HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANIAH DENGAN SIKAP TERHADAP STIGMA TERORISME PADA SANTRI PONDOK PESANTREN NGRUKI
ABSTRAKSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam Mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi
Disusun oleh : SAKIENATUR ROSYIDAH F 100 030 012
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANIAH DENGAN SIKAP TERHADAP STIGMA TERORISME PADA SANTRI PONDOK PESANTREN NGRUKI
ABSTRAKSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi
Oleh : SAKIENATUR ROSYIDAH F 100 030 012
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
ABSTRAKSI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN RUHANIAH DENGAN SIKAP TERHADAP STIGMA TERORISME PADA SANTRI PONDOK PESANTREN NGRUKI Oleh: Sakienatur Rosyidah F 100030012 Sikap merupakan bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap, timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang member kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai, kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Sikap terhadap stigma terorisme adalah kesediaan individu untuk mengamati dan bereaksi terhadap ciri negatif yang menempel pada seseorang atau lembaga yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan. Sikap yang dimunculkan seorang santri dipengaruhi oleh kemampuan dirinya dalam beradaptasi, berempati, dan melakukan pilihan-pilihan. Subjek penelitian ini adalah 135 santri pondok pesantren Ngruki yang memiliki karakteristik: a) Santri pondok pesantren Ngruki, b) Kelas III KMI. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu skala kecerdasan ruhaniah dan skala sikap terhadap stigma terorisme. Teknis analisis data menggunakan analisis korelasi product moment. Berdasarkan hasil perhitungan teknik analisis product moment diperoleh nilai koefisien korelasi (r) 0,968 (p<0,05) artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme pada santri. Sumbangan efektif variabel kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondokpesantren Ngruki sebesar 93,8%. Berdasarkan perhitungan kategorisasi diketahui variabel kecerdasan ruhaniah mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 119,348 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 102,5 yang berarti kecerdasan ruhaniah santri tergolong tinggi. variabel sikap terhadap stigma terorisme diketahui rerata empiric (RE) sebesar 109,437 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 87,5 yang berarti sikap terhadap stigma terorisme pada santri tergolong tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki, artinya dengan tingginya kecerdasan ruhaniah maka santri semakin mempercayai adanya stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki. Kata kunci: kecerdasan ruhaniah, sikap terhadap stigma terorisme
Masyarakat santri merupakan salah satu kelompok yang sangat penting dalam umat islam di Indonesia. Kepercayaan, sikap-sikap dan nilainilai masyarakat pesantren, terutama cara saling mempengaruhi masyarakat luar pesantren dan anggapan bahwa pesantren sebagai “alternatif ideal” membuat kebudayaan pesantren agak berbeda dari pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan juga umat islam yang lebih luas. Oleh karena itu, pesantren dan masyarakat santri dalam pimpinan kyai, sudah membentuk islam di Indonesia sejak zaman awal, pengaruh masyarakat santri terhadap masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran pesantren sebagai pusat tarekat maupun pendidikan anak-anak. Namun akhi-akhir peran pesantren juga sering dianggap penting dalam organisasi atau jaringan yang bergaris keras misalnya, sebagai pusat mengajar, mendukung teroris dan sebuah tempat yang cocok untuk menggelapkan kegiatannya. Hal-hal ini sering dibicarakan dalam media massa, sejak ditemukannya jaringan Jama’ah Islamiyah (JI) berdasarkan pada hubungan dengan beberapa anggota keluarga dan kelompok alumni pesantren-pesantren tertentu. Didasarkan pada bukti-bukti bahwa beberapa alumni pesantren yang melakukan kegiatan kriminal misalnya menolong teroris atau membuat dan meledakkan bom. Menurut Muhlis (2005) dalam media massa, pesantren yang mereka hadiri dianggap sebagai pesantren keras dan juga dianggap penting dalam jaringan teroris, sampai pesantren sebagai institusi yang dianggap bersalah. Fenomena yang berkembang belakangan ini menunjukkan bahwa munculnya
