BAB II BELAJAR MANDIRI DAN PONDOK PESANTREN
A. Belajar Mandiri 1. Pengertian Belajar Mandiri Sebagian pakar mengatakan bahwa belajar mandiri sama dengan belajar individual. Brookfield sebagaimana dikutip oleh martinis Yamin mendefinisikan belajar mandiri adalah upaya individu secara otomoni untuk mencapai kemampuan akademis. Namun demikian Skiner mengatakan bahwa belajar indovidual bukan belajar mandiri, akan tetapi sistem belajar individual merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan proses belajar mandiri peserta didik. Belajar mandiri adalah cara belajar aktif dan partisipatif untuk mengembangan diri masing-masing individu yang tidak terikat dengan kehadiran guru, dosen, pertemuan tatap muka di kelas, kehadiran teman sekolah. Belajar mandiri merupakan belajar dalam mengembangkan diri, keterampilan dengan cara sendiri.1 Belajar mandiri menurut Haris Mudjiman adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi guna mengatasi sesuatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki. Penetapan kompetensi
1
Martinis Yamin, Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (Jakarta: GP Press, 2007), hlm. 115.
25
26
sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya, baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, dan cara belajar, sumber belajar, maupun evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.2 2. Ciri-Ciri Belajar Mandiri Ciri khusus program belajar mandiri yang bermutu meliputi hal-hal berikut : a. Sumber dan media belajar Belajar mandiri dapat menggunakan berbagai sumber dan media belajar. Guru, tutor, pakar, praktisi, dan siapapun yang memiliki informasi dan ketrampilan yang diperlukan pembelajar dapat menjadi sumber belajar. Ketersediaan sumber dan media belajar turut menentukan kekuatan motivasi belajar. b. Tempat belajar Belajar mandiri dapat dilakukan di sekolah, di rumah, di perpustakaan, di warnet, dan dimanapun tempat yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar. Lingkungan belajar di tempat-tempat tersebut perlu mendapatkan perhatian, sehingga pembelajar merasa nyaman melakukan kegiatan belajar. c. Waktu belajar Belajar mandiri dapat dilakukan pada setiap waktu yang dikehendaki pembelajar, di antara waktu yang digunakan untuk
2
Haris Mudjiman, Belajar Mandiri (Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, 2009), hlm. 7.
27
kegiatan-kegiatan lain. Masing-masing pembelajar memiliki preferensi waktu sendiri-sendiri, sesuai dengan ketersediaan waktu yang ada padanya. d. Tempo dan irama belajar Kecepatan belajar dan intensitas kegiatan belajar ditentukan sendiri oleh pembelajar, sesuai dengan kebutuhan. Kemampuan, dan kesempatan yang tersedia. e. Cara belajar Pembelajar memiliki cara belajar yang tepat untuk dirinya sendiri. f. Evaluasi hasil belajar Evaluasi hasil belajar mandiri dilakukan oleh pembelajar sendiri. Dengan membandingkan antara tujuan belajar dan hasil yang dicapainya,
pembelajar
akan
mengetahui
sejauh
mana
keberhasilannya. g. Refleksi Refleksi merupakan penilaian terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani. Pertanyaan kepada diri sendiri antara lain: kegiatan apa yang berhasil, apa yang gagal, mengapa, untuk selanjutnya bagaimana. Sehingga pembelajar dapat menentukan langkah kedepan, guna
mencapai
keberhasilan
dan
menghindari
kegagalan.
Keberhasilan belajar mandiri banyak ditentukan oleh kemampuan refleksi.
