seminar Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Memasuki Melinium III, (Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1999), hlm. 1 10 M. Nashihin Hasan, “Karakter dan Fungsi Pesantren”, dalam Muntaha Ashari, Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role Of Pesantren In Education And Community Development In Indonesia”), (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1998), hlm. 119.
16
Sesuai dengan namanya, Pondok berarti tempat menginap (asrama), dan Pesantren berarti tempat para santri mengaji. Jadi Pondok Pesantren adalah tempat murid-murid (disebut santri) mengaji agama Islam dan sekaligus diasramakan di tempat itu.11 Sedangkan Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa, “Pondok Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”.12” Dengan melihat kedua definisi di atas, maka Pondok Pesantren dapat diartikan sebuah tempat di mana para santri tinggal bersama dalam asrama dan para santri dididik untuk belajar agama Islam di bawah bimbingan seorang kyai atau lebih. Selain kedua versi di atas, ada juga yang mendefinisikan Pondok Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama (kampus) di mana santrisantri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dari segala hal.13 Sedangkan Manfred Ziemek menyebutkan bahwa ”pesantren secara etimologi asalnya pe – santri – an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.”14 Adapun Abdurrahman Mas’ud sebagaimana dikutip oleh Ismail SM memaknai pesantren sebagai berikut: 11
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Ed I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet V,
hlm. 212 12
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Studi Tentang Pandangan Hidup Seorang Kyai). ,(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 44 13
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Ed. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet IV, hlm. 240 14
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986), cet I, hlm. 16.
17
The word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to place where the santri devotes must of his or her time to live in and acquire knowledge. 15 kata pesantren berasal dari kata berasal dari kata “santri” yaitu seorang yang mencari pengetahuan Islam. Biasanya kata pesantren mengacu pada tempat di mana santri menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hidup di dalamnya untuk mendapatkan pengetahuan. Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pengajaran dan pelajaran ke-Islaman, yang tumbuh dan diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama di mana santri menuntut ilmu di bawah bimbingan seorang atau beberapa orang kyai.
2. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Berbicara masalah pondok pesantren maka tidak lepas dari masuknya agama Islam di Indonesia. Sebagian dari ahli sejarah berpendapat bahwa agama Islam masuk di Indonesia yaitu kira-kira pada abad ke-12 M.16 Ini ditandai dengan kedatangan muballig dari Persi (Iran).17 Dari hasil seminar di Medan pada tahun 1963 juga dijelaskan bahwa masuknya agama Islam di Indonesia adalah abad ke 7 M / I H di bawa oleh muballig dari negeri Arab dan daerah yang pertama dimasuki adalah pantai barat pulau Sumatera yaitu bernama Hamzah Fansyuri, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pase.18 Islam pertama kali masuk di Jawa pada abad 14 M (tahun 1399 M) dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim dengan keponakannya bernama 15
Ismail SM, ”Pengembangan Pesantren Tradisional, (Sebuah Hipotesis Mengantisipasi Pembaharuan Sosial).” Dalam Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50. 16 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995) cet IV, hlm. 10 17
Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 132
18
Ibid., hlm. 133
18
Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik.19 Dakwah di Pulau Jawa semakin semarak dengan adanya walisongo. Pesantren untuk pertama kali berdiri pada masa walisongo Syaikh Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mahgribi dianggap pendiri pesantren yang pertama di tanah Jawa.20 Hal ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi’ul awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal juga sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa.21 Pada periode berikutnya, setelah periode masa wali, berdirinya pondok pesantren, tidak lepas dari kehadiran seorang kyai, perkembangan lembaga pendidikan Islam tersebut banyak dibantu oleh pesantren kerajaan, seperti kerajaan Islam Pasai. Kerajaan Islam Darussalam dan lain-lain. 22 akan tetapi lembaga pendidikan pondok pesantren berkembang pesat pada zaman Mataram. Dominasi dan signifikansi pondok pesantren semakin kuat ketika terdapat komunikasi antara Indonesia dan Saudi Arabia, orang-orang kita yang menimba ilmu di Mekkah setelah kembali ke tanah air, mereka mengembangkan pendidikan pesantren dan jumlah santrinya semakin meningkat. Akan tetapi peningkatan itu telah menimbulkan keresahan pemerintahan kolonial Belanda, karena mereka takut akan menggoyahkan kekuasaan Belanda di Nusantara, sejak saat itu perkembangan pesantren mulai dihalangi dan dihambat oleh Belanda. Meskipun begitu lembaga pendidikan pesantren tidak mati sama sekali, pesantren masih tetap bertahan walau dalam kondisi yang sangat
19
Ibid., hlm. 137
20
Haidar Putra Dauly, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), cet I, hlm. 21 21 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Pendidikan Alternatif Masa Depan), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet I, hlm. 71 22
Haidar Putra Daulay, op.cit., hlm. 21
19
tercepit dan tertekan. Bahkan kondisi tersebut menyadarkan orang-orang pesantren akan jati dirinya. Pada akhir abad ke-19 lahir kegairahan dan semangat baru dari kalangan masyarakat muslim terutama kyai dan santri, dalam kehidupan keagamaan (religious revivalism), pesantren berusaha keluar dari ketertinggalannya.23 Kebencian dan penentangan kalangan pesantren terhadap Belanda dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi : a. Uzlah atau pengasingan diri. b. Bersikap nonkooperatif dan mengadakan perlawanan secara diamdiam. c. Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda.24 Dengan melihat uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren telah mengalami kejayaan pada masa kerajaan Mataram, setelah adanya penjajahan Belanda yang menghalangi berkembangnya pondok pesantren yang dikhawatirkan akan menggoyahkan kekuasaan Belanda, pondok pesantren tetap bertahan walau dalam keadaan terjepit bahkan akhirnya
pondok
pesantren
mengalami
kemerosotan
di
bawah
pemerintahan bangsa sendiri, akan tetapi belakangan ini telah mengalami perubahan, apresiasi terhadap pesantren terus meningkat sesuai dengan perkembangan zaman. 3. Karakteristik Pondok Pesantren Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang akhir-akhir ini makin banyak peminatnya. Hal itu terlihat dari animo masyarakat khususnya masyarakat pedesaan bahwa pesantren merupakan tempat yang sangat berhasil dalam membina dan membimbing santrisantrinya menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
23
Wahjoetomo, op.cit., hlm. 76
24
Ibid., hlm. 77-78
20
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantrennya sendiri, kharisma dan kepribadian kyai, sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Sebagian besar tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa dan Madura. Orang-orang Jawa di pedesaan, mengetahui hanya sebagian kecil saja dari ciri-ciri pesantren, kebanyakan gambaran mereka tentang kehidupan pesantren hanya menyentuh aspek kesederhanaan bangunan-bangunan dalam lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak para santri kepada kyainya, dan pelajaran-pelajaran dasar mengenai kitab-kitab Islam klasik.25 Dalam pendidikan pondok pesantren terdapat lima elemen pokok yaitu : Pondok, Masjid, Santri, Pengajaran Kitab-kitab Klasik dan Kyai.26 Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren, sekalipun kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.27 Dalam pesantren kiyai memiliki otoritas, wewenang yang menentukan dan mampu menentukan semua aspek kegiatan pendidikan dan kehidupan agama atas tanggung jawabnya sendiri.28 Kewibawaan kyai dan keberadaan ilmunya adalah modal utama bagi berlangsungnya semua wewenang yang dijalankan.29 Para kyai menghabiskan waktunya untuk mengajar para santrinya sedangkan proses belajar mengajar dilakukan di Masjid.