stereotip baru (secara keliru) atas dunia pesantren. Seiring derasnya arus radikalisasi agama di Indonesia menjadikan pesantren menjadi bagian yang dicurigai sebagai lembaga yang “melahirkan” kelompok Islam radikalfundamental. Kasus pesantren Ngruki yang digeledah aparat tiba-tiba menjadikan pesantren didera stigma teroris (Muhammad, 2005). Pesantren seringkali disebutkan dalm konteks kepemimpinan Abu Bakar Ba’asyir dan pesantren tertentu sebagai tempat menyembunyikan gerakan dan kegiatan teroris, walaupun konteks ini sempit dan hanya mencakup pesantren Ngruki, hal ini mendasari anggapan tentang adanya kaitan antara terorisme dan pesantren. Fenomena diatas memunculkan sikap dalam berperilaku. Sikap Terhadap Stigma Terorisme Setiap orang mempunyai sikap terhadap orang-orang penting, objekobjek sosial ataupun persoalan dalam kehidupan. Serangkaian keputusan yang kompleks dari perilaku sehari-hari ditentukan oleh sikap. Azwar (1995) berpendapat bahwa sikap merupakan respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Robson (1989) menyatakan bahwa sikap dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk 1
menilai sesuatu atau seseorang dari sisi positif atau negatif. Ada tiga bagian dari sikap, yang pertama adalah yang dinamakan komponen kognitif, yaitu apa yang dipikirkan, diketahui atau dialami oleh seseorang tentang suatu objek atau orang lain. Kedua adalah komponen afektif yang mencakup semua perasaan individu mengenai seseorang atau persoalan itu. Dimensi ketiga yang perlu diperhitungkan adalah komponen konatif yang mencakup bagaimana seseorang cenderung bertindak sebagai akibat pemikiran dan perasaan. La Pierre (dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatik, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sendirian. Sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Berdasarkan pendapat tokohtokoh diatas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kesediaan individu untuk mengamati dan bereaksi terhadap suatu hal, kecenderungan menerima atau tidak stimulus yang dihadapkan pada individu. Sikap juga merupakan keadaan dalam diri manusia yang mengarah untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan tertentu dalam menanggapi suatu objek dan terbentuk atas dasar pengalaman. Stigma adalah suatu identitas yang diberikan oleh orang atau kelompok lain atas dasar atribut (ciriciri) sosial yang dimiliki, identitas yang diberikan sifatnya mendeskriditkan seseorang atau kelompok tersebut. Stigmatisasi adalah proses pelabelan seseorang atau kelompok atas ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Banyak bahan untuk membuat stigma antara lain dari ciri-ciri fisik yang menonjol,
karakter yang dimiliki seseorang atau kelompok. Stigma berarti tanda aib atau sesuatu yang ternoda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma berarti ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma negatif terhadap islam sebagai teroris berhasil dibentuk oleh media, pengakuan para teroris yang bardalih menegakkan ajaran agama, jihad sebagai dasar dalam melakukan aksi terorismenya, membuat masyarakat terpengaruh untuk menilai terorisme yang dikaitkan kepada islam. Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Kata teror berasal dari bahasa Latin terrere yang kurang lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan (Hakim, 2004). Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme. Mubarok (2005) Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan, sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, terorisme tidak dilakukan secara langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan
2
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mengikuti kehendak pelaku teror. Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut diharapkan akan didapatkan perhatian dari pihak yang dituju. Lukman (1990) berpendapat selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama. Ciri-ciri terorisme adalah: 1) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. 2) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. 3) menggunakan kekerasan. 4) mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. 5) dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. Menurut Walter (2009), terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan dikalangan masyarakat umum. Teror mengandung arti penggunaan kekerasan untuk menciptakan atau mengkondisikan sebuah iklim ketakutan didalam kelompok yang lebih luas (Mubarok, 2005). Adjie (2005) mendefinisikan terorisme sebagai suatu madzhab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus kearah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Teroris sebagai pelaku atau pelaksana bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu, golongan atau kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai
pembunuhan disertai berbagai penggunaan senjata. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa stigma terorisme adalah ciri negatif yang menempel pada seseorang atau lembaga yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan, baik itu bermotif politis maupun karena adanya dorongan fanatisme agama. Kecerdasan Ruhaniah Transcendent atau ruhaniah didefinisikan sebagai suatu yang membawa seseorang mengatasi kondisi kekinian, rasa suka dan duka. Sesuatu tersebut membawa seseorang melampui batas-batas pengetahuan dan pengalaman, dan menempatkan keduanya dalam konteks yang lebih luas. ruhaniah memberikan kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan tidak terbatas, baik yang berada dalam diri sendiri maupun luar lingkungan (Zohar dan Marshal, 2002). Sinetar (2001) berpendapat kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan Illahi. Kecerdasan ini juga diartikan sebagai ketajaman pemikiran yang tinggi, yang menghasilkan sifat-sifat supranatural: intuisi, petunjuk moral yang kokoh, kekuasaan atau otoritas batin, kemampuan membedakan salah dan benar, dan kebijaksanaan. Menurut Frankl (dalam Rakhmat, 2001), dengan memasuki ruang ruhani manusia mampu meninggikan martabatnya sebagai manusia, karena hidupnya tidak semata-mata dikuasai oleh ketentuan-ketentuan biologis dan psikologis semata. Creagan (2004) mengungkapkan bahwa ruhaniah merupakan suatu proses yang dinamis
3
dimana seseorang menemukan kearifan dan vitalitas di dalam dirinya yang memberi makna dan tujuan pada semua kejadian yang hubungan dengan peristiwa dalam hidup seseorang, bahkan di tengah kesusahan, krisis, stress, penyakit dan penderitaan pribadi. Tasmara (2001) berpendapat bahwa kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah Rabbul ‘Alamiin dan seluruh ciptaanNya. Sebuah keyakinan yang mampu mengatasi seluruh perasaan yang bersifat jasadi, bersifat sementara dan fana. Kecerdasan ruhaniah merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang ada, atau dapat dikatakan sebagai kecerdasan spiritual plus, yaitu berada pada nilai-nilai keimanan Illahi. Purwanto (2003), berpendapat bahwa makna spiritual dalam Islam lebih tepat disebut dengan ruhaniah atau batiniah, karena perjalanan batiniah atau perjalanan ruhaniah seseorang dalam menjalani hidup adalah bukti empiris adanya spiritualitas yang dapat memberikan pencerahan terhadap spiritualitas itu sendiri. Berdasarkan uraian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan sikap dan perilaku sesuai dengan bisikan kebenaran Illahi dari dalam qolbu, dalam mengambil keputusan, melakukan pilihan-pilihan, berempati dan beradaptasi. Indikator kecerdasan ruhaniah yaitu: 1) memiliki visi; 2) merasakan kehadiran Allah; 3) berdzikir dan berdo’a; 4) memiliki kualitas sabar 5) cenderung pada kebaikan 6) memiliki
empati; 7) berjiwa besar; 8) bahagia melayani (Tasmara, 2001). Santri Pondok Pesantren Menurut Arifin (Chanifah, 2002) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama atau kampus dimana para santri menerima pendidikan agama melalui sistem madrasah atau pengajian yang sepenuhnya berada di bawah kepemimpinan seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib (dalam Suyadi, 2001) bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri. pondok pesantren adalah suatu sistem pendidikan dan pelajaran yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Islam yang pada umumnya, pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandongan atau sorogan), dimana para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pondok tersebut. Elemen-elemen yang harus dimiliki pesantren adalah pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kyai. Empati, kualitas sabar dan berjiwa besar merupakan bagian dari indikator kecerdasan ruhaniah. Kecerdasan ruhaniah menurut Hamdani (2005)