28
h. Status konsep belajar mandiri Dalam buku ini, status kegiatan belajar mandiri adalah kegiatan yang dijalankan dalam sistem pendidikan formal-tradisional, sebagai upaya pelatihan atau pembekalan keterampilan belajar mandiri bagi para siswanya.3 3. Proses Belajar Mandiri Proses belajar mandiri adalah suatu metode yang melibatkan siswa dalam
tindakan-tindakan
yang
meliputi
beberapa
langkah,
dan
menghasilkan baik hasil yang tampak maupun yang tidak tampak. a. Siswa mandiri menetapkan tujuan Siswa memilih, atau berpartisipasi dalam memilih, untuk bekerja demi sebuah tujuan penting, baik yang tampak maupun tidak, yang bermakna bagi dirinya atau orang lain. Dan tujuan ini akan memberi kesempatan untuk menerapkan keahlian personel dan akademik kedalam kehidupan sehari- hari, proses tersebut membantu mereka mencapai standar akademik yang tinggi. b. Siswa mandiri membuat rencana Siswa menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan mereka. Merencanakan disini meliputi melihat jauh ke depan dan memutuskan bagaimana cara untuk berhasil.
3
Ibih., hlm. 17-19.
29
c. Siswa mandiri mengikuti rencana dan mengukur kemampuan diri Dari semula, siswa tidak hanya
menyadari tujuan mereka,
tetapi juga menyadari akan keahlian akademmik yang harus mereka kembangkan serta kecakapan yang mereka peroleh dalam proses belajar mandiri. d. Siswa mandiri membuahkan hasil akhir Siswa mendapatkan suatu hasil, yang tampak maupum tidak, yang bermakna bagi mereka. Ada ribuan cara untuk menampilkan hasil-hasil dari pembelajaran mandiri. e. Siswa yang mandiri menunjukkan kecakapan melalui penilaian autentik Para siswa menunjukan kecakapan terutama dalam tugas-tugas yang mandiri dan autentik. Dengan menggunakan standar nilai dan petunjuk penilaian untuk menilai portofolio, jurnan, presentasi, dan penampilan siswa, guru dapat memperkirakan tingkat pencapaian akademik mereka. Proses belajar mandiri adalah proses yang kaya, bervariasi, dan menantang. Keefektifannya bergantung tidak hanya pada pengetahuan dan dedikasi siswa, tetapi juga dedikasi dan keahlian guru.4
4
Johnson,E Laine B, Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna (Bandung: Mizan Learning Center (MLC), 2009), hlm.171-175.
30
4. Strategi Belajar Mandiri Belajar mandiri berbeda dengan belajar terstruktut sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, akan tetapi belajar terstruktur lebih mudah dibanding dengan belajar mandiri, belajar mandiri lebih sukar dan dilaksanakan bila syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi. a. Adanya masalah Syarat pertama harus adanya masalah yang menarik dan bermakna bagi siswa. Masalah harus riil, aktual dan memiliki kaitan dengan kehidupannya, sehingga menarik bagi siswa untuk mencari jawabannya. Belajar mandiri adalah memberi kebebasan kepada mereka untuk mencari, mengidentifikasikan, memecahkan, mencari solusi, membandingkan, dan menilai sesuatu masalah yang berkaitan dengan dirinya. b. Menghargai pendapat siswa Sebagian besar siswa menerima apa yang diajarkan oleh guru, dan banyak juga guru yang menganjurkan siswa untuk menghafal (rote learning). Di sekolah-sekolah banyak juga kita menemui siswasiswa kreatif, aktif, dinamis, idealis yang merupakan hasil belajar mandiri. Secara psikologis siswa-siswa membutuhkan penghargaan berupa support dan rewards dari guru tatkala mereka mendapatkan suatu prestasi di kelas. Demikian juga mereka diberi penghargaan dalam bentuk lain, seperti mempresentasikan tentang materi dari hasil bacaan mereka. Hal ini akan membuat efek psikologis yang sangat
31
besar terhadap teman sekelas, dan masing-masing mereka merasa terpacu untuk dapat tampil seperti teman-teman yang lain. c. Peran guru Menciptakan belajar mandiri guru harus mampu bekerja sama dengan orang tua di rumah tangga dan masyarakat di sekitar anak. Kerja sama yang baik ini akan membuahkan hasil berupa anak-anak didik yang berkualitas dan mandiri. d. Menghadapi siswa Guru di sekolah akan selalu berhadapan dengan para siswa atau anak didik yang berbeda tingkat umur sesuai dengan jenjang satuan pendidikan dihadapinya. Membimbing, mendidik, melatih pada setiap tingkat tidak sama. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar “berbicara terhadap seseorang sesuai dengan tingkat umur dan fikirannya”. Jhon Dewey seorang tokoh pendidikan sosial dan filasuf Amerika mengatakan “jangan menganggap anak kecil seperti orang dewasa yang bertubuh kecil” dan juga : 1) Kita harus mengetahui apa yang ada pada si anak untuk dikembangkan. 2) Kita
harus
disalurkan.