25
Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 16
26
Ibid., hlm. 44
27
Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritikan Nurcholis Majid terhadap Pendidikan Islam Tradisional), (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet I, hlm. 63 28
Dr. Manfred Ziemek, op.cit., hlm. 138
29
Yasmadi, op.cit., hlm. 64
21
Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Menurut tradisi pesantren, terdapat 2 kelompok santri : a. Santri Mukim Yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren.30 b. Santri Kalong Yaitu santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.31 Santri mukim dengan kyainya biasanya tinggal dalam satu lingkungan yang disebut pondok. Dan disinilah para santri bersemangat mempelajari kitab-kitab klasik. Pengajaran kitab-kitab klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut paham syafi’iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok : 1. Nahwu dan Shorof, 2. Fiqih, 3. Ushul Fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan Etika, 8. Cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghoh.32 Akan tetapi kedelapan cabang-cabang ini tidak dijadikan sebagai patokan, kemungkinan juga ada kitab-kitab lain yang diajarkan di pondok pesantren. Sedangkan metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar di pesantren adalah metode sorogan, bandongan, halaqoh dan hafalan. Sorogan artinya belajar secara individual, yaitu seorang guru terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar secara kelompok, yang diikuti oleh seluruh santri. 30
Ibid., hlm. 51
31
Yasmadi., op.cit., hlm. 66
32
Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 50
22
Biasanya kyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya. Halaqoh artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab. Santri yakin benar bahwa segala yang diajarkan sang kyai adalah benar dan kitab yang diajarkanpun dianggap benar.33 Selain itu metode yang digunakan oleh ustadz/kyai adalah metode ceramah yaitu kyai atau ustadz menyampaikan materi dengan penuturan secara lisan terhadap santri-santrinya. c. Masjid Masjid atau mushalla merupakan elemen pertama yang menjadi perhatian utama sebelum kyai mendirikan sebuah pondok pesantren. Dengan demikian setiap pesantren pasti memiliki masjid atau mushalla. Walaupun hal itu tidak berdiri sendiri dalam keberadaannya. Hal tersebut tergantung dari kemampuan kyai dan masyarakat pendukunngnya. Besarnya perhatian kyai terhadap pendirian masjid atau mushalla ini sebenarnya memiliki beberapa alasan : Motivasi imam, bahwa masjid adalah rumah Allah di muka bumi. Itba’ Rasul sebagaimana yang dicontohkan beliau ketika pertama kali hijrah yang dibangun adalah masjid. Masjid sebagai tempat ibadah dan tempat pendidikan para santri dan umat Islam (masyarakat). 34 d. Madrasah Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar35. Dari akar makna tersebut kemudian
33
Ibid, hlm. 28 - 29
34
Anasom, “Patronase di Pondok Pesantren”, Jurnal Ilmu Dakwah Vol.21, No.1 Januari – Juni 2001, (Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 86. 35 Nurul Huda, “Madrasah: Sebuah Perjalanan untuk Ehsis.” Dalam Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50.
23
berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat flrksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, Karena lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan ekclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, ijazah maupun kurikulumnya.36 Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesanntren, maka madrasah memiliki kesamaan visi atau bahkan merupakan continuity dari pesantren. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren menitiktekankan pada keilmuan agama Islam, di samping pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan.
36
Raharjo, “Madrasah Sebagai The Centre of Excellence.” Dalam Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50.
24
4. Pondok Pesantren dan Perubahan Sosial Adapun Fungsi pondok pesantren adalah sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, terutama lebih dititikberatkan pada kegiatan belajar mengajar ilmu-ilmu keagamaan. Dengan segala dinamikanya pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara para pengasuhnya dan pemerintah.37 KH. Sahal Mahfudz menyebutkan bahwa ada dua potensi besar yang dimiliki pesantren, yaitu potensi kemasyarakatan dan pendidikan. Apabila pesantren mampu mengembangkan dua potensi itu, maka bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.38 Sehingga kemampuan pesantren tidak hanya dalam pembinaan pribadi muslim, melainkan bagi usaha mengadakan perbaikan dan perubahan sosial dan kemasyarakatan. Adapun sasaran pendidikan pondok pesantren dalam rangka mengadakan perubahan sosial adalah sebagai berikut : a. Bidang Pendidikan Sejak dulu pesantren dipandang sebagai lembaga eklusif. Sampai akhirnya mengalami perubahan yang sagat terbuka. Yaitu degan memasukkan pengetahuan umum kedalam system pengajaran pesantren. Dari sisni terbukti bahwa atara pedidikan agama dan pendidikan umum tidak terjadi gap.