4
adalah potensi yang ada pada setiap diri seorang insan, yang mana dengan potensi itu ia mampu beradaptasi, berinteraksi, bersosialisasi dengan lingkungan ruhaniahnya yang bersifat ghaib atau transcendental, serta dapat mengenal dan merasakan hikmah dari ketaatan beribadah secara vertikal dihadapan Tuhannya secara langsung. Ruhaniah merupakan suatu proses yang dinamis dimana seseorang menemukan kearifan dan vitalitas di dalam dirinya yang memberi makna dan tujuan pada semua kejadian. Kecerdasan ruhaniah adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan sikap dan perilaku sesuai dengan bisikan kebenaran Illahi dari dalam qolbu, di dalam mengambil keputusan, melakukan pilihan-pilihan, berempati dan beradaptasi. Kecerdasan ruhaniah merupakan hasil dari titik (overlapping of meaning) pada dua lingkaran dimana garis yang saling bertindihan antara bidang spiritual dan agama sehingga menghasilkan kecerdasan ruhaniah. Dan manusia diupayakan untuk memperlebar potensi keduanya sehingga berhimpitan secara penuh mengisi potensi dengan nilai-nilai agama. Sikap juga harus terarah pada suatu objek tertentu seperti benda-benda, manusia dan peristiwa. Sikap yang merupakan kesediaan individu untuk mengamati dan berinteraksi terhadap suatu hal, kecenderungan menerima atau tidak stimulus yang dihadapkan pada individu. Sikap juga merupakan keadaan dalam diri manusia yang mengarah untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan tertentu dalam menanggapi suatu objek dan terbentuk atas dasar pengalaman.
Stigma terorisme merupakan ciri negatif yang melekat pada pribadi atau lembaga tertentu karena pengaruh lingkungan disebabkan lembaga atau pribadi tersebut menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan baik itu bermotif politis maupun karena adanya dorongan fanatisme agama, dan ini merupakan salah satu peristiwa yang harus disikapi oleh seorang santri, baik itu menerima ataupun menolak. METODE PENELITIAN Subjek penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive non random sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan. Karakteristik dari sampel antara lain: a. Santri Pondok Pesantren Ngruki b. Kelas III KMI Alat Pengumpul Data. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala kecerdasan ruhaniah dan skala sikap terhadap stigma terorisme. Teknik Analisis Data. Metode analisis statistik yang digunakan untuk menguatkan hipotesis adalah dengan menggunakan analisis pruduct moment. HASIL DAN BAHASAN Uji hipotesis dihitung menggunakan program SPS-2005, berdasarkan analisis korelasi product moment diperoleh hasil r = 0,968 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan berarti bahwa hipotesis yang menyatakan ”ada hubungan positif antara kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma
5
terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki” terbukti kebenarannya, yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan ruhaniah santri maka semakin tinggi sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki demikian pula sebaliknya. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh sarta diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama sehingga pesantren mempunyai perngaruh yang kuat pada masyarakat Indonesia serta merupakan pusat tarekat dan pendidikan bagi generasi bangsa. Pesantren dewasa ini merupakan gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang mempunyai metode pendidikan formal berbentuk madrasah atau sekolah umum dengan metode pesantren yang mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Berdasarkan indikator kecerdasan ruhaniah yang dikemukakan oleh Tasmara (2001), antara lain: memiliki visi, merasakan kehadiran Allah, berdzikir dan berdo,a, memiliki kualitas sabar, cenderung pada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar dan bahagia melayani, termasuk dalam kategori yang tinggi hal ini dibuktikan oleh tingginya rerata empirik yaitu sebesar 119,3. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa santri mampu memahami dan merasakan rintihan orang lain, beradaptasi dengan merasakan kondisi batiniah dari orang lain. Sehingga mereka akan sadar bahwa dirinya tidaklah terlepas dari tanggungjawab terhadap lingkungannya. Tingginya kecerdasan ruhaniah yang dimiliki oleh para santri tidak terlepas dari lingkungan pondok pesantren yang mendukung segala aktifitas keruhaniahan santri, antara