mengetahui
kemana
potensi-potensi
itu
harus
32
3) Semuanya harus diabadikan kepada kehidupan sosial, pendidikan adalah proses sosial. 5 5. Manfaat Belajar Mandiri Betapa besar manfaat belajar mandiri belumlah banyak dirasakan oleh peserta didik, karena belajar mandiri ini belum tersosialisasi di kalangan peserta didik, budaya belajar mandiri belum begitu berkembang di kalangan para siswa di Indonesia, mereka masih beranggapan bahwa guru satu-satunya sumber ilmu, akan tetapi sebagian mereka yang berhasil dalam belajar karena memanfaatkan belajar mandiri atau belajar yang tidak terfokus pada kehadiran sang guru, tatap muka di kelas, dan kehadiran teman.6 Belajar mandiri
memiliki manfaat
yang banyak terhadap
kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik siswa, manfaat tersebut seperti di bawah ini, a. Memupuk tanggung jawab b. Meningkatkan keterampilan c. Memecahkan masalah d. Mengambil keputusan e. Berfikir kreatif, berfikir kritis f. Percaya diri yang kuat g. Menjadi guru bagi dirinya sendiri
5 6
Martinis Yamin, Op.Cit., hlm. 119-123. Ibid., hlm. 16.
33
Di samping itu juga manfaat belajar mandiri akan semakin terasa bila para siswa dan mahasiswa menelusuri literatur, penelitian, analisis dan pemecahan masalah. Pengalaman yang mereka peroleh semakin komplek dan wawasan mereka semakin luas, dan menjadi semakin kaya dengan ilmu pengetahuan. Apalagi bila mereka belajar mandiri dalam kelompok, disini mereka belajar bekerjasama, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan.7 6. Keunggulan dan Kelemahan Belajar Mandiri Terdapat berbagai fakta yang menyatakan bahwa siswa yang ikut dalam program belajar mandiri lebih keras, lebih banyak dan mampu lebih lama mengingat hal yang dipelajarinya dibandingkan dengan siswa yang mengikuti kelas konvensional. Belajar mandiri memberikan sejumlah keunggulan unik sebagai metode pengajaran. a. Program belajar mandiri yang dirancang dengan cermat akan memanfaatkan lebih banyak asas belajar yang disebutkan pada bab ini. Hasilnya adalah peningkatan, baik dari segi jenjang belajar maupun kadar ingatan. Jumlah siswa yang gagal dan menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan dapat dikurangi secara nyata. b. Pola ini memberikan kesempatan, baik kepada siswa yang lamban maupun yang cepat untuk menyelesaikan pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing dalam kondisi belajar yang cocok.
7
Martinis Yamin, Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa (Jakarta: Gaung Persadan press, 2008), hlm. 19-20.