37
Muhtarom HM, “Urgensi Pesantren Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim, dalam dinamika Pesantren dan Madrasah”, dalam Ismail SM, (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet I, hlm. 39 38
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 356-357
25
Pada dasarnya Islam adalah religion of nature yang segala bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Illahi yang menunjukkan kehadirn kesatuan sistem global.39 Pendidikan
pesantren
pada
hakekatnya
tumbuh
dan
berkembang sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Lembaga itu dikembangkan
untuk
mengefektifkan
usaha
penyiaran
dan
pengalaman ajaran-ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, pendidikan pesantren melakukan proses pembinaan pengetahuan sikap dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuanya untuk membentuk manusia yang berbudi luhur (akhlaq al Karimah), sedangkan pendidikan Nasional sendiri bertujuan antara lain menciptakan mausia yang bertaqwa. Untuk kepentingan ini, pendidikan agama dikembangkan secara terpadu, baik melalui sekolah umum maupun madrasah. Di samping itu, sarana informal seperti pesantren diperlukan untuk kepentingan pendidikan karena ciri khas keagamaan yang menonjol.40 b. Bidang Sosial Budaya Pesantren masa depan adalah merupakan sebuah laboratorium kebudayaan dan peradapan. Hal ini dikatakan karena kondisi pesantren sejak kehadirannya di Indonesia tidak pernah surut dari perubahan dan selau berusaha tampil dan berbenah diri sehingga pesantren yang dikatakan sebagai pendidikan tradisional tetap berdiri kokoh tak lapuk dimakan zaman dengan ciri kurikulum klasiknya. Dalam pertarungan kosmopolitansi kemanusiaan dan nilai-nilai kebudayaannya, pesantren mendesain rencana pesantren masa depan yaitu dengan memproyeksikan pendidikan dalam pesantren dibangun
39
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam),(Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm. 44 40 Dedi Djubaedi, “Pemaduan Pendidikan Pesantren – sekolah, Telaah Teoritis dalam Perspektif Pendidikan Nasional,” dalam Marzuki Wahid (eds), Pesantren Masa Depan, (Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren) (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm 187
26
sebuah pendidikan tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang sangat modern dari segi metodologi bahasa dan fasilitas kependidikannya, tetapi tidak meninggalkan ketradisionalnya yang menjadi ciri khas dan etikanya. Dengan demikian, pesantren tetap punya ikatan sosial dan kultural dengan lingkungannya, sekaligus menjadi motor setiap perubahan kultur tersebut. . Tata nilai yang berkembang di pesantren, yang paling pokok ditanamkan pada santrinya adalah bahwa seluruh kehidupan ini dipandang sebagai ibadah, sebagai misal ketaatan seorang santri terhadap kiai merupakan manifestasi ketaatan yang dipandang sebagai ibadah. Para santripun betah berlama-lama mengabdi pada pesantren kecintaan pada ilmu, begitu kuat sehingga mereka bersedia mengembangkannya tanpa mempedulikan hambatan yang akan dihadapi, bahkan mereka bertekad dan bersemangat yang kuat untuk mengabdi pada masyarakat, sampai mereka berani merombak tatanan sosial bila dianggap tidak sesuai dengan aturan agama.41 c. Bidang Politik Politik pada hakekatnya adalah kekuasaan (power) dan pengambilan keputusan yang lingkupnya sangat luas. Mulai dari institusi keluarga sampai keinstitusi politik tertinggi. Oleh karena itu, pengertian politik pada prinsipnya meliputi pada masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang dalam kenyataannya selalu melibatkan pesantren. Dengan pengertian tersebut politik menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, proses pengambiilan keputusan dan proses perumusan kebijakan. Peran politik yang disinggung di sini terfokos pada keterlibatan pesantren dalam proses-proses politik, baik dalam tingkat makro maupun mikro. Peran politik pesantren dapat dilihat dari keterlibatan ulama dalam mengambil kebijakan publik.
41
Wahjoetomo, op.cit., hlm. 97-98
27
Pergulatan politik para kyai merupakan refleksi dari prilaku politik para ulama yang mencerminkan pahan keagamaan. Nuansa politik tersebut dengan sendirinya berdampak pada pendidikan pesantren.
Selama
pemerintahan
Belanda,
Soekarno,
maupun
Soeharto, para kiyai lebih cenderung menjadi oposan pemerintah. Hal ini karena para kyai mendukung partai yang tidak berkuasa. Perubahan paradigma politik kyai nampaknya selalu terkait dengan pendidikan pesantren. Ketika NU secara organisatoris menyatakan kembali ke khitah dan kemudian sangat dekat dengan pemerintah. Dan pesantren menjadi mitra setia pemeritah dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan seperti yang dilakukan di pondok Pesantren Maslahul Huda, Kajen Pati, Jawa Tengah.42 Sasaran yang ingin ditempuh pesantren dalam hal ini adalah terpilihnya seseorang pemimpin yang agamis yang mempunyai akidah keimanan yang kuat, taat kepada Allah, dan tidak berbuat dholim. Untuk itu pesantren mengadakan pendekatan dengan mengadakan pendidikan dan mengajarkan anak-anak / santri berpolitik dalam mencari pemimpin mereka di dalam salah satu organisasi yang tentunya di bawah bimbingan kyai dan guru-guru yang menjadi pengamat sekaligus pembimbing. d. Bidang Ekonomi Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat dalam bidang ekonomi, pesantren meiliki andil besar dalam menjembatani kebutuhan masyarakat dalam usaha meningkatkan perekonomian.
Bukti keikutsertaan pesantren dalam masalah
perekonomian adalah didirikan badan koperasi pesantren dan masyarakat
atau
lebih
dikenal
dengan
Lembaga
Tenaga
Pengembangan Masyarakat (LTPM). Program ini pertama kali di 42 Abdul Mukti, “Paradigma Pendidikan Pesantren: Ikhtiar Metodologis Menuju Minimalisasi Kekerasan Politik”, dalam Ismail SM. (eds), Dinamika pesantren dan Madrasah, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 126.
28
bentuk pada tahun 1977 di pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1979 dengan program latihan pengenalan jenis-jenis Tehnologi Tepat Guna (TTG) yang dikembangkan oleh beberapa pesantren.43 Pondok Pesantren Maslahul Huda Kajen Pati Jawa Tengah adalah salah satu contoh dari pesatren-pesantren yang mengelola sebuah koperasi yang di dalamnya terbentuk sebuah usaha bersama dalam perekonomian yang dikelola oleh para santri dan masyarakat sekitar pesantren tersebut. Bentuk dari usaha tersebut adalah pesantren berkerja sama dengan para pengusaha (produksi) yaitu pesantren sebagai penyalur dari hasil pertanian dijual pada sebuah perusahaan. Selain itu dalam usaha pemberdayaan perekonomian masyarakat setempat pesantren sering mengadakan berbagai macam seminar kewirausahaan yang bertujuan membentuk jiwa kreatif para santrinya Di lingkungan pesantren, para santri dididik menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha, mereka giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah dan swasta. Para santri mau bekerja apa saja, asal halal.44 Dan para santri agar tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan, karena sudah dibekali dipondok pesantren dan diharapkan tidak menjadi pengangguran di kemudian hari. e. Bidang Keagamaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadi pengajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang Islami, tetapi untuk meninggikan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral.45 Karena 43 44 45
Wahjoetomo, op.cit., hlm. 93 Ibid., hlm. 93-94 Muhtarom HM. op.cit., hlm. 44
29
manusia hidup tidak hanya berhubungan dengan Allah saja, tetapi juga dengan sesama manusia dalam kehidupan di dunia. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwasannya pesantren tidak hanya dalam pembinaan pribadi muslim saja melainkan berusaha mengadakan perbaikan dan perubahan sosial dan kemasyarakatan, karena pesantren tidak hanya mempengaruhi kehidupan para santri dan alumninya, melainkan juga pada kehidupan masyarakat sekitarnya. Dengan
kata
lain
pesantren
berperan
besar
dalam
pengembangan keagamaan pada masyarakat sekitarnya. Karena pendidikan dalam pondok pesantren memberi pengajaran tentang agama Islam yang bertujuan untuk meninggikan moral, dan mengajarkan nilai-nilai yang baik, seperti sikap tingkah laku yang bermoral, dan lain sebagainya.