lain: mendisiplinkan santri untuk melaksanakan sholat lima waktu secara berjama’ah dimasjid, mewajibkan tadarus Al-Qur’an setelah sholat subuh dan sholat maghrib, para santri juga dianjurkan untuk melaksanakan sholat tahajjud. Dari rutinitas inilah yang mendukung para santri dalam memiliki kecerdasan ruhaniah yang tergolong tinggi. Sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan, sehingga sikap bersifat dinamis. Dilihat dari visi spiritual santri, apa yang dialami, dilihat kemudian dipelajari mereka sangat menyadari bahwa hidup yang dijalani bukanlah suatu kebetulan tetapi sebuah kesengajaan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sehingga santri akan terus menjalani proses menjadikan hidup lebih berarti. Perasaan kehadiran Allah membawa santri merasakan pengawasan Allah serta menyadari bahwa seluruh tindakanya diketahui dan dicatat oleh Allah, hal ini menjadikan santri memiliki rasa empati serta mampu menunjukkan kemampuan komunikasi dan mereka mampu memandang diri sendiri dan lingkungannya dari sudut pandang orang lain artinya mereka mampu mencermati dan menilai keyakinankeyakinan dan keadaan-keadaan orang lain dengan tetap berpegang pada tujuan mengembangkan pemahaman dan penghargaan terhadap orang lain, mereka menilai positif segala kegiatan dan berbagi pengalaman dengan orangorang yang berbeda latarbelakang untuk memperkaya diri, adanya kesadaran secara khusus memiliki pandangan positif terhadap orang lain, penerimaan apa adanya terhadap
6
kelebihan dan kekurangan orang lain,adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi dari hasil tindakan baik disertai keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain. Tingginya kecerdasan ruhaniah santri mendorong mereka untuk lebih meningkatkan kualitas sabar yang dimiliki, sabar berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita-cita, kandungan kualitas sabar terdapat sikap yang istiqomah dan tidak bergeser dari jalan yang mereka tempuh. Berjiwa besar merupakan representasi dari tingginya kecerdasan ruhaniah santri, dengan membuka hati, pikiran dan diri untuk menerima krtik dan saran, baik yang sejalan atau bertentangan dengan pemikiran pribadi, sikap sabar dan keberanian untuk memaafkan sekaligus melupakan perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang lain membuat terbukanya cakrawala yang luas, sehingga santri memiliki keterpanggilan untuk melayani orang lain dan mereka sadar kehadiran dirinya tidaklah terlepas dari tanggung jawab terhadap lingkungannya, sebagai bentuk tanggung jawabnya, mereka menunjukkan sikap untuk senantiasa terbuka hatinya terhadap oranng lain dan merasa terpanggil untuk melayani. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap. Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan, sikap yang dimiliki seorang santri yang memiliki kecerdasan secara ruhani akan menyadari bahwa hidup yang dijalaninya bukanlah suatu kebetulan tetapi sebuah kesengajaan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sehingga santri selalu cenderung
pada kebaikan dan kebenaran, mereka akan menolak dan menghindari hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan dan lebih menyukai kedamaian, mereka yakin al-qur’an tidak mengajarkan kekerasan, apalagi sampai melakukan tindakan teror terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sherif dan Sherif (dalam Walgito, 2003), bahwa sikap dapat berubah karena kondisi dan pengaruh yang diberikan, sebagai hasil dari belajar sikap tidaklah terbentuk dengan sendiriya karena pembentukan sikap senantiasa akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tertentu. Faktor internal (tingginya kecerdasan ruhaniah) yang dimiliki santri membuat santri menanggapi dunia luarnya dengan selektif, sehingga tidak semua yang datang akan diterima ataupun ditolak, pesantren dan terorisme adalah dua entitas yang berbeda. Gerakan terorisme yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia yang melibatkan insan pesantren dalam aksinya dilapangan berimplikasi terhadap munculnya stigma negatif tentang pesantren saat ini. terlibatnya beberapa orang lulusan pesantren dalam aksi-aksi teror diIndonesia yang menewaskan warga sipil membuat pesanten menjadi sorotan tajam dari semua kalangan. Sikap merupakan kesediaan individu untuk mengamati dan bereaksi terhadap sesuatu hal, kecenderungan untuk menerima atau tidak menerima (menolak) stimulus yang dihadapkan pada individu yang bersangkutan. Dan sikap merupakan keadaan dalam diri manusia yang mengarah untuk bertindak sesuatu, menyertai manusia dengan perasaan tertentu dalam menghadapi suatu objek dan sikap ini terbentuk atas dasar suatu pengalaman