34
c. Rasa percaya diri dan tanggung jawab pribadi yang dituntut dari siswa oleh program belajar mandiri mungkin dapat berlanjut sebagai kebiasaan dalam kegiatan pendidikan lain, tanggung jawab atas pekerjaan dan tingkah laku pribadi. d. Program belajar mandiri dapat menyebabkan lebih banyak perhatian tercurah kepada siswa perseorangan dan memberi kesempatan yang lebih luas untuk berlangsungnya interaksi antar siswa. e. Kegiatan dan tanggung jawab pengajar yang terlibat dalam program belajar mandiri berubah karena waktu untuk penyajian menjadi berkurang dan ia mempunyai waktu lebih banyak untuk memantau siswa dalam pertemuan kelompok dan untuk konsultasi perseorangan. Terdapat juga beberapa kelemahan belajar mandiri yang diketahui a. Mungkin kurang terjadi interaksi antara pengajar dengan siswa atau antara siswa dengan siswa apabila program belajar mandiri dipakai sebagai metode satu-satunya dalam mengajar. Karena itu, perlu direncanakan kegiatan kelompok kecil antara pengajar dan siswa secara berjangka. b. Apabila hanya dipakai metode satu jalur dengan langkah tetap, kegiatan belajar bisa membosankan dan tidak menarik. c. Program mandiri tidak cocok untuk semua siswa atau semua pengajar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karena perbedaan gaya belajar dan mengajar, kira-kira 20% mahasiswa perguruan tinggi lebih
35
menyukai belajar dalam kelompok melalui ceramah dan kegiatan interaksi dari pada melalui kegiatan perseorangan. d. Kurangnya
disiplin
diri
ditambah
lagi
dengan
kemalasan,
menyebabkan kelambatan penyelesaian program oleh beberapa siswa. e. Metode
belajar
mandiri
sering
menuntut
kerjasama
dengan
perencanaan tim yang rinci diantara staf pengajar yang terlibat. Selain itu koordinasi dengan pelayanan penunjang (sarana, media, percetakan, dan lain-lain) mungkin diperlukan atau bahkan merupakan suatu keharusan. Semua itu berlawanan dengan ciri pengajaran tradisional yang hanya dilakukan oleh seorang guru saja.8 Menurut Abdul Mujib, ada beberapa keuntungan teknik belajar mandiri adalah dapat diikuti dan dikejar targetnya sesuai dengan kesanggupan, kreativitas, serta minat peserta didik dapat dilaksanakan di sekolah macam apa saja. Cocok untuk semua kurikulum, dapat meningkatkan motivasi anak, menjembatani antara kebutuhan sekolah dan kebutuhan masyarakat, memajukan rasa mandiri, disiplin dan bertanggung jawab. Dan teknik ini juga ada kelamahan, misalnya hubungan sosial menyempit, sulit mengadakan grup studi, membutuhkan banyak pendidik, dananya besar karena sering membutuhkan fasilitas yang memadai, pemeriksaan hasil belajar agak sulit karena antara pendidik dan peserta
8
Hamzah D. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 52-54.
36
didik tidak bertatap muka, dan mungkin peserta merasa keberatan dalam memikul tugasnya, sehingga tugas yang diberikan tercecer.9
B. Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Perkataan pondok mempunyai arti tempat, sedangkan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan di depan dan akhiran an berarti tempat tingga para santri.10 Kata santri tersebut mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas santri adalah bagian penduduk jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktivitas lainnya. Sedangkan dalam arti sempit adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itulah perkataan pesantren diambil dari kata santri yang berarti tempat untuk para santri.11 Sedangkan asal-usul kata “santri”, dalam pandangan Nur Cholis Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nur Cholis Madjid agaknya didasarkan atau kaum santri adalah kelas literary bagi orang-orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulis dan
9
Abdul Mujib, Menjadi Guru Professional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm. 41. 10
Zamarkasyi Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Cet Ke-6 (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 18. 11 Clifford Geettz, Abangan Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin, Cet. II (Jakarta: Dunia Pustaka Java, 2003), hlm. 268.
37
berbahasa Arab.12 Di sisi lain, Zamahksyari Dhofier berpendapat, kata santri dalam bahasa India orang-oang yang tahu buku-buku agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.13 Kedua,
pendapat
mengatakan
bahwa
perkataan
santri
sesungguhnya berasal dari Bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap. Di Indonesia, istilah pesantren lebih popular dengan sebutan pondok pesantren, pondok pesantren berasal dari bahasa Arab ق ْْ فُ ْن ُد, yang berarti hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal sederhana.14 Hal serupa juga dikemukakan Sindu Galba, bahwa pesantren sering disebut juga sebagai “pondok pesantren” yang berasal dari kata “santri”. Yang maka kata “santri” tersebut mengandung dua pengertian.15 a. Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang shaleh. Pengertian ini sering digunakan para ahli untuk membedakan golongan yang tidak taat beragama yang sering disebut sebagai “abangan”. b. Orang yang mendalami pengajiannya dalam ajaran Islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
12
Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Cet. Ke-I (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 771. 13 Zamarkasyi Dhofier, Op.Cit., hlm. 18. 14 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 138. 15 Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: PT. Rhineka Cipta. 2005), hlm. 1.