C. Perilaku keagamaan 1. Pengertian Perilaku Keagamaan Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan perilaku keberagamaan, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang perilaku. Perilaku secara etimologi adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungannya.46 Menurut Hasan Langgulung, perilaku adalah gerak motorik yang termanifestasikan dalam bentuk aktifitas seseorang yang dapat diamati.47 Pengertian perilaku sering dibatasi kepada yang dapat dilihat dari luar, yang berkenaan dengan kegiatan jasmaniah atau psikomotor. Perilaku atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kegiatan kognitif berkenaan dengan menggunakan pikiran atau rasio. Dalam kegiatan afektif 46
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.755. 47 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: AlMa’arif, 1980), hlm.139.
30
berkenaan dengan penghayatan perasaan, sikap, moral dan nilai-nilai. Sedang
kegiatan
psikomotor
menyangkut
aktivitas-aktivitas
yang
48
mengandung gerakan-gerakan motorik.
Dari beberapa batasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “perilaku” merupakan reaksi total individu terhadap perangsang atau situasi dari luar, yang terwujud dalam gerak yang dapat diamati. Sedangkan keberagamaan asal dari kata beragama yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an, yang berarti menganut atau memeluk agama.49 sedang Raymond F. Paloutzian mendefinisikan agama adalah: Religiusness is more or less concious dependency on adeity or God and the transendence. This dependency or comitment is evident in onespersonality-experinences, beliefs, and thingking, and motivates ones devosional practise and moral behavior and other activity.50 (Keberagamaan adalah banyak atau sedikitnya kesadaran akan ketergantungan pada seorang Dewa atau Tuhan yang trasenden. Ketergantungan atau komitmen ini dibuktikan pada diri pribadi seorang, pengalaman-pengalaman, keyakinan-keyakinan dan angan-angan dan mendorong seseorang melaksanakan kebaktian keagamaan dan bertingkah laku yang susila dan aktivitas lainnya.) Keberagamaan
atau
religiusitas
menurut
Islam
adalah
melaksanakan ajaran agama atau berislam secara menyeluruh. Karena itu, setiap muslim, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak diperintahkan untuk berislam.51 Dalam penulisan ini keberagamaan yang dimaksud
bagaimana
perilaku
masyarakat
dalam
beragama
dan
memegang norma dan kaidah yang sesuai dengan ketentuan agama.
48 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.I, hlm.40. 49 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm.9. 50 Raymond F. Paloutzian, Invitation To The Psichology Of Religion, (Boston: Allin And Bacon), Second Adition, p. 12. 51 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.293.
31
1. Dasar perilaku keagamaan a). Dasar perilaku keberagamaan anak dalam keluarga, diantaranya adalah terdapat dalam firman Allah Q.S. Ali-Imron ayat102.
ﻮ ﹶﻥﺴِﻠﻤ ﻣ ﻢ ﺘﻧﻭﹶﺃ ِﺇﻟﱠﺎﺗﻦﻮﺗﻤ ﻭﻟﹶﺎ ﺗﻘﹶﺎِﺗ ِﻪ ﻖ ﺣ ﻪ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻮﺍ ﺍﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada- Nya; dan jangan sekali-kali kamu mati sebelum masuk Islam.52 (Q.S. Ali-Imron ayat102) Ayat tersebut jika diperhatikan dari redaksi “haqqa tuqaadihi” berkesan bahwa ketaqwaan yang dituntut itu adalah mentaati Allah dan tidak sekalipun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat pun lupa, serta mensyukuri nikmat-Nya dan tidak satu pun diingkari. 53
b) Dan Q.S. Al Baqarah ayat 25,
ﺎﺤِﺘﻬ ﺗ ﻦ ﺠﺮِﻱ ِﻣ ﺗ ﺕ ٍ ﺎﺟﻨ ﻢ ﻬ ﺕ ﹶﺃﻥﱠ ﹶﻟ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺸ ِﺮ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺑﻭ ﺒﻞﹸﻦ ﹶﻗ ﺎ ِﻣﺭ ِﺯ ﹾﻗﻨ ﻫﺬﹶﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺯﻗﹰﺎ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺮ ٍﺓ ِﺭ ﻤ ﻦ ﹶﺛ ﺎ ِﻣﻨﻬ ِﺯﻗﹸﻮﺍ ِﻣﺎ ﺭﺭ ﹸﻛﱠﻠﻤ ﺎﻧﻬﺍﹾﻟﹶﺄ ﺍﺯﻭ ﺎ ﹶﺃﻢ ﻓِﻴﻬ ﻭﹶﻟﻬ ﺎﺎِﺑﻬﺘﺸﻮﺍ ِﺑ ِﻪ ﻣﻭﺃﹸﺗ (25:ﻭ ﹶﻥ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺎِﻟﺪﺎ ﺧﻢ ﻓِﻴﻬ ﻫ ﻭ ﺮ ﹲﺓ ﻬ ﹶﻄﺝ ﻣ Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan yang berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan syurgasyurga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Setiap mereka rezki buah-buahan dalam syurga-syurga itu, mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka didalamnya ada isteriisteri yang suci dan mereka kekal didalamnya. (Q.S. Al Baqarah ayat 25).54 Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan kabar gembira kepada mereka yang benar-benar beriman 52
secara
tulus
terhadap
semua
unsur
keimanan
dan
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), hlm. 92. 53 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2, (Jakarta: Letera Hati, 2000), hlm. 157. 54 Departemen Agama RI, op.cit. hlm.12.
32
membuktikan kebenaran imannya dengan beramal shaleh. Kata “wa’amiluu” merupakan segala hasil penggunaan daya manusia, yakni daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan daya hidup. Daya-daya itu bila dipergunakan dalam bentuk yang shaleh akan membawa manfaat dan bila disertai dengan iman yang benar maka ia akan memperoleh surga.55 Dari deskripsi normatif di atas, dapat diketahui bahwa betapa Tuhan telah menjadikan kita dengan sempurna di mana segala perbuatan dan sikap manusia sudah diatur sedemikian rupa, kita tinggal menjalankan apa yang diperintah-Nya dan menjahui apa yang menjadi larangan-Nya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan Perilaku
keberagamaan
seseorang
dapat
berubah
karena
dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, oleh karena perlu adanya usaha untuk membentuk atau mempengaruhi perilaku keberagamaan tersebut. Perilaku
keberagamaan
seseorang
secara
garis
besarnya
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksteral, kedua faktor inilah yang bisa menciptakan kepribadian dan perilaku keberagamaan seseorang. a. Faktor Internal Faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri atau segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir yaitu fitrah suci yang merupakan bakat bawaan, seperti firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 30 yang berbunyi :
55
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1, (Jakarta: Letera Hati, 2000), hlm. 127.