7
yang dijalani dalam kehidupannya. Mengacu pada hipotesis penelitian, santri berdasar pada kecerdasan ruhaniah yang dimilikinya bersikap menerima adanya stigma terorisme yang diberikan masyarakat umum pada pondok pesantren Ngruki. Maksud dari menerima dalam penelitian ini adalah dengan tingginya kecerdasan ruhaniah yang dimiliki oleh santri, mereka percaya adanya stigma terorisme yang diberikan masyarakat pada santri pondok pesantren Ngruki. Semakin tingginya kecerdasan ruhaniah santri mereka semakin percaya adanya stigma terorisme yang dilabelkan masyarakat terhadap santri pondok pesantren Ngruki. Penstigmaan tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat atas dunia pesantren, khususnya terhadap santri pondok pesantren Ngruki, namun dengan tingginya kecerdasan ruhaniah santri, mereka mampu meningkatkan kualitas sabar yang dimiliki dan membuka hati, pikiran dan diri mereka untuk menerima kritik dan saran sehingga mampu membuka cakrawala pengetahuan yang lebih luas. Sumbangan efektif kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme sebesar 93,8%. Hal ini berarti masih terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kecerdasan ruhaniah di luar variabel sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki sebesar 6,2%. Adapun variabel tersebut diantaranya: sikap fanatisme, pemahaman terhadap Islam dan ajarannya, dan sikap keterbukaan individu.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan: Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hubungan antara kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki diperoleh beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Ada hubungan yang positif dan signifikan sebesar 0,968 antara kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme, hal ini berarti masih terdapat beberapa variabel lain yang mempengaruhi kecerdasan ruhaniah selain variabel sikap terhadap stigma terorisme. 2. Tingkat kecerdasan ruhaniah santri pondok pesantren Ngruki termasuk dalam kategori tinggi dibuktikan oleh tingginya rerata empirik yaitu sebesar 119,348 dan rerata hipotetiknya sebesar 102,5. 3. Tingkat sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki termasuk dalam kategori tinggi, dibuktikan oleh tingginya rerata empirik yaitu sebesar 109,437 dan rerata hipotetiknya sebesar 87,5. 4. Sumbangan efektif kecerdasan ruhaniah dengan sikap terhadap stigma terorisme sebesar 93,8%. Hal ini bararti masih terdapat variabel lain yang mempengaruhi kecerdasan ruhaniah di luar variabel sikap terhadap stigma terorisme pada santri pondok pesantren Ngruki sebesar 6,2%. Adapun variabel tersebut diantaranya: sikap fanatisme, tingkat pendidikan, pemahaman terhadap islam dan ajarannya, dan sikap keterbukaan individu.
8
Saran : 1. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya mengembangkan pemahaman teoritis khususnya di bidang psikologi sosial dan psikologi agama, dan diharapkan agar dapat menambahkan beberapa variabel lain seperti tingkat pendidikan, sikap fanatisme, pemahaman terhadap islam dan ajarannya, dan sikap keterbukaan individu. 2. Bagi Pembina Pondok pesantren, pondok sebagai tempat mencari ilmu, baik ilmu sosial/duniawi maupun ilmu keagamaan yang sangat berperan dalam membentuk pribadi santri hendaknya lebih memantau santri dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dilingkungan pondok pesantren ataupun luar pondok, sehingga akan menghasilkan santri-santri yang berkualitas baik dalam ilmu umum maupun ilmu agama. 3. Tingkat kecerdasan ruhaniah para santri termasuk dalam kategori tinggi hendaknya lebih dapat ditingkatkan sehingga tidak menyimpang dari aqidah yang diridhoi Allah, yang kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial dengan masyarakat sekitar pondok maupun dengan masyarakat luas pada umumnya. Dan sikap terhadap stigma terorisme santri juga perlu didukung dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih luas.