38
Pengertian terminologi pesantren di atas, mengidentifikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Dari sini Nur Cholis Madjid berpendapat, secara historis tidak hanya mengandung makna keIslaman, akan tetapi makan keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya.16 Pendapat serupa juga dapat dilihat pada apa yang dikembalikan oleh Karel A. Stennbrink, bahwa secara terminologi bahwa secara terminologi bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.17 Jadi pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren. Tempat di mana para santri menetap di lingkungan pesantren disebut dengan istilah pondok.
16
Nur Cholis Madjid, Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, (Jakarta: P3M, 2005), hlm. 3 17 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurum Modern, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 20-21
39
2. Karakteristik Pondok Pesantren Kehadiran Bani Umaiyah menjadikan pusat ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakaat Islam tidak hanya belajar di masjid juga di lembaga-lembaga seperti “kūttâb” (pondok pesantren). Kūttâb ini dengan karakteristiknya yang khas, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqâh (sistem wetonan).18 Pada tahap berikutnya kūttâb mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena didukung oleh dana dari pendidikan dari masyarakat, serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik. Di Indonesia, istilah kūttâb dikenal dengan istilah “pondok pesantren” yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dasn mendidik para santri (anak
didik)
dengan
sarana
masjid
yang
digunakan
untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok pesantren sebagai tempat tinggal para santri. Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, masjid dan pondok.19 Dalam sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan-keunikan dibandingkan sistem yang diterapkan pada umumnya. Keunikan-keunikan tersebut dapat dilihat pada:20
18
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2001),
19
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 2007), hlm.
20
Amin Rais, M, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, (Bandung: Mizan, 2009),
hlm. 112 323 hlm. 162
40
a. Kehidupan di pesantren menampakan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problem non-kurikuler mereka. b. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai. c. Para santri tidak mengidap penyakit “simbolis” yaitu: perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka adalah hanya ingin mencari keridhaan Allah SWT. d. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesedehasnaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan kebenaran hidup. e. Sistem pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. 3. Metode Pembelajaran di Pondok Pesantren Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran watonan dan sorogan. a. Metode Wetonan (Halaqah) Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang
41
sama lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. b. Metode Sorogan Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapanya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai, metode ini dapat dilakukan sebagai proses belajar mengajar individual.21 Di samping itu, isi kurikulum merupakan ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren yang terfokus dalam ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukum Islam, sistem yurisprudensi Islam, Al-Hadits, Alquran, teologi Islam, tâsâwuf, târikh dan retorika.22 Literatur ilmu-ilmu tersebut ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang sering disebut dengan istilah “kitab kuning” dengan ciri-ciri sebagai berikut:23 a. Kitab-kitab berbahasa Arab. b. Umum tidak memakai syâkâl, bahkan tanpa titik dan koma. c. Berisi keilmuan yang cukup berbobot. d. Metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis. e. Lazimnya dipelajari dan dikaji di pondok pesantren. f. Banyak di antara kertanya berwarna kuning.