33
ﺎ ﻟﹶﺎﻴﻬﻋﹶﻠ ﺱ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ ﺣﻨِﻴﻔﹰﺎ ِﻓ ﹾﻄ ﻳ ِﻦﻚ ﻟِﻠﺪ ﻬ ﺟ ﻭ ﻢ ﹶﻓﹶﺄِﻗ ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﺱ ﻟﹶﺎ ِ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻢ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ ﻳﻚ ﺍﻟﺪ ﺨ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺫِﻟ ﺒﺪِﻳ ﹶﻞ ِﻟﺗ (30 : )ﺍﻟﺮﻭﻡ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama. (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al-Rum : 30)56 Quraish shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsirkan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan dalam upaya diri untuk menghadap kepada Allah secara sempurna. Yang mana pada diri manusia telah diberi potensi dasar (fitrah) untuk mengesakan Allah.57 Dalam kontek ini para ulama’ menguatkan didasarkan atas hadits Nabi.”semua anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah,
lalu kedua orang tuanya menjadikannya menganut
agama yahudi, Nasrani atau Majusi. Senada dengan itu Abdullah Yusuf Ali menafsirkan bahwa pada diri manusia terdapat fitrah atau sifat seperti domba yang harus lembut dan sifat kuda yang harus tangkas. Karena manusia terbelenggu oleh adat istiadat, khurafat, serakah dan ajaran yang saleh sehingga suka bertengkar dan berbuat dosa. Untuk itu diutusnya para nabi untuk mengobati dan memperbaiki sifat alam fitrah manusia kepada yang semestinya sesuai dengan perintah Allah.58 Dalam ayat ini diterangkan bahwa ciptaan Allah, manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, 56
Departemen Agama RI, op.cit. hlm. 643
57
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Volume XI, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 52. 58 Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, Juz Xvi s/d XXIV, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1035.
34
kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal ini tidaklah wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Ada juga faktor-faktor yang terdapat di dalam diri pribadi manusia. Faktor tersebut adalah : 1). Pengalaman Pribadi Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu berhubugan dengan dunia luarnya. Sejak itu pula individu menerima stimilus atau rangsang dari luar dirinya. Dan individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya.59 Dari kenyataan tersebut maka, pengalaman pribadi merupakan sesuatu
yang sudah barang tentu pernah dialami oleh setiap
manusia, bukan hanya pernah dialami oleh manusia biasa, akan tetapi anak-anak juga pernah mengalaminya. Zakiah Daradjat, berpendapat tentang pengalaman pribadi anak, yaitu : “Sebelum anak masuk sekolah, telah banyak pengalaman yang diterimanya di rumah. Orang tua serta seluruh anggota keluarga, juga teman sebaya”. Menurut peneliti ahli ilmu jiwa, terbukti bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir merupakan unsur-unsur dalam pribadinya.60 Pengalaman pribadi yang dimaksud yakni pengalaman beragama, karena perlu ditanamkan sedemikian rupa pada diri manusia, yakni sejak dalam kandungan.61 Hal ini penting karena sangat mempengaruhi pada nantinya bagi pembentukan suatu pribadi yang agamis. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi faktor keberagamaan
59
Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rodakarya offset, 1996),
hlm. 43 60
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta, Bulan Bintang, 1980), hlm., 11. Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Moral, (Jakarta, Bulan Bintang, 1982), hlm. 114. 61
35
seseorang. Karena sejak kecil mereka telah mengenal benda yang ada di sekitarnya, yang dalam proses mentalnya menghasilkan pada bayangan atau peristiwa pada dirinya, sehingga ia menemukan sebuah objek melalui indra. Proses ini terdapat suatu ingatan yang dapat disadari baik dan buruknya terhadap dirinya. 2). Pengaruh emosi Emosi merupakan perasaan gejolak jiwa yakni suatu keadaan kerohanian atau peristiwa kejiwaan yang dialami seseorang baik itu perasaan
senang
atau
tidak
senang.62
Dalam
perilaku
keberagamaan, emosi merupakan faktor internal karena emosi mempunyai suatu pengaruh yang cukup besar kepada seseorang semenjak mereka dilahirkan. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa sesungguhnya emosi memegang peranan yang penting dalam sikap dan tindakan agama. Tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.63 Dengan demikian, dalam perilaku keberagamaan emosi mempunyai suatu pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut dapat kita lihat dari perilaku Rasulullah saw yang mampu menyentuh hati nurani para sahabat da musuhmusuhnya sehingga mereka dapat menerima ajarannya dan menjadikan Islam sebagai agama mereka. Karena mereka tahu dan percaya bahwa akan kebenaran agama yang dibawanya akan membawa keselamatan hidup di dunia dan di akherat. b. Faktor Eksternal Yaitu faktor-faktor yang berasal bukan dari pribadi manusia melainkan berasal dari orang lain atau lingkungan. Adapun faktorfaktor tersebut adalah : 1). Pengaruh Orang Tua 62 63
Abu Ahamadi, Psikologi Umum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982). hlm. 58. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hlm., 77.
36
Mendidik anak adalah tanggung jawab primer orang tua. Peran orang tua menjadi penting untuk mendidik anak, baik dalam sudut tinjauan agama, sosial kemasyarakatan, maupun individu.64 Dalam keluarga, haruslah tercipta hubungan timbal balik dalam pendidikan, sebab mengingat bahwa keluarga dalam hal ini yaitu orang tua berperan penting dalam menentukan keberhasilan anakanaknya dan dapat juga orang tua dijadikan suri tauladan bagi anak-anaknya, oleh karena itu, orang tua haruslah benar-benar bersungguh-sungguh dalam mendidik anak, khususnya pendidikan agama, yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh sekali pada perilaku keberagamaan anak tersebut. 2). Pengaruh Kiyai atau Guru Kiyai atau guru merupakan orang pertama setelah orang tua yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian seseorang. Jadi faktor yang terpenting bagi seorang kiyai atau guru adalah kepribadiannya.65 Oleh karenanya sebagai kiyai atau guru hendaknya mempunyai suatu kepribadian yang mencerminkan ajaran agama, yang akan diajarkan kepada santri-santrinya. Perilaku dan sikapnya dalam kebiasaan-kebiasaan baik haruslah sesuai dengan ajaran agama dan juga hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.66
3). Lingkungan Masyarakat Lingkungan ketiga yang mempengaruhi tingkat keberagamaan seseorang adalah masyarakat. Kehidupan masyarakat dibatasi oleh berbagai macam norma dan nilai yang didukung warganya. Oleh karena itu setiap warga harus bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan norma dan nilai yang ada didalam kehidupan warga 64
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm., 110. 65 66
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, op.cit., hlm., 46. Ibid., hlm., 16.