9
Daradjat, Z. 1976.kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung
DAFTAR PUSTAKA Adjie. 2005. Terorisme. Jakarta: Sinar Harapan.
Dhofier, Z. 1985. Tradisi Pondok Pesantren. Jakarta: LP3ES
Anonim. 2007. Profile Pesantren Islam Ngruki. http://al-mukminngruki.com. Diakses 11 Februari 2009
Gerungan, W.A. 2002. Sosial. Bandung: Aditama.
Psikologi Revika
Amin, S. 2005. Majelis Mujahidin Anggap Pengawasan Pesantren Bentuk Represi Pemerintah. http://pestabola.tempointeraktif.c om. Diakses 11 Februari 2009
Hadi, S. 2000. Metodologi Reasearch jilid 1. Yogjakarta: Andi Offset.
As’ad, M. 1995. Psikologi Industri. Yogjakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Hamdani. 2005. Prophetic intellegence kecerdasan kenabian menumbuhkan potensi hakiki insani melalui penegembangan kesehatan ruhani. Yogjakarta: ISLAMIKA.
______ . 2003. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Hazbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Burns, R.B. 1993. Konsep Diri Teori Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku (terjemahan Eddy). Jakarta: Arcan.
Lukman .1990 Terorisme dan Pesantren Betulkah? http://asepfirman1924.blogspot.c om. Diakses 7 April 2009
Chanifah, I. 2002. Kinerja Ustad Pondok Pesantren Islam AlMukmin Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Thesis (tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Madjid, N. 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Chaplin, J.P. 2001. Kamus Psikologi (terjemahan Kartono K). Jakarta: Mandar Maju.
Mubarok. 2005. Definisi terorisme.http://asepfirman1924. Diakses 11 Februari 2009
Cropps, R.W.1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogjakarta.
Muhammad, F. 2005. Membendung Stigmatisasi Pesantren.
Hakim, L. 2004. Terorisme Indonesia. Surakarta: FSIS
di
Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya; usaha Nasional.
10
http://www.lampungspot.com. Diakses 11 februari 2009.
Suryabrata, S. 1996. Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali.
Muhlis, A. 2005. Kesadaran Citra Islam. http://www.aqupresident.or.id. Diakses 11 Februari 2009
__________. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo. Suyadi, 2001. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Rahardjo. 1989. Pergulatan Dunia Pesantren: membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M Rakhmat, J. 2001. Psikologi Agama. PT. Raja Grafindo Persada.
Taskhiri, A. 2008. Definisi Terorisme. http://id.wikipedia.org. diakses 7April 2009.
Rasyid, T.H. 2007. Menyikapi Isu Terorisme. http://hizbuttahrir.or.id. Diakses 11 Februari 2009
Tasmara, T. 2001, kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence)membentuk Kepribadian.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga
Ulwan, A.N. 2001. Tarbiyah Ruhiyah: Petunjuk Praktis mencapai Derajat Taqwa. Jakarta: Robbani Press
Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Remaja. Jakarta: raja Grafindo.
Walgito, B. 2003. Psikologi Umum.Jakarta: CV. Andi Offset
Sears. 1988. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Zahid, 2006. Hubungan Antara Kecerdasan Ruhaniah Dengan Etos Kerja Islami. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sinetar. M. 2001. Spiritual intellegence. Jakarta: PT. elek Media Komputindo Gramedia. Soeryopratondo, S. 1976. Kapita Selekta Pondok Pesantren. Jakarta: PT: Paryu Baerkah.
Zakki, M. 2002. Stigmatisasi Kita Pada Pesantren. http://pestabola.or.id. Diakses 7 April 2009.
Sudarto. 2004. Manajemen Krisis Dalam Penanggulangan Terorisme. http://www.dephan.go.id/module s. Diakses 7 April 2009
Zohar&Marshall, 2002. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.
11