21
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta: Mulia Offset, 2009), hlm. 26 22 Ibid., hlm. 236 23 Abdul Mujib, Op.Cit., hlm. 300
42
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:24 Lembaga pendidikan pesantren melaksanakan pendidikan terpadu yaitu untuk kematangan teoritis intuitif. Sikap yang merupakan keterampilan khusus dan merupakan aplikasi dari teori tersebut. a. Tujuan pesantren sekarang tidak hanya diduniawi dan sementara, akan tetapi sampai pada alam ukhrâwî untuk mencari keridhoan Allah SWT. b. Lembaga pendidikan pesantren merupakan pusat pertemuan antara ulama dan umat, antara ilmuan dan masyarakat awam, antara individu dan masyarakat, antara pemimpin dan rakyat, antara klien dan konsultan dan sebagainya. c. Di samping itu, pesantren merupakan agen konservasi (pengawetan), pendalaman, pengembangan, pemurnian nilai adabi dan budaya serta pusat pelaksanaan proses akulturasi yang menggunakan pola dan sistem tersendiri. 4. Tujuan Pondok Pesantren Menurut Abdul Mujib, tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:25 a. Tujuan umum pondok pesantren yakni membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mūbaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. 24
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Haji Masagung, 2001), hlm. 3 Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung: Trigenda Kerya, 2003), hlm. 299 25
43
b. Tujuan khusus pondok pesantren yakni mempersiapkan para santri umum menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. 5. Karakteristik Pondok Pesantren Berbagai pesantren banyak tersebar di seluruh Indonesia. Setiap pesantren memiliki ciri-ciri masing-masing dalam programnya, akan tetapi semua mengajarkan tujuan yang sama yaitu pembangunan Indonesia untuk mendapatkan masa depan masyarakat atau ummah yang lebih baik.26 Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki kekhasan, baik dari segi sistem maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem, terlihat dari proses belajar mengajar yang cenderung tergolong sederhana, meskipun demikian harus diakui ada juga pesantren yang memadukan sistem modern dalam pembelajarannya. Keseluruhan unsur yang khas itu menjadi ciri utama pesantren sekaligus karakteristiknya.27 Dalam catatan sejarah, pernah muncul suatu usulan dari sebagian Founding Fathers (para pendiri Indonesia) agar pesantren yang memiliki ciri kental indigenous tersebut dijadikan alternatif perguruan nasional karena dinilai banyak memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan apa yang ada pada perguruan Barat. Kelebihan-kelebihan pesantren yang dimaksud adalah:
26
Dody S. Truna dan Iswatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia Pergulatan Sosial, Politik Hukum dan Pendidikan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 278. 27 Amiruddin Nahrowi, Op.Cit., hlm. 23.
44
a. Sistem
pemondokan
(pengasramaan)-nya
yang
memungkinkan
pendidik (kiai) tuntunan dan pengawasan secara langsung kepada para santri. b. Keakraban (hubungan personal) antara santri dengan kiai yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup. c. Kemampuan pesantren dalam mencetak lulusan yang memiliki kemandirian. d. Kesederhanaan pola hidup komunitas pesantren. e. Murahnya biaya penyelenggaraan pendidikan pesantren.28 Zamakhsari Dhofier mengajukan lima karakteristik yang melekat pada pondok pesantren, yaitu: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.29 a. Pondok Banyak pihak berpendapat bahwa pesantren itu unik sebab pesantren merupakan hasil kombinasi dari dua institusi pondok (fûndûq), suatu tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisme Islam dan pesantren sendiri suatu tempat/wadah bagi pengajaran.30 Melalui pondok, santri dapat melatih diri dengan ilmu-ilmu yang praktis, seperti keterampilan bahasa Arab, tahfidz Alquran dan ketrampilan agama lainnya. Sedangkan bagi kiai atau ustadz, adanya pondok dapat
28
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 167-
168. 29
Zamarkasyi Dhofier, Op.Cit., hlm. 44. Ronald Alan Lokens-Bull, Jihad Pesantren Dimata Antropolog Amerika, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 60. 30
45
memudahkan
kontrol
terhadap
santri,
termasuk
kemudahan
memproteksi santri dari budaya luar yang tidak kondusif.31 b. Masjid Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri.32 Di samping itu masjid memiliki status dan fungsi yang terhormat dikalangan umat Islam yang di dalamnya berlaku kode perilaku sebagaimana berada di tempat yang sakral.33 Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali seminggu dilaksanakan shalat Jumat dan dua kali setahun dilaksanakan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selain dari fungsi utama masjid juga untuk tempat pendidikan. Di tempat ini dilakukan pendidikan untuk orang dewasa maupun anakanak.34 c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik Sesuai dengan latar belakang sejarah pesantren, dapat dilihat tujuan utama didirikannya pesantren adalah untuk mendalami ilmu-ilmu agama (tauhid, fîqîh, ushul fîqîh, tafsir, hadis, akhlak, tâsâwuf, bahasa Arab dan lain-lain). Diharapkan seorang santri yang ke luar dari
31