37
tersebut. Lingkungan masyarakat yang agamis akan dapat menciptakan jiwa keberagamaan atau memperkuat keagaman seseorang. Adapun lingkungan masyarakat mungkin dapat menghilangkan jiwa keagamaan pada diri seseorang. Untuk itu fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma itu sendiri.67 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan masyarakat memiliki
pengaruh
terhadap
perkembangan
keberagamaan
seseorang. 4). Pengaruh Lembaga Pendidikan Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimana pun juga akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi seseorang untuk memahami nilai-nilai agama, sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan
agama
lebih
dititikberatkan
pada
bagaimana
membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.68
2. Aspek atau Dimensi Keagamaan Untuk melihat seberapa jauh keberagamaan seseorang, maka dapat diketahui bagaimana seseorang itu melaksanakan dimensi-dimensi pada komitmen keberagamaan. Adapun dimensi keberagamaan itu terbagi menjadi lima dimensi, diantaranya adalah : a. Dimensi keyakinan (Idiological Dimension) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada padangan teologis tertentu dan 67
Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, (jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm., 215. 68
Ibid., hlm., 220.
38
mengakui
kebenaran
doktrin-doktrin
tersebut.
Setiap
agama
mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana taraf penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak hanya di antara agama-agama, akan tetapi sering kali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.69 Dimensi keyakinan ini, juga berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (beliefs) yang memberikan “premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan antara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive beliefs). Kepercayaan yang terakhir dapat berupa tingkah laku yang baik, yang dikehendaki oleh agama. Kepercayaan jenis inilah
yang didasari
struktur etis agama.70 b. Dimensi Praktik Agama (the Ritualistik Dimension) Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari.71 Dalam Islam, dimensi ini menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa, dzikir, ibadah kurban, dan lain sebagainya.72 c. Dimensi Pengalaman (the Exsperiental Dimension) Dimensi ini merupakan bagian dari keagamaan yang bersifat afektif, yaitu adanya keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan agama (religion feeling) yang bergerak dalam empat tingkat, yaitu : konfirmatif (merasakan 69
Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Psikologi Islam Solusi Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm.77. 70 Taufik Abdullah (eds), Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988), hlm. 93. 71 Ibid, hlm. 93. 72 Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Loc. Cit.
39
kehadiran Tuhan), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dengan penuh cinta pada Tuhan), dan partisipatif (merasa manjadi kawan setia kekasih atau wali Tuhan dalam melakukan karya ilmiah).73 d. Dimensi pengetahuan agama (the Intellectual Dimension) Dimensi ini mengacu pada pengetahuan agama apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Orang yang beragama paling tidak memiliki sejumplah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisitradisi.74 e. Dimensi Pengamalan (the Consequetial Dimension) Dimensi ini mengacu pada akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari-kehari. Dimensi pengamalan disebut juga degan dimensi sosial, yang meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama.75
3. Perilaku Keagamaan dalam Perspektif Islam Adapun bentuk-bentuk perilaku keberagamaan pada masyarakat pada dasarnya meliputi keseluruhan perilaku yang dituntut agama (dalam konteks Islam). Sedang macam dan bentuk perilaku manusia di dunia ini banyak dan berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini yang penulis kemukakan adalah ibadah mahdah dan ghairu mahdah.76 1). Perilaku ibadah mahdah Ibadah adalah “memperhambakan diri kepada Allah dengan mentaati dan melaksankan anjuran-Nya serta menjahui segala
73
Taufik Abdullah, Loc. Cit. Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Op. Cit., hlm.78. 75 Ibid. 76 A. Qodri Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika, (Jakarta : Aneka Ilmu, 2002),..hlm.142. 74
40
larangan-Nya, karena Allah semata, baik dalam bentuk kepercayaan dan, perkataan maupun perbuatan.77 Sedangkkan ibadah mahdah adalah ibadah yang menitik beratkan kepada hubungan vertikal (Allah), dalam aspek ibadah mahdah ini diantaranya melaksanakan shalat dan puasa. a). Shalat Shalat menurut bahasa berarti do’a.78 Sedangkan menurut istilah berarti suatu sistem ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan laku perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu. Dalam sholat mengandung suatu maksud yang besar, diantaranya yaitu melatih dan membiasakan hidup teratur serta berdisiplin, sehingga dalam mengarungi kehidupan itu akan terarah. Nilai lain yang
terkandung
adalah
mendidik
untuk
bermasyarakat,
memperteguh persatuan dan kebersamaan dengan sholat juga dapat menjadi benteng pertahanan yang kuat, yaitu dapat mencegah perbuatan yang keji dan mungkar. Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut : ayat 45:
ﻋ ِﻦ ﻰﻨﻬﺗ ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟ ﻭﹶﺃِﻗ ِﻢ ﺍﻟ ﺏ ِ ﺎﻦ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻚ ِﻣ ﻴﻲ ِﺇﹶﻟ ﺎ ﺃﹸﻭ ِﺣﺗ ﹸﻞ ﻣﺍ ﺗ ﺎ ﻣﻌﹶﻠﻢ ﻳ ﻪ ﺍﻟﻠﱠ ﻭﺒﺮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻛﻭﹶﻟ ِﺬ ﹾﻛﺮ ﻨ ﹶﻜ ِﺮﺍﹾﻟﻤﺎ ِﺀ ﻭﺤﺸ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ :ﻮﻥَ)ﺍﻟﻌﻨﻜﺒـﻮﺕﻨﻌﺼ
(45
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu alkitab (al qur’an) dan tegakkanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah diri dari perbuatan yang keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain.79 (Al-Ankabut : 45).
77
Sadiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm.125. Ibid., hlm., 178. 79 Departemen Agama RI, op.cit. hlm. 78
41
Thaba Thaba’i menfsirkan ayat ini menggaris bawahi bahwa perintah melaksanakan shalat pada ayat ini dinyatakan yaitu “shalat melarang atau mencegah kemungkaran dan kekejian” ini brarti shalat adalah amal ibadah dan pelaksanaannya membuahka sifat keruhanian dalam diri manusia yang menjadikan tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, dengan demikian hati menjadi suci dari kekejian dan kemungkaran serta menjadi bersih dari kotoran dosa dan pelanggaran. Dengan begitu shalat adalah cara untuk memperoleh potensi keterhindaran dari keburukan.80 Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusyu’ dan tunduk akan
membekalinya
dengan
suatu
tenaga
rohani
yang
menimbulkan dalam diri perasaan tenang, damai dan tentram. Sebab dalam shalat yang dikerjakan dengan semestinya, jiwa dan raganya hanya menghadap Allah dan berpaling dari urusan dunia.81 Ibadah shalat ditinjau dari kesehatan mental, maka shalat mempunyai fungsi dalam langkah pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Dengan shalat orang akan memperoleh pula kelegaan batin, karena ia merasa Allah mendengar, memperhatikan dan menerima munajadnya, sehingga ia dapat menjadikan shalat sebagai pengobatan jiwa.82 Kalau dengan shalat dapat diperoleh hikmah ketenangan jiwa, setiap kali orang menunaikan shalat, setiap kali itu pula ia memperoleh ketenangan jiwa. Bila sedikitnya lima kali sehari semalam, maka tidak ada lagi perasan yang menentukan dan tidak ada lagi permasalahan yang menumpuk. Sedangkan bila ditinjau dari segi pembinaan, setiap kali orang mengerjakan shalat berarti
80
Sayid Muhammad Husain At Thoba-Thoba’i, Al-Mizan fi tafsiri Al-Qur’an, Juz 16 (Libanon : Al-a’lamy lilmat buat, 1991M/1411H), hlm. 139. 81 Muhammad Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung, Pustaka, 1997), cet., II, hlm., 308. 82 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, (Jakarta, Ruhama, 1994), hlm., 95.