Amiruddin Nahrowi, Op.Cit., hlm. 24. Ibid., hlm.25. 33 M. Dian Nafi’, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Forum Pesantren, 2007), hlm. 146. 34 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 20-21. 32
46
pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan merujuk kepada kitab-kitab klasik.35 d. Santri Terminologi santri erat kaitannya dengan istilah pesantren. Pesantren lebih identik dengan tempatnya orang yang nyantri. Sedangkan santri merupakan anak didik yang haus terhadap ilmu pengetahuan dari seorang kiai di suatu psantren.36 Zamakhsari Dhofier membuat dua tipologi santri yang belajar di pesantren. 1) Santri mukim yaitu santri yang menetap tinggal bersama kiai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kiai. 2) Santri kalong yaitu seorang murid yang berasal dari sekitar pondok atau lainnya yang pola belajaranya tidak menetap dalam lingkungan pesantren, melainkan semata-mata belajar dan langsung pulang ke rumah tempat tinggalnya setiap selesai belajar di pesantren.37 3) Kiai. Ciri yang paling penting bagi lembaga pendidikan seperti pesantren adalah adanya seorang kiai. Pada dasarnya gelar kiai lebih ditujukan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan agama Islam secara mendalam, sekaligus memilki lembaga pendidikan
pesantren.
Lembaga
pendidikan
Islam
disebut
pesantren apabla memilki tokoh santri yang disebut kiai.38 Menurut
35
Ibid., hlm. 68. Amiruddin Nahrowi, Op.Cit., hlm. 26. 37 Zamarkasyi Dhofier, Op.Cit., hlm. 52. 38 Amiruddin Nahrowi, Op.Cit., hlm.27. 36
47
asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: a) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. b) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memilki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan islamnya.39 6. Model Pondok Pesantren Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama yang dimulai sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (nggon ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri yang kemudian disebut pesantren.40 Pada masa-masa awal, pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al-Qur'an. Sementara 39
Zamarkasyi Dhofier, Op.Cit., hlm 55. M. Sulthon Masyhud, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), hlm. 1 40
48
pesantren yang agak tinggi adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqih, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab, (nahwu shorof). Perkembangan awal pesantren inilah yang berkembang hingga saat ini. Memasuki era 1970-an pesantren mengalami perubahan secara signifikan. Pada perubahan dan perkembangan itu bisa dilihat dari dua sudut pandang:41 a. Pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan menakjubkan, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (penggiran kota), maupun urban (pekotaan). Selain menunjukan tingkat keagamaan dan orientasi pempinan pesantren dan independensi kiai atau ulama, peningkatan jumlah santri memperkuat argumentasi bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mendiri dan sejatinya merupakan praktik pendidikan berbasis masyarakat. b. Bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu: 1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun juga yang memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMU dan PT
41
Ibid., hlm. 4
49
Umum), seperti Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Syafi’iyyah Jakarta. 2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dengan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo dan Darul Rahman Jakarta. 3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah dînîyâh (MD), seperti pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Tegalrejo Magelang. 4) Pesantren hanya sekedar menjadi tempat pengajian. Ditilik dari sisi kelembagaan, sekarang ini beberapa pesantren muncul menjadi sebuah institusi atau “kampus” yang memiliki berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek dan spiritual, tapi juga atribut-atribut fisik dan materi seperti munculnya pesantren-pesantren yang sudah berkemas rapi dengan peralatan-peralatan modern seperti laboraturium bahasa teknologi komputer, internet dan lain sebagainya.42 Berbagai jenis program keterampilan juga diperkenalkan oleh pesantren seperti agroindustri, industri rumah tangga, pertanian, perikanan dan kelautan. Di samping itu, pelayanan terhadap masyarakat sekitar terus ditingkatkan, misalnya dengan menggerakkan ekonomi masyarakat
42
Ibid., hlm. 6-7
50
melalui kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan keuntungan ekonomi atau pelatih-pelatih keterampilan dasar. Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW, berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus-menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran) maupun dari segi lembaga pendidikan Islam.43 Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan pendidikan Islam, yaitu: b. Faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan sistem pendidikan yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertakwa dan beriman kepada Allah. c. Agama Islam sendiri melalui ayat suci Alquran banyak menyuruh atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berfikir, membaca dan menganalisa sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru.
43
h.lm 159.
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2005),
51
d. Adanya kontak Islam dengan barat, yang merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat.44 7. Kemandirian Pondok Pesantren Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam. Pada umumnya pondok pesantren didirikan oleh para ulama secara mandiri, sebagai tanggung jawab kepada Allah SWT untuk mengajarkan, mengamalkan, mendakwaahkan ajaran-ajaran agama-Nya. Karena pondok pesantren didirikan oleh para ulama atau tokoh dengan visinya masingmasing, maka kurikulum pun sangat beragam. Tetapi terdapat kesamaan fungsi pendidikan pesantren, yaitu sebagai pusat pendidikan dan pendalaman ilmu-ilmu pengetahuan Islam (tâfâqquh fî al-dîn) dan pusat dakwah Islam.45 Mengingat
pendidikan
pengelolaan
pendidikan
pesantren
dilakukan secara mandiri dan dilakukan penuh keikhlasan para ulama dan masyarakat pendukungnya, maka dikalangan santripun tumbuh pula jiwa kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan. Jiwa kemandirian para santi mula-mula ditimbuhkan melalui bimbingan dalam mengurus sendiri kebutuhan sehari-hari seperti memasak, mencuci, membersihkan tempat tidur dan sebagainya. Santri senior, diberi tanggung jawab memimpin adik-adiknya, atau diberi tugas pengembangan program-program pesantren
44 45
Ibid., hlm. 165. Jaenal Effendi, Profil Organisasi Santri, (Jakarta: CV. Fajar Gemilang, 2005), hlm. 8
52
seperti mengurus majlis ta’lim, koperasi pesantren, kegiatan pramuka santri, program agrobisnis, dan sebagainya.46 Lingkungan pesantren pada
umumnya terdiri dari rumah kiai,
sebuah tempat peribadatan yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, beberapa rumah pondokan yang dibuat oleh para santri sendiri dari bambu atau kayu, beberapa ruangan untuk memasak, ruang untuk mandi dan berwudhu.47 Pada pesantren yang lebih besar dimana menetap bersama ratusan atau ribuan santri yang mengikuti pendidikan, kebanyakan para santri menetap di pesantren sepanjang hari, dan hanya hanya meninggalkannya kalau ada keperluan tertentu seperti belanja, mencari nafkah dengan bekerja pada orang kaya yang membutuhkan dan keperluan lainnya. Di samping itu, kemandirian para santri di pesantren terlihat dengan jauhnya mereka dari keluarga dan desanya untuk waktu yang lama. Kemandirian tersebut nampak dengan berdiri sendiri mereka harus mengatur persediaan dan penggunaan beras, pengeluaran keuangan yang sehemat mungkin, berbelanja di pasar, mencari upah dengan membantu petani di sawah, meminta bantuan kepada orang-orang kampung setiap hari kamis, memperbaiki pakaian yang rusak dan memasak. Mereka juga harus belajar membuat pondokannya sendiri bersama santri lainnya, memperbaiki dan
46
Sudrajat Rasyid, Kewirausahaan Santri Bimbingan Santri Mandiri, (Jakarta: PT. Citrayuda, 2005), hlm. 27 47 Karel A. Steenbrink, Op.Cit., hlm. 18
53
menambal genting yang tiris dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.48 Berdasarkan
beberapa
keterangan
di
atas
dapat
diambil
kesimpulan, bahwa kemandirian santri terbentuk dari kehidupan seharihari mereka dalam mengatur segala urusan mereka sendiri sehari-hari seperti memasak, mencuci, membersihkan kamar tidur, mengatur keuangan dna bekerja pada orang kaya yang membutuhkan tenaganya guna mencari upah dan lain sebagainya, di sini para kiai tidak terlihat langsung dalam kehidupan para santri.
48
Ibid., hlm. 18