42
setiap kali itu pula ia membina jiwa, sehingga akan tertanam perasaan jiwa yang tenang dan lega, serta rasa disiplin (taat) dan gairah dalam hidup. Semakin banyak dan khusu’ orang melakukan shalat, semakin suci dan bersihlah hatinya dari dosa-dosa dan semakin tenang jiwanya. Serta semakin cinta dan dekatlah dirinya dirinya kepada Allah SWT, karena sholat adalah permata hati orang Islam.83 b). Puasa Puasa merupakan bentuk suatu ibadah penyucian diri, sebab selain menaham diri dari makan minum, juga menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Puasa menurut bahasa ialah menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu.84 Adapun pengertian puasa adalah menahan makan dan minum dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sidiq hingga terbenam matahari yang diawali dengan niat.85 Allah berfirman :
ﻦ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺐ ﺎ ﻛﹸِﺘﻡ ﹶﻛﻤ ﺎﺼﻴ ﺍﻟﻴﻜﹸﻢﻋﹶﻠ ﺐ ﻮﺍ ﻛﹸِﺘﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﻳﺎﹶﺃ (183 :ﺘﻘﹸﻮ ﹶﻥ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺗ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﻢ ﹶﻟ ﺒِﻠ ﹸﻜﻦ ﹶﻗ ِﻣ Hai sekalian orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang dahulu (sebelum kamu) supaya kamu bertaqwa. (Al-Baqarah : 183).86 Pada yat ini Allah mewajibkan puasa kepada semua mausia yang beriman, sebagaimaa diwajibkan umat-umat sebelum mereka supaya mereka menjadi orang yang bertaqwa. Jadi puasa ini sungguh penting bagi kehidupan orang-orang yang beriman. Para ulama’ banyak memberikan uraian tentang hikmah puasa, 83 84 85 86
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, Ibid. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang, Duta Grafika, 1991), hlm., 108. Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1984), cet. I, hlm., 91. Sunarjo, op.cit., hlm., 44.
43
misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orangorang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan sebagainya. 87 Puasa ada dua macam, yakni puasa fardhu dan puasa sunnah. Puasa fardhu yaitu puasa pada bulan Ramadhan, yakni puasa yang diwajibkan bagi orang-orang dewasa/baligh seperti yang telah dijelaskan oleh ayat di atas. Sedangkan puasa sunnah diantaranya adalah : puasa enam hari dalam bulan Syawal, puasa hari SeninKamis, puasa pada bulan Sya’ban, puasa pada bulan Arofah kecuali bagi orang-orang yang sedang melakukan ibadah haji dan puasa tengah bulan (13, 14, dan 15) dari tiap-tiap bulan Qamariyah (Hijriyah).88 Puasa mempunyai banyak manfaat kejiwaan. Sebab puasa merupakan pendidikan dan pelurusan jiwa dan penyembuhan berbagai penyakit dalam tubuh. Puasa juga berarti mendidik hati sanubari manusia menjadi selalu konsisten dengan perilaku tanpa membutuhkan pengawasan.89 Ibadah puasa ditinjau dari kesehatan mental dapat berfungsi dalam pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Dengan puasa, orang akan
memperoleh
ketenangan
jiwa.
Bila
orang
senang
melaksanakan puasa, maka akan jauhlah ia dari sifat jahat dan semakin terkendali, serta kuatlah benteng pertahanan dirinya. Sedangkan ditinjau dari segi pembinaan berarti setiap kali ia berpuasa maka saat itu pula ia membina jiwa dengan sifat yang baik dan meningkatkan pengendalian diri.90
87
Zahini Dahlan, et.al, Qur’an dan Tafsirnya, Jilid I (Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf (Badan Wakaf Universisitas Islam), 1990), hlm 306 88 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Op.Cit., hlm., 94. 89 Muhammad Utsman Najati, Op.Cit., hlm., 316-317. 90 Yahya Jaya, op.cit., hlm., 97-98.
44
c). Zakat Zakat berasal dari kata “zakkah (t)”, dan zakat merupakan isim masdar, yang artinya perkembangan dan ada pula yang mengartikan pemberian, secara istilah zakat berarti memberikan sebagian harta tertentu kepada yang berhak menerimanya.91 Adapun khikmah zakat diantaranya adalah : zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan para pencuri, zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan zakat dapat menyucikan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil. Allah berfirman:
ﻚ ﺗﺻﻠﹶﺎ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺻ ﱢﻞ ﻭ ﺎﻢ ِﺑﻬ ﺰ ﱢﻛﻴ ِﻬ ﻭﺗ ﻢ ﻫ ﺮ ﺗ ﹶﻄﻬ ﺪﹶﻗ ﹰﺔ ﺻ ﻢ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﻦ ﹶﺃ ﺧ ﹾﺬ ِﻣ (103 :ﻢ)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻋﻠِﻴ ﻊ ﺳﻤِﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪﻢ ﻭ ﻬ ﻦ ﹶﻟ ﺳ ﹶﻜ Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuj mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah maha mendengar lagi mengetahui.92(At-Taubah : 103). Ayat ini Nabi Muhammad SAW diperintahkan : Ambilah atas nama Allah sedekah yang hendaknya mereka serahkan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan dan ketulusan hati, dari sebagian harta mereka, bukan seluruhnya bukan pula sebagia besar. Dengan zakat tersebut engku telah membersihkan harta dan jiwa.93 Quraish shihab dalam Al-Misbah memahami ayat ini sebagai perintah wajib atas penguasa untuk memungut zakat tetapi mayoritas ulama’ memahami sebagai perintah sunah. Zakat atau
91
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 29. 92 93
Departemen Agama RI, op.cit., hlm., 298 Thoba-Thoba’i, op.cit. Juz. 9 hlm. 377
45
shodaqoh mengisyaratkan bahwa kehidupan atau hubungan timbal balik hendaknya didasarkan oleh take and give.94 Zakat sebagai salah satu rukun Islam, yang mempunyai kedudukan yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dari segi tujuan dan fungsi zakat dalam meningkatkan martabat hidup manusia dan masyarakat. Dari sini terlihat bahwa zakat merupakan salah satu ciri perilaku keagamaan karena dengan zakat dapat membantu orang-orang yang sangat membutuhkan dan zakat juga dapat menghindarkan perbuatan-perbuatan keji.
2). Ibadah ghairu mahdah Ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang menitik beratkan kepada hubungan horisontal (sesama manusia), atau ibadah yang berada diluar syari’at Islam tetapi dianjurkan dan dijinkan oleh Allah dalam aspek ibadah ghairu mahdah, dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada menghormati Kiyai yaitu bagaimana santri memuliakan, menghoramati dan mematuhi kiyainya, yang diantaranya berakhlak baik dan perilaku sosial (muamalah).
a). Berakhlak baik Menurut Etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa arab
( )ﺍﺧﻼﻕbentuk jamak dari mufrodnya khuluk ( )ﺧﻠﻖyang berarti “budi pekerti”. Sedangkan Ahmad Amin merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut : “Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
94
Quraisshihab, op.cit. volume 5, hlm 666.
46
manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.95 Senada dengan itu, Al Ghazali mendefinisikan bahwa akhlak adalah:
ﻓﺎﳋﻠﻖ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﻫﻴﺌﺔ ﰱ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺭﺍﺳﺨﺔ ﻋﻨﻬﺎ ﺗﺼﺪﺭ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ ﻭﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﻏﲑﺣﺎﺟﺔ ﺍﱃ ﻓﻜﺮ ﻭﺭﺅﻳﺔ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﳍﻴﺌﺔ ﲝﻴﺚ ﺗﺼﺪﺭﻋﻨﻬﺎ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺍﳉﻤﻴﻠﻬﺎ ﺍﳌﻤﺤﻤﻮﺩﺓ ﻋﻘﻼ ﻭﺷﺮﻋﺎ ﲰﻴﺖ ﺗﻠﻚ ﺍﳍﻴﺌﺔ ﺧﻠﻘﺎ ﺣﺴﻨﺎ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﺎﺩﺭ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ . .ﲰﻴﺖ ﺍﳍﻴﺌﺔ ﺍﻟﱴ ﻫﻲ ﻟﻠﺼﺪﺭ ﺧﻠﻘﺎ ﺳﻴﺌﺎ 96
Akhlak adalah: sesuatu yang melekat pada jiwa manusia yang dari padaya lahir perbuatan-perbuatan tanpa melalui proses pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan atau (hal) tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut padangan akal dan syara’ disebut akhlak yang baik dan jika perbuatan itu tidak baik disebut akhlak yang buruk. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang dimanifestasikan dalam baik dan buruk, dan dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan.97 Sebagai umat manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang serba komplek dituntut untuk mempunyai budi pekerti yang baik, karena akhlak merupakan pegangan hidup yang nantinya akan membentuk perilaku kita sehari-hari. Baik itu perilaku terhadap sesama manusia dan lingkungan. 95
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (Bandung: CV. Diponegoro, 1988) cet IV, hlm. 12 96
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III,(Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th), hlm.52 M. Nipan Abdul Halim, Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), Cet. I, hlm. 12 97
47
Karena pentingnya kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia ini, maka misi (risalah) Rasulullah saw. itu sendiri keseluruhannya adalah unntuk memperbaiki akhlak yang mulia sebagaimana sabdanya :
ﺣﺪﺛﻨﺎ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺣﺪﺛﲎ ﺃﰉ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺠﻼ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻌﻘﺎﻉ ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺻﺎﱀ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ 98 ﺍﳕﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻵ ﲤﻢ ﺻﺎﱀ ﺍﻻﺧﻼﻕ:ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ Said bin Mansur telah menyampaikan kepada kami (katanya) Abdul Aziz bin Muhammad telah menyampaikan kepada kami (berita itu) dari Muhammad bin Ijlan, dari al-Qo’qo bin Hakim dari Abi Sholeh, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh. (H.R. Ahmad) Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pentingnya akhlak dalam hidup bermasyarakat. Dengan berakhlak yang mulia maka akan tercapailah tatanan kehidupan masyarakat yang dinamis, penuh dengan tenggang rasa dan tercipta sebuah kehidupan yang tentram, damai serta sejahtera. b). Perilaku sosial Aspek ini dalam perilaku keberagamaan tidak dapat diabaikan, karena masyarakat merupakan lingkungan dimana ia hidup dan tinggal. Untuk itu, dalam hidup hendaknya perlu dimiliki watak dan prilaku kepedulian terhadap sesama. Dalan hal ini agama memberikan pedoman kepada kita bagiamana agar kehidupan bermastarakat yang baik dan harnonis perlu dibagun sifat gotong royong dan saling tolong- menolong. Rasulullah SAW bersabda: 98
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Jilid II, (Beirut: Al-Maktab AlIslami, 1978), hlm. 281
48
ﻗﺎﻝ,ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﻲ ﺍﺑﻦ ﳛﻲ ﺍﻟﺘﻤﻴﻤﻰ ﻭﺍﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﷲ ﰱﻋﻮﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻣﺎﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ (ﰱ ﻋﻮﻥ ﺍﺧﻴﻪ )ﺭﻭﻩ ﻣﺴﻠﻢ 99
Diceritakan dari Yahya ibn Yahya al-Tamim dari Abu Hurairah berkata bahwasannya Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu mau menolong sesamanya.” (HR Muslim) Hadits tersebut di atas, menggambarkan bahwa orang yang suka menolong sesamanya akan dimudahkan urusanya oleh Allah. Dengan demikian sikap sosial terhadap sesama perlu ditanamkan dalam jiwa. Karena dengan memiliki kepedulian sosial akan menciptakan
kehidupan
yang
harmonis
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
D. HIPOTESIS Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.100 Setelah penulis mengadakan penelaahan yang mendalam terhadap berbagai sumber tentang keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan pondok pesantren Al-Amin dan tingkah laku atau perilaku individu, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: “Ada hubungan positif antara keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan pondok pesantren Al-Amin terhadap perilaku keberagamaan masyarakat Dukuh desa Gintungan kecamatan Gebang kabupatan Purworejo”. Artinya, semakin positif keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan pondok pesantren Al-Amin, maka akan semakin positif (baik) perilaku keberagamaan masyarakat Dukuh desa Gintungan kecamatan Gebang 99
Lihat., Shohih Muslim, Bab Kitab al-Bir wa as-shilah, hadits ke 4385. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiam Suatu Pendekatam Praktek, (Jakarta: Reineka Cipta, 1998), hlm. 67 100
49
kabupatan
Purworejo.
Dan
sebaliknya,
semakin
negatif
keterlibatan
masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan pondok pesantren Al-Amin, maka semakin negatif (buruk) perilaku keberagamaan masyarakat Dukuh desa Gintungan kecamatan Gebang kabupatan Purworejo.